Bagian Keempat
Epistemologi Ilmu Dakwah
Gugusan Keilmuan yang Dikonstruksi dari Teks dan Tradisi Islam
Latar Belakang Masalah
Menyerukan kebenaran dan mencegah kemungkaran adalah tugas hidup setiap muslim. Dengan bahasa lain, setiap muslim berkewajiaban untuk berdakwah. Perintah ini ditulis dalam al-qur’an sural Ali-Imran ayat 110.
Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.
Dalam kenyataanya; pertama, tidak setiap muslim dengan sengaja melakukan kegiatan dakwah, kedua tidak setiap muslim yang sengaja berdakwah telah melakukan perannya dengan efektif, ketiga, diskursus yang berkembang pada akedemisi, baik Dosen maupun Mahasiswa adalah persoalan kebimbangan akademik apakah dakwah merupakan ilmu atau tidak atau setidaknya meragukan bahwa dakwah bukan ilmu, akan tetapi dakwah hanya sekedar keterampilan praktis, tion semenjak zaman Rasululah Saw sampai hari ini, sehinga muncul anggapan tidak perlu lagi membahas dan memperbicangkan dakwah sebagai ilmu dalam zona akademik, dan ketika dibicarakan dalam zona akademik menimbulkan kebimbangan. Kembimbangan tersebut cukup beralasan, karena ketidak jelasan objek kajian dakwah baik formal maupun material. Anggapan sebagian insan akdemisi dakwah tidak mempunyai perbedaaan yang signifikan dengan keilmuan lainya dalam objek kajianya, baik moral maupun material
Perlu diakui bahwa dakwah sampai saat ini sedang berusaha keras untuk hadir sejajar dengan ilmu-ilmu Islam lainnya,[1] terutama dalam aspek epistemologi (Sumber Ilmu atau teori pengetahuan). Perjuangan berat tersebut disebabkan di antaranya: Pertama Dakwah diasumsikan tidak mempunyai basis ilmu-ilmu klasik sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnnya, sebagaimana ilmu Hadis, ulumu al-Qur’an, fiqh dan lainnya. Embrio Ilmu al-Qur’an telah muncul semenjak zaman sahabat (sebut Khulafa al-Rasyidin), embrio Imu fiqh telah muncul semenjak zaman Nabi, sebagai bukti adalah kopetensi Ai’syah tentang hukum-hukum syariat, dan kwalifikasi Umar bin Kahatab yang merupakan reformer hukum Islam di zamannya. Sedangkan pembahasan tentang Ilmu dakwah ditulis kebanyakan setelah zaman kontemporer. Kedua, para pakar berbeda tentang pengertian tentang “ilmu”[2], bukan tentang “dakwah”. Perbedaan pendapat tentang pengertian ilmu membawa kepada kebimbangan tentang apakah dakwah tersebut dapat dikatagorikan sebagai ilmu atau tidak. Ketiga, Pakar keilmuan dakwah yang masih relatif langka (khusus di Indonesia). Sebagian besar alumni dakwah lebih asyik berdakwah dengan alasan adanya desakan dari masyarakat tanpa memikirkan tentang sistem, teori dan metodologinya. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kesadaran teoritik dan metodologi di kalangan sarjana dakwah masih sangat kurang. Fenomena yang muncul adalah penolakan dan keraguan tentang dakwah apakah ilmu atau bukan tanpa mencari terobosan baru, dan wacana terus bergulir dan diwariskan dari tahun ketahun sehingga setiap mahasiswa yang telah masuk ke fakultas dakwah mengalami kebimbangan.
Perlu dicacat perbincangan tentang dakwah sebagai ilmu (aspek epistemologi) telah selesai dibicarakan di UIN Jakarta artinya dakwah telah diakui sebagai ilmu. Begitu juga International Isalamic Studies di Pakistan telah mengakui bahwa dakwah sebagai ilmu dengan alat ukur epistemologi Islam. Bagaimana posisi beberapa wacana yang meragukan dakwah bukan ilmu? Mungkin bagi mereka yang memandang dakwah bukan ilmu karena sekedar berbeda dalam memberikan definisi ilmu atau hanya sekedar penolakan selintas sambil jalan, dan memahami dakwah secara reduktif dan siplitis, dengan bukti bahwa hingga saat ini belum ada penolakan atas status dakwah sebagai ilmu dengan disertai hujjah akademik yang memadai. Jelasnya, secara akademik dan ilmiah belum ada alasan yang kuat untuk menyatakan bahwa dakwah bukan ilmu.
