Monday, October 26, 2020

ARIAH (PINJAMAN) DAN HIWALAH (PEMINDAHAN UTANG) 
A. Pengertian dan Dasar Hukum 

         ‘Ariyah Secara etimologi, ‘ariyah diambil dari kata ‘Aara yang berarti datang dan pergi. Merurut sebagian pendapat ‘Ariyah berasal dari kata ‘At-Ta’aawuru yang sama artinya dengan At-Tanaawulu At-Tanaasubu yang berarti saling menukar dan mengganti dalam konteks tradisi pinjam meminjam. Secara terminologi syara’, ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefinisikan ,Ariyah’, antara lain : 

1. Ibnu Rif’ah berpendapat, bahwa yang dimaksud ‘ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya, supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya . 
2. Menurut pendapat al-Malikiyah sebagaimana yang ditulih oleh Wahba al- Juhaili, ‘ariyah adalah pemilikan ats manfaat suatu barang tanpa adanya imbalan. Adapun menurut al-Syafi’iyah dan al-Hanabalah ‘ariyah adalah pembolehanuntuk mengambil manfaat suatu barang tanpa adanya imbalan. 
3. Amir syarifuddin berpendapat, bahwa ‘ariyah adalah transaksi atas manfaat suatu barang tanpa imbalan, dalam arti sederhana ‘ariiyah adalah menyerahkan suatu wujud barang untuk dimanfaatkan orang lain tanpa adanya imbalan. 

        Menurut Wahbah al-Juhaili akad ini berbeda dengan hibah, karena ‘ariyah dimaksudkan hanya untuk mengambil manfaat dari uatu barang, sedangkan hibah mengambil zat dan manfaatnya sekaligus. ‘Ariyah berbeda pula dengan ijarah, sebab pada ijarah, barang yang dimanfaatnkan itu harus diganti dengan imbalan tertentu. Sebagi salah satu bentuk akad atau transaksi ‘ariyah dapat berlaku pada seluruh jenis tingkatan masyarakat. Ia dapat berlaku pada masyarakat tradisional maupun masyarakat modern, dan oleh sebab itu dapat di perkirajkan bahwa jenis akad atau transaksi ini sudah sangat tua, yaitu sejak manusia yang satu berhubungan dengan yang lainnya. Menurut Wahbah al-Zuhaili tolong menolong dalam arti ‘ariyah atau pinjam meminjamkan sesuatu hukumnya sunnah, sedangkan menurut amir syariffuddin, transaksi dalam bentuk itu hukumnya boleh atau mubah sepanjang di lakukan sesuai dengan ketentuan syara’. 

         Adapun dasar hukum dibolehkanya bahwa disunahkannya ‘ariyah adalah ayat ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis sebagai berikut: “Dan tolong menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan. (Al-maidah”: 2) Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-nisa: 58). “sampaikanlah amanat orang-oarang yang memberi amanat kepadamu, dan janganlah kamu khianat sekalipun dia khianat kepadamu” (Hadis riwayat Abu Daud) “Barang siapa yang meminjam harta seseorang dengan kemauan membyarnya, maka Allah akan membayarnya, dan barang siapa yang meminjamnya dengan kemauan melenyapkannya maka Allah akan melenyapkan hartanya”. (Hadits riwayat Al-Bukhari). “orang kaya yang memperlambat membayar utang/pinjaman adalah zalim atau berbuat aniaya”. (HR.al-Bhukhari dan muslim). 

B. Rukun dan Syarat-Syarat 
        ‘Ariyah Ariyah sebagai sebuah akad atau transaksi, sudah tentu perlu adnya unsur-unsur yang mesti ada, yang menjadikan perbuatan itu untuk dapat terwujud sebagai sesuatu sebuah hukum. Dalam hal ini sudah pasti ada beberapa rukun yang harus dipenuhi. Adapun rukun ‘ariyah menurut jumhur ulama ada empat, yaitu: 
1. Orang yang meminjamkan atau Mu’ir’ 
2. Orang yang meminjamkkan atau mustair. 
3. Barang yang dipinjam atau m’uar 
4. Lafal atau sighat pinjaman atau sighat ‘ariyah. 

