Oleh: Zilfaroni
A. Pendahuluan
Kelahiran filsafat sebagai suatu disiplin ilmu dalam khazanan intelektual Islam berawal dari gerakan penerjemahan karya-karya filsafat dan sains Yunani ke dalam bahasa Arab. Kaum intelektual Islam yang mempelajari dan mengembangkan kebebasan berpikir dari Yunani tersebut dinamakan filosof Islam. Diantara mereka ialah Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibnu Sina dan lain-lainnya.
Para filosof muslim sangat terpengaruh oleh filsafat Yunani, sehingga terkesan mereka hanya menciplak dan mengalih bahasakan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Pengaruh spekulatif Yunani, diantaranmya, menampakkan diri secara jelas pada penerimaan metode berpikir yang sistematis dan rasional, yaitu al-manthiq (logika formal) Aristoteles, seorang filosof Yunani yang paling terkenal, yang dijuluki al-Mu’allim al-Awwal ; dan pemikiran Neoplatonisme (Muhammad Hatta,1969:26). Unsur-unsur doktrin Neoplatonisme yang menyelusup ke dalam alam pemikiran Islam ini berkisar pada penegasan akan transendensi Asal Pertama (al-Ashl al-Awwal) atau Tuhan, emanasi segala yang ada daripada-Nya dan peranan Akal sebagai perantara penciptaan oleh Allah (Nurcholish Madjid, 1994: 24-25). Pemikiran doktrin Neoplatonisme ini mempengaruhi pandangan kosmologi para filosof muslim yang banyak dikuasai oleh emanisionisme (Nazhariat al-Faidl).
Filsafat yang dikembangkan oleh al-Farabi dan Ibnu Sina ini menghasilkan konsep kosmologi yang berbeda dari konep yang ada pada waktu sebab itu faham ini banyak mendapat kritikan keras dari para intelektual Islam, seperti al-Ghazali dan Ibnu Taimiyyah.
Al-Ghazali (1058-1111 M), seseorang pemikir dan pembela agama Islam sehingga dijuluki Hujat al-Islâm, yang telah melontarkan tikaman mautnya terhadap filsafat al-Farabi dan Ibnu Sina. Kritikan ini ia muat dalam bukunya Tahâfut al-Falâsifah, yang ia nilai telah menyimpang dari akidah Islam. Oleh karena itu ia tidak ragu-ragu mengkafirkan keduanya.
Kemudian pada abad ke-14 Ibnu Taimiyyah atau nama lengkapnya Syaikh al-Islam Taqiyy al-Din Ahmad Ibn Taimiyyah. Ia lahir di Harran pada 10 Rabi’ul awal 661 H/ 22 Januari 1263 M, yaitu sekitar lima tahun setelah Bagdad jatuh dan diporakporandakan oleh pasukan Mongol, ikut melontarkan serangan kepada filsdafat, kendatipun pukulannya tidak sehebat dan setelak yang dilakukan oleh al-Ghazali sebelumnya, namun sempat membuat doktrin itu sempoyongan (Nurcholish Madjid, 1994: 44). Kritiknya tidak hanya ia tunjukkan kepada para filosof, tetapi siapa saja yang menentang ajaran Islam murni. Namun demikian, filosoflah yang banyak dikecamnya, karena ia (filosof) yang banyak menggunakan logika formal (syllogism).
Memang, ajang polemik di Dunia Pemikiran Islam, sudah tidak merupakan hal baru lagi, ia sudah ada sejak zaman klasik dan tetap akan berkembang pada zaman modern sekarang. Betapa tidak, manusia dianjurkan untuk merenung dan berpikir tentang jagad raya ini. Konklusi pemikiran seseorang tentang sesuatu, tidak mungkin sampai pada satu titik kesepakatan, pasti ada sebahagian yang membantah. Demikian juga halnya terhadap pemikiran filosof, terutama emanasinya, tidak lewat dari serangan Ibnu Taimiyyah. Hal inilah yang akan penulis paparkan dalam makalah ini.
B. Teori Emanasi Para Filosof Muslim
Hampir semua filosof muslim, kecuali al-Kindi, dalam penciptaan alam semesta menganut teori emanasi. Dalam perkembangan intelektual Islam teori emanasi ini mencapai taraf kemapanan pada tangan al-Farabi dan Ibnu Sina. Mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak menciptakan alam ini dari tiada, akan tetapi alam berasal dari materi asal yang telah ada, dan berproses secara evolusi. Materi asal itu mereka namakan al-hayūla yang merupakan emanasi (pancaran) dari Yang Maha Esa.
