HARTA DAN PERMASLAHANNNYA
1. Pengertian Harta
Harta dalam bahasa Arab disebut al-mal, berasal dari kata Yang menurut bahasa berarti condong, cendrung, atau miring. Al-mal juga di artika sebagai segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun manfaat.
Menurut bahasa umum, arti malam ialah uang atau harta. Adapun menurut istilah, ialah “Segala benda yang berharga dan bersifat materi serta beredar di antara manusia”.[1]
Menurut Ulama Hanafiyah yang di kutip oleh Nasrun Harian, [2] al -mal (harta) yaitu:
Menurut jumhur Ulama (selain ulama Hanafiyah) yang juga dikutip oleh Nasrun Harian, [3]al-mal (harta) yaitu:
Implikasi dari perbedaan ini terlihat dalam contoh berikut:
Milik adalah sesuatu yang dapat digunakan secara khusus dan tidak dicampuri penggunaannya oleh orang lain. Adapun harta adalah sesuatu yang dapat disimpan untuk digunakan ketika dibutuhkan. Dalam penggunaan nya, harta dapat dicampuri oleh orang lain. Jadi, menurut ulama Hanafiyah, yang dimaksud hartahanyalah sesuatu yang berwujud (a'yan). [5]
Dari beberapa defenisi yang telah dikemukakan diatas, Hasbi Ash Shiddieqy mengomentari sebagai berikut:
1. Harta (mal) adalah “nama” bagi selain manusia yang ditetapkan untuk kemashlahatan manusia dapat dipelihara pada suatu tempat, dapat dikelola (tasharruf) dengan jalan ikhtiar.
2. Benda yang dijadikan harta itu, dapat dijadikan harta oleh umumnya manusia atau oleh sebagian mereka.
3. Sesuatu yang tidak dipandang harta tidak sah kita menjualnya.
4. Sesuatu yang di mubahkan walaupun tidak dipandang harta, seperti biji beras. Sebiji beras tidak dipandang harta walaupun dia boleh kita miliki.
5. Harta itu wajib mempunyai wujud, karenanya manfaat tidak masuk ke dalam bagian harta.
6. Harta yang dapat dijadikan harta dapat disimpan untuk waktu tertentu, atau untuk waktu yang lama dan digunakan di waktu dia butuhkan. [7]
Hasbi Ash Shiddieqy menyebutkan bahwa harta merupakan nama bagi selain manusia, dapat dikelola, dimiliki, diperjualbelikan dan berharga. Konsekuensi perumusan ini sebagai berikut:
1. Manusia bukanlah harta sekali pun berwujud.
2. Babi bukanlah harta karena babi bagi kaum muslimin haram diperjualbelikan.
3. Sebiji beras bukanlah harta karena sebiji beras tidak memiliki nilai (harga) menurut 'urf. [8]
Sebagai penegasan ulama Hanafiyah, harta adalah sesuatu yang berwujud dan dapat disimpan sehingga yang tidak berwujud dan tidak dapat disimpan tidak termasuk harta, seperti hakim dan manfaat.
2. Kedudukan dan Fungsi Harta.
Harta termasuk salah satu keperluan pokok manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini, sehingga oleh ulama ushulfiqhpersolaan harta dimasukkan ke dalam salah satu al-dharuriyyatal-khamsah (lima keperluan pokok), yang terdiri atas: agama, jiwa, akal keturunan, dan harta. [9]
Selain, merupakan salah satu keperluan hidup yang pokok bagi manusia, harta juga merupakan perhiasan kehidupan dunia, sebagai cobaan (fitnah), sarana untuk memenuhi kesenangan, dan sarana untuk menghimpun bekal bagi kehidupan akhirat.
Tentang harta sebagai perhiasan kehidupan dunia, Allah berfirman: Surat Al-Kahfi: 46.
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia...
Tentang harta sebagai cobaan, Allah berfirman: Surat At-Taghaabun :15.
Sesungguhnya harta mu dan anak-anak muhanyalah cobaan (bagimu), dan disisi Allah-lahpahala yang besar.
Harta sebagai sarana memenuhi kesenangan, Allah ber- firman: Surat Ali- Imron : 14.
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak lagi, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
Harta sebagai sarana untuk menghimpun bekal menuju kehidupan akhirat, Allah berfirman: Surat Al- Baqarah :262.
Orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu menyebutkan nyebutpemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala disisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Firman -Nya lagi : Surat At-Taubah : 41.
Berangkat lah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu dijalan Allah. Yang demikian itu, adalah lebih baik bagi mu jika kamu mengetahui.
Adapun fungsi harta dapat dijelaskan sebagai berikut[10]:
Fungsi harta sangat banyak, baik kegunaan dalam hal yang baik maupun kegunaan dalam hal yang jelek. Diantara sekian banyak fungsi harta sebagai berikut:
1. Berfungsi untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas (mahdhah) , sebab untuk beribadah diperlukan alat-alat, seperti kain untuk menutup aurat dalam pelaksanaan sholat, bekal untuk melaksanakan ibadah haji, berzakat, bersedekah, dan hibah.
2. Untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah, sebab kefakiran cendrung dekat kepada kekafiran, sehingga pemilikan harta di maksudkan untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah.
3. Untuk meneruskan kehidupan dari suatu priode ke priode berikut nya, sebagai mana firman Allah: Surat An-Nisa :9
4. Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan akhirat. Nabi SAW.bersabda:
Bukanlah orang yang baik yang meninggalkan masalah dunia untuk masalah akhirat untuk urusan dunia, sehingga seimbang diantara keduanya, karena masalah dunia adalah menyampaikan manusia kepada masalah akhirat.
5. Untuk mengembangkan dan menegakkan Ilmu-ilmu, karena menuntut ilmu tanpa biaya akan terasa sulit, misalnya, seorang tidak dapat kuliah di perguruan tinggi, jika ia tidak memiliki biaya.
6. Untuk memutar (men-tasharruf) peran-peran kehidupan, yakni adanya pembantu dan tuan, adanya orang kaya dan miskin yang saling membutuhkan, sehingga tersusun lahmasyarakat yang harmonis dan berkecukupan.
7. Untuk menumbuhkan silahturahmi, karena adanya perbedaan dan keperluan, misalnya, Bandung merupakan daerah penghasil kain, Cianjur merupakan daerah penghasilan beras; maka orang Cianjur yang membutuhkan kain akan membeli produk orang Bandung, dan orang Bandung yang membutuhkan beras akan membeli produk orang Cianjur. Dengan cara begitu akan terjadilah interaksi dan komunikasi silahturahmi dalam rangka saling mencukupi kebutuhan. Oleh karena itu, perputaran harta dianjurkan oleh Allah, sebagaimana firman-Nya: Surat Al-Hasyr : 7
Supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya diantaramu.
Secara garis besar, menurut Mustafa AhmadZarqa' yang dikutip oleh Nasrun Haroenbahwa dalam pemilikan dan penggunaan harta, di samping untuk kemaslahatan pribadi pemilik harta juga harus dapat memberikan manfaat dan kemaslahatan untuk orang lain. Inilah di antara fungsi sosial dari harta itu, karena suatu harta sebenarnya adalah milik Allah yang dititip ke tangan-tangan manusia. Disamping itu, pengunaan harta dalam ajaran islam harus senantiasa dalam pengabdian kepada Allah dan dimanfaatkan dalam rangka taqarrub(mendekatkan diri) kepada Allah. Pemanfaatan harta pribadi tidak boleh hanya untuk pribadi pemilik harta, melainkan juga digunakan untuk fungsi sosial dalam rangka membantu sesama manusia.[11]
Dalam kaitan inilah Rasulullah saw. Menyatakan:
“Bahwa pada setiap harta seseorang itu ada hak (orang lain) selain zakat”. (HR.al-Tirmidzi).
Hak-hak orang lain yang terdapat didalam harta seseorang inilah yang disebut dengan hak masyarakat yang berfungsi sosial untuk kesejahteraan sesama manusia.
C. Memperoleh Harta dan Pemanfaatannya
1. Memperoleh Harta.
Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian yang lalu bahwa harta merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu, Allah SWT. Memerintahkan manusia supaya berusaha mencari harta dan memilikinya itu dengan cara halal.
Banyak ayat Al-Quran dan hadist yang memerintahkan hal tersebut, antara lain:
Firman Allah dalam surat Al-jumu'ah ayat 10:
Apabila telah ditunaikan sembahyang maka bertebaran lah kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah.
