Monday, October 26, 2020

 


BANK, RIBA, DAN RENTE


     A.     Bank dan Macam-Macamnya

     1.      Pengertian dan Sejarahnya

           Dalam Ensiklopedia Indonesia, bank atau perbankan adalah lembaga keuangan yamg usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang dengan tujuan memenuhi kebutuhan kredit dengan modal sendiri atau orang lain.[1]

Dari pengertian di atas, bank memiliki dua arti penting, yaitu sebagai perantara pemberi kredit dan menciptakan uang.

Dalam lintas sejarah sebenarnya bank telah dikenal kurang lebih 2.500 tahun sebelum masehi di Mesir Purba dan Yunani kemudian dikembangkan oleh bangsa Romawi. Perbankan modern berkembang di Italia pada abad pertengahan yang di kuasai oleh beberapa keluarga untuk membiayai kepuasan dan perdagangan wol. Bank pertama berdiri di Venesia dan Genoa di Italia kira-kira abad ke-14.Kota tersebut dikenal sebagai kota perdagangan. Dari kedua kota ini berpindahlah system bank ke Eropa Barat. Kemudian, berkembang pesat pada abad ke-18 dan ke-19.[2]

Di lihat dari fungsinya, bank terbagi menjadi dua. Pertama, bank primer, yaitu bank sirkulasi yang menciptakan uang. Kedua, bank sekunder, yaitu bank yang tidak menciptakan uang juga tidak memperbesar dan memperkecil arus uang, seperti bank-bank umum, tabungan, pembiayaan usaha, dan pembangunan.

Sedangakan rente dilihat dari segi bahasa berasal dari bahasa Belanda, yang berarti bunga. Adapun menurut istilah sebagai mana dikemukakan oleh Dr. Fuad. M. Fachruddin, rente adalah keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan bank karena jasanya meminjamkan uang untuk melancarkan perusahaan orang yang meminjam. Berkat bantuan bank, perusahaan bertambah maju dan keuntungan yang diperolehnya juga bertambah banyak. Permasalahan yang kemudian muncul adalah rente atau bunga bank itu termasuk riba atau bukan?

2.      Bank Konvensional dan Bank Islam

           Yang dimaksud dengan bank non-Islam (conventional bank) adalah lembaga keuangan yang fungsi utamanya untuk menghimpun dana yang kemudian disalurkan kepada orang atau lembaga yang membutuhkannya guna investasi (penanaman modal) dan usaha-usaha yang produktif dengan sistem bunga. Contohnya BNI, BRI, dan BCA.

           Yang dimaksud dengan bank Islam adalah suatu lembaga yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada orang atau lembaga yang membutuhkannya dengan system tanpa bunga.[3]Contoh Bank Muamalah.

           Tujuan didirikannya bank Islam adalah untuk menghindari bunga uang yang            diberlakukan oleh bank konvensional. Dari definisi di atas maka dsapat dibedakan antara bank konvensional dengan bank Islam yaitu  bank konvensional memakai system bunga sedangkan bank Islam tidak.

            Sebagai pengganti sistem bunga maka bank Islam menempuh cara-cara sebagai berikut:

1.      Wadiah yaitu titpan uang, barang, dan surat-surat berharga. Dalam operasinya bank Islam menghimpun dengan cara menerima deposito berupa uang benda dan surat berharga sebagai amanat yang wajib dijaga keselamatannya oleh bank Isalm. Bank berhak menggunakan dana tersebut tanpa harus membayar imbalannya. Namun bank harus menjamin bahwa dana itu dapat dikembalikan tepat pada waktu pemilik deposito memerlukannya.[4]

2.      Mudharabah (kerja sama antara pemilik modal dan pelaksana). Dengan mudharabah bank Islam dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha untuk perusahaannya dengan perjanjian bagi hasil, baik untung ataupun rugi sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan sebelumnya.

3.      Musyarakah/syirkah(persekutuan). Pihak bank dan penguasa sama-sama mempunyai andil (saham) pada usaha patungan. Kedua belah pihak andil dalam mengelola usaha patungan itu dan menanggung untung rugi bersama atas dasar perjanjian profit loss and sharing.

