Thursday, October 22, 2020

FIQHI (BAB SHALAT) 
 1. HUKUM, HIKMAH DAN KEUTAMAAN SHALAT 
A. Hukum Shalat Shalat adalah suatu kewajiban dari Allah bagi setiap Mukmin. Dimana Allah telah memerintahkannya dalam sejumlah FirmanNya “ Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”(An-Nisaa.103) Dalam ayat lain Allah berfirman, “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa.Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.”(Al-baqarah-238) Rasulullah Saw bersabda menjadika shalat sebagai tiang kedua dari tiang tiang bangunan yang lima. Seraya bersabda, : بُنِيَ الإسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ, وَحَجِّ الْبَيْتِ, وَصَوْمِ رَمَضَانَ. (رواه البخاري و مسلم) Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata : Aku pernah mendengar Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Islam dibangun atas lima pekara. (1) Persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad Rasul Allah, (2) mendirikan shalat, (3) mengeluarkan zakat, (4) melaksanakan ibadah haji, dan (5) berpuasa Ramadhan” Di dalam ketentuan hukum syariat bahwa orang yang meninggalkan shalat berhak dibunuh, sedang orang yang melalaikannya digolonngkan sebgai orang fasik. B. Hikmah Shalat Di antara hikmah disyariatkannya shalat adalah untuk menyucikan jiwa dan menyebabkan seorang hamba merasa senang bermunajat kepada Allah di dunia dan berdekatan denganNya di akhirat Shalat juga dapat menghindarkan pelakunya dari perbuatan keji dan munkkar, sebagaimana Allah berfirman:“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Ankabut.45) C. Keutamaan Shalat Dalam menjelaskan keutamaan shalat serta keagungannya, cukuplah dengan membaca sejumlah hadits Nabi berikut ini 1. Sabda Rasulullah "Pokok urusan agama adalah Islam dan tiang utamanya adalah shalat sedangkan puncaknya adalah jihad dijalan Allah” 2. Sabda Rasulullah "Pembeda antara seseorang dan kekufuran adalah meninggalkan shalat” 3. Sabda Rasulullah “Aku diperintahkan memerangi orang-orang hingga mereka bersaksi bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat jika mereka melakukan hal itu, maka mereka akan melindungin darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan hak Islam, dan hisab atau perhitungan amal mereka diserahlkan kepada Allah” 4. Sabda Rasulullah ketika ditanya amal yang lebih utama? Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya” 5. Sabda Rasulullah “Perumpamaan shalat yang lima waktu seperti sebuah sungai yang airnya tawar dan berlimpahy yang melintas di depan pintu rumah salah seorang di antara kamu, dimana ia mandi didalam setiap hari sebanyak lima, maka apakah menurutmu masih ada kotoran yang tersisa padanya? Para sahabat menjawab, Tidak akan ada. Beliau bersabda, Maka sesungguhnya shalat yang lima waktu itu akan menglupuskan dosa-dosa, sebagaimana air membersikan kotoran.” 6. Sabda Rasulullah “Tidaklah seorang Muslim yang waktu shalat wajib telah hadir lalu ia membaguskan wudhunya, kekhusu’ annya dan rukuknya, melainkan shalatnya itu akan menjadi kafarat (penghapus) dosa-dosa yang telah diperbuat sebelumnya, selama tidak melakukan dosa besar, dari hal itu berlaku untuk sepanjang zaman.” 2. PEMBAGIAN SHALAT; SHALAT WAJIB, SHALAT SUNNAH DAN SHALAT NAFILAH A. Shalat Wajib Adapun yang dimaksud dengan shalat wajib adalah shalat yang lima waktu yaitu Shalat Zhuhur, Shalat Ashar , Shalat Magrib, Shalat Isya Dan Shalat Shubuh, berdasarkan ada Rasulullah : “Allah telah mewajibkan shalat yang lima waktu kepada hamba-hamba Nya, dan barang siapa yang menunaikannya dengan tidak mengabaikann sesuatu pun darinya karena menyepelekan hak-haknya, maka dia mendapatkan sebuah janji di sisi Allah untuk memasukkan ke dalam surga, dan barang siapa yang tidak menunaikannya, niscaya dia tidak menunaikannya,niscaya dia tidak mendapatkan sebuah janji disisi Allah dan keputusan diserahakan kepada Allah Jika dia berkehendak Untuk menyiksanya, maka Allah akan menyiksa dan jika dia berkehendak memberikan ampunan niscaya Allah akan mengampuninya.” B. Shalat Sunnah Adapun shalat sunnah yang dimaksudkan di sini adalah: Shalat Witir, Shalat Sunnah Shubuh, Shalat dua hari raya, Shalat Gerhana dan Shalat Istisqa yang semuanya termasuk shalat sunnah muakkad. Kemudian Shalat tahiyyatul masjid, Shalat rawatib, Shalat dua rakaat setelah wudhu, Shalat Dhuha, Shalat Tarawih serta Shalat malam, yang seluruhnya termasuk shalat sunnah ghairu muakkadah. C. Shalat Nafilah Adapun yang dimaksud dengan shalat nafilah adalah shalat sunnah selain shalat sunnah muakkadah dan ghairu muakkadah yaitu shalat sunnah mutlak , baik yang dilakukan pada malam hari maupan pada siang hari. 3. SYARAT-SYARAT SHALAT A. Syarat-syarat Wajib Shalat Adapun syarat-syarat wajib shalat adalah berikut ini: 1) Islam, Jadi shalat tidak diwajibkan atas orang kafir, karna mengucapkan dua kalimat syahadat adalah salah satu syarat dalam shalat berdasarkan sabda Rasulullah : “Aku diperintahkan memerangi orang-orang hingga mereka bersaksi bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat jika mereka melakukan hal itu, maka mereka akan melindungin darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan hak Islam, dan hisab atau perhitungan amal mereka diserahlkan kepada allah” Dan juga Sabda Rasul yang ditujukan kepada Mu’Adz : “Erulah mereka bersaksi tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan serta Muhammad adalah utusan Allah jika mereka menaati seruan Mu dengan mengucapkan kesaksian tersebut maka kabarkanlah kepada mereka maka Allah telah mewajibkan shalat lima waktu dalam sehari semalam.” 2) Berakal Sehat jadi shalat tidak diwajibkan atas orang gila berdasarkan sabda Rasulullah : “ Qalam (Pena pencatat amal) diangkat dari tiga orang dari orang tidur hingga ia terjaga dari anak kecil hingga ia dewasa dari dia orang gila hingga ia berkal sehat” 3) Baligh (dewasa), Jadi shalat tidak diwajibkan atas anak kecil sehingga ia bermimpi hingga keluar mani sebagai tanda baligh. Tetapi meskipun demikian ia tetap harus diperintahkan menunaikannya dengan maksud menanamkan kecintaan atau kegemaran terhadap shalat, berdasarkan sabda Rasulullah : “Perintahkanlah anak anakmu supaya mendirikan shalat saat usia mereka genap 7 tahun dan pukul lah mereka karena meninggalkannya saat usia mereka telah genap 10 tahun, serta pisahkan mereka di tempat tidur.” 4) Telah tiba waktunya jadi shalat tidak diwajibkan sebelum waktunya berdasarkan firman Allah : “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”(An-Nisaa.103) Yakni memiliki waktu yang telah ditentukan batasnya. Di mana Jibril datang serta memberitabukan kepada Rasulullah mengenai waktu-waktu shalat Jibril berkata kepada beliau Berdirilah dan shalatlah. Kemudian beliau menunaikan Shalat Zhuhur saat matahari tergelincir. Jibril datang kembali kepada Beliau untuk memberitahu Shalat Ashar, seraya berkata, Berdirilah dan shalatlah Kemudian beliau menunaikan Shalat Ashar pada menunaikan Shalat Ashar pada saat panjang bayangan sesuatu benda setara dengan panjang aslinya. Jibril datang kembali kepada Beliau untuk memberitahukan Shalat Maghrib, Seraya berkata berdirilah dan shalatlah kemudian beliau menunaikan Shalat Maghrib setelah matahari terbenam. Jibril datang kembali kepada beliau untuk memberitahukan Shalat Isya, seraya berkata, "Bendirilah dan shalatlah Kemmudian beliau menunaikan Shalat Isya ketika sinar merah matahari hilang. Jibril pun datang kembali kedapa beliau untuk memberitahukan Shalat Shubuh ketika fajar shadiq menyingsing kemudian beliau pun menunaikan Shalat Shubuh. Selanjutrya keesokan harinya, Jibril datang kembali untuk memberitahukan Shalat Zhuhur kepada beliau seraya berkata berdirilah dan shalatlah Kemudian beliau pun menunaikan Shalat Zhuhur ketika panjang bayangan sesuatu setara dengan panjang aslinya. Jibri datang kembali kepada beliau untuk memberitahukan Shalat Ashar Seraya berkata, "Berdirilah dan shalatlah. Kemudian beliau pun menunaikan Shalat Ashar ketika panjang bayangan sesuatu yang setara dengan panjang aslinya tadi hilang saat matahari hampir terbenam). Jibril datang kembali kepada beliau untuk memberitahukan Shalat Magrib Seraya berkata, "Berdirilah dan shalatlah Kemudian beliau pun menunaikannya pada waktu yang sama dengan shalat magrib. Jibril datang kembali kepada beliau untuk memberitahukan shalat isya kertika pertengahan malam telah berlalu atau dikatakan sepertiga malam yang akhir. 5) Suci dari darah haid dan nifas, Jadi Shalat tidak diwajibkan atas wanita yang sedang haid dan nifas sehingga ia suci terlebih dahulu. Berdasarkan sabda Rasulullah (kepada Fatimah binti Abi Hubaisy) : “Jika haidmu datang maka tinggalkanlah shalat”. B. Syarat Sah Shalat Adapun syarat sah shalat adalah sebagai berikut: 1. Suci dari hadats kecil yaitu hadats yang mewajibkan wudhu, suci dari hadas besar yaitu hadats yang mewajibkan mandi karena jinabah serta suci dari kotoran, yakni najis, baik pada pakaian, badan maupun tempat shalat, Berdasarkan sabda Rasulullah: “Allah tidak menerima shalat yang dilakukan tanpa bersuci.” 2. Menutup aurat, berdasarkan Firman Allah : “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” Jadi shalat yang dilakukan dengan aurat yang terbuka dihukumi tidak sah, karena pakaian yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah pakaian yang menutupi aurat. Batasan aurat laki-laki (dalam shalat) adalah bagian di antara pusar dan kedua lututnya, dan batasan aurat wanita (dalam shalat) adalah selain dari muka serta telapak tangannya, berdasarkan sabda Rasulullah : “Allah tidak akan menerima shalat wanita yang telah haid kecuali memakai kerundung” Juga berdasarkan sabda Rasulullah ketika ditanya mengenai shalat wanita yang memakai gamis dan jilbab tanpa disertai kain seraya bersabda : “Jika gamis itu panjang sehingga menutupi bagian atas kedua kakinya” 3. Menghadap kiblat. Dengan demikian maka shalat yang dilakukan dengan menghadap kearah selain kiblat dihukumi tidak sah, berdasarkan firman Allah: “Dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya”. Yakni kearah masjidil haram (ka’bah), kecuali bagi orang yang tidak dapat menghadap kearahnya karena alasan takut atau sakit dan lain-lain, sehingga gugur darinya persyaratan tersebut karena ketidak mampuannya . sebagaiman seseoarang yang sedang berpergian yang sedang di atas punggung binatangnya, maka dibolehkan mengerjakan shalat baik menghadap kiblat atau menghadap kearah yang lain berdasarkan sebuah riwayat. “Bahwa Nabi menunaikan shalat diatas punggung binatang kendaraannya dimana saat itu beliau berangkat dari mekah menuju Madinah, sehingga beliau menunaikannya ke arah mana saja binatang keandaraannnya menghadap.” 4. HAL HAL YANG DIWAJIBKAN DALAM SHAALAT, YANG DISUNNAHKAN, YANG DIMAKRUHKAN, YANG MEMBATALKAN DAN YANG DIIBOLEHKAN DI DALAMNYA A. Hal Hal yang Diwajibkan dalam Shalat 1. Berdiri dalam shalat fardhu bagi orang yang mampu melakukannya. Jadi tidak sah shalat fardhù yang dikerjakan sambil duduk bagi seseorang yang mampu berdiri, berdasarkan firman Allah: “Berdirilah karena Allah dalam shalatmu dengan khusyu’.” (Al-baqarah:238). 2. Niat, yaitu berketepatan hati untuk melaksanakan shalat yang telah ditentukan berdasarkan sabda Rasulullah: “sesungguhnya amal itu tergantung pada niat” 3. Takbiratul ihram, yaitu mengucapkan lafazh, “Allahu Akbar,” berdasarkan sabda Rasulullah: “Kunci pembuka shalat adalah bersuci, pengharamnya adalah takniratul ihram dan penghalalnya adalah salam.” 4. Membaca al-fatihah, berdasarkan sabda Rasulullah: “tidak sah bagi orang yang tidak membaca al-fatihah.” 5. Rukuk. 6. Bangkit dari rukuk, berdasarkan sabda Rasulullah yang ditujukan kepada seseorang yang mengerjakan shalat dengan buruk, “Kemudian rukuklah hingga kamu thuma’ninah dalam keadaan rukuk, lalu bangkitlah hingga kamu i’tidal dengan berdiri tegak.” 7. Sujud. 8. Bangkit dari sujud, berdasarkan sabda Rasulullah yang ditujukan kepada seseorang yang mengerjakan shalat dengan buruk, “Kemudian sujudlah hingga kamu thuma’nunah dalam keadaan sujud, lalu bangkitlah hingga kamu i’tidal dengan berdiri tegak.” 9. Thuma'ninah dalam rukuk, sujud, berdiri dan duduk berdasarkan sabda Rasulullah yang ditujukan kepada seseorang yang melakukan shalatnya dengan buruk,”.. hingga kamu thuma’ninah.”dalam riwayat lain disebutkan: dalam rukuk, sujud serta duduk. Dalam riwayat lainnya disebutkan: dalam i;tidal (berdiri tegak setelah rukuk). 10. Salam. 11. Duduk untuk salam. Jadi tidak boleh keluar dari shalat tanpa salam Sedangkan seseorang tidak boleh salam kecuali dalam keadaan duduk, berdasarkan sabda Rasulullah , “dan penghalalnya adalah salam”. 12. Tertib, di antara rukun-rukun shalat. Lagi tidak boleh membaca al-Fatihah sebelum Takbiratul Ihram, tidak boleh sujud sebelum rukuk. Karena ketentuan mengenai tata cara sholat dipraktekkan secara ketat oleh Rasulullah dan diajarkan kepada para sahabat, sehingga kita diwajibkan mengikuti tata cara yang telah dipraktikkan dan diajarkan oleh beliau sebagaimana belíau bersabda. B. Hal-hal yang disunnahkan dalam shalat Hal-hal yang disunahkan dalam shalat dibagi menjadi dua bagian: Sunnah Mu’akkadah 1. Membaca surat atau sesuatu dari al-Quran seperti membaca satu ayat atau dua ayat setelah membaca al-Fatihah pada Shalat Shubuh dan pada dua rakaat pertama dari Shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib dan isya, berdasarkan sebuah riwayat bahwa Rasulullah membacaKitab (al-Fatihah dari dua surat pada dua rakaat pertama Shalat zhuhur, sedangkan pada dua rakaat yang terakhir, beliau hanya membaca Ummul Kitab al-Fatihah). Terkadang beliau memperdengarkan kepada mereka satu ayat. 2. Membaca “Semoga Allah mendengar pujian orang yang memujiNya. Wahai rabb kami, bagiMu segala puji,” 3. Membaca “Mahasuci rabbku yang Maha Agung.”saat rukuk sebanyak tiga kali dan membaca, “Mahasuci rabbku yang Mahatinggi saat sujud berdasarkan sabda rasulullah, ketika turun firman Allah. maka beliau bersabda: "Jadikanlah ayat ini sebagai sebagian bacaan dalam rukukmu” Kemudian ketika turun Firman Allah: “Sucikanlah Nama RabbMu yang Mahatinggi.” (Al-Ala: 1), maka beliau bersabda: “Jadikanlah ayat ini (sebagai bacaan) dalam sujudmu.” 4. Membaca takbir intiqal (perpindahan dari satu rukun kerukun yang lainnya), yaitu dari berdiri kesujud, dari sujud keduduk, dan dari duduk ke berdiri, dimana bacaan itu didengar dari nabi. 5. Membaca kalimat tasyahdud 6. Membaca kalimat tauhid 7. Membaca al-Fatihah serta surat dengan suara lantang (keras) dalam shalat yang bacaan al-fatihah serta suratnya dibaca dengan keras, yaitu pada dua rekaat pertama Shalat Mahgrib dan Isya serta pada Shalat Shubuh dan dibaca dengan suara pelan pada yang selain itu. 8. Membaca al-Fatihah serta surat dengan suara pelan dalam shalat yang bacaan al-Fatihah serta suratnya dibaca dengan suara pelan. Ketentuan di atas berlaku dalam shalat fardhu (wajib) Sedangkan dalam shalat nafilah (sunnah), maka disunahkan untuk membacanya dengan suara pelan pada shalat sunnah yang dikenakan pada siang hari, dan disunnahkan dibaca dengan suara keras pada shalat sunnah yang dikerjakan pada malam hari, kecuali jika dikhawatirkanakan mengganggu orang lain dengan bacaannya itu, sehingga dalamkeadaan demikian, maka disunnahkan baginya untuk membacanya dengan suara pelan. 9. Membaca shalawat atas Nabi dalam tasyahud akhir yang dibeca setelah membaca tasyahud. Sunnah Ghairu Mu”akkadah. 1) Membaca doa iftitah yaitu “Mahasuci Engkau ya Allah dengan pujianmu saya menyucikanmu, Maha berkah namamu dan Mahatinggi keagunganmu, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain engkau”. 2) Membaca ta'awudz pada rakaat pertama dan membaca basmalah pada setiap rakaat dengan suara yang pelan. Hal itu berdasarkan Firman Allah: “Apabila kamu membaca Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk”. (An-Nahl: 98) 3) Mengangkat kedua tangan sejajar dengan kedua bahu ketika takbiratul therah, ketika rukuk. ketika bangkit dari rukuk serta ketika berdiri dari rakaat yang kedua. Hal itu berdasarkan penuturan Ibnu Umar bahwa ketika Nabi berdiri hendak melaksanakan shalat maka beliau mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua bahunya, lalu beliau bertakbir, kemudian ketika hendak rukuk, maka beliau juga mengangkat kedua tangannya seperti yang dilakukannya saat ketika takbiratul ihram, begitu juga ketika mengangkat kepalanya(bangkit) dari rukuk, maka beliau juga mengangkat kedua tangannya sebagaimana yang dilakukannya sebelumnya, seraya membaca, “Allah maha mendengar orang yang memujinya, Ya Allah, bagimu segala pujian.” 4) Membaca amin setelah membaca al-fatihah. Hal itu berdasarkan sebuah riwayat, bahwa saat nabi membaca, “Yaitu jalan orang yang telah engkau beri nikmat kepadanya: bukan jalan yang dimurkai bukan pula yang sesat,” 5) Memanjangkan bacaan surat setelah al-Fatihah dalam Shalat Subuh memendekkannya dalam Shalat Ashar dan Shalat Maghrib serta pertengahan sedang dalam Shalat Isya dan Zhuhur. Hal itu berdasarkan keterangan dalam sebuah riwayat bahwa Umar menulis sepucuk surat kepada Abu Musa al-Asy'ari yang isinya, "Hendaklah engkau membaca surat yang panjang dalam Shalat Subuh, membaca surat yang pertengahan dalam Shalat Zhuhur dan membaca surat pendek dalam Shalat Maghrib. 6) Berdoa di antara dua sujud, yaitu dengan membaca, yang artinya. “Ya allah , ampunilah dosaku, sayangilah aku, berilah akau kesehatan, berilah aku petunjuk, serta berilah aku riski, berdaarkan sebuah riwayat, bahwa rasulullah membaca doa tersebut saat duduk di antar dua sujud.” 7) Membaca doa kunut pada rakaat terakhir shalat subuh, atau rakaat terakhir shalawat witir setelah membaca surat, atau setelah mengangkat kepala (bangkit) dari rukuk. Adapun doanya sebagai berikut , artinya: “Ya Allah, berilah aku petunjuk sebagaimanan orang yang telah engkau beri petunjuk, berilah aku kesehatan sebagaimana orang yang telah engkau beri kesehatan, berilah aku perlindungan sebagaimana orang yang telah engkau beri perlindungan, berilah aku dan jauhkan dariku keburukan apa yang telah engkau putuskan, engkaulah yang berhak menetapkan keputusan, dan tidak ada yang dapat menetapkan keputusan terhadapmu. Sesungguhnya tidak akan hina orang yang engkau cintai,dan tidak akan muliaorang yang engkau musuhi. Wahai tuhan kami, engkau Maha pemberi keberkahan lagi Maha tinggi. Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaanmu dari kemurkahanmu dan dengan ampunan dan aku berlindung kepada mu dari siksaanmu.aku tidak mampu menghitung pujian yang mesti disanjungkan kepadamu. Sungguh engkau sebagaimana yang engkau sanjungkan atas dirimu.” 