Wednesday, October 21, 2020

THAHARAH, SARANA BERSUCI, WUDHU, MANDI, TAYAMUM, KHUF, HAID DAN NIFAS 1. THAHARAH A. Hukum Thaharah Thaharah hukumnya wajib berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah. Allah SWT Berfirman yang sekira-kira artinya: “Dan jika kamu junub maka (bersucilah) mandilah.” (Al-Maidah: 6). “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Al-Baqarah: 222). Nabi SAW. Bersabda, “kunci shalat adalah bersuci.” “shalat tidak akan diterima tanpa bersuci.” “Kesucian adalah separuh keimanan.” Thaharah menurut arti bahasa adalah bersih dan suci dari kotoran atau najis hissi (yang dapat terlihat) seperti kencing atau lainnya, dan najis ma’nawi (yang tidak kelihatan zatnya) seperti aib dan maksiat, dalam buku yang lain, disebutkan bersuci adalah syarat sahnya shalat yang paling dominan. Terangkatnya hadats dapat terjadi dengan menggunakan air, yang diiringi dengan niat. Air itu disiramkan ke seluruh tubuh, jika hadatsnya tergolong hadats besar.atau cukup pada anggota-anggota wudhu yang empat saja, kalau hadatsnya tergolong hadats kecil. Adapun menurut istilah syara’, thaharah ialah bersih dari najis baik najis haqiqi, yaitu khabats (kotoran) atau najis hukmi, yaitu hadats. Imam an-Nawawi mendefenisikan Thaharah sebagai kegiatan mengangkat hadats atau menghilangkan najis atau yang serupa dengan kedua kegiatan itu, dari segi bentuk atau maknanya. Tambahan di akhir defenisi yang dibuat oleh ulama Madzhab Hanafi bertujuan supaya hukum-hukum berikut dapat tercakup, yaitu tayammum, mandi sunnah, memperbarui wudhu, membasuh yang kedua dan ketiga dalam hadats dan najis, mengusap telinga, berkumur, dan kesunnahan thaharah, thaharah wanita mustahadhah, dan orang yang mengidap kencing berterusan. Para ulama pun sepakat mengatakan bahwa thaharah adalah menghilangkan apa yang menghalangi shalat, yaitu hadats atau najis, dengan menggunakan air ataupun menghilangkan hukumnya dengan tanah. B. Penjelasan Thaharah Thaharah ada dua macam: Bathiniyah dan Lahiriyah Thaharah Bathiniyah adalah menyucikan jiwa dari dampak-dampak dosa dan maksiat dengan taubat yang sungguh-sungguh dari setiap dosa dan maksiat, juga menyucikan hati dari noda-noda syirik, ragu, dengki, curang, sombong, bangga diri, riya’, dan sum’ah, yaitu dengan keikhlasan, keyakinan, mencintai kebaikan, kelembutan, kejujuran, rendah hati, dan mengharapkan wajah Allah dengan segala niat dan amal shalih. Thaharah Lahiriyah adalah bersuci dari kotoran dan hadats. Bersuci dari kotoran adalah menghilangkan berbagai najis dengan air suci dari pakaian dan badan orang yang shalat, serta tempat shalatnya. Bersuci dari hadats adalah dengan cara: wudhu, mandi, dan tayammum. C. Syarat-Syarat Wajib Thaharah Apabila badan, pakaian, ataupun suatu tempat terkena najis, maka ia wajib dibersihkan berdasarkan firman Allah SWT, “Dan bersihkanlah pakaianmu.” (al-Muddatstsir: 4) Begitu juga firman Allah SWT, “.... bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, orang yang itikaf,orang yang ruku’ dan orang yang sujud!.” (al-Baqarah: 125) Jika pakaian dan tempat wajib dibersihkan, maka membersihkan badan lebih utama. Siapa yang wajib melakukan shalat, maka ia wajib melakukan thaharah. Kewajiban ini bergantung pada sepuluh syarat, yaitu: 1. Islam Ada pendapat yang mengatakan bahwa syarat pertama ialah sampainya dakwah Islam kepada orang yang bersangkutan. Berdasarkan pendapat ini, maka thaharah tidak wajib bagi orang kafir. Namun, berdasarkan pendapat yang kedua, orang kafir juga wajib melakukan thaharah. Perbedaan pendapat ini terjadi akibat dari perbedaan pendapat mengenai prinsip ushul, yaitu apakah orang kafir diperintahkan melakukan hukum-hukum cabang syariah atau tidak. Jumhur ulama mengatakan bahwa orang kafir diperintahkan melakukan hukum-hukum cabang ibadah. Ini artinya mereka akan dihukum di akhirat dengan hukuman tambahan selain hukuman meninggalkan keimanan kepada Allah. Madzhab Hanafi mengatakan bahwa orang kafir tidak diperintahkan melakukan hukum-hukum cabang syariat. Jika seorang murtad kembali menganut Islam, maka dia tidak perlu mengqadha shalat-shalat yang ditinggalkannya semasa murtad. Ini adalah menurut pendapat jumhur. Tetapi menurut ulama syafi’i, ia wajib melakukan qadha. 2. Berakal Thaharah tidak diwajibkan bagi orang gila dan orang yang pingsan, kecuali jika mereka sudah siuman ketika waktu (shalat) masih ada. Adapun orang yang mabuk, tetap diwajibkan berthaharah. 3. Baligh Tanda baligh ada lima, yaitu mimpi, tumbuh bulu, datang haid, mengandung, dan mencapai umur 15 tahun. Ada pendapat yang mengatakan 17 tahun. Abu Hanifah mengatakan umur baligh adalah 18 tahun. Oleh sebab itu, anak-anak tidak wajib thaharah. Apabila anak-anak itu telah sampai umur tujuh tahun, hendaklah mereka disuruh melakukan thaharah. Apabila umur mereka mencapai 10 tahun, hendaklah mereka dipukul jika tidak mau ber-thaharah. Apabila seorang anak sedang mendirikan shalat kemudian dia menjadi baligh dalam waktu shalat yang masih tersisa atau dalam masa shalat itu, maka menurut ulama Madzhab Maliki dia harus mengulangi thaharah dan shalatnya. Tetapi menurut Imam Syafi’i, anak tersebut tidak diwajibkan thaharah. 1. Berhentinya Darah Haid dan Nifas 2. Masuknya Waktu 3. Tidak Tidur 4. Tidak Lupa 5. Tidak Dipaksa Menurut ijma ulama, orang yang tertidur, orang yang terlupa, dan orang yang dipaksa, harus mengqadha shalat yang terlewat. 9. Ada Air atau Debu yang Suci Apabila kedua benda ini tidak ada, maka seseorang itu tidak harus mendirikan shalat dan mengqadhanya setelah mendapati air atau debu. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ia tidak perlu mengqadha, dan ada pula pendapat yang mengatakan bahwa ia tidak perlu shalat, tetapi wajib mengqadhanya. 10. Mampu Melakukan Thaharah sesuai kemampuan 2. Sarana Bersuci Bersuci bisa dilakukan dengan dua sarana: 1. Air muthlaq, yaitu air yang masih murni, yang belum tercampurdengan apapun yang dapat merubahnya, baik itu sesuatu yang najis ataupun sesuatu yang suci. Air murni ini seperti; air sumur, air mata air, air lembah, air sungai, air salju yang mencair dan air laut yang asin. Berdasarkan firman Allah SWT, yang sekira-kira artinya: “dan kami turunkan dari langit air yang amat bersih.”(Al-Furqan; 48). Dalam kitab yang lain disebutkan, bahwa Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah, menjelaskan, “adapun soal air suci yang jumlahnya sedikit atau banyak, yang berubah karena materi-materi yang suci seperti isynaan sabun, daun bidara dan jerami, tanah atau adonan tepung dan sejenisnya, yang dapat mengubah wujud air, seperti bejana yang berisi sisa daun bidara dan jerami, lalu dimasukkan air ke dalamnya, sehingga mengubah wujud air tersebut, sementara ia tetap disebut ‘air’, maka dalam hal ini ada dua pendapat ulama yang popular...” 2. Debu yang suci, yaitu permukaan tanah yang suci, berupa tanah,pasir, batu atau debu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW, “telah dijadikan untukku, tanah sebagai tempat sujud dan alat bersuci.” Debu bisa dijadikan sebagai alat bersuci ketika tidak ada air atau ketika tidak memungkinkan untuk menggunakannya karena sakit atau lainnya. Juga berdasarkan persetujuan Nabi SAW terhadap tayamumnya Amr bin al-‘Ash dari junub pada suatu malam yang sangat dingin karena ia mengkhawatirkan keselamatan dirinya bila mandi dengan air dingin. Semua ini menunjukkan kelembutan Allah terhadap para hamba-Nya, dan keinginan-Nya untuk melenyapkan kesulitan dari mereka, dan menunjukkan agama Islam adalah agama yang suci, agama yang bersih lahir maupun batin. Shalat tidak sah, tanpa disertai dengan dua jenis suci: Pertama, suci secara batin dari noda-noda kemusyrikan. Caranya adalah dengan bertauhid dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah semata. Kedua, suci secara lahir dari hadats dan najis,. Caranya adalah bersuci dengan air, atau dengan media pengganti air. Sementara dalam kitab Fiqih Islam Jilid I dijelaskan bahwa alat-alat bersuci menurut Madzhab Hanafi sangat banyak, diantaranya: 1. air mutlak meskipun air musta’mal Dengan menggunakan air, maka akan dihasilkan dua thaharah, yaitu thaharah haqiqi dan hukmi (hadats dan janabah). Contohnya air hujan, air laut, air sumur, air mata air dan air yang tertampung di lembah. 2. benda cair yang suci Cairan yang suci ialah cairan yang mengalir apabila diperah. Ia dapat menghilangkan najis. Ulama Hanafi dan juga para ulama yang lain sepakat mengatakan bahwa cairan yang suci tidak dapat menghilangkan hadats hukmi (yaitu hadats-hadats yang dapat hilang dengan wudhu dan mandi). Penggunaan cairan yang suci dapat menghilangkan thaharah haqiqi , (yaitu dapat menghilangkan najis haqiqi dari pakaian dan badan) menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf. Contoh-contoh cairan yang suci ialah air mawar, air bunga, cuka, air tumbuh-tumbuhan, air buah-buahan, air kacang yang jika direbus ia mencair dan apabila didinginkan ia membeku, dan air dari bahan apapun yang jika diperah akan mengeluarkan air, termasuk juga keringat yang dapat membersihkan jari. Jika puting susu seorang ibu menjadi najis karena muntahan anaknya, maka ia menjadi suci atau bersih dengan cara anaknya menghisap susunya tiga kali hisap. Mulut seorang peminum arak menjadi bersih apabila bertukar dengan air liur. Apabila bahan itu tidak mengalir sepertimadu, minyak sapi, lemak, minyak, susu dan sebagainya maka semua bahan ini tidak dapat digunkan untuk bersuci. 