Tuesday, December 6, 2022



Pengertian Fiqh, Syariah, dan Hukum Islam


Pengertian fiqh atau ilmu fiqh sangat berkaitan dengan syariah, karena fiqh itu pada hakikatnya adalah jabaran praktis dari syariah. Karenanya, sebelum memberikan penjelasan  tentang  arti fiqh, ter- lebih dahulu  perlu dijelaskan  arti dan hakikat syariah.


1.   Pengertian Syariah


Secara  etimologis  (lughawi)  syariah  berarti  “jalan  ke tempat pengairan” atau “jalan yang harus diikuti”, atau “tempat lalu air di sungai”.  Arti terakhir ini digunakan orang Arab sampai sekarang.

Kata syariah muncul dalam beberapa ayat Al-Qur’an, seperti pa- da surat al-Maidah (5): 48; asy-Syura (42): 13; dan al-Jatsiyah  (45):

18, yang mengandung arti “jalan yang jelas yang membawa  kepada kemenangan”. Dalam  hal ini, agama  yang ditetapkan Allah untuk manusia  disebut syariah,  dalam  artian  lughawi,  karena  umat Islam selalu melaluinya  dalam kehidupannya di dunia.  Kesamaan  syariah Islam dengan jalan air adalah  dari segi bahwa  siapa yang mengikuti syariah  ia akan  mengalir  dan  bersih  jiwanya.  Allah  menjadikan air  sebagai  penyebab  kehidupan tumbuh-tumbuhan  dan  hewan sebagaimana Dia menjadikan syariah sebagai penyebab  kehidupan jiwa insani.


Menurut para  ahli, definisi syariah  adalah:  “Segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang menge- nai akhlak”.  Dengan demikian, “syariah” itu adalah  nama bagi hu- kum-hukum yang bersifat amaliah.

Walaupun pada mulanya syariah itu diartikan “agama” sebagaimana yang disinggung Allah dalam surat asy-Syura (42): 13, namun kemudian dikhususkan penggunaannya untuk hukum amaliah. Pengkhususan ini dimaksudkan karena  agama  pada  dasarnya adalah  satu dan berlaku secara  universal,  sedangkan  syariah  berlaku  untuk  masing-masing umat yang berbeda dengan umat sebelumnya. Dengan demikian,  kata “syariah” lebih khusus dari agama. Syariah adalah hukum amaliah yang berbeda menurut perbedaan Rasul yang membawanya dan setiap yang datang  kemudian mengoreksi yang datang  lebih dahulu.  Sedangkan dasar  agama,  yaitu  ‘akidah/tauhid, tidak  berbeda  antara Rasul  yang satu dengan lainnya.

Di antara ulama ada yang lebih mengkhususkan lagi pemakaian kata “syariah” itu dengan: “Apa-apa yang bersangkutan dengan per- adilan serta pengajuan perkara kepada mahkamah dan tidak mencakup kepada halal dan haram”.

Qatadah, menurut yang diriwayatkan al-Thabari, menggunakan kata  “syariah” kepada  hal yang menyangkut kewajiban, had, pe- rintah dan larangan;  tidak termasuk  di dalamnya ‘akidah, hikmah, dan ibarat yang tercakup dalam agama. Syaltut mengartikan syariah dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah bagi hamba-Nya untuk  diikuti  dalam  hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan sesama manusia”. Dr. Farouk  Abu Zeid menjelaskan  bahwa syariah ialah: “Apa-apa yang ditetapkan Allah melalui lisan Nabi-Nya”. Allah adalah  pembuat hukum  yang me- nyangkut  kehidupan agama dan kehidupan dunia.


2.   Pengertian Fiqh


       Kata  “fiqh”, secara  etimologis  berarti  “paham yang men- dalam”. Bila “paham” dapat  digunakan untuk  hal-hal  yang bersifat lahiriah,  maka  fiqh berarti  paham  yang menyampaikan ilmu lahir kepada ilmu batin. Karena itulah at-Tirmidzi menyebutkan, “fiqh tentang sesuatu,” berarti mengetahui batinnya sampai kepada kedalamannya.

Kata “faqaha” 

Kata “amaliah” yang terdapat dalam definisi di atas menjelaskan bahwa fiqh itu hanya menyangkut tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriah. Dengan demikian, hal-hal yang bersifat bukan amaliah seperti masalah keimanan atau ‘akidah tidak termasuk dalam lingkungan fiqh dalam artian ini. Umpamanya ketentuan bahwa Allah itu bersifat Esa dan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat.

Penggunaan  kata “digali dan ditemukan” mengandung arti bah- wa fiqh itu adalah  hasil penggalian,  penemuan, penganalisisan, dan penentuan ketetapan tentang  hukum.  Karenanya bila bukan dalam bentuk hasil suatu penggalian-seperti mengetahui apa-apa yang secara lahir dan jelas dikatakan Allah-tidak disebut fiqh. Fiqh itu adalah hasil penemuan  mujtahid dalam hal-hal yang tidak dijelaskan oleh nash.

Kata “tafsili” dalam definisi itu menjelaskan tentang dalil-dalil yang digunakan seorang faqih atau mujtahid dalam penggalian dan penemuannya. Karena  itu, ilmu yang diperoleh  orang  awam  dari seorang mujtahid yang terlepas dari dalil tidak termasuk  ke dalam pengertian  fiqh.

Al-Amidi memberikan definisi fiqh yang berbeda dengan definisi di atas,  yaitu:  “Ilmu  tentang  seperangkat  hukum-hukum syara’ yang bersifat furu‘iyah yang berhasil didapatkan melalui penalaran atau istidlal”.

Kata “furu‘iyah” dalam definisi al-Amidi ini menjelaskan bahwa ilmu tentang  dalil dan macam-macamnya sebagai hujah,  bukanlah fiqh menurut  artian  ahli ushul, sekalipun  yang diketahui  itu adalah hukum  yang bersifat nazhari.

Penggunaan  kata  “penalaran” dan  “istidlal” (yang sama  mak- sudnya dengan “digali”) menurut istilah Ibnu Subki di atas memberikan penjelasan bahwa fiqh itu adalah hasil penalaran dan istidlal. Ilmu yang diperoleh bukan dengan cara seperti itu-seperti ilmu Nabi tentang apa yang diketahuinya dengan perantaraan wahyu-tidak disebut fiqh.

Dengan menganalisis kedua definisi yang disebutkan di atas da- pat ditemukan hakikat dari fiqh, yaitu:

a. fiqh itu adalah  ilmu tentang  hukum  Allah;

b. yang dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat amaliah furu‘iyah;

c. pengetahuan tentang  hukum  Allah itu didasarkan kepada  da- lil tafsili; dan

d. fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal se- orang mujtahid atau faqih.


Dengan demikian,  secara ringkas dapat  dikatakan, “Fiqh itu adalah dugaan kuat yang dicapai seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah.”

Dari  pengertian  fiqh dan  syariah  di atas  terlihat  kaitan  yang sangat  erat  antara fiqh dengan  syariah.  Syariah diartikan dengan ketentuan yang ditetapkan Allah tentang  tingkah  laku manusia  di dunia dalam mencapai kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Ketentuan Allah itu terbatas dalam firman Allah dan penjelasannya yang diwahyukan melalui lisan Nabi.

Semua tindakan manusia  di dunia dalam mencapai  kehidupan yang baik itu harus tunduk kepada kehendak Allah dan Rasulullah. Kehendak  Allah  dan  Rasul  itu  sebagian  terdapat secara  tertulis dalam kitab-Nya yang disebut syari‘ah, sedangkan  sebagian besar lainnya tersimpan di balik atau di luar yang tertulis itu.

Untuk mengetahui keseluruhan apa yang dikehendaki Allah tentang  tingkah  laku manusia  itu, harus ada pemahaman mendalam tentang syariah, sehingga secara amaliah syariah itu dapat diterapkan dalam  kondisi  dan situasi bagaimanapun. Hasil pemahaman itu di- tuangkan dalam bentuk ketentuan yang terinci. Ketentuan terinci ten- tang tingkah laku manusia mukalaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap syariah itu disebut fiqh.

3.   Pengertian Hukum Islam


Hukum  Islam merupakan rangkaian dari  kata  “hukum” dan kata “Islam”. Kedua kata itu, secara terpisah, merupakan kata yang digunakan dalam bahasa  Arab dan terdapat dalam Al-Qur’an,  juga berlaku  dalam  bahasa  Indonesia.  “Hukum Islam”  sebagai  suatu rangkaian kata  telah  menjadi  bahasa  Indonesia  yang  hidup  dan terpakai, namun bukan merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab, dan tidak ditemukan dalam Al-Qur’an;  juga tidak ditemukan dalam  literatur yang berbahasa Arab.  Karena  itu kita  tidak  akan menemukan artinya  secara definitif.


Untuk memahami pengertian hukum Islam, perlu diketahui lebih dahulu kata “hukum” dalam bahasa Indonesia, kemudian pengertian hukum  itu disandarkan kepada  kata “Islam”. Ada kesulitan  dalam memberikan definisi kepada  kata  “hukum” karena  setiap  definisi akan menemukan titik lemah. Karena itu, untuk  memudahkan me- mahami  pengertian  hukum,  berikut  ini akan diketengahkan definisi hukum  secara  sederhana, yaitu:  “Seperangkat  peraturan  tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat, disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan mengikat  untuk seluruh anggotanya”.

Definisi ini tentunya masih  mengandung kelemahan, namun dapat  memberikan pengertian  yang mudah  dipahami.

Bila kata “hukum” menurut definisi di atas dihubungkan kepada “Islam” atau  “Syara’”,  maka  “hukum Islam”  akan  berarti:  “Se- perangkat  peraturan  berdasarkan  wahyu  Allah  dan sunah  Rasul tentang  tingkah  laku  manusia  mukalaf yang diakui  dan diyakini mengikat  untuk semua yang beragama Islam”.

Kata “seperangkat peraturan” menjelaskan bahwa yang dimak- sud dengan hukum Islam itu adalah peraturan yang dirumuskan secara terperinci  dan mempunyai kekuatan yang mengikat.

Kata “yang berdasarkan wahyu Allah dan sunah Rasul”  men- jelaskan bahwa perangkat peraturan itu digali dari dan berdasarkan kepada  wahyu  Allah dan sunah  Rasul, atau  yang populer  dengan sebutan  “syariah”.

Kata “tentang tingkah laku manusia mukalaf” mengandung arti bahwa  hukum  Islam itu hanya mengatur tindak  lahir dari manusia yang dikenai  hukum.  Peraturan tersebut  berlaku  dan  mempunyai kekuatan terhadap orang-orang yang meyakini kebenaran wahyu dan sunah Rasul itu, yang dimaksud dalam hal ini adalah  umat Islam.

Bila artian sederhana tentang “hukum Islam” itu dihubungkan kepada  pengertian “fiqh”  sebagaimana dijelaskan  sebelumnya, dapat  dikatakan bahwa  yang dimaksud dengan  hukum  Islam itu adalah yang bernama “fiqh” dalam literatur Islam yang berbahasa Arab. Dengan demikian,  setiap kata “fiqh” dalam buku ini berarti “hukum Islam”.

Kajian tentang hukum Islam itu mengandung dua bidang pokok yang masing-masing  luas cakupannya, yaitu:

Pertama, kajian tentang perangkat peraturan terinci yang bersifat amaliah  dan harus  diikuti umat Islam dalam  kehidupan beragama. Inilah  yang secara  sederhana disebut  “fiqh” dalam  artian  khusus dengan segala lingkup bahasannya.

Kedua, kajian  tentang  ketentuan serta cara dan usaha  yang sis- tematis  dalam  menghasilkan perangkat peraturan yang terinci  itu disebut “ushul  fiqh”,  atau dalam arti lain “sistem metodologi fiqh”. Fiqh dan ushul fiqh merupakan dua bahasan terpisah,  namun  saling berkaitan. Pada waktu menguraikan suatu ketentuan tentang fiqh, untuk menguatkan bahasannya, sering disertai penjelasan mengenai kenapa ketentuan itu begitu adanya, sehingga memasuki lapangan pembahasan ushul fiqh. Demikian pula sebaliknya waktu membicarakan ushul fiqh, untuk  lebih memperjelas  bahasannya dikemukakan contoh-contoh yang berada  dalam lingkup bahasan fiqh.


B. Sejarah dan Perkembangan Fiqh


1.   Fiqh pada Masa Nabi


Bila kita memahami pengertian  fiqh itu sebagai hasil penalaran seorang  ahli atas maksud  hukum  Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia, maka timbul pertanyaan apakah fiqh itu sudah mulai ada pada waktu  Nabi Muhammad SAW. masih hidup?

Suatu hal yang nyata terjadi adalah  bahwa  Nabi telah berbuat sehubungan dengan  turunnya ayat-ayat Qur’an  yang mengandung hukum (ayat-ayat hukum). Tidak semua ayat hukum itu memberikan penjelasan yang mudah dipahami untuk kemudian dilaksanakan secara praktis  sesuai dengan kehendak Allah. Karena itu Nabi memberikan penjelasan mengenai maksud setiap ayat hukum itu kepada umatnya, sehingga ayat-ayat yang tadinya, belum dalam bentuk petunjuk praktis, menjadi jelas dan dapat dilaksanakan secara praktis. Nabi memberikan penjelasan dengan ucapan, perbuatan, dan pengakuannya yang kemu- dian disebut sunah Nabi. Apakah hukum-hukum yang bersifat amaliah yang dihasilkan oleh Nabi yang bersumber kepada Al-Qur’an itu dapat disebut fiqh?

Telah dijelaskan  bahwa  fiqh adalah  hasil penalaran seseorang yang berkualitas mujtahid atas hukum  Allah atau  hukum-hukum amaliah yang dihasilkan dari dalil-dalilnya melalui penalaran atau ijtihad. Apabila penjelasan  dari Nabi yang berbentuk sunah itu me- rupakan hasil penalaran atas ayat-ayat hukum,  maka  apa yang dikemukakan Nabi  itu dapat  disebut fiqh atau  lebih tepat  disebut “Fiqh sunah”.

Kemungkinan Nabi  melakukan ijtihad  dalam  menghasilkan su- nahnya diperselisihkan para ulama. Perbedaan pendapat itu berpangkal pada pemahaman ayat 3-4 surat an-Najm (53):


yang kemudian ternyata keikutsertaan mereka membawa  ben- cana kepada  pasukan muslim. Ayat ini mengandung kritikan atas  tindakan Nabi.  Kalau  tindakan Nabi  itu  atas  tuntunan wahyu,  tentu  tidak  akan  muncul  kritikan itu. Hal ini menun- jukkan  bahwa  kebijaksanaan Nabi yang mengizinkan ikutnya orang munafik  itu dasarnya adalah  ijtihad.

3.    Sunah Nabi yang berbunyi:


Sesungguhnya  aku  menetapkan hukum berdasarkan  apa-apa yang lahir, dan kamu minta penyelesaian permusuhanmu kepadaku. Barangkali seseorang di antaramu lebih lihai dalam beperkara  dibandingkan yang lain. Siapa yang aku putuskan untuknya sesuatu berkenan dengan harta orang lain, janganlah dimakan. Sesungguhnya aku memberikan kepadanya potongan api neraka.


Riwayat tersebut menunjukkan bahwa Nabi sendiri terkadang memutuskan perkara yang  mungkin  tidak  betul  secara  ma- teriil. Hal  ini berarti  tindakan itu semata  didasarkan kepada ijtihadnya, bukan  dari wahyu.


Kedua, ulama kalam Asy‘ariyyah, mayoritas ulama Mu‘tazilah, Abu  Ali al-Jubbai  dan  anaknya  Hasyim,  berpendapat bahwa Nabi  tidak  boleh  berijtihad dalam  hukum  syara’. Alasan mereka adalah:

a.    Firman Allah dalam surat an-Najm (53): 3-4:


Ayat ini menjadi  dalil utama  bahwa  semua yang muncul  dari lisan Nabi  adalah  dari wahyu  dan tidak  ada yang di luar wa- hyu.  Ijtihad  tidak  berasal  dari  wahyu,  karenanya tidak  ada ucapan  Nabi yang muncul dari ijtihadnya sendiri.

b. Nabi SAW. berkemampuan untuk sampai kepada hukum secara meyakinkan melalui wahyu.  Sedangkan  hasil ijtihad  hanyalah bersifat zhanni.  Bila mampu  untuk  sampai kepada  yang meya- kinkan  (qath‘i), maka tidak boleh menempuh yang tidak meya- kinkan  (zhanni). Di samping itu, ijtihad hanya dapat  dilakukan bila tidak ada nash; sedangkan  selama Nabi masih hidup, tidak mungkin  nash itu sudah terhenti.

c. Sering terjadi  Nabi  tidak  dapat  memberikan jawaban  atas per- tanyaan yang diajukan sahabatnya tentang sesuatu kasus. Dalam keadan  demikian,  Nabi  menyuruh menunggu  sampai  turunnya wahyu  yang akan  menjawabnya. Seandainya  Nabi  dapat  mem- berikan  jawaban  dengan hasil ijtihadnya, tentu tidak perlu Nabi berlama-lama menunggu turun  wahyu untuk  menjawabnya.


Ketiga, pendapat “jalan  tengah” dari kedua pendapat di atas, menyatakan bahwa  Nabi dapat  saja berijtihad dalam masalah  pe- perangan, tetapi tidak dalam masalah hukum syara’. Kelompok ini menggunakan gabungan dalil-dalil yang dikemukakan dua pendapat sebelumnya.

Bila diperhatikan ketiga pendapat tersebut beserta argumen ma- sing-masing, kita cenderung pada pendapat yang mengatakan tidak semua yang muncul  dari lisan Nabi  itu dibimbing  wahyu.  Dalam kenyataan memang  beliau  pernah  berijtihad untuk  memahami dan  menjalankan wahyu  Allah  dalam  hal-hal  yang  memerlukan penjelasan  dari Nabi  yang sebagiannya  dibimbing  wahyu.  Dalam hal-hal yang tidak mendapat koreksi dari Allah, maka hal itu muncul sebagai sunah Nabi yang wajib ditaati. Dengan demikian, sebagian sunah Nabi adalah  berdasarkan pada ijtihadnya.

Dari penjelasan  di atas, maka  dapat  disimpulkan bahwa  fiqh sudah mulai ada semenjak Nabi masih hidup dengan pola yang sederhana sesuai dengan kesederhanaan kondisi masyarakat Arab yang menjalankan fiqh pada waktu itu. Di bawah ini dikemukakan beberapa contoh  fiqh Nabi dalam beberapa bidang hukum.

a.    Shalat


Perintah  melakukan shalat  banyak  sekali terdapat dalam  Al- Qur’an  dengan berbagai  cara dan berbagai  bentuk.  Tidak ada satu ayat pun yang menjelaskan  apa dan bagaimana praktik shalat  itu. Dalam  keadaan begitu  perintah shalat  menurut  apa  adanya  tidak mungkin dilaksanakan. Nabi mengetahui maksud perintah Allah itu, karena itu Nabi menjelaskan kepada umatnya dengan menggunakan sunah-Nya.

Nabi mengarahkan kata “shalat” itu kepada perbuatan tertentu dengan tindakan yang berisi beberapa ucapan  dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam di hadapan para sahabatnya. Kemudian  beliau  berkata, “Inilah  yang  dimaksud dengan shalat”.  Dalam suatu hadis Nabi bersabda,

Adapun  mengenai  waktu-waktu pelaksanaan shalat,  muncul dalam beberapa ayat Al-Qur’an  pada tempat  yang terpisah.

1.    Surat ar-Rum  (30): 17:

Maka  bertasbihlah  kepada  Allah  di waktu kamu  berada  di petang hari dan waktu kamu  berada di waktu subuh.


2.    Surat al-Isra (17): 78:

Waktu zuhur  bila telah tergelincir matahari  sampai  bayang- bayang sepanjang badan dan belum masuk waktu ashar; waktu ashar selama matahari belum menguning; dan waktu maghrib selama  belum  hilang  cahaya  matahari;  waktu isya sampai pertengahan  malam dan waktu subuh  dan terbit fajar sampai terbit matahari.


Tentang jumlah raka‘at  shalat untuk  setiap waktu yang lima itu tidak  ada  sama  sekali penjelasannya dalam  Al-Qur’an.  Ketetapan jumlah raka‘at shalat datang dari Nabi sendiri dalam hadis fi’li secara bertahap. Jumlah  raka‘at  itu berbeda  pada  waktu  sebelum dengan sesudah hijrah. Hal ini dijelaskan dalam hadis dari Aisyah dalam versi yang berbeda-beda menurut  riwayat  Bukhari dan Ahmad:


Difardukan shalat itu dua-dua raka‘at. Kemudian berlangsung hijrah, maka difardukan empat-empat raka‘at dan ditetapkan shalat safar seperti yang semula (dua raka‘at).


Ditambahkan oleh Ahmad  dari jalur  Ibnu Kaisan dengan ucapan:

yang tetap (seperti semula) karena panjangnya  bacaan shalat, begitu pula shalat maghrib  karena ia merupakan waktu yang ganjil dalam sehari.


Dalam  surat  al-Araf (7): 31, Allah berfirman:


Hai  orang-orang  yang beriman  bila kamu  melakukan shalat basuhlah mukamu dan kedua tanganmu sampai sikut; sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai mata kaki.


Selanjutnya Nabi menjelaskan cara-cara berwudhu’ dalam hadis dari Abu Hurairah menurut  riwayat  Muslim.


Sesungguhnya  dia bila berwudhu dibasuhnya mukanya, maka dilanjutkannya wudhunya; kemudian dibasuhnya tangannya sebelah  kanan  sampai  lengannya,  kemudian tangan  kirinya sampai  lengan; kemudian ia menyapu kepalanya,  kemudian dibasuhnya kaki kanannya sampai betis; kemudian dibasuhnya kaki  kirinya  sampai  betis kemudian dia berkata,  “Beginilah Rasul Allah saya lihat melakukan wudhu.”


Dalam  surat  al-Jumu‘ah (62): 9, Allah berfirman:


Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru melakukan shalat

Jumat,  segeralah datang melakukan shalat dan tinggalkanlah

jual beli.  Yang  demikian itu  lebih  baik  bagimu  jika  kamu mengetahui.


Dari ayat ini, Nabi memahami kewajiban shalat Jumat. Adapun mengenai caranya, dijelaskan  secara rinci dalam Sunnahnya.


b.   Zakat


Perintah untuk melaksanakan zakat begitu banyak muncul dalam Al-Qur’an  dengan  berbagai  cara  dan  bentuk  yang sebagian  besar di antaranya dirangkaikan dengan perintah shalat. Menurut pemahaman lughawiî, zakat itu berarti membersihkan, tumbuh, berkah dan pujian. Kemudian  Nabi  mengarahkan penggunaan kata  “zakat” itu untuk “pemberian tertentu dari harta tertentu, menurut  cara tertentu”.

Bentuk  perintah zakat  dapat  dilihat  dalam  contoh  ayat  di bawah  ini:


Nabi  dengan  hadis dari Ibnu Abbas, muttafaq ‘alaihi (perawinya: Bukhari dan Muslim), yang berbunyi:


Sesungguhnya Allah telah memfardukan zakat atas mereka da- lam harta mereka; diambil  dari orang kaya-kaya mereka  dan diberikan  kepada orang-orang miskin  mereka.


Tentang apa-apa yang dizakatkan, batas nisabnya serta berapa kadar  yang harus dizakatkan, dijelaskan  Nabi dengan hadis-hadis sebagai berikut:

1.    Unta, hadis dari Anas menurut riwayat  Bukhari:


Setiap 24 ekor unta atau kurang, maka zakatnya seekor kambing betina untuk setiap 5 ekor unta, jika jumlahnya  25 sampai 35 ekor,  maka  zakatnya satu ekor anak unta betina berumur  1-2 tahun atau satu ekor anak unta jantan berumur 3-4 tahun, jika jumlahnya  36 sampai 45, maka zakatnya seekor anak unta ber- umur  2-3 tahun,  dan jika jumlahnya  46 sampai 60 ekor  unta maka zakatnya adalah seekor unta betina berumur  3-4 tahun.


2. Sapi, hadis dari Muaz ibn Jabal menurut  riwayat  lima perawi hadis:

Pada tanam-tanaman yang diairi dengan  mata  air atau hujan kewajiban zakatnya adalah sepersepuluh; dalam tanaman  yang diairi dengan kincir kewajiban zakatnya adalah seperdua puluh.


5.    Barang  perniagaan, hadis  dari  Samrah  ibn Jundab  menurut  ri- wayat Abu Daud:

Sesungguhnya Rasul Allah pernah menyuruh kita mengeluarkan zakat dari sesuatu yang disiapkan  untuk diperjualbelikan.


6. Barang rikaz, hadis dari Abu Hurairah, muttafaq ‘alaih (Bukhari dan Muslim):

Di dalam rikaz itu ada kewajiban zakat sebesar seperlima.


Tentang  siapa-siapa yang berhak  menerima  zakat secara lang- sung, disebutkan Allah dalam surat at-Taubah (9): 60:

Sesungguhnya  shadaqah (zakat) itu adalah untuk para fuqara, orang miskin, untuk amil untuk orang yang dijinakkan hatinya; untuk mernerdekakan hamba; dan orang yang dijerat hutang untuk kepentingan sabilillah dan ibnu sabil; merupakan kewa- jiban dari Allah.  Sesungguhnya  Allah Maha Mengetahui  dan Bijaksana.

Dengan penjelasan yang diberikan Nabi tentang ayat-ayat zakat yang  tersebut  dalam  Al-Qur’an  dapatlah dilakukan kewajiban berzakat meskipun  dalam  cara yang sederhana.


c.    Puasa


Perintah Allah yang menyuruh melakukan puasa banyak terdapat dalam Al-Qur’an yang kadang-kadang beriringan dengan kewajiban shalat  dan  zakat.  Kewajiban  puasa  secara  terpisah  muncul  dalam Firman Allah, suratl-aqarah (2): 183-185:


Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Siapa yang berada dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan, boleh ia berbuka  dan untuk itu ia harus menggantinya di hari-hari lain. Untuk orang yang sudah uzur dan tidak mampu berpuasa, maka  ia harus  membayar   fidiah  dalam  bentuk memberi makan  orang miskin.  Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya.

Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Bulan Ramadhan yang  diturunkan padanya  Al-Qur’an   menjadi petunjuk bagi manusia dan merupakan bukti  petunjuk Tuhan dan  sebagai furqan  (pemisah  antara yang  benar  dan  salah). Siapa di antaramu  yang telah menyaksikan masuknya bulan Ramadhan itu hendaklah  ia berpuasa.  Siapa yang sakit  atau dalam  perjalanan  dan tidak  melakukan puasa,  hendaklah  ia melakukan di hari-hari  lain.  Allah  menghendaki untukmu kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan. Hendaklah kamu sempurnakan bilangan puasa itu dan hendaklah kamu bertakbir kepada  Allah  atas petunjuk yang  diberikan-Nya kepadamu; mudah-mudahan kamu  bersyukur.


Dalam ayat di atas dijelaskan  keharusan berpuasa, bulan untuk melakukan puasa, perhitungan masuk bulan puasa dan orang-orang yang mendapat keringanan untuk tidak melakukan puasa Ramadhan. Tentang  awal dan akhir  waktu  puasa  serta apa-apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama puasa dijelaskan dalam surat al-Baqarah (2): 187:

Dihalalkan bagimu  pada malam  puasa itu menggauli  istrimu; mereka  itu adalah pakaian bagimu,  dan kamu  adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu telah mengkhianati dirimu sendiri, maka Allah memberi maaf atasmu. Maka sekarang gaulilah mereka dan perolehlah apa yang telah ditentukan Allah kepadamu, dan  makan  dan  minumlah hingga  jelas bagimu benang  putih  dari benang  hitam  sebagai tanda  waktu fajar. Kemudian  sempurnakanlah puasa itu sampai malam ...

Untuk memperjelas  penentuan awal dan akhir waktu  bulan Ra- madhan dijelaskan  Nabi dengan sabdanya  dari Ibnu Umar menurut riwayat  muttafaq ‘alaih:


Bila kamu  melihat  bulan (masuk  bulan Ramadhan, puasalah kamu  dan bila kamu  telah melihat  bulan (tanda masuk  bulan Syawal) berbukalah kamu;  maka  bila kamu  tidak  melihatnya karena mendung  perhitungkanlah ...


Selanjutnya Nabi menjelaskan cara-cara berbuka dan sahur serta perbuatan-perbuatan baik untuk dilakukan selama bulan Ramadhan, sebagai kelengkapan dari pelaksanaan kewajiban puasa.

Demikian pula cara-cara Nabi memahami ayat-ayat Qur’an yang berkenaan dengan ibadah pokok lainnya dan menjelaskannya kepada umatnya. Hal  yang sama berlaku  pula  terhadap ayat-ayat Qur’an yang berkenaan dengan masalah  muamalat dalam arti umum.Bila dalam hal ibadah  penjelasan  Allah lebih bersifat jelas dan rinci, maka dalam bidang muamalat pada umumnya lebih bersifat umum, garis besar, tidak terinci, dan memberi petunjuk yang tidak jelas serta tidak pasti. Karena itu dalam hal-hal ibadat, lebih mudah Nabi memahaminya sehingga tidak banyak memerlukan penjelasan Nabi untuk melaksanakannya. Sebaliknya dalam bidang muamalat, Nabi lebih banyak  menggunakan nalar dalam memahami ayat hu- kum untuk  dapat  dilaksanakan secara praktis  oleh umatnya.

Pada saat memahami ayat-ayat hukum dan menggunakan nalar untuk  menghasilkan petunjuk pelaksanaannya, kelihatannya Nabi memperhatikan dan mempertimbangkan lingkungan di mana beliau berada. Hal tersebut dapat dilihat pada sunah Nabi yang menjelaskan ayat-ayat tersebut  dengan  hal-hal  yang mudah  dipahami  umatnya waktu  itu dengan  mengemukakan contoh-contoh yang terdapat di lingkungannya.

Pada waktu  Nabi  mencoba  memahami maksud  Allah yang me- wajibkan zakat atas orang kaya untuk diberikan kepada orang miskin,

terlihat Nabi menetapkan barang-barang yang dizakatkan dalam bentuk harta yang nyata waktu itu di lingkungan kehidupan Nabi, baik dalam bentuk hewan ternak maupun tanaman dan buah-buahan.

Di samping  itu, penjelasan  yang diberikan Nabi  lebih banyak dalam bentuk melayani pertanyaan yang diajukan umatnya, baik ten- tang pemahaman atas suatu ayat Al-Qur’an maupun tentang hal-hal yang memerlukan jawaban, karena jawabannya tidak tersebut dalam Al-Qur’an. Penjelasan Nabi dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dari kehendak Allah yang tersebut  dalam Al-Qur’an  itu disebut “Fiqh”, atau “Fiqh Nabi” atau disebut juga “Fiqh al-sunah”. Pola dari “Fiqh Nabi” sesuai dengan pola hidup masyarakat Arab waktu  itu, yaitu sederhana, mudah,  dan tidak berbelit-belit.

Dalam  masa Nabi  atau  pada  masa periode  tasyri’ ini, sumber hukum yang digunakan Nabi dalam menetapkan fatwanya adalah Al-Qur’an.

Ayat-ayat  hukum  dalam  Al-Qur’an  telah meliputi  semua segi kehidupan manusia dalam kedudukannya sebagai pribadi di depan Allah  atau  masyarakat, maupun dalam  kedudukannya sebagai salah  seorang  anggota  masyarakat dalam  hubungannya dengan anggota  masyarakat lainnya.  Penjelasan  yang diberikan Nabi  me- lingkupi hal-hal yang termuat dalam Al-Qur’an, sehingga Fiqh Nabi sudah mencakup  bidang yang sangat luas meskipun dalam bentuk pelaksanaan yang sederhana dan mudah.

2.   Fiqh pada Masa Sahabat


Dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW. sempurnalah turunnya ayat-ayat Al-Qur’an dan sunah Nabi, juga dengan sendirinya sudah terhenti.  Kemudian  terjadi  perubahan yang besar sekali dalam  ke- hidupan masyarakat, karena  telah  meluasnya  wilayah  Islam dan semakin kompleksnya kehidupan umat.

Keimanan umat yang sudah tinggi dan kepatuhannya akan perintah agama, menuntut mereka untuk selalu menghubungkan tingkah lakunya sehari-hari dengan nilai agama. Karena itu umat memerlukan jawaban hukum dalam menghadapi setiap persoalan dalam kehidupannya.

Ada tiga hal pokok yang berkembang waktu itu sehubungan dengan hukum.

Pertama,  begitu  banyaknya muncul  kejadian  baru  yang mem- butuhkan jawaban hukum yang secara lahiriah tidak dapat ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an maupun penjelasan dari sunah Nabi.

Kedua, timbulnya masalah-masalah yang secara lahir telah  diatur ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun sunah Nabi, namun ketentuan itu dalam  keadaan tertentu sulit untuk  diterapkan dan menghendaki pemahaman baru agar relevan dengan perkembangan dan persoalan yang dihadapi.

Ketiga, dalam Al-Qur’an ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian  secara jelas dan terpisah.  Bila hal tersebut  berlaku  dalam kejadian  tertentu, para  sahabat menemukan kesulitan  dalam  me- nerapkan dalil-dalil yang ada.

Ketiga pokok masalah di atas memerlukan pemikiran mendalam atau  nalar  dari para ahli yang disebut ijtihâd. Dalam  menghadapi hal tersebut  berkembanglah pemikiran para sahabat.

