Monday, October 26, 2020

 

            SEDEKAH, HIBAH, DAN HADIAH

       A.    Pengertian dan Hukum Sedekah

Secara bahasa kata sedekah berasal dari bahasa Arab shadaqah  yang secara bahasa berarti tindakan yang benar. Pada awal pertumbuhan Islam, sedekah diartikan sebagai pemberian yang disunahkan. Tetapi, setelah kewajibkan zakat disyariatkan yang dalam al-Qur’an sering disebutkan dengan kata shadaqahmaka shadaqah mempunyai dua arti. Pertama, shadaqah sunah / tathawwu’ (sedekah) dan wajib (zakat).[1] Yang menjadi pembahasan dalam bab ini adalah shadaqah sunah yang di masyarakat sering diucapkan dengan istilah sedekah.

Secara syara’ (terminologi), sedekah diartikan sebagai ssebuah pemberian seseorang secara ikhlas kepada orang yang berhak menerima yang diiringi juga oleh oahala dari Allah.[2] Contoh, memberikan sejumlah uang, beras, atau benda-benda lain yang bermanfaat kepada orang lain yang membutuhkan. Berdasarkan pengertian ini, maka yang namanya infak (pemberian/sumbangan) termasuk ke dalam kategori sedekah.

B.     Dasar Hukum Sedekah

Secara ijma, ulama menetapkan bahwa hukum sedekah ialah sunah. Islam mensyariatkan sedekah karena di dalamnya terdapat unsur memberikan pertolongan kepada pihak yang membutuhkan. Di dalam al-Qur’an banyak ayat yang menganjurkan agar kita bersedekah diantaranya terdapat dalam firman Allah swt. Surat al-Baqarah ayat 280 dan ayat 261.

“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. ”(Qs:2/280)

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartany dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. Dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Qs.2/261)

          Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan Islam, rumah sakit, dan usaha penyelidikan ilmiah.

          Dalam hadisnya, rasul memerintahkan agar umatnya bersedekah meskipun dalam jumlah yang sedikit.

“Lindungilah dirimu semua dari siksa api neraka dengan bersedekah meskipun hanya dengan separuh biji kurma.” (Bukhari Muslim)

Dalam hadis yang lain Rasul bersabda:

“Sedekah tidak akan mengurangi harta, Allah tidak akan menambah kepada hamba sebab suka memaafkan kecuali baginya sebagai kemuliaan, dan tidaklah seseorang itu merendah diri kecuali Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim)

 

C.     Hukum yang Terkait dengan Sedekah

Pada dasarnya sedekah dapat diberikan kapan dan dimana saja tanpa terkait oleh waktu dan tempat. Namun, ada waktu dan tempat tertentu yang lebih diutamakan yaitu lebih dianjurkan pada bulan Ramadhan. Dijelaskan juga dalam kitab Kifayat al-Akhyar,  sedekah sangat dianjurkan ketika sedang menghadapi perkara penting, sakit atau bepergian, berad di kota Mekkah dan Madinah, peperangan, haji, dan pada waktu-waktu yang utama seperti sepuluh hari dibulan Zulhijjah, dan hari raya.[3]

Pada dasarnya, sedekah dapat diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan, namun ada beberapa kelompok orang yang lebih utama yaitu kepada famili yang paling memusuhi, famili yang jauh hendaklah didahulukan dari tetangga yang bukan famili. Karena selain sedekah, pemberian itu akan mempererat hubungan silaturahmi.

Selain itu dalam menggunakan juga kita harus memilih cara yang lebih baik dalam bersedekah yaitu dengan cara sembunyi-sembunyi. Hal itu lebih utama dibanding terang-terangan.[4]

D.    Sedekah yang Tidak Dibolehkan

Sedekah hukumnya diperbolehkan selama benda yang disedahkan itu adalah milik diri sendiri dan benda itu dari zatnya suci dan diperoleh dengan cara yang benar, meskipun kumlahnya sedikit. Maka jika barang itu statusnya milik bersama atau orang lain, maka tidak sah benda itu disedekahkan karena barang yang disedekahkan harus didasari oleh keihklasan dan kerelaan dari pemiliknya. Berkaitan dengan hal ini, maka tidak boleh seorang istri menyedekahkan harta suaminya kecuali tanpa izin darinya. Tetapi, jika telah berlaku kebiasaan dalam rumah tangga seoarang istri boleh menyedekahkan harta tertentu seperti makanan, maka hukumnya boleh tanpa minta izin kepada suaminya terlebih dahulu. Dalam hal ini, bukan hanya seorang istri yang mendapat pahala tetapi suami pun mendapat pahala.

