Dai Kriteria 3
TUGAS DAN PERANAN JURU DAKWAH DALAM MASYARAKAT
Sebagaimana diketahui bahwa melaksanakan dakwah Islam adalah tugas suci atas tiap-tiap muslim di mana berada di dunia ini. Tugas da’i itu bukan hanya sekedar menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat, akan tetapi sekaligus mempunyai keistimewaan yang lengkap baik ilmu maupun kemampuan menghadapi berbagai corak dan ragam pola serta tingkah laku manusia.
Oleh karena itu tugas yang dilakukan oleh da’i banyak sekali, terutama sekali adalah mengikis semua penyakit kronis pada jiwa seseorang, karena bila seseorang telah sehat, maka sehatlah yang lainnya, sebaliknya bila jiwa seseorang masih diserang oleh penyakit kronis, maka akan berpengaruh kepada sikap keberagamaannya dalam masyarakat. Maka tugas suci yang harus diemban dan dibasmi itu adalah sebagai berikut :
A. Tugas dan Peranan Juru Dakwah
Tugas dan peranan juru dakwah sangat banyak, akan tetapi yang sangat penting sekali adalah antara lain :
1. Mentauhidkan Allah
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ(1)اللَّهُ الصَّمَدُ(2)لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ(3)وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ(4)
Artinya : Katakanlah (ya Muhammad) Allah itu Esa, Allah tempat meminta, Tidak beranak dan tidak pula diperanakan, dan tidak satupun yang menyerupainya. (S. Al-Ikhlas : 1-4)
Membicarakanمحمد رسول الله لااله الاالله merupakan masalah besar dan paling penting dalam ajaran Islam. Kalimat ini adalah tujuan dari semua kehidupan, pokok, fundamen, dasar, azaz atau disebut dengan ushuluddin (teologi), tidak dapat diganti dan dirobah dan merupakan semua ajaran yang dibawa oleh semua Rasul dari semua agama samawi.[1]Seperti firman Allah Swt . dalam surat al-Ambiya’ 25, yaitu :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
Artinya : Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku".
Sedangkan pembicaraan lainnya (seperti) masalah ibadah, fiqh adalah sebagai cabang, ranting, alat, atau disebut dengan furu’iyah. Ushuluddin dan furu’iyah akan melahirkan secara otomatis khuluqiyah (nilai), moral, akhlak, atau etika yang berujung kepada masyarakat yang beriman dan taqwa lahir dan batin.
1). Pengertian Tauhid
Tauhid secara bahasa ialah : Mengetahui tentang yang Esa. Secara syari’at ialah : Satu yang disembah, satu tempat mengabdi, satu tempat meminta dan satu tempat menyerahkan diri, yaitu kepada Zat yang Maha Agung, Maha Tunggal berdasarkan dalil-dalil syar’i dan akli. Sedangkan menurut ahli ilmu tauhid ialah : Pengetahuan (ilmu) dan pengakuan/ikrar pembuktian) bahwa Allah Swt Maha Esa dan tidak satupun yang dapat menyerupai dan menyamai sifat-sifat dan perbuatannya. Pengetahuan dalam batasan ini adalah merupakan dua syarat yang tidak dapat dipisahkan dari seseorang yang disebut muwahid (beriman). Mengetahui saja tetapi tidak mengakui/ikrar (membuktikan) atau sebaliknya, mengakui/ikrar tetapi tidak mengetahuinya, maka berarti seseorang belum dikatakan sebagai orang yang mengEsakan Allah dalam pengertian yang sebenarnya. Dalam kajian iman dikenal dengan “ Tashdiq bi al-qalbi, iqrar bi al-lisan af’alil jawarikh”.
Pengetahun yang dimaksud di sini adalah pengetahuan dengan akal budi (ma’rifatul qalbi) atau disebut dengan ilmu yakin, bukan hanya sekedar tahu, akan tetapi pengetahuan yang dipelajari secara sungguh-sungguh dan mengetahuinya adalah fardhu ‘ainsetiap pribadi muslim. Sedangkan yang dimaksudkan dengan pengakuan adalah bukan hanya sekedar didalam hati dan dibaca dengan lisan, akan tetapi jauh lebih dari itu, yaitu : tindakan nyata dari perbuatan dan tergambar dalam kehidupan sehari-hari.
2). Hakikat Tauhid
(1). Memuji Allah yang Maha Agung, Maha Luhur, Maha Mulia, lagi Maha Penyayang. Aktifitas memuji Allah itu mendapat prioritas tertinggi dalam ajaran Islam, seperti terlihat dalam setiap melakukan shalat lima kali sehari semalam, dengan membaca surat al-Fatihah. Selain itu terdapat dalam surat al-’An’am surat 1-3, Kahfi : 1-5, Saba’ : 1-2 dan surat al-Jatsiyah : 36-37.
(2) Syahadat (persaksian), yaitu pembuktian Uluhiyah Allah dan Rububiyahnya dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam firmanNya :
إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَاي وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
(3) Syahadat (persaksian) bahwa Nabi Muhammad Saw adalah hambaNya, sebagai seorang yang mulia di sisi Allah, membawa kita kepada Tauhid dan sebagai panutan, ikutan dalam kehidupan manusia di alam ini.
3). Pembahagian Tauhid
(1) Tauhid Asma’ wa al-shifat, yaitu meng-Esakan Allah dengan penuh keyakinan bahwa asma’Nya adalah Esa. Ke-Esaan Asma’Nya bukan berdiri sendiri-sendiri. Artinya bukan mempunyai keistimewaan, kekuatan dan kelebihan diluar dari ZatNya. Misalnya Allah itu Maha Pemberi rezeki, maka Ia sebagai pemberi rezeki sangat erat hubungannya dengan Asma’nya yang lain. Begitu juga kalau Asma’ tersebut mempunyai kegiatan tersendiri dengan ZatNya, maka akan membawa kepada faham syirik atau kafir, karena terpisah antara Zat dengan asma’nya. Padahal antara keduanya tidak berpisah dan terpecah. Demikian juga halnya dengan Sifat Allah yang banyak itu, bukan berdiri dengan sendirinya, akan tetapi melekat pada Zatnya.
(2) Tauhid Rububiyah, yaitu : Perkataan, perbuatan, dan tingkah laku sehari-hari yang dilakukan oleh seseorang tidak ada yang terlepas dari aturan, ketentuan Allah Swt. Aturan dan ketentuan Allah itu semua tidak ada yang merugikan, bahkan baik dan terbaik untuk manusia secara akli dan syar’i. Maka aturan Allah itu adalah semua yang tertulis dalam al-Qur’an dan hadis. Bagi siapa yang mengikuti aturan tersebut, maka ia akan selamat, sebaliknya bila ia menentang atau tidak melaksanakannya, maka ia akan sengsara dan celaka bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat.
(3) Tauhid Uluhiyah, yaitu : Perkataan, perbuatan dan sikap serta tingkah laku sehari-hari adalah dilaksanakan, dilakukan untuk, atas nama Allah Swt. semata-mata. Artinya semua aspek aktifitas manusia di dunia ini tidak ada untuk yang lain selain kepada Allah. Ajaran ini yang diterapkan oleh Nabi Muhammad Saw. di Mekkah dan Madinah kepada umatnya. Oleh karena itu semua aktifitas manusia yang beriman tidak ada pemisahannya dengan Allah. Itu sebabnya manusia di alam ini sebagai khalifah, yaitu bertugas merealiasikan nilai-nilai rububiyah dan ilahiyyah dalam kehidupan. Dengan demikian Islam tidak mengenal apa yang disebut dengan sekuler seperti di barat. Islam adalah agama dunia dan akhirat, sehingga segala perbuatannya adalah untuk kebaikan nantinya di akhirat kelak.
Menurut Abdul Jabbar Keesaan Allah adalah pengetahuan ( al-’ilm) dan pengakuan (al-iqrar), bahwa Allah tidak satupun yang dapat menyerupai sifat-sifatNya. Al-’Ilm dan al-iqrar, keduanya merupakan syarat yang mesti ada pada diri seseorang yang bertauhid. Jika seseorang mengetahui (al-’ilm) keesaan Allah, tapi tidak al-iqrar, meyakini (al-iqrar) atau sebaliknya al-iqrar saja tanpa al-’ilm, berarti belum mengEsakan Allah dalam arti yang sesungguhnya. Pengetahuan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah pengetahuan akal budi (al-ma’rifat bi al-qalb), sedangkan pengakuan bukan hanya pengakuan lisan, akan tetapi lebih dari itu, yaitu : perbuatan nyata dari perwujudan dan penjelmaan pengetahuan ( al-ma’rifah al-qalb).
Bagi Abdul Jabbar, untuk mengetahui adanya Allah adalah dengan al-nazar (penalaran), dan ini merupakan kewajiban yang pertama dipundakan kepada manusia, karena itu Allah berkhitab kepada yang berakal. Ia mengatakan bahwa pengetahuan adanya Allah merupakan awal untuk mengetahui keabsahan terhadap dalil-dalil lainnya. Sebagai akibat pengetahuan tentang Allah, maka kewajiban berterima kasih terhadap Allah, mengetahui kebaikan dan kejahatan dan kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan perbuatan jahat adalah tuntutan yang harus dilaksanakan setiap orang secara akli (akal). Pengetahuan dan kwajiban itu, hanya dapat diketahui melalui penalaran akal
Semua mutakallimin sependapat tentang kewajiban akal mengetahui ke-Esaan Allah, tetapi perbedaan mereka adalah apakah Allah mempunyai sifat atau tidak. Namun Allah tetap mengetahui, berkuasa, pemurah dan sebagainya, tetapi semua itu bukan sifat Allah, akan tetapi esensi (Zat) Allah. Walaupun Abu Huzel al-‘Alaf, membagi sifat Allah kepada dua bagian yaitu : sifat Zat dan sifat fi’il, tetapi yang dimaksudnya adalah Zatnya, sebagai ungkapannya :
ان الله قادر بقدره وقدرته ذاته
“Sesungguhnya Allah berkuasa dengan kudrat-Nya, kudratnya itu adalah Zatnya”
Abdul Jabbar menambahkan bahwa yang dimaksudkan sifat Zat adalah tidak terpisah dari Zat, sedangkan sifat perbuatan berkaitan dengan perbuatan. Maka ciri khas sifat Zat adalah kesatuan dengan Zat, sehingga tidak diartikan dengan makna makdumat (absen dari sifat) dan tidak juga diartikan dengan muhdasah (baharu). Kemudian kalau sifat perbuatan adalah sesuatu yang ada pada Zat, oleh karena itu sifat adalah baharu, seperti maha adil, berkehndak dan sebagainya. Oleh karena itu ajaran ini jelas-jelas menolak prinsip trinitas dan inkarnasi.
Didalam al-Qur’an Allah Swt. Adalah adil yang tergelar 28 kali dalam bergai surat dan ayat. Adil tersebut ada tertuju kepada manusia dan ada tertuju kepada Allah. Maka kajian adil yang dimaksudkan di sini adalah yang berhubungan dengan ke-Maha-Esaan Allah Swt. Kata al-adl dapat digunakan sebagai sifat dari suatu perbuatan (al-fi’il) dan juga dapat digunakan untuk menunjuk sifat bagi pelaku perbuatan atau (al-fa’il). Adil dalam pengertian sifat sebagai perbuatan Allah adalah pemberian hak-hak seseorang sesuai dengan tindakan yang dilakukannya. Apa bila digunakan untuk sifat bagi pelaku perbuatan, seperti kalimat Allah Maha Adil dan Bijaksana, maka pengertiannya adalah bahwa Allah tidak melakukan keburukan atau kejahatan dan semua perbuatan Allah adalah baik dan terbaik.
Menyangkut keadilan, tampaknya dalam hal ini bahwa Allah Maha Suci dari segala bentuk kejahatan. Segala kejahatan dan keburukan bukan perbuatanNya. Allah menurut akal pasti melakukan yang baik dan terbaik untuk manusia. Hal ini terbukti bahwa Allah menyediakan semua fasilitas untuk keperluam manusia, seperti pengutusan Rasul untuk memperkenalkan Allah, Kitab sebagai pedoman hidup, dan Malaikat sebagai pemelihara dan penjaga. Tidak hanya itu, akan tetapi juga fasilitas alam raya ini dengan segala isinya, adalah untuk manusia.
Allah tidak mungkin memberi beban sesuatu yang tidak mungkin terpikul oleh manusia. Sebagai konsekwensi logisnya bahwa perbuatan itu baik, maka Ia tidak aniaya dalam hukumnya, tidak memberi mu’jizat kepada pendusta. Justru itu perbuatan manusia diserahkan kepada manusia itu sendiri, hingga pada akhirnya manusia bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya. Untuk itu Allah berikan kepada manusia potensi yaitu akal, hati dan nafsu untuk memilih perbuatannya. Dengan sendirinya keadilan tidak lain adalah wujud perbuatan yang dinisbahkan kepada diriNya sendiri, dan tidak sekutu dengan siapa saja dalam perbuatanNya dan mustahil mempunyai sifat zalim. Allah bahkan wajib menurut akal menurunkan rahmat kepada manusia untuk mentaati Allah dan menjauhi perbuatan maksiat seperti mengutus Nabi-Nabi, guna memberi kecerdasan bagi manusia kepada yang baik dan kebahagiaan serta menjauhi perbuatan jahat yang membawa kepada kedurhakaan.
Memperhatikan ayat di atas, menunjukkan bahwa :
1. Allah tidak menzhalimi seseorang, berarti Ia Maha Suci dari berbuat zalim.
2. Ia tidak akan menahan hak-hak seseorang walaupun dalam ukuran yang paling sedikitpun. Oleh karena itu tentunya kezaliman tidak mungkin berasal dari diriNya.
3. Ia menggunakan neraca dengan adil dan perhitungan yang cermat. Andaikan Ia berbuat zalim, maka pernyataan tersebut tidak mungkin di arahkan kepada Allah.
Ayat di atas juga sekaligus menunjukkan bahwa Allah tidak menciptakan kesesatan dan keimanan, karena bila Ia yang menciptakannya, berarti Ia menyuruh seseorang beriman atau kafir, dan tentu perhitungan itu berlaku pada diriNya dan bukan kepada manusia. Pada ayat berikutnya Allah menunjukkan bahwa pada hari akhirat, seseorang tidak akan diminta pertanggungjawaban atas kesalahan atau dosa yang dilakukan oleh orang lain, seseorang akan bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukanNya. Seperti firman Allah dalam surat al-An’am; 164, al-Isra’ 15, Fathir; 18 al-Zumar; 29, al-Najm;38, misalnya, antara lain :
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
Artinya : Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain
Demikianlah hukum Allah dan Ia tidak akan menyalahi akan janjiNya. Ayat di atas memberi isyarat bahwa Allah tidak akan menyiksa manusia. Karena kalau memang demikian tentu berarti Allah menyiksa seseorang atas kehendak Nya untuk berbuat kesalahan. Hal ini mustahil bagi Allah.
Pembahasan keadilan Allah adalah berkaitan hak dan kewajiban, yaitu mempunyai kaitan dengan waad dan waid Allah, sebagai salah satu rukun iman yang keenam yaitu percaya kepada hari akhirat. Oleh karena itu kalangan ilmu tauhid sepakat bahwa :
1.Ancaman siksa dan janji pahala yang ditetapkan Allah dalam al-Qur’an adalah benar, tidak boleh dibohongi dan diengkari serta dikeragui.
2. Orang yang melakukan dosa besar adalah penghuni neraka dan kekal di dalamnya.
3. Mereka di dalam neraka kekal untuk selamanya, begitu juga jika mereka masuk surga.
Dengan demikian tanggungjawab untuk memikul beban (taklif) sepenuhnya berada pada manusia, karena manusia diberi hak paten untuk memilih dan berusaha dalam menentukannya.
- Manusia dan Tauhid
Menurut al-Ghazali manusia terdiri dari empat unsur. Yakni, Ruh, Qalb, Aql dan Nafs. Apa yang dipikirkan, dikerjakan dan dirasakan adalah resultan dari aktivitas ke empat unsur itu. Apabila aktivitas Ruh dominan terhadap yang lainnya, maka konfigurasi antara berbagai akvitas unsur-unsur lainnya akan berubah. Begitu juga sebaliknya apabila ada terdapat aktivitas nafs yang dominan, unsur lain akan terpengaruh karenanya. Referensi menunjukkan bahwa pancaindera dan perlengkapan fisik lainnya merupakan alat dari Ruh. Karena Ruh-lah yang akan mempertanggungjawabkan aktivitasnya di dunia dalam kerangka kekhalifanan manusia yang terbimbing oleh nilai Tauhid. Coba kita cermati penggal ayat Al Quran Surat Al Araaf: 172, أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا? Ketika Ruh menjawab bala syahidna berarti Ruh telah berikrar tentang Keesaan Allah, sebelum Ruh ditiupkan ke jabang bayi yang kemudian lahir manusia yang telah berikrar itu. Ini berarti bahwa Ruh adalah panglima bagi setiap diri manusia, sedangkan unsur lainnya segugus operator yang melaksanakan kerja Ruh. Oleh karena itu, pendekatan Tasawwuf memberikan jalan kepada para pelakunya untuk menjadikan Ruh tetap sebagai panglima atas kelengkapan hidup fisik setiap diri manusia. Dzikir, dengan demikian, adalah memasukkan input ketauhidan ke dalam setiap diri manusia melalui kerja Ruh itu. Instrumen dzikir, bisa 99 asma Allah, ialah energi yang tersalur melalui laku dzikir itu, apabila dzikir dita’rifkan (diartikan) sebagai getar menggetar antara Ruh dalam diri manusia dan Dzat Allah. Output, outcome dan impact dari kerja dzikir dapat berupa energi dzikir yang mampu meredam amarah, mengobati sakit ruhani (disebut sakit jiwa) dan banyak kegunaan lainnya. Teknik pengobatan sebagai kaifiat dan penyembuhannya dari Allah, karena DIA lah Yang Maha Penyembuh.
