A. Latar Belakang Masalah
Tantangan utama yang dihadapi dalam mengembangankan pemikiran keagamaan kususnya agama Islam di Nusantara, antara lain menyangkut masalah metolologi. Ismail al-Faruqi ketika mengantarkan bukunya The Cultural Atlas of Islam, menyatakan bahwa para penulis Muslim pada umumnya memiliki tingkat natural sensitivity yang tingggi terhadap nilai-nilai Islam. Kesimpulan Al-faruqi tersebut sebetulnya lebih didasarkan pada hasil kajiaanya terhadap kondisi pemikiran Islam diluar Nusantara. Akan tetapi, kondisi seperti ini tampaknya terjadi pula pada para pemikir keagamaan di nusantara.[1]
Sebagaimana layaknya sebuah kenyakinan, Agama Islam ditempatkan oleh umatnya pada posisi yang amat urgen, karena urgenya, kenyakinan tersebut terpelihara sangat utuh, seakan-akan tidak ada lagi ruang yang memungkinkan terjadinya dialog antara kenyakinan dan realitas nyata kehidupan. Kerena orang pun berbeda memahami dan memaknai arti dari sebuah realitas. Oleh karena itu, jarang sekali di antara mereka yang mencoba mengekpersikan lebih jauh tentang esensi Islam dalam nuansa fenomena hostoris empiris. Sehingga pada tingkat tertentu, kondisi seperti ini terus belanjut sehingga seakan agama adalah sesutau yang sacral yang tidak boleh disentuh oleh kajian keilmuan.
Disisi lain banyak para pemikir menawarkan bahwa fenomena keagamaan harus didekati dengan kajian ilmiah, dengan tidak harus merasa takut bahwa agama itu tidak emperis. Karena persoalan empris adalah masalah yang sangat dijadikan patokan bagi dunia ilmiah terutama dalam kajian aliran positivisme. Sekarang ini bila berbicara persoalan studi islam dengan pendekatan ilmiah untuk mengakaji fenomena keagamaan dan dapat diterapkan secara nyata maka ada beberapa harapan. Harapan tersebut di antaranya[2]; pertama, para ilmuan muslim akan lebih dapat memahami fenomena keagamaan yang menjadi bagian dari kehidupan kaum muslimin sehari-hari. Kedua, pemahaman yanglebih tepat mengenai ajaran agama dengan pendekatan ilmiah diharapkan dapat membangkitkan suatu rektualisasi ajaran-ajaran Islam, sehingga dapat memberikan sumbangan terhadap pencapaian kebahagiaan umat manusia atau ikut mengatasi problem-problem kemanusiaan dewasa ini dan lebih praktis lagi, memberikan sumbangan terhadap proses pembangunan yang lebih manusiawai. Ketiga , setidak-tidaknya dengan mendekatkan fungsi dan tugas agama, di satu pihak dan ilmu pengetahuan di lain pihak, yang sekarang ini berada pada posisi dikotomis, umat islam dapat lebih memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk memperbaiki posisi dan peranannya yang lebih bermanfaat bagi umat islam maupou masyarakat secara keseluruhan.
Untuk Zaman sekarang sebenarnya sifat apologi terhadap persoalan dan fenomene keagamaan mesti ditinggalkan dengan tetap menjadikan kenyakinan keagamaaan dijadikan dasar untuk menatap ke depan dengan beberapa persiapan. Persiapan tersebut di antaranya adalah mengembangkan teori-teori kemasyarakatan dan teori –teori perubahan social yang mendasarkan diri dan mangacu kepada ajaran-ajaran Islam sendiri. Teori itu dapat bersifat teori dasar atau gran theori Di barat tokoh-tokoh barat seperti Weber telah membaca arah perkembangan masyarakat dalam sustu model, yaitu masyarakat Industri. Persoalan bagi umat Islam adalah apa visi tertentu untuk suatu masyakarat, tentunya akan terjawab bila umat islam menemukan analisis kecenderungan kecenderung baru masyarakat yang mampu dikontrol. Salah satu konsep al- Qur’an Allah menginginkan suatu tatanan masyarakat baru dengan istilah syuhada alan nas, yaitu sustu masyarakat yang mampu berbuat atas dasar sebagai saksi atas manusia terhadap problem -problem tertentu. Fungsi ini antara lain dapat diwujudkan melalui penelitian -penelitain empiris. Para ilmuan Islam dapat menelitu tentang keadilan, musyawarah , amal shaleh dan lain sebagainya, dengan melihat sejauh mana hal-hal di atas telah dipraktekan dan dikembangkan dalam masyarakat Islam.
