Thursday, November 1, 2012

EKSISTENSI ILMU DAKWAH DALAM MENJAWAB PERSEPSI PUBLIK TERHADAP JURUSAN DAKWAH
Oleh: Salmadanis
=========================================================

A. Pendahuluan
Dalam kenyataanya, pertama, tidak setiap muslim dengan sengaja melakukan kegiatan dakwah, kedua tidak setiap muslim yang sengaja berdakwah telah melakukan perannya dengan efektif. Ketiga, diskursus yang berkembang pada akedemisi, adalah persoalan kebimbangan akademik apakah dakwah merupakan ilmu atau tidak atau setidaknya meragukan bahwa dakwah bukan ilmu, akan tetapi dakwah hanya sekedar keterampilan praktis, semenjak zaman Rasululah Saw. sampai hari ini, sehinga muncul anggapan tidak perlu lagi membahas dan memperbicangkan dakwah sebagai ilmu dalam zona akademik, dan ketika dibicarakan dalam zona akademik menimbulkan kebimbangan. Kembimbangan tersebut cukup beralasan, karena ketidakjelasan objek kajian dakwah baik formal maupun material. Anggapan sebagian insan akdemisi dakwah tidak mempunyai perbedaaan yang signifikan dengan keilmuan lainya dalam objek kajianya, baik formal maupun material, apalagi memposisikan dakwah dengan ilmu-ilmu lainnya, baik dalam keilmuan Islam maupun dalam keilmuan umum lainnya, maka makalah ini mencoba menyisiri dan mengurut kembali ibarat benang kusut, sehingga akhirnya jelas benang merah antara satu ilmu dengan ilmu lainnya.

B. Terminologi Dakwah
Dakwah telah menjadi salah satu kosa kata bahasa Indonesia, berarti mengajak (menyeru) untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam.  Dalam bahasa Arab berakar dari kata د, ع, و (dal, ‘ain dan waw) yang berarti dasar kecenderungan sesuatu disebabkan suara dan kata-kata.  Dari akar kata ini terangkai menjadi asal kata da’a-yad’u-da’watan, (fiil naqish) berarti “menyeru, memanggil, mengajak, dan menjamu”,  atau kata da’a-yad’u-du’aan, dakwahu, berarti “menyeru akan dia. Kemudian dari kata al-da’i, jamak da’atun, mu’anasnya da’iyatun, jamak da’iyatun, berarti orang yang mengajak manusia ke agama dan kepada mazhabnya.  Kata itu dalam berbagai bentuknya (fi’il dan isim), terulang dalam al-Qur’an sebanyak 211 kali,  dengan rincian dalam bentuk mashdar 10 kali, fi’il madhi 30 kali, fi’il mudhari’ 112 kali, isim fa’il 7 kali dan yang seakar dengan kata du’a 20 kali.
Dari segi bahasa, kata dakwah memiliki banyak arti, di antaranya (1) al-da’wat ila al-tha’am (memanggil makan); (2) da’a lahu (berdo’a); dan (3) da’ahu fi ishlah al-din (mengajak kepada kebaikan agama).
Di dalam al-Qur’an, kata dakwah dalam bentuk fi’il khususnya dalam bentuk da’a-yad’u-ud’u, berarti mengajak atau mendorong ke suatu tujuan. Seperti tampak, kata da’a pertama kali dipakai dalam al-Qur’an dengan arti mengadu (meminta pertolongan kepada Allah) yang pelakunya adalah Nabi (Nuh).  Lalu kata itu berarti memohon pertolongan (kepada Allah) yang pelakunya adalah manusia (dalam arti umum).  Setelah itu, kata da’a berarti menyeru kepada Allah yang pelakunya adalah kaum Muslimin.  Khusus dalam bentuk da’a terulang dalam al-Qur’an sebanyak 5 kali.
Pada sisi lain, kata dakwah dalam bentuk seperti di atas juga dipergunakan Rasul Allah Saw. dalam menyebarkan dakwah secara tertulis, yakni dalam bentuk surat yang dikirim kepada Heraclius, raja Romawi, antara lain berbunyi:  “Saya mengajak tuan memperkenankan panggilan Allah peluklah (Islam) supaya tuan selamat”. Ini menunjukkan pula bahwa, dakwah Rasul Saw. selain dilaksanakan dengan metode lisan juga dengan tulisan (surat).
Kemudian dari segi istilah, Bahi al-Khuli mengatakan, dakwah adalah memindahkan suatu situasi manusia kepada situasi yang lebih baik.  Muhammad ‘Abduh (w. 1905 M/ 1323 H) dalam hal ini mengistilahkan dakwah dengan ishlah, yaitu memperbaiki keadaan kaum muslimin dan memberi petunjuk kepada orang-orang kafir untuk memeluk Islam.  Dalam pada itu, ‘Ali Mahfuzd mengintrodusir pengertian dakwah yaitu:
حث الناس على الخير والهدى والامر با لمعروف والنهي عن المنكر ليفوزوا بسعادة العاجل وا لآجل
Pengertian hast dalam definisi di atas sangat identik dengan motivasi, diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang melakukan sesuatu. Motivasi dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subyek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan.
Sedangkan, Abu Bakar Zakaria mengatakan, dakwah ialah usaha para ulama dan orang yang memiliki pengetahuan tentang agama (Islam) dengan memberi pengajaran kepada masyarakat akan hal-hal yang dapat menyadarkan mereka terhadap urusan keagamaan dan keduniaannya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.  Lebih jauh Amin Rais mengemukakan bahwa dakwah adalah setiap usaha rekonstruksi masyarakat yang masih mengandung unsur-unsur jahili agar menjadi masyarakat yang Islami.
Dari pengertian dakwah yang telah disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa dakwah mengandung arti:
1.    Memberi tuntunan dan pedoman serta jalan hidup yang harus dilalui dan dihindari oleh manusia agar mereka mendapat petunjuk dan terhidar dari kesesatan.
2.    Mengubah dan memperbaiki keadaan seseorang atau masyarakat dari yang tidak baik kepada yang baik, dari masyarakat jahili menjadi masyarakat Islami.
3.    Memberikan penghargaan akan sesuatu nilai agama yang didakwahkan itu sehingga dirasakan oleh seseorang atau masyarakat sebagai suatu kebutuhan yang vital dalam kehidupannya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dakwah ialah segala aktifitas yang dilakukan oleh mukmin sesuai kemampuan yang dimilikinya, bertujuan menjadikan seluruh umat manusia beragama Islam dengan baik disertai akhlak yang mulia agar mereka memperoleh sa’adah masa kini dan masa datang. Dengan begitu, dipahami pula bahwa dakwah merupakan suatu sistem, dalam mengupayakan aktifitas mencapai sasarannya dengan tepat terkait dengan berbagai komponen dakwah itu sendiri.
Berdasarkan pemahaman di atas dapat dibantah anggapan yang dikemukan oleh A. Halim bahwa asumsi dakwah hanya sebagai penyampaian dari luar, sebagai kegiatan ceramah, sasaran dakwah adalah untuk masyarakat statis, hanya sekedar penyampai dan pada gilirannya akan mengalahkan yang batil , kenyataan di atas mungkin ada benarnya, bila dakwah itu dipahami dalam artian sempit. Akan tetapi jika dakwah dipahami secara hakiki dan dalam pengertian yang lebih luas, maka kata dakwah mampu memberdayakan semua potensi yang dimiliki manusia dalam menghadapi dunia yang luas ini, karena dakwah adalah seluas kehidupan manusia itu juga.
Dalam perjalanan dakwah dari masa ke masa, realitas menunjukkan, bahwa fungsi dakwah dalam masyarakat sesungguhnya telah terlaksana antara lain:
a.    Sebagai penggerak, energi dan mendorong manusia untuk berbuat.
b.    Untuk mengarahkan perbuatan seseorang ke arah tujuan yang hendak dicapai.
c.    Sebagai seleksi terhadap perbuatan manusia, yaitu menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dijalankan dan yang serasi guna mencapai tujuan itu sendiri, dengan mengenyampingkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tercapainya tujuan.