4.      Murobahah (jual beli barang dengan tambahan harga atas dasar harga pembelian yang pertama secara jujur). Syarat murobahah antara lain bahwa pihak bank harus memberikan informasi selengkapnya kepada pembeli tentang harga pembeliannya dan keuntungan bersihnya dari cost plus-nya.

5.      Qard hasan (pinjaman yang baik). Bank Islam dapat memberikan pinjaman tanpa bunga kepada para nasabah yang baik terutama para nasabah yang memiliki deposito di bank Islam.

6.      Bank Islam boleh mengelola zakat di negara yang pemerintahannya tidak mengelola zakat secara langsung. Bank Islam juga dapat menggunakan sebagian zakat yang terkumpul untuk proyek-proyek yang produktif yang hasilnya untuk kepentingan agama dan umum. Bank Islam juga boleh menerima dan memungut pembayaran untuk mengganti biaya yang langsung dikeluarkan oleh bank dalam melaksanakn pekerjaannya untuk melayani kepentingan para nasabah misalnya biaya materai, dan telepon dalam memberitahukan rekening.

7.      Membayar gaji para karyawan bank yang melakukan pekerjaan untuk lepentingan nasabah, untuk sarana dan prasarana yang disediakan oleh bank dan biaya administrasi pada umumnya.[5]

B.     Riba dan Pembagiannya

Secara bahasa, riba berarti tambahan. Dalam istilah hokum islam, riba berarti tambahan baik berupa tunai, benda, maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam untuk membayar selain jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada hari jatuh waktu mengembalikan uang pinjaman itu. Riba semacam ini disebut dengan riba nasiah.

Menurut Satria Efendi, riba nasiah adalah tambahan pembayaran atas jumlah modal yang disyaratkan lebih dahulu yang harus dibayar oleh si peminjam kepada yang meminjam tanpa resiko sebagai imbalan dari jarak waktu pembayaran yang diberikan kepada si peminjam. Riba  nasiah ini terjadi dalam utang piutang, oleh karena itu disebut juga dengan riba duyundan disebut juga dengan riba  jahiliyah, sebab masyarakat Arab sebelum Islam telah dikenal melakukan suatu kebiasaan membebankan tambahan pembayaran atau semua jenis pinjaman yang dikenal dengan sebutan riba. Juga disebut dengan riba jali atau qath’, sebab jelas dan  pasti diharamkannya oleh al-qur’an. Praktik riba nasiah  ini pernah di praktikkan oleh kaum Thaqif yang biasa meminjamkan uang kepada Bani Mughirah. Setelah waktu pembayaran tiba, kaum Mughirah berjanji akan membayar lebih banyak apabila mereka diberi tenggang waktu pembayaran. Sebagian tokoh sahabat Nabi, seperti paman Nabi,Abbas dan Khalid bin Walid, pernah mempraktikkannya. Ayat pengharaman riba ini membuat heran orang musyrik terhadap larangan prakktek riba, karena telah menganggap jual beli itu sama dengan riba.[6] Ayat tersebut berbunyi:

Artinya: orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan menghyaramkan riba. (QS.2 : 275).

Uraian di atas memberikan kejelasan bahwa riba nasiah mengandung tiga unsur:

1.      Adanya tambahan pembayaran atau modal yang dipinjamkan.

2.      Tambahan itu tanpa resiko kecuali sebagai imbalan dari tenggang waktu yang diperoleh si peminjam.

3.      Tambahan itu disyaratkan dalam pemberian piutang dan tenggang waktu.

Tambahan dalam membayar utang oleh orang yang berutang ketika membayar dan tanpa ada syarat sebelumnya. Hal itu dibolehkan, bahkan dianggap perbuatan ihsan(baik) dan Rasulullah pernah melakukannya.[7] Di mana beliau pernah berutang kepada seseorang seekor hewan. Kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih tua umurnya daripada hewan yang beliau utangi itu, kemudian beliau bersabda:

Artinya: “Sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik dalam membayar utangnya”. (HR. Bukhari muslim).

Untuk membedakan mana tambahan yang termasuk riba atau tindakan terpuji. Para fuqaha menjelaskan,tambahan pembayaran utang yang termasuk riba jika hal itu disyaratkan pada waktu akad. Artinya seseorang mau memberikan utang dengan syarat ada tambahan dalam pengembaliannya. Ini adalah tindakan yang tercela karena ada kezaliman dan pemerasan. Adapun tambahan yang terpuji itu tidak dijanjikan pada waktu akad. Tambahan itu diberikan oleh orang yang berutang ketika ia membayar yang sifatnya tidak mengikat hanya sebagai tanda terima kasih kepada orang yang telah memberikan utang kepadanya.