Ruh
Sufi al-Junayd (lihat Hamdani Anwar, Sufi Al-Junayd, 1995) mengatakan bahwa ruh adalah sesuatu yang hanya diketahui Allah. Tak satupun dari berbagai makhluk-Nya dapat mengetahuinya. Bahkan tak seorangpun dapat menggambarkan ruh lebih jauh, kecuali bahwa ruh itu ada. Sebagaimana firman Allah : Katakanlah bahwa ruh itu masalah Allah وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا (Q.S. al-Israa (17):85).
Sifat-sifat ruh menurut al Junayd.
Pertama, ruh itu ada. Atau diciptakan sejak azali, yang didasarkan pada kenyataan bahwa perjanjian (mitshaq) antara Allah dengan ruh terjadi pada masa azali.
Kedua, ruh itu tidak termasuk benda yang berhubungan dengan ruang dan waktu. Lantaran penciptaannya terjadi pada masa azali, yakni suatu masa di mana tidak dikenal istilah kapan, di mana dan bagaimana, jika dihubungkan dengan akal manusia. Oleh sebab itu, ruh memiliki wujud spiritual yang murni. Dan tidak mungkin memiliki sifat seperti benda duniawi, yang mengenal ruang dan waktu.
Ketiga, wujud ruh bersifat rabbani. Artinya, keberadaan ruh erat hubungannya dengan Allah. Sebagaimana telah dikatakan, bahwa keberadaan ruh yang pertama adalah di sisi Allah, dan selalu bersama-Nya. Allah yang menciptakan ruh, selalu mendampingi dan atau ruh selalu berada di sisi-Nya. Selanjutnya, Allah melimpahkan ruh dengan rahmat-Nya--pada masa awal penciptaan--ketika ruh belum terpisah dari kekekalan-Nya. Keadaan seperti ini dinamakan keberadaan rabbani, yang hanya berkaitan dengan Allah.
Keempat, sifat ruh dan atau keberadaan ruh pada masa pertama, jauh lebih baik ketimbang kondisinya pada masa kedua--setelah masuk ke dalam tubuh manusia--di dunia fana. Lantaran pada saat itu, antara lain ruh tidak lagi memiliki sifat rabbani.
Berangkat dari keyakinan bahwa, sebelum ruh masuk ke dalam tubuh manusia, ruh berada bersama Allah, bersatu dengan Allah, dalam artian tinggal bersama-Nya, dan bukan bersatu dengan Allah secara total, maka dalam kondisi seperti itu, seluruh Rahmat dan Nikmat yang dilimpahkan Allah SWT, dapat dirasakan secara maksimal oleh ruh. Oleh sebab itu--para Sufi yakin dan percaya bahwa--apabila ruh manusia dapat dikembalikan pada posisi tauhid, seperti sebelum masuk ke dalam tubuh manusia, maka segala jenis dan bentuk kenikmatan dapat dicapai oleh manusia tersebut. Sehingga para sufi, menjadikan tauhid sebagai tujuan utama dalam tasauf.
Ruh merindukan Allahnya.
Naluri dalam kehidupan dunia: Ruh akan merindukan Allahnya. Ruh dengan demikian akan berusaha keras, dalam keseharian amalannya, dengan menggunakan perangkat fisik yang ada, ia akan selalu berusaha mendekatkan diri kepada-Nya. Ruh ingin agar ia dapat merasakan kehadiran-Nya dalam keseharian kerjanya. Kita bisa menghayatinya melalui Al Quran,وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ Surat al-Hadiid:4.
Artinya : Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Dengan demikian tugas juru dakwah adalah membawa orang lain kepada agama tauhid yaitu suatu pernyataan bahwa tidak ada illah selain Allah. Sehingga pernyataan ini, jika digabungkan dengan pernyataan tentang kenabian Muhammad SAW, akan merupakan suatu kesaksian (shahadah) yang menjadi dasar keyakinan ummat Islam. Inilah tauhid yang dibawa Al Quran, yakni ajaran tentang pengakuan terhadap Keesaan Allah secara murni dan konsekuen. Oleh sebab itu Islam tidak dapat menerima konsep trinitas yang terdapat pada teologi Kristen. Ketegasan ini kita saksikan dalam Al Quran, S. An Nisaa (4): 171, فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلَا تَقُولُوا ثَلَاثَةٌ انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ “ Maka percayalah kamu sekalian pada Allah dan rasul-rasul-Nya. Janganlah kamu katakan bahwa Allah itu tiga. Berhentilah kamu (dari hal yang demikian), itu lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah itu Allah Yang Esa. Maha Suci Dia”.
Umar Al-Arbawi mendefinisikan tauhid sebagai mengesakan Pencipta (Allah), dengan berbagai ibadah, baik dalam dzat, sifat maupun perbuatan. Sedangkan Abu Al Hasan Ahmad ibn Muhammad Al-Nuri, sahabat dan pengikut Al Junayd mendefinisikan tauhid sebagai Tauhid atau persatuan dengan Allah adalah pemisahannya dari segala sesuatu yang lain, kecuali persatuan dengan Allah. Dari definisi ini dapat dipahami bahwa seseorang yang ruhnya bersatu dalam Allah, akan terlebih dahulu terpisah atau terputus hubungannya dengan segala sesuatu yang lain, demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu, persatuan dari ruh dengan Allah merupakan pemisahan dan penghapusan pemikiran tentang segala sesuatu yang bersifat kemakhlukan.
Menurut Al Junayd, tauhid pada manusia itu ada empat golongan. Golongan pertama adalah tauhid orang-orang biasa, satu golongan darinya adalah tauhid dari para ahli hakikat dengan (yang memiliki) ilmu lahir, dan dua golongan darinya adalah tauhid orang-orang pilihan dari para ahli Marifah.
Ciri-ciri tauhid orang awam: (a) pengakuan keesaan Allah, dengan meniadakan sekutu, semua yang berlawanan, semua yang menyamai dan semua yang menyerupai-Nya, (b) mengakui adanya perasaan senang atau takut pada segala sesuatu selain Dia. Sementara tauhid semacam ini, hanya memiliki hakikat kenyataan dalam pelaksanaannya, selama pengakuan pada keesaan Allah tersebut masih dipegang teguh.
Tauhid tingkat kedua, yakni tauhid yang diyakini oleh mereka yang memiliki ilmu lahir atau para Mutakallimun. Al Junayd menjelaskannya Tauhid hakikat ilmu lahir, adalah pengakuan pada keesaan Allah, dengan meniadakan sekutu, yang berlawanan, yang menyamai dan yang menyerupai Allah, yang disertai dengan mengerjakan semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya secara lahir. Di mana semuanya itu merupakan hasil dari perasaan senang, takut, pengharapan dan ketamakan (keinginan). Sehingga ketetapan hakikat kebenaran dari semua perbuatannya, merupakan hasil dari pengakuan imannya.
Tauhid golongan ketiga adalah pengakuan terhadap keesaan Allah, dengan peniadaan semua sekutu yang telah disebutkan terdahulu, dibarengi dengan pelaksanaan semua perintah-Nya, baik secara lahir maupun batin, dengan menghilangkan semua pengharapan dan rasa takut selain kepada Allah. Dimana semua itu dapat terwujud, lantaran keberadaan Allah dengannya, panggilan terhadapnya, dan jawabannya pada Allah. Tauhid jenis ini lebih tinggi ketimbang jenis pertama dan kedua. Pada tingkatan ini kayakinan Muwahhid sudah tidak lagi didasari oleh rasa takut pada api neraka dan harapan akan masuk sorga.
Tauhid golongan keempat adalah apabila Muwahhid sudah berada di sisi Allah, dengan tidak lagi ada sesuatu atau pihak ketiga antara Allah dan dirinya. Dimana pada waktu itu berlaku atasnya segala titah Allah, sebagaimana ada pada aturan-aturan kekuasaan-Nya. Pada waktu itu ia berada di samudera tauhid-Nya, dengan cara fana (hilang kesadaran) akan dirinya, terhadap panggilan Allah, dan jawabannya kepada-Nya. Ini merupakan tingkat dimana Muwahhid telah mencapai hakikat yang benar tentang keesaan Allah dalam kedekatannya kepada-Nya. Dimana semua perasaan dan perbuatannya hilang, lantaran Allah melakukan pada dirinya apa yang Dia kehendaki darinyaِ.
Inilah tingkat tauhid tertinggi. Dimana pada tingkat ini, seorang Muwahhid sudah benar-benar pasrah dan tawakal pada Allah. Dia tidak lagi memiliki kehendaknya sendiri, karena dia sudah benar-benar berada dalam kehendak Allah. Atau kehendak pribadinya sudah bersatu dalam kehendak Allah. Segala yang diperbuat dan diucapkannya merupakan manifestasi dari kehendak Allah.
Kalimat Thaiyibah
Ilmu yang pertama kali diturunkan Allah kepada para anbiya’ seluruhnya ialah TAUHID (mengimankan Allah satu). Tiada sumber bagi kehidupan, kecintaan, dan kebaikan melainkan Allah. Maka ketahuilah olehmu, bahwa tiada Allah selain Allah, mohonlah ampun bagi dosamuِ (Surat Muhammad (47):19), yaitu :
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ Kemahadirajaan kekuasaan ada pada Allah sesuai dengan firman-Nya “Tiada illah melainkan Allahِ (Surat Thaha (20): 14). Ayat yang turun berangsur-angsur dimaksudkan untuk meyakinkan para nabi untuk tidak ragu dan bimbang dalam menyampaikan tugas kerasulannya. Dan ini dijamin oleh hadits-Nya yang qudsi:ِ(kalimat) Tiada illah melainkan Allah, adalah benteng-Ku. Siapa yang mengucapkannya berarti telah memasuki benteng-Ku, dan siapa yang memasuki benteng-Ku niscaya aman dari adzab siksa-Kuِ. Kini pertanyaannya adalah siapa yang merasakan tauhid itu ? Tentu ruh itu sendiri. Ruh dengan jasmaninya dalam pandangan sufi diibaratkan sebagai Allah dengan ciptaan-Nya, Allah yang menguasai, yang menentukan ciptaan-Nya sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Atau hubungan Allah dengan makhluknya ibarat bunyi ketokan dengan dengan ketokan. Jadi, maksud dari ungkapan bahwa manusia itu wakil Allah di bumi, berarti bahwa manusialah yang melaksanakan hukum-hukum Allah di bumi yang manfaatnya bagi kebaikan manusia itu sendiri. Kalau demikian maka Ruh-lah yang memerintah jasmani dan bukan sebaliknya. Apabila dikaitkan dengan penjelasan sebelumnya, maka konfigurasi sebagai akibat gerak aktif dari ke empat unsur dalam diri manusia, akan berubah sesuai dengan aktivitas jasmani yang dikendalikan oleh Ruh. Jadi konfigurasi itu bersifat dinamik. Yang membedakan kualitas tenaga dalam ialah sejauh mana Ruh melaksanakan hukum-hukum Allah dalam memerintah jasmani. Melalui gerak dinamik, nafas dan zikir yang teratur menurut ritme tipikal setiap manusia, dan beragam dari manusia yang satu dengan yang lainnya. Konsekuensinya Ruh yang jahat menghasilkan kerja jahat. Ruh yang baik secara sami’na wa’atha’naِmelaksanakan hukum-hukum Allah, sedangkan Ruh yang jahat menjauhi/menentang hukum-hukum-Nya. Oleh karena itu dikatakan bahwa yang menang adalah orang yang masuk ke dalam benteng-Nya. Dalam mengenali ini tentu saja panca indera sudah tidak berguna lagi, demikian pula cara berpikir berdasarkan akal semata (mantik). Mau tidak mau kita harus meninggalkan kendaraan yang lemah itu (yang bernama akal, mantik dan indera yang lima itu) baik mengenai cara-cara maupun pengalaman-pengalamannya, kepada pengembaraan yang baru yang disebut pengenalan ma’rifat.
Ma’rifat memisahkan diri dari ilmu, karena pembahasan ilmu berkisar pada alam semesta, sedangkan ma’rifat membahas PENCIPTA alam semesta. Ilmu membahas tentang segala sesuatu yang berbilang, sedangkan ma’rifat membahas tentang yang SATU, yang TUNGGAL. Ilmu membahas tentang benda, sedangkan ma’rifat membahas tentang yang ghaib. Oleh karena itulah ilmu yang bersifat sementara, yang digariskan, yang menggunakan alat, yang memakai teropong, yang dilayani panca indera, dan yang membuahkan berbagai pendapat yang bersifat akliah harus dihentikan. Dan kita hendaklah beralih ke ma’rifat, ke hati, ke mata hati, kependapat sufiyah. Akal, mantik dan ilmu itu kedudukannya sebagai pelayan-pelayan nafsu dan kendaraannya untuk dapat merajalela terhadap alam kebendaan, menguasai serta memiliki, khususnya untuk pemuas hawa nafsu mengarungi kelezatan-kelezatan. Tiada jalan keluar dari tawanan panca indera dan dari merajalelanya alam kebendaan, melainkan dengan cara menelanjangi diri dari hawa nafsu, yaitu dengan mengalahkan, menekan, menundukkan, membelenggu dan mendiamkan serta tidak melayani keinginan-keinginannya.
2. Menghilangkan Dhalalah
Kata dhalalah berasal dari kata dhalla, yadhillu, yang menurut bahasa berarti kehilangan jalan, binggung, tidak mengetahui arah. Makna tersebut berkembang menjadi binasa, terkubur dan diartikan dengan sesat dari jalan kebaikan, atau lawan dari petunjuk.
Didalam al-Qur’an kata ini berjumlah sebanyak 190 kali dalam berbagai surat dan ayat. Bila disimpulkan mempunyai arti “ Setiap tindakan atau ucapan yang tidak menyintuh kebenaran.
Paling sedikit ada tiga ayat yang memuat kata-kata tersebut yang secara jelas mengambarkan ciri-ciri mereka yang tergolong sesat dalam agama, yaitu
1. Surat Ali Imran ayat 90, yaitu :
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْرًا لَنْ تُقْبَلَ تَوْبَتُهُمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الضَّالُّونَ
Artinya : Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima taubatnya; dan mereka itulah orang-orang yang sesat.
2. Surat al-An’am ayat; 77, yaitu :
فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ
Artinya : Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat".
3. Surat al-Hijir ayat; 56, yaitu :
قَالَ وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ
Artinya : Ibrahim berkata: "Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat".
Kriteria manusia sesat itu secara garis besar adalah:
Pertama : Orang yang tidak menemukan atau mengenal petunjuk Tuhan dan atau agama yang benar, dengan kata lain mereka tidak mengenal agama dengan baik. Atau pengetahuannnya terbatas, sehingga tidak mampu mengantarkannya kepada kebaikan. Biasanya orang yang seperti ini jauh dari agama, pasti sesat..
Kedua; Orang yang pernah memiliki sedikit ilmu pengetahuan agama, ada pula keimanan dalam hatinya, namun pengetahuan tersebut tidak dikembangkan, tidak pula diasah dan diasuh, sehingga pudar seluruhnya. Ia mengukur segala sesuatu dengan hawa nafsunya, dengan harta dan dengan pangkat. Mereka berada dipuncak kesestan dan termasuk dalam hal ini orang yang hanya mengandalkan akalnya semata. Hal ini diungkap oleh Allah dalam firman-Nya surat al-Qashash; 50, yaitu :
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Artinya : Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Ketiga; Orang yang berputus asa dari Rahmat Allah Swt. Misalnya putus asa dari kesembuhan penyakit, pengampunan dosa, putus asa mencapai kesuksesan, sehingga akhirnya ia berprasangka buruk kepada Allah Swt.
Penyebab sesat antara lain al-Qur’an menjelaskan, yaitu;
Karena tidak berilmu terdapat pada surat al-An’am ayat 119, 144, yaitu;
1 فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Artinya : Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?" Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (144)
2 وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ
Artinya : Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.(119)
Peliharalah diri dari orang yang sesat. Al-Qur’an mengingatkan surat Al-Maidah ayat 105, yaitu :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Sikap orang sesat terhadap orang yang beriman surat Muhammad ayat; 4, yaitu :
الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ أَضَلَّ أَعْمَالَهُمْ
Artinya : Orang-orang yang kafir dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, Allah menghapus perbuatan-perbuatan mereka.
Balasan yang diterima oleh orang yang sesat, terdapat pada surat al-Isra’ ayat 97, yaitu :
وَمَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِهِ وَنَحْشُرُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى وُجُوهِهِمْ عُمْيًا وَبُكْمًا وَصُمًّا مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ كُلَّمَا خَبَتْ زِدْنَاهُمْ سَعِيرًا
Artinya : Dan barangsiapa yang ditunjuki Allah, dialah yang mendapat petunjuk dan barangsiapa yang Dia sesatkan maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Dia. Dan Kami akan mengumpulkan mereka pada hari kiamat (diseret) atas muka mereka dalam keadaan buta, bisu dan pekak. Tempat kediaman mereka adalah neraka Jahannam. Tiap-tiap kali nyala api Jahannam itu akan padam Kami tambah lagi bagi mereka nyalanya.
