P E N D A H U L U A N
Al-Qur’an adalah kitab dakwah yang mencakup didalamnya unsur-unsur dakwah, seperti juru dakwah, penerima dakwah, metode dakwah, dan media dakwah. Dakwah dengan segala unsurnya adalah suatu kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lain, masing-masing unsur dalam dakwah mendapat perhatian dan sorotan dalam al-Qur’an secara sistematis dan sesuai dengan kondisi sosial masyarakat. Paparan dan petunjuk al-Qur’an tentang kegiatan dakwah tersebut telah dilaksanakan dan dipraktekan oleh Rasulullah Saw..
Dakwah adalah ujung tombak dalam mewujudkan ajaran Islam ke berbagai segi kehidupan manusia. Melaksanakannya merupakan kewajiban bagi setiap pribadi muslimin dan muslimat, sesuai dengan keahlian dan kemampuan masing-masing. Pendapat ini didasari kepada pemikiran mufassir dalam memberikan interpretasi terhadap kalimat امة ولتكن منكمpada surat Ali Imran: 104 bahwa kalimat min pada minkum menunjukkan makna li al-bayân (penjelasan), bukan bermakna li al-tab’îdh, sedangkan kata ummat diartikan dengan al-jama’ah (seluruh manusia). Sehingga konsekwensi melaksanakan dakwah adalah bagi semua orang muslim. Pendapat ini sejalan dengan Rasyid Ridha, bahwa melaksanakan dakwah adalah kewajiban bagi setiap pribadi muslim sesuai dengan keahliannya. Namun bukan berarti menafikan pendapat lain yang mengatakan bahwa melaksanakan dakwah adalah ditujukan kepada segolongan tertentu. Untuk merealisasikannya ditengah-tengah masyarakat luas diselenggarakan dengan mempergunakan metode tertentu, yaitu metode yang ditetapkan oleh Allah dalam surat al-Nahl 125, meliputi metode hikmah, maw’izhah al-hasanah dan mujadalah al-lati hiya ahsan. Ketiga metode tersebut mampu beradabtasi sesuai dengan tingkatan kemampuan manusia, yaitu manusia intelektual, awam dan antara keduanya.
Dakwah dalam al-Qur’an berarti ajakan kepada kebaikan, yaitu ajakan kepada agama Islam, membangun masyarakat madani yang qur’ani, selalu dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar. Dia merupakan seperangkat aktifitas yang dilakukan oleh setiap muslim sesuai dengan kemampuannya, bertujuan menjadikan seluruh umat manusia meyakini dan mengamalkan ajaran Islam dengan baik dan bertanggungjawab serta diiringi dengan akhlak mulia demi memperoleh kebahagiaan sekarang dan yang akan datang.
Pada priode Makkah (610-622 H) Nabi Muhammad Saw. melaksanakan dakwah melalui pendekatan kepada individu dan keluarga terdekat secara diam-diam dalam upaya memberi pelajaran dan petunjuk, karena keluarga dan karib kerabat merupakan cerminan dalam kehidupan suatu masyarakat. Oreantalispun mengakui bahwa kesuksesan dakwah Nabi Muhammad Saw. dimulai dari keluarga, bukan lansung kepada masyarakat. Kemudian secara bertahap pelaksanaannya dikembangkan secara terbuka kepada masyarakat yang secara kebetulan berhadapan lansung dengan kaum kafir Quraish.
