Tuesday, October 30, 2012


(Study Tentang Epistemologi, Ontologi, Aksiologi, Metode Memperoleh Ilmu, Klasifikasi Ilmu Dan Prinsip Dasar Ilmu Perspektif Islam)
A. Pendahuluan
Dalam bahasa Arab kata al-‘ilm berarti pengetahuan (knowledge), sedangkan kata “ilmu” dalam bahasa Indonesia biasa diterjemahkan dengan science. Ilmu dalam arti science hanya sebagian dari al-‘ilm dalam bahasa Arab. Karena itu kata science seharusnya diterjemahkan sain saja. Maksudnya agar orang yang mengerti bahasa arab tidak bingung membedakan kata ilmu (sain) dengan kata al-‘ilm yang berarti knowledge. 

Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis yang antara satu bagian dengan bagian lain saling berhubungan, bergantung dan berinteraksi serta memiliki metode tertentu untuk memperoleh kebenaran dan kemanfaatan. 
Pengetahuan yaitu semua yang diketahui. Misalnya, tatkala manusia dalam perut ibunya, ia tidak tahu apa-apa. Tatkala ia baru lahir pun barangkali ia belum juga tahu apa-apa. Kalau pun bayi yang baru lahir itu menangis, barangkali karena dia kaget saja, mungkin matanya merasakan silau, atau badannya merasa dingin. Dalam rahim ia tidak silau dan tidak dingin, lantas ia menangis. Tatkala bayi itu menjadi dewasa, pengetahuannya sudah banyak sekali. Begitu banyaknya, sampai-sampai ia tidak tahu lagi berapa banyak pengetahuannya dan tidak tahu lagi apa yang diketahuinya. Bahkan kadang-kadang ia juga tidak tahu apa sebenarnya pengetahuan itu. 
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang rasional dan didukung oleh bukti empiris. Namun gejala yang paling menonjol dalam ilmu pengetahuan ialah adanya bukti empiris .  Sementara itu, menurut Burhanuddin Salam, ilmu pengetahuan yaitu kumpulan tentang suatu objek yang merupakan kesatuan yang sistematis dan memberikan penjelasan yang sistematis yang dapat dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan sebab-sebab hal/ kejadian . 
B. Pandangan Filsafat Dakwah Terhadap Epistemologi
Epistemologi terdiri dari dua suku kata yaitu episteme dan logos (Yunani). Episteme artinya pengetahuan, sedangkan logos biasanya menunjukkan adanya pengetahuan sistematik. Secara sederhana epistemologi berarti pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. 
Epistimologi atau teori ilmu pengetahuan membahas hakikat, ruang lingkup dan batasan-batasannya.  Menurut Harun Nasution, epistemologi yaitu ilmu yang membahas apa pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan itu. 
Epistimologi Islam adalah teori pengetahuan yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah serta hasil temuan para ulama dan pakar muslim sepanjang sejarah Islam. 
Epistimologi membahas sesuatu yang berkaitan dengan pengetahuan manusia dari mana sumbernya, sejauhmana kemampuannya serta alat apa yang digunakannya untuk mengetahui sesuatu.  Sehubungan dengan sumber pegetahuan, Sidi Gazalba mengunkapkan paling tidak ada empat sumber pengetahuan, yaitu:
1. Pengetahuan yang dibawa sejak lahir.
2. Pengetahuan yang dipeoleh dari budi.
3. Pengetahuan yang diperoleh dari indera-indera khusus yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman dan peraba.
4. Pengetahuan yang diperoleh dari penghayatan langsung atau ilham. 
Berkembangnya epistimologi dalam Islam tak terlepas dari masuknya logika Aristoteles ke dunia Islam. Di mana terdapat masalah hubungan antara pengetahuan samawi (wahyu) dan pengetahuan manusiawi, Pengetahuan supernatural dan pengetahuan rasional-natural, antara iman dan akal. Pengetahuan manakah yang lebih berbobot dan berkualitas melalui jalan iman atau ilmu, kepercayaan atau pembuktian. Kaum “beriman” di satu pihak mengatakan bahwa pengetahuan manusia yang dihasilkan oleh akal harus disempurnakan dengan pengetahuan adikodrati (wahyu). Sedangkan kaum intelektual mengemukakan bahwa iman (wahyu, hal-hal kodrati dan samawi) adalah omong kosong kalau tidak terbukti oleh akal. Oleh karena itu timbulah masalah wahyu dan akal. 
