HAKIKAT METODE DAKWAH BI AL-HIKMAH
A. Pendahuluan
Keberhasilan mencapai sesuatu tidak selamanya ditentukan oleh kesungguhan dan keuletan, tetapi juga sangat dipengaruhi strategi atau metode yang dpergunakan. Metode yang tepat guna sangat diperlukan dalam mencapai keberhasilan, contoh sederhana, seorang siswa yang rajin mencatat dan menghafal setipa kata-kata yang diucapkan oleh gurunya belum tentu dapat mengalahkan siswa yang hanya mencatat da menghafal setiap kata kunci dari satu pelajaran.
Dalam berdakwah, tanpa metode yang tepat, keberhasilan mustahil didapatkan, Pada perjanjian Hudaibiyah, misalnya. Walaupun banyak sahabat yang kecewa dengan keputusan Rasul, tetapi itu merupakan sebuah strategi yang sangat cangih dan tajam yang disadari kemudiannya oleh para shahabat .
Makalah ini mengajak kita semua megenal salah satu metode yang mesti diperhatikan karena sudah banyak para da’i yang mengabaikan bahkan meninggalkan, seruan ini berulang kali Allah sebutkan dalam al-Qur’an yaitu : bi al-Hikmah.
B. pembahasan
1. Pengertian
Kata al-Hikmah dengan segala bentuknya dalam al-Qur’an terdapat sebanyak 208 kali yang tersebar dalam berbagai surat dan ayat.[1]Dalam bentuk nakirah maupun ma’rifat disebutkan sebanyak 20 kali.[2]Pemakaian kata hikmah banyak digandengkan dengan kata kitab, Injil, Taurat, sehingga dapat dipahami bahwa kata hikmah itu sebanding dengan kitab, Injil, Taurat, atau suatu pelajaran yang datangnya dari Allah SWT. Seperti yang terlihat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat: 2, 129, 131, 151, 296, surat al-Imran ayat: 48, 81, 184, al-Nisa’ ayat: 54, 113, al-Maidah ayat: 110 dan al-Jum’ah ayat 2.[3] Dalam ayat-ayat tersebut dikuatkan makna oleh Allah SWT bahwa orang yang mendapat hikmah itu adalah orang-orang tertentu saja sesuai dengan kemauan Allah, bagi yang mendapatkan hikmah mendapatkan kebaikan yang banyak.
Kata al-Hikmah berasal dari kata Bahasa Arab, (h, k, m), jama’nya adalah hikam yaitu ungkapan yang mengandung makna kebenaran dan mendalam. Dalam bahasa Indonesia diartikan dengan kata bijaksana. Kata bijaksana dalam bahasa Indonesia mengandung arti; selalu mempunyai akal budi (pengalaman dan pengetahuan), ‘arif, tajam pikiran, pandai dan ingat-ingat.[4]Secara etimologi al-Hikmah juga berarti al-‘Adil, Al-Ilm, al-Halim, an-Nubuwah, al-Qur’an, Injil dan sunnah.[5]
Bentuk mashdar al-Hikmah adalah “hukman” yang diartikan secara makna aslinya adalah mencegah. Jika dikaitkan dengan hukum berarti mencegah dari kezaliman, dan jika dikaitkan dengan dakwah maka berarti menghindari hal-hal yang kurang relevan dalam melaksanakan tugas dakwah[6]. Sedangkan secara lughawiyah terma hikmah berarti kebijaksanaan, sehat pikiran, ilmu pengetahuan, filsafat, ke-Nabian, keadilan, peribahasa, pepatah dan al-Qur’an.[7]
Al-Hikmah juga berarti tali kekang pada binatang, serti istilah hikmatullijam, karena Lijam (cambuk atau kekang kuda) itu digunakan untuk mencegah tindakan hewan.[8]Diartikan demikian karena tali kekang itu membuat penunggang kudanya dapat mengendalikan kudanya, sehingga sipenunggang kuda dapat mengaturnya baik untuk perintah lari atau berhenti. Orang yang memiliki hikmah dapat diartikan orang yang memiliki kendali diri yang dapat mencegah dari hal-hal yang kurang bernilai baik dan hina.
