A. Pendahuluan
Masing-masing manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Sesuai dengan hadits Nabi SAW yang mengatakan bahwa : “Tiap-tiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci)....”. Tentu dalam hal ini yang dimaksud “suci” adalah ruh si anak tersebut. Karena manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jasmani dan ruh (jiwa), ruh yang ditiupkan ke dalam diri manusia itu suci dan bersih karena ia berasal dari Yang Maha Suci (Allah). Lebih lanjut hadits Nabi tersebut menjelaskan bahwa yang akan menjadikan seseorang anak itu apakah cenderung dan mengikuti serta berpegang kepada agama yahudi, nasrani atau majusi adalah orang tuanya yang mengasuh dan mendidiknya. Oleh karena itu manusia yang terlahir ke dunia ini pada hakikatnya seperti kaset kosong yang siap merekam dan mengikuti apa yang ditanamkan dan didengarnya ketika dimasa kecilnya.
Dalam al-Qur’an juga digambarkan dengan jelas bahwa manusia setelah ditiupkan ruh semasa dalam kandungan dan bersaksi bahwa ia hanya bertuhankan kepada Allah SWT, dan mengakui dengan sebenar-benarnya bahwa yang menciptakan dan memberikan kepada kehidupan adalah Allah SWT.
Namun, ketika manusia sudah terlahir ke dunia, maka ia akan bertemu dengan benda-benda keduniawian yang di satu saat dapat melalaikannya dari mengingat akan janjinya kepada Allah semasa dalam kandungan dan adakalanya manusia itu ingat kepada Dzat yang telah menciptakannya.
Karena yang menciptakan dan menjadikan manusia itu adalah Allah, maka secara fitriah ia akan terus membutuhkan kepada dzat yang menciptakannya. Ketika ia tidak menemukan apa yang dibutuhkannya secara fitriah itu maka manusia akan mengalami keguncangan jiwa dan terkadang berimbas kepada fisiknya seperti stres dan suka berbuat jahat dan sebagainya.
Disamping itu manusia juga merupakan makhluk yang tercipta dengan sesempurna ciptaan Allah SWT dibanding dengan yang lainnya, hal ini karena manusia memiliki dua alat yang diberikan untuk memenuhi kebutuhannya yaitu Aql dan Qalb. Dengan adanya alat tersebut, manusia menjadi hamba Allah (‘abd Allah) dan wakil Allah (khalifah Allah) di bumi.
Musa Asy’arie menyatakan sebagaimana yang dikutip Ramayulis bahwa esensi manusia sebagai ‘abd adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan yang kesemuanya itu hanya layak diberikan kepada Tuhan.[1] Karena manusia hamba Allah maka manusia tidak dapat lepas dari kekuasaanya, dan perasaan membutuhkan kepada Tuhan ini selalu ada dalam diri manusia yang disebut dengan fitrah beragama.
Manusia sebagai wakil Allah (khalifah Allah), diberikan fasilitas yang lebih dan utama antara yang satu dengan yang lainnya, agar tercipta peradaban yang maju dan berkembang. Hal ini terkandung dalam surat Al-A’raf ayat 69 yang artinya
“Apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dari Tuhanmu yang dibawa oleh seorang laki-laki di antaramu untuk memberi peringatan kepadamu? Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” (Q.S. Al-A’raf ayat 69)
Quraisy Shihab mengatakan sebagaimana yang dikutip Ramayulis bahwa dengan adanya kelebihan dan kekurangan itu hubungan antar manusia dengan manusia lainnya atau manusia dengan alam, bukan hanya merupakan hubungan antara tuan dengan hamba, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan dan kepatuhan terhadap Allah SWT.
Berangkat dari wacana di atas, dan tugas pokok yang diberikan pembimbing mata kuliah Filsafat Ilmu Dakwah- oleh Prof. Dr. Salmadanis, M.A, maka pemakalah mencoba menampilkan makalah dengan judul; Kebutuhan Manusia terhadap Dakwah dan Filsafat.
Tujuan pokok dalam penulisan makalah ini adalah mengemukakan hal-hal yang mendasar tentang kebutuhan manusia terhadap dakwah dan filsafat. Disamping itu dalam makalah ini terkandung; (1) kebutuhan manusia kepada dakwah; (2) kebutuhan manusia terhadap filsafat.