Dalam kerangka epistemik, ilmu dakwah dipahami sebagai ilmu teoritik dan terapan Islam untuk menumbuhkan, menata dan merekayasa masa depan kehidupan umat dan peradaban Islam sesuai dengan cita-cita terwujudnya khairul ummah. Oleh karena itu, ilmu dakwah juga ilmu kemasyarakatan Islam yang menjelaskan bagaimana kehidupan umat Islam dibangun sesuai dengan paradigma dan sistem nilai Islam. 
Dalam perspektif epistimologi secara umum, sumber atau teori pengetahuan didapatkan dari hasil rasionalitas manusia berdasarkan data. Sedangkan dalam perspektif epistemologi Islam bahwa teori pengetahuan didapatkan dari teks atau wahyu dan pemikiran manusia dalam aspek tradisi yang mensejarah.  Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 33:


                          
Artinya: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"
Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa sumber atau subjek ilmu pengetahuan dalam Islam adalah Allah SWT. Selanjutnya Allah sebagai sumber ilmu pengetahuan menampilkan diri lewat al-Qur’an yang tertulis sebagai fitrah munazalah dan lewat ayat yang tercipta yaitu alam dan realitas fitrah sebagai majbulah.
Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa epistimologi dakwah adalah sekumpulan pengetahuan yang bersumber dari wahyu (teks) dan pemikiran rasional muslim sepanjang sejarah (tradisi Islam) dalam kerangka epistemik ilmu dakwah harus dipahami sebagai ilmu teoritik dan terapan Islam untuk menumbuhkan, menata dan merekayasa masa depan kehidupan umat dan peradaban Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman. 
C. Pandangan Filsafat Dakwah Terhadap Ontologi
Ontologi ilmu pengetahuan membicarakan hakikat ilmu itu sendiri, yaitu apa ilmu pengetahuan itu sebenarnya. Struktur ilmu pengetahuan juga dibahas di sini.  Selanjutnya ontologi juga membahas tentang hakikat wujud (universal) termasuk di dalamnya diri manusia sendiri dari mana asalnya, bagaimana proses kejadiannya dan bagaimana akhirnya serta apa tujuannya. 
Adapun esensi ilmu dakwah adalah gugusan keilmuan yang bersumber dari teks dan tradisi Islam, yang dikembangkan oleh umat Islam (para pengembang dakwah), secara sistematis dan terorganisir yang berguna dalam memahami fakta dakwah dalam rangka pelakanaan tugas-tugas dakwah. 
D. Pandangan Filsafat Dakwah Terhadap Aksiologi
Membicarakan masalah kegunaan ilmu pengetahuan dan cara ilmu pengetahuan menyelesaikan masalah.  Aksiologi juga membicarakan tentang norma-norma yang dipakai untuk mengukur benar atau salahnya fikiran manusia, baik atau buruknya tingkah laku seseorang serta baik atau buruknya. 
Islam berbeda  dengan pandangan bangunan ilmu barat, yang memandang ilmu dipisahkan dengan kepentingan masyarakat. Dengan kata lain, teori ilmu tidak terkait dengan praksis. Dalam pandangan Islam, ilmu baru berguna dan bermakna bila telah menjadi realita. Jika kebenaran telah ditemukan melalui aktivitas keilmuan, selanjutnya kebenaran menjadi kenyataan dalam kehidupan manusia. Berkaitan dengan hal itu, aksiologi atau nilai guna dakwah adalah bertujuan mewujudkan ummatan wasathan, khairul ummah dan khairul bariyyah. 
E. Metode Memperoleh Ilmu Perspektif Islam
Metode berasal dari kata methodos (Yunani) yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan thariqat atau manhaj. Dalam bahasa Indonesia kata metode mengandung arti cara yang teratur dan berfikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya). Menurut Hendry Van Lear dalam Salmadanis mengungkapkan bahwa secara etimologis metode berarti jalan atau cara melakukan atau membuat sesuatu dengan sistem dan melalui prosedur untuk memperoleh atau mencapai tujuan yang dimaksud. 