3. menggosok (ad-Dalk) Menggosok ialah mengusap bagian yang terkena najis dengan tanah secara kuat, hingga bekas atau zat najis itu hilang. Sama dengan ad-Dalk ialah al-hat, yaitu mengeruk dengan kayu atau tangan. Menggosok dapat menghilangkan najis yang berjirim yang mengenai sandal baik najis itu kering ataupun basah. Maksud berjirim ialah sesuatu yang masih dapat dilihat sesudah kering seperti tahi, darah, mani, air kencing, dan arak yang terkena tanah. Apabila najis itu bukan najis yang berjirim, maka wajib dibasuh dengan air sebanyak tiga kali, walaupun setelah ia kering. Setiap kali basuhan, hendaklah dibiarkan dahulu hingga air tetesannya berhenti, dan hingga najis yang masih basah itu hilang dari khuf. Tetapi, tidak disyaratkan keringnya khuf terlebih dahulu. Kebanyakan ulama mengatakan bahwa sandal akan menjadi suci dengan cara menggosokkannya ke tanah jika najis itu kering. Namun, ia tidak akan menjadi suci jika najis itu basah, karena Aisyah menggosok-gosok mani yang sudah kering dari pakaian Rasulullah saw.. jika mani itu basah, beliau membasuh kain tersebut. Imam asy-Syafi’i dan Muhammad ibnul Hasan mengatakan bahwa sandal yang terkena najis tidak akan suci jika digosokkan ke tanah, baik najis itu kering ataupun basah. Karena, najis meresap kedalam sandal sama seperti meresapnya ke dalam pakaian dan badan. Ulama Mazhab Hambali mengatakan bahwa ia boleh digosokkan jika najis itu sedikit. Tetapi, jika banyak, maka harus dibasuh. 4. Mengusap yang Dapat Menghilangkan Bekas Najis Cara ini dapat membersihkan benda-benda yang licin seperti mata pedang, cermin, kaca, wadah yang dilumuri minyak, kuku, tulang, permukaan barang dari perak, dan lain-lain, karena semua barang itu tidak akan diserap oleh najis. Najis yang terdapat di permukaan barang-barang ini dapat dihilangkan dengan mengusapnya. Diriwayatkan bahwa para sahabat Rasulullah saw. Membunuh orang kafir dengan pedang mereka. Kemudian mereka mengusap pedangnya dan melakukan shalat dengan pedang itu. Berdasarkan hal ini, maka cukuplah mengusap tempat yang dibekam dengan tiga potong kain yang bersih yang dibasahkan. Ulama mazhab Maliki berpendapat sama seperti ulama Madzhab Hanafi, yaitu mereka membolehkan menghilangkan najis dengan cara mengusap najis yang ada pada barang-barang. Jika barang itu dibasuh, maka hal itu akan menyebabkan rusaknya barang itu seperti pedang, sandal, dan khuf. 5. Mengeringkan dengan Cahaya Matahari atau Udara dan Bekas Najis itu Menjadi Hilang Cara ini dapat digunakan untuk membersihkan tanah dan semua benda yang melekat pada tanah seperti pohon, rumput, dan batu yang menghampar yang akan digunakan untuk shalat, bukan untuk bertayamum. Tetapi, hal ini berbeda dengan hamparan permadani, tikar, pakaian, tubuh, dan stiap benda yang dapat pindah. Benda-benda yang dapat di pindah jika terkena najis harus dibasuh untuk membersihkannya. Tanah yang terkena najis dapat menjadi bersih atau suci dengan cara dikeringkan ( dibawah terik matahari atau udara). Hal ini berdasarkan kepada kaidah yang artinya, “Bersihnya tanah ialah dengan cara mengeringkannya.” Juga, hal ini berdasarkan hadist riwayat Ibnu Umar. “aku sering tidur di mesjid Rasulullah saw. Ketika aku masih muda dan belum berumah tangga. Aku sering melihat anjing kencing dan berkeliaran dalam mesjid. Tetapi, tidak ada siapa pun yang memercikkan air padanya.” Sebab, dibedakannya antara shalat dan tayamum dalam kasus di atas adalah yang dituntut bagi sahnya shalat adalah suci (thaharah). Sedangkan yang dituntut untuk sahnya tayamum adalah, sifat menyucikan (thahuriyyah). Tanah yang terken najis apabila kering karena pancaran matahari hanya menghasilkan sifat thaharah (suci) bukan sifat thahuriyyah (menyucikan). Sesutu yang suci tidak mesti menyucikan. Sedangkan yang menjadi syarat dalam tayamum ialah, tanah yang menyucikan (thahuriyyah at-turab) sama seperti syarat air yang menyucikan (thahuriyyah al-ma’) dalam wudhu. Ulama selaim madzhab Hanafi mengatakan bahwa tanah tidak menjadi suci melalui proses pengeringan ( di bawah cahaya matahari atau udara). Tanah yang terken najis harus dibasuh dengan air. Oleh karena itu, jika tanah, kolam, sumur, tempat tampungan air dan lain-lain terkena najis (mutanajjis), maka ia dapat disucikan dengan cara memperbanyak curahan air, baik dengan air hujan ataupun yang lainnya. Sehingga, hilanglah zat najis itu, seperti yang diterangkan dalam hadist mengenai seorang Arab badui yang kencing di dalam mesjid Nabi Muhammad saw.. Lalu Rasul menyuruh supaya disiramkan air ke atasnya. 6. Pakaian Panjang yang Dipakai Menyentuh Tanah yang Najis dan Kemudian Menyentuh Tanah yang Suci Secara Berulang Kali Kejadian ini dapat menyucikan pakaian itu, sebab tanah dapat saling membersihkan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini berdasarka hadist yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah, “Saya adalah perempuan yang sering memanjangkan pakaian. Saya setring berjalan di tempat yang kotor.” Ia dapat dibersihkan oleh (tanah) yang berikutnya.” Ulama madzhab Maliki dan Hambali sepakat dengan ulama madzhab Hanafi tenteng hal ini. Tetapi, Imam asy-Syafi’i menganggapnya bersih jika kain itu menyentuh najis yang kering. Adapun ulama Madzhab Hambali hanya membatasi apabila najis itu sedikit. Jika najis itu banyak, maka kain itu harus dibasuh. 7. Mengeruk (al-Farku) Cara ini dapat membersihkan air mani manusia yang mengenai pakaian kemudian kering. Jika bekasnya masih ada setelah dikeruk, maka ia tetap bersih sama seperti bekas yang masih ada selepas dibasuh. Syaratnya ialah kepala kemaluan yang dilalui oleh air mani tersebut adalah suci. Umpamanya kelamin itu itu sebelumnya disucikan (dibasuh) dengan air, bukan disucikan secara istinja’ dengan kertas atau batu. Sebab, batu dan semacamnya tidak dapat menghilangkan kencing yang menyebar di atas kepala kemaluan itu. Jika air kencing tidak menyebar dan mani tidak melewati di atas kepala kemaluan, maka mani yang terkena pakaian dan sudah kering itu dapat dibersihkan dengan cara menguruknya. Karena, mani itu tidak dianggap najis sebab melewati air kencing yang ada pada bagian dalam kemaluan. Hukum ini berlaku bagi air mani lelaki dan juga air mani perempuan. Jika air mani itu masih basah atau air mani itu ialah air mani binatang ataupun air mani manusia, namun keluarnya adalah dari kemaluan yang kencingnya di bersihkan dengan kertas, batu atau seumpamanya, maka air mani itu tidak menjadi suci dengan cara mengeruknya. Ia harus dibasuh. Hal ini berdasarkan hadist Aisyah yang menceritakan bahwa dia membasuh kain Rasulullah saw.. yang terkena mani. Dalam hadist riwayat Imam ad-Daruquthni dari Aisyah juga disebutkan, “Saya mengeruk mani dari pakaian Rasulullah saw. Jika ia kering. Dan saya membasuhnya, jika ia basah. “Oleh sebab itu, mengeruk (al-farku) dan menggosok (ad-dalku) dapat dikatakan sebagai hal yang sama. Ulama Maliki sepakat dengan ulama Hanafi mengenai najisnya mani. Ulama Syafi’i dan Hambali mengatakan bahwa mani manusia adalah suci berdasarkan hadist yang diriwayatkan dari Aisyah yang ada pada ad-Daruquthni. Ibnu Abbas mengatakan, “Usaplah dengan idzkhirah (sejenis rumput yang berbau) atau dengan sepotong kain, karena ia adalah sama seperti ingus dan ludah.” Sebab terjadinya perbedaan pendapat ini ada dua. Pertama, hadist riwayat Aisyah tidak sama. Satu riwayat dikatakan bahwa ia membasuhnya, tetapi pada hadist lain yang diriwayatkan bahwa dia menggaruknya. Kedua, karena di satu sisi mani menyerupai hadast yang keluar dari mani, dan di sisi lain ia menyerupai unsur-unsur lebihan yang suci seperti susu dan lain-lain. Saya lebih condong kepada pendapat yang mengatakan bahwa air mani adalah suci. Karena pendapat ini memberi kemudahan kepada banyak orang. Pakaian yang terkena air mani patut dibasuh bukan karena najis, tetapi karena kotor berdasarkan hadist Aisyah yang pertama, yang mengatakan bahwa cukup dengan mengeruk air mani. Meskipun dalil ini sesuai untuk menjadi hujjah kepada ulama Hanafi, bahwa najis dapat dihilangkan dengan bahan selain air. 3. Penjelasan Tentang Najis An-Najasat adalah bentuk jama’ (plural) dari kata an-Najasah, yaitu sesuatu yang keluar dari dua saluran (pembuangan) manusia (qubul dan dubur) yang berupa: tinja, air seni, madzi, wadi atau mani. Termasuk juga air seni dan tinja setiap binatang yang dagingnya tidak halal dimakan, dan termasuk juga sesuatu yang apabila darah, nanah, atau muntahan yang telah berubah. Begitu pula berbagai jenis bangkai dan bagian-bagian tubuhnya kecuali kulit yang telah di samak, karena kulit itu menjadi suci dengan dijamak, berdasarkan sabda rosulullah:“Kulit manapun yang disamak berarti telah suci.” Ada dua pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Malik berkenaan dengan masalah ini, yaitu wajib dan sunnah. Jika orang yang berkenaan dalam keadaan sadar, mampu dan dapat menghilangkan najis itu, maka dengan pendapat yang mu’tamad dan masyhur mengatakan bahwa hukumnya sunnah. Namun menurut pendapat lain, hukumnya adalah wajib. 