Tuesday, October 30, 2012


A. Latar Belakang
Masyarakat yang serba komplek, sebagai produk dari kemajuan teknologi, mekanisasi, industrilisasi dan urbanisasi, memunculkan banyak masalah sosial. Maka adaptasi atau penyesuaai diri terhadap masyarakat modern yang hyperkompleks itu menjadi tidak mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi dan adjustment menyebabkan kebingungan, kecemasan dan komplik-komplik, yang terbuka maupun yang eksternal sifatnya, maupun yang tersembunyi dan instemal dalam bathin sendiri, sehingga banyak orang mengembangkan pola tingka laku menyimpang dari norma-norma umum, atau berbuat semaunya, semi kepentingan sendiri dan mengganggu atau merugikan orang lain.

Masalah-masalah sosial pada zaman modern yang dianggap sebagai sosiopatik atau sakit secatra sosial, dan secara populer kita kenal sebagai penyakit masyarakat itu merupakan fungsi struktural dan totalitas sistem sosial. Dengan kata lain, penyakit masyarakat yang demikian merupakan produk sampingan, atau merupakan konseksekuensi yang tidak diharapkan dari sistem sosio-kultural zaman sekarang, dan berfungsi sebagai gejala tersendiri.
Pada zaman, ini bertemulah banyak kcbudayaan sebagai hasil dari semankin padatnya jaringan komunikasi daerah, nasional dan internasional. Amaluarnasi (sambungan, campuran, keluhan.) antara bermacam-macam kcbudayaan itu kadangkala bisa berlangsung lancar dan lembut. Akan tetapi tidak jarang berlangsung, melalui komplik-komplik hebat. Terjadinya komplik-¬komplik budaya , dengan kemunculan situasi sosial yang khaotis dan kelompok-¬kelompok sosial yang tidak bisa dirukunkan, tidak bisa didamaikan. Sehingga mengakibatkan banyak kecemasan, ketegangan dan ketakutan dikalangan rakyat banyak, yang semuanya tidak bisa diccrnakan dan integrasikan oleh individu. situasi sosial seperti ini pada ahkhirnya mudah mengembangkan tingkah laku patologi/sosiopatik yang menyimpang dari pola-pola umum. Timbullah kciornpok-kelompok dan faraksi-fraksi ditengah masyarakat yang terpecah-peah, masing-masing menaati norma-norma dan peraturannya sendiri, dan bertingkah laku semau gue, maka muncullah banyak masalah sosial , tingkah laku sosiopatik, deviasi sosial, dan diferensiasi sosial.
Maka dalam makalah ini akan dibahas pola tingkah laku menyimpang yang termasuk dalam patologi sosial yang pornografi dan porno aksi, yang meliputi: pengertian dan teori, penyebab dan akibat yang ditimbulkan, pandangan Islam, dan Solusi dakwah dan upaya mengatasinya.
B. Pengertian dan tiori
Menurut Gus Mus, sekarang ini difinisi porno aksi dan porno grafi belum jelas dan belum baku, sehingga untuk menetapkan apakah suatu perbuatan tersebut termasuk dalam pornografi atau porno aksi masih sangat sulit.
Sementara itu menurut pendapat pengamat pornogarafi dan pornoaksi, Evi mencontohkan pengertian pornografi yang menurutnya perlu dipertalian agar tidak mengandung makna ganda. la juga meminta kejelasan mengenai korban porno grafi yang bisa disalah artikan sehingga dapat diskriminalisasi. Lalu ada pula pasal-pasal pengecualian yang di mintanya diperjelas. "Masih ada beberapa pasal yang membuka peluang, perdebatan," sebutnya. Pengurus PP NA beraudiensi dengan Wapres untuk melaporkan rencana Muktamar XI di Makassar 18-21 November 2008. Pada audiensi itu, Wapres meminta NA untuk ikut berkontribusi terhadap penvelesaian RUU ini.
Mari beberapa pendapat pengamat di atas dapat disimpulkan untuk mendudukkaan defenisi pornografi dan pornoaksi belum mendapatkan pengertian yang tepat karena banyak pandangan-pandangan, Namun ada tiga poin penolakkan RUU APP dan bantahannya:
Pertama, membawa ujaran Islam, pendapat orang yang menolak RUU APP karena alasan bernuasa Islam memang tidak terlalu mengemuka. Namun pihak yang berpendapat seperti ini tidaklah sedikit. Salah satunya budayawan asal Bali Putu Setia.
