I. Pendahuluan
Sunnah merupakan sumber hukum kedua dalam Islam. Oleh karena itu, sunnah harus dipahami dengan baik dan benar agar maksud yang diinginkan oleh pembuat syariat sampai kepada sasarannya. Sudah beratus judul buku yang terbit dan berbagai macam pemikiran yang muncul sebagai partisipasi dalam diskursus seputar sunnah sebuah upaya untuk membantu umat dalam memahami sunnah .
Ada berbagai macam ragam pemahaman terhadap sunnah yang mengapung ke permukaan. Ada yang tekstual dan ada yang kontekstual. Ada yang terlalu ekstrim dan ada pula yang sembrono. Ada yang terlalu berani dalam mena’wilkan teks tanpa ilmu dan ada pula yang hanya memahami hadis di permukaannya saja sehingga tidak menyentuh substansi yang diinginkan. Jalan yang tepat adalah adil, objektif, dan proporsional dalam memahami hadis Rasulullah Saw. Agar terhindar dari sikap-sikap negatif yang digambarkan Rasulullah Saw. dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu ‘Adi berikut :
يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين و انتحال المبطلين و تأويل الجاهلين
Artinya : Ilmu ini (sunnah) akan diemban oleh orang-orang yang moderat pada setiap generasi dimana mereka melindungi sunnah dari penyelewengan orang-orang yang ekstrim, penyimpangan orang-orang yang bathil, dan pena’wilan orang-orang yang jahil.(H.R. Ibnu Jarir dan Ibnu ‘Adi)
Salah satu upaya untuk memahami sunnah secara baik dan benar adalah dengan cara mengenal metode-metode yang berkembang sehingga kita bisa mengkomparasikan mana yang paling ideal di antara semua metode yang ada. Salah satu metode itu adalah metode tradisionalis (salaf) dan ulama klasik dalam memahami sunnah. Mereka adalah orang-orang yang bertemu langsung dengan Rasulullah dan yang masih dekat masanya dengan Beliau sehingga patut dijadikan acuan dalam memahami sunnah. Dalam makalah ini, pemakalah mencoba memaparkan pola memahami sunnah dengan sunnah, memahami sunnah dengan pemahaman para sahabat, dan metode ulama klasik dalam memahami sunnah.
II. Memahami Sunnah dengan Sunnah
Salah satu instrumen yang digunakan dalam memahami sunnah adalah menafsirkannya dengan sunnah yang lain. Pola penafsiran sunnah dengan sunnah ada beberapa bentuk : pertama, menjelaskan hadis lain yang masih global (tafshîl al-mujmal); kedua, memberi batasan yang jelas (taqyîd al-muthlaq) terhadap hadis lain yang masih umum; ketiga, mengecualikan kaedah-kaedah umum yang berlaku (takhshîsh al-‘âm); dan keempat, menjelaskan hadis lain yang memiliki makna yang kontroversi (taudhîh al-isykâl). Metode ini merupakan metode yang paling bagus dalam memahami sunnah.
II.1. Tafshîl al-mujmal
Salah satu bentuk penafsiran sunnah dengan sunnah adalah menjelaskan perkara yang masih global (umum). Contohnya adalah kewajiban shalat dan haji yang merupakan pilar agama Islam sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn Umar
عن أبي عبد الرحمن عبد الله بن عمر بن الخطاب رضي الله عنهما قال : سمعت رسول الله صلي الله عليه و سلم يقول : بني الإسلام علي خمس : شهادة أن لا إله إلا الله و أن محمدا رسول الله و إقام الصلاة و إيتاء الزكاة و حج البيت و صوم رمضان
Artinya : Diterima dari Abu Abdirrahman Abdullah ibn Umar r.a. bahwa beliaumendengar Rasulullah Saw. bersabda : Islam dibangun berdasarkan lima pilar : bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji, dan puasa di bulan Ramadhan.(H.R. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini disebutkan secara global tanpa merinci bagaimana tata cara pelaksanaan shalat dan haji. Hadis ini ditafsirkan oleh hadis lain yang menjelaskan tata cara pelaksanaannya secara rinci sebagaimana berikutكما رأيتموني أصلي صلوا “ shalatlah kamu seperti shalat yang kulakukan” dan hadisعني مناسككم خذوا “ pelajarilah tata cara pelaksanaan ibadah haji dariku”.
II.2. Takhshîs al-‘âm dan taqyîd al-muthlaq
Contohnya adalah hadis tentang isbâl. Imam Bukhari menulis hadis tentang isbâl pada bab (kitâb) libâs dalam tiga pasal (bâb): pertama, pasal man jarra izârahu min ghairi khuyalâ’, kedua, pasal mâ asfala min al-ka’bain fahuwa fi al-nâr, dan ketiga, pasal man jarra tsaubahu min al-khuyalâ’.
Untuk lebih jelas permasalahannya, mari kita lihat hadis-hadis tentang isbâl di bawah ini :
عن أبي ذر عن النبي صلي الله عليه و سلم قال : ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة : المنان الذي لا يعطي شيئا إلا منه و المنفق سلعته بالحلف الفاجر و المسبل إزاره
Artinya : Diterima dari Abu Dzar bahwa Rasululllah Saw. Bersabda : Ada tiga kelompokyang Allah tidak akan berbicara dengan mereka pada hari kiamat nanti, yaitu orang yang memberi dan selalu menyebut pemberiannya, orang yang menjual dagangannya dengan sumpah palsu, dan orang yang menjulurkan pakaiannya sampai ke bawah mata kaki.(H.R. Muslim)
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلي الله عليه و سلم قال : ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار
Artinya : Diterima dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda : Pakaianyang berada di bawah mata kaki nerakalah tempatnya (H.R. Bukhari).
Maksud hadis di atas adalah pakaian yang berada di bawah mata kaki dianggap musbil dan tempatnya adalah neraka sebagai hukuman bagi pelakunya.
Hadis ini sangat umum, semua orang yang memakai pakaian di bawah mata kaki tempatnya adalah neraka tanpa terkecuali. Kemudian hadis ini dijelaskan oleh hadis lain bahwa keharaman memakai pakaian di bawah mata kaki adalah karena faktor khuyalâ’. Ini terbukti dengan terbebasnya Abu Bakar dari ancaman hadis karena beliau memanjangkan pakaiannya bukan karena khuyalâ’.
عن سالم بن عبد الله عن أبيه رضي الله عنه عن النبي صلي الله عليه و سلم قال : من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة. قال أبو بكر : يا رسول الله, إن أحد شقي إزاري يسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه. فقال النبي صلي الله عليه و سلم : لست ممن يصنعه خيلاء.
