Oleh: Zilfaroni
MAKANAN DAN MINUMAN YANG HALAL
A. Hukum Asal dan Sebab Keharaman
Yang menjadi sebab diharamkannya makanan adalah:
1. Nash dari alqu’an dan hadits,
2. Karena disuruh membunuhnya (menyembelihnya),
3. Karena dilarang membunuhnya,
4. Karena termasuk binatang kotor, dan
5. Karena memberi madharat/berbahaya.
B. Jenis Makanan, Minuman dan Binatang yang Haram.
1. Makanan yang Halal
Halal artinya boleh, jadi makanan yang halal ialah makanan yang dibolehkan untuk dimakan menurut ketentuan syari'at Islam. segala sesuatu baik berupa tumbuhan, buah-buahan ataupun binatang pada dasarnya adalah hahal dimakan, kecuali apabila ada nash Al-Quran atau Al-Hadits yang menghatamkannya. Ada kemungkinan sesuatu itu menjadi haram karena memberi mudharat bagi kehidupan manusia seperti racun, barang-barang yang menjijikan dan sebagainya.
Allah berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah." (QS. Al-Baqarah : 17)
••
"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi." (QS. Al-Baqarah : 168).
• • •
"(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka . Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung". (QS. Al-A'raf : 157)
Dari Abu Hurairah RA. ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : "Sesungguhnya Allah SWT adalah Zat Yang Maha Baik, tidak mau menerima kecuali yang baik, dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang-orang mu'min sesuai dengan apa yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta'ala berfirman : Hai para Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang sholeh. Allah Ta'ala berfirman : Hai orang-orang yang beriman, makanlah dari rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kamu sekalian...". (HR. Muslim)
Rasulullah SAW, ditanya tentang minyak sanin, keju dan kulit binatang yang dipergunakan untuk perhiasan atau tempat duduk. Rasulullah SAW bersabda : Apa yang dihalalkan oleh Allah dalam Kitab-Nya adalah halal dan apa yang diharamkan Allah di dalam Kitab-Nya adalah haram, dan apa yang didiamkan (tidak diterangkan), maka barang itu termasuk yang dimaafkan". (HR. Ibnu Majah dan Turmudzi).
Berdasarkan firman Allah dan hadits Nabi SAW, dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis makanan yang halal ialah :
Semua makanan yang baik, tidak kotor dan tidak menjijikan. Semua makanan yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. semua makanan yang tidak memberi mudharat, tidak membahayakan kesehatan jasmani dan tidak merusak akal, moral, dan aqidah. Binatang yang hidup di dalam air, baik air laut maupun air tawar.
2. Makanan yang Haram
Haram artinya dilarang, jadi makanan yang haram adalah makanan yang dilarang oleh syara' untuk dimakan. Setiap makanan yang dilarang oleh syara' pasti ada bahayanya dan meninggalkan yang dilarang syara' pasti ada faidahnya dan mendapat pahala.
Yang termasuk makanan yang diharamkan adalah :
Semua makanan yang disebutkan dalam firman Allah surat Al-Maidah ayat 3 dan Al-An'am ayat 145 :
• • ....
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya , dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala." (QS. Al-Maidah : 3)
• •• • •
"Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-An'am : 145)
....
"Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk." (QS. Al-A'raf : 157)
Semua jenis makanan yang dapat mendatangkan mudharat terhadap jiwa, raga, akal, moral dan aqidah.
• ....
"Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi (akibatnya), dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar." (QS. Al-A'raf : 33).
Bagian yang dipotong dari binatang yang masih hidup.
Sabda Nabi SAW : "Daging yang dipotong dari binatang yang masih hidup, maka yang terpotong itu termasuk bangkai". (HR. Ahmad)
Makanan yang didapat dengan cara yang tidak halal seperti makanan hasil curian, rampasan, korupsi, riba dan cara-cara lain yang dilarang agama.
3. Minuman yang Halal
Minuman yang halal pada dasarnya dapat dibagi menjadi 4 bagian :
a. Semua jenis aiar atau cairan yang tidak membahayakan bagi kehidupan manusia, baik membahayakan dari segi jasmani, akal, jiwa, maupun aqidah.
b. Air atau cairan yang tidak memabukkan walaupun sebelumnya pernah memabukkan seperti arak yang berubah menjadi cuka.
c. Air atau cairan itu bukan berupa benda najis atau benda suci yang terkena najis.
d. Air atau cairan yang suci itu didapatkan dengan cara-cara yang halal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.
4. Minuman yang Haram
1. Semua minuman yang memabukkan atau apabila diminum menimbulkan mudharat dan merusak badan, akal, jiwa, moral dan aqidah seperti arak, khamar, dan sejenisnya.
Allah berfirman :
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". (QS. Al-Baqarah : 219)
Dalam ayat lain Allah berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (QS. Al-Maidah : 90)
Nabi SAW bersabda : "Sesuatu yang memabukkan dalam keadaan banyak, maka dalam keadaan sedikit juga tetap haram." (HR An-Nasa'i, Abu Dawud dan Turmudzi).
2. Minuman dari benda najis atau benda yang terkena najis.
3. Minuman yang didapatkan dengan cara-cara yang tidak halal atau yang bertentangan dengan ajaran Islam.
C. Sikap Seorang Muslim Terhadap Binatang Halal dan Haram
D. Cara menyembelih binatang
• Rukun Menyembelih
1. Penyembelih.
2. Binatang yang disembelih.
3. Alat untuk meyembelih.
4. Penyembelihan (perbuatan menyembelih).
Setiap rukun-rukun ini, mempunyai syarat-syaratnya yang tertentu.
1. Penyembelih.
Syarat penyembelih itu hendaklah seorang Islam atau ahli kitab (yang memenuhi syarat hakiki orang ahli kitab sebagaimana yang disebutkan oleh ulama-ulama Asy-Syafi‘eyah).
Tiada halal sembelihan orang Majusi (penyembah api), penyembah berhala, orang murtad dan lain-lain daripada orang kafir yang tiada mempunyai kitab agama Allah.
Hendaknya seorang yang menyembelih berakal dan usianya sudah mencapai tamyiz, sedangkan sembelihan anak yang belum tamyiz atau orang gila tidak sah. Hal ini didasari oleh keharusan adanya niat dalam menyembelih, oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda: “Amalan itu tergantung dari niatnya”. (HR Bukhari 1 dan Muslim 155).
Hendaknya penyembelih adalah seorang muslim atau ahli kitab, baik laki-laki atau perempuan, apabila penyembelihnya selain yang disebutkan maka sembelihannya tidak sah, sebagaimana firmanNya:
“Dan makanan (sembelihan) orang-orang ahli kitab halal untukmu dan makananmu halal untuk mereka”. (QS al-Ana’am: 5).