Jenis keedua adalah yang disebut riba fadhal. Menurut Ibnu Qayyum, riba fadhal ialah riba yang kedudukannya sebagai penunjang diharamkannya riba nasiah. Dengan kata lain bahwa riba fadhaldiharamkan supaya seseorang tidak melakukan riba nasiah yang sudah jelas keharamannya. Maka Rasul melarang menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, kecuali dengan sama banyak dan secara tunai. Barang siapa yang menambah atau minta tambah, masuklah ia pada riba. Yang mengambil dan yang memberi sama hukiumnya. (HR. Bukhari).

Dari pengertian di atas, para fuqaha menyimpulkan bahwa riba fadhal ialah kelebihan yang terdapat dalam tukar menukar anatara benda-benda sejenis, seperti emas dengan emas, perak dengan perak.

Semua agama samawi (Islam, Yahudi, dan Nasrani) mengharamkan riba karena dianggap sebuah praktik yang sangat membahayakan. Di dalam kitab perjanjian lama ayat 25 pasal 22 kitab keluaran sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq “jika kamu meminjamkan harta kepada salah seorang putra bangsaku, janganlah kamu bersikap seperti orang yang mengutangkan, jangan kamu meminta keuntungan hartamuaa”. Hal senada dekemukakan pada ayat 35 pasal 25 kitab imamat, “jika saudaramu mebutuhkan sesuatu maka tanggunglah. Jangan kau meminta darinya keuntungan dan manfaat”. Paus Pius berkata “sesungguhnya pemakan riba mereka kehilangan harga diri/kemulian dalam hidup di dunia dan mereka bukan orang yang pantas dikapankan setelah mereka mati”.

Alqur’an menyinggung keharaman riba secara kronologis di berbagai tempat. Pada periode Mekkah turun firman Allah swt. surat ar-Ruum 39.

Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhoan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (QS.:30/39).

Pada periode Madianh turun ayat yang secara jelas dan tegas tentang keharam riba, terdapat dalam surat Ali Imran ayat 130.

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS: 3/130).

Dan ayat terakhir yang memperkuat keharaman riba terdapat dalam surat al-Baqarah 278-279.

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang –orang yang beriman. Maka jikia kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

Dua ayat terakhir di atas mempertegas sebuah penolakan secara jelas terehadap orang yang mengatakan bahwa riba tidak haram kecuali jika berlipat ganda. Allah tidak memperbolehkan pengembalian uang kecuali mengembalikan modal pokok tanpa ada tambahan.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim secara jelas riba adalah perbuatan haram, termasuk salah satu dari lima dosa besar yang membinasakan.

Dalam hadis yang lain keharaman riba bukan hanya kepada pelakunya, tetapi semua pihak yang membantu terlaksananya perbuatan riba sebagaiman hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

Artinya: “Allah melaknat pemakan riba, orang yang memberikan makannya, saksi-saksinya, dan penulisnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

C.    Hikmah Keharaman Riba

Islam dengan tegas dan pasti mengharamkan riba. Hal itu untuk menjaga kemaslahatan hidup manusia dari kerusakan moral (akhlak), soaisal, dan ekonominya.

Menurut Yusuf Qardhawi, para ulama telah menyebutkan panjang lebar hikmah diharamkannya riba secara rasional, antara lain:

1.      Riba berarti mengambil harta orang lain tanpa hak.

2.      Riba dapat melemahkan kreativitas manusia untuk berusaha atau bekerja, sehingga manusia melalaikan perdagangannya, perusahaannya. Hal ini akan memutus kreativitas hidup manusia di dunia. Hidupnya bergantung kepada riba yang diperolehnya tanpa usaha. Hal ini merusak tatanan ekonomi.

3.      Riba mrnghilangkan nilai kebaikan dan keadilan dalam utang piutang. Keharaman riba membuat jiwa manusia menjadi suci dari sifat lintah darat. Hal ini mengandung pesan moral yang sangat tinggi.

