Friday, May 18, 2012

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah tentang Aurangzeb tidak dapat dilepaskan dari kebesaran Dinasti Mughal yang didirikan oleh Zahirudin Muhammad, yang lebih dikenal sebagai Babur. Ia dapat menyatukan India yang pada awal abad XVI M merupakan daerah terpecah-pecah dan memiliki pemerintahan yang merdeka. Wilayah kekuasaannya terbentang dari Sungai Gangga sampai Oxus. Babur hanya berkuasa selama empat tahun, dengan demikian dia belum sempat melakukan pembaruan yang berarti bagi Mughal.
Penguasa Mughal setelah Babur adalah putranya, Nashirudin Humayun (1530-1540 M dan 1555-1556 M). Masa pemerintahannya kondisi negara dalam keadaan tidak stabil. Ia harus menghadapi berbagai pemberontakan, seperti pemberontakan Bahadur di Gujarat dan Sher Khan. Humayun dapat dikalahkan oleh Sher Khan yang mengakibatkan Ia melarikan diri dan mencari suaka politik ke Persia.
Sher Khan menobatkan dirinya sebagai raja Delhi dengan gelar Sher Shah. Ia melakukan pembaruan di bidang administrasi, keuangan, perdagangan, komunikasi, keadilan, perpajakan, dan pertanian di India. Sher Shah merupakan satu-satunya penguasa yang berusaha menyatukan India tanpa membedakan ras dan agama. Pengganti Sher Shah adalah penguasa-penguasa yang lemah, sehingga Humayun dapat menguasai kembali Delhi pada Juli 1555 M, namun satu tahun kemudian Humayun meninggal dunia karena kecelakaan, jatuh dari lantai dua perpustakaan Sher Mandal di Delhi. Pendapat lain menyatakan bahwa Ia meninggal karena jatuh dari kuda ketika sedang bermain chaugan (permainan yang sangat populer di kalangan bangsawan India-Persia seperti hoki, hanya saja pemainnya menunggang kuda). Ia dimakamkan di Sahsaram.
Jalaludin Muhammad Akbar (1556-1605 M) menggantikan tahta ayahnya saat berusia empat belas tahun. Ia adalah penguasa terbesar Mughal. Akbar memperluas imperium ini dari wilayahnya yang asal di Hindustan dan Punjab, Gujarat, Rajastan, Bihar, dan Bengal (Bangla). Ke arah utara Ia merebut Kashmir, Sind, dan Baluchistan. Sebelum akhir abad XVII M, imperium ini telah meluas sampai ke ujung utara dan merebut Bijapur, Golkunda, serta beberapa wilayah merdeka di India Selatan.
Akbar mampu mendirikan negara kesatuan di India utara dan memperoleh dukungan dari mayoritas Hindu India. Sebagai raja, Akbar tidak berusaha menindas dan memaksa mereka untuk memeluk kepercayaan yang sama. Akbar sangat menonjolkan toleransi dan universalisme dalam pemerintahannya, sehingga tidak mengherankan jika dia menghapuskan jizyah yang ditetapkan oleh Syariah bagi dzimmi. Pada 1575 M, Akbar mendirikan Ibadat Khana (rumah ibadah), tempat berdiskusi dan berkumpul para ahli dari semua agama. Pada puncaknya dia memperkenalkan Din-e-Ilahi, yakni semacam sintesis dari berbagai agama. Pluralisme yang diterapkan Akbar sangat berbeda dengan komunalisme garis keras perkumpulan Syariah masa itu, sehingga Akbar dinilai telah murtad.
Sepeninggal Akbar, Salim, putranya, naik tahta dengan gelar Nurudin Muhammad Jahangir Padsah Ghazi (1605-1627 M). Meskipun Jahangir juga melakukan penaklukan ke beberapa wilayah, Ia tidak sekuat ayahnya. Pada 1615 M Ia menaklukkkan Mewar yang dikuasai Raja Amar Singh dan pada 1620 M dapat menguasai Bijapur dan Golkunda, sehingga seluruh Deccan (wilayah India yang paling selatan) menjadi miliknya. Jahangir masih meneruskan Sulh-e-Kul (toleransi universal) ayahnya, tetapi tidak Din-e-Ilahi. Meskipun Jahangir lebih ortodok dari ayahnya, dia mempunyai kebiasaan buruk yaitu mengkonsumsi minuman keras.
Jahangir berkuasa selama 22 tahun. Ia wafat 7 November 1627 M. Kekuasaan kemudian dipegang oleh Shah Jahan (1627-1658 M). Semasa berkuasa Ia menghadapi beberapa pemberontakan yaitu Khan Jahan Lodi (kepala daerah/raja muda Deccan) dan Jujhar Singh, putera Bir Singh Bundela dari Oricsha. Shah Jahan lebih taat kepada Syariah dibandingkan dengan ayahnya.
Tampuk kekuasaaan Mughal setelah Shah Jahan diduduki oleh Aurangzeb setelah menyingkirkan saudara-saudaranya. Pada 31 Juli 1658 M, Aurangzeb menobatkan dirinya menjadi raja Mughal dengan gelar Abu al Muzafar Muhyi al Din Muhammad Aurangzeb Bahadur Alamghir Padshah Ghazi (1027-1118 H/1618-1707 M). Setelah kemenangannya itu Aurangzeb tinggal di Delhi dan Agra. Ia segera melakukan penaklukan, yang terpenting adalah ke Palamau, daerah utara Bihar, yang dipimpin oleh Daud Khan, Gubernur Patna pada 1661 M, penaklukan Chittagong oleh Shayesta Khan, Gubernur Bangla pada tahun 1666 M. Selanjutnya menyerang Tibet melalui Khasmir.
Kekuasaaan Aurangzeb mendapat pengakuan dari negara-negara muslim lain. Sekitar 1661-1667 M, mereka mengirimkan dutanya ke India seperti: Sharif Mekah, Raja Persia, Balkh, Bukhara, Kasghar, Urganj (Khiva), Shahr-e-Nau, Gubernur Turki di Basrah, Hadramaut, Yaman, serta Raja Abessinia.
Aurangzeb dikenal sebagai penguasa Mughal yang melakukan gerakan puritan dengan menerapkan Islam Orthodok. Ia menggantikan kebijakan konsiliasi Hindu dengan kebijakan Islam. Untuk itu Ia mensponsori pengkodifikasian hukum Islam dalam karya agungnya yang dikenal dengan Fatawa-e- Alamghir.
Setelah memperkuat kekuasaannya, secara bertahap Aurangzeb menghapuskan semua praktek (tradisi) yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Ia juga menghapuskan delapan puluh pajak yang sangat memberatkan rakyat, namun di pihak lain Ia menerapkan kembali jizyah yang telah dihapuskan Akbar.
Selanjutnya untuk menegakkan kehidupan religius di masyarakat, Aurangzeb berusaha menerapkan pola baru dengan mengangkat muhtasib (petugas pengawas moral), yang mempunyai kewenangan untuk mengontrol perjudian, prostitusi, pengguna narkotika, minuman keras, serta hal-hal yang merusak moral lainnya (1659 M).
Hal tersebut di atas pada umumnya dianggap menyulut kemarahan orang Hindu, yang berdampak pada timbulnya pemberontakan di masa itu. Dalam keadaan yang demikian pemberontakan itu dapat ditumpas, namun secara umum tidak semua dapat dipadamkan. Akhirnya Aurangzeb meninggal pada 3 Maret 1707 M dan dimakamkan di Khuld-e-Makan, 4 mil arah barat Daulatabad. Penguasa Mughal setelah Aurangzeb adalah penguasa-penguasa lemah sehingga Mughal mengalami kemunduran.
Figur Aurangzeb menurut R.C. Majumdar dan S.M. Ikram sangat mengagumkan. Ia taat beragama, gagah berani, kuat ingatan, keras kemauan, dan pantang menyerah, tidak seperti penguasa lainnya. Ia seorang sultan yang saleh, sederhana, dan menghindari kesenangan duniawi. Sebagai seorang raja Ia tidak pernah duduk di singgasananya.
Aurangzeb merupakan orang yang senantiasa menjadi perbincangan kalangan sejarah. Ia sebagai satu-satunya pengusa Mughal yang secara disiplin menerapkan syariat Islam. Pada masa pemerintahannya imperium Mughal telah sangat luas, melebihi masa Akbar, tetapi filosofi pemerintahannya berbeda dengan Akbar. Ia berusaha untuk memberi corak keislaman di India yang mayoritas beragama Hindu itu. Oleh karena itu penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui bagaimana kebijakan keagamaan yang diterapkan Aurangzeb di India dan pengaruhnya, mengingat agama merupakan masalah krusial yang rentan menimbulkan polemik.
B. Batasan dan Perumusan masalah
Penelitian ini memfokuskan pada kebijakan keagamaan Sultan Aurangzeb di India 1658-1707 M. Dengan alasan bahwa tahun tersebut merupakan masa di mana Sultan Aurangzeb menduduki tahta di Mughal dan menjalankan kebijakan-kebijakannya dalam berbagai bidang kehidupan.
Untuk memperoleh gambaran yang jelas dari permasalahan kebijakan keagamaan Sultan Aurangzeb di India, maka perlu dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi keagamaan India sebelum Sultan Aurangzeb?
2. Apa pokok kebijakan keagamaan Sultan Aurangzeb di India dan respon masyarakat terhadap kebijakan tersebut ?
3. Bagaimana pengaruh kebijakan keagamaan Sultan Aurangzeb di India baik di bidang pemerintahan, ekonomi-sosial, pendidikan, karya satra, seni, dan arsitektur?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Setiap kegiatan yang dilakukan manusia pada umumnya memiliki tujuan yang hendak dicapai, maka sesuai dengan judul yang telah dikemukakan di atas, tujuan pokok penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan tentang kondisi sosial keagamaan sebelum Sultan Aurangzeb
2. Untuk mendeskripsikan tentang kebijakan Sultan Aurangzeb di India
3. Untuk mendeskripsikan tentang pengaruh kebijakan keagamaan Sultan Aurangzeb
Adapun kegunaan penelitian ini dimaksudkan sebagai berikut:
Berguna sebagai informasi dan menambah wawasan tentang kebijakan keagamaan Sultan Aurangzeb di India, bagi peneliti lain yang melakukan kajian serupa. Selain itu kajian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber sejarah periode Aurangzeb dalam bahasa Indonesia.
D. Tinjauan Pustaka
Penulisan tentang sejarah kebijakan keagamaaan Sultan Aurangzeb di India pada kurun waktu yang telah disebutkan di atas menarik untuk dikaji. Hal ini mengingat tulisan yang bersangkut paut dengan pembahasan belum memadai, terlebih dalam bahasa Indonesia. Tulisan yang ada sebagian besar dalam bahasa asing. Selain itu, kajian yang ada biasanya berisi gambaran yang umum tentang sultan-sultan Mughal, bukan membahas secara rinci tentang kebijakan keagamaan Aurangzeb.
Untuk mendukung penelitian ini digunakan beberapa literatur yang dapat dijadikan sebagai acuan pokok:
Pertama, buku The History of India as Told by Its Own Historians karya Sir H.M. Elliot. Buku ini terdiri dari VIII volume dan diterjemahkan pada 1873 M dari bahasa aslinya, Persia. Sejarah tentang Aurangzeb ditulis oleh sejarawan masa itu seperti Rai Bharmal dengan karyanya Lubbut al Tawarikh-e-Hind (ditulis sekitar 1108 H/1696 M); Mirza Muhammad Kazim, putera Muhammad Amin Munshi, penulis Alamgir Nama (1688 M); Khafi Khan dengan Muntakhab al Lubab; Muhammad Saki Mustaid Khan, dengan Ma’asir Alamgiri-nya (selesai ditulis pada 1710 M).
Kedua, buku yang ditulis oleh Elphinstone (Mountstuart), History of India: The Hindu and Mahometan Periods. Buku ini terdiri dari 12 bab dan diterbitkan oleh Jhon Murray pada 1857 M di London. Pembahasan tentang Aurangzeb terdapat pada bab ke-11 dan disistematisasikan secara periodisasi, sehingga sangat membantu penulis.
Ketiga, buku yang secara lebih spesifik membahas tentang Sultan Aurangzeb adalah Aurangzeb and the Decay of the Mughal Empire, oleh Stanley Lane Poole. Buku yang terdiri dari dua belas bab ini memuat tentang pemerintahan Aurangzeb di Mughal. Namun buku ini lebih banyak mengutip tulisan-tulisan sejarawan masa Aurangzeb yang telah diterjemahkan oleh Elliot and Dowson.
Buku lain yang cukup representatif membahas tentang Aurangzeb adalah karya K. Ali, History of India, Pakistan, and Bangladesh yang diterbitkan di Dhaka pada 1980. Dalam bukunya, Ali memaparkan sejarah India kuno hingga berdirinya Bangladesh. Sejarah yang ditulisnya disertai dengan pendapat dan kritikan untuk sejarawan yang telah menulis India. Karena itu buku ini memberikan cakrawala baru bagi penulis.
E. Landasan Teori
Penelitian ini merupakan penelitian sejarah yang ingin menghasilkan bentuk dan proses pengkisahan atas peristiwa-peristiwa manusia yang telah terjadi di masa lalu. Dengan penelitian sejarah ini diharapkan dihasilkan sebuah penjelasan tentang berbagai hal mengenai kebijakan keagamaan Sultan Aurangzeb di Dinasti Mughal pada masanya baik dari segi asal usul dan mengapa kebijakan itu berlangsung, bentuk kebijakan, dan pengaruh kebijakan tersebut.
Kalau kebijakan dianggap fenomena politik dan dimaknai sebagai distribusi kekuasaan, maka tidak dapat dielakkan bahwa kebijakan keagamaan Aurangzeb adalah sebuah proses politik. Akan tetapi pola distribusi tersebut jelas dipengaruhi faktor-faktor sosial, ekonomi, dan budaya. Karena itu penelitian ini tidak hanya ditekankan pada politik an sich, tetapi lebih pada aspek non politik yang mempengaruhi terbentuknya kebijakan dan sekaligus dampaknya bagi masyarakat atau negara, sehingga diperlukan pendekatan ilmu sosial. Jadi secara singkat penelitian ini adalah penelitian sejarah dengan pendekatan ilmu sosial.
Pendekatan ilmu sosial yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan behavioral. Dengan pendekatan ini tidak hanya akan tertuju pada kejadiannya, tetapi tertuju pada pelaku sejarah dalam situasi riil. Bagaimana pelaku menafsirkan situasi yang dihadapi. Dari penafsiran tersebut muncul suatu tindakan yang menimbulkan suatu kejadian, dan selanjutnya akan timbul konsekuensi dari tindakan pelaku sejarah. Dari pendekatan di atas maka akan dapat dikaji bagaimana Aurangzeb menginterpretasikan totalitas situasi yang dihadapi. Pada saat yang sama akan diterangkan pula manifestasi tindakan kebijakan keagamaannya dipandang dari segi tujuan, motif, rangsangan, dan lingkungan yang menyebabkan lahirnya kebijakan keagamaan dan pengaruhnya di masyarakat setelah adanya kebijakan tersebut.
F. Metode Penelitian
Sesuai dengan maksud dan tujuan dalam penelitian ini, yaitu untuk mendeskripsikan dan menganalisis peristiwa masa lampau, maka dalam penelitian ini digunakan metode historis yang bertumpu pada empat langkah kegiatan yaitu: pengumpulan data (heuristik), kritik sumber (verifikasi), penafsiran (interpretasi), dan penulisan sejarah (historiografi).
Keempat langkah tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Heuristik (pengumpulan data)
Heuristik adalah suatu teknik atau seni, dan bukan suatu ilmu, oleh karena itu heuristik tidak memiliki peraturan-peraturan umum. Heuristik seringkali merupakan suatu keterampilan dalam menemukan, mengenali, dan memperinci bibliografi, atau mengklasifikasikan dan merawat catatan, maka dari itu penulis mengumpulkan data yang sesuai dengan obyek penelitian melalui dokumentasi. Pengumpulan data dilakukan dari buku-buku, majalah, artikel, dan sumber-sumber lain yang relevan dengan obyek kajian dan pembahasan ini.
2. verifikasi (kritik sumber)
Setelah sumber sejarah terkumpul, tahap berikutnya adalah verifikasi, yang lazim disebut kritik sumber, untuk memperoleh keabsahan sumber. Dalam hal ini harus diuji pula keabsahan tentang keaslian sumber (otentisitas) yang dilakukan melalui kritik ekstern, dan keabsahan tentang kesahihan sumber (kredibilitas) yang ditelusuri melalui kritik intern. Dalam tahapan ini penulis mengawalinya dengan tahapan membaca sumber-sumber sejarah.
3. interpretasi
Dalam langkah ketiga ini tahap yang dilakukan adalah menganalisis dan mensintesiskan data yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah, kemudian disusun menjadi fakta-fakta sejarah yang berkaitan dengan tema yang dibahas.
4. Historiografi
Sebagai tahap terakhir dalam proses penelitian ini, penulisan dilakukan secara deskriptif-analisis dan berdasar sistematika yang telah ditetapkan dalam rencana skripsi.
Dalam penelitian ini juga digunakan metode komparasi. Penjelasannya adalah bahwa sejarah sebagai pengungkapan peristiwa unik, yakni hanya sekali dan tidak berulang, namun apabila diperhatikan akan nampak kemiripan pola, tendensi, dan struktur antara peristiwa satu dengan yang lain. Komparasi kebijakan Aurangzeb dengan para pendahulunya dapat menonjolkan kemiripan yang mengantarkan pada suatu generalisasi.
G. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan penelitian ini terdiri dari lima bab:
Bab I yaitu Pendahuluan, terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan kegunaan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Teori, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan. Bab ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai penelitian secara umum.
Bab II membahas tentang kondisi keagamaan sebelum Aurangzeb. Dalam bab ini diuraikan tentang kondisi keberagamaan serta kebijakan keagamaan para penguasa Mughal sebelum Aurangzeb, yakni Babur, Humayun-Sher Shah, Akbar, Jahangir, dan Shah Jahan.
Sementara itu kebijakan keagamaan Aurangzeb diuraikan pada bab ke tiga. Pada bagian inilah dibahas tentang biografi Aurangzeb masa sebelum dan sesudah menjadi sultan. Hampir sebagian besar sisa hidupnya dihabiskan dalam pertempuran-pertempuran baik di perbatasan Afghanistan maupun Deccan. Selain itu dipaparkan juga pokok kebijakan keagamaan, dan respon masyarakat Hindu atas kebijakan tersebut, seperti Jat, Satnami, dan Bundela.
Bab IV mendeskripsikan tentang pengaruh kebijakan pemerintahan Aurangzeb terhadap kemajuan India. Pada bagian inilah dipaparkan mengenai pengaruh kebijakan Aurangzeb dalam bidang pemerintahan, ekonomi-sosial, pendidikan, karya sastra, seni, dan arsitektur.
Bab V merupakan bab terakhir atau penutup yang berisikan kesimpulan dari uraian yang telah dikemukakan dalam skripsi. Selain itu juga memuat saran-saran atas segala kekurangan dari karya tulis ini.
BAB II
KONDISI KEAGAMAAN INDIA SEBELUM SULTAN AURANGZEB
Sebelum membahas tentang kebijakan keagamaan Sultan Aurangzeb terlebih dahulu akan diuraikan tentang kondisi keberagamaan masyarakat India terutama setelah masuknya Islam. Selain itu juga perlu dijelaskan tentang bagaimana kebijakan keagamaan para penguasa sebelum Sultan Aurangzeb. Karena dari pembahasan kedua hal ini akan dapat diketahui faktor-faktor yang memotivasi Aurangzeb menerapkan kebijakan keagamaannya.
A. Kondisi Keberagamaan
Kontak paling awal antara orang-orang Arab dengan masyarakat India sudah dilakukan sejak masa al Khulafā al Rasyidūn, yakni Khalifah Umar bin Khatab. Pasukan perangnya di bawah panglima Abu al Mughira menyerang Sind melalui laut namun gagal. Sedangkan panglimanya yang lain Abdullah bin Amr al Rabbi, berhasil menguasai Kirman, Sizistan, dan Mekran. Pada masa khalifah berikutnya, Usman bin Affan, telah diutus Hakim bin Jabalah untuk meninjau India. Usaha yang sama diteruskan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan mengirimkan al Harris bin Murrah. Inilah awal mula Islam menyebar ke India melalui darat.
Ekspedisi militer baru berhasil masuk wilayah Sind pada masa Khalifah al Walid I (705-715 M) dari Dinasti Umayyah. Ekspedisi ini dipimpin oleh Muhammad Bin Qasim, yang bernama asli Imad al Din Bin Qasim. Ia adalah keponakan sekaligus menantu Hajjaj bin Yusuf. Invasi ke Sind dipicu oleh pembajakan kapal-kapal Arab yang dikirim oleh Raja Jazirah al Yaqut sebagai hadiah untuk Khalifah al Walid di dekat Daibul/Debal (kota Karachi sekarang), di samping sebab-sebab yang muncul baik secara intern maupun ekstern.
Muhammad bin Qasim (711-715 M) dalam waktu singkat telah berhasil membangun pranata sosial di India bagian barat, mengelola negara secara professional, membangun administrasi yang baik, dan menciptakan harmoni antar agama. Ia tidak berusaha melakukan konversi ke agama Islam. Masyarakat setempat dibiarkan memegang kepercayaan lamanya dan menjalankan ritual agamanya, seperti masyarakat di Brahmanabad. Mereka diizinkan membangun kuil-kuil. Meski demikian, Muhammad bin Qasim tetap menerapkan jizyah untuk rakyatnya. Ia membagi struktur wajib jizyah menjadi tiga: Pertama, kelompok masyarakat kaya mempunyai kewajiban membayar jizyah sebanyak 48 dirham. Kedua, kelompok menengah membayar 24 dirham. Ketiga, kelompok kurang mampu membayar jizyah 12 dirham.
Bin Qasim menjadi gubernur yang menjalankan pemerintahan dengan kemanusiaan yang tinggi. Namun Riwayatnya berakhir tragis akibat pertikaian politik antara Hajjaj dan Sulaiman. Yazid bin Abu Kabshah al Suksuki, penggantinya hanya bertahan selama 18 hari akibat rakyat memberontak. Sedangkan Habib al Muhallaf hanya dapat menguasai Alor. Setelah itu ada 9 orang gubernur tetap yang berkuasa di wilayah itu sampai datangnya Dinasti Ghazni.
Setelah penaklukan Islam ke India, ulama, intelektual muslim, penulis, pujangga, dan sufi berhamburan menuju India. Mereka membuka jalan bagi konversi masyarakat India ke agama Islam. Konversi tersebut biasanya terjadi ketika para ulama dan sufi mendirikan tempat tinggal di sekitar wilayah yang akan mereka pimpin. Biasanya khanaqah didirikan di wilayah pinggiran kota dan kampung, sehingga mereka lebih mudah menyeru kepada kalangan masyarakat kasta bawah.
Peranan waliyullah dan sufi dalam menyiarkan agama Islam di tanah India sangat besar yang ditunjukkan dengan banyaknya jumlah mereka yang datang ke India. Mereka termasuk golongan pertama yang menyebarkan agama Islam sebelum Islam masuk ke India secara formal.
Setelah Muhammad Ghuri menaklukkan India Utara, lebih banyak lagi sufi dan ulama masyhur datang ke India. Mereka terbagi dalam tarekat-tarekat, di antaranya tarekat Suhrawardia dan Chistia. Pendiri tarekat Suhrawardi adalah Sheikh Abu Najib Suhrawardi (1097-1162 M). Tarekat ini berkembang pesat dan sangat populer di India masa Shihabuddin Suhrawardi. Di antara murid Shihabuddin yang terkenal adalah Sheikh Bahauddin Zakaria (1182-1267 M), yang menyebarkan tarekat ini di India. Ia mendirikan Astana/Khanqah (semacam pondok sufi/ahli tarekat) di kota Multan yang dijadikan sebagai pusat kegiatannya. Murid Sheikh Suhrawardi lainnya yang terkenal adalah Sheikh Jalaluddin Tabrizi. Ia datang ke India sekitar 1202-1215 M.
Sufi terkemuka lainnya adalah Khaja Muinuddin Chisti, pendiri tarekat Chistia. Ia lahir di Sijistan. Setelah beberapa negeri dikunjungi, Ia datang ke India pada tahun 1182 M bersamaan dengan Muhammad Ghuri. Beberapa lama kemudian Chisti mendirikan khanqah di Ajmir. Pengaruhnya mengislamkan India sangat besar sehingga orang-orang India menyebutnya Khaja Baba dengan gelar Sultan-e-Hind (penguasa India secara spiritual).
Selain yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi alim ulama dan sufi yang datang ke India baik sebelum maupun semasa Kesultanan Delhi 1206-1526 M seperti Shah Sultan Mahiswar, Fariduddin Ganj-e-Shakar (1176-1269 M), Sheikh Bahauddin Zakaria, Sheikh Nizamuddin Aulia, Sheikh Saifuddin Yahya Maneri, Sheikh Nur Qutubul Alam.
Ajaran dan praktek sufi sejalan dengan konsep metafisika Hindu tentang semesta alam. Selain itu monoteisme kaum sufi juga bukanlah hal yang baru bagi Hindu, sebab tradisi saivite dan vaisanavite mengandung kecenderungan monoteistik. Pada sisi yang lain beberapa klaim para guru besar sufi untuk menjadi wujud nyata bagi kekuasaan Tuhan sebanding dengan politeisme Hindu. Bahkan kaum sufi tidak sepenuhnya menolak pemujaan terhadap dewa-dewa lokal dan berdampingan dengan peribadatan Islam. Di Punjab dan Bangla, umat Islam turut memperingati berbagai perayaan Hindu, beribadah di beberapa tempat suci Hindu, memberikan sesajen kepada dewa-dewa Hindu, dan menyelenggarakan perkawinan dengan pola tradisi Hindu. Di pihak lain, warga Hindu yang memeluk Islam tetap mempertahankan unsur-unsur keyakinan dan praktek lama mereka. Tidak sedikit warga Hindu mengeramatkan wali-wali muslim tanpa mengubah identitas agama mereka. Sekalipun cukup berhasil dalam konversi warga Hindu ke Islam, mayoritas penduduk anak benua ini tetap beragama Hindu sampai berdirinya Dinasti Mughal.
Demikianlah gambaran umum kultur keagamaan, di mana batas-batas antara Islam dan Hindu lebih fleksibel. Konversi ke agama Islam merupakan suatu hal yang tidak jelas, di mana unsur-unsur keislaman bisa jadi ditambahkan kepada kompleksitas keyakinan agama Hindu tanpa mengubah pandangan dunianya.
B. Kebijakan Keagamaan Penguasa Mughal sebelum Aurangzeb
1. Babur
Kemenangan Babur (1526-1530 M) pada perang Panipat I 21 April 1526 M, menjadikannya pendiri Dinasti Mughal. Saat Ia menginvasi India pada tahun yang sama, tidak ada kekuatan yang bisa menyatukan wilayah itu. Secara politik, tercatat beberapa negara merdeka yang memerintah secara independen yaitu: Delhi, Gujarat, Malwa, Bangla, Mewar, Khandesh, Punjab, dan Sind.
Masa pemerintahan Babur yang singkat, belum memberikan perubahan berarti bagi India. Ia masih mengadopsi sistem yang digunakan kesultanan Delhi dalam administrasi pemerintahan. Namun demikian, Babur adalah penguasa yang besar. Kekuasaannya terbentang dari Bhera (Bahra) di barat hingga Bihar di timur dan dari Himalaya di utara hingga Chanderi di selatan.
Sebagai raja, Babur berusaha untuk mensejahterakan rakyatnya dan melindunginya dari segala ancaman internal maupun eksternal. Ia justru dikenal sebagai seorang raja yang gemar menulis, terutama puisi dalam bahasa Turki dan Persia. Ia bahkan menulis biografi dan berbagai pengalamannya dalam karyanya Tuzk-e-Baburi yang terkenal dengan Babur Name/Nama. Memoirnya ini ditulis pertamakali dalam bahasa Turki, kemudian diterjemahkan dalam bahasa Persia oleh Abdurrahman Khan-e-Khana atas perintah Akbar.
2. Humayun dan Sher Shah
Babur wafat dalam usia 46 tahun. Jasadnya dimakamkan di Char Bagh/Aram Bagh di Agra, namun kemudian dipindahkan ke Kabul di taman yang sangat disukainya, kebun Shah-e-Kabul. Sebelum wafat, Ia menunjuk Humayun sebagai penggantinya dan naik tahta pada 30 Desember 1530. Awal pemerintahannya penuh dengan kesulitan, yakni warisan pemerintahan ayahnya yang lemah dan pemberontakan saudara-saudaranya yang berambisi menjadi raja. Selain itu, kekalahan pasukan Afghan pada perang Panipat II 1556 M dan Gogra, tidak melemahkan eksistensi mereka.
Humayun dapat dikalahkan oleh Sher Khan pada perang Chausa dan Qanauj. Kemenangan itu praktis diikuti dengan berdirinya Dinasti Sur di India. Meskipun pemerintahan Sher Khan merupakan masa transisi di India dan hanya berlangsung lima tahun, namun dicatat dengan tinta emas dalam sejarah. Ia memperkenalkan pembaruan dalam berbagai bidang.
Sher Khan adalah muslim yang taat, namun tidak fanatik. Pengangkatan Brahmajit Gaur dan Ram Singh pada jabatan penting adalah bukti kebijakan keagamaannya yang toleran dan liberal kepada Hindu. Kebijakannya yang lain adalah membangun sarai khana (rumah singgah yang biasa dibangun di pinggir jalan bagi para musafir) tidak hanya untuk kalangan muslim, namun juga pemeluk agama-agama lain. Sher Khan (Shah) merupakan satu-satunya penguasa yang berusaha mempersatukan India, tanpa membedakan ras dan agama. Kebijakannya inilah yang nantinya diterapkan Akbar dalam pemerintahannya.
Sepeninggal Sher Shah, 22 Mei 1545, Jalal Khan, putranya naik tahta dengan gelar Islam Shah. Ia hanya memerintah selama delapan tahun. Kebijakannya yang sangat represif memunculkan banyak pemberontakan sampai Ia wafat. Tercatat pada masanya muncul gerakan Mahdawi.
Firuz Khan kemudian naik tahta, namun dibunuh oleh pamannya, Muhammad Adil Shah. Kondisi perebutan kekuasaan antar penerus Sher Shah di India dicermati oleh Humayun. Pada Desember 1554, Ia menyeberang Sungai Indus, menuju Lahore dan menguasainya tanpa perlawanan. Dengan demikian Humayun dapat berkuasa kembali di Delhi.
Humayun dikenal sebagai seorang Syiah, meskipun demikian Ia mempunyai kecenderungan terhadap tarekat Sattariah, dengan tokohnya Sheikh Bahlul (Sheikh Pul) dan Sheikh Muhammad Ghauth Gwaliori, keturunan Farid al Din Attar.
Humayun meninggal 24 Januari 1556 M.
3. Akbar
Ketika ayahnya meninggal, Akbar berada dalam asuhan Bairam Khan. Akbar dinobatkan sebagai raja pada 14 Februari 1556 M, namun pemerintahan dipegang oleh Bairam Khan selama empat tahun (1556-1560 M). Pemerintahan baru dikendalikan oleh Akbar sejak 1560 M. Ia menyadari bahwa karakteristik India sangat plural, sehingga harus memperoleh dukungan dari penduduk lokal yang mayoritas Hindu. Untuk itu Ia menikahi anak raja Bihar Mal (Bharmel) Amber/Jaipur pada 1562 M. Akbar juga menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang pemimpin dengan melarang perbudakan tawanan perang, menghapuskan pajak kunjungan ke tempat suci pada 1563 M dan menghapuskan jizyah pada 1564 M.
Pernikahan Akbar dengan wanita Rajput dan kedekatannya dengan Shaikh Mubarak sangat mempengaruhi pandangan keagamaannya. Ia mendirikan Ibadat Khana. Pada awalnya Ia mendiskusikan tentang Islam, namun kemudian merasa kecewa karena Ibadat Khana berubah menjadi pertengkaran agama. Makhdumul Mulk dan Abdun Nabi, dua teolog besar istana, saling menyerang satu sama lain. Akbar kemudian mengundang rohaniawan gereja pada 1580 M, mengundang Maherje Rana, pemuka Zoroaster, Jaina, dan pendeta Hindu untuk berdiskusi tentang filsafat dan agama. Akan tetapi Akbar tidak murtad dan memeluk salah satu dari agama itu.
Kemudian Akbar mengeluarkan Mahzar (Infallibility Decree) pada September 1579 M. Dengan keluarnya dokumen ini Akbar memperoleh pegangan yang sah untuk menetapkan persoalan agama. Batasan-batasan yang telah ditetapkan pada dokumen itu lalu tidak dihiraukan, Akbar justru menjadi otoritas tertinggi yang kekuasaannya tidak terbatas.
Pada puncaknya Akbar memperkenalkan Din-e-Ilahi pada 1582 M, yakni semacam sintesis dari berbagai macam agama, karena Ia menganggap semua agama adalah sama, perbedaannya hanya terletak pada bentuk formalnya saja. Konsep pokok dari Din-e-Ilahi adalah perhatian kepada cahaya, baik matahari, maupun api abadi yang dikembangkan agama Zoroaster. Din-e-Ilahi juga disebut kultus pribadi yang sesat, di mana Akbar mengasumsikan dirinya sebagai insan kamil, manusia sempurna yang telah lama dinanti-nantikan.
Dari berbagai konsep dan ajaran yang dikembangkan dalam Din-e-Ilahi, beberapa penulis menganggap bahwa Akbar telah keluar dari Islam dan membentuk agama baru dengan Din-e-Ilahi tersebut. Pendapat ini disandarkan pada tulisan Badauni yang sangat memusuhi Akbar. Akan tetapi beberapa penulis lain membantahnya. Din-e-Ilahi lebih sebagai sistem etika dan wadah sosial keagamaan daripada sebuah agama. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya anggata Din-e-Ilahi yang berjumlah delapanbelas orang, namun hanya satu yang beragama Hindu.
Pada masa Akbar, muncullah Sheikh Ahmad Sirhindi (1564-1624 M) sebagai penentang keras kebijakan keagamaan Akbar. Ia dikenal juga sebagai Mujaddid-e-Alfi-Tsani, yang berarti pembaharu dunia Islam millennium kedua. Kehidupan Sirhindi terbagi menjadi dua fase. Pertama, fase prasufi dimana Ia menulis karya layaknya sarjana pada masanya yang menentang paham Syiah dan membuktikan pentingnya kenabian. Kedua, fase sufi, dialaminya ketika Ia menghasilkan karya yang diliputi nuansa spiritual.
