Thursday, December 22, 2022

 


PENDAHULUAN

Latar Belakang Berdirinya Daulah Bani Umayyah

Bani Umayyah ( بنو أميّة ) atau kekhalifahan Umayyah adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah dari 661 sampai 750 di Jazirah Arab dan sekitarnya, serta dari 756 sampai 1031 di Cordova, Spanyol. [1]

Nama dinasti ini diambil dari nama tokoh Umayyah bin 'Abd Al – Syams, Kakek Abu Sofyan Umayyah segenerasi dengan Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad SAW dan Ali bin Abi Thalib dengan demikian segenerasi pula dengan Mu’awiyah bin Abi Sofyan. Ali bin Abi Thalib berasal dari keturunan Bani Hasyim sedangkan Mu’awiyah berasal dari keturunan Bani Umaiyah. Kedua keturunan ini merupakan orang yang berpengaruh dalam suku Quraisy.[2]

Muawiyah lahir empat tahun menjelang Nabi Muhammad SAW menjalankan dakwah di kota Mekah pada tahun 610 M. Muawiyah beriman di kota Mekah dalam usia muda dan turut Hijrah ke Yasrib (Madinah).[3]

SILSILAH KEKELUARGAAN

Kusshai

(Quraisy)

 


Abdu Manaf

 


                                                                                                                                              Hasyim                                                         Abd Syam

                 

   Abdul Muthalib                                                         Umayyah

 

 


Abbas                Abdullah          Abu Thalib                Affan                              Harb

 


Abdullah         Muhammad      Ali             Jaafar        Utsman                   Abu Soufyan

 


    Ali                         Hassan         Hussain                                                  Muawiyah

 

Penjelasan: 1.  Turunan Umayyah membentuk Daulat Umayyah (661-750 M) berkedudukan di Damaskus, kemudian Daulat Umayyah (756-1031 M) berkedudukan di Cordova, Spain.

                    2.  Turunan Abbas membentuk Daulat Abbasiah (750-1256 M) berkedudukan di Baghdad.[4]

 

Setelah Khalifah Ali meninggal (656-661 M) maka masyarakat di Arabia, Irak dan Iran memilih dan mengangkat Hassan ibn Ali, putra almarhum Khalifah Ali (cucu Nabi Muhammad), menjabat sebagai Khalifah. Akan tetapi karena Hassan ibn Ali seorang yang bersikap damai dan punya pandangan jauh kedepan, merasakan sedih menyaksikan perpecahan umat Islam. Maka di dalam tahun 661 itu juga, setelah menduduki jabatan selama tiga bulan, iapun dengan sukarela meletakan jabatan dan menyerahkan jabatan khalifah itu kepada Muawiyah ibn Abu Sofyan dan mengakuinya.[5]

SILSILAH DAULAT UMAYYAH

(661-750 M)

 

Umayyah

 


Harb

 

 


Abu Sofyan                                                                                         Alh Akkam

1.Muawiyah I                                                                                      4.Mirwan I

(661-680 M)                                                                                      (684-685 M)

 

 


  2.Yazid I                                            5.Abdul Malik                                   Abdul-Aziz

(682-682 M)                                         (685-705 M)

 

 


3.Muawiyah II      6.Walid I        7.Sulaiman        9.Yazid II         10.Hisyam     8.Umar

     (683 M)       (705-715 M)         (715-717 M)     (720-724 M)     (724-743 M)    717-720

 

 


     12.Yazid III              13.Ibrahim     11.Walid II          Abbas     Sulaiman    Muawiyah

         (744 M)                  (744 M)      (743-744 M)

 

 

 

14. Mirwan II ibn Muhammad                                                                Abdul Rahman

            (744-750 M)                                                                               Al-Dakhil

 

 

 

 

Penjelasan:     Abdul Rahman Al-Dakhil (756-788 M) adalah pembangun DAULAT UMAYYAH (756—1031 M) di Spain, berkedudukan di Cordova.[6]

Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umaiyah, dimana pemerintahan yang bersifat Islamiyyah demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun).[7]