4. Etika Buang Hajat Hal-hal yang perlu di perhatikan sebelum buang hajat: 1. Mencari tempat yang sepi dari manusia dan jauh dari penglihatan mereka, berdasarkan riwayat nash bahwa apabila Nabi Muhammad Saw hendak buan air besar, beliau pergi hingga tidak ada seorang pun yang melihatnya. 2. Tidak membawa serta sesuatu yang mengandung nama Allah Swt, berdasarkan riwayat yang menyebutkan, bahwa Nabi Saw mengenakan cincin yang beukiran tulisan “Muhammad Rasulullah”, namun apabila beliau hendak masuk ke tempat buang hajat, beliau menanngalkannya. 3. Mendahulukan kaki kiri ketika masuk ke tempat buang hajat sambil mengucapkanDengan menyebut nama Allah, ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari setan jantan dan setan betina, berdasarkan hadis yang di riwayatkan oleh al-Bukhari, bahwa Nabi Saw mengucapkan demikian. 4. Tidak mengangkat pakaiannya sebelum mendekat ke tanah (untuk buang hajat) agar bisa menutupi aurat yang memang diperintahkan syariat untuk di tutupi. 5. Tidak jongkok mengahadapi kiblat atau membelakanginya saat buang air besar ataupun air kecil, berdasarkan sabda Nabi Muhammad Saw.“Janganlah kalian menghadap kearah kiblat dan jangan pula membelakanginya saat buang air besar atau air kecil.” Menurut pendapat ulama madzhab Hanafi, mengahadap kiblat ataupun membelakanginya dengan kemaluan ketika membuang air meskipun di lakukan didalam bangunan, adalah makhruh tahrim. 6. Tidak buang air besar ataupun air kecil di tempat bertedunya manusia atau di jalanan mereka, di tempat mengalirnya air yang di butuhkan mereka ataupun di bawah pepohonan mereka yang berbuah, berdasarkan sabda Nabi Muhammad Saw.“Jauhilah tiga perbuatan terlaknat. Buang air besar di tempat mengalirnya air, di tengah jalanan dan di tempat berteduh.” Dan telah diriwayatkan puladari beliau, hadis yang melarang buang air besar di bawah pepohonan yang berbuah. 7. Tidak berbicara ketika buang air besar, berdasarkan sabda Nabi Muhammad Saw.“Jika dua orang laki-laki sedang buang air besar, maka hendaklah mereka saling membelakangi dan masing-masing tidak saling berbicara (ngobrol), karena sesungguhnya Allah membenci hal itu.” A. Hal-Hal yang Berkaitan dengan Istijmar 1. Tidak beristijmar dengan tulang ataupun kotoran (tinja padat yang kering), berdasarkan sabda Nabi Muhammad Saw. “Janganlah kalian beristijmar dengan kotoran dan jangan pula dengan tulang, karena (tulang) itu adalah makanan saudara-saudara kalian dari bangsa jin.” Juga tidak boleh beristijmar dengan sesuatu yang bermanfaat, seperti, kain yang masih bisa dipakai, kertas atau lainnya, tidak juga boleh dengan bendan yang terhormat, seperti makanan, karena menghilangakn manfaat dan merusak kemaslahatan hukumnya haram. 2. Tidak cebok atau istinja’ dengan tangan kanan, atau menyentuh kemaluan dengan tangan kanan, berdasarkan sabda Nabi Muhammad Saw. “Janganlah seorang di antara kalian memegang kemaluannya dengan tangan kanannya ketika buang air kecil dan jangan pula cebok dengan tangan kananya”. 3. Beristijmar secara ganjil, misalnya tiga kali. Jika belum bersih maka lima kali, berdasarkan perkataan Salma. “Rasulullah Saw melarang kami menghadap kearah kiblat ketika buang air besar atau air kecil dan beluau (juga melarang kami) beristinja’ dengan tangan kanan atau kurang dari tiga batu atau beristinja’dengan raji’atau tulang.” Raji’ adalah kotoran baqhal ( peranakan keledai dan kuda) atau kotoran keledai. 4. Jika menggunakan air dan batu maka lebih dulu menggunakan batu lalu beristinja’ dengan air. Jika merasa cukup dengan salah satunya maka itu pun boleh walaupun menggunakan air lebih baik, berdasarkan perkataan Aisyah R.a. “serulah suami kalian untuk bersuci (cebok) dengan air. Sesungguhnya aku malu (untuk menyampaikan) kepada mereka.Sesungguhnya Rasulullah Saw melakukannnya demikian.” B. Hal-Hal yang Perlu di Lakukan Setelah Buang Hajat 1. Mendahulukan kaki kanan ketika keluar dari tempat buang hajat, karena begitulah yang dilakukan Rasulullah Saw. 2. Mengucapkan,akumohon ampunanMu, atau “ Segala puji bagi allah yang telah menghilangkan penyakit dariku dan menyehatkanku, atau “atau “ Segala puji bagi allah yang telah berbuat baik padaku pada awal dan akhirnya,” atau “Segala puji bagi Allah yang telah membuat merasakanlezatnya makanan, membiarkan kekuatan tetap padak, dan menghilangkan penyakit dariku.” Semua doa ini disebutkan dalam kitab-kitab hadis dan derajatnya Hasan. 5. Wudhu A. Ketentuan Syariat Mengenai Wudhu dan Keutamannya 1. Disyariatkannya Wudhu Wudhu disyariatkan berdasarkan al-qur’an dan as-Sunnah. Allah Swt berfirman, “Hai orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basulah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah mukamu dan (basulah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”(Al-Mai’dah; 6).Rasulullah Saw telah bersabda, “Shalat salah seorang dari kalian kamu tidak akan diterima jika dia memiliki hadats, sehingga dia berwudhu (terdahulu).” 2. Keutamaan Wudhu Sebagai bukti yang menunjukkan bahwa dalam wudhu itu terdapat keutamaan adalah sabda Rasulullah Saw, “Maukah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu yang dapat mengahapus kesalahan serta menganngakat derajat?”Mereka (para sahabat) menjawab”Tentu saja, wahai Rasulullah, “Beliau bersabda,”menyempurnakan wudhu pada saat yang dibenci, melangkahkan kaki ke masjid dan menunggu shalat (berikutnya) setelah sahalat maka itulah ribath.” . Kemudian dalam hadis yang lain, Rasulullah Saw bersabda, “Jika seorang Muslim atau seorang Mukmin berwudhu, lalu dia membasuh mukanya, niscaya keluar dari mukanya setiap kesalahan yang dilihat oleh kedua matanya seiring dengan mengalirnya air atau tetesan air yang terakhir, kemudian jika dia membasuh kedua tangannya, niscaya keluar setiap kesalahan yang di lakukan oleh tangannya seiring dengan mengalirnya air atau tetesan air yang terakhir, sehingga dia selesai (berwudhu)dalam keadaan bersih dari dosa-dosa (kecil) . B. Hal-Hal yang Difardhukan, Disunnahkan dan Dimakhruhkan dalam Wudhu 1. Hal-Hal yang Difardhukan dalam Berwudhu a. Niat, yaitu tekad hati untuk mengerjakan wudhu sebagai bentuk ketaatan kepada perintah Allah Swt, berdasarkan sabda Rasulullah, “sesungguhnya amal itu tergantung kepada niat ,” b. Membasuh muka: dari bagian dahi paling atas hingga ujung dagu dan dari pangkal telinga yang satu hingga pangkal telinga yang satu lagi, berdasarkan firman Allah Swt. “Maka basulah mukamu.”(Al-maidah:6). c. Membasuh kedua tangan hingga dua siku, berdasarkan firman Allah Swt “Dan basuhlah tangan mu sampai dengan siku.” (Al-Mai’dah:6). d. Mengusap kepala dimulai dari dahi hingga tengkuk, berdasarkan firman Allah Swt, “Dan usaplah kepalamu.”(Al-Maidah;6). e. Membasuh dua kaki hingga ua mata kaki, berdasarkan firman Allah Swt,”Dan (basulah)kakimu sampai dengan kedua mata kaki berdasarkan, firman Allah Swt,”Dan( basulah )kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”(Al-mai’dah; 6). f. Tertib (berurutan) di antara anggota-anggota wudhu yang di basuh, yaitu pertama membasuh muka, lalu membasuh dua tangan, lalu menyapu kepala, lalu membasuh dua kaki, sebagaimana urutannya tertera di dalam perintah memulainnyaseterusnya. g. Berkesinambungan atau bersegera, yakni pelaksanaan wudhu itu dilakukan dalam satu waktu tanpa ada jeda waktu, karena dilarang memusatkan ibadah setelah memulainya, Allah Swt berfirman, “Dan janaganlah kamu merusak pahala amal-amalmu.”(Muhammad:33). Tetapi jeda waktu yang hanya sebentar dimaafkan, begitu juga karena adanya Udzr (alasan yang dibolehkan agama), seperti airnya habis atau tersendat, atau mengalirkan air terlebih dahulu meski jeda waktunya cukup lama, karena Allah tidak membebani seseorang kecuali menurut kesanggupannya. Sebagian ulam menganggap bahwa “menggosok-gosok anggota-anngota wudhu yang dibasuh merupakan bagian dari fardhu wudhu, tetapi sebagian lagi menaggapnya sebagai bagian dari sunnah-sunnah wudhu pada hakikatnya. Menggosok-gosok itu termasuk kesempurnaan membasuh anggota wudhu sehingga tidak berdiri sendiri dalam nama hokum tertentu. 