Wednesday, September 5, 2012


DAKWAH DAN KEMISKINAN
 
A.    Pendahuluan
Salah satu penyakit masyarakat adalah kemiskinan. Dengan kemiskinan akan menimbulkan banyak perubahan dan konflik di tengah-tengah masyarakat. Adanya pembunuhan, pembunuhan massal; seorang ibu sengaja memberikan racun kepada anak-anaknya dan memberikan makanan itu kepada mereka semua, sehingga mereka semuanya mati di tempat tidur dan ditata dengan rapi, tidak lepas dari keadaan ekonomi (baca : uang). Kemiskinan yang melanda manusia (baca :umat Islam) diakibatkan karena tidak diaplikasikannya dakwah (baca : ajaran agama), sehingga terjadilah ketidakmerataan dan peredaran harta di tengah-tengah masyarakat. Semakin hari hal ini terjadi sehingga yang kaya semakin kaya dan sebaliknya yang miskin semakin miskin.
Dakwah (baca : Islam) sebagai agama yang paripurna dan sebuah ideologi yang benar, sangat consen terhadap kemiskinan dan upaya-upaya untuk mengatasinya. Lalu bagaimana pandangan dakwah (baca : Islam) terhadap kemiskinan itu? Makalah ini akan menjawabnya.

B.     Pengertian Kemiskinan
Miskin berasal dari bahasa Arab[1], yang terdiri dari huruf Mim, Syin dan Kaaf yang asal katanya ‘miskin’ (artinya : orang miskin) dalam bentuk mufrad, dalam bentuk jamaknya ‘masakin’ (orang-orang miskin), dalam perkembangannya kata miskin sudah menjadi kosa kata dalam bahasa Indonesia, sedangkan kemiskinan adalah kata “miskin”, yang mendapat awalan ‘ke’ dan akhiran ‘an’ maka ia menjadi kata sifat atau menunjukkan hal keadaan “miskin”.
      Secara bahasa kata miskin mempunyai arti tidak berharta benda, serba kurang, maka kemiskinan adalah perihal miskin, kemelaratan, kepapaan.[2]Dari segi fiqh, orang miskin adalah orang yang mempunyai harta dan pekerjaan, tetapi tidak mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya, atau yang menjadi tanggungannya, atau dapat juga dikatakan bahwa orang miskin itu adalah orang yang tidak mempunyai (harta) dan pekerjaan/penghasilan yang tetap.[3]
      Sedangkan dari sudut pandang sosiolog, kemiskinan diartikan dengan keadaan seseorang yang mana ia tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental maupun fisik dalam kelompoknya tersebut.[4]Hal yang hampir senada dinyatakan Emil Salim sebagaimana yang dikutip Arifin Noor bahwa kemiskinan adalah suatu keadaan yang dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok, atau ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan pokok, sehingga mengalami keresahan, kesengsaraan, atau kemelaratan dalam setia langkah hidupnya.[5]Dari pendapat ahli sosial di atas dapat disimpulkan bahwa yang menjadi tolak ukur miskin atau tidaknya seseorang dilihat dari faktor ekonominya.
      Beda halnya dengan pandangan dakwah (baca : Islam) bahwa kemiskinan itu bukan saja dilihat dari segi ekonomi saja, disamping hal yang berkaitan dengan sandang, pangan dan papan, dakwah juga sangat memperhatikan pendidikan, kesehatan, keamanan dan sebagainya.
      Mengenai sandang, pangan dan papan (kebutuhan pokok), dakwah memberikan pedoman sebagaimana yang terkandung dalam surat Al-Baqarah ayat 233 yang artinya
 “... dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.” (Q.S. Al-Baqarah: 233)
Dan dalam sabda Rasulullah SAW juga disebutkan bahwa seorang suami berkewajiban memberikan nafkah (pakaian dan makanan) kepada istrinya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dan Muslim dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah SAW bersabda : “dan kewajiban para suami terhadap istri adalah memberi mereka belanja (makanan) dan pakaian.” (H.R. Ibn Majah dan Muslim dari Jabir bin Abdullah).