Tuhan sebagai akal berpikir tentang diri-Nya dan dari pemikiran itu maka terciptalah secara pancaran Akal Pertama. Akal Pertama berpikir tentang Tuhan memancarlah Akal Kedua dan berpikir tentang dirinya sendiri memancarlah Langit Pertama (al-Sama’ al-Ūla). Akal kedua berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Ketiga dan berpikir tentang dirinya sendiri menghasilkan Bintang-bintang (al-Kawakib al-Sabitat). Akal Ketiga berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Keempat dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Saturnus (al-Zuhal). Akal Keempat berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Kelima dan berpikir tentang dirinya sendiri menghasilkan Jupiter (al-Musytary). Akal Kelima berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Keenam dan berpikir tentang dirinya sendiri menghasilkan Mars (al-Marikh). Akal Keenam berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Ketujuh dan berpikir tentang dirinya sendiri menghasilkan Mentari (al-Syams). Akal Ketujuh berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Kedelapan dan berpikir tentang dirinya sendiri menghasilkan Venus (al-Zahrah). Akal Kedelapan berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Kesembilan dan berpikir tentang dirinya sendiri menghasilkan Mercury (al-‘Uthārid). Akal Kesembilan berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Kesepuluh dan berpikir terhenti proses emanasi, karena daya akal sudah lemah untuk memancarkan akal sejenisnya dan hanya menghasilkan bumi, roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur pokok: air, udara, api, dan tanah (Al-Farabi, Ara’ al-Madinat al-Fadhilat: 22). Berbeda dengan Ibnu Sina, menurutnya Tuhan Maha Sempurna hanya berpikir tentang Zat-Nya terciptalah Akal Pertama secara pancaran. Akal Pertama memikirkan Tuhan menghasilkan Akal Kedua, berpikir tentang dirinya (wājib al-wujūd lighairihi) sebagai pancaran dari Tuhan menghasilkan Jiwa Pertama dan berpikir tentang dirinya (mumkin al-wujūd) menghasilkan Langit Pertama (al-Samā’ al-Ulā). Akal Kedua berpikir tentang Tuhan melahirkan Akal Ketiga, berpikir tentang dirinya (wājib al-wujūd lighairihi) melahirkan Jiwa Kedua dan berpikir tentang dirinya (mumkin al-wujūd) menghasilkan Bintang-bintang (al-Kawākib al-Sābitat). Akal Ketiga (berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Keempat, berpikir tentang dirinya (wājib al-wujūd li ghairihi) menghasilkan Jiwa Ketiga dan berpikir tentang dirinya (mumkin al-wujūd) menghasilkan Saturnus (al-Zuhal). Akal Keempat berpikir tentang Tuhan menghasilkan Jiwa Kelima, berpikir tentang dirinya (wājib al-wujūd li ghairihi) menghasilkan Jiwa Keempat dan berpikir tentang dirinya (mumkin al-wujūd) menghasilkan Jupiter (al-Musytary). Akal Kelima berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Keenam dan berpikir tentang dirinya (wājib al-wujūd li ghairihi) menghasilkan Jiwa Kelima dan berpikir tentang dirinya (mumkin al-wujūd) menghasilkan Mars (al-Marikh). Akal Keenam berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Ketujuh, berpikir tentang dirinya (wājib al-wujūd li ghairihi) menghasilkan Jiwa Keenam dan berpikir tentang dirinya (mumkin al-wujūd) menghasilkan Mentari (al-Syams). Akal Ketujuh berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Kedelapan, berpikir tentang dirinya (wājib al-wujūd li ghairihi) menghasilkan Jiwa Ketujuh dan berpikir tentang dirinya (mumkin al-wujūd) menghasilkan Venus (al-Zahrah). Akal Kedelapan berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Kesembilan, berpikir tentang dirinya (wājib al-wujūd li ghairihi) menghasilkan Jiwa Kedelapan dan berpikir tentang dirinya (mumkin al-wujūd) menghasilkan Mercuri (al-‘Uthārid). Akal Kesembilan berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Kesepuluh, berpikir tentang dirinya (wājib al-wujūd li ghairihi) menghasilkan Jiwa Kesembilan dan berpikir tentang dirinya (mumkin al-wujūd) menghasilkan Rembulan (al-Qamr). Akal Kesepuluh sudah lemah dayanya dan tidak menghasilkan Akal sejenisnya, dan hanya menghasilkan Jiwa Kesepuluh, bumi dan materi pertama yang menjadi dasar keempat unsur pokok: Air, udara, api dan tanah (Ibnu Sina, 1938: 398).
Dari formulasi emanasi di atas, terlihat bahwa objek pemikiran (al-Ma’qūlat) akal-akal, bagi al-Farabi, ada dua: Tuhan (wājib al-wujūd) dan dirinya akal-akali sendiri (mumkin al-wujūd). Berlainan dengan al-Farabi, Ibnu Sina mengembangkan kepada tiga objek pemikiran: Tuhan (wājib al-wujūd li zātihi), dirinya akal-akal (wājib al-wujūd li ghairihi) sebagai pancaran dari Tuhan dan dan dirinya akal-akal (mumkin al-wujūd) ditinjau dari hakikat dirinya.
C. Kritik Ibnu Taimiyyah
Emanasi yang dirumuskan filosof-filosof muslim di atas, memang merupakan suatu capaian yang amat mengesankan. Daya kreasi mereka yang gemilang ini telah mampu menjembatani kosmologi ortodoks Islam di satu pihak dan kosmologi Yunani di pihak lain. Namun dalam rekaman sejarah pemikiran Islam, kosmologi Neoplatonisme yang diislamkan para filosof muslim di atas, tidak semua pihak dapat menerimanya. Kritik-kritik yang keras dan tajam dialamatkan kepada mereka, tidak hanya datang dari kubu ortodoks saja, semisal al-Ghazali dan Ibnu Taimiyyah, tapi juga dari kubu filosof sendiri, seperti Ibnu Rusyd. Dalam tulisan ini tela’ahan penulis khusus seputar kritikan Ibnu Taimiyyah saja. Pembatasan ini penulis lakukan sesuai dengan tujuan penulisan makalah ini.
Pandangan para filosof tentang akal-akal yang berjumlah sepuluh (al-‘uqūl al-‘asyarat) dalam emanasi seperti di atas, dikritik secara keras oleh Ibnu Taimiyyah. Menurut Ibnu Taimiyyah pendapat para filosof bahwa keluarnya akal-akal dari Tuhan secara pancaran, akan membawa kepada paham tawallud, dengan arti, akal-akal yang berjumlah sepuluh lahir akibat emanasi dari Zat Tuhan. Pandangan ini mengandung arti, bahwa Tuhan melahirkan akal-akal (Ibn Taimiyyah, Kitab al-Radd ‘ala al-Manthiqyyin: 219). Karenanya kata Ibn Taimiyyah, para filosof yang menganut paham ini termasuk kepada golongan musyrik, sebab paham ini bertentangan dengan al-Qur’an surat al-Ikhlash:
Sebagai seorang egalitarianis radikal, Ibn Taimiyyah sudah jelas tidak hanya menolak teori akal-akal di atas, tapi juga menolak otoritas maupun selain dari otoritas al-Qur’an dan hadits (Nurcholish Madjid, 1994: 41). Baginya nash agama adalah barometer yang menentukan jauh dekatnya suatu paham dari kebenaran. Berdasarkan hal ini, Ibn Taimiyyah, mengambil nash agama sebagai tolak ukur dalam menentukan kebenaran atau kesesatan suatu pendapat yang sedang dibicarakannya. Sehubungan dengan ini, ia tidak segan-segan menyatakan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani lebih rendah kadar kekafirannya dari pada para filosof (Nurcholish Madjid, 1994: 285).