B. Pembahasan
1. Kebutuhan Manusia Kepada Dakwah
Dengan adanya fitrah agama pada diri manusia yang pada perkembangannya tidak semua manusia mampu untuk mempertahankannya, mengikutinya dan fitrah itu sendiri tidak akan berjalan dengan otomatis, malainkan tergantung kepada manusia itu sendiri. Maka Allah mengutus rasul-Nya sebagai contoh dan tauladan bagi manusia untuk menjelaskan bagaimana seharusnya manusia hidup di muka bumi ini sesuai dengan fitrahnya. Karena manusia yang tidak mampu mempertahankan fitrahnya maka derajatnya tidak akan berbeda dengan makhluk yang lainnya.
Kedudukan, fungsi dan kelebihan yang diberikan Allah SWT kepada manusia (karena dibekali dengan akal dan qalbu) dibanding makhluk yang lainnya, menjadikan manusia memiliki konsekwensi nilai moral relegius.
Dan setiap manusia harus mempertahankan dan mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya semasa di dunia kepada Allah SWT. Oleh karena itu dalam rangka mengaplikasikan aturan agama yang diturunkan Allah melalui rasul-Nya kepada seluruh manusia perlu adanya kegiatan dakwah agar manusia tidak lari dari fitrahnya dan tidak manjadikan manusia lupa kepada penciptanya.
Adapun dakwah yang merupakan kegiatan menyampaikan informasi-informasi agama kepada manusia, yang mana informasi yang paling mulia itu sendiri adalah wahyu (agama) dan setiap manusia akan membutuhkan agama karena itu salah satu kegiatan yang dapat dilakukan untuk membimbing dan mengingatkan manusia kepada penciptanya adalah dakwah.
Berkaitan dengan pengertian fitrah, Abu Su’ud menjelaskan sebagaimana yang dikutip Salmadanis bahwa fitrah adalah potensi yang terdapat dalam diri manusia untuk menerima kebenaran. Bila manusia mengingkari dan tidak mau menjadikan agama Islam sebagai landasan moralitas dalam hidupnya, pada hakikatnya mereka telah disesatkan oleh tipu daya setan.[2] Hal ini dapat dibuktikan dari riwayat yang menjelaskan bahwa orang yang paling gencar mengingkari dan menyerang Rasulullah SAW adalah pamannya sendiri Abu Lahab, pernah ditanya sahabatnya ketika mereka berdua, tentang bagaimana sesungguhnya pendapat Abu Lahab terhadap Nabi Muhammad SAW, Abu Lahab menjawab bahwa sesungguhnnya Nabi adalah orang yang paling benar.
Oleh karena itu fitrah yang ada pada diri manusia cenderung kepada kebaikan dan kebenaran, namun karena rasa sombong dan cangkak yang ada dalam diri manusia itu menjadikan manusia tidak mau dan enggan menerima agama tersebut.
Maka manusia yang memiliki dua unsur yaitu jasmani dan ruhani, harus dapat memberikan kebutuhannya masing-masing. Jasmani butuh makanan dan begitu juga dengan ruhani, kalau jasmani makanannya adalah bersifat material sebaliknya ruhani makanannya adalah non material (agama Islam), apabila manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan jasmani dan ruhaninya maka tentu manusia tersebut akan merasa gelisah dan gundah gulana dan hal ini tentu bertentangan dengan fitrahnya sebagai manusia yang dibekali dengan aqaldan qalbu.
Segala kebutuhan ruhani manusia yang sesuai dengan agama disebut dengan ibadah. Dan ibadah itu dikerjakan adalah dengan merendahkan diri kepada Allah SWT dan menghinakan diri di hadapan-Nya. Tugas-tugas berupa perintah (untuk melaksanakan perintah-Nya) dan meninggalkan larangan-Nya yang di perintahkan kepada mukallaf disebut sebagai ibadah, dikarenakan ibadah itu dikerjakan dengan merendahkan dan menghinakan diri di hadapan Allah SWT.
