A. Pendahuluan
Kedudukan wali di dalam sebuah pernikahan adalah sebuah permasalahan yang selalu membawa perbedaan pendapat di kalangan ulama, terutama antara ulama Syafi’iyyah dan ulama Hanafiyah. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan pandangan para ulama menyangkut hadits nabi yang berhubungan dengan masalah wali. Baik itu menyangkut kualitas, maupun pemahaman/fiqh hadîts tersebut.
Di dalam makalah singkat ini penulis akan membahas mengenai hadits-hadîts yang berhubungan dengan wali di dalam pernikahan. Adapun metode yang penulis pakai adalah metode tematis (maudhu’iy). Penulis akan mendahului pembahasan ini dengan penjelasan singkat mengenai istilah wali, kemudian akan dilanjutkan dengan menampilkan hadits-hadits yang yang berhubungan dengan wali di dalam pernikahan, selanjutnya menampilkan sekilas tentang penilaian ulama terhadap kwalitas hadits. Setelah itu barulah penulis melanjutkannya dengan pemahaman hadits-hadîts tersebut.
B. Wali
1. Pengertian Wali
Kata "wali" menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu waliy dengan bentuk jamak auliyâ’ yang berarti penolong yang merupakan lawan dari kata adhuw (musuh). Bentuk mashdar-nya adalah al-walayah/al-wilayah dengan makna al-nushrah (pertolongan), selain itu juga bermakna kerabat. Dan di antara al-asma’ al-husna adalah al-Waliy yang berarti pemilik sesuatu secara keseluruhannya dan yang berhak mengatur segala sesuatunya
Menurut istilah, kata "wali" dipakai di dalam beberapa istilah yaitu:
1. Waliy al-yatîm yaitu: Orang yang diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, dan memeliharanya.
2. Waliy al-mar’ah yaitu: orang yang diserahi untuk melaksanakan akad nikah yang tidak sah akad tersebut tanpa adanya wali tersebut.
Sedangkan ‘abd al-Rahman al-Jazairy mengungkapkan makna wali dalam al-Fiqh 'ala Mazâhib al-Arba'ah sebagai berikut:
الولى فى النكاح هو : ما يتوقف عليه صحّة العقد فلا يصحّ بدونه
"Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya dia (wali)”.
3. Wali dengan makna al-umara’ yang mengatur sebuah wilayah.
Wali ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus, yang umum berkaitan dengan orang banyak dalam satu wilayah atau negara dan yang khusus berkenaan dengan seseorang dan harta benda. Dalam pembahasan makalah ini yang akan dibicarakan adalah wali terhadap manusia yang bersifat khusus, yaitu tentang perwalian dalam pernikahannya, yaitu orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita.
2. Hadîts-Hadîts tentang Wali
أ) عَنْ أَبي بُرْدةَ عنِ أبي موسى قالَ: قالَ رسولُ اللَّهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: "لا نكاح إلا بوَليَ"
Artinya: "Dari abiy Burdah dari abiy Musa dari Bapaknya dari Nabi SAW bersabda: "Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali.
ب) عن أبى هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله ص.م.: لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا
Artinya: "Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda "wanita tidak boleh mengawinkan wanita dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya"(HR. Ibnu Mâjah dan Ad-Daruquthni ).
ت) عن عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله ص.م. : أَيُّمَا امْرَأَةٍ لَمْ يُنْكِحْهَا الْوَلِىُّ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا مَهْرُهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِىُّ مَنْ لاَ وَلِىَّ لَهُ
Artinya: " Dari Aisyah ra berkata : Rasulullah SAW bersabda: "Tiap-tiap wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika perempuan itu telah disetubuhi, maka dia berhak menerima mahar dengan sebab persetubuhan itu. Maka jika para wali enggan (berselisih), maka sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak ada wali."
أ) عن ابن عباس قال: قال رصول الله ص.م.: الثيب أحق بنفسها من وليها والبكرتستأذن فى نفسها و إذنها صما تها
Artinya: " Dari Ibnu Abbâs ra, ia berkata : Nabi SAW bersabda: "Perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya dan anak gadis diminta pertimbangannya dan izinnya adalah diamnya. "
3. Kwalitas Hadîts
Mengenai kwalitas hadîts-hadîts di atas, para ulama telah memberikan penilaian, di antaranya:
أ) وَعَنْ أَبي بُرْدةَ بنِ أبي موسى عَنْ أَبيهِ رضيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا قالَ: قالَ رسولُ اللَّهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: "لا نكاح إلا بوَليَ"
Menurut al-Suyuthiy Hadîts ini berkwalitas shahîh, begitu juga menurut Al-Baniy, sedangkan jalur lain yang menambahkannya dengan lafaz وشاهدين berkualitas hasan.
Menurut ibn Katsir hadîts ini diriwayatkan oleh abu Dâwud, Tirmidziy, Ibn Mâjah dan dan lainnya melalui Isrâ-îl, abu Uwânah, Syuraik al-Qadhiy, Qais ibn Rabi’, Yûnus ibn abiy Ishaq dan Zuhair ibn Mu’awiyah yang kesemuanya dari abiy Ishaq. Sementara itu Syu’bah dan al-Tsauriy meriwayatkan dari abiy Ishaq secara mursal.
ب) عن أبى هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله ص.م.:لا تزوج المرأة المرأة ولا تزوج المرأة نفسها
Menurut al-Shan’aniy hadîts ini diriwayatkan oleh ibn Mâjah dan al-Daruquthniy dengan sanad yang tsiqah.