1. Dalam menghadapi bentuk pertama, yaitu masalah yang baru ter- jadi, para sahabat mencari jawabannya dari lahir ayat Al-Qur’an, kemudian mencari  dari penjelasan  yang pernah  diberikan Nabi. Bila tidak menemukan jawabannya secara jelas, mereka mencoba mencari jawabannya dari balik lahir lafaz hukum  yang ada. De- ngan cara ini, lahir lafaz ayat itu dapat  direntangkannya kepada kejadian  yang baru  itu. Usaha ini dapat  ditempuh, melalui bebe- rapa cara, di antaranya:

a. Dengan semata pemahaman lafaz, yaitu memahami maksud yang terkandung dalam lahir lafaz. Umpamanya bagaimana hu- kum membakar harta anak yatim. Ketentuan yang jelas dalam Al-Qur’an hanya larangan memakan harta anak yatim secara aniaya,  sedangkan  hukum  membakarnya tidak  ada. Karena semua orang tahu bahwa membakar dan memakan harta itu sama dalam hal mengurangi  atau menghilangkan harta  anak yatim,  maka  keduanya juga sama hukumnya, yaitu  haram. Cara ini kemudian disebut penggunaan metode mafhum.

b. Dengan  cara  memahami alasan  atau  ‘Illat yang terdapat dalam suatu kasus (kejadian) yang baru, kemudian meng- hubungkannya kepada dalil nash yang memiliki alasan atau

‘Illat yang sama dengan kasus tersebut. Cara ini kemudian disebut metode qiyâs.


Penunjukan pengganti  Nabi  untuk   urusan  keduniaan belum ada ketentuannya. Tidak ada ketentuan yang mengatur sistem khilafah  dalam  Qur’an  atau  sunah  Nabi.  Setelah Nabi wafat, masalah ini segera muncul. Para sahabat berpikir bahwa masalah  memimpin  urusan  dunia dapat  dihubungkan kepada pemimpin urusan ibadat.  Ternyata Abu Bakar pernah ditunjuk Nabi untuk menggantikan beliau menjadi imam shalat jamaah, sewaktu  Nabi  sakit.  Atas dasar  ini para  sahabat berpendapat bahwa  yang akan  menggantikan Nabi  dalam  urusan  dunia- yaitu menjadi khalifah-adalah Abu Bakar. Pemikiran  seperti ini berkembang di kalangan sahabat yang kemudian dikenal dengan pemikiran secara qiyâs.

Dalam  periode  sahabat ini  penggunaan ijtihad  masih terbatas pada  metode  mafhum dan qiyâs. Cara  ini pun sudah dapat  menjawab semua persoalan yang muncul waktu  itu.

2. Persoalan dalam bentuk kedua-yaitu perubahan keadaan yang menghendaki perubahan  pemikiran-walaupun jarak  waktu periode  Nabi  dengan  periode  sahabat relatif  pendek  dan  ber- sambung,  namun  perkembangan kehidupan begitu cepat yang menuntut adanya  perubahan pemikiran.

Allah SWT. dalam  Al-Qur’an  mewajibkan zakat.  Nabi  dalam sunah-Nya menyebutkan bahwa  zakat  itu diambil  dari orang kaya dan diberikan kepada  orang miskin. Nabi disuruh  Allah untuk  mengambil  harta zakat dari umatnya (QS. at-Taubah/9:

103).  Cara  yang dilakukan Nabi  adalah  cara  yang bijaksana sesuai dengan  pesan Allah untuk  berdakwah dengan  cara bi- jaksana  (QS. al-Nahl/16: 125).  Atas  kesadaran umat  waktu itu, kewajiban zakat dapat  terlaksana secara baik.

Pada masa Abu Bakar menjadi  khalifah,  beliau melihat  bahwa pemungutan zakat  secara lemah lembut  seperti yang dilakukan Nabi tidak  efektif lagi karena  adanya  kecenderungan pembang- kangan dari sebagian masyarakat terhadap kewajiban membayar zakat.  Karena itu Abu Bakar mengambil  sikap yang keras, bahkan menetapkan untuk  memerangi  orang-orang yang tidak mau membayar  kewajiban zakat.  Dasar  pemikiran Abu Bakar ialah bahwa  menempuh sikap lemah lembut  sebagaimana dilakukan oleh Nabi, kewajiban membayar  zakat tidak dapat ditegakkan.

Allah SWT. melarang  orang  Islam meminum  khamar secara tegas (QS. al-Maidah/5:  90) karena  perbuatan tersebut  meru- pakan  dosa besar; meskipun ada sedikit manfaat di dalamnya. Karena  dalam  larangan lain Allah SWT. menetapkan sanksi- nya, sedangkan  dalam  larangan khamar tidak  diiringi dengan sanksi, maka  Nabi  melalui ijtihadnya menetapkan sanksi mi- num khamar, yaitu dera sebanyak 40  kali. Pelaksanaan sanksi yang  ditetapkan Nabi  itu  dapat  menjerakan orang.  Dengan demikian  tujuan  larangan telah tercapai.


Pada masa Umar ibn Khattab menjadi  khalifah,  kebiasaan minum khamar waktu  jahiliah kambuh lagi di kalangan orang Islam dan sanksi dera 40 kali sudah kurang  efektif sebagai alat penjera.  Umar  memikirkan cara  untuk  membuat  orang  jera minum  khamar yang merupakan tujuan  dari  hukum.  Dalam hal  ini Umar  menetapkan sanksi  mimun  khamar menjadi  80 kali dera,  sehingga orang  menjadi  bertambah takut  meminum khamar. Dengan demikian, sanksi yang ditetapkan Umar berbeda dengan  yang  ditetapkan Nabi  sebelumnya,  untuk  mencapai tujuan  larangan, yaitu menjerakan berbuat kejahatan.

Dalam surat al-Anfal (8): 41, Allah berfirman:


Ketahuilah  sesungguhnya  bila kamu  mendapatkan suatu harta rampasan, maka seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim,  orang-orang miskin,  dan ibnu sabil.


Dalam  memahami ayat  tersebut,  Nabi  membagi  harta rampasan perang menjadi dua kelompok. Tumpukan pertama sebanyak  1/5  bagian  dibagikan kepada  pihak-pihak yang disebutkan dalam ayat Al-Qur’an, sedangkan sisanya dibagikan

kepada orang-orang yang ikut dalam perang yang menghasilkan harta  rampasan itu.

Pada  waktu  Umar  memerintah, pasukan Islam  berhasil menaklukkan tanah  subur  di Irak.  Umar  berpendapat tidak maslahat kalau  hak  4/5  harta  rampasan itu  dibagi  habis di  kalangan pasukan.  Beliau  berpendapat lebih  banyak maslahatnya bila tanah  rampasan itu tidak  dibagikan untuk pasukan, tetapi dibiarkan digarap  orang yang memiliki tanah itu, namun sebagian hasilnya dipungut untuk kepentingan umat, termasuk  untuk  keperluan perang.

Dalam  contoh  tersebut  Umar  menetapkan hukum  yang berbeda dengan apa yang berlaku pada masa Nabi dan khalifah Abu  Bakar  berdasarkan pertimbangan maslahat. Tindakan Umar ini banyak  menjelaskan  bahwa  pemahaman Umar atas ayat Al-Qur’an berbeda dengan apa yang dipahami Nabi karena kondisi dalam kedua masa itu telah berbeda.

Pada masa Nabi,  azan memberi  tahu masuk waktu  Jumat dilakukan satu kali, yaitu setelah khatib  naik mimbar.  Hal ini merupakan pemahaman terhadap ayat 9 surat al-Jumu‘ah (62) yang berbunyi:

Hai orang-orang yang beriman, bila kamu dipanggil untuk me- lakukan shalat Jumat, segeralah mendatanginya dan tinggalkan segala bentuk jual beli.


Azan satu kali itu di masa Nabi telah cukup untuk memberi tahu  orang  Islam untuk  menghadiri shalat  Jumat.  Pada waktu

‘Utsman ibn ‘Affan menjadi khalifah, umat Islam semakin banyak dan wilayahnya semakin luas. Kalau azan hanya satu kali saja, pemberitahuan belum  tentu  akan  merata  ke seluruh  umat  di sekitar itu. Karenanya, ‘Utsman menetapkan azan shalat Jumat menjadi dua kali. Hal ini dijelaskan dalam sebuah atsar dari Su‘eb bin Jazid menurut  riwayat  Bukhari,  Nasa‘i dan Abu Daud:

Adalah pada mulanya  azan Jumat itu bila khatib  telah duduk di atas mimbar  pada masa Rasul Allah, Abu  Bakar dan masa

‘Umar. Pada masa ‘Utsman dan telah banyak orang, ditambah azan itu menjadi tiga kali (satu kali terakhir adalah ikamah)


3. Persoalan  ketiga adalah  mengenai  pemahaman terhadap dua ayat yang terpisah.  Ayat Al-Qur’an menetapkan hukum untuk setiap kejadian  dengan hukum  tertentu secara terpisah.  Untuk penerapan ayat tersebut,  Nabi  telah  memberikan penjelasan, sehingga hukum  itu dapat  dilaksanakan menurut  apa adanya. Umpamanya hak kewarisan saudara-saudara dijelaskan  Allah dalam surat an-Nisa’/4 ayat 12 untuk  saudara seibu; ayat 176 untuk   saudara-saudara kandung atau  seayah.  Dalam  surat an-Nisa’/4  ayat 11 dijelaskan  mengenai  hak kewarisan ayah, yaitu  1/6 bagian,  bila pewaris  ada  meninggalkan anak.  Ayat

176 surat an-Nisa’ itu mengandung arti bahwa  bila ada ayah, saudara-saudara tidak  menerima  hak kewarisan, karena  ayah lebih utama  dari saudara.

Tentang kakek, tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Qur’an, namun  dalam pengertian  umum orang Arab, kakek adalah  se- bagai pengganti  ayah bila tidak ada ayah. Dalam hal ini Nabi memberikan penjelasan  dalam  hadis  dari  Amran  ibn Husein enurut  riwayat  Ahmad,  Abu Daud,  dan at-Tarmizi:

Sesungguhnya seseorang datang kepada Nabi dan berkata, “Anak dari anak saya meninggal, bagaimana harta warisannya untuk saya?” Nabi menjawab, “Untuknya seperenam.”

Kasus  bertemunya saudara-saudara dengan  kakek  dalam  satu kelompok ahli waris,  mungkin  belum  terjadi  pada  masa  Nabi hingga  tidak  ada  penjelasannya dari  Nabi.  Pada  waktu  peme- rintahan Abu Bakar, kasus ini muncul di hadapan beliau. Dengan pertimbangan bahwa  kakek  menempati kedudukan ayah  bila ayah tidak ada dan saudara tidak berhak mewaris bersama ayah, maka dalam kasus ini Abu Bakar berpendapat dan memfatwakan bahwa saudara-saudara tidak berhak menerima warisan bila ber- sama dengan kakek. Sahabat lain, di antaranya ‘Umar bin Khat- tab dengan  pertimbangan bahwa  kewarisan saudara dijelaskan dalam Qur’an  sedangkan  kakek tidak dijelaskan  dalam Qur’an, menetapkan fatwanya bahwa  saudara-saudara dapat  mewaris dan berbagi bersama  kakek.

Ayat 12 surat an-Nisa’ (4) menjelaskan saudara seibu sebagai ahli waris dzul furûdh,  yaitu 1/6 bila sendirian dan 1/3 bila bersama- sama;  sedangkan  saudara laki-laki  kandung atau  seayah  tidak dijelaskan  furudh-Nya dalam  surat  an-Nisa’ ayat 176. Kedudu- kannya sebagai “ahli waris sisa harta” (‘ashâbah) dijelaskan Nabi dalam hadis dari Ibnu Abbas melalui riwayat  muttafaq ‘alaih:

Dalam  hal ini ‘Umar menetapkan bahwa  saudara kandung ber- gabung  dengan  saudara seibu dalam  mengambil  hak 1/3 harta, yaitu hak saudara seibu.

Hak istri atas peninggalan mendiang suaminya dijelaskan secara pasti dalam Al-Qur’an,  yaitu pada surat an-Nisa’ (4): 12, yaitu

1/4 bagian  bila suami  tidak  meninggalkan anak  dan  1/8 bila suami meninggalkan anak. Istri ini tidak mendapat hak apa-apa bila sebelum suami mati si istri telah dicerai lebih dahulu.

Tentang  bagaimana kalau  suami  menceraikan istrinya  dalam keadaan sakit keras dan dapat  diperkirakan maksud  mencerai- kan  itu adalah  untuk  menghindarkan istri dari  hak  kewarisan. Dalam  hal ini, timbul  perbedaan pendapat di kalangan sahabat karena  khusus  untuk  ini tidak  ada penjelasan  hukum  sebelum- nya. ‘Utsman ibn ‘Affan berpendapat dan menetapkan fatwanya bahwa si istri berhak  atas warisan suaminya,  sebagaimana terse- but  dalam  riwayat  bahwa  Abdurrahman ibn Auf menceraikan istrinya ketika ia sedang sakit. ‘Utsman memberikan warisan un- tuk istrinya yang tertalak itu menurut kadar  yang berlaku.

‘Idah wanita  yang diceraikan  suaminya  dalam  keadaan hamil dijelaskan  Allah dalam  surat  at-Thalaq  (65): 4, yaitu  sampai melahirkan anak:

Tetapi  tidak  ada  penjelasan  yang pasti  dari  Allah maupun dari Nabi  tentang  ‘idah wanita  yang kematian suami dalam  keadaan hamil; apakah menggunakan ayat 4 surat at-Thalaq meskipun be- lum 4 bulan 10 hari sebagaimana yang dikehendaki ayat 234 surat al-Baqarah (2). Atau menggunakan ayat 234 surat al-Baqarah (2) meskipun  anaknya  belum lahir sebagaimana yang dituntut surat al-Thalaq (65): 4. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan sahabat. ‘Ali ibn Abi Thalib berpendapat dan berfatwa bahwa  ‘idah wanita  itu adalah  masa  yang terpanjang di antara dua masa itu. Dasar pertimbangannya adalah kehati-hatian dalam mengamalkan dua ayat tersebut  di atas. Ulama lain di antaranya

‘Umar Ibn Khattab berpendapat bahwa ‘idahnya tetap melahirkan anak, meskipun belum sampai masanya 4 bulan 10 hari.


Demikianlah sekadar contoh pemikiran sahabat tentang hukum, baik  dalam  hal tidak  ada  dalil tertulis  yang menjelaskannya, atau keadaan sudah  berubah yang menghendaki perubahan pemikiran; atau dalam bentuk ketiga yaitu penerapan ayat terhadap dua kejadian yang bergabung. Pemikiran ini menghasilkan pendapat berbeda yang pada  akhirnya menghasilkan pihak-pihak yang  berbeda,  masing- masing  diikuti  para  pengikutnya. Perbedaan  ini pada  umumnya disebabkan oleh karena  tidak  adanya  petunjuk yang pasti dari Al- Qur’an  dan tidak ada pula penjelasan  dari Nabi.

Di antara perbedaan pendapat yang berkembang di kalangan sahabat dalam memahami hukum Allah, terkadang terdapat kesamaan pendapat di kalangan mereka.  Kesamaan  pendapat ini di kemudian hari diistilahkan dengan “ijma’”.  Kesamaan ini mungkin munculnya dari pemahaman dan penerimaan bersama atas keterangan Nabi yang kurang kuat sandarannya. Bentuk ini disebut kesamaan atau ijma’ yang menyandarkan diri kepada nash atau petunjuk yang ada. Umpamanya dalam  menetapkan hak kewarisan nenek atas harta  warisan  sebesar1/6 bagian.  Memang  untuk  ini ada petunjuk dari Nabi yang berasal dari Qubeisah Ibn Zueb menurut  riwayat  ashhâb al-khamsah  selain Nasa‘i dan disahkan Tarmizi.

Jelas hadis  itu  kurang  kuat  sandarannya karena  Abu  Bakar sendiri sampai tidak mengetahui hadis itu. Namun setelah diterima hadis itu oleh Abu Bakar dengan kesaksian dua orang sahabat yaitu Mughirah ibn Syu’bah dan Muhammad ibn Maslamah, Abu Bakar menetapkan hak nenek sebesar 1/6. Apa yang telah disampaikan Abu Bakar itu ternyata diterima  (disetujui)  semua pihak  sehingga menjadi ijmâ’ shahabat.

Bentuk kesamaan pendapat kedua adalah  kesamaan yang me- mang sama sekali tidak menyandarkan diri kepada dalil mana pun, ia semata-mata hasil pendapat yang kemudian didukung pendapat- pendapat yang lain. Umpamanya wanita hamil dari perbuatan zina dibolehkan kawin menurut ijma’ sahabat. Kasus ini muncul di masa Umar. Ia menetapkan bolehnya wanita tersebut kawin di depan para sahabat lainnya, dan ternyata tidak ada yang menolaknya. Hal ini berarti  ijmâ’ sukûtî  di kalangan sahabat.

Dari uraian di atas dapat dipahami  bahwa pada masa sahabat, sumber yang digunakan dalam merumuskan fiqh adalah Al-Qur’an, penjelasan Nabi yang disebut sunah, dan ijtihad yang terbatas pada qiyas serta ijmâ’ shahabat. Bila pada masa Nabi proses penetapan fiqh disebut pembinaan fiqh, maka pada masa sahabat disebut pe- riode pengembangan fiqh.


3. Fiqh pada Masa Imam Mujtahid


Bila pada masa Nabi sumber fiqh adalah Al-Qur’an, maka pada masa sahabat dikembangkan dengan dijadikannya petunjuk Nabi dan ijtihad sebagai sumber penetapan fiqh. Sesudah masa sahabat, penetapan fiqh dengan  menggunakan sunah  dan ijtihad  ini sudah begitu berkembang dan meluas. Dalam kadar penerimaan dua sum- ber itu terlihat  kecenderungan mengarah pada dua bentuk.

Pertama, dalam menetapkan hasil ijtihad lebih banyak menggunakan hadis  Nabi  dibandingkan dengan  menggunakan ijtihad,  meskipun keduanya tetap dijadikan sumber. Kelompok yang menggunakan cara ini biasa disebut “Ahl al-Hadîs”. Kelompok ini lebih banyak tinggal di wilayah Hijaz, khususnya  Madinah.

Kedua,  dalam  menetapkan fiqh  lebih  banyak  menggunakan sumber  ra’yu atau  ijtihad  ketimbang  hadis,  meskipun  hadis  juga banyak digunakan. Kelompok ini disebut “Ahl al-Ra’yi”. Kelompok

ini lebih  banyak  mengambil  tempat  di wilayah  Irak,  khususnya

Kufah dan Basrah.


Munculnya dua kecenderungan ini dapat  dipahami, terutama karena  adanya  dua latar belakang  historis dan sosial budaya  yang berbeda.  Ahl  al-Hadîs  muncul  di wilayah  Hijaz  adalah  karena Hijaz  khususnya  Madinah dan  Mekah  adalah  wilayah  tempat Nabi bermukim  dalam mengembangkan Islam. Dengan demikian, orang-orang Islam di wilayah ini lebih banyak mengetahui tentang kehidupan Nabi  dan  dengan  sendirinya  banyak  mendengar dan mengetahui hadis dari Nabi.  Sebaliknya,  Irak atau  Kufah, karena jauhnya  lokasi dari wilayah  kehidupan Nabi,  maka  pengetahuan mereka akan hadis Nabi tidak sebanyak yang diperoleh orang Islam di Hijaz.  Di samping  itu, kehidupan sosial dan  muamalat begitu luas serta kompleks  karena  lokasinya  yang lebih maju dari Hijaz. Untuk  mengatasi  itu semua mereka  lebih banyak  dan lebih sering menggunakan ijtihad  dalam  penetapan fiqh. ljtihad  itu pun tidak lagi terbatas pada penggunaan metode qiyâs sebagaimana berlaku pada  masa sebelumnya.  Kedua aliran  ini sama-sama berkembang dengan pesat. Masing-masing melahirkan madrasah-madrasah fiqh dan menghasilkan para ahli fiqh.

Kelompok  “Ahl   al-Hadîs”  menonjolkan dua  madrasah, yaitu Madrasah Madinah dan Madrasah Mekah.  Dari Madrasah Madinah muncul  para  fuqaha  terkemuka, seperti: Aisyah ummul Mukminin; Abdullah  ibn ‘Umar ibn Khattab; Abu Hurairah; Said ibn Musayyab; Urwah ibn Zuber;  Abu Bakar ibn Abd al-Rahman; Ali ibn  Husein;  Ubaidullah ibn  Abdullah;  Salim ibn  Abdullah; Sulaiman  ibn Yassar, Qasim  ibn Ahmad;  Nafi’ Maula  ibn ‘Umar; Muhammad ibn Salim; Abu Ja’far; Abu Zinad;  Yahya ibn Zaid al- Anshari; Rabi‘ah ibn ‘Abdurrahman.

Madrasah Mekah  menghasilkan fuqaha  sebagai berikut:  Ab- dullah  ibn Abbas;  Mujahid; Ikrimah,  Atha’ ibn Abi Rabah;  dan Abu Zubeir. Hasil dari tempaan Madrasah Madinah dan Mekah ini muncul seorang  mujtahid besar ahli hadis,  yaitu  Malik  bin Anas yang ke- mudian  diikuti kelompok  besar yang disebut Mazhab  Malikiyyah.

Ahl al-Ra’yi menampilkan dua Madrasah besar, yaitu: Madrasah Kufah dan Madrasah Basrah di wilayah Irak. Dari Madrasah Kufah muncul mujtahid ahl al-ra’yi, seperti: ‘Alqamah ibn Qeis; Masruk bin Ajda’; ‘Ubaidah ibnu ‘Umar; Aswad ibn Yazid al-Nakha‘i; Ibrahim al-Nakha‘i, Said ibn Zubeir; ‘Amir al-Sya’bi. Sedangkan Madrasah Basrah menghasilkan mujtahid yang terbesarnya, yaitu: Anas ibn Malik. Dari para fuqaha Madrasah Irak ini muncul mujtahid besar ahl al-ra’yi yaitu Abu Hanifah dengan  banyak  pengikutnya, yang disebut ulama Mazhab  Hanafiyyah.

Kemudian, pada pertengahan abad kedua Hijriah tampil seseorang mujtahid besar yang pernah  menggali pengetahuan dan pengalaman dari Madrasah Hijaz dan juga dari Madrasah Irak, yaitu Imam Abu

‘Abdillah Muhammad ibn Idris al-Syafi‘i.


Iman Syafi‘i mencoba mengambil jalan tengah antara pendapat kelompok ahl al-hadîs dan ahl al-ra’yi. Beliau menggunakan lebih banyak sumber ra’yu, tetapi tidak seluas yang digunakan kelompok ahl al-ra’yi, dan dalam waktu yang sama banyak pula menggunakan sumber  hadîs, tetapi  tidak  seluas yang digunakan ahl al-hadîs. Ia mengambil sikap kompromi dan pengembangan antara aliran ra’yu dan aliran hadîs. Metode Imam Syafi‘i ini berkembang dengan pesat dan  mempunyai  pengikut  yang banyak,  baik  di Irak  maupun di Mesir, yang kemudian disebut Mazhab  Syafi‘iyyah.

Di antara pengikut terkemuka Iman Syafi‘i yang kemudian lebih mewarnai pendapatnya dengan  hadis  ialah  Ahmad  bin  Hanbal, yang kemudian mempunyai banyak pengikut, yang disebut Mazhab Hanabilah.

Di samping itu, tampil pula mujtahid yang dalam pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an  lebih banyak  berpedoman kepada  lahir lafaz dan menghindarkan diri dari membawa  pemahamannya keluar (di balik) lahir lafaz. Tokoh yang masyhur pengembang cara pemikiran ini adalah  Daud  bin ‘Ali yang juga mempunyai  banyak  pengikut, dan  berkembang sampai  waktu  ini. Aliran  ini kemudian disebut Mazhab  Zhahiriyyah.

Kelima aliran  tersebut  berada  dalam  lingkup  aliran  kalam  Ahl al-sunah wa al-Jama’ah. Aliran fiqh yang juga muncul dalam masa ini

adalah Mazhab Syi‘ah yang dapat bertahan sampai waktu ini. Mazhab terbesar dari kelompok ini, adalah Mazhab Syi‘ah Imamiyah.

Setiap aliran fiqh tersebut mengembangkan paham dan metode pemikirannya yang kemudian tersebar  luas melalui  murid-murid mujtahid dan di kalangan para pengikutnya. Suatu hal yang patut dipahami dan digarisbawahi bahwa mereka itu berbeda pandangan (pendapat) hanya dalam masalah furû’ (cabang, bukan pokok); dan mereka tidak berbeda dalam masalah pokok/inti agama yang telah diterangkan Allah dalam Al-Qur’an secara jelas dan pasti.

Periode ini ditandai oleh beberapa kegiatan ijtihad yang meng- hasilkan  fiqh dalam bentuknya yang mengagumkan.

Pertama, kegiatan menetapkan metode berpikir dalam memahami sumber  hukum.  Untuk  maksud  ini para  ulama  menyusun  kaidah- kaidah yang dapat mengarahkan mereka dalam usaha mengistinbath- kan hukum  dari dalil yang sudah  ada. Kaidah ini kemudian disebut Ushul Fiqh. Dengan kaidah ushul ini secara sistematis ulama mujtahid dapat memahami maksud Allah yang tertuang dalam ayat-ayat hukum. Perbedaan  dalam  penentuan kaidah  ini pada  dasarnya menentukan perbedaan ulama dalam formulasi fiqh. Ushul fiqh yang telah tersusun dalam bentuk ilmu yang sistematis muncul dalam karya Imam Syafi‘i yang bermanaAl-Risâlah.

Kedua, kegiatan penetapan istilah-istilah hukum yang digunakan dalam  fiqh. Pada mulanya  umat Islam dengan  taat  melaksanakan perintah-perintah Allah  dalam  Qur’an  atau  suruhan Nabi  yang tersebut dalam sunah-Nya, meskipun belum mengenal istilah-istilah hukum.  Demikian  pula  ketaatan mereka  dalam  menjauhi  semua yang dilarang  syara’.

Untuk  memudahkan umat  Islam dalam  memahami perintah dan larangan syara’, ulama mujtahid mencoba memberi istilah ter- hadap  setiap  hukum  syara’ yang berkenaan dengan  tingkah  laku mujtahid. Pada waktu ini dipisahkan antara perbuatan yang wajib, sunah, makruh, haram, dan mubah. Dikembangkan pula pengertian tentang  syarat, rukun,  sebab, mani’, shah, batal, halal, dan haram. Dengan demikian, setiap umat dapat menempatkan tingkah lakunya dalam  hubungannya dengan  kepatuhan terhadap hukum  syara’ kepada  istilah-istilah tersebut.

Ketiga, menyusun  kitab  fiqh secara sistematis,  yang tersusun dalam bab dan pasal; bagian dan subbagian yang mencakup semua masalah hukum, baik yang berkenaan dalam hubungannya dengan Allah, maupun dalam hubungannya dengan manusia dan alam ling- kungannya; masing-masing sesuai dengan metode dan cara berpikir imam mujtahidnya.


4. Fiqh dalam Periode Taklid


Akhir dari masa gemilang ijtihad pada periode imam mujtahid ditandai dengan telah tersusunnya secara rapi dan sistematis kitab- kitab  fiqh  sesuai  dengan  aliran  berpikir  mazhab  masing-masing. Dari  satu  segi, pembukuan fiqh ini ada  dampak positifnya  yaitu kemudahan bagi umat Islam dalam beramal, karena semua masalah agama  telah dapat  mereka  temukan jawabannya dalam  kitab  fiqh yang ditulis para mujtahid sebelumnya. Tetapi dari segi lain, terdapat dampak negatifnya yaitu terhentinya daya ijtihad, karena orang tidak merasa  perlu  lagi berpikir  tentang  hukum,  sebab  semuanya  sudah tersedia jawabannya.

Kegiatan ijtihad pada masa ini terbatas pada usaha pengembangan, pensyarahan dan perincian  kitab  fiqh dari imam mujtahid yang ada (terdahulu), dan tidak muncul lagi pendapat atau pemikiran  baru.

Kitab fiqh yang dihasilkan para mujtahid terdahulu diteruskan dan dilanjutkan oleh pengikut mazhab kepada generasi sesudahnya, tanpa  ada  maksud  untuk  memikirkan atau  mengkajinya kembali secara kritis  dan  kreatif  meskipun  situasi dan  kondisi  umat  yang akan  menjalankannya sudah  sangat  jauh berbeda  dengan  kondisi di saat fiqh itu dirumuskan oleh imam mujtahid. Karena itu sudah mulai banyak  ketentuan-ketentuan fiqh lama itu yang tidak dapat diikuti  untuk  diterapkan secara praktis.  Selain itu, sangat  banyak masalah  fiqh yang tidak  dapat  dipecahkan hanya  dengan  semata membolak-balik kitab-kitab fiqh yang ada itu. Jika pada masa imam mujtahid, fiqh yang disusunnya itu berjalan  secara praktis  dengan daya aktualitas yang tinggi, maka pada masa berikutnya, fiqh dalam bidang-bidang tertentu sudah kehilangan daya aktualitasnya

5.   Reformulasi Fiqh Islam


Dalam satu segi, umat Islam menginginkan kembali kehidupannya diatur oleh hukum Allah. Tetapi dari segi lain, kitab-kitab fiqh yang ada pada waktu  ini-yang merupakan formulasi  resmi dari hukum syara’-belum  seluruhnya memenuhi  keinginan  umat  Islam,  oleh karena  kondisi  sekarang  yang sudah  jauh berbeda  dengan  kondisi ulama mujtahid ketika mereka memformulasikan kitab fiqh itu.

Keadaan  demikian  itu mendorong para  pemikir  muslim  untuk menempuh usaha reaktualisasi hukum yang dapat menghasilkan formulasi fiqh yang baru,  sehingga dapat  menuntun kehidupan keagamaan dan keduniaan umat Islam, sesuai dengan persoalan zamannya.



C. Pengertian dan Ruang Lingkup Ushul Fiqh



1. Latar Belakang


Pada waktu Nabi Muhammad SAW. masih hidup, segala persoalan hukum yang timbul langsung ditanyakan kepada beliau. Beliau mem- berikan  jawaban  hukum  dengan menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam  keadaan tertentu yang tidak  ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an, beliau memberikan jawaban melalui penetapan beliau yang disebut hadis atau sunah. Al-Qur’an dan penjelasannya dalam bentuk hadis disebut “Sumber Pokok Hukum  Islam”.

Al-Qur’an  turun  dalam  bahasa  Arab. Demikian  pula hadis yang disampaikan Nabi, juga berbahasa Arab. Para sahabat Nabi mempunyai pengetahuan yang luas tentang bahasa Arab itu sebagai bahasa ibunya. Mereka  mengetahui secara baik arti setiap lafaz-nya dan maksud  dari setiap ungkapannya. Pengalaman  mereka dalam menyertai kehidupan Nabi dan pengetahuan mereka tentang sebab-sebab serta latar belakang turunnya ayat-ayat hukum  memungkinkan mereka  mengetahui rahasia  dari setiap hukum  yang ditetapkan Allah. Karenanya, mereka tidak  merasa  memerlukan sesuatu  di balik  itu dalam  usaha  mereka memformulasikan hukum dari sumbernya yang telah ada, sebagaimana mereka tidak memerlukan kaidah bahasa dalam memahami Al-Qur’an dan hadis Nabi yang berbahasa Arab itu.

Bila para sahabat Nabi menemukan kejadian  yang timbul dalam kehidupan mereka dan memerlukan ketentuan hukumnya, mereka men- cari jawabannya dalam Al-Qur’an. Bila tidak menemukan jawabannya secara harfiah  dalam Al-Qur’an, mereka mencoba  mencarinya dalam koleksi hadis Nabi. Bila dalam hadis Nabi tidak juga mereka temukan jawabannya, mereka menggunakan daya nalar yang dinamakan ijtihad. Dalam berijtihad itu mereka mencari titik kesamaan dari suatu kejadian yang dihadapinya itu dengan  apa-apa yang telah  ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadis. Mereka selalu mendasarkan pertimbangan pada usaha  “memelihara kemaslahatan umat” yang menjadi  dasar  dalam penetapan hukum syara’.

Dengan cara seperti itulah Muaz ibn Jabal memberikan jawaban kepada Nabi dalam dialog di antara keduanya sewaktu Muaz diutus Nabi ke Yaman untuk  menduduki jabatan qadhi.

Nabi   :   “Bagaimana cara Anda menetapkan hukum  bila kepada Anda dihadapkan perkara yang memerlukan ketetapan hukum?”

Muaz  :   “Aku menetapkan hukum  berdasarkan Kitab Allah.”


Nabi    :   “Bila Anda tidak  menemukan jawabannya dalam  Kitab

Allah?”


Muaz  :   “Aku menetapkan hukum  dengan sunah Nabi.”


Nabi    :   “Bila dalam sunah, Anda juga tidak menemukannya?”


Muaz  :   “Aku melakukan ijtihad dan aku tidak akan gegabah da- lam ijtihadku.”


Jawaban Muaz  dengan  urut-urut seperti  itu  mendapat pe- ngakuan dari Nabi Muhammad SAW..

Allah SWT. dalam surat an-Nisa’(4):  59 berfirman:




Hai orang-orang yang beriman,  patuhlah  kamu  kepada Allah dan  patuhlah  kamu  kepada  Rasul  dan  orang-orang  yang

memimpin urusanmu. Bila kamu  berselisih pendapat  tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.