Setelah Nabi Muhammad Saw. di Madinah (1-11 H / 622-632 M) dakwah telah mampu menumbuh kembangkan ukhuwah Islamiyah. Sebagai langkah pertama, Nabi mempersaudarakan kaum Anshar dan Muhajirin yang berbeda suku dan adat istiadat, yang menurut ukuran masa itu sangat sulit untuk dipersatukan. Sehingg membentuk suatu umat bagaikan suatu bangunan yang satu dengan yang lainnya saling menguatkan. Persatuan dan kesatuan itu melahirkan kekuatan bagi kaum muslimin dalam pengembangan dakwah kepada masyarakat. Nampak kesatuan umat Islam yang dibangun Nabi sangat menyinggung orogansi orang–orang Yahudi dan Nasrani yang telah mapan sebelumnya dan mereka berusaha untuk melemahkan dan mematahkan risalah yang dibawanya, maka untuk mempertahankannya Allah Swt. memerintahkan jihad kepada Nabi Muhammad bersama pendukungnya. Perintah tersebut terjadi pada tanggal 12 Safar tahun ke-2 Hijrah untuk melawan kekejaman musyrikin yang tidak henti-hentinya menentang Nabi, bahkan tambah mengganas setelah kaum musyrikin bersekongkol dengan umat Yahudi dan Nasrani yang ada di Madinah dan sekitarnya, menekan umat Islam, untuk itu kaum muslimin melakukan perlawanan membela kesatuan dan keutuhan umat. Nampaknya usaha mereka ternyata berhasil mengalahkan musyrikin bersama kroni-kroninya. Dalam hubungan ini Hasan Ibrahim Hasan mengungkapkan bahwa izin jihad diberikan kepada kaum muslimin adalah dengan maksud membela diri dan melindungi dakwah, dari rongrongan kaum musyrikin, sehingga kekuatan musuh Islam jatuh berantakan dan daerah dakwah semakin meluas dan berkembang, seperti kemenangan di Badar tahun ke-2 Hijrah, Perang ini terjadi antara lain untuk menghalangi monopoli dagang kaum Quraisy dan intervensi terhadap perdagangan Islam.
Setelah Nabi Muhammad Saw. wafat, pelaksanaan dakwah dilanjutkan oleh para Khulafa' al-Rasyidin bersama sahabat lainnya. Seperti Abu Bakr al-Shiddiq (11-13 H / 632-634 M) dan 'Umar bin Khattab (12-23 H / 634-644 M) ternyata berjalan dengan baik dan sukses. Namun setelah itu, ketika pemerintahan Usman bin Affan ( 23-35 H / 644-656) dan 'Ali bin Abi Thalib (36-40 H / 656-661 M) dilanda oleh berbagai kekacauan politik dalam negeri, berawal dari adanya tuduhan kepada khalifah Usman bersifat nepotisme dari kalangan masyarakat yang mendukung Ali bin Abi Thalib dan memuncak setelah Ali menjadi khalifah, kelompok pendukung Usman menuntut Ali supaya menghakimi pembunuh Usman. Kondisi seperti ini membawa kesatuan umat sudah tidak terjamin lagi sebagaimana yang telah dibina oleh Nabi Muhammad Saw. sebelumnya.
Sekalipun kenyataan tersebut berdampak negatif terhadap kelancaran perkembangan sosial masyarakat, namun bukan berarti kegiatan dakwah serta merta berhenti pula, akan tetapi kegiatan dakwah tetap berjalan, terutama dalam upaya mengaktualisasikan al-Qur’an kepada masyarakat, melalui haffazh al-Qur’an kepada negeri yang terdapat orang-orang yang hendak mengubah al-Qur’an, termasuk kepada mereka yang berupaya membuat-buat hadis-hadis palsu. Namun setelah pemerintahan Bani Umayyah terutama masa pemerintahan Mu'awiyah bin Abi Sufyan (41-60 H / 661-680 M) kondisi politik dalam masyarakat kembali mereda, sehingga gelombang dakwah berjalan kembali dengan normal, sampai kepenghujung kekuasannya selama ± 90 tahun dengan 14 orang khalifah telah terjadi peluasan dakwah keberbagai wilayah, seperti ke Asia kecil, Asia Timur, Afrika Utara dan ke daerah Barat seperti Maroko dan Spanyol.
Selanjutnya dakwah pada masa kekhalifahan Abbasiah dikembangkan oleh individu dan kelompok dengan cara pembauran, kasih sayang dan kelemah lembutan. Pelaksanaannya dengan cara memberikan penjelasan melalui pendekatan amar ma’ruf nahi munkar serta memberi keteladanan yang baik kepada masyarakat, serta menghilangkan keraguan yang membelenggu dirinya dari kepercayaan kepada berhala. Selain dikembangkan melalui individu, dakwah dikembangkan melalui perniagaan oleh pedagang-pedagang Islam keberbagai negeri. Tidak kalah penting dakwah dikembangkan melalui ilmu pengetahuan, karena masa Abbasiah adalah masa menjamurnya perkembangan ilmu pengetahuan. Sejarah telah mencatat bahwa Islam pernah menjadi negara adikuasa. Ketika itu kebudayaan Eropa di lumpuhkan oleh kebudayaan Islam dalam berbagai aspek, sehingga Islam menjadi guru bagi Eropa. Inilah yang disebut kemudian dengan pengaruh peradaban Islam terhadap renaisans di Eropa.
