Friday, December 23, 2022


PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengertian Warisan, adalah berpindahnya hak dan kewajiban atas segala sesuatu baik harta maupun tanggungan dari orang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup. "Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para ahli waris atas apa vang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan karib kerabatnya. Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu." (QS. 4/An-Nisa': 33)

Syariat islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia.Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi suatu peristiwa meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.

Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut diatur oleh hukum. Jadi, warisan itu dapat dikatakan ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya. Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata miras (موارث), yang merupakan mashdar (infinitif) dari kata : warasa – yarisu – irsan – mirasan. Maknanya menurut bahasa adalah ; berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain. 

Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama ialah, berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik yang legal secara syar’i.Jadi yang dimaksudkan dengan mawaris dalam hukum Islam adalah pemindahan hak milik dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli waris yang masih hidup sesuai dengan ketentuan dalam al-Quran dan al-Hadis.

 Pada makalah kali ini kami akan menguraikan mengenai rukun, syarat serta sebab- sebab dalam waris mewarisi.

1.2 Rumusan Masalah

Apa saja rukun- rukun mewaris?

Apa saja syarat-syarat mewaris?

Apa saja hal-hal yang menyebabkan orang dapat mewaris?

Mengetahui apa saja halangan mewarisi?

3. Tujuan Masalah

Untuk mengetahui rukun-rukun mewaris

Untuk mengetahui syarat-syarat mewaris

Untuk mengetahui hal-hal yang menyebabkan orang dapat mewaris

2.1. Dasar Hukum Waris Dalam Islam

Adapun yang menjadi dasar pelaksanaan pembagian harta warisan dalam hukum Islam adalah berpedoman pada ayat-ayat Al Qur’an berikut ini, yaitu : 

Surat An-Nisa’ ayat 7, yang artinya : 

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan  ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”  (Joko Utama, Muhammad Faridh, Mashadi, Al-Qur’an Al Karim dan Terjemahnya, CV. Putra Toha Semarang, Semarang, hal.62. )

Surat An-nisa’ ayat 8, yang artinya : 

“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” (Ibid. )

Surat An-Nisa’ ayat 11, yang artinya : 

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (Tentang) orangtuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetpan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (Ibid.)

Surat An-Nisa’ ayat 12, yang artinya 

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah  dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah, dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja), atau saudara perempuan (seibu saja), maka bagian masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (Ibid.)

2.2. Pedoman Waris Menurut Hadist

Hadits Rasulullah dari Huzail bin Syurahbil 

Hadits Rasulullah dari Huzail bin Syurahbil yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmizi, dan Ibn Majah. Abu Musa ditanya tentang pembagian harta warisan seorang anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan. Abu Musa berkata: “Untuk anak perempuan seperdua dan untuk saudara perempuan seperdua. Datanglah kepada Ibnu Mas’ud, tentu ia akan mengatakan seperti itu pula”. Kemudian ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan ia menjawab : “Saya menetapkan atas dasar apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah, yaitu untuk anak perempuan seperdua, untuk melengkapi dua pertiga cucu seperenam, dan selebihnya adalah untuk saudara perempuan”. (Zainuddin Ali,Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.40.)

Hadits Rasulullah dari Qabisah bin Syu’aibHadits Rasulullah dari Qabisah bin Syu’aib yang diriwayatkan oleh perawi yang lima selain An-Nasai. 

“Seorang nenek datang kepada Abu Bakar meminta hak kewarisan dari cucunya (yang meninggal itu). Abu Bakar berkata : “Dalam kitab Allah tidak disebutkan sesuatu untukmu dan juga tidak ada dalam hadits Rasulullah. Pulang sajalah dulu, nanti saya tanyakan kepada orang lain kalau ada yang mengetahui”. Kemudian Abu Bakar menyatakan kepada para sahabat mengenai hal tersebut. Mugirah menjawab pertanyaan Abu Bakar dan berkata : “Saya pernah melihat pada saat Rasulullah memberikan hak kewarisan untuk nenek dari seorang cucu yang meninggal sebanyak seperenam”. Abu Bakar bertanya : “Apakah ada yang lain yang mengetahui selain kamu?” Muhammad bin Maslamah tampil dan mengatakan seperti yang dikatakan oleh Mugirah. Kemudian Abu Bakar memberikan seperenam kepada nenek harta peninggalan cucunya”. (Ibid)

