TATA CARA PEMBAGIAN WARISAN
A. HIBAH
1) Pengertian dan Dasar Hukum Hibah
Kata hibbah berasal dari kata “hubuubur riih” yang berarti “muruuhad” yang berarti perjalanan angin.[1]
Sedangkan menurut istilah, hibbah berarti akad pemberian harta milik seseorang kapada orang lain pada saat ia masih hidup tanpa adanya imbalan.[2] Sedangkan makna umumnya, hibbah adalah :
1. ibraa : menghibbahkan utang kepada orang yang berutang
2. sedekah: menghibahkan sesuatu dengan harapan pahala di akhirat
3. hadiah : menuntut orang yang diberi hibah untuk memberi imbalan.
Dari pengertian diatas, dapat kita simpulkan bahwa hibah adalah: pemberian seseorang kepada orang lain, yang mana pemberian itu diberikan ketika dia masih hidup tanpa mengharapkan apa serta hak kepemilikan jatuh pada waktu itu juga.
Adapun dasar hukum hibah adalah hadits nabi yang berbunyi:
من جاءه من أخيه معروف من غير إشراف ولا مسأللة ولا يرده فانما هو رزق ساقه الله اليه
Artinya: barang siapa yang mendapatkan kebaikan dari saudaranya bukan karena mengaharpkan dna meninta-minta, maka hendaklah ia menerima dan tidak menolaknya kerena merupakan rezeki yang diberikan Allah kepadanya.
2) Perbedaan dan Persamaan Hibah Dengan Wasiat, Hadiah, Shadagah Dan Nafkah
Persamaan antara wasiat dengan hadiah, shadaqah dan nafkah adalah sama-sama pemberian seseorang kepada orang lain, sedangkan perbedaan nya adalah:
Ø Wasiat merupakan pemberian seseorang kepada orang lain, yang mana peralihan hak dari si pemberi kepada orang yang diberi terjadi setelah si pemberi meninggal dunia
Ø Hadiah merupakan pemberian yang dilakukan seseorang untuk mengharapkan pujian dari orang banyak dan dalam moment tertentu.
Ø Shadaqah adalah pemberian yang dilakukan semata-mata mengharapkan redha dari Allah
Ø Nafaqah adalah pemberian suami kepada istri untuk kebutuhan rumah tangga.
3) Rukun Hibah
Hibah sah jika ada ijab dan qabul dalam bentuk apa pun selagi pemberian harta tersebut tanpa mengharapkan imbalan. contoh : seorang penghibah berkata: aku hibahkan kepadamu…” dan orang lain berkata “ ya, aku terima”. Namun para ulama juga berbeda pendapat dalam qabul dalam hibah , adapun pendapat ulama adalah:
a. Mazhab Syafii dan Malik berpendapat bahwa qabul dalam hibah harus ada.
b. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa ijab sudah cukup dalam hibah
c. Mazhab Hambali berpendapat bahwa dalam hibah tidak disyaratkan adanya ijab dan qabul
4) Syarat Hibah
Hibah mengharuskan adanya pihak pemberi hibah, barang yang dihibahkan dan orang yang menerima hibah, adapun syarat-syaratnya adalah:
a. Syarat-Syarat Pemberi Hibah
Adapun syarat pemberi hibah adalah sebagai berikut:
Ø Pemberi hibah memiliki barang yang dihibahkan
Ø Pemberi hibah bukan orang yang dibatasi haknya
Ø Pemberi hibah adalah orang yang telah baligh
Ø Pemberi hibah bukanlah orang yang dipaksa, sebab aqad hibah mensyaratkan keridaan
b. Syarat-Syarat Penerima Hibah
Adapun syarat si penerima hibah ialah hadir pada saat pemberian hibah, apabila tidak ada atau diperkiraan ada, misalnya janin maka hibah tidak sah.