Suruhan Allah dalam ayat ini untuk menaati Allah dan Rasul-Nya berarti perintah untuk mengikuti apa-apa yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi. Suruhan untuk menaati ulil amri berarti perintah untuk mengikuti kesepakatan para ulama mujtahid dalam menetapkan hukum, karena  mereka adalah  orang-orang yang mengurus kepentingan umat Islam dalam  bidang  hukum.  Suruhan  untuk  memulangkan hal dan urusan  yang diperselisihkan kepada  Allah dan Rasul berarti  perintah untuk  menggunakan qiyâs  (daya  nalar)  dalam  hal-hal  yang tidak ditemukan jawabannya dalam  Al-Qur’an,  hadis,  dan tidak  ada  pula ijmâ’ atau kesepakatan ulama mujtahid. Dengan demikian, dalil hukum syara’ yang disepakati di kalangan ulama jumhur  adalah  empat yaitu Al-Qur’an, hadis atau sunah, Ijma’, dan Qiyâs.

Setelah masa gemilang itu berlalu, datanglah suatu masa di mana umat Islam sudah bercampur baur antara orang-orang yang berbahasa Arab dan memahaminya secara baik dengan orang-orang yang tidak berbahasa Arab atau tidak memahaminya secara baik. Waktu itu bahasa Arab menjadi sesuatu yang harus dipelajari untuk  memahami hukum- hukum Allah. Karenanya para ahli berusaha menyusun kaidah-kaidah untuk  menjaga seseorang dari kesalahan dalam memahami Al-Qur’an dan hadis yang keduanya adalah sumber pokok ajaran Islam.

Kemudian  para ulama mujtahid merasa perlu menetapkan dan menyusun  kaidah  atau  aturan permainan yang dijadikan  pedoman dalam merumuskan hukum dari sumber-sumbernya dengan memer- hatikan asas dan kaidah yang ditetapkan ahli bahasa yang memahami dan  menggunakan bahasa  Arab  secara  baik.  Di samping  itu, juga memerhatikan jiwa syariah dan tujuan Allah menempatkan mukalaf dalam  tanggung  jawab  hukum.  Kaidah  dalam  memahami hukum Allah dari sumbernya itulah yang disebut ushul fiqh.


2. Pengertian Ushul Fiqh


Kata “ushul fiqh” adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul”

dan kata  “fiqh”. Kata “fiqh” secara etimologi berarti  “paham yang

mendalam”. Kata  ini muncul  sebanyak  20  kali  dalam  Al-Qur’an dengan arti paham  itu, umpamanya dalam surat al-Kahfi (18): 93:

“dalil  syara’” itu ada aturannya dalam  bentuk  kaidah,  umpamanya: “Setiap perintah itu menunjukkan wajib”. Pengetahuan tentang kaidah- kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut “Ilmu Ushul Fiqh”.

Dari penjelasan sederhana di atas dapat diketahui perbedaan ushul fiqh dari fiqh. Ushul fiqh adalah pedoman atau aturan-aturan yang membatasi dan menjelaskan cara-cara  yang harus diikuti seorang fakih dalam usahanya  menggali dan mengeluarkan  hukum syara’ dari dalilnya; sedangkan fiqh ialah hukum-hukum syara’ yang telah digali dan dirumuskan dari dalil-dalil menurut aturan yang sudah ditentukan itu.

Adapun perbedaan antara “ushul fiqh” dengan “kaidah fiqhiyah” terletak  pada  lingkup  bahasannya. Kaidah  fiqhiyah  berada  dalam lingkup bahasan fiqh, bukan  dalam lingkup bahasan ushul fiqh. Usul fiqh menjelaskan  ketentuan atau  aturan yang harus  diikuti  seorang mujtahid untuk menghindarkan dirinya dari kesalahan dalam usahanya merumuskan hukum syara’ dari dalilnya. Adapun kaidah fiqhiyah adalah kumpulan hukum-hukum kesamaan yang setiap hal dirujukkan kepada satu pola yang sama; seperti kaidah khiyâr, atau kaidah-kaidah fasakh secara umum.


3. Perkembangan Ushul Fiqh


Ilmu ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari ushul fiqh. Sebenarnya  keberadaan fiqh harus  didahului oleh ushul fiqh, karena ushul fiqh itu adalah ketentuan atau kaidah yang harus diikuti mujtahid pada waktu menghasilkan fiqhnya. Namun dalam perumusannya ushul fiqh datang belakangan.

Perumusan fiqh  sebenarnya sudah  dimulai  langsung  sesudah Nabi  wafat,  yaitu  pada  periode  sahabat. Pemikiran  dalam  ushul fiqh telah  ada  pada  waktu  perumusan fiqh itu.  Para  sahabat-di antaranya Umar  Ibn  Khattab, Ibnu  Mas‘ud,  ‘Ali ibn  Abi Thalib umpamanya-pada waktu  mengemukakan pendapatnya tentang hukum,  sebenarnya sudah  menggunakan aturan atau  pedoman dalam  merumuskan hukum,  meskipun  secara  jelas mereka  tidak mengemukakan demikian.

Sewaktu  ‘Ali ibn Abi Thalib  menetapkan hukuman cambuk sebanyak 80 kali terhadap peminum  khamar, beliau berkata, “Bila ia minum ia akan mabuk dan bila ia mabuk, ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak benar; maka kepadanya diberikan sanksi tuduhan berbuat zina.”  Dari  pernyataan ‘Ali itu, akan  diketahui bahwa ‘Ali rupanya menggunakan kaidah menutup pintu kejahatan yang akan timbul atau “sad al-dzari‘ah”.

‘Abdullah  ibn  Mas’ud  sewaktu  mengemukakan pendapatnya tentang wanita hamil yang kematian suami ‘idahnya adalah melahirkan anak, mengemukakan argumennya dengan Firman Allah dalam surat at-Thalaq  (85) ayat 4, meskipun  juga ada Firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) yang menjelaskan  bahwa  istri yang kematian suami

‘idahnya empat bulan sepuluh hari. Dalam menetapkan pendapat ini beliau mengatakan bahwa ayat 4 surat at-Thalaq datang sesudah ayat

234 surat al-Baqarah (2).


Dari tindakan Ibnu Mas’ud tersebut kelihatan bahwa dalam me- netapkan fatwanya itu ia menggunakan kaidah ushul, tentang nasakh- mansûkh, yaitu  bahwa  dalil yang datang  kemudian menasakhkan dalil yang datang  terdahulu. Dari apa yang dilakukan lbnu Mas‘ud ini dan  juga  dari  apa  yang dilakukan ‘Ali ibn  Abi Thalib  dalam contoh di atas kita dapat memahami bahwa para sahabat dalam me- lakukan ijtihad  mengikuti  suatu  pedoman  tertentu meskipun  tidak dirumuskan secara jelas.

Pada  periode  tabi‘în  lapangan istinbath  atau  perumusan hukum semakin meluas karena begitu banyaknya peristiwa hukum yang bermunculan. Dalam masa itu beberapa orang ulama tabi‘in tampil  sebagai  pemberi  fatwa  hukum  terhadap kejadian  yang muncul; umpamanya Sa‘id ibn Musayyab  di Madinah dan lbrahim al-Nakha‘i  di lrak.  Masing-masing ulama  ini mengetahui secara baik  ayat-ayat hukum  dalam  Al-Qur’an  dan  mempunyai  koleksi yang lengkap  tentang  hadis Nabi.  Jika mereka  tidak  menemukan jawaban  hukum dalam Al-Qur’an atau hadis, sebagian dari mereka mengikuti metode maslahat dan sebagian mengikuti metode qiyas. Usaha  istinbath  hukum  yang  dilakukan Ibrahim  al-Nakha‘i  dan ulama  Irak lainnya  mengarah kepada  mengeluarkan ‘Illat hukum

dari nash dan menerapkannya terhadap peristiwa  yang lama yang baru bermunculan kemudian hari.

Dari keterangan di atas jelaslah bahwa metode yang digunakan dalam  merumuskan hukum  syara’ semakin  memperlihatkan ben- tuknya. Perbedaan metode yang digunakan menyebabkan timbulnya perbedaan aliran dalam fiqh.

Abu Hanifah dalam usaha merumuskan fiqhnya menggunakan metode tersendiri. Ia menetapkan Al-Qur’an sebagai sumber pokok, kemudian hadis  Nabi,  berikutnya fatwa  sahabat.  Ia mengambil hukum-hukum yang telah disepakati para sahabat. Dalam hal-hal yang ulama sahabat berbeda pendapat, ia memilih satu di antaranya yang dianggap lebih kuat. Abu Hanifah tidak mengambil pendapat ulama  tabi‘in  sebagai  dalil  dengan  pertimbangan bahwa  ulama tabi‘in itu berada dalam satu ranking dengannya. Metodenya dalam menggunakan qiyâs dan istihsân terlihat  nyata sekali.

Imam  Malik  menempuh metode  ushuli  yang lebih jelas meng- gunakan tradisi  yang hidup  di kalangan penduduk Madinah, se- bagaimana dinyatakan dalam buku dan risalahnya. Terlihat usahanya menolak  hadis  yang dihubungkan kepada  Nabi  karena  hadis  itu menyalahi nash Al-Qur’an. Imam Malik lebih banyak  menggunakan hadis  ketimbang  Abu Hanifah; mungkin  karena  begitu  banyaknya hadis yang dia temukan. Dalam  penggunaan qiyâs, ia memberikan persyaratan yang begitu berat. Tetapi di balik itu, Imam Malik meng- gunakan maslahat  mursalah  yang tidak  digunakan ulama  jumhur; sebagai imbangan dari istihsân yang digunakan Abu Hanifah. Metode yang  digunakan Imam  Malik  dalam  merumuskan hukum  syara’ merupakan pantulan dari  aliran  Hijaz,  sebagaimana metode  yang digunakan Abu Hanifah merupakan pantulan dari aliran Irak.

Setelah Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, tampil Imam Syafi‘i. Ia menemukan dalam  masanya  perbendaharaan fiqh yang sudah berkembang semenjak periode sahabat, tabi‘in, dan imam-imam yang mendahuluinya. Ia menemukan perbincangan tentang  fiqh begitu meriah  yang diwarnai diskusi dan polemik  yang menarik  di antara tokoh-tokoh yang berbeda pendapat. Perdebatan terbuka berlangsung di antara kubu  Madinah dan  kubu  Irak.  Imam  Syafi‘i menggali

pengalaman dalam berbagai diskusi di tengah pendapat yang berbeda itu. Ia memiliki pengetahuan tentang  fiqh Maliki  yang diterimanya langsung  dari  Imam  Malik.  Ia juga sempat  menimba  pengetahuan dan pengalaman dari Muhammad ibn Hasan al-Syaibani (murid Abu Hanifah) sewaktu ia berada di Irak. Selain itu, ia pun mendalami fiqh ulama Mekah tempat ia lahir dan berkembang. Modal pengalaman dan pengetahuannya yang luas dan mendalam itu, memberi petunjuk kepada Imam Syafi‘i untuk  meletakkan  pedoman  dan  neraca  berpikir  yang menjelaskan  langkah-langkah yang harus  dilakukan  mujtahid  dalam merumuskan hukum dari dalilnya. Metode berpikir yang dirumuskan Imam Syafi‘i itulah yang kemudian disebut “ushul fiqh”.

Imam  Syafi‘i pantas  disebut  sebagai  orang  pertama yang me- nyusun sistem metodologi berpikir tentang hukum Islam, yang kemudian populer  dengan sebutan  ushul fiqh; sehingga tidak  salah ucapan seseorang orientalis Inggris, N. J. Coulson, yang mengatakan bahwa  Imam  Syafi‘i adalah  arsitek  ilmu  fiqh.  Hal  ini bukanlah berarti beliau yang merintis dan mengembangkan ilmu tersebut. Jauh sebelumnya,  mulai  dari  para  sahabat, tabi‘in,  bahkan di kalangan imam mujtahid belakangan seperti Abu Hanifah, Imam Malik  dan juga di kalangan ulama Syi‘ah seperti Muhammad al-Baqir dan Ja’far al-Shadiq sudah  menemukan dan menggunakan metodologi dalam perumusan fiqh.  Tetapi  mereka  belum  menyusun  ilmu itu  secara sistematis sehingga dapat  disebut sebagai ilmu yang berdiri sendiri.

Kemampuan Imam Syafi‘i dalam melahirkan ilmu ushul fiqh ini ditopang beberapa faktor  yang ada pada  diri dan pengalamannya. Pengalamannya yang lama di pedesaan Arab memungkinkannya me- nimba  pengetahuan tentang  bahasa  Arab bahkan ia menjadi  salah seorang ahli Lisân al-‘Arab. Dengan ilmu ini ia memiliki kemampuan yang tinggi dalam merumuskan kaidah untuk mengeluarkan hukum syara’ dari teks Al-Qur’an dan hadis yang keduanya berbahasa Arab orisinal.

Selama keberadaannya di Mekah,  Imam Syafi‘i mewarisi  ilmu Al-Qur’an dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas yang memungkinkannya untuk mengenal  nasikh-mansûkh dalam  Al-Qur’an. Di samping  itu,  ia berkesempatan pula mendalami hadis Nabi  dari ulama  hadis yang

memungkinkannya mengenal  kedudukan sunah  bagi  Al-Qur’an sehingga beliau dapat menyelesaikan pendapat dan anggapan adanya pertentangan antara Al-Qur’an dengan Hadis Nabi. Penguasaannya yang baik terhadap fiqh aliran  tradisionalis (Hijaz) dan fiqh aliran rasionalis (Irak) merupakan modal dasar penyusunan kaidah-kaidah dalam  menggunakan qiyâs.  Dengan  segenap  kemampuannya itu, Imam Syafi‘i berhasil menyusun  metodologi yang sistematis  dalam merumuskan hukum  syara’.

Sepeninggal Imam Syafi‘i pembicaraan tentang  ushul fiqh se- makin  menarik,  dan  ushul  fiqh itu sendiri  semakin  berkembang. Pada  dasarnya ulama  fiqh pengikut  imam  mujtahid yang datang kemudian mengikuti dasar-dasar yang sudah disusun Imam Syafi‘i. Dalam  pengembangannya terlihat  adanya  perbedaan arah  yang menyebabkan perbedaan dalam ushul fiqh.

Sebagian ulama yang kebanyakan pengikut Imam Syafi‘i mencoba mengembangkan ushul  fiqh Syafi‘i dengan  cara,  antara lain: men- syarahkan, memerinci  yang bersifat  garis besar,  mempercabangkan pokok pikiran Imam Syafi‘i, sehingga ushul fiqh Syafi‘iyyah menemukan bentuknya yang sempurna.

Sebagian ulama  mengambil  sebagian  dari pokok-pokok pikiran Imam Syafi‘i itu dan tidak mengikutinya dalam bagian lain yang bersifat rincian. Sebagai ganti dari yang tidak diikutinya itu ditambahkannya hal-hal yang sudah menjadi dasar bagi pikiran imam mereka. Kelompok ulama Hanafiyah mengambil sebagian yang dasar-dasarnya diletakkan Imam  Syafi‘i, kemudian mereka  menambahkan pemikiran tentang istihsan  dan ‘urf yang diambil  dari imam mereka.  Kelompok  ulama Malikiyah, di samping mengikuti beberapa dasar yang diletakkan Imam Syafi‘i, mereka tidak mengikuti  pendapat Syafi‘i yang menolak ijmâ’ ahli Madinah dan memasukkan tambahan berupa maslahat mursalah serta prinsip penetapan hukum berdasarkan sad al-dzarâ‘i.

Pada prinsipnya fuqaha mazhab yang empat tidak berbeda dengan dasar  yang ditetapkan Imam  Syafi‘i tentang  penggunaan dalil yang empat, yaitu: Al-Qur’an, hadis, Ijma’ dan Qiyas, meskipun dalam kadar penggunaannya terdapat perbedaan. Di samping  itu, masing-masing menggunakan dalil tambahan yang tidak digunakan ulama lainnya.

Meskipun kemudian sesudah meninggalnya  imam-imam  muj- tahid  yang  empat  dinyatakan bahwa  kegiatan  ijtihad  terhenti, namun  sebenarnya yang terhenti  adalah  kegiatan  ijtihad  mutlaq sedangkan ijtihad terhadap ushul mazhab yang tertentu masih tetap berlangsung  yang  masing-masing mengarah kepada  menguatnya ushul fiqh yang dirintis para imam pendahulunya.

Sesudah melembaganya mazhab-mazhab fiqh, maka  arah  pe- ngembangan ushul fiqh terlihat  dalam dua bentuk  yang berbeda.

Pertama, arah pemikiran murni, yaitu penyusunan kaidah  ushul yang tidak terpengaruh kepada furu’ mazhab mana pun. Perhatian pembahasan dalam  hal ini mengarah kepada  penerapan kaidah  dan menguatkannya, tanpa  terikat  pada  amal  yang berkembang di ka- langan  mazhab.  Perkembangan ushul fiqh menurut  arah  ini disebut ushul fiqh Syafi‘iyah atau ushul fiqh aliran Mutakallimin. Penamaan ulama Mutakallimin atau ulama kalam tersebut, dalam hal ini karena pemikiran ulama  kalam  di bidang  ini mengelompok dalam  aliran ushul fiqh. Di antara buku ushul fiqh yang disusun menurut  metode ini adalah:

1. Kitab al-Mu’tamad karangan Abu Hasan al-Bashri yang dalam aliran kalam beraliran Mu’tazilah;

2. Kitab al-Burhân karangan Imam al-Haramain; dan


3. Kitab al-Mustashfâ karangan al-Ghazali.


Ketiga kitab tersebut oleh ulama yang datang kemudian dibuat ikhtisar  sehingga menjadi karangan pendek.  Karangan pendek ini kemudian oleh ulama  belakangan disyarahkan. Kemudian  syarah itu diberi hasyiyah, sehingga akhirnya berkembang menjadi kitab- kitab ushul fiqh dalam mazhab  Syafi‘i.

Kedua, mengarah pada penyusunan ushul fiqh yang terpengaruh pada furu’ dan menyesuaikannya bagi kepentingan furu’ dan berusaha mengembangkan ijtihad yang telah berlangsung sebelumnya. Hal ini berarti bahwa pengikut mazhab melakukan ijtihad untuk memelihara hukum fiqh yang dicapai oleh ulama pendahulu mazhabnya. Mereka mengemukakan kaidah-kaidah yang mendukung dan menguatkan mazhab  mereka.  Ulama  fuqaha  yang lebih banyak  menggunakan

metode  ini adalah  ulama  kelompok Hanafiyah. Karena  itu metode ushul  fiqh  menurut  metode  ini disebut  metode  ushul  Hanafiyah. Kitab-kitab ushul fiqh menurut  metode ini, antara lain:

1. Kitab Ushûl karangan al-Karahki;


2. Kitab al-Ushûl karangan Abu Bakar al-Razi; dan


3. Kitab Ta’sîs al-Nazhar  karangan al-Dabbusi.


Sesudah itu bermunculan kitab-kitab ushul fiqh aliran Hanafiyah, seperti karangan al-Baidhawi,  al-Sarhisi, dan lain-lainnya.

Sesudah dua metode ini berjalan  mapan  dan berkembang me- nurut aliran masing-masing, ditemukan pula kitab-kitab ushul fiqh yang  merupakan gabungan dari  kedua  aliran  tersebut.  Sebagian ditulis oleh ulama dari mazhab Syafi‘i seperti kitab Jam‘ul Jawâmi’ oleh Ibnu Subki dan sebagian ditulis ulama mazhab Hanafi  seperti kitab al-Tahrîr oleh Kamaluddin ibn al-Hummam.


4. Tujuan dan Manfaat Ushul Fiqh


Tujuan  yang hendak  dicapai  dari ilmu ushul fiqh ialah untuk dapat  menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terinci  agar  sampai  kepada  hukum-hukum syara’ yang  bersifat

‘amali yang ditunjuk  oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah ushul serta bahasannya itu dapat  dipahami  nash-nash syara’ dan hukum yang terkandung di dalamnya. Demikian pula dapat dipahami secara baik dan tepat apa-apa yang dirumuskan ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada  rumusan itu.

Metnang dengan  metode  tersebut  para  ulama  telah berhasil  me- rumuskan hukum  syara’ dan telah terjabar secara rinci dalam  kitab- kitab fiqh. Lantas untuk apa lagi, ushul fiqh itu bagi umat yang datang kemudian? Dalam hal ini ada dua maksud mengetahui ushul fiqh itu.

Pertama,  bila kita  sudah  mengetahui metode  ushul  fiqh yang dirumuskan ulama terdahulu, maka bila suatu ketika kita menghadapi masalah baru yang tidak mungkin ditemukan hukumnya dalam kitab- kitab fiqh terdahulu, maka kita akan dapat mencari jawaban hukum terhadap masalah  baru itu dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu itu.

Kedua,  bila  kita  menghadapi  masalah  hukum  fiqh  yang terurai  dalam kitab-kitab fiqh, tetapi mengalami  kesukaran dalam penerapannya karena sudah begitu jauhnya perubahan yang terjadi, dan kita ingin mengkaji ulang rumusan fuqaha  lama itu atau ingin merumuskan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan dan tuntutan kondisi  yang menghendakinya, maka  usaha  yang harus  ditempuh adalah  merumuskan kaidah  baru  yang memungkinkan timbulnya rumusan baru  dalam  fiqh. Kaji ulang terhadap suatu  kaidah  atau menentukan kaidah  baru  itu tidak  mungkin  dapat  dilakukan bila tidak  mengetahui secara  baik  usaha  dan  cara  ulama  lama  dalam merumuskan kaidahnya. Hal itu akan diketahui  secara baik dalam ilmu ushul fiqh.


5. Pokok Pembahasan Ushul Fiqh


Bertitik tolak  dari definisi ushul fiqh yang disebutkan di atas, maka bahasan pokok  ushul fiqh itu adalah  tentang:

a. Dalil-dalil atau sumber hukum  syara’;

b. Hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam dalil itu; dan

c. Kaidah-kaidah tentang  usaha  dan cara mengeluarkan hukum

syara’ dan dalil atau sumber yang mengandungnya.


Dalam membicarakan sumber hukum dibicarakan pula kemung- kinan terjadinya benturan antara dalil-dalil dan cara menyelesaikannya. Dibahas  pula  tentang  orang-orang yang  berhak  dan  berwenang menggunakan kaidah  atau  metode  dalam  melahirkan hukum  syara’ tersebut.  Hal  ini memunculkan pembahasan tentang  ijtihad  dan mujtahid. Kemudian  membahas  mengenai tindakan dan usaha yang dapat ditempuh orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan dan kemungkinan berijtihad atau pembahasan tentang  taklid dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya.

Dalam sistematika penyusunan pokok-pokok bahasan terdapat perbedaan yang disebabkan perbedaan arah dan  penekanan dari beberapa pokok  bahasan tersebut.

A. Pengertian Fiqh, Syariah, dan Hukum Islam

Pengertian fiqh atau ilmu fiqh sangat berkaitan dengan syariah, karena fiqh itu pada hakikatnya adalah jabaran praktis dari syariah. Karenanya, sebelum memberikan penjelasan  tentang  arti fiqh, ter- lebih dahulu  perlu dijelaskan  arti dan hakikat syariah.

1.   Pengertian Syariah

Secara  etimologis  (lughawi)  syariah  berarti  “jalan  ke tempat pengairan” atau “jalan yang harus diikuti”, atau “tempat lalu air di sungai”.  Arti terakhir ini digunakan orang Arab sampai sekarang.
Kata syariah muncul dalam beberapa ayat Al-Qur’an, seperti pa- da surat al-Maidah (5): 48; asy-Syura (42): 13; dan al-Jatsiyah  (45):
18, yang mengandung arti “jalan yang jelas yang membawa  kepada kemenangan”. Dalam  hal ini, agama  yang ditetapkan Allah untuk manusia  disebut syariah,  dalam  artian  lughawi,  karena  umat Islam selalu melaluinya  dalam kehidupannya di dunia.  Kesamaan  syariah Islam dengan jalan air adalah  dari segi bahwa  siapa yang mengikuti syariah  ia akan  mengalir  dan  bersih  jiwanya.  Allah  menjadikan air  sebagai  penyebab  kehidupan tumbuh-tumbuhan  dan  hewan sebagaimana Dia menjadikan syariah sebagai penyebab  kehidupan jiwa insani.

Menurut para  ahli, definisi syariah  adalah:  “Segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang menge- nai akhlak”.  Dengan demikian, “syariah” itu adalah  nama bagi hu- kum-hukum yang bersifat amaliah.
Walaupun pada mulanya syariah itu diartikan “agama” sebagaimana yang disinggung Allah dalam surat asy-Syura (42): 13, namun kemudian dikhususkan penggunaannya untuk hukum amaliah. Pengkhususan ini dimaksudkan karena  agama  pada  dasarnya adalah  satu dan berlaku secara  universal,  sedangkan  syariah  berlaku  untuk  masing-masing umat yang berbeda dengan umat sebelumnya. Dengan demikian,  kata “syariah” lebih khusus dari agama. Syariah adalah hukum amaliah yang berbeda menurut perbedaan Rasul yang membawanya dan setiap yang datang  kemudian mengoreksi yang datang  lebih dahulu.  Sedangkan dasar  agama,  yaitu  ‘akidah/tauhid, tidak  berbeda  antara Rasul  yang satu dengan lainnya.
Di antara ulama ada yang lebih mengkhususkan lagi pemakaian kata “syariah” itu dengan: “Apa-apa yang bersangkutan dengan per- adilan serta pengajuan perkara kepada mahkamah dan tidak mencakup kepada halal dan haram”.
Qatadah, menurut yang diriwayatkan al-Thabari, menggunakan kata  “syariah” kepada  hal yang menyangkut kewajiban, had, pe- rintah dan larangan;  tidak termasuk  di dalamnya ‘akidah, hikmah, dan ibarat yang tercakup dalam agama. Syaltut mengartikan syariah dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah bagi hamba-Nya untuk  diikuti  dalam  hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan sesama manusia”. Dr. Farouk  Abu Zeid menjelaskan  bahwa syariah ialah: “Apa-apa yang ditetapkan Allah melalui lisan Nabi-Nya”. Allah adalah  pembuat hukum  yang me- nyangkut  kehidupan agama dan kehidupan dunia.

2.   Pengertian Fiqh

       Kata  “fiqh”, secara  etimologis  berarti  “paham yang men- dalam”. Bila “paham” dapat  digunakan untuk  hal-hal  yang bersifat lahiriah,  maka  fiqh berarti  paham  yang menyampaikan ilmu lahir kepada ilmu batin. Karena itulah at-Tirmidzi menyebutkan, “fiqh tentang sesuatu,” berarti mengetahui batinnya sampai kepada kedalamannya.
Kata “faqaha” 
Kata “amaliah” yang terdapat dalam definisi di atas menjelaskan bahwa fiqh itu hanya menyangkut tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriah. Dengan demikian, hal-hal yang bersifat bukan amaliah seperti masalah keimanan atau ‘akidah tidak termasuk dalam lingkungan fiqh dalam artian ini. Umpamanya ketentuan bahwa Allah itu bersifat Esa dan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat.
Penggunaan  kata “digali dan ditemukan” mengandung arti bah- wa fiqh itu adalah  hasil penggalian,  penemuan, penganalisisan, dan penentuan ketetapan tentang  hukum.  Karenanya bila bukan dalam bentuk hasil suatu penggalian-seperti mengetahui apa-apa yang secara lahir dan jelas dikatakan Allah-tidak disebut fiqh. Fiqh itu adalah hasil penemuan  mujtahid dalam hal-hal yang tidak dijelaskan oleh nash.
Kata “tafsili” dalam definisi itu menjelaskan tentang dalil-dalil yang digunakan seorang faqih atau mujtahid dalam penggalian dan penemuannya. Karena  itu, ilmu yang diperoleh  orang  awam  dari seorang mujtahid yang terlepas dari dalil tidak termasuk  ke dalam pengertian  fiqh.
Al-Amidi memberikan definisi fiqh yang berbeda dengan definisi di atas,  yaitu:  “Ilmu  tentang  seperangkat  hukum-hukum syara’ yang bersifat furu‘iyah yang berhasil didapatkan melalui penalaran atau istidlal”.
Kata “furu‘iyah” dalam definisi al-Amidi ini menjelaskan bahwa ilmu tentang  dalil dan macam-macamnya sebagai hujah,  bukanlah fiqh menurut  artian  ahli ushul, sekalipun  yang diketahui  itu adalah hukum  yang bersifat nazhari.
Penggunaan  kata  “penalaran” dan  “istidlal” (yang sama  mak- sudnya dengan “digali”) menurut istilah Ibnu Subki di atas memberikan penjelasan bahwa fiqh itu adalah hasil penalaran dan istidlal. Ilmu yang diperoleh bukan dengan cara seperti itu-seperti ilmu Nabi tentang apa yang diketahuinya dengan perantaraan wahyu-tidak disebut fiqh.
Dengan menganalisis kedua definisi yang disebutkan di atas da- pat ditemukan hakikat dari fiqh, yaitu:
a. fiqh itu adalah  ilmu tentang  hukum  Allah;
b. yang dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat amaliah furu‘iyah;
c. pengetahuan tentang  hukum  Allah itu didasarkan kepada  da- lil tafsili; dan
d. fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal se- orang mujtahid atau faqih.

Dengan demikian,  secara ringkas dapat  dikatakan, “Fiqh itu adalah dugaan kuat yang dicapai seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah.”
Dari  pengertian  fiqh dan  syariah  di atas  terlihat  kaitan  yang sangat  erat  antara fiqh dengan  syariah.  Syariah diartikan dengan ketentuan yang ditetapkan Allah tentang  tingkah  laku manusia  di dunia dalam mencapai kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Ketentuan Allah itu terbatas dalam firman Allah dan penjelasannya yang diwahyukan melalui lisan Nabi.
Semua tindakan manusia  di dunia dalam mencapai  kehidupan yang baik itu harus tunduk kepada kehendak Allah dan Rasulullah. Kehendak  Allah  dan  Rasul  itu  sebagian  terdapat secara  tertulis dalam kitab-Nya yang disebut syari‘ah, sedangkan  sebagian besar lainnya tersimpan di balik atau di luar yang tertulis itu.
Untuk mengetahui keseluruhan apa yang dikehendaki Allah tentang  tingkah  laku manusia  itu, harus ada pemahaman mendalam tentang syariah, sehingga secara amaliah syariah itu dapat diterapkan dalam  kondisi  dan situasi bagaimanapun. Hasil pemahaman itu di- tuangkan dalam bentuk ketentuan yang terinci. Ketentuan terinci ten- tang tingkah laku manusia mukalaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap syariah itu disebut fiqh.
3.   Pengertian Hukum Islam

Hukum  Islam merupakan rangkaian dari  kata  “hukum” dan kata “Islam”. Kedua kata itu, secara terpisah, merupakan kata yang digunakan dalam bahasa  Arab dan terdapat dalam Al-Qur’an,  juga berlaku  dalam  bahasa  Indonesia.  “Hukum Islam”  sebagai  suatu rangkaian kata  telah  menjadi  bahasa  Indonesia  yang  hidup  dan terpakai, namun bukan merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab, dan tidak ditemukan dalam Al-Qur’an;  juga tidak ditemukan dalam  literatur yang berbahasa Arab.  Karena  itu kita  tidak  akan menemukan artinya  secara definitif.

Untuk memahami pengertian hukum Islam, perlu diketahui lebih dahulu kata “hukum” dalam bahasa Indonesia, kemudian pengertian hukum  itu disandarkan kepada  kata “Islam”. Ada kesulitan  dalam memberikan definisi kepada  kata  “hukum” karena  setiap  definisi akan menemukan titik lemah. Karena itu, untuk  memudahkan me- mahami  pengertian  hukum,  berikut  ini akan diketengahkan definisi hukum  secara  sederhana, yaitu:  “Seperangkat  peraturan  tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat, disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan mengikat  untuk seluruh anggotanya”.
Definisi ini tentunya masih  mengandung kelemahan, namun dapat  memberikan pengertian  yang mudah  dipahami.
Bila kata “hukum” menurut definisi di atas dihubungkan kepada “Islam” atau  “Syara’”,  maka  “hukum Islam”  akan  berarti:  “Se- perangkat  peraturan  berdasarkan  wahyu  Allah  dan sunah  Rasul tentang  tingkah  laku  manusia  mukalaf yang diakui  dan diyakini mengikat  untuk semua yang beragama Islam”.
Kata “seperangkat peraturan” menjelaskan bahwa yang dimak- sud dengan hukum Islam itu adalah peraturan yang dirumuskan secara terperinci  dan mempunyai kekuatan yang mengikat.
Kata “yang berdasarkan wahyu Allah dan sunah Rasul”  men- jelaskan bahwa perangkat peraturan itu digali dari dan berdasarkan kepada  wahyu  Allah dan sunah  Rasul, atau  yang populer  dengan sebutan  “syariah”.
Kata “tentang tingkah laku manusia mukalaf” mengandung arti bahwa  hukum  Islam itu hanya mengatur tindak  lahir dari manusia yang dikenai  hukum.  Peraturan tersebut  berlaku  dan  mempunyai kekuatan terhadap orang-orang yang meyakini kebenaran wahyu dan sunah Rasul itu, yang dimaksud dalam hal ini adalah  umat Islam.
Bila artian sederhana tentang “hukum Islam” itu dihubungkan kepada  pengertian “fiqh”  sebagaimana dijelaskan  sebelumnya, dapat  dikatakan bahwa  yang dimaksud dengan  hukum  Islam itu adalah yang bernama “fiqh” dalam literatur Islam yang berbahasa Arab. Dengan demikian,  setiap kata “fiqh” dalam buku ini berarti “hukum Islam”.
Kajian tentang hukum Islam itu mengandung dua bidang pokok yang masing-masing  luas cakupannya, yaitu:
Pertama, kajian tentang perangkat peraturan terinci yang bersifat amaliah  dan harus  diikuti umat Islam dalam  kehidupan beragama. Inilah  yang secara  sederhana disebut  “fiqh” dalam  artian  khusus dengan segala lingkup bahasannya.
Kedua, kajian  tentang  ketentuan serta cara dan usaha  yang sis- tematis  dalam  menghasilkan perangkat peraturan yang terinci  itu disebut “ushul  fiqh”,  atau dalam arti lain “sistem metodologi fiqh”. Fiqh dan ushul fiqh merupakan dua bahasan terpisah,  namun  saling berkaitan. Pada waktu menguraikan suatu ketentuan tentang fiqh, untuk menguatkan bahasannya, sering disertai penjelasan mengenai kenapa ketentuan itu begitu adanya, sehingga memasuki lapangan pembahasan ushul fiqh. Demikian pula sebaliknya waktu membicarakan ushul fiqh, untuk  lebih memperjelas  bahasannya dikemukakan contoh-contoh yang berada  dalam lingkup bahasan fiqh.

