Dai Kriteria1
P E N D A H U L U A N
A. Latar Belakang dan Pokok Masalah
Al-Qur’an adalah kitab dakwah[1]yang mencakup didalamnya unsur-unsur yang mengintari dakwah, seperti juru dakwah, penerima dakwah, metode dakwah, dan media dakwah. Dakwah dengan segala unsurnya adalah suatu kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lain, masing-masing unsur dalam dakwah mendapat perhatian dan sorotan dalam al-Qur’an secara sistematis dan sesuai dengan kondisi sosial masyarakat yang mengintarinya. Paparan dan pertunjuk al-Qur’an tentang kegiatan dakwah tersebut telah dilaksanakan dan dipraktekan oleh Rasulullah Saw..
Dakwah adalah ujung tombak bagi Islam dalam mewujudkan ajaran Islam keberbagai segi kehidupan manusia. Melaksanakan dakwah dalam artian umum kewajiban bagi setiap pribadi muslim.[2]Hal itu disebut dengan mubaligh atau juru penerang dalam terminologi Indonesia sesuai dengan keahlian dan kemampuannya.[3] Namun dakwah dalam artian khusus bukan berarti menafikan pendapat lain yang mengatakan bahwa melaksanakan dakwah adalah fardhu kifayah.[4] Hal inilah yang disebut dengan juru dakwah (al-Da’i). Untuk merealisasikannya kepada masyarakat diselenggarakan oleh al-Da’i yang telah memenuhi kriteria-kriteria untuk itu dengan mempergunakan metode tertentu,[5]sesuai dengan kondisi sosial-budaya masyarakat yang mengintarinya. Dakwah dalam al-Qur’an berarti ajakan kepada kebaikan, yaitu ajakan kepada agama Islam, membangun masyarakat madani yang qur’ani, selalu dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar. Dakwah merupakan seperangkat aktifitas yang dilakukan oleh setiap muslim sesuai dengan kemampuannya, bertujuan menjadikan seluruh umat manusia meyakini dan mengamalkan ajaran Islam dengan baik dan bertanggungjawab serta diiringi dengan akhlak mulia demi memperoleh kebahagiaan sekarang dan yang akan datang.
Pada priode Makkah (610-622 H) Nabi Muhammad Saw. adalah sebagai seorang al-da’i bertugas melaksanakan dakwah melalui metode pendekatan kepada keluarga secara diam-diam dalam upaya memberi pelajaran dan petunjuk,[6]kemudian secara bertahap pelaksanaannya dikembangkan secara terbuka[7]dengan mengadakan konfrontasi tanpa menghiraukan penghinaan dan ancaman penentangnya[8]dari kalangan kaum kafir Quraish.
Setelah Nabi Saw. di Madinah (1-11 H / 622-632 M) dakwah telah mampu menumbuh kembangkan ikatan persaudaraan, ukhuwah Islamiyah,[9]dengan membentuk suatu umat laksana suatu bangunan yang satu dengan yang lainnya saling menguatkan.[10]Sehingga menimbulkan kekuatan bagi kaum muslimin dalam pengembangan dakwah. Setelah adanya perintah jihad dari Allah Swt. untuk melawan kekejaman musyrikin yang tidak henti-hentinya menentang Nabi, bahkan tambah mengganas setelah musyrikin bersekongkol dengan umat Yahudi dan Nasrani yang ada di Madinah dan sekitarnya,[11] menjajah umat Islam, maka kaum muslimin melakukan peperangan untuk membela dakwah Islam demi memelihara dan menjaga kesatuan dan keutuhan umat. Nampaknya usaha mereka ternyata berhasil mengalahkan musyrikin bersama kroni-kroninya. Dalam hubungan ini Hasan Ibrahim Hasan mengungkapkan bahwa izin jihad diberikan kepada kaum muslimin adalah dengan maksud membela diri dan melindungi dakwah,[12]dari rong-rongan kaum musyrikin, sehingga kekuatan musuh Islam jatuh berantakan dan daerah dakwah semakin meluas dan berkembang, seperti kemenangan di Badar tahun ke-2 Hijrah,[13] dan penaklukan Mekkah tahun ke-8 Hijrah.[14]
Setelah Nabi Muhammad wafat, penyelenggara dakwah dilanjutkan oleh para Khulafa' al-Rasyidin bersama sahabat lainnya. Seperti Abu Bakr al-Shiddiq (11-13 H / 632-634 M) dan 'Umar bin Khattab (12-23 H / 634-644 M) ternyata berjalan dengan baik dan sukses. Namun setelah itu ketika pemerintahan Usman bin Affan ( 23-35 H / 644-656) 'Ali bin Abi Thalib (36-40 H / 656-661 M) dilanda oleh berbagai kekacauan politik dalam negeri,[15] sehingga kesatuan umat sudah tidak terjamin lagi sebagai yang telah dibina oleh Nabi Muhammad Saw. sebelumnya.