Ibnu Taimiyyah melanjutkan kritik pedasnya terhadap para filosof yang menyatakan bahwa akal-akal sebagai Tuhan yang menciptakan bagi segala sesuatu selain Tuhan dan Akal Kesepuluh adalah pencipta (mubdi’) bagi segala sesuatu yang berada di bawah planet bulan. Pandangan ini bersumber dari konsep emanasi para filosof. Dalam konsep tersebut diungkapkan bahwa Tuhan hanya diciptakan Akal Pertama, sedangkan Akal Pertama dan seterusnya, versi Ibnu Sina, menciptakan planet-planet beserta jiwanya. Kongklusinya akal-akal adalah pencipta sebagai Tuhan (Rabb).
Pandangan para filosof seperti di atas, menurut Ibn Taimiyyah, lebih syirik dari syirik orang-orang Arab Jahiliyah dan lebih kafir dari orang Yahudi dan Nasrani yang memutarbalikkan ajaran Musa as. dan Isa as. Orang-orang Arab Jahiliyah dalam kemusyrikan dan kekafirannya, mereka masih meyakini bahwa para malaikat itu adalah makhluk Tuhan, arti kata diciptakan. Dan tidak ada seorangpun di antara orang-orang Yahudi, Nasrani dan Arab Jahiliyah yang menyatakan bahwa malaikat adalah rabb (Tuhan) pencipta bagi seluruh alam (Ibn Taimiyyah, Kitab al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin: 102).
Sebagai seorang penganjur untuk kembali mencontoh golongan Salaf, Ibn Taimiyyah sudah jelas menentang pandangan para filosof di atas. Baginya sumber kebenaran agama adalah al-Qur’an dan hadits sebagaimana yang diinterpretasikan oleh para Sahabat, Tabi’īn dan Tabi’I al-Tabi’īn. Ketiga generasi ini, ia nilai yang paling tahu tentang penjelasan dan pelaksanaan nash agama. Pandangannya seperti ini menyebabkan ia dikenal sebagai penganut Salafisme (Nurcholish Madjid, 1994: 44). Oleh sebab itulah pandangan para filosof seperti di atas tidak dapat dibenarkan, karena disatu pihak, pengetahuan keagamaan para filosof, bukan ia pandang orang yang paling tahu tentang keagamaan, tidak dapat dijadikan pegangan. Di pihak lain, pemikiran para filosof semacam itu nyata sekali bertentangan dengan ajaran al-Qur’an, yang secara tegas diungkapkan bahwa Allah adalah Pencipta (shani’) segala sesuatu. Ia menciptakan sesuatu dari tiada menjadi ada dan segala hasil ciptaan-Nya adalah baharu (muhdats) (Ibn Taimiyyah, Kitab al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin: 79). Oleh karena itulah umat Islam seluruhnya telah berijma’ bahwa Allah adalah pencipta dan selainnya adalah makhluk.
Dari sudut lain, Ibn Taimiyyah juga mengkritik dengan keras pandangan para filosof yang mengatakan bahwa akal-akal itu adalah kadim dan azali (Ibn Taimiyyah, Kitab al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin: 219). Pandangan ini juga berasal dari konsep emanasi para filosof bahwa akal-akal adalah hasil pancaran dari Tuhan sejak kidam. Logikanya akal-akal sebagai pancaran dari Yang Kadim (Tuhan), tentu akan kadim seperti kadimnya zat Tuhan sendiri. Jika demikian keadaannya, kata Ibn Taimiyyah, akan terjadi berbilangnya yang kadim (…………..................). Justru itulah keyakinan seperti ini, kata Ibn Taimiyyah, menjerumuskan para filosof kepada kemusyrikan dan kekafiran.
Kritik Ibn Taimiyyah di atas, hampir senada dengan kritik al-Ghazali sebelumnya. Menurut analisa al-Ghazali, jika alam melimpah dari Allah sebagai suatu keniscayaan, semisal melimpahnya sinar dari mentari, maka alam ini akan kadim serupa kadimnya dengan zat Tuhan. Karena alam merupakan kenyataan fenomenal dari Allah dan keduanya sama pada hakikatnya. Keyakinan para filosof seperti ini, menurut al-Ghazali, hampir sama dengan paham Panteisme (Ahmad Daudy, 1983: 123).
Sejalan dengan ini, Ibn Kaldun juga menyatakan bahwa akal-akal gagasan para filosof dalam emanasi telah meredusir Tuhan menjadi suatu kenyataan, yang meskipun dikatakan absolut dan wajib, namun juga bersifat bukan pribadi (impersonal). Konsep ini tidak saja berlawanan dengan ajaran agama, tapi juga membuat faham ketuhanan menjadi kehilangan fungsinya sebagai sumber moralitas, baik individual maupun sosial. Karena itu falsafah tidak saja palsu, bahkan berbahaya untuk manusia (Nurcholish Madjid, 1994: 45-46).
Sebagai pelopor positifisme Islam (Nurcholish Madjid, 1994: 40), Ibn Taimiyyah sudah barang tentu menolak dengan keras penafsiran rasional, khususnya penafsiran yang dilakukan dengan menggunakan ramuan asing. Baginya kebenaran final harus berpijak kepada kenyataan, yakni sumber-sumber ajaran keagamaan (al-Qur’an dan hadist). Karena itu pemikiran para filosof yang dinilai oleh Ibn Taimiyyah tanpa dasar dan bersifat semena-mena jelas batal.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa antara Ibn Taimiyyah disatu pihak dan para filosof di pihak lain telah terjadi perbedaan pandangan. Hal ini lumrah terjadi, karena masing-masing berangkat dari titik pijak yang berbeda. Para filosof bertolak dari nash agama (empirik keagamaan). Andaikan Ibn Taimiyyah menyadari tempat berpijak para filosof ada kemungkinan kritik pedasnya ini tidak akan terjadi, seperti dalam istilah kadim (Harun Nasution, 1973: 46). Bagi para filosof qadim berarti sesuatu yang dalam kejadian terus-menerus, tanpa permulaan bagi kejadiannya dan tanpa akhir. Dalam arti lain, bagi para filosof, qadim tidak berarti tanpa sebab, tetapi boleh juga berarti sesuatu yang berwujud dengan sebab. Dengan demikian sekalipun alam ini qadim, maka qadimnya tidak sama dengan keqadiman Allah. Sedangkan bagi Ibn Taimiyyah (ortodoks Islam) qadim, berarti mā lā ‘Illata lah (sesuatu yang tidak ber’illat) dan satu-satunya yang tidak ber’illat hanyalah Allah. Justru itulah, bagi Ibn Taimiyyah, yang qadim hanya Allah dan selain-Nya adalah hadits. Jadi lā ilaha illa Allah, berarti lā qadim illa Allah.