Imam Bukhari berkata, “Ibnu Abbas berkata bahwa yang disebut makanan dalam ayat ini adalah sembelihan”.
Hendaknya penyembelih benar-benar bermaksud menyembelih, bukan sekedar kebetulan atau tidak menyengaja, sehingga seandainya ada seorang yang sedang diserang oleh seekor sapi, lalu dia menebaskan pedangnya ke arah sapi tersebut dengan maksud untuk membela diri, dan sapi tersebut terluka lehernya sehingga mati, maka perbuatan seperti ini tidak termasuk penyembelihan yang sah, karena dia tidak bermaksud menyembelih.
Hendaknya sembelihan ini hanya untuk Allah SWT. Apabila sembelihan diperuntukkan kepada selain Allah SWT maka sembelihan tersebut tidak halal, seperti orang yang menyembelih sapi bermaksud mengagungkan berhala, atau dipersembahkan kepada penghuni tempat yang dianggap keramat. (Lihat QS. al-Baqarah 2: 172)
Hendaknya menyebut nama Allah SWT dan tidak menyebut nama selainNya, dan ini menjadi syarat yang utama, sehingga seandainya ada orang yang menyembelih tanpa menyebut nama Allah SWT atau menyebut nama selain Allah SWT, maka sembelihan tersebut haram untuk dimakan. Inilah pendapat mayoritas ulama dan empat imam madzhab kecuali Imam Syafi’i, bersepakat atas hal ini.
Allah SWT berfirman:
•
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya . Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”,. (QS. al-An’am 6: 121).
Dalam ayat ini, Allah SWT melarang hambaNya makan binatang yang disembelih tanpa menyebut nama Allah SWT, oleh karenanya para ulama menjadikan basmalah sebagai syarat sahnya setiap penyembelihan bahkan menurut pendapat yang lebih kuat apabila lupa membaca basmalah, maka sembelihan itu tidak sah dan hukumnya haram. Ini adalah salah satu dari empat pendapat tentang hukum bacaan basmalah ketika menyembelih, pendapat ini dikatakan oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan dikuatkan oleh Ibnu. Hal ini lantaran beberapa alasan: (1) Allah SWT tidak memerinci dalam al-Qur’an tentang larangan makan binatang sembelihan yang tidak disebut nama Allah SWT, sehingga termasuk apabila lupa maka termasuk dilarang. (2). Ucapan basmalah adalah syarat menyembelih yang harus didatangkan, sehingga tidak dimaafkan apabila dia lupa, oleh karena itu seorang yang shalat lupa berwudhu maka shalatnya tidak sah dan dia harus mengulang kembali wudhu dan shalatnya.
Hendaknya menyembelih sampai mengalirkan darah dengan alat yang tajam, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: Dari Rafi’bin Khadij (hadits ini disampaikan kepada Rasulullah SAW) beliau bersabda: “Binatang yang dialirkan darahnya (dengan alat yang tajam), maka makanlah”.
2. Binatang yang disembelih.
Syarat binatang yang disembelih itu ialah:
(i) Binatang darat yang halal dimakan.
(ii) Zhan (sangkaan) terhadap binatang, bahawa ada padanya hayah mustaqirrah pada permulaan penyembelihan kecuali binatang yang sakit.
Adapun binatang yang sakit atau kehausan tidak disyaratkan ada padanya hayah mustaqirrah ketika menyembelihnya, memadai sahaja padanya harakah mazbuh ketika menyembelihnya. Tetapi tidak halal jika binatang yang hendak disembelih yang nyawanya pada ketika itu di peringkat harakah mazbuh disebabkan oleh memakan tumbuh-tumbuhan yang membawa kepada maut, pukulan, hentakan dan seumpamanya daripada sebab-sebab yang boleh membawa kepada maut. Demikian yang dijelaskan dalam kitab-kitab Al-Majmu‘, Fath Al-‘Alam dan I’anat At-Thalibin.
Adapun yang dimaksudkan dengan hayah mustaqirrah itu ialah keadaan binatang yang masih bernyawa dan melihat dan bersuara serta bergerak dengan kehendaknya, dan di antara tanda-tandanya ialah pergerakan yang kuat, pancutan darah, suara rengekan kerongkong dan yang seumpamanya selepas disembelih. Manakala yang dimaksudkan dengan harakah mazbuh ialah keadaan binatang yang tiada lagi ada padanya penglihatan, pergerakan, suara dengan kehendaknya atau keadaan binatang yang apabila dibiarkan dengan keadaannya yang sedemikian itu, ia akan mati dengan serta merta.
3. Alat untuk menyembelih.
Disyaratkan alat untuk menyembelih itu sesuatu yang boleh memotong dengan ketajamannya selain kuku, gigi dan semua jenis tulang. Maka tidak halal binatang yang disembelih menggunakan tiga jenis alat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dari Rafi’ ibnu khadij Radhiallahu ‘anhu:
Maksudnya: “Apa-apa yang dapat mengalirkan darah serta disebut nama Allah padanya (waktu menyembelih), maka boleh kamu makan, kecuali gigi dan kuku, dan aku akan khabarkan kepada kamu sedemikian itu, (kerana) gigi adalah tulang dan kuku adalah pisau orang Habsyah.”
(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
4. Penyembelihan.
Disyaratkan penyembelihan itu:
(i) Memotong seluruh halqum (saluran nafas) dan seluruh mari` (saluran makanan dan minuman).
(ii) Niat untuk menyembelih ketika melakukan penyembelihan. Jika seseorang memegang pisau di tangannya dan terlepas pisau itu daripada tangannya, lalu terkena leher binatang dan terputus seluruh halqum dan mari`nya, tidaklah dikira sebagai penyembelihan, kerana tidak ada niat untuk melakukan penyembelihan, maka tidak halal memakan daging binatang tersebut.
(iii) Hendaklah binatang itu mati semata-mata disebabkan oleh penyembelihan (tidak dilakukan satu perbuatan lain yang boleh membawa maut kepada binatang itu ketika disembelih).
Apabila telah cukup segala rukun-rukun dan syarat-syarat penyembelihan yang tersebut, maka halal binatang itu kecuali sembelihan yang dimaksudkan kepada selain Allah atau disebutkan sewaktu menyembelihnya selain nama Allah, walaupun sembelihan itu mencukupi segala rukun-rukun dan syarat-syarat yang telah disebutkan.
Dasar perintah ini ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
•
“Sesungguhnya Allah mengharamkan ke atas kamu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan apa yang disembelih dengan menyebut selain nama Allah.”(Surah Al-Nahl: 115)
E. Berburu Binatang
Banyak sekali orang-orang Arab dan bangsa-bangsa lain yang hidupnya berburu. Oleh karena itu al-Quran dan hadis menganggap penting dalam persoalan ini; dan ahli-ahli fiqih pun kemudian membuatnya bab tersendiri, dengan menghuraikan mana yang halal dan mana yang haram, mana yang wajib dan mana yang sunnat.