C. Diskursus Dakwah Sebagai Ilmu
Persoalan sekarang adalah ketika ada kajian kritis apakah dakwah itu sudah merupakan bagian dari ilmu atau tidak. Paling tidak problem itu dapat dilihat dari dua sisi; pertama dari segi sejarah munculnya dan perkembangan ilmu-ilmu yang ada dalam Islam, bahwa ilmu dakwah tidak ada dalam khazanah ilmu-ilmu Islam klasik, seperti halnya ilmu kalam, filsafat, tasawuf, fiqh, ulum al-Qur’an, ulmu al-hadis dan sebagainya. Sementara itu, kesulitan juga muncul ketika ada pembicaraan siapa “mujtahid” pertama yang menggagas munculnya “ilmu dakwah”. Kedua, ketika dakwah ditinjau dari teori keilmuan yang ada atau “filsafat ilmu.” Problem itu muncul waktu menjelaskan “epistimologi dakwah.” Kerangka keilmuan “dakwah” tidak jelas, sehingga Jalaluddin Rakhmat  berkaitan dengan masalah kedua ini memberi komentar; “ilmu dakwah” adalah “Arabisasi istilah-istilah yang ada dalam ilmu komunikasi.” Dengan tidak jelasnya kerangka keilmuan “dakwah” maka pendapat tentang “dakwah” sebagai ilmu terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama mengatakan bahwa “Dakwah bukanlah ilmu pengetahuan dalam pengertian “sains,”  Selo Soemardjan misalnya ketika ia menjelaskan apakah dakwah sebagai “ilmu” atau tidak? Ia mencoba membagi “ilmu” kepada kepada dua bagian, yaitu ilmu spritual dan ilmu sekuler (intelektual). Ilmu spritual adalah ilmu yang didasarkan pada kepercayaan atau agama tertentu. Di dalamnya kepercayaan lebih kuat dibanding kepada pemikiran. Ilmu ini sebanding dengan kata ngilmu dalam bahasa Jawa. Sementara itu ilmu sekuler, sebagai lazim diketahui, adalah ilmu yang didasarkan pada pemikiran semata, tanpa terikat pada kepercayaan atau agama apa pun. Teori-teori atau pemikiran-pemikiran di dalamnya dapat diperdebatkan secara bebas dan harus dapat dibuktikan kebenarannya secara empirik. Menurut Selo Soemardjan, apakah dakwah dapat dipandang sebagai ilmu atau bukan, bergantung pada pengertian ilmu yang mana dipakai. Kalau yang dipakai adalah arti yang pertama, maka tidak lagi diragukan bahwa dakwah adalah ilmu. Akan tetapi, apakah dakwah juga dapat dimasukkan dalam kategori ilmu menurut arti kedua, masih perlu pembahasan yang lebih cermat dan teliti.
Kesimpulan itu berasal dari makalah Selo Soemardjan dalam “Seminar Dakwah Sebagai Ilmu” yang diselenggarakan Fakultas Dakwah IAIN Jakarta,10-11 Agustus 1992. Dari sudut lain, dakwah ilmu atau bukan, yaitu pembagian ilmu ke dalam beberapa kelompok; ilmu alam, ilmu sosial dan humaniora. Secara pasti dapat dikatakan bahwa dakwah bukanlah ilmu alam karena yang masuk ilmu alam itu ialah, kimia, fisika, biologi. Sangat kecil kemungkinan dapat dimasukkan dalam ilmu humaniora, seperti sejarah, kebudayaan, sastra dan bahasa. Ada kemungkinan dapat dimasukkan ke dalam ilmu sosial. Tapi masih muncul pertanyaan, ke mana dakwah dapat dicantolkan sebagai ilmu sosial. Ini suatu pertanyaan yang masih perlu dijelaskan karena masih ada problem.
Oleh karena itu ia lebih tepat dikatakan sebagai pengetahuan saja atau seni dalam menyampaikan ajaran Islam. Sementara itu ada kelompok kedua berpendapat bahwa dakwah sudah layak atau sudah memenuhi syarat-syarat disebut sebagai ilmu pengetahuan, atau paling tidak sedang berproses untuk mencari metodologi keilmuan seperti layaknya ilmu pengetahuan lainnya.  Sementara itu, Naquib al-Attas memformulasikan rumpun ilmu-ilmu ke-Islam-an dipilahnya ke dalam dua aspek keilmuan; pertama, Kelompok Body if Islamic knowledge. Kelompok ini meliputi al-Qur’an, al-Sunnah, Syari’ah, Tauhid, Tasawuf dan Adab. Kedua, kelompok ilmu-ilmu rasional/ filsafat. Dari kedua kelompok ilmu itu dalam pandangan Naquib al-Attas Fakultas Tarbiyah dan Dakwah tidak termasuk ke dalam kedua struktur ilmu di atas. Melainkan dapat ditempatkan sebagai applied science. Dengan demikian Fakultas Tarbiyah dan Dakwah, meskipun diminati banyak orang, namun belum memiliki obyek kajian yang jelas. Aktivitasnya hanya sebatas menerapkan teori-teori yang ada untuk diberi label Islam.
Amrullah Achmad mengemukakan beberapa kendala utama “dakwah” untuk dapat dikatakan sebagai ilmu. Pertama, “dakwah” belum mempunyai kriteria khusus untuk memisahkannya dari ilmu-ilmu lain, terutama berkaitan dengan masalah obyek kajian. Kedua, belum ada sistem untuk mengklasifikasikan masalah-masalah dakwah. Ketiga, belum ada perangkat teori dakwah. Keempat, belum ada metodologi penelitian dakwah yang baku. Kelima, belum ada sub-sub ilmu dakwah karena obyek formal dan materialnya belum jelas. Keenam, dakwah belum dapat berfungsi secara rasional untuk menjelaskan kenyataan-kenyataan yang dihadapi.