Surat al-Waqi’ah ayat 92, yaitu :
وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُكَذِّبِينَ الضَّالِّينَ(92)فَنُزُلٌ مِنْ حَمِيمٍ(93)وَتَصْلِيَةُ جَحِيمٍ
Artinya : Dan adapun jika dia termasuk golongan orang yang mendustakan lagi sesat, maka dia mendapat hidangan air yang mendidih, dan dibakar di dalam neraka.
Didalam shalat sekurang-kurangnya tujuh belas kali sehari semalam kita meminta kepada Allah Swt. agar terhidar dari penyakit dhalalini dengan ungkapan yang berbunyi :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ(6)صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ(7)
Artinya : Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni`mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
3. Menebarkan amar ma’ruf dan membasmi kemungkaran
Hakikat dakwah yang dianjurkan oleh Allah kepada Nabi dan kaumnya adalah agar terus menerus untuk menyeru kepada perbuatan yang ma’ruf dan mencegah perbuatan yang mungkar. Kedua istilah ini bersifat umum dan konprehensif. Islam bukan saja berdasarkan wahyu, tetapi terlibat tradisi dan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat, selama nilai-nilai kebiasaan itu sesuai dengan al-Qur’an. Oleh karena itu ajaran-ajaran Islam tidak hanya dari Tuhan, tetapi juga muncul atas interprestasi dan innovasi akal manusia.
Ajaran Islam yang berdasarkan interprestasi dan innovasi akal manusia, berjalan atas situasi dan kondisi dalam masyarakat. Demikian juga persoalan mengenai al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy an al-munkar, baik melalui pendekatan teologi maupun al-siyasi dalam perkembangan pemikiran keislaman.
Dalam Syarh al-Ushul al-Khamsah, Qadhi Abdul Jabbar mengemukakan bahwa ma’ruf ialah; semua perbuatan yang pelakunya mengetahui akan kebaikannya atau sesuatu yang menunjukan kebaikan, sedangkan mungkar ialah semua perbuatan yang pelakunya mengetahui akan keburukkannya atau sesuatu yang menunjukkan kepada keburukan.Perbuatan baik (al-hasan) adalah perbuatan yang pelakunya berhak mendapat pujian (yastahiqq al-madh). Sebaliknya perbuatan jahat (al-qabih) pelakunya berhak mendapat celaan (yastahiqq al-zamm).[2]
Melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar adalah suatu kewajiban bukan oleh golongan tertentu saja, tetapi juga oleh semua golongan umat Islam lainnya. Maka siapapun manusia yang tidak melakukannya hendaklah diluruskan jalan hidupnya dengan melakukan jihad terhadap dirinya yang sifatnya sama dengan melakukan jihad terhadap orang kafir atau fasik.[3]Kewajiban al-amr bi al-ma’ruf wa al-hany an al-munkar adalah bagi setiap mukmin sesuai dengan kemampuan mereka, apakah dengan mengangkat senjata atau cara lainnya, ajaran ini berlaku baik terhadap orang-orang kafir maupun golongan Islam yang tidak mengikutinya.[4]
Di dalam Syarh al-Ushul al-khamsah, Qadhi Abdul Jabbar mengemukakan argumen al-sam’i(al-Qur’an dan al-Hadits) yang menuturkan kewajiban al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy an al-munkar, [5]dan diantaranya firmanNya surat Ali Imran 110, artinya :
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ (ال عمران : 110 )
Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Al-Imran : 110).
Pada ayat ini sebenarnya tidak ditemui bentuk perintah (al-amr) yang mewajibkan pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar. Akan tetapi melihat dari sudut pujian Tuhan terhadap umat beriman sebagai umat terbaik. Kalaulah amar ma’ruf nahi mungkar bukan suatu kebaikan yang wajib dilaksanakan (al-hasanat al-wajibat), tentulah Tuhan tidak akan memberikan pujian tersebut.[6]Al-Zamakhsyariy seorang ulama pengarang Tafsir dari kalangan Islam rasional lebih jauh lagi dalam memahami ayat di atas, dan menambahkan hadis untuk menguatkan dasar dan prinsip kewajiban di sini adalah fardhu kifayah, karena tidak pantaslah seseorang melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar tanpa mengetahui prinsip ma’ruf dan mungkar tersebut.[7]Kewajiban di sini bukanlah berlandaskan dan berdasarkan perintah, akan tetapi berdasarkan informasi. Demikian juga firman Allah yang mengungkapkan tentang perintah Luqman kepada anaknya :
يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ ( لقمان : 17 )
Artinya : Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (Luqman: 17).
Perintah melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar pada ayat di atas secara langsung ditujukan kepada pribadi putera Luqman. Ayat ini bermaksud bahwa amar ma’ruf nahi mungkar dapat ditangani secara pribadi, akan tetapi pelaksanaan ini bukan berarti bahwa seluruh kegiatan amar ma’ruf nahi mungkar dapat diselesaikan oleh setiap orang tanpa kecuali, namun bukan berarti pula bahwa semua masalah-masalah dapat diselesaikan oleh orang-orang tertentu secara khusus. Argumen ini menunjukkan bahwa dalam hal-hal tertentu, maka untuk menyelesaikannya adalah orang-orang tertentu pula. Ini berarti bahwa kemungkaran ditengah-tengah umat tetap diberantas untuk keselamatan manusia semua. Hal ini sesuai dengan sabda Muhammad SAW, :
Artinya:Perumpamaan orang yang menetapi ketentuan Allah dengan orang yang melanggarnya adalah seperti suatu kaum yang berada di atas perahu, sebahagian mereka ada dibagian atas dan sebahagian lagi ada dibahagian bawah, orang-orang yang berada di bagian bawah, apabila mengambil air melewati orang-orang yang berada di atas, lalu mereka berkata; bagaimana seandainya kita membuat suatu lubang ditempat kita ini dan kita tidak perlu izin kepada orang yang berada di atas kita, maka seandainya orang yang berada dibagian atas membiarkannnya, semuanya akan binasa, dan apabila mencegahnya mereka akan selamat semuanya. (H.R. Bukhari).8
Kenyataan hadits ini relevan sekali, bahwa umat ini tak obahnya seperti penumpang perahu, jika orang yang bagian atas membiarkan orang yang bagian bawah membuat suatu lubang ditempatnya, dengan dalil adalah kebebasan pribadi bagi mereka, maka hasilnya akan mengakibatkan tenggelamnya kapal dan binasanya mereka semua. Dan seandainya orang yang dibagian atas mencegahnya dengan mengatakan kebebasan pribadi jangan sampai membahayakan semua orang, maka hasilnya adalah semuanya akan selamat. Demikianlah kondisi suatu umat, mana kala perahu kemungkaran itu berada dalam suatu umat, maka secara keseluruhan umat tersebut akan menerima sengsaranya.
Abdul Jabbar dalam menjelaskan maksud surat Ali Imran ayat 104, adalah bahwa Allah SWT mewajibkan kepada sekelompok orang yang mendapat petunjuk serta mengajak manusia kepada kebaikan dan menjauhkan kemunkaran. Tampaknya para ahli kalam sepakat tentang kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar, hanya saja terdapat perbedaan pandangan mengenai tatacara pelaksanaannya. Di antara mutakallimin ada yang memandang kewajiban itu hanya dilaksanakan dengan hati atau dengan lisan, dan ada yang berpandangan bahwa menggunakan tindakan kekerasanpun adalah wajib jika diperlukan. Pandangan yang pertama dianut oleh sebagian ahl al-sunnah seperti al-Ghazali[8]misalnya, bahwa bagi masyarakat muslim yang berada dalam wilayah penguasa yang zalim untuk tetap bersikap patuh kepadanya, manakala tidak mempunyai kemampuan untuk merobahnya.[9]
Menurut pandangan Islam rasional, pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar dapat diaplikasikan dengan berbagai cara.[10]Jika berhasil dengan cara yang lebih mudah, maka tidak boleh menggunakan cara yang lebih sulit. Hal ini sesuai dengan pertimbangan akal dan diisyaratkan oleh Allah SWT dalam firmanNya ;
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ( الحجرات : 9 )
Artinya :Jika terdapat dua pihak yang berperang di kalangan umat beriman, maka damaikanlah antara keduanya, kemudian, jika salah satu pihak berbuat aniaya terhadap pihak lain, maka perangilah pihak yang berbuat aniaya tersebut, sehingga ia kembali kepada aturan Allah”. (al-Hujurat : 9).
Dalam menafsirkan ayat ini Abdul Jabbar mengkaitkannya dengan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Menurutnya, dalam ayat ini dijelaskan dua cara penyelesaian sengketa; pertama dengan cara damai (al-islah), kemudian jika tidak efektif barulah digunakan cara kedua, yaitu dengan menggunakan tindakan kekerasan.[11]Keadaan ini berarti pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar harus dijalankan secara bertahap sesuai kebutuhan dan target yang akan dicapai.
Sehubungan dengan uraian di atas, tentang kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar bersifat individu atau kolektif, dalam hal ini Abdul Jabbar melaksanakannya sebagai kewajiban kolektif,[12]tetapi ini bukan berarti tanggung jawab individu dikesampingkan, karena sesuai dengan keyakinan mereka, bahwa setiap individu bertanggung jawab untuk terlaksananya kewajiban kolektif. Artinya setiap individu bertanggung jawab melalukan dan melaksanakannya, hanya saja pelaksanaannya melalui wadah kolektif, tidak bertindak dengan sendiri-sendiri. Dalam hal penerapan amar ma’ruf nahi mungkar, Qadhi Abdul Jabbar membagi kepada dua kategori dengan ungkapannya;
واعلم ان الامر بالمعروف والنهيى عن المنكر على ضربين : احدهما مالا يقوم به الاالائمة والثانى مايقوم به كاقة الناس
Menyangkut hal yang hanya ditangani oleh para imam adalah seperti pelaksanaan sanksi hukum, kebijaksanaan untuk menjaga kesucian Islam, pengaturan dan pengerahan kekuatan meliter dan sebagainya, sedangkan hal-hal yang di pertanggungjawabkan oleh semua orang secara perorangan atau secara kolektif, adalah seperti pencegahan minuman keras, pencurian, perkosaan dan sebagainya.[13]
Setelah memperhatikan uraian di atas, tampaknya amar ma’ruf nahi mungkar berperan sebagai sosial kontrol dalam masyarakat. Bila sosial kontrol ini tidak dijadikan sebagai suatu ajaran, maka akan membawa hancurnya masyarakat, hilangnya ikatan moral dan merajalelanya kemaksiatan. Dalam hubungan ini Mu’tazilah menjadikannya sebagai suatu doktrin, walaupun pada prinsipnya amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah wajib, namun kewajiban itu muncul apabila seseorang telah memenuhi persyaratan sebagai berikut: [14]
1. Mengetahui secara pasti bahwa apa yang akan disuruhnya baik dan yang akan dilarangnya itu mungkar, karena bila tidak diketahui, sangat boleh jadi seseorang akan menyuruh yang mungkar dan melarang yang ma’ruf.
2. Mengetahui atau berat dugaan akan terjadinya kemungkaran, seperti telah tersedianya minum-minuman yang akan memabukkan alat-alat musik dengan nyanyian yang diyakini akan membawa kemungkaran menurut ilmu pengetahuan.
3. Mengetahui atau berat dugaan bahwa tindakan tersebut tidak akan mengakibatkan bahaya yang lebih besar, seperti resiko terbunuh, perampasan harta, pencemaran nama baik atau terbakar suatu tempat pemukiman dan yang berhubungan.
4. Mengetahui atau berat dugaan bahwa upaya yang dila-kukan itu akan ada pengaruhnya.
5. Mengetahui atau berat dugaan bahwa tindakan itu tidak akan membahayakan diri dan hartanya.
Kelima persyaratan di atas harus dipenuhi secara lengkap oleh pelaksana atau penegak kebenaran, jika tidak, maka gugurlah kewajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar bagi seseorang. Jadi setelah diperhatikan, nampaknya perlu sekali perhitungan dan pertimbangan yang cermat. Dengan kata lain, diperlukan manajemen yang matang, sehingga tidak terjadi kekeliruan, usaha-usaha yang sia-sia ataupun dampak negatif yang lebih berbahaya. Di sinilah arti penting dari sifat kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar sebagai kewajiban kolektif. Bisa saja persyaratan ini hanya berada pada sebagian orang tertentu, tapi belum tentu ada pada sebahagian yang lainnya, atau sangat boleh jadi persyaratan tersebut hanya sebahagian saja dimiliki oleh seseorang, dan sebahagiannya dimiliki oleh kelompok lain, maka manakala dipersatukan masing-masing individu tersebut secara otomatis tampaknya dapat terlaksananya amar ma’ruf nahi mungkar.
Menurut A. Hanafi, prinsip amar ma’ruf nahi mungkar ini sangat erat hubungan dengan taklif.[15]Pendapat ini ada benarnya. Menurut Abdul Jabbar taklif ialah : “informasi yang disampaikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang bermanfaat atau yang berbahaya serta adanya kesu-karan yang menyertainya dengan ketentuan keadaannya tidak sampai dalam bentuk paksaan”. 16
Definisi di atas terdapat unsur penting antara lain: Pertama, al-I’llmatau informasi, ini diperoleh melalui anugerah Tuhan yang disebut dengan al-I’llm al-daruri, yang datang dengan sendirinya tanpa diusahakan, seperti dasar-dasar kebaikan, keburukan dan kewajiban-kewajiban. Berdasarkan hal ini semua manusia yang sudah baligh, disebut mukallaf. Kedua; tindakan yang bertanggung jawab. Menurut Qadhi Abdul Jabbar perintah untuk melakukan sesuatu terbagi kepada dua kategori, yaitu:
a).Diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan disiksa bagi yang mengabaikannya. b). Diberi pahala bagi yang mengerjakannya, tetapi tidak disiksa bagi yang meninggalkannya. Kategori pertama disebut wajib dan kedua disebut sunat. Larangan juga terbagi kepada dua ; a). Diberi pahala bagi yang tidak mengerjakannya dan disiksa bagi yang melakukannya. Larangan dalam kategori pertama disebut haram dan yang kedua makruh.[16]Ketiga; adanya unsur kesukaran. Hikmah adanya kesukaran adalah mengantar manusia pada tempat nikmat yang paling tinggi, tanpa taklif manusia tidak akan dapat mencapai strata manfaat yang paling tinggi.
Bagi Abdul Jabbar musyaqqah atau kesukaran sudah merupakan ciri khas taklif yang membedakannya dengan perintah (al-amr). Suatu perintah ada yang mengandung kesukaran dan ada juga yang tidak, sedangkan taklif selamanya mengandung kesukaran. Dengan demikian, taklif lebih khusus dari perintah.[17]Di sini jelas bahwa bagi Abdul Jabbar, mubah tidak dimasukan dalam ruang lingkup taklif. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa bila dikatakan amar ma’ruf dan nahi mungkar itu suatu perintah, maka perintah itu bisa dalam bentuk mubah yang dipahami oleh kelompok al-Asya’riy.[18]Artinya bisa saja dilaksanakan dan bisa juga untuk tidak dilaksanakan. Bagi Qadhi Abdul Jabbar nampaknya tidak mesti dengan perintah atau larangan, tetapi juga bisa melalui informasi atau pemberitaan. Demikian juga halnya pelaksanaan amar ma’ruf dan nahi mungkar, bahwa kewajiban yang dilakukan bukanlah berdasarkan perintah, akan tetapi berdasarkan taklif.
Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan amar ma’ruf dan nahi mungkar, menurut Qadhi Abdul Jabbar dibagi kepada dua bagian yaitu; wajib dan tidak wajib (sunat). Berhubungan dengan perintah yang wajib, maka secara logika pelaksanaannya adalah wajib, sedangkan perbuatan sunat, maka pelaksanaannya adalah sunat pula, dan ini adalah pelaksanaan yang ideal.[19]Lain halnya dengan kemungkaran besar ataupun kecil, karena nilai kejelekan sekecil apapun tetap berlaku sebagaimana berlakunya terhadap kasus yang besar. Hanya saja dalam pelaksanaan amar ma’ruf, tidak dibenarkan menggunakan tindak kekerasan. Berbeda dengan nahi mungkar, jika cara-cara lunak tidak efektif, maka tindak kekerasan dapat dilakukan.[20]Itupun jika telah memenuhi persyaratan yang cukup ketat sebagaimana telah disebut sebelumnya.
Memperhatikan penjelasan di atas ada beberapa persyaratan dalam memperjuangkan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu ; ulama dan umara, tanpa ada kedua badan resmi ini, maka kemungkaran akan tetap merajalela di bumi ini. Hal ini terungkap dalam firman Allah Swt artinya sebagai berikut :
الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ ( الحج : 41 )
Artinya : Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukannya di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, membayarkan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar, dan kepada Allah kembali semua urusan (Q.S. al-Hajj : 41)”.