Hadits Rasulullah dari Sa’ad bin WaqqasHadits 

Rasulullah dari Sa’ad bin Waqqas yang diriwayatkan oleh Bukhari. Sa’ad bin Waqqas bercerita sewaktu ia sakit keras, Rasulullah mengunjunginya. Ia bertanya kepada Rasulullah : “Saya mempunyai harta yang banyak sedangkan saya hanya mempunyai seorang anak perempuan yang akan mewarisi harta saya. Apakah perlu saya sedekahkan dua pertiga harta saya ?” Rasululah menjawab : “Jangan!” Kemudian bertanya lagi Sa’ad : “Bagaimana jika sepertiga ?” Bersabda Rasulullah : “Sepertiga, cukup banyak. Sesungguhnya jika engkau meninggalkan anakmu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik dari pada meninggalkannya dalam keadaan miskin (berkekurangan), sehingga meminta-minta kepada orang lain.” (Ibid., hal.41.)

Hadits Rasulullah dari Abu HurairahHadits Rasulullah dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. 

Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah bersabda : “Aku lebih dekat kepada orang-orang mukmin dari mereka itu sendiri antara sesamanya. Oleh karena itu, bila ada orang yang meninggal dan meninggalkan utang yang tidak dapat dibayarnya (tidak dapat dilunasi dari harta peninggalannya) maka kewajibankulah untuk membayarnya, dan jika dia meninggalkan harta (saldo yang aktif) maka harta itu untuk ahli waris-ahli warisnya.” (Ibid.)

2.3 Rukun –Rukun Mewarisi

Untuk terjadinya sebuah pewarisan harta, maka harus terpenuhi Rukun- rukun waris. Bila ada salah satu dari rukun- rukun tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan.

Menurut  hukum islam, rukun-rukun mewarisi ada 3 yaitu :

a)      Muwarrits (pewaris)

Menurut hukum islam, muwarrits (pewaris) adalah orang yang telah meninggal dunia dengan meninggalkan harta warisan untuk di bagi- bagikan atau pengalihan harta kepada para ahli waris.

b)      Warits (ahli waris)

Menurut hukum islam, warits (ahli waris) adalah orang-orang yang berhak mendapatkan harta peninggalan si mati, baik di sebabkan adanya hubungan kekerabatan dengan jalan nasab atau pernikahan, maupun sebab hubungan hak perwalian dengan muwarrits.[1]

Sedangkan menurut KHI, Warits (ahli waris) adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris, beragama islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. 

c)   Mauruts (harta waris)

Menurut hukum islam, mauruts (harta waris) adalah harta benda yang di tinggalkan oleh si mati yang akan di warisi oleh para ahli waris setelah di ambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat. Harta peninggalan ini oleh para faradhiyun di sebut juga dengan tirkah atau turats.

Fatchur Rahman, mendefinisikan tirkah atau harta peninggalan adalah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia (muwarits) yang dibenarkan syari’at untuk dipusakai oleh para ahli waris (waris), yang meliputi:

a.       Harta kekayaan yang memiliki sifat-sifat kebendaan yang bernilai

b.      Hak-hak atas kebendaan, misal hak irigasi pertanian

c.       Hak-hak immateriil, misal hak syuf’ah (privilege)

d.      Hak-hak atas harta kekayaan yang berkaitan dengan orang lain (piutang, hak gadai yang sesuai syari’ah, penulis).

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), Mauruts (harta waris) adalah harta bawaan di tambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. (pasal 171 huruf e)


2.4 Syarat-Syarat Mewarisi

Menurut hukum islam, masalah waris mewarisi akan terjadi apabila di penuhinya syarat- syarat mewarisi. Adapun syarat-syarat  mewarisi ada 3 yaitu :

1) Meninggal dunianya muwarris (pewaris).

Kematian muwaris, menurut ulama, di bedakan ke dalam tiga macam, yaitu: (Fathur Rahman, 1981 :79)

a. Mati haqiqi (sejati), adalah kematian yang dapat di saksikan oleh panca indra.

b. Mati hukmy (menurut putusan hakim), adalah kematian yang di sebabkan adanya putusan hakim, baik orangnya masih hidup ataupun sudah mati.

c.Mati taqdiry (menurut dugaan), adalah kematian yang di dasarkan pada dugaan yang kuat bahwa orang yang bersangkutan telah mati.