Departemen Agama RI di bawah Direkrorat Pembinaan Perguruan Tinggi sebagai suatu lembaga yang membina IAIN, nota bene sebagian besar mempunyai fakultas dakwah atau jurusan dakwah, telah berusaha untuk mendudukkan dakwah sebagai “ilmu”  dan begitu juga untuk merumuskan obyek formal dan material dari dakwah. Usaha itu terlihat dari penyusunan buku Pengantar Ilmu Dakwah oleh Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama yang dilaksanakan bersama IAIN Ar-Raniri Aceh tahun 1984-1985. Dalam buku itu diposisikan dakwah termasuk ilmu agama menurut ahli agama dan termasuk humaniora menurut para ahli ilmu humaniora. “Ilmu dakwah” dikatakan sebagai ilmu agama disebabkan ia membicarakan kepercayaan, norma-norma, kebajikan, dan nilai-nilai; sedangkan dikatakan sebagai sebagai ilmu humaniora karena ia dianggap berkaitan dengan sikap dan prilaku yang menghasilkan kebudayaan. Sebenarnya alasan menempatkan “ilmu dakwah” sebagai ilmu humaniora dibantah oleh ahli agama, sebab agama bukanlah hasil kebudayaan, tetapi kebudayaan adalah hasil aktualisasi agama oleh pemeluknya. Malahan dalam buku itu juga dikatakan dakwah termasuk dalam kelompok ilmu sosial karena ia membicarakan hubungan antar manusia dalam komunikasi dakwah. Dengan demikian “Ilmu Dakwah” adalah merupakan gabungan ilmu agama, ilmu sosial dan humaniora. Hal ini sebenarnya membingungkan karena masing-masing ilmu itu mempunyai obyek yang jelas. Maka dari itu dakwah lebih dekat dikelompokkan kepada ilmu sosial. Sebagai alasan ialah, ketika dalam buku itu (buku Pengantar Ilmu Dakwah di atas) dijelaskan obyek material dari “ilmu dakwah” bahwa ia terjebak dalam pendekatan “ilmu komunikasi” atau dengan bahasa lain dapat dikatakan obyek material dari ilmu dakwah sama dengan komunikasi, yaitu prilaku manusia yang berhubungan dengan pesan. Komunikasi, dalam perkembangannya yang cukup pesat, adalah termasuk “ilmu sosial,” walaupun dalam pembahasan obyek formal dari “ilmu dakwah” adalah pesan keagamaan yang berhubungan dengan akidah, syariah, mu’amalah dan lain-lain.
Walaupun demikian ilmu dakwah lebih dekat kepada ilmu sosial dengan analogi kepada kepada “ilmu komunikasi,” bukan berarti perbincangan, silang-pendapat dakwah sebagai ilmu sudah selesai, sebab banyak agenda yang harus diselesaikan oleh ilmuan-pemikir dakwah untuk memberikan jawaban terhadap beberapa agenda yang dikemukakan di atas, terutama berkaitan dengan aspek keilmuan. Maka dari itu, dalam analisis tulisan ini penulis memakai ilmu-ilmu lain sebagai alat analisis, seperti “ilmu antrpologi-sosial, sosiologi agama, psikologi” dan ilmu ke-Islam-an lainnya. Dengan demikian untuk analisis dakwah bersifat interdisciplinary. Artinya, dakwah tidak bisa hanya dianalisis dari satu sudut ilmu saja, tetapi harus ditinjau dari sudut beberapa ilmu.
Sebenarnya, dakwah ditetapkan oleh Departemen Agama RI dengan nomor Keputusan 110 tahun 1982, sebagai salah satu bidang “Ilmu Agama Islam’ dari 8 bidang ilmu yang ditetapkan, adalah sebuah “kemenangan” secara politis. Tetapi secara akademis pemikir Islam-Indonesia, pada umumnya, dan orang yang berkiprah (pemikir-praktisi) dakwah, pada khusus, punya tanggung jawab secara ilmiah dan moral untuk menjelaskan bahwa dakwah itu adalah “ilmu.” Pendapat ini senada dengan pendapat yang diketangahkan oleh Sulaiman Ibrahim, yaitu masih dalam proses pencarian dan penempaan yang belum berakhir. Dengan bahasa lain dapat dikatakan orang-orang dakwah (ilmuan-praktisi) dimenangkan secara politik untuk mengatakan dakwah itu sebagai ilmu, tetapi dari teori keilmuan (epistemologi) secara utuh “orang-orang dakwah” perlu bekerja keras.
Dari diskursus yang dikemukakan di atas, terlihat ketika dakwah dikatakan sebagai ilmu masih banyak hal yang memerlukan penjelasan lebih lanjut, terutama yang berkaitan dengan epistemologi, obyek material dan formal, pendekatan yang dipakai, dan sejarah. Tetapi walaupun demikian dapat dikatakan bahwa dakwah sudah memulai proses untuk menjadi sebuah ilmu yang diakui dan mandiri.