Hubungan amar ma’ruf nahy munkar dengan umara’ (kekuasaan), bukan hubungan seputar ibadah, akan tetapi jauh lebih besar dari itu, yaitu; masalah wilayah, kekuasaan hukum, peperangan, peradilan, undang-undang kriminilitas, persoalan perkawinan, keluarga, jual beli, gadai, utang piutang, persaksian, qishash, hubungan internasional, penjara (tawanan), keamanan dan stabilitas, waris dan lain sebagainya yang merupakan seperempat dari seluruh isi kandungan al-Qur’an itu adalah pembicaraan tentang politik.[21]Sasaran akhir dari perjalanan umara’ ini adalah memperjuangkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat dan mengusahakan terciptanya kemakmuran. Usaha kearah itu tiada jalan yang mesti ditempuh, kecuali melalui al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy an al-munkar.
Konsep inipun tidak akan bisa tegak melainkan dengan adanya al-imam[22](pemimpin). Dengan demikian tugas ini adalah wajib, bila tidak ada yang melaksanakannya, maka kehidupan umat tidak akan tertata dengan baik, akan banyak perampokan, pencurian, penganiayaan faudha/chaos’ dalam masyarakat, bangsa dan negara.
Sekurang-kurangnya ada dua badan resmi yang dapat dijadikan benteng untuk bisa berdirinya amar ma’ruf nahy munkar dalam masyarakat, yaitu ;
a. Pihak-pihak resmi mereka harus yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaannya, (yaitu penguasa).
b. Bila tidak mendapatkan pada yang pertama, hendaknya manusia berjalan di belakang para ulama yang memikul tugas ini.
Apabila manusia tidak mendapatkan salah satu dari kedua itu, maka harus bersandar kepada ijtihad.[23]Abdul Karim Zaidan sebagaimana dikutip oleh Salman al-Audah mengemukakan bahwa kemampuan yang paling besar terdapat pada amir (penguasa) yang memiliki kekuatan untuk memerintah dan melarang, karena penguasa lebih bertanggungjawab dibandingkan dengan orang lain untuk menghilangkan kemungkaran yang ada di dalam rumahnya.[24]
Dengan demikian masalah al-imamah merupakan bagian dari amar ma’ruf nahy munkar, karena ajaran ini merupakan rekonstruksi umat Islam. Semua sasaran kehidupan umat Islam mesti melalui media amar ma’ruf nahy munkar, antara lainnya misalnya adalah; politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena politik sebagai salah satu instrumen penting, maka suatu masyarakat hanya bisa hidup teratur, aman dan nyaman, jika mereka hidup dan berada dalam suatu negara dengan segala perangkat dan susunan kekuasaannya, sehingga banyak orang yang berpendapat bahwa politik adalah “panglima”. Artinya politik sangat menentukan corak sosial, ekonomi, budaya, hukum dan berbagai aspek kehidupan lainnya.[25]
Agaknya disinilah Allah mengisyaratkan dalam surat al-Hadid ayat 25, mengajarkan bahwa Tuhan telah mengutus RasulNya dengan bukti-bukti nyata. Ia menurunkan kitab dan keadilan agar manusia dapat melaksanakan keadilan. Allah menurunkan pula “besi”yang mengandung kekuatan yang hebat dan dapat memberikan manfaat bagi manusia. Justru untuk terciptanya suatu keadilan diperlukan adanya kekuasaan yang dilambangkan “besi”. Jadi untuk mencapai suatu keadilan jika perlu dengan kekuasaan politik namun perlu juga diketahui, bahwa apakah pelaksanaan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy an al-munkar itu para penguasa, ulama, atau kedua kekuatan tersebut. Nampaknya pemikiran Qadhi Abdul Jabbar dalam hal ini adalah tertuju hanya kepada penguasa saja, karena penguasa itu dalam kapasitasnyasebagai pemimpin, sekaligus juga ahli agama Islam, sehingga tidak ada dikhotomiantara penguasa dengan ulama. Artinya penguasa itu adalah ulama dan ulama itu mestinya adalah penguasa.
4. Memerangi Hasad (hasut)
Kata dengki (hasad) diambil dari akar kata h, s, d. Didalam al-Qur’an berjumlah 5 kali, yaitu surat al-Falaq 2 kali, yaitu : ِوَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ Artinya : dan berlindung dengan Allah dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki". al-Fath; 15, yaitu : فَسَيَقُولُونَ بَلْ تَحْسُدُونَنَا بَلْ كَانُوا لَا يَفْقَهُونَ إِلَّا قَلِيلًا . Artinya : mereka akan mengatakan: "Sebenarnya kamu dengki kepada kami". Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali. Surat al-Nisa’ 54, al-Baqarah; 109.[26]
Dengki adalah mengharapkan lenyapnya nikmat dari orang yang lain. Penyakit dengki muncul dan berawal dari iri hati, iri hati muncul dari marah. Ada sifat marah itu terlihat secara nyata, hal itu disebut dengan emosi, dan ada marah itu terpendam, maka itu disebut dengan pendendam. Nabi mencela sikap dengki, karena dengki adalah penyakit yang paling berbahaya dalam suatu kebaikan, seperti hadis yang berbunyi :
الحسد يأكل الحسنات كما تأكل النار الحطب
Artinya : Kedengkian memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar. Dalam hadis lain diungkapkan oleh Nabi, yaitu : لا بظهر الشماتة باخيك فيعافيه الله ويبتليكArtinya : Janganlah kamu menampakan kegembiraan atas musibah yang menimpa temanmu, lalu Allah memulihkannya kembali dan akan menimpakan musibah itu kepadamu.
Penyakit dengki sebenarnya dapat membawa kepada kekafiran, misalnya kenapa Iblis dihukum kafir oleh Allah ? adalah karena ia dengki kepada Adam AS., sehingga ia tidak mau patuh kepada Khaliqnya. Begitu juga kenapa Adam diusir kedunia ? adalah karena ia thama’ dan rakus. Pada hal telah disediakan semua kesenangan didalam surga, akan tetapi ingin juga meraih yang dilarang Allah. Begitu juga kenapa Habil membunuh Qabil ? Adalah karena kedingkian memperebutkan adiknya untuk dijadikan isterinya.
Sebab-sebab kedengkian :
1. Adanya rasa permusuhan dan kebencian kepada orang lain. Hal ini diungkap seperti firman Allah surat Ali Imran; 119, yaitu :
وَإِذَا لَقُوكُمْ قَالُوا ءَامَنَّا وَإِذَا خَلَوْا عَضُّوا عَلَيْكُمُ الْأَنَامِلَ مِنَ الْغَيْظِ قُلْ مُوتُوا بِغَيْظِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَات الصدورِ
Artinya : Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata: "Kami beriman"; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): "Matilah kamu karena kemarahanmu itu". Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati.
2. Ta’azzuz, berkeberatan jika orang lain mengunggulinya.
3. Kesombongan, yaitu meremehkan orang lain dan mengharapkan orang lain itu tunduk kepadanya. Misal surat al-Baqarah antara Adam dengan Iblis yang tidak mau tunduk kepada Adam.
4. Ta’jub, yaitu tercenggang kepada diri sendiri, karena dirinya merasa telah memiliki yang belum dimiliki orang lain. Seperti terdapat dalam surat al-Munafiqun; 4, al-Baqarah;204, al-Taubah;55.
5. Takut tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, sedangkan yang diinginkannya itu telah diraih oleh orang lain.
6. Haus dan rakus dengan pangkat dan jabatan serta ingin populeritas. Untuk itu lahir sikap sikut kiri dan sikut kanan, tanpa lagi mengindahkan perasaan.
7. Kikir untuk berbuat baik kepada hamba Allah yang membutuhkannya.
Kedengkian itu terdapat dua keadaan yaitu (1) ada dalam bentuk benci dan menginginkan nikmat yang ada pada orang lain lenyap. (2) dalam bentuk ghibah atau munafasah, yaitu persaingan yang sehat. Keadaan yang pertama hukumnya haram secara mutlak, kecuali nikmat yang diperoleh dengan batil. Seperti firman Allah surat Ali Imran ayat 120, yaitu :
إِنْ تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَفْرَحُوا بِهَا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ .
Artinya : Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.
Dalam hal ini Allah telah mencontoh tentang cerita nabi Yusuf As, yang saudara kandungnya sendiri dengki kepadanya, karena sang ayahnya cenderung merasa sayang kepada nabi Yusuf, sehingga akhirnya mereka bersama-sama berusaha untuk membunuhnya. Ternyata akhirnya Yusuf menjadi raja, sang saudaranya terpaksa membeli makanan kepada adiknya sendiri untuk mendapatkan pasokan makanan.
Sedangkan dalam bentuk bersaingan (munafasah) atau musabaqah, Allah Swt menyuruhnya, seperti firmannya surat al-Hadid, 21, yaitu :
سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ .
Artinya : Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. Sedangkan dalam hadis dibolehkan adanya persaiangan itu seperti hadis nabi, yaitu :
لا حسد الا فى اثنتين : رجل أتاه الله مالا فسلطه على هلكته فى الحق, ورجل أتاه الله علم فهو يعمل به ويعلمه الناس
Artinya : Tidak ada kebencian atau kedungkian kecuali dalam dua hal : Seorang yang dikurnia harta, lalu harta itu dipergunakannya untuk jalan kebanaran, dan seorang yang punya ilmu, ia amalkan dan diajarkannya kepada orang lain (Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu Allah Swt. telah memberi petunjuk bahwa berlindung itu hanya kepada Allah saja. Bila seseorang mencari perlindungan selain Allah, atau meminta bantuan dan pertolongan selain kepada-Nya, maka imannya telah rusak. Kerusakan iman itulah yang sebenarnya menjelma dalam bentuk iri hati yang justru membawa kepada tukang hasud dan tukang fitnah. Dalam al-Qur’an tukang fitnah itu lebih berbahaya dari pembunuhan. Seperti firman-Nya pada ssurat al-Baqarah; 191 yang berbunyi : وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ. Artinya : dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan. Tukang hasud adalah suatu penyakit kronis jiwa yang biasa dilakukan oleh orang kafir. Karena orang kafir itu tidak senang melihat orang mendapat nikmat. Dengan demikian bila penyakit ini melanda seorang, maka secara otomatis keimanan yang ada dalam dirinya berubah menjadi kafir. Itu dasarnya Allah menyuruh berlindung hanya kepada-Nya agar keimanan seseorang tetap berada dalam dirinya.
5. Memusuhi Tughyan
Thughyan ialah diambil dari istilah “ thagha” yaitu sikap rohani yang selalu ingin memaksakan kehendak kepada orang lain tanpa memberikan peluang kepada orang itu untuk melakukan pertimbangan bebas. Dalam sikap ini terselip pandangan bahwa diri sendiri pasti benar dan orang lain pasti salah, yaitu pandangan pemutlakan diri sendiri. Bagi orang yang beriman yang Maha Mutlak itu hanyalah Allah saja, sedangkan yang lain lain adalah relatif atau nisbi.
Didalam al-Qur’an akar kata thughyan ini berjumlah sebanyak 39 kali dalam berbagai surat dan ayat.[27]Bentuk dari kegiatannya disebut dengan thughyan, sedangkan orang yang melakukannya disebut dengan thaghut. Antara lain al-Qur’an sebagai berikut :
1. Surat al-Maidah; 64, yaitu : وَلَيَزِيدَنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ طُغْيَانًا وَكُفْرًا وَأَلْقَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Artinya : Dan Al Qur'an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat.
Penjelasannya bahwa makna thughyandi sini adalah : Kelancanagan mereka melakukan perbuatan dosa dan mencari permusuhan dengan mencari-cari kesalahan orang lain. Pada sisi lain yang haram tetap juga dimakan sedangkan yang halal mereka perdebatkan. Untuk itu mereka menempuh segala cara, asal keinginannya tercapai. Bahkan salah seorang mereka bernama Nabbasyi bin Qais menuduh Tuhan Allah kikir, tangan Allah terbelenggu dan lain sebagainya.
2. Surat al-Fajr; 11 yaitu : الَّذِينَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ(11)فَأَكْثَرُوا فِيهَا الْفَسَادَ(12)فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ
Artinya : yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab.
Penjelasan ayat di atas adalah : bahwa thaghaw di sini dimaksudkan kaum ‘Aad telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin dan kencang, begitu juga Fir’un yang dijungkir balikan akibat dari kesalahan mereka. Hal ini karena tidak mau menerima petunjuk Allah dan rasul-Nya.
3. Surat al-‘Alaq; 7, yaitu : كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى(6)أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى
Artinya :Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.
Penjelasan ayat ini adalah bahwa thaghadi sini adalah bila ia telah berkuasa dan mempunyai harta, maka ia berlaku semena-mena terhadap orang yang berada dibawahnya, dirinya yang paling baik dan paling berhasil. Buktinya adalah bahwa Allah selalu saja menolongnya bila ia mendapat kesusahan. Ketika ia tidak pernah patuh kepada Allah, menurutnya ia tetap saja mendapatkan rezeki, harta dan anak. Sementara orang yang taat dan patuh kepada Allah, ia melihat kehidupan mereka tetap saja tidak berubah. Ini artinya bahwa ketaatan tidak menjadi jaminan bertambahnya harta dan sebagainya. Pandangan itu mereka tularkan kepada orang lain, sehingga dalam kesahariannya mereka menilai seseorang adalah dengan hartanya.
4. Surast al-Nazi’at; 37, yaitu : فَأَمَّا مَنْ طَغَى(37)وَءَاثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا(38)فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى
Artinya : Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya).
Penjelasan ayat ini adalah bahwa thagha di sini adalah sama dengan surat al-‘Alaq di atas, hanya Allah menambahkan bahwa tempat yang layak bagi mereka adalah neraka jahim.
5. Al-Baqarah; 256, yaitu : فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّه فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya : Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Penjelasan bahwa yang dimaksud dengan engkar kepada thaghut itu adalah tidak mengikuti cara-cara kehidupannya, karena mengikuti thaghut ini jelas akan memabawa kepada kekafiran.
6. al-Nisa’’ 51, yaitu :أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا سَبِيلًا(51)أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ وَمَنْ يَلْعَنِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا(52)
Artinya : Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al Kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. Mereka itulah orang yang dikutuki Allah. Barangsiapa yang dikutuki Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya.
Penjelasan ; Yang dimaksud dengan Jibt itu adalah salah satu nama setan yang mempunyai sikap selalu merasa dirinya lebih benar dari orang lain, bahkan dari Allah. Seperti misalnya Fir’un, ia mengatakan dirinya tuhan yang agung. Mereka ini selalu mendapat kutukan dalam kehidupannya setiap waktu, sehingga akhirnya hancur.
7. al-Maidah; 60, yaitu : قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ أُولَئِكَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ
Artinya : Katakanlah: "Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?" Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.
Penjelasan ; Yang dimaksud dengan kera di sini adalah sikapnya, yaitu selalu mencibir dan berpandangan buruk kepada orang, sekalipun yang dibuat orang lain itu baik. Sedangkan babi adalah cerminan sikap menghalalkan segala cara, demi mencapai tujuannya.
Demikianlah semoga kita terjauh dari sifat thaghut dan mari kita ikuti Allah dan rasul-Nya, semoga kita menjadi manusia yang banar disi Allah Swt. dan kita berlindung dan berdo’a kepada Allah terjuah dari penyakit ini.
6. Meleburkan Ghadab (Emosional)
Kata Ghadab, yang berujung kepada kalimat al-maghdub diambil dari akar kata ghadhaba ( gh, dh, b). Dalam surat al-fatihah, sebagai tujuan utama yang diminta kepada Allah Swt. 5 kali sehari dan semalam, memiliki keberagaman makna, namun kesemuanya memberikan arti; keras, kokoh, dan tegas, singga, banteng, batu gunung, sesuatu yang merah padam. Bila kata ini tertuju kepada manusia, maka pemaknaannya adalah marah, bila kata ini tertuju kepada Tuhan, maka pemaknaannya tindakan untuk melakukan tindakan keras dan tegas atau siksaan.
Dari 24 kali kata-kata ini dalam al-Qur’an, 12 kali dalam kontek pembicaraan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang Yahudi, sedangkan sisanya berkisar pada pembicaraan marah merupakan naluri manusia, atau murka Tuhan yang ditujukan kepada orang musyrik dan munafik yang mengaku pengikut Muhammad Saw., tetapi biasa melakukan pelanggaran. Namun secara umum kata ghadab ini tertuju kepada orang Yahudi, karena terlihat pada sikapnya, antara lain :
1). Mengingkari tanda-tanda kebesaran Ilahi, 2). Membunuh orang lain tanpa salah, 3). Iri hati dan membangkang, 4). Membantah keterangan Rasul. 5). Melakukan pelanggaran terhadap rezki yang telah diberikan kepadanya. 6). Berprasangka buruk kepada Tuhan. 7). Lari dari medan pengajian. 8). Murtad dan mementang agama yang hak, dan 9). Melakukan zina.
Didalam al-Qur’an kata tersebut diungkap antara lain :
1. Surat Thaha; 81, yaitu : كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَلَا تَطْغَوْا فِيهِ فَيَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبِي وَمَنْ يَحْلِلْ عَلَيْهِ غَضَبِي فَقَدْ هَوَى .
Artinya : Makanlah di antara rezki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia.
Maksud ghadabi di sini adalah siksaan Allah yang diberikan kepada orang ayang melampaui batas, yaitu memakan hak orang lain dengan cara yang tidak benar.
2. al-Baqarah; 90, yaitu :بِئْسَمَا اشْتَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ أَنْ يَكْفُرُوا بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ بَغْيًا أَنْ يُنَزِّلَ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ فَبَاءُوا بِغَضَبٍ عَلَى غَضَبٍ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُهِينٌ.