Persolan selanjutnya adalah begitu banyak penawaran para pemikir Islam yaitu tentang bagaimana mengakaji fenomena keagamman dalam wilayah empiris dan juga inspirasiu Al-Qur’an yang mengharapkan adanya suatu masyarakat yang mampu menjadi saksi atas manusai dalam menyelesaikan masalas sosial. Maka titik persoalannya adalah harus adanya seperangkat ilmu untuk menginformasikan dan mengembangkannya atau dalam kajian Islamic studies adalah harus adanya disiplin ilmu untuk menyampaikannya. Dan dalam kajian khazanah Islamic studie dispilin ilmu tersebut adalah ilmu Dakwah. Persoalan pertama masih mencari jawabannya , maka muncul persoalan yang selanjunya adalah persoalan keilmuan dakwah itu sendiri dalam kajian Islamic studies masih dalam “zona Questionable” tentang objek formal dan material serta bangunan teori dakwah untuk menyampaikan gagasan cemerlang ijtihad para ulama Islam dalam segala aspeknya dan pesan wahyu. Secara jelas persoalantersebut antara lain sebabai berkiut:
Pengakuan bahwa dakwah adalah “ilmu” adalah klaim yang sepihak. Artinya , bahwa intelektual Muslim tidak seluruhnya mengakui eksistensi dakwah sebagai bidang ilmu.[3] Mereka yang mengakui bahwa dakwah adalah adalah ilmu terdiri dari sebahagian civitas akademika di Lingkungan fakultas dakwah, intelektual muslim pakar dalam komunikasi dengan menyatakan, dakwah adalah ilmu lintas disiplin, dan dekat dengan ilmu komunikasi. Ini ada benarnya karena sebagian ilmuan dakwah melahirkan unsure- unsur dakwah hampir persis sama dengan unsur-unsur dalam komunikasi. Intelektual dalam bidang sosiologi mengatakan dengan memandang dakwah sebagai ilmu dalam katagori ngelmu[4] yaitu sistem kepercayaan yang memberikan pedoman kepada manusia cara mengatur hubungan vertical dan horizontal.
Dakwah sebagai ilmu pengetahuan perlu pembuktian.[5] Untuk membuktikan apakah dakwah dapat dikatan ilmu atau hanya sekedar pengetahuan dan ketrampilan, tidak cukup dengan alasan yang simplitis (sederhana), bahwa existensi ilmu tersebut telah diakui dengan SK Menteri Agama, dan telah ditindak lanjuti pada pendidikan tinggi Dakwah mulai program sarjana lengkap, magister dan doktor dalam bidang Dakwah, akan tetapi agaknya perlu di uji atau diukur dengan filsasat ilmu. Kanapa harus dengan filsafat ilmu sebagai alat uji atau verivikasi, karena verifikasi yang sesuai untuk menguji adalah filasafat ilmu.
Persoalan lain berkaitan dengan tradisi pengajaran ilmu-ilmu keislaman ( Islamic Studies atau Dirasat Islamiyah) pada perguruan tinggi Islam di Indonesia (UIN/IAIN/STAIN) dengan alasan sebagai berikut :
a. Filsafat ilmu adalah seperangkat analisis keilmuan dalam kajian keislaman yang terlupakan. Sebenarnya ilmu apapun yang disusun, dikonsep, ditulis secara sistematis kemudian dikomunikasikan, dan diajarkan dapat dipastikan mempunyai paradigma kefilsafatan. Asumsi dasar, metode ( Proces and prosedur) yang diikuti, pendekatan (approach) kerangka teori (the way to thing) yang digunakan, peran akal, tolak ukur validitas keilmuan, prinsip-prinsip dasar, hubungan subjek dan objek adalah merupakan hal pokok yang terkait dengan struktur fundamental yang melekat pada bangunan keilmuan[6]. Sebuah bangunan keilmuan yang dimaksud adalah ilmu-ilmu kealaman, ilmu-ilmu sosial, humaniora, ilmu-ilmu agama (‘ulumuddin). Studi Agama ( religius studies). Dan ilmu-ilmu keislaman ( Islamic Studies). Jelasnya, tidak ada sebuah ilmu apapun yang tidak mememili struktur fundamental yang dapat mengarahkan dan menggerakkan kerangka kerja teoritik maupun praksis keilmuan, serta membimbing arah penelitian dan pengembangan lebih lanjut.
