Tuesday, October 30, 2012


Segala puji hanya milik Allah Rabbul ‘aalamiin, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para shahabatnya.
‘Amma ba’du:
Ikhwani fillah… materi kali ini kita akan membahas kandungan hadits dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
“Orang mu’min yang berbaur di tengah manusia dan dia sabar terhadap sikap buruk (penindasan) mereka adalah lebih baik daripada orang mu’min yang tidak berbaur dengan manusia dan tidak sabar terhadap sikap buruk mereka” (HR. Ibnu Majah, hasan, dari Ibnu Umar, diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dan At Tirmidziy)

Hadits ini sederhana tapi kandungannya sangat besar dan sangat berkaitan dengan masalah Millah Ibrahim. Di sini Rasul saw mengatakan :“Orang mukmin yang berbaur di tengah manusia dan dia sabar terhadap sikap buruk (penindasan) mereka…” dalam arti dia tampil di hadapan manusia dan berinteraksi dengan mereka, tidak mengurung diri atau tidak mengasingkan diri. Dia sabar terhadap berbagai sikap buruk yang ditimbulkan oleh kaumnya.
Kata sabar tidak muncul kecuali setelah terjadi sesuatu yang mendorong orang tersebut untuk bersabar. Maksudnya adalah orang mukmin yang berbaur dengan manusia dan dia mendakwahkan ajaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala, menjaharkan dakwah tauhid yang dia anut, dia menampakkanMillah Ibrahim. Dan tentunya ketika orang menampakkan Millah Ibrahimakan mendapatkan penindasan daripada manusia.
Sebagaimana kita tahu bahwa sejarah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, ketika beliau menampakkan Millah Ibrahim karena diperintahkan Allah, maka yang terjadi adalah beliau dilempari, beliau dicekik, beliau juga dituduh dengan tuduhan-tuduhan yang sangat keji. Para shahabat pengikutnya seperti Bilal di siksa, Sumayyah dibunuh, Yassir dibunuh, Amar disiksa hingga patah tulang rusuknya, Khabab disiksa, dan shahabat yang lain -karena mereka tidak tahan dengan berbagai penindasan yang dilakukan orang-orang kafir Quraisy-, maka mereka diizinkan untuk hijrah ke Habasyah (Etiophia). Ini semua terjadi karena mereka menampakkanMillah Ibrahim.
Jadi di sini maksudnya adalah, bahwa ketika seseorang tampil di hadapan manusia dan dia ingin mendapatkan predikat orang mu’min yang mendakwahkan dienullah yang diberikan keutamaan seperti dalam hadits di atas, maka dia harus tampil dengan menampakkan Diennya, mengikutiuswah (teladan) para rasul sebagaimana yang Allah Subhanahu Wa Ta’alafirmankan :
“Sesungguhnya telah ada bagi kalian suri tauladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia saat mereka berkata di hadapan kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah, kami ingkari (kekafiran)kalian dan nampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja”. (Al Mumtahanah : 4)
dan firman-nya Subhanahu Wa Ta’ala:
Artinya: “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): ”Ikutilah  Millah Ibrahim seorang yang hanif”, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb.” (An Nahl : 123)
Dalam ayat-ayat tersebut Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan kita untuk mentauladani mereka, untuk mengikuti mengikuti Millah Ibrahim”Ikutilah  Millah Ibrahim seorang yang hanif”.
Millah Ibrahim adalah apa yang dinyatakan dalam surat Al Mumtahanah: 4 tadi. Di dalamnya Allah memerintahkan kita untuk menyatakan keberlepasan diri di hadapan kaum musyrikin atau di hadapan orang-orang kafir (Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah). Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’alamengedepankan keberlepasan diri dari para pelakunya daripada keberlepasan diri dari kemusyrikan mereka, karena bisa saja ada orang yang berlepas diri dari kemusyrikan mereka akan tetapi belum berlepas diri dari pelakunya.