Sebagai kebutuhan primer (pokok), ketiga hal tersebut; yaitu sandang, pangan dan papan, harus terpenuhi secara keseluruhan. Apabila salah satu saja tidak terpenuhi maka seseorang termasuk kategori sebagai orang miskin dalam pandangan Islam.
     
C.    Dakwah dan Kemiskinan
Tujuan dakwah Islamiyah (Islam) adalah memindahkan keadaan/kondisi manusia dari keadaan jahiliyah menjadi Islamiyah, dari mendorong manusia kepada kebaikan dan hidup di muka bumi ini dengan kebahagiaan dan begitu pula nantinya diakhirat kelak. Hal ini terlihat seperti pendefinisian para ahli ilmu dakwah terhadap “dakwah” itu sendiri. Dalam bukunya “ad-Madkhal ilaa’ ‘Ilmu al-Da’wah” Abu al-Fath al-Bayanuni mengatakan :
“Dakwah adalah mengajak/mendorong umat manusia menuju kebaikan dan menuju petunjuk (Islam), dan membimbing kepada yang ma’ruf serta mencegah umat manusia dari perbuatan yang munkar, agar kehidupan umat manusia merasa bahagia baik di dunia maupun di akhirat kelak”[6]
Oleh sebab itu, untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat, kegiatan dakwah tidak hanya sekedar memberikan pencerahan rohani saja, tetapi lebih dari itu, dakwah secara umum juga melingkupi seluruh aspek kehidupan yang dialami oleh umat manusia sebagai bagian dari komponen dakwah tersebut. Dakwah diharapkan dapat memberikan solusi-solusi terhadap permasalahan yang sedang dialami umat, baik dari segi immateri dan materi.
Di satu sisi, para hali sosial mengatakan bahwa kemiskinan merupakan keadaan yang tidak  berdiri sendiri, kemiskinan adalah bagian dari masalah kehidupan manusia sepanjang sejarah. Biasanya kemiskinan yang ada dimasyarakat akan menjadikan masyarakat itu dihinggapi kejahatan-kejahatan sehingga mengganggu terhadap keamanan dan kestabilan dalam sebuah masyarakat tersebut.
Dalam hal kemiskinan ini, Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa “Kemiskinan akan menjadikan manusia cenderung untuk berbuat kafir”. Kalau dilihat sepanjang sejarah manusia, perbuatan-perbuatan maksiat (kafir) seperti kekerasan, perampokan, perzinaan, menjual anak sendiri, bunuh diri tidak lain merupakan sebuah ujung dari kemiskinan yang dialami oleh manusia itu sendiri, sehingga dapat dikatakan bahwa kemiskinan akan menimbulkan penyakit-penyakit yang bermacam-ragamnya di tengah-tengah masyarakat.[7]
Oleh karena itu, agama menganjurkan agar manusia selalu bekerja dan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya di dunia ini. Dalam hal ini, Dakwah (Islam) menggambarkan kemiskinan itu bukan hanya dilihat dari segi ekonomi dan status sosial saja, tapi lebih jauh lagi dakwah melihat bahwa kemiskinan itu dari segi emosional, spiritual, intelektual, fungsional, teknikal dan lain sebagainya. Maka dakwah sangat menganjurkan umat manusia untuk berusaha dan saling tolong menolong antar sesama agar tercipta kedamaian dan ketentraman dalam masyarakat. Adapun ayat-ayat yang berkaitan dengan kemiskinan penulis bagi kepada tiga bagian, pertama,  dalam bentuk miskiinan, terdapat delapan kali pengulangannya diantaranya, adalah; surat Al-Baqarah : 184, Al-Isra : 26, Ar-Ruum : 38, Al-Qolam : 24, Al-Haaqqah : 34, Al-Muddatsir : 44, Al-Fajr : 18 dan Al-Maa’uun : 3.