bantahannya: pendapat Putu Setia itu tidaklah berdasar. RUU APP adalah RUU hak inisiatif DPR,  RUU ini sudah longgar di DPR selama tujuh tahun lebih dan baru DPR ini serius menggarapnya. Para perumusnya tahu betul keberagaman yang ada di Indonesia, sehingga mereka membuat sebuah RUU untuk semua masyarakat, sebagai mana dikemukan oleh Wakil Ketua Pansus Yoyo Yusroh, kita sadar betul bahwa Indonesia ini tidak semua beragama Islam, kita membuat UU bukan cuma buat kalangan Muslim saja, tapi umum semua agar bisa diterima semua komponen bangsa. Tidak juga benar jika RUU APP beraroma Islam, sebab yang mendukung RUU APP tidak hanya dari kalangan Islam, juga dari luar Islam. Kaum di luar Islam mendukung RUU APP karena ajaran mereka pun menolak hal-hal berbau pornografi dan pornoaksi. Jadi, tidak jelas benar aliansi para penolak RUU APP tersebut.
Kedua: Alasan Mengebiri budaya Lokal, Pihak yang menolak RUU APP karena alasan budaya juga tidak sedikit jumlahnya. Kelompok yang paling terdepan mengibarkan bendera penolakkan karena alasan budaya ini kebanyakkan adalah para budayawan. Kekuatan mereka terletak pada dukungan media masa yang selama ini akrab dengan pemberitaan yang berbau porno. Selain mediaa yang bernuansa porno, Kompas dan Tempo, adalah dua media yang terdepan yang mengiring opini masyarakat untuk menolak pengesahan RUU APP Juni mendatang. Tempo, misalnya, pada sabtu(4/3) membuat gambar karikatur sinis. Gambar itu membuat tiga orang yang datang berjemur dengan memakai pakaian kantor. Di bawah gambar karikatur tersebut tertulis” Jika UU APP berlaku di Bali.
Bantahannya :Pendapat  ini pun tidak berdasar. Salah satu panitia RUU yang menolak pendapat ini adalah Ketua Pansus RUU APP DPR Rl asal Partai Demokrat (PD) H. Balkan Kapiale. "Tidak benar, Justru di RUU APP ini budaya masyarakat lokal, seperti Papua, Bali, Ratam dan lainnya diakomodasi, katanya: Kapiale tidak memugkinkan jika motif alas penolakkan lebih kepersoalan politik dan kepentingan kelompok tertentu. Besar muatan politik ketimbang yuridisnya, ia rasakan ketika pembahasan definisi porno garafi yang cendrung berputar-putar dan berbelit.
Ketiga: Alasannya: Melanggar HAM dun kebebasan berekpresi. Pihak yang berada di garda terdepan menolak RUU APP dengan alasan HAM dan kebebasan berekspresi adalah kelompok yang selama ini mengagungkan-agungkan SEPILIS (Sekelarisme, Pluralisme, dan Liberalisme). Mereka adalah kelompok litas agama, suku, etnis dan latar belakang budaya. Namun mempunyai napas yang sama, yaitu menganggap semua agama adalah sama saja.
Bantahannya: Lagi-lagi kita disuguhi pandangan yang sama sekali tendensius. Pandangan mereka hanya didasari asumsi kepentingan mereka semata, Mereka tidak pemah memikirkan nasib anak-anak Indonesia yang terancam hancur karena berbagai tayangan rendahan dan tak berpendidikan tersebut, bahkan tega-teganya mereka menuding pembuat RUU APP sebagai pemecah belah bangsa. Apa yang sudah mereka lakukan untuk melindungi moral generasi bangsa dari pemberitaan dan tayangan jahilliyah yang kini melanda bangsa?
Dari tiga poin penolakan RUU APP dan bantahannya yang penulis kutip dari majalah sabili edisi: 23 Maret 2006 dapat disimpulkan penetapan UU APP oleh DPR pada Juni lalu tidak ada masalah lagi dari 167 lembaga yang ada, sebanyak 143 lembaga telah menyetujui terbentuknya RUU APP, dan 24 lainnya menolak, dan lebih kurang 70% telah menyepakati terbentuknya undang-undang tersebut, cuman bagi orang yang menolak tersebut adalah orang–orang yang mementingkan pribadi atau kelompok, dan tidak mementingkan kemaslatan masyarakat banvak dari kepentingan mereka tersebut. Menurut penulis bahwa pengertian dan definisi dari pornografi dan pornoaksi berdekatan dengan pengertian prostitusi, alasan penulis menvatakan pornografi dan porno aksi tidak teneujud kalau tidak diawali dengan prostitusi atau pelacuran, bahwasanya kedua pola tingkah laku menyimpang ini sejalan, orang yang terlibat pola tingkah laku prostitusi, pelacuran, komersil juga terlibat dalam pornografi dan ponoaksi.
Dilihat dari dari pengertian prostusi seperti yang dikemukakan oleh Profesor.W.A Boger dalam tulisannya maatchapplijke Oorzaken der Prostitutie menulis defenisi sebagai berikut: Proutitusi adalah gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencarian .
Senada dengan itu Sarjana PA.De Bruine van Amstel menyatakan sebagai berikut prostitusi adalah adalah penyerahan diri, dari wanita kepada banyak laki-¬laki dengan pembayaran.
Dilihat lagi dari peraturan pemerintah Daerah DKI Jakarta Raya tahun 1967 mengenai penanggulangan masalah pelacuran, menyatakan sebagi berikut: Wanita tuna susila adalah Wanita yang mempunyai kebiasaan melakukan hubungan kelamin di luar perkawinan, baik dengan imbalan jasa atau tidak."