Pada abad ke-18 M sebagai akibat terjadinya kontak peradaban dan ilmu pengetahuan dengan dunia Barat, munculnya kaum pembaharu di dunia Islam yang berusaha melakukan pembaharuan dengan mengkaji ulang ajaran-ajaran dasar Islam. Gerakan pembaharuan tersebut berdampak positif dalam kehidupan pengembangan metode dakwah. Antara lain seperti, Muhammad Abduh (1849-1905 M), seorang tokoh pembaharu, ia melakukan dakwah secara lisan juga mengembangkannya dengan tulisan lewat majalah al-'Urwat al-Wusqa diterbitkan di Paris bersama Jamal al-Din al-Afgani (1839-1897 M), dan Rasyid Ridha (1865-1935 M) di Mesir dengan majalah al-Manarnya. Majalah ini memuat pemikiran dan ide-ide Muhammad 'Abduh dalam menafsirkan al-Qur’ân. Walaupun pemikiran 'Abduh dalam Tafsîr al-Manâr itu hanya sampai pada ayat 125 QS. al-Nisa’. Dakwah yang mereka kembangkan lewat majalah itu adalah menindaklanjuti dakwah bi al-khitabah yang telah dibangun sebelumnya oleh Rasulullah untuk para penguasa di zamannya.
Aktifitas dakwah seperti itu merupakan satu bagian yang pasti ada dalam kehidupan manusia sepanjang waktu. Di dalam al-Qur’an dakwah merupakan kewajiban yang dibebankan oleh agama kepada pemeluknya, baik dilakukan secara pribadi ataupun dilaksanakan secara kolektif. Dengan demikian eksistensi dakwah bukan hanya sekedar usaha agar orang lain dapat memahami agama dalam kehidupannya, akan tetapi jauh lebih penting dari itu, yaitu; melaksanakan ajaran Islam secara menyeluruh dan konfrehenshif dalam berbagai aspek kehidupan. Untuk mencapai kearah tersebut sudah pasti semua unsur dakwah harus mendapat perhatian serius para juru dakwah. Namun betapapun baiknya sebuah materi, media, audience dan da’inya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dakwah itu sendiri, jika tidak mempergunakan metode, maka ajaran Islam yang dikembangkan akan berada pada tataran pengetahuan bukan pada aspek aplikasi dan pengamalannya.
Juru dakwah dalam upaya merealisasikan tujuan di atas, telah melakukan berbagai usaha dan pendekatan. Dalam bentuk usaha nyata adalah melalui ceramah, diskusi, bimbingan dan penyuluhan, nasehat, keteladanan, atau panutan dan lain-lainnya. Sedangkan pendekatan yang dilalui adalah pendekatan sosiologis, antropologis, psikologis, komunikasi masa dan moderen, dengan berbagai teknik seperti seminar, lokakarya, simposium, sarasehan dan lain sebagainya. Nampaknya ajaran Islam belum memberikan warna kepada penganutnya secara kaffah.