Kemudian, ketika ibadah itu tidak mungkin dapat ditentukan perinciannya semua manusia dengan akalnya, sebagaimana tidak mungkin pula akal manusia dapat mengetahui hukum-hukum berupa perintah dan larangan secara terperinci, maka Allah SWT mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab suci untuk menjelaskan tentang tujuan Allah menciptakan makhluk, menerangkan serta menguraikan perinciannya kepada manusia, sehingga mereka menyembah Allah di atas petunjuk yang terang, dan sehingga mereka berhenti dari apa yang dilarang Allah untuk mereka di atas petunjuk yang terang pula.
Dari sejarah dapat dilihat bahwa para rasul Allah adalah petunjuk bagi makhluk, mereka adalah para a`immatul huda (imam yang memberikan petunjuk) dan da’i bagi seluruh manusia dan jin yang berdakwah kepada ketaatan dan peribadatan hanya kepada Allah. Allah SWT pun memuliakan hamba-hamba-Nya dengan eksistensi para Rasul dan menunjukkan kasih sayang-Nya dengan mengutus para Rasul kepada mereka.
Allah menjelaskan melalui perantaraan para nabi jalan yang lurus dan shirathal mustaqim, sampai manusia memperoleh kejelasan akan urusan mereka dan sampai mereka tidak berkata lagi : “Kami tidak tahu apa yang Alloh kehendaki dengan kami, tidak datang kepada kami seorang pembawa berita gembira dan peringatan”, maka Allah memutuskan dalih apologi ini dan menegakkan hujah dengan mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab suci, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya:
Dan sesungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut.” (Q.S. an-Nahl : 36)
Allah SWT menjelaskan bahwa bahwa Ia mengutus para rasul dan menurunkan kitab suci adalah untuk memberikan keputusan di tengah-tengah manusia dengan al-Haq (kebenaran) dan al-Qisthi (keadilan) dan untuk menerangkan kepada manusia tentang apa yang mereka perselisihkan di dalamnya berupa hukum-hukum dan aqidah serta tauhidullah dan syariat-Nya.
Allah menurunkan kitab suci adalah untuk menjelaskan hukum-Nya terhadap segala hal yang manusia perselisihkan, untuk menjelaskan tentang segala hal yang tidak diketahui manusia dan untuk memerintahkan manusia agar mereka komitmen terhadap syariat Allah dan berhenti pada batasan-batasannya serta melarang manusia dari segala hal yang dapat mencelakai mereka baik di dunia maupun di akhirat.
Allah SWT menutup para rasul dengan rasul yang paling utama, yaitu Nabi Muhammad SAW, beliau menyampaikan risalah, menunaikan amanah, menasehati ummat, berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad dan menyeru kepada Alloh baik secara sembunyi maupun terang-terangan.
Beliau menegakkan tanggung jawab risalah dengan sempurna, selama 13 tahun menyampaikan risalah Allah dan menyeru kepada-Nya serta menyebarkan hukum-hukum Allah. Diantaranya selama 13 tahuh beliau di Ummu Quro –Makkah al-Mukarramah-, berdakwah pertama kali dengan sembunyi-sembunyi kemudian secara terang-terangan, menjelaskan kebenaran, lalu beliau dihalang-halangi.
Akan tetapi, beliau tetap bersabar di dalam dakwah dan sabar terhadap gangguan manusia, padahal mereka (kaum kafir) pada waktu itu mengakui akan kejujuran dan sifat amanah beliau. Mereka mengakui keutamaan, nasab dan kedudukan beliau, akan tetapi (mereka menolak) dikarenakan hawa nafsu, hasad (dengki) dan penentangan para pembesar mereka, dan dikarenakan kebodohan dan taklid kaum awam mereka. Para pembesar mereka menolak, angkuh dan dengki sedangkan kaum awam mereka bertaklid, membeo dan membebek, sehingga Nabi diganggu dengan sebab ini dengan gangguan yang luar biasa.
Firman Allah SWT menunjukkan kepada bahwa para pembesar (kaum kafir) mengakui kebenaran namun mereka menentangnya, yaitu:
”Sesungguhnya Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), Karena mereka Sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zhalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.” (Q.S. al-’An’am : 33)
Allah SWT menjelaskan bahwa mereka bukanlah mendustakan Rasulullah SAW, bahkan mereka mengetahui akan kejujuran dan sifat amanah Rasul di dalam batin mereka. Mereka dahulu menyebut Nabi sebagai ”al-Amin” (orang yang terpercaya) sebelum Nabi diberi wahyu, akan tetapi mereka mengingkari kebenaran dikarenakan dengki dan bersikap aniaya kepada Nabi Muhammad SAW.