Sedangkan peraturan Pemerintah Daerah tingkat satu Jawa Barat untuk melaksanakan pembatasan dan penerbitan masalah pelacuran, menyatakan sebagi berikut: Pelacur, selanjutnya disingkat P, adalah mereka yang biasa melakukan hubungan kelamin diluar pernikahan yang syah.
Ditinjau dari pratek pornoaksi adalah adengan atau tayangan dari orang yang sedang melakukan hubungan intim atau kelamin, baik dalam pernikahan maupun di luar pernikahan yang syah, tapi orang yang melakukan pelacuran adalah kebanyakkan di luar pernikahan, perselingkuhan, dan wanita simpanan di luar pernikahan.
Dan pornografi adalah gambar-gambar adengan-adengan atau tayangan-¬tayangan orang yang sedang melakukan hubungan intim atau kelamin baik dalam pernikahan maupun diluar pemiakahan yang, disebarluaskan pada tanyangan media massa seperti majalah, Internet, dan buku seks.
Yang jelas pornografi dan pomoaksi adalah sosial problem dan jauh dari norma-norma dan a susialah yang dapat menganggu dan meresahkan masyarakat.
C. Penyebab dan akibat yang ditimbulkan
Belangsung perubahan-perubahan sosial serba cepat dan perkembangan yang tidak sama dalam kebudayaan, mengakibatkan kemampuan banyak individu untuk menyesuaikan diri. Serta timbulnya disharmoni, komplik-komplik eskternal dan internal, dan juga disorganisasi dalam masyarakat dan dalam diri pribadi. Peristiwa-peristiwa tersebut di atas memudahkan individu pola-pola responsi/reaksi yang inkonvensional atau menyimpang dari pola-pola umum yang berlaku .
Penyebab dari pornografi dan porno aksi ditinjau dari interan adalah dari pelaku itu sendiri karena adanya ganguan kejiwaan seperti ketidakpuasan, kekecewaan, atau karena unsur eksteren seperti ekonomi, sosial, kultural atau budaya, ditinjau dari penyebab penyebaran gambar-gambar porno dan VCD dan DVD porno yang di dalamnya terdapat adengan dan tayangan porno aksi adalah karena kepetingan pribadi dan kelompok dan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Menurut Kartini Kartono  dalam bukunya Palologi Sosial menyebutkan beberapa peristiwa sosial penyebab timbul pelacuran Yang akan berlanjut kepada praktek pornografi dan pornoaksi antara lain sebagai berikut:
a. Tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran, juga tidak ada larangan terhadap orang-orang yang melakukan relasi seks sebelum penikahan dan diluar penikahan.
b. Adannva keinginan dan dorongan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks, khususnya diluar ikatan perkawinan.
c. Komersialisasi dari seks, baik dari pihak wanita maupun germo-germo dan oknum-oknum tertentu yang memamfaatkan pelayanan seks.
d. Dekadensi moral, merosotnya norma-norma susila dan keagamaan pada saat orang mengenyam kesejeteran hidup, dan pemutarbalikkan nilai-nilai pemikahan sejati.
e. Semakin besarnya penghinaan orang terhadap martabat kaum wanita dan harkat manusia.
f. Kebudayaan eksploitasi pada zaman modern ini, khususnya mengeploisasi kaum  wanita untuk tujuan-tujuan komersil.
g. Ekonomi laissez-faire menyebabkan timbulnya sistem harga berdasarkan hukum “Jual dan permintaan” yang diterapkan pula dalam relasi seks.
h. Peperangan dimasa kacau (dikacau oleh gerombolan-gerombolan pemberontak) di dalam negeri meningkatnya jumlah pelacuran.
i. Adanya proyek-proyek pembangunan dan pembukaan daerah-daerah pertambangan dengan konsentrasi kaum pria, sehingga mengakibatkan adanya ketidakseimbangan rasio dan wanita-wanita di daerah tersebut.
Penyebab-penyebab pelacuran juga menjadi penyebab dari peristiwa sosial pornografi dan pornoaksi karena orang–orang yang berkerja yang terlibat dalam pornografi dan pornoaksi juga berstatus sebagai pelacur, dan berkerja sama pada oknum-oknum tertentu, yang tidak bertanggung jawab dalam mencari keuntungan dan kemersial.
Dilihat dari motif-motif yang melatar belakangi munculnya pelacuran pada wanita yang juga merupakan memicunya pornografi dan pornoaksi adalah:
a. Adanya kecendrungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk menghindarkan diri   dari kesulitan hidup, dan mendapatkan kesenangan melalui jalan pendek. Kurang pengertian, kurang
pendidikan, dan buta huruf, sehingga menghalalkan pelacuran.