Masa keKhilafahan Bani Umayyah hanya berumur 90 tahun yaitu dimulai pada masa kekuasaan Muawiyah bin Abi Sufyan Radhiallahuanhu, yaitu setelah al-Hasan bin 'Ali ra menyerahkan jabatan kekhalifahan kepada Muawiyah Ibn Abu Sufyan ra dalam rangka mendamaikan kaum muslimin yang pada saat itu sedang dilanda fitnah akibat terbunuhnya Utsman Ibn Affan ra, Perang Jamal (Unta) karena Aisyah dalam pertempuran itu menunggang unta. Ali berhasil mengalahan lawannya, Zubair dan Thalhah terbunuh ketika hendak melarikandiri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.[8]

Suksesi kepemimpinan secara turun temurun Dimulai ketika Muawiyah Ibn Abu Sufyan ra mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid Ibn Muawiyah. Muawiyah Ibn Abu Sufyan bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya "khalifah Allah" dalam pengertian "penguasa" yang diangkat oleh Allah.[9]

Peristiwa itu terjadi setelah Hasan bin Ali yang dibaiat oleh pengikut setia Ali menjadi khalifah, sebagai penganti Ali, Hasan mengundurkan diri dari gelanggang politik. Sebab, ia tidak ingin lagi terjadi pertumpahan darah yang lebih besar, dan menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada Muawiyah. Langkah penting Hasan bin Ali ini dapat dikatakan sebagai usaha rekonsiliasi umat Islam yang terpecah belah.

 Karenanya peristiwa itu dalam sejarah Islam dikenal dengan tahun persatuan (am al-jama’at). Yaitu episode sejarah yang mempersatukan umat kembali berada dibawah kekuasaan seorang khalifah. Rujuk dan perdamaian antara Hasan dan Muawiyah setelah Muawiyah bersedia memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Hasan. Yaitu Muawiyah harus menjamin keamanan dan keselamatan jiwa dan harta keturunan Ali dan pendukungnya. Pernyataan ini diterima Muawiyah dan dibuat secara tertulis. Persetujuan Muawiyah ini diimbangi oleh Hasan dengan membaiatnya. Rakyat juga menunjukkan ketaatan dengan membaiatnya. 

Muawiyah dikenal sebagai seorang politikus dan administrator yang pandai. Umar bin Khattab sendiri pernah menilainya sebagai seorang yang cakap dalam urusan politik pemerintahan, cerdas dan jujur. Ia juga dikenal seorang negarawan yang ahli bersiasat, piawai dalam merancang taktik dan strategi, disamping kegigihan dan keuletan serta kesediaanya menempuh segala cara dalam berjuang. Untuk mencapai cita-citanya karena pertimbangan politik dan tuntunan situasi. Dengan kemampuan tersebut dan bakat kepemimpinan yang dimilikinya, Muawiyah dinilai berhasil merekrut para pemuka masyarakat, politikus, dan administrator bergabung ke dalam sistemnya pada zamannya, untuk memperkuat posisinya dipuncak pimpinan. Muawiyah juga dikenal berwatak keras dan tegas, tetapi juga bisa bersifat toleran dan lapang dada.

Didalam bidang politik dan kenegaraan, Muawiyah digambarkan oleh penulis-penulis arab sebagai orang yang mempunyai sifat hilm yang sempurna yaitu berupa kecerdikan dan kelicinan, maksudnya suatu kecakapan dalm mengalahkan lawan tanpa kekerasan.[10]

Hal ini dapat dilihat dalam ucapannya yang terkenal sebagai prinsip yang ia terapkan dalam memimpin: “Aku tidak mempergunakan pedangku kalau cambuk saja sudah cukup, dan tidak pula kupergunakan cambukku kalau perkataan saja sudah memadai, andaikata aku dengan orang lain memperebutkan sehelai rambut, tiadalah akan putus rambut itu, karena bila mereka mengencangkannya aku kendorkan, dan bila mereka kendorkannya akan kukencangkan.[11]

Ibu kota negara dipindahkan Muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumnya. Khalifah-khalifah besar dinasti Bani Umayyah ini adalah:[12]

-  Muawiyah ibn Abi Sufyan (661 - 680 M)

-  Abd al-Malik ibn Marwan (685 - 705 M)

 -  Al-Walid ibn Abdul Malik (705 - 715 M)

 - Umar ibn Abd al-Aziz (717 - 720 M)

-  Hasyim ibn Abd al-Malik (724 - 743 M)

Dalam upaya perluasan daerah kekuasaan Islam pada masa Bani Umayyah, Muawiyah selalu mengerahkan segala kekuatan yang dimilikinya untuk merebut kekuasaan di luar Jazirah Arab, antara lain upayanya untuk terus merebut kota Konstantinopel.