Dalam wikipedia Indonesia dijelaskan bahwa Dakwah bil Hikmah Yakni menyampaikan dakwah dengan cara yang arif bijaksana, yaitu melakukan pendekatan sedemikian rupa sehingga pihak obyek dakwah mampu melaksanakan dakwah atas kemauannya sendiri, tidak merasa ada paksaan, tekanan maupun konflik. Dengan kata lain dakwah bi al-hikmah merupakan suatu metode pendekatan komunikasi dakwah yang dilakukan atas dasar persuasive.[9]
Dalam kitab al-Hikmah fi al dakwah Ilallah ta'ala oleh Said bin Ali bin wahif al-Qathani diuraikan lebih jelas tentang pengertian al-Hikmah, antara lain: Menurut bahasa: (1) adil, ilmu, sabar, kenabian, Al-Qur'andan Injil, (2) memperbaiki (membuat manjadi lebih baik atau pas) dan terhindar dari kerusakan (3) ungkapan untuk mengetahui sesuatu yang utama dengan ilmu yang utama, (4) obyek kebenaran (al-haq) yang didapat melalui ilmu dan akal, (5) pengetahuan atau ma'rifat.[10]
Menurut istilah Syar'i: al-Hikmah berarti valid dalam perkataan dan perbuatan, mengetahui yang benar dan mengamalkannya, wara' dalam Dinullah, meletakkan sesuatu pada tempatnya dan menjawab dengan tegas dan tepat.[11]
Dalam fersi lain juga dinayakan bahwa "Hikmah" adalah al burhan al aqli (argumentasi rational). Maksudnya, argumentasi yang masuk akal, yang tidak dapat dibantah, dan memuaskan. Inilah yang bisa mempengaruhi jiwa (pikiran dan perasaan) siapa saja, sebab manusia tidak akan dapat menutupi akalnya di hadapan-argumentasi-argumentasi yang jelas, serta dihadapan pemikiran yang kuat.
Oleh kerana itu, berdakwah dengan argumentasi dan hujjah ini akan dapat mempengaruhi para pemikir maupun bukan pemikir. Inilah yang ditakuti oleh orang-orang kafir serta orang-orang atheis, juga ditakuti oleh orang-orang yang sesat lagi menyesatkan. Sebab, inilah yang dapat membongkar kebatilan, menerangi wajah kebenaran, serta boleh menjadi api yang mampu membakar kebatilan dan menjadi cahaya yang dapat menyinari kebenaran.
Dari sinilah, kita dapat menemukan, bahwa Al-Qur'an telah mengemukakan hujjah-hujjah yang jelas dan argumentasi-argumentasi rational. la merupakan bentuk ungkapan yang paling dalam, serta argumentasi-argumentasi dan hujjah-hujjah yang jelas.[12]
Adapun metodologi Al Quran sebagai berikut:
1. Menggunakan perumpamaan untuk memudahkan pemahaman pelik tentang ilmu-ilmu transendental Ilahi.
2. Menggunakan sanggahan yang baik dalam berdebat dengan orang-orang yang besikeras menentang pokok agama.
3. Mengkombinasikan ilmu dan hukum dengan nasehat dan akhlak, pengajaran hikmah dengan bimbingan dan pembenahan diri.
4. Menjustifikasikan persepsi yang dinukil dari yang lain secara akurat.
5. Mengkaitkan permasalahan ontologi dengan teologi. Buku ilmiah mengungkap fenomena alam dan menguraikannya secara horizontal, adapun Al Quran sebagai cahaya petunjuk, mengungkap fenomena alam serta menjelaskannya secara vertikal (keterkaitan alam dengan ketuhanan dan hari kebangkitan).
6. Mengklasifikasikan pentas-pentas sejarah yang mengandung pelajaran dan mutiara kehidupan dalam menuturkan cerita-cerita.
7. Pengulangan konteks dalam Al Quran, diperlukan sebagai penekanan dalam petunjuk, sebab Setan senantiasa menjauhkan manusia dari jalan Ilahi, sedangkan pengulangan konteks dalam buku ilmiah hanya akan mengurangi kualitas isinya.[13]
Disamping defenisi secara etimologi, para ulama juga memberikan definisi secara terminology. Al-Hikmah secara terminology didefenisikan sebagai berikut:
Muhammad Abduh berpendapat bahwa, hikmah adalah mengetahui rahasia dan faedah di dalam tiap-tiap hal. Hikmah juga digunakan dalam arti ucapan yang sedikit lafaz akan tetapi banyak makna[14]ataupun diartikan meletakkan sesuatu pada tempatnya atau semestinya.