b. Ada nafsu seks yang abnormal, tidak teritegrasi dalam kepribadian, dan keroyalan seks. Histeris dan hyperseks, sehingga tidak merasa puas mengadakan relasi seks dengan satu pria atau suami.
c. Tekanan ekonomi, atau faktor kemiskinan.
d. Adanya materil yang tinggi pada diri wanita dan kesenangan ketamakkan pada busana-busana indah dan perhiasan mewah. Ingin hidup bermewah-mewah namun malas bekerja.
e. Kompensasi terhadap perasaan inferior. Jadi ada adjustment yang, negatif, terutama sekah pada masa puber dan andolesen
f. Rasa melit dan ingin tahu gadis-gadis cilik dan anak-anak puber pada masalah seks, yang kemudian tercebur dalam dunia pelacuran oleh bujukkan bandit-bandit seks.
g. Anak-anak Ladis memberontak terhadap otoritas orang tua yang menekan banyak tabu dan peraturan seks. Juga memberontak terhadap masyarakat dan norma-norma susila yang diangap terlalu mengekang, dan anak-anak remaja mereka lebih menyukai pola seks bebas.
h. Pada masa kanak-kanak pernah melakukan relasi seks atau suka melakukan seks sebelum perkawinan (ada premarital sekrelation) untuk sekedar iseng atau atau menikmati "masa indah" di kala muda. Atau sebagai simbol keberanian dan kegagahan telah menjelajahi seks dunia seks secara nyata. Selanjutnya gadis-gadis tadi terbiasa melakukan banyak relasi seks secara bebas dengan pemuda-pemuda sebaya, lalu terpelosoklah mereka kedunia pelacuran.
i. Gadis-gadis dari slum (perkampungan-perkampungan melarat dan kotor dengan lingkungan immoril yang sejak kecilnya selalu melihat persenggamaan orang-orang dewasa secara kasar dan terbuka, sehingga terkondisi mentalnya dengan tindak-tindak asusila. Lalu menggunakan mekanisme pelacuran untuk mempertahankan hidupnya.
j. Oleh bujuk rayu kaum laki-laki dan para calo, terutama yang menjanjikan pekerjaan-pekerjaan terhormat dengan gaji tinggi. Banyaknya stimulasi seksual dalam bentuk film-film biru, gambar gambar porno, bacaan cabin, gang-gang anak muda yang mempraktikkan relasi seks, dan lain-lain.
k. Gadis-gadis pelayan toko dan pembantu rumah tangga tunduk dan patuh melayani kebutuhan–kebutuhan seks dari majikan untuk tetap mempertahankan pekerjaaannya.
Masih banyak lagi motif-motif yang melatar belakangi munculnya pratek¬prostitusi, yang akan rnemuncul peristiwa patologi sosial pornografi dan aksi dalam mengembangkan kepetingan pribadi dan kelompok yang menjadikan sebuah bisnis oleh oknum-oknum tertentu. Akibat dari bekembang pornografi, dan aksi akan membawa akibat yang paling buruk, bagi masyarakat terutama generasi muda anak-anak dan remaja yang akan mengalami kerusakkan moral yang terpengaruh oleh gambar atau tayangan pornografi dan pornoaksi, apalagi anak remaja yang sedang menginjak pra dewasa dalam pencarian jati diri, dari tidak tahu menjadi tahu dan rasa inilah yang membuat remaja banyak terjebak pada pornografi dan pornoaksi. Anak-anak dan remaja adalah harapan bangsa yang akan mclanjut dan mengantikan para generasi tua. Apa bila mereka tidak pruduktif lagi dalam menjalankan tugas dan kepemimpinan bangsa dan negara ini, apabila generasi telah menular kerusakkan moral, maka lahirlah pemimpin–pemimpin yang tidak bermoral dan bermatabat secara norma, hukum, susila, dan agama.
D. Pandangan Islam
Khasus kehidupan diperkotaan yang biasa dijadikan simbol modernisasi, sekularisme, dan jauh dari agama, akhir-akhir ini menarik untuk diamati dan diteliti. Ada gejala kesadaran kehidupan beragama juga sedang tumbuh di kota-¬kota besar. Walaupun secara secara statistik gejala ini mungkin masih lebih kecil dari kehidupan glamour perkotaan, tetapi secara kasad mata gejalanya sudah cukup banyak dan patut mendapat perhatian Diperkotaan, kehidupan memang komplek , adanya tempat-tempat hiburan , perjudian, reakreasi, bahkan pelacuran yang memunculkan pola prilaku menyimpang pelaku-pelaku pornografi dan pornoaksi seakan-akan merupakan ciri kehidupan perkotaan.
Ditinjau dari Al-Qur'an dan hadist larangan untuk tidak mempertontonkan auratnya terutama bagi para wanita dan melakukan hubungan seks diluar nikah menyebarkan melalui rekaman kamera dan TV, atau VCD dan DVD kepada masyarakat. Mengenai aurat Allah telah membatasi bagi wanita dari Ujung rambut sampai ampuh kaki, sebagai mana dalam Surat An-Nur ayat : 31, diberikan batasannya yaitu
 