Penentangan Sirhindi atas kebijakan keagamaan Akbar dapat diketahui melalui surat-suratnya yang dikirim ke Sheikh Farid. Surat yang dihasilkan Sirhindi sekitar 534 dan dikirimkan kepada hampir dua ratus orang bangsawan Mughal. Koleksi surat-surat Ahmad Sirhindi dikenal dengan Maktubat-e-Imam-e-Rabbani. Surat-surat tersebut berisi pandangan Sirhindi tentang posisi umat Islam di masa Akbar yang menurutnya sangat memprihatinkan.
Setelah berakhirnya masa pemerintahan Akbar, Sirhindi mendapat posisi terhormat dan dekat dengan Jahangir hingga wafatnya pada 1624 M dalam pengasingannya. Diperkirakan, kedekatan Sheikh Ahmad dengan Jahangir nantinya sangat mempengaruhi kebijakan keagamaan yang cenderung mendukung kaum ortodok Islam.
4. Jahangir
Akbar digantikan oleh putranya, Salim yang bergelar Nur al Din Muhammad Jahangir Padshah Ghazi. Jahangir tidak melanjutkan gagasan Din-e-Ilahi ayahnya. Pengaruh ajaran Din-e-Ilahi hilang bersamaan dengan wafatnya Akbar. Hal ini terjadi karena Akbar memang hanya sebagai penggagas berdirinya Din-e-Ilahi. Ia tidak mengangkat orang-orang yang akan meneruskan dan mempropagandakan gagasannya itu, selain juga masyarakat umum kurang bisa memahami dan mengapresiasi pemikiran Akbar.
Dalam pemerintahannya, Jahangir hanya melanjutkan beberapa tradisi yang dilakukan masa Akbar seperti sijda. Praktek ini masih tetap dipertahankan kala menghadap raja di istana. Selanjutnya sebagai raja baru, Jahangir mengambil langkah strategis dengan membebaskan tawanan perang, berjanji melindungi ajaran Islam, memberi amnesti kepada musuh-musuhnya, dan mengangkat pendukungnya pada jabatan penting. Kebijakannya paling menarik adalah mengeluarkan duabelas fasal dan dikenal dengan Dastur-e-Amal, yang isinya sebagai berikut :
1. Larangan pemungutan zakat
2. Peraturan (hukuman) tentang perampokan dan pencurian di jalan raya.
3. Warisan bebas harta benda orang yang sudah meninggal
4. Larangan penjualan minuman anggur dan semua minuman yang memabukkan
5. Larangan mengambil hak milik orang lain dan pemotongan hidung se rta telinga para kriminal
6. Larangan pemilikan harta benda yang diambil secara paksa
7. Membangun rumah sakit dan pengangkatan dokter untuk mengobati orang sakit
8. Larangan menyembelih binatang pada hari-hari tertentu
9. Penghormatan yang diberikan untuk hari Minggu
10. Penegasan umum tentang nawab (penguasa daerah yang berdaulat) dan jagirdar (tuan tanah)
11. Penegasan tentang tanah-tanah aima (tanah yang diserahkan untuk tujuan shalat dan pemujaan)
12. Pemberian amnesti untuk semua tahanan yang ada di benteng maupun dalam penjara
Selain mengeluarkan fasal-fasal di atas, Jahangir melanjutkan tradisi ayahnya berdiskusi tentang filsafat dan agama dengan para ulama: Sheikh Abdul Haq Muhaddis (w. 1642 M), Sheikh Mi’an Mir (w. 1635 M), dan Kazi Nasir Burhanpur (w. 1621 M). Meskipun demikian, ulama tidak mempunyai otoritas hukum. Kontribusi ulama hanya terbatas pada penyebaran dan pengajaran agama.
Ia melarang wanita muslim masuk Hindu di Mirpur, Rajauri, Jammu. Berbeda dengan ayahnya Ia merusak kuil Hindu Varaha di Pushghar. Pada 1617 M, membersihkan ajaran Jaina dari wilayahnya. Hal ini dipicu oleh dukungan Man Singh Suri kepada Rai Singh Bikaner untuk mendukung pemberontakan Khusru.
Jahangir lebih ortodox daripada ayahnya. Namun pandangannya ini tidak mudah akibat kuatnya pengaruh Syiah, terlebih setelah pernikahannya dengan Mehr-un- Nisa.
5. Shah Jahan
Anak Jahangir, Shah Jahan, menjadi raja pada 6 Februari 1628 dengan gelar Abu al Muzaffar Shabab al Din Muhammad Sahib Qiran-e-Sani Shah Jahan Padshah Ghazi. Ia mempunyai rasa keagamaan yang sangat tinggi. Ia berusaha menghidupkan kembali semangat keagamaan yang mulai padam dengan mengeluarkan beberapa dekrit. Pertama, dengan memperbaiki sistem kalender. Menurutnya kalender yang didasarkan atas peredaran matahari merupakan bid’ah, karena itu dihentikan pemakaiannya. Semua kejadian penting dan transaksi-transaksi harus dicatat menurut tahun qamariah (lunar). Shah Jahan dalam pandangan keagamaan lebih ortodok daripada nenek moyangnya. Ia tidak memberikan kesempatan sama sekali terhadap praktek-praktek yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti sijda, yang telah menjadi model di masa Akbar dan Jahangir. Atas inisiatif Mahabat Khan, digantilah sijda dengan zaminbos (mencium tanah), namun akhirnya praktek ini juga dihapuskan karena esensinya tidak berbeda dengan sijda.
Pada tahun 1633 M, Shah Jahan mengeluakan perintah untuk merusak seluruh kuil yang baru didirikan di seluruh penjuru wilayahnya, terutama di Benaras. Perintah itu diikuti dengan larangan pendirian kuil baru maupun memperbaiki kuil lama. Sejumlah tujuh puluh enam kuil dihancurkan.
Masa Shah Jahan, di beberapa daerah seperti Punjab, Kashmir, dan Gujarat, umat Hindu dan Muslim telah hidup berdampingan secara damai. Di antara mereka juga telah melakukan perkawinan antar agama dengan perjanjian yang ketat. Di Bhimbar, telah terjadi pernikahan antara anak perempuan dari keluarga Hindu dengan pria Muslim. Jika mereka mati, maka mayatnya harus dimakamkan secara Islam. Sebaliknya, pernikahan antara pria Hindu dengan muslimah, jika ajal menjemput, mereka akan dikremasi secara Hindu. Oleh karena itu, Shah Jahan melarang praktek ini pada 1634 dan memerintahkan agar memulangkan seluruh anak gadis Islam (muslimah) yang dinikahi pemuda Hindu, karena pernikahan mereka terjadi di bawah tekanan.
Selain hal di atas, Shah Jahan juga tidak lagi mempekerjakan orang-orang Hindu di istananya. Padahal masa Akbar, tidak sedikit orang Hindu yang menduduki jabatan penting dalam pemerintahan. Pada tahun 1594 M, Akbar mempunyai delapan menteri Hindu dari duabelas menteri di duabelas propinsi seperti: Baghwan Dass, Man Singh, Rai Sing,Todar Mal, dll.
Dalam sejarah India Shah Jahan dikenal sebagai penguasa yang adil, hingga ia mendapat julukan Shahanshah-e-adil. Dengan demikian tulisan R.R. sethi, P. Saran, dan Bhandari tentang perusakan puluhan kuil oleh Shah Jahan, yang telah disebutkan sebelumnya, tidak benar. Menurut Sri Rham Sharma, penghancuran kuil pada periode Shah Jahan memang terjadi, namun hanya berlangsung pada masa awal pemerintahannya dan saat terjadi perang dengan Hindu. Perusakan kuil tidak pernah terjadi lagi semenjak paruh ke dua pemerintahannya.
Pemerintahan Shah Jahan seringkali dianggap sebagai masa keemasan bagi Mughal. Periode ini ditandai dengan meratanya kesejahteraan rakyat dan kemegahan arsitektur sepeti Taj Mahal, Masjid Moti, Diwan-e-aam, Diwan-e-khas, Jami Masjid, dan Peacock Throne (tahta merak). Meski demikian pemerintahan Shah Jahan berakhir tragis dengan munculnya perang suksesi di antara putra-putranya pada September 1657 M.
BAB III
KEBIJAKAN KEAGAMAAN SULTAN AURANGZEB
Kebijakan penguasa sebelum Aurangzeb yang begitu toleran, bahkan cenderung tidak bisa menghilangkan praktek-praktek heretik menyadarkan Aurangzeb untuk mengeluarkan kebijakan keagamaan yang berbeda dengan para pendahulunya. Aurangzeb berusaha mewarnai pemerintahannya dengan nuansa Islam yang kental. Sebelum membahas tentang kebijakan keagamaan Aurangzeb, dalam bab ini akan dibahas terlebih dahulu tentang biografi Aurangzeb, pokok kebijakan keagaman, dan respon masyarakat Hindu atas kebijakan Aurangzeb.
A. Biografi Aurangzeb
1. Aurangzeb Sebelum Menjadi Sultan
Aurangzeb, putra ke-3 Shah Jahan dan Mumtaz Mahal. Ia dilahirkan pada 24 Oktober 1618 M di Dohad, perbatasan Gujarat dan Rajputana. Masa kecilnya tidak banyak diketahui, namun layaknya putra raja pada umumnya Ia memperoleh pendidikan kemiliteran dan kesasteraan. Sebagian besar sejarawan hanya menuturkan riwayatnya sejak Ia diangkat Shah Jahan menjadi raja muda Deccan.
Pada 14 Juli 1636 M, saat usianya 18 tahun, Shah Jahan mengangkatnya sebagai raja muda di Deccan (1636-1644 M). Saat itu Aurangzeb menunjukan kepiawaiannya sebagai pemimpin. Ia berhasil merebut Baglana, yang terbentang dari Khandesh hingga Pantai Surat. Selain itu juga mampu menundukkan Shahji Bhonsla. Keberhasilan Aurangzeb membuat Dara, kakak tertuanya, iri. Dara menekan Shah Jahan untuk menyerang Aurangzeb, sehingga Ia memutuskan untuk meletakkan jabatan pada Mei 1644 M.
Di sela-sela kesibukannya dalam penaklukan, Aurangzeb kembali ke Agra pada 1637 M untuk melangsungkan pernikahan dengan Dilraz Banu Begum, anak Shah Nawaz Persia. Kemudian dalam sejarahnya, Aurangzeb juga menikah lagi dengan tiga wanita lain. Isteri pertamanya seorang wanita Rajput, menjadi ibu Muhammad, Mu’azzam, dan seorang anak perempuan; isteri ke duanya seorang bangsawan Persia, ibu dari A’zam, Akbar, dan dua anak perempuan; isteri ke tiganya tidak banyak disebutkan dalam sejarah; dan isteri ke empatnya, Udaipur Bur, seorang Kristen Nestorian yang menjadi ibu Kam Bakhs.
Dari pernikahannya Aurangzeb dikaruniai lima anak laki-laki dan lima anak perempuan. Putra pertamanya, Muhammad Sultan (lahir 4 Ramadhan 1049 H/14 November 1639 M) dan putra ke duanya, Muhammad Mu’azam Shah Alam Bahadur (lahir September 1643 M). Ibu dari kedua putra tersebut adalah Nawab Bai. Berikutnya Muhammad A’zam (lahir 12 Sa’ban 1063 H/28 Juni 1653 M) dan Akbar (lahir 12 Dzulhijah 1067 H/12 September 1656 M) dari Ibu Dilraz Banu Begum. Muhammad Kam Bakhs, putra terakhir (lahir 10 Ramadhan 1077 H/25 Februari 1667 M) dilahirkan oleh Udaipur. Anak perempuan tertuanya, Zebun Nisa dilahirkan oleh Begum pada 10 Syawal 1048 M/5 Februari 1639 M. Anak perempuan ke dua, Zinatun Nisa. Ia lahir pada 1 Sa’ban 1053 H/9 0ktober 1643 M. Badrun Nisa Begum, anak perempuan ke tiga dilahirkan oleh Nawab Bai pada 29 Syawal 1061 H/17 November 1647 M. Berikutnya Zubdatun Nisa Begum lahir 26 Ramadhan 1061 H/1 September 1651 M dan Mihrun Nisa Begum. Lahir 3 Safar 1072 H/13 September 1661 M.
Selanjutnya pada Februari 1645, Aurangzeb diangkat menjadi raja muda Gujarat atas peran Jahan Ara Begum. Ia memegang jabatan itu hingga 1647 M saat harus mengkonsolidasikan kekuatan Mughal di Asia Tengah meski gagal. Kegagalan ini terjadi karena kekuatan tentara Shah Abbas II Persia sangat tangguh.
Aurangzeb kembali menjadi raja muda Deccan pada 1653 M. Saat itu kondisi Deccan sedang mengalami kemunduran dan defisitnya keuangan. Aurangzeb mampu mengatasi kesulitan itu dengan bantuan Murshid Kuli Khan, dengan menggunakan sistem Todar Mal dalam pengukuran tanah, dan membagi Deccan menjadi dua bagian, Painghat (dataran rendah) dan Balaghat (dataran tinggi) dengan pejabat pengumpul pajak masing-masing.
Setelah mengatasi kondisi internal Deccan, Aurangzeb memusatkan perhatiannya untuk menaklukkan Golkunda dan Bijapur karena tidak lagi mengakui kekuasaan Mughal. Pada 1656 M, Golkunda dapat ditaklukkan bersama dengan Mir Jumla Langkah selanjutnya menaklukkan Bijapur, namun usahanya ini dihalang-halangi oleh ayahnya. Meskipun demikian, Bijapur membayar upeti kepada Mughal dan menyerahkan Bidar, Kalyani, dan Parendra.
Ketika Aurangzeb akan menumpas Shivaji pada September 1657 M, tersiar kabar Shah Jahan sakit keras. Sejak saat itulah muncul perang perebutan kekuasaan di antara keempat putra Shah Jahan. Perang ini timbul akibat kebijakan Dara yang sangat represif kepada saudara-saudaranya, di samping tidak adanya undang-undang yang mengatur tentang suksesi. Ketika ayahnya sakit, Dara menutup jalan dan sarana komunikasi ke Bangla, Gujarat, dan Deccan, agar berita tentang ayahnya tidak sampai ke telinga saudara-saudaranya. Diperintahkan pula kepada tentaranya untuk menyerang mereka sebelum sampai ibukota.
Putra Aurangzeb yang pertama kali melakukan kudeta adalah Shuja, Gubernur Bangla. Pada September 1657 M Ia memproklamirkan diri sebagai raja di Rajmahal, namun tentaranya dapat dikalahkan oleh Sulaiman Sukoh. Sebulan kemudian Murad, Gubernur Bangla mendirikan pemerintahan independen di Ahmadabad. Sementara itu Aurangzeb mengurungkan niatnya mengadakan konsiliasi dengan Bijapur dan Golkunda. Ia memutuskan bergabung dengan tentara Murad dan bersepekat membagi kerajaan antar mereka dengan perjanjian sebagai berikut: pertama, ⅓ (sepertiga) hasil rampasan perang akan menjadi milik Murad dan ⅔ (dua pertiga) lainnya akan menjadi hak Aurangzeb; ke dua, Punjab, Afghanistan, Khasmir, dan Sind akan menjadi wilayah kekuasaan Murad.
Gabungan pasukan Aurangzeb dan Murad berhasil mencapai Dharmat. Melihat kondisi ini, Dara mengirimkan Raja Jaswant Singh Jodhpur dan Qasim Khan untuk menghancurkan mereka. Perang Dharmat dimenangkan kubu Aurangzeb. Kekuatan Dara pun dapat dikalahkan Aurangzeb pada Mei 1658 M di Samugarh. Setelah kemenangannya ini Aurangzeb segera menuju Agra dan memenjarakan ayahnya pada 18 Juni 1658 M. Hal ini dilakukan demi keselamatannya. Surat Shah Jahan kepada Murad dan Muhammad menjadi bukti ketidaksenangan Shah Jahan kepada Aurangzeb. Shah Jahan memerintahkan kepada mereka untuk menurunkan Aurangzeb dari tahta, agar Dara dapat menjadi raja.
Aurangzeb kemudian mengangkat dirinya sebagai raja, namun Ia belum dapat menikmati kemenangannya. Dara memperkuat pasukannya dan hendak menuju Agra, namun Ia dapat dieksekusi pada 15 September 1659 M. Eksekusi Dara dianggap tidak bertentangan dengan agama, sebab Dara anti Islam dan dianggap telah kafir. Ia sangat dekat dengan mistisime Hindu. Sebagian besar waktunya dihabiskan dengan para brahmana dan sanyasis (semacam para sufi). Ia mengumpulkan brahmana dari seluruh penjuru negeri untuk mempelajari Hindu. Oleh karena itu tidak mengherankan jika dalam karyanya, Majma-e-Bahrain membandingkan sufisme dengan Hindu. Begitu juga dengan Sirr-e-Akbar atau Sirr Asrar yang memuat terjemahan Uphanisad dalam bahasa Persia. Lebih jauh lagi Dara memakai gelar Prabhu seperti layaknya raja-raja Hindu.
Shuja juga mengalami nasib yang sama dengan Dara. Setelah dikalahkan Aurangzeb di Khajwa, dekat Allahabad pada 1658 M, Ia melarikan diri ke Arakan dan terbunuh di sana. Pada 1661 M, Murad yang termasuk salah satu saudara Aurangzeb juga dituntut hukuman mati. Kematian Murad bukan bermotif politik, namun kematian sebab qishas. Pada awalnya Ia bergabung dengan Aurangzeb untuk menumpas musuh agama (Dara), tetapi kemudian Ia melakukan konspirasi dengan ayahnya untuk menggulingkan Aurangzeb. Ia lalu dipenjarakan di Gwalior. Sementara hal yang menyebabkan Murad dihukum qishah adalah terbunuhnya Ali Naqi, diwan Ahmadabad di tangannya. Ahli waris Ali Naqi menginginkan kematian Murad.