Perspektif dakwah dalam al-Qur’an, tidak hanya sekedar mengatur kegiatan dakwah, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu memberikan cara-cara tertentu dalam menghadapi masyarakat tertentu pula. Secara umum al-Qur’an telah menuntun Nabi Saw. kearah tercapainya sosialisasi ajaran Islam dalam kurun waktu ± 23 tahun. Semua itu didukung oleh metode yang akurat, efektif dan effesien serta berpegang kepada prinsip atau azas metode yang dituturkan oleh Allah Swt. Sekalipun secara literlek didalam al-Qur’an tidak ditemukan kata yang persis sepadan dengan istilah metode, namun jika dimaksudkan metode, yaitu cara-cara yang diterapkan Allah kepada Nabi Muhammad dalam menyampaikan ajaran Islam kepada keanekaragaman masyarakat dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang mengintarinya. Dari berbagai referensi yang penulis temukan, tertutama dalam bidang kajian dakwah, maka satu-satunya dari ayat dari al-Qur’an yang membicarakan tentang metode dakwah adalah terdapat pada surat al-Nahl; 125, yaitu :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ( النحل : 125 )
Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Pada ayat ini bukan hanya berbicara seputar metode dakwah, akan tetapi meliputi faktor-faktor lainnya, yaitu tentang subjek, materi yang disampaikan. Bahkan secara tersirat juga terkandung objek dakwah, karena perintah dakwah dalam ayat tersebut ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw., maka yang disuruh panggil oleh Allah kepada Nabi adalah umat manusia. Sekaitan dengan metode dakwah pada ayat 125 di atas, berisikan perintah dari Allah Swt. kepada Rasul Saw. untuk menyeru manusia (kepada Islam) dengan salah satu dari tiga cara; yaitu dengan hikmah, maw’izhah al-hasnah dan mujadalah bil al-thariq al-ihsan. Pendapat yang senada dipertegas oleh Said Quthub, bahwa upaya membawa orang lain kepada Islam hanyalah melalui metode yang telah ditetapkan oleh Allah dalam al-Qur’an. Ketiga metode itu disesuikan dengan kemampuan intelektual masyarakat yang dihadapi. Namun bukan berarti masing-masing metode tertuju untuk masyarakat tertentu pula, akan tetapi secara prinsip semua metode dapat dipergunakan kepada semua masyarakat.
Secara faktual, tafsir berkembang cukup pesat. Perkembangan dimaksud mencakup mufassir, metode dan corak penafsiran. Penjelas pertama tentang ayat-ayat al-al-Qur’an itu adalah Allah Swt. sendiri, secara keilmuan disebut dengan tafsir bi al-ma’tsur, mengingat sebagian ayat itu berfungsi menafsirkan ayat yang lain. Kemudian Rasulullah Saw. menyampaikan kepada manusia, karena penugasan Allah kepadanya untuk menerangkan tentang kitab yang diturunkan kepadanya (Q.S. al- Nahl, 14 (16/70). Selanjutnya adalah manusia biasa, mulai dari sahabat, para tabi’in, tabi’ tabin, dan para ulama sampai kini. Namun demikian, penafsiran oleh manusia dibatasi dengan bi qadri al- thaqah al- basyariah (sesuai kemampuan manusia). Oleh sebab itu, seorang mufassir harus menyadari keterbatasan kemampuannya, dan sekaligus menyadarkannya bahwa apa yang ditafsirkannya bukanlah sesuatu yang final dan paling benar. Tingkat keabsahannya paling tinggi berada pada tingkat zhanni. Untuk itu masih terbuka peluang baginya atau oleh mufassir lain untuk mengkaji ulang. Berangkat dari hal itulah agaknya para ulama menetapkan seperangkat persyaratan bagi orang-orang yang ingin menafsirkan al-Quran, antara lain dengan prioritas untuk mengutamakan penafsiran ayat dengan ayat, ayat dengan hadis Rasul, ayat dengan atsar sahabat ( ketiganya disebut tafsir bi al- ma’tsur ).
Sesuai dengan pilihan yang ditetapkan dalam penelitian, yaitu memakai metode tafsir tahlili terhadap ayat 125 surat al-Nahl, maka pada dasarnya tafsir tahlili adalah menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan ayat-ayat lain dalam satu permasalahan, dan bila perlu dibantu dengan hadis Nabi dalam fungsinya sebagai penjelas al-Quran. Dalam hal ini telah tumbuh sejak masa Nabi Muhammad Saw. Atas pertanyaan para sahabat, Nabi menafsirkan kata al-zulm dalam surat al- An’am ayat 81 dengan al-syirk dalam surat Luqman ayat 13. Sehubungan dengan itu, al- Farmawi mengelompokkan kedalam tujuh corak tafsir tahlili, yaitu sebagai berikut : 1.al-Tafsir bi al-Ma’tsur, 2. al-Tafsir bi al-Ra’yi, 3. al-Tafsir al-Shufi, 4. al-Tafsir al-Fiqhi, 5. al-Tafsir al-Falsafi, 6. al-Tafsir al-’Ilmi, dan 7. al-Tafsir al-Adab al-Ijtima’i.