4.      Dari Biasanya orang memberi utang adalah orang kaya dan orang berutang adalah orang miskin. Mengambil kelebihan utang dari orang yang miskin yang sangat bertentangan dengan sifat rahmat Allah swt. Hal ini akan merusak sendi-sendi kehidupan sosial.[8]

Adapun Sayyid Sabiq berpendapat, diharamkannya riba karena didalamnya terdapat unsur yang merusak:

1.      Menimbulkan permusuhan dan menghilangkan semangat tolong menolong. Semua agama terutama Islam sangat menyeru tolong menolong dan membenci orang yang mengutamakan kepentingan pribadi dan egois serta orang yang mengekploitasi kerja orang lain.

2.      Riba akan melahirkan metal pemboros yang tidak mau bekerja, menimbulkan penimbunan harta tanpa usaha tak ubahnya seperti benalu (pohon parasit) yang nempel di pohon lain. Islam menghargai keja keras dan menghormati orang yang suka bekerja dan menjadikan kerja sebagai sarana mata pencaharian, menuntun orang kepada keahlian dan akan mengangkat semangat seseorang.

3.      Riba sebagai salah satu cara menjajah.

4.      Islam menghimbau agar manusia memberikan pinjaman kepada yang memerlukan dengan baik untuk mendapat pahala bukan mengekploitasi orang lemah.[9]

Dampak negatif diakibatkan dari riba sebagaimana tersebut di atas sangat berbahaya bagi kehidupan manusia secara individu, keluarga, masyarakat dan berbangsa.

Jika praktek riba ini tumbuh subur di masyarakat maka tgerjadi sistem kapitalis dimana terjadi pemerasan dann penganiayaan terhadap kaum lemah. Orang kaya semakin kaya dan miskin semakin tertindas.

 

D.    HUKUM BUNGA BANK

Sistem bunga dalam bank mengharuskan mereka yang menitipkan uaang untuk jangka waktu tertentu mendapat pengembalian uang titipan itu dari bank ditambah dengan bunga yang jumlahnya telah ditentukan pada hari penitipan uang. Sebaliknya, kepada mereka yang meminjam uang dari bank untuk jangka waktu tertentu oleh bank diharuskan untuk mengembalkan uang yang dipinjam. Selain itu, ia pun harus memberikan uang tambahan yang jumlahnya telah bdisepakati pada waktu pengembalian pinjaman. Uang tambahan itu disebut dengan bunga.

Hukum bunga bank tergolong masalah ijtihad. Oelh karena oitu, terdapat beberapa pendapat tentang hokum bunga bank. Menurut penelitian penulis ada empat kelompok ulama tentang hukum bunga bank. Pertama kelompok muharrimun (kelompok yang menghukuminya haram secara mutlak). Kedua kelompok yang mengharamkan jika  bersifat konsumtif. Ketiga, muhallimun(kelompok yang menghalalkan) dan keempat, kelompok yang menganggapnya syubahat. Lebih jelasnya, dapat dilihat uaraian berikut ini:[10]

1.      Abu Zahra, Abu A’la al-Maududi, M. Abdullah al-Araby dan Yusuf Qardhawi, Sayyid Sabiq, Jaad al-Haqq Ali Jaad al-Haqq dan Fuad Muhammad Fachruddin, mengatakan bahwa bunga bank itu riba nasiah yang mutlak keharamannya. Oleh karena itu, umat Islam tidak boleh berhubungan dnegan bank yang memakai sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat. Tetapi Yusuf Qardhawi tidak mengenal istilah darurat dalam keharaman bunga bank. Beliau mengaharamkan bunga bank secara mutlak.

2.      Mustafa A. Zarqa berpendapt bahwa riba yang diharamkan adalah yang bersofat konsumtif seperti yang berllaku pada zaman jahiliyah sebagai bentuk pemerasan pada kaum lemah yang konsumtif. Berbeda yang bersifat produktif  tidakalh termasuk haram. Hal senada juga dikemukakan oleh M. Hatta. Dia membedakan  antara riba dan rente. Menurutnya riba itu sifatnya konsumtif dan memeras si peminjam yang membutuhkan pinjaman uang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Adapun rente sifatnya produktif, yaitu dana yang dipinjamkan kepada peminjam digunakan untuk modal usaha yang menghasilkan keuntungan.