Aurangzeb lalu naik tahta yang ke dua kalinya pada 5 Juni 1659 M, dengan gelar Abu al Muzaffar Muhid al Din Muhammad Aurangzeb Alamghir Padshah Ghazi. Saat itu usianya sekitar empat puluh tahun, usia yang cukup matang dan penuh pengalaman. Seperti pendahulunya, Ia segera memperbaiki kesejahteraan rakyatnya dengan menghapuskan berbagai pajak yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Kemenangan Aurangzeb menandai pula kemenangan Islam.
2. Setelah Menjadi Sultan
Masa pemerintahan Auragzeb setelah memperoleh kedudukan sultan dibagi menjadi dua periode, tahun 1658-1681 M Ia memerintah di India Utara (Delhi dan Agra) dan 1682-1707 M memerintah di Deccan. Pada pemerintahannya yang ke dua ini lebih banyak dihabiskan dalam pertempuran-pertempuran. Awal pemerintahannya di utara, Aurangzeb harus menghadapi pemberontakan Ahoms di perbatasan Timur Laut dan bangsa Afghanistan di Barat Laut.
a. Assam (Asham)
Pertempuran terbesar pertama Aurangzeb setelah menjadi raja adalah invasi ke Assam yang sejak masa perang suksesi mengambil keuntungan dengan merebut Kamrup. Assam dihuni oleh Ahoms dan Kuch Bihar. Ahoms merupakan keturunan Mongol yang migrasi dari tempat asalnya di Burma menuju ke lembah Brahmaputra pada abad XIII M. Secara bertahap mereka lantas mengadopsi agama dan kebudayaaan Hindu. Wilayah kekuasaan mereka semakin meluas terbentang dari Sungai Barnadi di Barat Laut hingga Sungai Kalang. Pada saat yang bersamaan wilayah Mughal juga berbatasan dengan Sungai Barnadi, maka tidak dapat dielakkan hal ini memicu konflik antara Mughal dan Ahoms memperebutkan daerah perbatasan.
Ahoms dapat merebut Ghauhati pada 1658 M. Untuk menghentikan aksi mereka Aurangzeb mengirim Mir Jumla dan berhasil memasuki Assam. Gurghaon, ibukota Ahoms dapat diduduki Maret 1662 M. Rajanya, Jayadharaj bersedia membayar upeti kepada pemerintahan Mughal tidak hanya berupa uang, tetapi juga berupa emas, perak, dan gajah.
Kemenangan Mughal atas Assam tidak berlangsung lama karena Mir Jumla wafat pada 30 Maret 1663 M ketika hendak kembali ke Dhaka. Pada 1667 M, Chakradhvaj Ahoms berhasil mengambil kembali wilayahnya yang hilang. Peperangan dengan tentara Mughal terus berlangsung selama delapan tahun dan pihak Mughal mengalami kekalahan dan kerugian..
Pengganti Mir Jumla adalah Shaista (Shayesta) Khan, putra Asaf Khan. Ia menjabat sebagai Gubernur Bangla selama tigapuluh tahun, kecuali dari 1677-1680 M. Gubernur baru ini harus menghadapi para bajak laut dari Arakan. Mereka mendapat dukungan dari Portugis, yang datang ke India sejak abad XV M. Semula bangsa Eropa ini datang ke India untuk tujuan dagang, namun selanjutnya supremasi mereka semakin kuat dan tak terbendung oleh kekuatan Mughal.
Armada Portugis pertama yang sampai ke India adalah Vasco Da Gama pada 27 Mei 1498 M, yakni dengan mendaratnya kapal mereka di Calicut. Sementara peletak dasar kekuatan Portugis di India adalah Alfonso de Al bequerque. Ia datang ke India pada 1503 M dan diangkat menjadi gubernur pada 1509 M. Mereka dapat merebut Goa dari tangan Bijapur satu tahun kemudian. Pada tahun-tahun berikutnya, bangsa Portugis berhamburan menuju India. Mereka mendirikan pemukiman di Goa, Daman, Diu, Salsette, Chaul, Bombay, San Thome (daerah sekitar Madras), Madras, dan Hugli di Bangla. Para pendatang Portugis ini lalu menikah dengan penduduk lokal. Keturunan mereka dikenal dengan Firinggi. Mereka lalu berlaku seperti penguasa lokal dan mengambil upeti yang memberatkan penduduk setempat.
Shayesta Khan menyusun strategi untuk mengalahkan para bajak laut Arakan dan musuh negara, Portugis. Angkatan laut Mughal dikerahkan untuk melindungi perairan Dhaka. Selanjutnya Shayesta Khan mengirimkan ekspedisinya ke Chittagong baik melalui darat maupun laut pada 24 Desember 1665 M. Ekspedisi ini dipimpin oleh Buzurg Ummed Khan, putra Shayesta Khan dan Laksamana Ibnu Husain. Chittagong dapat dikuasai dan menjadi daerah Mughal. Namanya kemudian diganti menjadi Islamabad . Kemenangan ini menjadi perlambang runtuhnya kekuatan Arakan. Sehingga sejak 1666 M, masyarakat Bangla terbebas dari tekanan yang dilakukan Arakan.
Shayesta Khan sebagai Subadar (gubernur) Bangla, banyak membawa kemajuan di wilayah ini. Pada masanya, Bangla mencapai kemakmuran di bidang ekonomi, yakni harga beras paling murah sedunia. Sonargaon, ibukota Bangla, sekitar 60 km dari Dhaka (ibukota Bangladesh sekarang) menjadi tempat berkumpulnya para pedagang dari seluruh penjuru dunia.
Seperti Aurangzeb, Shayesta Khan juga menerapkan syariat Islam dalam pemerintahannya. Ia banyak mengislamkan orang-orang India Timur umumnya dan Bangla pada khususnya. Peninggalan Shayesta Khan di Bangla masih dapat dijumpai dan dikunjungi wisatawan mancanegara sampai saat ini, yaitu benteng Lalbagh (Lalbager Killah). Selain itu Shayesta Khan juga banyak mendirikan masjid seperti Chota, Katra, Chawkbazar, Satgumbaz (tujuh kubah), dan Bibi Pari, sehingga sampai sekarang Dhaka dikenal sebagai kota masjid dunia.
b. Perbatasan Afghanistan
Negeri di perbatasan Afghanistan juga berusaha melepaskan diri. Salah satunya Yusufzai, masyarakat yang tinggal di Swat dan Bajaur, Peshawar Utara. Mereka memberontak di bawah komando Bhiku (pengikut setia Dara). Ia berusaha menghidupkan kembali kejayaan nenek moyangnya dengan menobatkan diri sebagai raja yang bergelar Muhammad Shah. Dengan menyeberangi Sungai Indus, Bhiku dapat menginvasi Distrik Hazara dan menghancurkan kekuatan Mughal pada 11 April 1667 M di bawah komando Kamil Khan. Atas kekalahan ini Aurangzeb mengirimkan Shamser Khan satu bulan kemudian.
Pemberontakan Yusufzai disusul oleh suku Afridi di bawah pimpinan Akmal Khan. Ia menyerukan kepada seluruh bangsa Pathan untuk menyatakan perang kepada tentara Mughal. Pasukan mereka semakin kuat dengan bergabungnya Khushal Khan, penyair dan pahlawan Khattak.
Nenek moyang Khushal Khan telah memperoleh hak menjadi pengawas dan pengumpul pajak transportasi untuk wilayah Attock hingga Peshawar. Semula Ia bergabung dengan Aurangzeb melawan Dara, akan tetapi keadaan ini menjadi terbalik ketika Aurangzeb mengeluarkan kebijakan untuk menghapus pajak yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Dengan dihapuskannya pajak transportasi, keluarga Khatak kehilangan sumber pendapatan yang telah mereka nikmati sejak pemerintahan Akbar. Sejak saat itulah Khushal membelot melawan Aurangzeb. Ia lalu dijebloskan ke penjara selama dua tahun. Hal ini semakin menambah kebenciannya kepada Aurangzeb.
Untuk mengembalikan kejayaan Mughal di perbatasan utara, Aurangzeb turun tangan sendiri dengan pergi ke Hasan Abdal (daerah sekitar Peshawar) pada 6 juli 1674 M. Dalam waktu singkat suku-suku Ghuri, Ghilzai, Shirani, dan pasukan Yusufzai dapat ditaklukkan. Keberhasilan ini dilakukan oleh Uighur Khan, jenderal Turki yang sangat cakap. Akhirnya posisi Mughal di Afghanistan semakin kuat pada Desember 1675 M. Amir Khan, putra Khalilullah, kemudian diangkat sebagai Gubernur Kabul yang baru pada 1677 M. Ia berhasil membawahi Afghanistan hingga wafatnya pada 1698 M.
c. Inggris
Aurangzeb tidak hanya menghadapi pemberontakan yang dilancarkan oleh kalangan Hindu, tetapi juga harus berhadapan dengan kekuatan asing, yaitu Inggris.
Inggris tertarik datang ke India setelah mengalahkan armada Spanyol dan laporan tentang kekayaan India dari para pelancong Inggris, Ralph Fitch dan Mildenhall. Maka pada 1660 M, Ratu Elizabeth memberikan izin bagi rakyat Inggris untuk menjalin hubungan dagang dengan India.
Semula armada Inggris datang secara personal dan keuntungannya pun masuk ke kantong personal. Sementara armada ke dua harus berhadapan dengan Belanda yang juga menginginkan monopoli perdagangan di dunia Timur. Kesuksesan armada Inggris baru tercapai pada pelayaran mereka yang ke tiga. James I, Raja Inggris mengutus Kapten Hawkin sebagai dutanya pada 1608 M. Jahangir menerimanya sebagai duta besar dan mengizinkan rombongan dagang Inggris mendiami daerah Surat.
Pada masa ini pengaruh Portugis masih sangat kuat, sehingga mempersulit gerak Inggris. Pada 1612 M, Inggris mampu mengalahkan Portugis di Surat, sehingga sejak saat itu mulai mendirikan pabrik-pabriknya di Surat. Supremasi Inggris semakin kuat ketika James I mengirimkan Thomas Roe ke India.
Konflik pertama Inggris dengan Mughal terjadi pada 1622 M ketika Shayesta Khan mengeluarkan Naya Farman (dekrit baru) tentang pajak yang harus dibayarkan oleh Inggris kepada Mughal. Dekrit baru ini memperbaiki kebijakan Sultan Shuja, pendahulunya, yang begitu murah hati kepada para pedagang asing. Atas kebijakan Sultan Shuja, Subadar Bangla, kongsi dagang Inggris diizinkan untuk mendirikan pabrik di Bangla pada 1652 M dan hanya diwajibkan membayar 3000 Rupee pertahun.
Inggris yang kekuatannya semakin tak terkendali menolak membayar pajak dalam jumlah lebih banyak. Inggris merasa perlu membangun benteng pertahanan di Hugli. Konflik dengan Mughal semakin tajam pada 1686 M ketika mereka berusaha menyerbu pertahanan Mughal di Hugli dan Balasore. Shayesta Khan akhirnya mengusir Inggris dari Hugli, di Calcutta. Job Charnok, salah seorang agen Inggris di Hugli berusaha mengatasi perseteruan dengan mengadakan perundingan bersama Mughal. Hasil perundingan ini, Inggris diperbolehkan membangun kembali pabriknya di Surat.
Kondisi damai Inggris-Mughal hanya berlangsung sesaat. Pada 1688 M, armada laut dikirim dari Inggris di bawah komando kapten William Heath untuk mengambil alih Chittagong. Sayang pasukan mereka dapat dikalahkan, sehingga mereka kembali ke Madras. Akhirnya Inggris berubah menjadi kekuatan imperial di India sejak abad XVIII M dan menjadikan Calcutta sebagai ibukota seluruh India masa kolonial Inggris.
d. Deccan
Deccan (Dakkin, Dak-han) selalu menjadi incaran raja-raja India utara sejak dahulu. Tanahnya subur dan menjanjikan kemakmuran, namun Deccan tidak mudah ditaklukkan. Selain jaraknya yang jauh dari pusat Hindustan, alamnya juga tidak bersahabat. Deccan dikelilingi oleh deretan Pegunungan Vindya dan Saputra, serta Sungai Narbada (Narmada). Selama berabad-abad pegunungan ini menjadi penghalang komunikasi antara utara dan selatan.
Penguasa Muslim pertama penakluk Deccan adalah Alauddin Khalji pada tahun 1306-1307 M dan yang ke dua Muhammad bin Tughlaq (1325-1351 M) dari Kesultanan Delhi. Dengan kecakapannya Ia mampu membawahi Deccan hingga akhir hayatnya. Sepeninggalnya tidak ada pemimpin yang mampu menaklukkan wilayah ini. Deccan menjadi daerah independen di bawah kekuasaan Dinasti Bahmani (748-934 H/1347-1527 M). Pada abad XV M, kekuasaan Bahmani akhirnya mengalami disintegrasi menjadi lima dinasti kecil yakni: Dinasti Imad Shahi di Berar (1490-1574 M), Dinasti Nizam Shahi di Ahmadnagar (1490-1637 M), Dinasti Adil Shahi di Bijapur dan Qutb Shahi di Golkunda, yang didirikan oleh Quli Qutb Shah pada 1512 M.
Pada periode Mughal, Akbar telah melakukan invasi ke selatan dan berhasil mencapai Khandesh, Burhanpur. Ibukotanya kemudian dijadikan daerah pertahanannya di selatan. Tidak lama kemudian Akbar mampu menundukkan Berar, sehingga lebih dari satu abad Deccan menjadi subai Mughal, yang meliputi wilayah Burhanpur dan sekitarnya. Sementara itu pada masa Jahangir, Ahmadnagar melepaskan diri. Mughal tidak berhasil mempertahankan Deccan. Wilayah ini dapat dikuasai kembali oleh Mughal di bawah komando Aurangzeb pada masa Shah Jahan.
Melanjutkan kebijakan para pendahulunya, Aurangzeb juga memusatkan perhatiannya untuk memperluas wilayahnya hingga ke selatan. Kemunduran Bijapur dan Golkunda, bangkitnya nasionalisme Maratha, dan pemberontakan Akbar, semakin memperkuat keinginan Aurangzeb untuk menginvasi Deccan. Jadi secara umum motif penaklukan Aurangzeb ke Deccan dapat dibagi menjadi tiga: aneksasi Bijapur dan Golkunda, memadamkan pemberontakan Akbar dan Sambhuji, serta menumpas nasionalisme Maratha.
Invasi Deccan seringkali dihubungkan dengan paham Sunni-Muslim yang dianut Aurangzeb. Ia dianggap sangat membenci Syiah, sekte mayoritas yang dianut masyarakat Bijapur dan Golkunda. Syiah mulai berkembang pesat di Bijapur sejak pemerintahan Yusuf Adil Shah (1489-1510 M), pendiri Dinasti Bijapur. Paham ini mulai dijadikan sebagai mazhab resmi negara pada masa penggantinya, Ismail Adil Shah (1510-1534 M). Syiah mengalami kemunduran di Bijapur saat pemerintahan Ibrahim I (1534-1558 M). Syiah diterapkan kembali menjadi mazhab negara saat pemerintahan Ali I (1558-1580 M). Seperti halnya Bijapur, Golkunda juga penganut mazhab Syiah. Quli Qutb Shah (1512-1543 M), pendiri dinasti ini memerintahkan kepada para khatib menyebut dua belas imam dalam khutbah shalat Jumat. Tuduhan tentang kebencian Aurangzeb terhadap Syiah seperti dikemukakan di atas tidak benar. Dalam pemerintahan Aurangzeb ternyata tidak sedikit dijumpai orang-orang Syiah yang duduk dalam jabatan penting seperti Mir Jumla dan Murshid Kuli Khan.
Tahun-tahun pertama Aurangzeb di Deccan belum mengalami hambatan berarti hingga sekitar 1680 M. Perhatiannya justru difokuskan ke daerah-daerah perbatasan yang selalu menimbulkan keributan. Kepemimpinan Deccan saat itu dipercayakan kepada orang-orang terdekat Aurangzeb. Untuk wilayah Bijapur, Aurangzeb mengangkat wakilnya berturut-turut sebagai berikut: Jai Singh (1666 M), Bahadur Khan (1676-1677 M) dan Dilir Khan (1679-1680 M). Sedangkan untuk menghadapi suku Maratha, Aurangzeb menyerahkan kepemimpinannya kepada Shayesta Khan (1660-1662 M), Jai Singh (1665 M), Mahabat Khan (1671-1672 M), dan Dilir Khan (1678-1679 M).
Aurangzeb baru menuju Deccan pada 1682 M. Ia menyusun strategi untuk menaklukkan Bijapur dan Golkunda. Pertama, Aurangzeb mengirim Azam untuk menyerang Bijapur, namun Azam tidak mencapai hasil maksimal. Akhirnya Aurangzeb memutuskan menghancurkan Sikandar Adil Shah (penguasa terakhir Bijapur) dengan caranya sendiri. Pada 1686 M, Bijapur dapat dikalahkan dan satu tahun kemudian Golkunda juga dikuasai. Jatuhnya Bijapur dan Golkunda juga diikuti kekalahan Shambuji, purta Shivaji. Pada 1689 M, Raigarh, ibukota Maratha jatuh ke tangan Mughal, sedangkan Shahu, anak Shambuji ditawan di benteng istana Aurangzeb.