Sekalipun kenyataan tersebut berdampak negatif terhadap kelancaran perkembangan dakwah Islam, karena sebahagian umat tidak percaya sepenuhnya kepada pemerintah ('Ali), juga timbulnya perpecahan politik di kalangan umat yang berakibat munculnya usaha pemalsuan hadis Nabi. Namun setelah pemerintahan Bani Umayyah terutama masa pemerintahan Mu'awiyah bin Abi Sufyan (41-60 H / 661-680 M) gelombang dakwah berjalan kembali.[16]Kalaupun demikian banyak pihak menilai bahwa dakwah yang dijalankan Mu'awiyah tidak orisinil, sebab dianggap sudah berbau politik (birokrasi)[17]sampai kepada beberapa generasi sesudahnya.
Pada abad ke-18 M sebagai akibat terjadinya kontak peradaban dan ilmu pengetahuan dengan dunia Barat, munculnya kaum pembaharu di dunia Islam yang berusaha melakukan pembaharuan dengan mengkaji ulang ajaran-ajaran dasar Islam. Gerakan pembaharuan tersebut berdampak positif dalam kehidupan pengembangan penyelenggara dakwah. Terutama sekali ketika umat telah berhadapan dengan ilmu pengetahuan yang dibawa oleh Barat ke dunia Islam ketika itu. Maka muncul tokoh-tokoh terkemuka, seperti terlihat, Muhammad Abduh (1849-1905 M), seorang tokoh pembaharu, dengan profil baru dan tampil berbeda dakwah secara lisan dikembangkan dengan media tulisan lewat majalah al-'Urwat al-Wusqa diterbitkan di Paris bersama Jamal al-Din al-Afgani (1839-1897 M),[18]dan Rasyid Ridha (1865-1935 M) di Mesir dengan al-Manarnya.[19] Sejalan dengan kegiatan penyampaian risalah Nabi Muhammad kepada umat manusia lewat berbagai cara, baik lisan, kontak perbuatan, isyarat dan iqrar maupun dengan diplomasi lewat surat atau utusan.[20]Maka yang sangat urgen bagi masyarakat adalah bagaimana sikap dan tingkah laku al-Da’i dapat dijadikan standar oleh masyarakatnya.
Aktifitas dakwah dengan segala keteladanan yang dimunculkan oleh al-da’i, merupakan bagian yang pasti ada dalam kehidupan beragama sepanjang waktu. Karena apapun yang dilakukan dalam kehidupan, suri teladan dan langkah yang ditempuh itu jelas sasarannya. Di dalam al-Qur’an dakwah merupakan kewajiban yang dibebankan oleh agama kepada pemeluknya, baik dilakukan secara pribadi ataupun dilaksanakan secara kolektif. Dengan demikian eksistensi dakwah bukan hanya sekedar usaha agar orang lain dapat memahami agama dalam kehidupannya, akan tetapi jauh lebih penting dari itu, yaitu; melaksanakan ajaran Islam secara menyeluruh dan konfrehenshif dalam berbagai aspek kehidupan. Untuk mencapai kearah tersebut sudah pasti semua unsur dakwah harus mendapat perhatian serius para juru dakwah. Namun betapapun baiknya sebuah materi, media, audience dan metode da’inya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dakwah itu sendiri, jika tidak ada al-da’i yang mampu menunjukan jati dirinya sesuai dengan qur’ani dan suni, maka ajaran Islam yang dikembangkan akan berada tataran pengetahuan bukan pada aspek aplikasi dan pengamalannya.