Namun demikian, agaknya ketidaksenangan Ibn Taimiyyah terhadap pandangan para filosof seperti di atas, dikarenakan para filosof dalam mendukung pendapatnya tentang kadimnya alam mengambil arti majazi (takwil) dan menginterpretasikan, semisal, penciptaan alam dengan kosmologi Neoplatonisme yang tidak punya dasar. Padahal sebagaimana dimaklumi, Ibn Taimiyyah adalah pengkritik takwil, dan menolak semua interpretasi yang berbau asing.
Dari sisi lain Ibn Taimiyyah juga mengkritik klaim para filosof yang mengatakan bahwa yang pertama kali diciptakan Allah adalah akal. Sebagaimana filosof Yunani, juga filosof Islam mengatakan bahwa akal adalah subtansi yang berdiri sendiri (jauhar qā-im bi nafsihi) (Ibn Taimiyyah, Kitab al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin: 276). Untuk memperkuat pendapatnya, para filosof mengemukakan hadits nabi yang berbunyi (Ibn Taimiyyah, Kitab al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin: 276) :
Menurut Ibn Taimiyyah, hadits yang dijadikan hujjah para filosof di atas, telah disepakati maudhu’nya oleh ahli-ahli hadits, seperti Abū Hātim Ibn Hibbān, Abū Ja’far al-‘uqaily, Abū al-Hasan al-Dāraquthny, Abū al-Faraj Ibn al-Jauzy dan lain-lainnya (Ibn Taimiyyah, Kitab al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin: 275). Oleh sebab itu, kata Ibn Taimiyyah, hadits itu tidak dapat dijadikan hujjah. Andaikan dapat dijadikan hujjah, namun tujuannya bukanlah apa yang dimaksud oleh para filosof bahwa ciptaan Allah yang pertama adalah akal, tetapi ia adalah khitāb Allah kepada akal sewaktu ia diciptakan.
Sedangkan tentang klaim para filosof bahwa akal adalah jauhar yang berdiri sendiri (jauhar qā-im bi nafsih), Ibn Taimiyyah menyangkal dengan mengemukakan pendapatnya yang sesuai dengan prinsip agama. Akal bagi Ibn Taimiyyah, adalah ‘aradh min al-‘aradh, artinya suatu sifat dari sifat manusia. Jadi kata akal yang dimaksudkan Tuhan, menurut Ibn Taimiyyah adalah gharīzah. Inilah yang dimaksud ayat-ayat al-Qur’an secara eksplisit, seperti :
Lebih lanjut Ibn Taimiyyah menjelaskan bahwa kata akal adalah bahasa Arab, masdar dari :
Yang berarti instinct, bukan dalam pengertian nous (intellect), jauhar qā-im bi nafsih yang dikenal dalam filsafat Yunani. Karena kala tidak entitas, tetapi kegiatan, sebab adanya akal bersamaan dengan hadits nabi di atas, tidak dapat disamakan dengan akal dalam pengertian jauhar dalam filsafat Yunani (Ibn Taimiyyah, Kitab al-Radd ‘ala al-Manthiqiyin: 276).
Kritikan Ibn Taimiyyah di atas, erat hubungannya dengan pemahamannya sebagai seorang empirik keagamaan. Secara pasti ia tidak mungkin menerima pendapat para filosof di atas tanpa fakta tekstual (nash), sebab baginya ukuran kebenaran suatu pendapat hanyalah kitab suci (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi, bukan interpretasi rasional yang tidak berdasarkan data empiris (nash agama).
Kritik-kritik keras yang dilontarkan Ibn Taimiyyah di atas, dilatar belakangi oleh filsafatnya yang terkenal :
Pengetahuan yang diperoleh secara empiris (al-a’yan) lebih dapat dipercaya daripada pengetahuan melalui rasio (al-Azhan) seperti yang dilakukan para filosof, yang oleh penulis madern ia sering dilukiskan sebagai pelopor “Positivisme”.
Berdasarkan filsafatnya di atas, penerapannya dalam keagamaan telah mendorong Ibn Taimiyyah bersikap litteralis, yang menempatkan dalil naql sebagai al-‘ayan yang harus dipahami menurut apa adanya. Realisasi dari sikapnya ini membuat Ibn Taimiyyah menolak semua otoritas maupun yang tidak berdasarkan kepada otoritas nash keagamaan.
D. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kritik-kritik Ibn Taimiyyah terhadap filkosof Islam pada umumnya dan khususnya yang berkenaan dengan emanasi, dapat diartikan perbedaan antara dua kubu dalam sikap keduanya terhadap nash agama. Ibn Taimiyyah di satu pihak bersikap keduanya terhadap nash agama. Ibn Taimiyyah di satu pihak bersikap empiristik, dalam bidang keagamaan litteralis. Sedangkan para filosof di pihak lain bersikap rasionalistik. Namun kedua kubu tersebut adalah orang-orang mukmin, yang percaya kepada dasar-dasar pokok aqidah Islam. Polemik mereka adalah polemik antara orang-orang mukmin (khushunat al-mu’minin).
DAFTAR PUSTAKA
Daudy, Ahmad, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syekh Nuruddin ar-Raniry, Jakarta : Rajawali, 1983
Al-Farabi, Arâ' al-Madînat al-Fadhîlat, Mesir : Maktabah Muhammad Ali Shobih wa Auladih, t.t
Hatta, Muhammad, Alam Pikiran Yunani III, Jakarta : Tinta Mas, 1969
Ibn Sina, al-Najâh, Kairo : Mushthafa al-Bâby al-Halabi, 1938
Ibn Taimiyah, Kitab al-Radd 'ala al-Manthiqiyyin, Sulaiman al-Nadwi (ed), Bairut : Dar al-Ma'rifah, t.t
____________, Walli Allah menurut Al-Qur'an, Surabaya : Al-Ikhlas, t.t
Kattsoff, Louis O, Pengantar Filsafat, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1995
Madjid, Nurcholish, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1994
Nasution, Harun, Falsafat dan Misticisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1973
#SEKTE DAN AJARAN POKOK
A. Pendahuluan
Kelahiran filsafat sebagai suatu disiplin ilmu dalam khazanan intelektual Islam berawal dari gerakan penerjemahan karya-karya filsafat dan sains Yunani ke dalam bahasa Arab. Kaum intelektual Islam yang mempelajari dan mengembangkan kebebasan berpikir dari Yunani tersebut dinamakan filosof Islam. Diantara mereka ialah Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibnu Sina dan lain-lainnya.