ت) عن عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله ص.م. : أيما إمرأة نكاحت بغير إذن وليهافنكاحها باطل, فنكاحها باطل, فنكاحهاباطل.فإن أصابها فلها مهرها بما أصاب من فرجها وإن اشتجروافالسلطان ولي من لا ولي لها
Hadîts ini diriwayatkan melalui jalur ‘abd al-Wahhab Muhammad al-Kasa’iy dari ‘abd al-Aziz ibn Ahmad al-Khilal dari abiy al-‘Abbas al-‘Asham, dari Rabi’ dari al-Syafi’iy dari Sa’id ibn Salim dari dari ibn juraij dari Sulaimân ibn Musa dari dari ibn Syihab (al-Zuhri) dari ‘Urwah dari ‘Aisyah. Di mana menurut abiy ‘Isa hadîts ini berkwalitas hasan, karena hadîts ini juga diriwayatkan Yahya ibn Sa’id al-Anshariy, Yahya ibn Ayyub dan Sufyan al-Tsauriy serta Imam hadîts lain dari ibn Juraij.
Sedangkan menurut al-Shan’aniy, hadîts ini dinilai Shahîh oleh abu ‘Uwanah, ibn Hibban, al-Hakim, Yahya ibn Ma’in dan para huffaz lainnya.
Meski demikian juga ada ulama yang menilai hadîts ini dha’if, dengan alasan perkataan Juraij, di mana tatkala ia menanyai al-Zuhri -yang meriwayatkan hadîts ini- mengenai hadîts ini, al-Zuhri malah mengingkarinya.
ث) عن ابن عباس قال: قال رصول الله ص.م.: الثيب أحق بنفسها من وليها والبكرتستأذن فى نفسها و إذنها صما تها
Hadîts riwayat Muslim ini dinilai Shahîh oleh Qadhi Iyadh, meskipun Ia memiliki redaksi yang berbeda-beda masing-masing jalurnya. Hingga beliau mengatakan: وهذا حديث أصل من أصول الأحكام صحيح من رواية الثقات . Selain jalur Muslim, hadîts ini juga diriwayatkan lewat jalur abu Dâwud dan al-Nasa’i dan shahîh-kan oleh ibn Hibbân.
C. Pemahaman Hadîts tentang Wali
Jumhur ulama berpendapat bahwa wali nikah adalah merupakan salah satu dari rukun nikah. Selain dari ayat al-Qur’ân, yang mereka jadikan dalil adalah hadîts Nabi berikut ini:
وَعَنْ أَبي بُرْدةَ بنِ أبي موسى عَنْ أَبيهِ رضيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا قالَ: قالَ رسولُ اللَّهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: "لا نكاح إلا بوَليَ"
Jumhur ulama memandang la nafiy di dalam hadîts menunjukkan nafiy al-shihah. Artinya dengan tidak adanya wali di dalam pernikahan mengakibatkan tidak sahnya pernikahan tersebut. Di antara para sahabat dan ulama mutaqaddimin yang berpendapat seperti ini adalah ‘Ali, ‘umar, ibn ‘Abbas, ibn Mas’ud, abiy Hurairah, Hasan al-Bashriy, ibn Musyayyab, Syubrumah, Ahmad dan Syafi’i. Mereka mengatakan tidak sah aqad nikah tanpa adanya wali (لا يصح العقد بدون ولي). Bahkan ibn Mundzir mengungkapkan bahwa ia tidak mengetahui seorang sahabatpun yang pendapatnya berbeda dengan pendapat ini. Sedangkan sikap Aisyah yang mengharuskan adanya wali di dalam pernikahan tergambar di dalam riwayat ‘Abd al-Rahmân ibn Qasim dari bapaknya, bahwa salah seorang perempuan dari keluarga ‘Aisyah pernah dipinang lewat beliau, maka ketika beliau telah menerima pinangan tersebut dan akan dilakukan akad nikah, maka beliau menyuruh keluarga dari perempuan tersebut untuk menikahkannya dan mengatakan bahwa wanita tidak berhak untuk melaksanakan akad nikah.
Sedangkan abu Hanifah menilai bahwa la Nafiy di dalam hadîts ini bermakna nafi al-kamal. Baginya dengan tidak adanya wali maka nikah tidaklah sempurna, namun tetap sah. Pendapat Jumhur ulama ini juga diperpegangi oleh al-Suyuthiy.
Hadîts ini sebetulnya memiliki perbedaan matan pada masing-masing riwayatnya, di antaranya adalah:
1. Riwayat ibn ‘Abbas
Di dalam riwayat ibn ‘Abbas terdapat beberapa versi matan yaitu: hadîts yang diriwayatkan oleh Thabraniy dengan matan berikut:
لا نكاح إلا بوَليَ والسلطان ولي من لا ولي له
Sedangkan di dalam riwayat Tabraniy di dalam kitab Aushat dengan matan berikut:
لا نكاح إلا بوَليَ مرشد أوسلطان
2. Riwayat ‘Imran Ibn Hashin
Di dalam riwayat tersebut dengan matan berikut:
لا نكاح إلا بوَليَ وشاهدى عدل
Hadîts ini diriwayatkan oleh Ahmad, al-Daruquthniy dan al-Baihaqiy.
Jalur ibn ‘Abbas, semakin mempertegas akan pentingnya seorang wali, sehingga ketika seseorang tidak memiliki wali nasab, maka mereka harus tetap memakai wali yaitu sulthan (wali hakim). Sedangkan riwayat ibn ‘Abbas yang kedua dan riwayat Ibn Hashin menjelaskan kriteria wali nikah tersebut yaitu seseorang yang cerdas dan ‘adil.
Adapun hadîts lain yang dijadikan dalil keharusan wali di dalam pernikahan adalah:
أيما إمرأة نكحت بغير إذن وليهافنكاحها باطل, فنكاحها باطل, فنكاحهاباطل.فإن أصابها فلها مهرها بما أصاب من فرجها وإن اشتجروافالسلطان ولي من لا ولي لها
Kata “أي” di dalam hadîts ini bermakna umum tanpa adanya takhshish, maka ia bermakna wanita mana saja, yang jika ia menikahkan dirinya sendiri, tanpa izin wali, maka nikahnya itu dianggap bathil. Pengulangan kata فنكاحها باطل, menurut Mubarakfûriy bertujuan untuk penegas (taukid dan mubalaghah).