Juru dakwah dalam upaya merealisasikan tujuan di atas, telah melakukan berbagai usaha dan pendekatan. Dalam bentuk usaha nyata adalah melalui ceramah, diskusi, bimbingan dan penyuluhan, nasehat, keteladanan, atau panutan dan lain-lainnya. Sedangkan pendekatan yang dilalui adalah pendekatan sosiologis, antropologis, psikologis, komunikasi masa dan moderen, dengan berbagai teknik seperti seminar, lokakarya, simposium, sarasehan dan lain sebagainya. Nampaknya ajaran Islam belum memberikan warna kepada penganutnya secara kaffah, bahkan belum terlihat dan didapati kegiatan dakwah yang dilakukan didasari kepada pedoman dan metode dari pertunjuk al-Qur’an yang pernah di terapkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw.. baik ketika Nabi berhadapan dengan kaum kafirun Makkah maupun terhadap kaum munafiqun Madinah, ataupun kepada umat Islam secara keseluruhan.
Perspektif al-Da’i dalam al-Qur’an, tidak hanya sekedar mengatur kegiatan dakwah, tetapi lebih jauh dari itu, di mana al-Qur’an memberi kriteria dan persyaratan yang ketat menjadi seorang al-da’I tersebut, karena al-da’I selain bertindak menyampaikan agama Islam kepada masyarakat, sekaligus ia juga sebagai publik figur bagi masyarakatnya. Dengan kata lain ucapan, perbuatan dan tingkah lakunya menjadi ukuran dalam suatu komunitas masyarakat. Secara umum al-Qur’an telah menuntun Nabi kearah tercapainya sosialisasi ajaran Islam dalam kurun waktu +- 23 tahun. Semua itu didukung oleh kepribadian yang utuh dan berpegang kepada prinsip atau azas uswatun hasanah dituturkan oleh Allah Swt. Sekalipun secara literlek didalam al-Qur’an tidak ditemukan kata yang persis sepadan dengan istilah al-Da’i, namun jika dimaksudkan al-Da’i, yaitu orang-orang yang rela mewakafkan dirinya menyelenggarakan ajaran Islam kepada orang lain dengan penuh konsekwen dan bertanggungjawab.
Kalaupun buku-buku sudah banyak ditulis tentang dakwah, namun belum ditemui atau dijumpai buku karya ilmiah tentang bagaimana al-da’i yang berdasarkan kepada ayat-ayat al-Qur’an yang dutulis secara sistematis dengan pendekatan tafsir tematik. Padahal metode tematik akan menjelaskan satu masalah secara konfrehenshif dan menghindarkan dari pemahaman penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tentang satu topik secara parsial.
Melihat kepada literatur dakwah yang ada nampaknya belum memadai dan belum adanya tulisan yang khusus membicarakan tentang dakwah, terutama yang membahas al-Da’i dari sudut pandangan al-Qur'an. Untuk itu penulis termotivasi mengangkat masalah tersebut dalam bentuk karya tulis ilmiah dengan melihatnya dari sudut Qur’ani, karena menyadari penting adanya suatu kajian al-Da’i yang didasari kepada tuntunan al-Qur’an secara tematis yang relevan dengan tuntutan masa kini, dan lebih jauh akan melihat bagaimana paparan al-Qura’n dalam memberikan tuntunan kepada Nabi untuk menyelenggarakan dakwah, sekaligus sebagai pedoman dalam membina umat sesuai situasi dan kondisinya.