2. Hal-Hal yang di sunnahkan dalam Berwudhu a. Membaca basmalah saat memulainnya, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Tidak (sempurna)wudhu seseorang yang tidak menyebut Nama Allah padanya.” b. Membasuh dua telapak tangan lebih dahulu sebanyak tiga kali sebelum memasukkan kedduannya pada tempat air, jika bangun tidur, sebagaimana sabda Rasululah Saw,”jika salah seorang di antara kamu bangun tidur, maka janganlah ia mencelupkan tangannya pada tempat air sehingga membasuhnya (terlebih dahulu)sebanyak tiga kali, karena ia tidak mengetahui di manakah tangannya berada (saat tidur).” Jika tidak dalam kondisi bangun tidur, maka tidak ada larangan memasukikan tangan ke tempat air dan mencidukkannya untuk membasuh dua telapak tangan sebanyak tiga kali sebagai bagian dari sunah wudhu. c. Bersiwak berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya akan aku perintahkan kepada mereka supaya bersiwak setiap kali berwudhu.” d. Berkumur, yaitu mengerak-gerakkan air di dalam mulut dari sudut yang satu ke sudut yang lain, lalu membuangnya, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “jika kamu berwudh, hendaklah kamu berkumur,” e. Menghirup air kehidung dan membuangnya, berdasarkan berdasarkan sabda Rasulullah,”Lakukanlah secara maksimal di dalam menghirup air kehidung kecuali jika kamu sedang berpuasa.” f. Menyela-nyela jenggot, berdasarkan perkataan Ammar bin Yasir menyela-nyela jenggot pernah di anngap sebagai perbuatan yang aneh darinya, “tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangiku, dan aku telah melihat Rasulullah Saw menyela-nyela jenggotnya.” g. Membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali, tiga kali. Jadi yang fardhu itu hanya satu kali, sedangkan tiga kali termasuk sunnah. h. Mengusap kedua telinga bagian luar maupun bagian dalamnya, sebagaiman yang dilakukan Rasulullah Saw. “jika kamu berwudhuhendaklah kamumenyela-nyela jari-jari kedua tanganmu dan kedua jari-jari kakimu.” i. Mendahulukan bagian anggota wudhu yang sebelah kanan ketika membasuh dua tangan dan dua kaki, berdasarkan sabda Rasulullah, “jika kamu berwudhu, hendaklah kamu memulai (mendahulukan) dengan bagian anggota wudhumu yang sebelah kanan.” Keterangan ini diperkuat dengan pernyataan Aisyah R.a, kebiasaan Nabi Muhammad Saw, bahwa beliau senang mendahulukan bagian yang sebelah kanan dalam memakai sandal, menyisir rambut bersuci, dan dalam segala hal. j. Memanjangkan serta melebarkan basuhan, yakni saat membasuh muka melebarkan basuhan hingga pinggir leher , saat membasuh dua tangan memanjangkan basuhan hingga membasuh bagian dari dua betis , berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “ sesungguhnya umatku akan datang kelak pada hari kiamat dalam keadaan gurran (putih dahinya )dan muhajjalin (putih dua tangan dan dua kakinya) kareana bekas wudhu. Barang siapa yang ,mampu memanjangkan basuhannya (ketika berwudhu), hendaklah ia melakukannya.” k. Pada saat mengusap kepala, hendaklah di mulai dari bagian depannya, berdasarkan keterangan yang terteradalam sebuah hadis, “bahwasanya Rasulullah Saw mengusap (rambut) kepalanya engan dua tangannya dan beliau membolak balikkan keduannya. Yaitu beliau memulainya dengan bagian depan kepalanya, lalu beliau membolak balik keduanya”. l. Berdoa setelah selesai berwudhu, “aku bersaksi bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak di sembah melainkan Allah, yang Esa, yang tidak ada sekutu baginya, dan aku pun bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hambah dan utusannya. Ya Allah jadikannlah aku termasuk golongan orang-orang bertaubat dan jadikanlah akutermasuk golongan orang-orang yang selalu menyucikan diri”. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Barang siapa yang berwudhu lalu ia membaguskan (menyempurnakan) wudhunya, lalu ia berdoa, Asyhadu alla ilaha illallahu…’ niscaya akandi bukakan baginya pintu surge yang delapan sehinnga ia dapat memasukinya dari pintu yang mana saja yang di kehendakinnya,” 3. Hal-Hal yang di Makruhkan dalam Berwudhu a. Berwudhu di tempat bernajis, kaarena dikhwatirkan najis iyu akan mengenai pelakunya. b. Lebih dari tiga kali basuhan, berdasarkan sebuah hadis, bahwa Nabi Muhammad Saw berwudhu dengan tiga kali basuhan, tiga kali basuhan, dan beliau bersabda, “Barangsiapa yang menambah basuhan, maka ia telah melakukan suatu kejelekan serta telahberbuat Zhalim” c. Berlebih-lebihan dalam menggunakan air, karena Rasulullah Saw berwudhu dengan air satu mud (0,668 liter )- sepenuh dua telapak tangan-. Sedangkan berlebih-lebihan dalam mengerjakan segala sesuatu termasukperbuatan yang paling di larang. d. Meninggalkan salah satu atau beberapa sunnah wudhu, kareana dengan meninggalkannya berarti telah mengabaikan suatu pahala, yang tidak sepantasnya diabaikan. e. Berwudhu dengan air lebihan dari air yang dipakai bersuci oleh istri. Hal itu berdasarkan keterangan dalam sebuah hadis, “Rasulullah Saw melarang (bersuci dengan air) lebihan dari air (yang di pakai) bersuci oleh istri.” C. Tata Cara Berwudhu Jika memungkinkan, hendaklah orang yang akan berwudhu meletakkan tempat air di sebelah kanannya. Kemudian membaca bismillah, lalu menuangkan air pada dua telapak tangannya sambil niat berwudhu, lalu membasuh keduanya sebanyak tiga kali, lalu berkumur sebanyak tiga kali dan membuangnnya, lalu memghirup air kehidungnya sebanyak tiga kali, lalu membasuh mukanya dari mulai tempat tumbuh rambut kepala menurut ukuran standard hingga ujung jenggotrnya dalam batasan panjangnya serta dari pangkal telinganya yang satu hinnga pangkal telinganya yang satu lagi dalam batasan lebarnya sebanyak tiga kali, lalu membasuh tangannya yang sebelah kanan hingga lengan atas sebanyak tiga kali dan menggosok sela-sela jarinya, lalu membasuh tangan yang sebelah kiri sebagaimana ketentuan dalam membasuh tangan kanannya, lalu mengusap kepalanya satu kali; di mulai dari bagian depan kepalanya serta mengusapkan kedua tangannya ketengkuknya, lalu mengusap kedua telingannya yang satu lagi dalam batasan lebarnya sebanyak tiga kali, lalu membasuh tangannya yang sebelah kanan hingga lengan atas sebanyak tiga kali dan menggosok sela-sela jarinya, lalu membasuh tangannya yang sebelah kanan hingga lengan atas sebanyak tiga kali dan menggosok sela-sela jarinya, lalu membasuh tangannya yang sebelah kiri sebagaimana ketentuan dalam membasuh tangan kananya, lalu mengusap kepalanya satu kali; dimulai dari bagian depan kepalanya serta mengusapkan kedua tangannya ketengkuknya, lalu mengembalikan kedua tangannya hingga tempat permulaan (bagian depan kepalanya), lalu mengusap kedua telinganya; baik bagian luar maupun bagian dalamnya dengan air yang masih tersisa pada kedua tangannya, atau membasahi keduanya kembali dengan air yang baru, jika pada kedunya tidak tersisa air, lalu membasuh kakinya yang xebelah kanan hingga betisnya sambil menggosok sela-sela jarinya, lalu membasuh kakinya yang sebelah kiri sebagaimana ketentuan dalam membasuh kakinya yang sebelah kanan, kemudian berdoa: “Aku berasaksi bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah semata, tidak ada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasulnya. Ya allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat, dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang menyucikan diri.” Tata cara di atas berdasarkan keterangan dalam sebuah riwayat, bahwa saat Ali Ra berwudhu, maka beliau membasuh kedua telapak tangannya hingga keduanya bersih, lalu beliau berkumur-kumur sebanyak tiga kali, lalu membasuh mukanya sebanyak tiga kali, lalu membasuh dua tangannya hingga dua lengannya sebanyak tiga kali, lalu menyapu kepalanya satu kali,lalu membasuh kedua kakinya hingga kedua mata kaki, seraya berkata, “Aku ingin memperlihatkan kepadamu bagaimana cara-cara bersuci (berwudhu) Rasullah.” 