Setelah seseorang mencari karunia Allah dengan Sungguh-sungguh, maka Allah menyuruh kepada orang tersebut untuk memohonkepada Allah agar Allah melimpahkan karunia nya itu dalam bentuk rezeki. Hal ini disebut kan dalam surat An- Nisa Ayat :32
. .. Dan memohonlah kepada Allah sebagian dari Karunia Nya, sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu.
Bila telah memproleh rezeki Allah dan telah meminta pula perkenaan dari Allah,maka Allah akan memberikan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya,sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Jumu’ah ayat 4:
Demikianlah karunia Allah ,diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya,dan Allah mempunyai karunia yang besar.
Dalam mencari dan memproleh harta,Amir Syarifuddin[12] menegaskan secara perinci sebagai berikut:
Islam tidak dibatasi kehendak seseorang dalam mencari dan memproleh harta selama yang demikian tetap dilakukan dalam prinsip umum yang beraku,yaitu halal dan baik. Hal ini berarti islam tidak melarang seseorang untuk mencari kekakyaan sebanyak mungkin.karena bagaimanapun yang menentukan kekayaan yang diperoleh seseorang adalah Allah SWT. Sendiri disampung itu,dalam pandangan islam harta itu bukanlah tujjuan tetapi, merupakan alat untuk menyempurnakan kehidupan dalam mencapai keridhoan Allah.
Adapun bentuk usaha dalam memproleh harta yag menjadi kerunia Allah untuk dimiliki oleh manusia bagi menunjamg kehidupannya,secara garis besarnya ada dua bentuk:
a. Memproleh harta tersebut secara lamgsung sebelum dimiliki oleh siapapun. Bentuk yang jelas dari mendapatkan harta baru sebelum menjadi milik oleh siapapun adalah menghidupkan (mengggarap) tanah mati yang belum dimiliki yang disebut ihya al-mawat.
Ihya al-mawat dalam bentuk asalnya ialah membuka tanah yang belum menjadi milik siapa pun, atau telah pernah dimiliki namun telah diringgalkan sampai terlantar dan tak terurus.siapa yang memproleh tanah dalam bentuk demikian dia berhak memilikinya. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi yang bearsal dari Sa’id bin Zubeir yang megatakan:
“Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati maka ia berhak memilikinya”
Menghidupkan tanah mati sebagaimana disebutkan di atas termasuk usaha memproleh dengan tangan dan tenaga sendiri. Usaha ini termasuk usaha yang paling baik. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi saw. Yang diriwayatkan oleh Rufa’ah bin Rafi’:
“bahwa Nabi saw.pernah ditanya tentang usaha apa yang paling baik.Nabi menjawab:”setiap usaha seseorang dengan tangannya (tenaganya)sendiri, dan setiap jual beli yang baik (jujur)”
b. Memproleh harta yang telah dimiliki oleh seseorang melalui transaksi. Bentuk ini dipisahkan dari dua cara: pertama,peralihan harta berlangsung dengan sendirinya atau yang disebut ijbary yang siapa pun tidak dapat merencankan atau menolaknya seperti melalui warisan. Kedua, peralihan harta berlangsung tidak dengan sendirinya,dalam arti atas kehendak dan keinginan sendiri yang disebut ikhtiyary,baik melalui kehendak sepihak sepeti hibah atau pemberian maupun melalui kehendak dan perjanjian timbal balik antara dua atau beberapa pihak seperti jual beli. Kedua cara memproleh harta ini harus selalu dilakukan dengan prinsip hala dan baik agar pemilikan kekayaan diridai Allah swt.[13]
2. Pemanfaatan harta
Jika harta dicari dan diproleh sesuai dengan panduan yang ditetapkan Allah yang tersimpul dalam prinsip halal dan thayyib, maka harta yang telah diproleh itupun harus digunakan dan di manfaatkan sesuai dengan panduan Allah.
Tujuan dari harta itu diciptkan Allah yaitu untuk menunjang manusia. Oleh karena itu, harta itu arus digunakan untuk maksud tersebut. Tentang peggunaan harta yang di proleh itu ada beberapa petuntut dari Allah sebagai berikut :[14]
a. Digunakan untuk kebutuhan hidup sendiri, penggunaan harta untuk kebutuham hidup dinyatakan oleh Allah dan firman-Nya pada beberapa ayat alqur’an diantaranya pada surat al –murshalat ayat 43 :
“Dikatakan kepada mereka makan dan minumlah kamu denga enak karen apa yang telah kamu kerjakan”.