Bertolak dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat diungkapkan bahwa masalah al-da’i bukanlah persoalan yang sederhana. Ia tidak hanya terkait dengan satu kata dakwah yang pernah diterapkan pada masa Nabi Muhammad Saw., akan tetapi sekaligus terpaut dengan situasi dan kondisi kehidupan umat masa kini dan masa datang. Dengan demikian, terasa penting adanya suatu pertunjuk Allah tentang bagaiamana sesungghnya protipe al-da’i yang semestinya yang ada dalam al-Qur’an. Sehingga para juru dakwah dapat kembali kepada al-Qur’an, sehingga tidak hanya tinggal ungkapan bahwa al-Qur’an relevan sepanjang waktu dan zaman.
Oleh karenanya, dari kajian ini pertanyaan mendasar yang akan menjadi masalah pokok adalah bagaimana al-da’i dalam perspektif al-Qur’an, dengan batasan permasalahan adalah sebagai berikut :
1. Siapa al-da’i dengan segala bentuk protipenya dalam al-Qaur’an.
2. Bagaimana sesungguhnya kriteria yang harus dimilkinya dan perbedaan serta persamaannya dengan mubaligh, ulama dan umara’.
3. Bagaimana tugas dan tanggungjawabnya terhadap pembangunan masyarakat.
4. Serta bagaimana prinsip dasar yang mesti dimiliki juru dakwah.
B. TUJUAN, GUNA DAN METODOLOGINYA
Tulisan ini bertujuan merumuskan paparan al-Qur’an tentang al-Da’i berdasarkan pertunjuk ayat-ayat al-Qur'an yang berwawasan teoritis dan sistematis, sebagai langkah untuk memobilisasi terlaksananya dakwah di kalangan umat sehingga akhirnya dapat berperan dalam pembinaan umat sesuai kondisinya, maka tujuan kongkritnya adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui siapa al-da’i dengan segala bentuk protipenya dalam al-Qar’an.
2. Untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya kriteria yang harus dimilikinya dan perbedaan serta persamaannya dengan mubaligh, ulama dan umara’.
3. Untuk mengetahui bagaimana tugas dan tanggungjawabnya terhadap pembangunan masyarakat.
4. Untuk mengetahui prinsip dasar yang mesti dimuliki oleh seorang da’i.
Adapun kegunaan yang diharapkan dari karya ini adalah :
1. Sebagai sumbangan fikiran untuk ikut memajukan dakwah Islam sebagai salah satu cabang ilmu keislaman sesuai dengan pertunjuk-pertunjuk al-Qur’an.
2.Sebagai partisipasi dan sumbangan fikiran dalam upaya mengembangkan penafsiran al-Qur’an, sehingga akan berguna mendekatkan manusia dengan al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam.
Walaupun disadari bahwa kajian ini tentu belum mampu secara tuntas merumuskan al-Da’i yang bersifat kompleks, namun setidaknya diharapkan dapat mengkaji ulang kenapa umat Islam mundur terutama dilihat dari segi aspek moralitasnya dalam masyarakat dan merangsang para pembaca yang berminat pada penelitian kandungan al-Qur'an seperti yang terpakai dalam karya ini.
C. Metodologi
1. Pendekatan
Kajian ini menggunakan pendekatan analisis semantik, karena inti analisa tafsir adalah usaha ke arah penggalian makna-makna yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan bahasa Arab (bahasa al-Qur'an).[21]Untuk itu tafsir merupakan cara kerja kegiatan ilmiah untuk mengeluarkan pengertian-pengertian yang terkandung dalam al-Qur'an.
Karya ini termasuk kajian Qur'ani yang berorientasi kepada disiplin ilmu pengetahuan sosial,[22] maka pisau analisis penulis gunakan pendekatan sosio-historis. Hal ini dimaksudkan sebagai suatu cara pendekatan terhadap ayat-ayat al-Qur'an dan hadis Nabi yang berkaitan dengan obyek kajian dengan memperhatikan konteks waktu, tempat dan budaya mitra bicaranya.