D. Epistemologi (teori pengetahuan)
Dalam perbincangan filsafat ilmu epistemologi diartikan: cara mendapatkan sesuatu, dalam hal ini epistemologi adalah dari mana sumber atau teori pengetahuan didapatkan. Dalam perspektif epistemologi secara umum bahwa sumber atau teori pengetahuan didapatkan dari hasil rasioanalitas manusia berdasarkan data. Sedangkan dalam perspektif epistemologi Islam  bahwa teori pengetahuan didapatkan dari teks atau wahyu dan pemikiran manusia dalam aspek tradisi yang mensejarah. Jelasnya bahwa subjek atau sumber Ilmu dalam Islam adalah Allah sebagaimana yang terdapat dalam Surat al-Baqarah: 33. Allah sebagai sumber pengetahuan menampilkan diri lewat al-Qur’an yang tertulis sebagai fitrah munazalah dan lewat ayat yang tercipta yaitu alam dan realitas sebagai fitrah majbulah. Jelasnya bentuk teori ilmu apapun baik secara normatif atau empiris bersumber dari Allah swt.
Berdasarkan hal itu dalam perspektif epistemologi Islam, epistemologi dakwah adalah sekumpulan pengetahuan yang bersumber dari wahyu (teks) dan pemikiran rasional muslim sepanjang sejarah (tradisi Islam), dengan ini dakwah memiliki kelayakan epistemik. Dalam kerangka epistemik ini ilmu dakwah harus dipahami sebagai ilmu teoritik dan terapan Islam untuk menumbuhkan, menata dan merekayasa masa depan kehidupan umat dan peradaban Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman.