Apabila penerima hibah ada pada saat pemberian hibah, tetapi masih kecil atau gila, maka hibah itu diambil oleh walinya untuk dipelihara sampai ia baligh atau sembuh dari sakit.
c. Syarat-Syarat barang yang dihibahkan
Ø Benar-benar ada wujudnya
Ø Benda-benda tersebut bernilai
Ø Barang tersebut dapat dimiliki zatnya
Ø Barang tersebut bukan milik umum
B. WASIAT
1) Pengertian dan Dasar Hukum Wasiat
Wasiat menurut bahawa artinya “ menyambungkan”, yang mana berasal dari kata wahasy syai-a bikadza, artinya “ dia menyambungkannya”. Maksudnya adalah orang berwasiat adalah orang yang menyambungkan kebaikan dunianya dengan kebaikan akhirat. [3]
Sedangkan menurut syara’, wasiat adalah mendermakan suatu hak yang pelaksanaanya dikaitkan sesudah orang yang bersangkutan meninggal dunia.[4]
Dari pengertian diatas dapat kita simpulkan bahwa wasiat merupakan amanah yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain, yang amanah tersebut dilaksanakan setelah ia wafat. Amanah tersebut dapat berupa barang, utang, piutang, nasihat atau petunjuk-petunjuk lainnya. Jadi wasiat orang meninggal merupakan amanah yang harus atau wajib dikerjakan bagi yang menerima wasiat.
Adapun dasar hukum wasiat adalah Q.S Al-Baqarah (2): 180
Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu[454], jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa."
Dari ayat tersebut, Allah membolehkan seseorang untuk berwasiat, dan dalam berwasiat hendaklah disaksikan oleh dua orang saksi yang adil dan dapat dipercaya. Sedangkan syarat orang yang akan menjalankan wasiat adalah:
a. Beragama islam
b. Sudah baligh
c. Orang yang berakal
d. Orang yang merdeka
e. Amanah atau dapat dipercaya. Cakap untuk menjalankan sebagaimana yang dikehendaki oleh orang yang berwasiat.[5]
Dalam berwasiat, sebaiknya tidak melebihi dari sepertiga harta yang ditinggalkan, karena jika melebihi harta yang ditinggalkan maka ditakutkan ahli waris tidak mendapatkan haknya.
Namun, jika wasiat pewaris yang melebihi sepertiga harta, maka jalan penyelesaainnya adalah:
a. Dikurangi sampai batas sepertiga harta
b. Diminta kesediaan semua ahli waris pada saat itu, apakah mereka bersedia mengiklaskan atau meredhakan kelebihan wasiat atas sepertiga harta peninggalan itu, maka halal pemberian wasiat melebihi sepertiga harta.[6]
Dan perlu diketahui bahwa wasiat yang berbentuk harta tidak boleh diberikan kepada ahli waris karena mereka telah memiliki hak mereka di dalam harta tersebut, hal ini berdasarkan hadits rasul yang artinya:
“ Diriwayatkan oleh al-Maghazi bahwa rasulullah saw telah bersabda pada waktu penaklukan Kota Mekah, “ Tidak ada wasiat bagi ahli waris”.
2) Hukum Wasiat
a. Wasiat hukumnya wajib jika pewasiat memiliki kewajiban syara’ seperti bernadzar akan naik haji, kewajiban zakat yang belum dibayar.
b. Wasiat sunat jika digunnakan untuk kebajikan,
c. Wasiat haram jika merugikan pewaris, misalnya menyuruh pewaris membunuh, membalas dendam, membangun gereja
d. Wasiat makruh jika orang tersebut memiliki harta yang sedikit sedangkan ahli warisnya banyak dan sangat membutuhkan harta tersebut
3) Rukun dan Syarat Wasiat
Adapun rukun wasiat adalah:
a. Ada orang berwasiat, yakni orangnya mukallaf yang berhak berbuat kebaikan serta berwasiat atas kehendak sendiri bukan paksaan
b. Ada yang menerima wasiat, adapun syarat penerima wasiat adalah:
Ø Bukan ahli waris si pemberi wasiat
Ø Dari kalangan hanafi berpendapat bahwa si penerima wasiat harus hadir pada waktu wasiat dilaksanakan
Ø Penerima wasiat tidak membunuh si pemberi wasiat.