Khusus mengenai lafaz بغير إذن وليه terdapat perbedaan lafaz. Di dalam riwayat abiy Dâwud بغير إذن مواليها, sedangkan menurut ibn Mâjah adalah لم ينكحها الوالي (dengan arti tidak memberi izin akan pernikahan tersebut). Namun kedua lafaz ini menurut al-Bughawiy memiliki makna yang sama.
Berangkat dari kata بغير إذن وليها ini pulalah nantinya Abu Tsaur memandang bolehnya seorang wanita untuk menikahkan dirinya sendiri jika walinya mengizinkan. Baginya seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya jika tidak ada izin dari wali, dan sebaliknya jika walinya memberi izin maka dia boleh menikahkan dirinya sendiri.
Sedangkan dari lafaz فإن أصابها فلها مهرها بما أصاب من فرجها dipahami bahwa jika telah terjadi hubungan suami istri pada pernikahan bathil ini (tanpa izin wali), maka si perempuan berhak menerima mahar atas hubungan tersebut. Jadi ini menjadi dalil bahwa hubungan suami istri seperti ini mewajibkan untuk membayar mahar, bukan dikenakan had, dan tidak pula mengakibatkan terjalinnya hubungan nasab.
Dan jika terjadi perselisihan dengan wali yang dapat menghalangi terjadinya akad, maka sulthan atau wali hakim berhak menikahkannya. Karena keengganan wali (‘adhl) di dalam aqad nikah ini sama halnya dengan tidak ada wali. Maka di dalam hal ini sulthan adalah wali baginya, bukan kepada wali yang lebih jauh. Menurut Syafi’iy hal ini juga berlaku bagi wali yang ghaib dengan jarak masafah al-qashar. Berbeda dengan al-Syafi’iy, bagi ahl al-Ra’y jika wali ghaib, maka perwalian diserahkan kepada wali yang lebih jauh, bukan kepada hakim.
Dari hadîts ‘Aisyah ini setidaknya ada tiga hukum yang dapat ditarik yaitu:
a. Akad nikah yang dilaksanakan tanpa wali , maka hukumnya batal/tidak sah
b. Melakukan persetubuhan atas dasar menganggap akan halalnya mewajibkan kepada laki-laki pelaku untuk membayar mahar mitsil.
c. Wanita yang berselisih dengan walinya atau wali ghaib atau memang tidak ada wali, maka sulthan-lah walinya atau wali hakim.
Dari redaksi hadîts (فالسلطان ولي من لا ولي لها) dipahami bahwa keberadaan wali mutlaq dibutuhkan. Jika memang tidak ada wali dari pihak keluarga, maka solusi akhirnya sulthân yang akan menjadi wali nikahnya.
Sedangkan hadîts berikut yang dijadikan dalil oleh jumhur ulama adalah hadîts abi Hurairah berikut ini:
عن أبى هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله ص.م.:لا تزوج المرأة المرأة ولا تزوج المرأة نفسها.
Hadîts ini menjadi dalil bahwa seorang wanita tidak dapat menjadi wali pernikahan, baik untuk dirinya sendiri maupun bagi orang lain, ijab maupun qabul, diberi izin atau tidak diberi izin oleh wali. Ini adalah pendapat dari jumhur ulama.
Sedangkan di dalam riwayat al-Thabrâniy terdapat penambahan lafaz yaitu: التي تزوجها نفسها هي الزانية
Menurut al-Hafizh lafaz ini merupakan penambahan dari perkataan abiy Hurairah.
Berbeda dengan jumhur ulama, bagi abu Hanifah pada dasarnya keberadaan wali bukanlah menjadi syarat pernikahan. Seorang wanita dibolehkan untuk menikahkan dirinya sendiri, meskipun tanpa izin walinya, jika dengan yang se-kufu’ dengannya. Bagi beliau hadîts yang dipahami oleh ulama jumhur sebagai syarat harus adanya wali dipahami bahwa riwayat itu ditujukan bagi wali ‘ala al-shaghirah (anak yang belum baligh). Selain itu beliau juga menjadikan qiyas sebagai pendukung argumennya, yaitu dengan meng-qiyas-kannya dengan kebolehan wanita melaksanakan aqad di dalam jual beli. Selain itu mereka juga menggunakan dalil hadîts nabi berikut:
عن ابن عباس قال: قال رصول الله ص.م.: الثيب أحق بنفسها من وليها والبكرتستأمر و إذنها سكوتها تها
Di dalam riwayat Muslim Lainnya dengan redaksi berikut ini:
الأيم أحق بنفسها من وليها والبكرتستأذن فى نفسها و إذنها صما تها
Menurut ahli bahasa ayyim adalah setiap wanita yang tidak memiliki suami, baik kecil maupun dewasa, gadis maupun janda. Ini sebagaimana perkataan al-Harbiy dan Isma’il al-Qadhiy.