B. Sejarah dan Perkembangan Fiqh

1.   Fiqh pada Masa Nabi

Bila kita memahami pengertian  fiqh itu sebagai hasil penalaran seorang  ahli atas maksud  hukum  Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia, maka timbul pertanyaan apakah fiqh itu sudah mulai ada pada waktu  Nabi Muhammad SAW. masih hidup?
Suatu hal yang nyata terjadi adalah  bahwa  Nabi telah berbuat sehubungan dengan  turunnya ayat-ayat Qur’an  yang mengandung hukum (ayat-ayat hukum). Tidak semua ayat hukum itu memberikan penjelasan yang mudah dipahami untuk kemudian dilaksanakan secara praktis  sesuai dengan kehendak Allah. Karena itu Nabi memberikan penjelasan mengenai maksud setiap ayat hukum itu kepada umatnya, sehingga ayat-ayat yang tadinya, belum dalam bentuk petunjuk praktis, menjadi jelas dan dapat dilaksanakan secara praktis. Nabi memberikan penjelasan dengan ucapan, perbuatan, dan pengakuannya yang kemu- dian disebut sunah Nabi. Apakah hukum-hukum yang bersifat amaliah yang dihasilkan oleh Nabi yang bersumber kepada Al-Qur’an itu dapat disebut fiqh?
Telah dijelaskan  bahwa  fiqh adalah  hasil penalaran seseorang yang berkualitas mujtahid atas hukum  Allah atau  hukum-hukum amaliah yang dihasilkan dari dalil-dalilnya melalui penalaran atau ijtihad. Apabila penjelasan  dari Nabi yang berbentuk sunah itu me- rupakan hasil penalaran atas ayat-ayat hukum,  maka  apa yang dikemukakan Nabi  itu dapat  disebut fiqh atau  lebih tepat  disebut “Fiqh sunah”.
Kemungkinan Nabi  melakukan ijtihad  dalam  menghasilkan su- nahnya diperselisihkan para ulama. Perbedaan pendapat itu berpangkal pada pemahaman ayat 3-4 surat an-Najm (53):

yang kemudian ternyata keikutsertaan mereka membawa  ben- cana kepada  pasukan muslim. Ayat ini mengandung kritikan atas  tindakan Nabi.  Kalau  tindakan Nabi  itu  atas  tuntunan wahyu,  tentu  tidak  akan  muncul  kritikan itu. Hal ini menun- jukkan  bahwa  kebijaksanaan Nabi yang mengizinkan ikutnya orang munafik  itu dasarnya adalah  ijtihad.
3.    Sunah Nabi yang berbunyi:

Sesungguhnya  aku  menetapkan hukum berdasarkan  apa-apa yang lahir, dan kamu minta penyelesaian permusuhanmu kepadaku. Barangkali seseorang di antaramu lebih lihai dalam beperkara  dibandingkan yang lain. Siapa yang aku putuskan untuknya sesuatu berkenan dengan harta orang lain, janganlah dimakan. Sesungguhnya aku memberikan kepadanya potongan api neraka.

Riwayat tersebut menunjukkan bahwa Nabi sendiri terkadang memutuskan perkara yang  mungkin  tidak  betul  secara  ma- teriil. Hal  ini berarti  tindakan itu semata  didasarkan kepada ijtihadnya, bukan  dari wahyu.

Kedua, ulama kalam Asy‘ariyyah, mayoritas ulama Mu‘tazilah, Abu  Ali al-Jubbai  dan  anaknya  Hasyim,  berpendapat bahwa Nabi  tidak  boleh  berijtihad dalam  hukum  syara’. Alasan mereka adalah:
a.    Firman Allah dalam surat an-Najm (53): 3-4:

Ayat ini menjadi  dalil utama  bahwa  semua yang muncul  dari lisan Nabi  adalah  dari wahyu  dan tidak  ada yang di luar wa- hyu.  Ijtihad  tidak  berasal  dari  wahyu,  karenanya tidak  ada ucapan  Nabi yang muncul dari ijtihadnya sendiri.
b. Nabi SAW. berkemampuan untuk sampai kepada hukum secara meyakinkan melalui wahyu.  Sedangkan  hasil ijtihad  hanyalah bersifat zhanni.  Bila mampu  untuk  sampai kepada  yang meya- kinkan  (qath‘i), maka tidak boleh menempuh yang tidak meya- kinkan  (zhanni). Di samping itu, ijtihad hanya dapat  dilakukan bila tidak ada nash; sedangkan  selama Nabi masih hidup, tidak mungkin  nash itu sudah terhenti.
c. Sering terjadi  Nabi  tidak  dapat  memberikan jawaban  atas per- tanyaan yang diajukan sahabatnya tentang sesuatu kasus. Dalam keadan  demikian,  Nabi  menyuruh menunggu  sampai  turunnya wahyu  yang akan  menjawabnya. Seandainya  Nabi  dapat  mem- berikan  jawaban  dengan hasil ijtihadnya, tentu tidak perlu Nabi berlama-lama menunggu turun  wahyu untuk  menjawabnya.

Ketiga, pendapat “jalan  tengah” dari kedua pendapat di atas, menyatakan bahwa  Nabi dapat  saja berijtihad dalam masalah  pe- perangan, tetapi tidak dalam masalah hukum syara’. Kelompok ini menggunakan gabungan dalil-dalil yang dikemukakan dua pendapat sebelumnya.
Bila diperhatikan ketiga pendapat tersebut beserta argumen ma- sing-masing, kita cenderung pada pendapat yang mengatakan tidak semua yang muncul  dari lisan Nabi  itu dibimbing  wahyu.  Dalam kenyataan memang  beliau  pernah  berijtihad untuk  memahami dan  menjalankan wahyu  Allah  dalam  hal-hal  yang  memerlukan penjelasan  dari Nabi  yang sebagiannya  dibimbing  wahyu.  Dalam hal-hal yang tidak mendapat koreksi dari Allah, maka hal itu muncul sebagai sunah Nabi yang wajib ditaati. Dengan demikian, sebagian sunah Nabi adalah  berdasarkan pada ijtihadnya.
Dari penjelasan  di atas, maka  dapat  disimpulkan bahwa  fiqh sudah mulai ada semenjak Nabi masih hidup dengan pola yang sederhana sesuai dengan kesederhanaan kondisi masyarakat Arab yang menjalankan fiqh pada waktu itu. Di bawah ini dikemukakan beberapa contoh  fiqh Nabi dalam beberapa bidang hukum.
a.    Shalat

Perintah  melakukan shalat  banyak  sekali terdapat dalam  Al- Qur’an  dengan berbagai  cara dan berbagai  bentuk.  Tidak ada satu ayat pun yang menjelaskan  apa dan bagaimana praktik shalat  itu. Dalam  keadaan begitu  perintah shalat  menurut  apa  adanya  tidak mungkin dilaksanakan. Nabi mengetahui maksud perintah Allah itu, karena itu Nabi menjelaskan kepada umatnya dengan menggunakan sunah-Nya.
Nabi mengarahkan kata “shalat” itu kepada perbuatan tertentu dengan tindakan yang berisi beberapa ucapan  dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam di hadapan para sahabatnya. Kemudian  beliau  berkata, “Inilah  yang  dimaksud dengan shalat”.  Dalam suatu hadis Nabi bersabda,
Adapun  mengenai  waktu-waktu pelaksanaan shalat,  muncul dalam beberapa ayat Al-Qur’an  pada tempat  yang terpisah.
1.    Surat ar-Rum  (30): 17:
Maka  bertasbihlah  kepada  Allah  di waktu kamu  berada  di petang hari dan waktu kamu  berada di waktu subuh.

2.    Surat al-Isra (17): 78:
Waktu zuhur  bila telah tergelincir matahari  sampai  bayang- bayang sepanjang badan dan belum masuk waktu ashar; waktu ashar selama matahari belum menguning; dan waktu maghrib selama  belum  hilang  cahaya  matahari;  waktu isya sampai pertengahan  malam dan waktu subuh  dan terbit fajar sampai terbit matahari.

Tentang jumlah raka‘at  shalat untuk  setiap waktu yang lima itu tidak  ada  sama  sekali penjelasannya dalam  Al-Qur’an.  Ketetapan jumlah raka‘at shalat datang dari Nabi sendiri dalam hadis fi’li secara bertahap. Jumlah  raka‘at  itu berbeda  pada  waktu  sebelum dengan sesudah hijrah. Hal ini dijelaskan dalam hadis dari Aisyah dalam versi yang berbeda-beda menurut  riwayat  Bukhari dan Ahmad:

Difardukan shalat itu dua-dua raka‘at. Kemudian berlangsung hijrah, maka difardukan empat-empat raka‘at dan ditetapkan shalat safar seperti yang semula (dua raka‘at).

Ditambahkan oleh Ahmad  dari jalur  Ibnu Kaisan dengan ucapan:
yang tetap (seperti semula) karena panjangnya  bacaan shalat, begitu pula shalat maghrib  karena ia merupakan waktu yang ganjil dalam sehari.

Dalam  surat  al-Araf (7): 31, Allah berfirman:

Hai  orang-orang  yang beriman  bila kamu  melakukan shalat basuhlah mukamu dan kedua tanganmu sampai sikut; sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai mata kaki.

Selanjutnya Nabi menjelaskan cara-cara berwudhu’ dalam hadis dari Abu Hurairah menurut  riwayat  Muslim.

Sesungguhnya  dia bila berwudhu dibasuhnya mukanya, maka dilanjutkannya wudhunya; kemudian dibasuhnya tangannya sebelah  kanan  sampai  lengannya,  kemudian tangan  kirinya sampai  lengan; kemudian ia menyapu kepalanya,  kemudian dibasuhnya kaki kanannya sampai betis; kemudian dibasuhnya kaki  kirinya  sampai  betis kemudian dia berkata,  “Beginilah Rasul Allah saya lihat melakukan wudhu.”

Dalam  surat  al-Jumu‘ah (62): 9, Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru melakukan shalat
Jumat,  segeralah datang melakukan shalat dan tinggalkanlah
jual beli.  Yang  demikian itu  lebih  baik  bagimu  jika  kamu mengetahui.

Dari ayat ini, Nabi memahami kewajiban shalat Jumat. Adapun mengenai caranya, dijelaskan  secara rinci dalam Sunnahnya.

b.   Zakat

Perintah untuk melaksanakan zakat begitu banyak muncul dalam Al-Qur’an  dengan  berbagai  cara  dan  bentuk  yang sebagian  besar di antaranya dirangkaikan dengan perintah shalat. Menurut pemahaman lughawiî, zakat itu berarti membersihkan, tumbuh, berkah dan pujian. Kemudian  Nabi  mengarahkan penggunaan kata  “zakat” itu untuk “pemberian tertentu dari harta tertentu, menurut  cara tertentu”.
Bentuk  perintah zakat  dapat  dilihat  dalam  contoh  ayat  di bawah  ini:

Nabi  dengan  hadis dari Ibnu Abbas, muttafaq ‘alaihi (perawinya: Bukhari dan Muslim), yang berbunyi:

Sesungguhnya Allah telah memfardukan zakat atas mereka da- lam harta mereka; diambil  dari orang kaya-kaya mereka  dan diberikan  kepada orang-orang miskin  mereka.

Tentang apa-apa yang dizakatkan, batas nisabnya serta berapa kadar  yang harus dizakatkan, dijelaskan  Nabi dengan hadis-hadis sebagai berikut:
1.    Unta, hadis dari Anas menurut riwayat  Bukhari:

Setiap 24 ekor unta atau kurang, maka zakatnya seekor kambing betina untuk setiap 5 ekor unta, jika jumlahnya  25 sampai 35 ekor,  maka  zakatnya satu ekor anak unta betina berumur  1-2 tahun atau satu ekor anak unta jantan berumur 3-4 tahun, jika jumlahnya  36 sampai 45, maka zakatnya seekor anak unta ber- umur  2-3 tahun,  dan jika jumlahnya  46 sampai 60 ekor  unta maka zakatnya adalah seekor unta betina berumur  3-4 tahun.

2. Sapi, hadis dari Muaz ibn Jabal menurut  riwayat  lima perawi hadis:
Pada tanam-tanaman yang diairi dengan  mata  air atau hujan kewajiban zakatnya adalah sepersepuluh; dalam tanaman  yang diairi dengan kincir kewajiban zakatnya adalah seperdua puluh.

5.    Barang  perniagaan, hadis  dari  Samrah  ibn Jundab  menurut  ri- wayat Abu Daud:
Sesungguhnya Rasul Allah pernah menyuruh kita mengeluarkan zakat dari sesuatu yang disiapkan  untuk diperjualbelikan.

6. Barang rikaz, hadis dari Abu Hurairah, muttafaq ‘alaih (Bukhari dan Muslim):
Di dalam rikaz itu ada kewajiban zakat sebesar seperlima.

Tentang  siapa-siapa yang berhak  menerima  zakat secara lang- sung, disebutkan Allah dalam surat at-Taubah (9): 60:
Sesungguhnya  shadaqah (zakat) itu adalah untuk para fuqara, orang miskin, untuk amil untuk orang yang dijinakkan hatinya; untuk mernerdekakan hamba; dan orang yang dijerat hutang untuk kepentingan sabilillah dan ibnu sabil; merupakan kewa- jiban dari Allah.  Sesungguhnya  Allah Maha Mengetahui  dan Bijaksana.
Dengan penjelasan yang diberikan Nabi tentang ayat-ayat zakat yang  tersebut  dalam  Al-Qur’an  dapatlah dilakukan kewajiban berzakat meskipun  dalam  cara yang sederhana.

c.    Puasa

Perintah Allah yang menyuruh melakukan puasa banyak terdapat dalam Al-Qur’an yang kadang-kadang beriringan dengan kewajiban shalat  dan  zakat.  Kewajiban  puasa  secara  terpisah  muncul  dalam Firman Allah, suratl-aqarah (2): 183-185:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Siapa yang berada dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan, boleh ia berbuka  dan untuk itu ia harus menggantinya di hari-hari lain. Untuk orang yang sudah uzur dan tidak mampu berpuasa, maka  ia harus  membayar   fidiah  dalam  bentuk memberi makan  orang miskin.  Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya.
Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Bulan Ramadhan yang  diturunkan padanya  Al-Qur’an   menjadi petunjuk bagi manusia dan merupakan bukti  petunjuk Tuhan dan  sebagai furqan  (pemisah  antara yang  benar  dan  salah). Siapa di antaramu  yang telah menyaksikan masuknya bulan Ramadhan itu hendaklah  ia berpuasa.  Siapa yang sakit  atau dalam  perjalanan  dan tidak  melakukan puasa,  hendaklah  ia melakukan di hari-hari  lain.  Allah  menghendaki untukmu kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan. Hendaklah kamu sempurnakan bilangan puasa itu dan hendaklah kamu bertakbir kepada  Allah  atas petunjuk yang  diberikan-Nya kepadamu; mudah-mudahan kamu  bersyukur.

Dalam ayat di atas dijelaskan  keharusan berpuasa, bulan untuk melakukan puasa, perhitungan masuk bulan puasa dan orang-orang yang mendapat keringanan untuk tidak melakukan puasa Ramadhan. Tentang  awal dan akhir  waktu  puasa  serta apa-apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama puasa dijelaskan dalam surat al-Baqarah (2): 187:
Dihalalkan bagimu  pada malam  puasa itu menggauli  istrimu; mereka  itu adalah pakaian bagimu,  dan kamu  adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu telah mengkhianati dirimu sendiri, maka Allah memberi maaf atasmu. Maka sekarang gaulilah mereka dan perolehlah apa yang telah ditentukan Allah kepadamu, dan  makan  dan  minumlah hingga  jelas bagimu benang  putih  dari benang  hitam  sebagai tanda  waktu fajar. Kemudian  sempurnakanlah puasa itu sampai malam ...
Untuk memperjelas  penentuan awal dan akhir waktu  bulan Ra- madhan dijelaskan  Nabi dengan sabdanya  dari Ibnu Umar menurut riwayat  muttafaq ‘alaih:

Bila kamu  melihat  bulan (masuk  bulan Ramadhan, puasalah kamu  dan bila kamu  telah melihat  bulan (tanda masuk  bulan Syawal) berbukalah kamu;  maka  bila kamu  tidak  melihatnya karena mendung  perhitungkanlah ...

Selanjutnya Nabi menjelaskan cara-cara berbuka dan sahur serta perbuatan-perbuatan baik untuk dilakukan selama bulan Ramadhan, sebagai kelengkapan dari pelaksanaan kewajiban puasa.
Demikian pula cara-cara Nabi memahami ayat-ayat Qur’an yang berkenaan dengan ibadah pokok lainnya dan menjelaskannya kepada umatnya. Hal  yang sama berlaku  pula  terhadap ayat-ayat Qur’an yang berkenaan dengan masalah  muamalat dalam arti umum.Bila dalam hal ibadah  penjelasan  Allah lebih bersifat jelas dan rinci, maka dalam bidang muamalat pada umumnya lebih bersifat umum, garis besar, tidak terinci, dan memberi petunjuk yang tidak jelas serta tidak pasti. Karena itu dalam hal-hal ibadat, lebih mudah Nabi memahaminya sehingga tidak banyak memerlukan penjelasan Nabi untuk melaksanakannya. Sebaliknya dalam bidang muamalat, Nabi lebih banyak  menggunakan nalar dalam memahami ayat hu- kum untuk  dapat  dilaksanakan secara praktis  oleh umatnya.
Pada saat memahami ayat-ayat hukum dan menggunakan nalar untuk  menghasilkan petunjuk pelaksanaannya, kelihatannya Nabi memperhatikan dan mempertimbangkan lingkungan di mana beliau berada. Hal tersebut dapat dilihat pada sunah Nabi yang menjelaskan ayat-ayat tersebut  dengan  hal-hal  yang mudah  dipahami  umatnya waktu  itu dengan  mengemukakan contoh-contoh yang terdapat di lingkungannya.
Pada waktu  Nabi  mencoba  memahami maksud  Allah yang me- wajibkan zakat atas orang kaya untuk diberikan kepada orang miskin,
terlihat Nabi menetapkan barang-barang yang dizakatkan dalam bentuk harta yang nyata waktu itu di lingkungan kehidupan Nabi, baik dalam bentuk hewan ternak maupun tanaman dan buah-buahan.
Di samping  itu, penjelasan  yang diberikan Nabi  lebih banyak dalam bentuk melayani pertanyaan yang diajukan umatnya, baik ten- tang pemahaman atas suatu ayat Al-Qur’an maupun tentang hal-hal yang memerlukan jawaban, karena jawabannya tidak tersebut dalam Al-Qur’an. Penjelasan Nabi dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dari kehendak Allah yang tersebut  dalam Al-Qur’an  itu disebut “Fiqh”, atau “Fiqh Nabi” atau disebut juga “Fiqh al-sunah”. Pola dari “Fiqh Nabi” sesuai dengan pola hidup masyarakat Arab waktu  itu, yaitu sederhana, mudah,  dan tidak berbelit-belit.
Dalam  masa Nabi  atau  pada  masa periode  tasyri’ ini, sumber hukum yang digunakan Nabi dalam menetapkan fatwanya adalah Al-Qur’an.
Ayat-ayat  hukum  dalam  Al-Qur’an  telah meliputi  semua segi kehidupan manusia dalam kedudukannya sebagai pribadi di depan Allah  atau  masyarakat, maupun dalam  kedudukannya sebagai salah  seorang  anggota  masyarakat dalam  hubungannya dengan anggota  masyarakat lainnya.  Penjelasan  yang diberikan Nabi  me- lingkupi hal-hal yang termuat dalam Al-Qur’an, sehingga Fiqh Nabi sudah mencakup  bidang yang sangat luas meskipun dalam bentuk pelaksanaan yang sederhana dan mudah.
2.   Fiqh pada Masa Sahabat

Dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW. sempurnalah turunnya ayat-ayat Al-Qur’an dan sunah Nabi, juga dengan sendirinya sudah terhenti.  Kemudian  terjadi  perubahan yang besar sekali dalam  ke- hidupan masyarakat, karena  telah  meluasnya  wilayah  Islam dan semakin kompleksnya kehidupan umat.
Keimanan umat yang sudah tinggi dan kepatuhannya akan perintah agama, menuntut mereka untuk selalu menghubungkan tingkah lakunya sehari-hari dengan nilai agama. Karena itu umat memerlukan jawaban hukum dalam menghadapi setiap persoalan dalam kehidupannya.
Ada tiga hal pokok yang berkembang waktu itu sehubungan dengan hukum.
Pertama,  begitu  banyaknya muncul  kejadian  baru  yang mem- butuhkan jawaban hukum yang secara lahiriah tidak dapat ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an maupun penjelasan dari sunah Nabi.
Kedua, timbulnya masalah-masalah yang secara lahir telah  diatur ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun sunah Nabi, namun ketentuan itu dalam  keadaan tertentu sulit untuk  diterapkan dan menghendaki pemahaman baru agar relevan dengan perkembangan dan persoalan yang dihadapi.
Ketiga, dalam Al-Qur’an ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian  secara jelas dan terpisah.  Bila hal tersebut  berlaku  dalam kejadian  tertentu, para  sahabat menemukan kesulitan  dalam  me- nerapkan dalil-dalil yang ada.
Ketiga pokok masalah di atas memerlukan pemikiran mendalam atau  nalar  dari para ahli yang disebut ijtihâd. Dalam  menghadapi hal tersebut  berkembanglah pemikiran para sahabat.
1. Dalam menghadapi bentuk pertama, yaitu masalah yang baru ter- jadi, para sahabat mencari jawabannya dari lahir ayat Al-Qur’an, kemudian mencari  dari penjelasan  yang pernah  diberikan Nabi. Bila tidak menemukan jawabannya secara jelas, mereka mencoba mencari jawabannya dari balik lahir lafaz hukum  yang ada. De- ngan cara ini, lahir lafaz ayat itu dapat  direntangkannya kepada kejadian  yang baru  itu. Usaha ini dapat  ditempuh, melalui bebe- rapa cara, di antaranya:
a. Dengan semata pemahaman lafaz, yaitu memahami maksud yang terkandung dalam lahir lafaz. Umpamanya bagaimana hu- kum membakar harta anak yatim. Ketentuan yang jelas dalam Al-Qur’an hanya larangan memakan harta anak yatim secara aniaya,  sedangkan  hukum  membakarnya tidak  ada. Karena semua orang tahu bahwa membakar dan memakan harta itu sama dalam hal mengurangi  atau menghilangkan harta  anak yatim,  maka  keduanya juga sama hukumnya, yaitu  haram. Cara ini kemudian disebut penggunaan metode mafhum.
b. Dengan  cara  memahami alasan  atau  ‘Illat yang terdapat dalam suatu kasus (kejadian) yang baru, kemudian meng- hubungkannya kepada dalil nash yang memiliki alasan atau
‘Illat yang sama dengan kasus tersebut. Cara ini kemudian disebut metode qiyâs.

Penunjukan pengganti  Nabi  untuk   urusan  keduniaan belum ada ketentuannya. Tidak ada ketentuan yang mengatur sistem khilafah  dalam  Qur’an  atau  sunah  Nabi.  Setelah Nabi wafat, masalah ini segera muncul. Para sahabat berpikir bahwa masalah  memimpin  urusan  dunia dapat  dihubungkan kepada pemimpin urusan ibadat.  Ternyata Abu Bakar pernah ditunjuk Nabi untuk menggantikan beliau menjadi imam shalat jamaah, sewaktu  Nabi  sakit.  Atas dasar  ini para  sahabat berpendapat bahwa  yang akan  menggantikan Nabi  dalam  urusan  dunia- yaitu menjadi khalifah-adalah Abu Bakar. Pemikiran  seperti ini berkembang di kalangan sahabat yang kemudian dikenal dengan pemikiran secara qiyâs.
Dalam  periode  sahabat ini  penggunaan ijtihad  masih terbatas pada  metode  mafhum dan qiyâs. Cara  ini pun sudah dapat  menjawab semua persoalan yang muncul waktu  itu.
2. Persoalan dalam bentuk kedua-yaitu perubahan keadaan yang menghendaki perubahan  pemikiran-walaupun jarak  waktu periode  Nabi  dengan  periode  sahabat relatif  pendek  dan  ber- sambung,  namun  perkembangan kehidupan begitu cepat yang menuntut adanya  perubahan pemikiran.
Allah SWT. dalam  Al-Qur’an  mewajibkan zakat.  Nabi  dalam sunah-Nya menyebutkan bahwa  zakat  itu diambil  dari orang kaya dan diberikan kepada  orang miskin. Nabi disuruh  Allah untuk  mengambil  harta zakat dari umatnya (QS. at-Taubah/9:
103).  Cara  yang dilakukan Nabi  adalah  cara  yang bijaksana sesuai dengan  pesan Allah untuk  berdakwah dengan  cara bi- jaksana  (QS. al-Nahl/16: 125).  Atas  kesadaran umat  waktu itu, kewajiban zakat dapat  terlaksana secara baik.
Pada masa Abu Bakar menjadi  khalifah,  beliau melihat  bahwa pemungutan zakat  secara lemah lembut  seperti yang dilakukan Nabi tidak  efektif lagi karena  adanya  kecenderungan pembang- kangan dari sebagian masyarakat terhadap kewajiban membayar zakat.  Karena itu Abu Bakar mengambil  sikap yang keras, bahkan menetapkan untuk  memerangi  orang-orang yang tidak mau membayar  kewajiban zakat.  Dasar  pemikiran Abu Bakar ialah bahwa  menempuh sikap lemah lembut  sebagaimana dilakukan oleh Nabi, kewajiban membayar  zakat tidak dapat ditegakkan.
Allah SWT. melarang  orang  Islam meminum  khamar secara tegas (QS. al-Maidah/5:  90) karena  perbuatan tersebut  meru- pakan  dosa besar; meskipun ada sedikit manfaat di dalamnya. Karena  dalam  larangan lain Allah SWT. menetapkan sanksi- nya, sedangkan  dalam  larangan khamar tidak  diiringi dengan sanksi, maka  Nabi  melalui ijtihadnya menetapkan sanksi mi- num khamar, yaitu dera sebanyak 40  kali. Pelaksanaan sanksi yang  ditetapkan Nabi  itu  dapat  menjerakan orang.  Dengan demikian  tujuan  larangan telah tercapai.

Pada masa Umar ibn Khattab menjadi  khalifah,  kebiasaan minum khamar waktu  jahiliah kambuh lagi di kalangan orang Islam dan sanksi dera 40 kali sudah kurang  efektif sebagai alat penjera.  Umar  memikirkan cara  untuk  membuat  orang  jera minum  khamar yang merupakan tujuan  dari  hukum.  Dalam hal  ini Umar  menetapkan sanksi  mimun  khamar menjadi  80 kali dera,  sehingga orang  menjadi  bertambah takut  meminum khamar. Dengan demikian, sanksi yang ditetapkan Umar berbeda dengan  yang  ditetapkan Nabi  sebelumnya,  untuk  mencapai tujuan  larangan, yaitu menjerakan berbuat kejahatan.
Dalam surat al-Anfal (8): 41, Allah berfirman:

Ketahuilah  sesungguhnya  bila kamu  mendapatkan suatu harta rampasan, maka seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim,  orang-orang miskin,  dan ibnu sabil.

Dalam  memahami ayat  tersebut,  Nabi  membagi  harta rampasan perang menjadi dua kelompok. Tumpukan pertama sebanyak  1/5  bagian  dibagikan kepada  pihak-pihak yang disebutkan dalam ayat Al-Qur’an, sedangkan sisanya dibagikan
kepada orang-orang yang ikut dalam perang yang menghasilkan harta  rampasan itu.
Pada  waktu  Umar  memerintah, pasukan Islam  berhasil menaklukkan tanah  subur  di Irak.  Umar  berpendapat tidak maslahat kalau  hak  4/5  harta  rampasan itu  dibagi  habis di  kalangan pasukan.  Beliau  berpendapat lebih  banyak maslahatnya bila tanah  rampasan itu tidak  dibagikan untuk pasukan, tetapi dibiarkan digarap  orang yang memiliki tanah itu, namun sebagian hasilnya dipungut untuk kepentingan umat, termasuk  untuk  keperluan perang.
Dalam  contoh  tersebut  Umar  menetapkan hukum  yang berbeda dengan apa yang berlaku pada masa Nabi dan khalifah Abu  Bakar  berdasarkan pertimbangan maslahat. Tindakan Umar ini banyak  menjelaskan  bahwa  pemahaman Umar atas ayat Al-Qur’an berbeda dengan apa yang dipahami Nabi karena kondisi dalam kedua masa itu telah berbeda.
Pada masa Nabi,  azan memberi  tahu masuk waktu  Jumat dilakukan satu kali, yaitu setelah khatib  naik mimbar.  Hal ini merupakan pemahaman terhadap ayat 9 surat al-Jumu‘ah (62) yang berbunyi:
Hai orang-orang yang beriman, bila kamu dipanggil untuk me- lakukan shalat Jumat, segeralah mendatanginya dan tinggalkan segala bentuk jual beli.

Azan satu kali itu di masa Nabi telah cukup untuk memberi tahu  orang  Islam untuk  menghadiri shalat  Jumat.  Pada waktu
‘Utsman ibn ‘Affan menjadi khalifah, umat Islam semakin banyak dan wilayahnya semakin luas. Kalau azan hanya satu kali saja, pemberitahuan belum  tentu  akan  merata  ke seluruh  umat  di sekitar itu. Karenanya, ‘Utsman menetapkan azan shalat Jumat menjadi dua kali. Hal ini dijelaskan dalam sebuah atsar dari Su‘eb bin Jazid menurut  riwayat  Bukhari,  Nasa‘i dan Abu Daud:
Adalah pada mulanya  azan Jumat itu bila khatib  telah duduk di atas mimbar  pada masa Rasul Allah, Abu  Bakar dan masa
‘Umar. Pada masa ‘Utsman dan telah banyak orang, ditambah azan itu menjadi tiga kali (satu kali terakhir adalah ikamah)

3. Persoalan  ketiga adalah  mengenai  pemahaman terhadap dua ayat yang terpisah.  Ayat Al-Qur’an menetapkan hukum untuk setiap kejadian  dengan hukum  tertentu secara terpisah.  Untuk penerapan ayat tersebut,  Nabi  telah  memberikan penjelasan, sehingga hukum  itu dapat  dilaksanakan menurut  apa adanya. Umpamanya hak kewarisan saudara-saudara dijelaskan  Allah dalam surat an-Nisa’/4 ayat 12 untuk  saudara seibu; ayat 176 untuk   saudara-saudara kandung atau  seayah.  Dalam  surat an-Nisa’/4  ayat 11 dijelaskan  mengenai  hak kewarisan ayah, yaitu  1/6 bagian,  bila pewaris  ada  meninggalkan anak.  Ayat
176 surat an-Nisa’ itu mengandung arti bahwa  bila ada ayah, saudara-saudara tidak  menerima  hak kewarisan, karena  ayah lebih utama  dari saudara.
Tentang kakek, tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Qur’an, namun  dalam pengertian  umum orang Arab, kakek adalah  se- bagai pengganti  ayah bila tidak ada ayah. Dalam hal ini Nabi memberikan penjelasan  dalam  hadis  dari  Amran  ibn Husein enurut  riwayat  Ahmad,  Abu Daud,  dan at-Tarmizi:
Sesungguhnya seseorang datang kepada Nabi dan berkata, “Anak dari anak saya meninggal, bagaimana harta warisannya untuk saya?” Nabi menjawab, “Untuknya seperenam.”
Kasus  bertemunya saudara-saudara dengan  kakek  dalam  satu kelompok ahli waris,  mungkin  belum  terjadi  pada  masa  Nabi hingga  tidak  ada  penjelasannya dari  Nabi.  Pada  waktu  peme- rintahan Abu Bakar, kasus ini muncul di hadapan beliau. Dengan pertimbangan bahwa  kakek  menempati kedudukan ayah  bila ayah tidak ada dan saudara tidak berhak mewaris bersama ayah, maka dalam kasus ini Abu Bakar berpendapat dan memfatwakan bahwa saudara-saudara tidak berhak menerima warisan bila ber- sama dengan kakek. Sahabat lain, di antaranya ‘Umar bin Khat- tab dengan  pertimbangan bahwa  kewarisan saudara dijelaskan dalam Qur’an  sedangkan  kakek tidak dijelaskan  dalam Qur’an, menetapkan fatwanya bahwa  saudara-saudara dapat  mewaris dan berbagi bersama  kakek.
Ayat 12 surat an-Nisa’ (4) menjelaskan saudara seibu sebagai ahli waris dzul furûdh,  yaitu 1/6 bila sendirian dan 1/3 bila bersama- sama;  sedangkan  saudara laki-laki  kandung atau  seayah  tidak dijelaskan  furudh-Nya dalam  surat  an-Nisa’ ayat 176. Kedudu- kannya sebagai “ahli waris sisa harta” (‘ashâbah) dijelaskan Nabi dalam hadis dari Ibnu Abbas melalui riwayat  muttafaq ‘alaih:
Dalam  hal ini ‘Umar menetapkan bahwa  saudara kandung ber- gabung  dengan  saudara seibu dalam  mengambil  hak 1/3 harta, yaitu hak saudara seibu.
Hak istri atas peninggalan mendiang suaminya dijelaskan secara pasti dalam Al-Qur’an,  yaitu pada surat an-Nisa’ (4): 12, yaitu
1/4 bagian  bila suami  tidak  meninggalkan anak  dan  1/8 bila suami meninggalkan anak. Istri ini tidak mendapat hak apa-apa bila sebelum suami mati si istri telah dicerai lebih dahulu.
Tentang  bagaimana kalau  suami  menceraikan istrinya  dalam keadaan sakit keras dan dapat  diperkirakan maksud  mencerai- kan  itu adalah  untuk  menghindarkan istri dari  hak  kewarisan. Dalam  hal ini, timbul  perbedaan pendapat di kalangan sahabat karena  khusus  untuk  ini tidak  ada penjelasan  hukum  sebelum- nya. ‘Utsman ibn ‘Affan berpendapat dan menetapkan fatwanya bahwa si istri berhak  atas warisan suaminya,  sebagaimana terse- but  dalam  riwayat  bahwa  Abdurrahman ibn Auf menceraikan istrinya ketika ia sedang sakit. ‘Utsman memberikan warisan un- tuk istrinya yang tertalak itu menurut kadar  yang berlaku.
‘Idah wanita  yang diceraikan  suaminya  dalam  keadaan hamil dijelaskan  Allah dalam  surat  at-Thalaq  (65): 4, yaitu  sampai melahirkan anak:
Tetapi  tidak  ada  penjelasan  yang pasti  dari  Allah maupun dari Nabi  tentang  ‘idah wanita  yang kematian suami dalam  keadaan hamil; apakah menggunakan ayat 4 surat at-Thalaq meskipun be- lum 4 bulan 10 hari sebagaimana yang dikehendaki ayat 234 surat al-Baqarah (2). Atau menggunakan ayat 234 surat al-Baqarah (2) meskipun  anaknya  belum lahir sebagaimana yang dituntut surat al-Thalaq (65): 4. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan sahabat. ‘Ali ibn Abi Thalib berpendapat dan berfatwa bahwa  ‘idah wanita  itu adalah  masa  yang terpanjang di antara dua masa itu. Dasar pertimbangannya adalah kehati-hatian dalam mengamalkan dua ayat tersebut  di atas. Ulama lain di antaranya
‘Umar Ibn Khattab berpendapat bahwa ‘idahnya tetap melahirkan anak, meskipun belum sampai masanya 4 bulan 10 hari.