8) Tata cara duduk yang diriwayatkan dari Rasulullah dalam shalat adalah duduk iftisary pada beberapa duduk dan duduk tawaruk pada duduk yang terakhir. Duduk tawaruk adalah duduk dengan menjadikan telapak kaki kiri berada di bawah paha kanan, meletakkan bokong di atas tempat duduk, menegakkan kaki kanan, meletakkan tangan kiri di atas lutut kiri dengan meregangkan jari-jarinya dan mengepalkan seluruh jari tangan kanan serta berisyarat dengan jari telunjuk sambil menggerakkanya saat membaca tasyahud, maka beliau meletakkan tangan kananya di atas paha kanan dan tangan kirinya di atas paha kirinya, dan berisyarat dengan jari telunjuknya serta pandangan matanya tidak melewati isyarat jari telunjuknya. 9) Meletakkan kedua tangan di atas dada, dimana tangan kanan berada pada tangan kiri, berdasarkan keterangan yang di kemukakan oleh Shal, bahwa, orang-orang di perintahkan supaya meletakkan tangan kanan pada lengan kirinya ketika shalat. Kemudian berdasarkan keterangan yang dituturkan Jabir. Yang artinya : “suatu ketika Rasulullah melintas dihadapan seseorang yang sedang shalat, di mana ia meletakkan tangan kirinya pada tangan kanannya, maka beliau melepaskannya dan meletakkan tangan kananya pada tangan kirinya.” 10) Berdoa ketika sujud, berdasarkan sabda Rasulullah: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya aku dilarang membaca al-quran di saat rukuk dan sujud. Saat rukuk, hendaklah kamu mengangungkan Allah sedang saat sujud, hendaklah kamu sungguh-sungguh dalam berdoa, karena doamu saat sujud lebih pantas untuk dikabulkan.” 11) Berdoa ketika tasyahud akhir setelah membacakan shalawat atas Nabi dengan doa berikut ini: “ Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari azab neraka jahannam, dari azab kubur, dari fitnah hidup serta fitnah mati, dan dari keburukan fitnah al-masih ad-dajjal.” 12) Salam sambil menoleh ke sebelah kanan. 13) Salam yang kedua kali sambil menoleh ke sebelah kiri. Hal itu berdasarkan sebuah riwayat, “Bahwa nabi mengucapkan salam sambil menoleh ke sebelah kanannya dan ke sebelah kirinya hingga terlihat warna putih di pipiya.” 14) Berdzikir dan berdoa setelah salam, berdasarkan sejumlah hadis berikut ini: a. Dari Tsauban, seraya berkata, kebiasaan Nabi setelah selesai shalat, maka beliau membaca istigfar sebanyak tiga kali. Kemudian beliau membaca. “Ya Allah, engkau pemberi keselamatan dan darimu keselamatan. Engkau maha pemberi, wahai dzat pemilik keagungan dan kemuliaan.” b. Dari Mu’adz bin Jabal bahwa suatu hari nabi memegang tanganya, seraya bersabda, “Hai Mu’adz, aku sangat mencintaimu. Hai mu’adz, aku akan berpesan kepadamu bahwa setelah kamu selesai shalat, hendaklah kamu tidak meningalkan doa berikut ini, yaitu, ya allah, aku mohon pertolongan (kepadamu) untuk selalu mengingatkanmu, mensyukuri nikmatmu dan menyempurnakan ibadah kepadamu.” c. Dari Al-Mughairah bin Syu’bah bahwa kebiasaan Rasullah setelah selesai shalat fardhu, maka beliau membaca, yang artinya: “Tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, yang Maha Esa, yang tidak ada sekutu baginya, baginya segala puji, baginya kerajaan dan dia mahakuasa atas segala sesuatu. Ya allah,tidak ada yang dapat mencegah apa yang engkau berikan, dan tidak ada yang dapat memberi apa yang engkau cegah. Dan kekayaan seseorang tidak akan berguna dari ancaman (azab)mu.” d. Dari Abu Umamah bahwa Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang membaca ayat kursi setiap selesai shalat maka tidak ada yang menghalanginya memasuki surga, selain kematian(kematian yang belun datang).” e. Dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda, “Barang siapa yang membaca tasbih 33 kali, hamdalah 33 kali dan takbir 33 kali, sehingga semuanya berjumlah 99 kali, lalu ia menggenapkannya menjadi 100 kali dengan membaca, la ilahaillahu wahdahu lasyarikala lahu mulku, wa lahu hamdu, wa huwa ala kulli syaiin qadir, maka dosanya akan di ampuni, meskipun dosanya itu sebanyak buih di lautan.” f. Dari Sabda bin Abi Waqqash, bahwa Rasulullah memohon lindungan kepada Allah setiap selesai shalat dengan doa berikut ini: “Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari sifat bakhil (kikir), dari sifat pengecut: dari pikun:dari fitnah dunia dan dari azab kubur, sa’ad mengajarkan doa ini kepada anak-anaknya”. C. Hal-hal yang dimakruhkan dalam shalat. 1. Menoleh dengan memutar kepala atau dengan mata, berdasarkan sabda Nabi: “Menoleh (ketika shalat) adalah pencopetan yang dilakukan oleh setan dari shalat seseorang.” 2. Mengarahkan pandangan ke atas, berdasarkan sabda Rasulullah: “Tidak sepantasnya suatu kaum mengarahkan pandangan mata mereka ke langit (atas) dalam shalat mereka. Selanjutnya beliau bersabda,hendaklah mereka menghentikan perbuatan tersebut atau (kalau tidak) penglihatan mereka akan dicabut.” 3. Takhashur (bertolak pinggang), yaitu meletakkan tangan pada pinggang, berdasarkan hadis yang di tuturkan oleh Abu Hurairah, bahwa: “Nabi melarang seseorang shalat dengan bertolak pinggang.” 4. Memegang rambut, lengan baju atau baju, berdasarkan sabda Rasulullah: “Aku diperintahkan supaya bersujud dengan tujuh anggota tubuh, dan tidak memegang baju atau rambut.” 5. Menjalankan atau menyembunyikan jari-jari, berdasarkan sebuah riwayat, bahwa suatu ketika Rasulullah melihat seseorang yang sedang shalat menjalankan jari-jarinya, maka beliau bersabda, “Janganlah kamu menyembunyikan jari-jarinya di saat kamu sedang shalat.” 6. Menyapu mengusap pasir yang menempel dari anggota sujud lebih dari satu kali, berdasarkan sabda Rasulullah: “Jika salah seorang di antara kamu menunaikan shalat, hendakalah ia tidak menyapu pasir(yang menempel), karena rahmat Allah sedang diarahkan kepadanya.” Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda: “Jika kamu(memang harus) melakukanya, maka cukup satu kali saja.” 7. Melakukan perbuatan yang sia-sia. Segala sesuatu yang menyibukkan orang yang salah dari shalatnya dan yang menghilangkan kehusuyukannya, seperti mempermainkan jenggot atau pakaian, atau melihat ke arah hiasan dinding dan lain-lain, berdasarkan sabda Rasulallah: “Berlaku tenanglah kamu dalam shalat.” 8. Membaca ayat al-qur’an ketika rukuk atau sujud. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah: “Aku dilarang membaca al-quran saat rukuk atau sujud.” 9. Menahan buang air kecil dan buang air besar. 10. Shalat ketika makanan telah dihidangkan, berdasarkan sabda Nabi: “Tidak boleh shalat saat makanan telah dihidangkan, serta tidak pula dengan menahan buang air kecil dan buang air besar.” 11. Duduk di atas dua tumit(aqibqin) dan menghamparkan dua lengan, berdasarkan penuturan Aisyah: “Bahwa Rasulullah telah melarang duduk setan dan juga melarang seseorang menghamparkan kedua lenganya seperti binatang buas yang hendak menerkam.” D. Hal-hal yang membatalkan shalat Adapun hal-hal yang membatalkan shalat adalah sebagai berikut: 1. Meninggalkan salah satu rukun shalat jika pelakunya tidak mengulanginya ketika shalat atau tidak lama setelah shalatnya, berdasarkan sabda Rasulullah yang di tunjukkan kepada seseorang yang buruk dalam menunaikan shalatnya dengan meninggalkan thuma’ninah dan itidal, padahal keduanya itu termasuk rukun shalat, “Ulangilah, lalu shalatlah kembali, karena sesungguhnya kamu belum shalat.” 2. Makan atau minum, berdasarkan sabda Rasulullah “sesungguhnya dalam shalat itu terdapat kesibukan.” 3. Perkataan yang tidak ada kaitanya dengan shalat. Di mana Allah berfirman , yang artinya, “Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusuk.” (al-baqarah:238) Kemudian sabda Rasulullah: “Sesungguhnya dalam shalat itu tidak pantas ada sedikit pun dari perkataan manusia.” Tetapi jika perkataan itu ada kaitannya dengan shalat, misalnya seorang imam mengucapkan salam, lalu ia bertanya tentang kesempurnaan shalatnya. Jika dikaitkan padanya, bahwa shalatnya belum sempurna, maka ia harus menyelesaikannya. Atau saat imam minta diingatkan bacaanya (karena lupa), kemudian makmum mengingatkanya. Hal itu tidak menjadi masalah, karena Rasulullah juga pernah bertanya ketika sedang shalat, tetapi shalat keduanya tidak shalat keduanya tidak batal. Dzul yadain bertanya kepada Rasulullah apakah engkau lupa, ataukah engkau mengqasharnya? Beliau menjawab, “Aku tidak lupa, dan shalatnya juga tidak diqashar(dalam dugaanku).” 4. Tertawa , yaitu tertawa terbahak-bahak bukan tertawa tersenyum. Kaum muslimin bersepakatan bahwa orang yang tertawa ketika shalat, maka shalatnya dihukumi batal. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa wudhunya juga dihukumi batal. Di mana Rasulullah bersabda: “Senyum tidak membatalkan shalat, tapi tertawa terbahak-bahaklah yang membatalkannya.” 5. Melakukan banyak gerakan (selain gerakan-gerakan shalat), karena hal itu menafikan ibadah dan menyibukkan hati dan anggota tubuh dengan hal-hal di luar shalat. Adapun melakukan gerakan yang sekedarnya seperti membetulkan sorban, atau maju kebarisan untuk mengisi tempat yang kosong, atau mengulurkan tangan pada sesuatu yang dilakukan dengan sekali gerakan, maka hal itu tidak membatalkan shalat, berdasarkan sebuah riwayat, bahwa suatu ketika Rasulullah shalat sambil menggendong umamah dan meletakkannya, pada hal saat beliau sedang mengimami orang-orang shalat (jama’ah). Umamah yang dimaksud adalah putrinya zainab, salah seorang putri Rasulullah. 6. Menambah rakaat dengan jumlah yang sama karena lupa, misalnya; shalat zuhur menjadi delapan rakaat, atau shalat magrib menjadi enam rakaat, atau shalat subuh emapat rakaat, karena lupa yang sangat memungkinkan pelakunya untuk menambah jumlah rakaat shalat sehingga dua kali lipat. Hal itu menunjukkan, bahwa pelakunya tidak khusyuk dalam shalatnya, padahal khusyuk itu merupakan rahasia dan ruh shalat.sedangkan shalat yang kehilangan ruhnya, niscaya dihukumi batal. 7. Teringat shalat sebelumnya, misalnya; seseorang mengerjakan shalat ashar, tetapi ia teringat bahwa ia belum menunaikan shalat zhuhur. Dalam kondisi demikian, maka shalat asarnya dihukumi batal hingga ia menunaikan shalat zhuhur terlebih dahulu karena berurutan dalam melaksanakan diantara shalat fardhu yang lima merupakan suatu kewajiban, dengan alasan , bahwa datangnya perintah shalat dari allah adalah berurutan di antara shalat fardu yang satu dengan shalat fardu yang lainya. Jadi, tidak boleh mengerjakan suatu shalat sebelum mengerjakan shalat yang sebelumnya yang berurutan langsung dengan shalat yang hendak di kerjakan. E. Hal-hal yang boleh dilakukan saat shalat Orang yang sedang shalat dibolehkan melakukan hal-hal sebagai berikut: i. Melakukan suatu gerakan yang sekedarnya, misalnya membetulkan letak selendang, karena hal itu pernah dilakukan juga oleh rasulullah, sebagaimana telah dijelaskan dalam sebuah hadis sahih. ii. Berdehem ketika diperlukan(karena darurat). iii. Membetulkan posisi orang yang berada di suatu shaf (barisan) dengan menariknya ke shaf depan atau menariknya ke shaf belakang, atau memindahkan makmum dari sebelah kiri kesebelah kanan, sebagaimana Rasulullah pernah memindahkan Ibnu Abbas dari sebelah kirinya ke sebelah kananya ketika Ibnu Abbas ikut menunaikan shalat malam disamping beliau. iv. Menguap dan meletakkan tangan di mulut. 5. TATA CARA PELAKSANAAN SHALAT Tata cara pelaksanaan shalat adalah sebagai berikut: Jika waktu shalat telah tiba, hendaklah seorang muslim berdiri dalam keadaan suci, menutup aurat dan menghadap kiblat, lalu iqamah.jika iqamah telah selesai, hendaklah ia mengangkat kedua tanganya hingga sejajar dengan kedua bahunya sambil berniat melakukan shalat sambil mengucapkan alah huakbar kemudian meletakkan kedua tanganya pada dadanya dengan meletakkan tangan kananya pada tangan kirinya, kemudian membaca doa iftitah, kemudian membaca bismillahirrahmanirrohim dengan suara pelan, kmudian membaca alfatiha hingga ketika bacaan sampai pada lafaz waldhallin, hendaklah ia mengucapkan amin, kemudian membaca surah atau bebebrapa ayat al-quran yang di anggap mudah baginya,kemudian memngangkat kedua tanganya sejajar dengan kedua bahunya serta melakukan rukuk sambil mengucapkan allah huakbar, kemudian meletakkan kedua telapak tanganya pada kedua lututnya seraya meratakan tulang punggungnya dengan tidak mendongakkan kepalanya dan tidak juga menundukkannya,tetapi meratakanya sejajar dengan tulang punggungnya,dan pada saat rukuk, hendaklah ia membaca. Lafaz rukuk a. “Mahasuci rabbuku yang mahaagung”sebanyak tiga kali atau lebih kemudian bangkit dari rukuk sambil mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua bahu sambil membaca,” samiallahulimanhamida” b. “Allah mendengar bagi siapa yang memujinya” c. Kemudian iftidal (berdiri tegak) sambil membaca lafaz iftidal d. “Wahai rabb kami, bagimu segala puji, aku memujimu dengan pujian yang banyak , yang baik, dan yang penuh berkah” e. Kemudian sujud sambil mengucapkan”allah akbar”. Ketika sujud, hendaklah ia bersujud dengan tujuan anggota tubuhnya, yaitu mka, kedua telapak tangan, kedua lutut serta kedua telapak kakinya dengan menempelkan dahinya serta hidungnya di atas tanah (tempat sujud) sambil membaca, subhana robial akla f. “Mahasuci rabb yang mahatinggi, sebanyak tiga kali atau lebih, dan jika berdoa mohon kebaikan saat sujud, maka hal itu dipandang lebih baik. Setelah itu bangkit dari sujud sambil mengucapkan,”allah huakbar”, lalu duduk iftirasy dengan meletakkan bokongnya di atas telapak kaki kirinya serta menegakkan kaki kananya sambil membaca,lafaz g. “Wahai rabbku, ampunilah (dosa)ku, sayangilah aku, berilah aku petunjuk dan berila aku rizki,” h. Kemudian sujud sebagaimana yang dilakukan sebelumnya, kemudian berdiri untuk menunaikan rakaat kedua dan melakukan hal-hal seperti yang dilakukannya pada rakkat pertama, kmudian tasyahhud. Jika jumlah rakaat shalatnya dua rakaat seperti shalat subuh, maka ia membaca tasyahhud serta shalawat atas rasullah, kemudian salam mengucapkan assalamu’ alaikum wa rahmatullah, dan menoleh kesebelah kanan dan sebelah kiri . i. Sedangkan jika jumlah rakaat shalatnya tersebut bukan shalat yang jumlahnya dua rakaat, hendaklah setelah membaca tasyahudd, ia berdiri kembali sambil mengucapkan takbir dan mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya, lalu menyempurnakan shalatnya dengan mengerjakan hal-hal seperti yang dilakukan pada rakaat sebelumnya,hanya saja dalam hal bacaan cukup hanya membaca al-fatiha saja. Setelah selesai, hendaklah ia duduk tawarukk dengan meletakkan bokongnya diatas tanah (tempat duduk) dengan menegakkan. 6. HUKUM SHALAT JAM’AH, MASALAH IMAMAH, DAN MASBUQ A. Shalat Jam’ah 1. Hukum shalat jam’ah Shalat jam’ah merupakan perbuatan sunnah yang sangat di anjurkan sekali bagi setiap mukmin yang tidak memiliki udzur untuk tidak menghadirinya, berdasarkan sabda nabi. Yang sekurang-kurang artinya: “Tidaklah ada tiga orang di suatu desa atau suatu kampung dimana mereka tidak mendirikan shalat berjama’ah di dalamnya, melainkan setan akan menguasai mereka.karena itu, hendaklah kamu mendirikan shalat berjama’ah, karena serigala hanya akan memangsa seekor kambing yang menyendiri (terpisah dari kelompoknya)”. Juga sabda Rasulullah: “Demi (dzat) yang jiwaku berada ditanganya, sungguh aku ingin sekali menyuruh supaya kayu bakar dikumpulkan lalu dinyatakan, kemudian aku menyuruh sesorang mengumandangkan adzan shalat, serta menyuruh seseorang supaya mengimani shalat orang-orang, kemudian aku pergi mendatangi orang-orang yang tidak ikut shalat berjama’ah lalu membakar rumah-rumah mereka.” Juga sabda Rasulullah yang ditunjukan kepada seorang lelaki buta yang berkata kepada rasulullah ya rasulullah aku tidak mempunyai seorang penuntunyang akan menuntuku ke mesjid. Kemudian Rasulullah memberikan rukhshah (keringanan) padanya untuk tidak ikut menunaikan shalat jama’ah, tetapi ketika orang itu hendak pergi, Rasulullah memanggilnya, seraya berkata: “Apakah kamu mendengar suara azan sholat? Orang itu menjawab,”ya”.Rasulullah bersabda’ penuhilah panggilanya,” Abdullah bin Mas’ud menuturkan: “Sungguh aku telah melihat orang-orang di antara kami dan tidaklah ada yang mengabaikan shalat jama’ah melainkan pasti seorang munafik yang kemunafikannya telah diketahui dengan jelas. Sehingga terkadang seorang laki-laki datang dengan dipapah dua orang (untuk mengahdiri shalat berjama’ah) hingga ia diberikan di suatu barisan. 2. Keutamaan Shalat Jama’ah Adapun keutamaan shalat jama’ah itu banyak sekali, pahalanya sangat besar. Hal itu sebagaimana di sabdakan oleh Rasulullah: “Shalat jama’ah itu lebih utama dari pada shalat sendirian dengan perbedaan dua puluh tujuh derajat.” 3. Jumlah minimal dalam shalat berjama’ah Jumlah minimal orang yang menunaikan shalat jama’ah adalah dua orang; di mana yang satu menjadi imam dan yang satunya menjadi makmum. Semakin banyak jumlah jama’ah yang mengikuti suatu shalat jama’ah, maka hal itu semakin dicintai oleh Allah Swt. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “Shalat seseorang yang dikerjakan bersama seseorang pahalanya lebih banyak daripada shalat sendirian, dan shalatnya yang dikerjakan bersama dua orang, pahalanya lebih banyak daripada pahala shalatnya bersama seseorang, dan semakin banyak jumlah jama’ahnya niscaya semakin dicintai Allah Swt”. Sedikitnya shalat jama’ah dapat dilakukan oleh dua orang.Karena kata jama’ah itu sendiri diambil dari akar kata ijtimaa’ (berkumpul).Dua adalah jumlah terkecil yang bisa merealisasikan ‘berkumpul’. Juga berdasarkan hadits Abu Musa secara marfuu: “Dua orang atau lebih adalah jama’ah”. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Dan berdasarkan hadits berikut: “Siapa yang mau bersedekah pada orang ini”? Maka berdirilah seorang pria, lalu shalat bersama orang tersebut. Maka Nabi Saw bersabda: “Dua orang ini terhitung sebagai jama’ah”. Diriwayatkan oleh Ahmad dan perawi lainnya. Beliau juga bersabda kepada Malik bin Al-Huwairits: “Hendaknya yang tertua di antara kalian berdua menjadi imam”. Bahkan diriwayatkan adanya ijma’ dalam persoalan tersebut. Shalat jama’ah yang dilakukan di masjid lebih utama, dan masjid yang jauh jaraknya lebih utama daripada masjid yang lebih dekat, berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “Sesungguhnya orang yang paling besar pahalanya adalah orang yang paling jauh jarak perjalanannya ke masjid (untuk menghadiri shalat jama’ah)”. 