Friday, May 18, 2012

BAB. I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Kegiatan ekonomi dari masa ke masa terus mengalami perkembangan, yang dahulu ada kini tidak ada, atau sebaliknya. Dulu institusi pemodal seperti bank tidak dikenal dan sekarang ada. Maka persoalan baru dalam fiqh muamalah muncul ketika pengertian riba dihadapkan pada persoalan bank. Di satu pihak, bunga bank (interest bank) terperangkap dalam kriteria riba, di sisi lain, bank mempunyai fungsi sosial yang besar, bahkan dapat dikatakan tanpa bank suatu negara akan hancur.1
Dalam Ensiklopedia Indonesia, bahwa Bank (perbankan) ialah suatu lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-jasanya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang, dengan mengedarkan alat tukar baru dalam bentuk uang atau giral. Jadi kegiatannya bergerak dalam bidang keuangan serta kredit dan meliputi dua fungsi yang penting yaitu sebagai perantara pemberi kredit dan menciptakan uang.2 Ada yang mendefinisikan bank merupakan sebuah lembaga keuangan yang bergerak menghimpun dana dari masyarakat dan kemudian dana tersebut disalurkan kepada yang memerlukan, baik perorangan maupun kelembagaan, dengan sistem bunga.3
Sistem hubungan perekonomian dan keuangan zaman sekarang ini, baik dalam maupun luar negeri, adalah melalui saluran bank. Tidak ada suatu negara mana pun yang tidak mempunyai perusahan bank, karena bank dapat melancarkan segala perhubungan dan lebih menjamin selamatnya pengiriman.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa tujuan dari suatu bank adalah mencari keuntungan dan keuntungan itu dicapai dengan berniaga kredit. Bank mendapat kredit dari orang luar dengan membayar bunga. Sebaliknya bank memberikan kredit dari kepada orang luar dengan memungut bunga yang lebih besar dari pada yang dibayarkannya. Jadi sedikit penjelasan di atas, maka yang disebut bunga bank adalah tambahan yang harus dibayarkan oleh orang yang berhutang kepada bank atau keuntungan yang diberikan pihak bank kepada orang yang menyimpan uang di bank dengan besar-kecil sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bank tersebut. Tetapi konsensus pendapat-pendapat menganggap bahwa bunga bank merupakan tambahan tetap bagi modal, dikemukakan bahwa tambahan yang tetap ini merupakan biaya yang layak bagi proses produksi.4
Jadi selisih bunga itulah keuntungan bank. Sehingga bunga merupakan suatu masalah yang tidak dapat dilepaskan dari perusahan bank dunia (umum). Mengenai kedudukan bank tersebut, Moh. Hatta mengatakan bahwa sampai saat ini berbagai ulama ada yang mengharamkan pemungutan bunga. Dengan larangan itu maka hilanglah sendi tempat bank berdiri. Kalau bunga tidak boleh dipungut, maka tidak dapat pula orang Islam untuk mendirikan bank. Lebih lanjut ia juga berpendapat, ada pula ulama yang mengatakan, bahwa memungut rente itu merupakan perbuatan yang tidak terpuji, tetapi apabila masyarakat mengkehendakinya, rente itu dibolehkan juga. Hal seperti ini menimbulkan pemahaman masyarakat tentang sifat hukum dalam Islam mempertimbangkan buruk dengan baik. Jika lebih besar baiknya dari pada buruknya, hukumnya menjadi harus, pekerjaan seperti itu diperbolehkan.5
Sementara Mirza Nurul Huda sebagaimana dikutip oleh A. Chatib, memaparkan, bahwa satu segi kegiatan yang terpenting dari bank perdagangan adalah menerima titipan uang dari orang-orang dan meminjamkan dengan jangka pendek kepada orang lain guna menegakkan perdagangannya yang direncanakan. Oleh karena itu, maka bunga bank berdiri dan ada untuk mencari keuntungan. Apabila kita menghapus bunga—sebagaimana yang diwajibkan oleh negara Islam—maka bagaimana bank akan bekerja.6
Dalam Islam telah mengharamkan adanya riba. Masyarakat masa awal Islam belum mengenal sistem perbankan modern dalam arti praktis, sehingga dalam menanggapi fenomena ini, terjadi pebedaan pendapat. Beda pandangan dalam menilai permasalahan ini menimbulkan kesimpulan–kesimpulan hukum yang berbeda pula, dalam hal boleh atau tidaknya, halal haramnya umat Islam bermu’amalah dengan bank. Jika kembali kepada ajaran Islam di mana al-Quran sendiri telah melarang bentuk mu’amalah yang mengandung unsur riba. Dasar persoalan riba dapat diketahui dengan jelas dan tegas dalam 3 ( tiga ) tempat :
1. Dalam al-Quran Surat al-Ruum : 39, sewaktu Nabi masih di Makkah di hadapan orang Arab Musyrikin.
2. Dalam al-Quran Surat Ali Imran : 130-132, sewaktu Nabi sudah pindah ke Madinah.
3. Dalam al-Quran Surat al-Baqarah : 275-280
Fenomena yang menarik kaitannya dengan ini adalah adanya respon dua organisasi besar Islam Indonesia dalam menyikapi masalah bunga bank tersebut, yaitu Nahdlatul Ulama melalui Bahsul Masail-nya dan Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih-nya. Salah satu keputusan hukum tentang bunga bank yang selama ini telah beredar dalam kalangan umat Islam di antaranya adalah keputusan Mu’tamar NU XII di Malang pada tanggal 12 Rabi’ah as-Sani 1356 H atau 25 Maret 1937 No 204, dan hasil sidang Majlis Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo.
Telah menjadi sebuah pertanyaan besar masalah bunga bank ini dalam mu’tamar NU—terjadilah pembahasan yang begitu panjang tentang bagaimana hukum menitipkan uang dalam bank, hingga kemudian pemerintah menetapkan pajak kerena alasan mendapatkan bunga. Halalkah bunga itu? Dan bagaimana hukumnya menitipkan uang dalam bank karena menjaga keamanan saja dan tidak menginginkan bunga? Jawaban dari pertanyaan tersebut diambil dengan merujuk pada keputusan Mu’tamar NU II di Surabaya pada tanggal 12 Rabi’ah as-Sani 1346 H atau 9 Oktober 1927 No. 28. yang memutuskan bahwa hukum bunga bank dan sehubunganya itu sama dengan hukum gadai yang telah ditetapkan dalam mu’tamar tersebut.
