Dai Kriteria 2
KRITERIA AL-DA’I DALAM ISLAM
A. Terminologis Dakwah Dalam al-Qur’an
Dakwah[1] dalam bahasa Arab berakar kata dengan huruf د, ع, و (dal, ‘ain dan waw) yang berarti dasar kecenderungan sesuatu disebabkan suara dan kata-kata.[2] Dari akar kata ini terangkai menjadi asal kata da’a-yad’u-da’watan, (fiil naqish) berarti “menyeru, memanggil, mengajak, dan menjamu”,[3] atau kata da’a-yad’u-du’aan, da’wahu, berarti “menyeru akan dia.[4] Kemudian dari kata al-da’i, jamak da’atun, mu’anasnya da’iyatun, jamak da’iyatun, berarti orang yang mengajak manusia ke agamanya atau kepada mazhabnya.[5] Oleh karena asal kata itu dalam berbagai bentuknya (fi’il dan isim), terulang dalam al-Qur’an sebanyak 211 kali,[6] dengan rincian dalam bentuk mashdar 10 kali, fi’il madhi 30 kali, fa’il mudhari’ 112 kali, isim fa’il7 kali dan yang seakar dengan kata du’a 20 kali. Uraian di atas dapat dilihat sebagai berikut: Kata da’wah dan da’wa dalam bentuk mashdar diulang 10 kali dalam al-Qur’an, yaitu dalam surat al-Baqarah: 186, al-A’raf: 5, Yunus: 10 (dua kali) 89, al-Ra’d: 14, Ibrahim: 44, al-Anbiya’: 15, al-Rum: 25, Ghafir (al-Mukmin), 43.[7]
Dalam bentuk fi’il madhi diulang 30 kali. Antara lain dalam surat al-Baqarah: 186, Ali Imran: 38, al-Anfal: 24, Yunus: 12, al-Rum: 25, al-Zumar: 8 dan 49, Fushshilat: 33, al-Dukhan: 22, al-Qamar: 10 dan lain-lain.
Dalam bentuk fi’il mudhari’ diulang sebanyak 112 kali. Antara lain dalam surat al-Baqarah: 221, Ali Imran: 104, al-Nisa’: 117 (dua kali), al-An’am: 52 dan 108, Yunus: 66, Hud: 101, al-Ra’d: 14, al-Nahl: 20, al-Isra’: 67, al-Kahfi: 28, al-Hajj: 62, al-Furqan: 68, al-Qashash: 41, al-Ankabut: 42 dan lain-lain.
Dalam bentuk fi’il amar diulang sebanyak 32 kali. Antara lain dalam surat al-Baqarah: 61, 68 dan 70, al-A’raf: 134, al-Nahl: 125, al-Hajj: 67, al-Qashash: 87, al-Syura: 15, al-Zukhruf: 49 dan lain-lain.
Dalam bentuk itsim fa’il diulang 7 kali, yaitu dalam surat al-Baqarah: 186, Taha: 108, al-Ahzab: 46, al-Ahqaf: 31 dan 32 serta al-Qamar: 6 dan 7.
Kata du’a yang juga dalam bentuk mashdar dan seakar dengan kata da’wah diulang 20 kali. Antara lain dalam surat al-Baqarah: 171, Ali Imran: 38, al-Ra’d: 14, Ibrahim: 39, Maryam: 48, al-Anbiya’: 45, al-Nur: 63 (dua kali), al-Naml: 80, al-Rum: 52, Gafir (al-Mu’min): 50, Fushshilat: 49, 51 dan lain-lain.
Berdasarkan penelitian terhadap ayat-ayat di atas ternyata tidak semua bentuk kata da’wah berarti mengajak atau menyeru orang kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Bahkan ayat yang jelas-jelas mencantumkan kata da’wah seperti dalam surat al-Baqarah: 186, Yunus: 10, al-Ra’d: 14, Ibrahim: 44, al-Anbiya’: 15, al-Rum: 25 ternyata tidak berkonotasi da’wah seperti yang dipahami sekarang, tapi ayat-ayat tersebut mengandung arti do’a dan permohonan.
Di antara ayat yang berkonotasi da’wah sesuai dengan yang dijelaskan pada awal tulisan ini ialah dalam surat Ali Imran: 104, yang menganjurkan agar ada di kalangan umat ini orang yang mengajak kepada kebaikan, melakukan amar ma’ruf, nahi munkar. Dalam surat al-Nahl: 125 Tuhan memerintahkan Nabi (termasuk umatnya) untuk melakukan dakwah dengan hikmah, pengajaran yang baik dan berdiskusi dengan cara yang baik. Menurut Husain al-Tabataba’i dalam Tafsir al-Mizan, yang ketiga ini merupakan aspek dan metode dakwah yang perlu dilakukan, meskipun diskusi tidak dipandang sebagai dakwah dalam pengertian khusus. Al-Ragib al-Isfahani (w. ) mengartikan hikmah dengan menyampaikan kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan dan pemikiran rasional (isabatu al-haqq bi al-’ilmi wa al-’aqli). Al-Mau’izah menurut al-Khalil sebagaimana dikutip Tabataba’i berarti memberi peringatan dengan baik dalam hal-hal yang bisa membuat hati menjadi lunak. Sedang jidal (diskusi) ialah argumen yang digunakan untuk mematahkan lawan dalam upaya menemukan kebenaran.
Dari segi bahasa, kata dakwah memiliki banyak arti, di antaranya (1) al-da’wat ila al-tha’am (memanggil makan); (2) da’a lahu (berdo’a); dan (3) da’ahu fi ishlah al-din (mengajak untuk memeluk Islam).[8]
Di dalam al-Qur’an, kata dakwah dalam bentuk fi’il khususnya dalam bentuk da’a-yad’u-ud’u, berarti mengajak atau mendorong ke suatu tujuan. Seperti tampak, kata da’a pertama kali dipakai dalam al-Qur’an dengan arti mengadu (meminta pertolongan kepada Tuhan) yang pelakunya adalah Nabi (Nuh).[9] Lalu kata itu berarti memohon pertolongan (kepada Tuhan) yang pelakunya adalah manusia (dalam arti umum).[10] Setelah itu, kata da’a berarti menyeru kepada Allah yang pelakunya adalah kaum Muslimin.[11] Khusus dalam bentuk da’a terulang dalam al-Qur’an sebanyak 5 kali.[12]
Kemudian kata yad’u, pertama kali dipakai dalam al-Qur’an dengan arti mengajak ke neraka yang pelakunya adalah setan, seperti disebutkan dalam QS. Fathir: 6;
إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ ( فاطر : 6)
Artinya:..., Sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.
Lalu kata itu berarti mengajak ke surga yang pelakunya adalah Allah, seperti disebutkan dalam QS. Yunus: 25;
وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلَامِ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ ( يونس : 25 )
Artinya : Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam).
Bahkan dalam QS. al-Baqarah: 221, kata yad’u dipakai bersamaan untuk mengajak ke neraka yang pelakunya orang-orang musyrik dan mengajak ke surga yang pelakunya Allah:
أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ ( البقرة : 221 )
Artinya : Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Khusus dalam bentuk yad’u ini terulang dalam al-Qur’an sebanyak 8 kali.[13] Kata yad’u adalah merupakan bentuk kata dakwah yang pertama kali dipakai dari semua bentuknya yang ada dalam al-Qur’an dengan arti memanggil (golongannya) yang pelakunya adalah orang-orang yang melampaui batas karena merasa dirinya serba kecukupan. Dalam pada itu dipergunakan pula kata nad’u dengan arti memanggil (sama dengan arti kalimat yad’u) yang pelakunya adalah Tuhan.[14] Setelah itu, kata yad’u berarti “penyeru” kepada sesuatu selain Allah yang pelakunya orang yang mendustakan Nabi dan mengikuti hawa nafsunya.[15] Lalu kata itu berarti berdo’a untuk kejahatan dan untuk kebaikan yang pelakunya adalah orang yang tergesa-gesa.[16] Khusus bentuk yad’u ini (sighat fi’il mudhari’) terulang dalam al-Qur’an sebanyak 5 kali.[17] Dalam kaitan ini, bentuk kata tad’u (w) pada umumnya berarti mengajak (menyeru) kepada selain Allah yang pelakunya adalah orang-orang musyrik dan larangan perbuatan yang demikian itu yang pelakunya adalah Allah. [18]
Adapun kata ) أ د عud’u) pertama kali dipakai dalam al-Qur’an dengan arti memohon atau meminta, seperti permintaan kaum Nabi Musa untuk memohonkan baginya kepada Tuhan agar mereka terlepas dari azab yang menimpanya.[19] Lalu kata itu berarti serulah kepada agama yang pelakunya adalah para rasul. [20] Kemudian kata itu berarti serulah orang musyrik itu kepada Tuhan yang pelakunya adalah nabi Muhammad SAW.[21] Khusus dalam bentuk kata ud’u ini terulang dalam al-Qur’an sebanyak 10 kali.[22]
Pada sisi lain, kata dakwah dalam bentuk seperti di atas juga dipergunakan Rasul Allah SAW. dalam menyebarkan dakwah secara tertulis, yakni dalam bentuk surat yang dikirim kepada Heraclius, raja Romawi, antara lain berbunyi:[23] saya mengajak tuan memperkenankan panggilan Allah peluklah (Islam) supaya tuan selamat. Ini menunjukkan pula bahwa, dakwah Rasul Saw. selain dilaksanakan dengan metode lisan juga dengan tulisan (surat).
Sementara kata dakwah bentuk ism (da’watan), berarti seruan atau panggilan dan permohonan atau do’a. Kata ini pertama kali digunakan dalam al-Qur’an dengan arti seruan yang disertai dengan kata (asal kata da’a) itu juga dalam bentuk fi’il (tad’unani). Walaupun dalam bentuk pertama ini seruan yang dilakukan oleh para rasul Allah (orang-orang beriman) itu tidak berkenan kepada obyeknya.[24] Namun kemudian kata itu berarti panggilan yang juga disertai bentuk fi’il (da’akum), dan kali ini panggilan akan terwujud karena Tuhan yang memanggilnya.[25] Lalu kata itu berarti permohonan digunakan dalam bentuk do’a kepada Tuhan dan Dia menjanjikan akan mengabulkannya [26] Juga pada ayat lain, kata itu berarti do’a yang benar-benar akan dikabulkan-Nya.[27] Khusus dalam bentuk da’watan ini terulang dalam al-Qur’an sebanyak 4 kali.[28]
Dari uraian di atas dipahami bahwa dalam bentuk fi’il, kata dakwah menurut al-Qur’an selain digunakan dalam arti mengajak kepada kebaikan yang subyeknya adalah Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman dan beramal shaleh, juga terkadang dipakai dalam arti mengajak kepada kejelekan yang subyeknya adalah setan, orang kafir dan munafik. Sementara dalam bentuk itsm, kata itu berarti seruan dan permohonan.
Kaitannya dengan dakwah ini kata-kata tersebut, terutama bila dilihat dari segi penggunaannya dalam konteks ayat-ayat al-Qur’an, tampak lebih tertuju kepada ajakan (mengajak) kebaikan, apalagi kalau dilihat pemakaian ayat-ayat dakwah dalam al-Qur’an, seperti ayat 104 surat Ali Imran:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ( ال عمران : 104 )
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, mereka orang-orang yang beruntung.
Kalimat يدعو ن dalam ayat ini menurut al-Alusi, mengandung pengertian ajakan kepada kebaikan; yakni ajakan kepada kepentingan perbaikan keagamaan (Islam) dan keduniaan. Dalam rangka itu, sehingga kalimat itu di-’athaf-kan kepadanya kalimat berikutnya.[29]
Kemudian dari segi istilah, Bahi al-Khuli mengatakan, dakwah adalah memindahkan suatu situasi manusia kepada situasi yang lebih baik.[30] Muhammad ‘Abduh (w. 1905 M/1323 H) dalam hal ini mengistilahkan dakwah dengan ishlah, yaitu memperbaiki keadaan kaum muslimin dan memberi petunjuk kepada orang-orang kafir untuk memeluk Islam.[31] Dalam pada itu, ‘Ali Mahfuzd mengintrodusir pengertian dakwah yaitu :
حث الناس على الخير والهدى والامر با لمعروف والنهي عن المنكر ليفوزوا بسعادة العاجل وا لآجل
Yaitu “Mendorong manusia berbuat kebajikan dan petunjuk, menyuruh mereka berbuat yang ma’ruf dan melarang yang mungkar agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat”.[32] Sementara Thoha Jahya Omar mendefinisikan dakwah dengan mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemashlahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat.[33]Sedangkan, Abu Bakar Zakaria mengatakan, dakwah ialah usaha para ulama dan orang yang memiliki pengetahuan tentang agama (Islam) dengan memberi pengajaran kepada masyarakat akan hal-hal yang dapat menyadarkan mereka terhadap urusan keagamaan dan keduniaannya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.[34] Lebih jauh Amin Rais mengemukakan bahwa dakwah adalah setiap usaha rekontruksi masyarakat yang maasih mengandung unsur-unsur jahili agar menjadi masyarkat yang Islami.[35]
Dari pengertian dakwah yang telah disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa dakwah mengandung arti:
a. Memberi tuntunan dan pedoman serta jalan hidup yang harus dilalui dan dihindari oleh manusia agar mereka mendapat petunjuk dan terhidar dari kesesatan.
b. Mengubah dan memperbaiki keadaan seseorang atau masyarakat dari yang tidak baik kepada yang baik, dari masyarakat jahili menjadi masyarakat Islami.
c. Memberikan penghargaan akan sesuatu nilai agama yang didakwahkan itu sehingga dirasakan oleh seseorang atau masyarakat suatu kebutuhan yang vital dalam kehidupannya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dakwah ialah segala aktifitas yang dilakukan oleh mukmin sesuai kemampuan yang dimilikinya, yang bertujuan menjadikan seluruh umat manusia beragama Islam dengan baik disertai akhlak yang mulia agar mereka memperoleh sa’adah masa kini dan masa datang. Dengan begitu, dipahami pula bahwa dakwah merupakan suatu sistem, maka dalam mengupayakan aktifitas untuk mencapai sasarannya dengan tepat terkait dengan berbagai komponen dakwah itu sendiri. Salah satu komponen dakwah yang dinilai sangat vital adalah al-da’i (penyelenggra dakwah) dan akan dikaji dalam pembahasan ini secara mendalam dengan segala kriterianya.
Dalam kaitannya dengan pengertian dakwah ini ada beberapa istilah yang hampir sama maknanya dengan pengertian dakwah, sehingga bisa menimbulkan kesimpang-siuran makna. Antara lain istilah ta’lim (taklim) mempelajari agama melalui sekolah atau kursus; irsyad, memberi petunjuk ke jalan yang benar dengan sistem yang menarik dan menimbulkan perbuatan; wa’dh, peringatan dan nasehat yang baik dengan sistem yang simpatik; tabligh (tabligh), penyampaian penerangan agama Islam,[36]dan pidato, melahirkan isi hati atau mengutarakan buah pikiran kepada orang dengan menggunakan kata-kata.
Tampaknya, istilah tabligh dan pidato keduanya sama-sama berarti menyampaikan penerangan. Hanya saja pidato bersifat umum, sedang tabligh biasanya khusus digunakan untuk penerangan agama Islam. Dengan begitu, istilah tablighdan pidato, keduanya mempunyai persamaan dengan penerangan atau propaganda (dalam arti yang baik) yang mengandung unsur, antara lain ide, subyek, media dan massa (obyek).
Dengan demikian, tampak bahwa dakwah besifat lebih umum dibanding dengan istilah-istilah tersebut, bahkan istilah-istilah itu merupakan bagian dari metode dakwah. Namun perlu digaris bawahi bahwa dakwah adalah berintikan mengajak manusia untuk berbuat kebajikan dan menghindari keburukan dengan menerapkan seluruh istilah atau media yang ada, dengan tujuan tegaknya agama (Islam) seluas-luasnya di berbagai tempat dan dianut oleh masyarakat serta dipraktekkan dalam kehidupan pribadi, golongan dan bangsa. Untuk itu, istilah dakwah yang bersumber dari al-Qur’an hanyalah dikenal dalam dunia Islam, sedang lembaga agama lain memakai istilah dengan propaganda atau penyiaran agama yang dikenal dalam istilah arab dengan di’ayat (penerangan), bukan dakwah.
B. Penyelenggara Dakwah
1. Al-Da’i
Pengenalan orang terhadap istilah tidak selalu menjadi jaminan bahwa ia itu dapat memahaminya dengan baik pengertian yang terkandung dalam istilah tersebut. Demikian pula terhadap istilah da’i, meskipun istilah ini sudah dikenal dalam masyarakat.