Sama halnya dengan pelaksanaan dengan akad-akad lainnya, para ulama mengharuskan supaya akad atau transaksi ‘ariyah ini memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syara’. Adpun syarat-syarat ariyah sebagai berikut: 

1. Orang yang meminjam itu adalah orang telah berakal dan cakap bertindak hukum, karena orang yang tidak berakaldan tidak dapat dipercaya memegang amanah. Padahal barang ‘ariyah ini pada dasarnya amanah yang harus dipelihara oleh orang yang memanfaatkannya. Oleh sebab itu, anak kecil, orang gila, dan orang bodoh tidak boleh melakukan akad, atau transaksi ‘ariyah. 

2. Barang yang dipinjam bukan jenis barabg yang apabila dimanfaatkan akan habis atau musnah seperti makanan. Jenis-jenis barang yang tidak habis atau musnah yang apabila dimanfaatkan seperti rumah, pakaian, dan kendaraaan. 

3. Barang yang dipinjamkan itu harus secara langsung dapat dikuasai oleh peminjam. Artinya, dalam akad atau trasaksi ‘ariyah pihak peminjam harus menerima langsung barang itu dan dan dapat dimanfaatkan secara langsung pula. 

4. Manfaat barang yang dipinjam itu termasuk manfaat yang mubah atau dibolehkan oleh syara’. Misalnya apabila meminjam kendaraan orang lain hendaknya orang untuk hal-hal yang bermanfaat dalam pandangan syara’, seperti digunakan untuk silaturahmi, berziarah berbagai masjid dan sebagainya. Apabila kendaraan itu digunakan untuk pergi ketempat tempat maksiat maka injaman dicela oleh syara’, sekalipun akad atau transaksi ‘ariyah pada dasarnya sah. Ia dicela karena pemanfaatannya tidak sesuai dengan tujuan syara’ , yaitu tolong-menolong dalam hal kebaikan. 

C. Pembayaran Pinjaman dan Tangung jawab Pinjaman 
        
        Setiap orang meminjam sesuatu pada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang. Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk perbuatan aniaya. Dalam hal ini Rasulullah saw. Bersabda: “orang kaya yang memperlambat atau melalaikan kewajiban membayar utang adalah zalim atau berbuat aniaya”. (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim). 

      Adapun melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang. Dalam hal ini Raulullah saw. Bersabda: “sesungguhnya diantara orang yang terbaik diantara kamu adalah orang yang sebaik-baiknya membayar utang”. (hadits riwayat Bukhari dan Muslim). Sehubungan dengan peristiwa ini Rasulullah saw. Pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari yang hewan yang beliau pinjam, kemudian Rasulullah saw. Bersabda: “tiap-tiap piutang yang megambil manfaat maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba”. (Hadis riwayat Baihaqi). 
            
         Selanjutnya sejauh manakah tanggung jawab peminjam dalam masalah ‘ariyah ini. Para ulama fiqh bersepakat bahwa akad ‘ariyah bersifat tolong menolong, akan tetapi mengenai masalah apakah akad ‘ariyah itu amanah ditangan peminjam, sehingga tidak boleh dituntut ganti rugi apabila barang itu rusak. Dalam hal ini mereka berbeda pendapat. 

           Menurut ulama hanafiyah ‘ariyah ditangan peminjam bersifat amanah. Oleh karena itu peminjam tidak dikenakan ganti rugi terhadap kerusakan barang yang bukan disebabkan oleh perbuatannya atau keleleiannya dalam memanfaatkan barang tersebut. Akan tetapi apabila kerusakan tersebut disengaja maka ia dikenakan ganti rugi. 

        Menurut hanafiah akad ‘ariyah yang semula bersifat amanah dapat berubah menjadi akad yang dikenakan ganti rugi, dalam hal-hal berikut ini: 
a. Apabila barang itu secara sengaja dimusnahkan atau rusak. 
b. Apabila barang tersebut tidak dipelihara sama sekali. 
c. Apabila peanfaatan barang pinjaman itu tidak sesuai dangan adat yang berlaku, atau tidak sesuai dengan syarat yang diseoakati bersamaketika berlangsungnya akad. 
d. Apabila pihak peminjam melakukan sesuatu yang berbeda dengan syarat yang ditentukan sejak semula dengan akad. 