Para filosof muslim sangat terpengaruh oleh filsafat Yunani, sehingga terkesan mereka hanya menciplak dan mengalih bahasakan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Pengaruh spekulatif Yunani, diantaranmya, menampakkan diri secara jelas pada penerimaan metode berpikir yang sistematis dan rasional, yaitu al-manthiq (logika formal) Aristoteles, seorang filosof Yunani yang paling terkenal, yang dijuluki al-Mu’allim al-Awwal ; dan pemikiran Neoplatonisme (Muhammad Hatta,1969:26). Unsur-unsur doktrin Neoplatonisme yang menyelusup ke dalam alam pemikiran Islam ini berkisar pada penegasan akan transendensi Asal Pertama (al-Ashl al-Awwal) atau Tuhan, emanasi segala yang ada daripada-Nya dan peranan Akal sebagai perantara penciptaan oleh Allah (Nurcholish Madjid, 1994: 24-25). Pemikiran doktrin Neoplatonisme ini mempengaruhi pandangan kosmologi para filosof muslim yang banyak dikuasai oleh emanisionisme (Nazhariat al-Faidl).
Filsafat yang dikembangkan oleh al-Farabi dan Ibnu Sina ini menghasilkan konsep kosmologi yang berbeda dari konep yang ada pada waktu sebab itu faham ini banyak mendapat kritikan keras dari para intelektual Islam, seperti al-Ghazali dan Ibnu Taimiyyah.
Al-Ghazali (1058-1111 M), seseorang pemikir dan pembela agama Islam sehingga dijuluki Hujat al-Islâm, yang telah melontarkan tikaman mautnya terhadap filsafat al-Farabi dan Ibnu Sina. Kritikan ini ia muat dalam bukunya Tahâfut al-Falâsifah, yang ia nilai telah menyimpang dari akidah Islam. Oleh karena itu ia tidak ragu-ragu mengkafirkan keduanya.
Kemudian pada abad ke-14 Ibnu Taimiyyah atau nama lengkapnya Syaikh al-Islam Taqiyy al-Din Ahmad Ibn Taimiyyah. Ia lahir di Harran pada 10 Rabi’ul awal 661 H/ 22 Januari 1263 M, yaitu sekitar lima tahun setelah Bagdad jatuh dan diporakporandakan oleh pasukan Mongol, ikut melontarkan serangan kepada filsdafat, kendatipun pukulannya tidak sehebat dan setelak yang dilakukan oleh al-Ghazali sebelumnya, namun sempat membuat doktrin itu sempoyongan (Nurcholish Madjid, 1994: 44). Kritiknya tidak hanya ia tunjukkan kepada para filosof, tetapi siapa saja yang menentang ajaran Islam murni. Namun demikian, filosoflah yang banyak dikecamnya, karena ia (filosof) yang banyak menggunakan logika formal (syllogism).
Memang, ajang polemik di Dunia Pemikiran Islam, sudah tidak merupakan hal baru lagi, ia sudah ada sejak zaman klasik dan tetap akan berkembang pada zaman modern sekarang. Betapa tidak, manusia dianjurkan untuk merenung dan berpikir tentang jagad raya ini. Konklusi pemikiran seseorang tentang sesuatu, tidak mungkin sampai pada satu titik kesepakatan, pasti ada sebahagian yang membantah. Demikian juga halnya terhadap pemikiran filosof, terutama emanasinya, tidak lewat dari serangan Ibnu Taimiyyah. Hal inilah yang akan penulis paparkan dalam makalah ini.
B. Teori Emanasi Para Filosof Muslim
Hampir semua filosof muslim, kecuali al-Kindi, dalam penciptaan alam semesta menganut teori emanasi. Dalam perkembangan intelektual Islam teori emanasi ini mencapai taraf kemapanan pada tangan al-Farabi dan Ibnu Sina. Mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak menciptakan alam ini dari tiada, akan tetapi alam berasal dari materi asal yang telah ada, dan berproses secara evolusi. Materi asal itu mereka namakan al-hayūla yang merupakan emanasi (pancaran) dari Yang Maha Esa.