Para sahabat beliau memikul amanat sepeninggal Nabi SAW, mereka menapaktilasi jalan Nabi dan menyeru kepada Allah SWT. Mereka tersebar di seluruh penjuru dunia sebagai para du’at yang menyeru kepada kebenaran dan para mujahid di jalan Allah. Mereka tidak takut di jalan Allah, celaan para pencela dan mereka tetap menyampaikan risalah Allah. Mereka hanya takut kepada Allah dan tidak takut kepada seorangpun kecuali hanya kepada Allah SWT.
Mereka tersebar di muka bumi sebagai para mujahidin perang, du’at (penyeru) yang membawa petunjuk dan para shalihinyang melakukan perbaikan. Mereka menyebarkan agama Allah dan mengajarkan manusia syariat-Nya. Mereka menerangkan aqidah yang Allah mengutus para Rasul dengannya, yaitu mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah semata dan meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya, baik kepada pepohonan, bebatuan, patung-patung dan selainnya. Tidak berdo’a melainkan hanya kepada Allah saja, tidak beristighotsah (meminta pertolongan) melainkan hanya kepada Allah, tidak berhukum kecuali dengan syariat-Nya, tidak sholat kecuali ditujukan untuk-Nya, tidak bernadzar melainkan untuk Allah dan perbuatan ibadah lainnya. Mereka menerangkan kepada manusia, bahwa ibadah itu hanyalah hak Allah semata.
Mereka bersabar atas dakwah dengan kesabaran yang luar biasa dan mereka berjihad di jalan Allah dengan sebesar-besarnya jihad. Allah pun ridha terhadap mereka dan mereka juga ridha kepada Allah. Para imam pembawa petunjuk dari para tabi’in dan atba’ut tabi’in, baik dari Arab maupun non Arab, turut mencontoh mereka. Mereka meniti jalan ini, yaitu jalan dakwah kepada Allah SWT . Mereka mengemban tanggung jawab dakwah ini dan menunaikan amanat, diiringi dengan kejujuran, kesabaran dan ikhlas di dalam jihad di jalan Allah. Mereka memerangi siapa saja yang keluar dari agama-Nya dan orang yang tidak membayar jizyah(upeti) yang telah Allah wajibkan apabila mereka memang termasuk orang yang wajib membayarnya (kafir dzimmi). Mereka adalah pengemban dakwah dan imam petunjuk pasca Rasulullah SAW.
Demikianlah para pengikut sahabat dari para tabi’indan atba’ut tabi’in serta para A`immatul Huda (imam pembawa petunjuk). Mereka meniti jalan ini sebagaimana pendahulu mereka dan mereka bersabar di dalamnya.
Agama Allah tersebar dan kalimat-Nya menjadi tinggi melalui upaya para sahabat dan para pengikut mereka dari kalangan ahli ilmu dan iman. Sehingga mereka memiliki kekuasaan, kepeloporan dan kepemimpinan di dalam agama oleh sebab kesabaran, keimanan dan jihad mereka di jalan Allah SWT.
Mereka telah menjadi para imam yang memberi petunjuk dan du’at(penyeru) kepada kebenaran serta para figur pemimpin yang diteladani. Disebabkan oleh kesabaran dan keimanan itulah mereka dapat meraih kepemimpinan di dalam agama. Para sahabat Rasulullah SAW dan para pengikutnya yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari ini (da’i), mereka adalah para imam, para pemberi petunjuk kebenaran kepada manusia dan mereka adalah menjadi teladan di jalan kebenaran.
Dengan demikian, maka menjadi jelaslah bagi manusia, bahwa dakwah merupakan suatu hal yang paling urgen, dan bahwasanya umat di setiap zaman dan tempat benar-benar sangat membutuhkan kepada dakwah, bahkan kebutuan mereka terhadap dakwah adalah suatu hal yang dharurat (sangat mendesak).[3]
Dalam hal ini Jum’ah Amin Abdul Aziz menyatakan bahwa manusia sangat membutuhkan dakwah karena beberapa faktor, diantaranya;
1. Karena manusia membutuhkan orang yang dapat menjelaskan kepada mereka tentang apa saja yang diperintahkan oleh Allah kepadanya sebagai hamba dan wakil tuhan di muka bumi.