Ada tiga hal yang menyebabkan Muawiyah terus berusaha merebut Byzantium. Pertama, karena kota tersebut adalah merupakan basis kekuatan Kristen Ortodoks, yang pengaruhnya dapat membahayakan perkembangan Islam. Kedua, orang-orang Byzantium sering melakukan pemberontakan ke daerah Islam. Ketiga, Byzantium termasuk wilayah yang memiliki kekayaan yang melimpah. Pada waktu Bani Umayyah berkuasa, daerah Islam membentang ke berbagai negara yang berada di benua Asia dan Eropa. Dinasti Umayyah, juga terus memperluas peta kekuasannya ke daerah Afrika Utara pada masa Khalifah Walid bin Abdul Malik , dengan mengutus panglimanya Musa bin Nushair yang kemudian ia diangkat sebagai gubernurnya. Musa juga mengutus Thariq bin Ziyad untuk merebut daerah Andalusia.

Keberhasilan Thariq memasuki Andalusia, membuat peta perjalanan sejarah baru bagi kekuasaan Islam. Sebab, satu persatu wilayah yang dilewati Thariq dapat dengan mudah ditaklukan, seperti kota Cordova, Granada dan Toledo. Sehingga, Islam dapat tersebar dan menjadi agama panutan bagi penduduknya. Tidak hanya itu, Islam menjadi sebuah agama yang mampu memberikan motifasi para pemeluknya untuk mengembangkan diri dalam berbagai bidang kehidupan social, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Andalusia pun mencapai kejayaan pada masa pemerintahan Islam.

B.     Kemajuan Peradaban Islam Masa Daulah Bani Umaiyah

Pada masa Bani Umayah beberapa kemajuan di berbagai sektor berhasil dicapai.

1.      Politik/ Pemerintahan/ Militer

Di zaman ini militer dikelompokkan menjadi 3 angkatan. Yaitu angkatan darat (al-jund), angkatan laut (al-bahiriyah) dan angkatan kepolisian. pada masa Bani Umayyah jauh lebih berkembang dari masa sebelumnya, sebab diberlakukan Undang-Undang Wajib Militer (Nizhamut Tajnidil Ijbary).

Sedangkan pada masa sebelumnya, yakni masa Khulafaurrasyidin, tentara adalah merupakan pasukan sukarela. Politik ketentaraan Bani Umayyah adalah politik Arab, dimana tentara harus dari orang Arab sendiri atau dari unsur Arab. Pada masa ini juga, telah dibangun Armada Islam yang hampir sempurna hingga mencapai 17.000 kapal yang dengan mudah dapat menaklukan Pulau Rhodus dengan panglimanya Laksamana Aqabah bin Amir.

Disamping itu Muawiyah juga telah membentuk “Armada Musin Panas dan Armada Musim Dingin”, sehingga memungkinkannya untuk bertempur dalam segala musim. Dan kesemuanya digaji oleh negara dengan tingkat kesejahteraan yang cukup tinggi.

Menurut analisa penulis, adanya armada musim panas dan musim dingin ini pada masa daulah bani muawiyah, dikarenakan pada masa ini sudah memiliki alat pengatur musim.

2.      Ekonomi dan Perdagangan

Setelah Bani Umayah berhasil menaklukkan bebagai wilayah, jalur perdangan jadi semakin lancar. Ibu kota Basrah di teluk Persi pun menjadi pelabuhan dagang yang ramai dan makmur, begitu pula kota Aden.

Akan tetapi, Baitul Mal yang merupakan kantor perbendaharaan umat menjadi salah satu institusi yang disalah gunakan. Pada masa ini Baitul Mal seperti menjadi milik pribadi. Pada masa ini Baitul Mal dibagi menjadi dua bagian, yaitu umum, dan khusus. Pendapatan Baitul Mal umum di peruntukan bagi masyarakat umum, sedangkan yang khusus di pruntukan bagi para sultan dan keluarganya.[13]

3.      Sosial Kemasyarakatan

Khalifah pada masa Bani Umayyah juga telah banyak memberikan kontribusi yang cukup besar. Yakni, dengan dibangunnya rumah sakit (mustasyfayat) di setiap kota yang pertama oleh Khalifah Walid bin Abdul Malik. Saat itu juga dibangun rumah singgah bagi anak-anak yatim piatu yang ditinggal oleh orang tua mereka akibat perang. Bahkan orang tua yang sudah tidak mampu pun dipelihara di rumah-rumah tersebut. Sehingga usaha-usaha tersebut menimbulkan simpati yang cukup tinggi dari kalangan non-Islam, yang pada akhirnya mereka berbondong-bondong memeluk Islam.