Di bawah ini akan penulis kemukakan beberapa pendapat para ahli tentang pengertian da’i tersebut sebagai berikut:
1. Dar El-Mushreq
Menurut Dar El-Mushreq dalam bukunya Munjidul at-Thulab menjelaskan tentang pengertian da’i itu adalah: Orang yang bertugas mengajak manusia kepada agama Islam atau mazhabnya.[37] Pendapat ini sejalan dengan al-Bayanuni, yaitu penyampai Islam, mengajarkannya dan membawa seseorang untuk mengikutinya.[38]
2. Drs. K.H.A. Syamsuri Siddiq
Menurut Drs. K.H.A. Syamsuri Siddiq, dalam bukunya Dakwah dan Teknik Berkhutbahmenjelaskan bahwa da’i itu ialah: “Suatu badan yang berusaha untuk melakukan kegiatan yang disengaja dan berencana, bertujuan untuk mengajak, meningkatkan dan mengembangkan kesadaran orang perorangan dan masyarakat supaya tertarik kepada ajaran Islam dan bersedia melaksanakannya”.[39]
3. A. Hasyimi
Menurut A. Hasyimi, dalam bukunya Dustur Dakwah Menurut Al-Qur’an, bahwa Imam Al-Ghazali mengemukakan pendapatnya bahwa da’i itu adalah para penasehat, para pemimpin dan para pemberi ingat, yang memberikan nasehat dengan baik, yang mengarang dan berkhutbah, yang memusatkan jiwa raganya dalam wa’ad dan wa’id(berita pahala dan siksa) dan dalam membicarakan kampung akhirat untuk melepaskan orang-orang yang karam dalam gelombang dunia.[40]
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa da’i adalah orang perorangan dan atau lembaga/badan yang bertugas membawa orang lain kepada jalan kebenaran dilakukan melalui hikmah, maw’izhah dan mujadalah al-lati hiya ahsan, baik oleh pemimpin, pengarang/penulis ataupun oleh siapapun sesuai dengan profesinya berusaha meningkatkan, pemurnian kalbu dan mengembangkan kesadaran orang perorangan dan masyarakat pada agama Islam dan bersedia mengamalkannya. Pengertian di atas, memberi isyarat bahwa setiap orang yang mengajak manusia kepada yang baik, dan mencegah dari perbuatan yang keji atau perbuatan mungkar adalah da’i. Hal ini dijelaskan oleh firman Allah Swt. dalam surat al-Taubah ayat 71 yang berbunyi sebagai berikut:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: Dan orang-orang yang beriman pria dan wanita bergotong royong satu sama lain, menyuruh yang ma’ruf melarang yang mungkar, mendirikan shalat serta membayarkan zakat dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, kepada mereka itu Allah akan memberikan kurnia-Nya, sesungguhnya Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.
Ayat tersebut di atas secara umum menyatakan bahwa yang menjadi da’i itu adalah seluruh kaum muslimin baik laki-laki maupun wanita, bergotong royong bersama-sama menyuruh yang ma’ruf dan melarang perbuatan yang mungkar, mendirikan shalat, melaksanakan zakat dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, itulah orang-orang yang sukses pada sisi Allah Swt. Pada ayat surat al-Ahzab 45-46 tugas juru dakwah identik dengan tugas para nabi-nabai Allah yaitu seperti firman-Nya yang berbunyi :
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا(45)وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيرًا
Artinya : Hai Nabi sesungguhnya kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.
Ayat di atas sangat jelas sekali bahwa tugas da’i adalah sebagai saksi, pembawa khabar gembira dan khabar pertakut dam jadi penerang bagi kehidupan manusia. Kalaupun pada surat Ali Imran 103 Allah Swt. mempertegas bahwa melaksanakannya merupakan kewajiban bagi setiap pribadi muslim dan muslimat,[41] sesuai dengan keahlian dan kemampuannya. Pendapat ini didasari kepada pemikiran mufassir dalam memberikan interpretasi terhadap kalimat امة ولتكن منكمpada surat Ali Imran: 104 bahwa kalimat min pada minkummenunjukkan makna li al-bayân(penjelasan), bukan bermakna li al-tab’îdh, sedangkan kata ummat diartikan dengan al-jama’ah (seluruh manusia). Sehingga konsekwensi melaksanakan dakwah adalah bagi semua orang muslim.[42] Pendapat ini sejalan dengan Rasyid Ridha, bahwa melaksanakan dakwah adalah kewajiban bagi setiap pribadi muslim sesuai dengan keahliannya.[43] Namun bukan berarti menafikan pendapat lain yang mengatakan bahwa melaksanakan dakwah adalah ditujukan kepada segolongan tertentu.[44]
Ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan masalah dakwah yang tersebar dalam beberapa surat seperti telah dikemukakan dalam uraian sebelum ini. Sedangkan ayat mengenai pelaku/subyek dakwah beraneka rupa pula sesuai dengan konotasi dakwah itu sendiri. Di atas telah terlintas secara sekilas bahwa dalam al-Qur’an ajakan, seruan (dakwah) itu dilakukan oleh yang paling agung yaitu Allah Swt. seperti firman-Nya surat Yunus ayat; 25, yaitu :
وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلَامِ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Artinya : Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam).
Dakwah diselenggarakan oleh Nabi dan orang mukmin, seperti firman-Nya surat Yusuf; 108, yaitu :
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Artinya : Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".
Ajakan tersebut juga dilakukan oleh orang-orang musyrikin, seperti firman-Nya surat al-Baqarah; 221, yaitu :
أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya : Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Tidak kalah penting pula dakwah itu dilakukan oleh Malaikat, seperti terlihat dalam firman-Nya surat al-Qamar; yaitu :
فَتَوَلَّ عَنْهُمْ يَوْمَ يَدْعُ الدَّاعِ إِلَى شَيْءٍ نُكُرٍ
Artinya : Maka berpalinglah kamu dari mereka. (Ingatlah) hari (ketika) seorang penyeru (malaikat) menyeru kepada sesuatu yang tidak menyenangkan (hari pembalasan),
Demikian juga para pendustapun juga ikut bergerak dalam bidang dakwah, seperti terdapat pada surat al-‘Alaq; 17-18, yaitu :
فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ(17)سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ
Artinya : Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya), kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah.
Bahkan setanpun juga termasuk bertugas menyeru orang lain kepada jalannya, seperti firman Tuhan pada surat Fathir; 6, yaitu :
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ
Artinya : Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.
Setelah memperhatikan ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa dakwah itu diartikan sebagai seruan atau ajakan/panggilan secara umum baik ajakan kepada mengikuti petunjuk atau kebaikan maupun ajakan kepada kesesatan atau kekafiran (dakwah setan) dan orang musyrik. Namun di sini akan diungkapkan pelaku dakwah yang konotasinya kepada kebaikan dan petunjuk sesuai dengan pengertian da’i yang telah dirumuskan di atas.
Ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan di Mekkah (surat Makkiyah) ditemui ayat tentang ajakan/panggilan yang dilakukan oleh Malaikat Israfil sewaktu memanggil manusia pada suatu hari (hari kiamat) kepada sesuatu yang tidak disenangi (berupa pembalasan) (QS. al-Qamar: 6). Dalam konteks ayat ini merupakan peringatan kepada kaum kafir yang tidak mengerti dengan peringatan-peringatan yang telah diberikan Rasul, maka untuk menindak lanjuti persoalan yang paling penting ini adalah terjadi mukjizat bagi Rasul yaitu berbelah bulan yang merupakan pertanda telah dekat datangnya kiamat. Namun mereka (orang kafir) berpaling dan mendustakan Nabi. Sehubungan dengan hal itu Allah Swt., memerintahkan kepada Rasul dalam ayat tersebut: “Maka berpalinglah mereka. (Ingatlah hari (ketika) seorang penyeru (malaikat) menyeru kepada sesuatu yang tidak menyenangkan (hari pembalasan). Dalam ayat selanjutnya Allah menyatakan bahwa manusia keluar dari kuburnya memenuhi panggilan itu dengan pandangan tertunduk karena melihat situasi yang menakutkan.[45] Dengan demikian jelas bahwa panggilan Malaikat pada saat dilaksanakan hisab itu dikemukakan dalam ayat ini sebagai ancaman terhadap orang kafir yang tidak mau mengerti dengan peringatan yang telah diberikan Rasulullah Saw. berupa keterangan-keterangan yang disertai alasan-alasan.
Pada surat Makkiyah selanjutnya dapat dilihat perintah pertama dakwah dengan menggunakan kata ‘ud’u (fiil amar dari da’wah) kepada Rasulullah sebagai pelakunya, yaitu:
وَلَا يَصُدُّنَّكَ عَنْ ءَايَاتِ اللَّهِ بَعْدَ إِذْ أُنْزِلَتْ إِلَيْكَ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ وَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ( القصص : 87 )
Artinya: Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat itu diturunkan Allah sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu dan serulah mereka kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan (QS. al-Qashash: 87).
Bila ditelusuri konteks ayat ini bahwa perintah dakwah ini bukanlah perintah yang pertama kali dilaksanakan Rasulullah. Pada ayat (QS. al-Qashash: 86) sebelumnya Allah menegaskan bahwa Rasulullah tidak pernah mengharapkan al-Qur’an diturunkan kepadanya, akan tetapi diturunkan al-Qur’an itu benar-benar merupakan rahmat yang besar dari Tuhannya, oleh karena itu janganlah menolong orang kafir.
Bahkan pada ayat tersebut dipertegas lagi agar Rasul tidak mempedulikan sikap menentang dari orang-orang musyrik itu menghalangi Rasul dari menjalankan perintah Allah kepada Islam, karena Allah yang akan menjadi penolongnya dan untuk melakukan risalah yang telah diberikan Allah kepada orang-orang yang telah ditunjuk Rasul sebagai penyeru mereka. Oleh karena itu janganlah melakukan apa yang diperbuat oleh orang-orang musyrik, yaitu menyembah selain Allah.
Memang bila diungkit ayat-ayat yang diturunkan sebelum ayat ini, sudah banyak ayat-ayat yang mengatakan perintah agar Rasulullah memberikan peringatan/memberi nasehat kepada kaumnya baik secara umum,[46] agar Rasulullah memberi peringatan dengan al-Qur’an kepada kaum yang membangkang, seperti tergambar pada firman-Nya surat Maryam; 97, yaitu :
فَإِنَّمَا يَسَّرْنَاهُ بِلِسَانِكَ لِتُبَشِّرَ بِهِ الْمُتَّقِينَ وَتُنْذِرَ بِهِ قَوْمًا لُدًّا
Artinya : Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur'an itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan Al Qur'an itu kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang.
Bahkah Allah memerintahkan kepada Nabi untuk dapat memberikan peringatan kepada karib kerabatnya seperti termaktub dalam firman-Nya surat al-Syu’ara’ 214, yaitu :
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
Artinya : Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.
Begitu juga memberi peringatan kepada kaum (Quraish) yang belum ada mendap peringatan sebelumnya seperti Firman-Nya surat al-Qashash; 46, yaitu :
وَمَا كُنْتَ بِجَانِبِ الطُّورِ إِذْ نَادَيْنَا وَلَكِنْ رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَا أَتَاهُمْ مِنْ نَذِيرٍ مِنْ قَبْلِكَ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya : Dan tiadalah kamu berada di dekat gunung Thur ketika Kami menyeru (Musa), tetapi (Kami beritahukan itu kepadamu) sebagai rahmat dari Tuhanmu, supaya kamu memberi peringatan kepada kaum (Quraisy) yang sekali-kali belum datang kepada mereka pemberi peringatan sebelum kamu agar mereka ingat.
Jadi yang menarik perhatian di sini adalah sistem yang dikemukakan Allah dalam perintahnya kepada Rasul untuk melaksanakan dakwah. Ayat ini diiringi dengan larangan mempersekutukan Allah. Hal ini dapat ditangkap pengertian bahwa mengajak di sini adalah mengenal Tuhan/mentauhidkan Allah,[47] mengajak kepada menyembah Allah saja. Tidak ada sekutu baginya.[48] Dengan demikian meninggalkan perintah dakwah sama dengan melakukan amal perbuatan yang diperbuat orang musyrik.[49]
Selanjutnya ayat-ayat Makkiyah yang bicara terdapat dalam surat Yunus: 25, dalam hal ini Allah sebagai subyek (pelaku) yang mengajak kepada surga (kesenangan akhirat) sebagai tantangan terhadap ayat sebelumnya (QS. Yunus: 23-24) yang menggambarkan tentang kesenangan kehidupan dunia itu hanyalah merupakan kezaliman manusia itu sendiri dan manusia itu akan kembali kepada Tuhannya. Sedangkan kesenangan dunia itu diumpamakan dengan kesenangan yang semu yang sewaktu-waktu akan lenyap dengan siksa Allah. Semuanya itu merupakan ajakan setan. Sebaliknya Allah mengajak manusia kepada kesenangan yang abadi yaitu kesenangan akhirat (surga) dan Dia pulalah yang menunjukkan jalan yang menuju ke kampung keselamatan.
Berangkat dari uraian di atas maka subjek (pelaksana) dakwah (da’i), seperti dipaparkan dalam al-Qur’an sebelumnya adalah para Rasul tanpa kecuali. Mereka diutus oleh Allah untuk berdakwah kepada kaumnya, menyeru manusia agar beriman kepada Allah dan beribadah kepada-Nya. Seperti dinyatakan dalam QS. al-A’raf: 59 dan Hud: 52 tentang nabi Nuh; QS. al-A’raf: 73 dan 85 tentang nabi Shaleh dan nabi Syu’aib.
Dalam hal ini Nabi Muhammad sendiri merupakan subyek (pelaksana) dakwah, seperti dipahami dari QS. al-Ahzab: 45-46;
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا(45)وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيرًا 46
Artinya: Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira serta pemberi peringatan (45). Dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah denagn izin-Nya serta untuk jadi cahaya yang menerangi (46).
Sayid Quthb menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, tugas para Nabi di tengah-tengah umatnya yaitu menjadi pengamat terhadap pekerjaan mereka. Nabi Muhammad Saw. sebagai mubasysyir kepada umat yang beramal berupa rahmat, ampunan dan keutamaan. Juga ia sebagai al-nazir kepada mereka yang alpa berupa azab. Ia sebagai da’i ila Allah (penyeru kepada Allah), bukan kepada dunia dan kemegahannya, akan tetapi juga memikirkan kehidupan di akhirat nanti. Akhirnya ia sebagai sirajum munir, lentera yang menerangi manusia dari kegelapan.[50]
Selain ayat di atas, di dalam al-Qur’an banyak ditemui ayat yang memerintahkan nabi Muhammad Saw. untuk melaksanakan tugas dakwah secara kontiniu, di antaranya surat al-Nahl; 125 (16/70), Ali Imran: 140 (03/89) dan al-Taubah: 71 (09/113). Kendatipun tampaknya perintah berdakwah tersebut ditujukan kepada Rasul Allah saja, namun kalau diperhatikan kaedah ‘ulum al-tafsir [51] maka perintah itu mencakup pula kepada seluruh umat Islam.
Di antara Firman Allah yang menyuruh orang mukmin sebagai pelaku dakwah adalah dalam surat Ali Imran yang turun di Madinah setelah surat al-Ahzab, yaitu ;
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya, Dan hendaklah ada di antara kamu suatu golongan yang menyeru kepada kebaikan dan menyuruh kepada yang ma’ruf dan mereka mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Al-Maraghi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ummatun dalam ayat ini adalah suatu kelompok orang yang punya keterkaitan, [52] sedangkan minkum adalah kembali kepada orang-orang mukmin yang dipanggil pada ayat sebelumnya (QS. Ali Imran, 103 (3/89). Kalau ditelusuri konteks ayat ini adalah dalam pembinaan persatuan umat Islam, sesuai pula dengan situasi umat Islam sewaktu ayat ini turun. Jadi maksud ayat ini adalah hendaklah ada diantara orang mukmin suatu kelompok yang tertentu (punya keistimewaan) yang akan melaksanakan dakwah, amar makruf nahi mungkar.[53]
Pada pokoknya pelaku dakwah di sini adalah golongan khusus yang mengetahui hukum-hukum syari’at dan rahasia hukum-hukum agama sesuai dengan yang ditunjukkan oleh firman Allah dalam QS. Al-Taubah; 112, 122 (9/),yaitu :
التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ الْآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللَّهِ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya : Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji (Allah), yang melawat, yang ruku`, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma`ruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mu'min itu.