Hal mana justru banyaknya binatang dan burung-burung yang dagingnya sangat baik sekali tetapi sukar didapat oleh manusia, karena tidak termasuk binatang peliharaan. Untuk itu Islam tidak memberikan persyaratan dalam menyembelih binatang-binatang tersebut seperti halnya persyaratan yang berlaku pada binatang-binatang peliharaan yang harus disembelih pada lehernya.
Islam menganggap cukup apa yang kiranya mudah, untuk memberikan keringanan dan keleluasaan kepada manusia. Dimana hal ini telah dibenarkan juga oleh fitrah dan kebutuhan manusia itu sendiri. Disini Islam hanya membuat beberapa peraturan dan persyaratan yang tunduk kepada aqidah dan tata-tertib Islam, serta membentuk setiap persoalan umat Islam dalam suatu karakter (shibghah) Islam.
Syarat-syarat itu ada yang bertalian dengan si pemburunya itu sendiri, ada yang bertalian dengan binatang yang diburu dan ada yang bertalian dengan alat yang dipakai untuk berburu.
Semua persyaratan ini hanya berlaku untuk binatang darat. Adapun binatang laut, adalah seperti yang dikemukakan di atas, yaitu secara keseluruhannya telah dihalalkan Allah tanpa suatu ikatan apapun.
Firman Allah:
• •
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (al-Maidah: 96)
• Syarat Yang Berlaku Untuk Pemburu
1. Syarat yang berlaku untuk pemburu binatang darat, sama halnya dengan syarat yang berlaku bagi orang yang akan menyembelih, yaitu harus orang Islam, ahli kitab atau orang yang dapat dikategorikan sebagai ahli kitab seperti Majusi dan Shabiin.
Termasuk tuntunan yang diajarkan Islam kepada orang-orang yang berburu, yaitu: mereka itu tidak bermain-main, sehingga melayanglah jiwa binatang tersebut tetapi tidak ada maksud untuk dimakan atau dimanfaatkan.
Di dalam salah satu hadisnya, Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Barangsiapa membunuh seekor burung pipit dengan maksud bermain-main, maka nanti di hari kiamat burung tersebut akan mengadu kepada Allah; ia berkata: 'Ya Tuhanku! Si Anu telah membunuh aku dengan bermain-main, tetapi tidak membunuh aku untuk diambil manfaat.'" (Riwayat Nasa'i dan Ibnu Hibban)
Dan di hadisnya yang lain pula, beliau bersabda:
"Tidak seorang pun yang membunuh burung pipit dan yang lebih kecil dari itu, tidak menurut haknya, melainkan akan ditanyakan Allah kelak di hari kiamat. Rasulullah s.a.w. kemudian ditanya: 'Apa hak burung itu, ya Rasulullah!' Nabi menjawab: 'Yaitu dia disembelih kemudian dimakan, tidak diputus kepalanya kemudian dibuang begitu saja.'" (Riwayat Nasa'i dan Hakim)
Selain daripada itu, bahwa diharuskan pula bagi seorang yang berburu itu, bukan sedang berihram. Sebab seorang muslim yang sedang berihram berarti dia berada dalam fase kedamaian dan keamanan yang menyeluruh yang berpengaruh sangat luas sekali terhadap alam sekelilingnya, termasuk binatang di permukaan bumi dan burung yang sedang terbang di angkasa, sehingga binatang-binatang itu sekalipun berada di hadapannya dan mungkin untuk ditangkap dengan tangan. Tetapi hal ini adalah justru merupakan ujian dan pendidikan guna membentuk seorang muslim yang berpribadi kuat dan tabah.
Dalam hal ini Allah telah berfirman yang artinya sebagai berikut:
"Hai orang-orang yang beriman! Sungguh Allah menguji kamu dengan sesuatu daripada binatang buruan yang dapat ditangkap oleh tangan-tangan kamu dan tombak-tombak kamu, supaya Allah dapat membuktikan siapakah orang yang takut kepadaNya dengan ikhlas. Maka barangsiapa melanggar sesudah itu, baginya adalah siksaan yang pedih." (al-Maidah: 94)
" Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan". (al-Maidah: 96)
• Syarat yang Berkenaan dengan Binatang yang Diburu
2. Adapun syarat yang berkenaan dengan binatang yang diburu, yaitu hendaknya binatang tersebut tidak memungkinkan ditangkap manusia untuk disembelih pada lehernya. Kalau ternyata memungkinkan binatang tersebut untuk disembelih di lehernya, maka haruslah disembelih dan tidak boleh pindah kepada cara lain, karena menyembelih adalah termasuk pokok.
Begitu juga, kalau ada orang melepaskan panahnya atau anjingnya kemudian menangkap seekor binatang dan ternyata binatang tersebut masih hidup, maka dia harus menjadikan halalnya binatang tersebut dengan disembelih di lehernya sebagaimana lazimnya. Tetapi kalau hidupnya itu tidak menentu, jika disembelih juga baik dan apabila tidak disembelih juga tidak berdosa. Sabda Nabi
"Kalau kamu melepas anjingmu, maka sebutlah asma' Allah atasnya, maka jika anjing itu menangkap untuk kamu dan kamu dapati dia masih hidup, maka sembelihlah." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
• Alat yang Dipakai Untuk Berburu
3. Alat yang dipakai untuk berburu ada dua macam:
a. Alat yang dapat melukai, seperti panah, pedang dan tombak. Sebagaimana diisyaratkan al-Quran dalam firmanNya:
b.
"Hai orang-orang yang beriman! Sungguh Allah menguji kamu dengan sesuatu daripada binatang buruan yang dapat ditangkap oleh tangan-tangan kamu dan tombak-tombak kamu, supaya Allah dapat membuktikan siapakah orang yang takut kepadaNya dengan ikhlas. Maka barangsiapa melanggar sesudah itu, baginya adalah siksaan yang pedih." (al-Maidah: 94)
c. Binatang yang dapat melukai karena berkat didikan yang diberikan, seperti anjing, singa, burung elang, rajawali dan sebagainya. Firman Allah:
•
"Dihalalkan buat kamu yang baik-baik dan apa-apa yang kamu ajar dari binatang-binatang pemburu. yang terdidik, kamu ajar mereka dari apa-apa yang Allah ajarkan kepadamu." (al-Maidah: 4)
• Berburu Dengan Senjata Tajam
Berburu dengan alat diperlukan dua persyaratan:
1) Hendaknya alat tersebut dapat menembus kulit, dimana binatang tersebut mati karena ketajaman alat tersebut, bukan karena beratnya.