c. Sesuatu yang diwasiatkan dapat berpindah hak kepemilikannya
4) Batalnya Wasiat
Suatu wasiat itu menjadi batal dengan hilangnya salah satu syarat sebagai berikut yaitu:
a. Jika pemberi wasiat menderita penyakit gila yang parah yang daptat membawa kepad kematian
b. Jika penerima wasiat mati sebelum pemberi wasiat
c. Jika sesuatu yang diwasiatkan tersebut barang tertentu yang menjadi rusak sebelum diterima oleh si penerima wasiat.[9]
C. AUL
1) Pengertian Aul
Al- ‘aul dalam bahasa arab berarti
- zalim dan menyeleweng , seperti Q.S An-Nisa’ ayat 3
......ذلك ادني الا تعولوا
….yang demikian itu adalah lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim. (an- nisak: 3)
- naik atau irtifa’ conto ‘ala al-ma-u artinya apabila air telah naik
- al-ziyadah (tambahan), seperti kalimat “’ala al-mizan” yang artinya apabila salah satu daun neraca bertambah.[10]
Sedangkan menurut istilah, aul berarti bertambahnya jumlah harta waris dari yang telah ditentukan dan berkurangnya bagian para ahli waris. Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashabul furudh sehingga harta yang dibagikan habis, padahal mereka ada yang belum menerima bagian.
Contoh: seorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri, dua orang ibu dan bapak dan dua orang anak perempuan, maka kita hitung bagian mereka masing-masing yaitu:
Ahli Waris | Bagian yang diperolah | |
Istri | 1/8 | 3/24 |
Ibu | 1/6 | 4/24 |
Ayah | 1/6 | 4/24 |
2 orang anak perempuan | 2/3 | 16/24 |
27/24 |
Dari tersebut dapat diketahui bahwasannya jumlah bagian ahli waris adalah 27/24 sedangkan harta 24/24 =1, maka mengalami kekurangan 3/24. Untuk harus diadakan Aul atau pengurangan bagian-bagian ahli waris tadi secara berimbang.
2) Cara menyelesaikan Aul
Dalam menyelesaikan masalah Aul dalam pembagian harta warisan, maka ada dua pendapat ulama yaitu:
a. Madzhab yang empat mengatakan bahwa kekurangan atau ketekoran harta warisan harus dipikul bersama-sama oleh seluruh Ahli waris, yaitu pengurangan bagian masing-masing ahli waris yang mendapatkan warisan. Contoh penyelesaian aul pada contoh diatas:
Ahli waris | Bagian yang diperoleh | Penyelesaainnya |
Istri | 1/8=3/24 | 3/27 |
Ibu | 1/6=4/24 | 4/27 |
Bapak | 1/6=4/24 | 4/27 |
2orang anak perempuan | 2/3= 16/24 | 16/27 |
Total | 27/27 |
Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwasannya dalam penyelesaian aul maka dikurangi bagian seluruh ahli waris, contoh istri yang semula mendapatkan bagian 3/24 menjadi 3/27.
Adapun argumen yang menjadi pendukung oleh madzhab yang empat terhadap adanya ‘aul dan dimasukkan kekurangan itu pada bagian semua pihak adalah riwayat yang menyatakan bahwa pada masa khalifah umar bin Khatab, ada seorang wanita yang mati dengan meninggalkan suami dan dua orang saudara perempuan seayah. Dalam hal tersebut terjadi ketekoran dalam harta warisan, sehingga umar memusyawarahkan dengan masyarakat dalam penyelesaian hal tersebut, dan akhirnya beliau memutuskan untuk mengurangi pembagian semua ahli waris. Jadi, umar lah orang yang pertama melakukan pembagian waris dengan menggunakan Aul.
b. Mazhab Immamiyah berpendapat bahwa tidak ‘aul sehingga bagian mereka disesuaikan kepada ketentuan semula, yakni 24 bagian. Kekuranganya di bebankan kepada bagian 2 orang anak perempuan. Dengan demikian, istri mendapatkan 1/8, ayah = 1/6, ibu = 1/6 dan sisanya diberikan kepada anak perempuan (jika ada saudara perempuan, sisanya diberikan kepada mereka).