Artinya : Alangkah buruknya (perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Karena itu mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan. Dan untuk orang-orang kafir siksaan yang menghinakan.
Maksud kata ghadabin di sini mereka yang memperjual belikan ayat-ayat Allah dengan cara yang tidak benar untuk kepentingan mereka dengan cara memalingkan tujuan ayat kepada kemaunnya.
3. Ali Imran 112, yaitu : ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ .
Artinya : Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.
Maksud kata bighadabin di sini adalah mereka kembali kepada menjauhi Allah dan perpecahan sesama manusia setelah mereka bersatu pada jalan Allah Swt.
4. al-A’raf; 71, yaitu : قَدْ وَقَعَ عَلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ رِجْسٌ وَغَضَبٌ أَتُجَادِلُونَنِي فِي أَسْمَاءٍ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَءَابَاؤُكُمْ مَا نَزَّلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ فَانْتَظِرُوا إِنِّي مَعَكُمْ مِنَ الْمُنْتَظِرِينَ
Artinya : Ia berkata: "Sungguh sudah pasti kamu akan ditimpa azab dan kemarahan dari Tuhanmu". Apakah kamu sekalian hendak berbantah dengan aku tentang nama-nama (berhala) yang kamu dan nenek moyangmu menamakannya, padahal Allah sekali-kali tidak menurunkan hujjah untuk itu? Maka tunggulah (azab itu), sesungguhnya aku juga termasuk orang yang menunggu bersama kamu".
Maksud ghadabun di sini adalah mereka yang masih percaya kepada tradisi nenek moyang mereka dulu, padahal al-Qur’an telah datang memberi petunjuk untuk mereka, maka kepada mereka ditimpakan penderitaan dalam kehidupannya.
5. al-Nahlu; 106, yaitu : مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya ;Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.
Maksud ghadab di sini adalah orang yang terbuka hatinya untuk berbuat maksiat dan tertutup kepada berbuat kebaikan.
7. al-Syura; 16, yaitu ;
وَالَّذِينَ يُحَاجُّونَ فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا اسْتُجِيبَ لَهُ حُجَّتُهُمْ دَاحِضَةٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ
Artinya: Dan orang-orang yang membantah (agama) Allah sesudah agama itu diterima maka bantahan mereka itu sia-sia saja di sisi Tuhan mereka. Mereka mendapat kemurkaan (Allah) dan bagi mereka azab yang sangat keras.
7. Melumpuhkan Sombong
Sombong adalah salah satu bentuk penyakit rohani yang dialami oleh manusia di dunia ini. Secara umum ialah menolak kebenaran dan memandang enteng orang lain. Sombong secara umum bila dilihat dari pelakunya terbagi kepada dua macam; Pertama sombong batin, yaitu perangai batin yang selalu mempengaruhi kesucian batin, dan kedua sombong lahir, yaitu penampakan sikap lahiriyah dalam berbicara, berpakaian, berjalan, dalam duduk, berdiri, makan dan minum, berkenderaan dan lain sebagainya. Artinya sombong batin sesuatu yang tidak nampak dalam prilaku lahiriyah, sedangkan sombong lahir sesuatu yang nampak dalam prilaku sehar-hari.
Sombong bila dilihat dari objeknya (sasarannya) terbagi kepada tiga bagian, yaitu ; pertama sombong kepada Allah Swt, kedua sombong kepada Rasul Saw. dan ketiga sombong kepada sesama manusia. Sombong kepada Allah dan Rasul adalah tidak mau atau tidak mengindahkan permintaan Allah dan Rasul itu baik dalam dalam prilaku lahiriyah, maupun prilaku batiniyah.
Penampakan dalam prilaku lahiriyah misalnya ditemukan dalam al-Qur’an surat al-Isra’;28, yaitu : وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا . Artinya : Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.
Selanjutnya ssurat Lukman ayat; 18, dan 19 yaitu : وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ(18)وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ . Artinya : Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
Memperhatikan ayat di atas jelas bahwa sombong lahiriyah itu secara kejiwaan dirasakan oleh manusia pengaruhnya. Dalam hadis Nabi misalnya beliau mengatakan : كَفَى بِالُمَرْءِ شَرًا اَنْ يَحْقِرَ اَخَاهُ الُمُسْلِمَ . . Artinya : Cukup seseorang dinilai jahat, bila ia merendahkan saudaranya sesama muslim (HR. Muslim)
Atau dalam hadis lain Nabi Muhammad bersabda :
اِذَا سَمِعْتُمُ الرَّجُلَ يَقُوْلُ هَلَكَ النَّاسَ هُوَ اَهْلَكُهُمْ . Artinya : Apabila kamu mendengar orang mengatakan “ Orang-orang telah binasa” maka dialah orang yang paling binasa diantara mereka ( HR. Muslim).
Sedangkan penampakan dalam prilaku batin, tercermin dalam firman Allah surat Lukman ayat 7, yaitu : وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ ءَايَاتُنَا وَلَّى مُسْتَكْبِرًا كَأَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ . Artinya : Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih.(Lukman 7). Selanjutnya surat al-Nahl; 22, yaitu : إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ قُلُوبُهُمْ مُنْكِرَةٌ وَهُمْ مُسْتَكْبِرُونَ . Artinya : Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong.
Penyebab kesombongan, secara garis besar penyebab kesombongan terbagi kepada tujuh macam.
a. Ilmu pengetahuan
b. Amal ibadah
c. Nasab atau keturunan
d. Kecantikan dan kegantengan
e. Harta kekayaan
f. kekuatan
g. Adanya pendukung.
Akibat kesombongan dalam al-Qur’an antara lain sebagai berikut :
1. Surat al-Nisa;173, yaitu :
وَأَمَّا الَّذِينَ اسْتَنْكَفُوا وَاسْتَكْبَرُوا فَيُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَلَا يَجِدُونَ لَهُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
Artinya : Adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka, pelindung dan penolong selain daripada Allah.
2. Surat Ghafir 60, yaitu :
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Artinya : Dan Tuhanmu berfirman: “Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”.
3. Surat al-A’raf; 36, yaitru :
وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Artinya : Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, mereka itu penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
4. Surat al-A’raf; 40, yaitu :
إِنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُجْرِمِينَ(40)لَهُمْ مِنْ جَهَنَّمَ مِهَادٌ وَمِنْ فَوْقِهِمْ غَوَاشٍ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِينَ
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lobang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan. Mereka mempunyai tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka). Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang zalim.
8. Menanamkan Amanah
Al-Qur’an banyak berbicara tentang amanah, seperti :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا ( النـساء 4: 58 )
Artinya :"Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (memerintahkan kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.s., al-Nisa`/4:58)
Latar belakang turun ayat tersebut; Diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas bahwa setelah Rasulullah Saw memasuki kota Mekkah pada hari ditaklukkannya, ‘Utsman bin Thalhah pengurus Ka’bah pada waktu itu mengasai pintu Ka’bah lalu naik ke atas bubungannya. Ia enggan memberikan kunci Ka’bah kepada Rasulullah SAW. Kemudian ‘Ali bin Abi Thalib merebut kunci Ka’bah itu dari ‘Usman bin Thalhah secara paksa dan membuka Ka’bah, lalu masuklah Rasulullah Saw dan melakukan shalat dua raka’at. Setelah beliau keluar dari Ka’bah muncullah pamannya ‘Abbas menemuinya dan minta agar kunci itu diserahkan dan diberi jabatan pemeliharaan Ka’bah dan jabatan penyediaan air untuk jamaah haji. Maka turunlah ayat tersebut, kemudian Rasulullah Saw menyuruh ‘Ali bin Abi Thalib untuk mengembalikan kunci Ka’bah kepada ‘Utsman bin Thalhah dan minta maaf.
Sekilas dari gambaran sebab turun ayat di atas terlihat keinginan mempertahankan status quo dari ‘Utsman bin Thalhah, dan unsur pemaksaan kehendak dari ‘Ali bin Abi Thalib serta sikap nepotisme dari ‘Abbas (paman Nabi). Kesemua persoalan di atas terselesaikan dengan perdamaian dari Rasulullah Saw. dan mengembalikan amanat kepada yang berhak menerimanya, sesuai dengan perintah Allah Swt. untuk tidak mengkhianati amanat, seperti firman-Nya surat al-Anfal ayat 27, yaitu :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ .
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.
وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ
Artinya : Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya,
Pengartian “amanat” dalam ayat tersebut ialah sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Dalam kehidupan ini kita sebagai manusia telah diberi oleh Allah Amanah (kepercayaa). Antara lain amanah yang diberikan kepada kita adalah : bumi dengan segala isinya, meliputi Islam, harta, isteri, anak, jabatan, pangkat, ilmu pengetahuan, kesehatan, umur, rezki,pergaulan dan lain sebagainya, amanah yang diemban itu bersumber dari Allah. Ini adalah konsekuensi dari kasih sayang Allah kepada manusia. Untuk mewujudkan semua amanah Tuhan itu di diperlukan beriman, karena kata amanat itu berakar dari kata amana, yaitu iman. Kalau begitu amanat itu adalah iman. Persoalan sekarang bagaimana kita memelihara iman itu. Bila iman telah terpelihara, maka amanat dengan sendirinya terpelihara dan sebaliknya. Kalau terjadi misalnya perbedaan pandangan dan pendapat dalam sesuatu, maka jangan jadikan hal itu sebagai pemicu perpecahan, karena perbedaan pandangan itu juga rahmat. Namun perbedaan itu bukan melahirkan saling salah menyalahkan, tuding menuding antara sesama kita. Untuk itu amanah sebenarnya adalah melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya masing-masing dengan saling konfirmasi. Bila melakukan pekerjaan telah sesuai dengan job dan keahlian yang dimilki berarti telah melaksanakan amanah. Orang yang tidak amanah misalnya adalah orang yang suka mencikaraui urusan orang lain yang mereka bukan ahli dibidang itu. Hal ini namanya pengkhianat. Yaitu penghancur amanah. Al-Qur’an lebih tegas menjelaskan misalnya isteri Nuh memprotes pekerjaan suaminya. (QS. Tahrim 10, yaitu :
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ
Artinya : Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); "Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)".
Rasulullah Saw menegaskan, dalam Sabdanya , yaitu :
“Apabila amanat telah disia-siakan maka tunggulah saatnya. Sahabat bertanya: Apakah maksudnya wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Apabila suatu urusan telah diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat (kehancurannya).” (H.R. Bukhari dari Abi Hurairah r.a.)
Untuk menjaga diri, keluarga, masyarakat dan negara berjalanlah sesuai dengan amanah yang diberikan Allah, Al-Ghazali memandang amanah sebagai moral dan salah satu kunci pokok dalam menjaga kedamaian diri, keluarga dan masyarakat. Karena kehancuran sebuah rumah tangga, masyarakat disebabkan tidak amanah. Penyakit ketidak amanahan telah melanda sendi-sendi kemanusiaan, sehingga mereka berbuat diluar jalur kemanusiaan, jalur sosial, jalur politik dan jalur hukum.
Pada suatu waktu, Abu Dzar meminta suatu jabatan kepada Nabi, lalu Nabi berkata kepada Abu Dzar: “Hai Abu Dzar! Engkau ini sangat lemah, sedangkan pekerjaan itu adalah amanah yang pada hari kiamat nanti akan dipertanggungjawabkan dengan penuh resiko kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang memenuhi syarat dan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.” (H.R. Muslim)
9. Menghilangkan ‘Ujub
‘Ujub ialah suatu penyakit rohani yang melanda manusia secara umum dan umat Islam secara khusus. Penyakit ‘ujub adalah penyakit yang paling berbahaya dalam pencerahan ibadat, karena penyakit ini merasa dirinya lebih dari orang lain, dengan kelebihan yang ada padanya itu membuat ia ta’jub (tercengang) atau heran dan salut kepada dirinya sendiri atas segala prestasi yang ia peroleh, sehingga kesalutan kepada dirinya itu, membuat ia tidak mau menerima masukan, sumbang saran dari orang lain, akan tetapi ia mengagumi pendapat sendiri. Karena hasil nyata dari usaha yang ia perbuat itu jauh lebih terbukti ketimbang orang yang memberi saran-saran kepadanya. Hal ini terjadi disebabkan cara pandang seoerang ‘ujub mengukur segala sesuatu itu dengan yang kongkrit (nyata). Pengidap dari penyakit ini sulit berintegrasi dengan orang lain secara normal. Apalagi dengan Allah Swt. Sebab dia tidak bersedia mengikuti orang lain itu atau sebagai salah satu faktor bukti kegengsiaannya dan bahkan merasa rendah berteman atau bergaul dengan orang yang standar ekonominya dibawah standar kehidupannya. Maka yang terloncat dari mulutnya hanyalah ngomong tentang orang-orang besar dan orang yang berpengaruh dan bahkan bangga bila pembicaraan itu menyinggung masa silamnya yang negatif dan perbuatan dosa.
Didalam al-Qur’an Allah Swt. telah mengingatkan perangai orang ‘ujub ini antara lain :
1. Qs. al-Taubah ayat 55, yaitu :
فَلَا تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ وَلَا أَوْلَادُهُمْ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ
Artinya : Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka mencengangkan hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir.
2. Qs. al-Taubah ayat 85, yaitu :
وَلَا تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ وَأَوْلَادُهُمْ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِي الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ
Artinya : Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka mencengangkan hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki akan mengazab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan agar melayang nyawa mereka dalam keadaan kafir.
3. Qs. al-Munafiqun ayat 4, yaitu :
وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ يَحْسَبُونَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
Artinya : Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?
4. Qs. Al-Baqarah ayat 204, yaitu :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللَّهَ عَلَى مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ
Artinya : Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.
Memperhatikan ayat-ayat di atas ada beberapa pelajaran yang dapat dijadikan oleh orang-orang mau beriman kepada Allah dan rasul-Nya, antara lain :
Pertama untuk tidak tercengang kepada orang yang banyak harta, bila harta yang dimilikinya itu tidak dipergunakannya kepada kebenaran dan kemashlahatan. Harta yang dimaksudkan di sini adalah harta dari terjemahan mal dan jamaknya amwal, di dalam al-Qur’an berjumlah 86 kali tersebar dalam berbagai surat dan ayat. Harta ialah segala sesuatu yang dimiliki, sesuatu yang dihimpun, disimpan, baik berupa materi, maupun berupa manfaat. Imam Hanafi mengartikan harta adalah sesuatu yang diminati oleh tabi’at manusia dan mungkin disimpan sampai waktu yang dibutuhkan mempergunakannya. Sehingga bila dirinci harta itu meliputi :
1. Dalam bentuk materi, misalnya rumah, tanah, ladang, sawah, pertokoan.
2. Dalam bentuk bergerak, misalnya mobil, honda, kapal, pesawat, mesin-mesinan.
3. Dalam bentuk yang bernyawa, misalnya : hayawan, yang memberi faedah.
4. Dalam bentuk memberi manfaat, misalnya : isteri, anak, orang tua, famili/keluarga, termasuk pergaulan.
5. Dalam bentuk bukan materi, misalnya : pangkat, jabatan, nama, titel atau popularitas.
Kedua untuk tidak selalu memuji-muji mereka, seperti pengalaman Nabi ketika turun surat al-Baqarah 204 di atas sebagai asbab al-nuzul ayat ini. Di mana seorang yang bernama al-Akhnas bin Syariiq Al-Staqafi, setiap bertemu dengan Nabi ia selalu memuji dan menyanjung Nabi dengan tujuan seakan-akan ia dianggap oleh Nabi orang yang beriman. Sekaligus memberi imeng-imeng kepada Nabi dan shabatanya bahwa ia akan berjuang bersama Nabi, sekilas yang diucapkannya itu menarik sekali, sehingga banyak orang terpedaya kepadanya. Pada ayat di atas Allah mengingatkan kepada Nabi, bahwa orang yang seperti al-Akhnas di atas adalah pendusta, tidak dapat dipercaya. Karena pada orang yang ‘ujub itu terdapat ciri-ciri khusus, yaitu :
1) Mempergunakan kata-kata yang menarik, misalnya suka memuji orang lain, dengan konsekwensi, agar ia dipuji pula oleh orang lain.
2) Senang dan suka bersumpah menyebut nama Allah, misalnya menyebut “sungguh, demi Allah” .
3) gigih dalam berdebat dan berhujjah menghadapi lawan penentangnya.
Ketiga harta dan anak-anak itu akan menyusahkan, sebagai musuh, sebagai fitnah, sehingga akan menganggu disaat-saat nyawa akan pergi menghadap Allah. Untuk itu dibolehkan seseorang ujub (tercenggang) hanyalah kepada Allah saja yaitu dengan mempergunakan harta dan anak-anak sesuai dengan aturan Allah, seperti firman Allah dalam surat al-Taubah ayat 111, yaitu :
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ.
Artinya : Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.
Nabi Muhammad Saw. dalam sebuah hadisnya menjelaskan, yaitu :
ثلاث مهلكات : شح مطاع, و هوى متبع, واعجاب المرء بنفسه.
Artinya : Ada tiga yang membinasakan manusia, yaitu : Kikir yang diperturutkan, Hawa nafsu yang diumbar dan tercengang kepada diri sendiri.