4. Kehadiran kaum wanita dalam shalat jama’ah Bagi kaum wanita dibolehkan untuk menghadiri shalat jama’ah di masjid, jika dipandang aman dari fitnah dan tidak dikhawatirkan adanya gangguan, berdasarkan sabda Nabi Saw: “Janganlah kamu melarang para wanita dari hamba-hamba Allah mendatangi masjid-masjid Allah Swt”. Kaum wanita diperbolehkan mengikuti shalat berjama’ah di masjid dengan izin suami mereka, tanpa mengenakan wewangian dan tanpa berdandan ala jahiliyah.Disamping juga harus berhijab secara sempurna dan menghindari bercampur baur dengan kaum pria. Disunnahkan bagi kaum wanita untuk shalat berjama’ah bersama sesame wanita, secara terpisah dari kaum pria.Baik diimami oleh seorang wanita, atau diimami seorang pria.Karena Nabi Saw pernah memerintahkan Ummu Waraqah untuk mengangkat seorang muadzin, lalu memerintahkan wanita tersebut untuk menjadi imam bagi kaum wanita di rumahnya. Akan tetapi, shalatnya seorang wanita dirumahnya lebih utama. Juga berdasarkan sabdanya: “(Ketika mereka pergi ke masjid), hendaknya mereka tidak memakai minyak wangi”. Jika mereka memakai minyak wangi, maka tidak dibolehkan bagi mereka menghadiri shalat berjama’ah di masjid, berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “Wanita manapun yang memakai wewangian, maka hendaklah ia tidak hadir bersama kami dalam melaksanakan shalat Isya (berjama’ah)”. Akan tetapi shalat seorang wanita yang dikerjakan di rumahnya lebih utama, berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “Rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”. 5. Pergi dan berjalan menghadiri shalat jama’ah Bagi seseorang yang keluar dari rumahnya menuju masjid disunahkan mendahulukan kaki kanannya sambil membaca doa, “Dengan (menyebut) nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan upaya kecuali dengan (pertolongan) Allah. Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari tersesat atau disesatkan, atau dari tergelincir (ke dalam dosa) atau tergelincirkan, atau dari berbuat zhalim atau dizhalimi, atau dari berbuat bodoh atau dibodohi. Ya Allah, aku memohon (dengan bertawassul) kepadaMu dengan hak orang-orang yang memohon kepadaMu serta hak langkah kakiku, sesungguhnya aku tidak keluar dalam keadaan kufur nikmat, tidak dalam keadaan sombong, tidak dalam keadaan riya, dan tidak untuk mencari ketenaran, tetapi aku keluar karena merasa takut terhadap murkaMu serta mencari keridhaanMu. Aku memohon kepadaMu agar engkau menyelamatkan diriku dari azab neraka dan mengampuni semua dosaku, karena tidak ada yang dapat mengampuni dosa, kecuali Engkau.Ya Allah, berikanlah cahaya pada hatiku, lidahku, pendengaranku, penglihatanku, dari samping kananku, samping kiriku serta dari atasku.Ya Allah perbesarlah cahaya dalam diriku”. Kemudian hendaklah ia berjalan dengan penuh ketenangan dan kemantapan, berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “Jika kamu bermaksud menghadiri shalat, hendaklah kamu berjalan dengan penuh ketenangan, maka apa yang kamu dapatkan (dari shalat), hendaklah kamu menunaikannya, sedangkan apa yang terlewatkan darimu, hendaklah kamu menyempurnakannya”. Kemudian saat ia sampai masjid dan akan memasukinya, hendaklah ia mendahulukan kaki kanannya sambil membaca doa berikut ini: “Dengan (menyebut) nama Allah, aku berlindung kepada Allah yang Maha Agung dan dengan Wajahnya yang Maha Mulia dan dengan kekuasaan-Nya yang abadi dari godaan setan yang terkutuk. Ya Allah, curahkanlah rahmat dan kesejahteraan kepada Nabi kami, Muhammad dan keluarganya.Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku serta bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu”. Hendahlah ia tidak langsung duduk sehingga melaksanakan shalat tahiyyatul masjid terlebih dahulu, berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “Jika salah seorang di antara kamu memasuki masjid, hendaklah ia tidak duduk sehingga ia shalat (sunnah) dua rakaat”. Kecuali, jika ia memasukinya saat terbit atau terbenam matahari. Jika ia memasukinya pada saat seperti itu, maka ia langsung duduk serta tidak perlu shalat sunnah dua rakaat lebih dahulu, karena Rasulullah Saw telah melarang menunaikan shalat pada kedua waktu tersebut. Kemudian ketika ia hendak keluar dari masjid, hendaklah ia mendahulukan kaki kirinya sambil membaca doa sebagaimana yang dibacanya ketika masuk dengan mengganti lafazh, dengan lafazh: “Dan bukakanlah untukku pintu-pintu karuniaMu”. B. Masalah Imamah (menjadi Imam) 1) Syarat-syarat Imam Syarat-syarat seorang imam yaitu: laki-laki, adil dan berilmu. Jadi, tidak sah seorang wanita mengimami shalat laki-laki, seorang yang fasik yang telah diketahui kefasikannya mengimami shalat orang-orang Mukmin, kecuali ia adalah seorang penguasa yang ditakuti, dan seorang yang bodoh mengimami jama’ah umum, kecuali bagi jama’ah yang sama dengannya, berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “Janganlah seorang wanita dan seorang yang lalim mengimami shalat orang Mukmin laki-laki kecuali seseorang yang memaksakan kehendaknya dengan kekuasaan, atau seseorang yang khawatir cambuk atau pedangnya”. Meskipun hadits ini digolongkan hadis dhaif, tetapi mayoritas ulama mengamalkannya.Hadits tentang imamah seorang wanita terbatas pada penghuni rumahnya yang wanita dan anak-anak kecil, sebagaimana imamah orang fasik terbatas pada keadaan darurat. 2) Orang yang lebih utama menjadi imam Orang yang paling utama menjadi imam adalah orang yang paling fasih bacaan Al-Qur’annya, lalu orang yang paling mengerti masalah agama Allah (Islam), lalu orang yang paling takwa, lalu orang paling tua usianya, berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “Hendaklah orang yang mengimami (shalat) suatu kaum adalah orang yang paling fasih bacaan Al-Qur’annya. Jika kefasihan bacaan mereka sama, hendaklah orang yag paling mengetahui mengenai As-Sunnah. Jika pengetahuan mereka mengenai As-Sunnah sama, hendaklah orang yang paling dahulu melaksanakan hijrah. Jika pelaksanaan hijrah mereka sama, hendaklah orang yang paling tua usianya”. Selama ia bukan seorang penguasa atau pribumi, mengingat penguasa atau pribumi dianggap lebih utama menjadi imam daripada yang lainnya. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “Janganlah seseorang mengimami (shalat jama’ah) pada sisi keluarganya (orang pribumi) atau penguasanya, kecuali atas izinnya”. Orang yang paling berhak menjadi imam adalah yang paling bagus bacaan Al-Qur’annya. Yakni orang yang mahir membaca Al-Qur’an, di mana ia mengenal makhraj-makhraj huruf, tidak melakukan kesalahan fatal dalam bacaan, serta menerapkan kaidah-kaidah bacaan tanpa dibaut-buat dan tanpa berlebihan. Baik itu berupa syarat-syarat (sahnya) shalat, rukunn-rukun shalat, hal-hal yang wajib dalam shalat, maupun hal-hal yang membatalkan shalat. Dasarnya adalah sabda Nabi Saw: “Hendaknya yang menjadi imam dalam jama’ah adalah orang yang paling bagus bacaan Al-Qur’annya”. 3) Imamah anak kecil Anak kecil sah menjadi imam dalam shalat sunnah, namun tidak dalam shalat wajib. Karena orang yang shalat wajib tidak boleh bermakmum kepada orang yang shalat sunnah , sedangkan shalatnya anak kecil dihukumi sebagai shalat sunnah. Jadi imamah anak kecil dihukumi tidak sah dalam shalat wajib, berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “Janganlah kalian berbeda dengan imam kalian”. Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang orang yang shalat wajib bermakmum kepada orang yang shalat sunnah. Imam Asy-Syafi’I berbeda pendapat dengan mayoritas ulama, dimana beliau membolehkan anak kecil menjadi imam dalam shalat wajib dengan merujuk riwayat yang dituturkan Amr bin Salamah yang menjelaskan, bahwa Nabi Saw bersabda kepada kaumnya: “Hendaklah orang yang paling fasih bacaannya mengimami (shalat) kalian”. Kemudian aku mengimami shalat mereka, padahal saat itu aku masih berusia tujuh tahun.Tetapi mayoritas ulama memandang riwayat tersebut dhaif, seraya berkata, “Hadits tentang kebolehan seorang anak yang masih belia menjadi imam termasuk hadits muhtamat (yakni mengandung kemungkinan), dimana ada kemungkinan Rasulullah Saw tidak pernah melihat Amr mengimami shalat kaumnya, mengingat mereka tinggal di gurun pasir yang jauh dari Madinah. Asy-Syafi’I mengatakan: “Jika seorang anak kecil yang belum baligh mengerti shalat serta bisa membaca, lalu dia mengimami orang-orang dewasa, jika dia telah mendirikan shalat, maka shalat mereka sah disebabkan imamahnya. Dan yang terbaik adalah hendaknya tidak menjadi imam kecuali orang sidah baligh, dan hendaknya imam baligh tersebut mengerti tentang shalat, karena mungkin saja terjadi sesuatu padanya pada waktu shalat”. 4) Imamah Wanita Seorang wanita sah mengimami shalat para wanita, dan ia berdiri di tengah-tengah mereka. Karena Nabi Saw telah mengizinkan Ummu Waraqah binti Naufal mengangkat seorang muadzin baginya di rumahnya sehingga ia dapat menunaikan shalat berjama’ah bersama anggota rumahnya. Asy-Syafi’I mengatakan: “Diriwayatkan dari Ammar ad-Duhni, dari seorang wanita dari kaumnya yang bernama Hajjah, sesungguhnya Ummu Salamah mengimami mereka (para wanita) dan dia berdiri di tengah-tengah mereka”. 5) Imamah orang buta Orang buta sah mengimami shalat berjama’ah, karena Rasulullah Saw pernah menunjuk Ibnu Ummi Maktum sebagai imam pengganti di Madinah hingga dua kali, dan ia shalat bersama mereka (penduduk Madinah), padahal ia seorang yang buta. Asy-Syafi’I mengatakan: “Sesungguhnya Itban bin Malik dahulu mengimami kaumnya sedang dia adalah orang yang buta, dan sesungguhnya dia berkata kepada Rasulullah Saw ‘Sesungguhnya gelap, hujan, dan banjir (menghalangiku dari shalat berjama’ah bersamamu), sedangkan aku adalah laki-laki yang tuna netra, maka shalatlah wahai Rasulullah di rumahku pada suatu tempat yang akan aku jadikan sebagai tempat shalat’. Dia (perawi) mengatakan: ‘Maka Rasulullah Saw mendatanginya dan berkata, Dimana engkau ingin aku shalat’? Maka dia (Itban) memberikan isyarat kepada beliau ke suatu tempat di rumahnya dan Rasulullah Saw pun shalat di situ”. Asy-Syafi’i mengatakan: “Adapun saya menyukai imamah seorang tuna netra. Karena seorang tuna netra jika telah benar menghadap kiblat pada tempat yag luas dia tidak dilalaikan dengan sesuatu yang dilihat oleh kedua matanya”. 6) Imamah orang yang kurang utama Orang yang kurang utama sah mengimami shalat orang yang meski ada orang yang lebih utama darinya. Karena Rasulullah Saw pernah shalat dibelakang (menjadi makmum) Abu Bakar (Al-Bukhari, no.684) dan Abdurrahman bin Auf (Muslim, no.274), padahal Rasulullah lebih utama dari keduanya dan dari semua makhluk. [Al-Bukhari]. 7) Imamah orang yang bertayamum Orang yang bertayamum sah mengimami shalat orang yang berwudhu, karena Amr bin Al-Ash pun pernah mengimami shalat pasukan tentara, dimana ketika itu ia bersuci dengan bertayamum, sedangkan para tentara yang shalat bersamanya bersuci dengan berwudhu. Selanjutnya hal itu dilaporkan kepada Rasulullah Saw, dan beliau tidak mengingkarinya. 8) Imamah musafir (orang yang dalam masa bepergian) Musafir sah mengimamishalatnya muqim (berada di daerahnya). Tetapi bagi muqim, jika ia di belakang musafir, maka ia dianjurkan menyempurnakan shalatnya setelah imam menyelesaikan shalatnya. Karena Rasulullah Saw pernah mengimami shalatnya penduduk Makkah, padahal saat itu beliau adalah musafir.Setelah shalat selesai beliau bersabda, “Hai penduduk Makkah, sempurnakanlah shalat kalian, karena kami ini adalah kaum musafir”. Sedangkan jika musafir shalatnya di belakang muqim, maka dia (harus) menyempurnakan shalatnya (tidak diqashar). Ketika Ibnu Abbas ditanya mengenai menyempurnakan shalatnya di belakang muqim, maka ia menjawab, “Itu adalah sunnah Abu Al-Qasim (Nabi Saw). 9) Berdirinya makmum bersama imam Apabila seorang laki-laki bermakmum kepada laki-laki, maka ia berdiri disamping kanannya. Begitu juga halnya dengan seorang wanita yang bermakmum kepada seorang wanita, maka ia berdiri disamping kanannya. Adapun jika dua orang atau lebih bermakmum, maka mereka berdiri di belakang imam. Sedangkan jika sejumlah laki-laki dan sejumlah wanita bercampur dan menjadi makmum, maka makmum laki-laki berdiri di belakang imam, sedangkan makmum wanita berdiri di belakang mereka. Kemudian jika makmumnya terdiri dari seorang laki-laki serta seorang wanita, maka makmum laki-laki berdiri di samping kanan imam, meskipun ia seorang anak kecil yang baru mumayyiz (sudah dapat membedakan sesuatu), sedang makmum wanita berdiri di belakang keduanya. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “Sebaik-baik shaf makmum laki-laki ialah shaf yang pertama dan seburuk-buruknya ialah shaf yang terakhir, sedangkan sebaik-baik shaf makmum wanita ialah shaf yang terakhir dan seburuk-buruknya ialah shaf yang pertama”. Juga berdasarkan praktik yang dilakukan Rasulullah Saw dimana dalam sebuah peperangan beliau melaksanakan shalat, lalu Jabir datang dan berdiri dari samping kiri beliau, lalu beliau memindahkannya sehingga posisinya berada di samping kanan beliau, dan tidak lama setelah itu datang Jabbar bin Shakhar dan langsung berdiri di samping kiri beliau, lalu beliau menarik keduanya dan memposisikan keduanya hingga berada di belakang beliau. Juga berdasarkan penuturan Anas, bahwa suatu saat Nabi Saw shalat mengimaminya dari ibunya, dimana beliau memposisikan dirinya di sebelah kanan beliau dan memposisikan si wanita (ibunya) di belakang kami. Juga berdasarkan penuturannya, bahwa suatu ketika aku menunaikan shalat, dimana aku dan seorang anak yatim berdiri di belakang Rasulullah Saw dan seorang nenek berdiri di belakang kami. 10) Pembatas imam menjadi pembatas bagi orang yang ada di belakangnya (makmum) Apabila imam shalat menghadap pembatas, maka makmum tidak perlu memakai pembatas lagi.Karena suatu ketika Nabi Saw menancapkan sebuah tombak, lalu beliau shalat menghadap ke arahnya, dan beliau tidak menyuruh seorang sahabat pun supaya meletakkan pembatas lainnya. 11) Wajibnya mengikuti imam Diwajibkan atas makmum mengikuti imam, dan diharamkan mendahuluinya, serta dimakruhkan menyamainya.Jika makum mendahului imam dalam takbiratul ihram, maka wajib atas makmum mengulangi takbiratul ihramnya .Jika tidak, maka shalatnya dihukumi batal. Demikian juga dihukumi batal, jika ia salam sebelum imam. Kemudian jika ia mendahului imam dalam rukuk atau sujud atau bangkit dari keduanya, maka diwajibkan atasnya mengulanginya, dimana ia rukuk atau sujud kembali setelah imamnya. Hal itu berdasarkan sabda Raulullah Saw: “Sesungguhnya imam itu ditunjuk tiada lain untuk diikuti, maka janganlah kamu berbeda dengannya. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah kamu. Jika ia rukuk, maka rukuklah kamu. Jika ia mengucapkan, “sami’allahu liman hamidah”, maka ucapkanlah olehmu, Allahumman rabbana wa lakal hamdu, jika ia sujud,maka sujudlah kamu. Kemudian jika ia shalat sambil duduk, maka shalatlah kamu semuanya sambil duduk. Juga sabda Rasulullah Saw: “Tidaklah salah seorang di antara kamu merasa takut, jika ia mengangkat kepalanya sebelum imam, bahwa Allah akan merubah kepalanya menjadi kepala keledai, atau merubah wajahnya menjadi wajah keledai”. 12) Penggantian imam dengan makmum karena adanya udzur (alasan yang dibolehkan agama) Jika pada pertengahan shalat, imam menyadari bahwa ia mempuyai hadats, atau telah terjadi hadats padanya, atau hidungnya mengeluarkan darah (mimisan), atau telah terjadi sesuatu yang membuatnya tidak dapat melanjutkan shalatnya, maka ia harus meminta kepada seorang makmum yang ada di belakangnya supaya menggantikan posisinya dan menyempurnakan shalatnya bersama jama’ah, kemudian keluar dari shalat (untuk bersuci). Dimana Umar pun pernah meminta Abdurrahman bin Auf supaya menggantikan posisinya sebagai imam ketika ditikam saat shalat. Ali pun pernah meminta seseorang supaya menggantikan posisinya sebagai imam karena mimisan yang dideritanya. 13) Imam harus meringankan shalat Dianjurkan terhadap imam supaya tidak memanjangkan bacaan shalat kecuali bacaan pada rakaat pertama, jika ia bermaksud supaya orang yang tertinggal dari jama’ah mendapatkan rakaat tersebut, karena terkadang Nabi Saw pun memanjangkannya. Hal itu berdasarkan sabda Nabi Saw: “Jika salah seorang di antara kamu shalatnya bersama (mengimami) orang-orang, hendaklah ia meringankan (bacaan), karena di antara mereka itu ada orang yang lemah, orang yang sakit dan orang yang sudah tua. Tetapi jika ia shalat sendirian, hendaklah ia memanjangkan (bacaan) menurut kehendaknya”. Asy-Syafi’i mengatakan: “Diriwayatkan dari Anas bin Malik, dia mengatakan: ‘Aku tidak pernah shalat di belakang seseorang sama sekali yang shalatnya lebih ringan dan lebih sempurna daripada Rasulullah Saw”. 14) Makruh imamahnya orang yang dibenci jama’ah Dimakruhkan bagi seseorang mengimami shalat orang-orang yang membencinya. Jika kebencian mereka berkaitan dengan masalah agama, berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “Ada tiga orang yang shalat mereka tidak diangkat sejengkal pun dari atas kepala mereka yaitu: Orang yang mengimami shalat suatu kaum di mana mereka membencinya, wanita yang tidur dalam keadaan suaminya murka kepadanya, serta dua saudara yang saling bermusuhan”. 15) Orang yang patut berdiri di belakang imam dan berbaliknya imam setelah salam Dianjurkan, bahwa orang yang berdiri di belakang imam adalah orang yang berilmu dan memiliki keutamaan, berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “Hendaklah benar-benar mendekatiku (dalam berjama’ah) yaitu orang dewasa dan berilmu di antara kalian”. Dianjurkan pula bagi imam setelah salam, supaya ia berbalik dari tempat shalatnya yang sebelah kanan serta menghadap mukanya ke arah jama’ah. Sebagaimanahal tersebut dilakukan oleh Nabi Saw, Abu Dawud, no.1041 dan at-Tarmizi, no. 301 telah meriwayatkan dari Qabishah bin Hulb dari bapaknya, seraya berkata, “Jika Nabi Saw mengimami kami, maka setelah salam beliau akan berpaling ke arah dua samping seluruhnya, ke samping kanan dan samping kirinya. 16) Meluruskan Shaf (barisan) Disunnahkan bagi imam dan makmum untuk meluruskan dan meratakan barisan hingga benar-benar lurus. Karena Rasulullah Saw menghadap ke arah orang-orang (makmum), seraya bersabda: “Rapatkanlah dan luruskanlah”. Beliau bersabda: “Luruskanlah shaf kalian, karena meluruskan shaf adalah bagian dari kesempurnaan shalat”. Beliau bersabda: “Hendaklah kamu benar-benar meluruskan shaf kalian, atau (kalau tidak) Allah akan merubah di antara muka-mukamu”. Beliau bersabda: “Tidak ada langkah yang paling besar pahalanya dari langkah yang dilakukan seseorang menuju celah shaf sehingga ia menutupinya (merapatkannya)”. C. Masbuq (makmum yang tertinggal) 1. Mengikuti imam menurut keadaan yang didapatinya Jika orang yang hendak menunaikan shalat memasuki masjid dan ia mendapati shalat sedang dilaksanakan, maka ia wajib memasuki masjid dengan segera dan mengikuti apa yang dilakukan imam sesuai dengan apa yang ditemukannya, baikdalam keadaan rukuk, sujud, duduk atau berdiri. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “Jika salah seorang di antara kalian mendatangi shalat dan ia mendapati imam sedang melakukan sesuatu, maka hendaklah ia melakukan sesuatu yang sedang dilakukan imam”. Meskipun hadits ini termasuk hadits dhaif, tetapi mayoritas ulama tetap mengamalkan kandungannya, karena didukung oleh beberapa riwayat yang lain yang mengikutinya. 