Wednesday, December 14, 2022


FILSAFAT DAN DAKWAH

A.      Pengertian Filsafat

Di dalam memahami suatu pengertian yang secara mendalam dan mendasar, tentunya dilihat dari berbagai dimensi. Dalam hal ini, untuk mengetahui pengertian filsafat dapat dilihat dari empat posisi, di antaranya; dari posisi bahasa (etimologis), dari posisi filsafat sebagai ilmu, dari posisi filsafat sebagai kata benda dan dilihat dari posisi filsafat sebagai suatu kegiatan manusia.

Ditinjau dari segi bahasa (etimologis), kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu philosophia. Philo artinya cinta, dan sophiaberarti bijaksana atau kebenaran. Sehingga philosophia mengandung arti cinta kepada kebenaran.[1]Orang yang mencintai kebenaran, maka ia akan berupaya memperoleh dan memilikinya. Sementara dalam pengertian yang lain, kata filsafat juga berarti cinta pada pengetahuan dan kebijaksanaan, maksudnya yaitu ingin dan dengan rasa keinginan itulah ia berusaha mencapai atau mendalami hal yang diinginkan, begitu juga dengan pengetahuan yaitu tahu dengan mendalam sampai ke akar-akarnya atau sampai ke dasar segala dasar.[2]Kata filsafat juga telah di Arabkan falsafah yang berarti pengkajian asal usul segala sesuatu.

Ditinjau filsafat sebagai ilmu, maka filsafat memiliki objek, metoda dan sistem tersendiri secara terminologis. Dalam hal ini dilihat dalam sudut pandang yang berbeda dikalangan para ahli, di antaranya adalah:

a.       Plato seorang Bapak filsafat Yunani, yang mengatakan bahwa filsafat adalah ”Ilmu pengetahuan yang berusaha mencapai kebenaran yang asli, karena kebenaran adalah mutlak di tangan Tuhan atau pengetahuan tentang segala yang ada”.

b.      Aristoteles, mengatakan filsafat bahwa ”Ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang di dalamnya ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politk, sosial, budaya dan estetika”.

c.       Al-Farabi, Filosof Islam, mengatakan bahwa filsafat ialah ”Pengetahuan tentang yang ada menurut hakikatnya yang sebenarnya”.

d.      Immanuel Kant, mengatakan filsafat adalah ”Ilmu pokok dan pangkal segala penetahuan yang mencakup di dalamnya empat kajian; apa yang dapat diketahui, dijawab oleh metafisika, apa yang boleh dikerjakan, di jawab oleh etika, apa yang dinamakan manusia, di jawab oleh antropologi, apa harapan manusia, di jawab oleh agama”.

e.      Muhammad Yusuf Musa, mengatakan filsafat adalah renungan akal dalam berfikirnya, yang ditujukan untuk mengenal hakikat wujud di dalam makro-kosmos yang mengungkungi manusia di dalam mikro-kosmos (manusia sendiri) dan pangkal pertama dari semua yang demikian itu.[3]

Dengan demikian hakikat dari filsafat itu ialah berfikir dengan tertib, bebas mendalam ke akar-akarnya. Dalam menyelidiki philosopi, berdasarkan akal, sejauhmana akal dapat mencapai sesuatu yang difikirkan. Filsafat mengandung gambaran-gambaran dari dengan dan kemana sebenarnya yang akan terjadi, dan dengan demikian filsafat artinya menyelidiki hakikat kenyataan berdasarkan pikiran.

Sementara filsafat sebagai kata benda, filsafat dipandang sebagai kata benda/alam pikiran. Dalam hal ini filsafat ialah sekumpulan masalah-masalah yang langsung dan mendapat perhatian dari manusia yang dicarikan jawabannya oleh ahli filsafat. Kemudian filsafat itu suatu kumpulan sikap kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis.

Pengertian di atas menggambarkan bahwa filsafat adalah sebagai alam pikiran manusia. Lalu bagaimana manusia meresponnya, misalnya apa itu agama, apakah sebenarnya hidup ini, benarkah hidup ini sementara, apakah ada hidup setelah hidup ini kembali nantinya dan lain sebagainya.

