KONSEP, DIMENSI DAN INDIKATOR DAKWAH DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ISLAM
A. Konsep Dakwah & Pemberdayaan Masyarakat Islam
Istilah pemberdayaan atau empowermentmenjadi sebuah istilah yang pernah popular ditengah-tengah masyarakat Indonesia terutama pada saat terjadinya krisis moneter yang berimbas kepada krisis yang bersifat multidimensi. Kata “Pemberdayaan” sering dirangkaikan dengan kata lain seperti kata organisasi, birokrasi, dan kata-kata lain tidak ketinggalan pula kata masyarakat.
Banyak orang memaknai istilah pemberdayaan dari satu sudut pandang sesuai dengan kepentingannya. Namun istilah Pemberdayaan sebenarnya memiliki aspek yang sangat luas sehingga menjelaskan istilah Pemberdayaan harus digunakan berbagai konsep dan teori dari berbagai pakar yang memang ahli dibidangnya. Oleh karena itu menjelaskan istilah Pemberdayaan masyarakat dari sudut pandang teoritis diperlukan suatu ketajaman analisa sehingga istilah Pemberdayaan masyarakat dapat dikonkritkan menjadi suatu konsep yang diukur dan dapat pula dilihat dari berbagai macam indikatornya sehingga istilah Pemberdayaan masyarakat menjadi suatu istilah yang dapat digambarkan secara jelas.
Ide pemikiran tentang bahasan pemberdayaan masyarakat berangkat pada keberadaan manusia sebagai sebuah sumber daya. Aspek dari sumber daya manusia yaitu pertama sumber daya dan manusia. Sumber daya bermakna sebagai kekayaan suatu bangsa yang menjadi modal bagi kejayaan masa depan. Sedangkan nilai sumber daya sebagai kekuatan pengikat, penggerak atau pola perilaku suatu masyarakat menjadi sebuah bangsa yang harus terus menerus dipelihara.[1]Kemudian makna manusia adalah mahluk tuhan yang diciptakan memiliki kemampuan berfikir yang sangat tinggi, bakat serta naluri untuk meningkatkan kualitas hidupnya dibandingkan dengan mahluk ciptaan Tuhan lainnya.
Sumber daya manusia menurut adalah sebagai kekuatan daya pikir dan berkarya manusia yang masih tersimpan dalam dirinya yang perlu dibina dan digali serta dikembangkan untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan kehidupan manusia.[2] Dengan demikian sumber daya manusia harus selalu dikembangkan menuju kepada kehidupan manusia yang kualitas yang diharapkan sesuai dengan taraf perkembangan zaman dimana manusia itu hidup.
Realitas yang terjadi di Indonesia, bahwa untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dilakukan berbagai kegiatan yang selalu diberikan lebel yaitu “Pembangunan”. Akan tetapi aspek pembangunan yang dilakukan lebih kepada pembangunan yang bersifat ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kehidupan manusia dari sisi materil, jasmani dan untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan standar ukur ekonomi belaka. Asumsi-asumsi pertumbuhan dan pemerataan menjadi suatu pendekatan pembangunan ekonomi yang dijalankan tanpa melihat dari sisi lain seperti aspek sosial budaya dan ketersediaan sumber daya manusia yang dimiliki. Akibatnya ketidakmerataan terjadi antar masyarakat, antar daerah, bahkan terjadi sebuah kawasan yang menimbulkan dua kutub yang berbeda misalnya kutub barat dan timur, Jawa dan luar Jawa. Perbedaan-perbedaan yang terjadi membawa kepada implikasi yang sangat serius dan perlu mendapat perhatian dari pemerintah sebagai disainerdan pemrakarsa pembangunan itu sendiri.
Tidak seimbangnya pembangunan ekonomi di satu sisi dengan pembangunan non ekonomi di sisi yang lain harus diakui telah meningkatkan pertumbuhan dan kemajuan, tetapi berdampak pada tidak meratanya distribusi pendapatan, melajunya kesenjangan, perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, antara ekonomi kuat dan ekonomi lemah, dan juga kesenjangan antar daerah.