Dalam konteks ushul fiqh istilah hikmah dibahas ketika ulama’ ushul membicarakan sifat-sifat yang dijadikan ilat hukum. Dan pada kalangan tarekat hikmah diartikan pengetahuan tentang rahasia Allah SWT.
Yahya Umar menyatakan bahwa hikmah berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya dengan berpikir, berusaha menyusun dan mengatur dengan cara yang sesuai dengan keadaan zaman dengan tidak bertentangan dengan larangan Tuhan.[15]
Al-Maghzawi mengemukakan bahwa ungkapan hikmah mengandung semua makna dalam al-Qur’an, bukan saja hikmah yang terdapat dalam surat al-Nahl ayat 125 saja, karena kata hikmah pada ayat-ayat lain mempunyai hubungan yang siknifikan.[16]
Pada sisi lain A. Hasymi mempertegas bahwa hikmah adalah ilmu pengetahuan, sedangkan M. Natsir memahami bahwa hikmah itu dipergunakan untuk semua golongan, baik cerdik, pandai, awam dan sebagainya. Sedangkan Sayyid Qutb mengemukakan bahwa dakwah bi al-Hikmah adalah memperhatikan keadaan serta tingkat kecerdasan penerima dakwah, memperhatikan kadar materi dakwah yang disampaikan kepada audiens, sehingga mereka tidak dibebani dengan materi dakwah tersebut, karena belum siap mental untuk menerimanya.[17]
Dalam makalah ini sengaja diutarakan pengertian al-Hikmah sebagai metode dakwah. Hal ini untuk menjelaskan kedalaman dan keluasan makna metode tersebut untuk diaplikasikan. Dari uraian-uraian di atas terbukti bahwa metode dakwah al-Hikmah merupakan metode dakwah yang memiliki kedalaman makna.
2. Tujuan Metode Dakwah al-Hikmah
Da’i akan berhadapan dengan realitas perbedaan agama yang heterogen. Perbedaan suku bangsa, ras, warna kulit, psikologis, biologis, sosiologis dan sebagainya yang termanifestasi dalam iklim pluralisme. Seorang Da’i harus mengakui bahwa pluralisme merupakan keniscayaan.
Kata pluralisme berasal dari kata “plural” yang artinya “jamak, banyak atau ganda”[18]. Kata Plural berobah menjadi Pluralis (berbentu banyak, penganut paham pluralisme), Pluralisme (teori yang mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak substansi), pluralistik (banyak macam) dan pluralitas (kejamakan)[19]. Dari pengertian dan perobahan kata di atas dapat dipahami bahwa pluralisme merupakan suatu paham yang lebih menghargai keaneka ragaman.
Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.[20]
Pluralisme dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi.
Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar.
Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih tersebar luas dan menghasilkan partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang lebih baik. Contoh kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting ialah: perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah.
Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah faktor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah, misalnya; lebih tinggi kinerja dan pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan teknologi kedokteran lebih baik. Apabila teknologi kedokteran membaik maka pelayanan kesehatan lebih meningkat dan secara otomatis kesejahteraan masyarakat terus meningkat.
Pluralisme juga menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing.
Menurut filosof pluralisme merupakan suatu paham yang berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan[21]. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semua nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles yang menyakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api dan udara.[22]
Pernyataan ini benar adanya. Karena terbukti bahwasanya setiap segala sesuatu itu tidak dapat berdiri sendiri. Untuk membangun sebuah gugusan, suatu materi membutuhkan materi yang lain. Dari pernyataan ini dapat digeneralisasikan bahwa suatu kebenaran tidak dapat diukur dengan kebenaran lain. Tetapi kebenaran lain dapat dijadikan perbandingan terhadap suatu kebenaran. Misalnya kebenaran Agama Islam tidak dapat diukur dengan kebenaran Agama Kristen, begitu juga sebaliknya. Karena antara kedua agama tersebut merupakan dua agama yang sama-sama benar menerut masing-masing pemeluknya.