Artinya : Diterima dari Salim ibn Abdullah dari bapaknya bahwa Rasulullah Saw. bersabda : Siapa yang memanjangkan pakaiannya (celana) sampai ke bawah mata kaki Allah tidak akan memandangnya pada hari kiamat nanti. Abu Bakar berkata : Wahai Rasululllah! Salah satu bagian pakaianku menjulai ke bawah kecuali jika aku menjaganya. Rasulullah Saw. Menjawab : Kamu tidak termasuk orang yang melakukannya karena khuyalâ’.(H.R. Bukhari)
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلي الله عليه و سلم قال : لا ينظر الله يوم القيامة إلي من جر إزاره بطرا
Artinya : Diterima dari Abu Hurairah bahwa Rasululllah Saw. bersabda : Allah tidak akan memandang orang yang menjulurkan pakaiannya sampai ke bawah mata kaki karena sombong pada hari kiamat nanti.(H.R. Bukhari)
Imam Nawawi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan musbil adalah orang yang menjulurkan celananya sampai ke bawah mata kaki karena khuyalâ’ sebagaimana ditafsirkan oleh hadis lain yang berbunyi .لا ينطر الله من يجر ثوبه خيلاء Khuyalâ’ adalah sombong. Khuyalâ’ ini mengecualikan keumuman hadis إزاره المسبل . Dengan demikian yang mendapat ancaman dalam hadis ini adalah khusus bagi orang yang memanjangkan celananya karena sombong. Nabi juga telah memberi rukhshah kepada Abu Bakar bahwa beliau tidak termasuk orang yang menjulurkan pakaiannya karena sombong.
Kemudian Ibnu Hajar menjelaskan lebih lanjut bahwa berdasarkan hadis-hadis di atas maka menjulurkan pakaian sampai ke bawah mata kaki karena khuyalâ’ adalah dosa besar. Sedangkan isbâl bukan karena khuyalâ’ secara zahir juga haram, tetapi karena adanya ‘illat maka isbâl tidak haram jika terbebas dari sifat khuyalâ’.
II.3. Taudhîh al-isykâl
Contohnya adalah hadis tentang menyusukan lelaki yang sudah dewasa “radhâ’ah al-kabîr”. Hadis ini mungkin kontroversi karena berbau porno aksi. Bagaimana mungkin seorang yang sudah “jenggotan” disusui oleh seorang wanita? Banyak orang yang menolak hadis ini karena sulit memahami maksudnya. Ketika diteliti lebih dalam ternyata hadis ini dijelaskan oleh hadis yang lain. Berikut redaksi hadisnya sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Muwatha’:
عن ابن شهاب أنه سئل عن رضاعة الكبير فقال : أخبرني عروة بن الزبير أن أبا حذيفة بن عتبة بن ربيعة – و كان من أصحاب رسول الله صلي الله عليه و سلم و كان قد شهد بدرا – و كان تبني سالما الذي يقال له سالم مولي أبي حذيفة كما تبني رسول الله صلي الله عليه و سلم زيد بن حارثة و أنكح أبو حذيفة سالما و هو يري أنه ابنه , أنكحه بنت أخيه فاطمة بنت الوليد بن عتبة بن ربيعة و هي يومئذ من المهاجرات الأول و هي من أفضل أيامى قريش, فلما أنزل الله تعالي في كتابه في زيد بن حارثة ما أنزل, فقال :" ادعوهم لآبائهم هو أقسط عند الله فإن لم تعلموا آبائهم فإخوانكم في الدين و مواليكم " رد كل واحد من أولئك إلي أبيه, فإن لم يعلم أبوه رد إلي مولاه, فجائت سهلة بنت سهيل و هي امرأة أبي حذيفة و هي من بني عامر بن لؤي إلي رسول الله صلي الله عليه و سلم فقالت : يا رسول الله, كنا نري سالما ولدا و كان يدخل علي و أنا فضل و ليس لنا إلا بيت واحد, فماذا تري في شأنه؟ فقال لها رسول الله صلي الله عليه و سلم : " أرضعيه خمس رضعات فيحرم بلبنها" و كانت تراه ابنا من الرضاعة, فأخذت بذلك عائشة أم المؤمنين فيمن كانت تحب أن يدخل عليها من الرجال, فكانت تأمر أختها أم كلثوم بنت أبي بكر الصديق و بنات أخيها أن يرضعن من أحبت أن يدخل عليها من الرجال, و أبي سائر أزواج النبي صلي الله عليه و سلم أن يدخل عليهن بتلك الرضاعة أحد من الناس, و قلن : لا و الله ما نري الذي أمر به رسول الله صلي الله عليه و سلم سهلة بنت سهيل إلا رخصة من رسول الله صلي الله عليه و سلم في رضاعة سالم وحده, لا و الله لا يدخل علينا بهذه الرضاعة أحد.
Artinya : Diterima dari Ibnu Syihab bahwa beliau ditanya tentang radha’ah al-kabir kemudian beliau menjawab : Urwah ibn al-Zubair memberitahuku bahwa Abu Hudzaifah ibn ‘Utbah ibn Rabi’ah-termasuk sahabat Rasululllah Saw. Dan berpartisipasi dalam perang Badar-telah mengangkat Salim sebagai anak sehingga Salim disebut dengan Salim maula Abi Hudzaifah sebagaimana Rasulullah Saw. Telah mengangkat Zaid ibn Haritsah sebagai anak. Abu Hudzaifah menikahkan Salim karena menganggap beliau adalah anaknya, dimana beliau menikahkannya dengan putri saudaranya (keponakannya) yang bernama Fathimah bint al-Walid ibn ‘Utbah ibn Rabi’ah. Beliau termasuk kelompok wanita yang pertama hijrah ke Madinah dan merupakan wanita elit Quraisy yang belum menikah. Ketika turun firman Allah berkaitan dengan status Zaid ibn Haritsah “ Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil pada sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudaramu seagama dan maula-maulamu” maka setiap orang (budak-budak tersebut) kembali dipanggil dengan nama bapak-bapak mereka. Jika tidak diketahui bapaknya maka dikembalikan kepada tuannya. Kemudian datanglah Sahlah bint Suhail-istri Abu Hudzaifah dari Bani ‘Amir ibn Lu’ay-menghadap Rasulullah Saw. Dan berkata : Wahai Rasulullah, kami sudah menganggap Salim sebagai anak kami sendiri, dia menemuiku dalam keadaan memakai baju kerja dan kami hanya punya satu rumah. Bagaimana menurutmu tentang statusnya? Rasulullah menjawab “susukanlah ia lima kali susuan niscaya dia menjadi mahram dengan susuan itu”. Sahlah menganggap bahwa Salim adalah anak susunya. Aisyah-ummu al-mukminin- mengamalkan hadis ini terhadap laki-laki yang berinteraksi secara intens dengannya dan menyuruh saudarinya Ummu Kultsum bint Abi Bakar serta keponakannya untuk menyusui laki-laki yang bertemu secara intens dengannya. Istri-istri nabi yang lain enggan untuk menyusukan laki-laki lain dan berkata “ Tidak, demi Allah, menurut kami perintah Nabi ini khusus untuk Sahlah bint Suhail dalam menyusui Salim saja. Tidak, demi Allah, kami tidak mau ada laki-laki lain yang bebas menemui kami dengan susuan ini.(H.R. Malik)
Hadis ini dijelaskan oleh hadis yang lain, karena tidak mungkin Salim menyusu secara langsung kepada Sahlah bint Suhail. Berikut hadisnya :
أخبرنا محمد بن عمر حدثنا محمد بن عبد الله ابن أخي الزهري عن أبيه قال : كان يحلب في مسعط أو إناء قدر رضعة فيشربه سالم كل يوم خمسة أيام. و كان بعد يدخل عليها و هي حاسر رخصة من رسول الله صلي الله عليه و سلم لسهلة بنت سهيل
Artinya : Diterima dari Muhammad ibn Umar dari Muhammad ibn Abdullah-keponakan al-Zuhri-dari bapaknya bahwa air susu tersebut diperah dalam sebuah bejana “mangkok” dengan volume seseorang sudah bisa dianggap menyusu lalu diminum oleh Salim setiap hari selama lima hari. Setelah itu ia menemui Sahlah dalam keadaan memakai baju kerja sebagai rukhshah dari Rasululllah untuk Sahlah binti Suhail.(H.R. Ibnu Sa’ad)
Menurut Ibnu Abdil Barr teknis menyusukan orang yang sudah dewasa adalah dengan cara memerah susu dan meminumkannya kepada orang tersebut bukan dengan cara menyusu secara langsung seperti yang dilakukan oleh bayi karena itu tidak halal bagi orang yang sudah dewasa menurut sekelompok para ulama.
