Sosiologi berusaha memahami hakikat masyarakat dalam kehidupan kelompok, baik struktur, dinamika, institusi atau interaksi sosialnya. Antropologi berusaha memahami perilaku manusia (anthropos) sesuai latar belakang kepercayaan dan kebudayaannya secara manusiawi (humaniora). Antara keduanya jelas tidak dapat dipisahkan, karena masyarakat dalam kelompok kecil sekalipun, pasti mempunyai kebudayaan tersendiri, dan kebudayaan hanya dimiliki oleh kelompok manusia dalam kehidupan masyarakat.
Emile Durkheim adalam seorang yang dikenal sebagai Tokoh Teori Konsensus, sejak awal karier beliau selalu menekankan nilai-nilai moral sebagai standar pendekatan untuk memecahkan masalah – masalah social. Maka dari itu, beliau berkeyakinan bahwa nilai-nilai moral itulah hakikatnya yang menjadi standar bagi terwujudnya solidaritas dan integrasi social yang sangat membantu mempersatukan masyarakat.
Didalam Konsep Ukhuwah Islamiyah terdapat beberapa macam pembagian, diantaranya: menghargai perbedaan, menghormati hak azazi, menghindari prasangka buruk, meninggalkan perilaku sombong dan memelihara kebersamaan.
Kebhinekaan bukan berarti menghilangkan aturan, sebab kalau aturan tidak ada, maka manusia tidak lagi layak hidup sebagai manusia. Kebhinekaan tanpa aturan identik dengan keragaman binatang yang hidup di tengah hutan, bisa saling menerkam, saling memangsa dan saling menyerbu.
Dalam analisisnya, Telcott Parson banyak menggunakan kerangka atas tujuan (means and framework). Inti pemikirannya ialah bahwa tindakan social itu; (1) Diarahkan pada tujuan atau (memiliki suatu tujuan); (2) Terjadi dalam suatu situasi, yang beberapa elemennya sudah pasti, sedangkan elemen-elemen lainnya digunakan oleh yang bertindak sebagai alat penuju tujuan itu; (3) Secara normative tindakan itu diatur sehubungan dengan penentuan alat dan tujuan. Jadi komponen dari tindakan social adalah tujuan, sifat, kondisi dan norma.
SOSIOLOGI DURKHEIM
Gambaran kebersamaan yang khas pada masyarakat yang sudah maju, sebagai suatu system kepercayaan dalam hubungan masyarakat berdasarkan latar belakang agamanya. Kutipan ringkas yang ditulis oleh Durkheim (1964: 196)
Aspek penting yang menjadi dasar sosiologi Durkheim adalah antipatinya pada dua hal sebagai usaha untuk menerangkan kenyataan social yang ada pada masyarakat melalui pisikny/keadaannya.
Meskipun Durkheim menaruh perhatian besar terhadap kejadian alam pada masyarakat berdasarkan fakta-fakta sebagai generasi penerus, tetapi dia juga menyukai Weber sebagai musuh yang keras dalam menentukan teori bidang ekonomi, dan penelitiannya yang terkait dengan mekanisme jasmaniah.
Usaha Durkheim menjelaskan perwujudan gejala masyarakat, dalam tulisannya menyebutkan adanya tekanan sebagai “Karakter yang mengandung sejarah” pada jalan pemikiran Durkheim dan secara tidak langsung bahwa ini sebagai kutipan yang pantas. Thompson memberikan kesan pada Durkheim dan rekannya disini selalu sama pada macam kerangka analisa sebuah komperatif-sejarah (1982: 106-7)
STUDI AGAMA SEBAGAI SISTEM BUDAYA
Mempelajari agama sebagai sistem budaya, berarti mendekatkan ajaran agama dengan menggunakan konsep antropologi, salah satu model pendekatan fenomenologi.
Banyak titik temu yang dapat diungkapkan dalam pendekatan antroplogi sebagai suatu ilmu dengan studi agama sebagai sistem budaya, sebagaimana konsep Clifford Geertz “The Religion as a Cultural System”. Salah satu yang paling essensial dari titik temu itu adalah kajian aspek “kemanusiaan”. Agama termasuk Islam adalah suatu sistem yang tidak bisa lepas dari kenyataan-kenyataan adanya hubungan antara manusia dangan Zat Tuhan yang dianggap sakral.