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Artinya : Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Ayat di atas ditujukan kepada orang mukmin yang ber-tafaqquh fiddin (memahami agama Islam secara mendalam), terlebih dahulu mereka melakukan dakwah atau memberi peringatan kepada masyarakat.
Dari pengertian ayat-ayat di atas dapat dipahami bahwa orang mukmin sebagai pelaku dakwah, hendaklah mendalami ilmu keislaman sebelum mereka terjun ke lapangan, agar tugas yang dibebankan kepada mereka berjalan dengan sukses. Karena merekalah penyebar kebaikan dan pencegah kemungkaran dalam segala aspek kehidupan. Mereka ini pulalah yang memperoleh sanjungan/penghargaan dari Allah Swt. sebagai umat yang terbaik (khaira ummah) sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah dalam al-Qur’an surat al-Imran ayat; 10, yaitu :
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar adalah suatu kewajiban bukan oleh golongan tertentu saja, tetapi juga oleh semua golongan umat Islam lainnya. Maka siapapun manusia yang tidak melakukannya hendaklah diluruskan jalan hidupnya dengan melakukan jihad terhadap dirinya yang sifatnya sama dengan melakukan jihad terhadap orang kafir atau fasik.[54] Kewajiban al-amr bi al-ma’ruf wa al-hany an al-munkar adalah bagi setiap mukmin sesuai dengan kemampuan mereka, apakah dengan mengangkat senjata atau cara lainnya.[55] Bahkan dalam buku Syarh al-Ushul al-Khamsah, oleh Qadhi Abdul Jabbar (325-415 H/935-1025) mengemukakan argumen al-sam’i(al-Qur’an dan al-Hadits) yang menuturkan kewajiban al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy an al-Munkar, [56] pada surat Ali Imran 110 sebenarnya tidak ditemui bentuk perintah (al-amr) yang mewajibkan pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar. Akan tetapi melihat dari sudut pujian Tuhan terhadap umat beriman sebagai umat terbaik. Kalaulah amar ma’ruf nahi mungkar bukan suatu kebaikan yang wajib dilaksanakan (al-hasanat al-wajibat), tentulah Tuhan tidak akan memberikan pujian tersebut.[57]
Al-Zamakhsyari (w. 538 H/1143 M) seorang ulama pengarang Tafsir dari kalangan Mu’tazilah lebih jauh lagi dalam memahami ayat di atas, dan menambahkan hadis untuk menguatkan dasar dan prinsip kewajiban di sini adalah fardhu kifayah, karena tidak pantaslah seseorang melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar tanpa mengetahui prinsip ma’ruf dan mungkar tersebut.[58] Kewajiban di sini bukanlah berlandaskan dan berdasarkan perintah, akan tetapi berdasarkan informasi. Demikian juga firman Allah yang mengungkapkan tentang perintah Luqman kepada anaknya :
يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ ( لقمان : 17 )
Artinya : Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (Luqman: 17).
Perintah melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar pada ayat di atas secara langsung ditujukan kepada pribadi putera Luqman. Ayat ini bermaksud bahwa amar ma’ruf nahi mungkar dapat ditangani secara pribadi, akan tetapi pelaksanaan ini bukan berarti bahwa seluruh kegiatan amar ma’ruf nahi mungkar dapat diselesaikan oleh setiap orang tanpa kecuali, namun bukan berarti pula bahwa semua masalah-masalah dapat diselesaikan oleh orang-orang tertentu secara khusus. Argumen ini memberi isyarat bahwa dalam hal-hal tertentu, maka untuk menyelesaikannya adalah orang-orang tertentu pula. Ini berarti bahwa kemungkaran ditengah-tengah umat tetap diberantas untuk keselamatan manusia semua. Hal ini sesuai dengan sabda Muhammad SAW, yang berbunyi :
2313 حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ قَالَ سَمِعْتُ عَامِرًا يَقُولُ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا
Artinya: Perumpamaan orang yang menetapi ketentuan Allah dengan orang yang melanggarnya adalah seperti suatu kaum yang berada di atas perahu, sebahagian mereka ada dibagian atas dan sebahagian lagi ada dibahagian bawah, orang-orang yang berada di bagian bawah, apabila mengambil air melewati orang-orang yang berada di atas, lalu mereka berkata; bagaimana seandainya kita membuat suatu lubang ditempat kita ini dan kita tidak perlu izin kepada orang yang berada di atas kita, maka seandainya orang yang berada dibagian atas membiarkannnya, semuanya akan binasa, dan apabila mencegahnya mereka akan selamat semuanya. (H.R. Bukhari).
Hadis ini dijumpai dalam Sunan al-Turmizi (2099) dalam kitab al-Fitan dan dalam Musnad Ahmad (17638) dalam kitab Musnad al-Kaufiyaini, sedangkan bagi Imam Bukhari hadis ini didapati pada kitab Qism al-Syirkah (2313).
Kenyataan hadits ini relevan sekali, bahwa umat ini tak obahnya seperti penumpang perahu, jika orang yang bagian atas membiarkan orang yang bagian bawah membuat suatu lubang ditempatnya, dengan dalil adalah kebebasan pribadi bagi mereka, maka hasilnya akan mengakibatkan tenggelamnya kapal dan binasanya mereka semua. Dan seandainya orang yang dibagian atas mencegahnya dengan mengatakan kebebasan pribadi jangan sampai membahayakan semua orang, maka hasilnya adalah semuanya akan selamat. Demikianlah kondisi suatu umat, mana kala perahu kemungkaran itu berada dalam suatu umat, maka secara keseluruhan umat tersebut akan menerima sengsaranya.
Keterangan di atas, dipahami bahwa subyek dakwah adalah setiap muslim, laki-laki dan perempuan, baligh dan berakal “tanpa syarat” ulama atau cendekiawan muslim. Karena kewajiban berdakwah, seperti telah dijelaskan dalam hukum dakwah, sudah merupakan beban atau tuntunan atas setiap muslim seluruhnya. Hanya saja untuk lebih mantapnya dakwah, para ulama cenderung sepakat untuk menyajikan ajaran Islam secara lebih terinci, karena mereka memiliki kompetensi untuk itu,[59] seperti dapat dipahami dari surat Yusuf:108, yaitu :
هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Artinya : Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".
Dalam kaitan ini, Ibn Kasir dalam menafsirkan ayat ini, antara lain mengatakan, Allah telah berfirman kepada Rasul-Nya untuk menyampaikan agama kepada manusia; Inilah jalan saya, jalan agama dan sunnahnya. Dia dan orang-orang yang mengikutinya menyeru kepada yang diseru oleh Rasul berdasarkan keterangan yang jelas dan dikuatkan dengan bukti dalil akal serta agama.[60]
Dengan demikian, dipahami bahwa selain para rasul itu merupakan subyek dakwah yang dipilih langsung oleh Allah, juga subyek (perintah berdakwah) itu ditujukan kepada seluruh umat beriman.[61] Untuk itu, dapat ditegaskan bahwa subyek dakwah adalah mencakup setiap muslim dari seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali, laki-laki dan perempuan dengan tingkat kemampuannya masing-masing, kapan dan di manapun mereka berada.
2. Mubaligh
Secara etimologis, kata بليغا berakar dari kata; بلغ يبلغ بلوغا بليغا bentuk jamaknya بلغا berarti صارا او كان فصيحا yaitu : ucapan yang fasih sampai kepada yang dimaksud. Atau diartikan dengan ringkas dengan makna sampai, yaitu jika sesuatu perkataan telah sampai kepada orang lain, maka ia akan berbekas pada hati, sebagai mana diungkap oleh Zamaksyari; قولا بليغا : هو قول مؤثر فى قلو ب يغتم به اغتماما ويستشعر منه الخوف استشعارا (Perkataan yang membekas di hati yang sebelumnya tertutup hingga menimbulkan kesadaran yang mendalam).[62] Lebih jauh Sayyid Qutb mengemukakan bahwa qaulan balighan adalah perkataan yang lansung menggugah jiwa dan melekat secara lansung di hati.[63]
Pengertia di atas memberi titik fokus kepada kata “ sampai” yang korelatif dengan “berbekas”. Keduanya terkesan sangat terkait saat memberikan metode maw’izhah dalam bentuk qaulan balighan, yaitu ungkapan yang sampai kepada maksud yang dituju serta memberi bekas mendalam dilubuk hati para lawan bicara. Bentuk ini menyingkap kegelapan yang menutupi hati dan akan menerima kebenaran yang disampaikan kepadanya.
Misalnya kata qaulan balighan terdapat dalam surat al-Nisa’ : 63 ( 04/92), yaitu :
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلًا بَلِيغًا( النساء : 63)
Artinya : Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.
Istilah ini dipergunakan dalam berbicara atau menyampaikan pesan kepada orang lain dengan perkataan yang mengena sampai pada sasaran. Ayat ini menggambarkan prilaku orang munafik sewaktu mereka diajak untuk mematuhi hukum Allah Swt. Namun mereka menghalangi orang lain untuk mematuhi ajaran Islam tersebut. Karena memang begitu tipologi yang mereka anut, jika mereka mendapat musibah atau penderitaan karena perbuatannya, maka mereka datang memohon perlindungan atau bantuan kepada Allah. Untuk menghadapi prilaku masyarakat yang seperti ini sangat diperlukan mempergunakan adanya mubaligh, yaitu memberi pelajaran dan peringatan dengan bahasa yang mengena sampai kelubuk hatinya yang dalam. Sebab orang-orang munafik lebih berbahaya dalam Islam, ketimbang orang-orang kafir yang jelas-jelas kekafirannya.
Latar belakang turun ayat ini adalah pada suatu ketika terjadi pertengkaran antara lak-laki dari kalangan Anshar dengan pria Yahudi. Untuk menyelesaikan masalah, pria Yahudi menawarkan agar persengketaan dihadapkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai hakim, karena ia yakin bahwa Nabi pasti akan berlaku adil. Namun pria Anshar menolak, karena ia merasa berada di pihak yang salah. Bahkan ia menuntut supaya permasalahan ini dihakimi oleh Ka’ab bin Asyraf seorang tukang sihir. Kejadian ini melatar belakangi turunnya Q.S. al-Nisa’ 60 dan ayat 63 di atas.[64] Peristiwa di atas pria Anshar lari dari ketentuan agama dan mencari-cari celah buat keuntungan pribadi dengan merugikan orang lain. Oleh karenanya menghadapi orang munafik diperlukan mengimbanginya dengan bahasa yang sarat makna, tajam lagi membekas pada hatinya, agar provokasinya yang buruk dapat terpatahkan, sehingga tidak menular kepada orang lain.
Ayat 63 surat al-Nisa’ di atas mempunyai relevansi dengan ayat sebelum dan sesudahnya dengan tema utama “dasar-dasar pemerintahan” (al-Nisa’; 58-70), yaitu mencakupi sifat amanah, perintah mematuhi pemimpin, berhukum pada hukum Allah, kehati-hati terhadap orang-orang munafik. Maka bentuk ini sangat dibutuhkan oleh seorang pemimin terutama dalam menghadapi kaum munafik.
Memperhatikan bentuk ayat-ayat di atas, maka maw’izhah al-hasanah melalui mubaligh, nampaknya sangat relevan dengan tipologi orang munafik. Untuk itu diperlukan komunikasi/pembicaraan yang bisa menembus dan menggugah jiwanya atau menyentuh perasaannya dengan tepat. Bahasa yang dipakai adalah bahasa yang mengesankan atau membekas pada hatinya. Sebab jiwa munafik dihatinya banyak dusta, khianat, bohong, mungkir janji. Jika jiwanya tidak tersentuh dengan tepat dan jelas, maka sulit untuk menundukkannya. Kalimat qaulan balighan adalah gaya bahasa al-Qur’an yang bertujuan mengetok jiwa yang kesat dan kasar, kepada jiwa yang dapat menerima kebenaran sehingga akhirnya dapat merubah tingkah laku umat kepada jalan yang diredhai Allah Swt.
Kata mubaligh berakar dari kata balagha, yablughu, tablighan, mubalihgan, yaitu wazan dari bab taf’il yaitu mubalihg “ penyampai sesuatu kepada yang lain”. Didalam al-Qur’an akar kata ini berjumlah 77 kali dalam berbagai surat dan ayat.[65] Namun tidak semua akar kata balagha tersebut yang berkonotasi kepada pengertian penyampai. Khusus yang berhubungan dengan terma yang dimaksudkan dengan penyampai di sini adalah petugas yang melaksanakan suatu kegiatan mengajak orang lain kepada ajaran Islam. Walaupun kata ini secara nyata tidak ditemukan dalam al-Qur’an, akan tetapi tujuan dari makna yang terkandung didalamnya berkonotasi kepada mengajak orang lain kepada Islam.
3. Umara (Pemimpin)
1). Pengertian Pemimpin.
Di dalam Islam terma pemimpin tersebut sangat banyak sekali, seperti al-Imamah ialah berasal dari imam dalam bahasa Arab berarti ikutan bagi kaum, baik dalam kebaikan maupun dalam kesesatan.[66] Dalam konteks agama imam adalah orang yang berdiri di depan jama'ah dan memimpin ibadat. Dalam konteks politik berarti kepala negara, dan lembaganya disebut al-imamat.[67] Al-Imamat yang dimaksudkan di sini adalah kepemimpinan setelah Nabi Muhammad SAW. untuk menjaga agama dan memimpin keduniaan.[68] Kata khalifah imamat, imarah secara terminologi juga dikenal sebagai suatu konsep politik dalam Islam dengan pengertian sama, hanya saja terminologi al-imamat banyak dipergunakan oleh golongan Syi'ah.[69]
Secara historis dalam Islam gelar untuk kepala negara disebut khalifah, imam dan amir dan jabatannya dikenal dengan khilafah, Imamat dan imarat, kesemua istilah tersebut menunjukkan kepada satu pengertian, walaupun masa pertumbuhannya berbeda satu sama lain.[70]
Al-Imamat menurut Abdul Jabbar, secara etimologi adalah orang yang berada di depan, apakah ia pantas menduduki posisi itu atau tidak pantas mendudukinya. Pengertian terminologi (syari'at) ialah orang yang mempunyai otoritas kepada masyarakat dan juga kepada urusan-urusan mereka. Oleh karenanya tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari kekuasaannya, meskipun kekuasaan Abdul Jabbar menyangkut urusan-urusan masyarakat juga, akan tetapi kekuasaan imam selalu lebih tinggi dari padanya.[71]Pengertian di atas menunjukkan adanya lembaga al-imamat dalam urusan kenegaraan untuk mencapai tujuannya, baik tujuan keduniaan sekaligus juga tujuan agama yang menyatu dalam diri seorang imam.
Ide Abdul Jabbar dalam hal ini nampaknya adalah bahwa imam mempunyai wewenang penuh dalam mengatur dan menentukan urusan-urusan masyarakat sebagai penguasa tunggal.[72] Pengertian al-imamat dalam pandangan Abdul Jabbar, bila diteliti lebih jauh menurut pandangan pakar lain tidak jauh berbeda seperti pendapat Muhammad Rasyid Rida. Al-imamat adalah kepemimpinan negara Islam yang meliputi kemashlahatan dunia dan akhirat. Ia tidak menyebutkan secara eksplisit sebagai pengganti atau wakil Rasulullah, hanya ia menekankan sebagai jabatan kepala negara yang bertanggungjawab atas kemajuan agama dan politik negara.[73]
Al-Mawardi dalam hal ini menyebutkan bahwa al-imamat dilembagakan untuk menggantikan kenabian, guna melindungi agama dan mengatur dunia.[74] Tidak kalah penting pula Maududi mengatakan bahwa khilafah atau al-imamat adalah jabatan tertinggi dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti Rasulullah. Dari pendapat di atas nampaknya tidak menjelaskan sejauhmana al-imamat itu berfungsi sebagai pengganti Rasulullah, tapi yang jelas dapat dipastikan bahwa khilafah atau al-imamat sebagai jabatan pengganti kenabian untuk melindungi agama dan mengatur dunia, kedua kekuasaan itu tidak dapat dipisahkan dari diri seseorang imam.[75]
Terbukti adanya, bahwa pengertian al-imam yang ditawarkan Abdul Jabbar sama penekanannya, yaitu merupakan jabatan tertinggi yang dipegang oleh seseorang untuk mengatur masalah keduniawian dan kekhuatiran. Sekalipun terdapat persamaan dalam memberikan pengertian terhadap al-imamat, akan tetapi mempunyai perbedaan dari pijakan mereka berangkat. Kalau Abdul Jabbar melihat dari sisi teologi, artinya ia melalui pendekatan teologi, sementara selainnya sebagai mana disebutkan di atas, mereka memakai pendekatan fiqhiyah. Abdul Jabbar melihatnya sebagai esensi dan yang lainnya melihatnya sebagai hukum (Furu'iyah). Sehingga aspek penerapannya otomatis jauh berbeda. Kalau bagi Mu'tazilah, semua tindakan imam semuanya mengacu untuk mensucikan Tuhan dari syirik. Artinya bukan pemerintahan Tuhan, akan tetapi al-imamat sebagai penterjemah aspirasi Tuhan dalam pemerintahan secara rasional, termasuk didalamnya aspek politik, seperti menerapkan atau merealisasikan al-amr bi al-ma'ruf wa al-nahy an al-munkar. Tidak bisa terlaksana terkecuali dengan adanya imam.[76] Bagi selainnya (disebut al-sunni) imam hanya menjalankan hukum syari'at. Kewajiban yang mereka terapkan bersifat Syar'i, sedangkan mu'tazilah kewajiban yang diterapkan bersifat aqli.