Melihat kepada literatur dakwah yang ada, nampaknya belum banyak membicarakan tentang dakwah, terutama yang membahas metode dakwah dari sudut pandangan al-Qur'an. Untuk itu penulis termotivasi mengangkat masalah tersebut dalam bentuk karya tulis ilmiah dengan melihatnya dari sudut Qur’ani, karena menyadari penting adanya suatu kajian metode dakwah yang didasari kepada tuntunan al-Qur’an yang relevan dengan tuntutan masa dan perkembangan kajian ilmu dakwah serta lebih jauh akan melihat bagaimana paparan al-Qura’n dalam memberikan tuntunan kepada Nabi untuk melakukan dakwah, sekaligus sebagai pedoman dalam membina umat sesuai situasi dan kondisi.
Setelah membaca buku-buku dakwah yang dapat penulis lacak, terdapat tiga buku dakwah yang mirip judulnya dengan karya yang akan dibahas, yaitu : Pertama karangan Muhammad Husain Fadhlullah dengan judul “Metodologi Dakwah Dalam al-Qur’an Pegangan bagi para Aktivis, terbitan Lentera Basritama, Jakarta 1997, terjemahan Tarmana Ahmad Qasim dari judul asli “Uslub al-Dakwah fi al-Qur’an” (Beirut: Dar al-Zahra, 1996). Buku ini secara spesifik membahas tentang langkah-langkah metode dakwah secara umum, tanpa menggunakan teori penafsiran tahlili ataupun maudhu’i, akan tetapi mencoba menjelaskan makna ayat 125 surat al-Nahl, secara dangkal sekali, sehingga apa dan bagaimana bentuk metode dakwah tersebut tidak terlihat secara keilmuan, tertutama dilihat dari segi ilmu dakwah. Kajian buku ini hanya membahas contoh-contoh dakwah praktis, oreantalis dan masalah metode penggunaan kekuatan dalam al-Qur’an.
Kedua karangan Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan metode dakwah Nabi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1997, diambil dari judul asli “ al-Dakwah Laisa Mujarrada Tabligh wa Lakin Akhlaqun wa Sulukun, tanpa menyebutkan tempat penerbit dan tahun penerbitan. Buku ini berisikan tugas dan kehidupan Nabi Saw.. etika dakwah, kriteria, keistimewaan, pendekatan dakwah, seperti pendekatan personal, pendidikan, penawaran, pendekatan misi, pendekatan korespondensi, pendekatan diskusi dan dakwah Nabi antara kewajiban dan keberhasilan. Dalam tulisan ini tidak ditemukan apa metode dakwah pada surat al-Nahl 125 dan bagaimana bentuk-bentuknya.
Ketiga karya A. Hasjmy, Dustur Dakwah Menurut al-Qur’an, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. 3, 1994. Buku ini berisikan tentang pengertian dan tujuan dakwah, kebijakan dakwah dan rukunnya, juru dakwah dan akhlaknya, wasilah dakwah dan arenanya, sejarah pembinaan dan pengembangan dakwah. Secara spesifik ketiga buku ini tidak membahas tentang apa dan bagaimana metode dakwah dalam surat al-Nahl 125 dan bentuk-bentuknya, sehingga memberi peluang kepada penulis untuk melihat sisi ini dalam kajian metode dakwah dalam perspektif al-Qur’an studi tentang penafsiran surat al-Nahl 125 dalam karya ini.
Bertolak dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat diungkapkan bahwa masalah metode dakwah bukanlah persoalan sederhana. Ia tidak hanya terkait dengan satu kata dakwah yang pernah diterapkan pada masa Nabi Muhammad Saw., akan tetapi sekaligus terpaut dengan situasi dan kondisi kehidupan umat masa kini dan masa datang. Dengan demikian, terasa penting adanya suatu petunjuk Allah tentang metode dakwah dalam perspektif al-Qur’an, sehingga tidak hanya tinggal ungkapan bahwa al-Qur’an relevan sepanjang waktu dan zaman.
Oleh karenanya, dari kajian ini pertanyaan mendasar yang akan menjadi masalah adalah Bagaimana konsep metode dakwah dalam surat al-Nahl 125 dan bagaimana bentuk-bentuk turunannya dalam perspektif al-Qur’an. Dengan terlebih dahulu melihat terma dakwah dalam perspektif al-Qur’an dan komponen dakwah yang mengintari aspek metode dakwah.