2) Hidupnya warits (ahli waris).

Seorang ahli waris hanya akan mewaris jika dia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia. Masalah yang biasanya muncul berkaitan dengan hal ini antara lain mafqud, anak dalam kandungan, dan mati bersamaan.

Masalah anak dalam kandungan terjadi dalam hal istri muwaris dalam keadaan mengandung ketika muwaris meninggal dunia. Penetapan keberadaan anak tersebut dilakukan saat kelahiran anak tersebut. Oleh sebab itu, pembagian waris dapat di tangguhkan sampai anak tersebut dilahirkan.

3) Mengetahui status kewarisan

Seluruh ahli waris di ketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing. Dalam hal ini, posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris, perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang di terima, karena tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi, harus di nyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena ashobah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang. 

2.5  Sebab-Sebab Mewarisi

Menurut islam, mempusakai atau mewarisi itu berfungsi menggantikan kedudukan si mati dalam memiliki dan memanfaatkan harta miliknya. Bijaksana sekali kiranya kalau penggantian ini di percayakan kepada orang-orang yang banyak memberikan bantuan, pertolongan, pelayanan, pertimbangan dalam kehidupan berumah tangga dan mencurahkan tenaga dan harta demi pendidikan putra-putranya, seperti suami istri. Atau di percayakan kepada orang-orang yang selalu menjunjung martabat dan nama baiknya dan selalu mendoakan sepeninggalnya, seperti anak-anak turunnya . Atau di percayakan kepada orang yang telah banyak menumpahkan kasih sayang, menafkahinya, mendidiknya dan mendewasakannya, seperti orang tua. Atau di percayakan kepada orang yang telah mengorbankan sebagian harta bendanya untuk membebaskan dari perbudakannya menjadi manusia yang mempunyai hak kemerdekaan penuh dan cakap bertindak, seperti maulal-‘ataqah (orang yang membebaskan budak).[3]

Begitu juga dalam system individual mengenai ketentuan islam mengenai siapa berkewenangan memperoleh hak  waris tapi ada juga sekaligus sisi kolektif dalam arti person yang menikmati lebih lebar dalam ketentuan mengenai siapa memperoleh kewenangan hak waris. Didapatkan dalam islam beberapa sebab yang menjadi pendukung mengapa seseorang tertentu di beri kewenangan memperoleh hak waris atas harta yang di tinggalkan, sebab yang menjadi penentu ini dalam literature fiqih disebutkan ada 3 hal: [4] 

1. Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), diantara sebab beralihnya harta seseorang yang telah mati kepada yang masih hidup adalah adanya hubungan silaturrahmi atau kekerabatan antara keduanya. Adanya hubungan kekerabatan yang di tentukan oleh adanya hubungan darah seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.

2. Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar’i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim(bersenggama) antara keduanya. Adapun pernikahan yang bathil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.

3.  Al –wala’, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Di sebut juga wala’ al-‘itqi dan wala’ an ni’mah. Penyebabnya adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-‘itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Oleh karena itu, Allah SWT. Menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang di bebaskan bila budak itu tidak memliki ahli waris yang hakiki, baik karena ada kekerabatan (nasab) ataupun ada tali pernikahan.[6]

Dasar hukum kekerabatan sebagai ketentuan adanya hak kewarisan adalah firman Allah :

للرجال نصيب مما ترك الولدان والأقربون وللنساء نصيب مما ترك الولدان والأقربون مما قل منه اوكثر نصيبا مفروضا

Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan karabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah di tetapkan.[7]

Adapun menurut ulama malikiyah, syafiiyah, dan hanbaliyah

Menutut pendapat ulama-ulama ini yang di maksud dengan harta peninggalan itu adalah:” segala yang ditinggalkan oleh si mati, baik berupa harta benda maupun hak-hak. Baik hak-hak tersebut hak-hak kebendaan maupun bukan kebendaan.”[8]

Demikian pula dalam surat al-Anfal ayat 75

والذين امنوامن بعدوها جرواوجا هدوامعكم فاولئك منكم واولواالرحام بعضهم اولى ببعض في كتا ب الله.

Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah. (Q.S. Al-Anfal : 75).

Adapun sebab sebab terjadinya mewaris disebabkan oleh:

a. Adanya hubungan kekerabatan (nasab)

b. Adanya hubungan perkawinan (sabab).