Walaupun yang disebutkan dalam ayat ini hanyalah makan dan minum, namun tentunya yang dimaksud di sini adalah semua kebutuhan hidup, seperti pakaian dan papan (perumahan). Hal ini berarti Allah menyuruh menikmati hasil usaha bagi kepentingan hidup di dunia. Namun, dalam memanfaatkan hasil usaha itu ada beberapa hal yang dilarang untuk dilakukan oleh setiap muslim:
1) Israf, yaitu berlebih-lebihan dalam memanfaatkan harta meskipun untuk kepentingan hidup sendiri. Yang dimaksud dengan israf atau berlebih-lebihan itu ialah menggunakannya melebihi ukuran yang patut, seperti makan lebih dari tiga kali sehari, mempunyai mobil lebih dari diperlukan, mempunyai rumah yang melebihi dibutuhkan. Larangan hidup berlebih-lebihan itu dinyatakan Allah dalam surat al-A’araf ayat 31:
‘’ makan dan minumlah tetapi jangan berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak senang kepada orang yang berlebih-lebihan.
2) Tabdzir (boros), dalam arti menggunakan harta untuk sesuatu yang tidak diperlukan dan menghambur-hamburkan untuk sesuatu yang tidak bermanfaat. Bedanya dengan israf, sebagaimana telah bermanfaat. Bedanya dengan israf, sebagaimana telah disebutkan di atas, ialah bahwa israf itu untuk kepentingan lain, seperti memiliki motor balap yang mahal padahal dia sendiri bukan pembalap. Larangan Allah terhadap pemborosan ini terhadap didalam surat al-isra ayat 26 dan 27:
‘’janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah sangat kafir(ingkar) terhadap tuhannya.
b. Digunakan untuk memenuhi kewajiban terhadap Allah. Kewajiban kepada Allah itu ada dua macam.
1) Kewajiban materi yang berkenaan dengan kewajiban agama yang merupakan utang terhadap Allah, seperi untuk keperluan membayar zakat atau nazar atau kewajiban materi lainnya, meskipun secara praktis juga digunakan dan dimanfaatkan untuk manusia. Kewajiban dalam bentuk ini dinyatakan Allah beberapa ayat al-quran diantaranya dalam surat al-Baqarah ayat 267:
Wahai orang-orang yang beriman, naf kanlah (zakat kanlah) dari yang baik-baik dari apa yang kamu usahakan dan Apa-apa yang kami keluar kan untuk mu dari dalam bumi.
2.kewajiban materi yang harus ditunaikan untuk keluarga, yaitu istri, anak, dan kerabat. Tentang kewajiban materi untuk istri dan anak dijelaskan Allah dalam surat Al-baqarah ayat 233
... Kewajiban ayah untuk memberi nafkah dan pakaian untuk istri dan anaknya secara makruf (patut).
Tentang ukuran makruf(patut) tersebut dijelaskan dalam surat al-maidahThalaq ayat 7:
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya dan orang yang sempit rezekinya hendaklah memberi nafkah yang diberikan Allah..
Adapun kewajiban memberi nafkah untuk kerabat terlihat dalam firman Allah surat Al-baqarah ayat 215:
... Mereka bertanya kepada mu( ya Muhammad) Apa-apa yang akan mereka naf kanlah, katakanlah: Apa saja harta yang akan kamu nafkah kan hendaklah diberikan kepada ibu bapak dan karib kerabat.
Dimanfaatkan bagi kepentingan sosial. Hal ini dilakukan karena meskipun semua orang dituntut untuk berusaha mencari rezeki namun yang diberikan Allah tidak lah sama untuk setiap orang. Ada yang mendapat banyak sehingga melebihi keperluan hidupnya. Yang mendapat rezeki yang sedikit ini memerlukan bantuan dari saudaranya yang mendapat rezeki yang berlebih dalam bentuk infak.
Kenyataan berbedanya perolehan rezeki ini dinyatakan Allah dalam firman-Nya dalam surat an-Nahl ayat 71:
. . . Dan Allah melebihkan bagian kamu darisebagian lain dalam hal rezeki...