Tuhan sebagai akal berpikir tentang diri-Nya dan dari pemikiran itu maka terciptalah secara pancaran Akal Pertama. Akal Pertama berpikir tentang Tuhan memancarlah Akal Kedua dan berpikir tentang dirinya sendiri memancarlah Langit Pertama (al-Sama’ al-Ūla). Akal kedua berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Ketiga dan berpikir tentang dirinya sendiri menghasilkan Bintang-bintang (al-Kawakib al-Sabitat). Akal Ketiga berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Keempat dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Saturnus (al-Zuhal). Akal Keempat berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Kelima dan berpikir tentang dirinya sendiri menghasilkan Jupiter (al-Musytary). Akal Kelima berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Keenam dan berpikir tentang dirinya sendiri menghasilkan Mars (al-Marikh). Akal Keenam berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Ketujuh dan berpikir tentang dirinya sendiri menghasilkan Mentari (al-Syams). Akal Ketujuh berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Kedelapan dan berpikir tentang dirinya sendiri menghasilkan Venus (al-Zahrah). Akal Kedelapan berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Kesembilan dan berpikir tentang dirinya sendiri menghasilkan Mercury (al-‘Uthārid). Akal Kesembilan berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Kesepuluh dan berpikir terhenti proses emanasi, karena daya akal sudah lemah untuk memancarkan akal sejenisnya dan hanya menghasilkan bumi, roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur pokok: air, udara, api, dan tanah (Al-Farabi, Ara’ al-Madinat al-Fadhilat: 22). Berbeda dengan Ibnu Sina, menurutnya Tuhan Maha Sempurna hanya berpikir tentang Zat-Nya terciptalah Akal Pertama secara pancaran. Akal Pertama memikirkan Tuhan menghasilkan Akal Kedua, berpikir tentang dirinya (wājib al-wujūd lighairihi) sebagai pancaran dari Tuhan menghasilkan Jiwa Pertama dan berpikir tentang dirinya (mumkin al-wujūd) menghasilkan Langit Pertama (al-Samā’ al-Ulā). Akal Kedua berpikir tentang Tuhan melahirkan Akal Ketiga, berpikir tentang dirinya (wājib al-wujūd lighairihi) melahirkan Jiwa Kedua dan berpikir tentang dirinya (mumkin al-wujūd) menghasilkan Bintang-bintang (al-Kawākib al-Sābitat). Akal Ketiga (berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Keempat, berpikir tentang dirinya (wājib al-wujūd li ghairihi) menghasilkan Jiwa Ketiga dan berpikir tentang dirinya (mumkin al-wujūd) menghasilkan Saturnus (al-Zuhal). Akal Keempat berpikir tentang Tuhan menghasilkan Jiwa Kelima, berpikir tentang dirinya (wājib al-wujūd li ghairihi) menghasilkan Jiwa Keempat dan berpikir tentang dirinya (mumkin al-wujūd) menghasilkan Jupiter (al-Musytary). Akal Kelima berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Keenam dan berpikir tentang dirinya (wājib al-wujūd li ghairihi) menghasilkan Jiwa Kelima dan berpikir tentang dirinya (mumkin al-wujūd) menghasilkan Mars (al-Marikh). Akal Keenam berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Ketujuh, berpikir tentang dirinya (wājib al-wujūd li ghairihi) menghasilkan Jiwa Keenam dan berpikir tentang dirinya (mumkin al-wujūd) menghasilkan Mentari (al-Syams). Akal Ketujuh berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Kedelapan, berpikir tentang dirinya (wājib al-wujūd li ghairihi) menghasilkan Jiwa Ketujuh dan berpikir tentang dirinya (mumkin al-wujūd) menghasilkan Venus (al-Zahrah). Akal Kedelapan berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Kesembilan, berpikir tentang dirinya (wājib al-wujūd li ghairihi) menghasilkan Jiwa Kedelapan dan berpikir tentang dirinya (mumkin al-wujūd) menghasilkan Mercuri (al-‘Uthārid). Akal Kesembilan berpikir tentang Tuhan menghasilkan Akal Kesepuluh, berpikir tentang dirinya (wājib al-wujūd li ghairihi) menghasilkan Jiwa Kesembilan dan berpikir tentang dirinya (mumkin al-wujūd) menghasilkan Rembulan (al-Qamr). Akal Kesepuluh sudah lemah dayanya dan tidak menghasilkan Akal sejenisnya, dan hanya menghasilkan Jiwa Kesepuluh, bumi dan materi pertama yang menjadi dasar keempat unsur pokok: Air, udara, api dan tanah (Ibnu Sina, 1938: 398).
Dari formulasi emanasi di atas, terlihat bahwa objek pemikiran (al-Ma’qūlat) akal-akal, bagi al-Farabi, ada dua: Tuhan (wājib al-wujūd) dan dirinya akal-akali sendiri (mumkin al-wujūd). Berlainan dengan al-Farabi, Ibnu Sina mengembangkan kepada tiga objek pemikiran: Tuhan (wājib al-wujūd li zātihi), dirinya akal-akal (wājib al-wujūd li ghairihi) sebagai pancaran dari Tuhan dan dan dirinya akal-akal (mumkin al-wujūd) ditinjau dari hakikat dirinya.
C. Kritik Ibnu Taimiyyah
Emanasi yang dirumuskan filosof-filosof muslim di atas, memang merupakan suatu capaian yang amat mengesankan. Daya kreasi mereka yang gemilang ini telah mampu menjembatani kosmologi ortodoks Islam di satu pihak dan kosmologi Yunani di pihak lain. Namun dalam rekaman sejarah pemikiran Islam, kosmologi Neoplatonisme yang diislamkan para filosof muslim di atas, tidak semua pihak dapat menerimanya. Kritik-kritik yang keras dan tajam dialamatkan kepada mereka, tidak hanya datang dari kubu ortodoks saja, semisal al-Ghazali dan Ibnu Taimiyyah, tapi juga dari kubu filosof sendiri, seperti Ibnu Rusyd. Dalam tulisan ini tela’ahan penulis khusus seputar kritikan Ibnu Taimiyyah saja. Pembatasan ini penulis lakukan sesuai dengan tujuan penulisan makalah ini.
Pandangan para filosof tentang akal-akal yang berjumlah sepuluh (al-‘uqūl al-‘asyarat) dalam emanasi seperti di atas, dikritik secara keras oleh Ibnu Taimiyyah. Menurut Ibnu Taimiyyah pendapat para filosof bahwa keluarnya akal-akal dari Tuhan secara pancaran, akan membawa kepada paham tawallud, dengan arti, akal-akal yang berjumlah sepuluh lahir akibat emanasi dari Zat Tuhan. Pandangan ini mengandung arti, bahwa Tuhan melahirkan akal-akal (Ibn Taimiyyah, Kitab al-Radd ‘ala al-Manthiqyyin: 219). Karenanya kata Ibn Taimiyyah, para filosof yang menganut paham ini termasuk kepada golongan musyrik, sebab paham ini bertentangan dengan al-Qur’an surat al-Ikhlash:
Sebagai seorang egalitarianis radikal, Ibn Taimiyyah sudah jelas tidak hanya menolak teori akal-akal di atas, tapi juga menolak otoritas maupun selain dari otoritas al-Qur’an dan hadits (Nurcholish Madjid, 1994: 41). Baginya nash agama adalah barometer yang menentukan jauh dekatnya suatu paham dari kebenaran. Berdasarkan hal ini, Ibn Taimiyyah, mengambil nash agama sebagai tolak ukur dalam menentukan kebenaran atau kesesatan suatu pendapat yang sedang dibicarakannya. Sehubungan dengan ini, ia tidak segan-segan menyatakan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani lebih rendah kadar kekafirannya dari pada para filosof (Nurcholish Madjid, 1994: 285).