2. Dihitung satu rakaat dengan didapatkannya rukuk Dihitung satu rakaat bagi makmum yang menemukan imam sedang rukuk, kemudian ia rukuk bersamanya sebelum imam bangkit dari rukuknya,berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “Jika kamu mendatangi shalat dalam keadaan kami sedang sujud, maka hendaklah kamu bersujud namun jangan kalian menganggapnya satu rakaat, dan barang siapa yang mendapatinya rukuk, berarti ia telah mendapatkan (satu rakaat) shalat”. 3. Mengganti rakaat yang tidak didapatkan setelah imam salam Setelah imam salam, hendaklah makmum (yang masbuq) mengganti rakaat shalat yang terlewat atau yang tidak didapatkannya bersama imam. Jika ia berkenan, maka ia dapat menjadikan rakaat yang terlewat sebagai rakaat terakhir shalatnya, berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “Apa yang kamu dapatkan (dari shalat imam), hendaklah kamu shalat (bersamanya), sedangkan apa yang terlewatkan darimu, hendaklah kamu menyempurnakannya”. Misalnya jika ia mendapatkan satu rakaat dari Shalat Magrib (bersama imam), hendaklah ia melakukan dua rakaat lagi, di mana rakaat pertama membaca Al-Fatihah dan surah, sedangkan rakaat yang kedua cukup membaca Al-Fatihah saja, lalu tasyahhud dan salam. Akan tetapi jika ia berkenan, maka ia dapat menjadikan rakaatnya yang tertinggal sebagai rakaat pertama shalatnya. Hal itu sebagaimana disinyalir dalam sabda Rasulullah Saw: “Apa yang terlewatkan darimu, hendaklah kamu qadha (ganti)”. Jika yang tertinggal itu, satu rakaat dari Shalat Maghrib, maka ia dapat menunaikan rakaat tersebut dengan membaca Al-Fatihah dan surah dengan suara keras, sebagaimana rakaat yang tertinggal, lalu tasyahhud dan salam. Sebagian ulama berkata, “Pendapat yang menjadikan rakaat yang tertinggal sebagai rakaat pertama dari shalatnya adalah pendapat yang lebih kuat”. 4. Bacaan Al-Fatihah makmum di belakang imam Makmum tidak diwajibkan membaca Al-Fatihah dalam shalat yang bacaan Al-Fatihah dan surahnya dibaca keras, bahkan disunnahkan diam, karena bacaan imam sudah cukup baginya, berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “Barang siapa yang mempunyai imam shalat berjama’ah), niscaya bacaan imam menjadi bacaannya”. Juga sabda beliau: “Mengapa aku dilawan pada (bacaan) Al-Qur’anku (dengan menyaingi dan mendahuluiku)”? Maka para sahabat tidak lagi membaca bacaan yang telah dibaca keras oleh beliau. Juga sabda beliau: “Sesungguhnya imam itu ditunjuk tiada lain untuk diikuti. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah kamu dan jika ia membaca Al-Fatihah dan surah maka diamlah kamu”. Akan tetapi disunnahkan bagi makmum membaca bacaan yang bacaannya tidak dikeraskan oleh imam sebagaimana disunnahkan bagi makmum membaca Al-Fatihah ketika imam diam. 5. Tidak boleh mengerjakan shalat sunnah ketika shalat wajib dimulai Tidak boleh mengerjakan shalat sunnah ketika shalat wajib dimulai. Jika wajib dimulai, dan seseorang sedang mengerjakan shalat sunnah, hendaklah ia menghentikannya, jika ia belum mendapatkan satu rakaat pun yang ditandai dengan bangkit dari rukuk. Jika tidak, hendaklah ia menyelesaikannya dengan segera, berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “Jika shalat wajib telah dimulai, maka tidak ada lagi shalat, kecuali shalatwajib”. 6. Orang yang telah memulai Shalat Ashar, tetapi ia belum Shalat Zhuhur Para ulama telah berbeda pendapat tentang ketentuan hukum orang yang belum Shalat Zhuhur, sementara ia telah memulai Shalat Ashar. Apakah orang itu shalat bersama imam dengan niat Shalar Zhuhur, kemudian setelah salam, ia berdiri kembali dan menunaikan Shalat Ashar? Atau ia shalat bersama imam dengan niat Shalat Ashar, kemudian setelah selesai ia berdiri kembali dan menunaikan Shalat Zhuhur serta Shalat Ashar secara berurutan dengan alasan memelihara urutan shalat? Jika saja tidak ada sabda Nabi Saw: “Janganlah kamu berbeda dengan imam”. Tentunya melakukan shalat bersama imam dengan niat Shalat Zhuhur lebih utama. Jadi tindakan yang lebih berhati-hati ialah melakukan shalat bersama imam dengan niat Shalat Ashar, lalu setelah selesai, ia berdiri kembali dan mengerjakan Shalat Zhuhur dan Shalat Ashar secara berurutan. Adapun shalat yang dilakukannya bersama imam dianggap sebagai shalat sunnah. 7. Makmum tidak boleh berdiri sendirian pada suatu shaf (barisan) Bagi makmum tidak dibolehkan berdiri sendirian di belakang suatu barisan. Jika ia tetap memilih untuk melakukannya, maka tidak ada shalat baginya, berdasarkan sabda Nabi Saw yang ditujukan kepada orang yang shalat sendirian di belakang suatu barisan, “Ulangilah shalatmu, karena tidak ada shalat bagi seseorang yang berdiri menyendiri di belakang suatu barisan”. Jika ia berdiri di samping kanan ima, maka hal itu tidak menjadi masalah. 8. Shaf (barisan) pertama itu lebih utama Dalam shalat disunnahkan berusaha supaya menempati shaf pertama dan berdiri di samping kanan imam. Hal itu berdasarkan sabda Nabi Saw: “Sesungguhnya Allah dan para malaikatNya mendoakan (orang yang shalat di) shaf pertama. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, yang di shaf kedua juga”?…dan pada ketiga kalinya Rasulullah Saw menjawab, “Juga shaf kedua”. 7. ADZAN DAN IQAMAH A. Adzan 1. Defenisi adzan Adzan adalah pemberitahuan mengenai telah tibanya waktu shalat dengan lafadz tertentu. 2. Hukum adzan Adzan merupakan salah satu wajib kifayah (kewajiban yang apabila dilakukan oleh sebagian orang, maka hal itu dianggap cukup serta dihukumi gugur dari yang lainnya) bagi penduduk suatu kota dan suatu kampung , bedasarkan sabda Rasulullah: “Jika telah datang waktu shalat, hendaklah salah seorang diantara kamu mengumandangankan adzan dan hendaklah orang yang paling tua diantara kamu mengimami shalat.” Bagi orang yang sedang bepergian yang sedang berada di padang pasir disunnahkan mengumandangkan adzan pada saat waktu shalat tiba, berdasarkan sabda Rasulullah: “jika kamu sedang mengembalakan kambingmu atau erada dipadang pasirmu, hendaklah kamu mengumandangkan adzan shalat (saat waktu shalat tiba) dan keraskanlah suaramu ketika mengumandangkannya, karena tidaklah jin, manusia dan sesuatu yang mendengar lengkingan suara muadzin, melainkan ia akan menjadi saksi baginya kelak pada Hari Kiamat.” 3. Lafazh adzan Adapun lafadz adzan sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw, kepada Abu Mahdzurah adalah berikut ini: اَكْبَرُاَللهُ,اَكْبَرُاَللهُ “ Allah mahabesar, Allah mahabesar” إِلَّااللهُ إِلٰهَ لاَاَنْ أَشْهَدُ,إِلَّااللهُ إِلٰهَ لاَاَنْ أَشْهَدُ “Aku bersaksi, bahwasanya tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah. Aku bersaksi, bahwasanya tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah.” اللهِ رَسُوْلُ امُحَمَّدً اَنَّ اَشْهَدُ “Aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah.” Syahadat sebanya dua kali dengan suara keras. (ini yang disebut dengan at-Tarji’) الْفَلاَحِ عَلَى حَيَّ,الصَّلاَةِ عَلَى حَيَّ “Mari kita menunaikan shalat, mari kita menunaikan shalat” الصَّلَاةُ قَامَتِ قَدْ ,الصَّلَاةُ قَامَتِ قَدْ “Sesungguhnya sudah hampir mengerjakan sholat.” Sedangkan pada saat subuh Nabi saw menambahkan kalimat: النَّوْمِ مِنَ خَيْرٌ اَلصَّلاَةُ, النَّوْمِ مِنَ خَيْرٌ اَلصَّلاَةُ “Shalat itu lebih baik dari pada tidur, shalat itu lebih baik dari pada tidur” اَكْبَرُاَللهُ,اَكْبَرُاَللهُ “Allah mahabesar, Allah mahabesar” إِلَّااللهُ إِلٰهَ لاَ “Tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah” 4. Persyaratan Muadzin Sebaiknya Muadzin itu adalah orang yang jujur, suaranya lantang dan mengethui waktu-waktu shalat. Saat mengumandangkan adzan, hendaklah ia mengumandangkannya dari tempat yag tinggi sperti menara dan yang lainnya. Hendaklah ia memasukkan kedua telunjuknya pada kedua lubang telinganya sambil menoleh kesamping kan dan kesamping kiri, seraya menyerukan kalimat: “Mari kita menunaikan shalat, mari kita menunaikan shalat” Kemudian hendaklah ia mengambil atas bayaran adzannya, kecuali dari baitul mal (kas Negara) atau wakaf. Imam hendaknya mendapatkan seorang muadzin yang amanah yang mengumadangkan adzan secara suka rela. Seandainya suatu daerah memiliki pendudukyang banya dan tidak ada seorangpun yang sempat mengumandangkan adzan secara suka rela, maka daerah itu boleh menggaji seseorang untuk menjadi muadzin. Gaji yang diberikan kepada muadzin tersebut hendaknya tidak lebih dai seperlima dari seperlima bagian Nabi Muhammad saw. Muadzin juga tidak boleh digaji dengan sesuatu yang lain seperti harta fai’. Karena masing-masing harta tersebut telah ditentukan pemiliknya. Imam Syafi’I berkata:”Seorang muadzin tidak boleh digaji dari uang sedekah. Seorang muadzin halal menerima gajinya jika sumber gajinya seperti yang saya jelaskan.” Orang yang boleh mengumandangkan adzan hanyalah orang yang adil dan dapat dipercaya, dan amanah dalam penentuan waktu-waktu shalat. Apabila ada seseorang yang belum baliqh mengumandangkan adzan maka adzannya sah. Seadainya seorang budak, seorang mukatib (budak yang memerdekakan diri secara mengangsur), atau orang merdeka mengumandangkan adzan makan adzannya berhukum sah. Perempuan tidak boleh mengumandangkan adzan. Seandainya ada perempuan mengumadangkan adzan untuk laki-laki maka adzannya berhukum tidak sah. Namun jika perempuan mengumandangkan adzan tidak dengan mengeraskan suara dan hanya diperdengarkan dengan dirinya juga kawan wanitanya (yang hendak melaksanakan shalat), diperbolehkan. 5. Hal-hal yang disunnahkan dalam adzan a. Tarassul, (tidak terburu-buru ketika adzan), serta Hadru (mempercepat bacaan ketika iqamah). Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah saw, yang ditujukan kepada Bilal, yaitu: “Jika kamu mengumandangkan adzan, hendaklah kamu memperlahankan, sedangkan jika kamu mengumandangkan iqamah, hendaklah kamu mempercepat bacaannya.” b. Menirukan bacaan muadzin dan muqim (orang yang mengumandangkan iqamah) dengan suara pelan. Dimana orang yang mendengarkan, hendaklah mengikuti lafadz muadzin dan muqim, kecuali saat dibacakannya lafazh, الْفَلاَحِ عَلَى حَيَّ,الصَّلاَةِ عَلَى حَيَّ “Mari kita menunaikan shalat, mari kita menunaikan shalat” الصَّلَاةُ قَامَتِ قَدْ ,الصَّلَاةُ قَامَتِ قَدْ “Sesungguhnya sudah hampir mengerjakan sholat.” Berdasarkan hadist yang diriwayatkan ileh Abu Dawud, no. 528: “Bahwa Bilal mulai mengumandangkan iqamah maka tatkala ia mengucapkan’sungguh shlat telah berdiri’, maka Nabi Menjawabnya, ‘semoga Allah tetap mendirikannya dan mengabadikannya’.” c. Berdoa memohon kebaikan setelah Adzan, berdasarkan keterangan pada hadis yang diriwayatkan oleh at-Tarmidzi, no.212, bahwa Rasulullah saw, bersabda: “Doa yang dipanjatkan antara adzan dan iqamah tidak akan ditolak” Kemudian dalam hadis lain dijelaskan baha setelah adzan magrib, Rasulullah saw, berdoa: “Ya Allah, saat ini adalah saat kedatangan malam-Mu dan saat kepergian siang-Mu serta saat suara-suara memanggil-Mu, maka ampunilah dosaku.” B. Iqamah 1. Hukum Iqamah Iqamah merupakan salah satu perbuatan sunnah yang dianjurkan pada tiap-tiap shalat wajib yang lima, baik yang dilakukan pada waktunya atau yang tertinggal, berdasarkan sabda Rasululah saw: “Tidaklah ada tiga orang disuatu kampung atau daerah pedalaman yang mereka tidak mendirikan shalat berjama’ah didalamnya, hendaklah kamu selalu mendirikan shalat berja’ah, karena serigala itu hanya aka menerkam kambing yang sendiri(terpisah dari kelompoknya).” 8. SHALAT QASHAR, JAMA’, ORANG SAKIT DAN DALAM KEADAAN GENTING A. Shalat Qashar 1) Pengertian shalat qashar Shalat qashar adalah shalat yang diringkas dari empat rakaat menjadi dua rakaat dengan tetap membaca al-Fatihah dan surat. Jadi shlat magrib dan shubuh tidak bisa di qashar. 2) Hukum shalat qashar Shalat qashar disyari’atkan berdasarkan Firman Allah, dalah surah an-Nisa’: 101: “Dan apabila kalian bepergian dimuka bumi, maka tidaklah mengapa kalian mengqashar shalat(mu).” Juga sabda Rasulullah: “(Shalat qashar) adalah sedekah yang disedekahkan Allah kepadamu, maka terimalah sedekahNya,” Qashar (dalam bepergian) lebih baik daripada shalat dengan jumlah rakaat lengkap, menurut pendapat mayoritas para ulama. Dalam shahiih al-Bukhari dan shahiih al-Muslim, dari ‘Aisyah r.a ia berkata: “shalat itu awalnya diwajibkan dua rakaat-dua rakaat, baik saat bepergian maupun saat tidak bepergian. Lalu dalam bepergian jumlah rakaat tersebut ditetapkan, sementara saat dak bepergian ditambah.” 3) Perjalanan yang disunnahkan mengqashar shalat didalamnya Nabi tidak membatasi jarak perjalanan yang didalamnya dibolehkan mengqasa shalat, tapi setelah para sahabat dan para tabi’in memperhatikan sejumlah jarak pejalanan Rasulullah yang didalamnya beliau melakukan qashar, mereka menyimpulkan jarak yang perbolehkan melakukan qashar adalah 48 mil. Seorang Musafir dibenarkan untuk mengqashar shalat, meskipun ia melakukan perjalanan berulang-ulang, seperti seorang kurir/tukang pos, atau supir kendaraan umum yang sebagian besar waktunya melakukan perjalanan ke berbagai kota. 4) Permulaan dan penutupan shalat qashar Musafir diperbolehkan mengqashar shalatnya semenjak ia keluar dari pemukimannya dan selama perjalanan hingga ia kembali lagi kedaerahnya. Kecuali jika ia berniat untuk menetap selama empat hari atau lebih, maka ia harus menyempurnakan shalatnya dan tidak boleh mengqashar. 5) Shalat sunnah dalam perjalanan Ketika seorang muslim bepergian, maka dibolehkan baginya meninggalkan sejumlah shalat sunnah rawatib dan lainnya, kecuali shalat sunnah shubur serta witir, dianggap tidak baik jika meninggalkannya. B. Shalat Jama’ 1. Hukum shalat jama’ Shalat jama’ merupakan shalat rukhshah (keringanan) yang boleh dilakukan, kecuali menjama’ dua shalat dzuhur (shalat dzuhur dan ashar) pada hari Arafah dia Aeafah serta menjama’ dua shalat Isya ( shalat magrib dan Isya) saat bermalam di muzdalifah. 2. Tata cara shalat jama’ Adapun tata cara menjama’ shalat ialah bahwa musafir hendaklah menunaikan shalat dzuhur dan Ashar dengan dijama’. Jika jama’ taqdim, maka maka ia menunaikannya pada waktu shalat dzuhur. Sedangkan jika jama’ ta’khir, maka ia menuanaikannya apada waktu Ashar. Atau menjama’ magrib dan isya. Tapi seseorang tidak diperbolehkan menjama’ shalat shubuh. Nabi Muhamad saw tidak pernah menjama’ shalat shubuh. Seorang musafir tidak boleh menjama’ dua shalat sebelum waktu shalat yang pertama tiba. Dibolehkan bagi penduduk sebuah daerah untuk menjama’ antara shalat magrib dan isya di mesjid pada mala diman hujan turun deras, atau udara terasa dingin sekali, atau angin berhembus kencang. Jika hal tersebut menyulitkan mereka untuk kembali kemesjid di waaktu isya. Karena Nabi Muhammad saw juga pernah menjama’ shalat magrib dan isya pada suatau malam, saat hujan turun deras. C. Shalat orang sakit Jika orang sakit tidak mampu berdiri dengan besandar kepada sesuatu, hendaklah ia shalat sambil duduk, jika tidak mampu duduk, maka berbaringlah (miring diatas lambung), jika tidak mampu, hendaklah ia shalat telentang dengan melonjorkan kedua kakinya menghadap kiblat, jika tidak mampu maka lakukanlah dengan isyarat. Allah tidak akan membebani seseorang, melainkan menurut kesanggupannya. Allah swt berfirman dalam surah al-Baqarah:238: “Peliharalah semua shalatmu, dan peliharalah shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” Setiap keadaan mengharuskan seseorang melaksanakan shalat sesuai dengan keadaannya. Apabila ia tertimpa sedikit kesulitan yang mampu ia tahan, maka tidak boleh melaksanankan shalat kecuali dengan apa yang diwajibkan Allah swt. Seorang imam boleh melaksanakan shalat dengan duduk ketikamenjadi imam bagi makmum yang sanggup shalat dengan berdiri. D. Shalat Khauf (dalam keadaan genting) 1) Ketentuan hukum syariatnya Shalat khouf disyari’atkan berdasarkan Firman Allah swt, dalam Qs. An-Nisa:102: “Dan apabila kamu berada ditengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat bersamamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk mengadap musuh) dan hendaklah dating golongan kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendakla mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.” Shalat khauf tidak boleh dilakukan dalam sebuah peperangan yang diharamkan. 2) Tata cara shalat khauf diperjalanan Tata cara shalat khauf tergantung berat atau ringannya kegentingan yang hadapi. Adapun tata cara shalat khauf yang paling masyur ialah saat peperangan berlangsung diperjalanan (didaerah musuh). Diamana pasukan tentaa dibagi menjadi dua kelompok. Seperti ayat yang tertera diatas. (an-Nisa’ ayat 102). 3) Tata cara shalat khauf ketika peperangan terjadi didaerah sendiri Jika peperangan terjadi didaerah sendiri, tidak diperbolehkan melakukan qashar, hendaklah kelompok pertama melaksanakan shalat dua rakaat bersama imam dan dua rakaat dilaksanakan sendiri. Selanjutnya kelompok kedua dating serta melaksanakan shalat dua rakaat bersama imam, kemudian imam duduk, sedangkan kelompok tersebut menyempurnakan shalatnya kemudian. Salam bersama imam. Shalat khauf boleh dilakukan bia memang diperlukan, baik saat dalam perjalanan maupun sedang bermukin, bila memang dikhawatirkan ada musuh yang menyerang. Karena factor yang memperbolehkan shalah khauf adalah adanya kekhawatiran, bukan adanya perjalanan. 4) Jika tidak mungkin membagi pasukan tentara karena peperangan sedang berkecamuk dan situasi sangat genting Jika kondisinya sangat genting dan tidak memungkinkan untuk membagi kelompok, maka hendaklah mereka melaksanakan shalat secara sendiri-sendiri dalam kondisi apapun, baik itu diperjalanan, berkenderaan, menghadap kiblat atau mengerah pada yang lainnya, dan mereka cukup melaksanakannya dengan isyarat, berdasarkan firman Allah. Qs al-Baqarah: 239): “Jika kalian dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkenderaan.” 5) Tentara muslim yang sedang mengintai musuh atau tawanan yang melarikan diri Bagi tentara muslim yang sedang mengintai musuh dan ia takut kan kehilangan jejaknya atau ia dikejar musuh dan takut akan tertangkap, hendaklah ia shalat dalam kondisi apapun, baik sambil berjalan atau berkendara, baik menghadap kiblat atu tidak. Begitu juga dengan orang yang menghawatirkan keselamatannya, binatangnya dan lain-lain.   