Demikian halnya, haram menyedekahkan benda yang secara zat dihukumi haram seperti babi, dan anjing. Atau benda itu diperoleh dengan cara yang diharamkan seperti mencuri, merampok atau korupsi karena hal itu bukan miliknya secara sah, dan Allah juga tidak menerima sedekah dari yang haram atau bersumber dari cara yang haram sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis bahwa “Sesungguhnya Allah itu Suci tidak akan menerima kecuali yang suci pula” (HR. Muslim). Kemudian, Rasulullah menyebutkan seseorang laki-laki yang lam berkelana dengan rambutnya yang kusut, pakaianya yang berdebu, menandahkan tangannya ke langti seraya berkata, Ya Tuhanku, Ya Tuhanku, padahal makannya haram, pakaiannya haram, minumnya haram, dan dibesarkan dari sesuatu yang haram, maka bagaimana doanya dapat dikabulkan ? (HR. Muslim).

Hal ini yang perlu diperhatikan dalam bersedekah adalah faktor kebutuhan. Orang yang memiliki sesuatu tetapi, sesuatu itu dibutuhkan untuk menafkahi keluarganya atau membayar utangnya maka sesuatu itu tidak boleh untuk disedekahkan.[5]

Sedekah hendaknya disalurkan tepat sasarannya artinya orang yang menerima adalah mereka yang benar-benar berhak dan sangat membutuhkan seperti fakir miskin. Maka orang kaya tidak diperbolehkan menerima sedekah dengan cara memperlihatkan dirinya sebagai orang fakir. Demikian halnya, dengan orang yang sehat dan mampu bekerja dengan baik haram baginya meminta-meminta sedekah kepada orang lain dan sedekah yang diterima itu hukumnya harta haram, demikian menurut imam al-Mawardi. Disunahkan dalam penyaluran zakat itu dikhususkan kepada mereka yang ahli kebaikan dan orang-orang yang benar-benar membutuhkannya. Makruh hukumnya bagi orang yang telah menyedekahkan sesuatu kepada orang lain kemudian ia mengambil alih sesuatu itu menjadi miliknya baik dengan cara hibah atau mengganti dan haram menyebut-menyebut sedekahnya, hal terakhir ini dapat membatalkan pahala sedekahnya.

Dalam al-Qur’an surat al-Taubah ayat 60, secara tegas ada beberapa golongan yang berhak menerima sedekah.

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk haitnya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, maka sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs:8/60)

Menurut mufasir yang dimaksud:

1.      Orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.

2.      Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.

3.      Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.

4.      Mualaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.

5.      Memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.

6.      Orang berutang: orang yang berutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutan untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.

7.      Pada jalan Allah (sabilillah): yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin, diantara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, dan rumah sakit.

8.      Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.

Selain itu delapan ashnaf (golongan) diatas, sedekah juga diberikan kepada isteri, anak, dan pelayan. Hal ini didasari oleh hadis Rasulullah “Bersedekahlah kamu, lalu seorang laki-laki bertanya, Ya Rasulullah saya mempunyai satu dinar uang, rasul berkata, “sedekahkanlah untuk dirimu sendiri”, laki-laki itu berkata lagi, “ada lagi satu dinar lagi ya Rasulullah”, maka rasulullah berkata, “sedekahkan untuk isterimu”, kemudian ia berkata lagi, “masih ada satu dinar lagi ya Rasulullah”, rasul berkata, “sedekahkan kepada pelayanmu”, ia berkata lagi, “ada satu dinar lagi ya rasulullah”, rasulullah berkata “terserah padamu, engkau lebih mengetahui ke mana yang lebih baik.” (HR. Abu Daud, al-Nasai, dan Hakim).

    Pada riwayat yang lain dijelaskan bahwa membiarkan burung yang memakan buah-buahan dari tanaman yang yang ditanam adalah sedekah.

“tidaklah seorang muslim bercocok tanam dikebun atau disawah kemudian buahnya dimakan oleh burung, manusia, atau binatang lainnya kecuali baginya itu sedekah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

E.     Perkara yang dapat Membatalkan Sedekah

Ada beberapa perkara yang dapat menghilangkan pahala sedekah:

1.      Al-Mann (membangkit-bangkitkan) artinya menyebut-menyebut dihadapan orang lain.

2.      Al-Adza (menyakiti) artinya sedekah itu dapat menyakiti perasaan orang lain yang menerimanya baik dengan ucapan atau perbuatan.