Dari uaraian di atas dapat dipahami bahwa tujuan metode dakwah al-Hikmah diantaranya adalah memberikan pandangan kepada Da’i bahwasanya dalam berdakwah harus memperhatikan keberagaman mad’u. sehingga Da’i tidak arogan dalam menyampaikan risalah dakwah. Da’i yang adil memegang teguh prinsip keadilan dan tidak curang, mampu meletakkan sesuatu pada posisi yang sesuai.
Memperhatikan pengertian hikmah dalam surat al-Nahal ayat 125 dari beberapa pendapat ilmuan tafsir, bertujuan sebagai berikut:
a. Memberdayakan akal dan ilmu secara benar dan mendalam dengan pendekatan filosofis dan rasional (hikmiyah dan akliyah)diarahkan kepada komunitas pemikir dan intelektual, karena golongan ini cendrung mempunyai daya tangkap yang cepat, kritis dan wawasan yang luas.
b. Memberikan argument yang dapat menghilangkan keragu-raguan dan membawa kepada keyakinan, bersifat induktif, analitis, objektif, logis dan komparatif.
c. Meletakkan sesuatu pada tempatnya.[23]
Perbaiki dirimu dan serulah orang lain.[24]Itulah langkah pertama dan satu-satunya jalan menuju kebangkitan Islam kembali mewujudkan kesatuan umat, serta meningkatkan kualitas umat agar dapat menduduki tempat yang wajar sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT, sebagai golongan manusia yang memberikan bimbingan kepada manusia lainnya serta menunjukkan mereka ke jalan yang lurus (shiratal mustaqim).
Allah berfirman, Surat Ali Imran ayat 110: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah. Dan Surat al-Baqarah ayat 143: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.
Tujuan memperbaiki diri adalah melahirkan kader-kader aqidah yang ideal. Sedangkan menyeru orang lain bertujuan untuk memperbanyak golongan mukminin yang benar, yang satu sama yang lainnya saling bersaudara dan berkasih sayang.
Para Da’i harus menjadi contoh teladan yang baik terhadap apa yang diserukannya, dan harus benar-benar sesuai dengan apa yang diserukannya kepada manusia. Dia mengamalkan apa yang diserukannya dengan murni dan konsekuen, seluruh perbuatannya sesuai dengan perkataannya agar dia tidak diancam oleh Allah sebagaiman firman-Nya, Surat Ash-Shaf ayat 2-3: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian disisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.
3. Fungsi Metode Dakwah bi al-Hikmah
Hikmah adalah bekal Da’i menuju sukses. Karunia Allah yang diberikan kepada orang yang mendapatkan hikmah insyaallah juga akan berimbas kepadapara mad’unya, sehingga mereka termotivasi untuk mengubah diri dan mengamalkan apa yang disampaikan Da’i kepada mereka. Tidak semua orang yang mampu meraih hikmah, karena Allah hanya memberikannya kepada orang-orang yang layak mendapatkannya. Barangsiapa mendapatkannya, maka dia memperoleh karunia besar dari Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah, Surat al-Baqarah ayat 269: “Allah menganugerahkan al-Hikmah kepada siapa yang dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi al-Hikmah itu, ia benar-benar dianugerahi karunia yang banyak.
Ayat tersebut di atas mengisyaratkan betapa pentingnya menjadikan hikmah sebagai sifat dan bagian yang menyatu dalam metode dakwah dan betapa perlunya dakwah mengikuti langkah-langkah yang mengandung hikmah.
Atas dasar itu maka hikmah berjalan pada metode yang realistis (praktis) dalam melakukan suatu perbuatan. Dengan demikian jika hikmah dikaitkan denga dakwah akan ditemukan bahwa hikmah merupakan peringatan kepada juru dakwah untuk tidak menggunakan satu bentuk metode saja. Sebaliknya mereka harus menggunakan berbagai macam metode sesuai dengan realitas yang dihadapi dan sikap masyarakat terhadap agama Islam.
Hikmah merupakan pokok awal yang harus dimiliki oleh seorang Da’i dalam berdakwah. Karena dengan hikmah ini akan lahir kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam menerapkan langkah-langkah dakwah, baik secara metodologis maupun praktis.