Agama sebagai sebagai sistem budaya dapat dipelajari dengan metode fenomenologis, yakni dengan cara melihat, mengamati dan memperhatikan gejala-gejala keagamaan yang dapat diobservasi secara cermat. Sistem budaya yang mengandung gagasan-gagasan kepercayaan, pengetahuan, norma dan nilai yang bersifat abstrak, hanya bisa dibuktikan dengan melihat gejala-gejala pada tingkat sistem sosial (dalam wujud organisasi dan institusi masyarakat).
Gejala-gejala agama sebagai sistem budaya yang dipelajari secara fenomenologi, dapat didekati melalui berbagai model pendekatan, antara lain pendekatan sosiologi-antropologi. Model pendekatan ini pernah dilakukan pertama kali oleh Taylor dan Frazer yang cenderung melihat magic dan agama sebagai focus penyelidikan dan teori. Kemudian pendekatan fungsional, struktural dan simbolik, ditemukan serta dikembangkan oleh Durkheim, Redcliff Brown dan Levy Bruhl untuk mempelajari fenomena agama. (Scwartz, 1981; Rossi, 1983)
Agama sebagai sistem ideologi yang bersumber dari kepercayaan dan pengetahuan, melahirkan norma dan nilai-nilai ajaran agama. Ideological system sebagai sistem gagasan, terlepas dari mana gagasan itu datang, dari wahyu Allah swt. (revealed) atau dari manusia biasa (non revealed), hakikatnya bersifat kognitif. Sistem ideologi yang bersifat kognitif itu, menuntut adanya realisasi dalam kehidupan manusia yang lebih nyata, baik secara individu, keluarga, atau bangsa dan negara.
Agama sebagai Sistem Budaya, merupakan konsep antropologis yang diungkapkan oleh Clifford Geertz (1969:45) dalam tema asli yang berjudul “Religion as a Cultural System”. Dalam pandangan antropologi, pengalaman agama dianggap sebagai suatu kreasi manusia untuk menuju jalan hidup yang berfariasi, sesuai latar belakang pengetahuan, kepercayaan, norma dan nilai-nilai yang dianutnya. Sehubungan dengan makna ini, Edward Norbeck (1974: 5
) menegaskan bahwa: “In the anthropological view then religion is a creation of man, that varies in ways that are congruent with the conditions of life of each society”.
Memahami hakikat makna agama sebagai Way of life, akan dapat menumbuhkan kesadaran pada ummat beragama, untuk bisa saling menghormati sesama pemakai jalan hidup, jalan raya (syari’at). Rasanya tidak pantas jika antar pengguna kendaraan saling “mencaci maki”, saling “menghina” apalagi menganggap bahwa penumpang kendaraan tertentu dianggap tidak sah oleh penumpang kendaraan yang lain.
Perbedaan sesungguhnya tidak harus selalu menimbulkan pertentangan, jika masing-masing pihak merasa berbeda memiliki wawasan yang luas, cara berfikir yang jernih serta niat yang lurus tanpa pretensi apalagi prasangka buruk.
SEJARAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Sosiologi pendidikan secara historis bermula sebagai suatu bidang ilmu pada tahun 1915, melalui perkuliahan “Sosiologi Pendidikan” yang disajikan untuk pertama kali Universitas Chicago (Snedden, 1937). Tetapi “Journal of Educational Sociology” baru terbit pada tahun 1926. Berbagai tulisan dalam volume pertama menunjukkan bahwa disitu terdapat pandangan Chicago: karangan-karangan ilmiah mereview The Gang karya Trasher, mengikuti perkembangan profesional profesor Bogardus, yang menyebutkan akan terbitnya “The Jack Roller” karya Shaw, dan memuat pidato Faris. Meskipun pandangan ini tidak mendominasi jurnal, tetapi sedikit banyak mewakili pemikiran para sosiolog. Sejak masa terbitnya volume kedua (1928-1929) tampak adanya perhatian pada ilmu pengetahuan alam dan pengukuran kuantitatif.
Tahun 1950-an juga memajukan perkembangan metodologi dan konseptual metode kuantitatif, atau metode penelitian lapangan. American Journal of Sosialogy mengeluarkan satu terbitan penuh yang khusus untuk itu pada tahun 1956 (sebagai contoh, lihat Benney dan Hughes, 1956); Dexter, 1956)
REALITAS PENDIDIKAN BEDASARKAN FAKTA SOSIAL
Berdasarkan temuan para mahasiswa dalam kegiatan observasi partisipan di sekolah-sekolah tingkat SMA di daerah sekitar Cirebon ditemui beberapa tantangan dalam melaksanakan sebuah pendidikan:
è Proses Modernisasi:
#Dakwah Islam
Emile Durkheim adalam seorang yang dikenal sebagai Tokoh Teori Konsensus, sejak awal karier beliau selalu menekankan nilai-nilai moral sebagai standar pendekatan untuk memecahkan masalah – masalah social. Maka dari itu, beliau berkeyakinan bahwa nilai-nilai moral itulah hakikatnya yang menjadi standar bagi terwujudnya solidaritas dan integrasi social yang sangat membantu mempersatukan masyarakat.
