HAKIKAT KEPEMIMPINAN UMAT
A. Pendahuluan
Struktur dakwah yang terpenting bukan terletak apda lembaga keulamaan, akan tetapi sangat ditentukan oleh lembaga kepemimpinan yang mempunyai suatu system yang jela secara institusional. Struktur dan system tersebut berada dalam al imamah (lembaga kepemimpinan). Dalam bahasa psikologi banyak orang mengira bahwa kepemimpinan itu merupakan bakat yang dibawa sejak lahir yang tak dapat diperoleh melalui pendidikan, akan tetapi setelah dilakukan studi lebih jauh, maka banyak ahli psikologi khususnya menyimpulkan bahwa leadership itu adalah suatu corak dan ciri kemampuan manusia yang dapat diperoleh melalui pendidikan dan latihan.[1]Namun apa yang disebut kepemimpinan adalah sesuatu sifat dan cirri kemampuan yang tak dapat berdiri sendiri, terlepas dari faktor-faktor situasi, lingkungan kelompok manusia yang membutuhkan kepemimpinan, tugas dan sejumlah fungsi atau jabatan yang dipangku, peranan yang harus dilakukan dan sebagainya.
Jadi mempelajari masalah kepemimpinan sebenarnya harus juga mempelajari banyak faktor yang mempengaruhinya, tidak begitu sederhana melainkan sangat kompleks menyangkut banyak aspek kehidupan pribadi dan social. Kepemimpinan dipandang sebagai hasil dari interaksi antara kepribadian yang bulat dari kepemimpinan dengan situasi sosial yang dinamis dimana manusia hidup.
Untuk memikul tugas sebagai pemimpin masing-masing manusia perlu memiliki kepemimpinan sesuai dengna yang dibutuhkan dalam tugas masing-masing. Bagi setiap individu tidaklah sama berat tanggungjawab yang harus dipikulnya, karena ada perbedaan berat ringannya tugas serta kemampuan kepemimpinan bagi masing-masing individu. Tuhan tidak membebani tugas seseorang kecuali menurut kemampuannya, baginya pahala sesuai dengan yang telah dikerjakan dan dikenakan imbalan siksa menurut pelanggaran yang telah dilakukan.
Dengan demikian kepemimpinan seseorang benar-benar diperlukan dalam segala usaha, diantaranya :
1. Lapangan hidup ekonomi
2. Lapangan hidup social (kemasyarakatan)
3. Lapangan hidup seni budaya
4. Lapangan hidup ilmu pengetahuan
5. Lapangan hidup keluarga
6. Lapangan hidup keagamaan
7. Lapangan hidup keolahragaan.
Namun, yang akan pemakalah uraikan dalam makalah ini terkait denga apa yang dimaksud dengan kepemimpinan, serta keharusan adanya pemimpin dalam persfektif Islam dan sains
B. Pembahasan
1. Pengertian Pemimpin
Beberapa pendapat yang memberikan defenisi kepemimpinan seperti Howard W. Hoyt menyatakan bahwa kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhi tingkah laku manusia, yang mirip kecakapan mengatur orang lain. [2] Jadi kepemimpinan menurut Hoyt dipandang sebagai abilitas yaitu suatu kecakapan yang diperoleh berkat adanya belajar. Sedangkan sifat dan cirinya baru tampak setelah dilaksanakan dalam proses mempengaruhi orang lain.
Sementara Filmore H. Sandford memberikan pengertian kepemimpinan yang dikaitkan dengan kehidupan kelompok manusia dimana norma-norma kebudayaan dan peranannya mempengaruhi individu manusia (baik sebagai pemimpin maupun sebagai yang dipimpin), dan membawa kepada cara-cara berfungsinya norma-norma dan peranan dimana kelompok harus mengadakan penyesuaian diri kepadanya.
Sanford menekankan bahwa peranan dan nroma-norma dalam masyarakat dimana kelompok-kelompok social didalamnya harus mengaturnya adalah yang menentukan corak dan kepemimpinan seseorang.
Beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli lainnya sebagai berikut :
a. Koontz & O’donnel, mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi sekelompok orang sehingga mau bekerja dengan sungguh-sungguh untuk meraih tujuan kelompoknya.
b. Wexley & Yuki [1977], kepemimpinan mengandung arti mempengaruhi orang lain untuk lebih berusaha mengarahkan tenaga, dalam tugasnya atau merubah tingkah laku mereka.
c. George R. Terry, kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang untuk bersedia berusaha mencapai tujuan bersama.
Definisi lain, para ahli kepemimpinan merumuskan definisi, sebagai berikut: [1] Fiedler [1967], kepemimpinan pada dasarnya merupakan pola hubungan antara individu-individu yang menggunakan wewenang dan pengaruhnya terhadap kelompok orang agar bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan [2] John Pfiffner, kepemimpinan adalah kemampuan mengkoordinasikan dan memotivasi orang-orang dan kelompok untuk mencapai tujuan yang di kehendaki. [3] Davis [1977], mendefinisikan kepemimpinan adalah kemampuan untuk mengajak orang lain mencapai tujuan yang sudah ditentukan dengan penuh semangat . [4] Ott [1996], kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai proses hubungan antar pribadi yang di dalamnya seseorang mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan khususnya perilaku orang lain. [5] Locke et.al. [1991], mendefinisikan kepemimpinan merupakan proses membujuk orang lain untuk mengambil langkah menuju suatu sasaran bersama Dari kelima definisi ini, para ahli ada yang meninjau dari sudut pandang dari pola hubungan, kemampuan mengkoordinasi, memotivasi, kemampuan mengajak, membujuk dan mempengaruhi orang lain. [3]
Pendapat lain menyatakan kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama. Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Sedangkan kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan pap yang diinginkan pihak lainnya.”The art of influencing and directing meaninsuch away to abatain their willing obedience, confidence, respect, and loyal cooperation in order to accomplish the mission”. Kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhidan menggerakkan orang – orang sedemikian rupa untuk memperoleh kepatuhan, kepercayaan, respek, dan kerjasama secara royal untuk menyelesaikan tugas. [4]
Kata kepemimpinan dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan al Imamah, berasal dari kata imam yang artinya ikutan bagi kaum, baik dalam kebaikan mapun dalam kesesatan. [5] Dalam konteks agama imam adalah orang yang berdiri di depan jamaah dan memimpin ibadah. Dalam konteks politik berarti kepala Negara, dan lembaganya disebut al imamah.[6] Al Imamah yang dimaksud disini adalah kepemimpinan setelah Nabi Muhammad, untuk menjaga agama dan pemimpin keduniaan. [7] Kata khalifah, Imamah dan Imarah secara terminologi juga dikenal sebagai suatu konsep politik dalam Islam dengan pengertian sama, hanya saja terminologi al Imamah banyak dipergunakan oleh golongan Syi’ah.[8]
Secara historis dalam Islam gelar untuk kepala Negara disebut khalifah, imam dan Amir dan jabatannya dikenal dengan khalifah, Imamah dan Imarah, kesemua istilah tersebut menunjukkan kepada satu pengertian, walaupun masa pertumbuhannya berbeda satu sama lain. [9]
Al Imamah menurut Abdul Jabbar, secara etimologi adalah orang yang berada didepan, apakah pantas menduduki posisi itu atau tidak pantas. Pengertian terminologinya adalah orang yang mempunyai otoritas kepada masyarakat dan juga kepada urusan-urusan mereka. Oleh karenanya tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari kekuasaannya. Meskipun kekuasaan Abdul Jabar menyangkut urusan-urusan masyarakat juga, akan tetapi kekuasaan imam selalu lebih tinggi dari padanya. [10] pengertian di atas menunjukkan adanya lembaga al imamah dalam urusan kenegaraan untuk mencapai tujuannya, baik tujuan keduniaan juga tujuan agama yang menyatu dalam diri seorang imam.