Dalam metode dakwah bi al-hikmah, ada beberapa strategi yang harus diperhatikan seorang da’i agar kesuksesan dakwah tercapai dengan gemilang, strategi tersebut ialah :
a. Mengenal Strata Mad’u
Allah sengaja menjelaskan bagaimana keberagaman manusia dari berbagai sudut pandang, hal ini bertujuan untuk supaya manusia saling mengenal dan mampu memposisikan dirinya dimana saja berada. Diantara ayat berbicara demikian adalah Surat al-Hujarat ayat 13 dan surat ar-Ruum ayat 22.
Mengenal tipologi manusia adalah satu faktor penentu suksesnya tugas dakwah, dan merupakan salah satu fenomene alam yang hanya bisa diungkap oleh orang alim.[25]
Salah satu makna hikmah dalam berdakwah adalah menempatkan manusia sesuai dengan kadar yang telah ditetapkan Allah. Disaat terjun ke sebuah komunitas, atau melakukan kontak dengan seseorang mad’u, da’i yang baik harus mempelajari terlebih dahulu data riil tentang komunitas atau pribadi yang bersangkutan.
b. Bila Harus Bicara Bila Harus Diam
Ajaran agama islam menunjukkan agar seseorang selalu menimbang-nimbang apa yang akan diucapkannya. Sebagaimana peringatan Allah; Surat Qaaf ayat 18
Kalam yang akar katanya berasal dari kaa-laam-miim juga mengandung makna “luka”[26]. Ini mengingatkan kita bahwa klam juga dapat melukai seseorang. Bahkan, luka yang diakibatkan oleh lidah bisa lebih parah daripada yang diakibatkan oleh pisau. Ini semua seharusnya mengantarkan seseorang untuk berhati-hati, memikirkan dan merenungkan apa yang akan diucapkannya.
c. Mencari Titik Temu Dalam Dakwah
Sebagaimana diketahui bahwa dakwah berarti aktivitas mengajak manusia ke jalan Allah. Ia bersifat mengajak. Dalam mengajak tentunya tidak diperkenankan dengan cara-cara yang memaksa, menghakimi, dan sebisa mungkin menghindari konfrontasi yang akan merugikan dan merusak arti dakwah itu sendiri.
Namun realitas menunjukkan bahwa banyaknya perbedaan baik dari segi kultur maupun social menyebabkan perbedaan paradigma dan cara pandang mad’u sehingga disinilah dilemanya. Disatu sisi dakwah tidak boleh keluar dari koridor mengajak. Disisi lain dakwah juga merupak suatu kewajiban yang harus disampaikan kepada umat. Sementara kita menyadari adanya benturan-benturan nilai di masyarakat.
Maka peranan da’i dituntut untuk membaca mad’u dari berbagai persepsinya sehingga da’i dapat mengetahui dari mana dakwah harus dimulai. Dengan kata lain da’i harus mampu mencari titik temu, sehingga dakwah yang disampaikan memiliki gelombang yang sama dengan alam pikiran mad’u. kegagalan mencari titik temu merupakan awal dari kegagalan berdakwah.
d. Toleransi Tanpa Kehilangan Sibghah
Ajaran Islam merupakan rahmatan lil alamien. Seberapa ia menjadi rahmat tergantung kepada pemahaman dan kualitas penganutnya. Salah satu indicator rahmat bagi sekalian alam adalah toleransi dalam beragama. Dimana hidup rukun dan berprinsip kedamaian menjalankan agama dapat menjadi rahmat bagi penganutnya. Sebagaimana firman Allah, al-Qur’an Surat al-Anbiyaa’ ayat 107:
Rasulullah sempat dikritik oleh pengikutnya ketika mengadakan perjanjian Hudaibiyah, karena perjanjian tersebut dirasa merugikan kaum muslimin. Motivasi kebijakan ini memerlukan waktu dan proses untuk dapat diterima dan dilihat keunggulannya oleh para penganutnya. Walaupun Rasulullah memegang prinsip toleransi dalam beragama namun tidak menghilangkan “Sibghah”.