Dengan demikian yang dimaksud dengan menyusukan orang yang sudah dewasa dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik adalah dengan cara diperah dan diminumkan kepada Salim tidak menyusu secara langsung seperti yang dilakukan oleh bayi.
Masih banyak lagi contoh penafsiran sunnah dengan sunnah, seperti hukum orang junub yang puasa sementara belum mandi ketika waktu subuh datang, mandi wajib walaupun tidak inzâl, mengurai jalinan rambut ketika mandi wajib bagi wanita, dan lain-lain.
III. Memahami Sunnah dengan Pemahaman Sahabat
Instrumen berikutnya yang perlu diperhatikan dalam memahami sunnah adalah memahaminya berdasarkan penafsiran para sahabat karena mereka adalah pelaku sejarah dan bertemu langsung dengan Rasululllah Saw. Contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn Umar dari Rasululllah Saw. المتبايعان بالخيار ما لم يتفرقا. Abdulllah ibn Umar sebagai perawi hadis menafsirkan kata التفرق disini dengan berpisahnya badan sehingga ketika beliau membeli sesuatu dari seseorang beliau menjauh beberapa langkah kemudian kembali lagi jika ia masih punya keperluan. Syafi’i lebih setuju dengan penafsiran ini karena pada dasarnya dua orang yang sedang melakukan transaksi adalah terpisah. Ketika mereka akan melakukan akad, mereka bertemu di suatu tempat. Untuk menentukan apakah akad dilanjutkan atau tidak atau beralih kepada transaksi berikutnya adalah dengan kembali kepada kondisi semula yaitu berpisah. Sedangkan Imam Abu Hanifah lebih cendrung menafsirkan التفرق disini dengan selesainya negosiasi antara keduanya. Apabila negosiasi sudah selesai maka boleh berpindah kepada penawaran yang lain. Abu Hanifah beralasan dengan ayat
• (النساء : 29)
Menurut ayat ini bahwa adanya keridaan kedua belah pihak merupakan syarat sahnya akad yang termanifestasikan dalam îjâb dan qabûl. Kemudian makna التفرق dalam hadis ini adalah berpisah dari satu percakapan menuju percakapan yang lain. Ini dikuatkan oleh firman Allah berikut
..:
dan ayat
)البينة : 4)
Dimana kata التفرق dalam ayat ini adalah dari sisi perkataan. Selanjutnya menurut Abu Hanifah bagaimana jika transaksi diadakan di atas kapal, bagaimana caranya berpisah dan kembali ke tempat semula?
Contoh berikutnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. Dari Rasululllah Saw. :
إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم فليغسله سبع مرات
Artinya : Apabila bejana salah seorang di antara kamu dijilat oleh anjing maka basuhlah tujuh kali.
Abu Hurairah sebagai perawi hadis tidak membasuh jilatan anjing sebanyak tujuh kali tetapi beliau membasuhnya sebanyak tiga kali karena beliau menganggap hadis ini adalah mansukh. Abu Hanifah memilih sependapat dengan Abu Hurairah karena menurut beliau ketika seorang perawi hadis berfatwa dan melakukan suatu amalan berbeda dengan hadis yang diriwayatkannya berarti menunjukkan ada illat pada hadis tersebut. Sedangkan jumhûr ulama tetap beramal dengan hadis ini dan men-tarjih-nya.
Menurut al-Kautsariy hadis membasuh bejana tujuh kali ini di-nasakh-kan oleh hadis yang menyuruh untuk membasuh jilatan anjing sebanyak tiga kali. Hal ini berdasarkan pola perlakuan terhadap anjing mulai dari yang sangat ekstrim sampai adanya keringanan. Dimana awalnya Rasulullah menyuruh sahabat untuk membunuh seluruh jenis anjing karena sedikit sekali para sahabat yang bersahabat dengan anjing, kemudian hanya anjing yang berwarna hitam saja yang dibunuh, selanjutnya ada keringanan untuk memelihara anjing peburu, penjaga kebun dan ternak. Maka membasuh jilatan anjing sebanyak tujuh kali terjadi pada masa-masa awal dimana perlakuan terhadap anjing sangat ketat. Sedangkan membasuh jilatan anjing dengan tiga kali terjadi belakangan setelah adanya keringanan dalam memelihara anjing peburu, penjaga kebun dan ternak.