        Ulama Hanabiyah berpendapat bahwa ‘ariyah adalah akad yang mempunyai resiko ganti rugi, baik disebabkan oleh pinjaman atau disebabkan hal-hal lain. Oleh sebab itu, apaabila barang tersebut rusak atau hilang, baik desabkan pemanfaatan barang itu atau oleh peminjam maupun oleh sebab-sebab lain dilur jangkauan peminjam, maka menurut Hanabilah pihak peminjam wajib membayar ganti rugi semenjak barang itu rusak atau hilang. Alasan mereka adalah Hadisrasulullah saw. Sebagai berikut: “orang yang mengambil barang orang lain bertanggung jawab atas resikonya saampai ia mengembalikannya.” (Hadis Riwayat Ahmad dan hakim). 

           Menurut ulama syafi’iyah, apabila kerusakan barang itu disebabkan oleh pemanfaatan yang tidak disetujui pemilik barang, maka peminjam dikenakan ganti rugi, baik pemanfaatannya oleh peminjam maupun oleh orang lain. Alasannya adalah hadis sofwan ibnu Umayyah yang mengatakan bahwa ‘Al-ariyah itu dikenakan ganti rugi’ (HR. Abu Daud Dan Ahmad). 

        Akan tetapi apabila kerusakan itu terjadi dalam batas pemanfaatan yang diijinkan pemilaiknya, maka peminjam tu tidak dikenakan ganti rugi. Ulama malikiyah menyatakan bahwa apabila barang yang dipinjamkan dapat disembunyikan seperti pakaian,cicin, kalung, dan jam tangan, lalu peminjam mengatakan bahwa barang itu hilang atau hancur , sedangkan ia tidak dapat membuktikannya, maka dia dikenakan ganti rugi. Akan tetapi, jika dia dapat membuktikanya, maka dia tidak akan dikenakan ganti rugi. Selanjutnya, apabila barang tersebut termasuk jenis barang yang tidak dapat disembunyikan seperti rumah tanah dan kendaraan, kemudian barang itu rusak ketika dimanfaatkan maka tidak dikenaka ganti rugi atas kerusakan itu. Alasan meraka adalah sabda rasulullah saw. Sebagai berikut: “Pihak peminjam yang tuidak bersifat khianat tidak dikenakan ganti rugi”.(Hadis riwayat Abu Daud dan Hakim)  

D. Tata Krama Berutang 
        
        Mempedomani nilai-nilai yang terkandung dalam ayat-ayat al-qur’an dan hadis-hadis yang telah dimuat dan terkait dengan ‘ariyah diatas, ada beberapa hal yang menjadikan penekanan dalam pinjam meminjam atau utang piutang tentang tata krama yang terkait di dalamnya, diantarannya sebagai berikut: 

1. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya atau mengembalikannya. 
2. Pihak yang berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak yang berutang. Bila yang meminjam belum mampu mengembalikan maka yang meminjamkan hendakya membebaskannya. 3. Demi terjaganya hubugan baik hendaknya utang piutang diperkuat dengan tulisan dari kedua belah pihak yang disaksikan dua orang saksi laki-laki atau dengan seorang laki-laki dan dua orang saksi wanita. 
4. Ketka mengembalikan utang atau pinjaman hendaknya peminjam mengambalikan pinjaman sesuai dengan kualitas dan kuantitas barang yang dipinjam dan bila mungkin sebagai rasa terima kasihpeminjam mengembalikan barang pinjaman dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. 
5. Pihak yang berutang apabila telah mampu membayar pinjaman atau utangnya hendaklah mempercepat membayar utangnnya sebab sebagaimana dijelaskan dalam hadis, melalaikan dalam membayar pinjaman atau utang, berarti dia telah berbuat zalim kepada pemberi pinjaman atau utang padahal dia telah menolongnnya . 