Keempat, keraguan bahwa dakwah bukan ilmu disebabkan karena kerangka berfikir yang terlalu dipenaruhi oleh paradigma positifsme. Secara historis, positifsme berkembang pada abad 18 bersamaan dengan munculnya revolusi industri. Tradisi positivisme dikembangkan lewat ilmu-ilmu alam natural sciences. Timbulnya positifsme dianggggap puncak kemenangan ilmu, sehinggga positifsme disebut sebagai agama baru. Inilah agaknya komentar mengangngap bahwa prosesesi pemikirang manusia dimulai dari, teologis, metefisika dan positifisme.
Hal inilah yang pada akhirnya ketika ilmu-ilmu sosial belum menemukan body of knowledge, kaum positifisme dengan lantang menyakinkan bahwa hukum dan teori kelaman bisa ditetapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Proseses ilmu, menurut kaum positifisme, sebagai mana diwakili Karl Popper, dimulai dari tahab konseptualisasi, operasionalisasi dan obsevasi. Prosese ini disebut sebgai metode kuntitatif dengan cara berfikir dimulai dari tahap deduksi, verifikasi, enumerasi dan obyektifikasi. Langkah-langkah penelitian yang dimulai dari tahab perumusan masalah, penggunaan teori, merumuskan hipotesis dan variabel serta desian penelitian, adalah derivasi dari kuatnya pengaruh mazhab positifisme dalam ilmu sosial. Derivasi teori ilmu alam terhadap ilmu sosial pada akhirnya memunculkan kritikan terhadapa teori positifisme, hal itu disebakan karena perbedaan cara memahami sesuatau. Ilmu alam lebih banyak mengamati prilaku luar. Sedang imu sosial mengamati perilaku internal manusia. Realitas menurut positifisme, bersifat nyata dan tunggal. Mazhab naturalistik sebaliknya, bahwa realitas tidak tunggal.
Untuk membuktikan apakah dakwah dapat dikatakan ilmu atau bukan, tidak cukup dengan memberikan alasan siplitis, bahwa eksistensi ilmu tersebut telah diakui dengan SK Menteri Agama, akan tetap perlu diuji dengan alat takar atau ukur dengan filsafat ilmu. Dalam pembahasan filsafat ilmu, sesuatu dapat dikatakan ilmu bila mempunyai dan teruji pada aspek ontologi, epistemologi, aksiologi, mempunyai objek studi, baik objek material maupun objek formal dan mempunyai metodologi. Maksud dari ontologi adalah: ma hiyah, atau apa hakekat tentang sesuatu. Epistemologi adalah: dari mana sumber ilmu didapatkan atau dari mana teori pegetahuan itu berasal dan aksiologi adalah apakah kegunaan ilmu tersebut atau aspek nilai sebuah ilmu. Persolannyan terujikah keilmuan dakwah dari beberapa aspek tersebut?.
Epistemologi (Teori Pengetahuan)
Epistemologi berasal dari bahasa Inggeris yaitu: Epistemology. Dalam perbincangan filsafat ilmu epistemologi diartikan: cara mendapatkan sesuatu, dalam hal ini epistemologi adalah dari mana sumber atau teori pengetahuan didapatkan. Dalam perspektif epistemologi secara umum bahwa sumber atau teori pengetahuan didapatkan dari hasil rasioanalitas manusia berdasarkan data. Sedangkan dalam perspektif epistemologi Islam[3] bahwa teori pengetahuan didapatkan dari teks atau wahyu dan pemikiran manusia dalam aspek tradisi yang mensejarah. Jelasnya bahwa fa’il atau subjek atau sumber Ilmu dalam Islam adalah Allah sebagaimana yang terdapat dalam Surat al-Baqarah: 33. Allah sebagai sumber pengetahuan menampilkan diri lewat al-Qur’an yang tertulis sebagai fitrah munazalah dan lewat ayat yang tercipta yaitu alam dan realitas sebagai fitrah majbulah. Jelasnya bentuk teori ilmu apapun baik secara normatif atau empiris bersumber dari Allah Swt.