Di antara hasil keputusan Mu’tamar NU II di Surabaya, tentang gadai telah menghasilkan tiga pendapat yaitu:
a. Haram: sebab termasuk hutang yang dipungut manfaatnya (rente).
b. Halal: sebab tidak ada syarat sewaktu akad, menurut ahli hukum yang terkenal bahwa adat yang berlaku itu tidak termasuk menjadi syarat.
c. Syubhat (tidak tentu haram halalnya): sebab para ahli hukum masih terjadi selisih pendapat.7
Sebagai catatan penting dalam keputusan mu’tamar tersebut—bahwa untuk lebih berhati–hati ialah dengan mengambil pendapat pertama—yakni yang telah mengharamkannya. Adapun menitipkan uang dalam bank karena untuk keamanannya saja hukumnya makruh, dengan syarat apabila telah diyakini kalau uang tersebut akan digunakan untuk hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama.
Sementara keputusan Munas ‘Alim Ulama NU di Bandar Lampung tanggal 21-25 Januari 1992. mengenai keputusan hukum bunga Bank ditempuh melalui prosedur yang lebih metodologis lagi, sebagai penyeimbang keputusan Muktamar NU XII di Malang. Adapun hasil keputusannya sebagai berikut :
a. Haram, kerena bunga bank dipersamakan dengan riba secara mutlak
b. Boleh, kerena bunga bank tidak dipersamakan dengan riba
c. Subhat, kerena masih belum jelas
Sementara itu, salah satu respon dari Muhammadiyah melalui keputusan Majlis Tarjih tahun 1968 di Sidoarjo Jawa Timur tentang masalah–masalah fiqh kontemporer (khususnya mengenai bunga bank) telah dilakukan dengan cara berijtihad. Dalam berijtihad Majlis Tarjih menempuh tiga metode:
1. Ijtihad Bayani, yaitu menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam nash al-Quran dan al-Hadis
2. Ijtihad Qiyasi, yakni menyelesaikan kasus baru dengan cara menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur dalam nash al-Quran dan al-Hadis
3. Ijtihad Istislahi, yakni menyelesaikan beberapa kasus baru yang tidak terdapat dalam kedua sumber di atas, dengan cara menggunakan penalaran yang didasarkan atas kemaslahatan.
Dalam menetapkan hukum bunga bank, Majlis Tarjih mangaitkannya dengan masalah riba, apakah bunga bank identik dengan riba atau tidak?, untuk memastikan jawaban tersebut, Majlis Tarjih menggunakan qiyas sebagai metode ijtihadnya.8 Bagi Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba adalah adanya pengisapan atau penganiayaan (az-Zulm) terhadap peminjaman dana. Konsekuensinya, kalau ‘illat itu ada pada bunga bank, maka bunga bank sama dengan riba dan hukumnya riba. Sebaliknya kalau ‘illat itu tidak ada pada bunga bank, maka bunga bank bukan riba, kerana itu tidak haram.9
Bagi Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba disinyalir juga ada pada bunga bank, sehingga bunga bank disamakan dengan riba dan hukumnya adalah haram. Namun keputusan tersebut hanya berlaku untuk bank milik swasta. Adapun bunga bank yang diberikan oleh bank milik negara pada para nasabahnya atau sebaliknya, termasuk perkara musytabihat, tidak haram dan tidak pula halal secara mutlak.10
Dari diskripsi di atas nampak bahwa kedua organisasi tersebut mempunyai konsep yang berbeda bahkan berseberangan. Namun, keduanya mempunyai sisi kesamaan yaitu demi kemaslahatan umat manusia, meskipun implimentasinya juga berbeda. Perbedaan tersebut terjadi karena adanya sudut pandang yang mempenagruhinya dalam menetapkan hukum tersebut.
Oleh karena itu penyusun tertarik untuk mencoba meneliti dan menelusuri kembali permasalahan-permasalahan hukum bunga bank tersebut menurut pendapat Nahdlatul Ulama melalui Bahsul Masail-nya dan Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih-nya, dengan titik tekan pada permaslahan dasar yang melatarbelakangi dari perbedaan tersebut mengenai bunga bank adalah melalui metode pengambilan keputasan hukumnya yang diambil dari segi kajian fiqhnya,
B. Pokok Masalah.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penyusun perlu membatasi rumusan pokok masalah yang diteliti agar mengfokus dan tidak meluas, sehingga menjadi jelas. Adapun pokok masalahnya sebagai berikut :
1. Metode Istinbat hukum apakah yang digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dalam memandang hukum bunga bank?
2. Bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah mengenai hukum bunga bank dilihat dari segi hujjahnya?
C. Tujuan Dan Kegunaan.
Adapun tujuan dan kegunaan dari penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan penelitian .
a. Untuk menjelaskan metode istinbat apakah yang dipakai oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dalam memandang hukum bunga bank
b. Untuk menggambarkan atau menjelaskan bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah mengenai hukum bunga bank dilihat dari segi hujjahnya.
2. Kegunaan dari penelitian adalah:
a. Bagi kehidupan secara umum, yaitu memberikan atau membangkitkan pengertian dan kesadaran bagi kebanyakan masyarakat yang masih beranggapan bahwa sistem perbankkan yang belaku sekarang ini masih belum tepat atau mengena dengan ketentuan-ketentuan agama yang telah diyakini karena hukum bunga bank masih menjadi perselisihan pendapat dan juga agar mereka memiliki landasan yang kuat dalam menjalani aktifitas perekonomian
b. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu syariah, yaitu memberikan pemahamam yang kokoh bagi pemikiran hukum Islam sebagai upaya untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah kontemporer yang dihadapi umat Islam, khususnya masalah hukum bunga bank.