E. Pengertian Hiwalayah 

         Secara etimologi hiwalayah diambil dari kata tahwil yang berarti intical yang artinya pemindahan. Yang dimaksud dalam konteks ini, hiwalayah adalah memindahkan utang dari tanggungan orang yang berutang atau al-muhil menjadi tanggungan orang yang akan melakukan pembayaran utang atau al-muhal ‘alaih. Sedangkan secara, terminologi, para ulama mendefinidikan hiwalayah sebagai berikut: 

1. Wahbah al-Juhaili berpendapat hiwalah adalah pengendallian kewajiban membayar utang dari dari beben pihak pertama kepada pihak lain yang berutang kepadanya atas dasar saling mempercayai. 
2. Imam Taqiyydin berpendapat, hiwalah adalah pemindahan utang dari bebean seseorang menjadi beban orang lain. 
3. Syihabuddin al-Qalyubi berpendapat bahwa yang dimaksud hiwalah adalah akad atau transaksi yang menetapkan perpindahan bebean utang dari seseorang kepada orang lain. Akad atau transaksi hiwalah ini dibolehkan dalam muamalah islam. Dasar kebolehannya adalah hadis nabi yang berbunyi sebagai berikut: “menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah kezaliman. Dan jika alah seorang diantara kamu dihiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkemapuan, hendalah ia menerima hiwalah tersebut, dan selanjutnya hendaklah ia mengikuti atau menagih utangnya kepada orang yang dihiwalahkannya. 

           Dengan cara seperti ini diharapkan haknya dapat di bayar dan dapat dipenuhi. Adapun hikmah dan tujuan dibolehkannya akad hiwalah ini adalah untuk memberikan kemudahan dalam bermuamalah dan tidak ada pihak yang dirugikan. Transaksi dalam bentuk hiwalah ini dalam praktiknya sekarang ini bisa terwujud seperti pengiriman uang melalui pos atau bank. 

F. Rukun dan Syarat Hiwalah 

        Ulama Hanfiyah berpendapat, bahwa yang meliputi rukun hiwalah adalah ijab atau pernyataan hiwalah dari pihak kedua (al-muhal) dan pihak ketiga (al-muhal ‘alaih) Akad atau transaksi hiwalah akan menjadi sah apabila terpenuhisyarat-syarat yang berkaitan dari pihak pertama (al-muhil), pihak kedua (al-muhal), pihak ketiga (al-muhal ‘alaih), serta yang berkaitan dengan utang itu sendiri (al-muhal bih). Syarat-syarat yang diperlukan pihak pertama (al-muhil) adalah: 

1. Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baligh dan berakal. Hiwalah tidak sah jika dilakukan anak–anak meskipun dia sudah mengrti (mumayyiz), ataupun di lakukan oleh orang gila. 2. Adanya pernyataan peretujuan atau rida. Jika pihak pertama dipaksa untuk melakukan hiwalah maka akad itu tidak sah. Adapun pernyataan ini berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian orang merasa keberatan dan terhina harga dirinya, jika kewajibannya untuk membayar utang dialihkan kepada pihak lain. 

        Syarat-syarat yang diperlukan oleh pihak kedua (al-muhal) sebagai berikut: 
1. Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh atau berakal seperti pihak pertama. 
2. Ada persetujuan pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan hiwalah. 

           Persyaratan ini berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasaan orang dalam membayar utang berbeda-beda, ada yang mudah da nada yang sulit membayarnya, sedangkan menerima pelunasan itu adalah hak pihak kedua. Syarat-syarat yang diperlukan oleh pihak ketiga (al-muhal ‘alaih) adalah: 

1. Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal sebagaimana pihak pertama dan pihak kedua. 
2. Adanya pernyataan persetujuan dari pihak dari pihak ketiga (al-muhal ‘alaih). hal ini diharuskan karena tindakan hiwalah merupakan tindakan hukum yang melahirkan pemindahan kewajiban kepada pihak ketiga (al-muhal ‘alaih) untuk membayar utang kepada pihak kedua (al-muhal), sedangkan kewajiban membayar utang baru dapat dibebankan kepadanya, apabila ia sendiri yang berutang kepada pihak kedua. Atas dasar itu, kewajiban itu hanya dapat dibebankan kepadanya, jika ia menyetujui akad hiwalah. 
3. Imam Abu Hanifah menambah syarat bahwa qabul atau pernyataan menerima akad harus dilakukan dengan sempurnaoleh pihak ketiga dalam suatu majelis akad. 