2. karena kondisi manusia pasti diwarnai dengan kerusakan, ketamakan, dan hawa nafsu.[4]
Apabila hal ini dikaitkan dengan keilmuan dakwah maka jelaslah bahwa dakwah agama yang disampaikan si da’i kepada manusia (mad’unya) agar manusia tersebut hidup sesuai dengan fitrahnya (menjalankan agama Islam) agar hidupnya bahagia di dunia dan di akhirat maka mad’u yang tidak mengetahui dan tidak memahami bagaimana seharusnya ia hidup di muka bumi ini sebagai wakil dan hamba Allah sangat jelas membutuhkan dakwah tersebut.
Menanggapi pentingnya dakwah bagi kehidupan manusia, Isa Anshary dengan retorika khasnya menyebutkan bahwa dakwah harus aktif memberikan darah suci pada tubung kemanusiaan, aktif dan positif berkata dan berbicara kepada dunia demi untuk menyelamatkan manusia dan dunia dari bencana keruntuhan, dakwah harus mampu membawa umat memandang ke tepi langit, melihat dengan bashirah, hidup dengan Aqidah Islamiyah.[5]
Dari sudut filsafat menurut Salmadanis secara prinsip bahwa manusia yang lahir tanpa mengetahui, namun ketika sudah terlahir ke dunia ingin mengetahui karena sudah merupakan kebutuhannya agar tetap bertahan hidup, maka dengan panca indra yang diberikan kepadanya, manusia dengan bertahap akan mencari apa-apa yang tidak diketahuinya tersebut. Selanjutnya manusia adakalanya berhasil menemui apa yang tidak diketahuinya dan adakalanya ia tidak berhasil menemukannya. Oleh karena itu menusia membutuhkan informasi dari manusia lain tentang apa saja kebutuhannnya di dunia ini, manusia membutuhkan informasi dari orang lain, sedang informasi yang paling mulia dan tinggi itu adalah wahyu (agama), dan kegiatan menyampaikan wahyu (agama) itu dilakukan oleh dai melalui kegiatan ddakwahnya.
Disamping itu menurut Salmadanis bahwa kebutuhan manusia terhadap dakwah ada tiga sistem yaitu, hikmah, mau’idzah al-hasanahdan mujadalah bi al-lati hiya ahsan. Oleh karena itu menurut Thaba’thaba’i sebagaimana yang dikutip Salmadanis bahwa apa saja yang dihasilkan oleh fitrah manusia keberadaannya akan sesuai dengan yang dihasilkan oleh akal dan tidak bertentangan dengan logika keilmiahan. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa fitrah itu adalah akal, karena akal menghasilkan sesuatu yang benar, akal akan selalu mencari hakikat kebenaran, dan hakikat kebenaran itu ada dalam agama Islam (Allah SWT).[6]
Lebih lanjut A. Hasjmy menyatakan bahwa dari awal sejarah kehidupan manusia, terbukti bahwa manusia sangat membutuhkan dakwah, sehingga sebelum Nabi Muhammad diutus, para nabi-nabi sebelumnya juga Allah telah mengutus rasul-rasul-Nya khusus kepada kaumnya masing-masing. Hal ini terekam dalam al-Qur’an surat Ar-Ruum ayat 47,[7] yang artinya
“Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus sebelum kamu beberapa orang rasul kepada kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan (yang cukup), lalu Kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa . Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman”. (Q.S Ar-Ruum ayat 47).
2. Kebutuhan Manusia kepada Filsafat
Filsafat menurut Al-Kindi sebagaimana yang dikutip Salmadanis adalah ilmu tentang sesuatu menurut esensinya[8]. Oleh karena itu Al-Kindi berpendapat bahwa filsafat bisa masuk ke segala bidang ilmu termasuk ilmu ketuhanan (tauhid) atau teologi. Dan ujungnya semua ilmu itu menunjukkan kepada kebaikan dan menghindari keburukan serta kejelekan yang dalam istilah dakwah dikenal dengan amar ma’ruf dan nahi munkar. Adapun Nabi dan rasul datang dan diutus kepermukaan bumi ini dalam rangka menyampaikan kebenaran mutlak yang bersumber dari Allah SWT.