Dalam bentuk Masdar sebanyak tiga kali,  yaitu pada surat; Al-Mujaadalah : 4, Al-Insan : 8, dan Al-Balad : 16. Sedangkan dalam bentuk Masdaryang jamak sebanyak 12 kali , yaitu terdapat dalam surat; Al-Baqarah : 83, 177, 215, An-Nisa : 8, 36, Al-Maidah : 89, 95, Al-Anfaal : 41, At-Taubah : 60, Al-Kahfi : 79, An-Nuur : 22 dan Al-Hasr : 7.[8]
Kemiskinan merupakan salah satu sebab kemunduran dan kehancuran suatu bangsa dan negara. Bahkan dakwah (baca : Islam) memandang kemiskinan itu merupakan ancaman dari setan. Hal ini terungkap dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 268 yang artinya
 Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui” (Q.S. Al-Baqarah: 268).
Oleh karena itu seharusnya kemiskinan harus dibuang jauh-jauh dari kehidupan umat Islam dan seluruh manusia. Karena hal itu merupakan alat bagi setan untuk menyesatkan manusia.
Dalam pandangan Islam, kemiskinan sepenuhnya adalah masalah struktural, sebab Allah SWT telah menjamin rezeki setaip makhluk yang diciptakannya, hal ini terkandung dalam surat Ar-Ruum ayat 40  yang artinya:
Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan. (Q.S. Ar-Ruum: 40).
Selain itu, Islam juga menutup ruang agar kemiskinan itu tidak menghiasi kehidupan manusia, dengan memberikan kewajiban bagi setiap individu untuk mencari nafkahnya, hal ini terdapat dalam surat Al-Mulk ayat 15 yang artinya
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Q.S.Al-Mulk: 15).
Disamping itu, Allah SWT juga telah menjamin rezeki setiap manusia itu, selama ia mau berusaha dan bekerja, sebagaimana yang terkandung dalam al-Qur’an surat Al-‘Ankabut ayat 60 yang artinya
“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Q.S. Al-‘Ankabut: 60).
Oleh karena itu, Islam memandang bahwa kemiskinan itu diakibatkan berbagai sebab struktural. Ada lima macam penyebab yang terstruktural karena terjadinya kemiskinan dari sudut pandang Islam, yaitu;
1.      Karena kejahatan manusia terhadap alam, sehingga manusia itu sendiri yang kemudian merasakan dampaknyna, hal ini sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an surat Ar-Ruum ayat 41 dan As-Syu’ara ayat 30 yang artinya
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”(Q.S.Ar-Ruum:  41)

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Q.S.As-Syu’ara: 30)
Karena ketidak pedulian dan kebakhilan kelompok kaya, sehingga si miskin tidak mampu keluar dari kemiskinan, sebagaimana al-Qur’an menggambarkannya dalam surat Ali Imran ayat 180 dan surat Al-Ma’ariij ayat 18 yang artinya
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Ali Imran: 180)
“Serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya.” (Q.S.Al-Ma’ariij: 18)
Maksud ayat di atas adalah orang yang menyimpan hartanya dan tidak mau mengeluarkan zakat dan tidak pula menafkahkannya ke jalan yang benar.
2.      Karena sebagian manusia bersikap zhalim, exploitasif, dan menindas sebagian manusia yang lain, seperti memakan harta orang lain dengan jalan bathil, memakan harta anak yatim, dan memakan harta riba. Sebagaimana yang terdapat dalam surat At-Taubah ayat 34, An-Nisa ayat 2, 6 da 10 dan surat Al-Baqarah ayat 275.
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (Q.S. At-Taubah: 34)
3.      Karena konsentrasi kekuatan politik, birokrasi dan ekonomi di satu tangan saja. Seperti yang diterangkan dalam surat Al-Qhashaas ayat 1-88.