Sibghah berarti warna celupan dan agama[27]. Dalam hal ini agama islam sebagai dasar dan tuntunan hidup, fungsi warna dan celupan tersebut adalah mencemerlangkan barang yang diberi celupan tersebut. Apabila dikaitkan kepada jiwa, ia akan bersinar memancar yangd alam realisasinya tampil dalam bentuk semangat, taat, peduli dan toleran.
e. Memilih Kata yang Tepat
Menurut Larry A.Samover manusia tidak dapat menghindar dari komikasi dalam interaksi sesamanya. Hakikatnya ketika manusia berkomunikasi pada dasarnya memindahkan atau menyalin pikirannya dalam bentuk lambing. Agar lambing itu bermakna maka perlu disampaikan secara tepat[28]. Disinilah perlunya keuletan seorang da’i dalam memilih kata yang tepat sehingga apa yang disampaikan da’i dipahami oleh mad’u. karena tujuan dasar komunikasi tersebut antara lain mencetak kesan orang lain dan memberikan kontribusi realitas.
Memilih kata yang tepat perspektif al-Qur’an adalah term Qaulan Sadida, dalam laqur’an disebutkan sebanyak 2 kali yaitu pada ayat 9 surat an-Nisa’ dan al-Ahzab ayat 70-71.
Al-Qosyani menafsirkan Qaulan Sadida dengan ‘kata yang lurus (Qowiman); kata yang benar (Haqqan); kata yang betul, tepat (Shawaban). Al-Qasyani berkata bahwa sadad dalam pembicaraan berarti berkata dengan kejujuran dan dengan kebenaran dan disitulah terletak unsure segala kebahagiaan, dan pangkal dari segala kesempurnaan, karena yang demikian itu berasal dari kemurnian hati[29].
f. Cara Berpisah
Cara berpisah dalam khijrah artinya pindah dari satu tempat ke tempat lain, pindah dari satu metode ke metode lain atau pindah dari satu kondisi ke kondisi lain.
hijrah dari negeri orang kafir kenegeri orang Islam, ini wajib dilakukan setiap muslim apabila ia tidak mampu menegakkan syi’ar-syi’ar Allah ditambah dengan kezhaliman para penguasa thagut, sementara mereka tidak sanggup melepaskan diri dari keadaan tersebut dan tidak mampu berdakwah.
Apabila negeri yang ditempati tidak memberi kjebebasan bagi muslim untuk beribadah dan menegakkan agama Allah, saat itu muslim harus pindah meskipun meninggalkan tanah kelahiran harta benda dan mungkin harus berpisah dengan keluarga sebagaimana yang dicontohkan muhajirin dahulunya.
Sementara dalam kontek da’wah cara berpisah adalah meninggalkan sang maudhu’dengan pendiriannya karena tidak mungkin dirobah lagi. Tidak selamanya perdebatan bisa selesai dengan lancar, adakalaya strategi yang harus di ambil adalah berpisah, meninggalkan lawan bicara atau maudhu’ agar energi tidak terbuang percuma seperti terlukis dalam asbab nuzulnya surat al-Kafirun.
g. Uswatun Hasanah
Uwatun Hasanah adalah contoh yag baik, kebaikan yang ditiru, contoh identifikasi, suri tauladan atau keteladaan.[30]
Manusia dapat dipengaruhi oleh keteladanan, baik pengaruh positif maupun negatif. Memberi contoh yang baik yang dilakukan Rasul merupakan salah satu kunci kesuksesan Rasul, karena betapa bayak manusia yang tidak terkesima dengan tutur kata yang memukau, tetapi mereka lebih memperhatikan bukti nyata dalam keseharian. Keteladanan yang aplikatif mempunyai pengaruh besar dan sangat kuat dalam penyebaran prinsip dan dikrah, karena ia bisa dilihat dan dicntoh, berbeda dengan tulisan maupun perkataan.
h. Dakwah bi Lisan al-Haal
Dakwah bi Lisan al-Haal adalah satu metode dakwah dengan cara menyeru manusia kejalan Allah dengan perbuatan nyata yang sesuai dengan keadaan manusia tersebut. Dakwah ini lebih berorientasi kepada pengembangan masyarakat seperti pengembangan ekonomi, pendidikan maupun sosial. Dakwah difungsingan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas hidup umat yang pada akhirnya membawa kepada perubahan sosial.
