Thursday, November 1, 2012

Metoda Dakwah Hikmah
Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kitab dakwah  yang mencakup didalamnya unsur-unsur yang mengintari dakwah, seperti juru dakwah, penerima dakwah, metode dakwah,  dan media dakwah. Dakwah dengan segala unsurnya adalah suatu kesatuan yang titak terpisahkan satu sama lain, masing-masing unsur dalam dakwah mendapat perhatian dan sorotan dalam al-Qur’an secara sistematis dan sesuai dengan kondisi sosial masyarakat yang mengintarinya.
Dakwah adalah ujung tombak dalam mewujudkan ajaran Islam ke berbagai segi kehidupan manusia. Melaksanakannya kewajiban bagi setiap pribadi muslim,   sesuai dengan keahlian dan kemampuannya.  Namun bukan berarti menafikan  pendapat lain yang mengatakan bahwa  melaksanakan  dakwah adalah fardhu kifayah.   Untuk merealisasikannya kepada masyarakat diselenggarakan  dengan mempergunakan metode tertentu. 
Pada priode Makkah (610-622 H) Nabi Muhammad Saw. melaksanakan dakwah melalui metode pendekatan kepada keluarga secara diam-diam dalam upaya memberi pelajaran dan petunjuk,  kemudian secara bertahap pelaksanaannya dikembangkan secara terbuka  kepada kaum kafir Quraish.
Setelah Nabi Saw. di Madinah (1-11 H / 622-632 M) dakwah telah mampu menumbuh kembangkan ikatan persaudaraan, ukhuwah Islamiyah,  dengan  membentuk suatu umat laksana suatu bangunan yang satu dengan yang lainnya saling menguatkan.  Sehingga menimbulkan kekuatan bagi kaum muslimin dalam pengembangan dakwah. Setelah Nabi Muhammad wafat, urusan dakwah dilanjutkan oleh para Khulafa' al-Rasyidin bersama sahabat lainnya. Seperti Abu Bakr al-Shiddiq (11-13 H / 632-634 M) dan 'Umar bin Khattab (12-23 H / 634-644 M) ternyata berjalan dengan baik dan sukses. Namun setelah itu ketika pemerintahan Usman bin Affan ( 23-35 H / 644-656) 'Ali bin Abi Thalib (36-40 H / 656-661 M) dilanda oleh berbagai kekacauan politik dalam negeri,  sehingga kesatuan umat sudah tidak terjamin lagi sebagai yang telah dibina oleh Nabi Muhammad Saw. sebelumnya.
Pada abad ke-18 M sebagai akibat terjadinya kontak peradaban dan ilmu pengetahuan dengan dunia Barat, munculnya kaum pembaharu di dunia Islam yang berusaha melakukan pembaharuan dengan mengkaji ulang ajaran-ajaran dasar Islam. Gerakan pembaharuan tersebut berdampak positif dalam kehidupan pengembangan  metode dakwah. Seperti terlihat, Muhammad Abduh (1849-1905 M), seorang tokoh pembaharu, di samping ia melakukan dakwah secara lisan juga mengembangkannya dengan tulisan lewat majalah al-'Urwat al-Wusqa diterbitkan di Paris bersama Jamal al-Din al-Afgani (1839-1897 M),  dan Rasyid Ridha (1865-1935 M) di Mesir dengan al-Manarnya.  Sejalan dengan kegiatan penyampaian risalah Nabi Muhammad kepada umat manusia lewat berbagai cara, baik lisan, kontak perbuatan, isyarat dan iqrar maupun dengan diplomasi lewat surat atau utusan.
Aktifitas dakwah seperti itu merupakan satu bagian yang pasti ada dalam kehidupan beragama sepanjang waktu. Di dalam al-Qur’an dakwah merupakan kewajiban yang dibebankan oleh agama kepada pemeluknya, baik dilakukan secara pribadi ataupun dilaksanakan secara kolektif. Dengan demikian eksistensi dakwah  bukan hanya sekedar usaha agar orang lain dapat memahami agama dalam kehidupannya, akan tetapi jauh lebih penting dari itu, yaitu; melaksanakan ajaran Islam secara menyeluruh dan konfrehenshif dalam berbagai aspek kehidupan. Untuk mencapai kearah tersebut sudah pasti semua unsur dakwah harus mendapat perhatian serius para juru dakwah. Namun betapapun baiknya sebuah materi, media, audience dan da’inya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dakwah itu sendiri, jika tidak mempergunakan metode, maka ajaran Islam yang dikembangkan akan berada pada tataran pengetahuan  bukan pada aspek aplikasi dan pengamalannya.
Perspektif dakwah dalam al-Qur’an, tidak hanya sekedar mengatur kegiatan dakwah, tetapi lebih jauh dari itu, di mana al-Qur’an memberikan cara-cara tertentu dalam menghadapi masyarakat tertentu pula. Secara umum al-Qur’an telah menuntun Nabi kearah tercapainya sosialisasi ajaran Islam dalam kurun waktu +- 23 tahun. Semua itu didukung oleh metode yang akurat, efektif dan effesien serta berpegang kepada prinsip atau azas metode yang dituturkan oleh Allah Swt. Sekalipun secara literlek didalam al-Qur’an tidak ditemukan kata yang persis sepadan dengan istilah metode, namun jika dimaksudkan metode, yaitu cara-cara yang diterapkan Allah kepada Nabi Muhammad dalam menyampaikan ajaran Islam kepada keanekaragaman masyarakat dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang mengintarinya. Karena hampir semua kegiatan dakwah yang tidak mempergunakan  metode dalam melaksanakan dakwah kepada masyarakat. Salah satu metode dakwah tersebut adalah metode hikmah

METODE DAKWAH HIKMAH
    Kata  metode berasal  dari  bahasa  Yunani   methodos yang berarti  cara  atau jalan . Di dalam bahasa Inggeris ditulis  dengan  method   yaitu : 1. a way of doing anything;  mode; procedure, process; epecially, a reguler, orderly devinite procedure or way of teathing, investigating, etc.; 2. Regularity  and orderlines in action, thought,  or expresion; system  in  doing  thing or  hendling  ideas; (and)  3. Reguler, orderly arrangement. Dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan thariqat dan manhaj. Sedangkan dalam bahasa Indonesia kata  tersebut mengandung arti “cara yang teratur dan berfikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dsb); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan  yang  ditentukan.   Dalam hal ini Hendry  Van  Lear,  secara  etimologis mengemukakan bahwa metode  adalah  jalan atau cara melakukan atau membuat sesuatu dengan sistem dan melalui prosedur untuk memperoleh  atau mencapai  tujuan  yang dimaksud.
Memperhatikan pengertian metode di atas, nampaknya dapat digunakan  kepada berbagai objek, baik berhubungan dengan pemikiran dan penalaran akal, atau menyangkut  pekerjaan fisik. Dengan  demikian dapat dikatakan bahwa metode adalah salah satu sarana atau media yang sangat penting  untuk menyembatani antara pemikiran yang dimiliki oleh subjek untuk ditransmisikan kepada objek dalam upaya mencapai tujuan yang telah  ditetapkan.