D. Telaah Pustaka
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, menuntut para ulama untuk melakukan restrukturisasi terhadap hazanah keislaman ke arah yang lebih inovatif. Termasuk di dalamnya melakukan ijtihad di bidang fiqh (hukum Islam) secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Mengingat kedudukan dan fungsi ijtihad dalam yurisprudensi, maka kajian tentang fiqh yang kontemporer akan selalu menjadi aktual.
Studi tentang NU dan Muhammadiyah telah banyak dilakukan baik dari kalangan NU dan Muhammadiyah sendiri maupun dari luar serta telah dikodifikasikan.11 Seperti halnya Kacung Maridjan, dosen Fisip Unair, ia mengungkapkan bahwa dalam menghadapi perubahan-perubahan sosial yang begitu cepat, NU tidak menutup kemungkinan akan melakukan pembaharuan (tajdid) bahkan islah pemikiran, dengan catatan bahwa pembaharuan tersebut tetap berakar pada kaidah-kaidah yang telah dianutnya. Hal ini perna dilakukan dalam Munas ‘Alim Ulama di Cilacap. Meskipun buku tersebut tidak berorientasi terhadap tema pokok karya ini. Namun, Kacung Maridjan banyak memaparkan mengenai hukum bunga bank menurut NU dalam beberapa kali mu’tamar.12
Kajian yang lain dilakukan oleh Sugiri. Dalam skripsinya, dia meneliti NU sebagai organisasi kerakyatan—meminjam bahasa Dawam Raharja—dari segi penetapan hukum secara umum. Dia juga membahas istinbat hukum. Dalam NU, kalimat istinbat tidak popular, apalagi dengan diartikan ijtihad. Hal ini sulit dilakukan, karena adanya keterbatasan yang disadari oleh jami’iyyah.13
Salah satu buku yang dikeluarkan PBNU, Ahkam al-Fuqaha’ fi al-Muqarrarat Mu’tamarat Nahdatu al-Ulama. Merupakan buku yang memuat banyak tentang hasil-hasil keputusan mu’tamar yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dalam merespon berbagai masalah-masalah kontemporer mengenai hukum Islam. Di antaranya adalah tentang bunga bank14
Sementara A. Wahid Zaini, pengarang buku dan kolomnis produktif, dalam bukunya Dunia Pemikiran Kaum Santri secara gamblang dan detail menjelaskan hukum tentang bunga bank yang telah diputuskan oleh Munas ‘Alim Ulama di Bandar Lampung, dan Majlis Tarjih Muhamdiyah di Sidorajo. Dengan harapan agar forum kajian atau musyawarah yang diikuti oleh ulama dan ahli-ahli perbankan agar kajiannya lebih komprehensip dan hasilnya diharapkan lebih mendekati bahkan sesuai dengan realita yang ada. 15
Begitu juga dengan Majlis Tarjih Muhammadiyah yang bertugas merespon dan memutuskan persoalan–persoalan hukum Islam termasuk masalah–masalah kontemporer dengan metode ijtihadnya., di antaranya adalah masalah yang telah menjadi tema pokok pembahasan penyusun yaitu mengenai bunga bank. Di mana hasil keputusan–keputusan Majlis Tarjih tersebut selanjutnya hasil keputusan-keputusannya dibukukan dalam Himpunan Putusan Tarjih,16 di samping ada arsip–arsip tersendiri dari setiap Mu’tamar Tarjih.
Selanjutnya kajian yang lebih lengkap membahas tentang metode ijtihad Majlis Tarjih adalah buku karya Fathur Rahman Djamil,17 buku ini secara detail telah menyoroti ijtihad yang dilakukan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah (khususnya tentang bunga bank) dengan berusaha untuk mengungkapkan kegiatan-kegiatan Majlis Tarjih Muhammadiyah yang merupakan motor penggerak tajdid Muhammadiyah.
Adapun penelitian ini tentunya berbeda dengan beberapa penelitian dan buku yang tersebut di atas. Dalam penelitian ini, lebih difokuskan terhadap penulusuran kajian tentang hasil dan keputusan mu’tamar Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah tentang bunga bank, dalam kapasitas keduanya sebagai representasi pemberlakuan hukum Islam dan merupakan organsisi Islam terbesar di Indonesia
E. Kerangka Teoretik.
Dewasa ini perbincangan mengenai riba di kalangan negeri dan para pemikir Islam mulai mencuat kembali. Sehingga upaya-upaya melakukan usaha yang bertujuan menghindari persoalan riba mulai dilakukan. Istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia Islam. Orang sering lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang Muslim Amerika, Cyril Glasse, bahwa riba tidak diberlakukan di negeri Islam modern manapun. Sementara itu kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa di dunia Kristenpun, selama satu milenium, riba adalah barang yang terlarang dalam pandangan para teolog, cendekiawan maupun menurut undang-undang yang ada.18
Di sisi lain, apabila dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa melakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang.19 Perdebatan panjang di kalangan ahli fiqh tentang riba belum menemukan titik temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya timbul pendapat yang bermacam-macam mengenai bunga bank dan riba.
Apakah sama persoalan “Riba” dengan “Bunga” itu? Pada lahirnya memang sama saja rupanya, kedua-duanya adalah bunga dari pada harta yang dipinjamkan. Akan tetapi pada sifatnya dalam kemajuan masyarakat sampai sekarang ada perbedaan yang cukup besar.20 Pro dan kontra sekitar hukum bunga bank bukan saja terjadi di kalangan sarjana muslim.
Sebagaimana dikatakan Charles Gide, seorang ahli politik dan filsafat, menyebutkan, bahwa semua agama, lebih-lebih Islam, telah mengharamkan riba. Memang sudah sewajarnya apabila riba itu diharamkan. Sebab ketika itu, orang berhutang hanya semata-mata untuk mencukupi kebutuhan hidup kesehariannya yang sangat mendesak, bukan untuk modal usaha, sebagaimana yang banyak dilakukan orang masa sekarang.