Mereka ini tidak mendapat manfaat di dunia dari usaha-usaha mereka dan tidak pula mendapat pahala diakhirat.

Poin satu dan dua diatas didasari oleh al-Qur’an surat al-Baqarahayat 264:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-menyebut dan menyakiti (perasaan si penerima).” (Qs: 2/264)

3.      Riya (memamerkan) artinya memperlihatkan sedekah kepada orang lain karena ingin dipuji. Bersedekah jika ada orang tetapi jika dalam keadaan sepi ia tidak mau bersedekah. Dijelaskan oleh al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 262:

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala disisi tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs: 2/262) 

F.      Bentuk-Bentuk Sedekah

Dalam Islam sedekah memiliki arti luas bukan hanya berbentuk materi tetapi mencakup semua kebaikan baik bersifat fisik maupun non fisik. Berdasarkan hadis, para ulama membagi sedekah menjadi :

1.      Memberikan sesuatu dalam bentuk materi kepada orang lain.

2.      Berbuat baik dan menahan diri dari kejahatan.

3.      Berlaku adil dalam mendamaikan orang yang bersengketa.

4.      Membantu orang lain yang akan menaiki kendaraan yang akan ditumpangi.

5.      Membantu mengangkat barang orang lain ke dalam kendaraannya.

6.      Menyingkirkan benda-benda yang mengganggu dari tengah jalan seperti duri, batu, dan kayu.

7.      Melangkahkan kaki ke jalan Allah.

8.      Mengucapkan zikir seperti tasbih, tahmid, tahlil dan istighfar.

9.      Menyuruh orang lain berbuat baik dan mencegahnya dari kemungkaran.

10.  Membimbing orang buta, tuli, dan bisu serta menjuluki orang yang meminta petunjuk tentang sesuatu seperti alamat rumah.

11.  Memberikan senyuman kepada orang lain.

Dari uraian di atas tentang sedekah maka ada beberapa perbedaan antara sedekah dan zakat dilihat dari tiga aspek:

1.      Orang yang melakukan

Sedekah dianjurkan kepada semua orang beriman baik yang memiliki harta atau tidak karena bersedekahtidak mesti harus yang berharta sedangkan zakat diwajibkan kepada mereka yang memiliki harta.

2.      Benda yang disedekahkan

Benda yang disedekahkan bukan hanya terbatas pada harta secara fisik tetapi mencakup semua macam kebaikan. Adapun zakat, benda yang dikeluarkan terbatas hanya harta kekayaan secara fisik seperti uang, hasil pertanian, peternakan, perdagangan, dan hasil profesi yang lainnya.

3.      Orang yang menerima

Sedekah untuk semua orang tetapi zakat dikhususkan kepada delapan golongan sebagaimana telah disebutkan.

G.    Hikmah Sedekah

Sedekah memiliki nilai sosial yang sangat tinggi. Orang yang bersedekah dengan ikhlas ia buka hanya mendapatkan pahala tetapi juga memeiliki hubungan sosial yang baik. Hikmah yang dapat dipetik:

1.        Orang yang bersedekah lebih mulia dibanding orang yang menerimanya sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis “Tangan diatas lebih baik dari tangan yang dibawah”

2.        Mempererat hubungan sesama manusia terutama kepada kaum fakir miskin, menghilangkan sifat bahkil dan egois, dan dapat membersihkan harta serta dapat meredam murka Tuhan.

3.        Orang yang bersedekah senantiasa didoakan oleh kedua malaikat.

“Tidaklah seorang laki-laki berada di pagi hari kecuali dua malaikat berdoa, Ya Allah berilah ganti orang yang menafkahkan (menyedekahkannya) hartanya dan berikanlah kehancuran orang yang menahan hartanya.” (HR. Bukhari Muslim). 