E. Aksiologi Dakwah
Islam berbeda dengan pandangan bangunan ilmu barat yang memandang ilmu dipisahkan dengan kepentingan masyarakat. Dengan kata lain teori ilmu tidak terkait dengan praxis. Dalam pandangan Islam ilmu baru berguna dan bermakna bila telah menjadi realita. Jika kebenaran telah ditemukan melalui aktivitas keilmuan, selanjutnya kebenaran menjadi kenyataan dalam kehidupan manusia. Berkaitan dengan hal itu, aksiologi atau nilai guna dakwah adalah: bertujuan mewujudkan ummatan wasathan, khairul umah dan khairu al- baraiyah.

F. Objek dan Sifat Studi Ilmu Dakwah
Setiap ilmu mempunyai objek tertentu baik objek material dan objek formal. Dalam dunia ilmu pengetahuan sering ditemukan adanya kesamam objek material dalam dua disiplin ilmu, akan tetapi mempunyai objek formal yang berbeda. Sebagai contoh ilmu ekonomi dengan ilmu komunikasi. Ilmu ekonomi dan komunikasi mempunyai objek material yang sama yaitu prilaku manusia dalam masyarakat. Namun objek formalnya berbeda, ilmu ekonomi mempelajari dan mengkaji manusia dalam kontek pertukaran uang dan barang. Sedang ilmu komunikasi mempelajari pernyataan manusia dalam situasi berkomunikasi lewat pernyataan. Objek formal inilah yang menunjukkan jati diri dari suatau ilmu, sekaligus membedakan dengan ilmu yang lain.
Objek ilmu dakwah terbagi menjadi dua, objek material dan formal. Objek material, secara doktrinal, Ilmu Dakwah mengkaji tentang al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber (ajaran dasar) utama ajaran Islam. Ketika ajaran dasar ini bersentuhan dengan pemikiran manusia, maka lahir berbagai disiplin ilmu dalam Islam, seperti: Ulum al-Qur’an dan Ulum al-hadist, Ilmu Kalam, Filsafat Islam, Ilmu Tasawuf, yang terangkum dalam khazanah keilmuan Islam klasik. Bila doktrin ini bersentuhan dengan kehidupan bermasyarakat, maka muncul pula ilmu terapan, seperti fiqh dan ushul al-fiqh. Bila ketiga ajaran dasar ini disampaikan atau bersentuhan dengan kehidupan masyarakat yang lebih luas, maka dakwah sebagai sebuah kajian bukan hanya sebagai doktrin, akan tetapi memerlukan ilmu umum lainnya sebagai metodologi.
    Ilmu-ilmu lain sebagai metodologi dalam mentransformasikan doktrin ke tengah masyarakat; antara lain adalah: Ilmu Komunikasi sebagai metodologi penyiaran doktrin Islam, Ilmu Konseling/psikologi sebagai metodologi merubah kondisi kejiwaan sesuai doktrin Islam, Ilmu Manajemen sebagai metodologi pembentukan lembaga kemasyarakatan sesuai doktrin Islam, Sosiologi dan Ilmu Pembangunan Masyarakat, Ilmu Ekonomi sebagai metodologi pemahaman dan pengembangan masyarakat ke arah yang sesuai dengan doktrin Islam, Ilmu Komunikasi Massa dengan seluruh cabangnya seperti Pertelevisian, Jurnalistik, Public Relation, Human Relation, dan semacamnya sebagai metodologi penyampaian doktrin Islam ke tengah masyarakat.
Kenapa tidak jika ilmu-ilmu lain menjadi metodologi dalam mentransformasikan doktrin Islam ke tengah masyarakat. Maka tidak salah jika Seni, Arsitektur, Teknik Sipil, Ilmu Politik, bahkan ilmu eksakta sekalipun menjadi metodologi bagi Ilmu Dakwah untuk mentransformasikan ajaran Islam.
Berikutnya objek formalnya: mengkaji dan mempelajari bagaimana mengajak umat manusia agar masuk dalam sistem Islam dalam semua segi kehidupan. Bentuk kegiatan mengajak tersebut, terdiri secara lisan (komunikasi), tulisan (jurnalisme) dan aksi sosial. Inilah karakteristik yang spesifik yang membedakan Ilmu Dakwah dari ilmu-ilmu Islam lainya (Ulumul Qur’an, Ulum al-hadits, Fiqh, dan lain-lain) yaitu mempelajari dan mengkaji bagaimana mengajak umat manusia kepada jalan Islam. Kajian dalam objek formal ini sangat terkait dengan sifat objek studi ilmu dakwah yaitu proses “tranformasi”. Adapun wilayah pengembangan Grand Theory Ilmu Dakwah, adalah teori-teori “transformasi” masyarakat dari suatu kondisi ke kondisi sesuai doktrin Islam (Teori-teori menerapkan “walau satu ayat” menjadi sistem kehidupan).

G. Metode Keilmuan Dakwah
Pengetahauan ilmiah berkembang dengan pesat disebabkan karena metodologinya, yakni metode ilmiah. Metode ini dikembangkan menjadi metode penelitian yang merupakan modus operandi bagi pengembangan pengetahuan ilmiah. Ringkasnya, dunia keilmuan hidup dan berkembanag disebabkan oleh penelitiannya. Penelitian tersebut selalu berkaitan dengan metodologinya.
Pusat-pusat kajian keagamaan, khususnya fakultas dakwah di IAIN tidak hanya bertugas mengajarkan ilmu agama yang terkesan membaca dan mengulang, sehingga nuansa keilmuan menjadi statis, padahal yang dibutuhkan adalah ilmu yang dinamis, lebih khusus adalah kajian ilmu dakwah. Dalam rangka mendinamisasikan ilmu dakwah, aktivitas penelitian menjadi sangat penting dan yang berkaitan dengan penelitian tersebut adalah metode keilmuan Dakwah.
    Istilah metodologi dengan metode tidak jarang tumpang tindih penggunaanya. Metodologi merupakan studi logis dan sitematis tentang prinsip-prinsip yang mengarahkan penelitian ilmiah, yang intinya terdiri dari; masalah, tinjauan pustaka, hipotesis, dan cara penelitian. Sedangkan metode (methods) merupakan cara untuk melakukan penelitian, menyangkut dengan bahan, alat, variabel penelitian dan analisis hasil penelitian. Perlu diingat bahwa cara yang dilakukan dalam penelitian bervarisasi dan terkait dengan objek formal ilmu pengetahuan tersebut. Ada beberapa tawaran metode keilmuan dakwah dalam rangka melahirkan teori dakwah (grand theory of Dakwah)