4. Hal-Hal yang Membatalkan Wudhu Adapun hal-hal yang membatalkan wudhu adalah sebagai berikut: a. Adanya sesuatu yang keluar dari dua lobang (qubul dan dubur), seperti :Air seni, madzi, wadi, kotoran (tinja) atau kentut yang berbunyi, semuanya itu di sebut dengan hadats dan yang dimaksud oleh sabda Rasulullah Saw, “Allah tidak akan menerima shalat salah seorang dari kalin, jika dia berhadats sehingga dia berwudhu (terlebih dahul).” b. Tertidur lelap, jika pelakunya itu tertidur dalam keadaan berbaring, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Mata itu adalah tali pengikat dubur, maka barangsiapa yang tertidur, hendaklah ia berwudhu.” c. Tertutupnya akal dan hilangnya perasaan (kesadaran) sebab pingsan, mabuk atau gila, karean saat akal itu tertutup, niscaya seseorang tidak akan mengetahui apakah wudhunya itu batal dengan keluarnya kentut misalnya, atau tidak? d. Memegang kemaluan dengan bagian dalam telapak tangan serta jari-jari tangan, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Barangsiapa yang memegang kemaluanny, hendaklah ia tidak shalat sehingga berwudhu (terlebih dahulu). e. Murttad, misalnya mengatakan sesuatu perkkataan yang menyebabkan kufur..jika seseorang mengatakan perkataan itu, niscaya wudhunya dihukumi batal dan seluruh amal ibadahnya terhapus, berdasarkan firman Allah Swt, ”Jika kamu mempersejutuan (Allah), niscaya akan terhapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65). f. Memakan daging unta, berdasarkan pertanyaan seorang sahabat kepada Rasulullah Saw, “Apakah kami harus berwudhu karena makan daging domba?” Rasulullah Saw menjawab, jika kamu berkenan.” Sahabat tadi bertanya kembali, “apakah kamiharus berwudhu karean makan daging unta?” Rasulullah Saw menjawab, “ Ya, benar. Akan tetapi mayoritas sahabat tidak berpendapat harusnya berwudhu sehabis memakan daging unta karena hadis yang memerintahkannya dimansukh (dibatalkan ketentuan hukumnya), juga mayoritassahabat tidak berwudhu setelah memakan daging unta, termasuk Khulafa’ Rasyidin yang empat. g. Menyentuh wanita sisertai syahwat (birahi), karean menginginkan syahwat itu sama seperti adanya syahwat tersebut yang membatalkan wudhu dengan dalil bahwa seseorang yang menyentuh kemaluan diperintahkan berwudhu karena menyentuh kemaluan diperintahkan berwudhu, karena menyentuh kemaluandapat membangkitkan syahwat. Dalam kitab al-Muaththa’ terdapat sebuah riwayat yang menjelaskanbahwa Ibnu Umar Ra berkata, “Seorang suami yang mencium dan meraba-raba istrinya adalah bercumbu, maka barangsiapa yang mencium dan meraba-raba istrinya, hendaklah ia berwudhu.” 5. Factor Penyebab dianjurkannya Berwudhu: Wudhu sangat dianjurkan bagi orang-orang berikut ini: a. Orang yang berpenyakit hadis, yakin seseorang yang pada kebanyakan waktunya tidak henti-hentinya buang kotoran dan mengeluarkan kentut. Bagi seseorang yang menderita hal tersebut sangat dianjurkan supaya berwudhu pada tiap-tiap shalat, dianalogikan kepada seseorang wanita yang mengalami isthadhah, (terus-menerus mengeluarkan darah penyakit dari vaginanya). b. Wanita yang mengalami istidhadah, yakni wanita yang terus menerus mengeluarkan darah (dari vaginanya) di luar hari-hari kebiasaan mensrtruasinya. Bagi seorang wanita yang menderita hal tersebut sangat dianjurkan supaya berwudhu pada tiap-tiap shalat; sebagaimana layaknya seseorang yang berpenyakit hadas, di dasarkan kepada sabda Rasuullah Saw yang ditunjukan kepada Fatimah binti Abi Hubaisy “ kemudian berwudhui kamu pada tiap-tiap shalat.” c. Orang yang memandikan dan memikul jenazah, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Barangsiapa yang memandikan mayit, hendakalah ia mandi; dan barang siapa yang memikulnya, hendaklah ia berwudhu.” 6. Mandi A. Ketentuan Syari’at mengenai Mandi dan Penjelasan Tentang Hal-Hal yang mewajibkannya. 1. Ketentuan Syari’at Tentang Mandi Mandi disyariatkan berdasarkan al-Quran serta as-Sunnah.Allah Swt berfirman, “Dan jika kamu junub, maka mandilah.”(Al-Mai’dah: 6). Dalam ayat lain Allah berfirman, “(Jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (An-Nisa: 43). Rasulullah Saw bersabda, “Jika suatu kemaluan bersentuhan dengan kemaluan lain, maka mandi telah wajib atas keduanya.” 2. Hal-Hal yang Mewajibkan Mandi Jinabah, termasuk di dalamnya jima’ (bersetubuh), yaitu bertemunya dua kemaluan meskipun tidak sampai keluar air mani ( inza); dan inzal, yaitu keluarnya air mani dalam keadaan terasa ena, baik saat tidur maupun saat tidur maupun saat terjaga, baik dari laki-laki maupun dari wanita, berdasarakan firman Allah Swt, “dan jika kamu junub, maka mandilah.”(Al-Mai’dah: 6). Juga sabda Rasulullah Saw, “Jika dua kemaluan bertemu, maka mandi telah wajib atas keduanya.” a. Berhentinnya darah haid atau darah nifas, berdasarkan firman Allah Swt, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, haid itu ialah suatu kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Al-Baqorah: 222). Juga sabda Rasullah Saw, “Berdiam dirilah selama (darah) haidmu menahanmu, kemudian mandilah.” b. Masuk Islam. Orang kafir 7yang masuk islam diwajibkan mandi, karena Rasulullah Saw pernah memerintahkan Tsumamah al-Hanafi untuk mandi ketika ia masuk masuk Islam. c. Kematian. Jika seorang Muslim meninggal, maka wajib dimandikan, berdasarkan perintah Rasullah Saw mengenai hal tersebut, dimana beliau memerintahkan memandikan jenazah shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1255. 3. Factor yang Menyebabkan Dianjurkannya Mandi Adapun hal-hal yang menyebabkan dianjurkannya mandi: a. Menunaikan Shalat Jum’at, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “mandi untuk menunaikan Shalat jum’at diwajibkan (dianjurkan) kepada setiap orang baligh.” b. Menunaikan ihram. Disunnahkan bagi orang yang akan menunaikan ihram umrah atau haji untuk mandi, karena hal itu dilakukan dan diperintahkan oleh Rasulullah Saw. c. Memasuki kota makkah dan wuqauf di Arafah, karena hal itu dilakukan oleh Rasulullah Saw. d. Memandikan mayit. Orang yang memandikan mayit disunnahkan untuk mandi, sebagaimana dijelaskan dalamhadis yang lalu. A. Hal-Hal yang Difardhukan dalam Mandi Adapun hal-hal yang difardhukan dalam mandi adalah: a. Niat, yaitu berketepatan hati untuk menghilangkan hadas besar dengan cara mandi, berdasarkan sabda Nabi Muhammad Saw, “sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan memperoleh sesuatu yang diniatkannya.” b. Menyiramkan air ke seluruh tubuh secara merata dengan menggososok-gosok bagian anggota tubuh yang mungkin digosok, serta menyiramkan air ke bagian anggota tubuh yang tidak mungkin di gosok, sehingga diyakini bahwa air tersiram secara merata keseluruh tubuh. c. Menggosok sela-sela jari dan mengurai-urai rambut kepala dan rambut yang lainnuya serta memperhatikan bagian-bagian anggota tubuh yang sulit tersiram air seperti pusar dan yang lainnya. B. Hal-hal yang disunnahkan dalam Mandi a. Membaca “ Basmallah”, karena hal itu disyariatkan di dalam melaksanakan setiap melaksankan amal yang baik. b. Membasuh kedua telapak tangan sebagai permulaan sebelum keduannya dimasukkan ke dalam tempat air sebagaimana telah dijelaskan dalam hadis yang lalu. c. dengan menghilangkan kotoran. d. Dimulai Mendahulukan anggota wudhu sebelum membasuh tubuh. e. Berkumur, menghirup air serta membasuh tubuh. f. Berkumur, menghirup air serta membasuh lubang kedua telinga yakni bagian dalamnya. C. Hal-Hal yang dimakhrukan dalan Mandi a. Berlebih-lebihan dalam menggunakan air, karena Nabi Muhammad Saw mandi cukup dengan air satu Sha’, yaitu 4 mud (2,75 liter ). b. Mandi di tempat yang bernajis, karena dikhwatirkan akan terkena najis. c. Mandi dengan air lebihan dari air yang dipakai bersuci oleh istri, karena Rasullah Saw melarang bersuci dengan air lebihan dari air yang dipakai bersuci oleh istri sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. d. Mandi tanpa penutup, berupa dinding atau benda yang lainnya, berdasarkan sebuah keterangan yang dituturkan oleh Maimunah Ra, “Aku meletakkan air untuk Nabi Muhammad Saw dan aku menutup beliau lalu beliau mandi.” Jika mandi tanpa penutup itu tidak dimakhruhkan, niscaya Rasulullah Saw tidak akan memakai penutup ketika mandi. Juga berdasarkan sabda Rasulullah, “Sesungguhnya Allah Swt itu maha pemalu lagi maha tertutup, yang mencintai orang-orang yang pemalu.Karena itu jika salah seorang di antara kamu mandi, hendaklah ia memakai penutup.” e. Mandi di air yang tergenang berdasarkan sabda Nabi Muhammad Saw, “endaklah salah seorang diantara kamu tidak mandia ir yang tergenang, sedangkan ia dalam keadaan junub.” 4. Tata cara Mandi Hendaknya seseorang yang mandi membaca basmallah seraya meniatkan mandinya untuk menghilangkan hadas besar, lalu membasuh kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, lalu beristinja’ (membersihkan kotoran ) dan membasuh kemaluannya, duburrnya dan bagian anggota tubuh di sekitar keduannya dari kotoran, lalu berwudhu seraya berniat menghilangkan hadas kecil tanpa membasuh kedua kakinya, karena ia dibolehkan membasuh keduanya dari kotoran, lalu berwudhu seraya berniat menghilangkan hadas kecil tanpa membasuh kedua kakinya, karena ia dibolehkan membasuh keduanya bersama wudhunya atau menangguhkan atau membasuh keduanya hingga akhir mandinya, lalu membenamkan kedua telapak tangannya kedalam air, lalu mengurai-ngurai pangkal rambut kepalanya dengan kedua telapak tangandengan tiga kali cidukan, lalu menyiramkan air kebagian tubuhnya yang sebelah kanan dari atas ke bawah , lalu menyiramkan air kebagian tubuhnya yang sebelah kiri. Pada saat menyiramkan air ke tubuh, maka yang perlu diperhatikan ialah bagian tubuh yang tersembunyi yang sulit tersiram air, seperti pusar, bagian tubuh yang ada di bawah kedua ketiak, bagian tubuh yang ada dibawah kedua lutut dan lain-lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah Ra, “Apabila Rasulullah Saw hendak mandi jinabah, beliau memulai dengan membasuh kedua tangannya sebelummemasukkan keduannya kedalam tempat air, kemudian membasuh kemaluannya dan berwudhu untuk mrenunaikan shalat, kemudian membasahi rambutnya dan menyiram kepalanya sebanyak tiga kali, selanjutnya menyiramkan air keseluruh tubuhnya.” 