Khusus mengenai makna ayyim di dalam hadîts terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, di antaranya:
a. Menurut ulama Hijaz dan mayoritas Fuqaha’, yang dimaksud dengan ayyim di dalam hadîts ini adalah setiap wanita yang tidak lagi bersama suaminya (janda), baik karena perceraian, maupun karena meninggalnya sang suami. Jadi setiap wanita yang tidak lagi gadis (bikr) merupakan ayyim.
b. Sedangkan bagi ulama kufah, ayyim di dalam Hadîts sama dengan pendapat ahli bahasa, yaitu meliputi seluruh wanita yang tidak bersuami, baik gadis maupun janda. Bagi mereka seorang wanita jika telah baligh, ia lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, dan jika ia melaksanakan ‘akad atas dirinya, maka hal itu dibolehkan. Ini adalah pendapat Sya’biy dan al-Zuhriy. Mereka mengatakan bahwa keberadaan wali bukanlah merupakan rukun sahnya akad nikah, melainkan hanyalah penyempurna. Dan menurut al-Auza’iy dan Muhammad ibn Hasan serta abiy Yusuf sahnya aqad ditentukan oleh pembolehan dari qadhiy.
Selain mengenai makna ayyim ini, para ulama juga berbeda pendapat mengenai makna احق بنفسها من وليها , apakah hak di sini hanya untuk izin atau justru juga termasuk melaksanakan akad. Bagi jumhur ulama hanya izin/ridha. Mereka memahami Hadîts ini sebagai berikut: seorang wali memiliki hak di dalam menikahkan seorang perempuan, sedangkan wanita memiliki hak yang lebih banyak. Adapun haknya itu adalah bahwa tidaklah sempurna pernikahan tersebut kecuali dengan adanya keridhaan perempuan tersebut. Maka menurut jumhur hadits ini bermakna bahwa seorang janda tidak boleh dipaksa untuk dinikahkan. Sedangkan bagi Dâwud dan abi Hanifah seorang ayyim berhak untuk melakukan akad.
Sedangkan mengenai makna إذنها صماتها , juga terjadi perbedaan pendapat, yaitu apakah setiap yang belum bersuami izinnya dapat disimpulkan dari diamnya saja, atau tidak.
Maka menurut jumhur hal itu dianjurkan bagi yang yatim, Sedangkan menurut Isfarayainiy, hal ini hanya berlaku bagi anak yang memiliki ayah, sedangkan yang yatim harus dengan mendengarkan kesediaannya. Adapun menurut al-Khitabiy, yaitu bagi yang memiliki kakek.
D. Penutup
1. Kesimpulan
Dari pembahasan singkat mengenai Hadits-hadis tentang wali ini dapat disimpulkan bahwa: Jumhur ulama memahami bahwa menurut perspektif hadits, kedudukan wali di dalam pernikahan sangat menentukan sahnya suatu akad, sedangkan menurut ulama Hanafiyah keberadaan wali tidak menjadi syarat mutlaq sahnya pernikahan. Bagi mereka seorang wanita dapat menjadi wali, baik untuk dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Pendapat Hanafiyah ini juga sejalan dengan pendapat Abu Tsaur.
Perbedaan pendapat ini disebabkan perbedaan pemahaman masing-masing ulama terkait dengan hadits tersebut.
2. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum bisa dikatakan sebagai pembahasan hadits secara tematis, mengingat masih banyak hadits-hadits terkait yang tidak sempat penulis rangkum ke dalam makalah ini. Maka untuk kesempurnaan pengetahuan kita mengenai pembahasan ini alangkah baiknya jika ada yang berusaha melakukan penelitian lanjutan, serta tetap menyelaraskannya dengan penelitian tafsir terkait dengan masalah kedudukan wali ini.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ma'luf, Louis, al-Munjid, Beirut: Dar AL-Masyrik, 1975
Ibn Manzhur, Lisan al-’Arab, Qahirah: Dar al-Ma’arif, [t.th]
Al-Jaziri, Abd al-Rahmân, Al- Fiqh ‘ala Mazâhib Al- Arba’ah, Beirut : Dâr Al- Fikr, t.th
‘Abd al-Bâqiy, Muhammad Fu’ad, Miftah Kunuz al-Sunnah, Lahore: Idarah Tarjaman al-Sunnah, 1978
Al-Sijistaniy, abiy Dâwud Sulaiman ibn ‘Asy’ats, Sunan abiy Dâwud, Riyad: Maktabah al-ma’arif, [t.th]
Al-Tirmidziy, Muhammad ibn ‘Isa ibn Tsaurah, Sunan al-Tirmidziy, wa Hua al-Jami’ al-Mukhtashar min al-Sunan ‘an Rasul Allâh Saw wa Ma’rifah al-Shahih wa Ma’lul wa ma ‘alaih al-‘Amal, Riyad: Maktabah al-ma’arif, [t.th]
Shabariy, Ahmad Nashr Allâh, Mukhtashar Shahîh Jâmi’ al-Shaghîr, [t.kt]: Alfan, 2008
Al-Shan’aniy, Muhammad ibn Ismâ’il, Subul al-Salam, Bandung: Maktabah Dahlan, [t.th], diterj. Muhammad Isnan, Subulussalam Syarh Bulughul Maram, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2007)
Hashabiy, Abiy al-Fadh ‘Iyadh ibn Musa Iyadh, Syarh shahîh Muslim li al-Qadhiy ‘Iyadh al-Musamma Ikmal al-Mu’lim bi Fawa’id Muslim, al-Mansurah: Dar al-Wafa, 1998
Al-Syaukaniy, Muhammad ibn ‘Aliy ibn Muhammad, Nail al-Authar bi Syarh Muntaqa al-Akhbar fi Ahâdîts Said al-Akhyâr, [tt]: Musthafa al-Babiy al-Halabiy, [t.th]
Al-Subkiy, Mahmûd Muhammad Khattab, Manhal a’Azb al-Maurûd Syarh Sunan al-Imam abiy Dâwud, Beirut: al-Tarikh al-‘Arabiy, [t.th]
Al-Mubarakfûriy, Abiy al-‘Aliy Muhammad ibn ‘abd al-Rahmân ibn ‘abd al-Rahîm, Tuhfah al-Ahwadziy bi Syarh Jami’ al-Tirmidziy, Beirut: Dar al-Fikr, t.th]
#Makalah
Kedudukan wali di dalam sebuah pernikahan adalah sebuah permasalahan yang selalu membawa perbedaan pendapat di kalangan ulama, terutama antara ulama Syafi’iyyah dan ulama Hanafiyah. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan pandangan para ulama menyangkut hadits nabi yang berhubungan dengan masalah wali. Baik itu menyangkut kualitas, maupun pemahaman/fiqh hadîts tersebut.