4.      Karena gejolak eksternal seperti bencana alam atau peperangan sehingga negeri yang semula kaya berubah menjadi miskin. Hal ini tercatat dalam surat As-Shaba’ ayat 14-15 yang artinya
“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak            ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau Sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan. 15. Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka Yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun". (Q.S. As-Shaba’ ayat 14-15).
Untuk mengatasi kemiskinan ini, Islam telah memberikan dogma/ajaran yang apabila manusia mengamalkannnya dengan baik dan benar, niscaya kemiskinan itu tidak akan ada di tengah-tengah masyarakat.
Islam menyuruh manusia untuk menolong sesamanya dengan beramal, yaitu memberikan sebagian hartanya kepada orang yang membutuhkannya, diantara amalan itu dinamakan dengan infak, shadaqahdan zakat. Mengenai kata shadaqah dan turunannya, al-Qur’an menyebutkan sebanyak 14 kali di dalam empat surat, yaitu; Al-Baqarah : 196, 263, 271, 276  An-Nisa : 114, At-Taubah : 58, 60, 79, 103, Al-Mujadalah : 12, 14. Adapun yang berkaitan dengan zakat dan turunannya terdapat 32 kali pengulangan yang terdapat di dalam 18 surat, yaitu : Al-Baqarah : 43, 83, 110, 177, 277, An-Nisa : 77, 162, Al-Maidah : 12, 55, Al-A’raf : 156, At-Taubah : 5, 11, 18, 71, Al-Kahfi : 81, Maryam : 13, 31, 55, Al-Anbiya’ : 21, Al-Hajj : 41, 78, Al-Mu’minun : 4, An-Nuur : 37, 56, An-Naml : 3, Ar-Ruum : 39, Luqman : 4, Al-Ahzab : 33, Fusshilat : 7, Al-Mujadalah : 13, Al-Muzzammil : 20 dan Al-Bayyinah : 5.
Sedangkan kata infaq dan turunannya sangat banyak sekali jumlahnya bila dibandingkan dengan kata shadaqah dan zakat, yaitu sebanyak 67 kali di dalam 17 surat, yaitu : Al-Baqarah : 3, 117, 134, 195, 215, 219, 254, 261, 262, 265, 267, 270, 272, 273, 274, Ali Imran : 17, 92, 117, 134, 167, An-Nisa : 34, 38, 39, Al-Anfal : 3, 36, 60, 63, Al-Maidah : 64, At-Taubah : 34, 53, 54, 91, 92, 121, Al-Hajj : 35, Ibrahim : 31, Al-Qhashas : 54, As-Sajadah : 16, As-Syura’ : 38, Al-Anfal : 36, Yasin : 47, Al-Hadid : 7, 10, 15, Al-Munafiquun : 7, 10, At-Ta’ngabun : 16, At-Thalaq : 6, 7, Al-Isra : 155, Al-Hasr : 11, Al-Kahfi : 42, As-Saba’ : 39, Al-Muntahanah : 10, 11, Ar-Ra’du : 22, Al-Furqan : 67, Al-Fathir : 29, Muhammad : 38, An-Nahl : 75.[9]
Secara garis besar, Islam memberikan cara dalam mengatasi kemiskinan, yaitu :
1.      Tentang jaminan kebutuhan primer
a.       Islam mewajibkan laki-laki memberi nafkah kepada diri dan keluarganya. (Q.S.Al-Mulk ayat 15)
b.      Islam mewajibkan kerabat dekat untuk membantu saudaranya (Q.S. Al-Baqarah ayat 233)
c.       Islam mewajibkan negara untuk membantu rakyat miskin (Q.S. At-Taubah ayat 60)
d.      Islam mewajibkan kaum muslimin untuk membantu rakyat miskin (Q.S Adz-Dzariyat ayat 19)
2.      Pengaturan Kepemilikan
a.       Jenis-jenis Kepemilikan
·         Kepemilikan individu adalah izin dari Allah SWT terhadap individu untuk memannfaatkan sesuatu
·         Kepemilikan umum adalah izin dari Allah SWT kepada jama’ah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu
·         Kepemilikan negara adalah setiap harta yang menjadi hak kaum muslimin, tetapi hak pengelolaannya diwakilkan kepada kepada negara sesuatu dengan kebijakannya sebagai kepala negara
b.      Pengelolaan kepemilikan
c.       Distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat yang baik dan benar
3.      Penyediaan lapangan pekerjaan. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan dua dirham kepada seseorang. Kemudian beliau bersabda : “makanlah dengan satu dirham, sisanya belikan kapak, lalu gunakanlah ia untuk bekerja”.