 Kedua hal tersebut telah terangkum dalam pengertian ahli waris yang diatur dalam Pasal 171 huruf c. Menurut Pasal tersebut, ahli waris adalah,[9]

 “orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.”

Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang diwarisi dengan yang mewarisi, kerabat dapat di golongkan menjadi tiga, yaitu:

1. Furu’,yaitu anak turun (cabang) dari si pewaris

2.Ushul, yaitu leluhur (pokok) yang menyebabkan adanya si pewaris.

3.Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si pewaris melalui garis menyamping, seperti saudara, paman bibi, dan anak turunannya tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan.[10]

2.6 Halangan Mewaris

1.  Mahrum (yang diharamkan) / Mamnu’ (yang dilarang) :

Halangan untuk menerima warisan merupakan hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan pewaris Ahli waris yang terkena halangan ini disebut mahrum atau mamnu’

Dalam hukum kewarisan Islam ada tiga penghalang mewaris, yaitu : 

a. Pembunuhan

Apabila seseorang ahli waris membunuh pewaris, misalnya seseorang anak membunuh ayahnya maka ia tidak berhak mendapatkan warisan.(Muhammad Ali Ash-Shabuni, Op.Cit., hal.41.) Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap pewarisnya menyebabkan ia terhalang haknya untuk mewarisi. Karena itu, yang terpenting adalah bagaimana membuktikan bahwa seseorang telah bersalah melakukan pembunuhan terhadap si pewaris. Mengingat, banyak cara yang ditempuh seseorang untuk mengahabisi nyawa orang lain, termasuk si korban adalah keluarganya sendiri. (Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Op.Cit., hal.404.)

Rasulullah SAW bersabda :

“Barangsiapa  membunuh  seorang  korban,  maka  ia  tidak  berhak mewarisinya, meskipun korban tidak mempunyai ahli waris lainnya selain dirinya, baik itu orang tuanya, atau anaknya maka bagi pembunuh tidak berhak atas warisan (Riwayat Ahmad) (Ibid.).

Para ulama Hanafiyah membagi pembunuhan menjadi dua jenis :

Pembunuhan langsung (mubasyarah) dan pembunuhan tidak langsung (tasabub). Pembunuhan yang langsung tersebut dibagi lagi menjadi empat, yakni pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan yang serupa sengaja, pembunuhan yang dipandang tidak sengaja. Sedangkan pembunuhan tidak langsung, misalnya seseorang membuat lubang di kebunnya, kemudian ada orang yang terperosok ke dalam lubang tadi dan meninggal dunia. Matinya korban disebabkan perbuatan tidak langsung oleh orang yang membuat lubang tersebut. (A.Rachmad Budiono, Op.Cit., hal.12.)

Menurut para ulama Hanafiyah pembunuhan langsung merupakan penghalang untuk mewaris, sedangkan pembunuhan tidak langsung , bukan penghalang untuk mewaris. (Ibid.)

b.  Berbeda agama

Berbeda agama berarti agama pewaris berbeda dengan agama ahli waris.

Misalnya pewaris beragama Islam, sedangkan ahli warisnya beragama Kristen, atau sebaliknya. (A.Racmad Budiono,Op.Cit., hal.12.)

Imam Ahmad ibn Hanbal dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa apabila seseorang ahli waris masuk Islam sebelum pembagian warisan dilakukan, maka ia tidak terhalang untuk mewarisi. Alasannya, karena status berlainan agama sudah hilang sebelum harta warisan dibagi. (Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Op.Cit., hal.37.)

c. Perbudakan 

Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status kemanusiannya, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai hamba sahaya (budak).(Ibid., hal 39.) Islam sangat tegas tidak menyetujui adanya perbudakan, sebaliknya Islam sangat menganjurkan agar setiap budak hendaknya dimerdekakan. Pada hakikatnya, perbudakan tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan rahmat yang menjadi ide dasar ajaran Islam. (Ibid.)

Sementara itu di dalam Pasal 173 KHI seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena :

Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris 

Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun  penjara atau hukuman yang lebih berat.

2. Hijab

Hijab adalah terhalangnya seseorang ahli waris untuk menerima warisan, disebabkan adanya ahli waris (kelompok ahli waris) yang lebih utama dari padanya. (Suhrawardi K.Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal .59.)