Allah menekankan keberlepasan diri dari orangnya, karena jika berlepas diri dari orangnya maka otomatis akan berlepas diri perbuatan musyriknya, akan tetapi jika orang berlepas diri dari perbuatan kemusyrikannya maka belum tentu dia berlepas diri daripada orangnya. Dan ini adalah realita yang bisa kita saksikan, dimana banyak sekali orang berlepas diri dari kemusyrikan, akan tetapi mereka belum bara’ (berlepas diri) dari para pelakunya. Jika belum bara’ dari para pelakunya berarti belum merealisasikan Millah Ibrahim. Bahkan dalam banyak ayat Al Qur’an, AllahSubhanahu Wa Ta’ala mendahulukan keberlepasan diri dari para pelaku kemusyrikan sebelum berlepasa diri dari kemuyrikannya itu sendiri, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tentang perkataan Ibrahim ‘alaihissalam :
“Dan saya menjauhi kalian dan menjauhi apa yang kalian seru selain Allah” (Maryam: 48 )
Yang didahulukan adalah berlepas diri dari “kum” (kalian), yaitu dari orangnya atau para pelakunya lalu kemudian berlepas diri dari perbuatannya. Ayat berikutnya adalah firman Allah :
“Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka ibadati selain Allah…” (Al Kahfi : 16 )
Millah Ibrahim adalah menampakkan keberlepasan diri dari kaum musyrikin dan dari perbuatan kemusyrikan atau kekafiran mereka. Di sini Allah mengedepankan keberlepasan diri dari orangnya terhadap keberlepasan diri dari perbuatan kemusyrikannya, supaya tidak ada orang yang mengaku telah berlepas diri dari kemusyrikan, akan tetapi dalam realitanya dia tidak berlepas diri dari para pelakunya.
Kemudian selanjutnya ayat “kami ingkari (kekafiran) kalian”, adalah mengingkari perbuatan kemusyrikan atau pengingkaran terhadap ajaran mereka. Ayat ini juga memakai khithab “kum” (kalian), maka berarti orang yang diseru ada di hadapan. Pengingkaran terhadap ajaran-ajaran syirik, falsafah-falsafah syirik, sistem-sistem syirik, hukum-hukum syirik, dan isme-isme yang bertentangan dengan ajaran Laa ilaaha illallaah.
Ayat “dan nampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja”. Yang dimaksud nampak adalah diluar, bukan di dalam hati. Allah juga mendahulukan penampakkan permusuhan daripada kebencian, karena bisa saja orang mengklaim bahwa dia membenci kemusyrikan, tapi ternyata realitanya dia tidak memusuhi pelakunya sehingga dia tetap berteman dekat dengan para pelakunya. Tapi jika orang memusuhi maka sudah pasti dia membencinya.
Ketika mempraktekkan Millah Ibrahim ini, di mana kita menyatakan keberlepasan dari itu semua di hadapan kaum musyrikin, dan ketika tampil dakwah di forum lalu kita nyatakan ini semua di hadapan mereka, dan ketika menjelaskan hal ini di hadapan mereka, maka yang akan ada adalah penerimaan yang total dan penolakan yang total juga. Ketika kita menampakkan sikap permusuhan maka mereka juga akan menampakkan sikap permusuhan, sehingga yang terjadi adalah penindasan dari mereka bila mereka memiliki kekuasaan…
Ketika ada penerimaan dan ada penolakan, maka yang akan terjadi adalahtafriq (pecah belah) antara dua kelompok, oleh sebab itu Rasulullah disifati oleh Jibril ‘alaihissalam dalam hadits Al Bukhariy: “Muhammad memecah belah di antara manusia” dan dalam riwayat yang lain “Muhammad pemecah belah di antara manusia”.
Jika ada satu keluarga kafir, lalu di antara salah satu anggota keluarganya ada yang menerima tauhid, sedangkan konsekuensi tauhid adalah adanya keberlepasan diri, permusuhan, dan pengingkaran dari perbuatan kekafiran atau kemusyrikan, maka yang akan terjadi ketika tauhid ditampakkan adalah permusuhan, kebencian, dan perpecahan di antara keluarga tersebut. Suami yang menerima tauhid akan pisah dari isterinya yang kafir, atau ayah yang kafir pisah dari anaknya yang menerima tauhid. Oleh karena itu juga Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dtuduh sebagai “tukang sihir lagi pendusta”, dikarenakan di antara pengaruh sihir adalah memecah hubungan suami isteri.
Itulah peristiwa yang menimpa orang-orang terdahulu, juga yang menimpa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam di Mekkah ketika dalam kondisi tertindas dan belum memiliki masyarakat yang mendukungnya. Oleh karena itu ketika beliau melihat keluarga Yassir yang sedang ditindas, beliau mengatakan: “Sabarlah wahai keluarga Yassir, …….”. Keluarga Yassir diperlakukan seperti itu karena menampakkan “tauhid”, Millah  Ibrahim.
Jadi kata sabar dalam hadits “Orang mukmin yang berbaur di tengah manusia dan dia sabar terhadap sikap buruk (penindasan) mereka adalah lebih baik …” adalah setelah menampakkan Millah Ibrahim.