4.      Pendidikan dan Iptek

Telah berkembang ilmu pengetahuan secara tersendiri dengan masing-masing tokoh spesialisnya. Antara lain, dalam ilmu Qiro’at (7 Qiro’at) yang terkenal yaitu Ibn Katsir (120 H), Ashim (127 H), dan Ibn Amr (118 H), Ilmu Tafsir tokohnya ialah Ibnu Abbas (68 H) dan muridnya Mujahid yang pertama kali menghimpun tafsir dalam sebuah suhuf, Ilmu hadist dikumpulkan oleh Ibnu Syihab Az-Zuhri atas perintah Umar bin Abdul Aziz, tokohnya ialah Hasan Al-Basri (110 H), Sa’ad bin Musayyad, Rabi’ah Ar-Ra’iy guru dari Imam Malik, Ibnu Abi Malikah, Sya’bi Abu Amir bin Syurahbil. Kemudian ilmu kimia dan kedokteran, ilmu sejarah, ilmu nahwu dan sebagainya.[14]Perkembangan Iptek tidak hanya meliputi ilmu pengetahuan agama saja, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, seperti ilmu kedokteran, filsafat, astronomi, ilmu pasti, ilmu bumi, sejarah, dan lain-lain.[15]

Ilmu-ilmu kedokteran, music, matematika, astronomi, kimia dan lain-lain juga berkembang dengan baik. Abbas ibn Famas termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi. Ialah orang pertama yang menemukan pembuatan kaca dari batu. Ibrahim ibn Yahya al-Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. Ia dapat menentukan waktu terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. Ia juga berhasil membuat teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ahmad ibn Ibas dari Cordova adalah ahli dalam bidang obat-obatan. Ummul Hasan binti Abi Ja’far dan saudara perempuan al-Hafidz adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita.[16]

Dalam bidang sejarah dan geografi, wilayah islam bagian barat melahirkan bayak pemikir terkenal, Ibn Jubai dari Valencia (1145-1228 M).

5.      Kesenian

Perkembangan seni suara pada zaman pemerintahan Dinasti Umayyah yang terpenting ialah qiraatul Quran, kasidah, musik, dan lagu-lagu lainnya yang bertema cinta kasih. Kemajuan seni bahasa sangat erat kaitannya dengan perkembangan bahasa.[17]

Dinasti Umayyah telah memberi peran dan pengaruh yang besar dalam arsitektur Masjid. Pada 673 M, Muawiyah pemimpin pertama Dinasti Umayyah–mulai memperkenalkan menara. Menara masjid pertama dibangun pada Masjid Amr Ibn-Al-Ash. Di masjid itu, ia membangun empat menara sebagai tempat untuk mengumandangkan adzan.

Dalam proses pembangunan Masjid Agung Umayyah, dinasti ini juga mulai memperkenalkan sejumlah teknik arstitektur baru khas Islam. Salah satunya adalah lengkungan pada arsitektur masjid. Pada era kekuasaan Dinasti Umayyah yang ditandai dengan kemakmuran juga diperkenalkan elemen-elemen fungsional dan struktural utama dalam arsitektur masjid, seperti menara, mihrab, maksurah, dan kubah.

Seni dekorasi juga mulai berkembang menjadi seni Islami melalui penggunaan kaligrafi dengan tulisan indah kufi. Kaca mozaik juga mulai diperkenalkan pada masa itu.[18]

6.      Pemikiran dan Filsafat

Islam di Spanyol telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat brilian dalam bentangan sejarah Islam. Ia berperan sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad ke-12. Minat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke-9 M selama pemerintahan penguasa Bani Umayyah yang ke-5, Muhammad ibn Abdurrahman (832-886 M).[19]