Dari filsafat sebagai suatu kegiatan manusia, maka dalam hal ini berfilsafat adalah suatu kegiatan berpikir yang dilakukan oleh mansia untuk menjawab dari berbagai masalah, dengan demikian Titus[4]mengajukan pengertian filsafat yaitu:

a.       Suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan seabgai sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia.

b.      Sebagai analisa logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep

c.       Suatu usaha untuk memperoleh gambaran keseluruhan

Dari ketiga pengertian ini penekanannya adalah kepada proses bukan kepada hasil yang dicapai. Oleh sebab itu proses dengan melalui beberapa tahapan lain; logis alam berubah-ubah, setiap yang berubah adalah baharu dan alam adalah baharu, yaitu bahwa alam baharu bukan kebetulan akan tetapi melalui proses logis. 

B.      Sejarah Filsafat dalam Islam

Sejarah filsafat bermula di Pesisir Samudra Mediteranian bagian Timur pada abad ke-6 SM. Menurut Majid Fakhry, sejak semula filsafat ditandai dengan rencana umat manusia untuk menjawab persoalan seputar alam, manusia dan Tuhan. Itulah sebabnya filsafat pada gilirannya mampu melahirkan sains-sains besar, seperti fisika, etika, matematika, dan metafisika yang menjadi batu bata kebudayaan dunia.[5]

Dari Asia Minor, kepulauan yang terletak antara Samudra Mediterania dan Laut Hitam, filsafat menyeberangi Aegean (sebuah teluk yang berada di Samudra Mediterania) menuju tanah Yunani. Untuk ribuan tahun lamanya, Athena menjadi tanah air filsafat. Ketika Iskandariyah didirikan oleh Iskandar Agung pada 332 SM, filsafat mulai merambah dunia Timur, dan berpuncak pada tahun 529 M.

Pada tahun itu, kata Majid Fakhry, demikian juga al-Ahwani, Kaisar Bizantium, Justianus menutup sekolah-sekolah tinggi filsafat di Athena dan mengusir semua filosofnya dari daerah tersebut, karena ajaran filosof menurutnya bertentangan dengan ajaran Kristen. Sebagai ancaman bagi eksistens agama Kristen. Tujuh guru filsafat paling termuka dipimpin oleh Damascius (w. 553 M) dan Simplicus (w. 533 M), lari menyeberang perbatasan Bizantium menuju Persia. Di sana, para guru filsafat ini disambut hangat oleh Chosroes I (Anushirwan) yang begitu mengagumi filsafat dan sains Yunani. Sekitar 555 M, Chosroes I mendirikan sekolah Jundishapur sebagai pusat studi Hellenik dari riset kedokteran.[6]

Namun demikian, transpormasi filsafat Yunani yang paling radikal, kata Majid Fakhry terjadi di Iskandariyah bukan di Jundishapur. Di Iskandariyah ini filsafat menjadi benar-benar mendunia. Kecendrungan religius dan mistisnya malah hampir-hampir tak dikenal oleh orang-orang Yunani terdahulu. Oleh karenanya, nama-nama yang dikaitkan dengan filsafat Iskandariyah atau Hellenistik umumnya adalah Plotinus (w. 270 M), Porphyr dari Tyre (w. 303 M), dan Jamblichus (w. 330 M), yang seluruhnya hidup pada zaman Iskandar Agung.

Ketika Mesir takluk di bawah orang-orang Arab pada tahun 641 M, Iskandariyah tetap berkembang sebagai pusat filsafat, kedokteran dan sains Yunani. Juga teologi Kristen-Hellenistik yang berdampak luas pada perkembangan filsafat dan teologi Muslim di kemudian hari. Sebagai akibat dari penaklukan wilayah Mesir oleh orang-orang Arab ini, maka tren kebudayaan dan pemikiran bergerak ke arah Timur yang berawal dari Damaskus pada masa Dinasti Umayyah (661-750 M) dan berlanjut sampai ke Baghdad pada masa Dinasti Abbasiyah (750-1258 M).