IV. Metode Ulama Klasik Dalam Memahami Sunnah
Secara umum metode yang berkembang pada masa klasik dalam memahami sunnah adalah cendrung tekstual. Pemahaman ini banyak dikembangkan oleh para muhaddits. Mereka memahami hadis menurut zahirnya dan tidak mau mena’wilkannya. Contohnya adalah penolakan Umar ibn Abdil Aziz dan ulama salaf yang lain terhadap zakat fitrah yang dibayarkan dengan uang. Alasan mereka adalah bahwa Nabi hanya mensyariatkan untuk mengeluarkan zakat fitrah pada jenis makanan tertentu, yaitu kurma, gandum, dan anggur. Dengan demikian tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah dengan sesuatu yang tidak ditentukan Nabi dalam hadisnya. Sementara Abu Hanifah dan pengikutnya membolehkan zakat fitrah dengan uang. Menurut Qardhawiy kalau kita mencoba melihat substansi hadis, ketika Nabi membatasi mengeluarkan zakat fitrah dengan jenis makanan ini adalah untuk memberi kemudahan kepada muzakki dan memberikan manfaat kepada mustahiq. Dalam hal ini Nabi mencoba menjaga maslahat masyarakat karena pada waktu itu jenis makanan ini yang paling dibutuhkan mereka dan paling mudah didapati. Sedangkan uang merupakan barang langka. Adapun sekarang yang terjadi justru sebaliknya, uang banyak beredar sementara bahan makanan agak langka. Uang juga memberikan banyak manfaat kepada keluarga mustahiq. Dengan demikian pendapat ini lebih sejalan dengan substansi yang diinginkan oleh hadis.
Pemahaman hadis berdasarkan konteksnya banyak dikembangkan oleh ulama-ulama fikih seperti Abu Hanifah dan al-Qarafiy-penganut madzhab Malikiy, beliau dianggap sebagai pioneer dalam masalah ini.
V. Penutup
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan hal-hal berikut :
1. Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan, lakukanlah penelitian secara mendalam. Dalam hal ini seperti mengatakan hadis itu adalah dha’if. Banyak hadis yang sebetulnya sahih secara sanad tetapi karena bertentangan dengan logika kita, kita langsung menudingnya dha’if. Sebelum kita sampai kepada kesimpulan ini, seharusnya kita menelaah lebih jauh apa maksud dan makna yang terkandung dalam hadis ini. Seperti kasus radha’ah al-kabir yang kita sebutkan di atas bahwa yang dimaksud dengan menyusukan adalah dengan cara memerah air susu dan memasukkannya ke dalam gelas, lalu diminum. Begitu juga menuding orang lain tidak mengamalkan sunnah hanya karena mereka berbeda pemahaman dengan kita.
2. Pola pemahaman tekstual dan kontekstual sudah dipraktekkan oleh para sahabat tetapi belum menjadi sebuah metode yang menjadi frame berpikir seseorang dalam memahami sunnah.
3. Secara umum para ulama salaf dalam hal ini didominasi oleh para muhaddits lebih cendrung memakai pola tekstual sedangkan ulama fikih lebih cendrung kontekstual.
4. Pola yang ideal adalah mengkolaborasikan antara pemahaman tekstual dengan pemahaman kontekstual. Tidak semua permasalahan yang harus dipahami secara kontekstual terutama dalam masalah ibadah seperti kaedah berikut الأصل في العبادات التعبد دون الالتفات إلي المعان و الأصل في العاديات الالتفات إلي الأسرار و الحكم و المقاصد (Yang menjadi acuan dalam masalah ibadah adalah mengikut tanpa perlu mencari tahu rahasianya sedangkan dalam masalah mu’amalah perlu meneliti rahasia, hikmah, dan maksudnya). Karena kalau kita menggunakan teori maqashid syari’ah dalam masalah ibadah, mungkin banyak ibadah yang akan kita tinggalkan dan akan mereduksi makna ketataan dan penghambaan kepada-Nya. Contohnya adalah melakukan raml pada tiga putaran pertama pada thawaf qudum atau thawaf umrah dan membiarkan lengan sebelah kiri terbuka. Raml adalah berjalan agak sedikit cepat pada waktu thawaf. Ini disunnahkan Nabi untuk menepis isu bahwa Nabi dan para sahabat tertular penyakit yang mewabah di Madinah sehingga menjadi lemah. Kalau kita menggunakan konsep maqashid tentu sekarang kita tidak melakukan amalan ini lagi padahal para ulama tetap menyunnahkan melakukannya.
5. Ranah fikih merupakan ruang kajian yang sangat luas. Masing-masing memandang berdasarkan persfektifnya dengan alasan dan argumentasi yang dimiliki. Maka tidak boleh menjustifikasi bahwa pendapat kita paling benar dan orang lain salah. Dalam hal ini pemakalah setuju dengan ungkapan Imam Syafi’i yang terkenal رأيي صواب يحتمل الخطأ و رأي غيري خطأ يحتمل الصواب (Pendapatku betul ada kemungkinan salah dan pendapat selainku salah ada kemungkinan betul).
Demikianlah makalah sederhana ini semoga menambah khazanah keilmuan dan dinamika perkuliahan.
Daftar Pustaka
Abd. Hadi, Abd. Muhdi Abd. Qadir, Daf’u al-Syubhat ‘an al-Sunnah wa al-Rasul, (Kairo: Maktabah al-Iman, 2006)
Abd. Ghani, Abd. Khaliq, Hujjiyah Al-Sunnah, (Manshurah : Mathabi’ Al-Wafa’, t.th.)
Al-‘Asqalaniy, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000)
Al-Bashriy, Muhammad bin Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997)
Al-Bugha, Musthafa dan Mistu, Muhyiddin, al-Wafi fi Syarh al-Arba’in al-Nawawiyyah, (Damaskus : Dar Ibn Katsir, 2003)
Al-Bukhariy, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, al-Jami’ al-Shahih al-Musnid min Hadits Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi , (Kairo: al-Mathba’ah al-Salafiah, 1400 H.)
Al-Daminiy, Musfir Azmullah, Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah, (Riyadh : t.tp., t.th.)
Al-Ghazali, Muhammad, Al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits, terj. Muhammad al-Baqir, Studi Kritis Atas Hadis Nabi; antara pemahaman tekstual dan kontekstual, (Bandung : Mizan, 1998)
Al-Khathib, Muhammad Abdullah, Hamid, Muhammad Abd. Halim, Nazharat fi Risalah al-Ta’alim, (Kairo : Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyyah, 1995)
Al-Naisaburiy, Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairiy, al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min al-Sunan bi Naql al-‘Adl ‘an al-‘Adl ila Rasulillah Saw., (Riyadh : Dar al-Thayyibah, 2006)
Al-Nawawiy,Yahya bin Syarf, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawiy, (Damaskus : Dar al-Khair, 1999)
Al-Qardhawiy, Yusuf, Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2000)
Anas, Malik ibn, al-Muwatha’, (Kairo : Dar al-Hadits, 2001)
Awwamah, Muhammmad, Atsar al-Hadits al-Syarif fi Ikhtilaf al-A’immah, (Kairo : Dar al-Salam, 1987)
Zaidan, Abd. Karim, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Beirut : Muassasah al-Risalah, 1996)
#Fiqh Hadits
Sunnah merupakan sumber hukum kedua dalam Islam. Oleh karena itu, sunnah harus dipahami dengan baik dan benar agar maksud yang diinginkan oleh pembuat syariat sampai kepada sasarannya. Sudah beratus judul buku yang terbit dan berbagai macam pemikiran yang muncul sebagai partisipasi dalam diskursus seputar sunnah sebuah upaya untuk membantu umat dalam memahami sunnah .