3.      A. Hasan (persis) berpendapat bahwa bunga bank (rente) seprti yang berlaku di Indonesia bukan termasuk riba yang diharamkan karena tidak berlipat ganda sebagaimana yang dimaksud dalam ayat:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu  memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu dapat keberuntungan. (QS. Ali Imran: 130).

4.      Majlis Tarjih  Muhammadiyah dalam mukatamar di Siduarjo 1968 memutuskan bahwa bunga yang diberikan oleh bank kepada para nasabahnya atau sebaliknya termasuk perkara syubahat (belum jelas keharamannya). Karena yang diharamkan, menurut Muhammadiyah riba yang mengarah pemerasan sejalan dengan QS. 2:279).

Artinya: Maka jika kamu tidak mmengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasuln-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya daan tidak (pula) dianiaya. (QS. Al-Baqarah:279).

Muhammadiyah masih ragu apakah ada unsur pemerasan dalam operasional bank. Oleh karena itu, Muhammadiyah menganggapnya syubahat. Tetapi Muhammadiyah membolehkannya jiak dalam keadaan terpaksa saja.

5.      Fuad Mohammad Fachruddin. Ia membedakan anatara riba dan rente. Menurutnya:

Dari silang pendapat tentang bunga bank di atas dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1)      Pendapat yang mengharamkan secara mutlak.

2)      Pendapat yang mengharamkan jika bersifat kinsumtif. Tetapi jika bersifat produktif hukumnya boleh.

3)      Pendapat yang menghalalkan secara mutlak.

4)      Pendapat yang menghukuminya sebagai perkara syubahat (belum pasti keharaman dan kehalalannya).

E.     Anlisis Argumentasi

Masing-masing klaim tentang hukum bunga bank yang dikemukakan oleh para ulama berakar dari perbedaan penafsiran mereka terhadap nashyang berbicara tentang riba. Sehingga masing-masing kelompok memiliki argumentasi yang diayakininya benar. Terlebih masalah bunga bank termasuk masalah ijtihad. Namun realitas yang bada bagi umat Islam termasuk di Indonesia sudah menjadi terbiasa hidup dengan bunga bank tanpa ada perasaan risih dan tidak menganggap bank itu sesuatu yang terpaksa atau darurat.

Praktik pinjam meminjam uang dengan suku bunga tinggi dan akumulatif, seperti yang dilakukan oleh para rentenir memang sering menimbulkan permusuhan antara warga masyarakat. Rentenir sering dijuluki sebagai “lintah darat”. Hingga si peminjam tidak lepas dari jeratan rentenir. Lalu lahirlah satu kelas dimasyarakat yang hidup mewah dari hasil rentenir yang memeras pihak peminjam. Jika demikian halnya, maka tidakalah diragukan bahwa sistem bunga/rente seperti itu dikutuk dan haram hukumnya. Sebagaimana yang tgerjadi pada masa jahiliyah yang disebut dengan riba qirat (utang) atau riba nasiah. Karena jelas di dalamnya mengandung penganiayaan dan penindasan terhadap orang-orang yang membutuhkan. Keharamannya bukan masalah berlipat ganda atau tidak. Tetapi ada pihak yang diuntungkan dana ada pihak yang dirugikan. Jadi kesimpulannya riba itu diharamkan dalam Islam karena mengandung kelebihan yang merugikan pihak peminjam, sehingga pihak peminjam merasa teraniaya dan tertindas. Jika kelebihan itu tidak merugikan salah satu puhak, maka tidak dinamakan riba. Itulah riba yang dimaksud dalam ayat al-Qur’an :

Artinya: Allah telah menghalalkan jula beli dan mengharamkan riba. (QS. al-Baqarah : 2 / 275).

Kemudian permasalahannya adalah apakah bunga bank didalamnya mengandung unsur penganiayaan/penindasan atau tidak?

Bank merupakan lembaga penting dan sistem bunganya merupakan satu mekanisme bank unutk mengelola peredaran modal masyarakat. Masyarakat dapat menitipkan modalnya kepada bank. Kemudian, bank meminjamkan dana itu kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkan. Masyarakat yang meminjam uang ke bank pada umumnya digunakan sebagai moda usaha bukan untuk kebutuhan konsumtif. Dan ia akan mendapatkan keuntungan dari usahanya.