Semenjak Islam lahir di Jazirah Arabia di awal abad ke VII M, jumlah orang Arab yang menjadi penghuni jazirah itu yang mampu menulis dan membaca sangat sedikit dan dapat dihitung dengan jari. Ini dapat dipahami bahwa pada waktu itu bangsa Arab dapat dikatakan tidak mengenal ilmu dan filsafat, sebagaimana yang telah dikenal oleh bangsa-bangsa tetangga mereka yang tinggal di Mesir, Syam, Irak, Persia dan kawasan lain di sekitar Laut Tengah. Potensi bangsa Arab di bidang ilmu dan falsafat sampai pada waktu itu belum pernah dikembangkan atau diaktualkan sebagaimana mestinya.[7]

Akhirnya sejarah Islam menunjukkan bahwa perintah pertama yang terkandung dalam wahyu yang pertama kali diterima Nabi Muhammad SAW adalah perintah ”bacalah!” sebanyak dua kali. Perintah ini merupakan salah satu keistimewaan wahyu (al-Qur’an) dalam Islam. Jadi jelas dari wahyu tersebut bahwa membaca dan belajar adalah aktivitas pertama yang diperintahkan oleh wahyu dalam Islam. Maka dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW banyak pernyataan dan perintah yang mendorong manusia menjadi peneliti, menjadi peneliti, menjadi penuntut ilmu, atau menjadi pemikir dan dalam Islam menghargai tinggi mereka yang berilmu, menghargai orang yang bersikap kritis, dan mencela sikap taklid.[8]

Karena memang al-Qur’an pada dasarnya merupakan buku petunjuk dan pegangan keagamaan, namnun di antara isinya mendorong umat Islam supaya banyak berpikir. Hal ini dimaksudkan agar mereka melalui pemikiran akalnya sampai pada kesimpulan adanya Allah Pencipta Alam semesta dan sebab dari segala kejadian di alam ini.[9]

Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang mendorong umat Islam untuk melakukan kegiatan berpikir, di antaranya adalah:

1.       Kata-kata berasal dari ’aqala mengandung arti mengerti, memahami, dan berpikir. Terdapat 45 ayat, di antaranya; QS:[2]:242, QS:[8]:22, QS:[16]:11-12.

2.       Kata-kata yang berasal dari nazhara melihat secara abstrak dalam arti berpikir dan merenungkan atau menalar, terdapat dalam al-Qur’an lebih dari 30 ayat. Di antaranya QS:[50]:6-7, QS:[86]:5-7, QS:[47]:24.

3.       Kata yang berasal dari tadabbara mengandung arti merenungkan, terdapat dalam beberapa ayat, seperti surat Shad: 29 dan Muhammad ayat 24

4.       Kata yang berasal dari tafakkara yang berarti berpikir, terdapat 16 ayat dalam al-Qur’an di antaranya QS:[16]:68-69, QS:[45]:12-13

5.       Kata-kata yang berasal dari faqiha yang berarti mengerti, dan paham. Terdapat 16 ayat dalam al-Qur’an. Di antaranya: QS:[17]:44, QS:[6]:97-98, dan QS:[9]:122.

6.       Kata-kata yang berasal dari tazakkara yang berarti mengingat, memperoleh peringatan mendapat pelajaran, memperhatikan dan mempelajari, yang semuanya mengandung perbuatan berpikir, terdapat dalam lebih dari 44 ayat. Di antaranya QS:[16]:17, QS:[39]:9, dan QS:[51]:47-49.

7.       Kata-kata yang berasal dari fahima yang berarti memahami dalam bentuk fahhama di antara QS:[21]:78-79.

8.       Ulu al-bab yang berarti orang berpikiran, di antaranya terdapat dalam surat Yusuf [12]:111 dan surat Ali Imran [3]:190, ulu al’ilm yang berarti orang berilmu, di antaranya terdapat dalam surat Ali Imran [3]:18, ulu al-abshar yang berarti orang mempunyai pandangan, di antaranya terdapat dalam surat an-Nur [24]:44, ulu al-Nuha yang berarti orang bijaksana, di antaranya terdapat dalam surat al-Anfal [8]:22 dan Al-Nahl [16]:11-12; dan juga kata ayat sendiri erat hubungannya dengan perbuatan berpikir, yang berarti aslinya adalah tanda.[10]

Perintah berpikir terdapat pula dalam ayat kauniyah. Ayat-ayat ini menggambarkan kejadian alam semesta. Semua kejadian tersebut yang oleh al-Qur’an diperintahkan umat Islam untuk memikirkan dan merenungkan.[11]