Adi bin Hatim pernah bertanya kepada Rasulullah s.a.w. bahwa ia melempar binatang dengan golok dan mengenainya. Maka jawab Nabi:
"Apabila Kamu melempar dengan golok, dan golok itu dapat menembus (melukai) kulit, maka makanlah. Tetapi kalau yang mengenai itu silangnya, maka janganlah kamu makan." (Riwayat Bukhari, Muslim)
Hadis ini menunjukkan, bahwa yang terpenting ialah lukanya, sekalipun pembunuhan itu dilakukan dengan alat yang berat. Dengan demikian, maka halallah binatang yang diburu dengan peluru dan senjata api dan sebagainya. Karena alat-alat tersebut lebih dapat menembus daripada panah, tombak dan pedang.
Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang berbunyi:
"Jangan kamu makan binatang yang mati karena senapan, kecuali apa-apa yang kamu sembelih."
Dan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari perkataan Umar dalam bab Binatang yang mati karena senapan, bahwa senapan yang dimaksud di sini, ialah senapan yang pelurunya itu terbuat dari tanah liat, kalau sudah kering kemudian dipakai untuk berburu. Senapan seperti ini bukan senapan yang sebenarnya (menurut pengertian sekarang. Penyusun).
Termasuk senapan jenis ini, ialah berburu dengan menggunakan batu bulat (sebangsa kerikil). Hal ini dengan tegas telah dilarang oleh Nabi dengan sabdanya:
"Bahwa (kerikil) itu tidak dapat untuk memburu binatang dan tidak dapat melukai musuh, tetapi dia dapat menanggalkan gigi dan mencabut mata." (Riwayat Bukhari dan Muslim).
2) Harus disebut asma' Allah ketika melemparkan alat tersebut atau ketika memukulkannya, sebagaimaria apa yang diajarkan Rasulullah s.a.w. kepada Adi bin Hatim. Sedang hadis-hadisnya adalah merupakan asas daripada bab ini.
• Berburu dengan Menggunakan Anjing dan Sebagainya
Kalau berburu itu dengan menggunakan anjing, atau burung elang, misalnya, maka yang diharuskan dalam masalah ini ialah sebagai berikut:
1. Binatang tersebut harus dididik.
2. Binatang tersebut harus memburu untuk kepentingan tuannya. Atau dengan ungkapan yang dipakai al-Quran, yaitu: Hendaknya binatang tersebut menangkap untuk kepentingan tuannya, bukan untuk kepentingan dirinya sendiri.
3. Disebutnya asma' Allah ketika melepas.
Dasar persyaratan ini ialah sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Quran:
"Mereka bertanya kepadamu (Muhammad!). Apakah yang dihalalkan buat mereka? Katakanlah: Telah dihalalkan kepadamu yang baik-baik dan apa-apa yang kamu ajar dari binatang-binatang penangkap yang terdidik, yang kamu ajar mereka dari apa-apa yang Allah telah mengajarkan kepadamu, maka makanlah dari apa-apa yang mereka tangkap untuk kamu dan sebutlah asma'Allah atasnya" (al-Maidah: 4)
a) Definisi mengajar, sebagaimana yang dikenal, yaitu kemampuan si tuan untuk memberi komando dan mengarahkan, dimana kalau anjing itu diundang akan datang, kalau dilepas untuk berburu dia akan bertahan dan kalau diusir akan pergi --walaupun definisi ini ada sedikit perbedaan antara ahli-ahli fiqih dalam beberapa hal-- tetapi yang terpenting, yaitu pendidikannya itu dapat dibuktikan menurut kebiasaan yang berlaku.
b) Definisi menangkap untuk tuannya, yaitu bahwa binatang tersebut tidak makan binatang yang ditangkap itu.
Sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w.:
"Kalau kamu melepaskan anjing, kemudian dia makan binatang buruan itu, maka jangan kamu makan dia, sebab berarti dia itu menangkap untuk dirinya sendiri. Tetapi jika kamu lepas dia kemudian dapat membunuh dan tidak makan, maka makanlah karena dia itu menangkap untuk tuannya." (Riwayat Ahmad, dan yang sama dengan hadis ini diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari dan Muslim)
Diantara ahli-ahli fiqih ada yang membedakan antara binatang buas sebangsa anjing dan burung sebangsa rajawali. Kalau burung itu makan sedikit dari binatang yang ditangkapnya, maka binatang tersebut boleh dimakan, tetapi apa yang dimakan oleh anjing tidak boleh dimakan.
Hikmah kedua persyaratan ini, yaitu: mendidik anjing dan menangkap untuk tuannya, adalah menunjukkan ketinggian martabat manusia dan kebersihan manusia sehingga tidak mau makan kelebihan atau sisa anjing; dan keberanian anjing itu sendiri dapat memungkinkan untuk mempermainkan jiwa-jiwa yang lemah. Tetapi kalau anjing itu terdidik dan dia menangkap untuk tuannya, maka waktu itu dia berkedudukan sebagai alat yang dipakai oleh pemburu yang tak ubahnya dengan tombak.
. 3). Sedang menyebut asma' Allah ketika melepas anjing, yaitu seperti menyebut asma' Allah ketika melepaskan panah, tombak atau memukulkan pedang. Dalam hal ini ayat al-Quran telah memerintah dengan tegas "dan sebutlah asma' Allah atasnya" (al-Maidah: 4). Begitu juga beberapa hadis yang sahih, yang di antaranya ialah hadisnya Adi bin Hatim.
Di antara dalil yang menunjukkan persyaratan ini, yaitu kalau ada seekor anjing berburu bersama anjing lainnya, kemudian si tuan itu memakai kedua anjing tersebut, maka binatang yang ditangkap oleh kedua anjing tersebut tidak halal.
Dalam hal.ini Adi pernah bertanya kepada Nabi sebagai berikut:
"Aku melepaskan anjingku, tetapi kemudian kudapati anjingku itu bersama anjing lain, aku sendiri tidak tahu anjing manakah yang menangkapnya? Maka jawab Nabi. Jangan kamu makan, sebab kamu menyebut asma' Allah itu pada anjingmu, sedang anjing yang lain tidak." (Riwayat Ahmad)
Kemudian kalau lupa tidak menyebut asma' Allah baik ketika memanah ataupun ketika melepas anjing, maka dalam hal ini Allah tidak mengambil suatu tindakan hukum kepada orang yang lupa dan keliru. Oleh karena itu susullah penyebutan asma' Allah itu ketika makan, sebagaimana telah terdahulu pembicaraannya dalam bab menyembelih.
Tentang hikmah menyebut asma' Allah telah kami jelaskan dalam bab penyembelihan, maka apa yang dikatakan di sana, begitulah yang dikatakan di bab ini juga.
