Tidak ada pembicaraan yang melebihi keseriusan untuk memasukkan tentang ilmu agama sebagai rumpun keilmuan yang berdiri sendiri di dalam perbincangan tentang RUUPT. Pandangan sebagian akademisi masih sangat dipengaruhi oleh pandangan barat yang positivistik tentang ilmu pengetahuan dan rumpun keilmuan tersebut. Makanya, hingga saat ini juga masih melekat dengan kuat tentang pembidangan ilmu yang berbasis filsafat barat.
Pembidangan ilmu sebagaimana telah dihasilkan oleh dunia barat, misalnya Unesco yang membagi ilmu pengetahuan ke dalam tiga saja, yaitu ilmu alam, ilmu sosial dan humaniora. Makanya kebanyakan ilmuwan di Indonesia juga menggunakan pembagian Unesco tersebut sebagai patokan pembidangan ilmu pengetahuan.
Bahkan ketika saya belajar tentang antropologi bersama Prof. Parsudi Suparlan, maka juga diajarkan tentang ilmu dan pembagiannya sebagaimana di atas. Agama di dalam pembidangan ini dimasukkan ke dalam rumpun humaniora bersama sejarah, sastra, filsafat, kesenian dan sebagainya. Jadi agama hanyalah bagian kecil saja dari humaniora sebagai rumpun besarnya.
Oleh karena itu, ketika terjadi perbincangan tentang rumpun ilmu di dalam perdebatan mengenai RUUPT, maka sebagian besar anggota Panja RUUPT juga menyatakan secara tegas bahwa agama adalah bagian dari humaniora, yang sama dengan seni pertunjukan, seni lukis, seni drama dan sebagainya. Bahkan di dalam naskah rapat atau proceding rapat Panja juga disebutkan seperti itu.
Bahkan salah seorang tim ahli DPR juga menyatakan bahwa ilmu agama itu tidak memenuhi karakteristik keilmuan sebab tidak memenuhi syarat empiris dan observabel. Ukuran empiris dan observabel inilah yang di dalam pendangan kaum positivistik menjadi syarat utama apakah sesuatu bisa disebut sebagai ilmu atau tidak. Begitu kerasnya sampai dinyatakan bahwa ilmu agama itu tidak ada.
Akhirnya semua bersepakat untuk mendatangkan tim ahli agama untuk kepentingan memberikan justifikasi keilmuan agama dimaksud. Maka hadirlah Prof. Azyumardi Azra dan Prof. Mulyadi Kertanegara untuk menjelaskan posisi keilmuan agama dimaksud. Sungguh sesuatu yang di luar pemikiran mereka yang selama ini skeptis tentang kedudukan ilmu agama, sebab ternyata bahwa ilmu agama sudah memiliki kedudukan yang sangat kuat di dalam sistem bangunan keilmuan di dunia, khususnya dunia timur yang di masa lalu sangat cemerlang di dalam pengembangan keilmuan.
Prof. Mulyadi Kertanegara yang memang mendalami filsafat, tentu dengan mudah memberikan penjelasan tentang keilmuan agama tersebut. Baginya, jangan gunakan paradigma barat untuk menjustifikasi keilmuan agama. Jika syarat keilmuan adalah sebagaimana pikiran kaum positivistik, maka ilmu agama tentu tidak bisa dikategorikan sebagai ilmu. Akan tetapi coba dilihat bagaimana tentang ilmu jiwa. Apakah jiwa bisa diobservasi. Tentunya tidak. Bahkan tentang obyek pikhologi juga berubah-ubah. Semula kajiannya adakah tentang soul atau jiwa, lalu berubah menjadi mind atau pikiran, lalu menjadi otak yang menggerakkan simpul-simpul saraf, lalu menjadi ilmu perilaku dan sebagainya. Maka obyek kajian ilmu jiwa lalu diobyektifkan. Jadi ilmu jiwa saja berubah-ubah untuk menentukan obyek kajiannya.
Lalu bagaimana dengan ilmu agama? Maka yang menjadi obyek kajian ilmu agama adalah tafsir tentang agama. Ketika teks suci ditafsirkan untuk kepentingan memahami maknanya, maka diigunakanlah ilmu tafsir dengan segenap metodologinya. Ketika teks suci tersebut dijadikan sebagi kajian untuk memahami mengenai hukum-hukum agama dalam kaitannya dengan kehidupan manusia, maka lahirlah ilmu fiqih. Ketika kemudian teks suci dipahami dari metodologi pembahasan hukum maka lahirlah ilmu ushul al fiqh dan sebagainya.
Jadi, sesungguhnya ada ilmu agama yang sangat abstrak yaitu misalnya perbincangan tentang Tuhan seperti theologi atau ilmu kalam karena sasaran kajiannya sangat abstrak dan ada yang lebih realistik sebab sasaran kajiannya adalah pemikiran manusia tentang teks suci.