Lain lagi halnya dengan syi'ah. Bagi mereka pengertian al-imamat ialah orang yang menjadi penguasa komunitas dan terutama adalah pewaris dari cahaya Muhammad (al-Nur al-Muhammady) dalam dirinya dan memenuhi fungsi wilayah.[77] Kalau fungsi kenabian disebut "nubuwah", maka fungsi al-imamat disebut "wilayah". Justru wilayah di sini bukan saja berkonotasi kesucian semata, tetapi juga berarti berfungsi sebagai penafsir dimensi esoterik wahyu Tuhan.[78] Sebagai pewaris ajaran esoterik Nabi, imam sebenarnya membawa cahaya Muhammad dalam dirinya. Dengan cahaya seseorang menjadi imam dan karena cahaya ini pula seseorang imam seperti juga Nabi, memiliki kemampuan untuk tidak melakukan kesesatan ('ishmat). Dengan kata lain 'ishmat imam adalah konsekwensi logis dari cahaya Muhammad dalam dirinya. Sebab cahaya itulah yang menjadi sumber petunjuk dan pengetahuan. Hubungan imam dengan anaknya bukan hubungan darah semata, tetapi merupakan hubungan spritual yang didasarkan pada perpindahan cahaya Muhammad dari seorang imam kepada imam lainnya, sehingga masing-masing tetap menjadi ma'shum dan murni dari dosa dan memperoleh otoritas sebagai perjaga dan penafsir hukum agama.[79]
2). Keharusan Adanya Imam
Menyangkut dengan perlu adanya imam, kelihatan tidak ada perbedaan pendapat dari berbagai kelompok dalam Islam, hanya saja bagaimana wajibnya itu, serta bagaimana jalan fikirannya untuk menetapkan wajib adanya imam terdapat variasi pemikiran.
Menurut Abdul Jabbar, keharusan adanya imam sangat erat kaitannya dengan agama, kalaulah tidak ada hubungan imam dengan agama, tidaklah perlu Nabi diutus untuk manusia.[80] Berdasarkan itu pula Tuhan berkewajiban mengutus Rasul atau Nabi untuk membawa petunjuk bagi seluruh manusia.[81] Ini menunjukkan bahwa kehadiran Nabi perlu dipahami dengan mempergunakan akal, karena kepemimpinan tersebut telah terlaksana pada Nabi, sehingga tidak terhalang lagi mengetahui perlu adanya imam. Dengan demikian wajib adanya kepemimpinan dalam Islam menurut Abdul Jabbar hanya mempergunakan dalil aqli.[82]
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan, bahwa fikiran Abdul Jabbar berbeda dibandingkan dengan Sunni dan Syi'ah, walaupun sama-sama mengatakan wajib adanya imam. Bagi sunni mendasari kewajiban adanya imam dengan ijma' umat. Hal ini adalah pengaruh dari peristiwa pertemuan di Saqifah Bani Sa'idah. Sekalipun berbagai kalangan terdapat perselisihan pendapat tentang siapa yang menjadi khalifah, namun mereka bersepakat bulat tentang perlu ada imam.[83] Mereka bahkan menguatkan lagi dalil ijma' ini dengan menyebutkan beberapa ayat dan hadits yang menjadi sandaran ijma'.[84]
Syi'ah mendasarkan kewajiban adanya imam dengan dalil syara' dan aqli. Menurutnya dunia tidak boleh kosong dari imam, meskipun ia dalam keadaan tersembunyi, tidak peduli apakah manusia membenci atau menyayangi, membela atau memerangi, yang jelas imam tetap eksistensi sepanjang zaman. Kemudian imam diangkat oleh Allah untuk dunia adalah hal yang sangat perlu, agar menjadi hujjah kepada hamba-hamba Allah, sehingga mengetahui imam-imam serta percaya kepadanya adalah syarat al-iman.[85]
Kelompok Syi'ah adanya iman adalah dengan kreteria ma`shum, imam itulah yang ditunjuk sebagai uli al-amr dalam surat an-Nisa' ayat 59, yang wajib ditaati secara mutlak, segala prilaku iman disandarkan kepada Allah. Perintahnya adalah perintah Allah, larangannya adalah larangan Allah. Mentaati iman bararti mentaati Allah dan RasulNya, bahkan iman menciptakan, menetapkan memberi rezeki, mengazab dan seterusnya.[86] Konsep imamat Syi'ah tersebut menurut Abdul Jabbar adalah Syirik,[87]menjadikan hukum Tuhan berlaku untuk iman. Lebih jauh Abdul Jabbar menuduhnya bahwa iman mereka hilang dan muncul. hal ini sama dengan paham Nasrani.[88]
Pendapat Syi'ah ini selalu mendapat kritikan dari Abdul Jabbar, sekalipun ia hidup dan menjadi Qadhi pada zaman Buwaihi (Syi'ah). Menurutnya perlu adanya imam memang berdasarkan dalil aqli tetapi jalan fikirannya untuk menetapkan wajib tersebut adalah bahwa imam itu bukan ma'shum.
Abdul Jabbar berpendirian bahwa imam wajib ada, tapi tidak mesti ma'shum dan tidak mesti pula dari keturunan Ali, walaupun ia berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib perioritas pertama, baru sesudahnya Abu Bakar, Umar dan Usman bin Affan.[89] Kemudian yang berhubungan firman Tuhan surat an-Nisa' ayat 59 menurut Abdul Jabbar adalah sebagai konfirmasi yang yang sangat relevan dengan dalil logika, karena kehadiran Nabi sebenarnya telah memberikan teladan bagi manusia. Ini berarti bahwa kepemimpinan sudah terlaksana pada masa Nabi, justru itu kepemimpinan Nabi dapat dijadikan analogi tentang perlu adanya imam menurut akal.
Kewajiban adanya imam tidak dikaitkannya dengan peristiwa di Saqifah Bani Saidah, akan tetapi dikaitkannya secara langsung kepada Nabi yang telah mencontohkan adanya kepemimpinan dalam Islam. Dengan demikian logislah pandangan Abdul Jabbar bahwa mengutus Rasul/Nabi ke dunia adalah wajib bagi Allah SWT. Lebih jauh lagi ia kemukakan bahwa imam bertugas mengawasi penduduk, meluruskan yang bengkok, menghilangkan rintangan dan perlu untuk mencapai tujuan politiknya. Kesemua di atas tidak mungkin terlaksana, kalau imam itu hanya satu orang saja di dunia sebagaimana pendapat Syi'ah.[90]
3). Syarat-syarat pemimpin
Betapapun baiknya suatu organisasi pemerintahan, politik dan ekonomi, tidak akan ada manfaatnya tanpa adanya pemimpin yang memenuhi persyaratan untuk menjalankannya, maka dalam menetapkan kriteria imam Abdul Jabbar mengemukakan sebagai berikut :
a. Harus mempunyai ilmu tentang syara', tapi tidak mesti mampu menghafal masing-masing fiqh para Fuqaha', akan tetapi cukup merujuk kepada pemikiran-pemikirannya dan mampu menghubungkan dengan pengertian mereka. Oleh karena itu perlu terlebih dahulu mengetahui bahasa Arab, sehingga lebih mudah untuk merujuk kepada al-Qur'an untuk mengatakan sesuatu;
b. Harus adil dalam ilmu tauhid dan keadilan ilahi. Adil yang dimaksud disini adalah menunjukkan suatu perbuatan bukan pelaku perbuatan, yaitu memberi hak-hak seorang sesuai dengan kewajiban yang dilakukan;
c. Mempunyai sifat-sifat yang pantas dan terhindar dari sifat-sifat yang tidak layak baginya;
d. Harus piawai tentang Nabi Muhammad SAW.;
e. Harus lebih wara';
f. Konsesten dengan tindakannya;
g. Mempunyai fisik yang prima;
h. Mempunyai jiwa yang mantap;
i. Bertanggungjawab dalam urusannya.[91]
Dari syarat yang ada itu Abdul Jabbar dalam kitabnya al-Mughni menambah beberapa persyaratan lagi sebagai berikut :
a. Harus mampu melaksanakan apa-apa yang diserahkan kepadanya dengan baik;
b. Harus mengetahui cara mengerjakan yang ditugaskan kepadanya;
c. Harus amanah, sehingga senang (tenteram) hati orang;
d. Didahulukan orang yang kelebihan;
e. Harus merdeka, berakal dan beragama.[92]
Kriteria yang dikemukakan Abdul Jabbar di atas, nampaknya dalam menetapkan kriteria imam terdapat persamaan dan perbedaan dengan penyataan yang dikemukakan oleh Al-Mawardi, Baqillani, Baghdadi dan Ibn-Rabi'. Hanya saja Al-Mawardi, Baqillani dan Baghdadi menambahkan dengan ruhu quraiys, sedangkan Ibn Rabi', kriteria imam tidak mesti adil dan keturunan quraiys, tetapi yang penting adalah kebapakan dan berasal dari keluarga raja, memiliki harta yang banyak dan pembantu yang berloyalitas tinggi.[93]
Dari beberapa kriteria imam ini nampaknya dalam beberapa hal Abdul Jabbar memberi ulasan dalam pendapatnya, antara lain; Tentang "keadilan". Kenapa imam harus seorang yang adil. Menurut Abdul Jabbar, keadilan merupakan suatu yang dituntut dalam kesaksian dan kehakimam/ pengadilan. Berhubung imam adalah penguasa tertinggi, maka dalam beberapa hal harus sama dengan persyaratan hakim. Imam harus melakukan hudud, hukum agama, begitu juga tentang dakwah. Kesemuanya itu tidak mungkin dilaksanakan atau dijalankan, bila pemimpin tersebut "fasik". Oleh karena itu, bila ada pemimpin berbuat dosa secara lahir harus dicopot dari jabatannya.[94]
Keadilan yang dimaksudkan di sini adalah sebagai sifat dari suatu perbuatan (al-fi'l) yaitu pemberian hak-hak seseorang sesuai dengan tindakan yang dilakukannya, bukan keadilan yang digunakan untuk pelaku perbuat-an (al-fa'il) seperti Allah Maha adil, ini berarti Allah tidak melakukan dan tidak memilih perbuatan buruk tidak mengabaikan kewajiban dan semua perbuatanNya adalah baik dan terbaik. Berbeda dengan Syi'ah, kepala negara (imam) tidak bersalah, karena dibimbing oleh Nur Muhammad dalam dirinya yang berasal dari Tuhan, bahkan Syi'ah Isma'iliyah berpendapat, kalau imam itu kelihatan melakukan dosa/maksiat, maka dianggap tidak melakukan dosa, karena aspek batin dari perbuatannya tidak diketahui oleh awam.
Kemudian Abdul Jabbar mengomentari pula tentang kenapa orang Quraisy tidak dijadikan sebagai kriteria imam. Ia menjelaskan bahwa pengutamaan kaum Quraisy pada waktu itu adalah semata-mata karena kedudukan politik dan agama mereka. Kebanyakan orang Islam pertama adalah dari kalangan mereka, berbagai penderitaan mereka alami dalam perjuangan Islam. Kemudian dalam memahami hadits al-aimatun min qurasyin Abdul Jabbar berpendirian bahwa hadits tersebut "ahad" dan berlaku bagi orang Quraisy saja dalam memimpin mereka,[95] akan tetapi bukan berarti kaum rasional mengeyampingkan keturunan suku Quraisy untuk diangkat menjadi pemimpin. Hanya saja manakala persyaratan yang diajukan terpenuhi, maka tidak tertutup kemungkinan mereka diangkat menjadi pemimpin.
Selanjutnya menyangkut dengan proses pegangkatan imam, Abdul Jabbar memakai istilah al-'aqdi dan al-Ikhtiar[96] untuk melaksanakan pemilihan. Ini dilakukan dengan ijtihad yang bertanggungjawab oleh mereka yang memenuhi syarat melakukan pemilihan terhadap seseorang yang pantas untuk menduduki jabatan imam.
Persoalannya adalah siapa ahl al-Ikhtiar, bagaimana pula kriteria yang mesti dimilikinya. Dalam hal ini Abdul Jabbar tidak memberikan pengertian yang tuntas tentang ahl al-ikhtiar, namun dapat dipahami bahwa ahl al-ikhtiar sama dengan ahl al-'aqd wa al-halli, yaitu lembaga pemilih yang mengadakan penelitian lebih dahulu terhadap kandidat kepala negara, apakah ia telah memenuhi persyaratan. Jika telah memenuhi syarat dicalon diminta kesediaannya, lalu ditetapkan sebagai kepala negara yang diikuti dengan pembai'atan atau orang yang mempunyai wewenang untuk melonggarkan dan mengikat. Tugasnya antara lain memilih khalifah/imam, kepala negara secara lasngsung.[97] Hanya saja bahwa para pemilih imam harus memiliki pengetahuan tentang syarat yang dibutuhkan untuk jabatan itu, dan kearifan yang membuat mereka dapat memilih oang yang paling mampu untuk jabat-an tersebut.[98]
Abdul Jabbar, menawarkan kriteria terhadap orang-orang yang berkomputen dalam ahli al-ikhtiar yaitu;
1. Mereka yang mempunyai pengetahuan dalam hal mengenal kandidat imam secara mendasar.
2. Mereka yang mempunyai kemampuan yang maksimal dalam menggunakan rasionalitasnya terhadap ilmu keagamaan serta keberanian memperjuangkan pikirannya tersebut.
3. Berasal dari kalangan ahl al-says wa al-shalah, konsekwensinya adalah agar terpeliharanya rahasia majlis pemilihan.
4. Mereka berasal dari orang-orang terhormat dan mempunyai nilai atau tingkat yang sama dengan calon imam yang akan mereka pilih.[99]
Persyaratan yang diutarakan Abdul Jabbar ini tidak menunjukkan kelompok-kelompok sosial yang mana saja yang dapat dikategorikan sebagai ahl al-ikhtiar.
Berbeda dengan Muhammad Abduh, ia menyamakan ahl al-hall wa al-aqd dengan uli al amr dalam surat al-Nisa' ayat 59, yaitu kumpulan orang-orang dari berbagai profesi dan keahlian yang ada dalam masyarakat, mereka adalah para amir, para hakim,para ulama para pemimpin militer, orang yang berpengaruh yang dijadikan rujukan oleh umat dalam masalah kemashlahatan masyarakat.[100]Al-Mawardi memsyaratkan ahl al-ikhtiar itu dengan berlaku adil dalam segala sikap dan tindakan, berilmu pengetahuan dan memiliki wawasan serta kearifan.[101]
Dalam perbedaan pendapat dalam hal penetapan kriteria ahl al-hill wa al aqd, nampaknya Abdul Jabbar lebih maju dalam menetapkan persyaratannya. Seperti terlihat dalam empat persyaratan di atas, ia tidak menyebutkan identitas atau strata sosialnya. Persyaratan ini memberi peluang untuk memberikan kebebasan bertindak dalam menentukan pilihannya. Karena jika disebutkan identitas atau stratanya, kemungkinan besar akan terjadi spekulasi dalam pemilihan imam. Agaknya yang melatar belakangi pemikiran Abdul Jabbar adalah menunjukkan kekonsekwenannya dengan ajaran rasional Mu'tazilah yang ia anut, yaitu memberikan kebebasan kepada manusia berpendapat dan mengaplikasikan pendapat dalam menentukan pilihannya.