Sejalan dengan apa yang diungkapkan Gide, Hatta sebagaimana dijelaskan A. Chotib, juga membedakan antara pinjaman yang terjadi di masa agraris, ketika periode bercocok tanam, yang umumnya orang meminjamkan uang bukan untuk modal usaha melainkan hanya karena keterpaksaan untuk menutupi kebutuhan hidup. Sementara untuk masa sekarang, orang meminjam uang umumnya bertujuan untuk modal usaha. Atau bunga yang semata-mata konsumtif adalah riba sedangkan bunga yang sifatnya produktif adalah sebagian dari keuntungan yang diperoleh dengan bantuan orang lain (bunga), jadi bunga produktif menurut Hatta adalah boleh.21
Dalam tafsir al-Manar, Abduh (w-1905 M) dan di dalam fatwa-fatwanya, sebagaimana dicatat ‘Ammarah, menyebutkan bahwa Muhammad Abduh membolehkan menyimpan uang di bank dan juga boleh mengambil bunga simpanannya, dengan kata lain ia mehalalkan bunga bank.22 Hal ini menurutnya, didasarkan pada maslahah-mursalah (kesejahteraan). Larangan riba menurut Muhammad Abduh adalah untuk menghindari adanya unsur eksploitasi dan menghindari memakan harta orang lain secara batil (al-Baqarah : 188).
Sementara bunga bank, menurut Abduh tidak menimbulkan adanya pemerasan dan tidak ada persamaannya dengan apa yang diharamkan al-Qur’an (al-Baqarah :188). Alasan lain yang menghalalkan menabung uang dan sekaligus mengambil bunga bank, menurut Abduh ada tiga alasan yaitu Pertama, karena dengan keberadaan perbankan yang ada sekarang tidak menciptakan penindasan, malahan sebaliknya mendorong kemajuan perekonomian. Kedua, bahwa menyimpan uang di bank, pada intinya sama artinya dengan perkongsian dalam bentuk lain. Ketiga, mendorong orang untuk maju di segala bidang, termasuk ekonomi, adalah sikap yang sangat dianjurkan dalam Islam. Sedangkan operasi dan jasa bank yang ada sekarang tampaknya memang mendorong kemajuan ekonomi.23
Salah satu ulama Indonesia, yang menghalalkan bunga bank, menurut catatan Khoiruddin Nasution selanjutnya adalah H. Abdullah Ahmad, seorang ulama yang berasal dari Padang, Sumatera Barat. Dia mengatakan, bunga bank boleh diambil dengan syarat, persentase bunga tersebut diumumkan lebih dahulu, sehingga jika bunga diumumkan sebelumnya maka berarti seorang yang meminjam rela dengan bunga yang diumumkan.24 Di sini sebagai tambahan, hendaknya agar prosentase bunga hendaknya selalu dikontrol oleh pemerintah agar bank dalam menetapkan bunga tidak sembarangan, namun mengikuti UU pemerintah
Sementara A. Hasan, pemimpin Perguruan Persis Bangil, Jawa Timur, mengatakan bahwa riba yang haram, menurutnya, mempunyai sifat :25
1. Terpaksa, yaitu orang terpaksa menunda hutang karena tidak mampu membayar dan pihak si peminjam menerima dengan syarat ada bayaran tambahan.
2. Darar, yaitu pinjaman yang sekiranya digunakan untuk berdagang dengan uang tersebut tidak akan bisa untuk yang cukup buat makan, minum dan bayar hutang.
3. Berlipat ganda.
Adapun yang dihalalkan sifat-sifatnya adalah:
1. Tidak ganda-berganda.
2. Tidak membawa kepada ganda berganda.
3. Tidak mahal, artinya sekiranya orang berusaha dengan uang tersebut tidak akan membawa kepada kerugian.
4. Pinjaman yang produktif.
Sedangkan pada tokoh yang kontra terhadap bunga bank, di antaranya adalah Mahmud Abu Su’ud, penasihat bank Pakistan, mengungkapkan bahwa bunga itu ditinjau dari segi moril dan materiil adalah memberi kemelaratan, segi morilnya ialah pengakuan dari para ahli ekonomi bahwa bunga itu memberi kemelaratan yang besar kepada rakyat dan segi materiilnya ialah bahwa kebanyakan orang yang meminjam uang itu orang-orang kaya, dan mengambil bunga dari orang-orang miskin yang meminjam uang itu tidak selayaknya.
Selanjutnya, Afif Abdulfatah Tabbarah berpendapat bahwa memungut bunga dari bank adalah haram, karena bunga itu riba. Agama Islam sudah menetapkan bahwa modal dan usaha itu harus bersekutu di dalam untung dan rugi. Dan memungut bunga yang tetap itu berarti bahwa modal itu selalu mendapat untung, meskipun usahanya rugi.
Tokoh yang berpendapat bahwa bunga itu haram karena sangat berpegang teguh pada konteks al-Qur’an (dalam arti konteksnya bukan maknanya) yang mana al-Qur’an dan as-Sunnah—dua sumber pokok Islam melarang keras adanya bunga karena kezalimannya (QS. al-Muzammil dan QS. al-Baqarah) dan mengatakan bahwa beberapa orang Islam terpelajar yang silau oleh pesona lahiriyah peradaban Eropa mengatakan bahwa yang dilarang Islam adalah riba bukan bunga. Oleh karenanya Daoualibi, seorang ahli politik dan jurnalis Syiria mengatakan, Islam semestinya membedahkan antara bunga yang dihubungkan dengan tujuan produktif dan konsumtif. Bagi pinjaman yang berhubungan dengan usaha dan tujuan produktif, seperti untuk tujuan dangang atau usaha yang lainya, maka menjadi pantas untuk mendapatkan bagian dari keuntungan yang diperoleh si peminjam. Sebaliknya, untuk pinjaman yang sifatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari peminjam, maka tidak dipungut bunga dan digunakan prinsip saling tolong menolong.26
Kemudian menurut M. Abdul Manan, dalam bukunya “Teori dan Praktek Ekonomi Islam”, menyebutkan bahwa riba dengan nama bunga bank tidak akan mengubah sifatnya, karena bunga adalah suatu tambahan modal yang dipinjam, karena itu ia adalah riba baik dalam jiwa maupun peraturan hukum Islam. Dan ia menambahkan sebetulnya, tidak ada perbedaan yang cukup mendasar antara bunga dan riba. Islam dengan tegas melarang semua bentuk bunga betapapun hebat, dan meyakinkannya nama yang diberikan kepadanya.27 Tetapi dalam ekonomi kapitalis bunga adalah pusat berputarnya sistem perbankan. Dikemukan juga bahwa tanpa bunga, sistem perbankan menjadi tidak bernyawa, dan seluruh kegiatan perekonomian akan lumpuh. Sedangkan Islam adalah kekuatan dinamis dan progresif, dan jelas dibuktikan bahwa konsep Islam tentang suatu sistem perbankan bebas bunga lebih unggul dari pada perbankan modern. Pada taraf ini dapat ditetapkan bahwa suku bunga sama sekali tidak ada hubungan dengan pengaruh volume menabung.