Orang yang mendapat rezeki ini dituntut untuk menafkahkan sebagian dari perolehan nya itu, sebagimanadisebutkan Allahdalam banyak ayat dalam surat al-munafiqun ayat 10:
. .. Dan infaqkanlahsebagian apa yang Allah telah memberi kepadamu sebelum maut mendatang mu.
Larangan Allah menggunakan harta untuk menyakiti orang yang dapat difahami dari firman-Nya dalam surat Al-baqarah ayat 262:
Orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang di nafkahkan nya dengan menyebut-nyebut pemberian dan dengan tidak menyakiti perasaan si penerima, mereka memperoleh pahala disisi Tuhan mereka.
D. Pembagian Harta
Menurut Fukaha, harta dapat ditinjau dari beberapa segi. Harta terdiri dari beberapa bagian, tiap-tiap bagian memiliki cirri khusus dan hukumnya tersendiri. Pembagian harta itu sebagai berikut:
1. Harta mutaqawwim dang hair mutaqawwin
a. Harta mutaqawwin ialah:
‘’Sesuatu yang boleh diambil manfaatnya menurut syara’’
Harta yang boleh termasuk mutaqawwin ini ialah segala barang yang baik jenisnya, baik pula cara memperoleh, dan penggunaannya. Misalnya, kerbau halal dimakan oleh ummat islam, tetapi kerbau ini disembelih tidak menurut syara’, misalnya dipukul, maka daging kerbau itu tidak dapat dimanfaatkan karena cara penyembelihannya tidak sah menurut syara’.
b. Harta ghair mutaqawwin ialah:
‘’Sesuatu yang tidak boleh diambil manfaatnya menurut syara’’.
Harta ghair mutaqawwin adalah kebalikan dari mutaqawwin yakni yang tidak boleh diambil manfaatnya, baik jenisnya, cara memperolehnya, maupun penggunaanya. Misalnya babi termasuk harta qhair mutaqawwin karena jenisnya diharamkan oleh syara’. Sepatu yang diperoleh dengan cara mencuri termasuk harta ghair mutaqawwinkarena cara memperolehnya yang haram. Uang disumbangkan untuk tempat pelacuran termasuk harta ghair mutaqawwin karena cara penggunaannya yang diharamkan ( maksimal ).[15]
Perbedaan kedua bentuk harta ini-kata Mustafa Ahmad Zarqa’[16]-membawa akibat kepada:
1) Ketidak bolehan umat islam menjadikan harta yang tidak halal itu ( seperti bangkai, babi, khamar, dan darah ) sebagai objek transaksi:
2) Bebasnya umat Islam dari tuntutan ganti rugi bila mereka merusak atau melenyapka harta yang tidak halal dimanfaatkan umat islam itu. Akan tetapi, ulama Hanafiyah berpendapat apabila babi dan khamar itu milik kafir dzimny ( kafir yang hidup dan tunduk di bawah perundang-undangan Negara Islam ) dirusak atau dilenyapkan oleh seorang muslim, maka yang disebut terakhir ini wajib membanyar ganti rugi karena benda-benda itu termasuk mutaqawwim bagi kafir dzimny. Akan tetapi, jumbur ulama berpendirian bahwa dalam kasus seorang muslim merusak atau melenyapkan babi atau khamar milik kafir dzimny tidak boleh dituntut ganti rugi, karena kedua jenis ber.da itu tidak bernilai harta dalam islam.
2. Harta Mitsli dan harta qimi
a. Harta mitsli ialah:
‘’ Harta yang memiliki persamaan atau kesetaraan di pasar, tidak ada perbedaan pada bagian-bagiannya atau kesatuaannya, yaitu perbedaan atau kekurangan yang bisa terjadi dalam aktivitas ekonomi’’.