2.        HIBAH

A.    Pengertian dan Hukum Hibah

Secara bahasa kata hibah berasal dari bahasa arab al-Hibah  yang berarti pemberian atau hadiah dan bangun (bangkit). Kata hibah terambil dari kata “hubuubur riih” artinya muruuruha (perjalanan angin).[6]Kemudian, dipakailah kata hibah dengan maksud memberikan kepada orang lain baik berupa harta ataupun bukan. Kata hibah yang bentuk amr-nya habterdapat dalam al-Qur’an Ali-Imran ayat 38:

“Zakari berkata, Ya Tuhan-ku berilah aku dari sisi engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya engkau mendengar doa.” (Qs:3/38)

Secara terminologi (syara’) jumhur ulama mendefenisikan hibah:

“Akad yang mengakibatkan pemilikan harta tanpa ganti rugi yang dilakukan oleh seorang dalam keadaan hidup kepada orang lain secara sukarela.”[7]

          Dari defenisi diatas dapat diambil pengertian bahwa hibah merupakan pemberian harta kepada orang lain tanpa imbalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dimana orang yang diberi bebas menggunakan harta tersebut. Artinya, harta menjadi hak milik orang yang diberi. Jika orang yang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak sebagai hak milik maka itu disebut I’aarah(pinjaman). Jika pemberian itu disertai dengan imbalan maka yang seperti itu namanya jual beli.

          Benda yang diberikan statusnya belum menjadi milik orang yang diberi kecuali benda itu telah diterima, tidak dengan semata-mata akad. Nabi Muhammad saw. Pernah memberikan 30 buah kasturi kepada Najasyi kemudian Najasyi, itu meninggal dan ia belum menerimanya lalu Nabi mencabut kembali pembriannya itu.

          Menurut Sayyid Sabiq, jika seorang memberikan sesuatu yang bukan jenis harta yang halal seperti khamar atau bangkai maka hal ini tidak layak untuk dijadikan sebagai hadiah. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah waktunya, yaitu hibah dilakukan ketika si pemberi (orang yang mempuntai harta) itu masih hidup jika telah mati maka bukan lagi hibah tetapi itu namanya wasiat.

Ada beberapa bentuk pemberian selain hibah.

1.        Sedekah yaitu pemberian harta kepada orang lain tanpa mengganti dan hal ini dilakukan semata angin memperoleh ganjaran (pahala) dari Allah swt.

2.        Ibraa’ yaitu menghibahkan uang kepada fisik yang berutang.

3.        Wasiat yaitu pemberian seseorang kepada orang lain yang diakadkan ketika masih hidup dan baru diberikan setelah orang yang berwasiat itu meninggal.

4.        Hadiah yaitu pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa adanya pengganti dengan maksud memuliakan. 

B.     Dasar Hukum Hibah

Para ulama fiqh sepakat bahwa hukum hibah itu sunah. Hal ini didasari oleh nash al-Qur’an dan hadis Nabi.

a.         Dalil al-Qur’an

1.      Qs. an-Nisa ayat 4

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kaum sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (Qs: 4/4)

2.      Qs. al-Baqarah ayat 177

“Memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta dan (memerdekakan) hamba sahaya.” (Qs.: 2/177)

b.        Dalil al-hadis

“Saling memberikan hadiahlah, maka kamu akan saling mencintai.” (HR. Bukhari Muslim).

“Siapa yang mendapatkan kebaikan dari saudaranya yang bukan karena mengharap dan meinta-minta, maka hendaklah ia menerimanya dan menolaknya, karena itu adalah rezeki yang diberikan oleh Allah kepadanya.” (HR. Ahmad).

“Seandainya aku diberi hadiah sepotong kaki binatang tentu aku akan menerimanya. Dan seandainya aku diundang untuk makan sepotong kaki binatang tentu aku akan mengabulkan undangan tersebut.” (HR. Ahmad an Tirmidzi).

C.     Rukun dan Syarat Hibah

Jumhul ulama mengemukakan bahwa rukun hibah itu ada empat:

1.      Orang yang menghibahkan (al-Wahib)

2.      Harta yang dihibahkan (al-mauhub)

3.      Lafal hibah

4.      Orang yang menerima hibah (mauhub lahu)

 

Syarat-syarat Hibah

a.         Syarat Orang yang Menghibah (Pemberi Hadiah)

1.    Penghibah memiliki sesuatu yang dihibahkan.

2.    Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya artinya orang yang cakap dan bebas bertindak menurut hukum.

3.    Penghibah itu orang dewasa, berakal, dan cerdas. Tidak disyaratkan penghibah itu harus muslim. Hal ini berdasarkan hadis Bukhari yang menyatakan diperbolehkan menerima hadiah dari penyembah berhala.