2. Metodologi
Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam karya ini adalah perpustakaan (library research), maka data primer yang dibutuhkan diperoleh dari ayat-ayat al-Qur'an mushaf al-Qur’an al-Karim bi al-Rasm al-Usman yang ada kaitannya dengan dakwah khususnya yang berkenaan dengan al-da’i dengan segala kriteria yang mengintarinya. Sedangkan terjemahan al-Qur’an yang dipergunakan dalam tulisan ini adalah terjemahan Depertemen Agama RI. dan kitab tafsir yang dijadikan rujukan utama ialah : Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manar),[23] Tafsir al-Maraghi,[24] Tafsir al-Munir Fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj,[25]Tafsir al-Kasysyâf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil,[26] Tafsir al-Mizan Fi Tafsir al-Qur’an,[27]Tafsir Jami’al-Bayan ‘an Ta’wil ‘Ayi al-Qur’an,[28] Tafsir Ibn Katsir, [29] Tafsir Jalalain.[30] Kitab lain yang sangat berperan dalam mencari klasifikasi ayat-ayat adalah kitab al-Mu’jam al-Mufaras Lima’ani al-Qur’an al-‘Azhim, Dar al-Fikr, Beirut, 1995, oleh Muhammad Bassam Rusydi al-Zain, kitab al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fazh al-Qur’an, Dar al-Fikr, Beirut, 1983, oleh Muhammad Fuad Abd al-Baqi, kitab Mu’jam Mufradat al-Fazh al-Qur’an, Dar al-Fikr, Beirut, T.Th. oleh al-Raghib al-Isfahani.Ketiga kitab ini sangat memudahkan penulis dalam mengungkapkan ayat-ayat yang berhubungan dengan metode dakwah.
Selain jenis literatur al-Qur'an al-Karim, dilengkapi dengan data sekunder untuk menunjang data primer, yang diperoleh dari leteratur yang ada kaitannya dengan pembahasan, seperti kitab-kitab tafsir, hadis, dakwah dan tulisan ilmiah lain yang terkait dengan pembahasan.
3. Pengolahan dan Analisa Data
Berdasarkan dengan jenis karya ini, maka penemuan makna yang terkandung dalam ayat al-Qur'an yang berkaitan al-da’i, maka temuan penelitian ini bersifat kontruktif. Sebab penelitian ini tidak hanya bermaksud mengekplorasi al-da’i dari ayat al-Qur'an, tetapi juga untuk mempertajam pemahaman tentang al-da’i dalam kajian-kajian ilmiah dan kepustakaan dakwah dewasa ini. Jika dilihat dari sasaran (ayat al-Qur'an), maka dapat dikatakan bahwa karya ini termasuk penelitian sumber.
Justru karya ini berkisar pada ayat-ayat al-Qur'an dan terfokus pada sebuah tema, maka penelitian ini menggunakan pendekatan metode tafsir maudhu'i [31]atau tafsir tematik dengan content anilysis; yaitu usaha mempertemukan ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki tujuan yang sama (ayat tentang al-da’i dengan segala kosekwensinya) dan menyusunnya secara kronologis, kemudian menyimpulkan ke dalam kerangka pembahasan sehingga tampak nilainya dari segala aspek. Dengan demikian, karya ini menggunakan metode pengolahan data yang bersifat kualitatif, dan teknik analisis isi,[32] sangat boleh jadi terjadi elaborasi al-da’i yang belum dikenal sebelumnya, sehingga terjadi campur aduk antara da’i dengan mubaligh, dan umara.. Sedangkan untuk menganalisis data sampai kepada menghasilkan kesimpulan, maka penulis menggunakan analisis makna ayat-ayat al-Qur'an. Kemudian dalam teknik penulisan, menggunakan analisis deduktif; dimana akal berusaha mencoba menetapkan kebenaran suatu pernyataan dengan menunjukkan bahwa pernyataan-pernyataan tersebut telah tercakup dalam pernyataan lain yang telah ditetapkan kebenarannya sebagai suatu kebenaran.[33]Lebih jauh, penulis menggunakan juga analisis induktif; yaitu akal berusaha mencoba menetapkan kebenaran suatu masalah atau perumusan umum mengenai suatu gejala dengan cara mempelajari kasus-kasus atas kejadian-kejadian khusus yang berhubungan dengan bahasan ini.