Ada berbagai macam ragam pemahaman terhadap sunnah yang mengapung ke permukaan. Ada yang tekstual dan ada yang kontekstual. Ada yang terlalu ekstrim dan ada pula yang sembrono. Ada yang terlalu berani dalam mena’wilkan teks tanpa ilmu dan ada pula yang hanya memahami hadis di permukaannya saja sehingga tidak menyentuh substansi yang diinginkan. Jalan yang tepat adalah adil, objektif, dan proporsional dalam memahami hadis Rasulullah Saw. Agar terhindar dari sikap-sikap negatif yang digambarkan Rasulullah Saw. dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu ‘Adi berikut :
يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين و انتحال المبطلين و تأويل الجاهلين
Artinya : Ilmu ini (sunnah) akan diemban oleh orang-orang yang moderat pada setiap generasi dimana mereka melindungi sunnah dari penyelewengan orang-orang yang ekstrim, penyimpangan orang-orang yang bathil, dan pena’wilan orang-orang yang jahil.(H.R. Ibnu Jarir dan Ibnu ‘Adi)
Salah satu upaya untuk memahami sunnah secara baik dan benar adalah dengan cara mengenal metode-metode yang berkembang sehingga kita bisa mengkomparasikan mana yang paling ideal di antara semua metode yang ada. Salah satu metode itu adalah metode tradisionalis (salaf) dan ulama klasik dalam memahami sunnah. Mereka adalah orang-orang yang bertemu langsung dengan Rasulullah dan yang masih dekat masanya dengan Beliau sehingga patut dijadikan acuan dalam memahami sunnah. Dalam makalah ini, pemakalah mencoba memaparkan pola memahami sunnah dengan sunnah, memahami sunnah dengan pemahaman para sahabat, dan metode ulama klasik dalam memahami sunnah.
II. Memahami Sunnah dengan Sunnah
Salah satu instrumen yang digunakan dalam memahami sunnah adalah menafsirkannya dengan sunnah yang lain. Pola penafsiran sunnah dengan sunnah ada beberapa bentuk : pertama, menjelaskan hadis lain yang masih global (tafshîl al-mujmal); kedua, memberi batasan yang jelas (taqyîd al-muthlaq) terhadap hadis lain yang masih umum; ketiga, mengecualikan kaedah-kaedah umum yang berlaku (takhshîsh al-‘âm); dan keempat, menjelaskan hadis lain yang memiliki makna yang kontroversi (taudhîh al-isykâl). Metode ini merupakan metode yang paling bagus dalam memahami sunnah.
II.1. Tafshîl al-mujmal
Salah satu bentuk penafsiran sunnah dengan sunnah adalah menjelaskan perkara yang masih global (umum). Contohnya adalah kewajiban shalat dan haji yang merupakan pilar agama Islam sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn Umar
عن أبي عبد الرحمن عبد الله بن عمر بن الخطاب رضي الله عنهما قال : سمعت رسول الله صلي الله عليه و سلم يقول : بني الإسلام علي خمس : شهادة أن لا إله إلا الله و أن محمدا رسول الله و إقام الصلاة و إيتاء الزكاة و حج البيت و صوم رمضان
Artinya : Diterima dari Abu Abdirrahman Abdullah ibn Umar r.a. bahwa beliaumendengar Rasulullah Saw. bersabda : Islam dibangun berdasarkan lima pilar : bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji, dan puasa di bulan Ramadhan.(H.R. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini disebutkan secara global tanpa merinci bagaimana tata cara pelaksanaan shalat dan haji. Hadis ini ditafsirkan oleh hadis lain yang menjelaskan tata cara pelaksanaannya secara rinci sebagaimana berikutكما رأيتموني أصلي صلوا “ shalatlah kamu seperti shalat yang kulakukan” dan hadisعني مناسككم خذوا “ pelajarilah tata cara pelaksanaan ibadah haji dariku”.
II.2. Takhshîs al-‘âm dan taqyîd al-muthlaq
Contohnya adalah hadis tentang isbâl. Imam Bukhari menulis hadis tentang isbâl pada bab (kitâb) libâs dalam tiga pasal (bâb): pertama, pasal man jarra izârahu min ghairi khuyalâ’, kedua, pasal mâ asfala min al-ka’bain fahuwa fi al-nâr, dan ketiga, pasal man jarra tsaubahu min al-khuyalâ’.
Untuk lebih jelas permasalahannya, mari kita lihat hadis-hadis tentang isbâl di bawah ini :
عن أبي ذر عن النبي صلي الله عليه و سلم قال : ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة : المنان الذي لا يعطي شيئا إلا منه و المنفق سلعته بالحلف الفاجر و المسبل إزاره
Artinya : Diterima dari Abu Dzar bahwa Rasululllah Saw. Bersabda : Ada tiga kelompokyang Allah tidak akan berbicara dengan mereka pada hari kiamat nanti, yaitu orang yang memberi dan selalu menyebut pemberiannya, orang yang menjual dagangannya dengan sumpah palsu, dan orang yang menjulurkan pakaiannya sampai ke bawah mata kaki.(H.R. Muslim)
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلي الله عليه و سلم قال : ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار
Artinya : Diterima dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda : Pakaianyang berada di bawah mata kaki nerakalah tempatnya (H.R. Bukhari).
Maksud hadis di atas adalah pakaian yang berada di bawah mata kaki dianggap musbil dan tempatnya adalah neraka sebagai hukuman bagi pelakunya.
Hadis ini sangat umum, semua orang yang memakai pakaian di bawah mata kaki tempatnya adalah neraka tanpa terkecuali. Kemudian hadis ini dijelaskan oleh hadis lain bahwa keharaman memakai pakaian di bawah mata kaki adalah karena faktor khuyalâ’. Ini terbukti dengan terbebasnya Abu Bakar dari ancaman hadis karena beliau memanjangkan pakaiannya bukan karena khuyalâ’.
عن سالم بن عبد الله عن أبيه رضي الله عنه عن النبي صلي الله عليه و سلم قال : من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة. قال أبو بكر : يا رسول الله, إن أحد شقي إزاري يسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه. فقال النبي صلي الله عليه و سلم : لست ممن يصنعه خيلاء.