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Dan ayat di atas dapat diambil pandangan jangan membuka seluruh anggota tubuh (porno atau cabid) tidak memakai jilbab atau kerudung sampai mengulurkan ke dada sudah termasuk membuka aural dan engkar kepada Allah, walaupun wanita itu shalat, puasa, hap, zakat, tapi tidak memakai jilbab juga itu termasuk orang yang ingkar kepada Allah karena mereka itu sebagian taat kepada Allah dan sebagian lagi ingkar kepada Allah, dan mereka ini akan mendapat mendapatkan siksa dan temasuk orang, yang merugi dihari kiamat nanti. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat:Al- Baqarah ayat 85:


Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat

Jadi dalam Islam itu tidak ada setengah-setengah dalam menutup aurat, dan Allah dan Rasulnya telah memberikan batasan yang harus tertutup dan batasan yang boleh dibuka pada wanita maupun pria, jika wanita hanya menutup setengah-setengah sama halnya dengan terbuka aurat dan akan mudah terjebak kepada perilaku menyimpang (pornografi dan pornoaksi) apabila mereka tidak beriman.
Pandangan Islam tentang prilaku menyimpang orang yang terlibat dalam prilaku porno aksi dalam Islam adalah perbuatan dan juga homoseks seperti yang, pernah dilakukan umat kaum Nabi Luth pada yang silam, perbuatan zina adalah perbuatan yang dimurkai oleh Allah dan termasuk dosa besar, dalam hal ini Allah secara tetras melarang umatnya untuk berbuat zina jangankan melakuakan menghampiri atau mendekatinva saja sudah dilarang. Sebagai, mana firman Allah dalam Al-Isra ayat 32:

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.