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa intisari filsafat terdapat dalam al-Qur’an tetapi al-Qur’an bukanlah buku filsafat. Agaknya itulah sebabnya para filosof Muslim sebagai yang dikatakan Ibnu Rusyd bahwa filsafat bukanlah haram dalam Islam. Bahkan, menurutnya hukum berfilsafat adalah wajib dan sekurang-kurangnya dianjurkan oleh agama (sunnah).[12]Sementara itu, yang lainnya ada yang menyamakan kata filsafat dan fillosofdengan kata hikmah dan hakim yang ada dalam al-Qur’an.[13]

Jadi penaklukan Iskandariyah pada tahun 641 oleh orang-orang Arab merupakan momentum berharga bagi bangsa Arab untuk bersentuhan langsung dengan peradaban Yunani. Sebagaimana diketahui bahwa kawasan Timur Tengah, seperti; Mesir, Suriah dan Irak ketika diperintah oleh Iskandar Agung tak ubahnya seperti zaman peradaban Yunani. Pada masa Ptolemy I, Mesir terutama Iskandariah merupakan kota ilmu dan sains yang menggantikan posisi Athena. Iskandariyah menjelma sebagai pusat bergelutnya pemikiran spekulatif Yunani dengan berbagai tradisi keagamaan dan mistis Mesir, Pheonisia, dan Persia serta Yahudi dan Kristen. Hasil utama pergelutan itu adalah berkibarnya Neoplatonisme yang dipelopori oleh Plotinus dan muridnya Porphyry yang tersohor.

Dengan demikian berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sejarah filsafat dalam Islam bila dinisbahkan dengan al-Qur’an dan hadis Rasul Saw tidaklah berlebihan bahwa pemikiran ilmiah dalam Islam adalah seperti nisbah roh dengan badan yang dihidupkan oleh roh itu. Memandang keduanya sebagai roh adalah pantas dan sesuai dengan pandangan al-Qur’an sendiri tentang dirinya, seperti dinyatakan dalam al-Qur’an 42:52, yang artinya ”Dan demikianlah kami wahyukan kepadamu ruh dengan perintah Kami”. Penamaan apa yang diwahyukan itu dengan ruh mengandung arti bahwa ajaran wahyu baik berupa al-Qur'an maupun berupa hadis Nabi haruslah diaktualkan terus menerus sebagai ruh yang mendorong umat manusia umumnya dan muslimin khususnya untuk menghidupkan emosi, kemauan, pikiran, perbuatan, dan peradaban yang baik dan benar pada diri mereka dimuka bumi ini, yang diaplikasikan sebagai roh yang menghidupkan kebenaran dan kebaikan atau menghidupkan pemikiran ilmiah dan falsafi.

 

C.      Pembagian Filsafat

Adapun pembagian filsafat ini dapat dilihat dari berbagai pendpaat para tokoh-tokohnya, antara lain adalah:

1.       Aristoteles, membagi kepada empat cabang, yaitu:

a.       Logika, yaitu ilmu tentang bagaimana cara berpikir yang benar sehingga sampai pada kesimpulan yang benar. Hal ini adalah sebagai pengantar seseorang kepada dunia filsafat.

b.      Filsafat Teoritis, yaitu meliputi; fisik membicarakan tentang dunia material, matematika membicarakan alam ditinjau dari segi jumlah dan metafisika, mempersoalkan tentang hakikat segala yang ada sebagai awal sejarah lahirnya filsafat.

c.       Filsafat praktis, yaitu meliputi etika, membicarakan bagaimana semestinya tingkah laku dalam kaitannya dalam memperoleh kebahagiaan, ekonomi, membcarakan bagaimana semestinya untuk mencapai tingkat kemakmuran, dan politk membicarakan bagaimana semestinya masyarakat dan negara untuk mendapatkan ketenteraman hidup.

d.      Filsafat Peotika (kesenian), yaitu membicarakan bagaimana semestinya manusia memperoleh kepuasaan dalam hidupnya.

2.       ENSIE (Eerste Nenerlanse Systematich Ingeriche Encylopedie) sebuah lembaga yang mendalami filsafat di Belanda, membagi filsafat kepada sembilan bagian yaitu; metafisika, logika, filsafat mengenal, filsafat pengetahuan, filsafat alam, filsafat kebudayaan etika, estetika dan antropologi.

3.       Al-Farabi, membagi filsafat kepada filsafat teoritis dan filsafat praktis.[14]

Memperhatikan pembagian filsafat di atas dapat disimpulkan bahwa kajian filsafat nampaknya secara garis besarnya meliputi kepada tiga aspek saja yaitu; Tuhan, manusia dan alam.