Syarat-syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan (al-muhal bih) adalah: 

1. Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang piutang yang telah pasti. 
2. Pembayaran utang itu harus mesti sama waktu jatuh tempo pembayarannya. Jika terjadi perbedaan jatuh tempo pembayaran diantara kedua utang itu, maka hiwalah tidak sah. 
3. Utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga kepada pihak kedua mestilah sama jumlah dan kualitasnya. Jika diantara kedua utang itu terdapat perbedaan jumlah, misalnya dalam bentuk uang, perbedaan kualitas misalnya utang dalam bentuk barang, maka hiwalah tidak sah. 

G. Beban Muhil Setelah Hiwalah 
    
        Dalam buku fiqh sunah, sayyid sabiq mengatakan bahwa apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil menjadi gugur. Andai kata muhil ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah adanya hiwalah atau meninggal dunia maka pihak kedua (al-muhal) tidak boleh berurusan dengan pihak pertama (al-muhil) karena memang utangnya telah diihiwalahkan. Demikianlah pendapat jumhur ulama. Berbeda dengan jumhur ulama, Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam keadaan muhal ,alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang mengutangkannya (al-muhal) boleh menagih kembali utangnya kembali kepada pihak pertama (al-muhil), sedangkan mazhab maliki berpendapat bahwa apabila muhil telah menipu muhal ternyata muhal ‘alaih adlah orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada muhal. Dalam kibab al-mmuattaImam imam maliki menulis bahwa orang yang mengiwalahkan utang kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajibannya, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil. 

        Perlu dikemukakan bahwa akad hiwalah ini mempunyai jangka waktu berlakunya. Akad hiwalah akan berakhir apabila: 
1. Salah satu pihak yang sedang melakukan aakad itu membatalkan akad hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap. Dengan adanya pembatalan akad itu pihak kedua kembali berhak menuntut pembayaran utang pada pihak pertama. 
2. Pihak ketiga telah melunasi utang yang telah dialihkan itu kepada pihak kedua. 
3. Pihak kedua menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan utang dalam akad hiwalah itu kepada pihak ketiga.
4. Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk membayar utang yang dialihkan itu 5. Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupaka ahli waris yang berisi harta pihak kedua. 
    
        Dalam hal ini tentu beban utang pihak ketiga tersebut diperhitungakan dalam pembagian warisan. 

H. Ringkasan 

        1. Secara etimologi, ‘ariyah diambil dari kata ‘aara yang berarti datang dan pergi menurut sebagian pendapat ‘ariyah barasal dari kata ‘at-ta’aawuru yang sama artinya dengan at-tanaawulu au At-Tanaasubu yang beterti saling menukar dan mengganti dalam konteks tradisi pinjam meminjam. Sedangkan secara terminology fiqh ‘ariyah adalah transaksi atas manfaat suatu barang tanpa imbalan, yaitu menyerahkan suatu wujud barang untuk dimanfaatkan orang lain tanpa adanya imbalan. 

2. Bermuamalah dengan akad ,ariyah ada yang mengatakan sunah da nada yang mengatakan mubah sepanjang dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’. Kebolehan ini didasarkan pada beberapa ayat al-Quran dan hadis-hadis nabi. 

3. Adapun rukun ‘ariyah menurut Jumhur Ulama ada empat, yaitu: a. Orang yang meminjamkan atau Mu’ir b. Orang-orang yang meminjamkan atau musta’ir c. Barang yang dipinjamkan atau Mu’ar d. Lafal atau sight pinjaman atau sight ‘ariyah 

4. Adpun syarat-syara ‘ariyah adalah sebagai berikut: a. Orang yang meminjam itu adlah orang yang telah berakal dan cakap bertindak hukum b. Barang yang dipinjam bukan jenis barang yang apabila dimanfaaatkan akan habis atau musnah. c. Barang-barang yang dipinjamkan itu harus secara langsung dapat dikuasai oleh peminjam. d. Manfaat barang yang dipinjam itu termasuk manfaat yang mubah atau dibolehkan oleh syara’. 