Di dalam makalah singkat ini penulis akan membahas mengenai hadits-hadîts yang berhubungan dengan wali di dalam pernikahan. Adapun metode yang penulis pakai adalah metode tematis (maudhu’iy). Penulis akan mendahului pembahasan ini dengan penjelasan singkat mengenai istilah wali, kemudian akan dilanjutkan dengan menampilkan hadits-hadits yang yang berhubungan dengan wali di dalam pernikahan, selanjutnya menampilkan sekilas tentang penilaian ulama terhadap kwalitas hadits. Setelah itu barulah penulis melanjutkannya dengan pemahaman hadits-hadîts tersebut.
B. Wali
1. Pengertian Wali
Kata "wali" menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu waliy dengan bentuk jamak auliyâ’ yang berarti penolong yang merupakan lawan dari kata adhuw (musuh). Bentuk mashdar-nya adalah al-walayah/al-wilayah dengan makna al-nushrah (pertolongan), selain itu juga bermakna kerabat. Dan di antara al-asma’ al-husna adalah al-Waliy yang berarti pemilik sesuatu secara keseluruhannya dan yang berhak mengatur segala sesuatunya
Menurut istilah, kata "wali" dipakai di dalam beberapa istilah yaitu:
1. Waliy al-yatîm yaitu: Orang yang diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, dan memeliharanya.
2. Waliy al-mar’ah yaitu: orang yang diserahi untuk melaksanakan akad nikah yang tidak sah akad tersebut tanpa adanya wali tersebut.
Sedangkan ‘abd al-Rahman al-Jazairy mengungkapkan makna wali dalam al-Fiqh 'ala Mazâhib al-Arba'ah sebagai berikut:
الولى فى النكاح هو : ما يتوقف عليه صحّة العقد فلا يصحّ بدونه
"Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya dia (wali)”.
3. Wali dengan makna al-umara’ yang mengatur sebuah wilayah.
Wali ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus, yang umum berkaitan dengan orang banyak dalam satu wilayah atau negara dan yang khusus berkenaan dengan seseorang dan harta benda. Dalam pembahasan makalah ini yang akan dibicarakan adalah wali terhadap manusia yang bersifat khusus, yaitu tentang perwalian dalam pernikahannya, yaitu orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita.
2. Hadîts-Hadîts tentang Wali
أ) عَنْ أَبي بُرْدةَ عنِ أبي موسى قالَ: قالَ رسولُ اللَّهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: "لا نكاح إلا بوَليَ"
Artinya: "Dari abiy Burdah dari abiy Musa dari Bapaknya dari Nabi SAW bersabda: "Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali.
ب) عن أبى هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله ص.م.: لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا
Artinya: "Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda "wanita tidak boleh mengawinkan wanita dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya"(HR. Ibnu Mâjah dan Ad-Daruquthni ).
ت) عن عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله ص.م. : أَيُّمَا امْرَأَةٍ لَمْ يُنْكِحْهَا الْوَلِىُّ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا مَهْرُهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِىُّ مَنْ لاَ وَلِىَّ لَهُ
Artinya: " Dari Aisyah ra berkata : Rasulullah SAW bersabda: "Tiap-tiap wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika perempuan itu telah disetubuhi, maka dia berhak menerima mahar dengan sebab persetubuhan itu. Maka jika para wali enggan (berselisih), maka sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak ada wali."
أ) عن ابن عباس قال: قال رصول الله ص.م.: الثيب أحق بنفسها من وليها والبكرتستأذن فى نفسها و إذنها صما تها
Artinya: " Dari Ibnu Abbâs ra, ia berkata : Nabi SAW bersabda: "Perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya dan anak gadis diminta pertimbangannya dan izinnya adalah diamnya. "
3. Kwalitas Hadîts
Mengenai kwalitas hadîts-hadîts di atas, para ulama telah memberikan penilaian, di antaranya:
أ) وَعَنْ أَبي بُرْدةَ بنِ أبي موسى عَنْ أَبيهِ رضيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا قالَ: قالَ رسولُ اللَّهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: "لا نكاح إلا بوَليَ"
Menurut al-Suyuthiy Hadîts ini berkwalitas shahîh, begitu juga menurut Al-Baniy, sedangkan jalur lain yang menambahkannya dengan lafaz وشاهدين berkualitas hasan.
Menurut ibn Katsir hadîts ini diriwayatkan oleh abu Dâwud, Tirmidziy, Ibn Mâjah dan dan lainnya melalui Isrâ-îl, abu Uwânah, Syuraik al-Qadhiy, Qais ibn Rabi’, Yûnus ibn abiy Ishaq dan Zuhair ibn Mu’awiyah yang kesemuanya dari abiy Ishaq. Sementara itu Syu’bah dan al-Tsauriy meriwayatkan dari abiy Ishaq secara mursal.
ب) عن أبى هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله ص.م.:لا تزوج المرأة المرأة ولا تزوج المرأة نفسها
Menurut al-Shan’aniy hadîts ini diriwayatkan oleh ibn Mâjah dan al-Daruquthniy dengan sanad yang tsiqah.