Mengingat objek penelitian ini ayat-ayat al-Qur’an, maka pendekatan utama yang digunakan pada penelitian adalah pendekatan ilmu tafsir. Dalam ilmu tafsir dikenal beberapa metode dan corak penafsiran yang masing-masing memiliki ciri-ciri khusus. Secara metodologis, sekurangnya ada empat metode yang dipergunakan para ahli tafsir untuk mengungkap dan menyingkap kandungan al-Quran itu, yaitu metode tahliliy, ijmaliy, muqaran dan metode maudhu’i ( tematik ).Tafsir Tahlili ialah menjelaskan ayat-ayat al-Quran dengan mengemukakan semua aspeknya dan mengungkapkan semua tujuannya dengan tetap memelihara urutan mushaf, ayat demi ayat dan surat demi surat, serta mengkaji makna mufradat (kosa kata sulit), menjelaskan kandungan maknanya secara global serta tujuan susunan kalimatnya. Tafsir ijmali adalah menafsirkan al-Quran secara global. Langkah-langkah yang ditempuh dengan metode ini seperti dikemukakan oleh Ahmad Said al-Kumi dan Muhammad Ahmad Yusuf al- Qasim, adalah mengemukakan pengertian secara global, serta menjelaskan kata-kata sulit, menjelaskan korelasi di antara berbagai pengertian dan Asbab al- nuzul atau kisah yang mesti disebutkan. Hal itu dilakukan supaya cepat ditangkap pemahamannya dan terwujudnya ungkapan yang mudah dengan memberikan gambaran yang global tentang suatu kelompok besar ayat dalam waktu singkat dengan ungkapan pendek. Kitab tafsir yang ditulis dengan metode ijmali ini antara lain Tafsir Jalalain dan Tafsir Muhammad Farid Wajdi. Berikutnya Tafsir Muqaran (komparatif) ialah menjelaskan ayat-ayat al-Quran menurut apa yang telah ditulis oleh para mufassir dengan standard pemikiran mereka dan memperbandingkan antara berbagai arahan dan analisa yang boleh jadi merupakan penyatuan antara zahir ayat dengan hadis-hadis yang tampaknya berlawanan (kontradiksi), dan memperbandingkan antara al-Qur’an dengan kitab-kitab Samawi lainnya, baik mengenai persamaan, maupun perbedaannya. Selanjutnya Tafsir Maudhu’i, ialah menjelaskan ayat-ayat al- Quran yang mempunyai satu topik, sekalipun ungkapan dan tempatnya berbeda, serta mengungkapkan segala aspek dari topik (tema) tersebut, sehingga mufassir mengetahui segala segi. Jika seorang mufassir menemui keganjilan dalam hal itu, ia mengungkapkan hadis-hadis yang relevan untuk menambah kejelasan dan keterangan.
Secara garis besar dikenal dua bentuk metode penafsiran. Pertama disebut metode pembahasan secara kronologis urutan ayat (tahlili) dan kedua disebut metode tematis (maudhu’i). Tahlili berupaya memahami dan menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai segi dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana tercantum dalam mushaf. Sedangkan maudhu’i berupaya memahami dan mejelaskan kandungan al-Qur’an dengan cara menghimpun ayat-ayat dari berbagai surah yang berkaitan dengan satu topik, kemudian dianalisis kandungan ayat-ayat tersebut hingga menjadi satu kesatuan konsep yang utuh.
Pada tulisan ini kedua metode ini dijadikan referensi dalam membahas sejumlah ayat al-Qur’an. Metode yang lebih banyak digunakan dalam tulisan ini adalah metode tahlili. Hal ini didasari kepada ayat al-Qur’an yang mengungkap tentang metode dakwah hanya terdapat pada surat al-Nahl- 125, sedangkan makna yang terkandung didalamnya secara substansi memerlukan metode tafsir maudhu’i, karena metode ini lebih mampu menggambarkan prinsip-prinsip metode dakwah di dalam al-Qur’an. Sebagai langkah-langkah operasional yang ditempuh adalah sebagai berikut :
a. Menafsirkan surat al-Nahl;125 dari beberapa kalangan mufassir dan menganalisanya dengan ayat lain yang ada korelasinya atau disebut dengan al-Tafsir bi al-Ma’tsur, adalah penafsiran ayat dengan ayat, penafsiran ayat dengan hadis yang menjelaskan makna sebahagian ayat yang dirasa sulit.