 

D.      Filsafat Dakwah

Bila digabungkan kata filsafat dengan kata dakwah, maka menjadi kata majemuk ’filsafat dakwah’, bisa juga disebut dengan hikmah dakwah, kebenaran dakwah. Kalau diperhatikan kedua akar kata di atas, yaitu filsafat dan dakwah, maka sesuatu dapat dikatakan sebagai filsafat, manakala terlebih dahulu mengetahui karakteristik dari filsafat tersebut. Dalam hal ini dapat dirumuskan kepada empat bidang, yaitu:

1.       Skeptis, yaitu sifat keraguan-keraguan terhadap suatu kebenaran sebelum memperoleh argumentasi yang kuat dan lengkap yang akhirnya akan membawa kepada suatu keyakinan. Sifat keraguan yang dimaksud dalam hal ini bukan meragukan ajaran agama (Islam), melainkan meragukan kemampuan manusia dalam memahami ajaran agama dalam menetapkan porsi kebenaran tersebut kepada manusia.

2.       Komunalisme, yaitu bahwa hasil pemikiran filsafat adalah milik semua masyarakat umum, tanpa memandang kelas ekonomi, kaya, miskin ilmuan atau bukan, berkeyakinan atau tidak, akan dapat diterima oleh semua unsur. Misalnya ajaran al-Qur'an bukan hanya dapat dipraktekan oleh orang Islam saja, barangkali sangat boleh jadi akan dapat direalisasikan oleh semua orang tanpa membedakan dari masa asalnya.

3.       Disintrestednes, yaitu suatu aktivitas tanpa diikat oleh suatu kepentingan khusus, akan tetapi berpikir bebas sesuai apa adanya, bukan bagaimana semestinya. Sehingga para failosuf di uji dalam upaya menjelaskan isi dunia, jika mungkin mampu merubah dunia.

4.       Universalisme, yaitu berfilsafat adalah seluruh umat manusia. Perbedaan dengan komunalisme adalah terletak pada materinya, jika komunalisme mengandung makna bahwa materi temuan filsafat menjadi milik seluruh umat manusia, maka universalisme lebih menekankan kepada hak, yaitu semua umat manusia berhak berfilsafat.[15]

Memperhatikan karakteristik di atas, maka filsafat dakwah mampu berargumentasi bahwa ajaran Islam yang disampaikan bukan hanya dirasakan oleh umat Islam semata, akan tetapi dirasakan oleh semua orang dimana dan kapan saja. Karena ajaran Islam adalah rahmatan li al-’alamin. Dalam keterangan lain dapat dikatakan, bahwa filsafat dakwah ialah membahas faktor-faktor dan dasar-dasar dakwah Islam secara analitis, kritis dengan tujuan untuk menyatakan kebenaran Islam atau setidak-tidaknya untuk menjelaskan bahwa ajaran Islam itu tidak bertentangan dengan logika, sehingga orang mudah tertarik serta bersedia mengamalkannya.

Dengan demikian, filsafat dakwah adalah suatu pengetahuan yang mengkaji dakwah dan penyampaian mengenal islam di dalam acuan filsafat kosmos, ketuhanan, manusia, penciptaan, sosial, akhlak, dan sebagainya yang telah terdapat dasar-dasarnya di dalam sumber dakwah itu sendiri.

E.       Tujuan Dakwah, Ilmu Dakwah dan Filsafat Dakwah

Tujuan dakwah sebagai komunikasi adalah memberi informasi tentang agama Islam. Tujuan ini bukanlah tujuan final. Perkembangan antara tabligh dan dakwah tidaklah berakhi dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW, tabligh dan dakwah itu berlangsung terus menerus selama masih berdir langit dan bumi, untuk menyampaikan informasi mengenai agama Islam, agar semua orang memperoleh pengetahuan tentang agama Islam dan mengerti tidaknya umat ini dengan Islam adalah akan terlihat mereka melakukan kebaikan dan meninggalkan perbuatan tercela. Tidak hanya sebatas itu, akan tetapi kebaikan itu sekaligus juga akan mengimbas kepada keluarga dan masyarakat. Untuk hal ini diperlukan dakwah yang tidak henti-hentinya. Hal ini dilakukan oleh para ulama dan ilmuan sosial dengan kemampuannya. Inilah tujuan pada tahap kewajiban memberi informasi dan kewajiban menyampaikan.