Aurangzeb mencapai puncak kemenangannya pada 1696 M. Wilayah kekuasaannya terbentang luas dari Kabul hingga Chittagong dan dari Kashmir hingga Tanjore di Tanjung Comorin. Meski demikian kebijakan Aurangzeb menginvasi Deccan berakhir dengan kegagalan walau Ia berhasil meruntuhkan Bijapur dan Golkunda. Peperangan yang panjang dengan Maratha juga membawa dampak pada kosongnya kas negara. Selain itu seluruh kekuatan sipil maupun militer yang dicurahkan ke selatan, menyebabkan wilayah utara dan tengah terabaikan, sehingga administrasi negara tidak terkontrol dan kualitas para pejabat mulai menurun. Korupsi mulai menggerogoti mental para pejabat.
Pada 1699 M, usia Aurangzeb telah mencapai delapan puluh tahun, namun Aurangzeb masih memimpin peperangan dan pemberontakan. Dalam usianya yang sudah tua itu, menurut Gamelli Carreri, penjelajah asal Italia, Aurangzeb masih mempunyai panca indra yang sehat. Carreri berkesempatan mengunjungi tenda Aurangzeb di Galgala. Sosok Aurangzeb digambarkannya sangat sederhana. Ia selalu memakai pagri (sorban) putih dan ikat pinggang dari sutra yang tidak mahal. Fisiknya tidak terlalu tinggi dan wajahnya yang ditumbuhi oleh jenggot putih selalu mencerminkan keramahan. Sebagian besar waktu Aurangzeb dihabiskan untuk beribadah dan puasa. Dituturkan pula oleh Carreri bahwa Aurangzeb tidur hanya beberapa jam saja dengan alas kulit harimau.
Pada Oktober 1705 M, kesehatan Aurangzeb mulai menurun. Ia lalu memutuskan untuk kembali ke Ahmadnagar pada 20 Januari 1706 M. Di kota ini kesehatannya tidak juga membaik. Demam yang dideritanya bertambah parah dan melemahkan fisiknya, namun dalam kondisi yang demikian Aurangzeb tetap melaksanakan kewajibannya sebagai Muslim. Akhirnya Aurangzeb wafat pada hari Jum’at, 21 Februari 1707 M. Jasadnya dikebumikan di desa Rauza atau Khuldabad, daerah sekitar Daulatabad.
Sebelum meninggal Aurangzeb berwasiat agar pemakamannya dilakukan secara sederhana dan biaya pemakaman diambil dari kekayaan pribadinya. Konon kain mori pembungkus jasadnya hanya seharga 5 Rupee. Wasiatnya yang lain adalah untuk membagikan 3.000 Rupee kekayaannya untuk kaum miskin. Sejumlah uang yang dibagikan itu merupakan hasil penjualan kaligrafi yang ditulisnya.
Dengan wafat Aurangzeb, tidak ada penggantinya yang bisa menandinginya, sehingga tidak lama setelah dia meninggal negeri Hydrabad, Deccan melepaskan diri dari ikatan Delhi pada 1724 M. Bangla dan Oudh juga meyusul melepaskan diri, karena itu wilayah Mughal hanya tinggal Delhi, Agra, Doab, dan wilayah sekitarnya.
Setelah Aurangzeb, Dinasti Mughal diperintah oleh raja-raja yang lemah. Mereka hanya mewarisi kemewahan dan kebesaran dalam istana. Berikut ini raja-raja Mughal setelah Aurangzeb: Bahadur Shah (1707-1712 M), Azim Ash Shan (1712 M), Jahandar Shah (1712-1713 M), Farukhsiyyar (1713-1719 M), Syams al Din Rafi al Darajat (1719 M), Nikusiyar (1719 M), Muhammad Shah (1719-1748 M), Ahmed Shah (1748-1754 M), Alamghir II (1754-1759 M), Shah Jihan III (1760 M), Shah Alam II (1760-1806 M), Akbar Shah (1806-1837 M), dan Bahadur Shah II (1837-1858 M). Raja terakhir ini terusir ke Rangon, Myanmar, dan dikebumikan di sana
B. Pokok-pokok Kebijakan Keagamaan Aurangzeb
1. Pengangkatan Muhtasib dan pembaruan kalender
Kebijakan keagamaan Aurangzeb dimulai dengan pengangkatan muhtasib pada 1658 M. Ia menyusun pola baru yang menyangkut masalah moral masyaraka. Ia mengangkat muhtasib, untuk menegakkan kehidupan religius di masyarakat. Namun ternyata peran muhtasib belum maksimal. Masih terdapat perjudian dan minuman keras yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi di rumah para bangsawan. Meski demikian, Aurangzeb berusaha keras menekan laju perjudian, prostitusi, minuman keras, dan peredaran narkotika. Langkah selanjutnya, dihapuskannya kalender berdasarkan peredaran matahari (syamsiah) yang diganti dengan kalender bulan. Kalima (penggalan syahadat yang ditulis pada sisi mata uang) yang sudah dipraktekkan turun menurun juga dihapuskan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari penyalahgunaan orang yang tidak menyukai Islam.
2. Larangan Musik
Pada 1668 M musik tidak pernah terdengar lagi di istana Aurangzeb. Seluruh musisi dan penyanyi dipensiunkan. Padahal Babur dan Humayun, nenek moyangnya sangat menyukai musik. Musik menjadi bagian penting di istana. Babur dan Humayun sendiri menulis musik. Humayun bahkan mempunyai kebiasaan mendengarkan musik dua kali dalam seminggu, setiap hari Rabu dan Minggu. Apresiasi terhadap musik semakin meluas di masa Akbar. Ia mendatangkan musisi Hindu, Iran, Turan, dan Kashmir baik laki-laki maupun perempuan ke istananya. Mian Tansen (seorang Hindu Gwalior yang masuk Islam) salah satu musisi kenamaan masa Akbar. Deretan musisi ini dilengkapi oleh nama Ram Das dan Bauja Bawra. Jahangir dan Shah Jahan juga sangat menyukai musik. Mereka suka menyanyi dan menulis lagu sendiri. Lal Khan (menantu Tansen), Jagannath, Janardan Bhatta, dan Mahopattar merupakan musisi yang penuh dengan talenta masa ini.
3. Perusakan kuil
Aurangzeb mulai melarang berdirinya kuil baru dan merusak kuil yang sudah berdiri pada 10 Maret 1659 M. Bahkan jauh sebelum itu, saat menjabat sebagai Gubernur di Gujarat Ia tidak hanya menghancurkan kuil baru Chintaman di Saraspur. Kuil yang lain juga tidak luput dari penghancuran. Ketika Ia menjabat sebagai gubernur di Deccan untuk yang kedua kalinya, juga merobohkan kuil Khande Rao di perbukitan selatan Aurangabad. Pada puncaknya, setelah Ia menjadi raja mengeluarkan perintah yang tidak memperbolehkan pemugaran kuil kuno. Para gubernur di seluruh propinsi diperintahkan untuk merobohkan sekolah-sekolah serta menghentikan pengajaran Hindu pada 19 April 1669 M. Tempat yang dianggap keramat oleh umat Hindu juga menjadi sasaran penghancuran. Pada masa pemerintahannya tercatat enam puluh enam kuil diruntuhkan di Amber dan 239 kuil di Udaipur dan Chitor selama berlangsung perang dengan Rajput. Ia menghancurkan kuil Bishanath di Benares dan Kuil Keshava Deva di Mathurra, yang dibangun raja Bir Singh Bundela dengan biaya 33 lakh Rupee.
Menurut K. Ali, kebijakan Aurangzeb di atas tidak mempunyai bukti mendasar. Surat Aurangzeb kepada Abul Hasan, Gubernur Benares menunjukkan Ia seorang yang toleran. Perintahnya yang sebenarnya adalah, melarang merusak kuil lama dan mendirikan kuil baru di wilayah Islam. Bukti kebijakannya yang toleran diperkuat oleh kunjungan Alexander Hamilton pada akhir masa pemerintahan Aurangzeb. Ia menyatakan bahwa: Everyone is free to serve and worship God in his own way.
Dekrit yang dikeluarkan oleh Aurangzeb sebenarnya demi kesejahteraan rakyat dan untuk semua golongan, seperti yang tercantum pada Waqi Alamghir. Ia menetapkan kebijakan dalam pemerintahannya sesuai dengan aturan agama tentang toleransi, yakni melarang mendirikan kuil baru di wilayah Muslim dan menghancurkan kuil-kuil kuno, melarang mengganggu para brahmana atau kalangan Hindu, memberikan kebebasan beragama dan bekerja. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebijakan Aurangzeb tidak merugikan umat Hindu. Aurangzeb lebih menekankan kebijakannya pada pemberantasan bid’ah yang terjadi di kalangan umat Islam.
4. Pajak (Jizyah)
Pada 12 April 1679 M, Aurangzeb memerintahkan agar jizyah diberlakukan kembali pada non-muslim. Jizyah wajib dibayarkan berdasarkan tingkat strata sosial dan jumlah pendapatan. Untuk orang kaya, jizyah ditetapkan sejumlah 48 dirham, golongan menengah sebesar 24 dirham, dan untuk rakyat miskin 12 dirham. Kebijakan untuk rakyat miskin, membayar jizyah hanya jika kebutuhan pokok mereka telah terpenuhi. Wanita, anak-anak di bawah 14 tahun, dan pengemis dibebaskan dari jizyah. Sedangkan orang buta, pincang, dan gila membayar jizyah jika mereka termasuk orang kaya.
Akibat penghapusan beberapa pajak yang tidak sesuai dengan hukum Islam, praktis membawa dampak kosongnya pendapatan negara, sehingga Aurangzeb menerapkan kembali jizyah setelah memerintah selama tujuh belas tahun. Selain itu, pada masa ini orang Rajput telah memperkuat posisinya menentang Dinasti Mughal. Karena hal inilah Aurangzeb menerapkan jizyah kepada kalangan Hindu sebagai bukti ketundukan terhadap penguasa. Jadi tujuan utama penerapan jizyah yang telah lama dibekukan oleh Akbar adalah ekonomi-politik dengan harapan umat Hindu menghindari pajak sehingga memeluk agama Islam.
Menurut beberapa sejarawan, umat Hindu yang telah lama dibebaskan dari Jizyah melakukan demonstrasi atas kebijakan baru ini. Awalnya mereka berunjuk rasa di depan jharoka, namun tidak mendapat tanggapan dari Aurangzeb. Akhirnya mereka memilih hari Jumat bertemu Aurangzeb, dengan cara memenuhi sepanjang jalan menuju Masjid Jami di Delhi, jalan yang akan dilalui Aurangzeb untuk melaksanakan shalat Jumat. Para demonstran ini lantas dibubarkan oleh pasukan gajah. Beberapa di antara mereka ada yang mati terinjak-injak. Hal ini menambah kebencian umat Hindu terhadap Aurangzeb.
5. Larangan Tika, Dharsan, dan Nauruz
Kebijakan keagamaan Aurangzeb selain di atas adalah pelarangan tika (menempeli dahi dengan semacam pasta) dan dharsan, yaitu raja menampakkan diri di balkon setiap pagi. Di tempat ini raja memandang rakyatnya dan kadang raja juga mengadajkan pertunjukan untuk rakyat, khususnya pertandingan gajah. Tradisi pertemuan antara raja dengan rakyat ini dihapuskan oleh Aurangzeb karena dianggap sebagai pemujaan terhadap raja, seperti pada masa Akbar Agung (1556-1605 M) Aurangzeb mengganti tradisi ini dengan sebuah tali besi zinjir-e-adl (tali keadilan). Jika terdapat persoalan atau masalah, rakyat tinggal menarik talinya dan raja akan segera keluar mendengarkan laporan maupun keluhan rakyat Aurangzeb juga menghapuskan Nauruz, perayaan tahun baru ala pagan Persia. Secara bertahap, upacara perayaan ulang tahun dan pemahkotaan raja juga dihapuskan pada 1677 M.
Dari catatan beberapa sejarawan, kebijakan Keagamaan Aurangzeb dipengaruhi oleh kedekatannya dengan putra Ahmad Sirhindi. Aurangzeb menjadi murid Khaja Muhammad Ma’sum, yang menurut Wiqaya, Sheikh in sering berkunjung di istana Aurangzeb. Sepeninggalnya Aurangzeb menjadi murid Sheikh Saif al Din, penerus Khaja Muhammad Ma’sum.
C. Respon Masyarakat Hindu Atas Kebijakan Aurangzeb
1. Jat, Satnami, dan Bundela
Pemberontakan pertama yang muncul atas kebijakan keagamaan Aurangzeb dilakukan oleh masyarakat Jat dari Distrik Mathura. Mereka memberontak di bawah pimpinan Gokla, zamindar Tilpat, pada 1669 dengan membunuh faujdar (kepala tentara) istana. Pemberontakannya dapat dipatahkan oleh Hasan Ali Khan, faujdar Mathura yang baru. Gokla dapat dihukum mati sedang keluarganya kemudian memeluk Islam.
Sepeninggal Gokla kekuatan Jat tidak melemah. Mereka kembali melakukan pemberontakan di bawah pimpinan Raja Ram, putra Bhajja Singh dari Sinsani pada 1685 M. Ia mempersatukan sukunya Sinsinwar Jat dengan Sagoria di bawah kepemimpinan Ramchehra. Raja Ram menutup akses menuju Agra dan merampok beberapa desa. Ia membunuh Safi Khan, Gubernur Agra dan berhasil menduduki makam Akbar di Sikandra. Raja Ram dapat dipukul mundur hingga kekuatan mereka tidak muncul sampai tahun 1691 M. Setelah itu muncul pengganti Raja Ram, Churaman, menjadi tokoh penting dari Jat. Ia mengorganisir Jat menjadi kekuatan militer separatis pasca kematian Aurangzeb.
Sebagian sejarawan berpendapat bahwa pemberontakan yang dilancarkan suku Jat bernuansa agama, yakni kebijakan Aurangzeb yang sangat represif terhadap Hindu. Menurut K Ali, pendapat ini tidak benar. Kekalahan dan kematian Dara, sebagai patron Hindu sangat mengecewakan mereka. Dengan kematian Dara, maka revivalisme Hindu yang telah mereka idam-idamkan tidak akan tercapai. Selain itu, sejak dari perang suksesi, kalangan Hindu Jat merasa tidak senang dengan didirikannya Masjid Jami oleh Syayid Abdun Nabi, faujdar Aurangzeb.
Selain pemberontakan oleh kalangan Jat, Chatrasal dari Bundela juga melakukan perlawanan kepada Aurangzeb. Motif penyerangan ini disebabkan oleh kematian ayahnya, Champat Rai. Sebenanya sudah lama keluarga Chatrasal mengabdi kepada Aurangzeb, namun kondisi ini berubah menjadi konflik sejak ayahnya mulai membangkang. Konflik ini mengakibatkan kemarahan Aurangzeb, sehingga Ia memutuskan untuk menghukum Champat Rai. Mengetahui hal ini, Champat Rai memilih bunuh diri daripada mati di tangan Aurangzeb.
Chatrasal mempelopori nasionalisme Bundelkhand karena terinspirasi oleh Shivaji. Seperti Shivaji, dia juga berambisi mendirikan pemerintahan independen di Bundelkhand. Ia melancarkan penyerangan pertamanya ke daerah Dhamoni dan Sironj. Pertempuran ini dimenangkan oleh Chatrasal, karena itu ia mulai menerapkan Chauth (pajak tanah yang besarnya seperempat) seperti Maratha.
Pada 1705 M Firuz Jang dapat membujuk Chatrasal berdamai dengan Mughal, sehingga Chatrasal ditunjuk membawahi empat ribu tentara untuk wilayah Deccan. Tetapi setelah kematian Aurangzeb, Ia menjadi penguasa independen. Kota Poona dijadikan sebagai ibukota hingga akhir hayatnya pada 1731 M.
Pada Maret 1672 M, kelompok Satnami juga melakukan revolusi atas kebijakan Aurangzeb. Mereka adalah sekte Hindu yang berpusat di Narnol (Patiala) dan Mewar. Satnami dikenal juga sebagai Mundiya, karena kebiasaan mereka yang selalu memotong rambut seluruh kepala, bahkan alis mata. Pemberontakan mereka dipicu oleh terbunuhnya salah seorang dari mereka oleh tentara Mughal. Pertikaian itu lalu meluas menjadi amuk massa. Satnami dapat merampok dan menduduki Narnoul. Akhirnya Aurangzeb memerintahkan kepada Radanda Khan untuk menghentikan aksi mereka.
2. Sikh
Pemberontakan Sikh pada masa Aurangzb dipelopori oleh Tegh Bahadur. Sikh yang semula murni gerakan keagamaan hingga masa kepemimpinan Guru Arjun, berubah menjadi gerakan separatis yang sangat membahayakan eksistensi Mughal.
Sikh berakar dari gerakan Bhakti (kesetiaan) pemuja Hindu Vaisnava yang berkembang di Tamil Nandu dan didasarkan atas ajaran tokoh suci Alvar dan Adiyar. Gerakan Bhakti dilatarbelakangi oleh kekhawatiran tokoh-tokoh Hindu akan kuatnya pengaruh Islam di India. Penyebar gerakan ini adalah Pangeran Adi Sankarachariya (788-820 M), kemudian Ramananda (1360-1470 M), dan Kabir (1398-1518 M). Masa puncak penyebaran gerakan ini di seluruh India terjadi sejak abad XV dan XVI dengan tokohnya Chaitanya Dev di Bangla, Janeswar, Namdev, Tukaram (Maharashtra), dan Mira Bai di Rajashtan. Pokok ajaran gerakan Bhakti adalah melatih kebaktian dan kecintaan yang abadi. Ajaran gerakan Bhakti berkembang pesat pada masa Akbar Agung (1556-1605 M) dan sisa ajarannya sekarang dikenal dengan ajaran Sikh.