Ide Abdul Jabar dalam hal ini adalah imam mempunyai wewenang penuh dalam mengatur dan menentukan urusan-urusan masyarakat dengan penguasa tunggal. Pengertian Imamah dalam pandangan Abdul Jabbar, bila diteliti lebih jauh menurut padangan pakar lain tidak jauh berbeda dengan pendapat Rasyid Ridha yang mengemukakan bahwa al imamahadalah kepemimpinan Negara Islam yang meliputi kemaslahatan dunia dan akhirat. Rasyid Ridha tidak menyebutkan secara eksplisit sebagai pengganti atau wakil Rasulullah, hanya menekankan sebagai jabatan kepala Negara yang bertanggungjawab atas kemajuan agama dan politik Negara. [11]
Al Mawardi dalam hal ini menyebutkan bahwa al imamah dilembagakan untuk mengantikan keNabian, guna melindungi agama dan mengatur dunia. [12] Selanjutnya al Mawardi menyatakan bahwa khalifah atau al Imamah adalah jabatan tertinggi dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti Rasulullah.
Imamah atau kepemimpinan Islam adalah konsep yang tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, yang meliputi kehidupan manusia dari pribadi, berdua, keluarga bahkan sampai umat manusia atau kelompok. Konsep ini mencakup baik cara-cara memimpin maupun dipimpin demi terlaksananya ajaran Islam untuk menjamin kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat sebagai tujuannya.
Kepemimpinan Islam, sudah merupakan fitrah bagia setiap manusia yang sekaligus memotivasi kepemimpinan yang Islami. Manusia di amanahi Allah untuk menjadi khalifah Allah [wakil Allah] di muka bumi [Q.S.al-Baqarah:30], yang bertugas merealisasikan misi sucinya sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta. Sekaligus sebagai abdullah [hamba Allah] yang senantiasa patuh dan terpanggil untuk mengabdikan segenap dedikasinya di jalan Allah. Sabda Rasulullah “setiap kamu adalah pemimpim dan tiap-tiap pemimpin dimintai pertanggungjawabannya [responsibelitiy-nya]”. Manusia yang diberi amanah dapat memelihara amanah tersebut dan Allah telah melengkapi manusia dengan kemampuan konsepsional atau potensi [fitrah] [Q.S.al-Baqarah:31], serta kehendak bebas untuk menggunakan dan memaksimal potensi yang dimilikinya.
Konsep amanah yang diberikan kepada manusia sebagai khalifal fil ardli menempati posisi senteral dalam kepemimpinan Islam. Logislah bila konsep amanah kekhalifahan yang diberikan kepada manusia menuntut terjalinannya hubungan atau interaksi yang sebaik-baiknya antara manusia dengan pemberi amanah [Allah], yaitu: [1] mengerjakan semua perintah Allah, [2] menjauhi semua larangan-Nya, [3] ridha [ikhlas] menerima semua hukum-hukum atau ketentuan-Nya. Selain hubungan dengan pemberi amanah [Allah], juga membangun hubungan baik dengan sesama manusia serta lingkungan yang diamanahkan kepadanya [Q.S.Ali Imran:112]. Tuntutannya, diperlukan kemampuan memimpin atau mengatur hubungan vertical manusia dengan Sang Pemberi [Allah] amanah dan interaksi horizontal dengan sesamanya.
Jika kita memperhatikan teori-teori tentang fungsi dan peran seorang pemimpin yang digagas dan dilontarkan oleh pemikir-pemikir dari dunia Barat, maka kita akan hanya menemukan bahwa aspek kepemimpinan itu sebagai sebuah konsep interaksi, relasi, proses otoritas maupun kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi secara horizontal semata. Konsep Islam, kepemimpinan sebagai sebuah konsep interaksi, relasi, proses otoritas, kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi baik secara horizontal maupun vertikal. Kemudian, dalam teori-teori manajemen, fungsi pemimpin sebagai perencana dan pengambil keputusan [planning and decision maker], pengorganisasian [organization], kepemimpinan dan motivasi [leading and motivation], pengawasan [controlling] dan lain-lain.