Permasalahan utama sehingga terjadinya kesenjangan itu oleh karena dalam kurun waktu yang cukup lama orientasi pembangunan lebih menitik beratkan kepada pembangunan ekonomi dan mengabaikan pembangunan lainnya. Oleh karenanya, pembangunan tidak hanya melihat dari kontribusi pemikiran ahli-ahli ekonomi semata, tetapi pemikiran-pemikiran para pakar dari berbagai disiplin ilmu lainnya perlu diperhatikan dalam perumusan dan pengambilan keputusan, sehingga kata-kata kunci dalam ukuran sosial ekonomi masyarakat seperti : kualitas manusia, kualitas masyarakat, ukuran maju, ukuran mandiri, suasana tentram, dan sejahtera lahir dan bathin menjadi jelas, baik bagi masyarakat dan juga terlebih bagi pemerintah dalam memacu pembangunan sosial ekonomi.
Kenyataan-kenyataan empirik membuktikan juga bahwa kesejahteraan ekonomi tidak dapat menjamin kesejahteraan sosial, namun kondisi sosial dan budaya yang baik akan memberikan situasi ekonomi yang baik.
Kenaikan pendapatan nasional tidak membawa kenaikan kesejahteraan sosial, jika kenaikan pendapatan itu kurang dibarengi dengan penyesuaian budaya. Wawasan sosial budaya masyarakat haruslah diubah jikalau pembangunan diharapkan dapat berjalan. Manakala terdapat hambatan sosial yang menghalangi kemajuan ekonomi, hambatan tersebut harus disingkirkan atau disesuaikan. Organisasi sosial seperti keluarga bersama, sistem kasta, warna kulit, dogma agama dan kehidupan desa harus dimodifikasi sehingga selaras dengan pembangunan. Setiap perubahan budaya atau sosial biasanyamembawa ketidakpuasan dan perlawanan dibelakangnya, yang karena itu dapat berpengaruh buruk pada perekonomian. Karena kesejahteraan ekonomi hanyalah merupakan sebagian saja dari kesejahteraan sosial pada umumnya, maka yang terakhir inilah yang harus mendapatkan perhatian utama.
Dimensi manusia dan kemanusiaan merupakan faktor yang paling menentukan situasi dan kondisi yang harmonis dalam sistem kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Paradigma pertumbuhan sosial ekonomi ditinjau dari konsep pembangunan "growth paradigm" menimbulkan kelompok negara maju dan negara berkembang.Untuk mengejar ketinggalan sosial ekonominya, negara-negara berkembang menerapkan konsep paradigma pertumbuhan yang ditandai oleh meningkatnya pertumbuhan pendapatan nasional (gross national product).
Peningkatan gross national product ternyata tidak menjamin meratanya distribusi pendapatan nasional dan harapan "trickle down effect" bahkan belum berhasil mengatasi dan menghapus kemiskinan, pengangguran, ketimpangan, ketidakberdayaan (powerlessness), kerapuhan (vulnerability), kelemahan fisik (phisycal weakness),dan keterasingan (isolation).
Konsep ini menurut Kartasasmita bahwa bahkan yang terjadi di banyak negara berkembang, pembangunan justru mengakibatkan kesenjangan sosial ekonomi yang melebar. Hal ini disebabkan oleh karena meskipun pendapatan dan konsumsi makin meningkat, kelompok masyarakat yang sudah baik keadaannya dan lebih mampu, lebih dapat memanfaatkan kesempatan, antara lain karena posisinya yang menguntungkan (privileged) sehingga akan memperoleh semua atau sebagian besar hasil pembangunan. Dengan demikian, yang kaya makin kaya dan yang miskin tetap miskin bahkan dapat menjadi lebih miskin.[3]
Pandangan dan pemikiran Kartasasmita itu, persoalan mendasarnya adalah pertumbuhan ekonomi yang begitu cepat tidak diimbangi oleh kemajuan masyarakat di bidang sosial dan bidang budaya sehingga kecenderungan sosial yang terjadi adalah harkat dan martabat manusia terabaikan, kepercayaan masyarakat terhadap diri mereka sendiri rendah serta wawasan tranformasi sosial yang terus melemah.