K.H. Mas Mansur, pernah menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, berpendapat, bahwa bunga bank, mendirikan bank, mengurus, mengerjakan dan berhubungan dengan bank adalah haram. Sementara, M. Bustami Ibrahim (Medan) adalah ulama Indonesia lain, yang mengharamkan bunga bank. Dalam upaya menolak bunga bank, ia berkata:
“Kita tidak usah berkilah ke sini dan kemari untuk mencari-cari jalan. Sebab Allah Maha Tahu apa yang tersembunyi dibalik itu, yang sama sekali di luar kemampuan manusia. Kita sudah melihat dengan mata kepala sendiri tentang apa manfaat dan kemudaratan bank. Maka walau bagaimana pun keadaan memaksanya, yang haram tetap haram. Sejalan dengan itu, dalam hal bank, sedikit dan banyak, dengan langsung atau perantara hukumnya adalah tetap haram.”28
Perlu dicatat, bahwa larangan adanya bunga tidak lebih dari pada sebuah usaha proteksi terhadap orang lemah dan melawan eksploitasi yang sekaligus mendorong penanaman modal dan buruh untuk bekerja sama dengan sebutan Mudarabah.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan sekripsi ini digunakan jenis penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang menjadikan bahan kepustakaan ini dijadikan sebgai sumber (data) utama, baik data primer maupun sekunder.
2. Sifat Penelitian
Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif,29 analitik dan komparatif. Penelitian ini berusaha memaparkan tentang hukum bunga bank secara umum sebelum akhirnya akan mendeskripsikan kerangka pendapat dua organisasi yang diteliti yaitu NU lewat Bahsul Masail-nya dan Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih-nya, melalui data yang diperoleh, kemudian dilakukan analisis interpretasi tentang bagaimana metode pengambilan keputusan hukum yang dilakukan oleh kedua organisasi tersebut dengan membangun korelasi yang dianggap signifikan. Kemudian menjelaskan mengenai persamaan dan perbedaan pandangan tentang keharaman dan kebolehan mengambil bunga bank
3. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam memperoleh data adalah menggunakan pendekatan normatif, yaitu suatu usaha untuk menjelaskan tentang keharaman dan kebolehan mengambil bunga di bank dengan melihat keputusan hukum yang dimiliki NU dan Muhammadiyah dipandang dari sisi hukum Islam. Artinya, penelitian ini juga dapat dilihat baik dari kaidah ushuliyah maupun fiqhiyyah. Hal ini penting, karena masalah bunga bank merupakan satu bagian dari kajian Islam (fiqh) dan merupakan salah satu persoalan kontemporer dari sekian banyak persoalan atau masalah-masalah baru.
4. Pengumpulan Data
Karena penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, maka pengumpulan data adalah dengan mengumpulkan karya-karya dari kedua organisasi tersebut. Adapun data primer, dalam NU adalah diambil dari hasil Keputusan Mu’tamar NU XII di Malang pada tanggal 12 Rabi’ah as-Sani 1356 H atau 25 Maret 1937 No 204. Sedangkan Muhammadiyah, dari hasil Keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo Jawa Timur. Sementara data sekunder diambil dari buku-buku yang dikarang oleh tokoh-tokoh lain yang dapat mendukung pendalaman dan ketajaman dalam analisis penelitian ini.
5. Analisis Data
Dalam menganalisis dan menginterpretasikan data yang telah terkumpul. penyusun menggunakan cara berfikir komparasi. Komparasi, yaitu yakni membandingkan sebuah pendapat dengan pendapat yang lain tentang hal yang sama (hukum bunga bank), baik yang memiliki nuansa pemikiran yang hampir sama atau bahkan yang sangat bertentangan.30 Dalam penelitian ini, Pendapat NU dikomparasikan dengan pendapat Muhammadiyah, sehingga dapat diketahui persamaan maupun perbedaan pendapat keduanya dan dapat ditarik suatu kesimpulan yang konkrit tentang persoalan yang diteliti.
G. Sistematika Pembahasan.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan pokok-pokok bahasan secara sistematis yang terdiri dari lima bab dan pada tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub sebagai perinciannya. Adapun sistematika pembahasannya adalah sebagai berikut :
Bab satu (I) merupakan pendahuluan yang berisi: pertama, latar belakang masalah yang memuat alasan-alasan pemunculan masalah yang diteliti. Kedua, pokok masalah merupakan penegasan terhadap apa yang terkandung dalam latar belakang masalah. Ketiga, tujuan yang akan dicapai dan kegunaan (manfaat) yang diharapkan tercapainya penelitian ini. Keempat, telaah pustaka sebagai penelusuran terhadap literatur yang telah ada sebelumnya dan kaitannya dengan objek penelitian. Kelima, kerangka teoretik menyangkut pola fikir atau kerangka berfikir yang digunakan dalam memecahkan masalah. Keenam, metode penelitian berupa penjelasan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam mengumpulkan dan menganalisis data. Ketujuh, sistematika pembahasan sebagai upaya yang mensistematiskan penyusunan.