#Literatur
MAKANAN DAN MINUMAN YANG HALAL
A. Hukum Asal dan Sebab Keharaman
Yang menjadi sebab diharamkannya makanan adalah:
1. Nash dari alqu’an dan hadits,
2. Karena disuruh membunuhnya (menyembelihnya),
3. Karena dilarang membunuhnya,
4. Karena termasuk binatang kotor, dan
5. Karena memberi madharat/berbahaya.
B. Jenis Makanan, Minuman dan Binatang yang Haram.
1. Makanan yang Halal
Halal artinya boleh, jadi makanan yang halal ialah makanan yang dibolehkan untuk dimakan menurut ketentuan syari'at Islam. segala sesuatu baik berupa tumbuhan, buah-buahan ataupun binatang pada dasarnya adalah hahal dimakan, kecuali apabila ada nash Al-Quran atau Al-Hadits yang menghatamkannya. Ada kemungkinan sesuatu itu menjadi haram karena memberi mudharat bagi kehidupan manusia seperti racun, barang-barang yang menjijikan dan sebagainya.
Allah berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah." (QS. Al-Baqarah : 17)
••
"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi." (QS. Al-Baqarah : 168).
• • •
"(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka . Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung". (QS. Al-A'raf : 157)
Dari Abu Hurairah RA. ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : "Sesungguhnya Allah SWT adalah Zat Yang Maha Baik, tidak mau menerima kecuali yang baik, dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang-orang mu'min sesuai dengan apa yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta'ala berfirman : Hai para Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang sholeh. Allah Ta'ala berfirman : Hai orang-orang yang beriman, makanlah dari rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kamu sekalian...". (HR. Muslim)
Rasulullah SAW, ditanya tentang minyak sanin, keju dan kulit binatang yang dipergunakan untuk perhiasan atau tempat duduk. Rasulullah SAW bersabda : Apa yang dihalalkan oleh Allah dalam Kitab-Nya adalah halal dan apa yang diharamkan Allah di dalam Kitab-Nya adalah haram, dan apa yang didiamkan (tidak diterangkan), maka barang itu termasuk yang dimaafkan". (HR. Ibnu Majah dan Turmudzi).
Berdasarkan firman Allah dan hadits Nabi SAW, dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis makanan yang halal ialah :
Semua makanan yang baik, tidak kotor dan tidak menjijikan. Semua makanan yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. semua makanan yang tidak memberi mudharat, tidak membahayakan kesehatan jasmani dan tidak merusak akal, moral, dan aqidah. Binatang yang hidup di dalam air, baik air laut maupun air tawar.
2. Makanan yang Haram
Haram artinya dilarang, jadi makanan yang haram adalah makanan yang dilarang oleh syara' untuk dimakan. Setiap makanan yang dilarang oleh syara' pasti ada bahayanya dan meninggalkan yang dilarang syara' pasti ada faidahnya dan mendapat pahala.
Yang termasuk makanan yang diharamkan adalah :
Semua makanan yang disebutkan dalam firman Allah surat Al-Maidah ayat 3 dan Al-An'am ayat 145 :
• • ....
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya , dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala." (QS. Al-Maidah : 3)
• •• • •
"Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-An'am : 145)
....
"Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk." (QS. Al-A'raf : 157)
Semua jenis makanan yang dapat mendatangkan mudharat terhadap jiwa, raga, akal, moral dan aqidah.
• ....
"Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi (akibatnya), dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar." (QS. Al-A'raf : 33).
Bagian yang dipotong dari binatang yang masih hidup.
Sabda Nabi SAW : "Daging yang dipotong dari binatang yang masih hidup, maka yang terpotong itu termasuk bangkai". (HR. Ahmad)
Makanan yang didapat dengan cara yang tidak halal seperti makanan hasil curian, rampasan, korupsi, riba dan cara-cara lain yang dilarang agama.
3. Minuman yang Halal
Minuman yang halal pada dasarnya dapat dibagi menjadi 4 bagian :
a. Semua jenis aiar atau cairan yang tidak membahayakan bagi kehidupan manusia, baik membahayakan dari segi jasmani, akal, jiwa, maupun aqidah.
b. Air atau cairan yang tidak memabukkan walaupun sebelumnya pernah memabukkan seperti arak yang berubah menjadi cuka.
c. Air atau cairan itu bukan berupa benda najis atau benda suci yang terkena najis.
d. Air atau cairan yang suci itu didapatkan dengan cara-cara yang halal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.
4. Minuman yang Haram
1. Semua minuman yang memabukkan atau apabila diminum menimbulkan mudharat dan merusak badan, akal, jiwa, moral dan aqidah seperti arak, khamar, dan sejenisnya.
Allah berfirman :
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". (QS. Al-Baqarah : 219)
Dalam ayat lain Allah berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (QS. Al-Maidah : 90)
Nabi SAW bersabda : "Sesuatu yang memabukkan dalam keadaan banyak, maka dalam keadaan sedikit juga tetap haram." (HR An-Nasa'i, Abu Dawud dan Turmudzi).
2. Minuman dari benda najis atau benda yang terkena najis.
3. Minuman yang didapatkan dengan cara-cara yang tidak halal atau yang bertentangan dengan ajaran Islam.
C. Sikap Seorang Muslim Terhadap Binatang Halal dan Haram
D. Cara menyembelih binatang
• Rukun Menyembelih
1. Penyembelih.
2. Binatang yang disembelih.
3. Alat untuk meyembelih.
4. Penyembelihan (perbuatan menyembelih).
Setiap rukun-rukun ini, mempunyai syarat-syaratnya yang tertentu.
1. Penyembelih.
Syarat penyembelih itu hendaklah seorang Islam atau ahli kitab (yang memenuhi syarat hakiki orang ahli kitab sebagaimana yang disebutkan oleh ulama-ulama Asy-Syafi‘eyah).
Tiada halal sembelihan orang Majusi (penyembah api), penyembah berhala, orang murtad dan lain-lain daripada orang kafir yang tiada mempunyai kitab agama Allah.
Hendaknya seorang yang menyembelih berakal dan usianya sudah mencapai tamyiz, sedangkan sembelihan anak yang belum tamyiz atau orang gila tidak sah. Hal ini didasari oleh keharusan adanya niat dalam menyembelih, oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda: “Amalan itu tergantung dari niatnya”. (HR Bukhari 1 dan Muslim 155).
Hendaknya penyembelih adalah seorang muslim atau ahli kitab, baik laki-laki atau perempuan, apabila penyembelihnya selain yang disebutkan maka sembelihannya tidak sah, sebagaimana firmanNya:
“Dan makanan (sembelihan) orang-orang ahli kitab halal untukmu dan makananmu halal untuk mereka”. (QS al-Ana’am: 5).