Dalam bidang ilmu pengetahuan, metode selalu berarti cara prosedur dari yang diketahui menuju yang tidak diketahui, dari titik pijak tertentu menuju proposisi-proposisi akhir dalam ilmu yang ditentukan. Sehingga dalam ilmu-ilmu normatif metode mengindikasikan jalan menuju norma-norma yang mengatur perbuatan sesuatu.
Dalam kaitan dengan keilmuan, maka metode mengandung arti cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. 
Untuk memahami alam semesta diperlukan seperangkat metodologi ilmiah. Dalam hal ini paling tidak ada dua metode ilmiah yang dipandang paling dominan penerapannya, yakni empirisme atau pengalaman langsung (al-tajribat) dan induksi (al-istiqra). 
Dua metode pokok tersebut, dapat diterapkan dalam penelitian ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan alam, disamping itu juga digunakan dalam ilmu-ilmu sosial. Metode yang disebutkan di atas, tidak berlaku secara langsung bagi penemuan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan keyakinan.
Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan keyakinan dapat ditempuh melalui akal, dengan jalan berfikir secara mendalam tentang alam semesta. Misalnya memikirkan tentang keteraturan planet, fungsinya terhadap kehidupan, angin, udara, hujan dan sebagainya. Sehingga akan mencapai puncaknya yakni, pengetahuan tentang Tuhan. Pengetahuan jenis ini dapat dicapai melalui bimbingan wahyu, seperti tentang kehidupan akhirat.  Metode ilmiah yang terkandung dalam al-Qur’an dapat dioperasionalisasikan sebagai berikut.
Sesuai dengan sunnatullah bahwa manusia diberi kunci untuk menguasai alam. Meskipun manusia diciptakan Allah dalam keadaan lemah dan bodoh, namun ia diberi tugas sebagai khalifah di bumi. Sebagai mandataris, manusia tidak hanya menduduki posisi penanggung jawab kelestarian semua kehidupan di bumi, ia juga dituntut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena tugas tersebut, di samping Allah membekali manusia dengan akal dan ilmu pengetahuan, manusia juga diberi keharmonisan yang indah dan merupakan satu kesatuan yang organik, sehingga manusia dapat menunaikan tugas Allah sebagai khalifah dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk melaksanakan tugas yang diemban oleh manusia tersebut, maka harus mampu memahami alam ini sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah diisyaratkan oleh Allah dalam al-Qur’an. 
Dilihat dari segi motifnya, pengetahuan itu diperoleh melalui dua cara. Pertama, pengetahuan yang diperoleh begitu saja, tanpa niat, tanpa motif, tanpa keingintahuan dan tanpa usaha. Tanpa ingin tahu lantas ia tahu-tahu. Seorang sedang berjalan, tiba-tiba tertabrak becak. Tanpa rasa ingin tahu ia tahu-tahu, tahu bahwa tertabrak becak, sakit. Kedua, pengetahuan yang didasari motif ingin tahu. Pengetahuan diperoleh karena diusahakan, biasanya karena belajar. 
Selanjutnya Ziauddin Sardar dalam buku Mulyadi Kartanegara menyimpulkan bahwa pada dasarnya sains modern hanya mengenal satu metode ilmiah yaitu metode observasi atau eksperimen. Adapun yang dimaksud dengan metode observasi adalah observasi inderawi yang demikian ketat sehingga tidak mempercayai lagi metode rasionalis atau logis yang sering dipandang sebagai a priori, apalagi metode intuitif yang sering dianggap subjektif bahkan halusinatif. 
Di lain pihak, kaum agama tradisionalis telah mengembangkan metode-metode yang menjauhkan umatnya dari penggunaan pengamatan indera dan juga penalaran akal dalam ilmu-ilmu agama. Materi-materi keagamaan dipahami secara turun temurun sebagai dogma yang mati dengan menyingkirkan segala macam interpretasi baru yang dianggap bid’ah, bukan berdasarkan argumen-argumen rasional dan ilmiah, melainkan lebih banyak diterima sebagai otoritas yang tidak boleh diganggu gugat dari kiai atau guru-gurunya. 