Artinya : Diterima dari Salim ibn Abdullah dari bapaknya bahwa Rasulullah Saw. bersabda : Siapa yang memanjangkan pakaiannya (celana) sampai ke bawah mata kaki Allah tidak akan memandangnya pada hari kiamat nanti. Abu Bakar berkata : Wahai Rasululllah! Salah satu bagian pakaianku menjulai ke bawah kecuali jika aku menjaganya. Rasulullah Saw. Menjawab : Kamu tidak termasuk orang yang melakukannya karena khuyalâ’.(H.R. Bukhari)
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلي الله عليه و سلم قال : لا ينظر الله يوم القيامة إلي من جر إزاره بطرا
Artinya : Diterima dari Abu Hurairah bahwa Rasululllah Saw. bersabda : Allah tidak akan memandang orang yang menjulurkan pakaiannya sampai ke bawah mata kaki karena sombong pada hari kiamat nanti.(H.R. Bukhari)
Imam Nawawi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan musbil adalah orang yang menjulurkan celananya sampai ke bawah mata kaki karena khuyalâ’ sebagaimana ditafsirkan oleh hadis lain yang berbunyi .لا ينطر الله من يجر ثوبه خيلاء Khuyalâ’ adalah sombong. Khuyalâ’ ini mengecualikan keumuman hadis إزاره المسبل . Dengan demikian yang mendapat ancaman dalam hadis ini adalah khusus bagi orang yang memanjangkan celananya karena sombong. Nabi juga telah memberi rukhshah kepada Abu Bakar bahwa beliau tidak termasuk orang yang menjulurkan pakaiannya karena sombong.
Kemudian Ibnu Hajar menjelaskan lebih lanjut bahwa berdasarkan hadis-hadis di atas maka menjulurkan pakaian sampai ke bawah mata kaki karena khuyalâ’ adalah dosa besar. Sedangkan isbâl bukan karena khuyalâ’ secara zahir juga haram, tetapi karena adanya ‘illat maka isbâl tidak haram jika terbebas dari sifat khuyalâ’.
II.3. Taudhîh al-isykâl
Contohnya adalah hadis tentang menyusukan lelaki yang sudah dewasa “radhâ’ah al-kabîr”. Hadis ini mungkin kontroversi karena berbau porno aksi. Bagaimana mungkin seorang yang sudah “jenggotan” disusui oleh seorang wanita? Banyak orang yang menolak hadis ini karena sulit memahami maksudnya. Ketika diteliti lebih dalam ternyata hadis ini dijelaskan oleh hadis yang lain. Berikut redaksi hadisnya sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Muwatha’:
عن ابن شهاب أنه سئل عن رضاعة الكبير فقال : أخبرني عروة بن الزبير أن أبا حذيفة بن عتبة بن ربيعة – و كان من أصحاب رسول الله صلي الله عليه و سلم و كان قد شهد بدرا – و كان تبني سالما الذي يقال له سالم مولي أبي حذيفة كما تبني رسول الله صلي الله عليه و سلم زيد بن حارثة و أنكح أبو حذيفة سالما و هو يري أنه ابنه , أنكحه بنت أخيه فاطمة بنت الوليد بن عتبة بن ربيعة و هي يومئذ من المهاجرات الأول و هي من أفضل أيامى قريش, فلما أنزل الله تعالي في كتابه في زيد بن حارثة ما أنزل, فقال :" ادعوهم لآبائهم هو أقسط عند الله فإن لم تعلموا آبائهم فإخوانكم في الدين و مواليكم " رد كل واحد من أولئك إلي أبيه, فإن لم يعلم أبوه رد إلي مولاه, فجائت سهلة بنت سهيل و هي امرأة أبي حذيفة و هي من بني عامر بن لؤي إلي رسول الله صلي الله عليه و سلم فقالت : يا رسول الله, كنا نري سالما ولدا و كان يدخل علي و أنا فضل و ليس لنا إلا بيت واحد, فماذا تري في شأنه؟ فقال لها رسول الله صلي الله عليه و سلم : " أرضعيه خمس رضعات فيحرم بلبنها" و كانت تراه ابنا من الرضاعة, فأخذت بذلك عائشة أم المؤمنين فيمن كانت تحب أن يدخل عليها من الرجال, فكانت تأمر أختها أم كلثوم بنت أبي بكر الصديق و بنات أخيها أن يرضعن من أحبت أن يدخل عليها من الرجال, و أبي سائر أزواج النبي صلي الله عليه و سلم أن يدخل عليهن بتلك الرضاعة أحد من الناس, و قلن : لا و الله ما نري الذي أمر به رسول الله صلي الله عليه و سلم سهلة بنت سهيل إلا رخصة من رسول الله صلي الله عليه و سلم في رضاعة سالم وحده, لا و الله لا يدخل علينا بهذه الرضاعة أحد.
Artinya : Diterima dari Ibnu Syihab bahwa beliau ditanya tentang radha’ah al-kabir kemudian beliau menjawab : Urwah ibn al-Zubair memberitahuku bahwa Abu Hudzaifah ibn ‘Utbah ibn Rabi’ah-termasuk sahabat Rasululllah Saw. Dan berpartisipasi dalam perang Badar-telah mengangkat Salim sebagai anak sehingga Salim disebut dengan Salim maula Abi Hudzaifah sebagaimana Rasulullah Saw. Telah mengangkat Zaid ibn Haritsah sebagai anak. Abu Hudzaifah menikahkan Salim karena menganggap beliau adalah anaknya, dimana beliau menikahkannya dengan putri saudaranya (keponakannya) yang bernama Fathimah bint al-Walid ibn ‘Utbah ibn Rabi’ah. Beliau termasuk kelompok wanita yang pertama hijrah ke Madinah dan merupakan wanita elit Quraisy yang belum menikah. Ketika turun firman Allah berkaitan dengan status Zaid ibn Haritsah “ Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil pada sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudaramu seagama dan maula-maulamu” maka setiap orang (budak-budak tersebut) kembali dipanggil dengan nama bapak-bapak mereka. Jika tidak diketahui bapaknya maka dikembalikan kepada tuannya. Kemudian datanglah Sahlah bint Suhail-istri Abu Hudzaifah dari Bani ‘Amir ibn Lu’ay-menghadap Rasulullah Saw. Dan berkata : Wahai Rasulullah, kami sudah menganggap Salim sebagai anak kami sendiri, dia menemuiku dalam keadaan memakai baju kerja dan kami hanya punya satu rumah. Bagaimana menurutmu tentang statusnya? Rasulullah menjawab “susukanlah ia lima kali susuan niscaya dia menjadi mahram dengan susuan itu”. Sahlah menganggap bahwa Salim adalah anak susunya. Aisyah-ummu al-mukminin- mengamalkan hadis ini terhadap laki-laki yang berinteraksi secara intens dengannya dan menyuruh saudarinya Ummu Kultsum bint Abi Bakar serta keponakannya untuk menyusui laki-laki yang bertemu secara intens dengannya. Istri-istri nabi yang lain enggan untuk menyusukan laki-laki lain dan berkata “ Tidak, demi Allah, menurut kami perintah Nabi ini khusus untuk Sahlah bint Suhail dalam menyusui Salim saja. Tidak, demi Allah, kami tidak mau ada laki-laki lain yang bebas menemui kami dengan susuan ini.(H.R. Malik)
Hadis ini dijelaskan oleh hadis yang lain, karena tidak mungkin Salim menyusu secara langsung kepada Sahlah bint Suhail. Berikut hadisnya :
أخبرنا محمد بن عمر حدثنا محمد بن عبد الله ابن أخي الزهري عن أبيه قال : كان يحلب في مسعط أو إناء قدر رضعة فيشربه سالم كل يوم خمسة أيام. و كان بعد يدخل عليها و هي حاسر رخصة من رسول الله صلي الله عليه و سلم لسهلة بنت سهيل
Artinya : Diterima dari Muhammad ibn Umar dari Muhammad ibn Abdullah-keponakan al-Zuhri-dari bapaknya bahwa air susu tersebut diperah dalam sebuah bejana “mangkok” dengan volume seseorang sudah bisa dianggap menyusu lalu diminum oleh Salim setiap hari selama lima hari. Setelah itu ia menemui Sahlah dalam keadaan memakai baju kerja sebagai rukhshah dari Rasululllah untuk Sahlah binti Suhail.(H.R. Ibnu Sa’ad)
Menurut Ibnu Abdil Barr teknis menyusukan orang yang sudah dewasa adalah dengan cara memerah susu dan meminumkannya kepada orang tersebut bukan dengan cara menyusu secara langsung seperti yang dilakukan oleh bayi karena itu tidak halal bagi orang yang sudah dewasa menurut sekelompok para ulama.