Dalam bidang keilmuan, metode selalu berarti cara prosedur dari yang diketahui menuju yang tidak diketahui, dari titik pijak tertentu menuju proposisi-proposisi akhir dalam  ilmu yang ditentukan. Sehingga  dalam ilmu-ilmu normatif  metode mengindikasikan jalan menuju norma-norma yang mengatur perbuatan  sesuatu.  Sehingga dengan  demikian metode adalah  cara bertindak  menurut  sistem  aturan tertentu,  supaya  kegiatan  praktis  terlaksana  secara  rasional  dan terarah, agar mencapai hasil optimal. Atau sebagaimana yang diungkap Ahmad Tafsir, bahwa metode adalah cara yang paling tepat dan cepat dalam melakukan sesuatu.  Tepat dan cepat dalam hal ini ukurannya sangat varian sekali, karena sesuai dengan kondisi orang, tempat, materi, media dan sosial-budaya yang mengintarinya.
Dalam kaitan ini metode dakwah dalam  perspektif al-Qur’an, telah dilakukan oleh Nabi Muhammad secara teratur dan telah tersusun secara  baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat-Nya. Kenyataan ini memberikan gambaran bahwa metode  dakwah  yang dilakukan  oleh Nabi dalam membawa manusia kepada Islam berisikan langkah  atau cara-cara yang harus ditempuh ketika melakukan dakwah Islam kepada manusia, tanpa melakukan hal tersebut, maka hasilnya tidak  seoptimal  yang diharapkan. Namun metode dakwah yang pernah diterapkan Nabi itu belum tersusun dalam bentuk karya tulis secara metodologis, sehingga menjadi kendala bagi setiap juru dakwah dalam  menyampaikan materi dakwah kepada orang lain.
Bila dikaitkan antara metode dengan  dakwah dalam  satu pengertian dapat dikatakan sebagai jalan atau cara yang dipakai juru dakwah dalam menyampaikan ajaran Islam (materi) kepada objeknya.  Pemakaian metode  yang  benar merupakan  unsur penting untuk memastikan bahwa  kesimpulan yang dihubungkan dengan titik pijak dan fondasinya secara  runtut  dan benar,  karena  hanya  dalam  sikap semacam inilah maka hasil-hasil yang dicapai akan dapat  dimiliki  bersama  di  dalam nilai  dan kebenaran titik pijak. Secara umum  metode  dalam  perpespektif  ilmu  pengetahuan  adalah jalan dari titik pijak yang  diketahui menuju  poin penyelesaian  atau hasil yang  dalam satu atau lain cara dihubungkan dengan titik  pijak. Sehingga jalan yang ditempuh dalam upaya  mencapai tujuan tersebut bisa dibangun dengan banyak cara.
Dalam menyampaikan suatu pesan dakwah, metode sangat penting peranannya. Suatu pesan betapa baiknya, tetapi disampaikan lewat metode yang tidak benar, pesan tersebut bisa jadi ditolak oleh penerima pesan, bahkan bisa mengaburkan maksud materi yang ingin disampaikan. Ilmuan komunikasi menyebutnya dengan the methode is massage. Sehingga  kejelian dan kebijakan juru dakwah dalam memilih dan memakai metode dakwah sangat mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan menerapkan ajaran Islam dalam masyarakat.
Dalam berbagai buku ilmu dakwah yang ada, ketika membahas metode dakwah, pada umumnya merujuk kepada surat al-Nahl ayat 125; yaitu :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ   (  النحل :  125 )
Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Allahmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Allahmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Pada ayat ini bukan hanya berbicara seputar metode dakwah, akan tetapi meliputi faktor-faktor lainnya, yaitu tentang subjek, materi  yang disampaikan. Bahkan secara tersirat juga terkandung objek dakwah, karena perintah dakwah dalam ayat tersebut ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw., maka yang disuruh panggil oleh Allah kepada Nabi adalah umat manusia, namun tidak terlihat pada ayat dimaksud  pembicaraan seputar media dakwah, tetapi hal  itu bukan mengurangi fungsi al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia. Sebab dikalangan ilmuan al-Qur’an mengungkap bahwa al-Qur’an bukanlah buku ilmiah atau buku petunjuk pelaksanaan suatu perintah  atau tugas, akan tetapi al-Qur’an berisikan sesuatu ajaran/petunjuk yang bersifat umum, general atau global. Hanya saja yang ada dalam al-Qur’an adalah semangat, moral, ruhnya agama Islam. Oleh karenanya tugas para mujtahid Islamlah untuk mengeluarkan isi, hukum, pelajaran yang ada di dalamnya, seperti munculnya teologi, fiqh, tasauf, politik, ekonomi dan lain sebagainya. Semua hal di atas tidak satupun yang terlepas dari intervensi akal mujtahid. Sekaitan dengan metode dakwah pada ayat 125 di atas, Fakhr al-Din al-Razi ( 544-606 H) dalam tafsirnya menyebutkan bahwa ayat ini berisikan perintah dari Allah Swt. kepada Rasul Saw. untuk menyeru manusia (kepada Islam) dengan salah satu dari tiga cara; yaitu dengan hikmah, maw’izhah al-hasanah dan mujadalah bil al-thariq al-ihsan.  Pendapat yang senada dipertegas oleh Sayyid Quthb, bahwa upaya membawa orang lain kepada Islam hanyalah melalui metode yang telah ditetapkan oleh Allah dalam al-Qur’an.  Ketiga metode itu disesuaikan dengan kemampuan intelektual masyarakat yang dihadapi. Namun bukan berarti masing-masing metode tertuju untuk masyarakat tertentu pula, akan tetapi secara prinsip semua metode dapat dipergunakan kepada semua masyarakat.
 Metode Hikmah Perspektif al-Qur’an
Kata hikmah berasal dari bahasa Arab, ح, ك, م (h, k, m), jama’nya hikam yaitu ungkapan yang mengandung kebenaran dan mendalam.  Dalam bahasa Indonesia diartikan dengan kata bijaksana. Kata bijaksana dalam bahasa Indonesia punya arti (1) selalu mempunyai akal budi, (pengalaman dan pengetahuannya): ‘arif, tajam fikiran; (2) pandai dan ingat-ingat.    Sedangkan secara linguistik (lughawiyah) terma hikmah berarti kebijaksanaan, sehat pikiran, ilmu pengetahuan, filsafat, ke-Nabian, keadilan, peribahasa, pepatah dan al-Qur’an.  Atau (معرفة أفضل اللاشيأ بـأفضل العلوم ) yaitu mengetahui keutamaan sesuatu melalui ilmu.  Secara terminologi, para ulama memahami istilah hikmah dalam beberapa pengertian, diantaranya :
a.    Hikmah merupakan ke-Nabian (al-Nubuwat)
b.    Hikmah merupakan pengetahuan tentang al-Qur’an itu sendiri, meliputi ; pemahamannya, nasikh mansukh, muhkamat, mutasyabihat, ayat-ayat yang didahulukan dan yang diakhirkan, halal, haram, amtsal dan sebagainya.
c.    Hikmah merupakan kebijaksanaan pembicaraan dan perbuatan
d.    Hikmah adalah pengetahuan tentang hakikat kebenaran dan perwujudannya dalam kehidupan
e.    Hikmah adalah ilmu yang bermanfaat, ilmu amaliyah dan aktifitas yang membawa kepada kemashlahatan umat.
f.    Meletakan suatu urusan pada tempatnya yang benar, mengetahui al-da’i terhadap objek  dakwah  dan memilih metode serta media yang relevan dengan mereka.
g.    Mengetahui kebenaran dan beramal dengan kebenaran tersebut, perpengetahun yang luas dalam  pembicaraan  dan amal. Hal ini tidak akan diperoleh kecuali melalaui pemahaman al-Qur’an, fiqh syari’at  dan hakikat iman.
h.    Hikmah merupakan kondisi psikologis, seperti ketundukan, kepasrahan dan ketakutan kepada Allah
i.    Hikmah merupakan sunah Nabi
j.    Hikmah adalah maqam wara’ pada agama Allah
k.    Hikmah merupakan sikap adil sehingga pemikirannya dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya.