Harta mitsli terbagi atas empat bagian, yaitu harta yang ditakar seperti gandum, harta yang ditimbang seperti kapas dan besi, harta yang dihitung seperti telur, dan harta yang dijual dengan meter seperti bahan pakaian, dan papan.
b. Harta qimi adalah:
‘’Harta yang tidak mempunyai persamaan di pasar atmau mempunyai persamaan, tetapi ada perbedaan menurut kebiasaan antara kesatuannya pada nilai, seperti binatang dan pohon’’.[17]
Dengan kata lain, harta mitsli ialah harta yang jenisnya dapat diperoleh dipasar (secara persis) , dan qimi ialah harta yang jenisnya sulit didapatkan di pasar, bisa diperoleh tapi jenisnya bebeda, kecuali dalam nilai harganya. Jadi, harta yang ada persamaannya disebut mitsli dan harta yang tidak ada persamaannya disebut qimi. Misalnya seseorang membeli senjata api dari Rusia akan kesulitan mencari persamaannya di Indonesia, bahkan mungkin tidak ada. Maka senjata api Rusia di Indonesia termasuk harta qimi, tetapi harta tersebut di Rusia termasuk harta mitsli karena barang tersebut tidak sulit untuk diperoleh. Harta yang disebut mitsli dan qimi bersifat amat relative dan kondisional, artinya dapat saja di satu tempat atau Negara yang satu menyebutnya qimi dan di tempat yang lain menyebutnya sebagai jenis harta mitsli.[18]
3. Harta istihlak dan harta isti’mal
a. Harta istihlak ialah:
‘’Sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaan dan manfaatnya secara biasa, kecuali dengan menghabiskannya’’.
Harta istihlak terbagi dua: ada yang istihlak haqiqi dan huquqi.
Harta istihlak huquqi ialah suatu benda yang menjadi harta yang secara jelas (nyata) zatnya habis sekali digunakan, misalnya korek api bila dibakar maka habislah harta yang berupa kayu itu, harta istihlak huquqi ialah harta yang telah habis nilainya bila telah digunakan, tetapi zatnya masih tetap ada, misalnya uang yang digunakan untuk membanyar utang. Dipandang habis menurut hukum walaupun uang tersebut masih utuh, hanya panda kepemilikannya.
b. Harta isti’mal ialah:
‘’ Sesuatu yang dapat digunakan berulang kali dan materinya tetap terpelihara’’.
Harta isti’mal tidaklah habis sekali digunakan, tetapi dapat digunakan lama menurut apa adanya, seperti kebun, tempat tidur, pakaian, dan sepatu.
Perbedaan dua jenis harta ini adalah bahwa harta istihlak habis satu kali digunakan, sedangkan harta isti’mal tidak habis dalam satu kali pemanfaatan.
4. Harta Manqul dang hair Manqul
a. Harta manqul ialah ‘’ segala harta yang dapat dipindahkan (bergerak) dari satu tempat ke tempat yang lain, seperti emas, perak, perunggu, pakaian, dan kendaraan.
b. Harta ghair manqul ialah sesuatu harta yang tidak dapat dipindahkan dan dibawa dari satu tempat ketempat yang lain, seperti kebun, rumah, pabrik, dan sawah.
Dalam hukum perdata positif, harta manqul dan ghair manqul disebut dengan istilah benda bergerak dan benda tetap.
5. Harta ‘Ain dan Dany.
a. Harta ‘ain ialah harta yang berbentuk benda yang kelihatan, seperti rumah, pakaian , beras, jambu, dan kendaraan (mobil).
Harta ini terbagi dua:
1) Harta ‘ain dzati qimah, yaitu harta yang memiliki bentuk yang dipandang sebagai harta karena memiliki nilai.
Harta ’ain szatiqimah meliputi:
- Benda yang dianggap harta yang bileh diambil manfaatnya .
- Benda yang dianggap harta yang tidak boleh diambil manfaatnya
- Benda yang dianggap harta yang ada sebangsanya.
- Benda yang dianggap harta yang tidak ada atau sulit dicari seumpamanya.
- Benda yang dianggap harta yang berharga dan dapat dipindahkan ( bergerak).
- Benda yang dianggap harta yang berharga dan tidak dapat dipindahkan( benda tetap).
2) Harta ‘ain ghair dzati qimah yaitu benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta karena tidak memiliki harga, misalnya sebiji beras.
b. Harta dayn ialah sesuatu yang berda dalam tanggung jawab, seperti uang yang berada dalam tanggung jawab seseorang.
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa harta tidak dapat dibagi menjadi harta ‘ain dan dayn karena harta menurut mereka ialah sesuatu yang berwujud, maka sesuatu yang tidak berwujud tidaklah dianggap sebagai harta, misalnya utang tidak dipandang sebagai harta tetapi sifat pada tanggung jawab ( washf fi al-dzimmah ).