[2]Muhammad Abû Zahrah, al-Da'wah ila al-Islâm, ttp. Dâr al-Fikr al-'Arabî, tt. h. 33-4 dan 129.
[3]Pendapat ini didasari kepada pemikiran para mufassir dalam memahami kalimat امة ولتكن منكم pada surat Ali Imran: 104 yang menyatakan bahwa kalimat minpada minkum menunjukan makna li al-bayân(penjelasan), bukan bermakna li al-tab’îdh, sedangkan kata ummat diartikan dengan al-jama’ah (seluruh manusia). Sehingga konsekwensi melaksanakan dakwah adalah bagi semua muslim. Lihat Muhammad Abû al-Fatah al-Bayânûnî, al-Madkhal Ilâ ‘Ilm al-Dakwah,Muassasah al-Risâlah, Beirut, 1991, h. 31, lihat Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (disebut Tafsîr al-Manar) Dâr al-Ma’rifat, Beirut, tt. Juz. IV, h.26-7
[4]Pendapat ini juga didasari kepada pemahaman ayat 104 surat Ali Imran bahwa kalimat minkum menunjukan makna li al-tab’id (sebahagian), sedangkan kata ummat berarti thaifah (golongan), sehingga yang berhak melaksanakan dakwah adalah kelompok tertentu.
[5]Amrullah Ahmad, (Ed.), Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Prima Duta, Yogyakarta, 1983, h. 2; lihat M. Syafa'at Habib, Buku Pedoman Dakwah, Widjaya, Jakarta 1982, h. 54; dan lihat Abu Zahrah, op.cit., h. 125. Lihat Muhammad Abû al-Fatah al-Bayânûnî, op.cit. h. 194-240
[6]QS. al-Syu'ara' 214-2216 (26/47). Lihat Amin Sa'd, Nasy'ah al-Daulah al-Islamiyyah, 'Isa al-Babi al-Halabi, Kairo, tt. h. 5-7; lihat Hasan Ibrahim Hasan, Tarîkh al-Islâm al-Siyasî, Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, Kairo, 1948, h. 70; lihat, Sir Thomas W. Arnold, The Preaching of Islam, Terj. Hasan Ibrahim Hasan, dkk., dengan judul al-Da'wah ila al-Islâm, Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, Kairo, 1970, h. 35-36; Abu 'Abd. Allah Muhammad bin Ishaq bin Yasar al-Muththalibi dan Abu Muhammad 'Abd. al-Malik bin Hisyam bin Ayyub al-Humairi, Sirat al-Nabi Saw., telah ditahqiq Dari aslinya oleh Muhammad Muhy al-Din 'Abd. Hamid, Maktabat Muhammad 'Ali Shubaih, Mesir, tt. jilid I, h. 158-164.
[7]QS. al-Hijr(15-54): 94; dan juga Arnold, op.cit., h. 37-38.
[8]Ibid., h. 37-41. Lihat, A. Hasjmy, Dustur Dakwah Menurut Al-Qur’ân, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, h. 352.
[9]QS. al-Hujarat(49/106): 10. Sebagai langkah pertama, Nabi mempersaudarakan kaum Anshar danMuhajirin yang berbeda suku dan adat istiadat, yang menurut ukuran masa itu sangat sulit untuk dipersatukan.