    Al-Maghzawi pada pendapat yang sama mengemukakan bahwa ungkapan hikmah mengandung semua makna yang terkandung dalam al-Qur’an, bukan hanya hikmah yang terdapat dalam surat al-Nahl 125 saja, karena kata hikmah pada ayat-ayat lain mempunyai hubungan yang sangat siknifikan sekali.  Sedangkan hikmah pada sejarah Islam klasik, tertuju kepada orang-orang yang mengkaji sesuatu secara mendalam, sehingga ahli hikmah yang dimaksudkan pada masa itu sama dengan para failosuf, sedangkan hasil dari temuannya disebut dengan filsafat. Sedangkan tempat orang-orang yang mendalaminya ( mungkin sekarang disebut dengan pustaka/labor) disebut dengan bait al-hikmah (rumah hikmah). Dengan demikian pengertian yang dikemukan di atas kurang tepat, jika padanan hikmah tersebut dalam bahasa Indonesia dengan kata bijaksana. Sebab kata bijaksana dalam basaha Indonesia mempunyai arti (1) selalu mempergunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuan); ‘arif, tajam fikiran; (2) pandai dan ingat-ingat…  Akan tetapi  dalam pemakaian sehari-hari cukup populer dan terpakai arti hikmah tersebut dengan bijaksana. Arti bijaksana yang dipadankan dengan hikmah dalam bahasa arab, paling tidak, nampaknya tidak tercakupi oleh bahasa Indonesia, karena cakupannya meliputi sesuatu pelajaran yang datang dari Allah Swt. Perbedaan makna tersebut akan terlihat dengan jelas, bila dikaitkan dengan makna yang diberikan oleh mufassir ketika mengemukakan pengertian kata hikmah tersebut.
Kata hikmah dengan segala bentuknya dalam al-Qur’an berjumlah 208 kali yang tersebar dalam beberapa surat. Dalam bentuk shighat masdar, kata al-hikmah 20 kali   tersebar dalam beberapa surat dan ayat. Pemakaian kata terbanyak dari  kata hikmah digandengkan dengan kata al-kitab, Injil, Taurat, sehingga dapat dipahami bahwa kata hikmah itu sebanding dengan kitab, Injil, Taurat, atau suatu pelajaran yang datang dari Allah Swt. Seperti terlihat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 129, 131, 151, 296; Ali Imran (3) ayat 48, 81, 184; al-Nisa’ (4) 54, 113; al-Maidah (5) ayat 110 dan; al-Jumu’ah (62) ayat 2. Pengertian seperti di atas, nampaknya dikuatkan oleh Allah dalam al-Qur’an, yaitu bahwa mendapatkan hikmah itu adalah orang-orang tertentu saja sesuai dengan kemauan Allah, bagi yang mendapatkan hikmah diberikan kepadanya kebajikan yang banyak.
Varian hikmah  dalam pandangan ilmuan, bila  dikaitkan dengan tafsiran  surat al-Nahl; 125 sebagai kerangka dasar metode dakwah  sangat beragam sekali, antara lain; Misalnya al-Razi mengartikan hikmah dengan dalil-dalil yang pasti,  al-Thabari mengartikan dengan wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw.,   al-Maraghi mengartikan dengan“المقالة المحكمة بالدليل لموضح المحيل للشبهة “ (Perkataan yang benar lagi tegas dengan dalil yang kuat untuk menjelaskan yang hak bagi menghilangkan syubhat),  Pendapat al-Maraghi senada dengan pendapat al-Zamakhsyari dan Wahbah al-Zuhaili, sedangkan bagi al-Thaba’thabai mengartikan hikmah dengan menyampaikan kebenaran melalui ilmu dan akal. Sementara Muhammad Abduh mengartikan ilmu pengetahuan  yang benar, yakni sifat-sifat yang bijak di dalam jiwa yang menjadi penuntun kemauan dan  mengarahkannya kepada perbuatan.  Apabila  perbuatan lahir dari  ilmu yang benar, maka perbuatan itu adalah perbuatan yang baik dan bermanfaat,  sehingga membawa kepada kebahagiaan.  Ibn Katsîr (w.774 H), mengemukakan bahwa hikmah adalah yang bijak dalam perbuatan  dan perkataan, sehingga  untuk itu ia  meletakan  sesuatu pada tempatnya. Pendapat ini  sejalan dengan Muhammad Abu al-Fatah al-Bayânûnî, bahwa hikmah adalah teknik menempatkan sesuatu pada tempatnya, sehingga berdakwah dengan hikmah meliputi  semua aspek.
Pada sisi lain A. Hasjmi mempertegas bahwa hikmah adalah ilmu pengetahuan.  Sedangkan Muhammad Natsir memahami bahwa hikmah  itu  dipergunakan untuk semua golongan, yaitu golongan cerdik pandai, golongan awam  dan golongan antara keduanya. Berbeda dengan Sayyid Qutb (966H/1558M) mengemukakan bahwa dakwah bi al-hikmah adalah memperhatikan keadaan serta tingkat kecerdasan penerima dakwah, memperhatikan kadar materi dakwah yang disampaikan kepada audiens, sehingga mereka tidak dibebani dengan materi dakwah tersebut, karena belum siap mental untuk menerimanya. Memperhatikan cara penyampaian dakwah dengan perasaan, tidak memancing kemarahan, penolakan, kecemburuan  dan terkesan  berlebih-lebihan, sehingga tidak  mengandung hikmah  didalamnya. 
 Bila digabung beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa metode hikmah adalah suatu  cara yang dipergunakan dalam upaya membawa  orang lain kepada ajaran Islam dengan memakai argumentasi yang pasti, bahasa yang menyintuh hati dengan pendekatan ilmu dan akal. Sehingga objek dakwah yang dituju melalui metode  ini adalah para cendikiawan,  intelektual atau ilmuan. Hal ini sejalan dengan  pendapat yang dikemukan oleh ‘Abdu al-Wahab Kahili, bahwa metode dakwah dengan hikmah merupakan pengetahuan yang paling tinggi dan pengungkapan bersifat filosofis yang dapat menundukan akal dan tidak ada yang melebihi ketundukan terhadapnya.