6. Harta Mamluk, Mubah, dan mahjur
a. Harta mamlukialah sesuatu yang masuk kebawah milik, milik perorangan, atau badan hukum, seperti pemerintah dan yayasan.
Harta mamluk(yang dimiliki) terbagi dua:
- Harta perorangan (mustaqil) yang berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya rumah yang dikontrakan. Harta perorangan yang tidak berpautan dengan hak bukan milik, misalnya seseorang yang mempunyai sepasang sepatu dapat digunakan kapan aja.
- Harta perkongsian (masyarakat) anatara dua pemilik yang berkaitan dan hak yang bukan pemiliknya, seperti dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik dan lima buah mobil, salah satu mobilnya disewakan selama satu bulan kepada orang lain.
- Harta yang dimiliki oleh dua orng yang tidak berkaitan dengan hak bukan pemiliknya, seperti dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik tersebut diurus bersama.
b. Harta mubahialah sesuatu yang pada asalnya bukan milik seseoarang, seperti mata air, binatang, buruan darat, laut, pohon-pohon dihutan dan buah-buahannya. Tiap-tiap manusia boleh memiliki harta mubah sesuai dengan kesanggupannya: orang yang mengambilnya akan menjadi pemiliknya sesuai dengan kaidah yang artinya: barangsiapa yang mengeluarkan dari harta mubah maka ia menjadi pemiliknya’’ kaidah ini sesuai dengan sabda Nabi saw:
‘’Barang siapa yang menghidupkan tanah(gersang) bukan milik seseorang, maka ia yang paling berhak memilikinya’’(HR.Bukhari)
c. Harta mahjurialah’’ sesuatu yang tidak boleh dimiliki sendiri dan memberikan kepada orang lain menurut syariat, adakalanya benda itu benda wakaf ataupun benda yang dikhususkan untuk masyarakat umum, seperti jalan raya, mesjid-mesjid, dan kuburan-kuburan.
7. Harta yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
a. Harta yang dapat dibagi (mal qabil li al qismah) ialah harta yang tidak dapat menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta itu dibagi-bagi, misalnya beras, dan tepung.
b. Harta yang tidak dapat dibagi (mal ghair qabil li al-qismah) ialah harta yang menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagi, misalnya gelas, kursi, meja, dan mesin.
8. Harta pokok dan hasil (tsamarah/ buah)
a. Harta pokok ialah harta yang mungkin darinya harta yang lain.
b. Harta hasil (tsamarah/buah)ialah harta yang terjadi dari harta yang lain.
Harta pokok dapat juga disebut modal, misalnya uang, mas, dan yang lainnya, contoh harta pokok dan harta hasil ialah bulu dihasilkan dari domba, maka domba merupakan harta pokok dan bulunya merupakan harta hasil, atau kerbau yang beranak, anaknya dianggap sebagai tsamarah(buah) dan induk yang melahirkannya disebut harta pokok.
9. Harta khas dan ‘am
a. Harta khas ialah pribadi, tidak bercampur dengan harta yang lain, tidak boleh diambil manfaatnya tanpa disetujui pemiliknya.
b. Harta ‘am ialah harta milik umum (bersama) yang boleh diambil manfaatnya.
Harta yang dapat dikuasai (ikhraj) terbagi dua, yaitu:
· Harta yang termasuk milik perseorangan
· Harta-harta yang tidak termasuk milik perseorangan
Harta yang termasuk menjadi milik perseorangan ada dua macam:
- Harta yang dapat menjadi milik perseorangan, tetapi ada sebab pemilikan, misalnya binatang buruan dihutan.
- Harta yang dapat menjadi milik perseorangan dan telah ada sebab pemilikan, misalnya ikan di sungai diperoleh seseorang dengan cara mengail.
Harta yang tidak termasuk milik perseorangan ialah harta yang menurut syara’ tidak boleh dimiliki sendiri, misalnya sungai, jalan raya, dan laut.
1. Menurut ulama hanafiyah, al-mal (harta) yaitu segala yang diminati manusia dan dapat dihadirkan ketika diperlukan, atau segala sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan dan dapat dimanfaatkan’’.