Pernyataan pornoaksi adalah pengembangan pelaku prustusi atau pelacuran yang ingin mengembangkan menjadi kepentingan pribadi dan kelompok dan menjadikan sebuah profesi untuk memperoleh keuntungan-keuntungan guna memenuhi kebutuhan hidup, ada juga porno grafi dan porno ini dikembangkan oknum-oknum tertentu dan orang-orang yang tidak bertanggung jawab guna hanya mengutamakan kepentingan kelompok atau pribadi dan bisa pelaku orang yang terlibat dalam prilaku pornografi dan pornoaksi biasa yang belum menikah dan yang sudah menikah.

E. Solusi dakwah dan upaya mengatasinya.
Solusi dakwah dalam mengatasi pornografi dan pornoaksi tidak bisa dilakukan oleh para da'i dan mubaligh-mubaligha saja, tapi harus melibatkan atau berkerja sama dengan elemen-elemen masyarakat, di antara: ulama, tokoh masyarakat, dan pemerintah, dan masyarakat umum.
a. Ulama, Da'i, Mubaligh
Yang dapat dilakukan oleh para ulama adalah membuat dan mengeluarkan fatwa tentang haramya pornografi dan porno aksi dengan dalil nas yang syar'i dan pertimbangan-pertimbangan matang, bagi para Da'i atau mubaligh dengan melakukan pendekatan terhadap pelaku-pelaku dengan orang-orang, yang terlibat dalam pornografi dan pornoaksi dengan pendekatan psikologis, sosial, antropologis, menyeruh dan mengajak mereka ke jalan yang benar yaitu jalan sirathal mustakin. Karena manusia terdiri dari beberapa unsur yang, melekat pada dirinya, yang diungkapkan oleh Salmadanis dalam filsafat Dakwah yang dikutip dari Muhammad Fuad Al-Baqi
Manusia itu adalah al- basyar, yang berarti kulit kepala, wajaah, tubuh, yang menjadi tempat rambut. Makna ini menunjukkan bahwa manusia adalah maklluk biologis yang memiliki segala sifat kemanuasian, seperti makan, minum, seks dan lain sebagainya. Ini menunjukkan konsekuensi bahwa manusia yang menonjol nafsunya
Manusia itu adalah al-insan, yang maknanya ingat, pelupa, berfikir. dan merasa, kata ini menunjukkan totalitas manusia adalah makhluk yang terdiri unsur jasmani dan rohani. Perpaduan aspek fisik dengan rohani menjadikan manusia mampu bcrkomunikasi dan berfikir dan mengembangkan kemajuan dan peradaban yang menjalankan fungsinya sebagai khalifah dimuka bumi Al-baqarah (2): 31.
Manusia adalah al-nas, yang maknanya bersama, masyarakat, berintcraksi. Kata ini menunjukkan totalitas manusia adalah makhluk sosial, sehingga mausia tidak mampu hidup sendirian, maka karena itu manusia membutukan manusia yang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Schingga manusia terkadang bisa saja melakukan interaksi sosial yang tidak baik akibat kebutuhan hidup yang mendesak sehingga interaksi sosial mejadi rusak yang menyimpang dari norma susila yang ada baik itu norma agama, adat, dan hukum sehingga prilakunya masuk menjadi patologi sosial.
Manusia itu adalah bani adam, yang maknanya adalah kebiasaan, tradisi, budaya. sehingga totalitas manusia dalam kata ini adalah makkhluk antropologis, sehingga manusia melahirkan bermacam budaya yang beraneka rangam yang sangat banyak jumlahnya, tejadinya komunikasi dan interaksi antar budaya akan Baligh mempengaruhi, apa lagi di kembangkan oleh mini-mini dan tujuan tertentu, seperti pengembangan budaya non Islam kepada budaya Islam yang terjadi pada abad 21 dewasa ini.
b. Tokoh masyarakat
Tokoh masyarakat adalah orang-orang berpengaruh di tengah¬tengah masyarakat yang ditakuti dan segani, salah satu metode dakwah yang berpengaruh besar terhadap masyarakat di mana mereka tinggal, yaitu contoh tauladan sebagai yang dicontohkan oleh Rasul (Q.S. Al-Ahzab: 21). Seorang tokoh yang mengamalkan agamanya dengan sempurna dalam kehidupannya akan membawa dampak pengaruh kapada orang-orang atau pengikut-pengikutnya, dan sebaliknya masyarakat itu kacau dan rusak apabila Seorang tokoh tidak lagi mengamalkan agama dengan sempurna, menyimpang, seperti selingkuh, narkoba, kurupsi, manipulasi, dan penyalah gunaan wewenang.
c. Pemerintah
Upaya upaya pemerintah dalam mengatasi solusi dakwah dalam pola prilaku menyimpang pada pelaku-pelaku pornografi dan porno aksi adalah.
1. Membuat UU tentang pornografi atau pornoaksi dan mengsyahkannya.
2. Memerintahkan kepada seluruh jajaranya mulai dari pemerintah pusat sampai Pemerintah dacrah, dari penjabat tinggi sampai penjabat rendah.
3. Memerintahkan kepada seluruh masyarakat agar melaporkan kepada pihak berwajib teihadap pelaku-pelaku pornogrfi dan porno aksi jika ada ditengah-tengah masyarakat baik desa amupun kota untuk diberikan sangsi hukum sesuai dengan UU yang telah berlaku.
4. Memberikan sangsi hukum kepada pemerintah dan masyarakat yang terlibat dalam prilaku pelaku-pelaku pornografi dan pornoaksi sesuai dengan UU Yang berlaku
d. Masyarakat Umum