4. Hubungan Da’i, Mubaligh Dengan Umara’ (Pemimpin)
Didalam al-Qur’an Allah telah menegaskan dalam surat al-Hajj; 41, yaitu :
الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
Artinya : Bahwa"Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukannya di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, membayarkan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah perbuatan munkar, dan kepada Allah kembali semua urusan (Q.S. al-Hajj : 41)".
Hubungan Dakwah dengan pemimpin (kekuasaan), bukan hubungan seputar ibadah, akan tetapi jauh lebih besar dari itu, yaitu; masalah wilayah, kekuasaan hukum, peperangan, peradilan, undang-undang kriminilitas, persoalan perkawinan, keluarga, jual beli, gadai, utang piutang, persaksian, qishash, hubungan internasional, penjara, keamanan dan stabilitas, waris dan lain sebagainya yang merupakan seperempat dari seluruh isi kandungan al-Qur'an itu adalah pembicaraan tentang kekuasaan.[102] Sasaran akhir dari perjalanan kekuasaan ini adalah memperjuangkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat dan mengupayakan terciptanya kemakmuran. Usaha kearah itu tiada jalan yang mesti ditempuh, kecuali melalui dakwah.
Konsep inipun tidak akan bisa tegak melainkan dengan adanya al-imam[103](pemimpin). Dengan demikian tugas ini adalah wajib, bila tidak ada yang melaksanakannya, maka kehidupan umat tidak akan tertata dengan baik, akan banyak perampokan, pencurian, penganiayaan faudha/chaos' dalam masyarakat, bangsa dan negara.
Sekurang-kurangnya ada dua badan resmi yang dapat dijadikan benteng untuk bisa berdirinya dakwah dalam masyarakat, yaitu ;
a.Pihak-pihak resmi (pemerintah) bertanggungjawab terhadap pelaksanaannya, (yaitu penguasa).
b.Bila tidak mendapatkan pada yang pertama, hendaknya manusia berjalan di belakang para ulama yang memikul tugas ini.
Apabila manusia tidak mendapatkan salah satu dari kedua itu, maka harus bersandar kepada ijtihad.[104] Abdul Karim Zaidan sebagaimana dikutip oleh Salman al-Audah mengemukakan bahwa kemampuan yang paling besar terdapat pada amir (penguasa) yang memiliki kekuatan untuk memerintah dan melarang, karena penguasa lebih bertanggungjawab dibandingkan dengan orang lain untuk menghilangkan kemungkaran yang ada di dalam rumahnya.[105]
Dengan demikian masalah pemimpin merupakan bagian dari dakwah, karena ajaran ini merupakan rekonstruksi umat Islam. Semua sasaran kehidupan umat Islam mesti melalui media dakwah, antara lainnya misalnya adalah; politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena pemimpin sebagai salah satu instrumen penting, maka suatu masyarakat hanya bisa hidup teratur, aman dan nyaman, jika mereka hidup dan berada dalam suatu negara dengan segala perangkat dan struktur kekuasaannya, sehingga banyak orang yang berpendapat bahwa pemimpin adalah "panglima". Artinya pemimpin sangat menentukan corak sosial, ekonomi, budaya, hukum dan berbagai aspek kehidupan lainnya.[106]
Agaknya disinilah Allah mengisyaratkan dalam surat al-Hadid ayat 25, mengajarkan bahwa Tuhan telah mengutus RasulNya dengan bukti-bukti nyata. Ia menurunkan kitab dan keadilan agar manusia dapat melaksanakan keadilan. Allah menurunkan pula "besi" yang mengandung kekuatan yang hebat dan dapat memberikan manfaat bagi manusia. Justru untuk terciptanya suatu keadilan diperlukan adanya kekuasaan yang dilambangkan "besi". Jadi untuk mencapai suatu keadilan jika perlu dengan kekuasaan pemimpin namun perlu juga diketahui, bahwa apakah pelaksanaan dakwah itu oleh para pemimpin, ulama, atau kedua kekuatan tersebut. Nampaknya pemikiran Qadhi Abdul Jabbar dalam hal ini adalah tertuju hanya kepada pemimpin saja, karena ia itu dalam kapasitasnya sebagai penguasa, sekaligus juga ahli agama Islam, sehingga tidak ada dikhotomi antara penguasa dengan ulama. Artinya pemimpin itu adalah ulama dan ulama itu adalah pemimpin. Barangkali itulah sebabnya Qadhi Abdul Jabbar mempertahankan bahwa dakwah itu tidak akan tegak tanpa adanya penguasa yang bertanggungjawab memperjuangkan.
Kenyataan di atas sangat logis sekali bahwa ma'ruf itu tidak akan dapat mengkristal tanpa adanya penguasa yang mengapungkannya. Begitu juga sebaliknya bahwa mungkar itu akan merajalela bila tidak ada badan yang bertugas membasminya. Untuk mengkongritkan usaha-usaha ma'ruf dan mengantisipasi jangan mendominasinya mungkar tersebut, dalam sejarah khalifah al-Ma'mun mencoba melaksanakannya dan membentuk pranata pemerintahannya dengan menjadikan dakwah sebagai ujung tombak dalam masyarakat.
Logika yang ditampilkan oleh Qadhi Abdul Jabbar ini dapat ditangkap, bahwa tugas seorang pemimpin bukan karena dorongan ambisius, tetapi merupakan amanat rakyat yang mesti diperjuangkan. Artinya eksistensi imam adalah memelihara
syari'at yang diwahyukan dan memperjuangkan kesinambungan nasib rakyat. Pendapat Qadhi Abdul Jabbar ini senada dengan pendapat Muhammad Asad, bahwa dakwah, hanyalah tinggal sebagai teori belaka selama tidak ada kekuasaan duniawi yang bertanggungjawab melaksanakannya dalam hukum Islam.[107] Khusus dalam penerapan ajaran ini, Qadhi Abdul Jabbar membagi pelaksanaannya kepada dua kategori, pertama yang berhubungan penetapan sangsi hukum, menjaga kesucian Islam, pengerahan kekuatan militer dan sebagainya, dilaksanakan oleh al-imam, kedua; yang berhubungan dengan pencegahan minum-minuman keras, pencurian, perkosaan dan sebagainya, dilaksanakan oleh perorangan atau kolektif.[108]
C. SYARAT-SYARAT AL-DA’I DAN ETIKANYA
Dalam melaksanakan dakwah Islam, da’i memegang peranan penting dalam upaya membawa orang lain kepada Islam, selain itu da’i harus mampu berkomunikasi dengan masyarakat luas secara baik. Kemampuannya itu bukan hanya ditentukan oleh pandai berkumunikasi saja, akan tetapi juga dapat memperlihatkan sikap, tindak-tanduk dalam masyarakat. Oleh sebab itu juru da’i harus memiliki persyaratan-persyaratan dan perlengkapan yang istimewa. Dalam hal ini Hamzah Ya’cub dalam bukunya Publisistik Islam dan Teknik Dakwah, mengemukakan bahwa persyaratan yang harus dimiliki oleh juru da’i adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui tentang al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai pokok agama Islam.
2. Memiliki pengetahuan Islam yang berinduk kepada al-Qur’an dan Sunnah, seperti tafsir, ilmu hadis, sejarah kebudayaan Islam dan lain-lain.
3. Memiliki pengetahuan yang menjadi alat perlengkapan dakwah, seperti teknik dakwah, ilmu jiwa (psikologi) sejarah, antropologi, perbandingan agama dan sebagainya.
4. Memahami bahasa umat yang akan diajak kepada jalan Allah, demikian juga ilmu retorika dan kepandaian berbicara atau mengarang.
5. Penyantun dan lapang dada, karena apabila dia keras dan sempit pandangan maka akan larilah manusia meninggalkan Allah.
6. Berani kepada siapapun dalam menyatakan, membela dan mempertahankan kebenaran. Seorang muballigh yang penakut, bukannya dia yang dapat mempengaruhi masyarakat ke jalan Tuhan, melainkan dialah yang akan terpengaruh oleh masyarakat itu.
7. Memberi contoh dalam setiap kebajikan supaya paralel kata-katanya dalam tindakannya.
8. Berakhlak baik sebagai seorang muslim, umpamanya tawadhu’, tidak sombong, pemaaf dan ramah tamah.
9. Memiliki ketahanan mental yang kuat (kesabaran, keras kemauan, optimis walaupun menghadapi berbagai rintangan dan kesulitan.
10. Ikhlas berdakwah karena Allah mengikhlaskan amal dakwahnya semata karena menuntut keredhaan Allah Swt.
11. Mencintai tugas dan kewajibannya sebagai da’i dan muballigh dan tidak gampang meninggalkan tugas tersebut karena pengaruh-pengaruh keduniaan.[109]
Selanjutnya Moh. Natsir menjelaskan pula tentang syarat-syarat yang harus dimiliki oleh juru da’i sebagai berikut:
1. Seorang Muballigh hendaklah/ haruslah mampu memelihara ketenangan dan keseimbangan jiwa dan sanggup mengendalikannya bila keseimbangan tersebut terganggu.
2. Para pembawa dakwah jangan sesak dada/ nafas apabila ada orang yang menolaknya, mendustakan, mencemoohkannya serta menolak, menyakiti dirinya sebagaimana yang dialami Rasul menyampaikan segala wahyu sekalipun manusia tidak suka pada isinya, menyembunyikan sebagian wahyu atau sebagian keterangan karena dia beranggapan pendengar tidak suka mendengarkannya.
3. Bersyukur apabila pekerjaan/ dakwahnya berhasil kepada Allah dengan rasa syukur sebagai kebahagiaan rohani yang tinggi.
4. Memiliki sifat sabar, tawakkal, tatsamuh (toleransi), tenggang rasa, dengan arti mempunyai hati yang tabah, keuletan melakukan tugas.
5. Jiwa merdeka dan ananiyah, putus asa dengan cobaan, takabur dengan kemenangan, akibatnya menimbulkan hubbul mal, ingin kaya, ingin pangkat/ kedudukan, ria dan ‘ujub untuk memperoleh balas jasa lahir dan bathin.[110]
Selain itu Mahmud Yunus mengemukakan pula dalam bukunya Pedoman Dakwah Islamiyahsebagai berikut:
1. Da’i harus mengetahui isi al-Qur’an dan Sunnah.
2. Da’i harus mengamalkan ilmunya
3. Da’i harus lapang dada dan penyantun.
4. Da’i harus berani menerangkan kebenaran agama.
5. Da’i hendaknya menjaga kehormatan dirinya.
6. Da’i mempunyai lidah yang pasih dan ucapan yang terang
7. Da’i harus mempunyai keimanan yang teguh dan kepercayaan yang kokoh tentang janji Tuhan yang benar.
8. Da’i hendaknya berlaku rendah hati.
9. Da’i hendaknya mengajarkan ilmu yang diketahuinya.
10. Da’i hendaknya mempunyai cita-cita yang tinggi dan berjiwa besar.
11. Da’i hendaklah berlaku tenang dan sopan.
12. Da’i harus berlaku sabar dan tabah.
13. Da’i harus bersikap taqwa dan amanah
Dari ketiga pendapat para ahli tersebut di atas, dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Mempunyai ilmu yang cukup
2. Penyantun dan lapang dada
3. Berani menegakkan kebenaran
4. Mengamalkan ilmunya
5. Bersifat taqwa dan beriman
6. Rendah hati (tawadhuk)
7. Menerangkan dan mengajarkan ilmu yang diketahui
8. Tenang dan sopan santun
9. Sabar dan tabah
10. Ikhlas dalam segala amal perbuatan.
Secara spesifik al-Bayanuni menambah syarat dan etika juru dakwah sebagai berikut :
1. Berbaik sangka sesama muslim
2. Menutup ‘aib orang lain
3. Menempatkan manusia sesuai dengan posisinya
4. Do’akan, bermusyawarah sambil menasehatinya
Beberapa pendapat ilmuan di atas penjelasannya adalah sebagai berikut :
1. Mempunyai Ilmu yang Cukup
Juru da’i harus mampu mengetahui apa-apa yang terkandung dalam al-Qur’an serta mengetahui syari’at Islam agar dia dapat menyeru manusia kepada jalan yang benar dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam serta diredhai oleh Allah Swt.
Selain itu para da’i harus juga mengetahui ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Sunnah Nabi, sejarah, terutama sejarah Islam yang berhubungan dengan riwayat tentang kehidupan Nabi serta Khulafaurrasyidin, sehingga para juru da’i mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang datang dari masyakat.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Mahmud Yunus bahwa da’i harus mempunyai; Ilmu-ilmu umum seperti sejarah Umum/terutama sejarah Nabi, Khulafaurrasyidin dan orang-orang besar lainnya, karena dengan mempelajari sejarah orang besar itu akan dapat mencontoh akhlak dan usahanya yang besar sebagai penyebab mereka menjadi orang besar, begitu juga ilmu kemasyarakatan, ilmu jiwa, lmu alam, ilmu falaq dan sebagainya.[112]
Juga seorang juru da’i harus dapat menerangkan bahwa Islam itu adalah suatu agama yang mengatur kehidupan manusia serta mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan manusia baik secara perorangan maupun secara berkelompok berbangsa dan bernegara. Da’i harus mengerti tentang hikmah yang terkandung dalam ajaran Islam, sehingga dapat memberikan keterangan yang memuaskan tentang hikmah-hikmah yang terdapat dalam Islam. Itulah sebabnya seorang juru da’i yang dianggap cukup bermutu adalah juru da’i yang mempunyai perbendaharaan ilmu yang cukup banyak, baik ilmu agama maupun ilmu umum.
2. Penyantun dan Lapang Dada
Juru da’i harus mempunyai sifat lapang dada dan berjiwa besar dalam menghadapi masyarakat, bila seorang da’i berkata keras, pemarah, suka berkata kasar, niscaya orang yang akan diseru akan menjauhkan diri darinya. Kata-kata yang lembut dan penyantun terhadap orang yang hendak diseru merupakan kunci untuk mendekatkan hati masyarakat kpada juru da’i.
Sesuai dengan firman Allah Swt. dalam surat Ali Imran ayat 159 yang berbunyi sebagai berikut:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Alah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.[113]
Bila masyarakat sudah merasa dekat kepada juru da’i, maka apa yang disampaikan oleh juru da’i itu niscaya akan mudah berkenan di hati pendengarnya, dan dapat diterimanya dengan perasaan senang, sehingga ajaran Islam dapat mereka amalkan dan mereka akan dapat melaksanakan pekerjaan yang diredhai oleh Allah, yakni mengerjakan yang baik dan menghentikan yang buruk.
3. Berani Menegakkan Kebenaran
Da’i harus berani menegakkan kebenaran agama, tidak ragu-ragu memberikan penjelasan walaupun dicerca oleh masyarakat, da’i tidak usah takut menerangkan kebenaran agama. Jika da’i memulai dakwahnya dengan yang ikhlas serta perasaan yang betul-betul menuntut keredhaan dari Allah Swt., maka da’i akan berhasil menegakkan kebenaran. Kalau para da’i takut menerangkan kebenaran dan mengambil hati orang banyak, maka orang ini belum pantas menjadi seorang da’i yang baik.
4. Mengamalkan Ilmunya
Bila seorang juru da’i yang akan melakukan tugasnya mengajak orang untuk melakukan pekerjaan yang baik, terlebih dahulu juru da’i harus melaksanakannya, jangan sekali-kali bertentangan apa yang dia sampaikan dengan apa yang dia lakukan, atau sebelum orang lain dia ajak untuk melakukan sesuatu pekerjaan, dia harus lebih dahulu dapat melakukannya. Bila seorang juru da’i tidak mampu berbuat demikian, sudah dapat diramalkan, bahwa ia akan menemui kegagalan sebagai seorang juru da’i.
Oleh sebab itu da’i dalam memberikan pelajaran bukan hanya dengan perkataan, tetapi juga dengan amal perbuatan, dengan kata-kata lain harus mempunyai ilmu agama yang selalu diamalkan, antara teori dan praktek harus dapat diamalkan. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam surat al-Baqarah ayat 44 yang berbunyi sebagai berikut:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Artinya: Mengapa kau suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri padahal kamu membaca al-kitab (taurat)? maka tidakkah kamu berpikir?[114]
Dari ayat di atas memberikan penjelasan kepada kita bahwa seorang juru da’i yang akan melakukan dakwah ke tengah-tengah masyarakat terlebih dahulu ia harus memulai dengan dirinya sendiri, baru mengajak orang lain. Didalam al-Qur’an Allah mengecam terhadap orang yang hanya pandai menyampaikan, akan tetapi tidak mampu melaksanakannya, seperti firman-Nya surat al-Shaf; 2-3, yaitu :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ(2)كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.