Selanjutnya, tahap kedua yaitu isi, terdiri dari tiga bab, yakni bab II, III, dan IV. Bab kedua mengulas tentang gambaran umum masalah bunga bank. Hal ini diperlukan untuk memberikan gambaran tentang keberadaan dan praktek bunga bank saat ini. Bab ini terbagi atas enam sub, pertama, membahas sejarah bunga bank. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kapan bunga bank itu ada (dari masa pra-Islam hingga datangnya Islam). Kedua, bagaimana Islam menilik pengertian dan landasan hukum bunga bank. Ketiga, membahas mengenai macam-macam riba dan dampaknya. Keempat, menjelaskan betapa pentingnya fungsi bank dalam kegiatan transaksi ekonomi dan kehidupan modern ini. Kelima, menerangkan sejauhmana perbedaan bank konvensional dan bank Islam dan, Kelima, mengupas mengenai riba, bunga bank dan masyarakat Indonesia. Pemaparan ini perlu untuk memahami akibat hukum yang timbul dari dilaksanakannya praktek bunga bank dalam masyarakat Indonesia sekarang.
Sedangkan bab ketiga membahas pandangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah mengenai bunga bank ditinjau dari hukum Islam. Hal ini diperlukan karena pada dasarnya penelitian ini terfokus pada praktek bunga bank tersebut. Bab ini terbagi menjadi menjadi tiga sub, pertama, mengulas tentang sejarah dan latarbelakang lahirnya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah ditinjau dari segi sosial-kemasyarakatannya. Kedua, menjelaskan pokok-pokok pikiran Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Kelima, mengupas pandangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah tentang bunga bank. Hal ini dimaksudkan untuk memahami secara utuh atau mnyeluruh terhadap pandangan kedua organisasi tersebut dalam merespon praktek pembungaan dalam bank konvensional.
Selanjutnya, bab keempat, memuat pendapat NU maupun Muhammadiyah yang berkenaan dengan segi-segi persamaan dan perbedaan antara keduanya tentang bunga bank dalam kerangka perbandingan (komparatif) ditinjau dari segi ketentuan hukum dan metode yang digunakan (istinbatnya). Sehingga dari ulasan ini diharapkan akan ada kejelasan bagaimana hukum Islam memandang keberadaan bunga bank.
Bab kelima (V) sebagai bab terakhir dari keseluruhan rangkaian pembahasan, memaparkan kesimpulan dan pembahasan bab-bab sebelumnya sehingga memperjelas jawaban terhadap persolan yang dikaji serta saran-saran dari penulis berkenaan dengan pengembangan keilmuan agar dapat mencapai hal-hal yang lebih baik dan lebih maju.
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG BUNGA BANK
A. Sejarah Bunga Bank Konvensional.
Bangsa-bangsa dahulu telah mengenal bank, tetapi bank ini berlainan dengan bank modern, sesuai dengan awal tingkat kejadiaannya transaksi di waktu itu. Saat itu belum ada mata uang dan baru muncul pada abad pertengahan, maka timbullah lembaga perbankan yang mereka gunakan sebagai alat mata uang, pertukaran uang dengan yang lain dan penyimpanan. Hal ini sesuai dengan tingkat kemajuan yang mereka capai pada saat itu. Mereka belum mengoperasikan uang yang didepositokan pada para bankir. Kemudian para bankir berpendapat bahwa adalah lebih baik kalau uang tersebut sebagian mereka kelola, karena pada umumnya pemilik uang tidak menginkan uang yang mereka titipkan itu dioperasikan. Sehingga, dengan uang yang dititipkan itu mereka dapat mengoperasikannya dalam jumlah tertentu, seraya mereka pun dapat mengembalikan uang titipan ini pada saat penitipnya memintanya kembali. Dengan cara semacam ini, penitip (deposan) tidak mengetahui bahwa uangnya telah dioperasikan atau dikembangkan oleh si bankir, karena yang bersangutan dapat mengembalikan kepada pemiliknya kapan saja uang itu ditariknya kembali, karena uang yang dititipkan pada si bankir itu banyak, sehingga ia dapat memperbesar operasinya dan mendatangkan keuntungan yang besar pula.1
Dengan demikian si bankir berpendapat bahwa suatu hal yang menguntungkan bagi dirinya kalau penitip uang (deposan) diberi bagian dari keuntungan uang yang mereka titipkan kepadanya, sehingga uang mereka pun berkembang pula, dengan cara ini, si penitip memperoleh keuntungan dan si bankir juga mendapatkan untung yang jauh lebih besar. Bilamana si deposan tidak diberi keuntungan, barangkali mereka tidak akan menitipkan uangnya lagi pada si bankir atau tidak mengizinkan untuk dikembangkan. Karena itu, akhirnya orang-orang lain dapat digalakkan untuk menitipkan uang mereka padanya, sehingga akan bertambah investasi dan keuntungannya. Dari sinilah kemudian lahir gagasan lembaga perbankan modern (bank konvensional). Yang menjadi sandaran paling besar bagi kelangsungan hidup perbankan adalah deposito, sekalipun bersandar juga pada dua sumber lain, yaitu:2
1. Modal, meliputi modal yang diberikan pemegang saham dan modal yang didapat dari keuntungan.
2. Kredit, hal ini dilakukan oleh bank-bank dagang bila membutuhkan modal, dan dipinjam dari bank sentral atau bank lain.
Menurut catatan sejarah, usaha perbankan sudah dikenal kurang lebih 2500 tahun sebelum masehi dalam masyarakat Mesir Purba dan Yunani Kuno, kemudian masyarakat Romawi.3 Karena itu, sepantasnya kalau Plato (427-347 SM) sudah berbicara tentang bahaya rente. Perkembangan bank modern mulai berkemabang di Italia dalam abad pertengahan yang dikuasai oleh beberapa keluarga untuk pembiayaan kepausan dan perdagangan wol, kemudian perbankan berkembang pesat sesudah memasuki abad ke-18 dan 19.