Penyediaan layanan pendidikan. Dengan adanya pendidikan akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan akhirnya akan menjadikan manusia tersebut kreatif, inovatif dan produktif. Apabila semua ini terlaksana, Insya Allah kemiskinan akan hilang dari tengah-tengah masyarakat.

D.    Kemiskinan dan Kemanusiaan

Bila ditelusuri secara kronologis, tampaknya masalah kemiskinan sudah menyertai kehidupan manusia sejak awal-awal perjalanan sejarahnya. Berbagai sebutan seperti stave , famulus, budak belian, sudra, jelata, buruh kasar, kaum du'afa’, TKI dan sejenisnya, setidaknya menggambarkan golongan masyarakat miskin. Kelompok masyarakat marjinal dan ekonomi lemah. Telah banyak isme-isme dunia yang ditawarkan untuk mengatasi masalah kemiskinan ini. Dua isme dunia yang dianggap paling berpengaruh, yakni komunisme dan liberalisme. Komunisme sebagai ideologi yang mengusung bentuk sistem masyarakat di mana sarana-sarana produksi dimiliki bersama-sama dan pembagian produksi dilakukan berdasarkan asas, bahwa setiap anggota masyarakat memperoleh hasil bagian sesuai dengan kebutuhan. Tapi dalam kenyataannya, istilah komunisme dimonopoli oleh partai komunis (Ensiklopedi Indonesia, 1982:1846)
Selanjutnya, liberalisme ekonomi yang didasarkan pada keyakinan bahwa individu yang bebas sanggup mengurus diri sendiri merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Sebagai persyaratan, ke arah itu, hak milik swasta harus dipertahankan dan pemerintah sebanyak mungkin tidak ikut campur dalam kehidupan ekonomi. Namun dampaknya menimbulkan bentuk monopoli dan konsentrasi
Kegagalan pendekatan ideologis dalam memecahkan permasalahan kemanusiaan tersebut, mendorong para ahli untuk mencari berbagai terobosan baru. Ketika itu "ranah" keagamaan mulai dilirik dan diangkat ke permukaan. Jepang mencoba menggunakan pendekatan ajaran Shinto. Membangkitkan jiwa Bushido yang mengakar pada nilai-nilai ajaran Shinto. Jepang berhasil mengangkat diri menjadi negara modem. Mampu meningkatkan taraf kehidupan masyarakatnya. Namun dampak pada munculnya masyarakat workcholic ( gila kerja ). Terjadi gangguan psikologis yang menimbulkan stress dan kasus kematian karena kelelahan kerja.