5. Setiap orang yang meminjam sesuatu pada orang lain berarti oeminjam memiliki utang kepada yang berpiutang. Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk perbuatan aniaya. 

6. Menurut ulama Hanafiyah, ‘ariyah ditangan peminjam bersifat amanah . oleh karena itu, peminjam tidak dikenakan ganti rugi terhadapa kerudakan barang yang disebabkan oleh perbuatannya atau kelalaiannya dalam memanfaatkan barang tersebut. Akan tetapi, apabila kerusakan tersebut disengaja,maka ia dikenakan ganti rugi. 

7. Dalam pinjam meminjam atau utang piutang terkait sejumlah tata kerama didalamnya, diantaranya sebagai berikut: 

a. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya atau mengembalikannnya. 
b. Pihak yang berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak yang berutang. Bila yang meminjam belum mampu mengembalikan pihak yang memberikan utang memberikan waktu penundaan untuk membayarnya. Dan yang meminjam betul-betul tidak mampu mengembalikan maka yang meminjamkan hendakya membebaskannya. 
c. Demi terjaganya hubungan baik hendaknya utang piutang diperkuat dengan tulisan dari kedua belah pihak dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang orang saksi wanita. 
d. Ketika mengembalikan utang atau pinjaman hendaknya peminjam mengembalikan pinjamansesuai dengan kualitas dan kuantitas barang yang dipinjam dan bila mungkin sebagai rasa terimaksih peminjam mengembalikan pinjaman dengan kualitas dan kuantitas lebih baik 
e. Pihak yang berutang bila telah mampu membayar pinjaman atau utangnya hendaklah mempercepaat membayar utanya sebab sebagaimana dijelaskan dalam hadismelalaikan dalam membayar pinjaman atau utang berarti dia telah berbuat zalim kepada pemberi pinjaman atau utang padahal ia telah menolongnya. 

8. Secara etimolohi kata hiwalah diambil dari kata tahwil yang berarti intiqal yang artinya pemindahan. Yang dimaksud konteks ini hiwalah adalah memindahkan utang dari tanggungan orang yang berutang atau al-muhil menjadi tanggungan orang yang menjadi akan melakukan pembayaran atau ala-muhal alaih. secara terminologi hiwalah adalah pengalihan kewajiban membayayar utang dari beban pihak pertama kepada pihak lain yang berutang kepadanya atas dasar saling mempercayai. 

9. Rukun hiwalah adlah ijab atau pernyataan hiwalah dari pihak pertama atau muhil dan qabul atau pernyataan menerima hiwalah dari pihak kedua (al-Muhal) dan pihak ketiga (al-Muhal ‘alaih). 

10. Syara-syarat yang diperlukan pihak pertama (al-muhil) adalah: a. Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu balik atau berakal. b. Ada pernyataan rida. Syarat syarat yang perlukan pihak kedua (al-muhal) adalah: a. Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baliqh dan berakal sebagaimana pihak pertama dan kedua. b. Adanya pernyataan peretujuan dari pihak ketiga (al-muhal alaih). c. Imam abu Hanifah menambahkan syarat bahwa kabul atau pernyataan menerima akad harus dilakukan dengan sempurna oleh pihak ketiga dalam suatu majelis akad. 

11. Dalam buku fiqh sunah, sayyid Sabiq mengatakan bahwa apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinnya tanggung jawab muhil menjadi gugur. Andai kata muhil ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantas adanya hiwalah atau meninggal dunia maka pihak kedua (al-muhal) tidak boleh kembali lagi berurusan dengan pihak pertama (al-muhil) karena utangnya telah di hiwalahkan demikianlah pendapat jumhur ulama.

0 Comment