Menurut jumbur ulama (selain ulama hanafiyah), al-mal (harta) yaitu segala sesuatu yang mempunyai nilai, dan dikenakan ganti rugi bagi orang merusak atau melenyapkannya.
Jadi,menurut jumhur ulama, harta itu tidak hanya bersifat materi melainkan juga termasuk manfaat dari suatu benda. Menurut ulama Hanafinyah, yang dimaksud dengan harta itu tidak hanya bersifat materi, sedangkan manfaat termasik kedalam pengertian milik.
2. Diantara kedudukan harta sebagai berikut:
- Sebagai salah satu keperluan hidup yang pokok bagi manusia,
- Sebagai perhiasan kehidupan dunia,
- Sebagai cobaan (fitnah),
- Sebagai untuk sarana untuk memenuhi kesenangan, dan
- Sebagai sarana untuk menghimpun bekal bagi kehidupan akhirat.
Fungsi harta banyak sekali, antara lain:
- Untuk menyumparnakan pelaksaan ibdah yang khas (mahdhah)
- Untuk meningkatkan (ketakwaan) kepada Allah.
- Untuk meneruskan kehidupan dari suatu periode ke periode berikutnya.
- Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan akhirat.
- Untuk mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu, karena menuntut ilmu tanpa biaya akan terasa sulit.
- Untuk menurut (men-tasharruf) peran-peran kehidupan, yakni adanya pembantu dan tuan, adanya orang kaya, dan miskin yang saling membutuhkan,
- Untuk menumbuhkan silaturahmi, karena adanya perbedaan dan keperluan.
3. Allah swt. Memerintahkan manusia supaya berusaha mencari harta dan memilikinya. Usaha mencari harta dan memilikinya itu harus dengan cara yang halal.
Jika harta dicari dan diperoleh sesuai dengan panduan yang ditetapkan Allah yang tersimpuldalam prinsip halal dan tayib, maka harta yang diperoleh itu pun harus digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan panduan Allah, yaitu:
- Digunakan untuk kepentingan kebutuhan hidup
- Digunakan untuk memenuhi kewajibannya terhadap Allah berupa membanyar zakat, nazar, atau kewajiban materi lainnya, dan kewajiban materi yang harus ditunaikan untuk keluarga, yaitu istri, anak, dan kerabat.
- Dimanfaatkan bagi kepentingan sosial.
4. Menurut fukaha, harta dalam garis besarnya terbagi sebagai berikut:
- Harta Mutaqawwim dan harta ghair mutaqawwim.
- Harta Mitsli dan harta qimi
- Harta Istihlak dan harta isti’mal
- Harta Manqul dan harta ghair Manqul
- Harta ‘Ain dan harta Dayn
- Harta Mamluk, Mubah, dan mahjur
- Harta yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
- Harta pokok dan harta hasil (tsamarah/bulan)
- Harta khas dan harta ‘am
[1] M.Abdul Mujieb (et al), Kamus Istilah Fiqih, ( Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994),cet. Ke-1, hlm.191.
[2] Nasrun Haroen, Figh Muamalah, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), cet. Ke-2, hlm.73
[3] Ibid.
[6] Mustaga Ahmad al- Zarqa’, Al-Madkhal al-Fiqih al-islamy, jus 3, hlm. 118.
[7] Lihat Hasbi Ash Shiddieqy,pengantar Fiqh Muamalah,(Jakarta: Bulan Bintang,1989),cet,ke-3,hlm 140.
[10] Lihat Hendi Suhendi, fiqih muamalah,hlm 27-29. Lihat pula Rahmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, hlm.30-31.
[11]Lihat Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm.75.
[12]Amir Syarifuddin, Garis Garis Besar Fiqh, Bogor: Kencana. 2003), cet. Ke-1, hlm.182.
[13] Ibid, hlm.183.
[14]Ibid, hlm.184-87
[15]Lihat Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, hlm. 19. Lihat pula Hasbi Ash Shiddieqy, pengantar Fiqih Muamalah, hlm. 142, dan Rahmat Syafe’I, Fiqh Muamalah, hlm. 32.
[16]Mustafa Ahmad Zarqa’, Op. cit, hlm. 126-127
[17] Lihat Rahmat Syafe’I, Op. cit., hlm. 36.
[18] Lihat Hendi Suhendi, Op.cit., hlm. 21
0 Comment