BAB II PEMBAHASAN A. Hukum Shalat Jumat Shalat jum’at hukumnya wajib, berdasarkan firman Allah SWT “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada Hari jum'at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual beli." (Al-Jumu'ah: 9).” Kemudian berdasarkan sabda Rasulullah "Hendaklah kaum-kaum menghentikan kebiasaan meninggalkan Shalatjum'at, atau Allah akan menutup rapat hati mereka, lalu mereka benar-benarmenjadi orang-orang yang lalai.” Juga sabda Rasulullah "Shalat Jum'at adalah hak yang wajib atas setiap Muslim yang dilakukan secaraberjama' ah, kecuali empat orang (yang tidak diwajibkan): Hambasahaya, wanita, anak kecil, atau orang sakit” B. Hikmah Disyari’atkannya Shalat Jum'at Adap di antara hikmah disyari’atkannya Shalat Jum'at adalah mengumpulkan orang-orang dewasa yang mampu mengemban tanggung jawab di antara penduduk suatu daerah atau suatu perkampungan setiap minggu di suatu tempat untuk mengetahui setiap ketentuan dan keterangan yang berkaitan dengan hal-hal yang ditemukan dan peristiwa yang terjadi yang diutarakan oleh imam kaum Muslimin dan khalifah mereka yang terkait dengan kemaslahatan urusan agama dan dunia mereka. Juga mereka dapat mendengar anjuran serta peringatan, janji serta ancaman Allah yang dapat membangkitkan semangat mereka serta mendorong mereka supaya menunaikan sejumlah kewajiban mereka serta mendorong mereka supaya merunaikannya dengan sungguh-sungguh dan penuh Ketentuan selama satu minggu. Hikmah-hikmah tersebut dapat terlihat nyata bagi orang yangmau merenungkan sejumlah persyaratan serta kekhususan Shalatjum'at. Karena di antara persyaratannya terkait erat dengan keberadaan suatu perkampangan, suatu jama'ah, suatu masjid dan persatuannya. Kemudian keberadaan khutbahnya yang disampaikan khalifah atau penguasa diharamkaranya berbicara saat pelaksanaannya serta gugur orang sakit Mengingat membebani mereka dengan kewajiban tersebut dipandang tidak sempurna, dan mereka tidak termasuk orang-orang yang mampu menunaikan sejumlah tanggung jawab serta beberapa kewaiban yang disampaikan di atas mimbar. C. Keutamaan Hari Jum'at Hari Jum’at merupakan hari yang utama serta agung, dan sebaik-baik hari dunia, sebagaimana Rasulullah telah bersabda, “Selaik-baik hari yang di dalaminya matahari terbit (hari dunia) ialah Hari Jum’at, dimana pada hari itu Nabi Adam diciptakan, dimasukkan ke surga dan dikeluarkan dari surga dan kiamat tidak akan terjadi kecuali pada Hari Jum’at.” Jadi sudah semestinya mengagungkannya dengan mengagungkan Allah, memperbanyak amal shalih dan menjauhkan diri dari segala keburukan. D. Etika dan Hal-hal yang Patut Dilakukan Pada Hari Jum'at Oleh Orang yang Akan Menghadiri Shalat Jum'at 1. Mandi bagi setiap orang yang akan menghadiri Shalat Jum’at, berdasarkan sabda Rasulullah “Mandilah Jum’at itu diwajibkan atas setiap orang yang telah ihtilam (baligh).” 2. Mengenakan pakaian yang bersih dan memakai minyak wangi, berdasarkan sabda Rasulullah, “Diwajibkan atas setiap Muslim mandi pada Hari Jum'at, memakai pakaian yang bersih dan jika ia memiliki minyak wangi, maka hendaklah ia memakainya” 3. Berangkat pagi-pagi ke masjid bagi orang yang akan menghadiri Shalat Jum'at sebelum tiba waktunya, berdasarkan sabda Rasulullah, “Barangsiapa yang mandi pada Hari Jum'at sebagaimana mandi jinabah, kemudian berangkat pada waktu yang pertama; maka seakan-akan ia berkurban dengan seekor unta, barangsiapa yang berangkat pada waktu yang kedua; maka seakan-akan ia berkurban dengan seekor sapi, barangsiapa yang berangkat pada waktu yang ketiga, maka seakan-akan ia berkurban dengan seekor kambing yang bertanduk, barangsiapa yang berangkat pada waktu yang keempat, maka seakan-akan ia berkurban dengan seekor ayam, dan barangsiapa yang berangkat pada waktu yang kelima, maka seakan-akan ia berkurban dengan sebutir telur. Jika imam telah datang, niscaya para malaikat datang untuk mendengarkan peringatan (khutbah)” 1861 4. Shalat sunnah empat rakaat atau lebih ketika masuk masjid. “Tidaklah seseorang mandi pada Hari Jum at, bersuci menurut kesang gupannya dan memakai minyak wangi atau wewangian yang ada di rumahnya kemudian ia berangkat ke masjid dengan tidak memisahkan di antara dua orang (yang duduk), lalu menunaikan shalat yang diwajibkan kepadanya, lalu diam saat imam sedang Khutbah, kecuali dosanya akan diampuni dari Hari Jum’at hingga Hari Jum'at lainnya, (selama ia tidak mengerjakan perbuater dosa besar).” 5. Menghentikan bacaan dan perbuatan sia-sia seperti mempermainkan kerikil dan lain-lain ketika imam berkhutbah, berdasarkan sabda Rasulullah, “Jika kamu berkata kepada sahabatmu pada Hari Jum'at pada saat imam sedang khutbah, 'Diamlah!' Maka sungguh kamu telah melakukan perbuatan yang sia-sia.” Kemudian sabda beliau “Barangsiapa yang mengusap-usap kerikil (untuk membersihkan tempat Sufudnya), niscaya ia telah melakukan perbuatan yang sia-sia, sedang barang siapa yang melakukan perbuatan yang sia-sia, maka dia tidak mendapatkan (pahala) Shalat Jum'at.” 6. Jika seseorang memasuki masjid ketika imam sedang khutbah, hendaklah ia shalat sunnah tahiyyatul masjid dua rakaat dengan ringan. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah, “Jika salah seorang di antara kalian memasuki mesjid pada Hari Jum’at ketika imam sedang khutbah, hendaklah ia rukuk (shalat) dua rakaat dan hendaklah melakukannya dengan ringan pada keduanya.” 7. Makruh melangkahi pundak jamaah yang telah duduk lebih dahulu serta memisahkan di antara mereka, berdasarkan sabda Rasulullah yang ditunjukan kepada seseorang yang melangkahi pundak orang-orang, “... dan handaklah ia tidak memisahkan di antara dua orang.” (hadist yang sama). 8. Haram melakukan transaksi jual beli ketika diseru untuk menunaikan shalat Jum’at. Hal itu berdasarkan Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada Hari Jum’at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual beli.”(Al-Jumu’ah: 9) 9. Disunnahkan untuk membaca Surat al-Kahfi pada malam Jum’at dan siang harinya, berdasarkan sabda Rasulullah, “Barangsiapa yang membaca surah al-kahfi pada Hari Jum’at (dan malam harinya), niscaya Allah akan meneranginya dengan sebuah cahaya di antara dua Jum’at itu. 10. Memperbanyak membaca shalawat atas Nabi, berdasarkan sabda Nabi, “Memperbanyak membaca shalawat atasku pada Hari Jum’at dan pada malamnya. Barangsiapa yang melakukan hal tersebut, niscaya aku akan menjadi saksi dan pemberi syafa’at baginya pada Hari Kiamat.” 11. Memperbanyak doa pada Hari Jum’at, dikarenakan di dalamnya terdapat satu waktu dikabulkannya doa. Sehingga orang yang berdoa tepat pada waktu itu, niscaya Allah akan mangabulkan doanya dan memberikan sesuatu yang dimintanya, berdasarkan sabda Rasulullah, “Sesungguhnya pada hari jum’at terdapat satu saat, dimana tidaklah seorang muslim memohon suatu kebaikan kepada Allah tepat pada saat itu, melainkan Allah akan memberikan sesuatu yang dimohonkannya tersebut”. Menurut suatu pendapat bahwa saat tersebut adalah semenjak imam datang hingga shalat jum’at selesai, dan menurut pendapat lain ialah setelah Ashar. E. Syarat-syarat Wajib Jum'at 1. Laki-Laki. Jadi tidak diwanbkan atas wanita 2. Merdeka. Jadi tidak diwajibkan atas hamba sahaya. 3. Baligh. Jadi tidak diwaibkan atas anak kecil 4. Sehat. Jadi tidak diwajibkan atas orang sakit yang tidak mampu menghadirinya 5. Berada di tempat. Jadi tidak diwajibkan atas musafir (orang yang bepergian). Semuanya itu berdasarkan sabda Nabi, “Shalat Jum’at adalah hak yang diwajibkan atas setiap orang Islam, kecuali empat orang yaitu: hamba sahaya, wanita, anak kecil serta orang sakit” Kemudian sabda Nabi, “Barang siapa yang beriman kepada Aallah Swt dan Hari akhir, maka diwajibkan atasnya Shalat Jumat pada hari jumat, kcuali orang sakit, musafir orang yang bepergian, wanita, anak kecil dan hamba sahaya”. Semua orang yang disebutkan serta setiap orang yang tidak diwajibkan atas mereka menunaikan Shalat Jum at, dibolehkan menunaikannya besama imam serta dianggap gugur darinya kewajiban Shalat Zhuhur. Ketentuan terebut berlaku untuk selamanya. F. Syarat Sahnya Shalat Jumat 1. Dilaksanakan di suatu perkampungan. Jadi tidak sah Shalat jumat yang dilaksanakan di daerah pedalaman atau dalam perjalanan, karena pada masa Rasulullah tidak pernah dilaksanakan Shalat jumat, kecuali di suatu kota atau di suatu perkampungan, dan Nabi tidak pernah memerintahkan penduduk daerah pedalaman supaya menunaikannya, dan berdasarkan mayoritas perjalanan beilau tidak ada keterangan yang menjelaskan bahwa beliau menunaikan Shalat Jum’at selamamya. 2. Dilaksanakan di masjid. Jadi tidak sah menunaikan Shalat jumat dalam suatu bangunan dan juga halamnnya yang selain masjid. Hal itu dimaksudkan agar kaum muslimin tidak kepanasan atau kedinginan yang dapat yang dapat mengganggu kesehatan mereka. 3. Khutbah. Jadi tidak sah Shalat Jum’at tanpa adanya khutbah karena Shalat Jum'at tidak disyari'atkan, kecuali karena adanya khutbah. G. Shalat Jum'at Tidak Diwajibkan Atas Orang yang Jauh Dari Suatu Perkampungan Shalat Jum’at tidak diwajibkan atas orang jauh dari suatu kota atau suatu petkampungan, yang di dalamnya didirikan Shalat Jum’at dengan jarak lebih dari 3 mil. Hal itu berdasarkan sabda Nabi, “Shalat Jum’at diwajibkan atas orang yang mendengar seruan (adzan)”. Pada umumnya jangkauan suara seorang muadzin (tanpa memkai pengeras suara) tidak lebih dari 3 mil 4,5 km. H. Orang yang Hanya Mendapatkan Satu Rakaat Shalat Jum’at atau Kurang Dari Itu Jika seorang makmum tertinggal dalam Shalat Jum’at dan ia mendapatkan satu rakaat darinya, maka hendaklah ia mengerjakan rakaat kedua setelah imam salam, dan hal itu dibolehkan, berdasarkan sabda Rasulullah, “Barangsiap yang mendapatkan satu rakaat dari suatu shalat, berarti ia mendapatkan seluruhnya”. Sedangkan jika seorang makmum hanya mendapatkan kurang dari satu rakaat misalnya ia mendapatkan imam sedang sujud (pada rakaat terakhir), hendaklah ia meniati shalatnya dengan niat Shalat Zhuhur, dan menyempurnakan sahalatnya sebanyak empat rakaat setelah imam salam. I. Jumlah Penyelenggaraan Jama'ah Shalat Jum’ar di Suatu Daerah. Jika masjid raya sudah tidak mampu menampung jama’ah dan tidak dapat diperluas lagi, maka dibolehkan mendirikan jumatan di suatu masjid atau di sejumlah masjid lainnya di daerah tersebut. J. Tata Cara Shalat Jum'at Tata cara pelaksanaan Shalat Jum’at ialah sebagai berikut ini: Imam memasuki masjid setelah matahari tergelincir, kemudian ia naik mimbar dan mengucapkan salam pada jama’ah. Setelah itu imam duduk dan muadzin mengumandangkan adzan sebagaiman adzan Shalat Zhuhur. Setelah muadzin selesai mengumandangkan adzan, maka imam berdiri serta menyampaikan khutbah yang dibuka dengan kalimat pujian serta sanjungan kepada Allah, lalu membaca shalaat atas Nabi Muhammad sebagai hamba Allah dan RasulNya, lalu menasehati menasihati jama'ah dan mengingatkan mereka dengan suara yang keras (lantang), lalu memerintahkan supaya melaksanakan perintah Allah dan menjauhi laranganNya, lalu menganjurkan dan memperingtkan jama'ah, lalu menyebutkan janji dan ancaman Allah. Setelah itu, imam duduk sebentar, lalu berdiri kembali dan memulai khutbahnya (yang kedua) dengan pujian dan sanjungan kepada Allah, lalu melanjutkan khutbahnya yang disampaikan dengan suara yang sama sebagaimana saat menyampaikan khutbah yang pertama seukuran dengan suara komando pada pasukan tentara hingga selesai khutbahnya dan tidak selayaknya memanjangkan khutbahnya, lalu imam berdiri dan muadzin mengumandangkan iqamat shalat, lalu imam shalat (Jum'at) bersama jama’ah dua rakaat dengan mengeraskan bacaan al-Fatihah dan surat pada keduanya. Sebaiknya pada rakaat pertama setelah membaca al-Fatihah, imam membaca surat al-A’la, lalu pada rakaat kedua membaa surat al-Ghasyiyah dan sejenisnya. MATERI KESEBELAS SHALAT WITIR, SHALAT SUNNAH SHUBUH, SHALAT RAWATIB (YANG MENGIRINGI SHALAT WAJIB) DAN SHALAT MUTLAK A. Shalat Witir 1. Hukum dan definisi shalat witir Shalat witir termasuk shalat sunnah yang dianjurkan sekali, dan tidak semestinya seorang Muslim meningsgalkannya dalam kondisi apapun. Dalam praktiknya hendaklah seorang Muslinm menjadikan shalat witir sebagai penutup shalat sunnah malamnya, yang dikerjakan setelah Shalat Isya. Karena shalat tersebut hanya satu rakaat sehing disebut shalat witir (ganjil) berdasarkan sabda Rasulullah, “Shalat malam itu dua rakaat, dan jika sålah seorang diantara kamu merasakan khawatir bahwa Shalat Shubuh tiba, hendaklah ia shalat satu rakaat sebagai shalat-shalat sunnah yang dilakukannya”. 2. Shalat sunnah yang dikerjakan sebelum shalat witir Di antara hal yang disunnahkan adalah mengerjakan shalat sunnah terlebih dahulu sebelum ditutup dengan shalat witir, dua rakaat atau lebih hingga sepuluh rakaat, lalu mengerjakan shalat witir, sebagaimana dilakukan oleh Nabi yang dijelaskan dalam salah satu hadits shahih (Muslim, no. 736). 3. Waktu shalat witir Waktu shalat witir adalah setelah Shalat Isya hingga sebelum fajar terbit, tetapi mengerjakannya di penghujung malam lebih utama daripada di permulaannya, kecualii bagi orang yang merasa khawatir tidak dapat bangun, berdasarkan sabda Nabi, “Barangsiapa diantara kamu yang menduga tidak dapat bangun di penghujung malam, hendaklah ia shalat witir di permulaannya, dan barangsiapa di antara kamu yang menduga akan dapat bangun di perighurung malam, hendaklah ia shalat witir di penghujung malam, karena shalat (sunnah) di penghujung malam itu dihadari (para malaikat) dan ia lebih utama”. 4. Orang yang tertidur hingga waktu Shubuh dan tidak sempat menunaikan shalat witir Jika seorang Muslim tidak sempat melaksanakan shalat witir, karena tertidur pulas dan tidak bangun hingga waktu shubuh, hendaklah ia menggantinya sebelum Shalat Shubuh, berdasarkan sabda Rasulullah, “ Jika salah seorang di antara kamu bangun setelah waktu shubuh tiba, dan ia belum shalat witir, hendaklah ia shalat witir” Juga sabda beliau “Barangsiapa yang tidur sebelum shalat witir atu lupa, hendaklah ia shalat witir saat ingat”. 5. Bacaan dalam shalat witir Dalam dua rakaat shalat witir, setelah membaca al-Fatihah, disunnahkan membaca surat al-A'la dan al-Kafirun pada rakaat pertama dan membaca surat al-Ikhlas dan al-Mu'awwidzatain (al-Falaq dan an-Nas) pada rakaat kedua. 6. Makruh mengerjakan shalat witir berulang kali dalam satu malam Makruh mengerjakan shalat witir berulang kali dalam satu malam, berdasarkan sabda Rasulullah, “Tidak boleh ada dua shalat witir dalam satu malam”. Jadi seseorang yang telah mengerjakan shalat witir”. Jadi seseorang yang telah mengerjakan shalat witir pada permulaan malam, lalu ia terbangun dan hendak mengerjakan shalat sunnah, hendaklah ia mengerjakan shalat sunnah malamnya, dan tidak perlu mengulangi shalat witirnya, berdasarkan sabda Rasulullah, “Tidak boleh ada dua shalat witir dalam satu malam”. Sebagaimana telah disebutkan diatas. B. Shalat Sunnah Fajar (Shubub) 1. Hukum shalat sunnah fajar Shalat sunnah Fajar termasuk shalat sunnah yang sangat dianjurkan seperti halnya shalat witir. Karena ia merupakan permulaan shalat witir. Karena ia merupakan permulaaan shalat siang bagi seorang muslim. Sedangkan shalat witir merupakan penutup shalat malam hari. Nabi menguatkannya melalui tindakannya, di mana beliau senantiasa memeliharanya dan tidak pernah meninggalkannya sama sekali, dan beliau menganjurkannya melalui sabdanya. ”Dua rakaat shalat sunnah Fajar lebih baik daripada dunia. Juga sabda beliau, “Janganlah kalian meninggalkan dua rakaat shalat sunnah Fajar sekali pun kamu sedang dikejar oleh kuda (musuhmu). 2. Waktu shalat sunnah fajar Adapun waktu pelaksanaan shalat sunnah Fajar adalah di antara terbit Fajar dan Shalat Shubuh. Bagi seseorang yang tertidur hingga matahari terbit atau lupa dan tidak sempat mengerjakannya, hendaklah ia mengerjakannya ketika ingat, kecuali setelah memasuki waktu zawal (tergelincirmya matahari), maka ketika itu waktu pelaksanaannya telah gugur atau habis, berdasarkan sabda Rasulullah, “Barangsiaapa yang belum mengerjakan dua rakaat shalat sunnah fajar hingga matahari terbit, hendaklah ia mengerjakan dua rakaat”. Dalam suatu peperangan Rasulullah Saw dan para sahabatnya tertidur pulas dan tidak bangun hingga matahari terbit, maka mereka bargeser sedikit dari tempat mereka, dan Rasulullah Saw memerintahkan kepada bilal supaya mengumandangkan adzan, lalu beliau mengerjakan dua rakaat shalat sunnah sebelum shalat subuh, lalu beliau berdiri dan mengerjakan shalat subuh. 3. Tata Cara Pelaksanaan Shalat Sunnah Fazar (shubuh) Shalat sunnah Fazar adalah dua rakaat shalat sunnah yang dilakukan dengan ringan (segera) dengan membaca surat Al-Kafirun pada rakaat pertama membaca surat Al-Ikhlas pada rakaat kedua setelah membaca Al-Fatihah yang dibaca dengan suara pelan. Jika seseorang hnya membaca Al-Fatihah saja, hal itu dibolehkan, berdasarkan keterangan Aisyah. “Rasulullah Saw biasa mengerjakan dua rakaat shalat sunnah sebelum shalat shubuh dan meringankan keduanya sehingga aku merasa ragu, apakah beliau membaca al-fatihah atau tidak?” Penuturan Aisyah dalam Riwayat lain: “Rasulullah Saw biasa membaca surat al-kafirun serta al-ikhlas pada dua rakaat shalat sunnah shubuh, dan beliau membaca keduanya dengan suara pelan. C. Shalat Sunnah Rawatib Shalat Sunnah Rawatib adalah sholat sunnah sebelum dan sesudah sholat wajib yaitu: dua rakaat seblum zuhur dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sebelum ashar, dua rakaaat sesudah maghrib serta dua rakaat atau empat rakaat sesudah isya, berdasarkan keterangan ibnu Umar ra, seraya berkata : “Aku telah hafal dari Nabi Saw 10 rakaat shalat sunnah yaitu: Dua rakaat sebelum zuhur, dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah maghrib yang beliau kerjakan dirumahnya, dua rakaat sesudah isya serta dua rakaat sebelum shubuh” Juga berdasarkan keterangan Aisyah, “Rasulullah Saw tidak pernah meninggalkan empat rakaat sebelum zhuhur” Juga berdasarkan Rasulullah Saw, “Diantara dua adzan (Adzan dan Iqomah) terdapat shalat (sunnah).” Juga bersabda belia, “Semoga Allah merahmati orang yang menunaikan empat rakaat shalat sunnah sebelum ashar.” D. Shalat Tathawwu’ atau Shalat Sunnah Mutlak 1. Keutamaan shalat tathawwu’ atau shalat sunnah mutlak Dalam shalat sunnah mutlak terkandung suatu keutamaan yang besar, sebagaimana Rasulullah bersabda, “Allah tidak mengijinkan (dengan mendengar dan menerima) suatu ibadah terhadap seorang hamba yang lebih utama daripada dua rakaat shalat sunnah yang akan dikerjakannya, sesungguhnya kebaikan akan ditaburkan diatas kepala seorang hamba, selama ia berada di dalam shalatnya.” Juga sabda beliau yang ditunjukkan kepada seseorang yang bertanyak mengenai amalan yang dapat menyandingkannya dengan beliau kelak di surga, “Bantulah aku untuk (memperoleh keinginan) Mu dengan memperbanyak sujud.” 2. Hikmah shalat sunnah Mutlak Adapun diantara hikmah shalat sunnah mutlak adalah menambah kekurangan dalam shalat wajib, sebagaimana Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya amal manusia yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah shalat, dimana rabb kita akan berfirman kepada para malaikat dan dia maha mengetahui (segala sesuatu), ‘lihatlah shalat hambaku apakah telah sempurnah atau masih ada kekurangan?’ jika telah sempurnah, niscaya ditulis telah sempurnah.Tapi jika masih ada kekurangan niscaya Allah berfirman, ‘ lihatlah, apakah para hambaku terdapat shalat sunnah?’ jikaa padanya terdapat shalat sunnah, maka Allah berfirman, ‘sempurnakanlah (kekurangan dalam) shalat wajib hambaku dengan shalat sunnah nya. ‘Kemudian dilakukan hisab pada amal lainnya sesuai denagan hal itu” 3. Waktu shalat sunnah mutlak Malam dan siang adalah waktu untuk mengerjakan shalat sunnah mutlak selain lima waktu yang tidak ada shalat sunnah didalmnya, yaitu: a. Setelah terbit fajar hingga terbit matahari b. Dari terbit matahari hingga matahari naik sekitar satu tombak (sepenggalan). c. Tengah hari hingga matahari tergelincir d. Sehabis waktu ashar hingga sinar matahari berwarna-berwarna kekuning kuningan e. Ketika sinar matahari berwarna kekuning kuningan hingga matahari terbenam. Ketentuan tersebut berdasarkan sabda Rasulullah yang ditujukan kepada Amr bin Abasa yang bertantak kepada beliau waktu shalat, seraya bersabda, “Kerjakanlah shalat shubuh, kemudian setelah itu tahanlah dirimu dari shalat hingga matahari terbit dan meninggi, karena matahari itu terbit diantara dua tanduk setan dan saat itu orang-orang kafir sedang bersujud keadanya. Diri(para malaikat) hingga panjang bayangan 4. Mengerjakan shalat sunnah mutlak sambil duduk Shalat sunnah boleh dilakukan sambil duduk, hanya saja pahala orang yang mengerjakannya sambil duduk setengah dari pahala orang yang mengerjakannya sambil berdiri. Hal itu berdasarkan sabda Nabi “(Pahala) shalat seseorang yang dilakukan sambil duduk adalah setengah dari (pahala) shalat (dengan berdiri)”. 5. Macam-macam shalat tathawwu a) Shalat sunnah Tahiyyatul Masjid, berdasarkan sabda Rasulullah "Jika salah seorang dari kalian memasuki masjid, Ihendaklah dia tidak (Langsung) duduk sehingga shalat (sunnah) dua rakaat (dahulu) b) Shalat Dhuha yaitu empat rakaat atau lebih hingga delapan rakaat. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah "Sesunggulinya Allah berfirnan, Hai Ibnu Adam, rukuklah (shalatLah) kamu kepadaKu empat rakaat pada awal siang, niscaya Aku akan melindungimu pada akhir siang' c) Shalat Tarawih, berdasarkan sabda Rasulullah “Barangsiapa yang mengerjakan shalat (sunnah) pada bulan Ramadhan atas dasar iman dan mengharapkan pahala dari Allah, niscaya akan diampuni dosanya yang telah lalu” d) Shalat dua rakaat setelah wudhu, berdasarkan sabda Rasulullah "Tidaklah seorang Muslim berwudhu, lalu ia menbagunkan wudhunya, melainkan (pasti) Allah mengampunt dosanya di antara wudunya saat itu hingga shalat berikutnya” e) Shalat dua rakaat di masjid sehabis bepergian. Hal itu sebagaimana dilakukan Rasulullah. Ka'ab bin Malik berkata: “Kebiasaan Rasulullah apabila datang dari bepergian adalah beliau memulainya (dengan shalat sunnah) di masjid lalu rukuk (shalat) dua rakaat di dalamnya” f) Dua rakaat shalat Taubat, berdasarkan sabda Nabi “Tidaklah sescorang melakukan suatu perbuatan dosa, lalu ia berdiri dan bersuci (berwudhu), lahu shalat dua rakaat, lalu memohon ampun kepada Allah, melainkan Allah mengampuni dosa yang diperbuatnya itu.” g) Dua rakaat sebelum Maghrib, berdasarkan sabda Nabi “Shalat (sunnah) lah kalian sebelum Maghrib." Selanjutnya beliau bersabda pada kali ketiga, “Bagi orang yang berkehendak”. h) Dua rakaat shalat istikharah, berdasarkan sabda Rasulullah, "Jika salah seorang dari kalian bersengaja (untuk menjalankan) suatu urusan, hendaklah ia rukuk (shalat) dua rakaat di luar shalat wajid , lalu ia berdoa: “Ya Allah, aku meninita pilhan kepadaMu dengan ilmuMu, aku meminta keputusan kepadaMu dengan kekuasaanMu dan aku meminta karuniaMu yang agung, karena sesungguhnya Engkau Mahakuasa sedang aku tidak kuasa dan Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui, dan Engkau Maha Mengetahui segala sesuatu yang ghaib. Ya Alah, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini baik bagiku, bagi agamaku, kehidupanku dan akibat akhir urusanku ini, maka tetapkanlah ia untukku dan mudahkanlah bagiku, lalu berkahilah aku di dalamnya. (Begitu juga),j ika Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk bagiku, bagi agamaku, kehidupankuku dan akibat akhir urusanku ini, maka palingkanlah ia dariku dan palingkanlah pula aku darinya, dan tetapkanlah untuku kebaikan apapun bentuknya dan ridhailah aku di dalamnya.” Hendaklah pelakunya menyebutkan hajatnya pada saat ia menyebutkan, “bahwa urusan ini...” i) Shalat Hajat. Jika seorang Muslim hendak memenuhi hajatnya, hendaklah ia berwudhu serta shalat dua rakaat, kemudian memohon hajatnya kepada Allah, berdasarkan sabda Rasulullah “Barang siapa yang berwudhu, lalu dia menyempunrnakan wudhunya kemudina shalat dua rakaat dengan menyenpurnakan keduanya, niscaya Allah akan member apa yang dimohonkannya, baik dalam waktu dekat atau dalam wajtu yang ditangguhkan” j) Shalat Tasbih empat rakaat. Setelah membaca al-Fatihah dan surat, hendaklah membaca: “Maha suci Allah, dan segala puji bagi Allah, dan tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, Allah Maha besar” sebanyak 15 X, ketika rukuk 10 X, ketika bangkit dari rukuk 10 X, ketika sujud 10 X (dua kali supud berarti 20 X), ketika duduk di antara dua sujud 10 X dan ketika duduk istirahat di antara dua rakaat 10 X Jadi jumlah tasbih pada tiap-tiap rakaat ialah 75 X, berdasarkan sabda Nabi yang ditujukan kepada pamannya al-Abbas “Hai Abbas, hai pamanku, maukah englau aku beri sesuatu?” Selanjutnya beliau memberitahukan tata cara shalat Tasbih kepada pamarnya, lalu bersabda, “Jika engkau mampu melakukannya satu kali setiap hari, maka lakukanlah. Jika engkau tidak mampu, maka lakukanlah sekali dalam setiap jum’at (seminggu). Jika engkau tidak mampu, maka lakunlah sekali dalam setahun. Jika engkau tidak mampu, maka lakukanlah sekali dalam sepanjang umurmu”. k) Sujud syukur. Jika seorang Muslim mendapatkan suatu nikmat, misalnya memperoleh sesuatu yang diinginkannya atau terhindar dari musibah, hendaklah ia bersujud kepada Allah sebagai ungkapan rasa syukur atas karunia nikmatNya. Karena ketika Rasulullah mendapatkan sesuatu yang membahagiakannya atau menyenangkannya, maka beliau bersujud sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah. Karena itu, saat Jibril datang kepadanya dan berkata, “Barangsiapa yg membaca shalawat kepadamu satu kali , niscaya Allah akan membaca shalawat (mencurahkan rahmat) kepadanya sepuluh kali”. Maka beliau sujud kepada Allah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Alla. l) Sajud Tilawah disunnahkan berdasarkan sabda Rasulullah, “Jika Ibnu Adam membaca ayat sajdah, niscaya setan kabur sambil menangis, seraya berkata, celaka, ia diperintahkan supaya bersujud, lalu dia pun bersujud, sehingga dia (berhak) mendapatkan surga, sedangkan aku diperintahkan supaya bersujud, tetapi aku membangkang, sehingga aku (berhak) mendapatkan neraka”. Ketika seorang Muslim membaca salah satu ayat sajdah, atau mendengarnya dari bacaan seseorang maka disunnahkan kepadanya bersujud satu kali sambil membaca takbir ketika menunduk sujud dan saat bangkit darinya, dan dalam sujudnya membaca, “Wajahku tersungkur untuk bersujud kepada Tuhan yang menciptakannya dan membentuknya, dan yang membuka pandengarannya dan penglihatannya dengan daya dan kekuatanNya. Mahasuci Allah sebaik-baiknya pencipta”. Adapun untuk menyempumakan pahala sujudnya, hendaklah ia melakukannya dalam keadaan suci dan menghadap kiblat. Adapun ayat-ayat al-Qur an yang memerintahkan supaya bersujud telah diketahui dalam lembaran-lembaran al-Qur an, yang seluruhnya ada 15 tempat, berdasarkan keterangan yang diturunkan Abdullah bin Amar bin al-Ash, “Bahwasanya Nabi pernah membaca 15 ayat sajdah yang terdapat dalam al-Qu’an, diantaranya: tiga ayat dalam al-Mufashhal (surat-surat pendek) dan dua ayat dalam surat al-Hajj”. C. Tata Cara Pelaksanaan Shalat Dua Hari Raya Adapun tata cara pelaksanaan shalat hari raya,bahwa hendaklah kaum muslim berangkat ke tempat shalat sambil mengumandangkan takbir hingga matahari meninggi dari tempat terbitnya sekitar beberapa meter. Selanjutnva imam berdiri menunaikan dua rakaat shalat tanpa adzan dan iqamah dengan tujuh kali takbir pada rakaat pertama berikut takbiratul ihra serta orang-orang bertakbir di belakangnya mengikuti takbirnya, lalu imam membaca al-Fatihah dan surat al-A’la dengan suara nyaring, lalu imam bertakbir sebanyak enam kali pada rakaat kedua termasuk takbir berdiri (takiirintiqal), lalu imam membaca al-Fatihah dan surat al-Ghasyiyah atau asy-Syams. Setelah salam, imam berdiri dan berkhutbah di hadapan jama'ah dan duduk sebentar di sela-sela khutbah. Dalam khutbahnya, hendaklah imam menasehati dan mengingatkan jama'ah sambil diselingi takbir. Ketika megawali khutbah hendaklah imam membukanya dengan menghaturkan pujian serta sanjungan kepada Allah. Pada khutbah Hari Raya Idul Fitri, hendaklah imam menganjurkan jama'ah supaya menunaikan zakat firah dan menjelaskan sebagian dari hukum-hukumnya. Sedang dalam khutbah Hari Raya Idul Adha, hendaklah imam menganjurkan jama'ah supaya menyembelih binatang kurban dan menjelaskan umur yang cukup pada hewan sembelihan. Setelah selesai jama'ah membubarkan diri mereka bersama imam, karena tidak ada shalat sunnah sebelum dan sesudahnya, kecuali bagi orang yang tertinggal shalat hari raya, maka ia harus menunaikan shalat hari Raya sebanyak empat rakaat. Hal itu berdasarkan keterangan yang diturunkan oleh Ibru Mas’ud, “Barangsiapa yang tertinggal shalat hari raya, hendaklah ia menunaikan shalat empat rakaat”. Sedangkan bagi seseorang yang mendapatkan sesuatu dari shalat hari rayanya bersama imamnya, meskipun hanya tasyahud, maka setelah imam salam, hendaklah ia berdiri serta menunaikan shalat dua rakaat, sehinga shalat yang dikerjakannya sama dengan yang tertinggal. MATERI KETIGA BELAS: SHALAT (GERHANA) KUSUF A. Hukum dan Waktu Shalat Gerhana Shalat gerhana merupakan shalat sunnah yang dianjurkan sekali baik bagi kaum laki-laki maupun bagi kaum wanita dan Rasulullah memerintahkannya melalui sabdanya. “Matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, dimana keduanya tidak akan gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Jika kamu melihat kejadian itu, maka shalatlah”. Adapun cara menunaikan shalat gerhana seperti shalat dua hari raya dan waktunya dimulai dari semenjak teradinya gerhana pada salah satu dari keduanya, matahari dan bulan sehingga keadaan terang kembali. Jika gerhana itu terjadi pada sore hari, di mana ketika itu menunaikan shalat sunnah sangat dimakruhkan, maka hendaklah menunaikan shalat dengan dzikir, istighfar, berserah diri dan doa. B. Hal-hal yang Disunnahkan Saat Terjadi Gerhana Ketika terjadi gerhana, maka disunnahkan memperbanyak dzikir, takbir, istiighfar, doa, sedekah, memerdekakan hamba salaya (budak), berbuat baik dan silaturahim, berdasarkan sabda Rasulallah “Matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, dimana keduanya tidak akan gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Jika kamu melihat kejadian itu, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, bersedekahlah dan shalatlah”. C. Tata Cara Shalat Gerhana Adapun tata cara pelaksanaan shalat gerhana Hendaklah orang-orang menunaikan shalat gerhana secara berjama'ah di masjid tanpa adzan dan iqamah. Tetapi tidak menjadi masalah mengumandangkan seruan dengan kalimat Selanjutnya mereka shalat gerhana bersama imam sebanyak dua rakaat, di mana pada tiap-tiap rakaat melakukan dua kali rukuk dua kali sujud dengan memanjangkan bacaan (surat), rukuk dan sujud. Jika gerhana hilang ketika sedang shalat, hendaklah mereka menyempurnakan shalatnya seperti layaknya shalat sunnah biasa. Dalam shalat gerhana tidak ada khutbah, tetapi imam boleh memberikan nasihat dan peringatan kepada mereka jika berkenan dan dipandang dengan baik. Aisyah berkata, “Pernah terjadi gerhana matahari di masa hidup Rasulullah, maka beliau pergi ke masjid, selanjutnya berdiri untuk menunaikan shalat, lalu beliau bertakbir, maka orang-orang pun membuat shaf di belakang beliau.Kemudian beliau membacasurat yng panjang. lalu bertakbir dan rukuk dalam waktu lama yang hmpir sama dengan pajang bacaan surat pertama, lalu mengangkat kepalanya sambil membaca, Allah maha mendengar orang yang memujinya. Wahai Tuhan kami, begiMu segala puji. Kemudian beliau berdiri kembali dan membaca surat yang panjang tetapi lebih pendek dari bacaan surat pertama, lalu bertakbir dan rukuk dalam waktu lama, tapi lebih pendek dari rukuk pertama lalu mengangkat kepala beliau sambil membaca Allah Maha Mendngar orang yang memujiNya. Wahai Tuhan kami, bagiMu segala puji lalu sujud (yang kedua). Selanjutnya beliau berdiri untak mengerjakan rakaat kedua, dan beliau pun mengerjakantnya seperti yang dilakukan persama. Selingga keselaruhan beliau melakukan.empat rukuk dan empat sujud. Dan matahari pun telalah terang kembali, sebelum beliau selesai shalat. Selanjutnya beliau berdiri dan menyampaikan khutbah di hadapan jama’ah, seraya menghaturkan pujian dan sanjungan kepada Allah, yang patut bagiNya. Selanjutnya beliau bersabda, ‘Matahari dan bulan adalah dua tanda diantara tanda-tanda kekuasaan Allah, dimana keduanya tidak gerhana karena kematian dan kelahiran seseorang. Maka jika kalian melihat keduanya gerhana, maka bersegeralah kamu menunaikan shalat”. D. Gerhana Bulan Ketentuan tentang tata cara pelaksanaan shalat gerhana bulan sama sebagaimana shalat gerhana matahari, berdasarkan sabda Nabi sebagaimana telah disebutkan diatas, “Jika kamu melihat keduanya terjadi gerhana, maka bersegerahlah kamu menunaikan shalat (gerhana)”. Akan tetapi sebagian ulama menganggap shalat gerhan bulan itu seperti halnya shalat-shalat sunnah yang lainnya yang dilaksanakan sendiri-sendiri di rumah-rumah atau masjid-masjid dan tidak dilakukan secara berjama’ah. Karena itu ditemukan riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi pernah mengumpulkan orang-orang untuk menunaikan shalat gerhan bulan, seperti yang dilakukan beliau ketika terjadi gerhana matahari. Jadi dalam shalat gerhana bulan dan shalat sunnah yang lainnya yang dalam pelaksanaannya diberi keleluasaan, maka bagi pelakunya diberikan kebebasan, apakah akan dilakukan secara berjama’ah atau sendiri-sendiri karena yang dituntut ialah bersegerahnya kaum muslimin, baik kaum laki-laki maupun kaum wanita untuk menunaikan shalat dan berdoa supaya Allah segera mengembalikan keadaan menjadi terang benderang serta mereka dapat melihat keadaan di sekeliling mereka. MATERI KEEMPAT BELAS: SHALAT ISTISQA’ A. Hukum Shalat Istisqa’ Sahalat Istisqa’ termasuk shalat sunnah yang dianjurkan sekali, diman Rasululah pun telah melaksanakannya dan beliau juga memberitahukannya kepada orang-orang serta ikut pergi ke tempat pelaksanaan shalat istisqa’, Abdullah bin Zaid berkata, “Nabi pergi shalat istisqa’, lalu beliau menghadap kiblat dan memutar selendangnya, lalu shalat dua rakaat, di mana beliau membaca surat pada kedua rakaat itu dengan suara keras”. B. Pengertian Istisqa’ Istisqa’ artinya minta turun hujan dari Allah untuk sejumlah negeri atau hamba-hambaNya melalui shalat, berdoa dan beristiqfar ketika terjadi kemarau. C. Waktu Pelaksanaan Shalat Istisqa’ Waktu pelaksanaan shalat istisqa’ sama seperti shalat hari raya berdasarkan keterangan yang dituturkan Aisyah, “Rasulullah pergi menunaikan shalat istisqa’ ketika tampak penghalang matahari (berupa bulatannya)”. Walaupun demikian dapat dilakukan kapan saja selain waktu –waktu yang dilarang shalat di dalamnya. D. Hal-hal yang Disunnahkan Sebelum Shalat Istisqa’ Disunnahkan bagi imam untuk mengumumkan pelaksanaan shalat istisqa’ beberapa hari sebelumnya, menghimbau orang-orang supaya bertaubat dari kemaksiatan dan menjauhkan diri dari kezhaliman. Juga menganjurkan mereka supaya berpuasa, bersedekah dan meninggalkan permusuhan, karena kemaksiatan itu penyebab kemarau, sebagaimana ketaatan menjadi penyebab kebaikan dan keberkahan. E. Tata Cara Pelaksanaan Shalat Istisqa’ Imam dan orang-orang pergi ke tempat shalat, lalu imam shalat bersama mereka dua rakaat. Jika imam berkenan, maka ia dapat membaca takbir tujuh kali pada rakaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua seperti pada shalat hari raya. Pada rakaat pertama, imam membaca surat al-‘Ala setelah ia membaca surah al-Ghasyiyah. Setelah selesai shalat, hendaklah imam menghadap ke arah jama’ah dan berkhutbah di hadapan mereka dengan menghimbau mereka supaya memperbanyak istighfar, lalu imam berdoa yang diamini oleh jama’ah, lalu imam menghadap kiblat serta mengubah posisi selendangnya, sehingga bagian sebelah kanan berpindah ke bagian sebelah kiri, serta bagian sebelah sebelah kiri berpindah ke bagian sebelah kanan, lalu orang-orang pun harus mengubah posisi selendang mereka sebagaimana yang dilakukan imam. Selanjutnya mereka berdoa sesaat, lalu bubar. Tata cara di atas berdasarkan keterangan Abu Hurairah, “Nabi pergi menunaikan shalat istisqa’, dan beliau shalat bersama kami sebanyak dua rakaat, tanpa adzan dan iqamah. Kemudian beliau berkhutbah di hadapan kami dan berdoa kepada Allah. Setelah itu, beliau menghadapkan mukanya ke arah kiblat sambil mengangkat kedua tangannya, kemudian mengubah posisi selendangnya, sehingga bagian sebelah kanan berpindah ke bagian sebelah kiri, serta bagian sebelah kiri berpindah ke bagian sebelah kanan” F. Di Antara Macam-macam Doa Istisqa’ Diriwatkan, bahwa ketika Nabi berdoa dalam shalat istisqa’ beliau membaca: “Ya Allah, berilah kami hujan yang menolong yang berakibat baik dan menyuburkan (tanaman), menyirami dengan lebat, rata, meluas, sekali hentakan, turun dari atas, dan terus menerus. Ya Allah! Berilah kami hujan dan janganlah Engkau jadikan kami termasuk orang-orang yang berputus asa (dari rahmatMu). Ya Allah! (turunkan hujan)pada para hamba, negeri-negeri, ternak-ternak dan seluruh makhluk yang membebaskan kami dari derita, kesulitan dan kepapaan, sehingga kami tidak mengeluhkannya kecuali kepadaMu. Ya Allah, tumbuhkanlah bagi kami tanam-tanaman dan penuhkanlah puting-puting susu ternak kami serta siramilah kami dari berkah-berkah langit. Tumbuhkanlah bagi kami dari berkah-berkah bumi. Ya Allah, hilangkanlah dari kami kesulitan, kelaparan dan ketiadaan pakaian, hilangkanlah dari kami bencana yang tidak dapat dihilangkan kecuali olehMu. Ya Allah, Sungguh kami memohon ampunan kepadaMu, seseungguhnya Engkau Maha Pengampun, maka turunkanlah hujan pada kami dengan deras. Ya Allah siramlah para hambaMu dan ternak-ternakMu, tebarkanlah rahmatMu dan hidupkanlah negeriMu yang telah mati”. Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa saat hujan turun, nabi mengucapkan, “Ya Allah (turunkanlah) hujan yang penuh rahmat, bukan yang disertai azab, bukan pula bencana dan bukan pula yang membinasakan atau menenggelamkan. Ya Allah, curahkanlah pada lembah-lembah dan tempat-tempat tumbuhnya pepohonan. Ya Allah, curahkanlah di sekitar kami, bukan pada kami”. SEPUTAR HUKUM JENAZAH MATERI PERTAMA: HAL-HAL YANG HARUS DIKERJAKAN OLEH ORANG SAKIT HINGGA MENINGGAL DUNIA 1. Wajibnya Sabar Jika seorang Muslim ditimpa suatu mudarat, mak ia harus bersabar, tidak murka dan tidak memperlihatkan sikap kecewa, karena Allah dan RasululNya telah memerintahkan bersabar dalam beberapa ayat dan hadits. Tidak menjadi soal bagi orang sakit jika ditanya tentang kondisinya, lalu ia menjawab “Aku sakit, aku menderita sakit dan segala puji bagi Allah yang Mahakuasa atas segala sesuatu dalam segala keadaan”. 