Hal senada dengan perkataan Nabi Syu’ib dalam al-Qur’an surat Hud; 88 yang berbunyi :
قَالَ يَاقَوْمِ أَرَأَيْتُمْ إِنْ كُنْتُ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَرَزَقَنِي مِنْهُ رِزْقًا حَسَنًا وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
Artinya : Syu`aib berkata: "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku daripada-Nya rezki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.
5. Bersifat Taqwa dan Iman yang mendalam
Keteguhan iman seorang juru da’i dan ketaqwaannya kepada Allah serta keyakinannya terhadap janji Allah yang akan memenangkan yang benar dan akan menyalahkan yang bathil serta akan menimbulkan semangat untuk melaksanakan dakwah, walaupun bermacam-macam rintangan dan halangan serta kesulitan yang dialami dalam menyampaikan dakwah.
6. Rendah Hati (Tawadhu’)
Da’i tidak boleh membanggakan dirinya sebagai seorang ulama besar, sehingga dia tidak mau menerima yang sebenarnya dari orang lain, karena orang itu dipandang rendah dan tidak punya ilmu pengetahuan. Bila da’i berpendirian demikian takabur dengan ilmunya serta meninggikan dirinya, maka dia akan direndahkan Allah dengan ilmunya itu. Sebaliknya siapa yang merendahkan diri di hadapan Allah, maka Allah akan meninggikan derajatnya dengan ilmunya.
7. Menerangkan dan Mengajarkan Ilmu yang Diketahui
Da’i hendaklah menerangkan dan mengajarkan ilmu yang ia ketahui dan jangan ia menyembunyikan ilmunya. Satu-satunya jalan untuk menerangkan makna dari ayat dan hadis kepada umat hendaklah dipakai bahasa yang mudah dimengerti oleh umat. Sesuai dengan sabda Rasulullah Saw. yang maksudnya, “siapa yang mengetahui ilmu lalu disembunyikannya, maka dia akan dikekang pada hari kiamat dengan kekangan yang terbuat dari api neraka.
8. Tenang dan Sopan Santun
Da’i harus berlaku tenang dan sopan serta sungguh-sungguh. Da’i jangan banyak bicara yang sifatnya omong-kosong dan tidak berguna, jangan banyak bersenda gurau dan olok-olok yang tak menentu di depan orang banyak, karena hal stesebut akan mengurangkan kehormatan kepada diri seorang da’i, sehingga da’i tidak disenangi orang. Jangan mengeluarkan kata-kata yang keji dan tidak sopan, dan juga tidak boleh gelisah dalam segala tindak-tanduk.
9. Sabar dan Tabah
Seorang da’i harus sabar dan tabah dalam melaksanakan tugas menyeru umat kepada jalan Allah, dengan kedua sifat tersebut, cita-cita dan tujuan da’i akan tercapai. Nabi Muhammad dalam melaksanakan tugas sebagai seorang Rasul cukup menderita dan mendapat tindasan dari kaum Quraisy di waktu ia melakukan dakwah di kota Makkah, semuanya ia terima dengan kesabaran dan tabah, bahkan terus maju dalam dakwahnya.
10. Ikhlas Dalam Segala Amal Perbuatan
Da’i harus berlaku ikhlas dalam segala amal perbuatannya. Seorang da’i beramal harus karena Allah semata-mata, serta mengharapkan keredhaannya dengan mendekatkan diri kepada Allah.
Sekali-kali da’i jangan beramal karena ria, untuk dipuji orang atau karena mengharapkan upah, untuk mendapat balasan dan ucapan terima kasih dari orang, atau untuk mencari kemasyhuran dan kemegahan dari orang banyak. Suatu amalan bila dilakukan tanpa disadari keikhlasan karena Allah, tidak akan mendapat pahala disisi-Nya. Seperti Firman Allah dalam surat al-Syura ayat 20 berbunyi sebagai berikut:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ
Artinya: Barang siapa menghendaki tanaman akhirat niscaya Kami tambahi tanaman itu, barang siapa menghendaki tanaman dunia, niscaya Kami berikan kepadanya dan tidak ada baginya keuntungan di akhirat.[115]
11. Berbaik sangka sesama muslim
Seorang da’i tidak buruk sangka kepad sesama muslim. Artinya da’i tidak punya kecurigaan kepada umat yang dihadapinya, sekalipun dalam banyak hal terdapat perbedaan, baik dalam bentuk amaliah, mungkin saja dalam meyakini sesuatu. Hal sejalan dengan firman Allah surat al-Hujurat; 12, yang berbunyi :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Bahkan Nabi Muhammad Saw. menegaskan dalam sebuah sabdanya yang berbunyi :
Artinya : “Jauhilah buruk sangka, sesungguhnya sangka buruk itu adalah berita bohong”. (al-hadis muttafaqun ‘alaihi/Bukhari/Muslim). Dalam hadis lain Nabi menjelaskan : “Baik sangka adalah sebahagian dari ibadah”. (al-hadis Riwayat Abu Daud).
12. Menutup ‘aib orang lain.
Seorang juru dakwah tak obahnya seperti seorang dokter atau sebagai seorang psikiater, bila ia telah memeriksaan kesehatan seseorang pasien, tidak mesti semua penyakit seseorang itu ia informasikan kepada pasien tersebut, apalagi kepada orang lain. Oleh karena itu seorang juru dakwah mampu merahasiakan persoalan umat dari suatu tempat kepada kepada tempat lain, sebab tugas juru dakwah secara prinsip adalah mengobati semua penyakit yang kronis dalam suatu masyarakat, tanpa menyebutkan penyakit apa yang sedang sedang diderita oleh suatu masyarakat, kecuali rahasia itu ia sampaikan dalam rangka i’tibar dan bersifat mawi’zhah al-hasanah bagi suatu masyarakat. Hal seperti firman Allah surat al-Nur; 19, yaitu :
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ ءَامَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.
Dalam sebuah hadis Nabi Muhammad Saw. Menjelaskan bahwa : “ Siapa yang menutupi ‘aib seseorang di dunia, maka Allah akan menutupi pula ‘aib orang tersebut nantinya di akhirat kelak.” ( al-hadis riwayat Muslim).
13. Menempat seseorang pada posisinya
Dalam kajian psikologi manusia mempunyai strata yang berbeda dan setiap manusia senang ditempatkan sesuai dengan posisi dan proporsinya. Meneptakan manusia pada posisinya bukan berarti membedakan orang lain, akan tetapi dakwah itu tidak akan sukses jika juru dakwahnya tidak bijak. Kebijakan dalam berdakwah suatu hal mesti dimiliki, karena kegagalan dakwah disebabkan adanya sikap arogansi dari juru dakwah sendiri, sehingga tidak jarang juu dakwah menjadi sombong, karena ia merasa dirinya lebih benar, lebih suci lebih jujur dan taat dibandingkan dengan orang lain. Cara seperti ini, nampaknya membuat orang lain enggan dan malas berhadapan dengan juru dakwah. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriayatkan oleh A’isyah RA, yang artinya : “Telah memerintahkan kepada kami Rasulullah Saw. Bahwa tempatkanlahmanusia sesuai dengan posisi mereka.”
14. Do’akan mereka serta musyawarah sambil menasehatinya
Allah Swt. dalam al-Qur’an menjelaskan pada surat al-Maidah; 2, yang berbunyi:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Juru dakwah setelah melakukan pertolongan kepada masyarakat melalui dakwahnya, maka pertolongan berikutnya adalah mendo’akan mereka. Selain itu juru dakwah juga melakukan musyawarah dengan audiens tentang berbagai kesulitan yang mereka hadapi. Dalam hal ini da’i bertugas sebagai konseling dan sekaligus mencarikan solusinya sambil memberikan nasehat kepadanya.
15. Pema’af
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ
Artinya : Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari pada orang-orang bodoh (Q.S. 7: 199). Ya. Allah, aku mohon kepada Engkau agar diberikan maaf dan kesehatan di dunia dan akherat (hadits Bukhari : 2957).
Semua manusia punya potensi untuk salah, oleh karena itu, memelihara hubungan (silaturrahmi), antara pihak yang dirugikan oleh kesalahan seseorang dengan pihak yang membuat kesalahan diperlukan sekali adanya maaf. Maaf (al-Afwu) adalah suatu kemestian yang tidak dapat diabaikan begitu saja, jika seseorang ingin memperoleh kehidupan yang mulia dan terhormat dalam pergaulannya di tengah masyarakat. Dalam kehidupan kontemporer yang syarat dengan kompetisi berbagai bidang kehidupan, tidak jarang antar sesama terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan dan merugikan yang lainnya, disini semakin diperlukan dibukanya minta maaf.
Bagi ummat Islam memberi maaf dan memohon maaf bukan saja telah menjadi bagian dari kehidupannya (sudah mentradisi), tetapi ia juga akhlak al-karimah yang semestinya tidak boleh dipandang ringan, tetapi ia harus dipraktekkan dan dibiasakan dalam setiap perilaku kehidupannya. Begitu pentingnya maaf, di dalam Al-Qur’an dan Hadits, dua sumber utama ajaran Islam, maaf mendapat pembahasan yang berarti. Khususnya dalam Hadits Rasulullah sawistilah maaf ditemukan dalam 53 hadits pada 8 kitab hadits yang membahas 4 pokok masalah. Kesemua hadits itu dibahas dan syarah secara panjang lebar oleh para Imam Muhadisin.
Terma al-afwuditerjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan maaf. Istilah maaf dalam bahasa Indonesia mengandung arti (1) Pembebasan dari hukuman, (2) Permintaan ampun, (3) Permohonan untuk melakukan sesuatu (berilah izin). Memaafkan, artinya memberi ampun atas kesalahan. Dalam ungkapan sehari-hari kata maaf digunakan untuk menunjukkan kesediaan seseorang menyatakan kesalahan yang dilakukannya, kemudian kesalahan itu diharapkan dapat dilupakan oleh orang atau pihak yang tidak puas atas perlakuan yang bersangkutan. Dalam bahasa Arab kata al-afwudan ‘afa diterjemahkan juga dengan arti hapus atau mudah. Misalnya اخذ العفو artinya; ambillah yang mudah mencapainya. Al-afwu sama maknanya dengan ma’ruf yang berarti yang baik yang diridhai Allah. Dalam arti lain al-afwu juga bermakna, sesuatu yang dapat dilakukan dengan mudah atau tidak sulit dan dapat dipilih dalam segala hal.
Sedangkan dalam terminologi al-Qur’an kata al-afwu memberikan pengertian; kesengajaan untuk menghilangkan atau menghapuskan dosa, dalam konteks lain ia juga berarti menghilangkan atau meniadakan sanksi dan keselamatan. Misalnya العفو الناس artinya memberikan maaf kepada orang lain. Begitu juga halnya dalam hadits terma al-afwu berarti juga memberikan maaf atas kesalahan yang dilakukan seseorang,
Dari beberapa pengertian bahasa dan penjelasan diatas dapat dipahami bahwa terma al-afwu mengandung pengertian memaafkan, menghapuskan dosa atau menyediakan diri untuk melupakan kesalahan orang lain kepada kita. Dalam konteks ini maka terma maaf sangat besar artinya untuk diketahui lebih jauh, batas-batas apa saja yang dapat dimaafkan dan bagaimana menggunakan kata maaf adalam kehidupan ini.
Semua hadits tersebut pada dasarnya dapat dikelompokan pada 4 tema besar yang meliputi :
1.Maaf yang berkaitan dengan hukum Qisas, 2. Maaf yang berhubungan dengan kepemimpinan.3. Maaf dalam kaitannya dengan akhlak. 4. Maaf sebagai doa untuk penyehatan jiwa. Dalam hal ini bahasan adalah berhubungan ma’af dalam artian akhlak, do’a dan kesehatan batin, yaitu :
1). Ma’af sebagai realisasi akhlak
4644 حَدَّثَنَا يَحْيَى حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِاللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ ( خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ ) قَالَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا فِي أَخْلَاقِ النَّاسِ وَقَالَ عَبْدُاللَّهِ بْنُ بَرَّادٍ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِاللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ أَمَرَ اللَّهُ نَبِيَّهُ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَأْخُذَ الْعَفْوَ مِنْ أَخْلَاقِ النَّاسِ أَوْ كَمَا قَالَ
Artinya: Menceritakaan kepada kami Yahya, menceritakan kepada kami Waqi’ dari Hisam dari bapaknya dari Abdullah bin Zubair “Jdilah kamu pemaaf dan suruhlah orang dengan yang ma’ruf”. Rasul berkata “Allah tidak menurunkan ayat ini kecuali berkaitan dengan akhlak manusia. Abdullah bin Barad berkata meceritakan kepada kami Abu Sanah, menceritakan kepadanya Hisam dari bapaknya dari Abdullah bin Zubair dia berkata Allah telah memerintahkan kepada NabiNya Muhammad SAW agar menjadikan maaf sebagai akhlak manusia atau sebagaimana yang dimaksud dalam ayat di atas.
Dalam Hadits Muslim di atas dijelaskan bahwa Nabi Muhammad diperintahkan agar menyebar luaskan sikap memaafkan bagi semua manusia. Hadits yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa memohon maaf dengan tawaduk adalah sesuatu yang bernilai dihadapan Allah. Ada dua manfaat yang didapatkan dengan memberikan maaf atas kesalahan orang kepada kita, apalagi kalau kesalahan yang ditimbulkan oleh perbuatan itu menyebabkan hilang nyawa yang bersangkutan atau mewajibkan Qisas. Kedua manfaat memaafkan itu ialah : Pertama; menjadikan hati orang yang memaafkan dan dimaafkan itu lapang, ia akan dimuliakan dan dihormati orang, kedua; Orang yang memaafkan akan dapat pahala yang berlipat ganda diakhirat kelak.
Hadits yang sama artinya dengan di atas pada umunya menjelaskan sikap mau memaafkan dan bersedia memohon maaf adalah sangat terpuji dan sikap itu dikatakan sebagai puncak dari Akhlak al-Karimah. Memang memaafkan itu bukanlah masalah sepele, mudah mengucapkannya sulit melaksanakannya, karena ini menyangkut emosional seseorang. Jika kesulitan yang ditimbulkan oleh perbuatan seseorang kecil akibatnya, maka memaafkan mungkin tidak terlalu sulit, tetapi jika resiko perbuatan orang terhadap kita berat, seperti kehilangan orang yang dicintai, memaafkan bukanlah hal ringan, maka beralasan sekali jika terma maaf dalam kaitannya dengan akhlak itu dikatakan sebagai akhlak tertinggi. Sirah Nabawiyah, menginformasikan betapa akhlak Nabi suka memaafkan telah membawa banyak pihak tertarik kepada Islam dan memang disana pula keunggulan akhlak Islam. Sayangnya, ada pihak yang menjadikan terma maaf ini sebagai tameng tempat melindungi dirinya agar lepas dari jerat hukum. Menjadikan maaf sebagai upaya melarikan diri dari hukum adalah perbuatan tidak pantas. Dalam akhlak Islam masalah hukum tidak dipinggirkan. Jika hukum menuntut sesuatu dilaksanakan tentu harus diikuti, namun sebelum perbuatan itu terjadi akhlak berfungsi melakukan preventif.
2. Maaf dan penyehatan jiwa
3848 حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي فُدَيْكٍ أَخْبَرَنِي سَلَمَةُ بْنُ وَرْدَانَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الدُّعَاءِ أَفْضَلُ قَالَ سَلْ رَبَّكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ثُمَّ أَتَاهُ فِي الْيَوْمِ الثَّانِي فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الدُّعَاءِ أَفْضَلُ قَالَ سَلْ رَبَّكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ثُمَّ أَتَاهُ فِي الْيَوْمِ الثَّالِثِ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَيُّ الدُّعَاءِ أَفْضَلُ قَالَ سَلْ رَبَّكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ فَإِذَا أُعْطِيتَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ فَقَدْ أَفْلَحْتَ
Artinya: Menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ibrahim Addimasaqi dari Ibnu Abi Fudaik bercerita kepadaku Salamah Ibnu Wardan dari Annas bin Maliki dia berkata. Telah datang seseorang kepada Nabi Muhammad SAW, dia berkata Ya Rasulullah apakh do’a yang plaing afdhal, Nabi menjawab: mintalah kepada Tuhanmu maaf dan kebaikan (sehat wal’afiat) di dunia dan akhirat. Kemudian dia datang lagi pada hari kedua dan bertanya lagi kepada Rasulullah SAW apakah do’a yang plaing afdhal, Nabi menjawab mohonlh kepada Tuhanmu maaf dan ‘afiat. Kemudian di datang lagi pada hari ketiga dadn bertanya apakah doa yang paling afdhal, Nabi menjawab mintalah kepada Tuhanmu maaf dan ‘afiat didunia dan akhirat. Jika engkau memperoleh maaf dan ‘afiat di dunia dan akhirat, maka engkau adalah orang yang beruntung.