Dengan demikian yang dimaksud dengan menyusukan orang yang sudah dewasa dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik adalah dengan cara diperah dan diminumkan kepada Salim tidak menyusu secara langsung seperti yang dilakukan oleh bayi.
Masih banyak lagi contoh penafsiran sunnah dengan sunnah, seperti hukum orang junub yang puasa sementara belum mandi ketika waktu subuh datang, mandi wajib walaupun tidak inzâl, mengurai jalinan rambut ketika mandi wajib bagi wanita, dan lain-lain.
III. Memahami Sunnah dengan Pemahaman Sahabat
Instrumen berikutnya yang perlu diperhatikan dalam memahami sunnah adalah memahaminya berdasarkan penafsiran para sahabat karena mereka adalah pelaku sejarah dan bertemu langsung dengan Rasululllah Saw. Contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn Umar dari Rasululllah Saw. المتبايعان بالخيار ما لم يتفرقا. Abdulllah ibn Umar sebagai perawi hadis menafsirkan kata التفرق disini dengan berpisahnya badan sehingga ketika beliau membeli sesuatu dari seseorang beliau menjauh beberapa langkah kemudian kembali lagi jika ia masih punya keperluan. Syafi’i lebih setuju dengan penafsiran ini karena pada dasarnya dua orang yang sedang melakukan transaksi adalah terpisah. Ketika mereka akan melakukan akad, mereka bertemu di suatu tempat. Untuk menentukan apakah akad dilanjutkan atau tidak atau beralih kepada transaksi berikutnya adalah dengan kembali kepada kondisi semula yaitu berpisah. Sedangkan Imam Abu Hanifah lebih cendrung menafsirkan التفرق disini dengan selesainya negosiasi antara keduanya. Apabila negosiasi sudah selesai maka boleh berpindah kepada penawaran yang lain. Abu Hanifah beralasan dengan ayat
• (النساء : 29)
Menurut ayat ini bahwa adanya keridaan kedua belah pihak merupakan syarat sahnya akad yang termanifestasikan dalam îjâb dan qabûl. Kemudian makna التفرق dalam hadis ini adalah berpisah dari satu percakapan menuju percakapan yang lain. Ini dikuatkan oleh firman Allah berikut
..:
dan ayat
)البينة : 4)
Dimana kata التفرق dalam ayat ini adalah dari sisi perkataan. Selanjutnya menurut Abu Hanifah bagaimana jika transaksi diadakan di atas kapal, bagaimana caranya berpisah dan kembali ke tempat semula?
Contoh berikutnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. Dari Rasululllah Saw. :
إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم فليغسله سبع مرات
Artinya : Apabila bejana salah seorang di antara kamu dijilat oleh anjing maka basuhlah tujuh kali.
Abu Hurairah sebagai perawi hadis tidak membasuh jilatan anjing sebanyak tujuh kali tetapi beliau membasuhnya sebanyak tiga kali karena beliau menganggap hadis ini adalah mansukh. Abu Hanifah memilih sependapat dengan Abu Hurairah karena menurut beliau ketika seorang perawi hadis berfatwa dan melakukan suatu amalan berbeda dengan hadis yang diriwayatkannya berarti menunjukkan ada illat pada hadis tersebut. Sedangkan jumhûr ulama tetap beramal dengan hadis ini dan men-tarjih-nya.
Menurut al-Kautsariy hadis membasuh bejana tujuh kali ini di-nasakh-kan oleh hadis yang menyuruh untuk membasuh jilatan anjing sebanyak tiga kali. Hal ini berdasarkan pola perlakuan terhadap anjing mulai dari yang sangat ekstrim sampai adanya keringanan. Dimana awalnya Rasulullah menyuruh sahabat untuk membunuh seluruh jenis anjing karena sedikit sekali para sahabat yang bersahabat dengan anjing, kemudian hanya anjing yang berwarna hitam saja yang dibunuh, selanjutnya ada keringanan untuk memelihara anjing peburu, penjaga kebun dan ternak. Maka membasuh jilatan anjing sebanyak tujuh kali terjadi pada masa-masa awal dimana perlakuan terhadap anjing sangat ketat. Sedangkan membasuh jilatan anjing dengan tiga kali terjadi belakangan setelah adanya keringanan dalam memelihara anjing peburu, penjaga kebun dan ternak.