Demikianlah sekadar contoh pemikiran sahabat tentang hukum, baik  dalam  hal tidak  ada  dalil tertulis  yang menjelaskannya, atau keadaan sudah  berubah yang menghendaki perubahan pemikiran; atau dalam bentuk ketiga yaitu penerapan ayat terhadap dua kejadian yang bergabung. Pemikiran ini menghasilkan pendapat berbeda yang pada  akhirnya menghasilkan pihak-pihak yang  berbeda,  masing- masing  diikuti  para  pengikutnya. Perbedaan  ini pada  umumnya disebabkan oleh karena  tidak  adanya  petunjuk yang pasti dari Al- Qur’an  dan tidak ada pula penjelasan  dari Nabi.
Di antara perbedaan pendapat yang berkembang di kalangan sahabat dalam memahami hukum Allah, terkadang terdapat kesamaan pendapat di kalangan mereka.  Kesamaan  pendapat ini di kemudian hari diistilahkan dengan “ijma’”.  Kesamaan ini mungkin munculnya dari pemahaman dan penerimaan bersama atas keterangan Nabi yang kurang kuat sandarannya. Bentuk ini disebut kesamaan atau ijma’ yang menyandarkan diri kepada nash atau petunjuk yang ada. Umpamanya dalam  menetapkan hak kewarisan nenek atas harta  warisan  sebesar1/6 bagian.  Memang  untuk  ini ada petunjuk dari Nabi yang berasal dari Qubeisah Ibn Zueb menurut  riwayat  ashhâb al-khamsah  selain Nasa‘i dan disahkan Tarmizi.
Jelas hadis  itu  kurang  kuat  sandarannya karena  Abu  Bakar sendiri sampai tidak mengetahui hadis itu. Namun setelah diterima hadis itu oleh Abu Bakar dengan kesaksian dua orang sahabat yaitu Mughirah ibn Syu’bah dan Muhammad ibn Maslamah, Abu Bakar menetapkan hak nenek sebesar 1/6. Apa yang telah disampaikan Abu Bakar itu ternyata diterima  (disetujui)  semua pihak  sehingga menjadi ijmâ’ shahabat.
Bentuk kesamaan pendapat kedua adalah  kesamaan yang me- mang sama sekali tidak menyandarkan diri kepada dalil mana pun, ia semata-mata hasil pendapat yang kemudian didukung pendapat- pendapat yang lain. Umpamanya wanita hamil dari perbuatan zina dibolehkan kawin menurut ijma’ sahabat. Kasus ini muncul di masa Umar. Ia menetapkan bolehnya wanita tersebut kawin di depan para sahabat lainnya, dan ternyata tidak ada yang menolaknya. Hal ini berarti  ijmâ’ sukûtî  di kalangan sahabat.
Dari uraian di atas dapat dipahami  bahwa pada masa sahabat, sumber yang digunakan dalam merumuskan fiqh adalah Al-Qur’an, penjelasan Nabi yang disebut sunah, dan ijtihad yang terbatas pada qiyas serta ijmâ’ shahabat. Bila pada masa Nabi proses penetapan fiqh disebut pembinaan fiqh, maka pada masa sahabat disebut pe- riode pengembangan fiqh.

3. Fiqh pada Masa Imam Mujtahid

Bila pada masa Nabi sumber fiqh adalah Al-Qur’an, maka pada masa sahabat dikembangkan dengan dijadikannya petunjuk Nabi dan ijtihad sebagai sumber penetapan fiqh. Sesudah masa sahabat, penetapan fiqh dengan  menggunakan sunah  dan ijtihad  ini sudah begitu berkembang dan meluas. Dalam kadar penerimaan dua sum- ber itu terlihat  kecenderungan mengarah pada dua bentuk.
Pertama, dalam menetapkan hasil ijtihad lebih banyak menggunakan hadis  Nabi  dibandingkan dengan  menggunakan ijtihad,  meskipun keduanya tetap dijadikan sumber. Kelompok yang menggunakan cara ini biasa disebut “Ahl al-Hadîs”. Kelompok ini lebih banyak tinggal di wilayah Hijaz, khususnya  Madinah.
Kedua,  dalam  menetapkan fiqh  lebih  banyak  menggunakan sumber  ra’yu atau  ijtihad  ketimbang  hadis,  meskipun  hadis  juga banyak digunakan. Kelompok ini disebut “Ahl al-Ra’yi”. Kelompok
ini lebih  banyak  mengambil  tempat  di wilayah  Irak,  khususnya
Kufah dan Basrah.

Munculnya dua kecenderungan ini dapat  dipahami, terutama karena  adanya  dua latar belakang  historis dan sosial budaya  yang berbeda.  Ahl  al-Hadîs  muncul  di wilayah  Hijaz  adalah  karena Hijaz  khususnya  Madinah dan  Mekah  adalah  wilayah  tempat Nabi bermukim  dalam mengembangkan Islam. Dengan demikian, orang-orang Islam di wilayah ini lebih banyak mengetahui tentang kehidupan Nabi  dan  dengan  sendirinya  banyak  mendengar dan mengetahui hadis dari Nabi.  Sebaliknya,  Irak atau  Kufah, karena jauhnya  lokasi dari wilayah  kehidupan Nabi,  maka  pengetahuan mereka akan hadis Nabi tidak sebanyak yang diperoleh orang Islam di Hijaz.  Di samping  itu, kehidupan sosial dan  muamalat begitu luas serta kompleks  karena  lokasinya  yang lebih maju dari Hijaz. Untuk  mengatasi  itu semua mereka  lebih banyak  dan lebih sering menggunakan ijtihad  dalam  penetapan fiqh. ljtihad  itu pun tidak lagi terbatas pada penggunaan metode qiyâs sebagaimana berlaku pada  masa sebelumnya.  Kedua aliran  ini sama-sama berkembang dengan pesat. Masing-masing melahirkan madrasah-madrasah fiqh dan menghasilkan para ahli fiqh.
Kelompok  “Ahl   al-Hadîs”  menonjolkan dua  madrasah, yaitu Madrasah Madinah dan Madrasah Mekah.  Dari Madrasah Madinah muncul  para  fuqaha  terkemuka, seperti: Aisyah ummul Mukminin; Abdullah  ibn ‘Umar ibn Khattab; Abu Hurairah; Said ibn Musayyab; Urwah ibn Zuber;  Abu Bakar ibn Abd al-Rahman; Ali ibn  Husein;  Ubaidullah ibn  Abdullah;  Salim ibn  Abdullah; Sulaiman  ibn Yassar, Qasim  ibn Ahmad;  Nafi’ Maula  ibn ‘Umar; Muhammad ibn Salim; Abu Ja’far; Abu Zinad;  Yahya ibn Zaid al- Anshari; Rabi‘ah ibn ‘Abdurrahman.
Madrasah Mekah  menghasilkan fuqaha  sebagai berikut:  Ab- dullah  ibn Abbas;  Mujahid; Ikrimah,  Atha’ ibn Abi Rabah;  dan Abu Zubeir. Hasil dari tempaan Madrasah Madinah dan Mekah ini muncul seorang  mujtahid besar ahli hadis,  yaitu  Malik  bin Anas yang ke- mudian  diikuti kelompok  besar yang disebut Mazhab  Malikiyyah.
Ahl al-Ra’yi menampilkan dua Madrasah besar, yaitu: Madrasah Kufah dan Madrasah Basrah di wilayah Irak. Dari Madrasah Kufah muncul mujtahid ahl al-ra’yi, seperti: ‘Alqamah ibn Qeis; Masruk bin Ajda’; ‘Ubaidah ibnu ‘Umar; Aswad ibn Yazid al-Nakha‘i; Ibrahim al-Nakha‘i, Said ibn Zubeir; ‘Amir al-Sya’bi. Sedangkan Madrasah Basrah menghasilkan mujtahid yang terbesarnya, yaitu: Anas ibn Malik. Dari para fuqaha Madrasah Irak ini muncul mujtahid besar ahl al-ra’yi yaitu Abu Hanifah dengan  banyak  pengikutnya, yang disebut ulama Mazhab  Hanafiyyah.
Kemudian, pada pertengahan abad kedua Hijriah tampil seseorang mujtahid besar yang pernah  menggali pengetahuan dan pengalaman dari Madrasah Hijaz dan juga dari Madrasah Irak, yaitu Imam Abu
‘Abdillah Muhammad ibn Idris al-Syafi‘i.

Iman Syafi‘i mencoba mengambil jalan tengah antara pendapat kelompok ahl al-hadîs dan ahl al-ra’yi. Beliau menggunakan lebih banyak sumber ra’yu, tetapi tidak seluas yang digunakan kelompok ahl al-ra’yi, dan dalam waktu yang sama banyak pula menggunakan sumber  hadîs, tetapi  tidak  seluas yang digunakan ahl al-hadîs. Ia mengambil sikap kompromi dan pengembangan antara aliran ra’yu dan aliran hadîs. Metode Imam Syafi‘i ini berkembang dengan pesat dan  mempunyai  pengikut  yang banyak,  baik  di Irak  maupun di Mesir, yang kemudian disebut Mazhab  Syafi‘iyyah.
Di antara pengikut terkemuka Iman Syafi‘i yang kemudian lebih mewarnai pendapatnya dengan  hadis  ialah  Ahmad  bin  Hanbal, yang kemudian mempunyai banyak pengikut, yang disebut Mazhab Hanabilah.
Di samping itu, tampil pula mujtahid yang dalam pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an  lebih banyak  berpedoman kepada  lahir lafaz dan menghindarkan diri dari membawa  pemahamannya keluar (di balik) lahir lafaz. Tokoh yang masyhur pengembang cara pemikiran ini adalah  Daud  bin ‘Ali yang juga mempunyai  banyak  pengikut, dan  berkembang sampai  waktu  ini. Aliran  ini kemudian disebut Mazhab  Zhahiriyyah.
Kelima aliran  tersebut  berada  dalam  lingkup  aliran  kalam  Ahl al-sunah wa al-Jama’ah. Aliran fiqh yang juga muncul dalam masa ini
adalah Mazhab Syi‘ah yang dapat bertahan sampai waktu ini. Mazhab terbesar dari kelompok ini, adalah Mazhab Syi‘ah Imamiyah.
Setiap aliran fiqh tersebut mengembangkan paham dan metode pemikirannya yang kemudian tersebar  luas melalui  murid-murid mujtahid dan di kalangan para pengikutnya. Suatu hal yang patut dipahami dan digarisbawahi bahwa mereka itu berbeda pandangan (pendapat) hanya dalam masalah furû’ (cabang, bukan pokok); dan mereka tidak berbeda dalam masalah pokok/inti agama yang telah diterangkan Allah dalam Al-Qur’an secara jelas dan pasti.
Periode ini ditandai oleh beberapa kegiatan ijtihad yang meng- hasilkan  fiqh dalam bentuknya yang mengagumkan.
Pertama, kegiatan menetapkan metode berpikir dalam memahami sumber  hukum.  Untuk  maksud  ini para  ulama  menyusun  kaidah- kaidah yang dapat mengarahkan mereka dalam usaha mengistinbath- kan hukum  dari dalil yang sudah  ada. Kaidah ini kemudian disebut Ushul Fiqh. Dengan kaidah ushul ini secara sistematis ulama mujtahid dapat memahami maksud Allah yang tertuang dalam ayat-ayat hukum. Perbedaan  dalam  penentuan kaidah  ini pada  dasarnya menentukan perbedaan ulama dalam formulasi fiqh. Ushul fiqh yang telah tersusun dalam bentuk ilmu yang sistematis muncul dalam karya Imam Syafi‘i yang bermanaAl-Risâlah.
Kedua, kegiatan penetapan istilah-istilah hukum yang digunakan dalam  fiqh. Pada mulanya  umat Islam dengan  taat  melaksanakan perintah-perintah Allah  dalam  Qur’an  atau  suruhan Nabi  yang tersebut dalam sunah-Nya, meskipun belum mengenal istilah-istilah hukum.  Demikian  pula  ketaatan mereka  dalam  menjauhi  semua yang dilarang  syara’.
Untuk  memudahkan umat  Islam dalam  memahami perintah dan larangan syara’, ulama mujtahid mencoba memberi istilah ter- hadap  setiap  hukum  syara’ yang berkenaan dengan  tingkah  laku mujtahid. Pada waktu ini dipisahkan antara perbuatan yang wajib, sunah, makruh, haram, dan mubah. Dikembangkan pula pengertian tentang  syarat, rukun,  sebab, mani’, shah, batal, halal, dan haram. Dengan demikian, setiap umat dapat menempatkan tingkah lakunya dalam  hubungannya dengan  kepatuhan terhadap hukum  syara’ kepada  istilah-istilah tersebut.
Ketiga, menyusun  kitab  fiqh secara sistematis,  yang tersusun dalam bab dan pasal; bagian dan subbagian yang mencakup semua masalah hukum, baik yang berkenaan dalam hubungannya dengan Allah, maupun dalam hubungannya dengan manusia dan alam ling- kungannya; masing-masing sesuai dengan metode dan cara berpikir imam mujtahidnya.

4. Fiqh dalam Periode Taklid

Akhir dari masa gemilang ijtihad pada periode imam mujtahid ditandai dengan telah tersusunnya secara rapi dan sistematis kitab- kitab  fiqh  sesuai  dengan  aliran  berpikir  mazhab  masing-masing. Dari  satu  segi, pembukuan fiqh ini ada  dampak positifnya  yaitu kemudahan bagi umat Islam dalam beramal, karena semua masalah agama  telah dapat  mereka  temukan jawabannya dalam  kitab  fiqh yang ditulis para mujtahid sebelumnya. Tetapi dari segi lain, terdapat dampak negatifnya yaitu terhentinya daya ijtihad, karena orang tidak merasa  perlu  lagi berpikir  tentang  hukum,  sebab  semuanya  sudah tersedia jawabannya.
Kegiatan ijtihad pada masa ini terbatas pada usaha pengembangan, pensyarahan dan perincian  kitab  fiqh dari imam mujtahid yang ada (terdahulu), dan tidak muncul lagi pendapat atau pemikiran  baru.
Kitab fiqh yang dihasilkan para mujtahid terdahulu diteruskan dan dilanjutkan oleh pengikut mazhab kepada generasi sesudahnya, tanpa  ada  maksud  untuk  memikirkan atau  mengkajinya kembali secara kritis  dan  kreatif  meskipun  situasi dan  kondisi  umat  yang akan  menjalankannya sudah  sangat  jauh berbeda  dengan  kondisi di saat fiqh itu dirumuskan oleh imam mujtahid. Karena itu sudah mulai banyak  ketentuan-ketentuan fiqh lama itu yang tidak dapat diikuti  untuk  diterapkan secara praktis.  Selain itu, sangat  banyak masalah  fiqh yang tidak  dapat  dipecahkan hanya  dengan  semata membolak-balik kitab-kitab fiqh yang ada itu. Jika pada masa imam mujtahid, fiqh yang disusunnya itu berjalan  secara praktis  dengan daya aktualitas yang tinggi, maka pada masa berikutnya, fiqh dalam bidang-bidang tertentu sudah kehilangan daya aktualitasnya
5.   Reformulasi Fiqh Islam

Dalam satu segi, umat Islam menginginkan kembali kehidupannya diatur oleh hukum Allah. Tetapi dari segi lain, kitab-kitab fiqh yang ada pada waktu  ini-yang merupakan formulasi  resmi dari hukum syara’-belum  seluruhnya memenuhi  keinginan  umat  Islam,  oleh karena  kondisi  sekarang  yang sudah  jauh berbeda  dengan  kondisi ulama mujtahid ketika mereka memformulasikan kitab fiqh itu.
Keadaan  demikian  itu mendorong para  pemikir  muslim  untuk menempuh usaha reaktualisasi hukum yang dapat menghasilkan formulasi fiqh yang baru,  sehingga dapat  menuntun kehidupan keagamaan dan keduniaan umat Islam, sesuai dengan persoalan zamannya.


C. Pengertian dan Ruang Lingkup Ushul Fiqh


1. Latar Belakang

Pada waktu Nabi Muhammad SAW. masih hidup, segala persoalan hukum yang timbul langsung ditanyakan kepada beliau. Beliau mem- berikan  jawaban  hukum  dengan menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam  keadaan tertentu yang tidak  ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an, beliau memberikan jawaban melalui penetapan beliau yang disebut hadis atau sunah. Al-Qur’an dan penjelasannya dalam bentuk hadis disebut “Sumber Pokok Hukum  Islam”.
Al-Qur’an  turun  dalam  bahasa  Arab. Demikian  pula hadis yang disampaikan Nabi, juga berbahasa Arab. Para sahabat Nabi mempunyai pengetahuan yang luas tentang bahasa Arab itu sebagai bahasa ibunya. Mereka  mengetahui secara baik arti setiap lafaz-nya dan maksud  dari setiap ungkapannya. Pengalaman  mereka dalam menyertai kehidupan Nabi dan pengetahuan mereka tentang sebab-sebab serta latar belakang turunnya ayat-ayat hukum  memungkinkan mereka  mengetahui rahasia  dari setiap hukum  yang ditetapkan Allah. Karenanya, mereka tidak  merasa  memerlukan sesuatu  di balik  itu dalam  usaha  mereka memformulasikan hukum dari sumbernya yang telah ada, sebagaimana mereka tidak memerlukan kaidah bahasa dalam memahami Al-Qur’an dan hadis Nabi yang berbahasa Arab itu.
Bila para sahabat Nabi menemukan kejadian  yang timbul dalam kehidupan mereka dan memerlukan ketentuan hukumnya, mereka men- cari jawabannya dalam Al-Qur’an. Bila tidak menemukan jawabannya secara harfiah  dalam Al-Qur’an, mereka mencoba  mencarinya dalam koleksi hadis Nabi. Bila dalam hadis Nabi tidak juga mereka temukan jawabannya, mereka menggunakan daya nalar yang dinamakan ijtihad. Dalam berijtihad itu mereka mencari titik kesamaan dari suatu kejadian yang dihadapinya itu dengan  apa-apa yang telah  ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadis. Mereka selalu mendasarkan pertimbangan pada usaha  “memelihara kemaslahatan umat” yang menjadi  dasar  dalam penetapan hukum syara’.
Dengan cara seperti itulah Muaz ibn Jabal memberikan jawaban kepada Nabi dalam dialog di antara keduanya sewaktu Muaz diutus Nabi ke Yaman untuk  menduduki jabatan qadhi.
Nabi   :   “Bagaimana cara Anda menetapkan hukum  bila kepada Anda dihadapkan perkara yang memerlukan ketetapan hukum?”
Muaz  :   “Aku menetapkan hukum  berdasarkan Kitab Allah.”

Nabi    :   “Bila Anda tidak  menemukan jawabannya dalam  Kitab
Allah?”

Muaz  :   “Aku menetapkan hukum  dengan sunah Nabi.”

Nabi    :   “Bila dalam sunah, Anda juga tidak menemukannya?”

Muaz  :   “Aku melakukan ijtihad dan aku tidak akan gegabah da- lam ijtihadku.”

Jawaban Muaz  dengan  urut-urut seperti  itu  mendapat pe- ngakuan dari Nabi Muhammad SAW..
Allah SWT. dalam surat an-Nisa’(4):  59 berfirman:



Hai orang-orang yang beriman,  patuhlah  kamu  kepada Allah dan  patuhlah  kamu  kepada  Rasul  dan  orang-orang  yang
memimpin urusanmu. Bila kamu  berselisih pendapat  tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.

Suruhan Allah dalam ayat ini untuk menaati Allah dan Rasul-Nya berarti perintah untuk mengikuti apa-apa yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi. Suruhan untuk menaati ulil amri berarti perintah untuk mengikuti kesepakatan para ulama mujtahid dalam menetapkan hukum, karena  mereka adalah  orang-orang yang mengurus kepentingan umat Islam dalam  bidang  hukum.  Suruhan  untuk  memulangkan hal dan urusan  yang diperselisihkan kepada  Allah dan Rasul berarti  perintah untuk  menggunakan qiyâs  (daya  nalar)  dalam  hal-hal  yang tidak ditemukan jawabannya dalam  Al-Qur’an,  hadis,  dan tidak  ada  pula ijmâ’ atau kesepakatan ulama mujtahid. Dengan demikian, dalil hukum syara’ yang disepakati di kalangan ulama jumhur  adalah  empat yaitu Al-Qur’an, hadis atau sunah, Ijma’, dan Qiyâs.
Setelah masa gemilang itu berlalu, datanglah suatu masa di mana umat Islam sudah bercampur baur antara orang-orang yang berbahasa Arab dan memahaminya secara baik dengan orang-orang yang tidak berbahasa Arab atau tidak memahaminya secara baik. Waktu itu bahasa Arab menjadi sesuatu yang harus dipelajari untuk  memahami hukum- hukum Allah. Karenanya para ahli berusaha menyusun kaidah-kaidah untuk  menjaga seseorang dari kesalahan dalam memahami Al-Qur’an dan hadis yang keduanya adalah sumber pokok ajaran Islam.
Kemudian  para ulama mujtahid merasa perlu menetapkan dan menyusun  kaidah  atau  aturan permainan yang dijadikan  pedoman dalam merumuskan hukum dari sumber-sumbernya dengan memer- hatikan asas dan kaidah yang ditetapkan ahli bahasa yang memahami dan  menggunakan bahasa  Arab  secara  baik.  Di samping  itu, juga memerhatikan jiwa syariah dan tujuan Allah menempatkan mukalaf dalam  tanggung  jawab  hukum.  Kaidah  dalam  memahami hukum Allah dari sumbernya itulah yang disebut ushul fiqh.

2. Pengertian Ushul Fiqh

Kata “ushul fiqh” adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul”
dan kata  “fiqh”. Kata “fiqh” secara etimologi berarti  “paham yang
mendalam”. Kata  ini muncul  sebanyak  20  kali  dalam  Al-Qur’an dengan arti paham  itu, umpamanya dalam surat al-Kahfi (18): 93:
“dalil  syara’” itu ada aturannya dalam  bentuk  kaidah,  umpamanya: “Setiap perintah itu menunjukkan wajib”. Pengetahuan tentang kaidah- kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut “Ilmu Ushul Fiqh”.
Dari penjelasan sederhana di atas dapat diketahui perbedaan ushul fiqh dari fiqh. Ushul fiqh adalah pedoman atau aturan-aturan yang membatasi dan menjelaskan cara-cara  yang harus diikuti seorang fakih dalam usahanya  menggali dan mengeluarkan  hukum syara’ dari dalilnya; sedangkan fiqh ialah hukum-hukum syara’ yang telah digali dan dirumuskan dari dalil-dalil menurut aturan yang sudah ditentukan itu.
Adapun perbedaan antara “ushul fiqh” dengan “kaidah fiqhiyah” terletak  pada  lingkup  bahasannya. Kaidah  fiqhiyah  berada  dalam lingkup bahasan fiqh, bukan  dalam lingkup bahasan ushul fiqh. Usul fiqh menjelaskan  ketentuan atau  aturan yang harus  diikuti  seorang mujtahid untuk menghindarkan dirinya dari kesalahan dalam usahanya merumuskan hukum syara’ dari dalilnya. Adapun kaidah fiqhiyah adalah kumpulan hukum-hukum kesamaan yang setiap hal dirujukkan kepada satu pola yang sama; seperti kaidah khiyâr, atau kaidah-kaidah fasakh secara umum.

3. Perkembangan Ushul Fiqh

Ilmu ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari ushul fiqh. Sebenarnya  keberadaan fiqh harus  didahului oleh ushul fiqh, karena ushul fiqh itu adalah ketentuan atau kaidah yang harus diikuti mujtahid pada waktu menghasilkan fiqhnya. Namun dalam perumusannya ushul fiqh datang belakangan.
Perumusan fiqh  sebenarnya sudah  dimulai  langsung  sesudah Nabi  wafat,  yaitu  pada  periode  sahabat. Pemikiran  dalam  ushul fiqh telah  ada  pada  waktu  perumusan fiqh itu.  Para  sahabat-di antaranya Umar  Ibn  Khattab, Ibnu  Mas‘ud,  ‘Ali ibn  Abi Thalib umpamanya-pada waktu  mengemukakan pendapatnya tentang hukum,  sebenarnya sudah  menggunakan aturan atau  pedoman dalam  merumuskan hukum,  meskipun  secara  jelas mereka  tidak mengemukakan demikian.
Sewaktu  ‘Ali ibn Abi Thalib  menetapkan hukuman cambuk sebanyak 80 kali terhadap peminum  khamar, beliau berkata, “Bila ia minum ia akan mabuk dan bila ia mabuk, ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak benar; maka kepadanya diberikan sanksi tuduhan berbuat zina.”  Dari  pernyataan ‘Ali itu, akan  diketahui bahwa ‘Ali rupanya menggunakan kaidah menutup pintu kejahatan yang akan timbul atau “sad al-dzari‘ah”.
‘Abdullah  ibn  Mas’ud  sewaktu  mengemukakan pendapatnya tentang wanita hamil yang kematian suami ‘idahnya adalah melahirkan anak, mengemukakan argumennya dengan Firman Allah dalam surat at-Thalaq  (85) ayat 4, meskipun  juga ada Firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) yang menjelaskan  bahwa  istri yang kematian suami
‘idahnya empat bulan sepuluh hari. Dalam menetapkan pendapat ini beliau mengatakan bahwa ayat 4 surat at-Thalaq datang sesudah ayat
234 surat al-Baqarah (2).