Dalam kawasan yang lebih luas, Max Weber mengemukakan hubungan kapitalisme dan etika Protestan. Max Weber melihat dalam sekte-sekte Protestan, kerja dianggap sebagai Beruf atau panggilan. Kerja tidak hanya sekedar pemenuhan keperluan, tetapi suatu tugas yang suci. Doktrin ini menggambarkan intensifikasi pengabdian agama yang dijalankan dalam kegairahan kerja. Dalam kerangka pemikiran teologis seperti mi, maka "semangat kapitalisme", yang bersandarkan kepada cita ketekunan, hemat, berperhitungan, rasional, dan sanggup menahan diri, menemukan pasangannya. (Taufik Abdullah, 1986:9)
Sayangnya tesis Weber ini kemudian dimentahkan oleh sejumlah ahli dari berbagai disiplin ilmu. Menurut S. Hussein Al­Attas, apa yang dikemukakan Max Weber sebagai "dorongan ingin punya", usaha untuk mendapat untung, dapat uang, dapat uang dalam jumlah yang paling besar an sich tak berhubungan sedikitpun dengan kapitalisme. Dorongan ini memang ada dan sejak dulu terdapat di kalangan para pelayan, dokter, kusir, artis­ artis, pelacur-pelacur, pejabat-pejabat yang tidak jujur, prajurit, kaum ningrat, jemaah jemaah yang ikut perang suci ke Palestina, penjudi-penjudi, dan pengemis-pengemis. Boleh dikatakan, bahwa ia didapati pada segala jenis dan kondisi manusia sepanjang masa, dan di negeri manapun di dunia.
Mungkin banyak lagi pendekatan yang digunakan dalam upaya manusia untuk mengatasi masalah kemiskinan. Namun hingga sekarang hasilnya belum mampu menjembatani hubungan antara kemiskinan itu sendiri dengan nilai-nilai kemanusiaan. Hasilnya hanya melahirkan ketimpangan dan kesenjangan hubungan antara si kaya dan si miskin itu sendiri, hubungan ilmuan dengan penuntut ilmu, penguasa dengan rakyatnya dan sebagainya. Sama sekali belum mampu menyentuh ranah harkat dan martabat manusia.
E.     Tawaran Islam
Intisarinya, Islam adalah berserah diri atau taat sepenuhnya kepada ketentuan Allah demi tercapainya kepribadian yang bersih dari cacat dan noda, hubungan yang harmonis dan damai sesama manusia, atau selamat sejahtera di dunia dan akhirat. Kehendak Allah yang harus ditaati sepenuh hati bukan kehendak demi kepentingan-Nya, tetapi demi kemashlahatan dan kepentingan manusia dan segenap lingkungannya (Ensiklopedi Islam, 1992:445). Sebagai agama samawi, Islam ternyata mengakomodasi permasalahan kehidupan bumi. Islam melihat masalah kemiskinan tak dapat dipisahkan dari aktivitas. Secara etimologis, miskin berarti : diam, tetap atau reda. Tetapnya sesuatu setelah ia bergerak. Secara terminologis, miskin berarti " orang yang tidak dapat memperoleh sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan diamnya itulah yang menyebabkan kefakiran. Dikatakan tidak memperoleh sesuatu karena ia tidak bergerak, atau tidak ada kemauan atau peluang untuk bergerak, atau ada faktor lain yang menyebabkan ia tidak bergerak. (Ensiktopedi Al- Qur'an, 1997:271)
Merujuk kepada pengertian dimaksud, dipahami bahwa kemiskinan terjadi karena kondisi yang stagnan ( dalam keadaan mand.ek ). Stagnasi pada aktivitas manusia, kondisi lingkungan yang tidak kondusif, serta situasi yang tidak memberi peluang untuk beraktivitas. Dengan demikian, pada hakikatnya pengentasan kemiskinan terkait dengan bagaimana upaya untuk mengubah kondisi yang stagnan tersebut, ke kondisi baru yang mampu menumbuhkan aktivitas dan kreativitas yang produktif.
Dalam konteks ini nilai-nilai ajaran Islam telah menawarkan konsep siap pakai. Islam memotivasi etos kerja, agar pemeluknya beraktivitas (Q. 94: 7; Q. 62: 10).. Dana dari zakat, membuka peluang bagi kaum dhu'afa untuk menjalankan aktivitas perekonomian. Islam menggerakkan aktivitas perekonomian melalui pedistribusian kekayaan para hartawan (aghniya') kepada orang-orang miskin (dhu'afa'). Tidak dibenarkan harta kekayaan beredar di kalangan orang-orang kaya saja.