Prostitusi dan pornografi dan pornoaksi adalah masalah sosial sebagai masalah yang berkembang, pada abad modern dewasa ini. Pada garis besarnya, usaha untuk mengatasi masalah tunasusila ini dapat dibagi tnenjadi dua 3, yaitu :
a) usaha  yang bersifat prepentif
b) Tindakkan yang bersifat refresif dan kuratif.
c) Usaha yang bersifat prefentif
Usaha yang bersifat prefentif di wujudkan dalam kegiatan-¬kegiatan untuk mencegah terjadinya pelacuran dan porno grafi atau porno aksi. Usaha ini antara lain :
1) Penyempurnaaan perundang-undangan tentang larangan atau peratura mengenai larangan penyelenggaraan pelacuran dan pornografi atau pornoaksi.
2) Intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan kerohanian untuk memperkuat keimanan terhadap nilai-nilai
relegius dan norma kesusilaan.
3) Menciptakan bermacam-macam kesibukkan dan rekrasi bagi anak-anak puber dan adolesens untuk menyalurkan kelebihan energinya
4) Memperluas lapangan keda bagi kaum wanita, disesuiakan dengan kodrat dan bakatnya, serta mendapatkan upah gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap harinya.
5) Penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman mini perkawinan dalam kehidupan keluarga.
6) Penyitaan terhadap buku-buku dan majalah-majalah cabul, gambar-gambar Porno, film-film biro dan sarana-sarana lain merangsang nafsu seks.
7) Pembentukkan badan atau tim koordinasi dari semua penanggulangan pelacuran dan porno grafi dan pornoaksi antara lain dilakukan oleh beberapa istansi.
8) Meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya,
Sedangkan usaha yang represif dan kurutif yang dimaksudkan sebagai kegiatan untuk rnenekan (menghapuskan, menindas), dan usaha menyambuhkan para wanita dari ketunasusilaan untuk kemudian membawa mereka kejalan yang benar.
Usaha represif dan kuratif ini antara lain: berupa
- Melalui lokalisasi yang sering ditawarkan sebagai legdisasi orang melakukan pewasan kontrol yang ketat demi menjamin kesehatan dan keamanan para proustusi yang semakin mcnimbulkan pornografi dan pornoaksi.
- Untuk mengurangi pelacuran, diusahakan melalui aktifitas rehabilatasi clan resosialisasi, agar mereka bisa dikembalikan sebagai warga masyarakat yang susila. Rehabilitasi dan resosialisasi ini dilakukan memalui pendiddikan moral dan agama, latihan-latihan kerja dan pendidikan kuterampilan agar mereka bersifat kreatif dan produktif,
- Penyempurnaan tempat-tempat penampungan bagi para wanita tunasusila terkena razia, disertai pembinaan yang sesuai dengan bakat dan minat masing,
- Pemberian suntikan dan pengobatan pada interval waktu tetap untuk menjamin kesehatan para prostitusi dan lingkungannya.
- Menyediakan lapangan kerja baru, bagi mereka yang bersedia meninggalkan profesi pelacuran dan pornografi atau pornoaksi dan mau hidup susila.
- Mengadakan pendekatan terhadap pihak keluarga para pelacur dan masyarakat asal mereka agar mereka mau menerima kembali bekas-bekas wanita tunasusiala itu mengawali hidup baru,
- Mencarikan pasangan hidup yang permanen/suami bagi para wanita tunasusila untuk membawa mereka ke jalan yang benar.
- Mengikut sertakan ex-WTS (bekas wanita tuna susila) dalam usaha trasmigrasi, dalam rangka pemerataan penduduk di tanah air dan perluasan kesempatan kerja bagi kaum wanita. Soejono Soekanto dalam bukunya sosilogi suatu pengantar mernberikan pemecahan masalah sosial dengan metode yang bersitat prepentif dan refresif  katanya metode prepentif jelas lebih sulit dilaksanakan, karena harus didasarkan pada penelitian yang mendalam terhadap sebab-sebab terjadinya masalah soasial. Metode represif lebih banyak digunakan. Artinya, setelah suatu gejala telah dapat dipastikan sebagai masalah sosial, baru tindakan-tindakkan untuk mengatasinya. Di dalam mengatasi masalah sosial tindakan semata-mata melihat aspek sosiologis, tapi juga aspek-aspek lainnva. Sehingga diperlukan suatu kerja sama antara ilmu pengetahuan pada khususnya Untuk memecahkan masalah sosial yang dihadapi tadi (secara interdisipliner).. Lebih lanjut Rohiman Notowigdagdo  mengungkap sulusi terhadap prilaku pada pelaku-pelaku pornografi dan porno ksi Islam menyerukan pcngendalian dan penguasan cinta itu lewat pemenuhan dorongan tersebut dengan cara yang shah yaitu dengan perkawinan. Alasannya adalah: dorongan seksual merupakan landasan pembentukan keluarga, dimana suami istri sama-sama mendapatkan kedamaian hati, sehingga timbul rasa tentram, aman dan damai. Dan di antara keduanya timbul perasaan cinta, kasih sayang dan rahmat yang mendorong tetap terpeliharanya kehidupan bersama dengan hamonisnya dan rasa tolong, menolong. Sehingga akan timbul suasana yang segar, bagi pertumbuhan anak-anak, pemeliharaan dan pembentukan keperibadian mereka secara sehat.