5. Hal-hal yang Dilarang Saat Jinabah a. Membaca al-qur’an kecuali ta’awudz dan sejenisnya (doa ), berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Perempuan yang sedang haid serta orang yang sedang junub tidak dibolehkan membaca sesuatupun dari al-qur’an.” , Kemudian berdasarkan keterangan A li Ra, bahwa Rasaulullah Saw bisa membacakan al-qur’an kepada kami pada setiap kesempatan selama beliau tiudak sedang junub. b. Memasuki masjid, kecuali hanya sekedar melintasinya bagi orang yang terpaksa untuk melintasnya, berdasarkan firman Allah Swt, “janganpula hampiri masjid sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar lewat saja.”(An-Nisa: 43) c. Menunaikan shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah, berdasarkan firman Allah Swt, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.”(An-Nisa :43). d. Menyentuh Al-qur’an, meskipun menggunakan kayu atau benda lainnya, berdasarkan firman Allah Swt, “sesungguhnya al-Qur’an ini adalah bacaan yangsangat mulia, pada kitab yang terpelihara (lahul mahfudz), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang di sucikan. (Al-Waqi’ah: 77-79). Kemudian berdasarkan sabda Rasulullah Saw “Janganlah kamu menyentuh al-qur;an, kecuali kamu dalam keadaan suci.” 7. TAYAMUM 1. Definisi Tayamum Tayamum menurut arti bahasa adalah al-qashd (niat). Adapun dari segi istilah, para ahli fiqih memberi definisi tayamum dengan beberapa ungkapan yang hampir sama. Berikut ini definisi tayamum menurut beberapa ahli fiqih diantaranya: A. Ulama Hanafi Ulama hanafi mendefinisikan tayamum dengan mengusap muka dan dua tangan dengan debu yang suci. Al-qashd menjadi syarat dalam tayamum. Sebab ia adalah niat, yaitu qashd menggunakan debu yang suci dengan sifat tertentu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT (ibadah) B. Ulama Maliki Ulama Maliki mendefinisikan tayamum sebagai satu bentuk cara bersuci dengan menggunakan debu yang suci dan digunakan untuk mengusap muka dan dua tangan dengan niat. C. Ulama Syafi’i Ulama syafi’I mendefinisikan tayamum sebagai mengusapkan debu ke wajah dan kedua tangan sebagai ganti wudhu, mandi atau salah satu anggota dari keduanya dengan syarat-syarat tertentu 1. Dasar pensyariatannya Tayamum adalah salah satu cirri umat Islam. Ia disyariatkan pada waktu peperangan Bani al-Musthaliq (peperangan al-Muraisi), yaitu pada tahun keenam Hijrah, ketika Sayyidatina Aisyah kehilangan kalungnya. Lalu Rasulullah saw, memerintah para sahabat untuk mencarinya. Kemudian masuklah waktu shalat, tetapi mereka tidak mempunyai air untuk berwudhu. Oleh karena itu, turunlah ayat tayamum dan juga ayat yang menyucikan Aisyah dari tuduhan dusta, yaitu yang terdapat dalam surah an-Nuur. Tayamum disyariatkan bagi orang yang tidak menemukan air setelah berusaha semaksimal mungkin mencarinya, atau ia menemukannya, akan tetapi ia tidak dapat memakainya karena sakit, atau ia merasa khawatir jika memakainya, penyakitnya itu akan bertambah parah, Sedangkan bagi seseorang yang hanya menemukan sedikit air, tetapi air tersebut tidak cukup untuk membersihkan seluruh tubuhnya, hendaklah ia membersihkan sebagian dari anggita tubuhnya dengan air tersebut, kemudian ia bertayamum untuk anggota tubuhnya yang tersisa. 2. Sebab-sebab Tayamum Sebab-sebab tayamum atau uzur yang membolehkan bertayamum adalah sebagai berikut a. Tidak adanya air yang mencukupi untuk wudhu ataupun mandi Kedudukan itu adakalanya memang nyata seperti tidak adanya air sama sekali ataupun ada air, tetapi tidak mencukupi b. Tidak ada kemampuan untuk menggunakan air Menurut ulama Madzhab Maliki, Hambali dan lain-lain, orang yang tidak bisa menggunakan air seperti orang yang dipaksa (tidak boleh menggunakan air), orang yang dipenjara, orang yang takut binatang buas ataupun takut kecurian, baik dia sedang berada dalam perjalanan ataupun sedang bermukim, dan meskipun perjalanannya itu adalah perjalanan maksiat, maka dia boleh bertayamum. c. Sakit atau lambat sembuh Jika seseorang mengkhawatirkan jiwanya atau khawatir rusaknya anggota badan jika dia menggunakan air, karena memang dia sedang sakit atau demam dsb, sehinga dia bimbang jikalau dia menggunakan air, maka sakitnya akan bertambah parah atau semakin lambat sembuh, dan dia mengetahui hal itu berdasarkan pengalaman, maka dia dibolehkan bertayamum. d. Ada air, tapi ia diperlukan untuk sekarang ataupun untuk masa yang akan datang Seseorang boleh bertayamum jika dia yakin atau mempunyai sangkaan kuat (zhan), bahwa pada masa yang akan datang dia sangat memerlukan air tersebut. Ulama madzhab Syafi’I dan Hambali e. Khawatir hartanya rusak jika dia mencari air Menurut ulama Maliki, seseorang yang mampu menggunakan air baik semasa musafir ataupun bermukim, namun jika dia mencari air tersebut baik air itu dipastikan ada ataupun diduga kuat ada dia khawatir hartanya yang berharga akan rusak baik harta itu milik sendiri ataupun milik oranglain, mka dia boleh bertayamum. Tetapi jika ia ragu akan kewujudan air, hendaklah dia bertayamum meskipun harta yang bernilai itu sedikit saja. f. Iklim yang sangat dingin atau air menjadi sangat dingin Iklim yang sangat dingin menyebabkan seseorang dibolehkan bertayamum, jika memang penggunaan air dapat membahayakan dan pada waktu yang sama tidak ada alat pemanas air. Tetapi, para ulama mazhab Hanafi membatasi dibolehkannya tayamum karena hawa dingin ini, hanya kepada orang yang khawatir mati jika menggunakan air, menyebabkan rusaknya fungsi sebagian anggota badan, atau menimbulkan penyakit. g. Tidak ada alat untuk mengambil air, seperti tidak ada timbah ataupun tali Orang yang sebenarnya mampu menggunakan air boleh melakukan tayamum, jika tidak ada orang yang dapat membantunya untuk mendapatkan air, ataupun dia tidak mempunyai alat untuk memperoleh air, seperti tidak adanya tali ataupun tidak ada timbah, sedangkan dia khawatir waktu solat akan terlewat. Dalam keadaan seperti ini, orang tersebut dianggap seperti orang yang tidak mempunyai air. h. Khawatir terlewat waktu sholat. Ulama madzhab Syafi’I tidak membolehkan tayamum dengan alasan khawatir terlewat waktu solat. Karena, tayamum dalam keadaan seperti ini berarti tayamum dalam kondisi ada air. Namun mereka mengecualikan kasus orang yang musafir, sebab orang musafir tidak wajib mencari air. 2. Rukun-rukun Tayamum Tayamum mempunyai beberapa rukun atau disebut juga fardhu. Maksud dar rukun disini adalah sesuatu yang menjadi asas bagi kewujudan suatu perkara, atau dia merupakan bagian terpenting dari perkara tersebut. a. Niat ketika mengusap muka Niat adalah fardhu menurut kesepakatan seluruh mazhab fiqih yang 4, termasuk al-qaduri dan pengarang kitab al-hidayah pengikut mazhab Hanafi. Sebagian ulama mazhab Hanafi dan Hambali menjadikannya syarat. Pendapat ini juga merupakan pendapat utama dalam mazhab Hambali dan Hanafi. b. Mengusap muka dan kedua tangan serta meratakannya Masalah ini adalah berdasarkan firman Allah SWT, “….Usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu…” (al-maa’idah:6) Yang perlu dilakukan ketika mengusap dua tangan-menurut pendapat Hanafi dan Syafi’I- adalah mengusap secara menyeluruh kedua tangan hingga ke siku sama seperti dalam wudhu. Dalilnya adalah berdasarkan ayat di atas. Hal ini karena tayamum adalah sebagai ganti wudhu. Dan perlu diperhatikan kata tangan disebut secara mutlak didalam ayat tayamum, sedang dalam wudhu dibatasi (muqayyad) dengan firmah Allah SWT, “….hingga ke siku…’’(al-maa’idah: 6) 3. Hal-hal yang difardhukan dan disunnahkan dalam tayamum A. Hal-hal yang difardhukan dalam Tayamum Adapun hal-hal yang difardhukan dalam tayamum adalah sebagai berikut 1. Niat, berdasarkan sebuah hadits “sesungguhnya amal itu tergantung pada niat dan setiap orang akan memperoleh sesuatu yang diniatkan.” Hendaklah tayamum itu diniatkan supaya dibolehkan mengerjakan ibadah yang tadinya dilarang karena hadats. Sehingga dengan bertayamum, shalat dan ibadah yang lainnya menjadi diperbolehkan. 2. Tanah yang bersih (suci), berdasarkan firman Allah yang artinya “Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci).” (An-Nisa:43) 3. Tepukan yang pertama, yakni meletakkan kedua tangan di atas tanah. 4. Mengusap muka dan kedua telapak tangan, berdasarkan Firman Allah, “Usapkanlah muka dan tanganmu.” (An-Nisa: 43). B. Hal-hal yang disunnahkan dalam tayamum Adapun hal-hal yang disunnahkan dalam tayamum adalah sebagai berikut: 1. Membaca basmallah, karena hal tersebut disyariatkan dalam melakukan setiap amal kebaikan 2. Tepukan yang kedua. Jika hukum tepukan yang pertama adalah wajib dan dihukumi cukup dengannya, maka hukum tepukan yang kedua adalah sunnah. 