Dari definisi-definisi di atas, paling tidak dapat ditarik kesimpulan yang sama, yaitu masalah kepemimpinan adalah masalah sosial yang di dalamnya terjadi interaksi antara pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin untuk mencapai tujuan bersama, baik dengan cara mempengaruhi, membujuk, memotivasi dan mengkoordinasi. Dari sini dapat dipahami bahwa tugas utama seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya tidak hanya terbatas pada kemampuannya dalam melaksanakan program-program saja, tetapi lebih dari itu yaitu pemimpin harus mempu melibatkan seluruh lapisan organisasinya, anggotanya atau masyarakatnya untuk ikut berperan aktif sehingga mereka mampu memberikan kontribusi yang posetif dalam usaha mencapai tujuan.
Dari pendapat tentang al imamah di atas nampaknya tidak menjelaskan sejauhmana al Imamah itu berfungsi sebagai pengganti Rasulullah, tapi yang jelas dapat diapstikan bahwa khalifah atau al Imamah sebagai jabatan pengganti keNabian untuk melindungi agama dan mengatur dunia, kedua kekuasaan itu tidak dapat dipisahkan dari diri seorang imam.[13]
Pengertian al imammenurut Abdul Jabbar merupakan jabatan tertinggi yang dipegang oleh seseorang untuk mengaturmasalah keduniwian dan keukhrowian. Abdul Jabbar melihat dari sisi teologi, sementara al Mawardi dan Maududi menggunakan pendekatan Fiqhyah. Sementara menurut mu’tazilah, semua tindakan Imam semuanya mengacu untuk mensucikan Tuhan dari syirik. Artinya, bukan pemerintahan Tuhan, tetapi al Imamah sebagai penterjemah aspirasi Tuhan. Dalam pemerintahan secara rasional, termasuk didalamnya aspek politik, seperti menerapkan atau merealisasikan al amr bi al ma’ruf wa al nahy al munkar, tidak bisa terlaksana kecuali adanya imam (pemimpin). [14] Bagi selainnya (disebut al sunni) imam hanya menjalankan syariat.
Kewajiban yang mereka terapkan bersifat syar’I, sedangkan mu’tazilah kewajiban yang diterapkan bersifat aqli. Berbeda dengan syiah. Baginya pengertian al imamah adalah orang yang menjadi penguasa komunitasi pewaris Nabi Muhammad, dalam dirinya memenuhi fungsi wilayah. [15] Kalau fungsi keNabiannya disebut nubuwwah, maka fungsi al imamah disebut ‘wilayah’. [16] Wilayah di sini tidak saja bermakna kesucian semata, tetapi juga berfungsi sebagai penafsir dimensi esotetik wahyu Tuhan. [17] Sebagai pewaris ajaran esoteric Nabi, Imam sebenarnya membawa cahaya Muhammad dalam dirinya. Dengan cahaya ini pula seorang imam seperti Nabi pula, yang memiliki kemampuan untuk tidak melakukan kesesatan. Dengan kata lain, kesesatan adalah konsekuensi logis dari cahaya Muhamamd dalam dirinya. Sebab cahaya itulah yang menjadi sumber petunjuk dan pengetahuan.
Dengan demikian kepemimpinan (ledearship) baru dapat diberikan bila telah berfungsi dalam proses interaksi antara pribadi seorang pemimpin dengan lingkungan sosialnya yang bercorak dinamis.
Jadi, kepemimpianan dalam dakwah adalah sifat atau ciri tingkah laku pemimpin yang mengandung kemampuan untuk mempengaruhi dan mengarahkan orang seorang atau atau sekelompok orang guna mencapai tujuan dakwah yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, pemimpin dakwah adalah orang yang dapat menggerakkan orang lain yang ada disekitarnya dengan pengaruhnya untuk mengikutinya dalam proses untuk mencapai tujuan dakwah.
Dengan demikian pemimpin dengan kepemimpinannya harus memiliki sifat dan ciri yang dinamis, artinya dapat mempengaruhi dan mengarahkan orang kearah satu tujuan, sehingga terciptalah suatu dinamika dikalangan pengikutnya yang berarah dan bertujuan .