Dengan menitipkan uang kepada bank untuk jangka waktu tertentu, pemilik modal akan kebhilangan haknya untuk menggunakan daya beli dari modalnya dalam jangka waktu tertentu. Sebaliknya, yang bmeminjam dana tersebut melalui bank yang tidak lain berasal dari modal titipan tadi dapat memanfaatkan modal tadi, sehingga menghasilkan keuntungan. Berdasarkan prinsip tidak ada pihak yang dirugikan, maka tidaklah adil kalau pemilik asli modal yang kehilangan hak untuk menggunakan daya beli modalnya untuk jangka waktu tertentu tidak mendapat imbalan. Sementara itu, peminjam dana yang menggunakannya untuki modal usaha dan beruntung tidak harus membagi keuntungannya dengan pemilik asli modal. Salah satu keberatan yang muncul terhadap sistem bunga bank karena jumlah atau persentase bunga telah ditetapkan lebih dahulu. Maka sebagai alternatifnya ditawarkan sistem bagi hasil yang berarti nanti diperhitungkan untung dan rugi perusahaan. Kemudian, dibagi antara pemilik asli dan pengguna modal, baik untungnya maupun ruginya. tetapi pengelolaan sistem bagi hasil sebagaimana yang dipraktikkan oleh bank Islam permasalahannya sangat kompleks dan rumit tidak efisien.

Hal yang mungkin terjadi bahwa si peminjam dana dalam mengelolanya terjadi kegagalan atau kerugian. Tetapi pada umumnya, masyarakat menerima dengan baik dan merasa diuntungkan oleh sistem bunga bank. Penetapan besarnya persentase bunga yang akan diterima memberikan perasaan pasti pada para pemilik modal. Tidak adanya kepastian persentase bunga seperti yang terdapat dalam bank Islam merupakan salah satu penyebab mengapa bank itu sukar menari modal.

Islam memang mengajarkan kepada orang yang memiliki rezeki yang blebih agar membantu meminjaminya kepada orang lain yang membutuhkan tanpa mengharap keuntungan. Tetapi himbauan ini menjadi tidak relevan kalau modal yang dipindah-tangankan untuk sementara itu meliputi jumlah besar dan untuk modal usaha bukan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif keluarga.

Syekh Azhar Sayyid Thantawi yang juga mantan mufti besar berbeda dengan pendahulunya, Syekh Jad al-Haq. Thantawi menyatakan bahwa bunga deposito berjangka di bank yang ditetapkan besar persentasenya terlebih dahulu itu tidak haram menurut Islam.[11]Fatwa ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar, “tidak termasuk riba seseorang yang memberikan kepada orang lain uang untuk di investasikan sambil menentukan baginya dari hasil usaha tersebut kadar tertentu. Karena transaksi semacam ini menguntungkan bagi pemilik dan pengelola modal. Adapun riba yang diharamkan itu merugikan salah satu pihak tanpa alas an serta menguntungkan pihak lain tanpa usaha.”

Diriwayatkan dalam sebuah hadis, bahwa Jabir pernah memberikanutang pada Nabi. Ketika Jabir mendatanginya, Nabi membayar utangnya dan melebihkannya. Beliau bersabda:

Artinya: “Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik dalam membayar utang.”

F.     bank dan Fee

Feeartinya pungutan dana yang dibebankan kepada nasabah bank untuki kepentingan administrasi, seperti keperluan kertas, dan biaya operasional. Pungutan itu pada hakikatnya termasuk bunga. Maka permasalahannya tidak berbeda jauh dengan masalah bunga bank. Ulama yang mengaharamkan bunga bank, maka mereka pun mengharamkan fee, karena berarti itu kelebihan, yaitu dengan mengambil manfaat dari sebuah transaksi utang-piutang. Tegasnya, mereka menganggap fee adalah riba, meskipun fee itu digunakan untuk dana operasional. Adapun ulama yang menghalalkan bunga bank dengan alas an keadaan bank itu darurat atau alas an lainnya, merekapun mengatakan bahwa fee bukan termasuk riba, oelh karena itu hukumnya boleh. Disamping merekapun beralasan bahwa tanpa fee, maka bank tidak dapat beroperasi. Maka keberadaan sesuatu sebagai alat sama hukumnya denga keberadaan asal. Dalam hal ini, hukum fee sama dengan bunga bank, yaitu boleh.