Konteks ini menurut Tjokrowinoto bahwa manifestasi dampak sosial dari pembangunan yang menekankan pada pembangunan ekonomi amat bervariasi, antara lain terjadinya konsentrasi dan marginalisasi kekayaan dan kekuasaan, terjadinya proses unidimensionalisasimanusia yang cenderung memandang manusia sebagai salah satu faktor produksi semata-mata, timbulnya dependensi masyarakat yang terlalu besar, baik pada birokrasi maupun proyek, ketidakberdayaan masyarakat menjadi delivered development,disparitas struktural maupun regional dan sebagainya.[4]
Argumentasi di atas dapat dikemukakan bahwa ada kecenderungan awal di negara-negara berkembang termasuk Indonesia dimana dimensi pembangunan ekonomi dan dimensi pembangunan politik menduduki posisi sentral dalam pembangunan nasional. Kedua dimensi itu telah memarjinalkan potensi manusia yang memiliki nilai-nilai yang harus dihargai, baik kapasitasnya sebagai individu maupun makhluk sosiai. Ketidak-arifan ini telah menimbulkan dampak-dampak yang kurang menguntungkan secara sosial sebagaimana yang dapat disaksikan saat ini.
Argumentasi tentang pentingnya aspek-aspek sosial dari pada aspek ekonomi dikemukakan oleh Rachbini bahwa pengakuan sosial dan hubungan-hubungan kekerabatan yang sangat erat mengalahkan hubungan-hubungan lainnya yang bersifat ekonomistik.[5]Karena itu kebutuhan terhadapkebanggaan sosial dinilai lebih menonjol dibandingkan kepentingan ekonomi. Dengan kata lain, motif moral dan tindakan sosial menjadi dasar paling tepat untuk mengarahkan keputusan-keputusan yang diambil. Soal-soal yang berkaitan dengan masalah ekonomi dianggap sebagai persoalan sekunder, yang tidak lebih diutamakan.
Konstruksi tersebut sangat beralasan jika kita melihat suatu keadaan masyarakat yang secara ekonomi cukup bahkan berlebihan, tetapi kehidupan mereka penuh dengan kecemasan, kegelisahan dan tidak memiliki kehidupan yang tentram dan aman. Suasana kehidupan yang sarat dengan ketidakharmonisan ini ditandai oleh pandangan keseharian yang dapat dilihat seperti: penyebaran isu dan fitnah antar sesama, unjuk rasa dan demonstrasi yang tidak manusiawi dan beragam fenomena atau gejala-gejala sosial yang kurang baik.
Tindakan-tindakan yang memungkinkan masyarakat atau unit sosial untuk meningkatkan kemampuannya mengubah masa depan mereka yang dilakukan atas pilihan mereka sendiri merupakan upaya-upaya yang sangat positif agar mereka dapat berdaya. Oleh karena itu, konsep pembangunan pada dasarnya sebagai upaya peningkatan kemampuan masyarakat untuk mengendalikan masa depan.
Pembangunan sebagai peningkatan kemampuan untuk mengendalikan masa depan mengandung beberapa implikasi. Di antaranya:
· Pertama, kemampuan (capacity). Tanpa kemampuan, seseorang tidak dapat mempengaruhi masa depannya. Kemampuan disini meliputi kemampuan fisik, mental dan spritual.
· Kedua, Kebersamaan (equity) atau keadilan sosial, pembangunan berarti pemerataan, laju pertumbuhan suatu bangsa, jika kemajuan tidak merata, hal itu sia-sia belaka.
· Ketiga, Kekuasaan (Empowerment), kelemahan atau ketidak berdayaan. Ketidak berdayaan (powerlesness) merupakan kondisi manusia yang fatal, terutama dalam konteks politis. Empowerment berarti pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk secara bebas memilih berbagai alternatif sesuai dengan tingkat kesadaran, kemampuan dan keinginan mereka, dan memberi mereka kesempatan untuk belajar, baik dari keberhasilan maupun kegagalan mereka dalam memberi respons terhadap perubahan.
· Keempat, ketahanan atau kemandirian (sustainable), implikasi ini mengandung arti yang luas, karena faktor-faktor pembangunan terbatas adanya, sementara tuntutan kebutuhan semakin meningkat, maka sumber-sumber yang ada haruslah dapat dikelola sedemikian rupa sehingga pada suatu saat masyarakat yang bersangkutan mampu berkembang secara mandiri dan sanggup merebut sukses berikut.
· Kelima, kesalingtergantungan (interdependence), interdependensi itu sangat menguntungkan jika masyarakat telah memiliki ketahanan dan kemandirian.