Ibnu Taimiyyah melanjutkan kritik pedasnya terhadap para filosof yang menyatakan bahwa akal-akal sebagai Tuhan yang menciptakan bagi segala sesuatu selain Tuhan dan Akal Kesepuluh adalah pencipta (mubdi’) bagi segala sesuatu yang berada di bawah planet bulan. Pandangan ini bersumber dari konsep emanasi para filosof. Dalam konsep tersebut diungkapkan bahwa Tuhan hanya diciptakan Akal Pertama, sedangkan Akal Pertama dan seterusnya, versi Ibnu Sina, menciptakan planet-planet beserta jiwanya. Kongklusinya akal-akal adalah pencipta sebagai Tuhan (Rabb).
Pandangan para filosof seperti di atas, menurut Ibn Taimiyyah, lebih syirik dari syirik orang-orang Arab Jahiliyah dan lebih kafir dari orang Yahudi dan Nasrani yang memutarbalikkan ajaran Musa as. dan Isa as. Orang-orang Arab Jahiliyah dalam kemusyrikan dan kekafirannya, mereka masih meyakini bahwa para malaikat itu adalah makhluk Tuhan, arti kata diciptakan. Dan tidak ada seorangpun di antara orang-orang Yahudi, Nasrani dan Arab Jahiliyah yang menyatakan bahwa malaikat adalah rabb (Tuhan) pencipta bagi seluruh alam (Ibn Taimiyyah, Kitab al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin: 102).
Sebagai seorang penganjur untuk kembali mencontoh golongan Salaf, Ibn Taimiyyah sudah jelas menentang pandangan para filosof di atas. Baginya sumber kebenaran agama adalah al-Qur’an dan hadits sebagaimana yang diinterpretasikan oleh para Sahabat, Tabi’īn dan Tabi’I al-Tabi’īn. Ketiga generasi ini, ia nilai yang paling tahu tentang penjelasan dan pelaksanaan nash agama. Pandangannya seperti ini menyebabkan ia dikenal sebagai penganut Salafisme (Nurcholish Madjid, 1994: 44). Oleh sebab itulah pandangan para filosof seperti di atas tidak dapat dibenarkan, karena disatu pihak, pengetahuan keagamaan para filosof, bukan ia pandang orang yang paling tahu tentang keagamaan, tidak dapat dijadikan pegangan. Di pihak lain, pemikiran para filosof semacam itu nyata sekali bertentangan dengan ajaran al-Qur’an, yang secara tegas diungkapkan bahwa Allah adalah Pencipta (shani’) segala sesuatu. Ia menciptakan sesuatu dari tiada menjadi ada dan segala hasil ciptaan-Nya adalah baharu (muhdats) (Ibn Taimiyyah, Kitab al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin: 79). Oleh karena itulah umat Islam seluruhnya telah berijma’ bahwa Allah adalah pencipta dan selainnya adalah makhluk.
Dari sudut lain, Ibn Taimiyyah juga mengkritik dengan keras pandangan para filosof yang mengatakan bahwa akal-akal itu adalah kadim dan azali (Ibn Taimiyyah, Kitab al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin: 219). Pandangan ini juga berasal dari konsep emanasi para filosof bahwa akal-akal adalah hasil pancaran dari Tuhan sejak kidam. Logikanya akal-akal sebagai pancaran dari Yang Kadim (Tuhan), tentu akan kadim seperti kadimnya zat Tuhan sendiri. Jika demikian keadaannya, kata Ibn Taimiyyah, akan terjadi berbilangnya yang kadim (…………..................). Justru itulah keyakinan seperti ini, kata Ibn Taimiyyah, menjerumuskan para filosof kepada kemusyrikan dan kekafiran.
Kritik Ibn Taimiyyah di atas, hampir senada dengan kritik al-Ghazali sebelumnya. Menurut analisa al-Ghazali, jika alam melimpah dari Allah sebagai suatu keniscayaan, semisal melimpahnya sinar dari mentari, maka alam ini akan kadim serupa kadimnya dengan zat Tuhan. Karena alam merupakan kenyataan fenomenal dari Allah dan keduanya sama pada hakikatnya. Keyakinan para filosof seperti ini, menurut al-Ghazali, hampir sama dengan paham Panteisme (Ahmad Daudy, 1983: 123).
Sejalan dengan ini, Ibn Kaldun juga menyatakan bahwa akal-akal gagasan para filosof dalam emanasi telah meredusir Tuhan menjadi suatu kenyataan, yang meskipun dikatakan absolut dan wajib, namun juga bersifat bukan pribadi (impersonal). Konsep ini tidak saja berlawanan dengan ajaran agama, tapi juga membuat faham ketuhanan menjadi kehilangan fungsinya sebagai sumber moralitas, baik individual maupun sosial. Karena itu falsafah tidak saja palsu, bahkan berbahaya untuk manusia (Nurcholish Madjid, 1994: 45-46).
Sebagai pelopor positifisme Islam (Nurcholish Madjid, 1994: 40), Ibn Taimiyyah sudah barang tentu menolak dengan keras penafsiran rasional, khususnya penafsiran yang dilakukan dengan menggunakan ramuan asing. Baginya kebenaran final harus berpijak kepada kenyataan, yakni sumber-sumber ajaran keagamaan (al-Qur’an dan hadist). Karena itu pemikiran para filosof yang dinilai oleh Ibn Taimiyyah tanpa dasar dan bersifat semena-mena jelas batal.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa antara Ibn Taimiyyah disatu pihak dan para filosof di pihak lain telah terjadi perbedaan pandangan. Hal ini lumrah terjadi, karena masing-masing berangkat dari titik pijak yang berbeda. Para filosof bertolak dari nash agama (empirik keagamaan). Andaikan Ibn Taimiyyah menyadari tempat berpijak para filosof ada kemungkinan kritik pedasnya ini tidak akan terjadi, seperti dalam istilah kadim (Harun Nasution, 1973: 46). Bagi para filosof qadim berarti sesuatu yang dalam kejadian terus-menerus, tanpa permulaan bagi kejadiannya dan tanpa akhir. Dalam arti lain, bagi para filosof, qadim tidak berarti tanpa sebab, tetapi boleh juga berarti sesuatu yang berwujud dengan sebab. Dengan demikian sekalipun alam ini qadim, maka qadimnya tidak sama dengan keqadiman Allah. Sedangkan bagi Ibn Taimiyyah (ortodoks Islam) qadim, berarti mā lā ‘Illata lah (sesuatu yang tidak ber’illat) dan satu-satunya yang tidak ber’illat hanyalah Allah. Justru itulah, bagi Ibn Taimiyyah, yang qadim hanya Allah dan selain-Nya adalah hadits. Jadi lā ilaha illa Allah, berarti lā qadim illa Allah.