4. Aplikasinya Kepada Umat
Dakwah bil al-hikmah atau contoh yang baik bisa direalisasikan dengan budi pekerti yang baik (akhlak karimah). Kekuatan akhlak mulia dalam menarik simpati masyarakat untuk menerima dakwah sangatlah besar. Telah banyak bukti sejarah yang membenarkan hal itu, mulai sejak zaman Rasulullah Saw hingga zaman ini.
Kita ingat bagaimana Rasulullah Saw tidak marah saat seorang kaum musyrik meludahi beliau setiap pergi ke masjid. Suatu hari, ketika Rasulullah Saw pergi ke masjid, beliau merasakan keanehan karena orang yang setiap saat meludahi beliau setiap akan pergi ke masjid tidak ada. Sesampainya di masjid Rasulullah Saw menanyakan kepada para sahabat di mana orang itu berada. Lalu Rasulullah Saw memperoleh jawaban bahwa orang yang meludahi beliau jatuh sakit. Setelah mendengar jawaban itu, Rasulullah datang membesuk orang tersebut dan mendoakan kesembuhan baginya. Akhirnya, orang tersebut kemudian menyatakan diri sebagai Muslim.
Contoh lain keluhuran perilaku Rasulullah adalah kisah seorang pengemis Yahudi buta di pojok pasar Madinah yang selalu menjelek-jelekkan Rasulullah Saw. Setelah Rasulllah Saw meninggal dunia, Abu Bakar ash-Shiddiq mengunjungi Aisyah, anaknya yang juga isteri Rasulullah Saw. Sesampainya di rumah Aisyah, Abu Bakar bertanya kepada anaknya apa sunnah Rasulullah yang belum dikerjakan olehnya. Aisyah menjawab bahwa Rasulullah Saw setiap memberi makan pengemis Yahudi buta di pasar Madinah.
Abu Bakar pun bergegas menuju pasar Madinah menemui orang Yahudi tersebut yang tak henti-hentinya menjelek-jelekkan Rasulullah Saw. Namun, karena ingin mengukuti sunnah Rasulullah Saw, Abu Bakar tetap memberi makan Yahudi buta tersebut dengan cara menyuapinya. Namun alangkah kaget Abu Bakar karena saat menyuapi Yahudi tersebut berkata, “Siapa kamu? Orang yang biasa menyuapiku makan tiap hari terlebih dahulu melembutkan makanan sehingga mulutku tidak perlu mengunyah makanan”.
Kemudian Abu Bakar berkata kepada pengemis Yahudi buta itu bahwa orang yang biasa memberinya makan tiap hari telah tiada. Abu Bakar juga mengatakan bahwa orang yang biasa memberinya makan tiap hari adalah Rasulullah Saw. Betapa terkejutnya Yahudi tersebut mengetahui bahwa orang yang menyuapinya adalah Rasulullah Saw; orang yang setiap hari dijelek-jelekkannya. Akhirnya pengemis Yahudi buta itu masuk Islam.
Dua peristiwa di atas adalah sekelumit contoh bagaimana ampuhnya akhlak mulia menarik minat seseorang untuk hidup di bawah naungan ajaran Islam. Karena itu, dakwah bi al-hikmah patut dikedepankan sebagai metode dakwah.
C. Kesimpulan
- Seorang pedagang yang bijak adalah pedagang yang mengerti dengan kebutuhan pasar, seorang da’i yag bijak adalah da’i yang memahami kebutuhan umat.
- Dakwah bi al-Hikmah sudah terbukti keampuhannya, cara ini perlu diperhatikan dan harus dilakukan agar tercapai kesuksesan dakwah.
- Kita perlu belajar dari masa lalu, baik dari para Rasul-rasul sebelumnya, atau Nabi kita sendiri dan para shahabat dalam penerapan metode dakwah bi al-hikmah ini.