Imam Bukhari berkata, “Ibnu Abbas berkata bahwa yang disebut makanan dalam ayat ini adalah sembelihan”.
Hendaknya penyembelih benar-benar bermaksud menyembelih, bukan sekedar kebetulan atau tidak menyengaja, sehingga seandainya ada seorang yang sedang diserang oleh seekor sapi, lalu dia menebaskan pedangnya ke arah sapi tersebut dengan maksud untuk membela diri, dan sapi tersebut terluka lehernya sehingga mati, maka perbuatan seperti ini tidak termasuk penyembelihan yang sah, karena dia tidak bermaksud menyembelih.
Hendaknya sembelihan ini hanya untuk Allah SWT. Apabila sembelihan diperuntukkan kepada selain Allah SWT maka sembelihan tersebut tidak halal, seperti orang yang menyembelih sapi bermaksud mengagungkan berhala, atau dipersembahkan kepada penghuni tempat yang dianggap keramat. (Lihat QS. al-Baqarah 2: 172)
Hendaknya menyebut nama Allah SWT dan tidak menyebut nama selainNya, dan ini menjadi syarat yang utama, sehingga seandainya ada orang yang menyembelih tanpa menyebut nama Allah SWT atau menyebut nama selain Allah SWT, maka sembelihan tersebut haram untuk dimakan. Inilah pendapat mayoritas ulama dan empat imam madzhab kecuali Imam Syafi’i, bersepakat atas hal ini.
Allah SWT berfirman:
•
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya . Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”,. (QS. al-An’am 6: 121).
Dalam ayat ini, Allah SWT melarang hambaNya makan binatang yang disembelih tanpa menyebut nama Allah SWT, oleh karenanya para ulama menjadikan basmalah sebagai syarat sahnya setiap penyembelihan bahkan menurut pendapat yang lebih kuat apabila lupa membaca basmalah, maka sembelihan itu tidak sah dan hukumnya haram. Ini adalah salah satu dari empat pendapat tentang hukum bacaan basmalah ketika menyembelih, pendapat ini dikatakan oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan dikuatkan oleh Ibnu. Hal ini lantaran beberapa alasan: (1) Allah SWT tidak memerinci dalam al-Qur’an tentang larangan makan binatang sembelihan yang tidak disebut nama Allah SWT, sehingga termasuk apabila lupa maka termasuk dilarang. (2). Ucapan basmalah adalah syarat menyembelih yang harus didatangkan, sehingga tidak dimaafkan apabila dia lupa, oleh karena itu seorang yang shalat lupa berwudhu maka shalatnya tidak sah dan dia harus mengulang kembali wudhu dan shalatnya.
Hendaknya menyembelih sampai mengalirkan darah dengan alat yang tajam, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: Dari Rafi’bin Khadij (hadits ini disampaikan kepada Rasulullah SAW) beliau bersabda: “Binatang yang dialirkan darahnya (dengan alat yang tajam), maka makanlah”.
2. Binatang yang disembelih.
Syarat binatang yang disembelih itu ialah:
(i) Binatang darat yang halal dimakan.
(ii) Zhan (sangkaan) terhadap binatang, bahawa ada padanya hayah mustaqirrah pada permulaan penyembelihan kecuali binatang yang sakit.
Adapun binatang yang sakit atau kehausan tidak disyaratkan ada padanya hayah mustaqirrah ketika menyembelihnya, memadai sahaja padanya harakah mazbuh ketika menyembelihnya. Tetapi tidak halal jika binatang yang hendak disembelih yang nyawanya pada ketika itu di peringkat harakah mazbuh disebabkan oleh memakan tumbuh-tumbuhan yang membawa kepada maut, pukulan, hentakan dan seumpamanya daripada sebab-sebab yang boleh membawa kepada maut. Demikian yang dijelaskan dalam kitab-kitab Al-Majmu‘, Fath Al-‘Alam dan I’anat At-Thalibin.
Adapun yang dimaksudkan dengan hayah mustaqirrah itu ialah keadaan binatang yang masih bernyawa dan melihat dan bersuara serta bergerak dengan kehendaknya, dan di antara tanda-tandanya ialah pergerakan yang kuat, pancutan darah, suara rengekan kerongkong dan yang seumpamanya selepas disembelih. Manakala yang dimaksudkan dengan harakah mazbuh ialah keadaan binatang yang tiada lagi ada padanya penglihatan, pergerakan, suara dengan kehendaknya atau keadaan binatang yang apabila dibiarkan dengan keadaannya yang sedemikian itu, ia akan mati dengan serta merta.
3. Alat untuk menyembelih.
Disyaratkan alat untuk menyembelih itu sesuatu yang boleh memotong dengan ketajamannya selain kuku, gigi dan semua jenis tulang. Maka tidak halal binatang yang disembelih menggunakan tiga jenis alat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dari Rafi’ ibnu khadij Radhiallahu ‘anhu:
Maksudnya: “Apa-apa yang dapat mengalirkan darah serta disebut nama Allah padanya (waktu menyembelih), maka boleh kamu makan, kecuali gigi dan kuku, dan aku akan khabarkan kepada kamu sedemikian itu, (kerana) gigi adalah tulang dan kuku adalah pisau orang Habsyah.”
(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
4. Penyembelihan.
Disyaratkan penyembelihan itu:
(i) Memotong seluruh halqum (saluran nafas) dan seluruh mari` (saluran makanan dan minuman).
(ii) Niat untuk menyembelih ketika melakukan penyembelihan. Jika seseorang memegang pisau di tangannya dan terlepas pisau itu daripada tangannya, lalu terkena leher binatang dan terputus seluruh halqum dan mari`nya, tidaklah dikira sebagai penyembelihan, kerana tidak ada niat untuk melakukan penyembelihan, maka tidak halal memakan daging binatang tersebut.
(iii) Hendaklah binatang itu mati semata-mata disebabkan oleh penyembelihan (tidak dilakukan satu perbuatan lain yang boleh membawa maut kepada binatang itu ketika disembelih).
Apabila telah cukup segala rukun-rukun dan syarat-syarat penyembelihan yang tersebut, maka halal binatang itu kecuali sembelihan yang dimaksudkan kepada selain Allah atau disebutkan sewaktu menyembelihnya selain nama Allah, walaupun sembelihan itu mencukupi segala rukun-rukun dan syarat-syarat yang telah disebutkan.
Dasar perintah ini ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
•
“Sesungguhnya Allah mengharamkan ke atas kamu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan apa yang disembelih dengan menyebut selain nama Allah.”(Surah Al-Nahl: 115)
E. Berburu Binatang
Banyak sekali orang-orang Arab dan bangsa-bangsa lain yang hidupnya berburu. Oleh karena itu al-Quran dan hadis menganggap penting dalam persoalan ini; dan ahli-ahli fiqih pun kemudian membuatnya bab tersendiri, dengan menghuraikan mana yang halal dan mana yang haram, mana yang wajib dan mana yang sunnat.