Dari tindakan Ibnu Mas’ud tersebut kelihatan bahwa dalam me- netapkan fatwanya itu ia menggunakan kaidah ushul, tentang nasakh- mansûkh, yaitu  bahwa  dalil yang datang  kemudian menasakhkan dalil yang datang  terdahulu. Dari apa yang dilakukan lbnu Mas‘ud ini dan  juga  dari  apa  yang dilakukan ‘Ali ibn  Abi Thalib  dalam contoh di atas kita dapat memahami bahwa para sahabat dalam me- lakukan ijtihad  mengikuti  suatu  pedoman  tertentu meskipun  tidak dirumuskan secara jelas.
Pada  periode  tabi‘în  lapangan istinbath  atau  perumusan hukum semakin meluas karena begitu banyaknya peristiwa hukum yang bermunculan. Dalam masa itu beberapa orang ulama tabi‘in tampil  sebagai  pemberi  fatwa  hukum  terhadap kejadian  yang muncul; umpamanya Sa‘id ibn Musayyab  di Madinah dan lbrahim al-Nakha‘i  di lrak.  Masing-masing ulama  ini mengetahui secara baik  ayat-ayat hukum  dalam  Al-Qur’an  dan  mempunyai  koleksi yang lengkap  tentang  hadis Nabi.  Jika mereka  tidak  menemukan jawaban  hukum dalam Al-Qur’an atau hadis, sebagian dari mereka mengikuti metode maslahat dan sebagian mengikuti metode qiyas. Usaha  istinbath  hukum  yang  dilakukan Ibrahim  al-Nakha‘i  dan ulama  Irak lainnya  mengarah kepada  mengeluarkan ‘Illat hukum
dari nash dan menerapkannya terhadap peristiwa  yang lama yang baru bermunculan kemudian hari.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa metode yang digunakan dalam  merumuskan hukum  syara’ semakin  memperlihatkan ben- tuknya. Perbedaan metode yang digunakan menyebabkan timbulnya perbedaan aliran dalam fiqh.
Abu Hanifah dalam usaha merumuskan fiqhnya menggunakan metode tersendiri. Ia menetapkan Al-Qur’an sebagai sumber pokok, kemudian hadis  Nabi,  berikutnya fatwa  sahabat.  Ia mengambil hukum-hukum yang telah disepakati para sahabat. Dalam hal-hal yang ulama sahabat berbeda pendapat, ia memilih satu di antaranya yang dianggap lebih kuat. Abu Hanifah tidak mengambil pendapat ulama  tabi‘in  sebagai  dalil  dengan  pertimbangan bahwa  ulama tabi‘in itu berada dalam satu ranking dengannya. Metodenya dalam menggunakan qiyâs dan istihsân terlihat  nyata sekali.
Imam  Malik  menempuh metode  ushuli  yang lebih jelas meng- gunakan tradisi  yang hidup  di kalangan penduduk Madinah, se- bagaimana dinyatakan dalam buku dan risalahnya. Terlihat usahanya menolak  hadis  yang dihubungkan kepada  Nabi  karena  hadis  itu menyalahi nash Al-Qur’an. Imam Malik lebih banyak  menggunakan hadis  ketimbang  Abu Hanifah; mungkin  karena  begitu  banyaknya hadis yang dia temukan. Dalam  penggunaan qiyâs, ia memberikan persyaratan yang begitu berat. Tetapi di balik itu, Imam Malik meng- gunakan maslahat  mursalah  yang tidak  digunakan ulama  jumhur; sebagai imbangan dari istihsân yang digunakan Abu Hanifah. Metode yang  digunakan Imam  Malik  dalam  merumuskan hukum  syara’ merupakan pantulan dari  aliran  Hijaz,  sebagaimana metode  yang digunakan Abu Hanifah merupakan pantulan dari aliran Irak.
Setelah Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, tampil Imam Syafi‘i. Ia menemukan dalam  masanya  perbendaharaan fiqh yang sudah berkembang semenjak periode sahabat, tabi‘in, dan imam-imam yang mendahuluinya. Ia menemukan perbincangan tentang  fiqh begitu meriah  yang diwarnai diskusi dan polemik  yang menarik  di antara tokoh-tokoh yang berbeda pendapat. Perdebatan terbuka berlangsung di antara kubu  Madinah dan  kubu  Irak.  Imam  Syafi‘i menggali
pengalaman dalam berbagai diskusi di tengah pendapat yang berbeda itu. Ia memiliki pengetahuan tentang  fiqh Maliki  yang diterimanya langsung  dari  Imam  Malik.  Ia juga sempat  menimba  pengetahuan dan pengalaman dari Muhammad ibn Hasan al-Syaibani (murid Abu Hanifah) sewaktu ia berada di Irak. Selain itu, ia pun mendalami fiqh ulama Mekah tempat ia lahir dan berkembang. Modal pengalaman dan pengetahuannya yang luas dan mendalam itu, memberi petunjuk kepada Imam Syafi‘i untuk  meletakkan  pedoman  dan  neraca  berpikir  yang menjelaskan  langkah-langkah yang harus  dilakukan  mujtahid  dalam merumuskan hukum dari dalilnya. Metode berpikir yang dirumuskan Imam Syafi‘i itulah yang kemudian disebut “ushul fiqh”.
Imam  Syafi‘i pantas  disebut  sebagai  orang  pertama yang me- nyusun sistem metodologi berpikir tentang hukum Islam, yang kemudian populer  dengan sebutan  ushul fiqh; sehingga tidak  salah ucapan seseorang orientalis Inggris, N. J. Coulson, yang mengatakan bahwa  Imam  Syafi‘i adalah  arsitek  ilmu  fiqh.  Hal  ini bukanlah berarti beliau yang merintis dan mengembangkan ilmu tersebut. Jauh sebelumnya,  mulai  dari  para  sahabat, tabi‘in,  bahkan di kalangan imam mujtahid belakangan seperti Abu Hanifah, Imam Malik  dan juga di kalangan ulama Syi‘ah seperti Muhammad al-Baqir dan Ja’far al-Shadiq sudah  menemukan dan menggunakan metodologi dalam perumusan fiqh.  Tetapi  mereka  belum  menyusun  ilmu itu  secara sistematis sehingga dapat  disebut sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
Kemampuan Imam Syafi‘i dalam melahirkan ilmu ushul fiqh ini ditopang beberapa faktor  yang ada pada  diri dan pengalamannya. Pengalamannya yang lama di pedesaan Arab memungkinkannya me- nimba  pengetahuan tentang  bahasa  Arab bahkan ia menjadi  salah seorang ahli Lisân al-‘Arab. Dengan ilmu ini ia memiliki kemampuan yang tinggi dalam merumuskan kaidah untuk mengeluarkan hukum syara’ dari teks Al-Qur’an dan hadis yang keduanya berbahasa Arab orisinal.
Selama keberadaannya di Mekah,  Imam Syafi‘i mewarisi  ilmu Al-Qur’an dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas yang memungkinkannya untuk mengenal  nasikh-mansûkh dalam  Al-Qur’an. Di samping  itu,  ia berkesempatan pula mendalami hadis Nabi  dari ulama  hadis yang
memungkinkannya mengenal  kedudukan sunah  bagi  Al-Qur’an sehingga beliau dapat menyelesaikan pendapat dan anggapan adanya pertentangan antara Al-Qur’an dengan Hadis Nabi. Penguasaannya yang baik terhadap fiqh aliran  tradisionalis (Hijaz) dan fiqh aliran rasionalis (Irak) merupakan modal dasar penyusunan kaidah-kaidah dalam  menggunakan qiyâs.  Dengan  segenap  kemampuannya itu, Imam Syafi‘i berhasil menyusun  metodologi yang sistematis  dalam merumuskan hukum  syara’.
Sepeninggal Imam Syafi‘i pembicaraan tentang  ushul fiqh se- makin  menarik,  dan  ushul  fiqh itu sendiri  semakin  berkembang. Pada  dasarnya ulama  fiqh pengikut  imam  mujtahid yang datang kemudian mengikuti dasar-dasar yang sudah disusun Imam Syafi‘i. Dalam  pengembangannya terlihat  adanya  perbedaan arah  yang menyebabkan perbedaan dalam ushul fiqh.
Sebagian ulama yang kebanyakan pengikut Imam Syafi‘i mencoba mengembangkan ushul  fiqh Syafi‘i dengan  cara,  antara lain: men- syarahkan, memerinci  yang bersifat  garis besar,  mempercabangkan pokok pikiran Imam Syafi‘i, sehingga ushul fiqh Syafi‘iyyah menemukan bentuknya yang sempurna.
Sebagian ulama  mengambil  sebagian  dari pokok-pokok pikiran Imam Syafi‘i itu dan tidak mengikutinya dalam bagian lain yang bersifat rincian. Sebagai ganti dari yang tidak diikutinya itu ditambahkannya hal-hal yang sudah menjadi dasar bagi pikiran imam mereka. Kelompok ulama Hanafiyah mengambil sebagian yang dasar-dasarnya diletakkan Imam  Syafi‘i, kemudian mereka  menambahkan pemikiran tentang istihsan  dan ‘urf yang diambil  dari imam mereka.  Kelompok  ulama Malikiyah, di samping mengikuti beberapa dasar yang diletakkan Imam Syafi‘i, mereka tidak mengikuti  pendapat Syafi‘i yang menolak ijmâ’ ahli Madinah dan memasukkan tambahan berupa maslahat mursalah serta prinsip penetapan hukum berdasarkan sad al-dzarâ‘i.
Pada prinsipnya fuqaha mazhab yang empat tidak berbeda dengan dasar  yang ditetapkan Imam  Syafi‘i tentang  penggunaan dalil yang empat, yaitu: Al-Qur’an, hadis, Ijma’ dan Qiyas, meskipun dalam kadar penggunaannya terdapat perbedaan. Di samping  itu, masing-masing menggunakan dalil tambahan yang tidak digunakan ulama lainnya.
Meskipun kemudian sesudah meninggalnya  imam-imam  muj- tahid  yang  empat  dinyatakan bahwa  kegiatan  ijtihad  terhenti, namun  sebenarnya yang terhenti  adalah  kegiatan  ijtihad  mutlaq sedangkan ijtihad terhadap ushul mazhab yang tertentu masih tetap berlangsung  yang  masing-masing mengarah kepada  menguatnya ushul fiqh yang dirintis para imam pendahulunya.
Sesudah melembaganya mazhab-mazhab fiqh, maka  arah  pe- ngembangan ushul fiqh terlihat  dalam dua bentuk  yang berbeda.
Pertama, arah pemikiran murni, yaitu penyusunan kaidah  ushul yang tidak terpengaruh kepada furu’ mazhab mana pun. Perhatian pembahasan dalam  hal ini mengarah kepada  penerapan kaidah  dan menguatkannya, tanpa  terikat  pada  amal  yang berkembang di ka- langan  mazhab.  Perkembangan ushul fiqh menurut  arah  ini disebut ushul fiqh Syafi‘iyah atau ushul fiqh aliran Mutakallimin. Penamaan ulama Mutakallimin atau ulama kalam tersebut, dalam hal ini karena pemikiran ulama  kalam  di bidang  ini mengelompok dalam  aliran ushul fiqh. Di antara buku ushul fiqh yang disusun menurut  metode ini adalah:
1. Kitab al-Mu’tamad karangan Abu Hasan al-Bashri yang dalam aliran kalam beraliran Mu’tazilah;
2. Kitab al-Burhân karangan Imam al-Haramain; dan

3. Kitab al-Mustashfâ karangan al-Ghazali.

Ketiga kitab tersebut oleh ulama yang datang kemudian dibuat ikhtisar  sehingga menjadi karangan pendek.  Karangan pendek ini kemudian oleh ulama  belakangan disyarahkan. Kemudian  syarah itu diberi hasyiyah, sehingga akhirnya berkembang menjadi kitab- kitab ushul fiqh dalam mazhab  Syafi‘i.
Kedua, mengarah pada penyusunan ushul fiqh yang terpengaruh pada furu’ dan menyesuaikannya bagi kepentingan furu’ dan berusaha mengembangkan ijtihad yang telah berlangsung sebelumnya. Hal ini berarti bahwa pengikut mazhab melakukan ijtihad untuk memelihara hukum fiqh yang dicapai oleh ulama pendahulu mazhabnya. Mereka mengemukakan kaidah-kaidah yang mendukung dan menguatkan mazhab  mereka.  Ulama  fuqaha  yang lebih banyak  menggunakan
metode  ini adalah  ulama  kelompok Hanafiyah. Karena  itu metode ushul  fiqh  menurut  metode  ini disebut  metode  ushul  Hanafiyah. Kitab-kitab ushul fiqh menurut  metode ini, antara lain:
1. Kitab Ushûl karangan al-Karahki;

2. Kitab al-Ushûl karangan Abu Bakar al-Razi; dan

3. Kitab Ta’sîs al-Nazhar  karangan al-Dabbusi.

Sesudah itu bermunculan kitab-kitab ushul fiqh aliran Hanafiyah, seperti karangan al-Baidhawi,  al-Sarhisi, dan lain-lainnya.
Sesudah dua metode ini berjalan  mapan  dan berkembang me- nurut aliran masing-masing, ditemukan pula kitab-kitab ushul fiqh yang  merupakan gabungan dari  kedua  aliran  tersebut.  Sebagian ditulis oleh ulama dari mazhab Syafi‘i seperti kitab Jam‘ul Jawâmi’ oleh Ibnu Subki dan sebagian ditulis ulama mazhab Hanafi  seperti kitab al-Tahrîr oleh Kamaluddin ibn al-Hummam.

4. Tujuan dan Manfaat Ushul Fiqh

Tujuan  yang hendak  dicapai  dari ilmu ushul fiqh ialah untuk dapat  menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terinci  agar  sampai  kepada  hukum-hukum syara’ yang  bersifat
‘amali yang ditunjuk  oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah ushul serta bahasannya itu dapat  dipahami  nash-nash syara’ dan hukum yang terkandung di dalamnya. Demikian pula dapat dipahami secara baik dan tepat apa-apa yang dirumuskan ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada  rumusan itu.
Metnang dengan  metode  tersebut  para  ulama  telah berhasil  me- rumuskan hukum  syara’ dan telah terjabar secara rinci dalam  kitab- kitab fiqh. Lantas untuk apa lagi, ushul fiqh itu bagi umat yang datang kemudian? Dalam hal ini ada dua maksud mengetahui ushul fiqh itu.
Pertama,  bila kita  sudah  mengetahui metode  ushul  fiqh yang dirumuskan ulama terdahulu, maka bila suatu ketika kita menghadapi masalah baru yang tidak mungkin ditemukan hukumnya dalam kitab- kitab fiqh terdahulu, maka kita akan dapat mencari jawaban hukum terhadap masalah  baru itu dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu itu.
Kedua,  bila  kita  menghadapi  masalah  hukum  fiqh  yang terurai  dalam kitab-kitab fiqh, tetapi mengalami  kesukaran dalam penerapannya karena sudah begitu jauhnya perubahan yang terjadi, dan kita ingin mengkaji ulang rumusan fuqaha  lama itu atau ingin merumuskan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan dan tuntutan kondisi  yang menghendakinya, maka  usaha  yang harus  ditempuh adalah  merumuskan kaidah  baru  yang memungkinkan timbulnya rumusan baru  dalam  fiqh. Kaji ulang terhadap suatu  kaidah  atau menentukan kaidah  baru  itu tidak  mungkin  dapat  dilakukan bila tidak  mengetahui secara  baik  usaha  dan  cara  ulama  lama  dalam merumuskan kaidahnya. Hal itu akan diketahui  secara baik dalam ilmu ushul fiqh.

5. Pokok Pembahasan Ushul Fiqh

Bertitik tolak  dari definisi ushul fiqh yang disebutkan di atas, maka bahasan pokok  ushul fiqh itu adalah  tentang:
a. Dalil-dalil atau sumber hukum  syara’;
b. Hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam dalil itu; dan
c. Kaidah-kaidah tentang  usaha  dan cara mengeluarkan hukum
syara’ dan dalil atau sumber yang mengandungnya.

Dalam membicarakan sumber hukum dibicarakan pula kemung- kinan terjadinya benturan antara dalil-dalil dan cara menyelesaikannya. Dibahas  pula  tentang  orang-orang yang  berhak  dan  berwenang menggunakan kaidah  atau  metode  dalam  melahirkan hukum  syara’ tersebut.  Hal  ini memunculkan pembahasan tentang  ijtihad  dan mujtahid. Kemudian  membahas  mengenai tindakan dan usaha yang dapat ditempuh orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan dan kemungkinan berijtihad atau pembahasan tentang  taklid dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya.
Dalam sistematika penyusunan pokok-pokok bahasan terdapat perbedaan yang disebabkan perbedaan arah dan  penekanan dari beberapa pokok  bahasan tersebut.
A. Pengertian Fiqh, Syariah, dan Hukum Islam

Pengertian fiqh atau ilmu fiqh sangat berkaitan dengan syariah, karena fiqh itu pada hakikatnya adalah jabaran praktis dari syariah. Karenanya, sebelum memberikan penjelasan  tentang  arti fiqh, ter- lebih dahulu  perlu dijelaskan  arti dan hakikat syariah.

1.   Pengertian Syariah

Secara  etimologis  (lughawi)  syariah  berarti  “jalan  ke tempat pengairan” atau “jalan yang harus diikuti”, atau “tempat lalu air di sungai”.  Arti terakhir ini digunakan orang Arab sampai sekarang.
Kata syariah muncul dalam beberapa ayat Al-Qur’an, seperti pa- da surat al-Maidah (5): 48; asy-Syura (42): 13; dan al-Jatsiyah  (45):
18, yang mengandung arti “jalan yang jelas yang membawa  kepada kemenangan”. Dalam  hal ini, agama  yang ditetapkan Allah untuk manusia  disebut syariah,  dalam  artian  lughawi,  karena  umat Islam selalu melaluinya  dalam kehidupannya di dunia.  Kesamaan  syariah Islam dengan jalan air adalah  dari segi bahwa  siapa yang mengikuti syariah  ia akan  mengalir  dan  bersih  jiwanya.  Allah  menjadikan air  sebagai  penyebab  kehidupan tumbuh-tumbuhan  dan  hewan sebagaimana Dia menjadikan syariah sebagai penyebab  kehidupan jiwa insani.

Menurut para  ahli, definisi syariah  adalah:  “Segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang menge- nai akhlak”.  Dengan demikian, “syariah” itu adalah  nama bagi hu- kum-hukum yang bersifat amaliah.
Walaupun pada mulanya syariah itu diartikan “agama” sebagaimana yang disinggung Allah dalam surat asy-Syura (42): 13, namun kemudian dikhususkan penggunaannya untuk hukum amaliah. Pengkhususan ini dimaksudkan karena  agama  pada  dasarnya adalah  satu dan berlaku secara  universal,  sedangkan  syariah  berlaku  untuk  masing-masing umat yang berbeda dengan umat sebelumnya. Dengan demikian,  kata “syariah” lebih khusus dari agama. Syariah adalah hukum amaliah yang berbeda menurut perbedaan Rasul yang membawanya dan setiap yang datang  kemudian mengoreksi yang datang  lebih dahulu.  Sedangkan dasar  agama,  yaitu  ‘akidah/tauhid, tidak  berbeda  antara Rasul  yang satu dengan lainnya.
Di antara ulama ada yang lebih mengkhususkan lagi pemakaian kata “syariah” itu dengan: “Apa-apa yang bersangkutan dengan per- adilan serta pengajuan perkara kepada mahkamah dan tidak mencakup kepada halal dan haram”.
Qatadah, menurut yang diriwayatkan al-Thabari, menggunakan kata  “syariah” kepada  hal yang menyangkut kewajiban, had, pe- rintah dan larangan;  tidak termasuk  di dalamnya ‘akidah, hikmah, dan ibarat yang tercakup dalam agama. Syaltut mengartikan syariah dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah bagi hamba-Nya untuk  diikuti  dalam  hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan sesama manusia”. Dr. Farouk  Abu Zeid menjelaskan  bahwa syariah ialah: “Apa-apa yang ditetapkan Allah melalui lisan Nabi-Nya”. Allah adalah  pembuat hukum  yang me- nyangkut  kehidupan agama dan kehidupan dunia.

2.   Pengertian Fiqh

       Kata  “fiqh”, secara  etimologis  berarti  “paham yang men- dalam”. Bila “paham” dapat  digunakan untuk  hal-hal  yang bersifat lahiriah,  maka  fiqh berarti  paham  yang menyampaikan ilmu lahir kepada ilmu batin. Karena itulah at-Tirmidzi menyebutkan, “fiqh tentang sesuatu,” berarti mengetahui batinnya sampai kepada kedalamannya.
Kata “faqaha” 
Kata “amaliah” yang terdapat dalam definisi di atas menjelaskan bahwa fiqh itu hanya menyangkut tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriah. Dengan demikian, hal-hal yang bersifat bukan amaliah seperti masalah keimanan atau ‘akidah tidak termasuk dalam lingkungan fiqh dalam artian ini. Umpamanya ketentuan bahwa Allah itu bersifat Esa dan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat.
Penggunaan  kata “digali dan ditemukan” mengandung arti bah- wa fiqh itu adalah  hasil penggalian,  penemuan, penganalisisan, dan penentuan ketetapan tentang  hukum.  Karenanya bila bukan dalam bentuk hasil suatu penggalian-seperti mengetahui apa-apa yang secara lahir dan jelas dikatakan Allah-tidak disebut fiqh. Fiqh itu adalah hasil penemuan  mujtahid dalam hal-hal yang tidak dijelaskan oleh nash.
Kata “tafsili” dalam definisi itu menjelaskan tentang dalil-dalil yang digunakan seorang faqih atau mujtahid dalam penggalian dan penemuannya. Karena  itu, ilmu yang diperoleh  orang  awam  dari seorang mujtahid yang terlepas dari dalil tidak termasuk  ke dalam pengertian  fiqh.
Al-Amidi memberikan definisi fiqh yang berbeda dengan definisi di atas,  yaitu:  “Ilmu  tentang  seperangkat  hukum-hukum syara’ yang bersifat furu‘iyah yang berhasil didapatkan melalui penalaran atau istidlal”.
Kata “furu‘iyah” dalam definisi al-Amidi ini menjelaskan bahwa ilmu tentang  dalil dan macam-macamnya sebagai hujah,  bukanlah fiqh menurut  artian  ahli ushul, sekalipun  yang diketahui  itu adalah hukum  yang bersifat nazhari.
Penggunaan  kata  “penalaran” dan  “istidlal” (yang sama  mak- sudnya dengan “digali”) menurut istilah Ibnu Subki di atas memberikan penjelasan bahwa fiqh itu adalah hasil penalaran dan istidlal. Ilmu yang diperoleh bukan dengan cara seperti itu-seperti ilmu Nabi tentang apa yang diketahuinya dengan perantaraan wahyu-tidak disebut fiqh.
Dengan menganalisis kedua definisi yang disebutkan di atas da- pat ditemukan hakikat dari fiqh, yaitu:
a. fiqh itu adalah  ilmu tentang  hukum  Allah;
b. yang dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat amaliah furu‘iyah;
c. pengetahuan tentang  hukum  Allah itu didasarkan kepada  da- lil tafsili; dan
d. fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal se- orang mujtahid atau faqih.

Dengan demikian,  secara ringkas dapat  dikatakan, “Fiqh itu adalah dugaan kuat yang dicapai seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah.”
Dari  pengertian  fiqh dan  syariah  di atas  terlihat  kaitan  yang sangat  erat  antara fiqh dengan  syariah.  Syariah diartikan dengan ketentuan yang ditetapkan Allah tentang  tingkah  laku manusia  di dunia dalam mencapai kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Ketentuan Allah itu terbatas dalam firman Allah dan penjelasannya yang diwahyukan melalui lisan Nabi.
Semua tindakan manusia  di dunia dalam mencapai  kehidupan yang baik itu harus tunduk kepada kehendak Allah dan Rasulullah. Kehendak  Allah  dan  Rasul  itu  sebagian  terdapat secara  tertulis dalam kitab-Nya yang disebut syari‘ah, sedangkan  sebagian besar lainnya tersimpan di balik atau di luar yang tertulis itu.
Untuk mengetahui keseluruhan apa yang dikehendaki Allah tentang  tingkah  laku manusia  itu, harus ada pemahaman mendalam tentang syariah, sehingga secara amaliah syariah itu dapat diterapkan dalam  kondisi  dan situasi bagaimanapun. Hasil pemahaman itu di- tuangkan dalam bentuk ketentuan yang terinci. Ketentuan terinci ten- tang tingkah laku manusia mukalaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap syariah itu disebut fiqh.
3.   Pengertian Hukum Islam

Hukum  Islam merupakan rangkaian dari  kata  “hukum” dan kata “Islam”. Kedua kata itu, secara terpisah, merupakan kata yang digunakan dalam bahasa  Arab dan terdapat dalam Al-Qur’an,  juga berlaku  dalam  bahasa  Indonesia.  “Hukum Islam”  sebagai  suatu rangkaian kata  telah  menjadi  bahasa  Indonesia  yang  hidup  dan terpakai, namun bukan merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab, dan tidak ditemukan dalam Al-Qur’an;  juga tidak ditemukan dalam  literatur yang berbahasa Arab.  Karena  itu kita  tidak  akan menemukan artinya  secara definitif.

Untuk memahami pengertian hukum Islam, perlu diketahui lebih dahulu kata “hukum” dalam bahasa Indonesia, kemudian pengertian hukum  itu disandarkan kepada  kata “Islam”. Ada kesulitan  dalam memberikan definisi kepada  kata  “hukum” karena  setiap  definisi akan menemukan titik lemah. Karena itu, untuk  memudahkan me- mahami  pengertian  hukum,  berikut  ini akan diketengahkan definisi hukum  secara  sederhana, yaitu:  “Seperangkat  peraturan  tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat, disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan mengikat  untuk seluruh anggotanya”.
Definisi ini tentunya masih  mengandung kelemahan, namun dapat  memberikan pengertian  yang mudah  dipahami.
Bila kata “hukum” menurut definisi di atas dihubungkan kepada “Islam” atau  “Syara’”,  maka  “hukum Islam”  akan  berarti:  “Se- perangkat  peraturan  berdasarkan  wahyu  Allah  dan sunah  Rasul tentang  tingkah  laku  manusia  mukalaf yang diakui  dan diyakini mengikat  untuk semua yang beragama Islam”.
Kata “seperangkat peraturan” menjelaskan bahwa yang dimak- sud dengan hukum Islam itu adalah peraturan yang dirumuskan secara terperinci  dan mempunyai kekuatan yang mengikat.
Kata “yang berdasarkan wahyu Allah dan sunah Rasul”  men- jelaskan bahwa perangkat peraturan itu digali dari dan berdasarkan kepada  wahyu  Allah dan sunah  Rasul, atau  yang populer  dengan sebutan  “syariah”.
Kata “tentang tingkah laku manusia mukalaf” mengandung arti bahwa  hukum  Islam itu hanya mengatur tindak  lahir dari manusia yang dikenai  hukum.  Peraturan tersebut  berlaku  dan  mempunyai kekuatan terhadap orang-orang yang meyakini kebenaran wahyu dan sunah Rasul itu, yang dimaksud dalam hal ini adalah  umat Islam.
Bila artian sederhana tentang “hukum Islam” itu dihubungkan kepada  pengertian “fiqh”  sebagaimana dijelaskan  sebelumnya, dapat  dikatakan bahwa  yang dimaksud dengan  hukum  Islam itu adalah yang bernama “fiqh” dalam literatur Islam yang berbahasa Arab. Dengan demikian,  setiap kata “fiqh” dalam buku ini berarti “hukum Islam”.
Kajian tentang hukum Islam itu mengandung dua bidang pokok yang masing-masing  luas cakupannya, yaitu:
Pertama, kajian tentang perangkat peraturan terinci yang bersifat amaliah  dan harus  diikuti umat Islam dalam  kehidupan beragama. Inilah  yang secara  sederhana disebut  “fiqh” dalam  artian  khusus dengan segala lingkup bahasannya.
Kedua, kajian  tentang  ketentuan serta cara dan usaha  yang sis- tematis  dalam  menghasilkan perangkat peraturan yang terinci  itu disebut “ushul  fiqh”,  atau dalam arti lain “sistem metodologi fiqh”. Fiqh dan ushul fiqh merupakan dua bahasan terpisah,  namun  saling berkaitan. Pada waktu menguraikan suatu ketentuan tentang fiqh, untuk menguatkan bahasannya, sering disertai penjelasan mengenai kenapa ketentuan itu begitu adanya, sehingga memasuki lapangan pembahasan ushul fiqh. Demikian pula sebaliknya waktu membicarakan ushul fiqh, untuk  lebih memperjelas  bahasannya dikemukakan contoh-contoh yang berada  dalam lingkup bahasan fiqh.

B. Sejarah dan Perkembangan Fiqh

1.   Fiqh pada Masa Nabi

Bila kita memahami pengertian  fiqh itu sebagai hasil penalaran seorang  ahli atas maksud  hukum  Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia, maka timbul pertanyaan apakah fiqh itu sudah mulai ada pada waktu  Nabi Muhammad SAW. masih hidup?
Suatu hal yang nyata terjadi adalah  bahwa  Nabi telah berbuat sehubungan dengan  turunnya ayat-ayat Qur’an  yang mengandung hukum (ayat-ayat hukum). Tidak semua ayat hukum itu memberikan penjelasan yang mudah dipahami untuk kemudian dilaksanakan secara praktis  sesuai dengan kehendak Allah. Karena itu Nabi memberikan penjelasan mengenai maksud setiap ayat hukum itu kepada umatnya, sehingga ayat-ayat yang tadinya, belum dalam bentuk petunjuk praktis, menjadi jelas dan dapat dilaksanakan secara praktis. Nabi memberikan penjelasan dengan ucapan, perbuatan, dan pengakuannya yang kemu- dian disebut sunah Nabi. Apakah hukum-hukum yang bersifat amaliah yang dihasilkan oleh Nabi yang bersumber kepada Al-Qur’an itu dapat disebut fiqh?
Telah dijelaskan  bahwa  fiqh adalah  hasil penalaran seseorang yang berkualitas mujtahid atas hukum  Allah atau  hukum-hukum amaliah yang dihasilkan dari dalil-dalilnya melalui penalaran atau ijtihad. Apabila penjelasan  dari Nabi yang berbentuk sunah itu me- rupakan hasil penalaran atas ayat-ayat hukum,  maka  apa yang dikemukakan Nabi  itu dapat  disebut fiqh atau  lebih tepat  disebut “Fiqh sunah”.
Kemungkinan Nabi  melakukan ijtihad  dalam  menghasilkan su- nahnya diperselisihkan para ulama. Perbedaan pendapat itu berpangkal pada pemahaman ayat 3-4 surat an-Najm (53):

yang kemudian ternyata keikutsertaan mereka membawa  ben- cana kepada  pasukan muslim. Ayat ini mengandung kritikan atas  tindakan Nabi.  Kalau  tindakan Nabi  itu  atas  tuntunan wahyu,  tentu  tidak  akan  muncul  kritikan itu. Hal ini menun- jukkan  bahwa  kebijaksanaan Nabi yang mengizinkan ikutnya orang munafik  itu dasarnya adalah  ijtihad.
3.    Sunah Nabi yang berbunyi:

Sesungguhnya  aku  menetapkan hukum berdasarkan  apa-apa yang lahir, dan kamu minta penyelesaian permusuhanmu kepadaku. Barangkali seseorang di antaramu lebih lihai dalam beperkara  dibandingkan yang lain. Siapa yang aku putuskan untuknya sesuatu berkenan dengan harta orang lain, janganlah dimakan. Sesungguhnya aku memberikan kepadanya potongan api neraka.

Riwayat tersebut menunjukkan bahwa Nabi sendiri terkadang memutuskan perkara yang  mungkin  tidak  betul  secara  ma- teriil. Hal  ini berarti  tindakan itu semata  didasarkan kepada ijtihadnya, bukan  dari wahyu.

Kedua, ulama kalam Asy‘ariyyah, mayoritas ulama Mu‘tazilah, Abu  Ali al-Jubbai  dan  anaknya  Hasyim,  berpendapat bahwa Nabi  tidak  boleh  berijtihad dalam  hukum  syara’. Alasan mereka adalah:
a.    Firman Allah dalam surat an-Najm (53): 3-4:

Ayat ini menjadi  dalil utama  bahwa  semua yang muncul  dari lisan Nabi  adalah  dari wahyu  dan tidak  ada yang di luar wa- hyu.  Ijtihad  tidak  berasal  dari  wahyu,  karenanya tidak  ada ucapan  Nabi yang muncul dari ijtihadnya sendiri.
b. Nabi SAW. berkemampuan untuk sampai kepada hukum secara meyakinkan melalui wahyu.  Sedangkan  hasil ijtihad  hanyalah bersifat zhanni.  Bila mampu  untuk  sampai kepada  yang meya- kinkan  (qath‘i), maka tidak boleh menempuh yang tidak meya- kinkan  (zhanni). Di samping itu, ijtihad hanya dapat  dilakukan bila tidak ada nash; sedangkan  selama Nabi masih hidup, tidak mungkin  nash itu sudah terhenti.
c. Sering terjadi  Nabi  tidak  dapat  memberikan jawaban  atas per- tanyaan yang diajukan sahabatnya tentang sesuatu kasus. Dalam keadan  demikian,  Nabi  menyuruh menunggu  sampai  turunnya wahyu  yang akan  menjawabnya. Seandainya  Nabi  dapat  mem- berikan  jawaban  dengan hasil ijtihadnya, tentu tidak perlu Nabi berlama-lama menunggu turun  wahyu untuk  menjawabnya.

Ketiga, pendapat “jalan  tengah” dari kedua pendapat di atas, menyatakan bahwa  Nabi dapat  saja berijtihad dalam masalah  pe- perangan, tetapi tidak dalam masalah hukum syara’. Kelompok ini menggunakan gabungan dalil-dalil yang dikemukakan dua pendapat sebelumnya.
Bila diperhatikan ketiga pendapat tersebut beserta argumen ma- sing-masing, kita cenderung pada pendapat yang mengatakan tidak semua yang muncul  dari lisan Nabi  itu dibimbing  wahyu.  Dalam kenyataan memang  beliau  pernah  berijtihad untuk  memahami dan  menjalankan wahyu  Allah  dalam  hal-hal  yang  memerlukan penjelasan  dari Nabi  yang sebagiannya  dibimbing  wahyu.  Dalam hal-hal yang tidak mendapat koreksi dari Allah, maka hal itu muncul sebagai sunah Nabi yang wajib ditaati. Dengan demikian, sebagian sunah Nabi adalah  berdasarkan pada ijtihadnya.
Dari penjelasan  di atas, maka  dapat  disimpulkan bahwa  fiqh sudah mulai ada semenjak Nabi masih hidup dengan pola yang sederhana sesuai dengan kesederhanaan kondisi masyarakat Arab yang menjalankan fiqh pada waktu itu. Di bawah ini dikemukakan beberapa contoh  fiqh Nabi dalam beberapa bidang hukum.
a.    Shalat

Perintah  melakukan shalat  banyak  sekali terdapat dalam  Al- Qur’an  dengan berbagai  cara dan berbagai  bentuk.  Tidak ada satu ayat pun yang menjelaskan  apa dan bagaimana praktik shalat  itu. Dalam  keadaan begitu  perintah shalat  menurut  apa  adanya  tidak mungkin dilaksanakan. Nabi mengetahui maksud perintah Allah itu, karena itu Nabi menjelaskan kepada umatnya dengan menggunakan sunah-Nya.
Nabi mengarahkan kata “shalat” itu kepada perbuatan tertentu dengan tindakan yang berisi beberapa ucapan  dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam di hadapan para sahabatnya. Kemudian  beliau  berkata, “Inilah  yang  dimaksud dengan shalat”.  Dalam suatu hadis Nabi bersabda,
Adapun  mengenai  waktu-waktu pelaksanaan shalat,  muncul dalam beberapa ayat Al-Qur’an  pada tempat  yang terpisah.
1.    Surat ar-Rum  (30): 17:
Maka  bertasbihlah  kepada  Allah  di waktu kamu  berada  di petang hari dan waktu kamu  berada di waktu subuh.

2.    Surat al-Isra (17): 78:
Waktu zuhur  bila telah tergelincir matahari  sampai  bayang- bayang sepanjang badan dan belum masuk waktu ashar; waktu ashar selama matahari belum menguning; dan waktu maghrib selama  belum  hilang  cahaya  matahari;  waktu isya sampai pertengahan  malam dan waktu subuh  dan terbit fajar sampai terbit matahari.

Tentang jumlah raka‘at  shalat untuk  setiap waktu yang lima itu tidak  ada  sama  sekali penjelasannya dalam  Al-Qur’an.  Ketetapan jumlah raka‘at shalat datang dari Nabi sendiri dalam hadis fi’li secara bertahap. Jumlah  raka‘at  itu berbeda  pada  waktu  sebelum dengan sesudah hijrah. Hal ini dijelaskan dalam hadis dari Aisyah dalam versi yang berbeda-beda menurut  riwayat  Bukhari dan Ahmad:

Difardukan shalat itu dua-dua raka‘at. Kemudian berlangsung hijrah, maka difardukan empat-empat raka‘at dan ditetapkan shalat safar seperti yang semula (dua raka‘at).

Ditambahkan oleh Ahmad  dari jalur  Ibnu Kaisan dengan ucapan:
yang tetap (seperti semula) karena panjangnya  bacaan shalat, begitu pula shalat maghrib  karena ia merupakan waktu yang ganjil dalam sehari.

Dalam  surat  al-Araf (7): 31, Allah berfirman:

Hai  orang-orang  yang beriman  bila kamu  melakukan shalat basuhlah mukamu dan kedua tanganmu sampai sikut; sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai mata kaki.

Selanjutnya Nabi menjelaskan cara-cara berwudhu’ dalam hadis dari Abu Hurairah menurut  riwayat  Muslim.

Sesungguhnya  dia bila berwudhu dibasuhnya mukanya, maka dilanjutkannya wudhunya; kemudian dibasuhnya tangannya sebelah  kanan  sampai  lengannya,  kemudian tangan  kirinya sampai  lengan; kemudian ia menyapu kepalanya,  kemudian dibasuhnya kaki kanannya sampai betis; kemudian dibasuhnya kaki  kirinya  sampai  betis kemudian dia berkata,  “Beginilah Rasul Allah saya lihat melakukan wudhu.”

Dalam  surat  al-Jumu‘ah (62): 9, Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru melakukan shalat
Jumat,  segeralah datang melakukan shalat dan tinggalkanlah
jual beli.  Yang  demikian itu  lebih  baik  bagimu  jika  kamu mengetahui.