Mempelajari filsafat agama (dakwah) berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematis, logis dan menyeluruh (universal) tetang dakwah dan seluruh aspek yang mengitarinya. Pada hakikatnya melakukan pemikiran filsafiyah adalah usaha menggerakkan semua potensi psikologis manusia seperti, pikiran, keserdasan, kemauan, perasaan, ingatan serta pengamatan panca indra tentang gejala kehidupan manusia dan alam sekitarnya sebagai ciptaan Tuhan.
Sebagai hasil pemikiran yang bercorakkan khas Islam, filsafat dakwah pada hakikatnya adalah konsep berpikir tentang dakwah yang berlandaskan dan bersumberkan kepada al-Qur’an dan Hadits dan bagaimana hakikat manusia untuk dapat dibina, dikembangkan serta dibimbing agar menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya diwarnai oleh ajaran Islam.
Dalam level teoritis filsafat dan dakwah sama-sama memiliki wilayah cakupan yang tidak berbeda yaitu keesaan Tuhan, dan di level teoritistujuan yang sama yaitu mendorong manusia untuk mencapai kehidupan moral yang mulia. Karena filsafat merupakan ilmu tentang kebenaran maka seluruh manusia sangat membutuhkannya.[9]
Dalam memahami agama misalnya sangat diperlukan filsafat, seperti dalam al-Qur’an: “Dan semua bintang serta pepohonan bersujud kepada-Nya” (Q.S. Ar-Rahmaan ayat 6).
Dalam memahami ayat ini Al-Kindi mengambil makan filosofisnya agar terjadi keselarasan antara agama dan filsafat, kata “sujud” memiliki dua pemahaman, pertama berarti menundukkan tubuh dan kepala ketika shalat sambil merapatkan bagian dalam telapak tangan dan dua lutut. Keduaberarti ketundukkan kepada kehendak Tuhan (sujud tha’ah). Sujudnya bintang dan pepohonan berarti ketundukannya terhadap alur peredaran yang telah ditetapkan oleh Allah. Karna seandainya benda-benda langit dan bumi tidak tunduk terhadap peredaran yang ditetatkan Allah SWT maka tidak akan terjadi perubahan waktu, jika demikian mustahil akan terjadi kelahiran dan kematian di bumi ini.
C. Penutup
Demikianlah argumen dan bukti pentingnya filsafat dalam kehidupan manusia dan ada kesamaan antara filsafat dan agama, yaitu mencapai kebenaran. Kebenaran agama dicapai dengan wahyu sedangkan kebenaran filsafat diraih dengan akal. Dan kebenaran itu sendiri adalah Islam (Allah SWT).
Bagan 1
Kebutuhan Manusia terhadap Dakwah dan Filsafat
Daftar Pustaka
A. Hasjmy, Dustur Dakwah Menurut al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1974
Anshary, Isa, Mujahid Dakwah, Bandung: Diponegoro, 1961
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996
Aziz, Jum’ah Amin Abdul, Fiqh Dakwah, Solo: Era Intermedia, 2003
Baz, Imam Ibnu, Ad-Da’watu ilallâh wa Akhlâqud Du’ât, Maktabah Abu Salma al-Atsary, Copyleft 2007
Ramayulis, Pengantar Ilmu Pendidikan, Padang: IAIN Press, 2003
Salmadanis, Filsafat Dakwah, Jakarta: Surau, 2003
[1] Ramayulis, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Padang : IAIN Press,2003), h. 18
[2] Salmadanis, Filsafat Dakwah, (Jakarta : Surau, 2003), h. 37-38
[3]Imam Ibnu Baz, Ad-Da’watu ilallâh wa Akhlâqud Du’ât, Maktabah Abu Salma al-Atsary, Copyleft 2007
[4] Jum’ah Amin Abdul Aziz, Fiqh Dakwah, (Solo : Era Intermedia, 2003), h. 39
[5] Isa Anshary, Mujahid Dakwah, (Bandung : Diponegoro, 1961), h. 31
[6] Op.Cit
[7] A. Hasjmy, Dustur Dakwah Menurut al-Qur’an, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), h. 37
[8] Salmadanis, Op.Cit, h. 44
[9] Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996),h. xi
0 Comment