ت) عن عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله ص.م. : أيما إمرأة نكاحت بغير إذن وليهافنكاحها باطل, فنكاحها باطل, فنكاحهاباطل.فإن أصابها فلها مهرها بما أصاب من فرجها وإن اشتجروافالسلطان ولي من لا ولي لها
Hadîts ini diriwayatkan melalui jalur ‘abd al-Wahhab Muhammad al-Kasa’iy dari ‘abd al-Aziz ibn Ahmad al-Khilal dari abiy al-‘Abbas al-‘Asham, dari Rabi’ dari al-Syafi’iy dari Sa’id ibn Salim dari dari ibn juraij dari Sulaimân ibn Musa dari dari ibn Syihab (al-Zuhri) dari ‘Urwah dari ‘Aisyah. Di mana menurut abiy ‘Isa hadîts ini berkwalitas hasan, karena hadîts ini juga diriwayatkan Yahya ibn Sa’id al-Anshariy, Yahya ibn Ayyub dan Sufyan al-Tsauriy serta Imam hadîts lain dari ibn Juraij.
Sedangkan menurut al-Shan’aniy, hadîts ini dinilai Shahîh oleh abu ‘Uwanah, ibn Hibban, al-Hakim, Yahya ibn Ma’in dan para huffaz lainnya.
Meski demikian juga ada ulama yang menilai hadîts ini dha’if, dengan alasan perkataan Juraij, di mana tatkala ia menanyai al-Zuhri -yang meriwayatkan hadîts ini- mengenai hadîts ini, al-Zuhri malah mengingkarinya.
ث) عن ابن عباس قال: قال رصول الله ص.م.: الثيب أحق بنفسها من وليها والبكرتستأذن فى نفسها و إذنها صما تها
Hadîts riwayat Muslim ini dinilai Shahîh oleh Qadhi Iyadh, meskipun Ia memiliki redaksi yang berbeda-beda masing-masing jalurnya. Hingga beliau mengatakan: وهذا حديث أصل من أصول الأحكام صحيح من رواية الثقات . Selain jalur Muslim, hadîts ini juga diriwayatkan lewat jalur abu Dâwud dan al-Nasa’i dan shahîh-kan oleh ibn Hibbân.
C. Pemahaman Hadîts tentang Wali
Jumhur ulama berpendapat bahwa wali nikah adalah merupakan salah satu dari rukun nikah. Selain dari ayat al-Qur’ân, yang mereka jadikan dalil adalah hadîts Nabi berikut ini:
وَعَنْ أَبي بُرْدةَ بنِ أبي موسى عَنْ أَبيهِ رضيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا قالَ: قالَ رسولُ اللَّهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: "لا نكاح إلا بوَليَ"
Jumhur ulama memandang la nafiy di dalam hadîts menunjukkan nafiy al-shihah. Artinya dengan tidak adanya wali di dalam pernikahan mengakibatkan tidak sahnya pernikahan tersebut. Di antara para sahabat dan ulama mutaqaddimin yang berpendapat seperti ini adalah ‘Ali, ‘umar, ibn ‘Abbas, ibn Mas’ud, abiy Hurairah, Hasan al-Bashriy, ibn Musyayyab, Syubrumah, Ahmad dan Syafi’i. Mereka mengatakan tidak sah aqad nikah tanpa adanya wali (لا يصح العقد بدون ولي). Bahkan ibn Mundzir mengungkapkan bahwa ia tidak mengetahui seorang sahabatpun yang pendapatnya berbeda dengan pendapat ini. Sedangkan sikap Aisyah yang mengharuskan adanya wali di dalam pernikahan tergambar di dalam riwayat ‘Abd al-Rahmân ibn Qasim dari bapaknya, bahwa salah seorang perempuan dari keluarga ‘Aisyah pernah dipinang lewat beliau, maka ketika beliau telah menerima pinangan tersebut dan akan dilakukan akad nikah, maka beliau menyuruh keluarga dari perempuan tersebut untuk menikahkannya dan mengatakan bahwa wanita tidak berhak untuk melaksanakan akad nikah.
Sedangkan abu Hanifah menilai bahwa la Nafiy di dalam hadîts ini bermakna nafi al-kamal. Baginya dengan tidak adanya wali maka nikah tidaklah sempurna, namun tetap sah. Pendapat Jumhur ulama ini juga diperpegangi oleh al-Suyuthiy.
Hadîts ini sebetulnya memiliki perbedaan matan pada masing-masing riwayatnya, di antaranya adalah:
1. Riwayat ibn ‘Abbas
Di dalam riwayat ibn ‘Abbas terdapat beberapa versi matan yaitu: hadîts yang diriwayatkan oleh Thabraniy dengan matan berikut:
لا نكاح إلا بوَليَ والسلطان ولي من لا ولي له
Sedangkan di dalam riwayat Tabraniy di dalam kitab Aushat dengan matan berikut:
لا نكاح إلا بوَليَ مرشد أوسلطان
2. Riwayat ‘Imran Ibn Hashin
Di dalam riwayat tersebut dengan matan berikut:
لا نكاح إلا بوَليَ وشاهدى عدل
Hadîts ini diriwayatkan oleh Ahmad, al-Daruquthniy dan al-Baihaqiy.
Jalur ibn ‘Abbas, semakin mempertegas akan pentingnya seorang wali, sehingga ketika seseorang tidak memiliki wali nasab, maka mereka harus tetap memakai wali yaitu sulthan (wali hakim). Sedangkan riwayat ibn ‘Abbas yang kedua dan riwayat Ibn Hashin menjelaskan kriteria wali nikah tersebut yaitu seseorang yang cerdas dan ‘adil.
Adapun hadîts lain yang dijadikan dalil keharusan wali di dalam pernikahan adalah:
أيما إمرأة نكحت بغير إذن وليهافنكاحها باطل, فنكاحها باطل, فنكاحهاباطل.فإن أصابها فلها مهرها بما أصاب من فرجها وإن اشتجروافالسلطان ولي من لا ولي لها
Kata “أي” di dalam hadîts ini bermakna umum tanpa adanya takhshish, maka ia bermakna wanita mana saja, yang jika ia menikahkan dirinya sendiri, tanpa izin wali, maka nikahnya itu dianggap bathil. Pengulangan kata فنكاحها باطل, menurut Mubarakfûriy bertujuan untuk penegas (taukid dan mubalaghah).