4.    Penghibah itu tidak dipaksa sebab hibah merupakan akad yang disyaratkan adanya kerelaan.[8]

b.        Syarat Orang yang Diberi Hadiah

Orang yang diberi hadiah benar-benar ada pada waktu diberi hibah, bila tidak ada atau diperkirakan keberadaannya misalnya masih dalam bentuk janin maka itu tidak sah hibah. Jika orang yang diberi hibah itu ada pada waktu pemberian hibah, akan tetapi ia masih kecil atau gila maka hibah itu harus diambil oleh walinya, pemeliharanya, atau orang yang mendidiknya sekalipun ia asing.[9]

c.         Syarat Benda yang Dihibahkan

1.      Benar-benar benda itu ada ketika akad berlangsung. Maka benda yang wujudnya akan seperti anak sapi yang masih dalam perut ibunya atau buah yang belum muncul dipohon maka hukumnya batal. Para ulama mengemukakan kaidah tentang harta yang dihibahkan “Segala sesuatu yang sah untuk dijual-belikan sah pula untuk dihibahkan.”

2.      Harta itu memiliki nilai (manfaat). Maka menurut pengikut Ahmad bin Hambal sah menghibahkan anjing piaraan dan najis yang dapat dimanfaatkan.

3.      Dapat dimiliki zatnya artinya benda itu sesuatu yang biasa untuk dimiliki, dapat diterima bendanya, dan dapat berpindah dari tangan ke tangan lain. Maka tidak sah menghibahkan air disungai, ikan di laut, burung di udara masjid, atau pesantren.

4.      Harta yang akan dihibahkan itu bernilai harta menurut syara’ maka tidak sah menghibahkan darah dan minuman keras.

5.      Harta itu benar-benar menurut orang yang menghibahkan. Maka, tidak boleh menghibahkan sesuatu yang ada ditangannya tetapi itu kepunyaan orang lain seperti harta anak yatim yang diamanatkan kepada seseorang.

6.      Menurut Hanfiah, jika barang itu berbentuk rumah maka harus bersifat utuh meskipun rumah itu boleh dibagi. Tetapi ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah membolehkan hibah berupa sebagian rumah.

7.      Harta yang dihibahkan terpisah dari yang lainnya, tidak terkait dengan harta atau hak lainnya. Karena pada prinsipnya barang yang dihibahkan dapat digunakan setelah akad berlangsung. Jika orang menghibahkan sebidang tanah tetapi didalamnya ada tanaman milik orang yang menghibahkan, atau ada orang yang menghibahkan rumah, sedangkan rumah itu ada benda milik yang menghibahkan, atau menghibahkan sapi sedang hamil, sedangkan yang dihibahkan itu hanya induknya sedangkan anaknya tidak. Maka, ketiga bentuk hibah seperti tersebut diatas hukumya batal atau tidak sah. 

Tentang hukum menghibahkan semua harta yang dimiliki terdapat perbedaan. Menurut jumhur ulama, seseorang boleh menghibahkan semua harta yang dimilikinya. Adapun menurut Muhammad Ibnu al-Hasan dan sebagian pengikut mazhab Hanafi berpendapat bahwa tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun dalam kebaikan karena mereka menganggap yang berbuat seperti itu orang yang dungu yang wajib dibatasi tindakannya.[10]Menghibahkan utang kepada orang yang berutang sama dengan membebaskannya dari utang itu.[11] 

D.    Balasan Hadiah dan Pencabutan Hadiah

Disunahkan membalas hadiah sekalipun hadiah itu dari orang yang lebih tinggi. Hal ini didasari oleh hadis Nabi:

“Rasulullah pernah menerima hadiah dan membalasnya, dalam riwayat ibnu abu Syaibh dan membalas dengan apa yang lebih baik darinya.”(HR. Bukhari).

 

          Nabi melakukan hal itu yaitu untuk membalas kebaikan dengan kebaikan semisal sehinga tidak ada seorangpun yang mengutangkan kebaikan kepada beliau.

          Berkata al-Khattabi sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq, diantara ulama ada yang membagi hadiah menjadi tiga:

a.       Pemberian kepada orangyang lebih rendah seperti kepada pembantu karena untuk menghormati dan mengasihinya. Pemberian semacam ini tidak menghendaki pembalasan.

b.      Pemberian orang kecil kepada orang besar untuk mendapatkan kebutuhan dan manfaat. Maka pemberian ini wajib dibalas, seperti orang miskin memberikan hasil tanamannya kepada orang kaya.

c.       Pemberian dari orang kepada orang lain yang setingkat dengannya yang mengandung kecintaan dan pendekatan. Dikatakan bahwa pemberian seperti ini wajib dibalas. Contohnya, hadiah kondangan pengantin atau khitanan. Juga termasuk hadiah yang wajib dibalas jika seorang diberi hadiah dan disyaratkan untuk membalasnya maka ia wajib membalasnya.[12] 

Mencabut Pemberian

Menurut jumhur ulama pemberian haram diminta kembali dalam keadaan apa pun sekalipun antara saudara atau suami isteri kecuali jika pemberi hadiah itu adalah seorang ayah dan penerimanya adalah anaknya sendiri.[13] Mereka beralasan kepada sabda Nabi:

“Orang yang menarik kembali hibahnya sama seperti anjing yang menjilat muntahnya.” (HR. Abu Daud dan Nasai).