a. Metode Reflektif (Normatif – Deduktif)
    Arti dari reflektif adalah: merenungkan masa lalu, dalam memahami masa sekarang dan berguna untuk merancang masa depan. Sebuah relfeksi tidak hanya meratapi kelemahan, kekurangan dan kegagalan, tetapi juga melihat tentang sesuatu keberhasilan. Dari refleksi ini akan lahirlah apa yang disebut kritik yang sehat dan jujur. Dalam kaitanya dengan metode reflketif dalam keilmuan dakwah, teori ini dapat dijadikan sebagai teori makro dakwah Islam, baik dari sisi interaksi dakwah dengan sistem setempat dan proses penyampaian.
    Lebih jelas lagi akan dicontohkan penerapan metode reflektif dengan merenungkan tentang proses keberhasilkan dakwah Nabi Saw pada masa lalu yang didasarkan pada nilai-nilai normatif.
     Perjalanan dakwah nabi Saw. pada periode awal berhadapan dengan masyarakat Arab Jahiliyah. Sistem teologis Arab jahiliyah menggunakan sistem berfikir bertingkat , yaitu Allah dan perantara. Implikasi dari sistem berfikir yang demikian melahirkan sebuah epistimologis cara berfikir dikotomik, yaitu memandang sesuatu dalam dua pijakan visi: Allah dan berhala. Dalam Islam berfikir dikotomik yang berkaitan dengan Tuhan dikenal dengan istilah syirik.
    Nabi Saw. menyadari kondisi masyarakat yang sedang rapuh dan terhinggapi anatomi akidah, maka nabi meyusun strategi dakwah dengan teori dakwah yaitu: bai’ah. Fungsi bai’ah tersebut untuk membebaskan umat dari kerapuhan akidah dan membawa mereka kepada akidah yang murni. Inilah teori bai’ah yang digagas oleh Nabi yang pada akhirnya membawa masyarakat Arab pada kondisi yang dikenal dengan Islamic Society.
    Metode penelitian reflektif ini dapat dilakukan oleh para peneliti dengan beberapa contoh diantara ‘Transpormasi Iman dalam kehidupan sosial”. Ketika membahas ini perlu dikaitkan dengan historis dakwah (tarikh al-da’wah).

b. Metode Riset Dakwah Partisipatif (Empiris Induktif)
    Metode ini juga dikenal dengan metode participant observation atau Etno graphy. Objek kajian dakwah pada metode ini adalah masa sekarang dan berangkat dari realita dakwah. Ada dua gaya (styles) dalam penelitain ini;  1) Holistik yaitu melukiskan secara menyeluruh dan terintegrasi semua jaringan kehidupan yang terdapat dalam masyarakat.2) Semiotik yaitu, menjelaskan makna dan interpretasi pandangan masyarakat yang diteliti (Native’s Point of View) yang berwujud bentuk-bentuk simbolik dalam kehidupan masyakakat. Jelasnya, penelitian ini berangkat dari realiats lapangan menghasilkan teori dakwah baru. Sebuah kajian yang baik setelah meneliti dan menggunakan metode tertentu mampu melahirkan teori baru yang lebih aktual
Teknik operasional dalam penelitian ini , 1) Peneliti (da’i) mempunyai fokus penelitian 2) Menghilangkan sifat interpretatif dalam catatan lapangan. Interpretasi dilakukan pada tahab penulisan.3) Kehadiran peneliti selama di lokasi tidak mengganggu aktivitas masyarakat.