Gerakan Sikh didirikan oleh Nanak dan beranggotakan orang-orang Jat. Ia mensintesiskan antara Hindu, Budha, dan Islam dengan mengakui adanya satu Tuhan (Adaytabad), menolak sistem kasta dan penyembahan berhala. Guru Nanak bahkan banyak belajar kepada para ulama-ulama Islam dan kehidupannya banyak terpengaruh oleh Islam. Ia berlaku sebagaimana orang-orang sufi Islam dengan mengunjungi pusat-pusat khanqah di India, Persia, dan Arab. Nanak akhirnya membentuk para pengikutnya menjadi suatu komunitas yang kuat. Sebelum meninggal Ia mengangkat pengikutnya yang paling tulus dan pengabdi Bhai Lahna, seorang Ksatria Trechan. Panggilannya Angad. Nanak menjulukinya Ang-e-khud, yang berarti tulang rusuknya sendiri.
Guru Angad (1539-1552 M) memindahkan pusat kegiatan Sikh di Kartapur ke Khadur di Amritsar. Ia mengumpulkan semua himne Guru Nanak yang ditulis dalam bahasa Lande Mahajani dan menyempurnakannya. Tulisan baru itu disebut Gurumukhi, yang berarti datang dari mulut guru. Angad mengangkat pengikutnya Amar Das (1552-1574 M) sebagai penggantinya. Guru ini kemudian digantikan oleh menantunya, Ram Das (1574-1581 M). Ia mendirikan kota Ramdaspur yang kemudian hari dikenal sebagai Amritsar, ibukota orang-orang Sikh sampai sekarang.
Pada tahun 1581 M, Ram Das mengangkat anaknya Arjun Dev/Arjun Mal (1581-1606 M) sebagai guru ke lima. Dengan naiknya Arjun menjadi pemimpin, Sikh memasuki fase baru dalam perkembangannya. Sumbangan Arjun yang sangat berguna bagi Sikh adalah pengumpulan sebuah kitab suci yang terkenal dengan Adi Grant, popular juga dengan Grant Sahib atau Guru Grant. Pada tahun 1604 M, kitab yang ditulis dalam bentuk puisi dan menggunakan tulisan Gurmukhi disempurnakannya.
Guru Arjun menciptakan pola baru bagi pemerintahan Sikh. Ia hidup layaknya raja dan dikelilingi oleh pengawal yang disebut sebagai masands. Sebagai sumber pendapatan tetap Sikh, Guru Arjun menetapkan pajak sebesar sepersepuluh di kota-kota antara Kabul hingga Dhaka. Guru ini melakukan kesalahan dengan merestui pemberontakan Khusru atas tahta Jahangir pada 1606 M. Karena itu Jahangir memanggilnya dan memerintahkan untuk membayar dua lakh Rupee. Arjun menolak membayar uang sejumlah itu. Akibatnya Ia dihukum mati. Dari kejadian ini Arjun lalu dianggap sebagai martir pertama dari Sikh.
Anaknya, Har (Hare) Ghovind (1606-1645 M) sebagai Guru ke enam. Ia menjadikan para pengawalnya sebagai semacam satuan tentara. Permusuhan terhadap Mughal masih berlanjut sebab Ia memprofokasi perang terhadap Shah Jahan. Kekuatannya dapat dikalahkan pasukan istana, seluruh kekayaan Sikh di Amritsar bahkan diambil alih Shah Jahan. Atas kekalahannya ini, Arjun mencari suaka ke Kiratpur, daerah perbukitan Kashmir hingga meninggalnya pada 1645 M. Ia menunjuk cucunya Har Rai (1645-1661 M) sebagai guru yang baru. Setelah kematiannya, Ia digantikan putra keduanya, Har Kishan (1661-1664 M). Masa kepemimpinan kedua guru ini, Sikh telah mempunyai kekuatan yang besar.
Setelah melalui perselisihan suksesi, Har Kishan digantikan oleh Tegh Bahadur. Pada awalnya Ia tinggal di Anandpur, 6 mil dari Kiratpur. Ia lalu tinggal beberapa bulan di Patna dan bergabung dengan Raja Ram Singh pada perang Assam. Setelah itu Ia kembali tinggal di Anandpur. Saat inilah Aurangzeb mengeluarkan perintah untuk menghancurkan kuil-kuil Sikh dan mengusir para masands. Tentu saja Tegh Bahadur memberontak terhadap kebijakan Aurangzeb ini. Pemberontakannya dapat dipadamkan. Ia dibawa ke Delhi untuk memeluk Islam. Karena penolakan menjadi muallaf, Aurangzeb menghukumnya hingga mati.
Guru Govind, pengganti Tegh Bahadur merupakan figur penting dalam Sikh. Ia adalah guru terakhir Sikh. Ia meninggal di tangan orang Afghan pada 1708 M di Nandher, Godhavari, 150 mil barat laut Hyderabad. Seperti para guru sebelumnya, Guru Govind juga menambahkan dan menyempurnakan Grant yang mereka sebut Daswen Padhshah ka Grant. Ia mempelopori pola baru penerimaan anggota Sikh dengan cara baptis (pahul). Mereka akan mencapai khalsa dan mendapat nama tambahan Singh. Sikh lalu dikenal melalui performa mereka dengan lima “K” yaitu kes (rambut panjang), kangha (sisir), kripan (belati/pedang), kachcha (celana pendek), dan kara (gelang besi). Dampak dari pembaptisan, pengikut Sikh kemudian menjadi sangat loyal dan rela mati untuk Guru. Sikh merasa sebagai manusia pilihan Tuhan dan lebih tinggi derajatnya dari manusia lain.
3. Maratha
Oposisi lain yang juga gencar melakukan perlawanan terhadap Aurangzeb adalah Maratha. Mereka tinggal di sepanjang pegunungan Ghat dan terdiri atas masyarakat kasta terendah, Sudra, namun pada pertengahan abad XVI M mereka telah mengabdi pada penguasa Golkunda dan Bijapur. Pada abad XVII M mereka mulai muncul dan menduduki jabatan penting dalam pemerintahan. Salah satunya adalah Shivaji Bhonsle (1627-1680 M). Ia sangat dihormati sebagai pendiri bangsa Maratha. Dalam sejarah India, dia dikenal tidak hanya sebagai seorang administrator, tetapi juga negarawan ulung. Sebaliknya bagi Mughal, dia dicerca sebagai Deccan mountain rat. Ayahnya, Shahji Bhonsle, orang yang melakukan pemberontakan terhadap ekspansi Shah Jahan. Semula Ia mengabdi kepada Kesultanan Ahmadnagar, namun ketika negeri ini diduduki oleh Shah Jahan pada 1636 M, dia beralih mengabdi kepada pemerintahan Adil Shah dan berhasil mencapai jabatan tinggi. Ia dipercaya sebagai jagirdar di Poona, yang nantinya diwariskan kepada Shivaji. Sementara itu, Mysore dan Amrkot diwariskan kepada putranya yang lain Vyakanji (Ekoji), dari isteri ke dua Shahji, Tukabai Mohite, yang dinikahinya pada tahun 1625 M.
Shivaji dilahirkan di benteng Shivner, daerah sekitar Cunar pada 1630 M. Ia keturunan para penguasa Hindu India. Dari silsilah keluarga ibunya, Ia keturunan Yadava, penguasa Devanagari dan dari ayahnya, bertalian dengan Sisodia Mewar.
Shivaji tidak pernah memperoleh pendidikan formal. Masa kecilnya selalu dijejali kisah tentang tokoh-tokoh suci dan kepahlawanan Hindu. Orang yang sangat berpengaruh dalam pendidikan dan pembentukan karakternya adalah ibunya, Jiji Bai dan seorang Brahmana, Dadaji Khondev (w. 1647 M). Kisah-kisah Hindu yang didapat pada masa kecil itu menginspirasi kefanatikannya terhadap Hindu. Ia lalu sangat antipati terhadap kekuasaan Islam, baik Bijapur maupun Mughal dan menganggap kedua negeri itu sebagai kekuatan asing yang harus diusir dari tanah Maratha. Kemudian Shivaji menginginkan terciptanya kemerdekaan (swaraj) dan kebebasan mengekspresikan agama (swadharma).
Untuk itu Ia memulai penyerangan ke Bijapur yang berlangsung selama beberapa tahun, sejak 1649-1655 M Ia mengorganisir orang-orang pegunungan, yang disebut sebagai mavali untuk melancarkan perjuangannya. Secara bertahap Ia berhasil dengan menguasai benteng Tarana, Raigarh, dan Kondana dari tangan pemerintahan Bijapur. Pada 25 Januari 1656 M, Ia berhasil menduduki Jawli sebagai daerah kunci menuju ke selatan.
Pertempuran Maratha dengan Mughal dimulai pada tahun 1657 M dengan menyerbu Ahmadnagar dan Cunar. Mereka memperoleh kemenangan karena pada saat yang sama Aurangzeb disibukkan dengan penaklukan ke Bijapur. Aurangzeb menangguhkan penyerangan terhadap mereka karena mendapat berita tentang sakitnya Shah Jahan. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Shivaji. Ia segera menuju ke Konkan dan dapat merebut Kalyan, Bhiwandi, dan Mahuli, hingga Mahad. Shivaji berusaha terus-menerus merebut daerah-daerah yang telah dikuasai Mughal. Karena itu, Aurangzeb mengirim Shayesta Khan. Ia berhasil menglahkan Shivaji dan menguasai kembali Poona dan Kalyan di Konkan.
Selanjutnya sekitar tanggal 16- 20 Januari 1664 M, Shivaji menduduki pelabuhan Surat dan merampok kapal-kapal haji. Mendengar hal ini Aurangzeb mengutus Jai Singh dan Dilir Khan. Shivaji dapat dikalahkan dan terciptalah perjanjian damai. Akibatnya selama tiga tahun Aurangzeb memberinya izin sebagai jagirdar di Berar dan menyandang gelar raja. Sedangkan Shambuji dipercaya sebagai mansabdar yang membawahi 5000 tentara.
Pemerintahan Aurangzeb kemudian disibukkan oleh pemberontakan Yusufzai di perbatasan barat laut. Shivaji kembali memimpin pemberontakan. Pada 16 Juni 1664 M, Ia mengangkat dirinya sebagai raja di Raigarh dengan gelar Chatrapati (raja dari seluruh raja). Ia dapat memperluas wilayahnya jauh ke selatan. Dalam waktu empat tahun, 1676-1680 M memenangkan benteng Jinji, Vellore, dan benteng-benteng penting lainnya. Menurut Grant Duff, masa ini adalah masa keemasan Shivaji. Luas wilayahnya meliputi seluruh daerah yang dahulu dikuasai Dinasti Hindu Vijayanagar, yang terbentang dari Belgasa hingga Tungbadra.
Shivaji dikenal sebagai pemimpin yang mempunyai dedikasi tinggi terhadap pemerintahannya. Untuk tujuan efisiensi, dia membagi kerajaannya menjadi tiga prant (propinsi). Setiap prant dibagi lagi menjadi parganah dan tarf, di bawahnya desa merupakan unit terkecil dalam pemerintahan.
Shivaji mempunyai delapan menteri (ashtapadan) yang selalu membantunya, yakni sebagai berikut: 1). Peshwa atau perdana menteri, yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat, 2). Amatya atau menteri keuangan, 3). Mantri, menteri sekretaris negara, 4). Sachiva, berwenang mengawasi parganah dan mahalIa, 5). Sumant, menteri luar negeri, 6). Senapati, panglima perang, 7). Pandit Rao atau Danadyakhsa, menteri agama, dan 8). Nyayadhisa, menteri kehakiman. Seluruh menteri membawahi jabatan sipil dan militer, kecuali Nyayadhisa dan Pandit Rao.
Shivaji tidak hanya mempunyai kapasitas di bidang sipil, tetapi juga bidang militer. Ia memperkenalkan pembaruan dalam militer yaitu membagi militer atas tingkatan. Satuan tentara terkecil terdiri dari duapuluh lima tentara, lebih dari duapuluh lima orang disebut havaldar, lima havaldar dikenal dengan jumladar, dan lebih dari sepuluh jumladar dinamakan hazari.
Shivaji meninggal pada 1680 M. Ia mewariskan kerajaan dengan sistem administrasi yang baik pada keturunannya. Shivaji digantikan oleh putranya Shambuji. Meskipun Ia dapat ditangkap pada 1689 M, kekuatan Maratha tidak dapat ditumpas sampai meninggalnya Aurangzeb. Sambhuji digantikan saudaranya Rajaram, dan ketika raja ini meninggal, dia digantikan oleh jandanya Tarabai.
4. Perang Rajput
Perang Rajput berawal dari kematian Raja Jaswant Singh pada 20 Desember 1678 M. Ia salah seorang penguasa Marwar sekaligus pelindung daerah Khyber Pass dan Peshawar. Setelah mendengar kematian tentang Jaswant Singh, Aurangzeb berusaha menganeksasi Marwar. Ia mengangkat, faujdar, qiladar, kotwal (polisi), dan amin (petugas pengumpul pajak) yang bertanggungjawab langsung kepada pemerintahan Mughal. Marwar dapat ditaklukkan dan membayar pajak 36.000 Rupee. Aurangzeb kemudian menyerahkan kepemimpinan Marwar kepada Indra Singh, pemimpin Nagor sekaligus keponakan Jaswant Singh, sebagai Rana Jodhpur.
Setelah negara stabil, Aurangzeb memutuskan kembali ke Delhi pada 1679 M. Di tahun yang sama dalam bulan Februari, istri Jaswant Singh melahirkan dua bayi di Lahore. Salah satu dari mereka tidak berumur panjang, sedangkan bayi yang lain dinamai Ajit Singh. Rajput melakukan pendekatan kepada Aurangzeb agar kelak Ajit Singh diangkat menjadi penerus Jaswant Singh. Ternyata Aurangzeb memerintahkan ibu dan anak itu untuk dibawa ke istananya. Bayi yang baru lahir lalu dinamai Muhammadi Raj oleh Aurangzeb. Mendengar hal ini, Durgadas anak Mekaran, menteri Jaswant Singh memberontak kepada Aurangzeb yang dinilai berusaha mengislamkan anak Jaswant Singh. Durgadas berhasil membebaskan Ajit Singh dan menyelamatkannya ke Gunung Abu, sementara janda Jaswant Singh di bawah perlindungan Raj Singh Udaipur (Mewar). Perang antara Mughal dengan Rajput pun tidak dapat dihindari. Seluruh rakyat Rajashtan mengangkat senjata untuk mempertahankan negeri dan agama mereka.
Aurangzeb lantas menuju ke Ajmer untuk memadamkan pertempuran ini pada Agustus 1679 M. Pasukannya diperkuat oleh gabungan tentara ketiga putranya: Muazzam, Azam, dan Akbar. Pasukan Pangeran Akbar di bawah komando Tahavur Khan berhasil menganeksasi Marwar setelah bertempur tiga hari di dekat Pushkar.
Aneksasi Marwar membuka peluang bagi penaklukan Mewar. Menyadari hal ini, Raj singh Marwar berinisiatif menggabungkan pasukan Sisodia Mewar dengan Rathor Marwar. Mereka melancarkan perang gerilya terhadap Mughal. Sejumlah besar pasukan Mughal di bawah komando Hasan Ali Khan dikirimkan ke Pur. Dalam waktu singkat mereka dapat melumpuhkan Udaipur pada Januari 1680 M dan disusul Chitor satu bulan kemudian.
Setelah kemenangan tercapai, Marwar dan Mewar dipercayakan kepada Sultan Akbar, namun stabilitas keamanaan belum dapat tercapai. Antara Marwar dan Mewar dipisahkan daerah Arravali sebagai basis kekuatan Raj Singh. Mereka dengan mudah menyerang Mughal baik dari timur maupun barat.
Pada 28 Juli M, Akbar dipindahkan ke Marwar, namun dia tidak melakukan penekanan dan penyerangan kepada Rhator. Akbar justru beraliansi dengan Rhator dan Sisodia pada 11 Januari 1681. Akbar diperalat oleh Rhator untuk balas dendam atas perusakan kuil dan penerapan kembali jizyah oleh Aurangzeb. Rajput membantu Akbar melakukan kudeta, dengan harapan raja baru ini lebih moderat dan akan melindungi kepentingan mereka. Maka pada 2 Januari 1681 M, Akbar dengan sejumlah besar tentara berangkat menuju Ajmer. Melihat kondisi ini Aurangzeb segera bertindak. Ia mengirimkan surat kepada Akbar yang menyatakan bahwa tindakannya salah.
Pada Mei 1681 M, Durgadas dan Akbar meminta suaka kepada Shambuji di Deccan. Ia tinggal di sana sekitar satu tahun. Setelah itu pergi ke Bombay untuk berlayar ke Persia sampai Ia wafat di sana pada 1704 M. Akbar tidak berhasil merebut tahta ayahnya.