10. Memberantas Bakhil
Bakhil secara bahasa berarti kikir, ceke, dan pelit. Lawan dari bakhil adalah thama’, boros, angkuh, menang sendiri, ilmu kui. Sedangkan secara istilah agama ialah enggan memberikan harta benda kepada orang lain secara wajar, ilmu yang bermanfaat, pikiran dalam mencapai kemajuan, pendapat dalam menyelesaikan masalah, dan tenaga kepada kepentingan agama Islam. Didalam al-Qur’an kata yang berakar kepada bakhil ini berjumlah 12 kali dalam berbagai surat dan ayat, antara lain :
1. Al-Lail ayat 8, yaitu :
وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى
Artinya : Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup.
Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa orng-orang yang bakhil, yang kikir yang merasa dirinya cukup tidak lagi memerlukan pertolongan-Nya dan tidak bertakwa kepada-Nya serta mendustakan pahala yang terbaik ialah surga. Akan disediakan-Nya kelak jalan yang sukar, yang merendahkan dirinya, yang membenamkannya kedalam dosa dan kesalahan.
2. Surat al-Taubah ayat 76, yaitu :
فَلَمَّا ءَاتَاهُمْ مِنْ فَضْلِهِ بَخِلُوا بِهِ وَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ
Artinya : Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).
Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa kalau maksud mereka telah berhasil dan apa yang mereka minta sudah terkabul, mereka tidak malu-malu berpaling, memungkiri janjinya dan mendurhakai Allah. Bila mereka telah kaya, mereka bukan jadi pemurah, tetapi mereka bertambah bakhil, tidak mau bersedekah, mengeluarkankan zakat, membantu orang- orang yang berkekurangan, menunjang pembangunan umat dan lain-lain yang masuk amal kebajikan. Mereka lupa akan janji-janji mereka yang diucapkan sebelum Allah memberikan karunia kepada mereka, walaupun sudah diberi peringatan berkali-kali. Padahal menepati janji itu dikuatkan dengan bersumpah dengan nama Allah.
3. Surat Muhammad ayat 38, yaitu :
هَاأَنْتُمْ هَؤُلَاءِ تُدْعَوْنَ لِتُنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَمِنْكُمْ مَنْ يَبْخَلُ وَمَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ
Artinya : Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan (Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini).
4. Al-Nisa’ 37, yaitu :
الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا ءَاتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا
Artinya : (yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan.
Pada ayat ini dijelaskan siapakah orang-orang yang paling, sombong dan takabur. Mereka adalah orang-orang yang bahkil tidak mau berbuat kebaikan sebagaimana yang diperintahkan Allah. Mereka tidak mau memberikan pertolongan , dengan harta, tenaga dan fikiran untuk kemaslahatan sesama manusia. Disamping bakhil mereka mempengaruhi pula orang lain untuk berlaku bakhil, supaya orang itu jangan suka mengeluarkan hartanya untuk menolong orang-orang yang perlu ditolong. Di dalam hati mereka tersimpan sifat loba dan tamak kepada harta benda. Biar orang lain hidup melarat dan sengsarara asal mereka dapat hidup senang dan bermegah-megah. Mereka menyembunyikan karunia yang telah diberikan Allah kepadanya. Mereka selalu berpura-pura seperti orang yang selalu dalam kesulitan ,kesempitan dan kekurangan. Mereka yang seperti itu termasuk manusia yang tidak bersyukur kepada Allah,mereka adalah orang yang kafir atas nikmat Allah. Bagi orang-orang yang kafir itu Allah menyediakan siksa yang menghinakan baik di dunia ini maupun di akhirat nantinya. Hal ini dipertegas Allah dalam surat Ali Imran ayat 180, yaitu :
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا ءَاتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya : Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
5. Surat al-Hadid ayat 24, yaitu :
الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَمَنْ يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
Artinya : (yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. Dan barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) maka sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Orang-orang yang bakhil itu adalah orang yang bila memperoleh nikmat kesenangan, harta, mereka berpendapat bahwa semua itu diperolehnya semata hanya karena kesanggupannya dan kepandaiannya sendiri, bukan karena pertolongan dan anugerah Allah kepadanya. Karena mereka merasa merasa lebih kuat dan mampu sehinga mereka tidak membutuhkan orang lain , dan tidak mau peduli dengan orang lain serta megira memberikan sesuatu pada orang lain akan menjadikan mereka miskin.
Memperhatikan ayat-ayat yang berhubungan dengan bakhil ini, nampaknya Allah tidak senang kepada orang yang bakhil, karena kebakhilan membuat orang lain sombong, merasa dirinya cukup serta tidak memerlukan bantuan orang lain. Lebih jauh tipe orang bakhil adalah tama’ atau rakus dengan harta, sehingga ia merasa, bahwa hartalah satu-satunya yang dapat menyelamatkan mereka, bahkan prioritas kehidupan ini adalah dengan harta, sehingga kehidupan yang lebih abadi mereka abaikan dan mereka sia-siakan. Bila dilihat dalam fenomena masyarakat, biasanya orang yang bakhil disisihkan, dipencilkan dan diasingkan oleh orang lain dari pergaulannya. Dan yang paling bernahaya lagi adalah bakhil kepada diri sendiri, kepada anak-anak dan kepada keluarga, sementara ia berhemat-hemat dalam hartanya, namun kehematan itu habis juga oleh orang lain.
11. Membunuh Ghibah
Ghibah ialah menyebut orang lain dengan sesuatu yang tidak disukainya, baik menyebutnya dengan kekurangan yang ada pada badan, keturunan, akhlak, perbuatan, perkataan, agama, tentang dunianya, bahkan pada pakaian, rumah dan kenderaannya. Lebih jauh Rasulullah pernah ditanya oleh shahabatnya tentang apa itu ghibah, maka Nabi menjawab yang maksudnya:
“Tahukah kamu apa itu ghibah, mereka menjawab “ Allah dan Rasul yang lebih tahu”. Nabi bersabda: Kamu menyebut saudaranyamu dengan hal yang tidak disukainya. Ditanyakan oleh sahabat, “Bagaimana jika yang aku katakan itu ada pada diri saudaraku ? Nabi menjawab “ Jika yang kamu katakan itu ada pada dirinya, maka sesunguhnya kamu telah mengunjingkannya dan jika tidak terdapat pada dirinya, maka sesungguhnya kamu telah menyebutkan hal yang dusta tentang dirinya” ( H.R. Muslim).
Penyebutan tentang badanya, misalnya; tinggi (dengan tiang listrik), pendek (bondek), pesek dan yang sejenisnya. Penyebutan tentang nasab, misalnya keturunan fasik, keturunan zina, keturunan kafir, termasuk menyebutkan suatu keturunan yang aib dalam ‘uruf masyarakat. Penyebutan tentang akhlak, misalnya; sombong, bakhil, suka berdebat, lekas marah, pengecut, dan yang sejenisnya. Penyebutan tentang perbuatan yang berhubungan agama, misalnya; pezina, pendusta, peminum, zalim, melecehkan shalat, tidak baik dengan orang tua, tidak membagikan zakat dengan benar, berkata jorok dan lain sebagainya. Penyebutan perbuatan yang berhubungan dengan dunia, misalnya; kurang beradab, melecehkan orang,banyak makan, banyak tidur dan sejenisnya.
Selain bentuk ghibah di atas ada beberapa bentuk lain, yaitu : seperti menirukan cara orang berjalan dan berbicara. Hal ini lebih berat dari ghibah dalam bentuk lisan. Begitu juga misalnya seseorang “ mengatakan bahwa kita sangat sedih sekali atas penderitaan yang dialami oleh sifulan-sifulan itu. Ia mengatakan itu dengan tujuan memberi informasi bahwa sifulan itu sedang mendapat cobaan, sedangkan dirinya bebas dari cobaan tersebut. Bahkan ia menunjukan ketaatannya dengan mengatakan subhanallah, semoga kita berlindung dari itu. Atau ghibah dengan cara mengorek-ngorek aib orang lain, sehingga akhirnya terbongkar juga keburukan orang lain. Termasuk juga ghibah adalah ketika orang lain menyebutkan suatu kesalahan orang lain dan ia ikut diam mendengarkannya, maka hal itu juga termasuk ghibah, terkecuali ia potong pembicaraan orang tersebut dengan mengalihkannya kepada yang lain. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi Muhammad Saw. yang berbunyi :
من ذب عن عرض اخيه با لغيب كان حقا على الله ان يعتقـه من النـار.
Artinya : Siapa yang membela kehormatan saudaranya yang sedang dipergunjingkan orang lain, maka Allah akan membebaskannya dari api neraka (al-Hadis R.W. Ahmad dan al-Thabrani).
v Penyebab terjadinya ghibah
1. Marah. Orang bila sudah marah, maka semua kesalahan orang itu akan diumbarkan kepada orang lain.
2. Menyesuikan diri dengan kawan-kawannya, dengan cara mencari-cari kesalahan lawan dari kawannya yang sedang ditemaninya tersebut.
3. Menjelekan orang lain demi untuk menutup kekurangannya.
4. Lempar batu sembunyi tangan (cuci tangan)/angkat bahu.
5. Kedengkian
6. Bermain-main atau senda gurau.
7. Melecehkan orang lain atau merendahkan orang lain
8. Berpura-pura baik dari segi agama, sosial dalam masyarakat.
v Dalil-dalil pelarangannya
Allah Swt. dan rasul-Nya sangat mencela pelaku ghibah dalam kitab-Nya. Allah menyerupakan pelaku ghibah itu dengan orang yang memakan daging mayit temannya, seperti firman-Nya dalam surat al-Hujurat ayat 12, yaitu :
1. يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
2. وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ
Artinya : Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela
3. كل المسلم على المسلم حرام دمه وماله وعرضه.
Artinya : Setiap Muslim bagi muslim yang lain haram darah, harta dan kehormatannya.
4. لا تحاسدوا ولا تباغضوا ولا تناجسوا ولا تدابروا ولا يغتب بعضكم بعضا وكونوا عباد الله اخوانا.
Artinya : Jangan kalian saling mendengki, jangan kalian saling membenci, jangan kalian saling bersaing, jangan sebahagian kamu mengunjing sebahagian yang lain dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. (H.R. Bukhari Muslim).
v Boleh Melakukan Ghibah dalam beberapa hal
1. Menyangkut dengan masalah kezaliman. Misalnya seorang hakin yang tidak adil, maka boleh dikadukan kepada pihak penguasa.
2. Sebagai i’tibar atau peringatan bagi orang lain, sehingga tidak mengulangi perbuatan tersebut.
3. Dalam rangkan meminta fatwa kepada ahli agama, bukan meminta kepada orang yang tidak tahu agama.
4. Terhadap orang fasik, melakukan kerusakan secara terang-terangan.
v Cara menyelesaikannya
1. Taubat, yaitu menyesali bahwa pekerjaan itu dilarang agama dan sebagai perbuatan haram.
2. Meminta maaf kepada orang yang bersangkutan
3. Mendo’akan dengan do’a yang baik agar orang yang pernah kita ghibah kepadanya diselamatkan oleh Allah Swt. kehidupannya.
12. Menebarkan Tazkiyah
Kata ini berakar dari kata zakiya, di dalam al-Qur’an berjumlah sebanyak 25 kali. Secara bahasa berarti tumbuh karena berkah dari Tuhan, seperti terkandung dalam arti zakat, terpuji. Sedangkan dalam pengertian lebih umum ialah membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji.
Berangkat dari pengertian di atas, maka sebahagian akar kata tazkiyah akan dijelaskan pada ayat-ayat berikut ini, antara lain :
1. Surat al-Nur ayat 21, yaitu :
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya : Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Penjelasan ayat di atas bahwa Allah melarang menyebarkan luaskan aib orang lain, karena perbuatan adalah perbuatan setan. Bila pekerjaan yang seperti mereka lakukan , maka Allah akan memberikan kehinaan bagi kehidupannya. Misalnya Hisan Misthah, yang suka berbuat nifaq dalam masyarakat, namun Allah tetep memberi kurnia dan rahmat kepadanya.
2. Surat al-Najm; 32, yaitu :
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
Artinya : maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.
Ayat ini menjelaskan bahwa seseorang dilarang mengatakan dirinya suci, karena yang tahu suci tidaknya seseorang adalah Allah. Kalaupun manusia tahu bahwa ia suci, tentu terlihat terhadap nilai ketaqwaannya. Nilai ketaqwaan itu terlihat : 1. Kepada Allah dan rasulnya, 2. Kepada sesama manusia, dan 3. Bersahabat dengan lingkungannya
3. Surat al-Taubah; 103, yaitu :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ
Artinya : Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo`alah untuk mereka.
Pada ayat di atas, salah cara untuk membersihkan diri itu adalah dengan mengeluarkan zakat, karena zakat mempunyai dua fungsi; 1. Untuk membersihkan diri dan 2. Untuk membersihkan harta itu sendiri. Sebab bila harta tidak bersih, dia akan membuat kita sengsara dan menderita, bahkan kita akan diaturnya, sehingga pandangan dan tujuan hidup kita hanya untuk harta saja.
4.Surat al-Nisa’ 49, yaitu :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا
Artinya : Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.
Ayat ini ditujukan kepada orang yang berjiwa Yahudi dan Nasrani, bahwa pekerjaan adalah meuji-muji diri sendiri dengan mengatakan bahwa dirinyalah yang bersih, sementara orang lain adalah kotor, jorok dan lain sebagainya. Kalau bertemu dengan, maka Allah mengingatkan bahwa yang berhak mensucikan diri itu adalah Allah sendiri. Kalau ada orang yang mengatakan dirinya suci, maka sebenarnya ia adalah kotor dan jorok, jahat dan timbalang talua. Kalau pecah baunya busuk sekali, kebusukan itu bukan hanya melanda dirinya, akan tetapi orang lainpun kena ketulahannya.
5. al-Baqarah; 151, yaitu :
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ ءَايَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْوَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
Artinya : Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni`mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
Ayat di atas menjelaskan salah cara untuk membersihkan diri itu adalah dengan al-Qur’an, yaitu dengan membaca, mendengar dan mempelajarinya serta mengamalkannya.
6. Fathir; 18, yaitu :
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَإِنْ تَدْعُ مُثْقَلَةٌ إِلَى حِمْلِهَا لَا يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى إِنَّمَا تُنْذِرُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَمَنْ تَزَكَّى فَإِنَّمَا يَتَزَكَّى لِنَفْسِهِ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
Artinya : Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihatNya dan mereka mendirikan sembahyang. Dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allah-lah kembali (mu).
Kesucian itu bukan untuk orang lain, akan tetapi adalah untuk diri kita sendiri. Karena Allah senang kepada orang yang suci,dan akan menerima orang suci
7. Surat al-lail; 18, yaitu :
وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى(17)الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى
Artinya : Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya,
Bentuk-bentuk kesucian itu terjadi
1) Suci secara fitrah, yaitu anak-anak sejak semula kejadiannya sampai mukallaf.
2) Jiwa yang suci, tapi bisa berubah jika tidak dipelihara kesuciannya (al-Syams; 10)
3) Ada usaha untuk penyuciannya (al-Fathir; 18)/ al-A’la;14). Atau usaha ini dilakukan dengan mengeluarkan zakat seperti (al-Taubah;103). Atau usaha dengan memelihara dan menahan pandangan kepada wanita, memelihara kemaluan (al-Nur;30).
4) Penyucian melalui dakwah/pendidikan (al-Jumu’ah; 2).
5) Melalui rahmat Allah Swt. (al-Nur; 21).
6) Melakukan zikir yang banyak
13. Jihad
الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ وَأُوْلَئِكَ هُمْ الْفَائِزُونَ ( التوبة : 19)
Artinya:Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalanAllah dengan harta benda dan diri mereka , adalah lebih tinggi derajadnya di sisi Allah dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.
1. Makna jihad
Di dalam al-Qur’an ayat yang memuat kata jihad terdapat sebanyak 263 kali. Kata jihad tersebut mempunyai arti yang bervariasi sekali. Untuk itu dapat dilihat dari beberapa aspek sebabagi berikut :
1. Dari segi bahasa, jihad berasal dari bahasa arab, j-h-d, jahada, yujahidu, jihadan yang berarti : jahd (kesukaran) atau Juhda (kemampuan). Quraish Shihab mengemukakan ialah kesulitan dan kesusahan. Sedangkan istilahan ialah : mencurahkan kemampuan dan kekuatan.
2. Dari segi pendekatan al-Qur’an, terdapat 41 kali dengan berbagai artinya yaitu dikelompokkan kedalam 4 bagian, yaitu :
(1). Perang dan membunuh. Hal ini tergambar dalam surat Taubat ayat 41 yang didampingi oleh kalimat infiruw, sedangkan membunuh dapat dipahami dari ayat qatalaatau qatilu. Hal ini dapat ditemukan dalam surat Taubat 34 dan Baqarah 264, Taubat 19, 24 dan 86. Sarana yang dipergunakan perang adalah dengan jiwa dan harta. Hal ini dtemukan dalam surat Hajji 78, Taubat 73.
(2) Berjihad dengan dialog, diplomsi). Hal ini terlihat dalam ungkapan imam At-Thabary yaitu jihad melalui lisan terhadap orang kafir .
(3) Jihad dengan makna kemampuan, hal ini ditemukan dalam surat Taubat ayat 79 yaitu illa juhdahum.
(4) Jihad dengan makna memaksa. Hal ini dapat dilihat pada ssurat Ankabut 8 dan Lukman 15 dengan kalimat wa injahadaka ( jiga kedua memaksa engkau ), maksudnya orang kafir untuk mempersekutukan Tuhan, maka jangan diikuti.