Oleh karena itu diperlukan suatu upaya pembangunan masyarakat yang lebih tajam, terencana dan sistematis dalam menempatkan masyarakat sebagai subyek yang benar-benar berperan dan memiliki harkat dan martabat sebagai manusia. Ide dan gagasan yang menempatkan manusia atau masyarakat lebih sebagai subyek dari dunianya sendiri yang mendasari lahirnya pendekatan pemberdayaan masyarakat.[6]
B. Dimensi dan Indikator Dakwah & Pemberdayaan Masyarakat Islam
Dengan tidak mengurangi makna pemberdayaan masyarakat yang sebenarnya, di sini akan mempergunakan definisi pemberdayaan masyarakat yang dikemukakan oleh Bryan dan White bahwa pemberdayaan hendaknya dipahami sebagai suatu proses meningkatkan kemampuan masyarakat sehingga mereka dapat memecahkan masalahnya sendiri dengan cara memberikan kepada mereka kepercayaan untuk mengelola program-program tertentu atas keputusannya sendiri.[7]
Definisi pemberdayaan yang dikemukakan oleh Bryan dan White tersebut mengandung beberapa dimensi dalam pemberdayaan masyarakat yaitu:
(1) proses meningkatkan kemampuan masyarakat,
(2) pemecahan masalah,
(3) memberikan kepercayaan,
(4) pengelolaan program, dan
(5) membuat keputusan sendiri yang secara tajam akan dijelaskan unsur-unsurnya, ciri-cirinya dan sifat-sifatnya sehingga menjadi jelas sebagai sebuah variabel.
Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu fenomena sosial yang merupakan kejadian konkrit dan dapat diindera atau di amati. Kemampuan masyarakat harus dan mutlak perlu ditingkatkan, karena sumber daya manusia merupakan energi yang sangat istimewa.
Kemampuan menurut Robbins adalah suatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan.[8]Seluruh kemampuan seseorang pada hakekatnya tersusun dari dua perangkat faktor, yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan mental, sedangkan kemampuan fisik adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan, dan keterampilan serupa.
Diharapkan, dengan meningkatnya kemampuan masyarakat baik secara intelektual dan fisik, maka masyarakat akan memberikan kontribusi secara maksimal terhadap penyelenggaraan Pemerintahan di daerah. Kemampuan intelektual hanya akan dapat di capai apabila Pemerintah secara serius memperhatikan masalah pendidikan, baik pendidikan formal, informal dan non formal. Selanjutnya peningkatkan kemampuan secara fisik hanya akan dapat dicapai apabila Pemerintah secara serius memperhatikan kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungannya. Dimensi kemampuan masyarakat bertalian erat dengan partisipasi masyarakat. Kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi merupakan tanda adanya kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri.
Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Mubyarto bahwa kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri berkorelasi positif dengan kemampuannya untuk berpartisipasi dan juga kemampuannya untuk meningkatkan taraf hidup sendiri.[9] Konsep ini memberikan kejelasan bahwa hanya pada masyarakat yang memiliki kemampuan, partisipasi itu dapat diwujudkan. Sehingga antara kemampuan masyarakat dan partisipasi masyarakat ibarat dua sisi mata uang, tidak dapat dipisahkan tetapi dapat dan perlu dibedakan.
Demikian halnya Tilaar mengemukakan bahwa suatu masyarakat yang berpartisipasi adalah masyarakat yang mengetahui potensi dan kemampuannya termasuk hambatan-hambatan karena keterbatasannya.[10]Masyarakat yang mampu berdiri sendiri adalah masyarakat yang mengetahui arah hidup dan perkembangannya termasuk kemampuannya untuk berkomunikasi dan bekerja sama dengan masyarakat lainnya bahkan pada tingkat regional dan internasional
Menjadi jelas bahwa partisipasi masyarakat itu sangat ditentukan oleh kemampuan masyarakat itu sendiri. Semakin tinggi tingkat kemampuan pemahaman akan sesuatu yang diketahui masyarakat, maka diharapkan akan semakin tinggi pula partisipasi masyarakat yang bersangkutan dalam setiap kegiatan, program maupun proyek yang di laksanakan dimana masyarakat itu berada.
Menurut Soewardi bahwa secara analitik, kemampuan untuk mengetahui itu dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Kemampuan kognitif, ialah kemampuan untuk mengetahui (dalam arti kata yang lebih dalam berupa mengerti, memahami, menghayati) dan mengingat apa yang diketahui itu. Landasan kognitif adalah rasio atau akal.
2) Kemampuan afektif, ialah kemampuan untuk merasakan tentang yang diketahuinya itu, ialah rasa cinta (love) dan rasa indah (beuty).