Memperhatikan hikmah dalam perspektif mufassir terhadap ayat 125 surat al-Nahl, nampaknya sangat signifikan dengan makna hikmah yang terdapat pada ayat-ayat yang turun di Makkah dan Madinah. Hal ini dapat dipahami dari  surat yang turun pada priode Makkah terdapat kata hikmah pada 5 surat, yaitu :
a). Hikmah pada surat al-Qamar; 5 (54/37) menunjukkan sebagai informasi yang terdapat dalam al-Qur’an dan semua isi yang terkandung didalamnya meliputi aspek ungkapan, pelajaran dan petunjuk hukum dengan bahasa yang sempurna sebagai puncak penjelasan dan tidak satupun  yang tersembunyi di dalamnya.  Al-Maraghi mengungkap bahwa hikmah di sini adalah informasi tentang ilmu pengetahuan, hidayah, dan kecerdasan yang membawa  kepada kebenaran bagi orang yang mau mempergunakan akal dan mengendalikan nafsunya.  Ilmu  pengetahuan yang dimaksud di sini adalah kisah-kisah  yang terjadi sebelumnya,  mempunyai nilai yang sangat tinggi  sekali. Kisah tersebut dapat  mengantarkan  seseorang kepada jalan yang benar, namun tidak akan banyak pengaruhnya, terutama bagi yang tidak mempergunakan akalnya dengan baik. Memperhatikan penjelasan di atas dapat  ditangkap bahwa hikmah pada surat ini mencerminkan sebagai informasi kejadian masa silam tentang  cerita-cerita aktual di masanya. Melalui kisah itu Allah mengajak manusia kejalannya. Nampaknya kisah masa lalu itu adalah suatu peristiwa  yang  pernah terjadi diungkap oleh Allah kepada manusia sebagai suatu metode  pemberitahuan dalam upaya membawa orang kepada  kesadaran.
b). Hikmah pada surat Shad ayat 20 (38/38), menunjukkan sebagai pemahaman, akal, kecerdasan, ilmu, adil, ketelitian amal ibadat dan kebenaran hukum yang dikandungnya.  Hikmah pada ayat  di atas menggambarkan sebagai kebijakan   dalam menyelesaikan perselisihan antara dua orang yang punya kambing yang mereka bersengketa sesamanya dengan terlebih dahulu memeriksa  pihak-pihak  yang terlibat berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan. Untuk itu memerlukan ilmu pengetahuan yang luas,  sikap yang  lemah lembut, menguasai  persoalan  serta  kesabaran yang kuat dalam  menghadapi  kedua mereka yang sedang berperkara.
c). Hikmah pada surat al-Isra’ ayat 39 (17/50), menunjukkan pengetahuan  tentang Zat Allah, kebaikan dan pelajaran untuk bertindak.    Artinya Allah telah  memberikan bimbingan berupa perintah-perintah yang harus diikuti dan semua  larangan yang harus dijauhi, yaitu mentauhidkan Allah, karena tujuan akhir dari segala urusan manusia adalah mengembalikan kepada Allah  Swt.
d). Hikmah  pada surat Luqman ayat 12 (31/57), adalah perasaan  yang halus, akal fikiran, pengetahuan yang dengannya membawa kepada pengetahuan yang hakiki dan jalan-jalan yang benar serta dapat menyampaikan kepada  kebahagiaan  abadi untuk kehidupan dunia dan akhirat. Artinya hikmah di sini menunjukkan petunjuk yang datang dari Allah. Dengan petunjuk tersebut dapat membawa manusia untuk beramal dengan ilmu dan pemahaman yang dimilikinya.
e). Hikmah pada al-Zukhruf ayat  63 (43/63), menunjukkan kepada mu’jizat Nabi Isa As. dan ayat-ayat yang menunjukkan kepada  kebenaran melalui syari’at yang terdapat pada kitab Injil dan penjelasan kepada Bani Israil yang bertikai dari hukum yang terdapat pada kitab Taurat.   Sehingga  dengan  demikian  hikmah  pada ayat  ini menjelaskan bahwa Nabi Isa datang  kepada kaumnya adalah untuk membawa keterangan dan bukti-bukti ke-Rasulannya. Dengan tugas yang ia emban menyampaikan ajaran ketauhidan,  membenarkan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya beserta Rasul-Rasul-Nya. Semua itu bertujuan agar mendapat kebahagiaan bagi manusia yang mengikutinya. Pengertian hikmah pada al-Nahl 125 (16/70) menjelaskan bahwa hikmah di sini adalah komunikasi yang benar dan menyentuh jiwa secara sempurna.  Ayat  ini  telah memberikan pedoman kepada  Rasul-Nya tentang cara mengajak manusia  kejalan  Allah  (Islam).  Ayat  ini  sekaligus sebagai  kerangka dasar yang ditetapkan oleh Allah bagi  juru  dakwah mengajak orang  lain  kepada agamanya. Maka hikmah pada ayat ini mengandung pengetahuan  tentang rahasia dan faedah segala sesuatu, komunikasi yang tepat dan benar,  sehingga  menjadi argumentasi untuk menjelaskan mana yang hak dan mana yang batil  ataupun yang  syubhat dalam masyarakat.
Dengan demikian dakwah  dengan hikmah  adalah  berdakwah melalui  ilmu pengetahuan yang berkenaan  dengan rahasia berbagai faedah  dan tujuan dari wahyu Ilahi, kecakapan memilih materi dakwah yang  sesuai  dengan  kemampuan audiens,  sehingga mereka tidak merasa berat dalam menerima Islam. Selain itu pandai pula memilih gaya bahasa dalam menyajikan, sehingga ajaran yang  disampaikan kepada mereka dapat diterima dengan baik, bahkan mereka laksanakan dalam  kehidupannya. Khusus ayat 125 surat al-Nahl ini bahwa Allah Swt. menyuruh Nabi Muhammad Saw. untuk mengikuti metode (cara) Nabi Ibrahim As. dalam melaksanakan dakwah kepada Agama Islam dengan memakai tiga metode, yaitu Hikmah, Mauizhah al-hasanah dan mujadalah bi al-lati hiya ahsan. Dalam hal ini Allah menyuruh memimpin dengan  adil dan benar serta menjadikan kisah-kisah masa lalu sebagai ‘itibar, sabar dalam berbagai situasi dan kondisi negatif maupun positif. Karena melakukan  (الاعلام  ) penerangan kepada agama Allah adalah merupakan kebutuhan primer bagi kelestarian alam semesta.
Selanjutnya kata hikmah pada surat Madaniyah dalam al-Qur’an terdapat terdapat 5 (lima) surat adalah sebagai berikut :
a). Surat al-Baqarah ayat 129, 151, 231, dan 269 (2/87) terdapat dua kali. Maksud kata hikmah pada surat Madaniyah pada surat al-Baqarah ayat 129 adalah sebagai pengetahuan dengan agama dan pemahaman dalam menta’wil.   Al-Maraghi memahaminya sebagai rahasia  syari’at  dan maqasyidnya untuk memudahkan antara kaum muslimin, maka dengan hikmah dapat  dijadikan  teladan  dalam  pembicaraan  dan perbuatan.