Jika demikian halnya, maka tidak ada keraguan tentang keilmuan agama tersebut di dalam perbincangan tentang ilmu pengetahuan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
#Makalah
Pembidangan ilmu sebagaimana telah dihasilkan oleh dunia barat, misalnya Unesco yang membagi ilmu pengetahuan ke dalam tiga saja, yaitu ilmu alam, ilmu sosial dan humaniora. Makanya kebanyakan ilmuwan di Indonesia juga menggunakan pembagian Unesco tersebut sebagai patokan pembidangan ilmu pengetahuan.
Bahkan ketika saya belajar tentang antropologi bersama Prof. Parsudi Suparlan, maka juga diajarkan tentang ilmu dan pembagiannya sebagaimana di atas. Agama di dalam pembidangan ini dimasukkan ke dalam rumpun humaniora bersama sejarah, sastra, filsafat, kesenian dan sebagainya. Jadi agama hanyalah bagian kecil saja dari humaniora sebagai rumpun besarnya.
Oleh karena itu, ketika terjadi perbincangan tentang rumpun ilmu di dalam perdebatan mengenai RUUPT, maka sebagian besar anggota Panja RUUPT juga menyatakan secara tegas bahwa agama adalah bagian dari humaniora, yang sama dengan seni pertunjukan, seni lukis, seni drama dan sebagainya. Bahkan di dalam naskah rapat atau proceding rapat Panja juga disebutkan seperti itu.
Bahkan salah seorang tim ahli DPR juga menyatakan bahwa ilmu agama itu tidak memenuhi karakteristik keilmuan sebab tidak memenuhi syarat empiris dan observabel. Ukuran empiris dan observabel inilah yang di dalam pendangan kaum positivistik menjadi syarat utama apakah sesuatu bisa disebut sebagai ilmu atau tidak. Begitu kerasnya sampai dinyatakan bahwa ilmu agama itu tidak ada.
Akhirnya semua bersepakat untuk mendatangkan tim ahli agama untuk kepentingan memberikan justifikasi keilmuan agama dimaksud. Maka hadirlah Prof. Azyumardi Azra dan Prof. Mulyadi Kertanegara untuk menjelaskan posisi keilmuan agama dimaksud. Sungguh sesuatu yang di luar pemikiran mereka yang selama ini skeptis tentang kedudukan ilmu agama, sebab ternyata bahwa ilmu agama sudah memiliki kedudukan yang sangat kuat di dalam sistem bangunan keilmuan di dunia, khususnya dunia timur yang di masa lalu sangat cemerlang di dalam pengembangan keilmuan.
Prof. Mulyadi Kertanegara yang memang mendalami filsafat, tentu dengan mudah memberikan penjelasan tentang keilmuan agama tersebut. Baginya, jangan gunakan paradigma barat untuk menjustifikasi keilmuan agama. Jika syarat keilmuan adalah sebagaimana pikiran kaum positivistik, maka ilmu agama tentu tidak bisa dikategorikan sebagai ilmu. Akan tetapi coba dilihat bagaimana tentang ilmu jiwa. Apakah jiwa bisa diobservasi. Tentunya tidak. Bahkan tentang obyek pikhologi juga berubah-ubah. Semula kajiannya adakah tentang soul atau jiwa, lalu berubah menjadi mind atau pikiran, lalu menjadi otak yang menggerakkan simpul-simpul saraf, lalu menjadi ilmu perilaku dan sebagainya. Maka obyek kajian ilmu jiwa lalu diobyektifkan. Jadi ilmu jiwa saja berubah-ubah untuk menentukan obyek kajiannya.
Lalu bagaimana dengan ilmu agama? Maka yang menjadi obyek kajian ilmu agama adalah tafsir tentang agama. Ketika teks suci ditafsirkan untuk kepentingan memahami maknanya, maka diigunakanlah ilmu tafsir dengan segenap metodologinya. Ketika teks suci tersebut dijadikan sebagi kajian untuk memahami mengenai hukum-hukum agama dalam kaitannya dengan kehidupan manusia, maka lahirlah ilmu fiqih. Ketika kemudian teks suci dipahami dari metodologi pembahasan hukum maka lahirlah ilmu ushul al fiqh dan sebagainya.
Jadi, sesungguhnya ada ilmu agama yang sangat abstrak yaitu misalnya perbincangan tentang Tuhan seperti theologi atau ilmu kalam karena sasaran kajiannya sangat abstrak dan ada yang lebih realistik sebab sasaran kajiannya adalah pemikiran manusia tentang teks suci.
Jika demikian halnya, maka tidak ada keraguan tentang keilmuan agama tersebut di dalam perbincangan tentang ilmu pengetahuan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
0 Comment