Dalam hadis yang lain Rasulullah bersabda:

“Tidak seorang pun boleh menarik kembali pemberiannya kecuali pemberian ayah kepada anaknya.” (HR. Ahmad).

          Kebolehan seorang ayah mencabut pemberian yang telah diberikan kepada anaknya karena ia lebih berhak menjaga kemaslahatan anaknya.

          Berbeda dengan ulama Hanafiyah, menurut mereka hibah itu tidak mengikat. Oleh sebab itu, pemberi hibah boleh saja mencabut kembali hadiahnya, alasannya yang mereka kemukakan adalah hadis Nabi:

“Orang yang menghibahkan hartanya lebih berhak terhadap hartanya selama hadiah itu tidak diiringi oleh ganti rugi.” (HR. Ibnu Majah, al-Daru Quthni, At-Thabrani dan al-Hakim). 

          Akan tetapi, mereka juga melarang menarik hadiah dari orang lain dengan catatan jika penerima hibah telah memberi imbalan dan penerima hibah telah menerimanya.

          Menurut Sayyid Sabiq, penghibah yang tidak boleh menarik kembali hibahnya yaitu yang semata-mata memberikan tanpa meminta imbalan. Adapun penghibah yang diperbolehkan menarik hibahnya adalah penghibah yang memberikan agar hibahnya itu diberi imbalan dan dibalas.[14] 

E.     Pemberian Ayah kepada Anaknya

Para ulama sepakat bahwa seorang ayah harus meperlakukan anak-anaknya dengan perlakuan yang adil. Seorang ayah tidak diperbolehkan melebihkan pemberian kepada sebagian anak-anaknya diatas anak yang lain. Karena perlakuan seperti itu akan menanamkan permusuhan dan memutuskan hubungan silaturahmi yang diperintahkan oleh Allah. Bagi seorang ayah, perlakuan tidak adil dengan melebihkan pemberian kepada anak diatas yang lainnya yaitu perbuatan curang. Maka, ayah yang melakukan seperti itu hendaklah ia membatalkannya. Rasulullah bersabda:

“Persamakanlah diantara anak-anakmu dalam pemberian. Seandainya aku hendak melebihkan seseorang tentulah aku lebihkan anak-anak perempuan.” (HR. Thabrani)

          Nabi dan keluarganya tidak boleh menerima sedekah tetapi kalau itu berbentuk hibah hukumnya boleh. Hal ini didasari oleh hadis tentang Barirah (hambah Siti Aisyah) yang diberi sedekah kurma. Lalu kurma itu dibawakan kepada Nabi saw. untuk dijamu. Maka Rasulullah diingatkan oleh Siti Aisyah bahwa kurma itu adalah sedekah orang untuk Barirah. Oleh karena, Barirah menjamu Nabi dengan kurma itu, maka kurma itu sekarang menjadi hadiah atau hibah dari Barirah untuk Rasulullah. Sebelum ini kurma itu memang sedekah bagi Barirah tetapi sekarang menjadi hadiah dari Barirah. Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Huraira, dikatakan. “Jika Nabi dibawakan makanan nabi bertanya, jika dikatakan hadiah beliau mau memakannya dan jika dikatakan sedekah beliai tidak memakannya.” 

F.      Pemberian ‘Umra dan Ruqbah

a.       ‘Umra

Umra artinya umur, sedangkan ruqba berarti mengintai. Pemberian dengan kedua cara di atas yaitu kebiasaan orang Arab jahiliyah yang kemudian di lestarikan menjadi syariat Islam. Hukum umra itu jaiz atau boleh berdasarkan hadist nabi:

“umra itu boleh”. (HR. Tirmidzi)

Menurut Sayyid Sabiq ‘umraadalah semacam hibah. Yaitu seseorang menghibahkan sesuatu kepada orang lain selama dia hidup           dan jika yang diberi hadiah itu mati maka barang itu kembali lagi kepada penghibah.[15] Aku ‘umra- kan rumah ini kepadamu artinya aku berikan kepadamu selama engkau hidup. Orang yang mengucapkan umra disebut mu’mir dan benda yang diumrakan disebut mu’mar.