Dari sudut etiomologis, metode yang digunakan untuk memahami al-Qur’an disebut metode bayani. Metode bayani merupakan metode pemikiran yang menekankan pada otoritas teks (nash) dan dijustifikasikan oleh naluri penarikan kesimpulan (istidlal). Ini bisa dilakukan secara langsung dengan memahami nash sebagai pengetahuan yang jadi dan langsung diaplikasikan tanpa proses pemikiran, maupun secara tidak langsung di mana nash dipahami sebagai pengetahuan (bahan) mentah yang perlu ditafsirkan dan melalui penalaran. Pada metode bayani ini, akal dipandang tidak bisa memberi pengetahuan dan mengambil keputusan kecuali didasarkan pada teks al-Qur’an. Dengan demikian, sumber pengetahuan bayani adalah nash (teks) al-Qur’an dan hadits. 
Untuk memperoleh pengetahuan teks ini, metode bayani menempuh dua jalan, yaitu:
1. Berpegang teguh pada redaksi (lafal) teks, dengan penggunaan kaidah-kaidah bahasa arab seperti nahwu dan sharaf sebagai alat analisisnya.
2. Menggunakan logika dengan tahap, yaitu:
a. Berpegang pada tujuan pokok diturunkannya teks. Caranya dengan menggunakan induksi tematis yang di dalamnya akal bisa memainkan perannya yang cukup besar.
b. Berpegang pada ‘illat yang melekat pada teks.
c. Berpegang pada kajian sekunder teks yang mendukung terlaksananya tujuan pokok teks.
d. Berpegang pada diamnya syari’ (Tuhan dan Rasul) sehingga masalah yang dibahas sama sekali tidak terdapat ketetapannya dalam teks dan juga tidak dilakukan melalui qiyas (analogi). Akan tetapi melalui istishab, yakni menetapkan sesuatu berdasarkan pada keadaan yang berlaku sebelumnya selama tidak ada dalil yang menunjukkan perubahannya. 
Sedangkan untuk memahami makna batiniah, mereka memakai metode ta’wil atau hermeunetik. Metode ta’wil sangat berguna sebagai sarana untuk mengatasi diskrepansi yang tampak antara nash (al-Qur’an) dengan kebenaran-kebenaran ilmiah dan filosofis yang telah teruji dengan baik. 
Dalam memahami fenomena alam dapat digunakan metode observasi/ eksperimen atau tajribi yakni melakukan pengamatan inderawi terhadap objek-objek fisik dan percobaan-percobaan ilmiah terhadap mereka, baik di arena terbuka maupun di laboratorium-laboratorium tertutup. 
Di samping itu, untuk mengamati alam tidak bisa semata-mata mengandalkan indera lahiriah, yang tentunya hanya mampu menangkap penampakan lahiriah alam atau fenomena alam. Akan tetapi justru dibutuhkan penalaran akal dengan memakai kaidah-kaidah logika dan menghasilkan metode demonstratif (burhani). Metode fenomenologi yaitu untuk mengetahui realitas-realitas yang lebih dalam dari alam fenomenal menuju hakikat yang tersembunyi di dalamnya (neumena). 
Sementara itu, ada pula metode irfani atau intuitif. Adapun ciri khas metode irfani yaitu sifatnya yang tidak langsung, tidak melalui perantara sehingga sering disebut mukasyafah (penyingkapan) langsung oleh Tuhan ke dalam hati menusia tentang rahasia-rahasia realitas yang ada. 
Terkait dengan keilmuan dakwah, ada beberapa metode keilmuan dalam rangka melahirkan teori dakwah (grand theory of dakwah) yaitu sebagai berikut:
1. Metode reflektif (normatif-deduktif)
Arti reflektif adalah merenungkan masa lalu, dalam memahami masa sekarang dan berguna untuk merancang masa depan. Sebuah refleksi tidak hanya meratapi kelemahan, kekurangan dan kegagalan, tetapi juga melihat tentang sesuatu keberhasilan. Dari refleksi ini akan lahirlah apa yang disebut kritik yang sehat dan jujur. Dalam kaitannya dengan metode reflektif dalam keilmuan dakwah, teori ini dapat dijadikan sebagai teori makro dakwah Islam, baik dari sisi interaksi dakwah dengan sistem setempat dan proses penyampaian.