[10]Abi 'Abd. Allâh Muhammad bin Isma'îl bin Ibrahîm Ibn. al-Mughîrah bin Bardizbah al-Bukharî, Shahih al-Bukharî, diterbitkan kembali oleh 'Abd. al-Rahman Afandi Muhammad, al-Mathba'ah al-Bahiyyah, Mesir, 1349 H. juz II, h. 42.
[11]QS. al-Baqarah(02/87): 190; al-Anfal (08/88): 60 dan 65; al-Hajj (22/103): 39-40; dan al-Shaff (61/109): 4. Izin jihad (perang) di jalan Allah resmi diperintahkan Allah kepada Nabi tanggal 12 Safar tahun ke-2 Hijrah. Lihat, Muhammad Ridhâ, Muhammad Rasûl Allâh SAW., Dâr al-Ihya al-Kutub al-'Arabiyyah, 'Isâ al-Babî al-Halabî, Kairo tt. h. 156-157.
[12]Ibrahim Hasan, Tarikh..., op.cit., h. 86
[13]Perang Badar terjadi antara lain untuk menghalangi monopoli dagang kaum Quraisy dan interpensi terhadap perdagangan Islam. Hasan Ibrahim Hasan, Islamic History and Culture, From 632-1968, terjemahan Djahdan Humam dengan judul Sejarah dan Kebudayaan Islam, Kota Kembang, Yogyakarta, 1989, h. 30.
[14]Arnold, op.cit., h. 43; Ibrahim Hasan, Tarikh..., op.cit., h. 90-118; Muhammad Ridha, op.cit., h. 157 dst.; serta Amin Sa'd, op.cit., h. 42 dst.
[15]Ibrahim Hasan, Islamic..., op.cit., 57-8 dan 62-3; dan 'Alî Musthâfâ al-Ghurabî, Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah, Maktabah wa-Mathba'ah Muhammad 'Ali Shubaih wa Auladuh, Mesir, tt., h. 17-19.
[16]Subhi al-Shalih, 'Ulum al-Hadis wa Mushthalahuh, Dâr al-'Ilm li al-Malayin, Beirut, 1977, h. 24-31; Mushthafa al-Siba'î, al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-Tasyri' al-Islamî, al-Dâr al-Qaumiyyah, ttp. 1966, h. 138; dan Muhammad 'Ajjaj al-Khathib, Ushûl al-Hadis 'Ulumuh wa Mushthalahuh, Dâr al-Fikr, Beirut, 1395 H =1975 M, h. 415-16.
[17]Ibrahim Hasan, Islamic.., op.cit., h. 66.
[18]Muhammad Jalal Syaraf dan 'Ali 'Abd. al-Mu'thi Muhammad, al-Fikr al-Siyasî fi al-Islâm, Syakhshiyyâh wa Mazâhib, Dâr al-Jami'ah al-Mishriyyah, Mesir 1978, h. 127-8.
[19]Al-Manar, dikenal sebagai majalah, juga Tafsîr al-Manâr, karya Rasyid Ridha, memuat pemikiran dan ide-ide Muhammad 'Abduh dalam menafsirkan al-Qur’ân. Walaupun pemikiran 'Abduh dalam Tafsîr al-Manâr itu hanya sampai pada ayat 125 QS. al-Nisa’.
[20]Habib, op.cit., h. 17-9.
[22]Ilmu pengetahuan sosial; ilmu pengetahuan yang merupakan fusi atau paduan dari sejumlah mata pelajaran sosial. Sosial, yang berkenaan dengan masyarakat, Depdikbud, "Kamus...", op.cit., h. 325 dan 855. Lebih jauh lihat John B. Williamson, dkk, The Ressearch Craft: an Introduction to Social Science Methods, Little, Brown and Company, Boston, Toronto, 1977, h. 258. Di mana kajian ilmu-ilmu sosial bersinggungan dengan sosiologis, psikologi, ilmu sejarah, antropologi dan ekonomi. Semua disiplin ilmu ini berupaya memahami orang-orang dalam masyarakat, sehingga bentuk metodologinya mempunyai persinggungan antara satu dengan yang lainnya. Kalaupun dalam tulisan ini tidak semua dijadikan sebagai senjata analisisnya.