3) Kemampuan konatif, ialah kemampuan untuk mencapai apa yang dirasakan itu. Konasi adalah will atau karsa (= kemauan, keinginan, hasrat) ialah daya dorong untuk mencapai (atau menjauhi) segala apa yang didiktekan oleh rasa. Rasa-lah yang memutuskan apakah sesuatu itu dicintai atau dibenci, dinyatakan indah atau buruk dan menjadi sifat manusia untuk menginginkan/mendekati yang dicintainya dan dinyatakan indah, dan sebaliknya untuk membuang/menjauhi yang dibencinya dan yang dinyatakannya buruk. Jadi, kekuatan manusia untuk bergerak mendekati/menjauhi disebut kemampuan konatif..[11]
Kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan desa menurut Ndraha bahwa kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri dapat ditumbuhkan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi partisipasi masyarakat dalam pembangunan desanya.[12]
Selanjumya menurut Ndraha bahwa kemampuan untuk melaksanakan tugas adalah kemampuan untuk mencapai keluaran yang telah ditetapkan atau hasil yang hendak di capai. Kemampuan ini meliputi kemampuan untuk merencanakan usaha mencapai tujuan dan kemampuan untuk melaksanakan rencana tersebut. Dalam kemampuan untuk merencanakan usaha tersebut termasuk kemampuan untuk menggali, menggerakkan, dan mengkombinasikan masukan-masukan dari lingkungan dan menyiapkannya bagi sistem pelaksanaan tugas.[13]
Apabila kemampuan masyarakat meningkat sebagaimana dikemukakan itu, maka diharapkan masyarakat akan dapat memecahkan masalahnya sendiri. Permasalahan yang di hadapai oleh masyarakat sangat beragam yang menyangkut permasalahan pendidikan, kesehatan, pendapatan, meningkat ke permasalahan ekonomi, politik, sosial, budaya dan sebagainya.
Menurut Kuper bahwa pemecahan masalah (problem solving) adalah fungsi utama dari pikiran dan telah lama diteliti oleh psikologi kognitif. Secara umum, pikiran kemudian dianggap sebagai rangkaian proses manipulasi simbol yang menggunakan ingatan yang bekerja sangat terbatas, dan didukung oleh ingatan jangka panjang yang ekstensif.[14]
Masalah atau permasalahan pada dasarnya merupakan kesenjangan antara harapan-harapan masyarakat dengan kenyataan yang ada. Harapan-harapan masyarakat juga bersifat kondisional, antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok yang lain memiliki harapan-harapan yang berbeda-beda. Namun, secara umum dapat digambarkan bahwa harapan masyarakat adalah mendambakan suatu kehidupan yang menempatkan mereka sebagai manusia yang memiliki martabat yang perlu dihargai dan di berikan peranan dalam kehidupan sosial.
Permasalahan masyarakat adalah permasalahan sosial, yang menurut Kuper bahwa permasalahan sosial adalah sebagai kondisi yang tidak diinginkan, tidak adil, berbahaya, ofensif dan dalam pengertian tertentu mengancam kehidupan masyarakat.[15] Dengan konsep permasalahan sosial yang dikemukakan itu menunjukkan bahwa permasalahan masyarakat pada intinya adalah mengancam kehidupan masyarakat itu sendiri, sehingga tidaklah beralasan sekiranya permasalahan itu diintervensi secara jauh oleh Pemerintah dan mengabaikan keterlibatan masyarakat yang memahami masalahnya sendiri.
Sekiranya, permasalahan masyarakat itu dikembalikan kepada masyarakat itu sendiri, di mana masyarakat terlebih dahulu dibekali dengan kemampuan yang memadai (baik intelektualnya maupun fisiknya), maka dapat dipastikan masyarakat itu sendiri akan dapat memecahkan persoalan yang dihadapinya.