Didalam Konsep Ukhuwah Islamiyah terdapat beberapa macam pembagian, diantaranya: menghargai perbedaan, menghormati hak azazi, menghindari prasangka buruk, meninggalkan perilaku sombong dan memelihara kebersamaan.
Kebhinekaan bukan berarti menghilangkan aturan, sebab kalau aturan tidak ada, maka manusia tidak lagi layak hidup sebagai manusia. Kebhinekaan tanpa aturan identik dengan keragaman binatang yang hidup di tengah hutan, bisa saling menerkam, saling memangsa dan saling menyerbu.
Dalam analisisnya, Telcott Parson banyak menggunakan kerangka atas tujuan (means and framework). Inti pemikirannya ialah bahwa tindakan social itu; (1) Diarahkan pada tujuan atau (memiliki suatu tujuan); (2) Terjadi dalam suatu situasi, yang beberapa elemennya sudah pasti, sedangkan elemen-elemen lainnya digunakan oleh yang bertindak sebagai alat penuju tujuan itu; (3) Secara normative tindakan itu diatur sehubungan dengan penentuan alat dan tujuan. Jadi komponen dari tindakan social adalah tujuan, sifat, kondisi dan norma.
SOSIOLOGI DURKHEIM
Gambaran kebersamaan yang khas pada masyarakat yang sudah maju, sebagai suatu system kepercayaan dalam hubungan masyarakat berdasarkan latar belakang agamanya. Kutipan ringkas yang ditulis oleh Durkheim (1964: 196)
Aspek penting yang menjadi dasar sosiologi Durkheim adalah antipatinya pada dua hal sebagai usaha untuk menerangkan kenyataan social yang ada pada masyarakat melalui pisikny/keadaannya.
Meskipun Durkheim menaruh perhatian besar terhadap kejadian alam pada masyarakat berdasarkan fakta-fakta sebagai generasi penerus, tetapi dia juga menyukai Weber sebagai musuh yang keras dalam menentukan teori bidang ekonomi, dan penelitiannya yang terkait dengan mekanisme jasmaniah.
Usaha Durkheim menjelaskan perwujudan gejala masyarakat, dalam tulisannya menyebutkan adanya tekanan sebagai “Karakter yang mengandung sejarah” pada jalan pemikiran Durkheim dan secara tidak langsung bahwa ini sebagai kutipan yang pantas. Thompson memberikan kesan pada Durkheim dan rekannya disini selalu sama pada macam kerangka analisa sebuah komperatif-sejarah (1982: 106-7)
STUDI AGAMA SEBAGAI SISTEM BUDAYA
Mempelajari agama sebagai sistem budaya, berarti mendekatkan ajaran agama dengan menggunakan konsep antropologi, salah satu model pendekatan fenomenologi.
Banyak titik temu yang dapat diungkapkan dalam pendekatan antroplogi sebagai suatu ilmu dengan studi agama sebagai sistem budaya, sebagaimana konsep Clifford Geertz “The Religion as a Cultural System”. Salah satu yang paling essensial dari titik temu itu adalah kajian aspek “kemanusiaan”. Agama termasuk Islam adalah suatu sistem yang tidak bisa lepas dari kenyataan-kenyataan adanya hubungan antara manusia dangan Zat Tuhan yang dianggap sakral.
Agama sebagai sebagai sistem budaya dapat dipelajari dengan metode fenomenologis, yakni dengan cara melihat, mengamati dan memperhatikan gejala-gejala keagamaan yang dapat diobservasi secara cermat. Sistem budaya yang mengandung gagasan-gagasan kepercayaan, pengetahuan, norma dan nilai yang bersifat abstrak, hanya bisa dibuktikan dengan melihat gejala-gejala pada tingkat sistem sosial (dalam wujud organisasi dan institusi masyarakat).