Menurut para pakar, ilmu ekonomi diartikan sebagai " ilmu mengenai perilaku manusia yang berhubungan dengan kegiatan mendapatkan uang dan membelanjakannya. (M. Qurash Shihab, 1996:402). Dalam pandangan Al- Qur'an, uang merupakan modal, serta salah satu faktor produksi yang penting, tetapi "bukan yang terpenting." Manusia menduduki tempat di atas modal, disusul sumber daya alam. Selanjutnya dalam aktivitas perekonomian, Islam menempatkan unsur etika. Oleh sebab itu riba dilarang. Modal tidak boleh menghasilkan dirinya sendiri, tetapi harus dengan usaha manusia. Menurut M. Quraish Shihab selanjutnya, pengenaan zakat sebesar 2,5 % terhadap uang ( walau tidak diperdagangkan) adalah untuk mendorong aktivitas ekonomi, perputaran dana, serta sekaligus mengurangi spekulasi dan penimbunan.
Sayangnya zakat dalam aplikasinya belum mampu masuk ke sektor riil perekonomian. Pendistribusian zakat cenderung untuk kepentingan jangka pendek. Oleh sebab itu, menurut pandangan Kuntowijoyo, perlu adanya pradigma Islam dalam interpretasi untuk aksi. Dengan mentransformasikan nilai-nilai Islam yang normatif menjadi sistem yang teoritis, dan dengan mentransformasikan nilai-nilai subjektif ke dalam kategori-kategori yang objektif, maka Islam akan siap menghadapi pelbagai bentuk tantangan strukural dari perkembangan masyarakat industri (Kuntowijaya, 1991:170).
Zakat secara normatif merupakan kepedulian ajaran agama dalam mengantisipasi kemiskinan. Zakat dalam hal ini adalah sebagai bentuk filantropi Islam besar ini ternyata terabaikan, hal ini disebabkan prakteknya masih belum terorganisir secara rapi dan dikelola secara tradisional. Kalaupun sudah ada masih bersifat penanggulangan konsumtif, belum menuju kepada produktif, sehingga ia tidak punya daya dongkrak yang efektif untuk menurunkan angka kemiskinan.  Sebagai pedoman saja bahwa program penanggulangan kemiskinan yang dikelola oleh pemerinah tahun 2004 bersumber dari dana APBN mencapai Rp.18.8 triliyun, untuk membiayai 104 program yang diselenggarakan oleh 15 instansi sektoral. Sedangkan menurut survei potensi zakat di Indonesia pertahunnya mencapai Rp.19.3 triliyun. (lihat, Murodi, Jurnal Kajian dakwah dan Komunikasi vol VIII, no. 2, Desember 2006). Jika pemerintah arif dalam upaya optimalisasi penggelolaan zakat, sesungguhnya negara ini tidak perlu meminjam uang ke luar negeri, karena pinjaman luar negeri merupakan hutang yang harus dibayar, sekaligus ada bunga dari hutang tersebut.
Oleh karena itu upaya optimalisasi pemungutan zakat di kota Padang, secara teori dan praktek banyak keuntungan, antara lain; pertama melahirkan kebersamaan masyarakat untuk memberantas kemiskinan, sehingga persoalan kemiskinan menjadi milik bersama, bukan hanya persoalan pemerintah saja, kedua sumber dana cukup mudah mendapatkan dan cukup banyak stoknya setiap tahunnya.
Konsepsi tentang ajaran zakat ( dan pada akhirnya tentang bangunan fiqh secara keseluruhan ) yang sudah terlanjur di kalangan umat selama hampir dari sepuluh abad, harus ditransformasikan terlebih dahulu. Zakat dalam pandangan Abd Karim at- Tawati, adalah suatu kerangka teoritis untuk mendirikan keadilan dalam masyarakat Islam. la bertujuan untuk membersihkan jiwa manusia dari kekotoran, kebakhilan dan ketamakan, serta memenuhi kebutuhan mereka yang fakir miskin serta diselubungi penderitaan. Zakat juga digunakan untuk mendirikan segala sesuatu yang penting bagi kepentingan umat, seperti memerangi inflasi dan memperkecil jurang antara berbagai lapisan.