PENUTUP

a. Kesimpulan
Pengertian pornografi dan pornoaksi masih pertentangan dalam membuat sebuah definisi yang baik dan disepakati semua pihak, jadi untuk mendudukan pengertian pornografi dan pornoaksi masih terdapat perbedaan, termasuk juga dalam menetapkan Undang-Undang anti pornografi dan pornoaksi. Pornografi dan pornoaksi termasuk patologi social dikarenakan aksi yang dilakukan pelaku, dapat meresahkan masyarakat yang hidup dalam tantanan yang lazim di suatu tempat.
b. Saran
Mungkin makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, justru itu saya mohon kritikan dan masukkan dari para pembaca semuanya. wallahu’alamu bishawab.


DAFTAR KEPUSTAKAAN
Kartono, Kartini, Patologi Sosial, Jakarata: PT Raja Grafindo Persada, 2005
Salmadanis, Dasar-Dasar Metode Dakwah, Jakarta : The Minang Kabau Foundation, 2000

Filsafat  Dakwah, Jakarta:Surau,2007

Rahardjo, Dawab, Masyarakat madani Agama, kelas menengah dan perubahan Sosial, Jakarta: LP3 ES 1991,

Notowdagno, Rohiman, Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-Qur’an dan hadits, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2002

Majalah Islam, Sabili, UU APP mutlak diperlukan, Jakarta Edisi 23 Maret 2003.

Agus, Bustanuddin, Sosiologi Agama, Padang, Unixersitas Andalas, 2003.

Soekanto, Socrjono, Sosiologi Smart, Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

0 Comment