Dimensi berikutnya yang memegang peranan kunci dalam pemberdayaan masyarakat adalah memberikan kepercayaan masyarakat atau dalam istilah manajemen dan organisasi disebut "delegation of authority" yang menurut Saefullah diartikan sebagai pendelegasian wewenang kepada bawahan dan yang diberikan wewenang mempunyai kemampuan untuk melaksanakannya. Konsekwensi ini adalah pihak yang diberi pelimpahan wewenang akan berusaha sekuat tenaga untuk memperlihatkan kemampuannya serta keberaniannyauntuk mengambil inisiatif dan mengembangkan kreatifitasnya. Secara psikologis ia mempunyai rasa percaya diri dan keberanian untuk bersikap.[16]
Kepercayaan yang diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat akan dapat menggali potensi-potensi, inisiatif dan kreatifitas sehingga masyarakat dapat memberikan sikap dan tindakannya (perilaku) yang sesuai dengan latarbelakang historis kehidupan masyarakat tersebut. Dalam kehidupan masyarakat yang latar belakang historisnya penuh dengan dinamika perjuangan akan menerima setiap kebijakan yang dibuat pemerintah dengan sikap kritis. Sebaliknya pada kehidupan masyarakat yang latar belakang historisnya bersifat feodalistik akan menerima setiap kebijakan pemerintah sebagai suatu keharusan yang tidak bisa ditolak. Apabila masyarakat telah memperoleh kepercayaan, maka mereka akan mengelola program berdasarkan kreativitas, inisitaif dan inovasi yang mereka miliki.
Dengan demikian, apabila masyarakat telah memiliki kemampuan, dapat memecahkan masalahnya sendiri, telah mendapatkan kepercayaan dari pemerintah dalam mengelola berbagai program kegiatan, maka dapat dipastikan masyarakat tersebut sudah dapat mengambil keputusan sendiri sesuai keinginan dan kebutuhan serta berbagai permasalahan yang dihadapinya tanpa terus bergantung kepada pemerintah.
Menurut Hardjito bahwa pemecahan masalah dan pengambilan keputusan merupakan kejadian yang dialami oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari. Dalam manajemen modern, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan menjadi semakin penting dan merupakan kebutuhan mutlak bagi seseoarang atau masyarakat. Menguasai kemampuan memecahkan masalah dan pengambilan keputusan diperlukan suatu pola pikir tertentu dan teknik-teknik yang merupakan prasyarat yang harus dipahami. Selain itu juga dituntut kemampuan analisis yang tangguh, karena salah dalam mengambil keputusan akan berakibat fatal bagi keberhasilan organisasi.[17]
[1]Talizuhu Ndraha, Budaya Organisasi, (JakartaK Rineka Cipta, 2003), h. 184
[2]Yusuf Suit dan Almasdi, Aspek Sikap Mental dalam Manajemen Sumberdaya Manusia, (Jakarta: Ghalia, 1995), h. 32
[3]Ginanjar Kartasasmita, Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, (Jakarta: Cides, 1996), h. 135
[4]Moeljarto Tcokrowinoto, Pembangunan: Dilema dan Tantangan, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 95
[5]Rachbini, D.J. Ekonomi Politik & Demokrasi Ekonomi (Political Economics and Economic Democracy). (Jakarta: PT Grasindo,2002), h. 179
[6]Taliziduhu Ndraha, Pembangunan Masyarakat : Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas,( Jakarta : Bina Aksara, 1987), h.35
[7] A. Bryant dan L.G. White, , Manajemen Untuk Pembangunan Negara Berkembang, (Jakarta: LP3ES, 1989), h. 25
[8] Robbins, Stephen P.Perilaku Organisasi. (Jakarta : Penerbit Indeks Kelompok Gramedia, 2001), h. 46
[9] Mubyarto. Strategi Pembangunan Pedesaan.( Yogyakarta : P3PK UGM, 1984) h. 36
[10]Tilaar, H.A.R, Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam Era Globalisasi, Jakarta: Grasindo, 1997), h. 238
[11] Herman Soewardi, Roda Berputar Dunia Bergulir: Kognisi Baru Tentang Timbul-Tenggeamnya Sivilisasi. (Bandung: Bakti Mandiri, 1999), h. 246
[12]Taliziduhu Ndraha, Pembangunan Masyarakat : Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas,( Jakarta : Bina Aksara, 1987), h.107
[13]Taliziduhu Ndraha, Pembangunan Masyarakat : Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas,(Jakarta : Bina Aksara, 1987), h.113
[14] Kuper, A., dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta ; Penerbit PT. Rajawali Press, 2000), h. 839
[15] Kuper, A., dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta ; Penerbit PT. Rajawali Press, 2000), h. 993
[16]Saifullah Fatah, Pengantar Manajemen Keuangan, Edisi Pertama, (Jakarta: Kencana, 2002), h. 6-7
[17] Dydiet Hardjito, Teori Organisasi dan Tehnik Pengorganisasian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 94-96
0 Comment