Berdasarkan hal itu dalam perspektif epistemologi Islam, epistemologi dakwah adalah sekumpulan pengetahuan yang bersumber dari wahyu (teks) dan pemikiran rasional muslim sepanjang sejarah (tradisi Islam), dengan ini dakwah memiliki kelayakan epistemik. Dalam kerangka epistemik ini ilmu dakwah harus difahami sebagai ilmu teoritik dan terapan Islam untuk menumbuhkan, menata dan merekayasa masa depan kehidupan umat dan peradaban Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Aksiologi Dakwah
Islam berbeda dengan pandangan bangunana ilmu barat, yang memandang ilmu dipisahkan dengan kepentingan masyarakat. Dengan kata lain teori ilmu tidak terkait dengan praxis. Dalam pandangan Islam ilmu baru berguna dan bermakna bila telah menjadi realita. Jika kebenaran telah ditemukan melalui aktivitas keilmuan, selanjutnya kebenaran menjadi kenyataan dalam kehidupan manusia. Berkaitan dengan hal itu, aksiologi atau nilai guna dakwah adalah : bertujuan mewujudkan ummatan wasathan, khairul umah dan khairul baraiyah.
Objek dan Sifat Studi Ilmu Dakwah
Setiap ilmu mempunyai objek tertentu baik objek material dan objek formal. Dalam dunia ilmu pengetahuan sering ditemukan adanya kesamam objek material dalam dua disiplin ilmu akan tetapi mempunyai objek formal yang berbeda. Sebagai contoh ilmu ekonomi dengan ilmu komunikasi. Ilmu ekonomi dan komunikasi mempunyai objek material yang sama yaitu prilaku manusia dalam masyarakat. Namun objek formalnya berbeda, ilmu ekonomi mempelajari dan mengkaji manusia dalam konteks pertukaran uang dan barang. Sedang ilmu komunikasi mempelajari pernyataan manusia dalam situasi berkomunikasi lewat pernyataan. Objek formal inilah yang menunjukkan jati diri dari suatau ilmu, sekaligus membedakan dengan ilmu yang lain.
Objek ilmu dakwah terbagai menjadi dua objek material dan formal. Objek material adalah: Semua aspek ajaran Islam, yaitu al-Qur’an, sunnah, sejarah dan peradaban Islam. Objek Formalnya: mengkaji dan mempelajari bagaimana mengajak umat manusia agar masuk dalam sistem Islam dalam semua segi kehidupan. Bentuk kegiatan mengajak tersebut, terdiri secara lisan (komunikasi), tulisan (jurnalisme) dan aksi sosial. Inilah karakteristik yang spesifik dari ilmu-ilmu Islam lainya ( Ulumul Qur’an, UlumlHadis, Fiqh , dan lain-lain) yaitu mempelajari dan mengkaji bagaimana mengajak umat manusia. Kajian dalam objek formal ini sangat terkait dengan sifat objek studi ilmu dakwah yaitu proses “tranformasi” .
Metode Keilmuan Dakwah
Pengetahauan ilmiah berkembang dengan pesat disebabkan kareana metodologinya, yakni metode ilmiah. Metode ini dikembangkan menjadi metode penelitian yang merupakan modus operandi bagi pengembangan pengetahuan ilmiah. Ringkasnya, dunia keilmuan hidup dan berkembanag disebabkan oleh penelitiannya. Penelitian tersebut selalu berkaitan dengan metodologinya.
Pusat-pusat kajian keagamaan, khususnya fakultas dakwah di IAIN tidak hanya bertugas mengajarkan ilmu agama yang terkesan membaca dan mengulang, sehingga nuansa keilmuan menjadi statis, padahal yang dibutuhkan adalah ilmu yang dinamis, lebih khusus adalah kajian ilmu dakwah. Dalam rangka mendinamisasikan ilmu dakwah, aktivitas penelitian menjadi sangat penting dan yang berkaitan dengan penelitian tersebut adalah metode keilmuan Dakwah.