Hal mana justru banyaknya binatang dan burung-burung yang dagingnya sangat baik sekali tetapi sukar didapat oleh manusia, karena tidak termasuk binatang peliharaan. Untuk itu Islam tidak memberikan persyaratan dalam menyembelih binatang-binatang tersebut seperti halnya persyaratan yang berlaku pada binatang-binatang peliharaan yang harus disembelih pada lehernya.
Islam menganggap cukup apa yang kiranya mudah, untuk memberikan keringanan dan keleluasaan kepada manusia. Dimana hal ini telah dibenarkan juga oleh fitrah dan kebutuhan manusia itu sendiri. Disini Islam hanya membuat beberapa peraturan dan persyaratan yang tunduk kepada aqidah dan tata-tertib Islam, serta membentuk setiap persoalan umat Islam dalam suatu karakter (shibghah) Islam.
Syarat-syarat itu ada yang bertalian dengan si pemburunya itu sendiri, ada yang bertalian dengan binatang yang diburu dan ada yang bertalian dengan alat yang dipakai untuk berburu.
Semua persyaratan ini hanya berlaku untuk binatang darat. Adapun binatang laut, adalah seperti yang dikemukakan di atas, yaitu secara keseluruhannya telah dihalalkan Allah tanpa suatu ikatan apapun.
Firman Allah:
• •
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (al-Maidah: 96)
• Syarat Yang Berlaku Untuk Pemburu
1. Syarat yang berlaku untuk pemburu binatang darat, sama halnya dengan syarat yang berlaku bagi orang yang akan menyembelih, yaitu harus orang Islam, ahli kitab atau orang yang dapat dikategorikan sebagai ahli kitab seperti Majusi dan Shabiin.
Termasuk tuntunan yang diajarkan Islam kepada orang-orang yang berburu, yaitu: mereka itu tidak bermain-main, sehingga melayanglah jiwa binatang tersebut tetapi tidak ada maksud untuk dimakan atau dimanfaatkan.
Di dalam salah satu hadisnya, Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Barangsiapa membunuh seekor burung pipit dengan maksud bermain-main, maka nanti di hari kiamat burung tersebut akan mengadu kepada Allah; ia berkata: 'Ya Tuhanku! Si Anu telah membunuh aku dengan bermain-main, tetapi tidak membunuh aku untuk diambil manfaat.'" (Riwayat Nasa'i dan Ibnu Hibban)
Dan di hadisnya yang lain pula, beliau bersabda:
"Tidak seorang pun yang membunuh burung pipit dan yang lebih kecil dari itu, tidak menurut haknya, melainkan akan ditanyakan Allah kelak di hari kiamat. Rasulullah s.a.w. kemudian ditanya: 'Apa hak burung itu, ya Rasulullah!' Nabi menjawab: 'Yaitu dia disembelih kemudian dimakan, tidak diputus kepalanya kemudian dibuang begitu saja.'" (Riwayat Nasa'i dan Hakim)
Selain daripada itu, bahwa diharuskan pula bagi seorang yang berburu itu, bukan sedang berihram. Sebab seorang muslim yang sedang berihram berarti dia berada dalam fase kedamaian dan keamanan yang menyeluruh yang berpengaruh sangat luas sekali terhadap alam sekelilingnya, termasuk binatang di permukaan bumi dan burung yang sedang terbang di angkasa, sehingga binatang-binatang itu sekalipun berada di hadapannya dan mungkin untuk ditangkap dengan tangan. Tetapi hal ini adalah justru merupakan ujian dan pendidikan guna membentuk seorang muslim yang berpribadi kuat dan tabah.
Dalam hal ini Allah telah berfirman yang artinya sebagai berikut:
"Hai orang-orang yang beriman! Sungguh Allah menguji kamu dengan sesuatu daripada binatang buruan yang dapat ditangkap oleh tangan-tangan kamu dan tombak-tombak kamu, supaya Allah dapat membuktikan siapakah orang yang takut kepadaNya dengan ikhlas. Maka barangsiapa melanggar sesudah itu, baginya adalah siksaan yang pedih." (al-Maidah: 94)
" Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan". (al-Maidah: 96)
• Syarat yang Berkenaan dengan Binatang yang Diburu
2. Adapun syarat yang berkenaan dengan binatang yang diburu, yaitu hendaknya binatang tersebut tidak memungkinkan ditangkap manusia untuk disembelih pada lehernya. Kalau ternyata memungkinkan binatang tersebut untuk disembelih di lehernya, maka haruslah disembelih dan tidak boleh pindah kepada cara lain, karena menyembelih adalah termasuk pokok.
Begitu juga, kalau ada orang melepaskan panahnya atau anjingnya kemudian menangkap seekor binatang dan ternyata binatang tersebut masih hidup, maka dia harus menjadikan halalnya binatang tersebut dengan disembelih di lehernya sebagaimana lazimnya. Tetapi kalau hidupnya itu tidak menentu, jika disembelih juga baik dan apabila tidak disembelih juga tidak berdosa. Sabda Nabi
"Kalau kamu melepas anjingmu, maka sebutlah asma' Allah atasnya, maka jika anjing itu menangkap untuk kamu dan kamu dapati dia masih hidup, maka sembelihlah." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
• Alat yang Dipakai Untuk Berburu
3. Alat yang dipakai untuk berburu ada dua macam:
a. Alat yang dapat melukai, seperti panah, pedang dan tombak. Sebagaimana diisyaratkan al-Quran dalam firmanNya:
b.
"Hai orang-orang yang beriman! Sungguh Allah menguji kamu dengan sesuatu daripada binatang buruan yang dapat ditangkap oleh tangan-tangan kamu dan tombak-tombak kamu, supaya Allah dapat membuktikan siapakah orang yang takut kepadaNya dengan ikhlas. Maka barangsiapa melanggar sesudah itu, baginya adalah siksaan yang pedih." (al-Maidah: 94)
c. Binatang yang dapat melukai karena berkat didikan yang diberikan, seperti anjing, singa, burung elang, rajawali dan sebagainya. Firman Allah:
•
"Dihalalkan buat kamu yang baik-baik dan apa-apa yang kamu ajar dari binatang-binatang pemburu. yang terdidik, kamu ajar mereka dari apa-apa yang Allah ajarkan kepadamu." (al-Maidah: 4)
• Berburu Dengan Senjata Tajam
Berburu dengan alat diperlukan dua persyaratan:
1) Hendaknya alat tersebut dapat menembus kulit, dimana binatang tersebut mati karena ketajaman alat tersebut, bukan karena beratnya.