Khusus mengenai lafaz بغير إذن وليه terdapat perbedaan lafaz. Di dalam riwayat abiy Dâwud بغير إذن مواليها, sedangkan menurut ibn Mâjah adalah لم ينكحها الوالي (dengan arti tidak memberi izin akan pernikahan tersebut). Namun kedua lafaz ini menurut al-Bughawiy memiliki makna yang sama.
Berangkat dari kata بغير إذن وليها ini pulalah nantinya Abu Tsaur memandang bolehnya seorang wanita untuk menikahkan dirinya sendiri jika walinya mengizinkan. Baginya seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya jika tidak ada izin dari wali, dan sebaliknya jika walinya memberi izin maka dia boleh menikahkan dirinya sendiri.
Sedangkan dari lafaz فإن أصابها فلها مهرها بما أصاب من فرجها dipahami bahwa jika telah terjadi hubungan suami istri pada pernikahan bathil ini (tanpa izin wali), maka si perempuan berhak menerima mahar atas hubungan tersebut. Jadi ini menjadi dalil bahwa hubungan suami istri seperti ini mewajibkan untuk membayar mahar, bukan dikenakan had, dan tidak pula mengakibatkan terjalinnya hubungan nasab.
Dan jika terjadi perselisihan dengan wali yang dapat menghalangi terjadinya akad, maka sulthan atau wali hakim berhak menikahkannya. Karena keengganan wali (‘adhl) di dalam aqad nikah ini sama halnya dengan tidak ada wali. Maka di dalam hal ini sulthan adalah wali baginya, bukan kepada wali yang lebih jauh. Menurut Syafi’iy hal ini juga berlaku bagi wali yang ghaib dengan jarak masafah al-qashar. Berbeda dengan al-Syafi’iy, bagi ahl al-Ra’y jika wali ghaib, maka perwalian diserahkan kepada wali yang lebih jauh, bukan kepada hakim.
Dari hadîts ‘Aisyah ini setidaknya ada tiga hukum yang dapat ditarik yaitu:
a. Akad nikah yang dilaksanakan tanpa wali , maka hukumnya batal/tidak sah
b. Melakukan persetubuhan atas dasar menganggap akan halalnya mewajibkan kepada laki-laki pelaku untuk membayar mahar mitsil.
c. Wanita yang berselisih dengan walinya atau wali ghaib atau memang tidak ada wali, maka sulthan-lah walinya atau wali hakim.
Dari redaksi hadîts (فالسلطان ولي من لا ولي لها) dipahami bahwa keberadaan wali mutlaq dibutuhkan. Jika memang tidak ada wali dari pihak keluarga, maka solusi akhirnya sulthân yang akan menjadi wali nikahnya.
Sedangkan hadîts berikut yang dijadikan dalil oleh jumhur ulama adalah hadîts abi Hurairah berikut ini:
عن أبى هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله ص.م.:لا تزوج المرأة المرأة ولا تزوج المرأة نفسها.
Hadîts ini menjadi dalil bahwa seorang wanita tidak dapat menjadi wali pernikahan, baik untuk dirinya sendiri maupun bagi orang lain, ijab maupun qabul, diberi izin atau tidak diberi izin oleh wali. Ini adalah pendapat dari jumhur ulama.
Sedangkan di dalam riwayat al-Thabrâniy terdapat penambahan lafaz yaitu: التي تزوجها نفسها هي الزانية
Menurut al-Hafizh lafaz ini merupakan penambahan dari perkataan abiy Hurairah.
Berbeda dengan jumhur ulama, bagi abu Hanifah pada dasarnya keberadaan wali bukanlah menjadi syarat pernikahan. Seorang wanita dibolehkan untuk menikahkan dirinya sendiri, meskipun tanpa izin walinya, jika dengan yang se-kufu’ dengannya. Bagi beliau hadîts yang dipahami oleh ulama jumhur sebagai syarat harus adanya wali dipahami bahwa riwayat itu ditujukan bagi wali ‘ala al-shaghirah (anak yang belum baligh). Selain itu beliau juga menjadikan qiyas sebagai pendukung argumennya, yaitu dengan meng-qiyas-kannya dengan kebolehan wanita melaksanakan aqad di dalam jual beli. Selain itu mereka juga menggunakan dalil hadîts nabi berikut:
عن ابن عباس قال: قال رصول الله ص.م.: الثيب أحق بنفسها من وليها والبكرتستأمر و إذنها سكوتها تها
Di dalam riwayat Muslim Lainnya dengan redaksi berikut ini:
الأيم أحق بنفسها من وليها والبكرتستأذن فى نفسها و إذنها صما تها
Menurut ahli bahasa ayyim adalah setiap wanita yang tidak memiliki suami, baik kecil maupun dewasa, gadis maupun janda. Ini sebagaimana perkataan al-Harbiy dan Isma’il al-Qadhiy.