2. Syarat-syarat pemimpin
Betapapun baiknya suatu organisasi pemerintahan, politik dan ekonomi,tidak akan ada manfaatnya tanpa adanya pemimpin yang memenuhi persyaratan untuk menjalankannya. Maka dalm menetapkan kriteria Imam, Abdul Jabbar[18] mengemukakan sebagai berikut :
a. Harus mempunyai ilmu tentang syara’, tapi tidak mesti mampu menghafal masing-masing fiqih fuqaha’ akan tetapi cukup merujuk kepada pemikiran-pemikirannya dan mampu menghubungkan dengan pengertian mereka . oleh karena itu perlu terlebih dahulu mengetahui bahasa arab, sehingga lebih mudah untuk merajuk kepada laquran untuk mengatakan sesuatu .
b. Harus adil dalam ilmu tauhid dan keadilan ilahi. Adil yang dimaksud disini adalah menunjukkan suatu perbuatan bukan pelaku perbuatan, yaitu member hak-hak seorang sesuai dengan kewajiban yang dilakukan.
c. Mepunyai sifat yang pantas dan terhindar dari sifat-sifat yang tidak layak baginya.
d. Harus piawai tentang Nabi Muhammad.
e. Harus lebih wara’.
f. Konsisten dengan tindakannya .
g. Mempunyai fisik yang prima .
h. Mempunyai jiwa yang mantap.
i. Bertanggung jawab dalam urusannya.
Disamping kriteria diatas ada beberapa kriteria pokok yang mesti yang menjadi perhatian pokok terhadap pemimpin, yaitu :
a. Harus mampu melaksanakan apa-apa yang diserahkan kepadanya dengan baik.
b. Harus mengetahui cara mengerjakan yang ditugaskan kepadanya.
c. Harus amanah, sehingga senang (tentram) hati orang.
d. Didahulukan orang yang berkelebihan.
e. Harus merdeka, berakal, dan beragama.
Apabila kriteria kepemimpinan sebagaimana yang disebut diatas dipenuhi maka kekuasaannya akan berjalan baik.
3. Keharusan Adanya Pemimpin Perspektif Islam dan Sains
Menyangkut dengan perlu adanya imam dalam prospektif Islam dan sains, kelihatan tidak ada perbedaan pendapat dari berbagai kelompok dalam Islam, hanya saja bagaimana wajibnya itu serta bagaimana jalan fikirannya untuk menetapkan kewajiban adanya imamterdapat variasi pemikiran.
Perspektif menurut Abdul Jabbar, keharusan adanya imam sangat erat kaitannya dengan faham keagamaan, kalaulah tidak ada hubungan imam dengan agama, maka Nabi tidak perlu diutus.[19]Berdasarkan hal itu pula tuhan dalam pandangan ini berkewajiban mengutus rosul untuk membawa petunjuk bagi manusia.[20]hal ini menunjukkan bahwa kehadiran Nabi perlu dipahami dengan mempergunakan akal, karena kepemimpinan tersebut sudah terlaksana pada Nabi, sehingga tidak terhalang lagi mengtahui perlu adanya imam. Dengan demikian wajib adanya kepemimpinan dalam Islam menurut abdul jabbar hanya mempergunakan dalil aqli.[21]
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan, bahwa pikiran Abdul Jabbar berbeda dibandingkan dengan sunni dan syi’ah. Walaupun sama-sama wajib mengatakan imam. Bagi sunni, mendasarkan kewajiban adanya imamdengan ijma’ umat. Hal ini adalah pengaruh dari peristiwa pertemuan di saqiqfah bani sa’idah. Sekalipun berbagai kalangan terdapat perselisihan pendapat tentang siapa yang menjadi khalifah namun mereka bersepakat bulat tentang perlu adanya imam.[22]Bahkan mereka menguatkan lagi dalil ijma’ dengan menyebutkan beberapa ayat dan hadis yang menjadi sandaran ijma’.[23]