Berdasarkan hadis Nabi, pengembalian umra setelah orang yang diberi itu mati adalah batal. Seharusnya kepemilikan umra itu bersifat permanen bagi orang yang diberi ‘umra semasa hidupnya. Setelah orang yang diberi umra itu mati maka berpindah kepada ahli warisnya, jika tidak memiliki ahli waris maka diberikan kepada baitulmal. Pendapat ini dianut oleh Hanafi, Syafi’i, dan Ahmad berdasarkan hadis Nabi:

“Dari urwah bahwa Nabi bersabda: barang siapa diberi umra maka umra itu baginya dan bagi anak-anaknya. Umra itu diwarisi oleh orang yang mewarisi diantara anak-anaknya sesudah ia mati.”

        Berbeda dengan imam Malik ia berkata bahwa umra adalah pemilikan manfaat dan bukan penguasaan. Jika umra itu diberikan kepada seseorang, maka itu baginya selama ia hidup dan tidak dapat diwariskan. Jika diberikan kepadanya dan anak-anaknya setelah ia meninggal maka umra itu menjadi harta warisan bagi keluarganya.[16]

b.    Ruqbah

Ruqbah ialah bila seseorang berkata kepada temannya “aku ruqbakan rumahku kepadamu aku berikan kepadamu selama engkau hidup”. Jika engkau mati sebelum aku maka kembalikan rumah itu kepadaku. Dan jika aku mati sebelum kamu maka rumah itu menjadi milikmu dan orang sesudahmu. Maka masing-masing keduanya ini menunggu kematian sahabatnya sehingga kepemilikan rumah ini menjadi milik siapa yang masih hidup diantara mereka berdua.

Hukum ruqbah itu bolehkan sebagaimana hukum ‘umra menurut Syafi’i dan Ahmad. Abu Hanifah berpendapat ‘umra itu diwariskan dan ruqbah itu barang pinjaman.

Kebolehan Ruqbahberdasarkan hadis Nabi:

“Umra itu diperbolehkan bagi orang yang mengumrakannya dan ruqbah juga diperbolehkan bagi orang yang meruqbahkan.”(HR. Abu Dawud, an-Nasa’I, ibnu Majah, al-Tirmidzi, berkata: hadis hasan). 

Persoalan

        Seorang ayah mengundang orang lain untuk menghadiri khitanan anaknya. Para undangan membawa hadiah yang tidak disebutkan untuk si anak atau si ayah, bagaimana hukumnya. Maka harus dilihat bentuk pemberiannya kemudian diberikan kepada yang lebih berhak. Jika hadiah itu sesuai dengan anaknya seperti pakaian anak-anak maka itu untuk anaknya. Jika hadiah itu sesuai untuk ayahnya maka hadiah itu untuk ayahnya seperti baju bapak-bapak dan sebagainya. Tapi jika bentuk hadiah itu cocok untuk keduanya seperti uang maka hal ini diperlukan bukti-bukti yang lebih menguatkan. Dan untuk kebiasaan, hadiah yang berupa uang biasanya kotaknya terpisah, ada kotak hadiah untuk ayah dan ada kotak hadiah untuk anak. 

G.    Hikmah Pemberian (hibah)

Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kepada sesama manusia untuk saling memberi. Biasanya orang yang suka memberi maka dia juga akan diberi. Kebiasaan saling memberi yaitu perbuatan yang sangat manusiawi sebagai ucapan terima kasih. Dalam hadis Nabi dijelaskan bahwa “Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

Ada beberapa hikmah yang dapat dipetik dari pemberian.

a.       Menghilangkan penyakit dengki yang dapat merusak keimanan.

b.      Mendatangkan rasa saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi, dan menghilangkan sifat egois dan bakhil.

c.       Menghilangkan rasa dendam. Dalam hadis Nabi dijelaskan:

“Saling memberi hadiahlah kamu karena sesungguhnya hadiah dapat menghilangkan rasa dendam.” 