2. Anjuran Berobat Bagi seorang Musliim yang sedang sakit dianjurkan untuk berobat dengan obat yang dibolehkan, berdasarkan sabda Nabi, “Sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit, kecuali Dia menurunkan pula obatnyya. Karena itu, berobatlah kalian”. Akan tetapi tidak dibolehkan berobat dengan obat yang diharamkan seperti khamar, daging babi dan barang haram lainnya. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah, “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhanmu pada sesuatu yang diharamkan atas kamu” 3. Bolehnya Ruqyah Seorang Muslim dibolehkan beruqyah dengan ayat-ayat al-Qur’an, doa-doa Nabi serta Thayyibah, berdasarkan sabda Nabi, “Tidak menjadi masalah beruqyah selama didalamnya tidak ada kemusyrikan”. 4. Haram Memakai jimat Haram mengalungkan dan memakai jimat. Dengan demikian tidak dibolehkan bagi seorang Muslim mengalungkan jimat, berdasarkan sabda Nabi, “Barangsiapa yang mengalungkan jimat, maka sungguh ia telah berbuat syirik”. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang menggantungkan tamimah semoga Allah tidak menyempurnakan keinginannya (dengan mengabulkannya), dan barangsiapa yang menggantungkan wada’ah, niscaya Allah tidak akan memberi keturunan kepadanya”. Juga sabda Nabi yang ditunjukkan kepada seorang yang menggunakan gelang dari kuningan, “Celaka kamu, apa ini?” Ia menjawab “Penangkal sakit”. Beliau bersabda, “copotlah, karena gelang itu tidak akan menambahimu (kekuatan) kecuali (semakin menambahimu) kelemahan. Jika kamu mati, dan gelang itu masih kamu pakai, niscaya kamu tidak akan beruntung untuk selamanya”. 5. Sebagai Doa yang Dibaca Rasulullah Sebagai Sarana Pengobatan Rasulullah biasa meletakkan tangannya pada orang sakit, seraya berodoa, “Ya Allah, Tuhan manusia, hilangkanlah penyakit. Sembuhkanlah, karena Engkau-lah Sang Maha Penyembuh, karena tidak ada kesembuhan selain kesembuhan dariMu dengan kesembuhan yang tidak menimbulkan rasa sakit (yang lain)”. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa suatu saat seseorang datang kepada beliau mengeluhkan rasa sakit, maka beliau bersabda, “Letakkanlah tanganmu pada bagian tubuhmu yang sakit, lalu bacalah ‘Dengan (menyebut) Nama Allah’ tiga kali, selanjutnya bacalah tujuh kali, ‘Aku berlindung dengan kemuliaan Allah serta kekuasaanNya dari keburukan yang aku temui serta yang aku khawatirkan”. Tetapi didalam hadits yang diriwayatkan tidak mendapat lafazh. Lafazh ini terdapat dalam riwayat at-Tarmidzi, no 2080. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, no 2186 dikatakan, bahwa Rasulullah mengeluhkan sakitnya kepada malaikat Jibril , kemudian Jibril pun berdoa, “Dengan (menyebut) Nama Allah, aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menyakitimu, dari keburukan segala jiwa atau mata yang diliputi kedengkian. Semoga Allah menyembuhkanmu. Dengan (menyebut) Nama Allah, aku meruqyahmu”. 6. Bolehnya Berobat Kepada Orang Kafir Atau Wanita Kaum muslimin telah bersepakat tentang kebolehan orang kafir mengobati orang Islam (jika dapat dipercaya). Juga dibolehkan laki-laki mengobati wanita dan wanita mengobati laki-laki dalam keadaan darurat. Karena Rasulullah juga telah mempekerjakan sebagian orang musyrik dalam sebagian urusan, dan kebiasaan istri-istri para sahabat yang mengobati para sahabat yang terluka yang terluka di dalam peperangan di masa Rasulullah. 7. Bolehnya Membangun Karantina Kesehatan Dibolehkan bahkan dianjurkan untuk membangun karantina kesehatan khusus bagi orang-orang yang menderita penyakit menular, serta melarang orang-orang yang sehat berhubungan dengan mereka, kecuali para perawat atau tim medis yang merawat atau tim medis yang merawat serta mengobati mereka, berdasarkan sabda Nabi yang ditujukan kepada para pemilik unta, “Hendaklah untu yang terkena penyakit kudis jangan melintas dihadapan unta yang sehat”. Jika larangan beliau demikian kerasnya terhadap binatang, tentunya larangan terhadap manusia lebih utama. Sebagaimana dalam sabda beliau ketika terjadi wabah penyakit, “Jika penyakit menular menjangkit suatu daerah, dan kamu sedang berada di daerah itu, hendaklah kamu tidak keluar dari daerah tersebut. Sedang jika penyakit menular menjangkit suatu daerah, dan kamu tidak berada di daerah itu, hendaklah kamu tidak memasuki daerah tersebut”. Adapun sabda beliau yang menyatakan, “Tidak ada (keyakinan) penularan penyakit (itu dengan sendirinya, tanpa takdir Allah) serta tidak ada ramalan kesialan”, artinya bahwa penyakit itu tidak akan menular dengan sendirinya, yakni tanpa adanya kehendak Allah, karena dalam kerajaan Allah tidak akan terjadi sesuatu pun yang tidak dikehendakiNya. Tetapi hal itu tidak menghalangi usaha untuk mengambil langkah-langkah preventif disamping meyakini bahwa tidak akan ada sesuatu pun yang terjadi, kecuali atas kehendak Allah, dan orang yang tidak dilindungi Allah, niscaya tidak akan selamat. Ketika Nabi ditanya tentang unta yang terkena penyakit kudis, maka beliau pun menjawab, “Siapakah yang menulari (unta) yang pertama kali?” HAL-HAL YANG HARUS DILAKUKAN BERKENAAN DENGAN KEMATIAN SESEORANG DARI SEMENJAK KEMATIANNYA HINGGA PENGUBURANNYA 1. Mengumumkan Kematiannya Dianjurkan supaya mengumumkan kemtian seorang Muslim kepada kerabatnya, sahabat-sahabatnya dan orang-orang shalih dari penduduk negerinyaagar mereka mnghadiri , sahabat-sahabatnya dan orang-orang shalih dari penduduk negerinyaagar mereka mnghadiri jenazahnya. Dalam sebuah hadist shahih dijelaskan bahwa rasulullah mengumumkan kematian raja Najasyi kepada orang-orang ketika ia meninggal dunia, sebagaimana beliau juga memberitahukan kematian Zaid, Ja’far dan Abdullah bin Rawahah saat mereka gugur sebagai syuhada di medan perang. Tetapi pengumuman kematian seseorang dilarang dilakukan di jalan-jalan dan di depan pintu masjid-masjid dengan suara keras dan teriakan . Karena pengumuman kematian yang demikian dilarang syariat. 2. Haramnya Meratapi Mayit dan Bolehnya Menangisinya Haram meratapi mayit serta menjerit-jerit karenanya, berdasarkan sabda Rasulullah, Arinya: “Sesungguhnya mayit akan disiksa karena tangisan orang yang hidup”. Juga sabda Rasulullah, “Barangsiapa yang diratapi (kematiannya), niscaya dia akan disiksa karena ratapan tersebut kelak pada hari kiamat”. Ketika Rasulullah membai’at para wanita (Muslimah), maka beliau memerintahkan sebagaimana hal itu dituturkan oleh Ummu Athiyah dalam salah satu hadits shahih (al-Bukhori, no. 1306), Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari wanita yang menjerit-jerit (meratap), wanita yang mencukur (menggunduli) rambutnya serta wanita yang merobek-robek bajunya (ketika mendapat musibag). Adapun menangis, maka hal itu dibolehkan, berdasarkan sabda Rasulullah ketika putranya yang bernama Ibrahim wafat, “Sesungguhnya mata itu berlinang air mata, dan hati itu bersedih, dan kami tidak mengatakan kecuali perkataan yang diridhai Rabb kami. Sesungguhnya kami merasa sedih karena berpisah denganmu , hai Ibrahim. Rasulullah pun menangis atas wafatnya Umamah binti Zainab binti Rasulullah (cucu beliau), dan ketika hal itu ditanyakan kepada beliau, “wahai Rasulullah, apakah engkau menangis? (Atau bukankah telah dilarang menangisi (mayit)?, Beliau menjawab, “Sesungguhnya tangisan ini adalah tangisan kasih sayang yang dikaruniakan Allah pada hati hamba-hambanya, dan Allah akan menyayangi hamba-hambanya yang penyayang”. 3. Haramnya Berihdad Lebih dari Tiga Hari Seorang Muslimah haram beihdad lebih dari tiga hari karena kematian seseorang kecuali karena kematian suaminya, maka diwajibkan padanya berihdad selama 4 bulan 10 hari, berdasarkan sabda Rasulullah, “Tidak diperbolehkan bagi seorang wanita (Muslimah) berihdad atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, maka diwajibkan baginya berihdad selama 4 bulan 10 hari”. 4. Meluanasi Hutang Mayit Dianjurkan supaya menyegerakan melunasi hutang mayit, jika ia memiliki hutang. Karena Rasulullah menahan diri mensyalati mayit yang memiliki hutang hingga hutangnya dilunasi terlebih dahulu. Beliau bersabda, “”Jiwa seorang mukmin itu tertahan (masuk surge) disebabkan hutangnya, sehingga hutangnya itu dilunasi terlebih dahulu. 5. Mengucapkan Kalimat Istirja’ (Inna Lillahi Wa Inna Ilahi Raji’uun), Berdoa dan Bersabar Kelurga mayit diwajibkan bersabar khususnya di saat kematian, berdasarkan sabda Rasulullah, “Sesungguhnya kesabaran itu (terutama) pada saat kejadian pertama kali. Hendaklah mereka memperbanyak berdoa dan mengucapkan kalimat istirja’, berdasarkan sabda Rasulullah, “Tidaklah seseorang ditimpa suatu musibah, kemudian ia mengucapkan, ‘Sesungguhnya kami milik Allah dan kepadanya kami akan kembali. Ya Allah berilah aku pahala dalam menghadapi musibahku ini dan berilah aku pengganti dengan yang lebih baik dari musibah itu,’ melainkan Allah akan memberinya pahala dalam menghadapu musibahnya dan akan memberinya pengganti dengan yang lebih baik dari musibahnya itu”. Juga sabda Rasulullah “Allah berfirman, ‘Tidak ada balasan bagi hambaku yang mukmin di sisisku ketika aku mengambil (mewafatkan) orang yang dicintainya dari penghuni dunia, kemudian ia bersabar dan mengharapkan ganjarannya, melainkan balasannya adalah surge”. 6. Wajibnya Memandikan Mayit Jika seorang Muslim meninggal, baik orang dewasa maupun anak kecil, baik jasadnya utuh atau hanya sebagiannya saja, hendaknya dia dimandikan. Adapun jenazah seorang muslim yang tidak (perlu) dimandikan adalah orang yang syahid di medan perang yang gugur karena dibunuh oleh tangan-tangan orang-orang kafir saat berjuang di jalan Allah, Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah, “Janganlah kamu memandikan mereka, karena sesungguhnya setiap luka atau tetesan darah (mereka) dan menebarkan bau harum minyak kasturi kelak pada hari kiamat”. 7. Tata Cara Memandikan Mayit Jika air telah disiramkan secara merata ke sekujur tubuh mayit, maka hal itu dianggap cukup. Tetapi tata cara dimandikan mayit yang dianjurkan serta dianggap sempurna adalah sebagai berkut: Hendaklah mayit diletakkan di atas suatu benda yang agak tinggi, dan hendaklah orang yang dimandikannya adalah oran g-orang yang terpercaya serta shahih, berdasarkan sabda Nabi, “Selayaknya orang-orang yang dimandikan mayit diantara kamu adalah orang0orang yang terpercaya”. Kemudian menekan perutnya dengan pelan supaya kotoran yang ada didalamnya keluar, lalu memakai sarung tangan dan berniat memandikannya, lalu membasuh kemaluannya dan membersihkan kotoran yang ada disekitarnya, lalu melepaskan sarung tangan dan mewudhukannya sebagaiman wudhu shalat, lalu membasuh sekujur tubuhnya dimulai dari anggota tubuh yang paling atas hingga anggota tubuh yang paling bawah sebanyak tiga kali, jika dipandang belum bersih, maka boleh membasuhnya hingga lima kali, dan pada basuhan yang terakhir memakai pada sabun pada sejenisnya. Jika mayitnya seorang Musliamah, maka gelung rambutnya sdibuka dan membasuhnya, kemudian menggelungkannya kembali. Karena Rasulullah telah memerintahkan, “Supaya rambut putri beliau dilakukan seperti itu (saat jenazahnya dimandikan). Kemudian tubuhnya ditaburi kamper serta diolesi minyak wangi atau wewangian lainnya. 8. Mayit yang Tidak Bisa Dimandikan Wajib Ditayammumkan Sebagai Penggantinya Jika tidak ditentukan air untuk memandikan jenaza, atau seorang laki-laki meninggal dunia di tengah-tengah kaum wanita, atau seorang perempuan mati di tengah-tengah kaum pria, hendaklah dia ditayammumkan. Selanjtnya di kafani, lalu di shalati serta dikuburkan. Tayammum menjadi pengganti mandi ketika jenazah tidak dapat dimandikan. Seperti halnya orang yang junub, dimana ketika ia tidak sanngup mandi karena ada udzur, maka dibolehkan baginya bertayammum, lalu mengerjakan shalat, berdasarkan sabda Rasulullah, “Jika seorang wanita meninggal dunia di tengah-tengah kaum laki-laki dalam keadaan tidak ada seorang wanita pun yang bersama mereka kecuali wanita tersebut, atau jika seorang laki-laki meninggal dunia di tengah-tengah kaum wanita dalam keadaan tidak ada seorang laki-laki pun yang bersama mereka kecuali laik-laki tersebut, maka jenazah keduanya ditayammumkan serta dikuburkan”. Kedudukan keduanya sama dengan jenazah sama dengan yang tidak dimandika karena tidak menemukan air. 9. Salah dari Seorang Pasangan Suami Istri Memandikan pasangannya Dibolehkan bagi suami memandikan istrinya, dan istri memandikan suaminya, berdasarkan sabda Rasulullah yang ditujukan kepada Aisyah. “Seandainya engkau meninggal dunia, maka yang akan memandikan dan mengkafanimu. Ali pun memandikan jenazah istrinya, Fatimah. Dibolehkan juga bagi kaum wanita memandikan anak laki-laki yang masih kecil yang baru berusia 6 tahun ke bawah. Adapun kaum laki-laki memandikan anak perempuan yang masih kecil, maka para ulam memakrukannya. 10. Wajibnya Mengkafani Mayit Diwajibkan mengkafani mayit seorang Muslim setelah dimandikan dengan kain yang bisa menutupi seluruh tubuhnya. Mush’ab bin Umair, salah seorang syuhada dalam perang Uhud dikafani dengan selendang yang pendek. Melihat hal itu, maka Rasulullah memerintahkan para sahabat supaya menutupi kepalanya serta tubuhnya, kemudian mereka menutupi kedua kakinya denga pohon idzkhir-tumbuhan yang berbau wangi-. Hal itu menunjukkan kewajiban menutup seluruh tubuh mayit. 11. Kain kafan Dianjurkan Berwarna Putih dan Bersih Dianjurkan agar mayit dikafani dengan kain kafan berwarna putih dan bersih, baik yang masih baru maupun sudah lama. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah, “Pakailah pakaianmu yang berwarna putih, karena ia adalah sebaik-baiknya pakaianmu, dan kafanilah mayit-mayitmu dengannya. Selain itu dianjurkan juga mengolesi kain kafan dengan minyak wangi ataupun wewangian, berdasarkan sabda Rasulullah, “Jika kamu mengoleskan minyak wangi kepada mayit, maka oleskanlah sebanyak tiga kali. Adapun kain kafan untuk mayit laki-laki berjumlah tiga lapis, dan untuk mayit wanita berjumlah lima lapis. Rasulullah sendiri dikafani dengan tiga lapis kain kafan yang terbuat dari kapas yang baru, tanpa ada baju kurung dan sorban. Kecuali bagi orang yang meninggal dunia ketika ihram, maka ia dikafani dengan kain ihramnya, yaitu cukup hanya selendangnya serta kainnya saja, tidak mengolesinya dengan minyak wangi serta kepalanya juga tidak ditutup seperti keadaannya ketika ihram, berdasarkan sabda Rasulullah terkait dengan wafatnya seorang sahabat yang terjatuh dari atas binatang kendaraannya pada hari arafah, “Mandikanlah ia dengan air serta (daun) pohon bidara, lalu kafanilah ia dengan kainnya. Janganlah mengolesinya dengan minyak wangi, dan janganlah pula menutup kepalanya. Karena ia tidak dibangkitkan pada Hari Kiamat dalam keadaan sedang bertalbiyah. 12. Kain Kafan dari Sutra Diharamkan mengkafani mayit seorang Muslim dengan kain kafan dari sutra. Karena ia haram dipakai oleh kaum laki-laki sehingga haram pula mengkafani mayit mereka dengannya. Adapun mayit wanita, meskipun dibolehkan memakainya, tetapi dimakruhkan mengkafaninya dengannya. Karena hal itu termasuk tindakan yang melampaui batas dan berlebihan, yang keduanya dilarang oleh Allah seta Rasulnya sebagaimana dijelaskan didalam hadits Rasulullah, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam kain kafan, karena ia akan segera rusak.” Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya orang yang masih hidup lebih berhak atas kain yang baru daripada mayit, karena kain kafan itu hanya untuk mewadahi cairan dan nanah yang keluar dari tubuh mayit. 13. Menshalati Mayit Menshalati jenazah seorang muslim hukumnya wajib kifayah. Demikian juga dengan memandikan, mengkafani serta menguburkannya. Sehingga jika sebagian kaum Muslimin telah menunaikannya, maka kewajiaban itu dianggap gugur dari kaum Muslimin yang lainnya. Rasulullah biasa menshalati mayit-mayit kaum muslimin. Tetapi sebelum melaksanakannya, beliau memperhatikan (terlebih dahulu) hutang-hutang mayit-mayit kaum Mukminin. Jika seorang Muslim meninggal dunia dan meninggalkan hutang, maka beliau tidak menshalatinya hingga hutangnya dilunasi terlebih dahulu, seraya beliau bersabda kepada para sahabat, “Shalatilah mayit sahabatmu”. 14. Syarat Sahnya Shalat Mayit Dalam shalat mayit disyaratkan sebagaimana persyaratan dalam shalat biasa yaitu: harus suci dari hadats dan najis, menutup aurat serta menghadap kiblat, karena Rasulullah menyebutnya dengan shalat, seraya bersabda, “Shalatkanlah teman kalian ini.” Dengan demikian, maka ditetapkan atasnya persyaratan sebagaimana persyaratan dalam shalat biasa. 15. Hal-hal yang Diwajibkan dalam Shalat Mayit Hal-hal yang wajib dilakukan dalam shalat mayit ialah: Berdiri bagi orang yang mampu lalu niat sebagaimana sabda Nabi, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat.” Membaca al-fatiha atau mengucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah, membaca sholawat atas Nabi, membaca takbir empat kali, berdoa dan salam. 16. Tata Cara Shalat Mayit Adapun tata cara shalat mayit adalah sebagai berikut: Hendaklah mayit atau beberapa mayit diletakkan dalam posisi menghadap kiblat. Kemudian imam berdiri, dan makmum berdiri di belakangnya dibuat tiga baris ataupun lebih, berdasarkan sabda Rasulullah, “Barangsiapa yang dishalatkan oleh tiga shaf, niscaya hal itu mewajibkan mayit masuk surga”. Selanjutnya mengangkat kedua tangannya sambil berniat menunaikan shalat mayit ataupun beberapa mayit (jika mayitnya banyak), seraya membaca, "Allahu akbar”. Kemudian membaca al-Fatihah atau memanjatkan pujian dan sanjungan kepada Allah lalu bertakbirdan mengangkat kedua tangannya jika berkenan atau membiarkan keduanya menempel pada dadanya dengan posisi tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri. Selanjutnya membaca shalawat atas Nabi Sebagaimana shalawat atas Nabi Ibrahim, lalu bertakbir, jika berkenan, hendaklah mendoakan mayit, kemudian salam atau langsung mengucapkan salam satu kali setelah takbir yang keempat, berdasarkan keterangan di dalam sebuah riwayat, bahwa ketentuan dalam shalat mayit, hendaklah imam bertakbir, membaca al-Fatihah setelah takbir pertama dengan suara pelan yang cukup didengar oleh dirinya, lalu membaca shalawat atas Nabi dan mengkhususkan doa bagi mayit didalam takbir, serta tidak perlu membaca bacaan apapun saat bertakbir, lalu mengucapkan salam dengan suara yang pelan yang cukup didengar oleh dirinya. 