Syi’ah mendasarkan kewajiban adanya imam dengan dali syara’dan aqli. Menurutnya dunia tidak boleh kosong dari imam, meskipun ia dalam kadaan tersembunyi, tidak peduli apakah manusia membenci atau menyayangi, membela atau memerangi yang jelas imam menurut pandangan mereka tetap mempunyai eksisten disepanjang zaman. Kemudian imam diangkat oleh Allah untuk dunia adalah hgal yang sangat perlu, agar menjadi hujjah kepada hamba-hamba Allah. Sehingga mengetahui imam-imam serta percaya kepadanya adalah syarat al-imam.[24]
C. Penutup
Kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil dari proses perubahan karakter atau tranformasi internal dalam diri seseorang. Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar, melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang perubahan dalam diri seseorang. Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Jadi pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out). Sehingga dalam dakwah adalah sifat atau ciri tingkah laku pemimpin yang mengandung kemampuan untuk mempengaruhi dan mengarahkan orang seorang atau atau sekelompok orang guna mencapai tujuan dakwah yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, pemimpin dakwah adalah orang yang dapat menggerakkan orang lain yang ada disekitarnya dengan pengaruhnya untuk mengikutinya dalam proses untuk mencapai tujuan dakwah
Daftar Pustaka
M. Arifin, Psikologi Dakwah: Suatu Pengantar Studi, Jakarta: Bumi Aksara, 2000
Ibnu Manzier dalam Salmadanis, Filsafat Dakwah, Jakarta: Surau, 2002
Salmadanis, Filsafat Dakwah, Jakarta: Surau, 2002
_______, Dai dan Kepemimpinan, Jakarta: TMF Press, 2004
Katsir, Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir, Bab VI, Juz 1
Mahfuzd, Ali, Hidayah al-Mursyidin, Beirut: Dar al Ma’arif, tt
Al Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir Al Maraghi Terjemah, Jilid 4, Semarang: Toha Putra, 1993
Mulkhan, Abdul Munir, Ideologisasi Gerakan Dakwah Episode Kehidupan M. Natsir dan Azhar Basyir, Yogyakarta: SipPress, 1996, cet. ke-1,
An-Nabiry, Fathul Bari, Meniti Dakwah Kenal Perjuangan Para Da’i, Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2008
[1] M. Arifin, Psikologi Dakwah : Suatu Pengantar Studi, (Jakarta : Bumi Aksara, 2000), h. 86
[2] Howard W. Hoyt dalam M. Arifin
[3]Universitas Islam Indonesia, Hakikat kepemimpinan, www.sanaky.com/materi /pedoman%20handout/05.%20MODUL%20II%20KEPEMIMPINAN.rtf -, Modul, diakses tanggal 20 Januari 2009, h. 5
[4] http://emperordeva.wordpress.com/, diakses tanggal 20 Januari 2009
[5] Ibnu Manzier dalam Salmadanis, Filsafat Dakwah, (Jakarta : Surau, 2002), h. 205
[6]Zakariya dalam Salmadanis, Filsafat Dakwah, (Jakarta : Surau, 2002), h. 206
[7] Abdul Hamid dalam Salmadanis, Ibid
[8] Muhammad Diya’ al-Din al-Rayes, Ibid
[9] Ibid
[10] Qadhi Abdul Jabbar, dalam Salmadanis, Ibid., h. 207
[11] Muhammad Rasyid Ridha, dalam Salmadanis, Ibid.
[12] Al Mawardi, dalam Salmadanis, Ibid.
[13] Maududdi, dalam Salmadanis, Ibid., h. 208
[14] Sayyed Husein Nashr, Ibid., h. 209
[15] Salmadanis, Filsafat Dakwah, (Jakarta : Surau, 2002), h. 209
[16] Harun Abdul Mut’ah al Sa’di, dalam Salmadanis, Filsafat Dakwah, (Jakarta : Surau, 2002)
[17] Sayyed Hussein nashr, Op.cit., h. 209
[18] Abdul Jabbar, Lihat dalam Salmadanis, Dai dan Kepemimpinan, (Jakarta : TMF Press, 2004), h. 47-48
[19] Yousuf M. Laljee, dalam Salmadanis, Filsafat Dakwah, Op.cit., h. 210
[20] Ibid.
[21] Abdul Jabbar, Op.cit., h. 210
[22] Al-Syahrastani, dalam Salmadanis, Filsafat Dakwah, Op.cit.,
[23]Al Mawardi, Op.cit., h. 210
[24] Muhammad Kamil, Dalam Salmadanis, Filsafat Dakwah, Op.cit., h. 211
0 Comment