Dari ayat ini, Nabi memahami kewajiban shalat Jumat. Adapun mengenai caranya, dijelaskan  secara rinci dalam Sunnahnya.

b.   Zakat

Perintah untuk melaksanakan zakat begitu banyak muncul dalam Al-Qur’an  dengan  berbagai  cara  dan  bentuk  yang sebagian  besar di antaranya dirangkaikan dengan perintah shalat. Menurut pemahaman lughawiî, zakat itu berarti membersihkan, tumbuh, berkah dan pujian. Kemudian  Nabi  mengarahkan penggunaan kata  “zakat” itu untuk “pemberian tertentu dari harta tertentu, menurut  cara tertentu”.
Bentuk  perintah zakat  dapat  dilihat  dalam  contoh  ayat  di bawah  ini:

Nabi  dengan  hadis dari Ibnu Abbas, muttafaq ‘alaihi (perawinya: Bukhari dan Muslim), yang berbunyi:

Sesungguhnya Allah telah memfardukan zakat atas mereka da- lam harta mereka; diambil  dari orang kaya-kaya mereka  dan diberikan  kepada orang-orang miskin  mereka.

Tentang apa-apa yang dizakatkan, batas nisabnya serta berapa kadar  yang harus dizakatkan, dijelaskan  Nabi dengan hadis-hadis sebagai berikut:
1.    Unta, hadis dari Anas menurut riwayat  Bukhari:

Setiap 24 ekor unta atau kurang, maka zakatnya seekor kambing betina untuk setiap 5 ekor unta, jika jumlahnya  25 sampai 35 ekor,  maka  zakatnya satu ekor anak unta betina berumur  1-2 tahun atau satu ekor anak unta jantan berumur 3-4 tahun, jika jumlahnya  36 sampai 45, maka zakatnya seekor anak unta ber- umur  2-3 tahun,  dan jika jumlahnya  46 sampai 60 ekor  unta maka zakatnya adalah seekor unta betina berumur  3-4 tahun.

2. Sapi, hadis dari Muaz ibn Jabal menurut  riwayat  lima perawi hadis:
Pada tanam-tanaman yang diairi dengan  mata  air atau hujan kewajiban zakatnya adalah sepersepuluh; dalam tanaman  yang diairi dengan kincir kewajiban zakatnya adalah seperdua puluh.

5.    Barang  perniagaan, hadis  dari  Samrah  ibn Jundab  menurut  ri- wayat Abu Daud:
Sesungguhnya Rasul Allah pernah menyuruh kita mengeluarkan zakat dari sesuatu yang disiapkan  untuk diperjualbelikan.

6. Barang rikaz, hadis dari Abu Hurairah, muttafaq ‘alaih (Bukhari dan Muslim):
Di dalam rikaz itu ada kewajiban zakat sebesar seperlima.

Tentang  siapa-siapa yang berhak  menerima  zakat secara lang- sung, disebutkan Allah dalam surat at-Taubah (9): 60:
Sesungguhnya  shadaqah (zakat) itu adalah untuk para fuqara, orang miskin, untuk amil untuk orang yang dijinakkan hatinya; untuk mernerdekakan hamba; dan orang yang dijerat hutang untuk kepentingan sabilillah dan ibnu sabil; merupakan kewa- jiban dari Allah.  Sesungguhnya  Allah Maha Mengetahui  dan Bijaksana.
Dengan penjelasan yang diberikan Nabi tentang ayat-ayat zakat yang  tersebut  dalam  Al-Qur’an  dapatlah dilakukan kewajiban berzakat meskipun  dalam  cara yang sederhana.

c.    Puasa

Perintah Allah yang menyuruh melakukan puasa banyak terdapat dalam Al-Qur’an yang kadang-kadang beriringan dengan kewajiban shalat  dan  zakat.  Kewajiban  puasa  secara  terpisah  muncul  dalam Firman Allah, suratl-aqarah (2): 183-185:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Siapa yang berada dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan, boleh ia berbuka  dan untuk itu ia harus menggantinya di hari-hari lain. Untuk orang yang sudah uzur dan tidak mampu berpuasa, maka  ia harus  membayar   fidiah  dalam  bentuk memberi makan  orang miskin.  Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya.
Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Bulan Ramadhan yang  diturunkan padanya  Al-Qur’an   menjadi petunjuk bagi manusia dan merupakan bukti  petunjuk Tuhan dan  sebagai furqan  (pemisah  antara yang  benar  dan  salah). Siapa di antaramu  yang telah menyaksikan masuknya bulan Ramadhan itu hendaklah  ia berpuasa.  Siapa yang sakit  atau dalam  perjalanan  dan tidak  melakukan puasa,  hendaklah  ia melakukan di hari-hari  lain.  Allah  menghendaki untukmu kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan. Hendaklah kamu sempurnakan bilangan puasa itu dan hendaklah kamu bertakbir kepada  Allah  atas petunjuk yang  diberikan-Nya kepadamu; mudah-mudahan kamu  bersyukur.

Dalam ayat di atas dijelaskan  keharusan berpuasa, bulan untuk melakukan puasa, perhitungan masuk bulan puasa dan orang-orang yang mendapat keringanan untuk tidak melakukan puasa Ramadhan. Tentang  awal dan akhir  waktu  puasa  serta apa-apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama puasa dijelaskan dalam surat al-Baqarah (2): 187:
Dihalalkan bagimu  pada malam  puasa itu menggauli  istrimu; mereka  itu adalah pakaian bagimu,  dan kamu  adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu telah mengkhianati dirimu sendiri, maka Allah memberi maaf atasmu. Maka sekarang gaulilah mereka dan perolehlah apa yang telah ditentukan Allah kepadamu, dan  makan  dan  minumlah hingga  jelas bagimu benang  putih  dari benang  hitam  sebagai tanda  waktu fajar. Kemudian  sempurnakanlah puasa itu sampai malam ...
Untuk memperjelas  penentuan awal dan akhir waktu  bulan Ra- madhan dijelaskan  Nabi dengan sabdanya  dari Ibnu Umar menurut riwayat  muttafaq ‘alaih:

Bila kamu  melihat  bulan (masuk  bulan Ramadhan, puasalah kamu  dan bila kamu  telah melihat  bulan (tanda masuk  bulan Syawal) berbukalah kamu;  maka  bila kamu  tidak  melihatnya karena mendung  perhitungkanlah ...

Selanjutnya Nabi menjelaskan cara-cara berbuka dan sahur serta perbuatan-perbuatan baik untuk dilakukan selama bulan Ramadhan, sebagai kelengkapan dari pelaksanaan kewajiban puasa.
Demikian pula cara-cara Nabi memahami ayat-ayat Qur’an yang berkenaan dengan ibadah pokok lainnya dan menjelaskannya kepada umatnya. Hal  yang sama berlaku  pula  terhadap ayat-ayat Qur’an yang berkenaan dengan masalah  muamalat dalam arti umum.Bila dalam hal ibadah  penjelasan  Allah lebih bersifat jelas dan rinci, maka dalam bidang muamalat pada umumnya lebih bersifat umum, garis besar, tidak terinci, dan memberi petunjuk yang tidak jelas serta tidak pasti. Karena itu dalam hal-hal ibadat, lebih mudah Nabi memahaminya sehingga tidak banyak memerlukan penjelasan Nabi untuk melaksanakannya. Sebaliknya dalam bidang muamalat, Nabi lebih banyak  menggunakan nalar dalam memahami ayat hu- kum untuk  dapat  dilaksanakan secara praktis  oleh umatnya.
Pada saat memahami ayat-ayat hukum dan menggunakan nalar untuk  menghasilkan petunjuk pelaksanaannya, kelihatannya Nabi memperhatikan dan mempertimbangkan lingkungan di mana beliau berada. Hal tersebut dapat dilihat pada sunah Nabi yang menjelaskan ayat-ayat tersebut  dengan  hal-hal  yang mudah  dipahami  umatnya waktu  itu dengan  mengemukakan contoh-contoh yang terdapat di lingkungannya.
Pada waktu  Nabi  mencoba  memahami maksud  Allah yang me- wajibkan zakat atas orang kaya untuk diberikan kepada orang miskin,
terlihat Nabi menetapkan barang-barang yang dizakatkan dalam bentuk harta yang nyata waktu itu di lingkungan kehidupan Nabi, baik dalam bentuk hewan ternak maupun tanaman dan buah-buahan.
Di samping  itu, penjelasan  yang diberikan Nabi  lebih banyak dalam bentuk melayani pertanyaan yang diajukan umatnya, baik ten- tang pemahaman atas suatu ayat Al-Qur’an maupun tentang hal-hal yang memerlukan jawaban, karena jawabannya tidak tersebut dalam Al-Qur’an. Penjelasan Nabi dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dari kehendak Allah yang tersebut  dalam Al-Qur’an  itu disebut “Fiqh”, atau “Fiqh Nabi” atau disebut juga “Fiqh al-sunah”. Pola dari “Fiqh Nabi” sesuai dengan pola hidup masyarakat Arab waktu  itu, yaitu sederhana, mudah,  dan tidak berbelit-belit.
Dalam  masa Nabi  atau  pada  masa periode  tasyri’ ini, sumber hukum yang digunakan Nabi dalam menetapkan fatwanya adalah Al-Qur’an.
Ayat-ayat  hukum  dalam  Al-Qur’an  telah meliputi  semua segi kehidupan manusia dalam kedudukannya sebagai pribadi di depan Allah  atau  masyarakat, maupun dalam  kedudukannya sebagai salah  seorang  anggota  masyarakat dalam  hubungannya dengan anggota  masyarakat lainnya.  Penjelasan  yang diberikan Nabi  me- lingkupi hal-hal yang termuat dalam Al-Qur’an, sehingga Fiqh Nabi sudah mencakup  bidang yang sangat luas meskipun dalam bentuk pelaksanaan yang sederhana dan mudah.
2.   Fiqh pada Masa Sahabat

Dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW. sempurnalah turunnya ayat-ayat Al-Qur’an dan sunah Nabi, juga dengan sendirinya sudah terhenti.  Kemudian  terjadi  perubahan yang besar sekali dalam  ke- hidupan masyarakat, karena  telah  meluasnya  wilayah  Islam dan semakin kompleksnya kehidupan umat.
Keimanan umat yang sudah tinggi dan kepatuhannya akan perintah agama, menuntut mereka untuk selalu menghubungkan tingkah lakunya sehari-hari dengan nilai agama. Karena itu umat memerlukan jawaban hukum dalam menghadapi setiap persoalan dalam kehidupannya.
Ada tiga hal pokok yang berkembang waktu itu sehubungan dengan hukum.
Pertama,  begitu  banyaknya muncul  kejadian  baru  yang mem- butuhkan jawaban hukum yang secara lahiriah tidak dapat ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an maupun penjelasan dari sunah Nabi.
Kedua, timbulnya masalah-masalah yang secara lahir telah  diatur ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun sunah Nabi, namun ketentuan itu dalam  keadaan tertentu sulit untuk  diterapkan dan menghendaki pemahaman baru agar relevan dengan perkembangan dan persoalan yang dihadapi.
Ketiga, dalam Al-Qur’an ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian  secara jelas dan terpisah.  Bila hal tersebut  berlaku  dalam kejadian  tertentu, para  sahabat menemukan kesulitan  dalam  me- nerapkan dalil-dalil yang ada.
Ketiga pokok masalah di atas memerlukan pemikiran mendalam atau  nalar  dari para ahli yang disebut ijtihâd. Dalam  menghadapi hal tersebut  berkembanglah pemikiran para sahabat.
1. Dalam menghadapi bentuk pertama, yaitu masalah yang baru ter- jadi, para sahabat mencari jawabannya dari lahir ayat Al-Qur’an, kemudian mencari  dari penjelasan  yang pernah  diberikan Nabi. Bila tidak menemukan jawabannya secara jelas, mereka mencoba mencari jawabannya dari balik lahir lafaz hukum  yang ada. De- ngan cara ini, lahir lafaz ayat itu dapat  direntangkannya kepada kejadian  yang baru  itu. Usaha ini dapat  ditempuh, melalui bebe- rapa cara, di antaranya:
a. Dengan semata pemahaman lafaz, yaitu memahami maksud yang terkandung dalam lahir lafaz. Umpamanya bagaimana hu- kum membakar harta anak yatim. Ketentuan yang jelas dalam Al-Qur’an hanya larangan memakan harta anak yatim secara aniaya,  sedangkan  hukum  membakarnya tidak  ada. Karena semua orang tahu bahwa membakar dan memakan harta itu sama dalam hal mengurangi  atau menghilangkan harta  anak yatim,  maka  keduanya juga sama hukumnya, yaitu  haram. Cara ini kemudian disebut penggunaan metode mafhum.
b. Dengan  cara  memahami alasan  atau  ‘Illat yang terdapat dalam suatu kasus (kejadian) yang baru, kemudian meng- hubungkannya kepada dalil nash yang memiliki alasan atau
‘Illat yang sama dengan kasus tersebut. Cara ini kemudian disebut metode qiyâs.

Penunjukan pengganti  Nabi  untuk   urusan  keduniaan belum ada ketentuannya. Tidak ada ketentuan yang mengatur sistem khilafah  dalam  Qur’an  atau  sunah  Nabi.  Setelah Nabi wafat, masalah ini segera muncul. Para sahabat berpikir bahwa masalah  memimpin  urusan  dunia dapat  dihubungkan kepada pemimpin urusan ibadat.  Ternyata Abu Bakar pernah ditunjuk Nabi untuk menggantikan beliau menjadi imam shalat jamaah, sewaktu  Nabi  sakit.  Atas dasar  ini para  sahabat berpendapat bahwa  yang akan  menggantikan Nabi  dalam  urusan  dunia- yaitu menjadi khalifah-adalah Abu Bakar. Pemikiran  seperti ini berkembang di kalangan sahabat yang kemudian dikenal dengan pemikiran secara qiyâs.
Dalam  periode  sahabat ini  penggunaan ijtihad  masih terbatas pada  metode  mafhum dan qiyâs. Cara  ini pun sudah dapat  menjawab semua persoalan yang muncul waktu  itu.
2. Persoalan dalam bentuk kedua-yaitu perubahan keadaan yang menghendaki perubahan  pemikiran-walaupun jarak  waktu periode  Nabi  dengan  periode  sahabat relatif  pendek  dan  ber- sambung,  namun  perkembangan kehidupan begitu cepat yang menuntut adanya  perubahan pemikiran.
Allah SWT. dalam  Al-Qur’an  mewajibkan zakat.  Nabi  dalam sunah-Nya menyebutkan bahwa  zakat  itu diambil  dari orang kaya dan diberikan kepada  orang miskin. Nabi disuruh  Allah untuk  mengambil  harta zakat dari umatnya (QS. at-Taubah/9:
103).  Cara  yang dilakukan Nabi  adalah  cara  yang bijaksana sesuai dengan  pesan Allah untuk  berdakwah dengan  cara bi- jaksana  (QS. al-Nahl/16: 125).  Atas  kesadaran umat  waktu itu, kewajiban zakat dapat  terlaksana secara baik.
Pada masa Abu Bakar menjadi  khalifah,  beliau melihat  bahwa pemungutan zakat  secara lemah lembut  seperti yang dilakukan Nabi tidak  efektif lagi karena  adanya  kecenderungan pembang- kangan dari sebagian masyarakat terhadap kewajiban membayar zakat.  Karena itu Abu Bakar mengambil  sikap yang keras, bahkan menetapkan untuk  memerangi  orang-orang yang tidak mau membayar  kewajiban zakat.  Dasar  pemikiran Abu Bakar ialah bahwa  menempuh sikap lemah lembut  sebagaimana dilakukan oleh Nabi, kewajiban membayar  zakat tidak dapat ditegakkan.
Allah SWT. melarang  orang  Islam meminum  khamar secara tegas (QS. al-Maidah/5:  90) karena  perbuatan tersebut  meru- pakan  dosa besar; meskipun ada sedikit manfaat di dalamnya. Karena  dalam  larangan lain Allah SWT. menetapkan sanksi- nya, sedangkan  dalam  larangan khamar tidak  diiringi dengan sanksi, maka  Nabi  melalui ijtihadnya menetapkan sanksi mi- num khamar, yaitu dera sebanyak 40  kali. Pelaksanaan sanksi yang  ditetapkan Nabi  itu  dapat  menjerakan orang.  Dengan demikian  tujuan  larangan telah tercapai.

Pada masa Umar ibn Khattab menjadi  khalifah,  kebiasaan minum khamar waktu  jahiliah kambuh lagi di kalangan orang Islam dan sanksi dera 40 kali sudah kurang  efektif sebagai alat penjera.  Umar  memikirkan cara  untuk  membuat  orang  jera minum  khamar yang merupakan tujuan  dari  hukum.  Dalam hal  ini Umar  menetapkan sanksi  mimun  khamar menjadi  80 kali dera,  sehingga orang  menjadi  bertambah takut  meminum khamar. Dengan demikian, sanksi yang ditetapkan Umar berbeda dengan  yang  ditetapkan Nabi  sebelumnya,  untuk  mencapai tujuan  larangan, yaitu menjerakan berbuat kejahatan.
Dalam surat al-Anfal (8): 41, Allah berfirman:

Ketahuilah  sesungguhnya  bila kamu  mendapatkan suatu harta rampasan, maka seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim,  orang-orang miskin,  dan ibnu sabil.

Dalam  memahami ayat  tersebut,  Nabi  membagi  harta rampasan perang menjadi dua kelompok. Tumpukan pertama sebanyak  1/5  bagian  dibagikan kepada  pihak-pihak yang disebutkan dalam ayat Al-Qur’an, sedangkan sisanya dibagikan
kepada orang-orang yang ikut dalam perang yang menghasilkan harta  rampasan itu.
Pada  waktu  Umar  memerintah, pasukan Islam  berhasil menaklukkan tanah  subur  di Irak.  Umar  berpendapat tidak maslahat kalau  hak  4/5  harta  rampasan itu  dibagi  habis di  kalangan pasukan.  Beliau  berpendapat lebih  banyak maslahatnya bila tanah  rampasan itu tidak  dibagikan untuk pasukan, tetapi dibiarkan digarap  orang yang memiliki tanah itu, namun sebagian hasilnya dipungut untuk kepentingan umat, termasuk  untuk  keperluan perang.
Dalam  contoh  tersebut  Umar  menetapkan hukum  yang berbeda dengan apa yang berlaku pada masa Nabi dan khalifah Abu  Bakar  berdasarkan pertimbangan maslahat. Tindakan Umar ini banyak  menjelaskan  bahwa  pemahaman Umar atas ayat Al-Qur’an berbeda dengan apa yang dipahami Nabi karena kondisi dalam kedua masa itu telah berbeda.
Pada masa Nabi,  azan memberi  tahu masuk waktu  Jumat dilakukan satu kali, yaitu setelah khatib  naik mimbar.  Hal ini merupakan pemahaman terhadap ayat 9 surat al-Jumu‘ah (62) yang berbunyi:
Hai orang-orang yang beriman, bila kamu dipanggil untuk me- lakukan shalat Jumat, segeralah mendatanginya dan tinggalkan segala bentuk jual beli.

Azan satu kali itu di masa Nabi telah cukup untuk memberi tahu  orang  Islam untuk  menghadiri shalat  Jumat.  Pada waktu
‘Utsman ibn ‘Affan menjadi khalifah, umat Islam semakin banyak dan wilayahnya semakin luas. Kalau azan hanya satu kali saja, pemberitahuan belum  tentu  akan  merata  ke seluruh  umat  di sekitar itu. Karenanya, ‘Utsman menetapkan azan shalat Jumat menjadi dua kali. Hal ini dijelaskan dalam sebuah atsar dari Su‘eb bin Jazid menurut  riwayat  Bukhari,  Nasa‘i dan Abu Daud:
Adalah pada mulanya  azan Jumat itu bila khatib  telah duduk di atas mimbar  pada masa Rasul Allah, Abu  Bakar dan masa
‘Umar. Pada masa ‘Utsman dan telah banyak orang, ditambah azan itu menjadi tiga kali (satu kali terakhir adalah ikamah)

3. Persoalan  ketiga adalah  mengenai  pemahaman terhadap dua ayat yang terpisah.  Ayat Al-Qur’an menetapkan hukum untuk setiap kejadian  dengan hukum  tertentu secara terpisah.  Untuk penerapan ayat tersebut,  Nabi  telah  memberikan penjelasan, sehingga hukum  itu dapat  dilaksanakan menurut  apa adanya. Umpamanya hak kewarisan saudara-saudara dijelaskan  Allah dalam surat an-Nisa’/4 ayat 12 untuk  saudara seibu; ayat 176 untuk   saudara-saudara kandung atau  seayah.  Dalam  surat an-Nisa’/4  ayat 11 dijelaskan  mengenai  hak kewarisan ayah, yaitu  1/6 bagian,  bila pewaris  ada  meninggalkan anak.  Ayat
176 surat an-Nisa’ itu mengandung arti bahwa  bila ada ayah, saudara-saudara tidak  menerima  hak kewarisan, karena  ayah lebih utama  dari saudara.
Tentang kakek, tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Qur’an, namun  dalam pengertian  umum orang Arab, kakek adalah  se- bagai pengganti  ayah bila tidak ada ayah. Dalam hal ini Nabi memberikan penjelasan  dalam  hadis  dari  Amran  ibn Husein enurut  riwayat  Ahmad,  Abu Daud,  dan at-Tarmizi:
Sesungguhnya seseorang datang kepada Nabi dan berkata, “Anak dari anak saya meninggal, bagaimana harta warisannya untuk saya?” Nabi menjawab, “Untuknya seperenam.”
Kasus  bertemunya saudara-saudara dengan  kakek  dalam  satu kelompok ahli waris,  mungkin  belum  terjadi  pada  masa  Nabi hingga  tidak  ada  penjelasannya dari  Nabi.  Pada  waktu  peme- rintahan Abu Bakar, kasus ini muncul di hadapan beliau. Dengan pertimbangan bahwa  kakek  menempati kedudukan ayah  bila ayah tidak ada dan saudara tidak berhak mewaris bersama ayah, maka dalam kasus ini Abu Bakar berpendapat dan memfatwakan bahwa saudara-saudara tidak berhak menerima warisan bila ber- sama dengan kakek. Sahabat lain, di antaranya ‘Umar bin Khat- tab dengan  pertimbangan bahwa  kewarisan saudara dijelaskan dalam Qur’an  sedangkan  kakek tidak dijelaskan  dalam Qur’an, menetapkan fatwanya bahwa  saudara-saudara dapat  mewaris dan berbagi bersama  kakek.
Ayat 12 surat an-Nisa’ (4) menjelaskan saudara seibu sebagai ahli waris dzul furûdh,  yaitu 1/6 bila sendirian dan 1/3 bila bersama- sama;  sedangkan  saudara laki-laki  kandung atau  seayah  tidak dijelaskan  furudh-Nya dalam  surat  an-Nisa’ ayat 176. Kedudu- kannya sebagai “ahli waris sisa harta” (‘ashâbah) dijelaskan Nabi dalam hadis dari Ibnu Abbas melalui riwayat  muttafaq ‘alaih:
Dalam  hal ini ‘Umar menetapkan bahwa  saudara kandung ber- gabung  dengan  saudara seibu dalam  mengambil  hak 1/3 harta, yaitu hak saudara seibu.
Hak istri atas peninggalan mendiang suaminya dijelaskan secara pasti dalam Al-Qur’an,  yaitu pada surat an-Nisa’ (4): 12, yaitu
1/4 bagian  bila suami  tidak  meninggalkan anak  dan  1/8 bila suami meninggalkan anak. Istri ini tidak mendapat hak apa-apa bila sebelum suami mati si istri telah dicerai lebih dahulu.
Tentang  bagaimana kalau  suami  menceraikan istrinya  dalam keadaan sakit keras dan dapat  diperkirakan maksud  mencerai- kan  itu adalah  untuk  menghindarkan istri dari  hak  kewarisan. Dalam  hal ini, timbul  perbedaan pendapat di kalangan sahabat karena  khusus  untuk  ini tidak  ada penjelasan  hukum  sebelum- nya. ‘Utsman ibn ‘Affan berpendapat dan menetapkan fatwanya bahwa si istri berhak  atas warisan suaminya,  sebagaimana terse- but  dalam  riwayat  bahwa  Abdurrahman ibn Auf menceraikan istrinya ketika ia sedang sakit. ‘Utsman memberikan warisan un- tuk istrinya yang tertalak itu menurut kadar  yang berlaku.
‘Idah wanita  yang diceraikan  suaminya  dalam  keadaan hamil dijelaskan  Allah dalam  surat  at-Thalaq  (65): 4, yaitu  sampai melahirkan anak:
Tetapi  tidak  ada  penjelasan  yang pasti  dari  Allah maupun dari Nabi  tentang  ‘idah wanita  yang kematian suami dalam  keadaan hamil; apakah menggunakan ayat 4 surat at-Thalaq meskipun be- lum 4 bulan 10 hari sebagaimana yang dikehendaki ayat 234 surat al-Baqarah (2). Atau menggunakan ayat 234 surat al-Baqarah (2) meskipun  anaknya  belum lahir sebagaimana yang dituntut surat al-Thalaq (65): 4. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan sahabat. ‘Ali ibn Abi Thalib berpendapat dan berfatwa bahwa  ‘idah wanita  itu adalah  masa  yang terpanjang di antara dua masa itu. Dasar pertimbangannya adalah kehati-hatian dalam mengamalkan dua ayat tersebut  di atas. Ulama lain di antaranya
‘Umar Ibn Khattab berpendapat bahwa ‘idahnya tetap melahirkan anak, meskipun belum sampai masanya 4 bulan 10 hari.

Demikianlah sekadar contoh pemikiran sahabat tentang hukum, baik  dalam  hal tidak  ada  dalil tertulis  yang menjelaskannya, atau keadaan sudah  berubah yang menghendaki perubahan pemikiran; atau dalam bentuk ketiga yaitu penerapan ayat terhadap dua kejadian yang bergabung. Pemikiran ini menghasilkan pendapat berbeda yang pada  akhirnya menghasilkan pihak-pihak yang  berbeda,  masing- masing  diikuti  para  pengikutnya. Perbedaan  ini pada  umumnya disebabkan oleh karena  tidak  adanya  petunjuk yang pasti dari Al- Qur’an  dan tidak ada pula penjelasan  dari Nabi.
Di antara perbedaan pendapat yang berkembang di kalangan sahabat dalam memahami hukum Allah, terkadang terdapat kesamaan pendapat di kalangan mereka.  Kesamaan  pendapat ini di kemudian hari diistilahkan dengan “ijma’”.  Kesamaan ini mungkin munculnya dari pemahaman dan penerimaan bersama atas keterangan Nabi yang kurang kuat sandarannya. Bentuk ini disebut kesamaan atau ijma’ yang menyandarkan diri kepada nash atau petunjuk yang ada. Umpamanya dalam  menetapkan hak kewarisan nenek atas harta  warisan  sebesar1/6 bagian.  Memang  untuk  ini ada petunjuk dari Nabi yang berasal dari Qubeisah Ibn Zueb menurut  riwayat  ashhâb al-khamsah  selain Nasa‘i dan disahkan Tarmizi.
Jelas hadis  itu  kurang  kuat  sandarannya karena  Abu  Bakar sendiri sampai tidak mengetahui hadis itu. Namun setelah diterima hadis itu oleh Abu Bakar dengan kesaksian dua orang sahabat yaitu Mughirah ibn Syu’bah dan Muhammad ibn Maslamah, Abu Bakar menetapkan hak nenek sebesar 1/6. Apa yang telah disampaikan Abu Bakar itu ternyata diterima  (disetujui)  semua pihak  sehingga menjadi ijmâ’ shahabat.
Bentuk kesamaan pendapat kedua adalah  kesamaan yang me- mang sama sekali tidak menyandarkan diri kepada dalil mana pun, ia semata-mata hasil pendapat yang kemudian didukung pendapat- pendapat yang lain. Umpamanya wanita hamil dari perbuatan zina dibolehkan kawin menurut ijma’ sahabat. Kasus ini muncul di masa Umar. Ia menetapkan bolehnya wanita tersebut kawin di depan para sahabat lainnya, dan ternyata tidak ada yang menolaknya. Hal ini berarti  ijmâ’ sukûtî  di kalangan sahabat.
Dari uraian di atas dapat dipahami  bahwa pada masa sahabat, sumber yang digunakan dalam merumuskan fiqh adalah Al-Qur’an, penjelasan Nabi yang disebut sunah, dan ijtihad yang terbatas pada qiyas serta ijmâ’ shahabat. Bila pada masa Nabi proses penetapan fiqh disebut pembinaan fiqh, maka pada masa sahabat disebut pe- riode pengembangan fiqh.

3. Fiqh pada Masa Imam Mujtahid

Bila pada masa Nabi sumber fiqh adalah Al-Qur’an, maka pada masa sahabat dikembangkan dengan dijadikannya petunjuk Nabi dan ijtihad sebagai sumber penetapan fiqh. Sesudah masa sahabat, penetapan fiqh dengan  menggunakan sunah  dan ijtihad  ini sudah begitu berkembang dan meluas. Dalam kadar penerimaan dua sum- ber itu terlihat  kecenderungan mengarah pada dua bentuk.
Pertama, dalam menetapkan hasil ijtihad lebih banyak menggunakan hadis  Nabi  dibandingkan dengan  menggunakan ijtihad,  meskipun keduanya tetap dijadikan sumber. Kelompok yang menggunakan cara ini biasa disebut “Ahl al-Hadîs”. Kelompok ini lebih banyak tinggal di wilayah Hijaz, khususnya  Madinah.
Kedua,  dalam  menetapkan fiqh  lebih  banyak  menggunakan sumber  ra’yu atau  ijtihad  ketimbang  hadis,  meskipun  hadis  juga banyak digunakan. Kelompok ini disebut “Ahl al-Ra’yi”. Kelompok
ini lebih  banyak  mengambil  tempat  di wilayah  Irak,  khususnya
Kufah dan Basrah.

Munculnya dua kecenderungan ini dapat  dipahami, terutama karena  adanya  dua latar belakang  historis dan sosial budaya  yang berbeda.  Ahl  al-Hadîs  muncul  di wilayah  Hijaz  adalah  karena Hijaz  khususnya  Madinah dan  Mekah  adalah  wilayah  tempat Nabi bermukim  dalam mengembangkan Islam. Dengan demikian, orang-orang Islam di wilayah ini lebih banyak mengetahui tentang kehidupan Nabi  dan  dengan  sendirinya  banyak  mendengar dan mengetahui hadis dari Nabi.  Sebaliknya,  Irak atau  Kufah, karena jauhnya  lokasi dari wilayah  kehidupan Nabi,  maka  pengetahuan mereka akan hadis Nabi tidak sebanyak yang diperoleh orang Islam di Hijaz.  Di samping  itu, kehidupan sosial dan  muamalat begitu luas serta kompleks  karena  lokasinya  yang lebih maju dari Hijaz. Untuk  mengatasi  itu semua mereka  lebih banyak  dan lebih sering menggunakan ijtihad  dalam  penetapan fiqh. ljtihad  itu pun tidak lagi terbatas pada penggunaan metode qiyâs sebagaimana berlaku pada  masa sebelumnya.  Kedua aliran  ini sama-sama berkembang dengan pesat. Masing-masing melahirkan madrasah-madrasah fiqh dan menghasilkan para ahli fiqh.
Kelompok  “Ahl   al-Hadîs”  menonjolkan dua  madrasah, yaitu Madrasah Madinah dan Madrasah Mekah.  Dari Madrasah Madinah muncul  para  fuqaha  terkemuka, seperti: Aisyah ummul Mukminin; Abdullah  ibn ‘Umar ibn Khattab; Abu Hurairah; Said ibn Musayyab; Urwah ibn Zuber;  Abu Bakar ibn Abd al-Rahman; Ali ibn  Husein;  Ubaidullah ibn  Abdullah;  Salim ibn  Abdullah; Sulaiman  ibn Yassar, Qasim  ibn Ahmad;  Nafi’ Maula  ibn ‘Umar; Muhammad ibn Salim; Abu Ja’far; Abu Zinad;  Yahya ibn Zaid al- Anshari; Rabi‘ah ibn ‘Abdurrahman.
Madrasah Mekah  menghasilkan fuqaha  sebagai berikut:  Ab- dullah  ibn Abbas;  Mujahid; Ikrimah,  Atha’ ibn Abi Rabah;  dan Abu Zubeir. Hasil dari tempaan Madrasah Madinah dan Mekah ini muncul seorang  mujtahid besar ahli hadis,  yaitu  Malik  bin Anas yang ke- mudian  diikuti kelompok  besar yang disebut Mazhab  Malikiyyah.
Ahl al-Ra’yi menampilkan dua Madrasah besar, yaitu: Madrasah Kufah dan Madrasah Basrah di wilayah Irak. Dari Madrasah Kufah muncul mujtahid ahl al-ra’yi, seperti: ‘Alqamah ibn Qeis; Masruk bin Ajda’; ‘Ubaidah ibnu ‘Umar; Aswad ibn Yazid al-Nakha‘i; Ibrahim al-Nakha‘i, Said ibn Zubeir; ‘Amir al-Sya’bi. Sedangkan Madrasah Basrah menghasilkan mujtahid yang terbesarnya, yaitu: Anas ibn Malik. Dari para fuqaha Madrasah Irak ini muncul mujtahid besar ahl al-ra’yi yaitu Abu Hanifah dengan  banyak  pengikutnya, yang disebut ulama Mazhab  Hanafiyyah.
Kemudian, pada pertengahan abad kedua Hijriah tampil seseorang mujtahid besar yang pernah  menggali pengetahuan dan pengalaman dari Madrasah Hijaz dan juga dari Madrasah Irak, yaitu Imam Abu
‘Abdillah Muhammad ibn Idris al-Syafi‘i.