b. Memberikan analisa terhadap penafsiran mufassir sesuai dengan pemaknaan surat al-Nahl 125 sebagai metode dakwah, sehingga ketika membahas ayat ini yang berkaitan dengan tujuan penelitian, akan memunculkan rumusan-rumusam atau bentuk-bentuk baru dari metode dakwah tersebut.
c. Mentafsiran rumusan-rumusan ayat-ayat al-Qur’an tersebut dengan pendekatan “ilmu dakwah”. Tafsir ini menguraikan ayat secara berurutan, akan tetapi menafsirkannya secara persial yang dianggap mempunyai relevansi dengan kajian ilmu dakwah. Namun pada perkembangan kemudian cara ini cenderung bersifat tematik, yaitu menafsirkan ayat 125 surat al-Nahl, dengan ayat lain, kemudian kandungan dari ayat tersebut dihimpun dalam suatu kesatuan yang kemudian melahirkan suatu asumsi-asumsi, atau teori .
d. Selanjutnya menguraikan dan menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al-Qur’an tersebut. Langkah berikutnya, berusaha menghubungkan surat al-Nahl 125 tersebut dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada.
e. Merumuskan konsep metode dakwah dengan segala bentuknya yang ditemukan dalam surat al-Nahl; 125 dalam bentuk simpulan-simpulan.
Penelitian ini termasuk kajian Qur'ani yang berorientasi kepada disiplin ilmu pengetahuan sosial, yaitu ilmu pengetahuan yang merupakan fusi atau paduan dari sejumlah mata pelajaran sosial yang berkenaan dengan masyarakat Kajian ilmu-ilmu sosial bersinggungan dengan sosiologis, psikologi, ilmu sejarah, antropologi dan ekonomi. Semua disiplin ilmu ini berupaya memahami orang-orang dalam masyarakat, sehingga bentuk metodologinya mempunyai persinggungan antara satu dengan yang lainnya. Kalaupun dalam tulisan ini tidak semua dijadikan sebagai senjata analisisnya. Maka pisau analisis penulis gunakan pendekatan sosio-historis. Hal ini dimaksudkan sebagai suatu cara pendekatan terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan obyek kajian dengan memperhatikan konteks waktu, tempat dan budaya mitra bicaranya.
Pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kerpustakaan (library research), maka data primer yang dibutuhkan diperoleh dari ayat-ayat al-Qur'an Mushaf al-Qur’an al-Karim bi al-Rasm al-Usman yang ada kaitannya dengan metode dakwah dengan segala unsur-unsurnya. Sedangkan terjemahan al-Qur’an yang dipergunakan dalam tulisan ini adalah terjemahan Depertemen Agama RI. dan kitab tafsir yang dijadikan rujukan utama ialah : Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manar), Tafsir ini bercorak al-tafsir al-adabi al-ijtima’i yaitu; penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan ketelitian ungkapan dengan bahasa yang lugas, lalu mengaplikasikan pada tatanan sosial. Penulisnya lahir tahun 1865 M dan melanjutnya karya gurunya Muhammad Abduh lahir tahun 1849. Di dalam Tafsîr ini sangat jarang memuat kisah israiliyat. Tafsir al-Maraghi, Kitab ini digunakan untuk memahami konteks satu ayat, mengingat salah satu keunggulan tafsîr ini adalah mempunyai uraian terperinci tentang munasabah atau makna konteks, lalu diuraikan makna-makna mufradat yang dianggap kata kunci, selain itu dijelaskan asbab al-nuzul dan berikutnya dibewrikan penjelasan secara menyeluruh. Tafsîr ini telah bersifat kontemporer (abad ke-19).Tafsir al-Munir Fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, Kitab ini terdiri dari 30 jilid dan mempunyai keistemewaan antara lain menjelaskan makna mubalaghah, mufradat dan munasabah ayat. Selanjutnya ayat demi ayat di tafsîrkan dan diberi penjelasan dan yang paling menarik adalah mengemukakan kandungan ayat baik dari segi akidah, hukum maupun metode penetapannya. Penulis kitab ini keahlian utamanya adalah dalam bidang fiqh .Tafsir al-Kasysyâf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil, Ia lahir pada tanggal 27 Rajab 467 H dan wafat tahun 538 H. Tafsir ini lebih banyak beroreantasi kepada masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Tafsir al-Mizan Fi Tafsir al-Qur’an, Kitab ini ditulis seorang Syi’ah yang moderat, karena karyanya dapat diterima oleh kalangan sunni.Tafsir Jami’al-Bayan ‘an Ta’wil ‘Ayi al-Qur’an, Kitab tafsir ini terdiri dari 15 jilid dan rujukan bagi penulis-penulis tafsir sesudahnya, karena interpretasi yang dikemukakan cukup memadai, baik aspek makna, maupun syarahnya. Tafsir ini selain dilengkapi dengan hadis-hadis, sekaligus mengemukakan asbab al-nuzulnya. Ia wafat tahun 310 H. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Ibn Katsir, Keistimewaannya dilengkapi dengan hadis-hadis yang menjadi Asbabu al-Nuzul, karena ia selain dikenal seorang mufassir juga seorang muhaddisin (wafat tahun 774 H).