Khusus mengenai makna ayyim di dalam hadîts terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, di antaranya:
a. Menurut ulama Hijaz dan mayoritas Fuqaha’, yang dimaksud dengan ayyim di dalam hadîts ini adalah setiap wanita yang tidak lagi bersama suaminya (janda), baik karena perceraian, maupun karena meninggalnya sang suami. Jadi setiap wanita yang tidak lagi gadis (bikr) merupakan ayyim.
b. Sedangkan bagi ulama kufah, ayyim di dalam Hadîts sama dengan pendapat ahli bahasa, yaitu meliputi seluruh wanita yang tidak bersuami, baik gadis maupun janda. Bagi mereka seorang wanita jika telah baligh, ia lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, dan jika ia melaksanakan ‘akad atas dirinya, maka hal itu dibolehkan. Ini adalah pendapat Sya’biy dan al-Zuhriy. Mereka mengatakan bahwa keberadaan wali bukanlah merupakan rukun sahnya akad nikah, melainkan hanyalah penyempurna. Dan menurut al-Auza’iy dan Muhammad ibn Hasan serta abiy Yusuf sahnya aqad ditentukan oleh pembolehan dari qadhiy.
Selain mengenai makna ayyim ini, para ulama juga berbeda pendapat mengenai makna احق بنفسها من وليها , apakah hak di sini hanya untuk izin atau justru juga termasuk melaksanakan akad. Bagi jumhur ulama hanya izin/ridha. Mereka memahami Hadîts ini sebagai berikut: seorang wali memiliki hak di dalam menikahkan seorang perempuan, sedangkan wanita memiliki hak yang lebih banyak. Adapun haknya itu adalah bahwa tidaklah sempurna pernikahan tersebut kecuali dengan adanya keridhaan perempuan tersebut. Maka menurut jumhur hadits ini bermakna bahwa seorang janda tidak boleh dipaksa untuk dinikahkan. Sedangkan bagi Dâwud dan abi Hanifah seorang ayyim berhak untuk melakukan akad.
Sedangkan mengenai makna إذنها صماتها , juga terjadi perbedaan pendapat, yaitu apakah setiap yang belum bersuami izinnya dapat disimpulkan dari diamnya saja, atau tidak.
Maka menurut jumhur hal itu dianjurkan bagi yang yatim, Sedangkan menurut Isfarayainiy, hal ini hanya berlaku bagi anak yang memiliki ayah, sedangkan yang yatim harus dengan mendengarkan kesediaannya. Adapun menurut al-Khitabiy, yaitu bagi yang memiliki kakek.
D. Penutup
1. Kesimpulan
Dari pembahasan singkat mengenai Hadits-hadis tentang wali ini dapat disimpulkan bahwa: Jumhur ulama memahami bahwa menurut perspektif hadits, kedudukan wali di dalam pernikahan sangat menentukan sahnya suatu akad, sedangkan menurut ulama Hanafiyah keberadaan wali tidak menjadi syarat mutlaq sahnya pernikahan. Bagi mereka seorang wanita dapat menjadi wali, baik untuk dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Pendapat Hanafiyah ini juga sejalan dengan pendapat Abu Tsaur.
Perbedaan pendapat ini disebabkan perbedaan pemahaman masing-masing ulama terkait dengan hadits tersebut.
2. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum bisa dikatakan sebagai pembahasan hadits secara tematis, mengingat masih banyak hadits-hadits terkait yang tidak sempat penulis rangkum ke dalam makalah ini. Maka untuk kesempurnaan pengetahuan kita mengenai pembahasan ini alangkah baiknya jika ada yang berusaha melakukan penelitian lanjutan, serta tetap menyelaraskannya dengan penelitian tafsir terkait dengan masalah kedudukan wali ini.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ma'luf, Louis, al-Munjid, Beirut: Dar AL-Masyrik, 1975
Ibn Manzhur, Lisan al-’Arab, Qahirah: Dar al-Ma’arif, [t.th]
Al-Jaziri, Abd al-Rahmân, Al- Fiqh ‘ala Mazâhib Al- Arba’ah, Beirut : Dâr Al- Fikr, t.th
‘Abd al-Bâqiy, Muhammad Fu’ad, Miftah Kunuz al-Sunnah, Lahore: Idarah Tarjaman al-Sunnah, 1978
Al-Sijistaniy, abiy Dâwud Sulaiman ibn ‘Asy’ats, Sunan abiy Dâwud, Riyad: Maktabah al-ma’arif, [t.th]
Al-Tirmidziy, Muhammad ibn ‘Isa ibn Tsaurah, Sunan al-Tirmidziy, wa Hua al-Jami’ al-Mukhtashar min al-Sunan ‘an Rasul Allâh Saw wa Ma’rifah al-Shahih wa Ma’lul wa ma ‘alaih al-‘Amal, Riyad: Maktabah al-ma’arif, [t.th]
Shabariy, Ahmad Nashr Allâh, Mukhtashar Shahîh Jâmi’ al-Shaghîr, [t.kt]: Alfan, 2008
Al-Shan’aniy, Muhammad ibn Ismâ’il, Subul al-Salam, Bandung: Maktabah Dahlan, [t.th], diterj. Muhammad Isnan, Subulussalam Syarh Bulughul Maram, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2007)
Hashabiy, Abiy al-Fadh ‘Iyadh ibn Musa Iyadh, Syarh shahîh Muslim li al-Qadhiy ‘Iyadh al-Musamma Ikmal al-Mu’lim bi Fawa’id Muslim, al-Mansurah: Dar al-Wafa, 1998
Al-Syaukaniy, Muhammad ibn ‘Aliy ibn Muhammad, Nail al-Authar bi Syarh Muntaqa al-Akhbar fi Ahâdîts Said al-Akhyâr, [tt]: Musthafa al-Babiy al-Halabiy, [t.th]
Al-Subkiy, Mahmûd Muhammad Khattab, Manhal a’Azb al-Maurûd Syarh Sunan al-Imam abiy Dâwud, Beirut: al-Tarikh al-‘Arabiy, [t.th]
Al-Mubarakfûriy, Abiy al-‘Aliy Muhammad ibn ‘abd al-Rahmân ibn ‘abd al-Rahîm, Tuhfah al-Ahwadziy bi Syarh Jami’ al-Tirmidziy, Beirut: Dar al-Fikr, t.th]
0 Comment