Lebih jelas lagi akan dicontohkan penerapan metode reflektif dengan merenungkan tentang proses keberhasilan dakwah nabi pada masa lalu yang didasarkan pada nilai-nilai normatif.
Perjalanan dakwah nabi SAW pada periode awal berhadapan dengan masyarakat Arab jahiliyah. Sistem teologis Arab jahiliyah menggunakan sistem berfikir bertingkat, yaitu Allah dan perantara. Implikasi dari sistem berfikir yang demikian melahirkan sebuah epistImologis cara berfikir dikotomik, yaitu memandang sesuatu dalam dua pijakan visi yaitu Allah dan berhala. Dalam Islam berfikir dikotomik yang berkaitan dengan Tuhan dikenal dengan istilah syirik.
Nabi Muhammad SAW menyadari kondisi masyarakat yang sedang rapuh dan terhinggapi anatomi akidah, maka nabi menyusun strategi dakwah dengan teori dakwah yaitu bai’ah. Fungsi bai’ah tersebut untuk membebaskan umat dari kerapuhan akidah dan membawa mereka kepada akidah yang murni. Inilah terori bai’ah yang digagas oleh nabi yang pada akhirnya membawa masyarakat Arab pada kondisi yang dikenal dengan civil society.
Metode penelitian reflektif ini dapat dilakukan dengan beberapa contoh seperti transformasi iman dalam kehidupan sosial. Ketika membahas ini perlu dikaitkan dengan historis dakwah (tarikh al-da’wah).
2. Metode riset dakwah partisipatif (empiris-induktif)
Metode ini juga dikenal dengan metode participant observation atau etnografi. Objek kajian dakwah pada metode ini adalah masa sekarang dan berangkat dari realita dakwah. Ada dua gaya dalam penelitian ini, yaitu a) Holistik, yaitu melukiskan secara menyeluruh dan terintegrasi semua jaringan kehidupan yang terdapat dalam masyarakat. b) Semiotik, yaitu menjelaskan makna dan interpretasi pandangan masyarakat yang diteliti yang berwujud bentuk-bentuk simbolik dalam kehidupan masyarakat. Jelasnya penelitian ini berangkat dari realitas lapangan menghasilkan teori dakwah baru. Sebuah kajian yang baik setelah meneliti dan menggunakan metode tertentu mampu melahirkan teori baru yang lebih aktual.
Teknik operasional dalam penelitian ini, a) peneliti (da’i) mempunyai fokus penelitian, b) menghilangkan sifat interpretatif dalam catatan lapangan, c) kehadiran peneliti selama di lokasi tidak mengganggu aktivitas masyarakat. 
F. Klasifikasi Ilmu Perspektif Islam
Al-Ghazali dalam Mulyadi Kartanegara membagi ilmu menjadi dua jenis yaitu ‘ilm syar’iyyah dan ghair syar’iyyah. Sedangkan Ibnu Khaldun menyebutkan bahwa kedua ilmu tersebut dengan istilah ilmu naqliyah dan ilmu ‘aqliyah. Adapun yang termasuk kelompok ilmu naqliyah seperti ilmu al-Qur’an, hadits, tafsir, ilmu kalam, tasawuf dan juga tafsir al-Ru’yah (tafsir mimpi). Sedangkan ilmu ‘aqliyah yaitu ilmu filsafat (metafisika), matematika dan fisika. 
Di dalam undang-undang nomor 22 tahun 1961, ilmu pengetahuan diklasifikasikan atas empat kelompok yaitu:
1. Ilmu agama yang terdiri dari ilmu agama dan ilmu jiwa.
2. Ilmu kebudayaan yang terdiri dari ilmu sastra, sejarah, pendidikan dan filsafat.
3. Ilmu sosial yang terdiri dari ilmu hukum, ekonomi, sosial-politik dan ketatanegaraan-ketataniagaan.
4. Ilmu eksakta dan teknik terdiri dari ilmu hayat, kedokteran, farmasi, kedokteran hewan, pertanian, pasti alam, teknik, geologi dan oseanografi. 