Dengan mengacu kepada pendapat Al Bahay at- Khali yang dikutip Donald Eugene Smith :Religion Politics and Social Change in the'hird Word, Kontowijoyo mengungkapkan, bahwa transformasi sosial merupakan sunnatullah yang tidak terelakkan. Bahkan ayat­ ayat Al-Qur'an telah mengisyaratkan, bahwa industrialisasi pasti akan terjadi, sebab dengan industri peradaban besar dapat dibangunkan. (Kuntowijoyo:171)
Mencermati fungsinya dalam aktivitas pertumbuhan maupun perkembangan ekonomi, pengelolaan dana umat, khususnya zakat perlu disejalankan dengan kondisi masyarakat Muslim dan lingkungannya. Sabda Rasul Allah Saw. " Shalihu ummati bi al-ilm wa amwal " mengisyaratkan, bahwa kesejahteraan tak dapat dilepaskan dari ilmudan modal.
Ilmu dapat diperankan sebagai pemicu aktivitas dan kreatifitas ini yang disebut di atas sebagai pembangunan SDM. Sementara modal difungsikan sebagai faktor pendukung aktivitas tersebut, ini yang disebut dengan SDA. Sinergi antara keduanya akan berperan sebagai penggerak roda perekonomian masyarakat. Pada tataran puncaknya diyakini akan memberi dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun sangat perlu disadari bahwa bila SDM dan SDA tanpa ada kekuatan penguasa untuk mendorongnya, maka hasilnya tetap saja sia-sia. Bapak Presiden, para Gubernur dan para Bupati/Walikota di seluruh Indonesia dalam hal ini punya daya dongkrak yang sangat vital mengaktualkan pengelolaan zakat, karena ia sebagai penguasa (amir) punya otoritas penuh untuk mensejahterakan masyarakatnya.
Dalam konteks pengurangan kemiskinan, sudah perlu adanya pendekatan paradigma baru. Setidaknya ada yang perlu dijadikan prioritas dalam pembangunan masyarakat. Pertama., menyusun konsep yang aplikatifdalam pengelolaan dana umat. Kedua, menyusun konsep sistem pendidikan Islam yang mengacu kepada penyiapan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan profesional dan mandiri.


[1] Kata-kata   ãÓßíädalam al-Qur’an ada disebutkan sebanyak 23 kali; dalam bentuk mufradtiga kali, bentuk mutsanna tiga kali dan dalam bentuk jamak 13 kali. Sedangkan kata yang hampir sama dengan miskin adalah fakirÝÞÑ , kata fakir juga ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak 13 kali. Muhammad Fuad Abd al-Baaqi, al-Mu’jam al-Mufaharasy, (Indonesia : Maktabah Dahlan, t.th), h.449 dan 666.
[2] W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1984), h. 652
[3] M. Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqh,(Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994), h. 199
[4] Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Rajawali Press, 1991), h. 406
[5] Arifin Noor, Ilmu Sosial Dasar,(Bandung : Pustaka Setia, 1999),h. 1999
[6] Muhammad Abu al-Fath al-Bayanuni, al-Madkhal Ila ‘Ilmu al-Da’wah, Madinah al-Munawwarah : Muassisah al-Risalah, t.th), h. 14
[7] Simanjuntak, Patologi Sosial, (Bandung : Tarsito, 1985), h. 164
[8] Muhammad Fuad Abdu al-Baaqi, Mu’jam Al-Mufassir Al-Fazd Al-Qur’an al-Karim ( Dar Al-Fikr, 1992), h. 449 dan 666
[9] Ibid

0 Comment