Akal: Aktivitas Berpikir
Pada dasarnya wujud manusia bisa dibagi menjadi tiga. Jasmani adalah wujud yang paling lahiri, di mana hampir semua ajaran kesufian menganggap jasmani sebagai penghalang untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi. Tingkat kedua adalah nafsani, yaitu tingkat psikologis yang lebih kompleks daripada jasmani. Tingkat ketiga adalah ruhani yang lebih kompleks lagi dan mendalam.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah di mana letak akal? Secara teoretis, ada pembagian yang lebih halus sehingga akal, menurut Ibn Taymiyah, lebih merupakan instrumen pada manusia untuk sampai pada kebenaran.
Kalau dikembalikan kepada bahasa, akal berasal dari ‘aql (bahasa Arab) dalam bentuk mashdar (verbal noun), yaitu bentuk kata benda yang mengandung arti kerja. Jadi ‘aql berarti kegiatan atau aktivitas yang menggunakan pikiran; akal tidak berdiri sendiri tetapi merupakan aktivitas. Ini berbeda dengan konsep Yunani yang menempatkan akal seolah-olah makhluk tersendiri yang disebut Nous. Itulah sebabnya kenapa setelah membuat berbagai perumpamaan, Allah berfirman wamâ ya‘qiluhâ illâ al-‘âlimûn (Q., 29: 43). Kalau diterjemahkan agak sedikit bebas, berarti tidak ada yang bisa memahaminya secara rasional kecuali mereka yang berpengetahuan. Ungkapan ini adalah sebuah metafor, karena itu, tidak bisa berhenti hanya sampai di sini. Menurut Ibn Taymiyah, kita harus menyebrangi metafor itu dengan menggunakan akal.
Sedangkan Ibn Sina, yang dipengaruhi falsafah Yunani, memahami akal sebagai entitas tersendiri dan ditempatkan di antara ruh dengan jiwa. Ruh sebagai bagian eksistensial kita yang paling tinggi berasal dari Tuhan. Kita sama dengan binatang pada dua tingkat, yaitu jasmani dan nafsani. Tetapi tidak pada tingkatan ruhaninya, karena binatang tidak punya ruh. Maka sebetulnya yang disebut ruh bukanlah hidup ini, tetapi sesuatu yang lebih tinggi daripada hidup. Sebab kalau hanya hidup, binatang juga hidup, tetapi tidak punya ruh. Manusia seperti digambarkan Al-Quran, setelah sampai proses tertentu dalam pertumbuhannya, ...dan meniupkan ke dalamnya sebagian ruh-Nya (Q., 32: 9). Itulah sebabnya kenapa dalam tasawuf semua manusia dipandang mempunyai sifat ilahi (lâhût), dan inilah yang harus didorong agar bisa kembali kepada Allah.
0 Comment