b. Dalam analisis filsafat ilmu, kerangka teori atau kerangka konsepsional ternyata sangat pokok dan memiliki kedudukan yang vital dalam wilayah kerja keilmuan, karena basis rasioanalitas keilmuan memang disitu. Tidak hanya arah dan kedalaman analisis akademik juga dapat dilacak dan dipantau dari kerangka teori yang digunakan. Untuk itu para pemerhati, praktisi dan pengajar Islamic studies pada umumnya dan keilmuan dakwah pada khususnya harus mampu menjawab, mencermati dan merumuskan ulang, kerangka pikir filsafat ilmu dalam wilayah kajian keilmuan dakwah dan juga wilayah Islamic studies. Atau setidaknya menggunakan filsafat ilmu sebagai alat uji dan verivikasi keilmuan dakwah dan islamic studies dalam kajian di perguruan tinggi Islam. Jika keilmuan dakwah juga ilmu-ilmu Islam lainnya adalah sebuah bangunan keilmuan, karena ia disusun dan dirumuskan oleh ilmuan agama dan cerdik pandai pada era terdahulu dengan tantangan kemanusiaan dan keagamaan yang dihadapi saat itu, tidak ada lain untuk berdilaog dan menggunakan telaah filsafat ilmu dalam kajian keilmuan.[7]
c.Minimnya para pengajar cabang keilmuan Islam yang mengakaitkan dengan filsafat ilmu. Senada dengan asumsi Amin Abdullah, ia agak meragukan tentang para pengajar Islamic Studies di PTAIN/PTAIS yang memahami filsafat ilmu yang dikaitkan dengan apa yang diajarkan, padahal persoalan tersebut sangat foundamental. Begitu juga filsafat ilmu sangat terkait dengan implikasi dan konsekwensinya dengan wilayah praxis social-keagamaan. Salah satu bukti belum maksimalnya filsafat ilmu tersebut digunakan oleh para pengajar, yaitu belum terlihat kemampuanya melakukan perbandingan antara berbagai sistem epistemologi pemikiran keagamaan islam dan melakukan auto kriktik terhadap bangunan keilmuan yang biasa diajarkan untuk maksud pengembangan lebih lanjut. Belum lagi kemampuan menghubungkan asumsi dasar, kerangka teori, paradigma, metode, pendekatan, serta epstemologi yang dimiliki oleh satu displin ilmu dan displin ilmu yang lain untuk memperluas harizon dan carakawala keilmuan.[8]
d.Dalam kenyataanya, agak sulit diperoleh jawaban mengapa dosen-dosen yang mengajarkan Islamic Studies ( ulum al-Qur’an, ulumu al-hadits, akidah, ahlak, tasawuf, pendidikan dan Dakwah) di perguruan tinggi Islam kurang begitu tertarik untuk memahami asumsi dasar, kerangka teori, paradigma, epistemology, cara kerja dan struktur fundemental keilmuan yang melatarbelakangi terbangunnya ilmu-ilmu tersebut. Padahal ilmu-ilmu tersebut dibangun oleh generasi terdahulu pada era ratusan tahun yang lalu. Jawaban yang mudah diperoleh adalah, bahwa wilayah kajian tersebut lebih konsepsional-teoritis dan filosofis, dan pada pada akhirnya pembahasannya lebih rumit, dibanding dengan ilmu-ilmu praksis yang telah jadi dan mapan dan tinggal mengahafal. Mungkin hal ini adalah bias dari pada fuqaha dan mutakalimin, bahwa filsafat ilmu di anggap akan membingungkan umat. Akibat bila tradisi ini terus berlanjut, dalam kaitannya dengan keilmuan keislaman dan keilmuan dakwah. Hal ini secara otomatis akan mengalami proses kekeringan dan pengeringan sumber mata ir dinamika keilmuan keislaman yang merupakan jantung dan prasyarat bagi pengembangan keilmuan dakwah dalam menghadapi tantangan baru, yang diakibatkan oleh jangkauan dan pengembangan pengalaman kemanusiaan. Kemungkinan yang lebih tragis lagi adalah, terpencilnya kajian keilmuan dakwah dari wilayah pergaulan keilmuan social dan budaya.