  Pemahaman di atas menunjukkan bahwa hikmah adalah cara yang  dipergunakan untuk memberikan pengetahuan kepada orang lain melalui  pembicaraan dan perbuatan. Boleh jadi pembicaraan  itu  yang  tertuang dalam al-Qur’an dan sangat boleh  jadi  dalam bentuk sunah-Nya. Ayat 151, hikmah di sini adalah sebagai ilmu tentang rahasia hukum dan konsekwensinya, membuka jalan untuk beramal dan taat, melalui cara-cara yang dilakukan oleh para Nabi dan sejarah orang terpuji pada masa kehidupan sebelumnya baik dalam posisi damai maupun perang, sedikit ataupun banyak, dalam musafir atau mukim. Namun al-Zamakhsyari seorang mufassir yang mengutamakan rasio, dengan tafsirnya bercorak ilmi melalui pendekatan bi al-ra’yi, memberi penjelasan tentang makna hikmah pada ayat ini sebagai risalah Nubuwah.   Akan tetapi secara kategoris Ibnu Katsir memahami lafaz hikmah sebagai rahasia-rahasia hukum syari’at dan tafsir,  ilmu kebijaksanaan,  dan ke-Nabian. Sedangkan dalam pengertian sunah dinisbahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Hal ini dapat dicermati pada surat al-Baqarah; 129, 151 dan , (2/87) serta surat Ali Imran 81 dan 164, (3/89) surat al-Nisa’ 113, (4/92) dan al-Ahzab 34. (33/90).
Ayat 269 hikmah sebagai ilmu yang bermanfaat yang membawa untuk beramal serta membawa pengaruh kepada jiwa. Lebih jauh pada ayat yang sama hikmah dipahami sebagai pemahaman yang benar, ilmu yang bermanfaat serta mengikuti perkembangan pengetahuan yang membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.  Artinya Allah  memberikan ilmu kepada siapa yang dikehendakinya,  sehingga dengan  ilmu tersebut dapat membedakan antara yang  benar  dengan salah. Hikmah itu tidak  akan  diperoleh terkecuali  dengan akal yang sehat dan cerdas  yang  dapat mengenal berdasarkan dalil-dalil dan bukti-bukti serta dapat mengetahui hakikat yang sebenarnya. Apabila seseorang telah sampai kepada  hikmah, berarti seseorang telah dapat membedakan antara janji Allah dengan janji setan. Pada  akhir ayat tersebut Allah membuktikan bahwa Allah memuji orang yang mau  mempergunakan akalnya. Karena melalui akallah manusia dapat mengetahui mana yang bermanfaat  dan mana  yang  membawa kepada mudharat.
b). Surat Ali Imran ayat 48, dan 164. Pemahaman hikmah pada  ayat 48  adalah sebagai ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang menerangi manusia dengan hukum. Hikmah  pada ayat ini  sebagai  pengetahuan cara  menulis yang  diberikan kepada Nabi Isa dan  ilmu yang benar untuk membawa  seseorang  mengerjakan  amal-amal yang  bermanfaat  dan  Allah  memberikan  kemampuan  kepadanya untuk mengetahui  kitab Taurat  sekaligus  menyampaikan  kepada  kaumnya.
Sedangkan pada ayat 164 adalah sebagai membersihkan diri dari cara-cara jahiliyah dalam akidah, akhlak, dan sistem hidup.  Bahkan hikmah  di  sini  adalah Rasul dari kalangan mereka  sendiri.  Hal ini  bertujuan  agar mudah memahami tutur katanya dan tingkah lakunya untuk dirobah dan diperbaiki. Ayat ini memberikan gambaran bahwa menempatkan diri dengan situasi  dan kondisi audience adalah suatu metode dakwah. Sangat riskan sekali  juru  dakwah  dalam  menyampaikan Islam kepada orang lain, jika tidak mengetahui terlebih dahulu kondisi  sosial masyarakat yang  mengintarinya.
c). Surat al-Nisa’ 54 dan 113, makna hikmah pada ayat tersebut adalah; pada ayat 54 sebagai ilmu dengan rahasia hukum syari’at dan ayat 164 sebagai dipahami sebagai syari’ah.  Syari’at di sini adalah hukum-hukum Islam yang berhubungan segala perbuatan lahiriyah manusia yang didalamnya terdapat segala rahasianya. Justru dengan hukum (aturan) itu dapat mententramkan jiwa dan memudahkan semua urusan bagi manusia. Maka hikmah yang muncul dalam hal ini  adalah terciptanya khaira ummah dan panutan bagi  orang yang  sesudahnya. 
 d). Surat al-Jumu’ah ayat 2. Hikmah pada ayat ini adalah sebagai pengetahuan agama dan hukum al-Qur’an. Melalui hukum tersebut  dapat memberikan  petunjuk-petunjuk kepada bangsa Arab yang masih  buta huruf. Justru demikian Rasul itu  adalah dari kalangan mereka sendiri.  Hal ini menunjukkan bahwa untuk memberikan perubahan yang  ideal kepada masyarakat adalah dari kalangan mereka sendiri, bukan diluar bangsa mereka. Oleh karenanya pada hukum-hukum itu terdapat hikmah, yaitu pelajaran bagi manusia  dalam kehidupannya.
e). Surat al-Maidah ayat 110, Hikmah yang dimaksudkan  di sini adalah meliputi  semua al-ulum al-nazhariyah ( pengetahuan  bersifat teoritis) dan al-ulum al-amaliyah (pengetahuan yang bersifat  praktis).   llmu teoritis misalnya  di mana  Nabi Isa telah membuat dari tanah dalam bentuk burung, maka  ia meniup burung itu, maka jadilah tanah yang berbentuk burung itu  menjadi  burung yang sungguh-sunguh, sehingga akhirnya burung itu hidup sebagaimana  burung yang lain. Sedangkan ilmu praktis, sebagai contoh Nabi Isa telah dapat  menyembuhkan orang buta sejak dari kandungan ibunya dan orang yang kena penyakit sopak, padahal  pada  saat itu belum ada seorang thabibpun yang mampu menyembuhkan. Dengan demikian hikmah itu  juga  berkaitan  dengan ilmu kimia  dan  fisika.
Memperhatikan kata hikmah pada surat  Madaniyah di atas  pada umumnya banyak berhubungan dengan al-kitab Injil, Taurat serta pengertian ilmu pengetahuan yang dibawa para Nabi-Nabi sebelumnya. Hal ini dapat dicermati pada surat al-Baqarah : 129,151, 231, 269 terdapat dua kali (2/87) surat Ali Imran : 48, 81, dan 164. (3/89). Hikmah pada ayat Madaniyah  di atas dirangkaikan dengan penjelasan Allah tentang hukum-hukumnya sebagai prinsip normatif yang mengatur kehidupan manusia, dapat dicermati dari surat al-Baqarah : 269, (2/87), surat Lukman 12 (31/57) dan Bani Israil 39. (17/50). Selanjutnya hikmah yang dirangkaikan dengan kekuasaan dipahami sebagai kualifikasi pemimpin seperti terdapat pada surat al-Baqarah : 251 ( 2/87) dan surat Shad : 20.  (38/38). Berikutnya hikmah dirangkaikan dengan ayat-ayat Allah dan sebagai sunnah Nabi terdapat pada surat al-Ahzab 34 (33/90). Kemudian hikmah dirangkaikan dengan kedatangan Nabi Isa, adalah sebagai bayan (penjelas) kepada kaum Bani Israil tentang ke-Nabian, Injil dan hukum. Lebih jauh hikmah dirangkaikan sebagai peringatan-peringatan melalui kisah-kisah terhadap orang kafir terdapat pada surat al-Ahzab ayat 5 (54/37) dan akhirnya hikmah berkonotasi sebagai sunnah Nabi, terlihat pada  surat al-Jumu’ah ayat 2 (62/110).