3.        Ringkasan Bab 9

1.      Sedekah adalah pemberian seseorang secara ikhlas kepada orang yang berhak menerima dimana pihak pemberi akan mendapatkan pahala dari Allah. Hibah dinyatakan sah jika memenuhi rukun dan syarat. Sedekah dapat diberikan kapan saja dan dimana saja tanpa terikat oleh waktu dan tempat. Namun, ada waktu dan tempat tertentu yang lebih diutamakan. Sedekah dapat diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan, namun ada beberapa kelompok orang yang lebih utama yaitu kepada famili uang paling memusuhi. Cara yang lebih baik dalam bersedekah yaitu dengan cara sembunyi-sembunyi. Sedekah hukumnya sunah selama itu milik sendiri dan benda itu dari segi zatnya suci dan diperoleh dengan cara yang benar, meskipun jumlahnya sedikit, tidak sah jika benda itu milik bersama karena barang yang disedekahkan harus didasari oleh keikhlasan dan kerelaan dari pemiliknya.

2.      Disunahkan dalam penyaluran sedekah itu dikhususkan kepada mereka yang ahli kebaikan dan orang-orang yang benar-benar membutuhkannya. Makruh hukumnya bagi orang yang telah menyedekahkan sesuatu kepada orang lain, kemudian ia mengambil alih sesuatu itu menjadi miliknya baik dengan cara hibah atau mengganti.

3.      Hibah merupakan pemberian harta orang yang masih hidup kepada orang lain tanpa imbalan tetapi semata untuk mendekatkan diri kepada Allah dimana orang yang diberi bebas menggunakan harta tersebut.

4.      Benda yang diberikan statusnya belum menjadi milik orang yang diberi kecuali benda itu telah diterima, tidak dengan semata-mata akad. Benda yang jenisnya haram seperti khamar atau bangkai maka hal ini tidak layak untuk dijadikan sebagai hadiah. Menghibahkan semua harta yang dimiliki terdapat perbedaan. Menurut jumhur ulama, seseorang boleh menghibahkan semua harta yang dimilikinya. Adapun menurut Muhammad Ibnu al-Hasan dan sebagian pengikut mazhab Hanafi berpendapat tidak sah menghibahkan semua harta meskipun dalam kebaikan katena mereka menganggap yang berbuat seperti itu orang yang dungu yang wajib dibatasi tindakannya. Adapun menghibahkan utang kepada orang yang berutang sama dengan membebaskannya dari utang itu.

5.      Menurut jumhur ulama pemberian haram diminta kembali dalam keadaan apa pun sekalipun antara saudara atau suami isteri kecuali pemberi hadiah itu adalah seseorang ayah dan penerimanya adaklah anaknya sendiri. Berbeda denagn ulama Hanafiyah menurut mereka hibah itu tidak mengikat. Pemberi hibah boleh saja mencabut kembali hadiahnya karena ada hadis “Orang yang menghibahkan hartanya lebih berhak terhadap hartanya selama hibah itu tidak diiringi oleh ganti rugi”. (HR. Ibnu Majah, al-Daru Quthni).

6.      Umra adalah semacam hibah, yaitu memberikan sesuatu kepada orang lain selama dia hidup dan jika yang diberi hadiah itu mati, maka barang itu kembali lagi kepada penghibah. Adapun ruqbahmerupakan pemberian yang dikaitkan dengan umur kedua belah pihak (pemberi dan yang diberi). Keduanya ini, menunggu kematian sahabatnya sehingga kepemilikan rumah ini menjadi milik siapa yang masih hidup diantara mereka berdua. Lafal ruqbahseperti “ Jika engkau mati sebelum aku, maka kembalikan rumah itu kepadaku. Dan jika aku mati sebelum kamu, maka rumah itu menjadi milikmu dan sesudahmu ” Hukum ruqbah dan umra’ dibolehkan menurut Syafi’I dan Ahmad.



[1]Nasrun Harun, Fiqh Muamalah,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 88

[2]Al-Jurjani, at-Ta’rifat

[3]Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad al-Husaini., Op.cit, hlm. 455

[4]Ibid

[5]Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad al-Husaini, Op. cit., hlm. 456

[6]Sayyid Sabiq, Op. cit, hlm.984

[7]Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 82

[8]Sayyid Sabiq, Op. cit., Jilid III, hlm. 985

[9]Ibid

[10]Sayyid Sabiq, Op. cit., hlm. 986

[11]Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad al-Husaini., Op. cit., hlm. 730

[12]Sayyid Sabiq, Op. cit., hlm. 986-987

[13]Ibnu Rusyd, Op. cit., Jilid III, hlm. 334

[14]Sayyid Sabiq, Op. cit., Jilid III, hlm. 989

[15]Sayyid Sabiq, Op. cit., Jilid III, hlm. 990

[16]Sayyid Sabiq, Op. cit., Jilid III, hlm. 991

0 Comment