Hal ini disebabkan karena anak-anak perempuan dan saudara-saudara perempuan hanya mempunyai satu bagian fardh., dan mereka tidak akan pernah mengalami bagian yang turun dari yang tinggi kepada yang rendah. Mereka menerima bagian secara fardh bila tidak ada laki-laki yang menyertai mereka dalam berbagi waris, sedangkan bila ada seorang laki-laki, mereka menerima bagian qarabah, secara kekerabatan . jika mereka sendirian, bagian yang diterima kadang-kadang kecil.
c. Pokok-pokok masalah yang dapat dan tidak dapat di aulkan
Pokok masalah yang ada di dalam ilmu waris ada tujuh, yakni tiga diantaranya dapat diaulkan sedangkan yang lainnya tidak dapat di aulkan.
Ø Adapun pokok masalah yang dapat di aulkan adalah 6, 12, 24, contoh:
Contoh: seorang laki-laki mati meninggalkan istri, dua orang saudara perempuan sekandung dan ibu, maka bagian mereka adalah:
Ahli waris | Bagian | |
Istri | ¼ | 3/12 |
2 anak perempuan | 2/3 | 8/12 |
Ibu | 1/6 | 2/12 |
13/12 |
Dari tabel tersebut, terlihat bahwa pokok masalah adalah 12 dan terjadi ketekoran pada harta warisan yakni 1/12 , untuk itu penyelesaainnya adalah diubahnya pokok masalah dari 12 menjadi 13
Ø Sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di aulkan adalah 2,3,4, dan 8, contoh: seorang mati meninggalkan ayah dan ibu. Pembagiaanya adalah ibu mendapat sepertiga bagian dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh tersebut, pokok masalahnya tiga, jadi ibu mendapat satu bagian dan ayah mendapat dua bagian.
D. RAD
1) Pengertian Rad
Ar-Rad menurut bahasa artinya kembali atau juga bermakna “ berpaling” seperti terdapat dalam Al- Qur’an surat Al-Kahfi ayat 212.
Sedangkan menurut istilah rad adalah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya jumlah bagian ashabullfurudh. Ar-Radd merupakan kebalikan dari al-aul. contoh seorang meninggal dunia dan meninggal satu anak perempuan dan ibu, maka perhitunggannya adalah : ibu mendapatkan 1/6 sedangkan anak perempuan 1/2 , dan jika dijumlahkan makan 1/6 + ½ = 1/6+ 3/6 = 4/6. sedangkan jumlah harta 6/6 =1. jadi terdapat kelebihan harta 2/6 atau 1/3 yang disebut sisa bagi.
Dari contoh diatas, dapat kita ketahui bahwa masalah rad ini terjadi Sedangkan menurut istilah rad adalah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya jumlah bagian ashabullfurudh.[11]
2) Rukun Rad
Rad tidak akan terjadi kecuali tiga rukun ini terpenuhi yaitu:
a. Adanya pemilik fardh (shahibul fardh)
b. Sisa bagian peninggalan
3) Ahli Waris Yang Berhak Mendapat Ar- Radd
Ar-radd dapat terjadi dan melibatkan semua ashabul furudh, kecuali suami istri.
Adapun ashabulfurudh yang menerima Ar-Radd adalah:
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari keturuanan laki-laki
3. Saudara kandung perempuan
4. Ibu kandung
5. Saudara perempuan seayah
6. Nenek shahih (ibu dari bapak)
7. Saudara perempuan seibu
4) Cara pembagian sisa bagi
Dalam pembagian sisa bagi , ada beberapa pendapat ulama yaitu:
a. Sisa bagi dibagikan kepada semua orang yang berhak, yang telah ditentukan bagiannya.
Contoh: seseorang meninggal dunia, maka meninggalkan ibu, seorang anak perempuan dan seorang janda . maka pembagiannya adalah: ibu mendapatkan 1/6=4/24, janda: 1/8= 3/24dan anak perempuan: ½ = 12/24, jika dijumlahkan maka 4/24+12/24+3/24= 19/24.