Atas inisiatif al-Hakam (961-976 M), karya-karya ilmiah dan filosofis diimpor dari Timur dalam jumlah besar, sehingga Cordova dengan perspustakaan dan Universitas-universitasnya mampu menyaingi Baghdad sebagai pusat utama ilmu pengetahuan di dunia islam. Tokoh utama pertama dalam sejarah Filsafat Arab-Spanyol adalah Abu Bakr Muhammad ibn al-Sayigh yang lebih dikenal dengan Ibn Bajjah. Dilahirkan di Saragosa, ia pindah ke Sevilla dan Granada. Meninggal karena keracunan di Fezzan tahun 1138 M dalam usia yang masih muda. Al-Farabi dan Ibn Sina di Timur, Abu Bakr ibn Thufail banyak menulis masalah kedokteran, astronomi dan filsafat. Karya filsafatnya yang terkenal adalah Hay ibn Yaqzhan.[20]

C.    Kemunduran dan Keruntuhan Daulah Bani Umaiyah

Dinasti Bani Umayyah mengalami masa kemunduran, ditandai dengan melemahnya sistem politik dan kekuasaan karena banyak persoalan yang dihadapi para penguasa dinasti ini. Antaranya adalah masalah politik, ekonomi, dan sebagainya.

Seperti diketahui bahwa setelah Khalifah Hisyam bin Abdul Malik, para Khalifah Bani Umayyah tidak ada lagi yang dapat diandalkan untuk mengendalikan pemerintahan dan keamanan dengan baik, selain itu mereka tidak dapat mengatasi pemberontakan di dalam negeri secara tuntas. Bahkan mereka tidak mampu lagi menjaga keutuhan dan persatuan di kalangan keluarga Bani Umayyah. Sehingga sering terjadi pertikaian di dalam rumah tangga istana. Penyebabnya adalah perebutan kekuasaan. Siapa yang akan menggantikan kedudukan khalifah dan seterusnya.

Adapun sebab-sebab kemunduran dinasti Bani Umayyah adalah sebagai berikut :

1.      Khalifah memiliki kekuasaan yang absolut. Khalifah tidak mengenal kompromi. Menentang khalifah berarti mati. Contohnya adalah peristiwa pembunuhan Husein dan para pengikutnya di Karbala. Peristiwa ini menyimpan dendam di kalangan para penentang Bani Umayyah, terjadi pergolakan politik yang menyebabkan situasi dan kondisi dalam negeri dan pemerintahan terganggu.

  1. Gaya hidup mewah (glamor)  para khalifah. Kebiasaan pesta dan berfoya-foya di kalangan istana, menjadi faktor penyebab rendahnya moralitas mereka, disamping mengganggu keuangan negara. Contohnya, Khalifah Abdul Malik bin Marwan dikenal sebagai seorang khalifah yang suka berfoya-foya dan memboroskan uang negara. Sifat – sifat inilah yang tidak disukai masyarakat, sehingga lambat-laun mereka melakukan gerakan pemberontakan untuk menggulingkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah.
  2. Tidak adanya ketentuan yang tegas mengenai sistem pengangkatan khalifah. Hal ini berujung pada perebutan kekuasaan di antara para calon khalifah.
  3. Banyaknya gerakan pemberontakan selama masa-masa pertengahan hingga akhir pemerintahan Bani Umayyah. Usaha penumpasan para pemberontak menghabiskan  dana yang tidak sedikit, sehingga kekuatan Bani Umayyah mengendur.
  4. Pertentangan antara Arab Utara (Arab Mudhariyah) dan Arab Selatan (Arab Himariyah) semakin meruncing, sehingga para penguasa Bani Umayyah mengalami kesulitan untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan serta keutuhan negara.
  5. Banyaknya tokoh agama yang kecewa dengan kebijakan para penguasa Bani Umayyah, karena tidak didasari atas syariat Islam.

Bani Umayyah mengalami kemunduran oleh banyak hal, diantaranya adalah terbaginya kekuasaan Daulah Bani Umayyah ke dalam dua wilayah. Khalifah Marwan bin Muhammad berkuasa di wilayah Semenanjung Tanah Arab, dan Khalifah Yazid bin Umar berkuasa di wilayah Wasit. Namun yang paling kuat di antara kedua wilayah tersebut adalah yang berpusat di Semenanjung Tanah Arab. Sehingga para pendiri kerajaan Daulah Bani Abbasiyah terus menerus mengatur strateginya untuk menumbangkan Khalifah Marwan dengan cara apapun, termasuk menghabisi nyawanya.[21]

Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayyah mengalami kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain adalah:[22]

1.      Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.

2.      Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi'ah (para pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.

3.      Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.

4.      Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Disamping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.