    Memperhatikan pemahaman kata hikmah pada surat Makkiyah dan Madaniyah di atas dapat dipahami bahwa tuturan kata tersebut berkonotasi informasi (الانباء ) dalam al-Qur’an, faham, akal, ketelitian  dalam pengamalan dan hukum, pengetahuan tentang Allah, petunjuk yang membawa kepada amal dan ilmu, mu’jizat dan komunikasi yang lancar serta menyentuh jiwa. Sedangkan pada pemahaman yang muncul dari kata hikmah pada surat Madaniyah adalah; sebagai ilmu nafi’ (bermanfaat) yang menerangi manusia kepada jalan Allah Swt. yaitu menjalankan ajaran al-Qur’an hadis Nabi Muhammad Saw. sebagai suatu sistem hidup yang mesti ditempuh dan dilalui.
Berangkat dari pemahaman di atas dalam memahami   hikmah pada surat al-Nahl;125, maka para ilmuan dakwah terinspirasi mengiring pengertian tersebut  kepada pengertian metode operasional dakwah  Islam, antara lain:  Membawa  kebenaran dengan ilmu dan akal atau meletakan sesuatu pada tempatnya.  Yaitu menyesuaikan kemampuan akal para mad’u (penerima dakwah) dengan kondisi dan situasi yang mengintarinya. Bila dicermati pengertian ini berarti metode hikmah adalah cara-cara membawa orang lain kepada ajaran Islam melalui ilmu dan akal.  Pendapat  ini sejalan dengan pendapat Muhammad Abduh bahwa hikmah sebagai ilmu shahih dan ilmu nafi’,   Sementara Hamka, memahami hikmah dengan ilmu, misalnya ilmu yang diberikan oleh Allah kepada Thalut dan kepada Nabi Daud, sehingga dengan ilmunya mereka bisa menjadi pemimpin untuk umatnya dengan gaya kepemimpinan yang ‘arif dan bijaksana.   Memperhatikan pendapat di atas setidaknya terdapat dua pemahaman yang menonjol, yaitu pertama hikmah dengan pengertian mufradad berarti kebijakan, ilmu yang bermanfaat, kedua hikmah dengan pengertian sunah Nabi. Hikmah dalam pengertian pertama inilah yang terpakai sebagai  metode  dakwah dalam menyampaikan materi dakwah kepada audiennya.
Setelah memperhatikan surat Makiyah dan Madaniyah yang berhubungan dengan hikmah, maka dapat ditangkap pengertiannya, yaitu : Kalau hikmah dipahami sebagai ilmu dan kebijaksanaan, maka untuk sampai kepada hal tersebut adalah melalui al-’aql (akal). Akal secara etimologis setidaknya mempunyai dua arti, pertama mengikat, kedua memahami dan memikirkan ( al-fahm wa al-tadabur ), misalnya ‘aqala al-syai’( memikirkan hakikat sesuatu).  Pada makna kedua inilah kata al’aql dipergunakan sebagai akar munculnya berfikir secara filosofis dan mendalam. Karena akallah yang dapat  menerima ilmu   dan alat untuk mengetahui serta membuat keputusan-keputusan.
Nampaknya pengertian di atas lebih lengkap yaitu bahwa al’aql bukan hanya kesanggupan mengenal sesuatu, akan tetapi lebih jauh dari itu, yaitu dapat membuat keputusan-keputusan tertentu berdasarkan perolehan dari sesuatu  yang telah dikenal atau diketahui. Pengertian ini sekaligus telah menjawab bahwa akal sebagai alat dalam proses mengetahui, berfikir dan bernalar. Dengan demikian secara ilmiah sasaran dakwah adalah memberikan pencerahan kepada akal mad’u dalam menerima dan memahami ajaran Islam yang terdapat pada nash melalui empat kategori penalaran sebagai berikut :
Pertama : penalaran kausalitas atau hubungan sebab akibat. Penalaran ini dapat dilihat misalnya firman  Allah surat Ali Imran ayat 118, yaitu :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ (ال عمران : 118)

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.
Pada ayat ini Allah melarang orang-orang mukmin untuk menjadikan orang-orang non mukmin sebagai orang-orang yang dipercayai (bithanat). Menurut al-Razy (w.606H/1209M), adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang munafik secara umum semua orang kafir.  Sebab pelarangan tersebut adalah adanya rasa kebencian yang pernah terucap oleh mereka terhadap orang-orang Islam. Sebagai akibatnya ialah mereka akan terus-menerus berusaha menyusahkan atau merusak tatanan Islam itu sendiri. Penalaran di atas membutuhkan adanya perbandingan (komparatif). Ayat di atas memberi indikasi yang jelas dan menyebutkan sebab sekaligus akibat dari sebab  dari suatu perbuatan. Dengan demikian metode dakwah dengan hikmah memerlukan adanya pemberian perbandingan, karena akallah yang dapat membedakan diantara yang benar dengan tidak benar, sesuatu yang bermanfaat dan yang mudharat dan seterusnya.
Kedua, penalaran sistesis. Kata al-aql digunakan al-Qur’an tentang degradasi manusia baik fisik ataupun jiwa. Hal ini terdapat misalnya pada surat Yasin ayat 68, yaitu :
وَمَنْ نُعَمِّرْهُ نُنَكِّسْهُ فِي الْخَلْقِ أَفَلَا يَعْقِلُونَ (يس : 68)
Artinya : Dan barang siapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian (nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan?
Ayat ini mengemukakan bahwa manusia akan mengalami perubahan. Kalau pada mulanya tubuh manusia itu kuat, pada masa tua ia akan menjadi lemah, jika sebelumnya tahu, ia akan menjadi bodoh dan kalau selama ini mempunyai ingatan yang kuat, ia akan menjadi pelupa.   Sintesis tersebut terlihat pada peristiwa-peristiwa masa lampau (qashshah) dan akan berindikasi terus-menerus untuk masa yang tidak terbatas. Dalam hal ini al-Qur’an mengajak agar dapat mempergunakan nalar tentang proses dan keadaan manusia dalam menempuh hidup ini melalui berbagai kisah yang telah dicontohkan Allah masa lalu. Kisah-kisah itu akan tetap aktual bagi orang yang mempergunakan akalnya, baik untuk kehidupan sekarang maupun yang akan datang. Kisah yang dikemukakan oleh Allah dalam al-Qur’an merupakan suatu cara dalam mengajak orang lain kepada kebenaran Ilahi. Sehingga metode dakwah dengan hikmah membutuhkan kepada kisah  (qashshah) masa lalu. Oleh karenanya kisah salah salah satu bentuk metode dalam upaya meyakinkan orang kepada Allah sebagai Khaliqnya.