Ketika orang tampil di hadapan masyarakat, sedangkan dia memposisikan dirinya sebagai du’at ilallaah, dia berada di posisi yang memberikan bayan,maka kewajiban yang pertama bagi dia adalah menjelaskan hakikat dien ini atau ajaran Allah yang sebenarnya yaitu tauhid (Laa ilaaha illallaah) al kufru bit thaghut wal iman billah serta konsekuensi-kensekuensinya, karena permasalahan sudah di depan mata dan karena kita hidup di negeri yang seperti ini,  ia harus siap menerima apapun  konsekuensi yang mungkin akan menimpanya. Inilah penjelasan yang dibutuhkan oleh masyarakat, yaitu penjelasan akan Laa ilaaha illallaah, hakikat thaghut dan rinciannya.
MAKA bila dia tidak menjelaskan hakikat dien ini di hadapan mujtama(masyarakat) padahal dia memposisikan dirinya sebagai orang yang tampil di atas mimbar yang mana masyarakatnya selalu menunggu apa yang dia ucapkan dan masyarakat sangat membutuhkan penjelasan yang segera, namun ketika dia tidak menjelaskannya karena sebab apa saja, maka itu adalah kitman (menyembunyikan ilmu), sedangkan kita tahu posisi orang yang menyembunyikan ilmu ketika orang sangat membutuhkan penjabarannya adalah sebagaimana yang Allah firmankan :
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan kepada kamu berupa bukti-bukti yang nyata tentang kebenaran dan petunjuk setelah Kami jelaskan hal itu kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itulah orang-orang yang dilaknat oleh Allah dan dilaknat (pula) oleh setiap makhluk yang dapat melaknati” (Al Baqarah : 159)
dan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam juga mengatakan :
“Barangsiapa yang ditanya tentang ilmu terus dia menyembunyikannya maka dia diikat dengan kendali dari api neraka” (HR. Abu Dawud)
Sedangkan permasalahan yang paling dibutuhkan oleh masyarakat pada zaman sekarang ini dan yang paling utama adalah masalah tauhid, karena itu adalah pertanyaan yang ada disetiap benak manusia, dan bila dia tidak mejelaskannya maka dia masuk ke dalam ancaman ayat dan hadits di atas tadi.
Dan orang yang lebih parah dari orang yang kitman ini adalah orang yang memberikan pengkaburan al haq di hadapan manusia. Dia berada pada posisi sebagi orang yang memberikan bayaan (penjelasan) atau sebagai du’at ilallah, kemudian dia memberikan pengkaburan antara al haq dengan al bathil di hadapan manusia. Bila saja orang yang kitman (menyembunyikan) masuk ke dalam ancaman ayat di atas : “itulah orang-orang yang dilaknat oleh Allah dan dilaknat (pula) oleh setiap makhluk yang dapat melaknati”, sedangkan orang yang melakukan talbis (pengkaburan atau mencampurkan al haq dengan al bathil) maka ancamannya lebih keras dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Seperti ulama-ulama yang memberikan pengkaburan di hadapan manusia tentang status thaghut dan ansharnya, dengan cara membela-bela mereka atau mengutarakan syubhat-syubhat untuk menetapkan keislaman mereka dan untuk membentengi dari pengkafiran terhadap mereka, maka ini adalah ulama yang melakukan talbis di hadapan manusia.
Selanjutnya, jika orang mukmin atau du’at itu tidak mampu untuk berdiri dalam posisi orang yang memberikan penjelasan kepada manusia, karena dia tahu konsekuensinya sangat berat dan belum siap untuk memikulnya, maka daripada dia terjatuh ke dalam kitman atau ke dalam talbis, maka lebih baik dia mundur atau turun dari mimbar, dia masuk ke dalam rumah untuk mengurusi diri dan keluarga atau pergi ke lereng gunung. Inilah adalah maksud dari lanjutan hadits “…orang mukmin yang tidak berbaur dengan manusia dan tidak sabar terhadap sikap buruk mereka”.
Ini adalah orang yang tidak tampil di hadapan manusia, tapi dia sibuk menyelamatkan dirinya dan keluarganya dengan tetap komitmen di astas tauhid, tidak berbaur dengan manusia, dia adalah golongan orang mu’min yang selamat. Dan ini ada dua macam :
Pertama: yaitu orang yang mengurung diri di rumahnya dan menjauhkan keluarganya dari sarana-sarana kekufuran dan kemusyrikan, dia memfokuskan untuk mempertahankan tauhid bersama keluarganya. Dia menyadari ketika mau menjaharkan dia tidak siap dengan segala resiko tadi, oleh karena itu dia mengurusi dirinya sendiri di rumahnya. Ini adalah orang mu’min, akan tetapi tingkatannya lebih rendah daripada orang mu’min yang pertama yang mendakwahkan tauhid dengan jelas dan siap menanggung segala resiko yang akan menimpanya.