IV. Metode Ulama Klasik Dalam Memahami Sunnah
Secara umum metode yang berkembang pada masa klasik dalam memahami sunnah adalah cendrung tekstual. Pemahaman ini banyak dikembangkan oleh para muhaddits. Mereka memahami hadis menurut zahirnya dan tidak mau mena’wilkannya. Contohnya adalah penolakan Umar ibn Abdil Aziz dan ulama salaf yang lain terhadap zakat fitrah yang dibayarkan dengan uang. Alasan mereka adalah bahwa Nabi hanya mensyariatkan untuk mengeluarkan zakat fitrah pada jenis makanan tertentu, yaitu kurma, gandum, dan anggur. Dengan demikian tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah dengan sesuatu yang tidak ditentukan Nabi dalam hadisnya. Sementara Abu Hanifah dan pengikutnya membolehkan zakat fitrah dengan uang. Menurut Qardhawiy kalau kita mencoba melihat substansi hadis, ketika Nabi membatasi mengeluarkan zakat fitrah dengan jenis makanan ini adalah untuk memberi kemudahan kepada muzakki dan memberikan manfaat kepada mustahiq. Dalam hal ini Nabi mencoba menjaga maslahat masyarakat karena pada waktu itu jenis makanan ini yang paling dibutuhkan mereka dan paling mudah didapati. Sedangkan uang merupakan barang langka. Adapun sekarang yang terjadi justru sebaliknya, uang banyak beredar sementara bahan makanan agak langka. Uang juga memberikan banyak manfaat kepada keluarga mustahiq. Dengan demikian pendapat ini lebih sejalan dengan substansi yang diinginkan oleh hadis.
Pemahaman hadis berdasarkan konteksnya banyak dikembangkan oleh ulama-ulama fikih seperti Abu Hanifah dan al-Qarafiy-penganut madzhab Malikiy, beliau dianggap sebagai pioneer dalam masalah ini.
V. Penutup
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan hal-hal berikut :
1. Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan, lakukanlah penelitian secara mendalam. Dalam hal ini seperti mengatakan hadis itu adalah dha’if. Banyak hadis yang sebetulnya sahih secara sanad tetapi karena bertentangan dengan logika kita, kita langsung menudingnya dha’if. Sebelum kita sampai kepada kesimpulan ini, seharusnya kita menelaah lebih jauh apa maksud dan makna yang terkandung dalam hadis ini. Seperti kasus radha’ah al-kabir yang kita sebutkan di atas bahwa yang dimaksud dengan menyusukan adalah dengan cara memerah air susu dan memasukkannya ke dalam gelas, lalu diminum. Begitu juga menuding orang lain tidak mengamalkan sunnah hanya karena mereka berbeda pemahaman dengan kita.
2. Pola pemahaman tekstual dan kontekstual sudah dipraktekkan oleh para sahabat tetapi belum menjadi sebuah metode yang menjadi frame berpikir seseorang dalam memahami sunnah.
3. Secara umum para ulama salaf dalam hal ini didominasi oleh para muhaddits lebih cendrung memakai pola tekstual sedangkan ulama fikih lebih cendrung kontekstual.
4. Pola yang ideal adalah mengkolaborasikan antara pemahaman tekstual dengan pemahaman kontekstual. Tidak semua permasalahan yang harus dipahami secara kontekstual terutama dalam masalah ibadah seperti kaedah berikut الأصل في العبادات التعبد دون الالتفات إلي المعان و الأصل في العاديات الالتفات إلي الأسرار و الحكم و المقاصد (Yang menjadi acuan dalam masalah ibadah adalah mengikut tanpa perlu mencari tahu rahasianya sedangkan dalam masalah mu’amalah perlu meneliti rahasia, hikmah, dan maksudnya). Karena kalau kita menggunakan teori maqashid syari’ah dalam masalah ibadah, mungkin banyak ibadah yang akan kita tinggalkan dan akan mereduksi makna ketataan dan penghambaan kepada-Nya. Contohnya adalah melakukan raml pada tiga putaran pertama pada thawaf qudum atau thawaf umrah dan membiarkan lengan sebelah kiri terbuka. Raml adalah berjalan agak sedikit cepat pada waktu thawaf. Ini disunnahkan Nabi untuk menepis isu bahwa Nabi dan para sahabat tertular penyakit yang mewabah di Madinah sehingga menjadi lemah. Kalau kita menggunakan konsep maqashid tentu sekarang kita tidak melakukan amalan ini lagi padahal para ulama tetap menyunnahkan melakukannya.
5. Ranah fikih merupakan ruang kajian yang sangat luas. Masing-masing memandang berdasarkan persfektifnya dengan alasan dan argumentasi yang dimiliki. Maka tidak boleh menjustifikasi bahwa pendapat kita paling benar dan orang lain salah. Dalam hal ini pemakalah setuju dengan ungkapan Imam Syafi’i yang terkenal رأيي صواب يحتمل الخطأ و رأي غيري خطأ يحتمل الصواب (Pendapatku betul ada kemungkinan salah dan pendapat selainku salah ada kemungkinan betul).
Demikianlah makalah sederhana ini semoga menambah khazanah keilmuan dan dinamika perkuliahan.
Daftar Pustaka
Abd. Hadi, Abd. Muhdi Abd. Qadir, Daf’u al-Syubhat ‘an al-Sunnah wa al-Rasul, (Kairo: Maktabah al-Iman, 2006)
Abd. Ghani, Abd. Khaliq, Hujjiyah Al-Sunnah, (Manshurah : Mathabi’ Al-Wafa’, t.th.)
Al-‘Asqalaniy, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000)
Al-Bashriy, Muhammad bin Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997)
Al-Bugha, Musthafa dan Mistu, Muhyiddin, al-Wafi fi Syarh al-Arba’in al-Nawawiyyah, (Damaskus : Dar Ibn Katsir, 2003)
Al-Bukhariy, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, al-Jami’ al-Shahih al-Musnid min Hadits Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi , (Kairo: al-Mathba’ah al-Salafiah, 1400 H.)
Al-Daminiy, Musfir Azmullah, Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah, (Riyadh : t.tp., t.th.)
Al-Ghazali, Muhammad, Al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits, terj. Muhammad al-Baqir, Studi Kritis Atas Hadis Nabi; antara pemahaman tekstual dan kontekstual, (Bandung : Mizan, 1998)
Al-Khathib, Muhammad Abdullah, Hamid, Muhammad Abd. Halim, Nazharat fi Risalah al-Ta’alim, (Kairo : Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyyah, 1995)
Al-Naisaburiy, Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairiy, al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min al-Sunan bi Naql al-‘Adl ‘an al-‘Adl ila Rasulillah Saw., (Riyadh : Dar al-Thayyibah, 2006)
Al-Nawawiy,Yahya bin Syarf, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawiy, (Damaskus : Dar al-Khair, 1999)
Al-Qardhawiy, Yusuf, Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2000)
Anas, Malik ibn, al-Muwatha’, (Kairo : Dar al-Hadits, 2001)
Awwamah, Muhammmad, Atsar al-Hadits al-Syarif fi Ikhtilaf al-A’immah, (Kairo : Dar al-Salam, 1987)
Zaidan, Abd. Karim, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Beirut : Muassasah al-Risalah, 1996)
0 Comment