3. Mengusap kedua lengan beserta kedua telapak tangan. Jika hanya mengusap keua telapak tangan saja, maka hal itu dibolehkan. Sedangkan mengusap kedua lengan tangan semata-mata sebagai bentuk kehati-hatian saja. Perbedaan tersebut terjadi karena adanya perbedaan didalam menafsirkan makna kata yaddin dalam ayat tersebut diatas. C. Hal-hal yang membatalkan tayamum dan hal-hal yang dibolehkan karena tayamum Ada dua hal yang dapat membatalkan tayamum, yaitu: 1. Setiap yang membatalkan wudhu, karena tayamum itu adalah pengganti wudhu. 2. Adanya air bagi orang yang bertayamum karena alasa tidak ada air sebelum memulai shalat atau pada saat sedang menunaikannya. Adapun jika adanya air itu diperoleh setelah selesai shalat, maka shalatnya dihukumi sah dan tidak perlu mengulanginya, berdasarkan sabda Rasulullah SAW “Janganlah kamu melakukan satu shalat dua kali dalam sehari”. 8. KHUF A. Definisi mengusap khuf dan dasar mensyariatkan Mengusap khuf merupakan pengganti untuk membasuh kedua kaki dalam berwudhu. Dari segi bahasa, khuf berarti ‘menggerakkan’tangan diatas sesuatu.’ Sedangkan dari segi syara’ khuf berarti menyentuh khuf yang tertentu dan ditempat tertentu, dengan tangan yang dibasahi dengan air dan dilakukan pada waktu yang tertentu. Adapun khuf dari segi syara bermakna pakaian kulit atau sejenis nya yang menutupi dua mata kaki ke atas’ bagian tertentu yang perlu diusap adalah bagian luar kedua khuf saja, bukan bagian dalamnya. Lama waktunya adalah sehari semalam bagi yang bermukim dan tiga hari tiga malam bagi mereka yang musafir. Ulama mazhab Maliki tidak memberikan batasan waktu untuk mengusap khuf ini seperti yang akan diterangkan nanti. B. Kedudukan mengusap khuf Mengusap khuf disyariatkan sebagai satu rukhshah (keringanan). Menurut pandangan keempat mazhab fiqih, ia dibolehkan baik pada waktu musafir ataupun tidak, bagi lelaki ataupun perempuan. Keringanan ini adalah satu kemudahan untuk kaum muslimin, terutama pada musim dingin, dalam perjalanan dan bagi mereka yang senantiasa dalam tugas seperti tentara, penuntut ilmu, dan sebagainya. Dalil yang membolehkan mengusap khuf adalah hadits Nabi saw. Yang terdapat dalam kumpulan hadits, diantaranya adalah: 1. Hadits Ali bin Abi Thalib yang menyebut, “Kalaulah agama itu semata-mata dengan fikiran, maka tentulah bagian bawah khuf itu lebih sesuai untuk diusap dari pada bagian atasnya. Sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah saw. Mengusap bagian atas khufnya.” Dia juga menyatakan bahwa Rasulullah saw., 2. Hadits al-Mughirah bin Syu’bah, dia berkata, “Aku bersama Rasulullah saw., lalu Rasul ingin mengambil wudhu. Aku tertunduk untuk membuka kedua khuf Rasul, tetapi Rasul bersabda, ‘Biarkan ia, karena aku memasukkan kedua kakiku dalam keadaan suci’ lalu Rasul mengusap di atas keduanya C. Ketentuan syariat mengenai bolehnya mengusap sepatu dan perban Kebolehan mengusap khuf dan benda-benda lainnya yang semakna dengannya seperti kaos kaki, ditetapkan berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah. Firman Allah SWT yang berkenaan dengan hal tersebut telah disebutkan dalam ayat sebelumnya (surat al-Ma’idah), yaitu lafazh yang artinya “…Dan basuhlah kepalamu,” (Al-Ma’idah:6) Yang menunjukkan kebolehan mengusap. Sedangkan ketentuan syari’at yang bersumber dari as-Sunnah adalah sabda Rasulullah, “Jika salah seorang diantara kamu berwudhu, sementara ia dalam keadaan memakai khufnya, maka hendaklah dia mengusap bagian atasnya dan shalat dengannya, dan ia tidak perlu mencopot keduanya jika berkenan, kecuali jika ia dalam keadan junub.” Hadits ini bersifat mutlak dan tidak ada pembatasan waktu. Hadist ini dibatasi dengan hadist yang lain, yang akan dikemukakan dalam pembahasan berikutnya. Kemudian ketentuan syari’at tentang bolehnya mengusap perban; terdapat dalam sabda Rasulullah yang berkenaan dengan kasus seorang sahabat yang terluka kepalanya, dimana ia membasuh kepalanya (ketika bersuci) yang mengantarkannya kepada kematiannya, seraya beliau bersabda yang artinya “padahal cukup baginya bertayamum dan membalut lukanya dengan perban, lalu mengusapkannya serta membasuh anggota tubuhnya yang lainnya.” D. Syarat sahnya mengusap khuf atau perban Seseorang yang hendak mengusap khuf atau benda-benda lain semakna dengannya ketika bersuci disyaratkan: 1. Keduanya dipakai dalam keadaan bersih, berdasarkan sabda Rasulullah yang ditujukan kepada al-Mughirah bin Syu’bah ketika hendak membuka sepasang khuf yang dipakai oleh Rasulullah untuk membasuh kedua kaki beliau ketika berwudhu, “Biarkanlah keduanya karena aku memakai keduanya dalam keadaan bersih.” 2. Keduanya menutupi bagian kaki yang wajib dibasuh. 3. Keduanya tebal, sehingga kulit tidak terlihat dari balik keduanya. 4. Masa mengusap keduanya tidak boleh lebih dari sehari semalam bagi orang yang berada ditempat (muqim) serta tidak boleh lebih dari tiga hari tiga malam bagi orang yang bepergian, berdasarkan keterangan yang diutarakan Ali, “Rasulullah telah menetapkan tiga hari tiga malam bagi orang yang bepergian serta satu hari satu malam bagi orang yang berada di tempat.” 5. Tidak boleh mencopot keduanya seteah mengusapnya. Jika ia mencopot keduanya, maka wajib atasnya membasuh kedua kakinya. Jika ia tidak membasuhnya, maka wudhunya dihukumi batal. 6. Dalam mengusap perban, maka tidak disyaratkan harus suci terlebih dahulu serta tidak ada batasan waktu, tetapi kain perbannya disyaratkan tidak boleh melampaui tempat luka, kecuali kain perban yang dipakai mengikat; tidak boleh mencopotnya serta lukanya belum sembuh. Sehingga, jika kain perbannya dicopot atau lukanya telah sembuh maka usapannya dihukumi batal dan wajib membasuhnya. Peringatan 1. Dibolehkan mengusap sorban Karena darurat, misalnya karena dingin atau sedang bepergian, berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim, no. 275, bahwa Nabi berwudhu ketika bepergian, dimana beliau mengusap sorbannya. Jadi disamping mengusap sorban, juga mengusap sebagian rambut ubun-ubun, sebagaimana tertera dalam hadits tersebut. 2. Dalam mengusap sepatu, perban, penutup kepala, seperti sorban dan sejenisnya tidak ada perbedaan antara wanita dan laki-laki. Sehingga sesuatu yang dibolehkan bagi laki-laki, dibolehkan juga bagi wanita menurut batasan ketentuan yang sama. E. Tata cara mengusap khuf dan benda-benda yang semakna dengannya (kaos kaki) Ia dimulai dengan jari kaki diusap dengan jari tangan, setelah itu menuju bagian betis. Mengikut ulama madzhab Hanafi, kadar yang wajib diusap adalah kira-kira tiga jari dari jari-jari tangan yang paling ekcil, mulai dari bagian depan atas pada setiap kaki, sebanyak sekali usapan dengan memperkirakan apa yang digunakan untuk mengusap. Dengan demikian, tidak sah seandainya mengusap di telapak kaki atau di tumit, dikirin kanannya, ataupun di betis. Usapan itu tidak disunnahkan untuk diulang dan diusap disebelah bawah. Hal ini karena cara mengusap perlu diikuti seperti yang dinyatakan oleh syara’. Menurut ulama madzhab Syafi’I pula, cukup dengan tindakan yang dinamakan sebagai mengusap. Ia seperti mengusap kepala yang dilakukan di tempat yang fardhu, yaitu bagian atas khuf bukan di bawah, tepi ataupun belakang tumit. E. Hal yang sunnah dalam mengusap khuf Dari apa yang telah dijelaskan, ternyata para fuqaha mempunyai dua pendapat berkaitan dengan perkara sunnah dalam mengusap khuf ini. Ulama madzhab Hanafi dan Hambali berpendapat usapan hendaklah dilakukan secara membujur dengan jari, dimulai dari sebelah jari kaki terus menuju ke betis. Hal ini berdasarkan hadits al-Mughirah r.a. yang artinya , “Nabi Muhammad saw. Mengusap di bagian atas kedua khuf Rasul. Beliau meletakkan tangan kanannya di atas khuf sebelah kanan, dan tangan kirinya diatas khuf sebelah kirinya. Kemudian beliau mengusap ke atas dengan sekali usapan.” Jika usapan itu dimulai dari sebelah betisnya, kemudian menuju kea rah jari kaki, maka cara ini dianggap mencukupi. Sunnah juga mengusap kaki kanan dengan tangan kanan, dan kaki kiri dengan tangan kiri, seperti yang dinyatakan dalam hadits al-Mughirah di atas. F. Syarat-syarat mengusap khuf Terdapat tiga syarat yang disepakati dan beberapa syarat yang tidak disepakati di kalangan fuqaha 9. HAID DAN NIFAS I. Definisi haid dan masanya A. Definisi Haid Kata haid menurut bahasa artinya adalah (banjir/mengalir). Oleh sebab itu, apabila terjadi banjir pada suatu lembah, maka orang Arab menyebutnya sebagai haadha al-waadi. Menurut istilah syara’, haid ialah darah yag keluar dari ujung rahim perempuan ketika dia dalam keadan sehat, bukan semasa melahirkan bayi atau semasa sakit, dan darah tersebut keluar dari masa tertentu. Kebiasaannya, warna darah haid adalah hitam, sangat panas, terasa sakit dan berbau busuk. Hukum, berkenaan haid ini terdapat dalam Al-Qur’an, yaitu dalam firman Allah SWT, “Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid…..” (al-Baqarah: 222) Terdapat sebuah hadits dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a., bahwa Rasulullah saw. Bersabda tentang haid, “ Ini adalah perkara yang telah ditetapkan oleh Allah SWT kepada anak-anak Adam yang perempuan.” B. Waktunya Haid mulai keluar