BAB IV
PENGARUH KEBIJAKAN KEAGAMAAN SULTAN AURANGZEB
Setelah memperkuat posisinya sebagai raja, Aurangzeb menjalankan pemerintahannya sesuai dengan Syariat Islam. Ia seorang muslim saleh yang selalu berusaha menjalankan hidup sesuai dengan petunjuk al Qur’an. Sebagai seorang raja, Aurangzeb sangat sederhana dan tidak pernah menuruti hawa nafsunya dengan berlebih-lebihan dalam berpakaian, makanan, dan minuman. Tidak ada yang meragukan ketulusannya dalam beragama. Aurangzeb bahkan tidak pernah menggunakan uang negara untuk membiayai hidupnya. Ia hidup dengan menulis kaligrafi dan menjual kopiah buatan tangannya sendiri. Namun puritanisme yang diterapkannya tidak mendapat simpati. Semangat keagamaannya dianggap mengabaikan toleransi beragama sebagai pilar pemersatu India. Secara singkat, Aurangzeb tidak memiliki kejeniusan politik layaknya Akbar. Sebagai penguasa India, Aurangzeb dinilai sudah gagal. Karena itu, membahas tentang pengaruh kebijakan Aurangzeb terhadap kemajuan India di bawah ini sangat penting.
1. Bidang Pemerintahan
Aurangzeb dalam pemerintahan masih melanjutkan sistem yang dipakai nenek moyangnya. Pemerintahannya terdiri dari kekuasaan pusat, propinsi (suba), kabupaten (sarkar), dan kecamatan (parganah). Kekuasaan pusat adalah kekuasaan yang dipegang secara mutlak oleh raja. Pada umumnya, raja dibantu oleh wazir dan vakil. Wazir adalah mereka yang mengurusi keuangan dan politik. Posisinya yang paling penting adalah mengangkat para menteri (diwan), yang membawahi beberapa depertemen seperti Diwan-e-Khalsa (mengurusi pendapatan negara) dan Diwan-e-Tan (mengurusi pembayaran gaji tentara). Sedangkan vakil bertanggung jawab dalam bidang yang berkaitan dengan rumah tangga kerajaan. Ia bertugas seperti wakil raja. Pengangkatannya tidak menganut aturan tertentu, namun sesuai dengan kehendak raja dan kondisi.
Sementara itu, propinsi disebut juga sebagai suba. Jumlahnya bervariasi dari masing-masing penguasa. Jika pada masa Akbar pemerintahan dibagi menjadi limabelas suba, jumlah ini meningkat menjadi duapuluh satu pada masa Aurangzeb. Daerah Hindustan, meliputi empat belas suba: Agra, Ajmir, Alahabad, Bangla, Bihar, Delhi, Gujarat, Kashmir, Lahore, Multan, Malwa, Orissa, Outh, dan Thatta. Deccan dibagi menjadi enam suba: Aurangabad, Berar, Bidar atau Telingana, Bijapur, dan Khandesh. Propinsi lainnya adalah Kabul.
Setiap propinsi dipimpin oleh subadar (gubernur) yang dibantu sejumlah pejabat antara lain: diwan (orang nomor dua setelah gubernur), bakhsi (pembagi gaji tentara dan pegawai), faujdar (kepala tentara), kotwal (kepala polisi), kazi (jaksa), sadr (pejabat agama), khazanci (bendahara), dan tubkhaci (pemeriksa).
Selain itu juga terdapat pengadilan daerah yang terdiri dari adalat-e-nazimi suba (pengadilan jaksa tinggi untuk daerah), adalat-e-kazi-e-suba (pengadilan jaksa daerah), diwan-e-suba (pengadilan pejabat tinggi daerah), adalat sadar-e-suba (pengadilan agama daerah).
Imperium Mughal masa Aurangzeb telah memiliki wilayah yang sangat luas. Karena itu merupakan suatu kemutlakan untuk mempekerjakan sejumlah besar pasukan militer demi mendukung stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Jumlah pasukan militer masa Aurangzeb diperkirakan mencapai dua kali lipat dari tentara Mughal masa Shah Jahan. Demi mempertahankan kekuasaan, Aurangzeb memiliki sekitar dua ratus ribu tentara berkuda, delapan ribu mansabdar, tujuh ribu ahadi dan barqandi, seratus sembilan puluh ribu tabinan (pasukan cadangan), dan empat puluh ribu pasukan artileri. Jumlah ini diperkirakan terus meningkat semenjak aneksasi dan perang di Deccan dan mengakibatkan pembengkakan pengeluaran negara.
Pemerintahan Aurangzeb berbeda dengan para pendahulunya dalam sistem militer, khususnya angkatan laut. Daerah kekuasaan Aurangzeb yang membentang luas hingga Samudera India telah mempunyai angkatan laut yang tangguh sebagai pengaman wilayah perairan.
Usaha untuk membangun angkatan laut yang handal sebenarnya telah diprakarsai oleh Akbar Agung, namun karena nenek moyang Mughal bukan pelaut, kesuksesan membangun armada laut tidak tercapai. Kapal yang tersedia pada masa itu belum dapat dikategorikan sebagai kapal perang, fungsinya hanya terbatas pada aktifitas perdagangan. Pada Masa Akbar, Dinasti Mughal hanya memiliki 768 kapal. Jumlah kapal yang terbatas itu belum mampu menandingi armada Portugis dan Magh yang selalu membajak kapal dagang dan kapal haji. Angkatan laut Mughal baru mengalami kemajuan pada 1644 M di bawah Mir Jumla dan Shayesta Khan.
2. Bidang Ekonomi dan Sosial
Jauh sebelum Islam datang, India telah dikenal oleh para pedagang sebagai tempat persinggahan. Debal, Kadanggalur (Keras), Quilon, Calicut, Benaras, Patna, Rajmahal, Burdawan, Hugli, Dhaka (Sonargaon), dan Chittagong, merupakan kota-kota penting masa itu. Kondisi ekonomi semakin mengalami peningkatan pada masa Mughal. Mereka berhubungan baik dengan para pedagang asing.
Ekspor utama Mughal berupa hasil industri tekstil seperti: pakaian tenun, kain wol, kain sutera, hasil industri pewarna, industri gula, kertas, dan lain-lain. Produk India ini banyak diminati di pasaran dunia, mulai dari pantai timur Afrika, Arab, Mesir, Asia Tenggara, dan Mesir. Impor utama berupa barang mewah seperti kuda Persia, batu mulia, parfum, dan anggur Eropa.
Masa pemerintahan Aurangzeb, kain dari Madras, bubuk mesiu dari Bihar, sutera dan gula dari Bangla merupakan produk utama untuk pasaran Eropa. Untuk memenuhi permintaan pasar, pabrik tekstil didirikan di Bangla dan dijadikan sebagai pusat industri sutera. Kain moslen adalah jenis sutera yang paling terkenal.
Dari catatan Bernier, perdagangan masa Aurangzeb dikuasai oleh orang-orang Hindu. Sekalipun perdagangan dimiliki oleh orang Islam, mereka tetap mempekerjakan orang Hindu sebagai akuntan. Sebaliknya , jika orang Hindu memonopoli pedagangan, maka orang Muslim menduduki jabatan penting pemerintahan baik sipil maupun militer.
Sistem perpajakan yang diterapkan oleh Aurangzeb masih melanjutkan administrasi Sher Shah dan Akbar . Perpajakan dikelola sesuai dengan sistem zabt, kankut, dan batai seperti yang tertera dalam Khallaq-e-Sayyaq. Semantara itu dalam Mirat-e-Ahmadi menambahkan nasaq sebagai sistem yang diterapkan di Gujarat.
Sistem zabt menekankan sejumlah pembayaran tertentu pada setiap unit tanah dan harus dibayar secara tunai. Besarnya beban tersebut didasarkan pada nilai rata-rata hasil pertanian dalam sepuluh tahun terakhir.perhitungan nilai hasil pertanian ditentukan dari keputusan imperium atas harga lokal dan kemudian digunakan untuk menaksir harga tunai. Jumlah yang dikumpulkan secara aktual pada umumnya separuh hingga sepertujuh dari harga total hasil pertanian. Jumlah pajak yang dikumpulkan di setiap propinsi tidak sama. Ajmer merupakan pembayar pajak terkecil.
Hasil pertanian yang gagal panen tidak wajib membayar pajak pada wilayah yang memakai sistem kankut dan batai. Sedangkan wilayah yang menerapkan sistem zabt dan nasaq harus tetap membayarkan pajak berapapun hasil panen yang diperoleh, namun separuh hasil panen ditinggalkan untuk pemilik lahan. Segala sesuatu yang berkenaan dengan hal tersebut harus diputuskan tanpa melepaskan petani dari penghidupan mereka dan dari kapasitas mereka untuk menghasilkan pertanian yang lain.
Hasil pajak yang terkumpul dipercayakan kepada jagirdar, tetapi pejabat lokal yang mewakili pemerintahan pusat mempunyai peranan penting dalam pengumpulan pajak. Di tingkat administrasi lokal pengumpulan pajak dipercayakan kepada qanuqo, yang menjaga jumlah pajak lokal dan yang melakukan pengawasan terhadap agen-agen jagirdar, dan seorang chauduri yang mengumpulkan pajak dari zamindar.
Usaha Aurangzeb yang sangat menonjol di bidang ekonomi adalah mensejahterakan rakyatnya dengan membebaskannya dari pajak yang tidak sesuai dengan hukum Islam dan sangat memberatkan, meskipun sebagian besar sumber pendapatan negara berasal dari pajak-pajak tersebut. Usahanya ini dimulai pada 1659 M. Pada masa ini muncul kelaparan akibat kurangnya hujan dan peperangan yang terus menerus. Ia menghapuskan sekitar delapan puluh pajak yang tidak manusiawi, seperti rahdari (pajak transportasi) dan pandari (pajak atas sewa tanah dalam berdagang yang diperoleh dari para pedagang, pengrajin, dan barang tenun). Pajak lainnya juga dihapuskan seperti shar shumari, buz shumari, bar-qadi, charai (tanah penggembalaan), tuwa’ana (pajak yang diperoleh dari perayaan keagamaan Hindu), jatra, pajak atas rumah judi, lokalisasi, dan lain-lain.
Seperti halnya bidang ekonomi, Aurangzeb juga berusaha meningkatkan kesejahteraan sosial. Praktek sati daho (istri ikut terjun ke cita, tempat pembakaran mayat suami) yang telah mengakar kuat dalam tradisi India mulai dihapuskannya sejak tahun 1664 M. Aurangzeb mengeluarkan dekrit yang tidak memperbolehkan isteri terjun ke cita secara paksa. Sebelum Aurangzeb, hampir seluruh raja yang memerintah di India melarang praktek ini, namun tidak ada yang sesukses Aurangzeb. Pemimpin sebesar Akbar sekalipun belum mampu mengurangi tradisi ini. Sati Daho secara resmi dihapus pada masa penjajahan Inggris oleh Sir William Benting (1828-1835 M), Gubernur Inggris untuk India. Selama tujuh tahun pemerintahannya di India ditandai dengan kemakmuran. Ia memperkenalkan pembaruan dalam berbagai bidang. Reformasinya yang paling terkenal dalam bidang sosial yakni dihapusnya sati daho secara resmi pada 1829 M. Kesuksesan William ini tidak bisa dilepaskan dari peran Raja Ram Mohan Roy dan Darganath Tagore (Thakur). Mereka berhasil menghentikan kematian seribu janda yang tidak sesuai dengan kehendaknya setiap tahunnya.
C. Pendidikan
Sudah berabad-abad yang lampau kota Delhi, Agra, Sialkot, Lahore, Ahmadabad, dan Burhanpur berkembang menjadi pusat intelektual dan kesenian. Aktifitas intelektual dimulai dengan munculnya madrasah-madrasah. Iltutmish merupakan penguasa muslim yang memprakarsai berdirinya madrasah Muiziyya dan Nasiriya yang nantinya disempurnakan oleh Firuz Shah Tughlaq.
Tradisi intelektual terus berkembang pada masa pemerintahan Mughal, khususnya pemerintahan Akbar. Periode Akbar banyak mendirikan madrasah di Fatehpur Sikri, Agra, dan kota-kota penting lainnya. Pendidikan semakin semarak dengan ditaklukkannya Gujarat pada 1297-1305 M. Penaklukan ini membuka pelabuhan Cambay dan Gujarat, sehingga memberikan kesempatan kepada para pelajar India untuk menimba ilmu keagamaan di Hijaz.
Jahangir dan Shah Jahan pun menambah jumlah madrasah-madrasah di seluruh negeri. Pendidikan dibuka lebar untuk semua kalangan baik bangsawan maupun rakyat. Anak perempuan diberi kesempatan mengenyam pendidikan layaknya anak laki-laki. Tidak sedikit perempuan yang menyumbangkan keilmuannya bagi Mughal. Beberapa di antara mereka seperti: Gulbadan Begum (penulis Humayun Nama), Salima Sultana (kemenakan Humayaun), Nur Jahan, Mumtaz Mahal, Jahan Ara, dan Zebun Nisa, anak perempuan Aurangzeb yang banyak menulis puisi dengan nama pena Makhfi. Zebun Nisa dididik oleh Hafiza Maryam dari Naishapur, Khurasan. Ia mewarisi bakat intelektual dan seni ayahnya. Selain menulis sastra Arab dan Persia, Ia juga penulis kaligrafi yang handal. Charj Burji, sebuah taman di Lahore dikenal sebagai pusat aktifitas intelektualnya.
Aurangzeb mempunyai perhatian besar pada pendidikan. Ia bahkan selalu memberikan beasiswa bagi para pelajar berprestasi yang kurang mampu. Pada masanya, Firangi Mahal di Lucknow berkembang menjadi sekolah unggulan dengan fasilitas yang sangat memadai.
Abu Said Molla Jiwan (w. 1717 M) adalah filosof dan ahli hukum Islam tersohor masa Aurangzeb, karena itu Ia belajar dan memperdalam Ihya Ulum al Din (karya monumental al Ghazali) dengan Abu Said. Selain itu terdapat juga Muhibullah Bihari (w. 1707 M), Kazi Lucknow. Ia menulis Musallam-e-Thubut yang dikenal sebagai buku induk Ushul Fiqh masa itu. Karyanya yang lain, Sullam al Ulum juga menjadi buku logika terbaik di India.
Menurut Bernier, penjelajah asal Perancis, sistem pendidikan masa Aurangzeb mengalami penurunan. Para guru dicela oleh Aurangzeb karena membuang-buang waktu mempelajari grammar dan metafisika. Mereka mengabaikan sejarah, geografi, dan politik. Izin pendirian madrasah tidak diikuti dengan usaha untuk melakukan pengawasan terhadap pendidikan. Selain itu juga tidak adanya ujian tetap dan suatu badan yang bertanggung jawab atas pendidikan.
D. Karya Sastra
Aurangzeb tidak seperti ayahnya yang sangat menyukai karya sastra dan seni. Kebenciannya terhadap seni berakar dari anggapnnya bahwa seni dapat melalaikan manusia dari agama. Penyair dan puisi tidak mendapat tempat di istana Aurangzeb, meski sebenarnya dalam dirinya mengalir darah seni. Ia bahkan menulis kaligrafi dengan tangannya sendiri. Kumpulan surat-surat Aurangzeb (Ruqaati-e-Alamghiri) juga disebut-sebut sebagai prosa Persia yang simple namun elegan.
Meski Aurangzeb melarang kesenian, pertumbuhan dan perkembangannya tidak mengalami kemandulan. Kondisi seperti ini justru memunculkan genre baru dalam puisi. Mirza Abdul Qadir Bedil (w. 1712 M), seorang penyair Persia kenamaan mempelopori penulisan puisi dengan tema-tema humanis dan kritik sosial. Ia sering menggunakan diksi yang tidak mudah dipahami orang lain, sehingga karya-karyanya disebut juga puisi filosofis. Ia sangat popular di Afghanistan dan Tajikistan. Puisinya banyak dibaca orang seperti masnavi-nya Rumi.
Bedil lalu mengilhami Asadullah Khan Ghalib (1797-1869) menulis puisi mistis. Ia penyair yang sangat terkenal dalam sejarah sastra Urdu. Puisi-puisinya kemudian sebagai pendorong bagi kaum Muslim India untuk melepaskan diri dari kungkungan penjajah. Demikian juga Akbar Ilah Abadi, penyair sesudahnya. Puisi-puisinya menekankan tentang moral. Kedua penyair ini kemudian dikenal sebagai pujangga terkenal di Asia Selatan sejajar dengan Sir Allamah Muhammad Iqbal (1875-1938 M)
Penyair lain yang juga menonjol adalah Wali. Ia lahir di Aurangabad pada 1668 dan wafat 1707. Wali merupakan penulis asal Deccan yang memperkenalkan puisi Urdu modern, akibat invasi Aurangzeb di selatan. Dalam puisinya, Wali memadukan ungkapan-ungkapan Deccan dan Gujarat lalu memperhalus bahasanya dengan mengikuti pola standar kesasteraan Persia. Urdu mulai digunakan sebagai bahasa resmi kerajaan semasa Akbar Agung.
Setelah puisi, historiografi dan biografi merupakan kegiatan intelektual penting di Mughal. Raja-raja Mughal sangat mendukung aktifitas ini, baik dalam bahasa Persia maupun Urdu. Pada masa pemerintahan Akbar, karya sastra dikategorikan menjadi tiga macam: penulisan sejarah, penerjemahan, dan puisi. Karya sejarah banyak ditulis oleh sejarawan masa itu seperti: Tarikh-e-Afifi karya Mulla Daud, Ain-e-Akbari dan Akbar Nama karya Abul Fazl, Muntakhab-e-Tawarikh karangan Badauni, Tabakat-e-Akbari tulisan Nizamudin Ahmad, Akbar Nama karya Faizi Sirhindi, dan Ma’asir-e-Rahimi karya Abul Baqi.