Bank diambil dari kata banco, bahasa Italia, artinya meja.4 Dulu para penukar uang (money changer) melakukan pekerjaan mereka di pelabuhan-pelabuhan tempat para kelasi kapal datang dan pergi, para pengembara, dan wiraswastawan turun-naik kapal. Money changer itu meletakkan uang di atas sebuah meja (banco) di hadapan mereka. Aktivitas di atas banco inilah yang menyebabkan para ahli ekonomi menelusuri sejarah perbankan, mengaitkan kata banco dengan lembaga keuangan yang bergerak dalam bidang ini dengan nama “bank”. Dengan demikian, bank di sini berfungsi sebagai penukaran uang antar bangsa yang berbeda-beda mata uangnya.5
Secara kultural, tiap peradaban manusia sebenarnya menolak keberadaan bunga bank. Apalagi dengan legitimasi ajaran agama, penolakan pun semakin kuat. Akan tetapi, kepentingan pragmatis ekonomi kapitalis meluluhlantakkannya. Para ulama fiqh mulai membicarakan tentang bunga bank (riba), ketika mereka memecahkan berbagai macam persoalan muamalah. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan riba sesuai dengan periode larangan. Sampai akhirnya datang larangan yang tegas pada akhir periode penetapan hukum riba. Riba pada agama-agama langit (samawi) telah dinyatakan haram, sebagaimana yang tertuang dalam Perjanjian Lama Kitab Keluaran ayat 25 pasal 22: “Bila kamu menghutangi seseorang di antara warga bangsamu uang maka janganlah kamu berlaku laksana seorang pemberi hutang, jangan kamu meminta keuntungan padanya untuk pemilik uang.” Namun orang Yahudi beranggapan bahwa riba itu hanyalah terlarang kalau dilakukan di kalangan sesama Yahudi. Tetapi tidak terlarang dilakukan terhadap non-Yahudi. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Kitab Ulangan ayat 20 pasal 23.6
Kapan sebenarnya manusia mulai mempraktekkan riba? Tak ada catatan pasti tentang ini. Yang jelas, pada masa Nabi Musa AS. orang-orang Yahudi dilarang mempraktekkan bunga. Larangan ini, terdapat di Old Testament (Perjanjian Lama) dan UU Talmud. Di antaranya, Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19: “Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan atau apa pun yang dapat dibungakan”.7
Larangan serupa juga tercantum di Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 dan Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7. Ini menunjukkan, sebelum turunnya larangan ini, manusia telah mempraktekkan riba. Apalagi dalam al-Qur’an surat an-Nisa’: 160-161 ditegaskan bahwa Allah akan memberikan azab yang keras kepada orang-orang Yahudi yang memakan riba. Jadi, sebelum dan hingga masa Nabi Musa AS, manusia telah mempraktekkan riba.8
Pada masa Yunani (abad VI SM–I M), terdapat beberapa jenis bunga yang besarnya dikategorikan menurut kegunaannya. Untuk pinjaman biasa antara 6-18%, pinjaman properti 6-12%, pinjaman antar kota 7-12%, sedang pinjaman perdagangan dan industri 12-18%. Tapi, praktek ini dicela dua ahli filsafat, Plato dan Aristoteles. Plato beralasan, penerapan bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Selain itu, lanjut Plato, bunga merupakan alat kelompok kaya untuk mengeksploitasi masyarakat miskin. Sedangkan Aristoteles menyatakan, uang adalah alat tukar, bukan alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga. Sehingga, pengambilan bunga secara tetap merupakan ketidakadilan.
Meski dikecam, praktek riba kian tumbuh subur, terutama pada masa Romawi (Abad V SM–IV M). Bahkan, saat Unciaria (342 SM) berkuasa di Byzantium, praktek bunga malah dilegalkan dengan UU. Dalam UU itu, masyarakat dibolehkan mengambil bunga selama tingkat bunganya sesuai dengan tingkat maksimal yang dibenarkan UU’ (maximum legal rate). Meski begitu, pengambilannya tidak boleh dengan cara bunga-berbunga (double countable). Bunga yang dikenal saat itu adalah: bunga maksimal 8-12%, bunga pinjaman biasa di Roma dan pinjaman khusus Byzantium 4-12%, sedangkan bunga untuk daerah taklukan mencapai 6-100%.9
Ibnu Abi Zayd (w 136 H754 M) mengungkapkan bahwa praktek riba juga melanda bangsa Arab pra-Islam, di mana riba dilakukan dengan berlipat ganda baik terhadap uang maupun berbagai macam komoditi, serta perbedaan umur berlaku bagi binatang ternak. Apabila sudah mencapai jatuh tempo, pihak piutang (kreditur) akan menanyakan kepada pihak yang berutang (debitur), apakah engkau akan melunasi sekarang atau menambah pembayaran jumlah utang yang engkau pinjam? Jika pihak debitur mempunyai sesuatu maka ia akan membayarkannya, tetapi jika hutangnya berupa binatang ternak, maka umurnya dapat meningkat (pada waktu pembayarannya). Apabila hutangnya berupa uang atau jenis komoditi lain, maka ia dapat meningkatkan dengan berlipat ganda pada waktu pengambilannya dalam jangka setiap tahun. Bila debitur tidak dapat membayarnya, maka hutang tersebut dapat berlipat lagi, misalnya hutang 100 dalam satu tahun dapat meningkat menjadi 200, jika tidak dibayar pada tahun berikutnya, hutang akan akan meningkat lagi secara berlipat ganda menjadi 400. jelasnya, keterlambatan hutang akan bertambah berlipat ganda pada setiap tahunnya.10
Sementara, di belahan dunia yang lain, pada rentang waktu yang hampir bersamaan, di saat gereja masih mengharamkan riba (abad I–XII M), ternyata telah berkembang dengan pesat praktek perekonomian tanpa riba. Praktek ini, dimulai setahap demi setahap seiring keberhasilan dakwah Rasulullah SAW hingga terbentuknya negara Islam pertama di Madinah (sekitar tahun 3 H). Pelarangan total terhadap riba ini pun tercantum dengan tegas dalam QS. ar-Rum: 39, an-Nisa: 160-161, Ali Imran: 130, al-Baqarah: 278-279 dan Hadis-hadis Nabi sendiri. 11
Sepeninggal Rasulullah SAW. Seiring meluasnya pengaruh dan kekuasaan Islam hingga 2/3 dunia, perekonomian dan perdagangan di negeri-negeri Islam pun kian pesat berkembang. Di masa itu bermunculan ekonom-ekonom muslim yang tetap konsisten memandang riba itu haram dan keji. Misalnya, Abu Yusuf (182 H/798 M) dengan kitabnya al-Kharraj yang membahas keuangan publik dan akuntansi syariah. Kemudian, al-Gazali (451-505 H/1055-1110 M) dengan kitabnya Ihya’ Ulumu ad-Din, Ibnu Taimiyah (661-728 H/1263-1328 M) dengan kitabnya al-Hisbah tentang konsep harga yang adil, hingga Shah Waliyullah (1114-1176 H/1703-1762 M) dengan kitabnya al-Baliqa tentang rasionalisasi pendapatan.