H.    Analisis Objek Formal Ilmu Dakwah dan relevansinya dengan  pengembangan jurusan di fakultas Dakwah
Sekali lagi bahwa sumber ilmu atau teori pengetahuan ilmu dakwah bersumber dari Doktrin (teks) dan pemikiran rasional para pemikir umat Islam (tradisi Islam). Maka untuk lebih menjelaskan kemana arah dan tujuan jurusan-jurusan di fakultas dakwah, maka perlu ditelusuri akar pemikiran yang dikaitkan dengan aspek epistimologi dakwah dan dikaitkan dengan unsur-unsur dakwah yang mengintarinya.
    Kegiatan dakwah mempunyai beberapa unsur dan antara unsur yang satu dengan yang lainnya mempunyai interaksi dan interelasi. Unsur pertama adalah Doktrin Islam (dilambangkan dengan A), unsur kedua Da'i/ Komunikator/ baik Individu/ Lembaga (dilambangkan dengan B) unsur ketiga adalah Mad’u atau komunitas (dilambangkan dengan C) dan unsur keempat adalah Tujuan dakwah (dilambangkan dengan D).
1.    Interaksi unsur A (Doktrin) dengan B (Da'i), melahirkan hakekat dakwah, maka perlu pengetahuan tentang filsafat dakwah. Apakah hekekat dakwah itu esensi atau sambilan.
2.    Interasi unsur B (da'i) dengan C (Mad’u), melahirkan pemikiran cara penyampaian dakwah secara lisan dan tulisan, dikenal dengan tabligh (menyampaikan) yang di dalamnya mengandung dua dimensi kekuatan yakni komunikasi dan penyiaran Islam, inilah zona jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI). Kegiatan yang berdimensi massa dan kegiatan terlembaga. Maka pengelola jurusan sebagai pabrik intelektual bukan hanya sekedar melayani mahasiswa melihat nilai, daftar komprehensip dan munaqsayah akan tetapi bagaimana membangun kompentensi jurusan, harus ada labor dan praktek. Dimensi selanjutnya adalah bimbingan dan konseling bersasaran individual dan kelompok kecil atau dari masalah khusus dalam semua kehidupan yang berdampak pada kehidupan keluarga dan individu. Ini mempunyai power perubah tingkah laku dan ini adalah ladang atau zona Bimbingan konseling Islam (BKI).
3.    Interaksi unsur C (mad’u) dengan D (tujuan), melahirkan analisis tentang data empirik prilaku Islam atau program tindakan nyata (uswatun hasanah atau haal) di dalam masyarakat. Ini adalah zona pengembangan masyarakat Islam (PMI), maka jurusan PMI harus mengembangkan, pemahaman tentang kondisi sistem akidah umat, lingkungan dan pembangunan masyarakat. Setelah memahami maka jurusan PMI harus mampu mempunyai wawasan “lingstra” (lingkungan strategis) umat, mampu menggerakan pembangunan nagari/desa dan pengembangan ekonomi rakyat kecil dan juga kemampuan menciptakan lingkungan wisata riligius. Di negara Jerman dengan penduduk 20 % muslim mampu membuat lingkungan wisata muslim, kenapa umat Islam Indonesia dan khususnya ranah Minang mayoritas muslim tidak mampu menciptakan, jawabannya perpulang kepada sampai dimana jurusan PMI dipersiapkan? Maka sebenarnya untuk peluang berkarya dan kerja PMI mempunyai ladang yang luas, ini tanggung jawab jurusan yang harus membangun paprik inteltual para insan pengembang dan pembangun masyarakat, Pengelola jurusan PMI harus mampu menciptakan the Man sosial recontruction, orang lain bisa kenapa kita tidak?
4.    Interaksi unsur B (da'i) dengan D (tujuan), melahirkan pemikiran tentang, efesiensi dan efektivitas organisasional dan manajerial. Ini dalah zona Manajemen Dakwah Islam (MDI). Maka MDI harus mampu melahirkan dan mengembangkan pemikiran tentang sistem dan pengelolaan kegiatan dakwah secara efektif dan efesien, kemampuan menetapan kebijaksanaan dan strategi dakwah dalam merencanakan dakwah masa depan dalam kontek era global. MDI juga harus berorientasi pada kemampuan pengelolaan ibadah haji dan umroh serta ziarah dakwah serta mampu merencanakan dan mengelola informasi Islam melalui media masa Islam. Jika jurusan KPI sebagai insan jurnalis yang mengasilkan pemikirannya lewat tulisan atau sebagai wartawan yang menghasilkan berita, maka MDI harus mampu mengelola lembaga atau intitusi media.

I. Aksiologi Dakwah
Islam berbeda dengan pandangan bangunan ilmu barat, yang memandang ilmu dipisahkan dengan kepentingan masyarakat. Dengan kata lain teori ilmu tidak terkait dengan praxis. Dalam pandangan Islam ilmu baru berguna dan bermakna bila telah menjadi realita. Jika kebenaran telah ditemukan melalui aktivitas keilmuan, selanjutnya kebenaran menjadi kenyataan dalam kehidupan manusia. Berkaitan dengan hal itu, aksiologi atau nilai guna dakwah adalah: bertujuan mewujudkan ummatan wasathan, khairul umah dan khairul baraiyah.

J. Esensi Ilmu Dakwah (sebagai cacatan Penutup)
    Berdasarkan ontologi (hakekat) dakwah, epistemologi dakwah, objek formal, metode keilmuan dakwah, dan analisis antar unsur dakwah, dapat diambil pengertian bahwa esensi ilmu dakwah adalah gugusan keilmuan yang bersumber dari teks dan tradisi Islam, yang dikembangkan oleh umat Islam (para pengembang dakwah), secara sistematis dan terorganisir yang berguna dalam memahami fakta dakwah dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas Dakwah.