Namun demikian, agaknya ketidaksenangan Ibn Taimiyyah terhadap pandangan para filosof seperti di atas, dikarenakan para filosof dalam mendukung pendapatnya tentang kadimnya alam mengambil arti majazi (takwil) dan menginterpretasikan, semisal, penciptaan alam dengan kosmologi Neoplatonisme yang tidak punya dasar. Padahal sebagaimana dimaklumi, Ibn Taimiyyah adalah pengkritik takwil, dan menolak semua interpretasi yang berbau asing.
Dari sisi lain Ibn Taimiyyah juga mengkritik klaim para filosof yang mengatakan bahwa yang pertama kali diciptakan Allah adalah akal. Sebagaimana filosof Yunani, juga filosof Islam mengatakan bahwa akal adalah subtansi yang berdiri sendiri (jauhar qā-im bi nafsihi) (Ibn Taimiyyah, Kitab al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin: 276). Untuk memperkuat pendapatnya, para filosof mengemukakan hadits nabi yang berbunyi (Ibn Taimiyyah, Kitab al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin: 276) :
Menurut Ibn Taimiyyah, hadits yang dijadikan hujjah para filosof di atas, telah disepakati maudhu’nya oleh ahli-ahli hadits, seperti Abū Hātim Ibn Hibbān, Abū Ja’far al-‘uqaily, Abū al-Hasan al-Dāraquthny, Abū al-Faraj Ibn al-Jauzy dan lain-lainnya (Ibn Taimiyyah, Kitab al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin: 275). Oleh sebab itu, kata Ibn Taimiyyah, hadits itu tidak dapat dijadikan hujjah. Andaikan dapat dijadikan hujjah, namun tujuannya bukanlah apa yang dimaksud oleh para filosof bahwa ciptaan Allah yang pertama adalah akal, tetapi ia adalah khitāb Allah kepada akal sewaktu ia diciptakan.
Sedangkan tentang klaim para filosof bahwa akal adalah jauhar yang berdiri sendiri (jauhar qā-im bi nafsih), Ibn Taimiyyah menyangkal dengan mengemukakan pendapatnya yang sesuai dengan prinsip agama. Akal bagi Ibn Taimiyyah, adalah ‘aradh min al-‘aradh, artinya suatu sifat dari sifat manusia. Jadi kata akal yang dimaksudkan Tuhan, menurut Ibn Taimiyyah adalah gharīzah. Inilah yang dimaksud ayat-ayat al-Qur’an secara eksplisit, seperti :
Lebih lanjut Ibn Taimiyyah menjelaskan bahwa kata akal adalah bahasa Arab, masdar dari :
Yang berarti instinct, bukan dalam pengertian nous (intellect), jauhar qā-im bi nafsih yang dikenal dalam filsafat Yunani. Karena kala tidak entitas, tetapi kegiatan, sebab adanya akal bersamaan dengan hadits nabi di atas, tidak dapat disamakan dengan akal dalam pengertian jauhar dalam filsafat Yunani (Ibn Taimiyyah, Kitab al-Radd ‘ala al-Manthiqiyin: 276).
Kritikan Ibn Taimiyyah di atas, erat hubungannya dengan pemahamannya sebagai seorang empirik keagamaan. Secara pasti ia tidak mungkin menerima pendapat para filosof di atas tanpa fakta tekstual (nash), sebab baginya ukuran kebenaran suatu pendapat hanyalah kitab suci (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi, bukan interpretasi rasional yang tidak berdasarkan data empiris (nash agama).
Kritik-kritik keras yang dilontarkan Ibn Taimiyyah di atas, dilatar belakangi oleh filsafatnya yang terkenal :
Pengetahuan yang diperoleh secara empiris (al-a’yan) lebih dapat dipercaya daripada pengetahuan melalui rasio (al-Azhan) seperti yang dilakukan para filosof, yang oleh penulis madern ia sering dilukiskan sebagai pelopor “Positivisme”.
Berdasarkan filsafatnya di atas, penerapannya dalam keagamaan telah mendorong Ibn Taimiyyah bersikap litteralis, yang menempatkan dalil naql sebagai al-‘ayan yang harus dipahami menurut apa adanya. Realisasi dari sikapnya ini membuat Ibn Taimiyyah menolak semua otoritas maupun yang tidak berdasarkan kepada otoritas nash keagamaan.
D. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kritik-kritik Ibn Taimiyyah terhadap filkosof Islam pada umumnya dan khususnya yang berkenaan dengan emanasi, dapat diartikan perbedaan antara dua kubu dalam sikap keduanya terhadap nash agama. Ibn Taimiyyah di satu pihak bersikap keduanya terhadap nash agama. Ibn Taimiyyah di satu pihak bersikap empiristik, dalam bidang keagamaan litteralis. Sedangkan para filosof di pihak lain bersikap rasionalistik. Namun kedua kubu tersebut adalah orang-orang mukmin, yang percaya kepada dasar-dasar pokok aqidah Islam. Polemik mereka adalah polemik antara orang-orang mukmin (khushunat al-mu’minin).
DAFTAR PUSTAKA
Daudy, Ahmad, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syekh Nuruddin ar-Raniry, Jakarta : Rajawali, 1983
Al-Farabi, Arâ' al-Madînat al-Fadhîlat, Mesir : Maktabah Muhammad Ali Shobih wa Auladih, t.t
Hatta, Muhammad, Alam Pikiran Yunani III, Jakarta : Tinta Mas, 1969
Ibn Sina, al-Najâh, Kairo : Mushthafa al-Bâby al-Halabi, 1938
Ibn Taimiyah, Kitab al-Radd 'ala al-Manthiqiyyin, Sulaiman al-Nadwi (ed), Bairut : Dar al-Ma'rifah, t.t
____________, Walli Allah menurut Al-Qur'an, Surabaya : Al-Ikhlas, t.t
Kattsoff, Louis O, Pengantar Filsafat, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1995
Madjid, Nurcholish, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1994
Nasution, Harun, Falsafat dan Misticisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1973
0 Comment