Terma maaf dalam banyak hadits dihubungkan dengan kata al-‘afiat artinya baik, seperti yang disebutkan dalam hadits riwayat Ibnu Majah dan Ahmad. Ini memberikan penjelasan bahwa maaf dan afiat adalah dua permintaan yang diharapkan semua orang karena kedua keadaan ini mendatangkan kenyamanan kepada orang bersangkutan. Maaf dan afiat diajarkan oleh Rasulullah agar selalu dimohon kepada Allah, karena dua keadaan ini orang akan mendapatkan kebahagian hidup sebenarnya. Apa artinya hidup tidak sehat dan bisa memberikan kelapangan kepada orang lain apalagi jika hidup tidak mendapat maaf (ampunan dosa) dari Allah SWT.
a. Maaf dalam Qisas.
4500 حَدَّثَنِي عَبْدُاللَّهِ بْنُ مُنِيرٍ سَمِعَ عَبْدَاللَّهِ بْنَ بَكْرٍ السَّهْمِيَّ حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ الرُّبَيِّعَ عَمَّتَهُ كَسَرَتْ ثَنِيَّةَ جَارِيَةٍ فَطَلَبُوا إِلَيْهَا الْعَفْوَ فَأَبَوْا فَعَرَضُوا الْأَرْشَ فَأَبَوْا فَأَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَوْا إِلَّا الْقِصَاصَ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْقِصَاصِ فَقَالَ أَنَسُ بْنُ النَّضْرِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتُكْسَرُ ثَنِيَّةُ الرُّبَيِّعِ لَا وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا تُكْسَرُ ثَنِيَّتُهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَنَسُ كِتَابُ اللَّهِ الْقِصَاصُ فَرَضِيَ الْقَوْمُ فَعَفَوْا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ [116]*
Artinya: Abdullah Bin. Munir menceritakan kepadaku yang ia dengar dari Abdullah Bin. Bakar Assahmi bahwa kepada kami telah diceritakan oleh Humaid dari Annas bahwa : Seorang hamba dari Rabbi’telah merontokkan gigi seorang hamba. Setelah itu Rabbi’ mohon maaf kepadanya, sang korban keberatan, lalu ia ditawari dengan tebusan (diat), korban juga keberatan. Kemudian persoalan itu dibawa kepada Rasulullah SAW, ternyata pihak korban masih keberatan, kecuali kalau dilakukan qishas. Lalu Rasulullah memerintahkan untuik dilaksanakan qishas. Kemudian Annas bin Noudzir bertanya apakah gigi Robbi’ juga dirontokkan, tentu tidak. Lalu Annas melanjutkan demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran. Jangan engkau rontokkan juga gigi hambanya Robbi’ itu. Kemudian Rasulullah berkata kepada Annas, Ya Annas ketenuan Allah adlaah qishas setelah itu baru orang banyak lega dan korban memaafkannya. Selanjutnya Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya sebahagian hamba-hamba Allah jika ia bersumpah atas nama Allah maka sumpah itu akan membebaskannya.
Seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an[117] bahwa hukum Qisas adalah Hukum Allah yang mesti dilakukan atau dilaksanakan bila terjadi pembunuhan atau perusakan anggota tubuh oleh seseorang. Namun dalam melaksanakannya hukum Qisasharus memerlukan suatu persyaratan yang jelas. Sebelum hukum Qisasditerapkan maka sangat dianjurkan sekali agar keluarga korban dapat memberi maaf kepada pihak yang melakukan pembunuhan itu. Hadits Bukhari di atas jelas memberikan dorongan bahwa memaafkan orang yang semestinya di Qisas adalah perbuatan terbaik. Meskipun pihak yang dirugikan itu dari kalangan hamba sahaya namun hukum Allah tetap mesti dilakukan sebagaimana mestinya. Hanya saja, meminta maaf atau memberikan maaf adalah perbuatan mulia.
Mulianya memaafkan dalam Qisas ini bukanlah menyederhanakan masalah hukum dalam Islam tetapi dimaksudkan unutk membuat orang tetap dapat menjaga hubungan silahturahminya meskipun itu sangat sulit sekali. Lebih penting lagi, bahwa Qisassebagai hukum menghilangkan nyawa pada dasarnya dimaksudkan untuk preventif agar orang tidak mudah melakukan pembunuhan begitu saja. Hukum Qisasbukan satu-satunya sanksi bagi pelaku pembunuhan, masih ada pilihan hukum lainnya, seperti diyat (bayar tebusan) atau memaafkan saja atau diyatbersamaan dengan maaf. Bagaimana penerapan hukum Qisas ini dalam hadits yang diriwayatkan di atas sangat cukup jelas sekali, akan tetapi sebelum itu dilakukan maka pilihan denda atau ganti rugi dan memaafkan mesti diusahakan lebih dahulu.
b. Maaf dalam hubungannya dengan kepemimpinan
1424 حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْأَسْوَدِ أَبُو عَمْرٍو الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَبِيعَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زِيَادٍ الدِّمَشْقِيُّ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ادْرَءُوا الْحُدُودَ عَنِ الْمُسْلِمِينَ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنْ كَانَ لَهُ مَخْرَجٌ فَخَلُّوا سَبِيلَهُ فَإِنَّ الْإِمَامَ أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعَفْوِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعُقُوبَةِ حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ يَزِيدَ بْنِ زِيَادٍ نَحْوَ حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ رَبِيعَةَ وَلَمْ يَرْفَعْهُ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ أَبمو عِيسَى حَدِيثُ عَائِشَةَ لَا نَعْرِفُهُ مَرْفُوعًا إِلَّا مِنْ حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ زِيَادٍ الدِّمَشْقِيِّ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَوَاهُ وَكِيعٌ عَنْ يَزِيدَ بْنِ زِيَادٍ نَحْوَهُ وَلَمْ يَرْفَعْهُ وَرِوَايَةُ وَكِيعٍ أَصَحُّ وَقَدْ رُوِيَ نَحْوُ هَذَا عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ قَالُوا مِثْلَ ذَلِكَ وَيَزِيدُ بْنُ زِيَادٍ الدِّمَشْقِيُّ ضَعِيفٌ فِي الْحَدِيثِ وَيَزِيدُ بْنُ أَبِي زِيَادٍ الْكُوفِيُّ أَثْبَتُ مِنْ هَذَا وَأَقْدَمُ [118]*
Artinya: Menceritakan kepada kami Abdurrahman B. Aswad Abu Amar al Basri, menceritakan kepada kami Muhammad bin Robbi’ah, menceritakan kepada kami Yazid Bin Ziyad Addimasiki dari Az-Zukhri dari Murwah dari Aisah, berkata: bahwa Rasulullah telah bersabda: “Laksanakan olehmu hudud (hukum) Allah kepada orang muslim sesuai dengan ketentuannya. Seandainya ada kesempatan (peluang) untuk membebaskannya dari hukuman itu, maka bebeaskanlah. Pemimpin (hakim) yang salah dalam memberikan maaf lebih baik dari hakim yang keliru dalam menetapkan hukum. Hadits yang sama juga disampaikan oleh Waqi’ dari Yazid bin Ziyad dan sebagainya. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muhammad bin Robbi’ah yang dianya tidak menjadikan hadis ini marfu’. Dia sebut itu dalam kitab abu Hurairah dan Abdullah bin Amar. Menurut Abi ‘Isa hadis Aisah tidaklah marfu’ kecuali hadis yang bersumber dari Muhammad bin Robi’ah dari Yazid bin Ziyad Abi maski dari Urwah dari Aisah dan dari Nabi. Dan meriwayatkan pula waqi’ dari Yazid bin Ziyad dan sebagainya yang juga tidak marfu’. Riwayat Waqi’ ini lebih kuat karena dia bukan diriwayatkan oleh seorang sahabat pada umumnya dia berpendpat seperti itu sedangakn hadis dari Yazid Bin Ziyad bin Abi Masaqi dhaif dan Ziyad bin Abi Zyad alkuhfi lebioh menetapkan hadis ini dan lebih mendahulukannya.
Maaf yang berkaitan dengan kepemimpinan itu seperti dijelaskan dalam Hadits Turmudzi di atas dan beberapa hadits yang bernada sama dengan ini muncul dengan latar keadaan (asbab al-wurud) nya ketika surat al-a’raf ayat 178 turun .
( خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ )
Artinya: “Jadilah pemaaf dan perintahlah dengan yang ma’ruf dan berpalinglah dari kejahilan”.
Beberapa riwayat tentang ini menyebutkan :
Dari Abdur Rahman Ibn Zaid bin Aslam, bahwa yang dimaksud dengan khuzil afwa adalah perintah kepada Nabi Muhammad SAW agar dapat memaafkan dan berjabat tangan dengan kalangan musyrikin hanya dalam waktu 10 tahun pertama (periode Mekkah) saja, sesudah itu harus bersikap tegas.
Riwayat dari Abu Syofyan bin Uyainah ketika ayat ini turun Nabi bertannya kepada malaikat Jibril, apa maksud ayat ini. Jibril menjelaskan agar Engkau memaafkan orang yang menzalimimu, mengasihi orang yang membencimu dan menjalin silaturrahmi dengan orang yang menjauhimu. [119]
Hadits Turmudzi di atas mencerminkan akhlak seorang pemimpin sebelum menjatuhkan suatu hukum atau sebelum mengambil suatu keputusan haruslah hati-hati sekali. Ungkapan bahwa salah dalam memberikan maaf lebih baik ketimbang salah dalam menghukum. Ini menunjukan kesalahan keputusan memaafkan lebih baik ketimbang salah dalam menjatuhkan hukuman. Karena salah memaafkan tidak mengundang resiko, sedangkan salah menghukum membawa malapetaka.
Dikaitkan dengan riwayat di atas maka dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad sebagai seorang pemimpin pada tahap awal memang diberikan peluang untuk memaafkan kesalahan dari orang-orang musyrik yang mencela dan malah mau membunuhnya, itu hanya ketika perintah perang belum datang atau sebelunm Islam bisa memberikan perlawanan yang berarti. Ketika Islam sudah kuat dan mampu mrenghadapi musyrik, terma maaf tidak berlaku bagi mereka yang melecehkan Nabi, ia harus dihadapi, atau disikapi dengan tegas. Ini memberikan informasi bahwa maaf tidak selamanya dapat dilakukan, apabila sudah berkenaan dengan masalah aqidah dan hal-hal pokok dalam agama mesti diterapkan sanksi menurut semestinya. Akan tetapi, bila itu berkaitan dengan soal bagaimana hubungan sosial diterapkan mesti mengacu kepada ayat al-A’raf 199 diatas. Dari abu Ja’far al-Sadiq diriwayatkan bahwa ayat al-A’raf 199 itu telah mencakup akhlak al-karimah sesuai dengan tiga potensi yang dipunyai manusia, yaitu : Al-Aqliyah, al-Sahwiyah dan al-Ghadabiyah. Ketiga potensi ini dapat dikendalikan Al-Hikmah yang bersumber dari aqliyah, yang dapat ya’muru bil ma’ruf. Al-Sahwiyah dikendalikan dengan al-Iffah itulah akhizil afwa dan Ghadabiyah dengan Saja’ahitulah makna fa’arid anil musrikin.[120]
Dengan demikian, seorang pemimpin dan begitu juga setiap orang mesti dengan penuh kesadaran bisa memaafkan kesalahan orang lain, apalagi kalau kesalahan itu disebabkan oleh ketidak-tahuan (jahil) nya pihak yang melakukannya. Seperti kasus Umar Ibn Khatab. Diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa Uyainah Ibn Husen datang ke tempat anak saudaranya Hurr bin Qiss. Uyainah ini sering mengkritik Umar lalu ia berkata kepada Hurr bin Qiss, bisakah anda menghubungkan saya bertemu dengan Umar. Kedua orang ini menghadap Umar, di depan Umar Uyainah berkata : Hai Umar Engkau tidak memperhatikan kami dan bertindak tidak adil dikalangan kami. Umar lalu marah, hampir saja Umar membunuhnya, Hurr bin Qiss berujar : Hai Umar Allah berkata kepada Nabi, sembari membaca surat al-A’raf 199, mendengar ini Umar reda dari marahnya dan memaafkan Uyainah, karena Uyainah dianggap orang yang tidak tahu.[121]
c. Maaf sebagai perbuatan akhlak
4644 حَدَّثَنَا يَحْيَى حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِاللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ ( خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ ) قَالَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا فِي أَخْلَاقِ النَّاسِ وَقَالَ عَبْدُاللَّهِ بْنُ بَرَّادٍ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِاللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ أَمَرَ اللَّهُ نَبِيَّهُ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَأْخُذَ الْعَفْوَ مِنْ أَخْلَاقِ النَّاسِ أَوْ كَمَا قَالَ [122]*
Artinya :Menceritakaan kepada kami Yahya, menceritakan kepada kami Waqi’ dari Hisam dari bapaknya dari Abdullah bin Zubair “Jdilah kamu pemaaf dan suruhlah orang dengan yang ma’ruf”. Rasul berkata “Allah tidak menurunkan ayat ini kecuali berkaitan dengan akhlak manusia. Abdullah bin Barad berkata meceritakan kepada kami Abu Sanah, menceritakan kepadanya Hisam dari bapaknya dari Abdullah bin Zubair dia berkata Allah telah memerintahkan kepada NabiNya Muhammad SAW agar menjadikan maaf sebagai akhlak manusia atau sebagaimana yang dimaksud dalam ayat di atas.
Dalam Hadits Muslim di atas dijelaskan bahwa Nabi Muhammad diperintahkan agar menyebar luaskan sikap memaafkan bagi semua manusia. Hadits yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa memohon maaf dengan tawaduk adalah sesuatu yang bernilai dihadapan Allah. Ada dua manfaat yang didapatkan dengan memberikan maaf atas kesalahan orang kepada kita, apalagi kalau kesalahan yang ditimbulkan oleh perbuatan itu menyebabkan hilang nyawa yang bersangkutan atau mewajibkan Qisas. Kedua manfaat memaafkan itu ialah : Pertama; menjadikan hati orang yang memaafkan dan dimaafkan itu lapang, ia akan dimuliakan dan dihormati orang, kedua; Orang yang memaafkan akan dapat pahala yang berlipat ganda diakhirat kelak.[123]
Hadits yang sama artinya dengan di atas pada umunya menjelaskan sikap mau memaafkan dan bersedia memohon maaf adalah sangat terpuji dan sikap itu dikatakan sebagai puncak dari Akhlak al-Karimah. Memang memaafkan itu bukanlah masalah sepele, mudah mengucapkannya sulit melaksanakannya, karena ini menyangkut emosional seseorang. Jika kesulitan yang ditimbulkan oleh perbuatan seseorang kecil akibatnya, maka memaafkan mungkin tidak terlalu sulit, tetapi jika resiko perbuatan orang terhadap kita berat, seperti kehilangan orang yang dicintai, memaafkan bukanlah hal ringan, maka beralasan sekali jika terma maaf dalam kaitannya dengan akhlak itu dikatakan sebagai akhlak tertinggi. Sirah Nabawiyah, menginformasikan betapa akhlak Nabi suka memaafkan telah membawa banyak pihak tertarik kepada Islam dan memang disana pula keunggulan akhlak Islam. Sayangnya, ada pihak yang menjadikan terma maaf ini sebagai tameng tempat melindungi dirinya agar lepas dari jerat hukum. Menjadikan maaf sebagai upaya melarikan diri dari hukum adalah perbuatan tidak pantas. Dalam akhlak Islam masalah hukum tidak dipinggirkan. Jika hukum menuntut sesuatu dilaksanakan tentu harus diikuti, namun sebelum perbuatan itu terjadi akhlak berfungsi melakukan preventif.
d.Maaf dan penyehatan psikologis
3848 حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي فُدَيْكٍ أَخْبَرَنِي سَلَمَةُ بْنُ وَرْدَانَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الدُّعَاءِ أَفْضَلُ قَالَ سَلْ رَبَّكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ثُمَّ أَتَاهُ فِي الْيَوْمِ الثَّانِي فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الدُّعَاءِ أَفْضَلُ قَالَ سَلْ رَبَّكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ثُمَّ أَتَاهُ فِي الْيَوْمِ الثَّالِثِ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَيُّ الدُّعَاءِ أَفْضَلُ قَالَ سَلْ رَبَّكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ فَإِذَا أُعْطِيتَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ فَقَدْ أَفْلَحْتَ [124]*
Artinya: Menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ibrahim Addimasaqi dari Ibnu Abi Fudaik bercerita kepadaku Salamah Ibnu Wardan dari Annas bin Maliki dia berkata. Telah datang seseorang kepada Nabi Muhammad SAW, dia berkata Ya Rasulullah apakh do’a yang paling afdhal, Nabi menjawab: mintalah kepada Tuhanmu maaf dan kebaikan (sehat wal’afiat) di dunia dan akhirat. Kemudian dia datang lagi pada hari kedua dan bertanya lagi kepada Rasulullah SAW apakah do’a yang plaing afdhal, Nabi menjawab mohonlh kepada Tuhanmu maaf dan ‘afiat. Kemudian di datang lagi pada hari ketiga dadn bertanya apakah doa yang paling afdhal, Nabi menjawab mintalah kepada Tuhanmu maaf dan ‘afiat didunia dan akhirat. Jika engkau memperoleh maaf dan ‘afiat di dunia dan akhirat, maka engkau adalah orang yang beruntung.