- Saat sekarang ini sudah banayak para da’i yang meninggalkan metode ini, tugas dan kewajiban kita untuk mengembalikan warisan yang sudah mulai hilang tersebut
Daftar Pustaka
Amin, Samsul Munir, Rekontruksi Pemikiran Dakwah Islam, Jakarta, Amzah, 2008
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. Raja Grafinde Persada, 2004.
al-Baqi, M. Fuad, Al-Mu’jam al-Mufahras Li al-Fazh al-Qur’an al-Karim, Lebanon-Beirut: Dar al-Ma’rifat, 1992
al-Bayani, M. Abu al-Fath: Al-Madghal Ila ‘Ilmudda’wah, Madinah, Muassasah al-Risalah, tt.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Gunawan, Adi. Kamus Praktis Ilmiah Populer. Surabaya: Kartika, t.th
Hasanuddin, Hukum Dakwah, Jakarta; Pedoman Ilmu Jaya, 1996.
http://quran.al-shia.com, vendra22.wordpress.com/2008/04/25/metode-dakwah-Mansyur, Mustafa: Fiqh Dakwah, Jakarta, al-I’tishom Cahaya Umat, 2005
Munawir, A.W., Kamus al-Munawwir Arab Indonesia, Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, 1997.
Munir: Metode Dakwah, Jakarta: Kencana, 2006
Reese William L., Dictionary of Philosiphy and Religion, Eastern and Western Thought. New York: Humanity Books, 1996.
Suriasumantri, S., Jujun, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan, 2007
Salmadanis, Filsafat Dakwah, Jakarta: Surau, 2003
www.wikipediaIndonesia, (dikutip Tgl 29 Oktober 2008)
http//armysyaz.multiply.com/journal/item/72), (dikutip Tgl 29 Oktober 2008)
al-quran/ - 43k (dikutip Tgl 29 Oktober 2008)
[1]Salmadanis, Filsafat Dakwah, Jakarta: Surau, 2003, Cet. Ke-II, h. 125. Lihat M. Fuad al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras Li al-Fazh al-Qur’an al-Karim, (Lebanon-Beirut: Dar al-Ma’rifat, 1992), h. 271
[2]M. Munir: Metode Dakwah, Jakarta: Kencana, 2006, Cet. Ke-2, h. 8
[3]Op. cit., h. 126
[4]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 115
[5]M. Abu al-Fath al-Bayani: Al-Madghal Ila ‘Ilmudda’wah, (Madinah, Muassasah al-Risalah), tt, h. 244
[6]M. Munir; op. cit., h. 8
[7]A.W. Munawir, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, 1997), Cet. Ke-IV, h. 287
[8]M. Munir; op. cit., h. 8, Lihat Ibnu Mandzur, Lizanul Arab, 12/141
[9]www.wikipedia Indonesia, (dikutip Tgl 29 Oktober 2008)
[10]Ibid.
[11]Ibid.
[12]http//armysyaz.multiply.com/journal/item/72), (dikutip Tgl 29 Oktober 2008)
[13]http://quran.al-shia.com, vendra22.wordpress.com/2008/04/25/metode-dakwah-al-quran/ - 43k (dikutip Tgl 29 Oktober 2008)
[14]Lihat, Sa’ady Abu Habib,al-Qonusul Fiqhi, h. 97
[15]Hasanuddin, Hukum Dakwah,( Jakarta; Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 35
[16]Salmadanis; op. cit., h. 124
[17]Salmadanis, op.cit., h. 127-128
[18]Adi Gunawan. Kamus Praktis Ilmiah Populer. (Surabaya: Kartika, tt). H. 403
[19]Ibid.
[20]Ibid.
[21]Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. (Jakarta: PT. Raja Grafinde Persada, 2004). H. 143
[22]Ibid., Dikutip dari: William L. Reese, Dictionary of Philosiphy and Religion, Eastern and Western Thought. (New York: Humanity Books, 1996), h. 591
[23]Salmadanis: op. cit., h. 128
[24]Syaikh Mustafa Mansyur: Fiqh Dakwah, (Jakarta, al-I’tishom Cahaya Umat, 2005). Cet. Ke-4, h. 108
[25] M. Munir; Metode Dakwah 102
[26] M. Munir 111
[27] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, h. 211
[28] Metode Dakwah, 155
[29] Ibid, .h. 156-157 Lihat Fiqhud Dakwah, h. 189
[30]Munir, op.cit. h. 195-196
0 Comment