Tafsir Jalalain. Kitab ini lebih banyak melacak makna mufradat. Ia lahir di Mesir tahun 791 H dan wafat tahun 876 H .Kitab lain yang sangat berperan dalam mencari klasifikasi ayat-ayat adalah kitab al-Mu’jam al-Mufahras Lima’ani al-Qur’an al-‘Azhim, Dar al-Fikr, Beirut, 1995, oleh Muhammad Bassam Rusydi al-Zain, kitab al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fazh al-Qur’an, Dar al-Fikr, Beirut, 1983, oleh Muhammad Fuad Abd al-Baqi, kitab Mu’jam Mufradat al-Fazh al-Qur’an, Dar al-Fikr, Beirut, T.Th. oleh al-Raghib al-Isfahani. Ketiga kitab ini sangat memudahkan penulis dalam mengungkapkan ayat-ayat yang berhubungan dengan metode dakwah.
Selain jenis literatur al-Qur'an al-Karim, dilengkapi dengan data sekunder untuk menunjang data primer, yang diperoleh dari leteratur yang ada kaitannya dengan pembahasan, seperti kitab-kitab tafsir, hadis, dakwah dan tulisan ilmiah lain yang terkait dengan pembahasan.
Berdasarkan jenis penelitian ini, maka penemuan makna yang terkandung dalam ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan metode dakwah, maka temuan penelitian ini bersifat kontruktif. Sebab penelitian ini tidak hanya bermaksud mengekplorasi metode dakwah dari ayat al-Qur'an, tetapi juga untuk mempertajam konsep metode dakwah yang dikenal dalam kajian-kajian ilmiah dan kepustakaan dakwah dewasa ini dan mesistematisasikan. Jika dilihat dari sasaran (ayat al-Qur'an), maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini termasuk penelitian sumber.
Justru penelitian ini berkisar pada ayat-ayat al-Qur'an dan terfokus pada surat al-Nahl; 125, maka penelitian ini menggunakan pendekatan metode tafsir tahlili dengan content anilysis; yaitu usaha mempertemukan ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki tujuan yang sama (ayat tentang metode dakwah) dan menyusunnya secara kronologis, kemudian menyimpulkan ke dalam kerangka pembahasan sehingga tampak nilainya dari segala aspek. Dengan demikian, penelitian ini menggunakan metode pengolahan data yang bersifat kualitatif, dan teknik analisis isi, sangat boleh jadi terjadi elaborasi metode dakwah yang belum dikenal sebelumnya sebagai bentuk metode. Sedangkan untuk menganalisis data sampai kepada menghasilkan kesimpulan, maka penulis menggunakan analisis makna ayat-ayat al-Qur'an. Kemudian dalam teknik penulisan, menggunakan analisis deduktif; dimana akal berusaha mencoba menetapkan kebenaran suatu pernyataan dengan menunjukkan bahwa pernyataan-pernyataan tersebut telah tercakup dalam pernyataan lain yang telah ditetapkan kebenarannya sebagai suatu kebenaran. Lebih jauh, penulis menggunakan juga analisis induktif; yaitu berusaha mencoba menetapkan kebenaran suatu masalah atau perumusan umum mengenai suatu gejala dengan cara mempelajari kasus-kasus atas kejadian-kejadian khusus yang berhubungan dengan bahasan penelitian.
0 Comment