Sedangkan Yusuf Qardhawi dalam bukunya Berjuang di Jalan Allah membagi jenis jihad itu kepada 5 bagian, yaitu : 1. Lisan, yaitu melalui dakwah dan tabligh, 2. Ta’lim, yaitu melalui pendidikan dan pengajaran 3. Siyasah, yaitu melalui kegiatan politik, 4. Yad, yaitu melalui kekuasaan, 5. Mal, yaitu berjihad tersebut dengan harta benda.
2. Tujuan Jihad.
Tujuan jihad adalah untuk menjalan perintah Allah di dalam kehidupan, menegakan kalimat Allah di muka bumi, hal ini dilakukan sesuai dengan bahwa manusia adalah sebagai posisinya khalifah Allah di dunia ini dalam rangka mendapatkan redaNya.
3. Pembahagian jihad
Secara garis besar dibagi jihad tersebut kepada tiga bagian yaitu : 1. Jihad terhadap diri sendiri, 2. Jihad terhadap setan dan 3. Jihad terhadap musuh Islam. Sedangkan alat yang dipergunakan untuk berjihad itu adalah, harta, jiwa, dengan melalui lisan, politik, ta’lim dan kekuasaan serta budaya.
4. Keutamaan jihad
1). Di Dunia, yaitu memperoleh pahala dan bebas dari gangguan setan . Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Saw yang berbunyi :
ربط يوم وليلة خير من صيام شهر وقيامه وان مات فيه جرى عليه عمله الذى كان يعمل واجرى عليه رزقه وأمن الفتان ( رواه مسلم )
Artinya : Berjihad sehari semalam lebih baik dari puasa penuh sembari shalat dimalamnya. Apabila ia meninggal dunia ia akan memperoleh pahala amalannya secara berkesenabungan dan ia beroleh keamanan dari segala marabahaya/fitnah ( H. R. Muslim).
2). Di dalam kubur, yaitu akan membebaskan seseorang dari azab kubur. Hal ini dapat dilihat dalam hadis yang berbunyi :
كل ميت يختم على عمله الا المرابط ف سبيل الله فأنه ينمى له عمله الى يوم القيامة و يومن من عذاب القبر ( رواه ابودود وترمذى ).
Artinya : Setiap orang yang telahmati putus semua amalannya selain orang yang penah berjihad yang terus beroleh ganjarannya dan akan bebas dari siksa kubur.
3). Di akhirat, yaitu : akan memperoleh dua keutamaan, yaitu : 1) memperoleh naungan di yaum al-mahsyar, 2) masuk surga dengan aroma yang menyegarkan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Saw, sebagai berikut :
تضمن الله لمن خرج فى سبيله لايخرج الا جهادا فى سبيلى وايمانا وتصديقا برسلى على ان ادخله الجنة .. وريح ريح المسك ... ( رواه البخارى )
Artinya : Orang yang berjihad dan beriman kepada Allah serta membenarkan rasulNya, dijamin masuk syurga... dan aramanya bau kesturi.
5. Problem Jihad bagi Masyarakat Moderen.
Setalah memperhatikan penjelasan di atas, nampak bagi kita bahwa Islam memberi kedudukan strategis terhadap jihad, karena berkembang tidaknya Islam sangat ditentukan dengan ada tidaknya umat Islam melakukan jihad dalam membela agamanya. Memang perlu disadari bahwa mayoritas umat Islam di nusantara ini, nampaknya belum mencermin nilai-nilai Islam dalam kehidupan mereka, kenapa ? Jawabnya adalah bahwa usaha dan upaya pembelaan terhadap negara sebagaimana dipraktekan Nabi Saw di negara Madinah, masih belum didasari kepada kesadaran berbangsa dan bernegara yang benar, karena masyarakat dalam kehidupan bernegara memahami jihad sama dengan pemahaman jihad yang diisukan orang kafir yaitu perang dan permusuhan, dampaknya keutuhan umat Islam terganggu dan labil.
Akar permasalahannya adalah ketidaksamaan visi umat Islam dalam memahami jihad sebagai suatu media ampuh dalam mempertahankan negara dari berbagai sabotase baik dari luar ataupun dari dalam. Ketidak samaan pandangan tersebut adalah bersumber dari berbagai isu yang dihembuskan barat kedalam dunia Islam, termasuk Indonesia. Isu itu adalah apakah jihad itu bersifat ofensif atau depensif ?. Persoalan ini membawa problem lain, yaitu apakah Islam dikembangkan dengan kekerasan (perang) atau secara damai. Problem ini menimbulkan dua pandangan yaitu :
Jihad bersifat opensif ( dengan melalui kekerasan ). Pandangan ini dijadikan sebagai preseden oleh barat, ketika Nabi dan pasukannya menyerang terhadap kaum Yahudi Madinah. Pandangan ini dibesar-besarkan oleh oreantalis barat yang justru mereka mengomentari hadis nabi yang berbunyi :
جاهدوا المشركين باموالكم وانفسكم والسنتكم ( رواه ابو دود )
Artinya :Perangilah kaum musyrikin dengan harta, jiwa dan lidah kamu
2. Jihad bersifat depensif. Pandangan ini juga didasarkan pada ajaran-ajaran dasar Islam, terutama yang tertuang dalam hadis, bahwa jihad tidak selamanya dimaknakan sebagai perang. Dari bentuk-bentuk jihad di atas, tampak secara transparan bahwa jihad tidak selamanya perang, karena jihad itu ditujukan kepada diri dan setan. Hal itu dilakukan dalam bentuk non fisik.
Para oreantalis, mereka tidak mengerti asba al-wurud hadis.(latar belakang turunnya hadis) Nabi melakukan penyerangan terhadap Yahudi Madinah, yaitu bani Nadhir dan Qainuqa’ adalah tindakan pertahanan yang sangat perlu, karena kedua suku ini telah melakukan penyerangan dan propokasi untuk mengancurkan kekuaasaan Islam di Madinah. Kedekatan dan keharmonisan Nabi dengan kedua suku ini mereka pergunakan untuk menghancurkan umat Islam. Menindak lanjuti perlakuan mereka ini, tiada jalan lain yang mesti ditempuh adalah menghancurkannya. Islam akan melakukan apa saja ketika damai, akan tetapi bila kedamaiannya terusik, maka umnat Islam akan bangkit melakukan penyerangan. Bukan Nabi yang terlebih dahulu mengeruh suasana. Nabi hanya melakukan serangan balasan (conter attak) dan pembelaan diri, bukan opensif sebagaimana yang dituduhkan barat. Islam tidak mengedepankan perang, karena bertentangan dengan prinsip Islam. Islam hanya mengadakan pembelaan diri dan umat Islam dari kezaliman non Islam.
Pembelaan Islam dalam masyarakat madani, adalah didasarkan kepada persaudaraan universal (ukhwah Islamiyah) yang sama kewajiban dengan pembelaan diri. Namun karena adanya ikatan yang sangat erat di antara muslim, kendatipun dalam era yang berjauhan, mendorong muslim lainnya membantu saudara-saudaranya yang terzalimi. Hal fundamental inilah yang kadang kala disalah tafsirkan sebagai opensif. Karena itu dalam Islam perang sebagai jalan terakhir yang harus dilakukan secara proporsional, yaitu adil dalam motifnya, depensif dalam permulaannya, tinggi dalam pelaksanaannya, damai dan luhur dalam tujuan akhirnya serta berkemanusiaan dalam memperlakukan mereka yang dikalahkan.
6. Bentuk-bentuk jihad dalam masyarakat
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa terma jihad tidak hanya peperangan fisik, akan tetapi lebih jauh dari itu yaitu jihad dalam arti melawan nafsu dan hawa, jihad terhadap musuh dan jihad terhadap setan[28]. Bahkan ketiga bentuk jihad ini sekarang sangat dibutuhkan terutama dalam masyarakat.
1. Jihad melawan nafsu.
Jihad dalam pengertian ini menempati posisi utama sebelum jihad secara fisisk. Hal ini diungkap oleh Rasulullah Saw, berbunyi :ر جعنا من جهادالاصغر الى جهاد ا لاكبر
Artinya : kami telah kembali dari jihad kecil, akan kembali kepada jihad yang lebih besar.” Oleh sebahagian ulama menganggap bahwa hadis di atas bukanlah hadis, akan tetapi ungkapan salah salah sahabat dari Nabi Muhammad Saw. Namun oleh imam al-Zamakhsyari dianggap sebagai hadis.[29]
Jihad melawan nafsu menjadi dasar bagi jihad melawan musuh yang nyata, karena tidak mungkin seseorang dapat melakukan jihad melawan musuh yang nyata tanpa sebelumnya melakukan jihad internal melawan hawa nafsu. Jihad dalam makna ini setidaknya dapat berjuang melawan yang merusak kesucian jiwa seperti : nafsu amarah dan nafsu lawwamah. Lebih jauh lagi jihad melewan nafsu itu pada hakikatnya adalah mampu mengendalikna diri sendiri dalam menghadapi berbagai tentangan dan rintangan, seperti ingin dupuji, ingin dianggap sebagfai pahlawan, ingin mendapt binrang jasa, penghargaan. Motif-motif tersebut harus dilawan terlebih dahulu sebelum turun melakukan jihad melawan musuh secara nyata. Sebab bila seseorang belum mampu mengendalikan dirinya, secara psikologi, ia juga akan sangat sulit mengenmdalikan dirinya ketika secara fisik, sehingga motif perjuangannya tidak lagi dilandasi oleh keimanan yang mantap.
2. Jihad melawan setan
Setan adalah sumber dari segala kejahatan, karena setan bertugas menjadikan sesorang kafir, munafik dan menderita sakit hati, sehingga sangat boleh jadi akan mengundang berbagai kejahatan, jika manusia tidak berjihad melwan setan, maka mereka akan menjadi setan pula dari golongan manusia. Allah telah banyak memberikan peringatan kepada manusia, bahwa setan musuh. Setan tidak pernah kenal lelah dalam menggoda manusia. Sebagai penggoda setan selalu menghalangi semua perbuatan manusia kejalan yang baik. Hal dapat dipahami dari Q.S. Al-A’raf ayat 16-17 maksudnya :
Iblis menjawab; Karena Engkau telah menghukum saya sesat, maka saya akan benar-benar menghalangi mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan belakang, dari kana dan kiri. Dan Engkau tidak akan mendapati mereka bersyukur.
Begitu gencarnya setan, sehingga empat penjuru dikuasainya, semua itu mereka lakukan adalah menyumbat jalan manusia kepada kebaikan dan agar selalu tersesat dari jalan Allah Swt. Keberadaan setan sebagai musuh manusia adalah semenjak azal, yaitu semenjak alam maujud ini belum ada. Memperhatikan aktivitas setan itu tidak akan berhenti ssampai hari kiamat, maka jihad melawan setan justru jauh lebih berat dibandingkan dengan jihad melawan orang kafir, karena setan itu tidak tampak oleh panca idera kita, sementara setan dapat melihat kita, bahkan setan mengalir aktifitasnya keseluruh aliran darah manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. al-’Araf ayat 27, berbunyi :
إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ (الاعراف : 27 )
Artinya : Sesungguhnya setan dan pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.
Memang sulit membedakan antara bisikan setan dengan nafsu, kedua seolah identik, namun setan mempergunakan nafsu sebagai media tempat pintu masuk setan untuk menggoda manusia, kartena memang setan pandai menyesuaikan bisikannya dengan orang yang digodanya. Jika seseorang yang taat,setan mendorong agar meninggalkan ketaatan, dan membisikan kepada manusia bahwa perbuatan jelek itu adalah baik (al-Ankabut 38).
Memperhatikan sulit dan beratnya melawan setan, maka Allah Swt memerintahkan kepada manusia untuk memeranginya. Persoalannya sekarang adalah bagaimana teknik mengalahkan setan ? Strategi mengalahkan setan adalah dengan menutup pintu-pintu masuknya atau mematahkan semua kekuatan kejahatannya. Misalnya pintu masuk setan kedalam diri manusia itu adalah, membudayakan sikap zuhud, tawakkal, redha¸sabar dan qana’ah, hilangkan sifat riya’, suka dipuji, mengharapkan sanjungan dan penghargaan orang lain secara duniawi, serta landasi semua aktivitas kita dengan ikhlas mengharap mardhatillah.
3. Jihad melawan musuh
Jihad melawan musuh dilakukan dengan perjuangan fisik. Jihad dalam pengertian ini dilakukan dengan perang melalui pertempuran dan militer. Jihad seperti ini yang sering disalah pahami oleh barat, yaitu Islam diperjuangan dengan kekerasan. Pada hal jihad yang dimaksudkan adalah menetang kejahatan, kezaliman dan kemungkaran, bila dengan lemah lembut dapat dicegah, maka jalan kekerasan tidak mesti ditempuh. Karena agama Islam juga sebenarnya menentang perang, terkecuali bila musuh menghendakinya.
Jika ada ayat al-Qur’an memerintahkan untuk memerangi orang kafir, tidak berarti mereka diperangi karena keyakinan yang berbeda dengan keyakinan Islam, akan tetapi ditujukan kepada orang kafir yang benar-benar memerangi umat Islam. Artinya bila orang kafir telah mengancam umat Islam. Dengan demikian perang dalam Islam itu tidak bertujuan memaksakan keyakinan terhadap seseorang yang mempunyai keyakinan yang berbeda. Bagi Islam, keyakinan terhadap ssuatu agama merupakan hak azazi bagi setiap. Oleh karena itu kredo dalam Islam mengatakan, tidak ada paksaan dalam agama , (2;257). Meskipun Islam mengizinkan perang, tetapi ia tidak membenarkan bentuk perang yang melampaui batas, seperti pembunuhan terhadap anak-anak, wanita, orang tua dan merusak tanaman produktif serta mendahului penyerangan.
Berangkat dari praktek yang diajarkan Nabi Muhammad dalam melaksanakan jihad, nampak bagi kita bahwa Islam adalah agama perdamaian, agama yang dilandasi kepada toleransi yang yang mendalam. Bila ada kejadian-kejadian besar di negara ini yang menyangkut dengan masalah agama, terbukti umat Islam Indonesia tidak mudah termakan isu yang negatif dan tidak cepat pula timbul gejolak unjuk rasa yang mengerikan dan yang membahayakan kepada orang lain. Seperti ; Sambas, Nusa tenggara Barat, bom diledakan pada masjid Istiqlal dan masih banyak lagi yang tidak disebut secara terperinci di sini. Betapa dahsyatnya cacian, hinaan umat lain terhadap masyarakat Islam, namun Islam belum melakukan balasan, bukan berarti umat Islam tidak siap membalasnya. Semua itu dilakukan umat Islam, bukan karena mereka takut, akan tetapi adalah karena tingginya pemahaman mereka terhadap agamanya dan sekaligus mereka mengamalkan ajaran agama, dengan tujuan tercipta toleransi hidup beragama di negara ini. Inilah sebenarnya ciri-ciri masyarakat madani yang dicita-cita oleh Islam.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana mempertahankannya. Jawabnya adalah siapkan ilmuan, ulama, da’i, mubaligh, tekhnograt, birokrat, dan konglamerat untuk bertugas sebagai mujahid-mujahid yang mampu menyembatani antara berbagai kesejangan yang terjadi di negara ini, baik kesenjangan politik, hukum, sosial, budaya, pendidikan dan ekonomi, maupun kesejangan dibidang pemenuhan nilai-nilai spritual dan agama secara proporsional. Inilah jihad masyarakat madani model Indonesia. Semua ini dikembangkan melalui jihad bi al-lisan (dakwah atau tabligh), jihad bi al-ta’lim (pendidikan dan pengajaran), jihad bi al-siyasah (politik), jihad bi al-yad (kekuasaan) dan jihad bi al-maal (harta).
14. Membina persatuan
Allah Swt. dalam surat Ali Imran; 102-103 berfirman yang berbunyi:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ(102)وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ
(ال عمران : 102-103)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah sebenar-benarnya takwa, dan jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan berserah diri kepada Allah. Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kamu dulu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati kamu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara...”. ( Ali Imran /3 :102-103)
Di antara ajaran-ajaran penting yang dapat dipetik dari ayat di atas adalah: (1) agar kita selalu bertakwa, dan (2) berlandaskan ketakwaan itu menyatukan saf untuk membangun masa depan kita. Ajaran pertama, agar masing-masing kita selalu bertakwa kepada Allah serta meningkatkannya. Ayat tersebut mengingatkan agar jangan sampai meniggalkan dunia fana ini menghadap Allah melainkan dalam keadaan berserah diri kepada Allah. Peristiwa mati sangat rahasia sifatnya baik dari segi waktu atau tempatnya. Oleh karena itu, manusia diingatkan agar harus selalu waspada dan siap menerimanya. Kesiapan itu hendaklah diwujudkan dalam bentuk keta’atan kepada Allah yang berkesinambungan setiap waktu sampai nyawa berpisah dari badan.
Untuk menjaga kesinambungan itu, harus selalu waspada terhadap berbagai godaan duniawi yang mungkin membuat manusia lupa kepada Allah. Allah tidak merestui jika hamba-Nya melupakan-Nya, sebab akan mengakibatkan lupanya seseorang terhadap dirinya sendiri. Dalam ayat 19 surat al-Hasyr Allah mengingatkan :
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُوْلَئِكَ هُمْ الْفَاسِقُونَ (الحشر : 19)
Artinya: “Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, sebab (jika kallian bersikap seperti demikian) niscaya Allah akan membuat mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang yang fasik”.