Gejala-gejala agama sebagai sistem budaya yang dipelajari secara fenomenologi, dapat didekati melalui berbagai model pendekatan, antara lain pendekatan sosiologi-antropologi. Model pendekatan ini pernah dilakukan pertama kali oleh Taylor dan Frazer yang cenderung melihat magic dan agama sebagai focus penyelidikan dan teori. Kemudian pendekatan fungsional, struktural dan simbolik, ditemukan serta dikembangkan oleh Durkheim, Redcliff Brown dan Levy Bruhl untuk mempelajari fenomena agama. (Scwartz, 1981; Rossi, 1983)
Agama sebagai sistem ideologi yang bersumber dari kepercayaan dan pengetahuan, melahirkan norma dan nilai-nilai ajaran agama. Ideological system sebagai sistem gagasan, terlepas dari mana gagasan itu datang, dari wahyu Allah swt. (revealed) atau dari manusia biasa (non revealed), hakikatnya bersifat kognitif. Sistem ideologi yang bersifat kognitif itu, menuntut adanya realisasi dalam kehidupan manusia yang lebih nyata, baik secara individu, keluarga, atau bangsa dan negara.
Agama sebagai Sistem Budaya, merupakan konsep antropologis yang diungkapkan oleh Clifford Geertz (1969:45) dalam tema asli yang berjudul “Religion as a Cultural System”. Dalam pandangan antropologi, pengalaman agama dianggap sebagai suatu kreasi manusia untuk menuju jalan hidup yang berfariasi, sesuai latar belakang pengetahuan, kepercayaan, norma dan nilai-nilai yang dianutnya. Sehubungan dengan makna ini, Edward Norbeck (1974: 5
) menegaskan bahwa: “In the anthropological view then religion is a creation of man, that varies in ways that are congruent with the conditions of life of each society”.
Memahami hakikat makna agama sebagai Way of life, akan dapat menumbuhkan kesadaran pada ummat beragama, untuk bisa saling menghormati sesama pemakai jalan hidup, jalan raya (syari’at). Rasanya tidak pantas jika antar pengguna kendaraan saling “mencaci maki”, saling “menghina” apalagi menganggap bahwa penumpang kendaraan tertentu dianggap tidak sah oleh penumpang kendaraan yang lain.
Perbedaan sesungguhnya tidak harus selalu menimbulkan pertentangan, jika masing-masing pihak merasa berbeda memiliki wawasan yang luas, cara berfikir yang jernih serta niat yang lurus tanpa pretensi apalagi prasangka buruk.
SEJARAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Sosiologi pendidikan secara historis bermula sebagai suatu bidang ilmu pada tahun 1915, melalui perkuliahan “Sosiologi Pendidikan” yang disajikan untuk pertama kali Universitas Chicago (Snedden, 1937). Tetapi “Journal of Educational Sociology” baru terbit pada tahun 1926. Berbagai tulisan dalam volume pertama menunjukkan bahwa disitu terdapat pandangan Chicago: karangan-karangan ilmiah mereview The Gang karya Trasher, mengikuti perkembangan profesional profesor Bogardus, yang menyebutkan akan terbitnya “The Jack Roller” karya Shaw, dan memuat pidato Faris. Meskipun pandangan ini tidak mendominasi jurnal, tetapi sedikit banyak mewakili pemikiran para sosiolog. Sejak masa terbitnya volume kedua (1928-1929) tampak adanya perhatian pada ilmu pengetahuan alam dan pengukuran kuantitatif.
Tahun 1950-an juga memajukan perkembangan metodologi dan konseptual metode kuantitatif, atau metode penelitian lapangan. American Journal of Sosialogy mengeluarkan satu terbitan penuh yang khusus untuk itu pada tahun 1956 (sebagai contoh, lihat Benney dan Hughes, 1956); Dexter, 1956)
REALITAS PENDIDIKAN BEDASARKAN FAKTA SOSIAL
Berdasarkan temuan para mahasiswa dalam kegiatan observasi partisipan di sekolah-sekolah tingkat SMA di daerah sekitar Cirebon ditemui beberapa tantangan dalam melaksanakan sebuah pendidikan:
è Proses Modernisasi:
- Orang mulai mengalami kehidupan modern (1888-1890)
- Berkembangnya tradisi rasionalisme
- Munculnya gerakan emansipasi dan budaya teknologi
- Gejala Borjuisme (Toynbee, 1954)
- Kesadaran Zaman Baru (Habermas, 1981)
- Kekacauan sosial politik (Berman, 1983)
- Menimbulkan krisis kemanusiaan (Bryan Turner, 2000)
- Persaingan ketat dalam berbagai aspek kehidupan
- Transformasi budaya asing tanpa batas
- Cenderung bebas norma bebas nilai
- Berkembangnya sikap hidup materialisme hedonisme
- Degradasi nilai spiritual dan timbulnya demoralisasi
- Kekuatan globalisasi menimbulkan penderitaan (Alfin Toffler)
0 Comment