5.      Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi'ah, dan kaum mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.

Pertikaian dan pembunuhan ini menimbulkan kekacauan sosial dan politik, sehingga negara menjadi tidak aman dan masyarakat yang pernah merasa tersisih bersatu dengan kelompok Abu Muslim dan Abul Abbas. Bergabungnya masyarakat untuk mengalahkan kekuatan Bani Umayyah, menandai berakhirnya masa masa kejayaan Bani Umayyah, sehingga sekitar tahun 750 M Bani Umayyah tumbang.[23]

PENUTUP

  1. Kesimpulan

1.      Bani Umayyah adalah dinasti yang pertama sekali menggunakan system monarki (kekeluargaan).

2.      Pada masa daulah bani umayyah ini, islam berkembang pesat ke seluruh benua Asia, Eropa dan Afrika Utara.

3.      Pada masa ini banyak karya yang menjadi kebanggan bagi umat islam.

4.      Pada masa ini telah memerintah 14 orang khalifah berdasarkan keturunan.

5.      Terjadinya kemunduran dan kehancuran pada masa ini, disebabkan setelah khalifah Umar bin Abdul Aziz tidak lagi menjalan kan pemerintahan berdasarkan syariat islam.

  1. Saran

Demikianlahhasil penulisan makalah yang telah penulis buat. Penulis merasakan bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan masukan atau saran dari dosen pembimbing dan juga teman-teman sekalin untuk perbaikan makalah penulis kedepannya. Sebelumnya penulis ucapkan terimakasih. Wassalam.


DAFTAR PUSTAKA

 

Asmuni, Yusran, DIRASAH ISLAMIYAH II Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam & Pemikiran, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998

Harun, Maidir dan Firdaus, SEJARAH PERADABAN ISLAM, Padang: IAIN-IB Press, 2001, cet. ke- 1

HITTI, PHILIP K, DUNIA SEJARAH RINGKAS, Bandung : SUMUR BANDUNG,2007.

PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI IAIN IMAM BONJOL PADANG TAHUN 2007, Padang: IAIN Imam Bonjol Padang, 2007

______________ , Padang: Al-Jami’ah Imam Bonjol, 1992

Sou’yb, Joesoef, Sejarah DAULAT UMAYYAH I di Damaskus, Jakarta: Bulan Bintang, 1977, cet. ke- 1

Subagyo, Joko, METODE PENELITIAN Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1997, cet. ke-2

Yatim, Badri, SEJARAH PERADABAN ISLAM Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.

http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/196503141992031-TATANG/Tarikh_Islam/(3)_Sejarah_Bani_Umayyah.pdf,Download : Kamis/29 September 2011

http://yusrijuliansyah.blogspot.com/2011/07/politik-dan-sistem-pemerintahan-bani.html, Download :Kamis/29 September 2011

http://www.scribd.com/doc/22677510/Sejarah-Peradaban-Islam-Bani-Umayyah-Dan-Abbasiyah, Download : Kamis/29 September 2011

http://adji-anginkilat.blogspot.com/2010/03/faktor-berdiri-dan-runtuhnya-dinasti.html



[2]. Maidir Harun dan Firdaus. SEJARAH PERADABAN ISLAM, (Padang : IAIN IB Press, 2001), cet. ke-1, hlm. 79

[3]. Joesoef  Sou’yb, Sejarah DAULAT UMAYYAH I di Damaskus, (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), cet. k-1, hlm.13

[4]. Joesoef  Sou’yb, Op.,cit., h.274

[5]. Ibid., h. 274

[6]. Joesoef  Sou’yb, Op.,cit., h.274

[7]. Badri Yatim, SEJARAH PERADABAN ISLAM Dirasah Islamiyah II, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006), cet. 3,  hlm. 42

[9]. Badri Yatim, Op.,cit., h. 43

[10]. Yusran Asmuni, DIRASAH ISLAMIYAH II Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam & Pemikiran, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1998), cet. ke-3, h.8

[11]. Philip K.Hitti, DUNIA SEJARAH RINGKAS, (Bandung : SUMUR BANDUNG, 2007), cet. ket-7, h.80

[15]. ibid.

[16]. http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah-Al-Andalus, download : Jum’at/ 7 Oktober 2011

[17] http://bataviase.co.id/node/270816, download : Jum’at 7 Oktober 2011

[19] Ibid.

[20] Ibid.

[22]  Ibid.

0 Comment