Di antara bentuk peningkatan ketakwaan kepada Allah, adalah meningkatkan ibadat-ibadat ritual seperti shala dan puasa baik yang fardlu maupun yang sunat, zakat dan haji dan seperti membaca tasbih, takbir, tahmid, tahlil, dan membaca al-Qur’an. Ibadat merupakan sarana hubungan spiritual antara seorang hamba dengan Allah SWT, dan merupakan kebutuhan bagi kehidupan spiritual.
Manusia menpunyai dua bentuk kehidupan; kehidupan jasmani, dan kehidupan rohani. Sebagaimana halnya kehidupan jasmani selalu membutuhkan makanan dan minuman, demikian pula halnya dengan kehidupan rohani manusia, memerlukan makanan dan minuman, serta ada keharusan untuk menjaga kesahatannya. Kehidupan spiritual manusia, hanya bisa hidup dan sehat, bila ia mendapat gizi makanan dan minuman yang cukup. Ibadat merupakan gizi makanan dan minuman yang dibutuhkan oleh kehidupan spiritual.
Dalam kehidupan manusia, sering mengalami berbagai perubahan dan cobaan. Dalam menjalani kehidupan ini, unsur kehidupan rohani seseorang bisa jadi telah dipenuhi oleh kelalaian dan ketidakpastian yang membuatnya jauh Allah. Orang yang sudah jauh dari Allah, akan jauh dari kebenaran, dan orang yang jauh dari kebenaran, jiwanya akan menjadi kasar dan buta, yang membuat dirinya tidak sadar bahwa dirinya sedang berada dalam kesesatan. Ibadat, berfungsi memberi gizi kepada kehidupan rohani seseorang. Imam Ghazali, seorang ulama besar yang hidup pada awal abad keenam hijriyah dalam bukunya al-Munqiz Min al-Dlalal, menjelaskan bahwa ibadah dalam kaitannya dengan kesehatan kehidupan rohani, sama dengan fungsi gizi dan obat-obatan untuk kesehatan jasmani.
Fungsi ibadat bagi kehidupan spiritual, tidak ubahnya seperti fungsi air untuk menumbuh-suburkan tanaman. Tumbuh-tunbuhan yang selalu disirami dan hidup pada tempat yang berkecukupan airnya, akan lebih sehat, lebat daunnya, cepat pertumbuhannya, dan akan berbuah dengan lebih manis dan baik, dibandingkan dengan tumbuh-tumbuhan yang tidak cukup disirami dan berada di tempat yang miskin air. Demikian pula halnya dengan kehidupan spiritual manusia. Sehat tidaknya kehidupan spiritual seseorang, ditentukan oleh cukup tidaknya gizi yang diberikan dengan memperbanyak ibadah sesuai dengan yang telah digariskan Allah dan Rasulnya. Seorang mukmin, akan menemukan ketenangan jiwa dengan melakukan ibadah meskipun ia berada dalam keadaan sulit, dan dilingkungi hal-hal yang bisa membuat resah, dan akan meringankan seluruh deritanya apapun penderitaan yang sedang menimpanya. Ibadah bisa membuat suasana kejiwaan menjadi sejuk dan tentram, dan menyingkirkan berbagai keresahan.
Pada akhir surat al-Hijr ayat 97-99 Allah berfirman :
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِنْ السَّاجِدِين وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ (الحجر : 97-99)
Artimya: “Dan kami sungguh-sungguh mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji tuhanmu, dan jadilah kamu diantara orang-orang yang bersujud (sholat), dan beribadatlah kepada tuhanmu sampai datang kepada kamu yang diyakini (ajal)”.
Dari ayat tersebut kata mendapat gambaran bahwa Rasulullah juga, dalam menghadapi berbagai kenyataan sosial, sebagai seorang manusia pernah gelisah. Lalu Allah mengajarkan, agar kegelisahan seperti itu bisa disingkirkan dengan banyak mengucapkan tasbih, serta banyak melakukan shalat. Pada akhir ayat ini Allah mengingatkan agar jangan sampai terputus dalam melakukan ibadat. Sampai waktu nyawa dipisahkan dari badan. Disamping kewajiban meningkatkan ketakwaan, ajaran lain yang dapat dipetik adalah kewajiban untuk menggalang persatuan dikalangan umat Islam. Atas dasar takwa kepada Allah dapat mempersatukan saf dalam membangun masa depan di dunia maupun di akherat kelak. Allah Swt. mengingatkan agar tidak berpecah belah. Setelah Allah memerintahkan agar umat Islam berpegang teguh kepada agama Allah, selanjutnya dalam ayat tersebut secara tegas Allah melarang umat Islam berpecah belah.
Pada masa jahiliah, antara berbagai suku arab disekitar mekah dan madinah saling bermusuhan dan sifatnya sangat mudah tersulut peperangan. Namun kemudian setelah Islam datang, dengan mengajarkan ajaran Islam hati mereka menjadi lunak dan saling mengasihi, sahingga meraka menjadi suatu persaudaraan yang diikat oleh tali aqidah Islam tanpa melihat kepada adanya perbedaan suku dan warna kulit. Dengan persatuan umat Islam itulah negara Islam yang dipimpin oleh Rasulullah dimadinah menjadi kokoh. Namun, melihat persatuan kokoh yang dibina Rasulullah itu, ada saja pihak-pihak yang dengki dan iri hati. Sebab, jika persatuan umat Islam tetap terpelihara seperti yang diajarkan agama Islam, maka pihak musuh merasa khawatir tidak mendapat bagian dalam kekuasaan. Dalam rangka menggerogoti persatuam umat Islam itulah seorang Yahudi bernama Syasy bin Qies membuat sebuah taktik bagaimana memecah belah umat Islam.
Di riwayatkan, bahwa pada suatu ketika Syasi bin Qies lewat pada suatu kelompok yang terdiri dari suku ‘Aws dan Khazraj yang sedang bercengkrama dengan akrapnya. Orang Yahudi itu merasa iri dan dengki terhadap keakraban dua suku yang beragama Islam itu. Lalu orang Yahudi itu mengirim seorang profokator ketengah kelompok itu untuk memecah belahnya. Dengan kelihaian profokator Yahudi itu, dua kelompok Muslim itu sempat lupa diri, sehingga terpengaruh oleh hasutan sampai siap untuk berkelahi. Hal itu segara di ketahui Rasulullah, lalu didamaikan. Di saat itulah turunya ayat di atas. Dengan ayat tersebut umat Islam diingankan agar jangan sampai berbalik kebelakang menjadi kembali berpecah belah seperti dimasa jahiliah.
Bangsa dan negara yang terdiri dari tidak kurang dua ratus suku bangsa dan dan bahasa dengan ribuan pulau tersebar dari timur ke barat, di bawah kesatuan Republik Indonesia, dituntut untuk memelihara persatuan yang telah pernah diraih dan yang telah terjalin dengan susah payah, dengan sehelai demi sehelai benang. Umat Islam tidak boleh lupa bahwa perpecahan dikalangan umat Islam akan melumpuhkan kekuatan umat Islam. Dalam ayat 46 suarat al-Anfal kita diingatkan :
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ ( الانفال : 46)
Artinya: “Dan taatlah kalian kepada Allah dan Rasulnya, dan janganlah kalian berbantah-bantah yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatanmu, dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.
Persatuan umat Islam adalah lambang kekuatan umat Islam. Tanpa persatuan itu, umat Islam akan lumpuh berhadapan dengan berbagai kekuatan yang menunggu-nunggu kesempatan untuk menguasai umat Islam. Oleh sebab itu, umat Islam tidaklah sepantasnya untuk berbangga diri hanya dengan alasan bahwa secara kuantitatif umat Islam berjumlah besar bahkan dalam suatu negara seperti di Indonesia umat Islam berjumlah lebih besar dibandinkan dengan umat-umat lain. Jumlah yang besar bila tidak dibarengi dengan persatuan dan mutu, jangan bermimpi akan bisa menyaingi suatu kelompok biarpun sedikit secara kuantitatif tetapi bermutu dan bersatu. Berhubungan dengan hal ini, ada baiknya kita kemukakan di sini peringatan Rasulullah yang selalu relevan untuk disimak : Dalam sebuah hadist bahwa Rasulullah bersabda: Artinya: “Umat-umat lain akan segera berkerumun menjadikan kalian sebagai mangsa yang dikalahkan, seperti memakan hidangan didalam piring”. Lalu ada sahabat yang bertanya: “Apakah kami diwaktu berjumlah sedikit? Rasulullah menjawab: “Bahkan kalian waktu itu banyak dari segi jumlah, akan tetapi kalian tidak lebih dari sebagai buih/sampah, tak ubahnya seperti buih (yang diombang-ambingkan oleh) air bah. Maka diwaktu itu, Allah menyingkirkan rasa takut dari hati musuh kalian, dan sebaliknya Allah menanamkan rasa al-wahnu di hati kalian. Lalu adalagi sahabat yang bertanya: “Apa yang engkau maksud dengan al-wahnu Rasulullah”. Rasulullah menjawab: “Al-wahnu ialah cinta kepada dunia dan takut mati.”(H.R. Abu Daud).
Dalam berbagai literatur ke-Islaman diperoleh informasi bahwa yang dimaksud oleh hadist ini adalah, umat yang banyak jumlahnya, tetapi tidak bermutu dan tidak besatu atau bersatu tetapi tidak bermutu, dicontohkan oleh Rasulullah sebagai buih atau sampah yang tak ada gunanya yang mengambang di permukaan air yang mungkin terdampar kemana saja air mengalir dan kemana saja dihempaskan gelombang. Begitulah pula nasibnya suatu umat yang hanya mengandalkan jumlah bilangan, tetapi tidak bersatu dan tidak mengindahkan mutu, atau bersatu tetapi tidak dibarengi dengan peningkatan mutu, akan mengambang, terombang-ambing dibawa arus, pergi kemana saja dibawa angin, dan akan terdampar kemana saja dihempaskan gelombang.
Peringatan ini patut untuk selalu kita simak. Kelalaian umat Islam dengan hal yang seperti ini, akan berakibat fatal. Secara historis dalam suatu peperangan umat Islam pernah terkecoh dengan jumlah mereka yang melebihi jumlah pihak musuh. Setelah kota Makkah dapat di kuasai umat Islam dan masyarakat disekelilingnya berbondong-bondong masuk Islam, maka ada beberapa suku yang tetap mengadakan perlawanan terhadap Rasulullah dan ajarannya seperti kabilah Hawazin dan kabilah Tsaqif. Kedua belah pihak siap untuk bertempur. Kebetulan secara kuantitatif, jumlah kaum Muslim jauh lebih banyak dibanding dengan jumlah tentara musuh, dan bala tentara Islam menjadi terkecoh dengan jumlah mereka yang banyak itu. Namun, rupanya yang banyak saja tidak bisa menjadi ukuran, karena ternyata waktu mereka digempur musuh disuatu lembah bernama Hunain, mereka, umat Islam, tidak mampu bertahan, dan terpaksa lari terbirit-birit. Inilah yang di firmankan Allah dalam ayat 25 surat al-Taubah;
لَقَدْ نَصَرَكُمْ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمْ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ ( التوبة : 25)
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) dimedan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyak jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai berai”.
Selain tugas di atas, maka tugas berikut adalah sebagai yang diungkap oleh Hamzah Ya’cub, ia menjelaskan bahwa tugas da’i adalah:
i. Meluruskan i’tikad
ii. Mendorong dan merangsang orang untuk beramal
iii. Mencegah kemungkaran dan membersihkan kemungkaran
iv. Membersihkan jiwa
v. Mengokohkan pribadi
vi. Membina persatuan, persaudaraan dan menolak cultur yang merusak[30]
Selain itu Hamkadalam Panji Masyarakat Nomor 269 tahun ke 20, menjelaskan bahwa tugas da’i adalah:
Mengansur-ansur menghilangkan waham dan keraguan yang ada dalam hati manusia, dan membawa orang banyak kepada sifat-sifat yang cerdas serta menunjukkan jalan yang baik.[31]Lebih jauh M. Natsir dalam majalah Suara Mesjid Nomor 2 tahun 1978, mengemukakan bahwa tugas da’i adalah menyampaikan kalimah yang hak dengan cara yang hasanah yang mengandung hikmah atau dengan cara bijaksana.[32]
Dengan memperhatikan pendapat di atas tentang tugas-tugas yang dilaksanakan oleh da’i, dapat diambil pengertian bahwa da’i tidak hanya membawa orang kepada Islam, tetapi sekaligus membina dan membimbing masyarakat agar mempunyai iman yang lurus dan membersihkan kemungkaran yang berkembang di tengah masyarakat serta membawa orang lain kepada kecerdasan dengan penuh bijaksana.
Tugas yang dilakukan oleh da’i tersebut merupakan amanah dan kontinyiutas risalah, baik dari umat Islam kepada umat Islam, maupun kepada umat selain Islam. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam surat Ali Imran ayat 110 yang berbunyi sebagai berikut:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya :Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.[33]
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa sebaik-baik umat adalah mengajak orang lain untuk berbuat kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. Kemungkaran tidak akan musnah dan habis di permukaan bumi ini, bila umat tidak melaksanakan tugasnya masing-masing dengan baik, dan kebaikan itu tidak akan datang bila manusia menyia-nyiakan amanah Allah Swt.
[1]Manal Samir al-Rafi’i, Ilm al-Tauhid, Jami’ah al-Azhar, Mesir, 1983, h. 10. Kajian tentang ilmu tauhid, banyak disarikan dari buku Muhadharat ‘Ilm al-Tauhid, oleh Said Abd. Al-Tawwab Abd. Al-Hadi, Jami’ah al-Azhar Mesir, 1983.
[2]Qadhi Abdul Jabbar, Syarh al-Ushul al-Khamsah,Maktabah Wahbah, Kairo, 1965 hlm. 142. Lihat, Qadhi Abdul Jabbar, Al-Mughni fi Abwab al-Tawhid wa al-'Adl, Dar al-Misriyah li al-Ta'lif wa al-Tarjamah, Kairo, hlm. 13.
[3]Fuad Mohm. Fachruddin, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam, Jasa Guna, Jakarta, 1988, hlm. 88.
[4]Ali al-Syami al-Nasyar, Nasya'ah al-fikr al-Falsafati al-Islam, Dar al-Ma'arif, Kairo, 1977, hlm. 440.
[5]Qadhi Abdul Jabbar, Syarh..., op. cit., hlm. 741.
[7]Al-Zamakhsyari, Al-Kasyaf, Juz. I, Istiqamah, Al-Qahirah, 1953, hlm. 304.
[8]Ia lahir tahun 450-505 H/1058-1111 M) disebuah kota Thus, Khurasan. Di kota ini pula ia belajar ilmu kalam pada gurunya al-Juwaini (419-478 H/1028-1087 M), Lihat; Jalal Muhammad Musa, Nasya-ah al-Asy’ariyah wa al-Thatawwuruha, Dar al-Kitab al-Lubnani, Beirut, t.t. hlm. 422. Lihat, M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, hlm. 133.
[9]Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din II, Maktabah Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah, t.t. hlm. 140-141, Lihat, Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, UI Press, Jakarta, 1988, hlm. 104.
[10]Abu Muhammad ibn Hazam, Kitab al-Fisal fi al-Milal wa al-ahwa wa al-Nihal, Dar al-fikr, Beirut, 1320, hlm. 171.
[11]Qadhi Abdul Jabbar, Mutasyabih al-Qur’an, Dar al-Turats, Kairo, 1969, hlm. 623.
[12]Qadhi Abdul Jabbar, Syarh..., op. cit., hlm. 148.
[13]I b i d.
[15]A. Hanafi, Teologi Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1991, hlm. 45.
[16]Qadhi Abdul Jabbar, Al-Majmu' fi al-Muhit bi al-Taklif, al-Matba'ah al-Kasulikiyah, Beirut, 1965, hlm. 3.
[17]Qadhi Abdul Jabbar, Al-Mughniy..., op. cit., Vol. 11, hlm. 300.
[19]Qadhi Abdul Jabbar, Syarh..., op.cit., hlm. 744
[20]Ibid.
[21]Hamidullah Cs, Politik Islam Konsep dan Dokumentasi, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. xi.
[23]Salman al-Audah, Amar Ma'ruf, Nahi Mungkar, (terj. Rahmad), Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 1993, hlm. 71.
[25]Amin Rais, Cakrawala Islam Antara Citra dan Fakta, Mizan, Bandung, cet. III, 1991, hlm. 27.
[26]Muhammad Fuad Abd. Baqi, Mu’jam al-Mufahris li-al-Fazh al-Qur’an al-Karim, Dar al-Ma’rifat, Beirut, 1407, h. 256
[27] Muhammad Fuad Abd. Baqi, Mu’jam… ibid, h. 541-2
[28] Wahbah al-Zuhaili, al-Munir, Jilid, 17… op.cit, h. 285
[29] Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, Juz. III… op.cit, h. 239
[30]Hamzah Ya’cub, op.cit., h. 18
[31]Hamka, Panji Masyarakat, Nomor 269, tahun ke-20, h. 15
[32]M. Natsir, Majalah Suara Mesjid, Nomor 2 tahun 1978, h. 5
[33]Departemen Agama RI., op.cit., h. 94
0 Comment