G.    Ringkasan 

1.   Bank atau perbankan adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang dengan tujuan memenuhi kebutuha kredit dengan modal sendiri atau orang lain.

2.   Secara bahasa, riba berarti tambahan. Dalam istilah hukum Islam, riba berarti tambahan baik berupa tunai, benda, maupun jasa yang mengahruskan pihak peminjam untuk membayar selain jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada hari jatuh waktu mengembalikan uang pinjaman itu. Riba semacam ini disebut dengan riba nasiah. Dalam nasiah mengandung tiga unsur:

a. Adanya tambahan pembayaran atau modal yang dipinjamkan.

b.Tambahan itu tanpa resiko kecuali sebagai imbalan dari tenggang waktu yang diperoleh si peminjam.

c. Tambahan itu disyaratkan dalam pemberian piutang dan tenggang waktu.

3.   Pembagian riba: pertama riba nasiah (telah dijelaskan). Kedua riba fadhal ialah riba yang kedudukannya sebagai penunjang diharamkannya riba nasiah. Dengan kata lain, bahwa riba fadhal diharamkan supaya seseorang tidak melakukan riba nasiah yang sudah jelas keharamannya. Maka Rasul melarang menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dnegan gandum, kurma dengan kurma kecuali dengan sama banyak dan tunai.

4.   Seluruh ulama dan agama samawi sepakat mengaharamkan riba karena dampaknya sngat negatif diantaranya:

a.    Menimbulakn permusuhan dan menghilangkan semangat tolong menolong.

b.   Riba akan melahirkan satu kelas dimasyarakat yang hidup mewah tanpa bekerja. Ia ibarat benalu yang tumbuh yang  merugikan pihak lain.

c.    Riba penyebab danya penjajahan.

d.   Islam menghimbau agar manusia memberikan pinjaman kepada yang memerlukan untuk mendapat pahala bukan mngekploitasi orang lemah.

5.   Hukum bunga bank tergolong masalah ijtihad. Oleh karena itu, terdapat beberapa pendapat tentang hukum bunga bank dengan argumentasinya masing-masing. Pertama, kelompok muharrimun (kelompok yang menghukuminya haram secara mutlak). Kedua, kelompok yang mengaharamkan jika bersifat konsumtif jika produktif boleh. Ketiga, muhallilun(kelompok yang menghalalkan) dan keempat, kelompok yang menganggapnya syubahat (belum pasti keharaman dan kehalalannya).

6.   Fee artinya pungutan dana yang dibebankan kepada nasabah bank untuk kepentingan administrasi, seperti keperluan kertas, dan biaya operasional. Pungutan itu pada hakikatnya termasuk bunga. Maka hukum permasalahannya tidak berbeda jauh dengan masalah bunga bank.

 

     

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                 

 



[1] Ensiklopedia Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1980), hlm. 393-394.

[2]Fuad M. Fachruddin, Riba dalam Bank, Koperasi, Perseroan, dan Asuransi, (Bandung: PT. al-Maarif, 1985), hlm. 110.                                

[3] Masfuk Zuhdi, Masail fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1988), hlm. 143.

[4] Nejatullah Shiddiqi, pemikiran ekonomi Islam, alih bahasa AM Saefuddin, (Jakarta: LIPPM, 1986), hlm. 82-84.

[5] Masfuk Zuhdi, Op. cit. hlm. 144.

[6] Satria Efendi, Riba dalam Pandangan Fiqh, Kajian Islam tentang Berbagai Masalah Kontemporer, (Jakarta: Hikmah Syahid Indah, 1988), hlm. 147.

[7] Quraish Shihab, Riba Menurut al-Qur’an, Kajian Islam tentang Berbagai Masalah Kontemporer (Jakarta: Hikmah Syahid Indah, 1988), hlm. 136.

[8] Yusuf Qardhawi, Dr., al-Halal wa al-Haram, (Beirut: Maktabah al-Islamy, 1994), Cet. Ke-15, hlm. 242-243.

[9] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 2006), Juz III, hlm. 868.

[10] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm. 49.

[11] Munawir Syadzali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1977), Cet. Ke-1, hlm. 14.

0 Comment