Terma maaf dalam banyak hadits dihubungkan dengan kata al-‘afiat artinya baik, seperti yang disebutkan dalam hadits riwayat Ibnu Majah dan Ahmad. Ini memberikan penjelasan bahwa maaf dan afiat adalah dua permintaan yang diharapkan semua orang karena kedua keadaan ini mendatangkan kenyamanan kepada orang bersangkutan. Maaf dan afiat diajarkan oleh Rasulullah agar selalu dimohon kepada Allah, karena dua keadaan ini orang akan mendapatkan kebahagian hidup sebenarnya. Apa artinya hidup tidak sehat dan bisa memberikan kelapangan kepada orang lain apalagi jika hidup tidak mendapat maaf (ampunan dosa) dari Allah SWT.
Dalam banyak hadits anjuran untuk mohon selalu kepada Allah agar memberi maaf atas kesalahan masa lalu serta mohon kesehatan dan terpelihara keluarga dari mara bahaya disebutkan oleh Rasulullah. Malah Rasul mengajarkan jika orang menemui malam Qadar, maka doa yang dianjurkan untuk memanjatkan doa kepada Allah SWT adalah :
24967 حَدَّثَنَا يَزِيدُ قَالَ أَخْبَرَنَا الْجُرَيْرِيُّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ وَافَقْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَبِمَ أَدْعُو قَالَ قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي [125]*
Artinya: Ya, Allah sesungguhnya Engkau pemberi maaf lagi mulia. Mencintai orang yang mohon maaf dan memberi maaf, maka maafkan aku.
Maka, suatu perbuatan yang dapat menyehatkan jiwa seseorang apabila sifat pemaaf dan bersedia memohon maaf tetap dipeliharanya, sebab sifat seperti ini menunjukkan bahwa orang tersebut adalah orang yang sadar betul bahwa sebagai manusia setiap orang tidak bisa membebaskan dirinya dari kesalahan dan kealpaan. Kesadaran akan adanya kelemahan kemanusiaan itu memungkinkan dia bersedia membuka pintu maaf jika dia zalimi orang lain dan bersedia memaafkan orang lain yang menzaliminya.
Demikianlah syarat-syarat dan etika yang harus dimiliki oleh seorang da’i, supaya berhasil dalam menyampaikan pesan ke tengah-tengah masyarakat luas.
Di samping syarat-syarat yang sudah dikemukakan di atas, seorang da’i juga harus mempersiapkan diri dengan penuh kematangan, baik mental maupun ilmu, agar jangan sia-sia dalam melaksanakan tugas. Persiapan pokok yang harus dimiliki oleh seorang da’i tersebut disebut dengan istilah tafaqquh fi al-Din dan tafaqquh fi al-Nas. Memang sudah suatu kenyataan bahwa seorang da’i akan selalu menghadapi tantangan dan halangan, kadang-kadang orang yang diberi dakwah menerima dengan penuh kesadaran, kadang-kadang ada yang menolak mentah-mentah, bahkan ada yang mencemoohkan da’i itu. Untuk itu memerlukan ketabahan dan kesabaran yang mendalam, dan tidak boleh putus asa.
Menurut Mahmud Yunus, tafaqquh finnas adalah persiapan juru da’i untuk mengetahui keadaan manusia yang akan dihadapi, akan mudahlah bagi seorang da’i untuk menjalankan dakwah Islamiyah. Untuk mengenal manusia, juru da’i harus menguasai ilmu yang bersangkut paut dengan manusia seperti sosiologi, antropologi, psikologi, ilmu hukum, sejarah, ilmu politik ilmu-ilmu sosial lainnya.[126]
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa persiapan ilmiah yang berhubungan dengan tafaqquh finnas ialah bahwa da’i harus mengetahui dengan manusia mana ia akan berhadapan, sehingga akan dapat dicarikan materi yang mungkin tepat untuk menggugah akal pikiran dan perasaannya.
Sedangkan tafaqquh fiddin ialah persiapan juru da’i tentang ajaran-ajaran agama, untuk mengetahui sumber-sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dengan ‘ulm al-Qur’an dan Sunnah Rasul dengan ‘ulum al-hadisnya, sebab keduanya sumber utama dalam Islam. Oleh sebab itu juru da’i harus mempunyai ilmu yang mantap, luas, baik ilmu agama maupun umum.[127] Dari keterangan di atas jelas bahwa seorang da’i mesti menguasai ilmu-ilmu yang berhubungan dengan masalah agama, seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu qawa’id, ilmu ushul fiqh/ fiqh, dan ilmu tauhid, ilmu tasauf dan ilmu lain yang berhubungan dengan aspek agama Islam.
[1]Kata dakwah telah menjadi salah satu kosa kata bahasa Indonesia yang diberi pengertian kurang tepat. Sebab, tampaknya disamakan pengertian dakwah itu dengan penyiaran agama Islam di kalangan masyarakat. Kecuali, kata berdakwah yang berarti mengajak (menyeru) untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam. Lihat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, h. 181
[2]Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Mushthafa al-Babi al-Halabi, Mesir, 1389 H/1969 M, Juz II, h. 279.
[3]Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, Jakarta, 1973, h. 127
[7]Ibid
[8]Muhammad Fuad al-Baqi, op.cit. 257-60.
[12]‘Abd. al-Baqi, ,... op.cit., h. 257
[14]QS. al-’Alaq: 17-18.
[15]QS. al-Qamar: 6.
[16]QS. al-Isra’: 11.
[17]‘Abd. al-Baqi, op.cit., h. 258
[18]QS. al-A’raf: 37, 194 dan 197.
[19]QS. al-A’raf: 134
[20]QS. al-Syura’: 15, yaitu : فلذلك فادع واستقم كما أمرت ولا تتبع أهواءهم وقل ءامنت بما أنزل الله من كتاب وأمرت لأعدل بينكم الله ربنا وربكم لنا أعمالنا ولكم أعمالكم لا حجة بيننا وبينكم الله يجمع بيننا وإليه المصير
[21]QS. al-Qashash: 87 yaitu : ولا يصدنك عن ءايات الله بعد إذ أنزلت إليك وادع إلى ربك ولا تكونن من المشركين
[22]Muhammad Fuad ‘Abd. al-Baqi, op.cit., h. 259
[23]Muhammad Abu Zahrah, al-Da’wat ila al-Islam, Dar al-Fikr al-’Arabi, tt., ttp. h. 21
[24]al-Mu’min: 43
[25]QS. al-Rum: 25
[26]QS. al-Baqarah: 186
[27]QS. al-Ra’d: 14
[28]Muahmmad Fuad ‘Abd. al-Baqi, op.cit., h. 260
[29]Lihat penjelasan, al-Fadhl Syihab al-Din al-Sayyid Mahmud al-Alusiy, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-Azhim wa al-Sab’ al-Hasani, Dâr al-Fikr, Beirut, 1398 H/1978 M, juz IV, h. 21
[30]al-Bahî al-Khulî, Tazkirah al-Du’ah, Dar al-Kitab al-’Arabî, Mesir, 1952, h. 27. Lihat Juga Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Mizan, Bandung, Cet. II, 1992 h. 194.
[31]Pendapat Muhammad ‘Abduh, sebagaimana dikuti H. Mochtar Husein, Dakwah Masa Kini, Nuhiyah, Ujung Padang 1986, h. 2
[33]Thoha Jahya Omar, Ilmu Dakwah, Widjaya, Jakarta, 1967, h. 1
[35]Amin Rais, Cakrawala Islam, Mizan, Bandung,, cet. VII, 1996, h. 25-6
[37]Dar El-Mushreq, Munjidul at-Thulab, Beirut, Al-Maktabah as-Syarqiyah, 1974, h. 389
[39]K.H.A. Syamsuri Siddiq, Dakwah dan Teknik Berkhutbah, Jakarta, Al-Ma’arif, 1981, Cet. I, h. 14
[40]Syamsuri Siddiq, Dakwah dan Teknik Berkhutbah, Jakarta, Al-Ma’arif, 1981, Cet. I, h. 14
[41]Muhammad Abû Zahrah, al-Da'wah ila al-Islâm, (Ttp:. Dâr al-Fikr al-'Arabî, tt). h. 33-4 dan 129.
[42]Muhammad Abûal-Fatah al-Bayânûnî, al-Madkhal Ilâ‘Ilm al-Dakwah, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1991), h. 31
[43]Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (disebut Tafsîr al-Manar), (Beirut: Dâr al-Ma’rifat, tt). Juz. IV, h.26-7
[44]Ahmad Mushthâfâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1973), jilid 2, h. 22
[47]Al-Khazin, Lubab al-Tahwil fi al-Ma’any al-Tanzil, Juz V, h. 154
[48]Isma’il Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Karim, Dar Ihya al-Turats al-’Arabi, Beirut, 1388/1969, Juz III, h. 43
[49]Ahmad Musthafa al-Maraghi, op.cit, Juz XIX, h. 106
[50]Sayid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an, Dar Ihya al-Turas al-’Arabi, Beirut:, 1386 H/1967 M, Juz XXII, h. 32-3
[51]‘Abd al-Rahman bin Nashir al-Sa’diy, al-Qawa’id al Hisan li Tafsir al-Qur’an, Maktabat al-Ma’rifat, Riyadh, 1400 H/1980 M, h. 7-8
[52]Ahmad Musthafa al-Maraghi, op.cit, Juz IV, h. 21
[53]Ibid, h. 22 dan lihat juga Ibn Katsir, op.cit, Juz I, h. 290
[54]Fuad Mohm. Fachruddin, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam, Jasa Guna, Jakarta, 1988, hlm. 88.
[55]Ali al-Sami’ al-Nasyar, Nasya'ah al-fikr al-Falsafati al-Islam, Dar al-Ma'arif, Kairo, 1977, hlm. 440.
[56]Qadhi Abdul Jabbar, Syarh..., op. cit., hlm. 741.
[58]Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, Juz. I, Istiqamah, al-Qahirah, 1953, h. 304.
[59]‘Abdul al-Karim Zaidan, op.cit., jilid II, h. 6
[60]Ibn Katsir, op.cit., Jilid II, h. 195-6
[61]Ahmad Musthafa al-Maraghi, op.cit, Jilid VIII, h. 130
[62]Al-Zamakhsyarî, op.cit, jilid 1, h. 68
[63]Sayyid Qutb, op.cit. cet. Ke 7, jilid 5, h. 695
[64]Al-Imâm Abî al-Hasan Alî ibn Ahmad al-Wâhidi, Asbâb al-Nuzul(Beirut: Dâr al-Kitâb al-Ilmiah, 1991), Cet. 1, h. 166-7
[65]Muhammad Fuad Abd. Al-Baqi, op.cit. h. 172-173
[66]Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, Dar al-Mishr, al-Qahirah, Juz 14, t.t., hlm. 287.
[67]Muhammad Diya' al-Din al-Rayes, Al-Nazhariyat al-Siyasiyat al-Islamiyat, Maktabat al-Anjala al-Mishriyat, 1960, hlm. 98.
[68]Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyat, Matba' al-Mustafa al-Bab al-Halb, Mesir, 1960, hlm. 5
[69]Abdul Hamid al-Mutawalli, Mabadi' Mizhami al-Hukmi fi al-Islam, Masyaat al-Ma'arif, Iskandariyat, Cet. IV, 1978, hlm. 121.
[70]Zakariya al-Mun'in Ibrahim al-Kitab, Mizhamu al-Syura fi al-Islam wa Nazhan al-Dimuqratiniyyat al-Mu'assirah, Matba' al-Sa'adah, Kairo, 1985, hlm. 113.
[76]Harun Abdul Mut'ah al-Sa'di, Al-Nazhariyyat al-Islam fi al-Daulah, Dar al-Mahdhah, Kairo, 1977, hlm. 288
[77]Sayyed Hossein Nasr, Ideal and Realities of Islam, Arge Allen and Unwin LTD. London, 1975, hlm. 162.
[85]Muhammad Kamil al-Harymi, Hakikat Aqidah Syi`ah, alih bahasa H.M. Rasyidi, Bulan Bintang, Jakarta, 1989, hlm. 112
[86]Syekh Muhammad Ridha, al-Muzhaffar, Aqai al-Islamiyat, edisi, Hamid Hafni Daud, t.t., hlm. 70
[87]Qadhi Abdul Jabbar, al-Mughni..., jilid XX, bag. 1, op.cit., hlm. 12
[98]Qadhi Abdul Jabbar, Al-Mughni..., op. cit., hlm. 257.
[99]Qadhi Abdul Jabbar, Syarh..., op. cit., hlm. 755.
[100]Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, jilid IV, Maktabat al-Qahirat, Mesir, 1960, hlm. 181.
[102]Hamidullah Cs, Politik Islam Konsep dan Dokumentasi, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. xi.
[103]Qadhi Abdul Jabbar, Syarh..., op. cit., hlm. 749.
[104]Salman al-Audah, Amar Ma'ruf, Nahi Mungkar, (terj. Rahmad), Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 1993, hlm. 71.
[106]Amin Rais, Cakrawala Islam Antara Citra dan Fakta, Mizan, Bandung, Cet. III, 1991, hlm. 27.
[107]Muhammad Asad, The Principles of State and Government in Islam, University of California Press, Berkeley, 1961, hlm. 4.
[109]Hamzah Ya’cub, Publisistik Islam dan Teknik Dakwah, Bandung, Diponegoro, 1973, h. 32
[110]M. Natsir, Fiqhud Dakwah, Jakarta, Dewan Dakwah Islamiyah, h. 134-157
[111]Mahmud Yunus, Pedoman Dakah Islamiyah, Jakarta, Hidayakarya Agung, 1980, h. 18
[112]Ibid., h. 39
[113]Departemen Agama RI., op.cit., h. 103
[116]Shahih Bukhari. Al-Mawsu’ah al-Hadîts al-Syarîf, Beirut: Syarikah Sakhar, 1996, CD.
[117]Surat Al-Baqarah (2):178
يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى الحر بالحر والعبد بالعبد والأنثى بالأنثى فمن عفي له من أخيه شيء فاتباع بالمعروف وأداء إليه بإحسان ذلك تخفيف من ربكم ورحمة فمن اعتدى بعد ذلك فله عذاب أليم
[118]Sunan Turmudzi. Al-Mausû’ah al-Hadîts al-Syarîf, Beirut: Syarikah Sakhar, 1996. CD.
[119]Ibn Katsir. Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim. Juz.II.Dar al-Kitab. H.277
[120]Al-Asqalani. Fath al-Bari. Juz XVII. Al-Makabah al-Qahirah. 171.
[121]Ibn Katsir. t.t. Tafsir al-Qur’an al-Azhim. Juz. II. Alhalabi. h. 277.
[122]Shahih Muslim. Al-Mausû’ah al-Hadîts al-Syarîf, Beirut: Syarikah Sakhar, 1996. CD.
[123]Sahih Muslim, Syarah al-Nawawi. t. t. Juz 6. Cet. 3 Dar al-Ahya al-Turas al-‘arabi. h.141.
[124]Sunan Abi Daud. Al-Mausû’ah al-Hadîts al-Syarîf, Beirut: Syarikah Sakhar, 1996. CD.
[125]Sunan Ahmad. Al-Mausû’ah al-Hadîts al-Syarîf, Beirut: Syarikah Sakhar, 1996. CD.
[126]Mahmud Yunus, op.cit., h. 118
0 Comment