[23]Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakim (selanjutnya disebut Tafsîr al-Manâr, Dâr al-Manâr, Kairo, 1367 H. Penulisnya lahir tahun 1865 M dan melanjutnya karya gurunya Muhammad Abduh lahir tahun 1849. Di dalam Tafsîr ini sangat jarang memuat kisah israiliyat.
[24]Ahmad Mushthâfâ, Tafsîr al-Marâghî, Dâr al-Fikr, Beirut, 1973. Kitab ini digunakan untuk memahami konteks satu ayat, mengingat ssalah satu keunggulan Tafsîr ini adalah mempunyai uraian terperinci tentang munasabah atau makna konteks, lalu diuraikan makna-makna mufradat yang dianggap kata kunci, selain itu dijelaskan asbab al-nuzul dan berikutnya dibewrikan penjelasan secara menyeluruh. Tafsîr ini telah bersifat kontemporer (abad ke-19).
[25]Wahbah al-Zuhailî, Tafsîr al-Munîr Fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, Dâr al-Fikr, Beirut, 1994. Kitab ini terdiri dari 30 jilid dan mempunyai keistemewaan antara lain menjelaskan makna mubalaghah, mufradat dan munasabah ayat. Selanjutnya ayat demi ayat di Tafsîrkan dan diberi penjelasan dan yang paling menarik adalah mengemukakan kandungan ayat baik dari segi akidah, hukum maupun metode penetapannya. Penulis kitab ini keahlian utamanya adalah dalam bidang fiqh .
[26]Abû al-Qâsim al-Zamakhsyarî, Tafsîr al-Kasysyâf, Syarkah Mathba’ah Mushthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, Mesir, T.Th. Ia lahir pada tanggal 27 Rajab 467 H dan wafat tahun 538 H.
[27]Muhammad Husein al-Thabâthabâî, al-Mîzan fî Tafsîr al-Qur’ân, Dâr al-Fikr, Beirut, T.Tp. Kitab ini ditulis seorang Syi’ah yang moderat, karena karyanya dapat diterima oleh kalangan sunni.
[28]Abû Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl ‘Ayi al-al-Qur’ân, Syarikah Iqamah al-Din, T.Tp.
[29]Abû al-Fidâ Ismail Ibn Katsîr al-Qurasyîal-Damsyiqî, Tafsîr Ibn Katsîr, ‘Alam al-Kutub, Beirut, TT. Keistimewaan Tafsîr ini dilengkapi dengan hadis-hadis yang menjadi abab al-Nuzul, karena ia selain dikenal seorang mufassir juga seorang muhaddisin (wafat tahun 774 H).
[30]Jalaluddin Muhammad Ibn Mahallî dan Jalâluddîn Abd. Rahmân ibn Abî Bakar al-Suyuhî, Tafsîr Jalalen, Syarikah wa Mathba’ah Salim Nabhan wa Auladuh, Surabaya, 1958. Kitab ini lebih banyak melacak makna mufradat. Ia lahir di Mesir tahun 791 H dan wafat tahun 876 H
[31]Tafsîr maudhu'i, usaha menghimpun ayat-ayat al-Qur’ân yang memiliki tujuan yang sama, menyusunnya secara kronologis selama memungkinkan, dengan memperhatikan sebab turunnya dan menjelaskan serta mengaitkannya dengan surah tempat ia berada, kemudian menyimpulkan dan menyusun simpulan-simpulan. 'Abd al-Hayy al-Farmawiy, al-Bidayah fi al-Tafsîr al-Maudhu'i, al-Jumhuriyyat, Mesir, 1397 H / 1997 M), h. 52 dan M. Quraish Shihab, op.cit., h. 114
[32]J.Vredenbregt, Metodologi dan Teknik Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1978), h. 66
[33]Lihat, Depdikbud, Kamus..., op.cit., h. 32.
0 Comment