Ketiga, penalaran analitis, misalnya kenapa Allah bersumpah (aqsâm) dengan alam ciptaanya, baik dengan memakai kalimat lansung ataupun melalui  huruf  qasam. Bila dianalisa secara mendalam nampaknya mengandung hikmah yang sangat dalam dan berguna bagi kepentingan penanaman pemahaman suatu ide kepada manusia. Sehingga ayat ayat yang terdapat dalam bentuk  sumpah adalah bertujuan membawa manusia berfikir dengan meneliti informasi ayat al-Qur’an secara ilmiah, misalnya kata wa al-Dhdhuha, wa al-Thin wa al-‘Ashr dan lain sebagainya dijabarkan menurut kaidah dan prinsip ilmu pengetahuan. Sumpah dalam hal ini bukan sebagai materi dakwah, akan tetapi sebagai metode dakwah dalam upaya memperteguh keyakinan seseorang kepada Allah Swt..
Keempat penalaran figuratif, yaitu penalaran melalui perumpamaan  (Amsãl) dan melalui pengembaraan (rihlah/tasyâran). Hal ini misalnya di ungkapkan oleh Allah surat al-Baqarah ayat 171, yaitu :
وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً وَنِدَاءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ (البقرة : 171)
Artinya : Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.
Ayat tersebut membangun suatu perumpamaan, bahwa orang-orang kafir disebut sebagai orang orang tuli, bisu dan buta karena tidak mau memperhatikan dan memikirkan kebenaran yang disampaikan kepada mereka. Diumpamakan dengan binatang ternak yang dipanggil oleh pengembalanya. Binatang itu mendengar panggilan tersebut, namun tidak memahami maknanya yang pasti. Ditinjau dari kaca mata pembaca perumpamaan itu, maka penalaran yang diungkap oleh ayat itu adalah analogis-figuratif. Sedangkan dalam bentuk wisata diharapkan dapat memberikan inspirasi dan aspirasi kepada jiwa dengan memperhatikan keanekaragaman alam dengan flora dan faunanya.
Pendayagunaan al-aql--berdasarkan uraian tentang penalaran di atas, ada implikasi yang hendak dicapai sebagai target seruan al-Qur’an, yaitu :
(1). Al-Qur’an mentargetkan dalam seruannya untuk mempergunakan akal (al-aql) secara optimal dalam upaya mengajak orang lain, karena akal merupakan bagian penting dari manusia, yang dengannya mereka dapat mengetahui dan mengambil keputusan. Bahkan al-Qur’an memuliakan akal dan mengulang kata ini 49 kali dalam berbagai surat dan ayat,  misalnya Allah mengecam dengan keras (ancaman kehinaan dan kemurkaan Allah) terhadap orang-orang yang tidak mengfungsikan akal mereka, seperti yang diungkapkan oleh Allah dalam surat Yunus 100, yaitu :
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تُؤْمِنَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ (يونس :100)
Artinya : Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.
Ayat di atas, berdasarkan penafsiran Rasyid Ridha (w. 1354H/1935M), bahwa seseorang yang akan beriman kecuali bila sesuai dangan kehendak Allah yang telah digariskan oleh Sunahnya yaitu dengan berpikir, memikirkan ayat-ayat-Nya, baik ayat-ayat yang terdapat pada kitab-Nya atau ayat-ayat yang terdapat pada makhluk-Nya. Jika tidak, maka amat fatal resikonya bagi keimanan seseorang terutama bagi orang-orang yang tidak mempergunakan akal mereka.
(2) Pemakaian kata al-aql secara keseluruhan ditargetkan oleh al-Qur’an adalah mengacu pada perannya untuk mencegah  manusia dari perbuatan destruktif terhadap dirinya, karena itu al-Qur’an menyerukan untuk menfungsikan akal kepada hal-hal yang bermanfaat, terpuji dan benar. Disamping itu al-Qur’an juga menunjukkan tentang penggunaan akal secara tidak terpuji seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi dan orang munafik, misalnya terdapat pada surat al-Maidah 58.
    Persoalan yang muncul dalam memahami kata hikmah dalam al-Qur’an secara keseluruhan, jelas akan membawa kontroversi dikalangan ulama  dalam Islam, karena akan melahirkan pertanyaan, apakah hikmah itu materi, atau metode? Jika kata hikmah itu diambil sebagai materi (pelajaran) yang datang dari Allah, karena disandingkan dengan dalam banyak ayat dengan kata Injil, Taurat dan al-Kitab, agaknya hikmah dalam pengertian ini tidak metode, tetapi adalah pesan yang harus disampaikan atau materi dakwah kepada masyarakat. Nampaknya analisa di atas terpatahkan, walaupun ada yang perpendapat demikian, karena pada rangkaian ayat  kata sebelumnya adalah sabili rabbika. Mufassir dalam memberi argumentasi kata itu adalah agama Islam. Dengan demikian adanya kata با (bi) ( harf al-Jar), menunjukan kepada jalan yang ditempuh atau alat yang  terpakai  dalam melaksanakan sesuatu. Sehingga kata hikmah pada surat al-Nahl ayat 125 itu adalah salah satu cara (metode) yang ditempuh oleh juru dakwah dalam menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat. Pemahaman hikmah sebagai metode pada ayat ini adalah merupakan jumhur pendapat mufassir. Oleh karena itu hikmah dari etimologi dan pemakaiannya dalam al-Qur’an dengan pengertian yang diberikan oleh ahli tafsîr adalah tidak sama dengan hikmah yang dipahami dalam bahasa Indonesia, dengan arti bijaksana.
    Dengan demikian metode dakwah hikmah adalah suatu metode dakwah praktis yang ditujukan kepada juru dakwah dalam membawa manusia kepada jalan benar dan harus mereka ikuti, sekaligus ayat tersebut juga mengajak manusia kepada hakikat murni dengan terlebih dahulu memperhatikan situasi dan kondisi, iklim serta medan dakwah. Atas dasar itu maka hikmah berjalan pada metode yang realitas (praktis) dalam melakukan suatu perbuatan. Artinya memperhatikan realitas yang terjadi diluar, baik pada tingkat intelektualitas, pemikir, psikologis, sosial, budaya, politik dalam masyarakat. Semua itu diselaraskan sesuai dengan persoalan yang mengintarinya. Hal ini relevan dengan ungkapan Ali bin Abi Thalib dalam menyampaikan ajaran Islam agar berkomunikasilah dengan manusia sesuai dengan kadar akalnya.