Kedua: Yaitu orang mukmin yang mempertahankan tauhidnya dengan cara pergi ke lereng-lereng gunung, dia mengasingkan diri dari manusia-manusia yang rusak, dia mengurusi kambing-kambingnya. Orang mu’min ini tingkatannya sama dengan orang mukmin yang mengurus diri dan keluarganya di dalam rumahnya. Orang mu’min ini adalah seperti apa yang dikatakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam :
“Hampir saja harta orang muslim paling baik adalah kambing-kambing yang dia bawa pergi ke lereng-lereng gunung, dia lari mempertahankan diennya”. (HR. Abu Dawud)
dan dalam hadits:“Jika kamu sudah melihat hawa nafsu yang diikuti, kikir yang ditaati, dan orang merasa bangga dengan pendapatnya, maka uruslah urusan kamu pribadi dan tinggalkan urusan orang umum”
Kedua golongan mukmin yang mencari selamat ini jauh lebih baik dari pada orang-orang atau para du’at dan ulama yang melakukan kitman atau talbis. Akan tetapi yang lebih utama dari kedua golongan mukmin ini adalah orang yang menjaharkan Millah Ibrahim di tengah masyarakatnya.
Jadi, jika kita ingin tampil di forum di hadapan manusia, maka kita harus menjaharkan dan menyampaikan tauhid, karena hal ini adalah pertanyaan yang paling dibutuhkan oleh manusia, karena memang mereka hidup seperti pada kondisi Rasulullah di Mekkah, di mana tidak ada Daulah Islamiyyah yang menaungi dan kaum muslimin berada di bawah kungkungan penguasa thaghut yang kafir.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan (aku telah diperintah): Hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan tulus dan  ikhlash dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik” (Yunus: 105)
Aimmatud Dakwah Tauhid Najdiyyah ketika menjelaskan ayat-ayat ini, mereka mengatakan : “Ayat-ayat ini menjelaskan perihal dakwah ilallah dan membedakan diri dari kaum musyrikin serta menjauhi mereka, menjihadi mereka dengan hujjah dan lisan dan dengan pedang dan tombak”, kemudian mereka mengatakan : “penjelasan ini (yaitu menjelaskan pentingnya menampakkan perbedaan dengan kaum musyrikin dan dalam mengajak mereka kepada Allah) di dalamnya banyak manusia tergusur ke dalam keterpurukan, syaitan juga memiliki bagian untuk menyesatkan di dalamnya, di mana syaitan menggusur mereka ke dalam kitman atau talbis, bahkan ada yang menggusur mereka ke dalam muwaalah dantawalliy kepada kaum musyrikin”
Itulah sebabnya Allah memerintahkan kita untuk mendahulukan keberlepasan diri dari kaum musyrikin sebelum berlepas diri dari kemusyrikan itu sendiri, supaya tidak ada peluang atau celah untuk terjatuh ke dalam muwaalah atau tawalliy. Karena ketika kita berlepas diri dari mereka dan merekapun berlepas diri dari kita, maka tentu akan ada batasan jarak antara diri kita dengan mereka. Dan ketika kita menyatakan permusuhan dan merekapun menyatakan permusuhan, maka tidak akan ada celah untuk muwaalah atau tawalliy kepada orang kafir. Akan tetapi bila keberlepasan diri ini tidak dilakukan secara total, maka mau tidak mau akan terjatuh minimal ke dalam muwaalah shughra yang merupakan dosa besar.
Dan du’at atau ulama yang memiliki pemahaman Irja, maka dia akan mudah sekali untuk terjatuh ke dalam tawalliy kepada orang-orang musyrik. Oleh karena itu para ulama salaf menghati-hatilkan bahwa Irja itu lebih busuk daripada Azzariqah (Khawarij), karena Irja ini mudah menghantarkan orang ke dalam kekafiran, apalagi dalam payung negara kafir seperti ini. Kita bisa melihat banyak kelompok atau jama’ah-jama’ah yang masuk ke dalam sistem demokrasi, mereka pada dasarnya berpaham Irja dari sisi Al Iman, mereka mengatakan “Yang penting saya meyakini di dalam hati….”, mereka terlalu mengenteng-enteng ajaran Allah sehingga banyak dari mereka melepaskan ajaran Islam tanpa  diri mereka sadari.
Kita kembali kepada materi, Jadi hadits “Orang mukmin yang berbaur di tengah manusia dan dia sabar terhadap sikap buruk (penindasan) mereka adalah lebih baik daripada orang mukmin yang tidak berbaur dengan manusia dan tidak sabar terhadap sikap buruk mereka” (Hadits Hasan riwayat Ibnu Majah) adalah isyarat yang pertama kepada penampakkanMillah Ibrahim yang merupakan inti ajaran para Nabi.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, para shahabat dan para pengikutnya sampai hari kiamat. Alhamdulillahirabbil’alamin[1]

0 Comment