Atas perintah Akbar, buku-buku Sanskerta juga diterjemahkan ke dalam bahasa Persia. Pada 1589, Ramayana diterjemahkan oleh Badauni, Mahabharata diterjemahkan oleh beberapa ilmuan dengan judul Razam Nama, Atharva Veda diterjemahkan oleh Haji Ibrahim Sirhindi. Rajtangiri, Panchatantra, dan Harivasma juga disalin ke dalam bahasa Persia.
Jahangir, anak Akbar juga menjadi pelindung ilmu. Ia bahkan menulis outoboigrafi yang dikenal dengan Tuzuk-e-Jahangiri. Sejarah terpenting masanya adalah Ma’asir-e-Jahangiri dan Iqbal Nama-e-Jahangiri, karya Mu’tamid Khan dan Kangar Khan.
Melanjutkan tradisi para pendahulunya, Shah Jahan melestarikan penulisan sejarah. Ia mendukung Abdul Hamid Lahori untuk menulis Padshah Nama yang berisi perjalanan hidup Shah Jahan. Karya sejarah lain yang diproduksi masa itu seperti Shah Jahan Nama tulisan Inayet Khan dan Amal-e-Salih karya Muhammad Salih.
Berbeda dengan ayahnya, Aurangzeb justru menutup departemen sejarah dan menghapusnya pada 1670 M. Aurangzeb memerintahkan kepada Muhammad Kazim untuk mencatat kejadian penting di istananya hanya sampai sepuluh tahun pertama masa pemerintahannya. Tulisan Kazim ini diberi judul Alamghir Nama.
Menurut Saqi Musta’id Khan, larangan penulisan sejarah masa Aurangzeb berkaitan dengan kesulitan keuangan negara dan kesalehan pribadinya yang tidak menginginkan pengkultusan. Atas kebijakan Aurangzeb ini maka para sejarawan menuliskan sejarah Aurangzeb secara sembunyi-sembunyi sepert: Muntakhab-e-Lubab karya Khafi Khan, Ma’asir-e-Alamghiri karya Muhammad Saqi, Khulasat-e-Tawarikh karya Sujan Rai Khatri, Naskha-e-Dulkhus tulisan Bhim Sen, dan Fatuhat-e-Alamghiri karya Iswar Das.
Sebagai seorang Muslim yang saleh, ahli hukum dan teologi, Aurangzeb sangat mendukung pengkodifikasian Fatawa-e-Alamghiri pada 1075-1083 H/1664-1672 M. karya besar ini dikenal juga dengan Al Fatawa al Hindiyyah fi Mazhab al Imam A’zam Abi Hanifah al Nu’man. Karya ini ditulis oleh beberapa ulama di bawah pengawasan Nizamudin Burhanuddin dan sampai saat ini, masih menjadi rujukan hukum bagi masyarakat India dan Pakistan.
E. Seni Lukis dan Arsitektur
Seni lukis masa Aurangeb juga mengalami kemunduran. Ia tidak gemar mengagumi lukisan seperti raja-raja Mughal pada umumnya. Dalam sejarah, Babur dikenal sebagai kolektor lukisan pemandangan, telaga, air terjun, bunga, dan taman. Ia juga mempunyai sejumlah pelukis yang tinggal di istana. Tradisi ini masih dilanjutkan oleh Humayun dan Akbar. Para pelukis Iran datang dan tinggal di istana seperti Mir Sayyid Ali dan Farrukh Beg . Selanjutnya masa Jahangir lukisan juga mengalami kemajuan. Terdapat beberapa pelukis terkenal masa ini. Selain Farrukh Beg, tercatat nama Nadir Khan, M. Murad, dan Aqa Reza. Yang disebut terakhir ini bahkan dijuluki sebagai Nadir-e-Zaman (yang langka, tidak tertandingi di dunia). Pelukis paling terkenal adalah Mian Tansen yang sangat dekat dengan Sultan Akbar Agung. Ia juga salah satu dari Nauratan (sembilan pujangga utama semasa Akbar Agung). Kebesaran Mian Tansen menyerupai dengan Ziryab, ahli musik dan pembawa peradaban Timur ke Barat masa Abdurrahman II (822-852 M). Lukisan semakin mengalami kemajuan masa Shah Jahan.
Di bidang Arsitektur, Aurangzeb tidak membangun gedung-gedung yang indah.seperti ayahnya. Ia bahkan mengkritik Taj Mahal sebagai bagian dari pemborosan, karena dana pembangunan berasal dari ⅔ anggaran negara. Aurangzeb lebih senang membangun taman dan kebun daripada istana-istana megah. Salah satunya adalah Fatehbad di Agra. Selain taman, jalan raya sepanjang Agra hingga Aurangabad dan dari Lahore sampai Kabul juga mengalami perluasan dan perbaikan. Arsitektur masa Aurangzeb yang paling penting hanya Masjid Badshahi. Masjid ini terletak di sebelah barat benteng Lahore. Pintu besarnya terletak di sebelah timur dan terbuat dari batu merah. Untuk mencapai pintu ini harus melalui sekitar 22 anak tangga. Di setiap sudut masjid terdapat empat menara. Di dalam setiap menara tersebut terdapat dua ratus anak tangga. Masjid terbesar yang kini berada di Pakistan ini mampu menampung sekitar 75.000 orang. Masjid ini dibangun pada 1674 di bawah pengawasan Fida’I Khan Koka dengan mengadopsi arsitektur Masjid Jami Delhi hanya saja jumlah menaranya lebih banyak, yakni delapan. Menurut Khusat al Tawarikh karangan Sujan Rai, masjid ini menghabiskan dana sekitar lima lakh Rupee Bangunan arsitektur lainnya masa Aurangzeb adalah musoleum isterinya, Rabiah al Daurani, yang dipugar pada 1679 M.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam sejarah India, Aurangzeb adalah penguasa besar terakhir dari Dinasti Mughal yang sangat terkenal. Pribadinya yang saleh, sederhana, dan kebijakan keagamaannya yang mengikuti syari’ah garis keras menjadi perbincangan kalangan sejarawan.
Aurangzeb adalah penguasa Mughal pertama yang mengakhiri kebijakan konsiliasi Hindu diganti dengan kebijakan supremasi Islam, sehingga suasana keagamaan pada masa pemerintahannya menghapuskan kecenderungan sinkretisme dengan kebijakan muslim eksklusif. Beberapa kebijakan Aurangzeb ini menimbulkan kebencian umat Hindu.
Apa yang dilakukan Aurangzeb sangat berbeda dengan para pendahulunya. Umat Hindu yang sebelumnya menikmati kebebasan mengekspresikan agamanya mengalami “shock culture”. Mereka harus menbiasakan diri dengan kondisi baru yang serba terbatas. Akibatnya gelombang penentangan terhadap Aurangzeb muncul di seluruh penjuru negeri. Usaha Aurangzeb untuk mengambil kekuasaan langsung atas Rajashtan dan invasinya ke Deccan melahirkan penyatuan kekuatan para pembesar Hindi di Bijapur, Hyderabad, Maratha, dan beberapa pembesar lainnya menjadi sebuah elit imperium.
Dalam sejarah Islam di anak benua India, tidak ada satu penguasa pun yang wilayahnya begitu luas selain Aurangzeb. Ia membagi negerinya ke dalam banyak wilayah dengan tujuan untuk mempermudah administrasi dan pembangunan. Namun ketika hampir seluruh waktunya dihabiskan dalam pertempuran dan penaklukan, efektifitas administrasi mulai terganggu. Pemerintahan kemudian berkembang menjadi desentralisasi kekuasaan dan desentralisai sistem pengumpulan pajak. Hal ini berakibat pada munculnya sebuah kekuatan sosial baru. Sebagaimana terjadi pada imperium Utsmani, orang-orang yang diberi hadiah tanah , kepala kampung, dan para pemegang hak pajak menjadi tuan-tuan tanah. Retaknya sistem pemerintahan yang memusat dan mundurnya ibu kota mendorong kota-kota propinsial dan elite lokal menjadi kekuatan independen.
Kebijakan keagamaan Aurangzeb seringkali diadili sebagai faktor utama penyebab kemunduran Dinasti Mughal, namun apabila dilakukan kajian mendalam, asumsi ini tidak benar. Perlu diketahui bahwa umat Hindu telah mencapai posisi yang sangat kuat sejak pemerintahan Jahangir dan Shah Jahan. Jadi tidak benar jika Aurangzeb bertanggung jawab atas runtuhnya Dinasti Mughal.
Runtuhnya Dinasti Mughal disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut: Mughal dipimpin oleh penguasa-penguasa lemah setelah Aurangzeb, tidak adanya hukum yang mengatur tentang suksesi, sehingga ketika seorang raja mangkat selalu terjadi perebutan kekuasaan yang berimplikasi pada terganggunya stabilitas negara; maraknya konflik rasial antara bangsa Iran, Turani, dan Hindustan untuk menjadi pemimpin tunggal di India; kekuatan militer yang lemah; kosongnya keuangan negara; teritori yang sangat luas sehingga tidak terkontrol pemerintahan pusat; invasi dari luar, yakni Nadir Shah Persia dan Ahmad Shah Durani Afganistan.
B. SARAN-SARAN
1. Seorang pemimpin hendaknya meneladani kekhalifahan awal untuk memberlakukan Syariah. Pemimpin harus menjadi pelindung agama yang paling dekat dengan Sunnah Nabi s.a.w. yang berjuang demi keadilan dan berusaha menggunakan beberapa teknik administratif dan yudisial dalam memimpin masyarakatnya menuju kebajikan religius.
2. Bagi para sejarawan, hendaknya lebih teliti dalam mengkaji sejarah. Mereka perlu dibekali pengetahuan tentang analisis dan kritik sumber yang handal, sehingga tidak melakukan kesalahan dalam generalisasi sejarah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik (ed.). Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid II. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Abdurrahman, Dudung. Metodologi Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos, 1999.
Ahmad, Aziz. An Intellectual History of Islam India. London: Edinburgh University Press, 1969.
Ali, K. History of India, Pakistan, and Bangladesh. Dhaka; Ali Publication, 1980 .
Alvi, S.S. “ Religion and State During Reign of Mughal Emperor Jahangir (1605-1672) dalam Studia Islamica.
Babur, Zahirudin Muhammad. Memoirs of Zahirudin Muhammad Babur. Terj. Jhon Leiden dan Williams Erskin. London: Oxford University Press, 1921.
Banerji, S.K. Humayun Padshah. London: Oxford University press, 1938.
Bearman, P.J (ed.). The Encylopaedia of Islam. Leiden: EJ Brill, 2000.
Berkhofer, Robert F. Jr. A Behavioral Approach to Historical Analysis. New York: Free Press, 1971.
Beveridge, Henry (ed.). Memoirs of Jahangir. New Delhi: Low Price Publication, 1994 .
Boswoth, C.E. The Islamic Dynasties. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1969.
Brown, Percy. Indian Painting Under The Mughal 1550-1750. London: Clarendon Press, 1924.
Datta, Kalikinkar, R.C. Majumdar, H.C. Raychauduri. An Advanced History of India. London: Mac Millan and Co., 1951.
Dawson, and Elliot. History of India as Told by its Own Historians. London: Trubner and Co., 1873
Dow, Alexander. History of Hindostan Vol III. London: Mac Millan Bow Street, 1803.
Dozy, Reinhart. Spanish Islam: History of the Moslem in Spain. London: Chato and Windus,1913.
Duff, Mabell. The Chronologhy of India: From the Earliest Times to The Beginning of the Sixteenth Century. Whitehall Garden: Archibeld Constable and Co., 1899.
Edwardes, S.M. and Garret. Mughal Rule in India. London: Oxford University Press, 1930.
Elliade, Mircea (ed.). The Encyclopaedia of Religion. New York: Macmillan and Co., 1987.
Elliot, Sir H.M. The History of India as Told by its Own Historians. London: Trubner and Co. 57&59, Ludgate Hill, 1873.
Elphinstone, Hon (Mountstuart). The Hindu and Mahometan Periods. London: Jhon Murry,1857.
Esphosito, Jhon L. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Bandung: Mizan, 1995.
Gense, James. A History of India: From the Earliest Time to The Present Day. London: Mac Millan, 1951.
Gibb, H.R., et al. (ed.). The Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1960.
Haig, Wolseley (ed.).The Cambridge History of Islam in India. London: Oxford University Press, 1937.
Hamka. Sejarah Umat Islam. Singapura: Pustaka Nasional Singapura PTE. LTD,1994.
Hasan, Masudul. History of Islam Vol. II (Classical Periode 1206-1900 CE). Delhi: Adam Publisher, 1995.
Havell, E.B. A Handbook of Indian Art Jhon Murray Albemary Steet, 1920.
Holt, PM. Ann K.S. Lambton, The Cambridge History of Islam Vol. II. London: Cambridge University Press, 1970.
Hunter, W.W. A Brief History of Indian People. Oxford: Clarendon Press, 1893
Husain, S.M. Azizuddin.”Religious Policy of Aurangzeb During The Later Part of His Reign-An Examination” dalam Islam The Modern Age, Vol XXVIII No.1. New Delhi: Jamia Millia Islamia, 1997 .
Ikram, SM. Muslim Civilization in India. New York: Columbia University Press, 1964.
Imamuddin, S.M. A Political History of Muslim Spain. Dhaka: Najmah and Son, 1969.
Karim, M.Abdul. “Berdirinya Bangladesh”. Makalah disampaikan dalam diskusi ilmiah pertemuan dosen-dosen Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta: 2000.
_______. “Studi Perbandingan Tentang Masuknya Islam di Bangladesh dan Indonesia”. Skripsi Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta 1983.
_______. “Pengaruh Islam dalam Pembinaan Moral Bangsa di Indonesia (Telaah Akulturasi Budaya Islam-Indonesia)”. Disertasi Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta 2003.
_______. “Peradaban Islam di Anak Benua India” dalam Siti Maryam dkk. (ed.). Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern. Jogjakarta: SPI Fak. Adab IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, 2003.
_______. “Kontribusi Muhammad Bin Qasim dalam Penaklukan Sind” dalam Thaqafiyyat vol. 2 no. 2 tahun 2001.
_______. “ Persoalan Agama dalam Perang” dalam Thaqafiyyat vol. 4 no. I Januari-Juni 2003.
_______. Sejarah Islam di India. Jogjakarta: Bunga Grafies Productions, 2003.
Kartodirdjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka utama, 1992.
Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Jogjakarta: Tiara Wacana, 2003.
Lapidus, Ira M. Sejarah Umat Islam. Terj. Ghufron A. Mas’udi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Mahmudunnasir, Syed. Islam Its Concept and History. New Delhi: kitab Bhavan, 1981.
Mujeeb. Indian Muslim. London: Allen and Unswin, 1967.
Poole, Stanley Lane. Mediaval India Under Mohammedan Rule (AD 712-1764). New York: Haskel House Publisher, 1970.
_______. Aurangzeb and the Decay of The Mughal Empire. New Delhi: Low Price publication, 1995.
Price, Powell. A History of India. London: Thomas Nelson and Son, 1915.
Qanuqo, Kalika Ranjan. History of Jat; A Contributions to the Northen India. Calcutta: MC Sarkar 7 Son, 1925.
Rahim, M.A (ed.). Islam in Bangladesh Through Ages. Dhaka: Islamic Foundations Bangladesh, 1995.
Rawlinson, H.G. A Concise History of the Indian People. London: Oxford University Press, 1956.
_______. India A Short Cultural History. London: The Cressent Press,1948.
Rizvi, SAA. “ Muslim India” dalam Bernard Lewiss (ed.). The World of Islam: Faith, People, Culture. London: Thomas and Hudson ltd., 1944.
Saksena, Banarsi Prasad. History of Shah Jahan Dihli. Allahabad: The Indian Press, 1932.
Schacht, J. “On The Title of Fatawa al Alamghiriyya” dalam C.E. Boswoth (ed.) & Minorsky. Iran & Islam. London: Edinburgh University Press, 1971.
Schimmell, Annemarie. Islam in Indian Sub-Continent. Leiden: EJ Brill, 1980.
Schmandt, Henry J. Filsafat Politik. Terj. Ahmad Baedlowi dan Imam Bahehaqi. Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Sethi, R.R., P. Saran, Bandari. The March of Indian History. Delhi: Ranjit Printer, 1951.
Sharma, Sri Ram. Mughal Government and Administration.New Delhi: Hind Kitab Limited, 1951.
_______. Maratha History 1295-1717 M. Bombay; Karnatak Publishing House, 1944.
Singh, Sher. The Secular of Babar: A Victim of Indian Partitions. New Delhi: Genuine Publications, 1991.
Smith, Vincent A. The Oxford History of India From the Earliest Times to the End 1911. London: Clarendon Press, 1921.
Sokah, Umar Asasuddin. Din Ilahi: Kontroversi Keberagamaan Sultan Akbar. Jogjakarta: Itaqa Press, 1994.
Soelaeman, M. Munandar. Ilmu Sosial Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial. Bandung: Refika Aditama, 2001.
Sumalyo, Yulianto. Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim. Jogjakarta: Gajh Mada University Press, 2000.
Trimingham, J. Spencer. Islam in West Africa. Oxford University Press, 1976.
Toynbee, Arnold. A Study of History Vol II. London: Oxford University Press, 1956.
Trotter, L.J. History of India From the Earliest Times to the Present Day. London: Hay Market, 1917.
Turabian, Kate L. A Manual For Writers of Term Papers, Theses, and Disertations. Chicago: The University of Chicago Press, 1973.
Wolpert, Stanley. A New History of India. New York: Oxford University Pres, 1989

0 Comment