Penelitian mengenai rancang bangun keilmuan dakwah Dakwah bertujuan:
1. Secara kuantitatif, memberikan informasi empiris tentang pengembangan diri Para Dosen yang ada di Fakultas Dakwah.
2. Secara Kualitatif, ingin mengkaji dinamika pengembangan diri para dosen dalam zona akademis dengan melihat bagaimana terjadinya interaksi komponen masyarakat kampus.
E. Kegunaan penelitian
1. Kegunaan akademis, kajian ini kurang sekali dilakukan pada penelitain sebagai karya akhir studi di Fakultas dan konsentrasi dakwah . Jelasnya dengan penelitain ini akan melahirkan “grant teori pengembangan keilmuan dakwah dalam wilayah pure science.
2. Kegunaan Praktis, kajian ini dapat bermanfaat bagi peneliti, pembaca, dosen, para pedididik dalam pengembangan keilmuan dakwah.
Bab kedua, membahas seputar akar sejarah pemeikiran keilmuan dakwah dan problematika yang mengiuntarinya, pembahsan ini berisi diantaranya, sejarah dakwah sebagai ilmu, objek matrial dan formal dakwah dakwah analisis objek formalnya. Pembahsan ini perlu untuk mengantarkan dan memeudahkan pembahasan selanjutnya.
Bab ketiga, Membahas seputar, Sumber, cara mendapatkan dan pendekatan yang digunakan ( Metodologi Keimuan dalam perpeptiv positivisme dan naturalistic). Hal ini perlu untuk menguji validitas keilmun dan dakah dan mencari langkah kemungkinan dibanagun dengan pondasi ilmiah tentang kontruksi baru untuk ilmu Dakwah.
Bab keempat, menguraikan lanjutan dari bab sebelumnya yaitu membahas tentang pengembangan metode penelitian dakwah. Pengembangan ini perlu untuk selanjutnya membuar atau merancang teori-teori dakwah kontemporer.
Bab Kelima, membahas lanjutan dari kajian sebelumnya dengan pembahsan, pengembagan teori-teori dakwah, pengembnagan teori ini diperlukan mengingat persoalan dakwah semakin berat dan rumit , mak diperlukan sejumlah teori dakwah untuk mengahdapai tantangan zaman ke depan.
Bab keenam, adalah bab penutup dan saran dari penelitian ini.
[1] Asep Saeful Muhtadi, dan Agus Ahamad Safei, Metode Penelitian Dakwah, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), h.29.
[2] M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan perilaku Politik Bangsa,Risalah Cendekiawan Muslim ( Bandung: Mizan, 1999), h.154.
[3]Pertemuan dengan beberapa Intelektual Muda di pascasarjana IAIN padang, tgl 23 –04 2003. Pendapat Munir Mulkhan tahun 2000 di Wisam sargede Yogyakarta. Pendapat Ketua panitia KKN IAIN padanag tahun2004. Pendapat para mahsiswa Universitas Gajah mada . Mereka semua meragukan bahwa dakwah bukan ilmu.
[4] Diskusi di Lokal MDI semester III tahun 2003, mahasiswa ragu apakah dakwah ilmu atau bukan karena sebelum belajar ilmu dakwah pada jam II, jam I sudah belajar dengan Dosen Sosisologi. Dosen Sosiologi mengatakan untuk membangun masyarakat menjadi baik, tidak harus dengan dakwah tetapi bisa dengan sosisologi, jadi dakwah itubukan ilmu.
[5] Ilmu Dakwah sampai saat ini masih berjuang keras untuk mensejajarkan status akademiknya dengan keilmuan Islam lainya, karena salah satu sebabanya tidak mempunyai basis ilmu klasik, Jalaluddin Rahmat, dalam Kuliah dakwah dan Media Massa ( Jakarta , UIN, 2001).
[6] M.Amin Abdullah, Arah Baru kajian Islam Di Indonesia, Makalah Konferensi Nasional (Yogyakarta: Hotel Raya Syahid, 2003), h.13.(selanjutnya disebut, M.Amin Abdullah, ….Kajian).
[7] M. Amin Abdullah, Prelimary Remarks on the Philosophy of Islamic religious Science, Al-Jamiah, No.6 tahun 1998, h.1-26.
[8] M.Amin Adullah, …Kajian, op.cit,.h.14
0 Comment