Istilah metodologi dengan metode tidak jarang tumpang tindih penggunaanya. Metodologi merupakan studi logis dan sitematis tentang prinsip-prinsip yang mengarahkan penelitian ilmiah, yang intinya terdiri dari; masalah, tinjauan pustaka, hipotesis, dan cara penelitian. Sedangkan metode (methods) merupakan cara untuk melakukan penelitian, menyangkut dengan bahan, alat, variabel penelitian dan analisis hasil penelitian. Perlu diingat bahwa cara yang dilakukan dalam penelitian befariasi dan terkait dengan objek formal ilmu pengetahuan tersebut. Di bawah ini akan diuraikan beberapa tawaran metode keilmuan dakwah dalam rangka melahirkan teori dakwah (grand theory of Dakwah)
1. Metode Reflektif.( Normatif – Deduktif)
Arti dari reflektif adalah: merenungkan masa lalu, dalam memahami masa sekarang dan berguna untuk merancang masa depan. Sebuah relfeksi tidak hanya meratapi kelemahan, kekurangan dan kegagalan, tetapi juga melihat tentang sesuatu keberhasilan. Dari refleksi ini akan lahirlah apa yang disebut kritik yang sehat dan jujur. Dalam kaitannya dengan metode reflektif dalam keilmuan dakwah, teori ini dapat dijadikan sebagai teori Makro Dakwah Islam, baik dari sisi interaksi dakwah dengan sisitem setempat dan proses penyampaian.
Lebih jelas lagi akan dicontohkan penerapan metode reflektif dengan merenungkan tentang proses keberhasilan dakwah Nabi Saw pada masa lalu yang didasarkan pada nilai-nilai normatif.
Perjalanan dakwah nabi saw pada periode awal berhadapan dengan masyarakat arab Jahiliyah. Sistem teologis arab jahiliyah menggunakan sistem berfikir bertingkat[4], yaitu Allah dan perantara. Implikasi dari sistem berfikir yang demikian melahirkan sebuah epistemologis cara berfikir dikotomik, yaitu memandang sesuatu dalam dua pijakan visi: Allah dan berhala. Dalam Islam berfikir dikotomik yang berkaitan dengan Tuhan dikenal dengan istilah syirik.
Nabi saw menyadari kondisi masyarakat yang sedang rapuh dan terhinggapi anatomi akidah, maka nabi meyusun strategi dakwah dengan teori dakwah yaitu : bai’ah. Fungsi bai’ah tersebut untuk membebaskan umat dari kerapuhan akidah dan membawa mereka kepada akidah yang murni. Inilah teori baiah yang digagas oleh Nabi yang pada khirnya membawa masyarakat Arab pada kondisi yang dikenal dengan Islamic Society.
Metode penelitian reflektif ini dapat dilakukan oleh para peneliti dengan beberapa contoh diantara ‘Transpormasi Iman dalam kehidupan sosial”. Ketika membahas ini perlu dikaitkan dengan historis dakwah ( tarikh al-da’wah).
2. Metode Riset Dakwah Partisipatif ( Empiris-Induktif)
Metode ini juga dikenal dengan metode participant observation atau Etno graphy. Objek kajian dakwah pada metode ini adalah masa sekarang dan berangkat dari realita dakwah. Ada dua gaya ( styles) dalam penelitain ini;[5] 1) Holistik yaitu; melukiskan secara menyeluruh dan terintegrasi semua jaringan kehidupan yang terdapat dalam masyarakat. 2) Semiotik yaitu; menjelaskan makna dan interpretasi pandangan masyarakat yang diteliti ( Native’s Point of View) yang berwujud bentuk-bentuk simbolik dalam kehidupan masyakakat. Jelasnya, penelitian ini berangkat dari realitas lapangan yang menghasilkan teori dakwah baru. Sebuah kajian yang baik setelah meneliti dan menggunakan metode tertentu mampu melahirkan teori baru yang lebih aktual.