Jadi terdapat sisa bagi 24/24-19/24= 5/24
Maka cara pembagiaanya, dibagikan kepada seluruh pihak yang mendapatkan warisan secara berimbang:
Ø ibu mendapat tambahan: 4/19x 5/24= 20/456
Ø janda mendapatkan tambahan : 3/19x5/24 = 15/456
Ø anak perempuan mendapatkan tambahan: 12/19x5/24= 60/456
jadi warisan yang mereka terima adalah:
Ø ibu : 1/6+ 20/456= 76/456+20/456= 96/456
Ø janda: 1/8+ 15/456= 57/456+ 15/456= 72/456
Ø anak perempuan: ½+ 60/456= 228/456+60/456= 288/456
jadi jika dijumlahkan 96/456 + 72/456 + 288/456= 456/456=1
b. Pendapat lain mengatakan bahwa janda dan suami tidak berhak mendapatkan rat, walaupun mereka adalah ahli waris yang disebabkan dzulfaraid.
Hal ini disebabkan karena kekerabatan mereka keduaanya bukanlah nasab, tetapi karena kekerabatan sababiyah (karena sabab yaitu perkawinan.) kekerabatan itu akan putus karena kematian maka mereka tidak berhak mendapatkan rad.
Contoh, seseorang meninggal dunia, maka meninggalkan ibu, seorang anak perempuan dan seorang janda.
Maka ibu mendapatkan 1/6= 4/24, janda: 1/8= 3/24dan anak perempuan ½= 12/24 .setelah dihitung ternyata terdapat sisa bagi 5/24. maka sisa ini, harus dibagikan kepada ibu dan anak perempua, dengan artian istri atau janda tidak mendapatkan sisa bagi, maka caranya adalah: ibu : anak perempuan= 4:12 , maka dijumlahkan 4+12=16
Maka tambahan yang didapat adalah:
Ibu = 4/16 x 5/24 =20/384 =5/96
Anak= 12/16 x 5/24= 60/384=5/32
Jadi warisan yang didapat oleh ahli waris adalah
Ibu = 4/24+ 5/96 = 16/96 + 5/96 = 21/96
Anak perempuan = 12/24 + 5/32= 48/96+ 15/96= 63/96
Janda = 3/24 = 12/96+
96/96
c. Pendapat lain (menurut sebagian penganut ajaran Syafiiyah)
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tata cara pembagian warisan ada empat yaitu:
1. Hibah
Hibah adalah pemberian seseorang kepada orang lain, yang mana pemberian itu diberikan ketika dia masih hidup tanpa mengharapkan apa serta hak kepemilikan jatuh pada waktu itu juga.
2. Wasiat
Wasiat merupakan amanah yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain, yang amanah tersebut dilaksanakan setelah ia wafat. Amanah tersebut dapat berupa barang, utang, piutang, nasihat atau petunjuk-petunjuk lainnya. Jadi wasiat orang meninggal merupakan amanah yang harus atau wajib dikerjakan bagi yang menerima wasiat.
3. Aul
Aul adalah bertambahnya pokok masalah dan berkurangnya bagian para ahli waris atau ashabullfurudh. Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashabul furudh sehingga harta yang dibagikan habis, padahal mereka ada yang belum menerima bagian.
4. Rad
Rad adalah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya jumlah bagian ashabullfurudh. Masalah rad ini terjadi Sedangkan menurut istilah rad adalah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya jumlah bagian ashabullfurudh [2] ib.id, hal. 435
[4] ib.id.hal. 413
[5] ib.id.hal, 344-345
[7] Sayiq Sabiq, op.cit, hal.470-471
[8] Beni Ahmad Saebani, op.cit, hal.344
[9] Sayid Sabiq, op.cit,hal. 478
[10] Beni Ahmad Saebani, op.cit, hal.201
[11] Amir Syarifuddin, Garis- Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Prenada Media, 1996),hal. 105
[12] Muhammad Ali Ash- Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani, 1996), hal.105
[13] Beni Ahmad Syaebani, op.cit. hal. 216
0 Comment