Adapun tujuan final dari dakwah ini untuk mencapai keselmatan dan kesentosaan manusia di dunia dan di akhirat nanti. Maksudnya ialah memperoleh kebahagiaan di dalam kehiupan ini dan kehidupan lain dalam dunia yang kekal dan abadi, sesudah kehidupan di dunia ini.

Tujuan dakwah tidak identik dengan tujuan ilmu dakwah. Bila tujuan dakwah untuk menyampaikan informasi tentang agama Islam dan memperkenalkannya kepada semua umat manusia, maka ilmu dakwah bertujuan melihat alternatif-alternatif yang lebih berdayaguna dalam menyebarkan informasi tersebut. Dengan kata lain, imu dakwah mempersoalkan metode dan sistem yang terlibat dalam penelitian tentang proses dakwah serta dalam hal penerapannya dalam kehidupan manusia.

Sedangkan tujuan filsafat dakwah adalah saat memberikan pemahaman yang bersifat universal tentang suatu unit ajaran Islam secara mendalam, mendasar dan radikal sampai ke akar-akarnya, sehingga akhirnya dapat membawa kepada kebenaran yang hakiki. Kebenaran hakiki tersebut terimplementasikan dalam sikap kesehariannya sebagai seorang Islam. Filsafat dakwah lebih jauh bertujuan untuk memberikan kepuasaan bagi seseorang yang sekaligus dapat membawa seseorang kepada kebahagiaan jiwa yang amat berharga. Dapat mengantarkan seseorang sampai kepada kepercayaan secara dokmatis dan absolut.[16]


Daftar Pustaka

 

Dahlan, Aziz, Abdul, Pemikiran Filsafat dalam Islam, Padang: IAIN ”IB” Press, 2000

Fakhry, Majid, A Short Introduction to Islamic Philoshopy, Theology and Mysticism, terj. Zaimul Am, Bandung: Mizan, 2001

Mustafa ‘Abd al-Raziq, Tahmid li Tarikh al-Falsafat al-Islamiyyat, t.tp: Lajnat al-Ta’lif wa Tarharmat wa al-Nasyr, 1959

Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Universitas Indonesia, 1983

_______, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Makalah IAIN Jakarta, 12 Juni 1990

Nolan, Smith, Titus, ,  Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984

Rusyd, Muhammad Ibnu, Abu al-Walid,  Fashl al-Maqal fi ma baiyn al-Hikmat wa al-Syari’at min al-Ittishal, Tahkik Muhammad ’Imarat, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1972

Salmadanis, Fisafat Dakwah, Jakarta: Surau, 2003

Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam (Filosof dan Filsafat), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004



[1] Salmadanis, Fisafat Dakwah, (Jakarta: Surau, 2003), h. 5

[2] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Filosof dan Filsafat), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 3

[3] Salmadanis, op.cit., h. 7

[4] Titus Smith, Nolan,  Persoalan-persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 11

[5] Majid Fakhry, A Short Introduction to Islamic Philoshopy, Theology and Mysticism, terj. Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2001), h. 1 Salmadanis, op.cit., h. 15

[6] Salmadanis, op.cit., h. 16

[7] Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Filsafat dalam Islam, (Padang: IAIN ”IB” Press, 2000), cet ke-2, h. 7

[8] Ibid., h. 9

[9] Sirajuddin Zar, op.cit., h. 20

[10] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1983), h. 21-22

[11] Harun Nasution, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Makalah IAIN Jakarta), 12 Juni 1990, h. 2

[12] Abu al-Walid Muhammad Ibnu Rusyd,  Fashl al-Maqal fi ma baiyn al-Hikmat wa al-Syari’at min al-Ittishal, Tahkik Muhammad ’Imarat, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1972), h. 22-23

[13] Mustafa ‘Abd al-Raziq, Tahmid li Tarikh al-Falsafat al-Islamiyyat, t.tp: Lajnat al-Ta’lif wa Tarharmat wa al-Nasyr, 1959), cet ke-11, h. 16

[14] Salmadanis, op.cit., h. 19

[15] Ibid., h. 32

[16] Ibid., h. 34

0 Comment