    Kata hikmah jika dikaitkan dengan kata dakwah, akan ditemukan bahwa keduanya merupakan peringatan penting kepada juru dakwah untuk tidak menggunakan satu bentuk metode saja dalam berdakwah. Sebaliknya juru dakwah menggunakan berbagai macam metode sesuai dengan realitas yang dihadapi dan  sikap masyarakat terhadap agama Islam. Sebab jika tidak demikian dakwah Islam tidak akan berhasil menjadi suatu wujud yang riil jika metode dakwah  yang dipakai untuk menghadapi orang bodoh sama dengan yang dipakai untuk menghadapi orang terpelajar dan sebaliknya. Sebahagian orang  hanya memerlukan iklim dakwah yang penuh gairah dan berapi-api, sementara yang lain memerlukan iklim dakwah yang  sejuk  dan seimbang yang memberikan kesempatan bagi intelek untuk berfikir dan bagi batin untuk mendapatkan ketenangan. Pada sisi lain diperlukan mempresentasikan materi dakwah  lewat pembahasan yang rinci, sedangkan pada kesempatan lain diperlukan menyampaikan secara garis besarnya saja, semetara rinciannya diberikan pada kesempatan mendatang. Keberhasilan Nabi Muhammad Saw. dalam menyampaikan ajaran Islam, nampaknya karena menjadikan hikmah pada ayat  al-Nahl 125 sebagai metode dalam penyampaian ajaran Islam untuk membawa orang kepada kebenaran yang sesuai dengan ketantuan moral Islam yang dipaparkan al-Qur’an al-Karim.
Kesimpulan
Memperhatikan pengartian hikmah yang terdapat dalam al-Qur’an dari beberapa pendapat ilmuan tafsir di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan antara lain :
1.    Metode dakwah hikmah adalah suatu cara dalam mengajak orang lain kepada Islam dengan memberdayakan akal, ilmu secara benar dan mendalam melalui pendekatan filosofis dan rasional ( hikmiyah dan aqliyah) diarahkan kepada kumunitas pemikir dan intelektual, karena golongan ini cenderung mempunyai daya tangkap yang cepat, kritis dan wawasan yang luas.
2.    Memberikan materi dakwah dengan argumentasi yang dapat menghilangkan keraguan dan membawa kepada keyakinan, bersifat induktif, analisis, objektif, logis, kumunikatif dan komparatif.
3.    Menempatkan  dan meletakan audiens sesuai dengan posisi dan proporsinya.
4.    Ketiga natijah di atas, bila dilihat dari pengertian hikmah dalam perspektif mufassir didalam memberikan interprtasi terhadap kata himah dalam al-Qur’an, nampaknya sangat signifikan dengan makna hikmah sebagai suatu metode dakwah, yaitu mengajak orang lain kepada Islam melalui ilmu pengetahuan, kecakapan membaca situasi dan kondisi umat serta kemampuan memilih bahasa yang terpakai dalam masyarakat, sehingga audiens dapat menerima Islam sebagai suatu kebutuhan dan rela melaksanakan ajarannya dalam kehidupan.

Daftar Rujukan:


 ‘Abdu al-Wahâb Kahîli, al-Ususi al-‘ilmiati wa al-Tathbîqiyati lil’ilâmi  al-Islamî, (Ttp‘Âlam al-Kutub Maktabah al-Qudusi, 1406/1985).
A. Hasjmi, Benarkah Dakwah Islam Bertugas Menbangun Manusia  dan Masyarakat ?, (Bandung: al-Ma’arif,  1991).
 Abdu al-Rahîm bin Muhammad al-Maghzawî, Wasâil al-Dakwah, (Riyadh: Dâr Asÿbîliyâ, 1420 H/2000 M).
Abi al-Qâsim Jâr Allâh Muhammad bin Umar al-Zamakhsyarî al-Khawârizmî, Al-Kasysyâf al-Haqâ’ al-Tanzîl wa ‘uyûnu al-Aqâwîl Fî Wujûh al-Ta’wîl (selanjutnya disebut Tafsîr  al-Kasysyaf), (Kairo: Intisyarat Aftah, Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1966).
Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl ‘Ayi al-Qur’ân, (Ttp: Syarikah Iqamah al-Din, tt).
Abû Qâsîm al-Husein bin Muhammad al-Ishfahânî, al-Mu’jam fî Gharib al-Qur’ân, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1961).
Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1365 H/1945 M).
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,  1995).
Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pasentren al-Munawwir, 1997).
Al-Hikmah, Jurnal Pencerahan Pemikiran Islam, No. 1, (Bandung: Yayasan Muthahhari, 1990).
Al-Razi, Tafsîr-Kabir III, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1978).
Bathrus al-Bustani, Qathar al-Muhith , (Beirut: Maktabah Lebanon, tt).
Depertamen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990).
Fuad Hasan dan Koentjaraningrat, Beberapa Asas Metodologi Ilmiah,  di  dalam Koentjaraningrat (Ed), Metodologi Penelitian  Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1977)
Hamka, Tafsîr al-Azhar, Juz. II h. 410, juz. V).
Henry  van Lear,  Filsafat  Sain, Terjemahan Yudian Wahyudi  Asmin, 1995).
Husein Yusuf Mûsâ dan Abdul al-Fatah al-Sha’dî, al-Ifshah fi al-Lughat, (Kairo: Dâr al-Fikr, tt).
Ibn Manzur al-Afriqi al-Mishri, Lisân al-Arab, (Beirut: Dâr Shadir  Lithaba’ah wa al-Nasyar, 1995).
Ibrâhîm Musthafâ, Dkk., al-Mu’jam al-Wasîth, (Turki-Istambul: Dâr al-Da’wah, 1989).
Imâm al-Jalîl al-Hafîdz ‘Imâd al-Dîn Abu Fida’ Ismâîl al-Qurâsyî al-Dimasyqî, Tafsîr  al-Qur’ân al-’Azhîm,  (Beirut: Li ibni’alim al-Kitâb, tt).
Imam Muhammad Fakhr al-Dîn al-Râzî Ibn al-Alamah Dhiya’i al-Dîn Umar, Tafsîr al-Fakhr al-Razi al-Musytahar bi al-Tafsîr wa Mafatihi al-Ghaib,  (Lebanon: Dâr al-Fikr, 1994)
Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qur’ân  al-Hakîm,  (Kairo: Ta’lif Muhammad Rasyid Ridha,  al-Manar, 1333 H/1893 M).
Muhammad Abu Al-Fatah al-Bayãnûnî, Al-Madkhal Ilâ ‘Ilmi al-Dakwah, (Beirut: Muassasah  al-Risalah, 1991).
Muhammad Fuad al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras Li al-Fazh al-Qur’ân al-Karim, (Lebanon-Beirut: Dâr al-Ma’rifat,  1992).
Muhammad Husein al-‘Alamah al-Thaba’thabai, Al-Mizan Fi Tafsir al-Qur’an, Dar al-Fikr, Beirut, 1991).
Poerwadarminta, Kamus  Bahasa  Indonesia, (Jakarta: Balai  Pustaka, Cet. IX, 1986).
Sa’id Ibn Ali Ibn Wahaf al-Qahatahani, al-Hikmah Fi al-Da’wa ila Allâh Ta’âlâ, (Lebanon-Beirut: Muassasah,  tt).
Sayyid Quthb, Fî Zilâ al-Qur’ân, (Kairo: Dâr al-Syuruq, tt).
Wahbah al-Zuhailî, Tafsîr al-Munîr Fî al-‘Aqîdah, wa al-Syarî’at wa al-Manhaj, (Beirut-Lebanon: Dâr al-Fikr,  1991/1411).
William Collins, Webster’s New Twentieth Century  Dictionary, (Amerika Serikat: Noah Webster, 1980.

e

0 Comment