DAFTAR RUJUKAN

A. Ilyas Ismail, “Beberapa Kendala Dakwah Sebagai Ilmu” dalam Republika (opini), 28 Agustus 1992.
Abdul Munir Mulkhan, “Ilmu Dakwah Diam dalam Gugatan,” dalam Mingguan Misi, Yogyakarta: IAIN Wali Songo Press, 1995}
Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1389 H/1969)
Abu Bakar Zakaria, al-Da’wah ila al-Islam, (Mesir: Dâr al-’Urulah, tt)
Ahmad, Amrullah, Dakwah Sebagai Ilmu, Gelar Seperempat Abad Fak. Dakwah IAIN
Alî Mahfuzh, Hidayah al-Mursyidîn,: (Mesir: Dâr al-Kitab al-’Arabî, 1952)
Alfian, Transformasi Sosial Budaya,UI Press, jakarta, 1986
Alwani, Thoha, Al-Azumah al-Fikriyah al-Ma’asyirah, Hirubdun, Kairo, 1992
Amin Rais, Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1996)
Amin. M. Mansyur, Dinamika Islam, LKPSM,Yogyakarta, 1985
Amrullah Achmad, “Dakwah dan Perubahan Sosial” (editor), (Yogyakarta, PLP2M, 1985)
Arifin, Syamsul, Merambah Jalan Baru dalam Beragama, Ittawa Press,Yogyakarta, 2000
Awiskarni, Dakwah Islam dan Dinamika Masyarakat, The Minangkabau Foundation, Jakarta, 2005
Azizy, A. Qodri, Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman, Aneka Ilmu, Semarang, 2004
    Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990)
Dzikir, Abu Bakar, Al-Da’wah Ila Islamiyah, Al-Nahdahat, Gramedia. Jakarta,1995
Firman, Metode Penelitian Kualitatifdan Kuantitatif, makalah pada Pelatihan Penelitian Dosen Yunior, IAIN Imam Bonjol Padang, Agustus, 2002.
Firman, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Makalah Pelatihan Penelitian Dosen Yunior IAIN Padang, 2002
Hafiduddin, Didin, Dakwah Aktual, Gema Insani Press, Jakarta, 2000
Hayati Nizar, Epistemologi Islam, makalah pelatihan Penelitian Dosen Yunior,September 2002
Ibrâhîm Mushthafâ, Ahmad Hasan al-Zayât, Hamid Abd al-Qadir dan Muhammad ‘Alî al-Najîr, al-Mu’jam al-Wasîth, (Istambul-Turki: Dâr al-Dakwah, 1989)
M. Masyur Amin, Dinamika Islam, (Yogyakarta: LKPSM, 1995)
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1973)
Mochtar Husein, Dakwah Masa Kini, (Ujung Pandang: Nuhiyah, 1986)
Moh Ali Aziz, Cs, Dakwah Pemberdayaa Masyarakat Paradigma Aksi Metodologi, Pustaka Pesanteren, Yogyakarta, 2005)
Muhammad Abu Zahrah, al-Da’wah ila al-Islam, (Ttp.Dar al-Fikr al-’Arabi, tt)
    Muhammad al-Bahi al-Khuli, Tazkirah al-Du’ah, (Mesir: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1952)
Muhammad Fu’âd ‘Abd. al-Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fâzh al-Qur’ân, (Beirut, Dâr al-Ma’rifah, 1992)
Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, Pengantar Ilmu Dakwah (selanjutnya disebut Pengantar) (Aceh, IAIN Ar--Raniri,1984-85)
Salmadanis, Al-Da’i dan Identitasnya, The Minangkabau Foundation, Jakarta, 2002
--------------, Surau di Era Otonomi, The Minangkabau Foudation, Jakarta, 2001
--------------, Adat Basandi Syarak; Norma dan Aplikasinya Menuju Kembali ke Nagari dan Surau, PT. Kartika Insan Lestari, Jakarta, 2003
--------------, Bentuk-bentuk Metode Dakwah Dalam al-Qur’an, Dalam Majalah Ilmiah Turats, Nomor; 10, Volume VII, 1996
--------------, Dakwah Dalam Perspektif al-Qur’an, The Minangkabau Foundation, Jakarta, 2001
--------------, Dakwah Dalam Perspektif al-Qur’an, The Minangkabau Foundation, Cet. II. Jakarta, 2002
--------------, Filsafat Dakwah, IAIN “IB” Press, Cet. I. Padang, 1999
-------------, Intervensi Politik Menanggulangi Kemungkaran, Nuansa Madani, Jakarta, 1999
--------------, Mengantar Usahawan Ke Pintu Surga Melalui Pemahaman Nilai-nilai Tauhid Dalam Berusaha, Nuansa Madani, Jakarta, September 2001
--------------, Metode Dakwah Perspektif al-Qur’an, The Minangkabau Foundation, Jakarta. 2002
--------------, Prinsip Dasar Metode Dakwah, The Minangkabau Foundation, Jakarta, 2000
--------------, Amar Ma’ru Nahi Mungkar dan Politik Perspektif Ad. Jabbar, Nuasa Madani, Jakarta, 2002
Shahatah, Abdu al-Allah, Da’wah Islamiyah, Kairo, 1987.
Swidler, Leonard, Theoria Praxis, UIT Geveris Peetas, Leuxen, 1998
Syafi Sairin, Pendekatan Antropologi dalam Penelitian Agama, Makalah pada Pendidikan calon Dosen Se-Indonesia, Yogyakarta , September 2000}
Syakirman M. Noor, “Urgensi Filsafat Ilmu dalam Meningkatkan Mutu Kesarjanaan IAIN” dalam al-Ta’lim (Jurnal-Padang Fakultas Tarbiyah IAIN IB) vol. I No. 2 1998}
Yakan Fath, Al-Islam, Fikratun Wa Haralatun, al-Nahdat, 1990.
--------------, Nahwulharakah Islamiyah, al-Nahdat, Kairo,1989
--------------, Al-Musaqithun,’Ala Thariq al-Da’wah, Al-Nahhlat, Kairo, 1989
Yuyun S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta, Sinar Harapan, 1990)
--------------, Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta, Gramedia, 1994)



0 Comment