ketika perempuan mulai masuk umur baligh, yaitu ketika lebih kurang Sembilan tahun qamariyah hingga masa terputusnya haid yang disebut dengan sin al-ya’s (umur putus haid). Jika perempuan mendapati darah (keluar dari kemaluannya) sebelum umur Sembilan tahun ataupun setelah dari “umur putus haid”, maka darah itu bukanlah darah haid, tetapi darah penyakit atau turun darah Perempuan yang sudah mengalami haid, maka dia menjadi baligh dan mukallaf. Oleh sebab itu, dia dituntut menjalankan seluruh kewajiban syara’ seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya. Adapun anak lelaki, ia menjadi baligh apabila ia bermimpi dan keluar mani, ataupun jika dia telah mencapai umur lima belas tahun. Para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai penentuan “umur putus haid”, karena tidak ada nash yang jelas. Mereka hanya berpandu kepada kajian mengenai keadaan perempuan. Ulama Hanafi, menurut pendapat yang difatwakan atau pendapat yang terpilih (al-Mukhtaar), mengatakan bahwa “umur putus haid” ialah 55 tahun. Jika setelah umur itu perempuan masih melihat darah yang kuat, hitam, atau merah pekat, maka darah itu dianggap haid. Jadi berdasarkan pendapat ini, maka pendapat madzhab yang zhahir menganggap jika darah itu tidak hitam dan tidak merah pekat, maka darah itu adalah darah istihadhah. Menurut ulama Maliki, “umur putus haid” ialah 70 tahun. Perempuan yang berumur antara 50 hingga 70 hendaklah ditanya, apabila mereka mengatakan darah yang keluar dari kelaminnya adalah darah haid atau mereka meraguinya, maka darah itu dihukumi sebagai darah haid. Begitu juga anak perempuan murahiqah (yang berumur antara 7 hingga 13 tahun), hendaklah ditanya juga. Menurut ulama madzhab Syafi’i, tidak ada batasan akhir bagi “umur putus haid” selama dia hidup, maka selama itulah dia mungkin mengalami haid. Tetapi menurut kebiasaan, umur putus haid ialah pada usia 62 tahun. Ulama madzhab Hambali menetapkan “umur putus haid” adalah usia 53 tahun. Mereka berpegang pada kata-kata Aisyah, “Apabila perempuan mencapai usia 50 tahun, maka dia telah keluar dari batasan haid. Aisyah juga mengatakan, “dia tidak mengandung lagi setelah mencapai usia 50 tahu.” C. Apakah perempuan yang mengandung bisa mengalami haid? Dalam masalah ini, para ahli fiqih berbeda pendapat. Ulama madzhab Maliki dan Syafi’I menurut pendapat madzhab Jadid yang azhhar , mengatakan bahwa perempuan yang mengandung kadang-kadang bisa didatangi haid, dan adakalanya didatangi darah hingga akhir masa mengandung. Namun biasanya, orang yang mengandung tidak didatangi haid. Dalil mereka ialah ayat yang disebut diatas yang bersifat mutlak dan juga hadits-hadits yang menunjukkan bahwa haid itu merupakan tabiat wanita. Apalagi, ahid adalah darah yang biasanya keluar secara tiba-tiba. Oleh karena itu, orang hamil (mengandung) pun boleh kedatangan haid sama seperti orang yang tidak hamil. Ulama madzhab Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa perempuan yang mengandung tidak akan didatngi haid, meskipun darah itu keluar sebelum keluar sebagian besar bayi yang lahir. Ini menurut madzhab Hanafi. Dan menurut madzhab Hambali, mereka mengatakan bahwa darah yang keluar pada dua atau tiga hari sebelum bersalin ialah darah nifas. Dalil mereka adalah sabda Nabi Muhammad saw. Mengenai tawanan (wanita) atas, “ Janganlah disetubuhi wanita yang mengandung sehingga dia melahirkan anak dan janganlah pula disetubuhi wanita yang tidak mengandung sehingga dia telah datang haid.” Jadi, hadits ini menyatakan bahwa keluarnya darah haid merupakan tanda bersihnya rahim. Hal ini menunjukkan bhwa haid tidak akan dapat bersatu dengan kehamilan. Rasulullah saw. Mengomentari Ibnu Umar, ketika dia menceraikan istrinya dalam keadaan haid, “Hendaklah dia menceraikannya dalam keadan suci atau hamil.” Jadi, hadits ini menjelaskan bahwa hamil adalah tanda ketiadaan haid, sebagaimana hadits ini juga menjadikan suci sebagai tanda tiadanya haid. Lagipula, masa mengandung merupakan masa di mana pada kebiasaannya wanita tidak didatangi haid. Oleh karena itu, darah yang didapatinya semasa mengandung bukanlah darah haid. Dalam kasus ini, kedudukannyasama seperti orang yang sudah “putus” dari haid. D. WARNA DARAH Sebagaimana disepakati oleh seluruh ahli Fiqih, darah haid yang keluar pada hari-hari biasa setiap bulan, ialah adakalanya hitam, merah, kuning atau keruh. NIFAS A. Definisi Nifas Menurut ulama Hanafi dan Syafi’I, nifas adalah darah yang keluar setelah bersalin. Adapun darah yang keluar bersama-sama dengan bayi ketika lahir atau sebelumnya, adalah darah penyakit atau istihadhah. Wanita yang keluar darah bersama-sama dengan keluarnya bayi, hendaklah melakukan shalat. Ulama Hanafi menambahkan, wanita itu hendaknya bertayammum dan shalat secara isyarat, dan dia tidak pelu melewatkan shalat. Ulama Syafi’I mengecualikan darah yang keluar sebelum masa kelahiran yang bersamung dengan darah haid sebelumnya. Hal ini berdasarkan pendapat yang mengatakan bahwa orang yang mengandung (hamil) dapat mengalami haid. Ini adalah menurut pendapat mereka yang ashah. Pendapat ulama Maliki mengatakan, bahwa darah yang keluar sebelum kelahiran adalah dihukumi sebagai darah haid. Menurut ulama Hambali, nifas ialah darah yang keluar sebab lahirnya bayi. Darah yang keluar dua atau tiga hari sebelum kelahiran bayi yang menyertai tanda kelahiran, dan darah yang keluar bersama-sama lahirnya bayi, juga dianggap sebagai darah nifas, sama seperti darah yang keluar setelah kelahiran. Mereka menganggap darah yang disebabkan keluarnya sebagian besar badan bayi, walaupun anak itu terputus-putus anggotanya satu demi satu, sebagai darah nifas. Begitu juga, meskipun terjadi keguguran yang bentuk rangka manusianya sudah tampak jelas seperti ada jari atau kuku, dan begitu juga darah yang keluar di antara dua anak kembar yang lahir. Pendapat yang ashah di kalangan ulama Syafi’I mengatakan bahwa dalam kasus anak kembar, darah yang dianggap sebagai darah nifas adalah darah dari anak yang kedua saja. Darah yang keluar setelah anak pertama adalah darah haid, sekiranya ia bersambung dengan haid sebelumnya. Tetapi jika ia tidak ada hubungan dengan darah haid sebelumnya, maka itu dihukumi sebagai darah istihadhah. Jika seorang wanita setelah keguguran dalam bentuk nuthfah atau ‘alaqah kemudian keluar darah, maka darah itu bukan nifas. Adapun ulama Maliki mengatakan bahwa nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita sewaktu melahirkan bayi atau pun setelahnya, walaupun darah itu keluar di antara lahirnya anak kembar. Darah yang keluar sebelum kelahiran, menurut pendapat yang paling rajih dihukumi sebagai darah haid. Oleh karena itu, ia tidak boleh dianggap sebagai bagian dari enam puluh hari masa nifas. B. Masa Nifas Nifas mempunyai masa minimal, masa maksimal dan masa normal. C. Masa Minimum Menurut pendapat ulama Syafi’I, masa nifas sekurang-kurangnya adalah satu detik atau sekali keluar. Menurut imam yang lain, tidak ada batasan minimal bagi masa nifas. Sebab, tidak ada dalil syara’ yang menentukannya dengan jelas. Oleh Karena itu, hendaknya dikembalikan kepada keadaan yang sebenarnya, yaitu kadang-kadang sedikit dan kadang-kadang banyak. Menurut zhahirnya, tidak ada perbedaan di antara kedua pendapat ini. Kedua-duanya mempunyai maksud yang sama. Kadang-kadang seorang perempuan melahirkan anak tanpa keluar darah. D. Hukum mengenai haid dan nifas Ada lima hukum berkenaan dengan masalah haid, yaitu; 1. Wajib mandi apabila haid dan nifas telah berhenti. Ha ini berdasarkan firman Allah SWT, “Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, ‘itu adalah sesuatu yang kotor.’ Karena itu, jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu….” (al-Baqarah :222) 2. Dengan datangnya haid, maka wanita menjadi baligh dan bertanggung jawab atas kewajiban-kewajiban syara’. Ini berdasarkan sabda Rasulullah saw. Yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, “Sesungguhnya Allah SWT tidak menerima shalat seseorang yang sudah haid, kecuali dengan tudung (khumar). 3. Dengan selesainya ‘iddah haid, maka seorang wanita dihukumi bersih rahimnya. Sebagaimana dimaklumi, (diantara) dasar ditetapkannya ‘iddah adalah untuk mengetahui kosongnya rahim dari bayi. 4. Menurut pandangan ulama Hanafi dan Hambali, yiga quru’ yang disebutkan oleh Al-Qur’an maksudnya adalah haid. 5. Menurut ulama madzhab Hambali, orang yang melakukan hubungan badan semasa haid wajib membayar kafarat. Masalah ini akan dibahas dengan lebih terperinci pada pembahasan perkara-perkara yang diharamkan karena haid. E. Perkara yang diharamkan karena haid dan nifas Segala hal yang diharamkan bagi orang yang berjunub juga diharamkan kepada orang yang sedang dalam keadaan haid dan nifas. Perkara yang diharamkan itu ada 7: 1. Seluruh jenis shalat 2. Sujud tilawah 3. Menyentuh Al-Qur’an 4. Membaca Al-Qur’an 5. Masuk mesjid 6. I’tikaf 7. Thawaf

0 Comment