Teknik operasional dalam penelitian ini[6], 1) Peneliti (dai) mempunyai fokus penelitian. 2) Menghilangkan sifat interpretatif dalam catatan lapangan. Interpretasi dilakukan pada tahab penulisan. 3) Kehadiran peneliti selama di lokasi tidak mengganggu aktivitas masyarakat.
3. Analisis Objek Formal Ilmu Dakwah dan relevansinya dengan pengembangan jurusan di fakultas Dakwah
Sekali lagi bahwa sumber ilmu atau teori pengetahuan ilmu dakwah bersumber dari Doktrin (teks) dan pemikiran rasional para pemikir umat Islam (tradisi Islam). Maka untuk lebih menjelaskan kemana arah dan tujuan jurusan-jurusan di fakultas dakwah, maka perlu ditelusuri akar pemikiran yang dikaitkan dengan aspek episteimologi Dakwah dan dikaitkan dengan unsur-unsur dakwah..
Kegitan dakwah mempunyai beberapa unsur dan antara unsur yang satu dengan yang lainnya mempunyai interaksi dan interelasi. Unsur pertama adalah Doktrin Islam (dilambangkan dengan A), unsur kedua Da'i/Komunikator/ baik Individu / Lembaga (dilambangkan dengan B) unsur ketiga adalah Mad’u atau komunitas (dilambangkan dengan C) dan unsur terakhir adalah Tujuan (dilambangkan dengan D).
1. Interaksi unsur A ( Doktrin ) dengan B (Da'i), melahirkan hakekat dakwah, maka perlu pengetahuan tentang filsafat dakwah. Apakah hekekat dakwah itu esensi atau sambilan.
2. Interasi unsur B (da'i) dengan C ( Mad’u), melahirkan pemikiran cara penyampaian dakwah secara lisan dan tulisan, dikenal dengan tablig (menyampaikan) yang di dalamnya mengandung dua dimensi kekuatan yakni komunikasi dan penyiaran Islam, inilah zona jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI). Kegiatan yang berdimensi massa dan kegiatan terlembaga. Maka pengelola jurusan sebagai pabrik intelektual bukan hanya sekedar melayani mahasiswa melihat nilai, daftar komprehensip dan munaqasyah akan tetapi bagaimana membangun konpentensi jurusan, harus ada labor dan praktek. Dimensi selanjutnya adalah bimbingan dan penyuluhan bersasaran individual dan kelompok kecil atau dari masalah khusus dalam semua kehidupan yang berdampak pada kehidupan keluarga dan individu. Ini mempunyai power perubah tingkah laku dan ini adalah ladang atau zona Bimbingan penyuluhan Islam (BPI).
3. Interaksi unsur C ( mad’u) dengan D (tujuan), melahirkan analisis tentang data empirik prilaku Islam atau program tindakan nyata (haal) di dalam masyrakat. Ini adalah zona pengembangan masyarakat Islam (PMI), maka jurusan PMI harus mengembangkan, pemahaman tentang kondisi sistem akidah umat, dan lingkungan masyarakat. Setelah memahami maka jurusan PMI harus mampu mempunyai wawasan “lingstra” (lingkungan strategis) umat, pengembangan ekonomi rakyat kecil dan juga kemampuan menciptakan lingkungan wisata riligius. Di negara Jerman dengan penduduk 20 % muslim mampu membuat lingkungan wisata muslim, kenapa umat Islam Indonesia dan khususnya ranah minang mayoritas muslim tidak mampu menciptakan, jawaban perpulang kepada sampai dimana jurusan PMI dipersiapkan? Maka sebenarnya untuk peluang berkarya dan kerja PMI mempunyai ladang yang luas, ini tanggung jawab jurusan yang harus membangun paprik intelektual para insan pengembang masyarakat, Pengelola jurusan PMI harus mampu menciptakan the Man sosial recontruction, orang lain bisa kenapa kita tidak?