Terdapat 2 macam hijab, yakni:hijab nuqshaan, dan hijab hirman.

a.  Hijab nuqshan

Adalah berkurangnya warisan salah seorang ahli waris disebabkan adanya orang lain. Hijab nuqshan ini berlaku pada lima orang berikut : (Sayyid Sabiq,Op.Cit., hal.500.)

Suami terhalang dari separuh menjadi seperempat apabila ada anak; 

Istri terhalang dari seperempat menjadi seperdelapan apabila ada anak; 

Ibu terhalang dari sepertiga menjadi seperenam apabila ada keturunan yang mewarisi; 

Anak perempuan dari anak laki-laki; 

Saudara perempuan seayah; 

b.  Hijab hirman atau hijab penuh

Adalah terhalangnya semua warisan seseorang karena adanya orang lain, seperti terhalangnya warisan saudara laki-laki dengan adanya anak laki-laki, ditegaskan dari dua asas berikut : (Ibid.,hal.501.)

Setiap orang yang mempunyai hubungan dengan pewaris karena adanya orang lain itu, maka dia tidak menerima warisan apabila orang tersebut ada. Misalnya, anak laki laki dari anak laki-laki tidak menerima warisan bersama dengan adanya anak laki-laki, kecuali anak anak laki-laki dari ibu maka mereka itu mewarisi bersama dengan ibu, padahal mereka mempunyai hubungan dengan si mayat karena dia; 

Setiap orang yang lebih dekat didahulukan atas orang yang lebih jauh, maka anak laki-laki menghalangi anak laki-laki dari saudara laki-laki. Apabila mereka sama dalam derajat maka diseleksi dengan kekuatan hubungan kekerabatannya, seperti saudara laki-laki sekandung menghalangi saudara laki-laki seayah. 

Ahli waris yang dapat terhijab penuh adalah seluruh ahli waris kecuali anak, ayah, ibu, dan suami atau isteri. Kelima ahli waris ini tidak akan pernah terhijab secara hijab penuh. Anak laki-laki dan ayah dapat menutup ahli waris lain secara hijab penuh sedangkan suami-isteri tidak pernah menghijab siapapun di antara ahli waris. (Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Padang, 2004, hal.201.)

Perbedaan antara Mahrum dan Hijab

Terdapat beberapa perbedaan antara mahrum dan hijab, yaitu : (Sayyid Sabiq,Op.Cit., hal 501.) Mahrum sama sekali tidak berhak untuk mewarisi, seperti orang yang membunuh pewaris. Sedangkan hijab berhak mendapatkan warisan, tetapi dia terhalang karena adanya orang lain yang lebih utama darinya untuk mendapatkan warisan; 

Mahrum dari warisan itu tidak mempengaruhi orang lain, maka dia tidak menghalanginya sama sekali, bahkan dia dianggap seperti tidak ada. Misalnya, apabila seseorang mati dan meninggalkan seorang anak laki-laki kafir dan seorang saudara laki-laki muslim; maka warisan itu semua adalah bagi saudara laki-laki, sedangkan anak laki laki tidak mendapatkan apa apa. Sedangkan hijab maka terkadang ia mempengaruhi orang lain. (Ibid.)


DAFTAR PUSTAKA


Rahman Fatchur, 1975, Ilmu Waris, (Bandung : PT Al-Ma’arif)

Muhammad As shabuni Ali, 1995, Hukum Waris dalam Syariat lslam, (Bandung : CV diponegoro)

Salman Otje & haffas Mustofa, 2002, hukum waris islam, (Bandung : PT Refika Aditama)

Rachmad Budiono, 1999, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, ( Bandung : PT. Citra aditya bakti,)

Dian khoirul umam, 1999, fiqih Mawaris, (Bandung : CV. Pustaka setia)

Amin husain nasution, 2012, Hukum Kewarisan, (Jakarta : PT raja grafindo persada)

Ahmad kuzairi, 1996, Sistem Asabah (Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta Tinggalan)  Jakarta: PT Raja Grafindo  Persada.

K Lubis Suhrawardi, 1995 hukum waris islam,(Sinar grafika jakarta)

Syarifuddin amir, 2004 hukum kewarisan islam, (prenada media, jakarta)

Muhammad Ali As shabuni, hukum waris dalam syariat islam, (Bandung : CV diponegoro, 1995)

Otje Salman & Mustofa haffas, hukum waris islam, (Bandung : PT Refika Aditama, 2002)

Ali parman, kewarisan dalam Al-Qur’an, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995)














0 Comment