G. Prinsip Dasar Ilmu Perspektif Islam
Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya terhadap masalah ilmu (sains). Al-Qur’an dan al-Sunnah mengajak kaum muslim untuk mencari dan mendapatkan ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat yang tinggi. Di dalam al-Qur’an, kata al’ilm dan kata-kata jadiannya digunakan lebih dari 780 kali.  Ini memberikan isyarat bahwa Islam sangat menjunjung tinggi ilmu dalam kehidupan manusia dan orang-orang yang berilmu.
Allah SWT telah menciptakan manusia agar menyembah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Oleh karena itu, segala usaha manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan atau petunjuk-petunjuk pada arah tersebut adalah terpuji. Jadi, ilmu hanya bermanfaat jika dijadikan alat untuk mendekatkan diri kepada Allah, memperoleh keridhaan-Nya. 
Ada beberapa prinsip dasar ilmu dalam pandangan Islam, di antaranya:
1. Ilmu harus bisa meningkatkan pengetahuan seseorang tentang sang pencipta, yaitu Allah SWT.
2. Ilmu harus mampu membantu mengembangkan masyarakat Islam dan merealisasikan tujuan-tujuannya.
3. Ilmu dapat membimbing orang lain ke arah lebih baik.
4. Ilmu hendaknya mampu memecahkan berbagai persoalan di tengah masyarakat. 



H. Kesimpulan
Dari pemaparan makalah ini, dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
1. ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang rasional dan didukung oleh bukti empiris.
2. Dalam perspektif epistemologi Islam bahwa teori pengetahuan didapatkan dari teks atau wahyu dan pemikiran manusia dalam aspek tradisi yang mensejarah.
3. Aksiologi atau nilai guna dakwah adalah mewujudkan ummatan wasathan, khairul ummah dan khairul bariyyah.
4. Ada beberapa metode keilmuan dalam rangka melahirkan teori dakwah yaitu sebagai berikut:
a. Metode reflektif (normatif-deduktif)
b. Metode riset dakwah partisipatif (empiris-induktif) 
5. Menurut al-ghazali ada dua jenis ilmu yaitu ‘ilm syar’iyyah dan ‘ilm ghair syar’iyyah. Sedangkan menurut ibnu khaldun mengatakan bahwa kedua ilmu tersebut dengan istilah ilmu naqliyah dan ilmu ‘aqliyah. Adapun yang termasuk kelompok ilmu naqliyah seperti ilmu al-Qur’an, hadits, tafsir, ilmu kalam, tasawuf dan juga tafsir al-Ru’yah (tafsir mimpi). Sedangkan ilmu ‘aqliyah yaitu ilmu filsafat (metafisika), matematika dan fisika. 
6. Ada beberapa prinsip dasar ilmu dalam pandangan Islam, di antaranya:
a. Ilmu harus bisa meningkatkan pengetahuan seseorang tentang sang pencipta, yaitu Allah SWT.
b. Ilmu harus mampu membantu mengembangkan masyarakat islam dan merealisasikan tujuan-tujuannya.
c. Ilmu dapat membimbing orang lain ke arah lebih baik.
d. Ilmu hendaknya mampu memecahkan berbagai persoalan di tengah masyarakat.


DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004)
Amrullah Ahmad, Dakwah Sebagai Ilmu Sebuah Pengantar Epistemologi Islam, Makalah, disampaikan dalam simposium dalam rangka gelar seperempat abad Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 14 Desember 1995
Burhanuddin Salam, Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000)
Mahdi Ghulsyani, The Holy Qur’an ang The Sciences of Nature, terj. Oleh. Agus Effendi, (Jakarta: Mizan, 1998)
Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005)
Salmadanis, Filsafat Dakwah, (Jakarta: Surau, 2003)
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991)
Zainun Kamal, Ibnu Taimiyah Versus Para Filosof Polemik Logika, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006)



0 Comment