Adi bin Hatim pernah bertanya kepada Rasulullah s.a.w. bahwa ia melempar binatang dengan golok dan mengenainya. Maka jawab Nabi:
"Apabila Kamu melempar dengan golok, dan golok itu dapat menembus (melukai) kulit, maka makanlah. Tetapi kalau yang mengenai itu silangnya, maka janganlah kamu makan." (Riwayat Bukhari, Muslim)
Hadis ini menunjukkan, bahwa yang terpenting ialah lukanya, sekalipun pembunuhan itu dilakukan dengan alat yang berat. Dengan demikian, maka halallah binatang yang diburu dengan peluru dan senjata api dan sebagainya. Karena alat-alat tersebut lebih dapat menembus daripada panah, tombak dan pedang.
Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang berbunyi:
"Jangan kamu makan binatang yang mati karena senapan, kecuali apa-apa yang kamu sembelih."
Dan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari perkataan Umar dalam bab Binatang yang mati karena senapan, bahwa senapan yang dimaksud di sini, ialah senapan yang pelurunya itu terbuat dari tanah liat, kalau sudah kering kemudian dipakai untuk berburu. Senapan seperti ini bukan senapan yang sebenarnya (menurut pengertian sekarang. Penyusun).
Termasuk senapan jenis ini, ialah berburu dengan menggunakan batu bulat (sebangsa kerikil). Hal ini dengan tegas telah dilarang oleh Nabi dengan sabdanya:
"Bahwa (kerikil) itu tidak dapat untuk memburu binatang dan tidak dapat melukai musuh, tetapi dia dapat menanggalkan gigi dan mencabut mata." (Riwayat Bukhari dan Muslim).
2) Harus disebut asma' Allah ketika melemparkan alat tersebut atau ketika memukulkannya, sebagaimaria apa yang diajarkan Rasulullah s.a.w. kepada Adi bin Hatim. Sedang hadis-hadisnya adalah merupakan asas daripada bab ini.
• Berburu dengan Menggunakan Anjing dan Sebagainya
Kalau berburu itu dengan menggunakan anjing, atau burung elang, misalnya, maka yang diharuskan dalam masalah ini ialah sebagai berikut:
1. Binatang tersebut harus dididik.
2. Binatang tersebut harus memburu untuk kepentingan tuannya. Atau dengan ungkapan yang dipakai al-Quran, yaitu: Hendaknya binatang tersebut menangkap untuk kepentingan tuannya, bukan untuk kepentingan dirinya sendiri.
3. Disebutnya asma' Allah ketika melepas.
Dasar persyaratan ini ialah sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Quran:
"Mereka bertanya kepadamu (Muhammad!). Apakah yang dihalalkan buat mereka? Katakanlah: Telah dihalalkan kepadamu yang baik-baik dan apa-apa yang kamu ajar dari binatang-binatang penangkap yang terdidik, yang kamu ajar mereka dari apa-apa yang Allah telah mengajarkan kepadamu, maka makanlah dari apa-apa yang mereka tangkap untuk kamu dan sebutlah asma'Allah atasnya" (al-Maidah: 4)
a) Definisi mengajar, sebagaimana yang dikenal, yaitu kemampuan si tuan untuk memberi komando dan mengarahkan, dimana kalau anjing itu diundang akan datang, kalau dilepas untuk berburu dia akan bertahan dan kalau diusir akan pergi --walaupun definisi ini ada sedikit perbedaan antara ahli-ahli fiqih dalam beberapa hal-- tetapi yang terpenting, yaitu pendidikannya itu dapat dibuktikan menurut kebiasaan yang berlaku.
b) Definisi menangkap untuk tuannya, yaitu bahwa binatang tersebut tidak makan binatang yang ditangkap itu.
Sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w.:
"Kalau kamu melepaskan anjing, kemudian dia makan binatang buruan itu, maka jangan kamu makan dia, sebab berarti dia itu menangkap untuk dirinya sendiri. Tetapi jika kamu lepas dia kemudian dapat membunuh dan tidak makan, maka makanlah karena dia itu menangkap untuk tuannya." (Riwayat Ahmad, dan yang sama dengan hadis ini diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari dan Muslim)
Diantara ahli-ahli fiqih ada yang membedakan antara binatang buas sebangsa anjing dan burung sebangsa rajawali. Kalau burung itu makan sedikit dari binatang yang ditangkapnya, maka binatang tersebut boleh dimakan, tetapi apa yang dimakan oleh anjing tidak boleh dimakan.
Hikmah kedua persyaratan ini, yaitu: mendidik anjing dan menangkap untuk tuannya, adalah menunjukkan ketinggian martabat manusia dan kebersihan manusia sehingga tidak mau makan kelebihan atau sisa anjing; dan keberanian anjing itu sendiri dapat memungkinkan untuk mempermainkan jiwa-jiwa yang lemah. Tetapi kalau anjing itu terdidik dan dia menangkap untuk tuannya, maka waktu itu dia berkedudukan sebagai alat yang dipakai oleh pemburu yang tak ubahnya dengan tombak.
. 3). Sedang menyebut asma' Allah ketika melepas anjing, yaitu seperti menyebut asma' Allah ketika melepaskan panah, tombak atau memukulkan pedang. Dalam hal ini ayat al-Quran telah memerintah dengan tegas "dan sebutlah asma' Allah atasnya" (al-Maidah: 4). Begitu juga beberapa hadis yang sahih, yang di antaranya ialah hadisnya Adi bin Hatim.
Di antara dalil yang menunjukkan persyaratan ini, yaitu kalau ada seekor anjing berburu bersama anjing lainnya, kemudian si tuan itu memakai kedua anjing tersebut, maka binatang yang ditangkap oleh kedua anjing tersebut tidak halal.
Dalam hal.ini Adi pernah bertanya kepada Nabi sebagai berikut:
"Aku melepaskan anjingku, tetapi kemudian kudapati anjingku itu bersama anjing lain, aku sendiri tidak tahu anjing manakah yang menangkapnya? Maka jawab Nabi. Jangan kamu makan, sebab kamu menyebut asma' Allah itu pada anjingmu, sedang anjing yang lain tidak." (Riwayat Ahmad)
Kemudian kalau lupa tidak menyebut asma' Allah baik ketika memanah ataupun ketika melepas anjing, maka dalam hal ini Allah tidak mengambil suatu tindakan hukum kepada orang yang lupa dan keliru. Oleh karena itu susullah penyebutan asma' Allah itu ketika makan, sebagaimana telah terdahulu pembicaraannya dalam bab menyembelih.
Tentang hikmah menyebut asma' Allah telah kami jelaskan dalam bab penyembelihan, maka apa yang dikatakan di sana, begitulah yang dikatakan di bab ini juga.
0 Comment