4. Interaksi unsur B (da'i) dengan D (tujuan), melahirkan pemikiran tentang, efesiensi dan efektivitas organisasional dan manajerial. ini dalah zona Manajemen Dakwah Islam (MDI). Maka MDI harus mampu melahirkan dan mengembagkan pemikiran tentang sistem dan pengelolaan kegiatan dakwah secara efektif dan efesien, kemampuan menetapan kebijaksanaan dan strategi dakwah dalam merencanakan dakwah masa depan dalam kontek era global. MDI juga harus berorientasi pada kemampuan pengelolaan Ibadah Haji dan umroh serta Ziarah Dakwah, dan mampu merencanakan dan mengelola informasi Islam melaui media masa Islam. Jika jurusan KPI sebagai insan jurnalis yang mengasilkan pemikirannya lewat tulisan atau sebagai wartawan yang menghasilkan berita, maka MDI harus mampu mengelola lembaga atau intitusi media.
4. Esensi Ilmu Dakwah (Sebagai Cacatan Penutup)
Berdasarkan ontologi (hakekat) dakwah, epistemologi dakwah, objek formal, metode keilmuan dakwah, dan analisis antar unsur dakwah, dapat diambil penegertian bahwa esensi ilmu dakwah adalah gugusan keilmuan yang bersumber dari teks dan tradisi Islam, yang dikembangkan oleh umat Islam (para pengembang dakwah), secara sistematis dan terorganisir yang berguna dalam memahami fakta dakwah dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas Dakwah.
Daftar Pustaka
Ahmad, Amrullah, Dakwah Sebagai Ilmu, Gelar Seperempat Abad Fak. Dakwah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1995
Amin. M. Mansyur, Dinamika Islam, LKPSM,Yogyakarta, 1985
Alfian, Transformasi Sosial Budaya, UI Press, Jakarta, 1986
Arifin, Syamsul, Merambah Jalan Baru dalam Beragama, Ittawa Press, Yogyakarta, 2000
Alwani, Thoha, Al-Azumah al-Fikriyah al-Ma’asyirah, Hirubdun, Kairo, 1992
Dzikir, Abu Bakar, Al-Da’wah Ila Islamiyah, Al-Nahdahat, Gramedia. Jakarta, 1995
Firman, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Makalah Pelatihan Penelitian Dosen Yunior IAIN Padang, 2002
Hafiduddin, Didin, Dakwah Aktual, Gema Insani Press, Jakarta, 2000
Swidler, Leonard, Theoria Praxis, UIT Geveris Peetas, Leuxen, 1998
Shahatah, Abdu al-Allah, Da’wah Islamiyah, Kairo, 1987.
Yakan, Fath, Al-Musaqithun,’Ala Thariq al-Da’wah, Al-Nahhlat, Kairo, 1989
-------, Nahwulharakah Islamiyah, al-Nahdat, Kairo, 1989
-------, Al-Islam, Fikratun Wa Haralatun, al-Nahdat, 1990.
[1]Jalaluddin Rahmat, dalam mata kuliah Media masa dan Dakwah, UIN Jakarta September 2001
[2]Salah satu definisi ilmu : Kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis, antara satu unsur dengan yang lain mempunyai hubungan, mempunyai metode tertentu dan untuk mencapai kebenaran.,lihat, Amrullah Ahmad, Dakwah sebagai Ilmu,Panitia Gelar seperempat Abad, Fakultas Dakwah, IAIN Kalijaga,Yogyakarta, Desember 1995.Ilmu adalah: Kumpulan pengetahun yang disusun secara sistematis dan kebenarannya teruji secara ilmiah. Asnawir, Berfikir Ilmiah, Makalah pada Pelatihan Penelitain Dosen Yunior, IAIN Imam Bonjol Padang, Agustus 2002.
[3]Hayati Nizar, Epistemologi Islam, makalah pelatihan Penelitian Dosen Yunior, September 2002, IAIN IB Padang., h. 1..
[4]M.MasyurAmin, Dinamika Islam, (Yogyakarta: LKPSM, 1995), h.182.
[5]Syafi Sairin, Pendekatan Antropologi dalam Penelitian Agama, Makalah pada Pendidikan calon Dosen Se-Indonesia, Yogyakarta, September 2000, h.3.
[6]Firman, Metode Penelitian Kualitatifdan Kuantitatif, makalah pada Pelatihan Penelitian Dosen Yunior, IAIN Imam Bonjol Padang, Agustus, 2002.
0 Comment