Iman Syafi‘i mencoba mengambil jalan tengah antara pendapat kelompok ahl al-hadîs dan ahl al-ra’yi. Beliau menggunakan lebih banyak sumber ra’yu, tetapi tidak seluas yang digunakan kelompok ahl al-ra’yi, dan dalam waktu yang sama banyak pula menggunakan sumber  hadîs, tetapi  tidak  seluas yang digunakan ahl al-hadîs. Ia mengambil sikap kompromi dan pengembangan antara aliran ra’yu dan aliran hadîs. Metode Imam Syafi‘i ini berkembang dengan pesat dan  mempunyai  pengikut  yang banyak,  baik  di Irak  maupun di Mesir, yang kemudian disebut Mazhab  Syafi‘iyyah.
Di antara pengikut terkemuka Iman Syafi‘i yang kemudian lebih mewarnai pendapatnya dengan  hadis  ialah  Ahmad  bin  Hanbal, yang kemudian mempunyai banyak pengikut, yang disebut Mazhab Hanabilah.
Di samping itu, tampil pula mujtahid yang dalam pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an  lebih banyak  berpedoman kepada  lahir lafaz dan menghindarkan diri dari membawa  pemahamannya keluar (di balik) lahir lafaz. Tokoh yang masyhur pengembang cara pemikiran ini adalah  Daud  bin ‘Ali yang juga mempunyai  banyak  pengikut, dan  berkembang sampai  waktu  ini. Aliran  ini kemudian disebut Mazhab  Zhahiriyyah.
Kelima aliran  tersebut  berada  dalam  lingkup  aliran  kalam  Ahl al-sunah wa al-Jama’ah. Aliran fiqh yang juga muncul dalam masa ini
adalah Mazhab Syi‘ah yang dapat bertahan sampai waktu ini. Mazhab terbesar dari kelompok ini, adalah Mazhab Syi‘ah Imamiyah.
Setiap aliran fiqh tersebut mengembangkan paham dan metode pemikirannya yang kemudian tersebar  luas melalui  murid-murid mujtahid dan di kalangan para pengikutnya. Suatu hal yang patut dipahami dan digarisbawahi bahwa mereka itu berbeda pandangan (pendapat) hanya dalam masalah furû’ (cabang, bukan pokok); dan mereka tidak berbeda dalam masalah pokok/inti agama yang telah diterangkan Allah dalam Al-Qur’an secara jelas dan pasti.
Periode ini ditandai oleh beberapa kegiatan ijtihad yang meng- hasilkan  fiqh dalam bentuknya yang mengagumkan.
Pertama, kegiatan menetapkan metode berpikir dalam memahami sumber  hukum.  Untuk  maksud  ini para  ulama  menyusun  kaidah- kaidah yang dapat mengarahkan mereka dalam usaha mengistinbath- kan hukum  dari dalil yang sudah  ada. Kaidah ini kemudian disebut Ushul Fiqh. Dengan kaidah ushul ini secara sistematis ulama mujtahid dapat memahami maksud Allah yang tertuang dalam ayat-ayat hukum. Perbedaan  dalam  penentuan kaidah  ini pada  dasarnya menentukan perbedaan ulama dalam formulasi fiqh. Ushul fiqh yang telah tersusun dalam bentuk ilmu yang sistematis muncul dalam karya Imam Syafi‘i yang bermanaAl-Risâlah.
Kedua, kegiatan penetapan istilah-istilah hukum yang digunakan dalam  fiqh. Pada mulanya  umat Islam dengan  taat  melaksanakan perintah-perintah Allah  dalam  Qur’an  atau  suruhan Nabi  yang tersebut dalam sunah-Nya, meskipun belum mengenal istilah-istilah hukum.  Demikian  pula  ketaatan mereka  dalam  menjauhi  semua yang dilarang  syara’.
Untuk  memudahkan umat  Islam dalam  memahami perintah dan larangan syara’, ulama mujtahid mencoba memberi istilah ter- hadap  setiap  hukum  syara’ yang berkenaan dengan  tingkah  laku mujtahid. Pada waktu ini dipisahkan antara perbuatan yang wajib, sunah, makruh, haram, dan mubah. Dikembangkan pula pengertian tentang  syarat, rukun,  sebab, mani’, shah, batal, halal, dan haram. Dengan demikian, setiap umat dapat menempatkan tingkah lakunya dalam  hubungannya dengan  kepatuhan terhadap hukum  syara’ kepada  istilah-istilah tersebut.
Ketiga, menyusun  kitab  fiqh secara sistematis,  yang tersusun dalam bab dan pasal; bagian dan subbagian yang mencakup semua masalah hukum, baik yang berkenaan dalam hubungannya dengan Allah, maupun dalam hubungannya dengan manusia dan alam ling- kungannya; masing-masing sesuai dengan metode dan cara berpikir imam mujtahidnya.

4. Fiqh dalam Periode Taklid

Akhir dari masa gemilang ijtihad pada periode imam mujtahid ditandai dengan telah tersusunnya secara rapi dan sistematis kitab- kitab  fiqh  sesuai  dengan  aliran  berpikir  mazhab  masing-masing. Dari  satu  segi, pembukuan fiqh ini ada  dampak positifnya  yaitu kemudahan bagi umat Islam dalam beramal, karena semua masalah agama  telah dapat  mereka  temukan jawabannya dalam  kitab  fiqh yang ditulis para mujtahid sebelumnya. Tetapi dari segi lain, terdapat dampak negatifnya yaitu terhentinya daya ijtihad, karena orang tidak merasa  perlu  lagi berpikir  tentang  hukum,  sebab  semuanya  sudah tersedia jawabannya.
Kegiatan ijtihad pada masa ini terbatas pada usaha pengembangan, pensyarahan dan perincian  kitab  fiqh dari imam mujtahid yang ada (terdahulu), dan tidak muncul lagi pendapat atau pemikiran  baru.
Kitab fiqh yang dihasilkan para mujtahid terdahulu diteruskan dan dilanjutkan oleh pengikut mazhab kepada generasi sesudahnya, tanpa  ada  maksud  untuk  memikirkan atau  mengkajinya kembali secara kritis  dan  kreatif  meskipun  situasi dan  kondisi  umat  yang akan  menjalankannya sudah  sangat  jauh berbeda  dengan  kondisi di saat fiqh itu dirumuskan oleh imam mujtahid. Karena itu sudah mulai banyak  ketentuan-ketentuan fiqh lama itu yang tidak dapat diikuti  untuk  diterapkan secara praktis.  Selain itu, sangat  banyak masalah  fiqh yang tidak  dapat  dipecahkan hanya  dengan  semata membolak-balik kitab-kitab fiqh yang ada itu. Jika pada masa imam mujtahid, fiqh yang disusunnya itu berjalan  secara praktis  dengan daya aktualitas yang tinggi, maka pada masa berikutnya, fiqh dalam bidang-bidang tertentu sudah kehilangan daya aktualitasnya
5.   Reformulasi Fiqh Islam

Dalam satu segi, umat Islam menginginkan kembali kehidupannya diatur oleh hukum Allah. Tetapi dari segi lain, kitab-kitab fiqh yang ada pada waktu  ini-yang merupakan formulasi  resmi dari hukum syara’-belum  seluruhnya memenuhi  keinginan  umat  Islam,  oleh karena  kondisi  sekarang  yang sudah  jauh berbeda  dengan  kondisi ulama mujtahid ketika mereka memformulasikan kitab fiqh itu.
Keadaan  demikian  itu mendorong para  pemikir  muslim  untuk menempuh usaha reaktualisasi hukum yang dapat menghasilkan formulasi fiqh yang baru,  sehingga dapat  menuntun kehidupan keagamaan dan keduniaan umat Islam, sesuai dengan persoalan zamannya.


C. Pengertian dan Ruang Lingkup Ushul Fiqh


1. Latar Belakang

Pada waktu Nabi Muhammad SAW. masih hidup, segala persoalan hukum yang timbul langsung ditanyakan kepada beliau. Beliau mem- berikan  jawaban  hukum  dengan menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam  keadaan tertentu yang tidak  ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an, beliau memberikan jawaban melalui penetapan beliau yang disebut hadis atau sunah. Al-Qur’an dan penjelasannya dalam bentuk hadis disebut “Sumber Pokok Hukum  Islam”.
Al-Qur’an  turun  dalam  bahasa  Arab. Demikian  pula hadis yang disampaikan Nabi, juga berbahasa Arab. Para sahabat Nabi mempunyai pengetahuan yang luas tentang bahasa Arab itu sebagai bahasa ibunya. Mereka  mengetahui secara baik arti setiap lafaz-nya dan maksud  dari setiap ungkapannya. Pengalaman  mereka dalam menyertai kehidupan Nabi dan pengetahuan mereka tentang sebab-sebab serta latar belakang turunnya ayat-ayat hukum  memungkinkan mereka  mengetahui rahasia  dari setiap hukum  yang ditetapkan Allah. Karenanya, mereka tidak  merasa  memerlukan sesuatu  di balik  itu dalam  usaha  mereka memformulasikan hukum dari sumbernya yang telah ada, sebagaimana mereka tidak memerlukan kaidah bahasa dalam memahami Al-Qur’an dan hadis Nabi yang berbahasa Arab itu.
Bila para sahabat Nabi menemukan kejadian  yang timbul dalam kehidupan mereka dan memerlukan ketentuan hukumnya, mereka men- cari jawabannya dalam Al-Qur’an. Bila tidak menemukan jawabannya secara harfiah  dalam Al-Qur’an, mereka mencoba  mencarinya dalam koleksi hadis Nabi. Bila dalam hadis Nabi tidak juga mereka temukan jawabannya, mereka menggunakan daya nalar yang dinamakan ijtihad. Dalam berijtihad itu mereka mencari titik kesamaan dari suatu kejadian yang dihadapinya itu dengan  apa-apa yang telah  ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadis. Mereka selalu mendasarkan pertimbangan pada usaha  “memelihara kemaslahatan umat” yang menjadi  dasar  dalam penetapan hukum syara’.
Dengan cara seperti itulah Muaz ibn Jabal memberikan jawaban kepada Nabi dalam dialog di antara keduanya sewaktu Muaz diutus Nabi ke Yaman untuk  menduduki jabatan qadhi.
Nabi   :   “Bagaimana cara Anda menetapkan hukum  bila kepada Anda dihadapkan perkara yang memerlukan ketetapan hukum?”
Muaz  :   “Aku menetapkan hukum  berdasarkan Kitab Allah.”

Nabi    :   “Bila Anda tidak  menemukan jawabannya dalam  Kitab
Allah?”

Muaz  :   “Aku menetapkan hukum  dengan sunah Nabi.”

Nabi    :   “Bila dalam sunah, Anda juga tidak menemukannya?”

Muaz  :   “Aku melakukan ijtihad dan aku tidak akan gegabah da- lam ijtihadku.”

Jawaban Muaz  dengan  urut-urut seperti  itu  mendapat pe- ngakuan dari Nabi Muhammad SAW..
Allah SWT. dalam surat an-Nisa’(4):  59 berfirman:



Hai orang-orang yang beriman,  patuhlah  kamu  kepada Allah dan  patuhlah  kamu  kepada  Rasul  dan  orang-orang  yang
memimpin urusanmu. Bila kamu  berselisih pendapat  tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.

Suruhan Allah dalam ayat ini untuk menaati Allah dan Rasul-Nya berarti perintah untuk mengikuti apa-apa yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi. Suruhan untuk menaati ulil amri berarti perintah untuk mengikuti kesepakatan para ulama mujtahid dalam menetapkan hukum, karena  mereka adalah  orang-orang yang mengurus kepentingan umat Islam dalam  bidang  hukum.  Suruhan  untuk  memulangkan hal dan urusan  yang diperselisihkan kepada  Allah dan Rasul berarti  perintah untuk  menggunakan qiyâs  (daya  nalar)  dalam  hal-hal  yang tidak ditemukan jawabannya dalam  Al-Qur’an,  hadis,  dan tidak  ada  pula ijmâ’ atau kesepakatan ulama mujtahid. Dengan demikian, dalil hukum syara’ yang disepakati di kalangan ulama jumhur  adalah  empat yaitu Al-Qur’an, hadis atau sunah, Ijma’, dan Qiyâs.
Setelah masa gemilang itu berlalu, datanglah suatu masa di mana umat Islam sudah bercampur baur antara orang-orang yang berbahasa Arab dan memahaminya secara baik dengan orang-orang yang tidak berbahasa Arab atau tidak memahaminya secara baik. Waktu itu bahasa Arab menjadi sesuatu yang harus dipelajari untuk  memahami hukum- hukum Allah. Karenanya para ahli berusaha menyusun kaidah-kaidah untuk  menjaga seseorang dari kesalahan dalam memahami Al-Qur’an dan hadis yang keduanya adalah sumber pokok ajaran Islam.
Kemudian  para ulama mujtahid merasa perlu menetapkan dan menyusun  kaidah  atau  aturan permainan yang dijadikan  pedoman dalam merumuskan hukum dari sumber-sumbernya dengan memer- hatikan asas dan kaidah yang ditetapkan ahli bahasa yang memahami dan  menggunakan bahasa  Arab  secara  baik.  Di samping  itu, juga memerhatikan jiwa syariah dan tujuan Allah menempatkan mukalaf dalam  tanggung  jawab  hukum.  Kaidah  dalam  memahami hukum Allah dari sumbernya itulah yang disebut ushul fiqh.

2. Pengertian Ushul Fiqh

Kata “ushul fiqh” adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul”
dan kata  “fiqh”. Kata “fiqh” secara etimologi berarti  “paham yang
mendalam”. Kata  ini muncul  sebanyak  20  kali  dalam  Al-Qur’an dengan arti paham  itu, umpamanya dalam surat al-Kahfi (18): 93:
“dalil  syara’” itu ada aturannya dalam  bentuk  kaidah,  umpamanya: “Setiap perintah itu menunjukkan wajib”. Pengetahuan tentang kaidah- kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut “Ilmu Ushul Fiqh”.
Dari penjelasan sederhana di atas dapat diketahui perbedaan ushul fiqh dari fiqh. Ushul fiqh adalah pedoman atau aturan-aturan yang membatasi dan menjelaskan cara-cara  yang harus diikuti seorang fakih dalam usahanya  menggali dan mengeluarkan  hukum syara’ dari dalilnya; sedangkan fiqh ialah hukum-hukum syara’ yang telah digali dan dirumuskan dari dalil-dalil menurut aturan yang sudah ditentukan itu.
Adapun perbedaan antara “ushul fiqh” dengan “kaidah fiqhiyah” terletak  pada  lingkup  bahasannya. Kaidah  fiqhiyah  berada  dalam lingkup bahasan fiqh, bukan  dalam lingkup bahasan ushul fiqh. Usul fiqh menjelaskan  ketentuan atau  aturan yang harus  diikuti  seorang mujtahid untuk menghindarkan dirinya dari kesalahan dalam usahanya merumuskan hukum syara’ dari dalilnya. Adapun kaidah fiqhiyah adalah kumpulan hukum-hukum kesamaan yang setiap hal dirujukkan kepada satu pola yang sama; seperti kaidah khiyâr, atau kaidah-kaidah fasakh secara umum.

3. Perkembangan Ushul Fiqh

Ilmu ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari ushul fiqh. Sebenarnya  keberadaan fiqh harus  didahului oleh ushul fiqh, karena ushul fiqh itu adalah ketentuan atau kaidah yang harus diikuti mujtahid pada waktu menghasilkan fiqhnya. Namun dalam perumusannya ushul fiqh datang belakangan.
Perumusan fiqh  sebenarnya sudah  dimulai  langsung  sesudah Nabi  wafat,  yaitu  pada  periode  sahabat. Pemikiran  dalam  ushul fiqh telah  ada  pada  waktu  perumusan fiqh itu.  Para  sahabat-di antaranya Umar  Ibn  Khattab, Ibnu  Mas‘ud,  ‘Ali ibn  Abi Thalib umpamanya-pada waktu  mengemukakan pendapatnya tentang hukum,  sebenarnya sudah  menggunakan aturan atau  pedoman dalam  merumuskan hukum,  meskipun  secara  jelas mereka  tidak mengemukakan demikian.
Sewaktu  ‘Ali ibn Abi Thalib  menetapkan hukuman cambuk sebanyak 80 kali terhadap peminum  khamar, beliau berkata, “Bila ia minum ia akan mabuk dan bila ia mabuk, ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak benar; maka kepadanya diberikan sanksi tuduhan berbuat zina.”  Dari  pernyataan ‘Ali itu, akan  diketahui bahwa ‘Ali rupanya menggunakan kaidah menutup pintu kejahatan yang akan timbul atau “sad al-dzari‘ah”.
‘Abdullah  ibn  Mas’ud  sewaktu  mengemukakan pendapatnya tentang wanita hamil yang kematian suami ‘idahnya adalah melahirkan anak, mengemukakan argumennya dengan Firman Allah dalam surat at-Thalaq  (85) ayat 4, meskipun  juga ada Firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) yang menjelaskan  bahwa  istri yang kematian suami
‘idahnya empat bulan sepuluh hari. Dalam menetapkan pendapat ini beliau mengatakan bahwa ayat 4 surat at-Thalaq datang sesudah ayat
234 surat al-Baqarah (2).

Dari tindakan Ibnu Mas’ud tersebut kelihatan bahwa dalam me- netapkan fatwanya itu ia menggunakan kaidah ushul, tentang nasakh- mansûkh, yaitu  bahwa  dalil yang datang  kemudian menasakhkan dalil yang datang  terdahulu. Dari apa yang dilakukan lbnu Mas‘ud ini dan  juga  dari  apa  yang dilakukan ‘Ali ibn  Abi Thalib  dalam contoh di atas kita dapat memahami bahwa para sahabat dalam me- lakukan ijtihad  mengikuti  suatu  pedoman  tertentu meskipun  tidak dirumuskan secara jelas.
Pada  periode  tabi‘în  lapangan istinbath  atau  perumusan hukum semakin meluas karena begitu banyaknya peristiwa hukum yang bermunculan. Dalam masa itu beberapa orang ulama tabi‘in tampil  sebagai  pemberi  fatwa  hukum  terhadap kejadian  yang muncul; umpamanya Sa‘id ibn Musayyab  di Madinah dan lbrahim al-Nakha‘i  di lrak.  Masing-masing ulama  ini mengetahui secara baik  ayat-ayat hukum  dalam  Al-Qur’an  dan  mempunyai  koleksi yang lengkap  tentang  hadis Nabi.  Jika mereka  tidak  menemukan jawaban  hukum dalam Al-Qur’an atau hadis, sebagian dari mereka mengikuti metode maslahat dan sebagian mengikuti metode qiyas. Usaha  istinbath  hukum  yang  dilakukan Ibrahim  al-Nakha‘i  dan ulama  Irak lainnya  mengarah kepada  mengeluarkan ‘Illat hukum
dari nash dan menerapkannya terhadap peristiwa  yang lama yang baru bermunculan kemudian hari.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa metode yang digunakan dalam  merumuskan hukum  syara’ semakin  memperlihatkan ben- tuknya. Perbedaan metode yang digunakan menyebabkan timbulnya perbedaan aliran dalam fiqh.
Abu Hanifah dalam usaha merumuskan fiqhnya menggunakan metode tersendiri. Ia menetapkan Al-Qur’an sebagai sumber pokok, kemudian hadis  Nabi,  berikutnya fatwa  sahabat.  Ia mengambil hukum-hukum yang telah disepakati para sahabat. Dalam hal-hal yang ulama sahabat berbeda pendapat, ia memilih satu di antaranya yang dianggap lebih kuat. Abu Hanifah tidak mengambil pendapat ulama  tabi‘in  sebagai  dalil  dengan  pertimbangan bahwa  ulama tabi‘in itu berada dalam satu ranking dengannya. Metodenya dalam menggunakan qiyâs dan istihsân terlihat  nyata sekali.
Imam  Malik  menempuh metode  ushuli  yang lebih jelas meng- gunakan tradisi  yang hidup  di kalangan penduduk Madinah, se- bagaimana dinyatakan dalam buku dan risalahnya. Terlihat usahanya menolak  hadis  yang dihubungkan kepada  Nabi  karena  hadis  itu menyalahi nash Al-Qur’an. Imam Malik lebih banyak  menggunakan hadis  ketimbang  Abu Hanifah; mungkin  karena  begitu  banyaknya hadis yang dia temukan. Dalam  penggunaan qiyâs, ia memberikan persyaratan yang begitu berat. Tetapi di balik itu, Imam Malik meng- gunakan maslahat  mursalah  yang tidak  digunakan ulama  jumhur; sebagai imbangan dari istihsân yang digunakan Abu Hanifah. Metode yang  digunakan Imam  Malik  dalam  merumuskan hukum  syara’ merupakan pantulan dari  aliran  Hijaz,  sebagaimana metode  yang digunakan Abu Hanifah merupakan pantulan dari aliran Irak.
Setelah Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, tampil Imam Syafi‘i. Ia menemukan dalam  masanya  perbendaharaan fiqh yang sudah berkembang semenjak periode sahabat, tabi‘in, dan imam-imam yang mendahuluinya. Ia menemukan perbincangan tentang  fiqh begitu meriah  yang diwarnai diskusi dan polemik  yang menarik  di antara tokoh-tokoh yang berbeda pendapat. Perdebatan terbuka berlangsung di antara kubu  Madinah dan  kubu  Irak.  Imam  Syafi‘i menggali
pengalaman dalam berbagai diskusi di tengah pendapat yang berbeda itu. Ia memiliki pengetahuan tentang  fiqh Maliki  yang diterimanya langsung  dari  Imam  Malik.  Ia juga sempat  menimba  pengetahuan dan pengalaman dari Muhammad ibn Hasan al-Syaibani (murid Abu Hanifah) sewaktu ia berada di Irak. Selain itu, ia pun mendalami fiqh ulama Mekah tempat ia lahir dan berkembang. Modal pengalaman dan pengetahuannya yang luas dan mendalam itu, memberi petunjuk kepada Imam Syafi‘i untuk  meletakkan  pedoman  dan  neraca  berpikir  yang menjelaskan  langkah-langkah yang harus  dilakukan  mujtahid  dalam merumuskan hukum dari dalilnya. Metode berpikir yang dirumuskan Imam Syafi‘i itulah yang kemudian disebut “ushul fiqh”.
Imam  Syafi‘i pantas  disebut  sebagai  orang  pertama yang me- nyusun sistem metodologi berpikir tentang hukum Islam, yang kemudian populer  dengan sebutan  ushul fiqh; sehingga tidak  salah ucapan seseorang orientalis Inggris, N. J. Coulson, yang mengatakan bahwa  Imam  Syafi‘i adalah  arsitek  ilmu  fiqh.  Hal  ini bukanlah berarti beliau yang merintis dan mengembangkan ilmu tersebut. Jauh sebelumnya,  mulai  dari  para  sahabat, tabi‘in,  bahkan di kalangan imam mujtahid belakangan seperti Abu Hanifah, Imam Malik  dan juga di kalangan ulama Syi‘ah seperti Muhammad al-Baqir dan Ja’far al-Shadiq sudah  menemukan dan menggunakan metodologi dalam perumusan fiqh.  Tetapi  mereka  belum  menyusun  ilmu itu  secara sistematis sehingga dapat  disebut sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
Kemampuan Imam Syafi‘i dalam melahirkan ilmu ushul fiqh ini ditopang beberapa faktor  yang ada pada  diri dan pengalamannya. Pengalamannya yang lama di pedesaan Arab memungkinkannya me- nimba  pengetahuan tentang  bahasa  Arab bahkan ia menjadi  salah seorang ahli Lisân al-‘Arab. Dengan ilmu ini ia memiliki kemampuan yang tinggi dalam merumuskan kaidah untuk mengeluarkan hukum syara’ dari teks Al-Qur’an dan hadis yang keduanya berbahasa Arab orisinal.
Selama keberadaannya di Mekah,  Imam Syafi‘i mewarisi  ilmu Al-Qur’an dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas yang memungkinkannya untuk mengenal  nasikh-mansûkh dalam  Al-Qur’an. Di samping  itu,  ia berkesempatan pula mendalami hadis Nabi  dari ulama  hadis yang
memungkinkannya mengenal  kedudukan sunah  bagi  Al-Qur’an sehingga beliau dapat menyelesaikan pendapat dan anggapan adanya pertentangan antara Al-Qur’an dengan Hadis Nabi. Penguasaannya yang baik terhadap fiqh aliran  tradisionalis (Hijaz) dan fiqh aliran rasionalis (Irak) merupakan modal dasar penyusunan kaidah-kaidah dalam  menggunakan qiyâs.  Dengan  segenap  kemampuannya itu, Imam Syafi‘i berhasil menyusun  metodologi yang sistematis  dalam merumuskan hukum  syara’.
Sepeninggal Imam Syafi‘i pembicaraan tentang  ushul fiqh se- makin  menarik,  dan  ushul  fiqh itu sendiri  semakin  berkembang. Pada  dasarnya ulama  fiqh pengikut  imam  mujtahid yang datang kemudian mengikuti dasar-dasar yang sudah disusun Imam Syafi‘i. Dalam  pengembangannya terlihat  adanya  perbedaan arah  yang menyebabkan perbedaan dalam ushul fiqh.
Sebagian ulama yang kebanyakan pengikut Imam Syafi‘i mencoba mengembangkan ushul  fiqh Syafi‘i dengan  cara,  antara lain: men- syarahkan, memerinci  yang bersifat  garis besar,  mempercabangkan pokok pikiran Imam Syafi‘i, sehingga ushul fiqh Syafi‘iyyah menemukan bentuknya yang sempurna.
Sebagian ulama  mengambil  sebagian  dari pokok-pokok pikiran Imam Syafi‘i itu dan tidak mengikutinya dalam bagian lain yang bersifat rincian. Sebagai ganti dari yang tidak diikutinya itu ditambahkannya hal-hal yang sudah menjadi dasar bagi pikiran imam mereka. Kelompok ulama Hanafiyah mengambil sebagian yang dasar-dasarnya diletakkan Imam  Syafi‘i, kemudian mereka  menambahkan pemikiran tentang istihsan  dan ‘urf yang diambil  dari imam mereka.  Kelompok  ulama Malikiyah, di samping mengikuti beberapa dasar yang diletakkan Imam Syafi‘i, mereka tidak mengikuti  pendapat Syafi‘i yang menolak ijmâ’ ahli Madinah dan memasukkan tambahan berupa maslahat mursalah serta prinsip penetapan hukum berdasarkan sad al-dzarâ‘i.
Pada prinsipnya fuqaha mazhab yang empat tidak berbeda dengan dasar  yang ditetapkan Imam  Syafi‘i tentang  penggunaan dalil yang empat, yaitu: Al-Qur’an, hadis, Ijma’ dan Qiyas, meskipun dalam kadar penggunaannya terdapat perbedaan. Di samping  itu, masing-masing menggunakan dalil tambahan yang tidak digunakan ulama lainnya.
Meskipun kemudian sesudah meninggalnya  imam-imam  muj- tahid  yang  empat  dinyatakan bahwa  kegiatan  ijtihad  terhenti, namun  sebenarnya yang terhenti  adalah  kegiatan  ijtihad  mutlaq sedangkan ijtihad terhadap ushul mazhab yang tertentu masih tetap berlangsung  yang  masing-masing mengarah kepada  menguatnya ushul fiqh yang dirintis para imam pendahulunya.
Sesudah melembaganya mazhab-mazhab fiqh, maka  arah  pe- ngembangan ushul fiqh terlihat  dalam dua bentuk  yang berbeda.
Pertama, arah pemikiran murni, yaitu penyusunan kaidah  ushul yang tidak terpengaruh kepada furu’ mazhab mana pun. Perhatian pembahasan dalam  hal ini mengarah kepada  penerapan kaidah  dan menguatkannya, tanpa  terikat  pada  amal  yang berkembang di ka- langan  mazhab.  Perkembangan ushul fiqh menurut  arah  ini disebut ushul fiqh Syafi‘iyah atau ushul fiqh aliran Mutakallimin. Penamaan ulama Mutakallimin atau ulama kalam tersebut, dalam hal ini karena pemikiran ulama  kalam  di bidang  ini mengelompok dalam  aliran ushul fiqh. Di antara buku ushul fiqh yang disusun menurut  metode ini adalah:
1. Kitab al-Mu’tamad karangan Abu Hasan al-Bashri yang dalam aliran kalam beraliran Mu’tazilah;
2. Kitab al-Burhân karangan Imam al-Haramain; dan

3. Kitab al-Mustashfâ karangan al-Ghazali.

Ketiga kitab tersebut oleh ulama yang datang kemudian dibuat ikhtisar  sehingga menjadi karangan pendek.  Karangan pendek ini kemudian oleh ulama  belakangan disyarahkan. Kemudian  syarah itu diberi hasyiyah, sehingga akhirnya berkembang menjadi kitab- kitab ushul fiqh dalam mazhab  Syafi‘i.
Kedua, mengarah pada penyusunan ushul fiqh yang terpengaruh pada furu’ dan menyesuaikannya bagi kepentingan furu’ dan berusaha mengembangkan ijtihad yang telah berlangsung sebelumnya. Hal ini berarti bahwa pengikut mazhab melakukan ijtihad untuk memelihara hukum fiqh yang dicapai oleh ulama pendahulu mazhabnya. Mereka mengemukakan kaidah-kaidah yang mendukung dan menguatkan mazhab  mereka.  Ulama  fuqaha  yang lebih banyak  menggunakan
metode  ini adalah  ulama  kelompok Hanafiyah. Karena  itu metode ushul  fiqh  menurut  metode  ini disebut  metode  ushul  Hanafiyah. Kitab-kitab ushul fiqh menurut  metode ini, antara lain:
1. Kitab Ushûl karangan al-Karahki;

2. Kitab al-Ushûl karangan Abu Bakar al-Razi; dan

3. Kitab Ta’sîs al-Nazhar  karangan al-Dabbusi.

Sesudah itu bermunculan kitab-kitab ushul fiqh aliran Hanafiyah, seperti karangan al-Baidhawi,  al-Sarhisi, dan lain-lainnya.
Sesudah dua metode ini berjalan  mapan  dan berkembang me- nurut aliran masing-masing, ditemukan pula kitab-kitab ushul fiqh yang  merupakan gabungan dari  kedua  aliran  tersebut.  Sebagian ditulis oleh ulama dari mazhab Syafi‘i seperti kitab Jam‘ul Jawâmi’ oleh Ibnu Subki dan sebagian ditulis ulama mazhab Hanafi  seperti kitab al-Tahrîr oleh Kamaluddin ibn al-Hummam.

4. Tujuan dan Manfaat Ushul Fiqh

Tujuan  yang hendak  dicapai  dari ilmu ushul fiqh ialah untuk dapat  menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terinci  agar  sampai  kepada  hukum-hukum syara’ yang  bersifat
‘amali yang ditunjuk  oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah ushul serta bahasannya itu dapat  dipahami  nash-nash syara’ dan hukum yang terkandung di dalamnya. Demikian pula dapat dipahami secara baik dan tepat apa-apa yang dirumuskan ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada  rumusan itu.
Metnang dengan  metode  tersebut  para  ulama  telah berhasil  me- rumuskan hukum  syara’ dan telah terjabar secara rinci dalam  kitab- kitab fiqh. Lantas untuk apa lagi, ushul fiqh itu bagi umat yang datang kemudian? Dalam hal ini ada dua maksud mengetahui ushul fiqh itu.
Pertama,  bila kita  sudah  mengetahui metode  ushul  fiqh yang dirumuskan ulama terdahulu, maka bila suatu ketika kita menghadapi masalah baru yang tidak mungkin ditemukan hukumnya dalam kitab- kitab fiqh terdahulu, maka kita akan dapat mencari jawaban hukum terhadap masalah  baru itu dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu itu.
Kedua,  bila  kita  menghadapi  masalah  hukum  fiqh  yang terurai  dalam kitab-kitab fiqh, tetapi mengalami  kesukaran dalam penerapannya karena sudah begitu jauhnya perubahan yang terjadi, dan kita ingin mengkaji ulang rumusan fuqaha  lama itu atau ingin merumuskan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan dan tuntutan kondisi  yang menghendakinya, maka  usaha  yang harus  ditempuh adalah  merumuskan kaidah  baru  yang memungkinkan timbulnya rumusan baru  dalam  fiqh. Kaji ulang terhadap suatu  kaidah  atau menentukan kaidah  baru  itu tidak  mungkin  dapat  dilakukan bila tidak  mengetahui secara  baik  usaha  dan  cara  ulama  lama  dalam merumuskan kaidahnya. Hal itu akan diketahui  secara baik dalam ilmu ushul fiqh.

5. Pokok Pembahasan Ushul Fiqh

Bertitik tolak  dari definisi ushul fiqh yang disebutkan di atas, maka bahasan pokok  ushul fiqh itu adalah  tentang:
a. Dalil-dalil atau sumber hukum  syara’;
b. Hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam dalil itu; dan
c. Kaidah-kaidah tentang  usaha  dan cara mengeluarkan hukum
syara’ dan dalil atau sumber yang mengandungnya.

Dalam membicarakan sumber hukum dibicarakan pula kemung- kinan terjadinya benturan antara dalil-dalil dan cara menyelesaikannya. Dibahas  pula  tentang  orang-orang yang  berhak  dan  berwenang menggunakan kaidah  atau  metode  dalam  melahirkan hukum  syara’ tersebut.  Hal  ini memunculkan pembahasan tentang  ijtihad  dan mujtahid. Kemudian  membahas  mengenai tindakan dan usaha yang dapat ditempuh orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan dan kemungkinan berijtihad atau pembahasan tentang  taklid dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya.
Dalam sistematika penyusunan pokok-pokok bahasan terdapat perbedaan yang disebabkan perbedaan arah dan  penekanan dari beberapa pokok  bahasan tersebut.

0 Comment