17. Makmum yang Tertinggal dalam Shalat Mayit Bagi makmum yang tertinggal dalam shalat mayit, jika ia berkenan, maka ia dapat mengganti takbir yang tertinggal secara berurutan, dan jika ia berkenan, maka ia dibolehkan meninggalkannya, lalu salam bersama imam, berdasarkan sabda Rasulullah sebagai jawaban atas pertanyaan Aisyah yang bertanya tentang tertinggalnya sebagian takbir karena ia tidak mendengarnya. “Pada takbir yang kamu dengar, maka bertakbirlah kamu, sedang pada takbir yang terlewatan olehmu (karena tidak mendengarnya), maka kamu tidak berkewajiban menggantinya”. Penulis kitab al-Mughni menjadikan hadits ini sebagai hujjah, namun saya tidak mendapatkan takhrijnya. 18. Orang yang Ikut Menguburkan Mayit, Tetapi Belum Menshalatinya Bagi seseorang yang menguburkan, tetapi ia belum menshalatinya, maka ia boleh menshalatinya di kuburannya. Karena Rasulullah pun menshalati seorang wanita yang biasa menyapu (membersihkan) masjid, setelah ia dikuburkan dan para sahabat shalat di belakangbeliau. Demikian juga dibolehkan menshalati mayit yang tidak ada di hadapan pendiri shalat, karena lokasinya jauh dari tempat pendiri shalat. Karena Rasulullah juga melaksanakan shalat mayit atas mayit raja Najasyi yang berada di negeri Habasyah (Ethiopia), sedang Rasulullah dan kaum Mukminin (para sahabat) berada di Madina al-Munawwarah. Sebagaimana dijelaskan dalam salah satu hadits shahih. 19. Doa yang Dibaca dalam Shalat Mayit Doa yang dibaca dalam shalat mayit ialah: “Ya Allah sesungguhnya fulan (anu) bin fulan berada dalam tanggunganMu serta tali tali perlindunganMu, maka peliharalah ia dari fitnah kubur dan siksa neraka, dan Englkau Maha Penjamin lagi Maha Benar. Ya Allah ampunilah ia dan kasihanilah ia, karena sesungguhya Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ya Allah berilah ampunan bagi orang yang masih hidup diantara kami. Ya Allah, orang yang Engkau hidupkan diantara kami, mak hidupkanlah ia dalam keaadaan berpegang teguh kepada agama Islam, dan orang yang Engkau matikan diantara kami, maka matikanlah ia dalam keadaan beriman. Ya Allah, janganlah Engkau halangi kami atas pahala (kematian)Nya, dan janganlah Engkau sesatkan kami sepeninggalannya”. Sedangkan jika mayitnya anak-anak, maka doanya ialah sebagai berikut "Ya Allah, jadikanlah dia bagi kedua orarng tuanya, sehagai persembahan, simpanan serta penghaturan (amal shalih). Beratkanlah timbangan amal kebaikan mereka karenanya serta banyakkanlah pahala mereka karenanya. Janganlah Engkau halangi kami dan orang tuanya atas pahala (kematian)Nya, dan janganlah menjadi fitnah bagi kami serta orang tuanya sepeninggalnya.Ya Allah, pertemukanlah dia dengan orang-orang Mukmin yang shalih yang telah wafat lebih dahulu yang berada di dalam jaminan (pengasuhan) Nabi Ibrahim dan berilah ia rumah yang lebih baik daripada rumahnya (di dunia) serta keluarga yang lebih baik daripada keluarganya (di dunia). Pelihatralah dia dari fitnah kubur dan siksa neraka jahannam”. 20. Mengantar Mayit dan Keutamaannya Di antara perbuatan sunnah yang berkaitan dengan mayit ialah mengantarkannya ke kuburannya, berdasarkan sabda Nabi, “Jenguklah orang sakit dan antarkanlah jenazah, niscaya hal itu akan mengingatkanmu kepada akhirat”. Kemudian dalam pelaksanaannya dianjurkan supaya mempercepat langkah, berdasarkan sabda Rasulullah , "Bersegeralah kamu (dalam mengantarkan jenazah), karena jika ia termasuk jenazah yg shalih, maka itu adalah kebaikan yang mana kamu mengantarkan jenazah itu kepadanya, namun jika sebaliknya, berarti kejelekan yang telah kam turunkan dari pundakmu”. Kemudian para pengantarnya dianjurkan supaya berjalan di depannya, karena, “Nabi, Abu Bakar, serta Umar berjalan di depan jenazah (ketika mengantarnya)”. Adapun keutamaan mengantarkan jenazah telah dijelaskan oleh Rasulullah di dalam sabdanya, “Barang siapa yang mengantarkan jenazah seorang Muslim karena iman dan mengharap pahala dari Allah, dan sebelumnya ia telah menyertai jenazah hingga menshalatinya dan selesai menguburkannya, niscaya ia akan pulang dengan membawa pahala dua qirath, di mana setiap qirathnya sebesar gunung Uhud, dan barangsiapa yang hanya ikut menshalatinya, kemudian ia pulang sebelum jenazah itu dikuburkan, niscaya ia akan pulang dengan membawa pahala satu qirath. 21. Hal-hal yang Dimakruhkan Saat Mengantarkan Mayit Dimakruhkan bagi kaum wanita ikut mengantarkan jenazah ke kuburannya, berdasarkan keterangan yang dituturkan Ummu Athiyah, “Kami dilarang ikut mengantarkan jenazah, hanya saja larangan tersebut bukanlah suatu kemestian bagi kami. Juga dimakruhkan mengeraskan suara di hadapan jenazah ketika berdzikir, membaca al-Qur an dan lain-lain. Karena para sahabat Rasulullah memakruhkan mengeraskan suara dalam tiga hal, yaitu saat berada di hadapan jenazah, saat berdzikir, serta saat perang. Juga dimakruhkan duduk sebelum jenazah diturunkan dari pundak orang-orang yang memikulnya, berdasarkan sabda Nabi, “Jika kalian mengantarkan jenazah, maka janganlah kalian duduk sehingga jenazah diletakkan dahulu di atas tanah”. 22. Menguburkan Mayit Yang dimaksud dengan menguburkan mayit adalah menguruk tubuh mayit secara merata dengan tanah dan hukumnya ialah wajib kifayah, berdasarkan firman Allah, “Kemdian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kabur”. (Abasa: 21) Dalam menguburkan mayit terdapat beberapa ketentuan hukum sebagai berikut a) Mendalamkan kuburan dalam ukuran sekiranya binatang buas atau burung pemakan bangkai tidak mungkin menjangkau mayit dan menutupi baunya, sebab jika tercium keluar, niscaya akan menyebarkan bau tidak sedap. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah "Galilah, dalamkanlah dan perbaguslah, lalu kuburkanlah dua atau tiga jenazah dalam satu kuburan." Para sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, siapakah yang harus kami dahulukan?” Rasulullah menjawab, "Dahulukanlah dari mereka orang yang lebih banyak hafal al-Qur’annya. b) Membuatkan "al-Lahd” di dalam kuburannya. Karena al-lahd lebih utama, meskipun asy-syag dibolehkan, berdasarkan sabda RasuIullah, “Al-lahd untuk kita, sedangkan asy-syaq untuk selain kita” Adapun yang dimaksud dengan al-lahd adalah lubang di dalam kuburan di sebelah kanannya, sedangkan asy-syaq adalah lubang di dalam kuburan di sebelah kanan, sedangkan asy-syaq adalah lubang di tengah-tengahnya. c) Bagi orang yang menghadirı penguburan dianjurkan mengepalkan tanah sebanyak tiga kepalan dan melemparkannya ke dalam kuburan dari arah kepala mayit. Karena Rasulullah pun melakukan hal itu, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Majah, no. 1565 dengan sanad yang tidak dipermasalahkan. d) Mayit dimasukkan dari ujung belakang kuburan, jika hal tersebut dipandang mudah. Kemudian menghadapkannya ke kiblat dengan memiringkannya ke sebelah kanan, lalu membuka tali pengikat kain kafannya, dan orang yang meletakkannya membaca, “Dengan (menyebut) Nama Allah dan menetapi agama Rasululiah”. Karena Rasulullah pun melakukan hal itu. e) Menutupi kuburan jenazah wanita dengan kain, ketika ia diletakkan di dalam kuburannya. Karena as-Salaf ash-Shalih (orang-orang shalih terdahulu) pun menutupi kuburan jenazah wanita, ketika ia diletakkan di dalam kuburannya, namun tidak demikian terhadap kuburan jenazah laki-laki. MATERI KETIGA: HAL-HAL YANG HARUS DILAKUKAN SETELAH MAYIT DIKUBURKAN 1. Memohonkan Ampunan Bagi Mayit dan Mendoakannya Bagi orang yang menghadiri penguburan mayit dianjurkan supaya memohonkan ampunan bagi mayit serta diberi keteguhan dalam menjawab pertanyaan malaikat kubur, berdasarkan sabda Nabi, "Mohonkanlah ampunan bagi saudaramu serta mintakanlah keteguhan baginya, karena ia sekarang sedang ditanya”. Nabi s menyabdakannya setelah selesai penguburan. Sebagian as-Salaf ash-Shalih telah berdoa: "Ya Allah, hambaMu ini datang menghadap kepadaMu, dan Engkau adalah Dzat yang terbaik untuk disinggahi. Ampunilah ia dan lapangkanla tempat masuknya”. 2. Meratakan Kuburan Hendaklah kuburan itu diratakan dengan tanah, karena Rasulullah telah memerintahkan supaya meratakan kuburan dengan tanah. Akan tetapi dibolehkan meninggikannya sekitar satu jengkal, bahkan mayoritas ulama telah menganjurkannya, karena kuburan Nabi pun ditinggikan. Boleh meletakkan tanda pengenal di atas kuburan dengan batu dan yang lainnya, karena Rasulullah pun meletakkan tanda di atas kuburan Utsman bin Mazh'un dengan batu, seraya bersabda. "Aku memberi tanda pada kuburan saudaraku dengan batu ini, dan aku kuburkan di dekatnya orang yang wafat dari keluargaku”. 3. Haramnya Mengapur (Mengecat) Kuburan dan Membangunnya Haram mengapur dan membangun kuburan. Sebagaimana hal itu dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, no.970, "Rasulullah melarang kuburan dikapur dan dibangun (suatu banguan) di atasnya”. 4. Makruhnya Duduk di Atas Kuburan Seorang Muslim dimakruhkan duduk di atas kuburan saudaranya sesama Muslim atau menginjaknya. Sebagaimana hal itu disinyalir dalam sabda Rasulullah, “Janganlah kamu duduk di atas kuburan, dan janganlah pula shalat menghadap kearahnya”. Juga sabda Rasulullah, “Sungguh salah seorang dari kalian duduk di atas bara api sehingga membakar bajunya, lalu sampai menembus pada kulitnya adalals jauh lebih baik daripada ia duduk di atas kuburan”. 5. Haramnya Membangun Masjid di Atas Kuburan Haram membangun masjid serta memasang lampu di atas kuburan, berdasarkan sabda Rasulullah, “Allah melatakkan para wanita yang sering menziarahi kuburan dam para wanita yang menjadikan kuburan sehagai masjid dan memasang lampu di atasnya”. Juga sabda Rasulullah, “Allah melaknat kaum Yahudi, karena mereka telah menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid”. 6. Haramnya Membongkar Kuburan dan Memindahkan Mayitnya Diharamkan membongkar kuburan serta memindahkan jasad penghuninya atau mengeluarkan sejumlah penghuninya darinya, kecuali karena adanya darurat yang kuat misalnya: Mayit dikuburkan tanpa dimandikan terlebih dahulu. Sebagaimana dimakruhkan memindahkannya setelahnya dari suatu daerah ke daerah yang lainnya, kecuali tempat tujuan dari pemindahannya itu ialah salah satu dari dua tanah haram yang dimuliakan: Makkah dan Madinah, atau Baitul Maqdis, berdasarkan sabda Rasulullah, "Kuburkanlah (jenazah) orang-orang yang terbunuh (di dalam peperangan) di tempat mereka terbunuh”.
7. Anjuran Bertakziyah Dianjurkan bertakziyah kepada keluarga mayit, baik kaum laki-laki maupun kaum wanita, baik sebelum dikubur maupun sesudahrya hingga tiga hari, kecuali salah seorang dari dua pentakziyah berikut ini yaitu: Orang yang sedang tidak berada di tempat atau lokasinya sangat jauh dari tempat tinggalnya, maka dibolehkan baginya bertakziyah walaupun lebih dari harinya, berdasarkan sabda Nabi, "Tidaklah seorang Mukmin bertakziyalt kepada saudaranya yang terkena musibah, melainkan Allah akan memakaikan padanya pakaian-pakaian kemuliaan pada Hari Kiamat”. 8. Makna Takziyah (Turut Berbela Sungkawa) Takziyah artinya menyuruh bersabar, dan juga menghibur kelurga mayit sehingga mereka tidak larut dalam kesedihan, merasa terhibur dan dapat bersabar dengan menceritakan hal-hal yang dapat meringankan beban musibah yang telah menimpa mereka serta menghilangkan kesedihan mereka. Takziyah dapat diungkapkan dengan berbagai macam ungkapan. Sebagaimana hal itu dijelaskan dalam salah satu hadits, di mana Rasulullah bersabda yang ditujukan kepada putrinya, yang mengirim utusan untuk memberitahukan kepada beliau, bahwa putranya (cucu beliau) telah meninggal dunia, lalu beliau mengirim utusan untuk menyampaikan salam dan pesan kepada putrinya Adapun pesan beliau kepada putrinya ialah sebagai beriku. “Sesungguhnya milik Allah-lah apa yang diambilNya dan milikNya pula apa yang telah diberikanNya, dan segala sesuatu di sisiNya memiliki batas waktu tertentu. Karena itu, bersabarlah dan harapkanlah ganjaran dariNya”. Salah seorang as-Salaf ash-Shalih bertakziyah kepada salah seorang yang ditinggal wafat anaknya melalui sepucuk surat yang ditulisnya yang isinya: “Dan fulan untuk fulan, salam sejahtera semoga tercurah padamu”. “Di hadapanmu aku haturkan pujian kepada Allah yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia. Amma ba’du”. Semoga Allah membalasmu dengan balasan pahala yang besar, memberimu kesabaran serta mengaruniakan kepada kami dan kamu rasa syukur”. “Sesungguhnya diri, harta dan keluarga kita adalah pemberian Allah yang bersifat sementara serta sebagai pinjamanNya yang pasti diambilNya. Semoga dengan kepergiannya, Allah memberimu kebahagiaan dan kesenangan, dan diambilnya ia dari sisimu semoga diganti dengan paha yang besar".“Semoga doa, rahmat dan petunjuk selalu menyertaimu, jika kamu berserah diri kepada Allah dengan kepergiannya. Bersabarlah dan janganlah keputusasaanmu menghapus pahalamu sehingga kamu akan menyesal. Ketahuilah, bahwa keputusasaan itu tidak dapat menghidupkan kembali orang yang telah mati dan tidak akan menghilangkan kesedihan. Sesuatu yang sudah terjadi biarlah berlalu”. Wassalam Dalam bertakziyah telah dianggap cukup dengan mengucapkan “Semoga Allah memberimu pahala yang besar, menyempurnakan ta’ziyahmu dan mengampuni (dosa) mayitmu”. Kemudian orang yang ditakziyahi menjawab, “Amin, semoga Allah memberimu pahala, dan aku tidak melihatmu sebagai orang yang dibenci." 9. Bid’ah Mengadakan Jamuan Makan Atas Keluarga Mayit Di antara yang wajib ditinggalkan serta dijauhi adalah perbuatan bid'ah yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang karena kebodohan yang luar biasa, yaitu berkumpul di rumah-rumah keluarga mayit dengan tujuan takziyah dan mengadakan jamuan makan serta mengeluarkan harta dengan tujuan pamer dan sombong. Karena as-Salaf ash-Shalih tidak pernah berkumpul di rumah-rumah keluarga mayit, bahkan sebagian mereka biasa menyampaikan ucapan ta'ziah terhadap sebagian yang lainnya ketika bertemu di kuburan atau dijalan. Dan tidak mengapa datang ke rumah orang tersebut apabila tidak bertemu di pekuburan atau di jalan. Dengan demikian, merupakan sesuatu yang baru dan perbuatan yang diada-adakan dalam urusan agama adalah mengadakan pertemuan khusus dengan persiapan dan dilakukan dengan sengaja. 10. Berbuat Baik Kepada Keluarga Mayit Pada hari kematian dianjurkan membuatkan makanan untuk keluarga mayit, dan yang patut melakukannya adalah kerabat-kerabat dan tetangga-tetangganya, berdasarkan sabda Nabi, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far, karena musibah menimpah mereka yang membuat mereka sibuk”. Sedangkan perbuatan keluarga mayit sendiri membuatkan makanan untuk orang lain (para tamu), maka hal itu dimakruhkan, sehingga tidak perlu dilakukan, karena hal itu melipatgandakan musibah mereka. Jika datang orang yang wajib perlakukan sebagai tamu, misalnya: orang asing, maka dianjurkan yang menjamunya adalah para tetangganya dan para kerabatnya sebagai pengganti dari keluarga mayit. 11. Bersedekah Untuk Mayit Dianjurkan bersedekah untuk mayit, sebagaimana tertera dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, no. 1630 dari Abu Hurairah “Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi, ‘Ya Rasulullah sesungguhnya bapakku telah meninggal dunia dan ia meninggalkan harta, tetapi ia belum berwasiat, apakah harta itu dapat menjadi penebus dosanya, jika aku besedekah atas namnya?’ beliau menjawab, ‘ya”. Ketika Ummu Sa'ad bin Ubadah meninggal dunia, maka Sa'ad bertanya kepada Nabi, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, bolehkah aku bersedekah atas namanya?” Beliau menjawab, “Ya”. Sa’ad bertanya, “Sedekah apakah yang lebih utama?" Beliau menjawab “Memberi air (minum)”. 12. Membaca al-Quran Untuk Mayit Dibolehkan bagi seorang Muslim duduk di masjid atau di rumahnya sambil membaca al-Quran. Kemudian setelah selesai membacanya, ia memohon ampunan dan rahmat kepada Allah untuk mayit, seraya bertawassul kepada Allah dengan ayat-ayat al-Quran yang telah dibacanya. Sedangkan berkumpulnya para pembaca al-Quran di rumah orang yang mendapat musibah dengan tujuan membaca al-Quran serta menghadiahkan pahala bacaan mereka untuk mayit, lalu mereka menerima bayaran dari keluarga mayit, maka perbuatan itu termasuk bid'ah munkarah yang wajib ditinggalkan, dan wajib menyeru segenap kaum Muslimin supaya meninggalkannya dan menjauhinya. Karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh as-Salaf ash-Shalih dan para generasi yang memiliki keutamaan. Sedangkan sesuatu yang tidak menjadi ketentuan agama pada generasi pertama dari umat ini (umat Islam), niscaya ia pun tidak menjadi ketentuan agama pada generasi terakhirnya, apa pun alasannya dan dalam keadaan bagaimana pun. 13. Hukum Ziarah Kubur Ziarah kubur termasuk perbuatan yang dianjurkan karena dapat mengingatkan kepada kehidupan akhirat dan bermanfaat bagi mayit dengan mendoakannya dan memohonkan ampunan baginya, berdasarkan sabda Nabi, “Dahulu aku melarang kalian menziarahi kuburan, (tetapi sekarang) ziarahilah kuburan, karena ia dapat mengingatkanmu kepada (kehidupan) akhira”. Kecuali jika kuburan atau mayit ada ditempat yang jaraknya cukup jauh, sehingga membahayakan orang yang berziarah, karena ia harus melakukan perjalan yang sangat memberatkan dan membutuhkan persiapan khusus, maka hal itu tidak disyariatkan, berdasarkan sabda Nabi, “Tidaklah (boleh) perjalanan dipaksakan kecuali menuju tiga mesjid, yaitu: masjidku ini (masjid Nabawi), masjid al-Haram, dan masjid al-Aqsha.” 14. Ucapan Yang Diucapkan Oleh Orang Yang Ziarah Kubur Bagi orang yang menziarahi kuburan orang-orang muslim, hendaklah ia mengucapkan ucapan sebagaimana yang diucapkan olehj Rasulullah saat berziarah ke (pemakaman) Baqi’, yaitu, “Semoga kesejahteraan dicurahkan kepada kalian, wahai penghuni kubur dari kaum mukminin dan muslimin dan insyaallah kami akan menyusul kalian. (kalian telah mendahului kami dan kami akan mengikuti kalian). Kami mohon ampunan kepada Allah untuk kami dan kalian. Ya Allah, ampunilah mereka. Ya Allah, kasihanilah mereka.” 15. Hukum Ziarah Kubur Bagi Kaum Wanita Para ulama tidak berselisih pendapat mengenai haramnya tindakan kaum wanita sering berulang-ulang menziarahi kuburan. Hal itu ditegaskan dalam sabda Rasulullah, “Allah melaknat para wanita yang sering menziarahi kuburan Sedangkan jika ia melakukannya sekali-kali dan tidak sering, maka sebagian ulama memakruhkannya secara mutlak, berdasarkan keterangan hadits diatas, dan sebagian lainnya membolehkannya, berdasarkan keterangan yang dituturkan oleh Aisya ketika menziarahi kuburan Abdurrahman, saudaranya dimana ketika dia ditanya tentang ziarah kubur, maka ia pun menjawab, “memang benar, bahwa dahulu Rasulullah telah melarang ziarah kubur, kemudian beliau memerintahkan supaya menziarahinya”. Kemudian ulama yang membolehkan kaum wanita menziarahi kuburan mensyaratkan, bahwa mereka (kaum wanita) tidak boleh melakukan perbuatan yang mungkar seperti meratap di sisi kuburan, menjerit-jerit, pergi tanpa menutupi aurat atau memanggil-manggil mayit serta meminta kepadanya supaya mengabulkan hajadnya dan perbuatan menyimpang lainnya seperti yang sering dilakukan oleh wanita-wanita yang bodoh dalam urusan agama di berbagai masa dan banyak tempat.

0 Comment