Tetapi, prinsip keadilan dan kebersamaan yang dibangun oleh sistem ekonomi Islam, akhirnya harus tersingkir dari peta perkembangan ekonomi dunia yang kian kapitalistik dan pragmatis. Melunturnya praktek ekonomi tanpa riba di sebagian besar negeri muslim, berjalan berkelindan dengan menurunnya pamor dan kekuasaan negeri-negeri muslim di belahan dunia mana pun. Puncaknya terjadi pada 4 November 1922, ketika Daulah Usmaniyah Turki sebagai pemegang amanah kekhalifahan harus rela melepas kekuasaannya, setelah berkuasa selama 633 tahun di Asia, Eropa, dan Afrika.
Seiring perjalanan waktu, kekejian sistem riba secara ekonomi maupun sosial, mulai terkuak ke permukaan. Publik pun mulai melirik kembali sistem ekonomi tanpa riba yang pernah dicampakkannya. Akhirnya, dunia Islam pun merespon ramai-ramai keinginan umat untuk kembali hidup tanpa riba. Tak heran, di penghujung tahun 1970-an, beberapa negara Islam mulai mengembangkan industri keuangan tanpa riba. Apalagi setelah berdiri Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB), sebagai hasil dari Sidang OKI di Karachi, Pakistan, Desember 1970.12
Pada akhirnya, ulama pun terlibat aktif untuk mendukung kembalinya sistem tanpa riba ini. Tak heran, jika kemudian ulama-ulama sedunia mengeluarkan fatwa yang pada intinya menegaskan kembali bahwa bunga (riba) apa pun bentuknya tetap haram, sedikit atau banyak. Di antara fatwa itu adalah: Pertama, fatwa dari Pertemuan OKI di Karachi tahun 1970. Kedua, Fatwa Kantor Mufti Negara Mesir tahun 1989 hingga 1900 yang memutuskan bunga bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan. Ketiga, Konferensi II Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) di Universitas Al-Azhar, Cairo, Muharram 1385 H/Mei 1965 menetapkan, tak ada keraguan sedikit pun atas keharaman praktek membungakan uang seperti dilakukan oleh bank-bank konvensional. Keempat, Fatwa Lembaga Fiqh Rabitah Alam Islami Makkah dan Konferensi Islam Internasional di Jedah tahun 1976.13
B. Pengertian dan Landasan Hukum Bunga Bank.
Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest. Secara istilah sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus dinyatakan, bahwa “interest is a charge for a financial loan, usually a percentage of the amount loaned”. Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan presentase dari uang yang dipinjamkan. Pendapat lain menyatakan “interest yaitu sejumlah uang yang dibayar atau dikalkulasi untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan degan satu tingkat atau prosentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang sekarang sering dikenal dengan suku bunga modal“.14
Ada yang memebedakan antara riba dan rente (bunga) seperti Mohammad Hatta. Mantan Wakil Presiden RI, sebagaimana dikutip oleh Masjfuk Zuhdi, menerangkan bahwa riba adalah untuk pinjaman yang bersifat kosumtif, sedangkan rente adalah untuk pinjaman yang bersifat produktif, demikian pula istilah usury dan interest, bahwa usury ialah bunga pinjaman yang sangat tinggi, sehingga melampaui suku bunga yang diperbolehkan oleh hukum. Sedangkan interest ialah bunga pinjaman yang relatif rendah. Tetapi dalam realitas atau praktek menurut Maulana Muhammad Ali adalah sukar untuk membedahkan antara usury dan interest, sebab pada hakekatnya kedua-keduanya memberatkan bagi para peminjam.15
Oleh karena itu, apabila menarik pelajaran sejarah masyarakat Barat, terlihat jelas bahwa “interest” dan “usury” yang telah dikenal saat ini pada hakikatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam prosentase. Istilah usury muncul karena belum mapannya pasar keuangan pada zaman itu sehingga penguasa harus menetapkan suatu tingkat bunga yang dianggap wajar. Namun setelah mapannya lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu menjadi hilang karena hanya ada satu tingkat bunga di pasar yang sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran.16
Berbicara mengenai bunga bank, maka tidak bisa lepas dari yang namanya riba. Dan kata riba itu sendiri dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti “tambahan” (az-Ziyadah)”.17 atau “kelebihan”18—yakni tambahan pemabayaran atas uang pokok d pinjaman. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa riba merupakan kelebihan sepihak yang dilakukan oleh salah satu dari orang yang sedang bertransaksi.
Pengertian riba di atas masih sangat umum sifatnya, dan belum memberikan ketentuan jenis riba apa yang diharamkan. Untuk mendekatkan pemahaman, ada ulama yang berependapat pentingnya melihat dan mempertimbangkan kata sandang yang ada dalam kata riba, di dalam al-Qur’an, dengan melihat fungsi kata sandang tersebut, diharapkan akan memperoleh pemahaman yang lebih mendekati pada kebenaran.
Dalam pandangan sebagian mufassir, kata sandang (definite article alif lam), berarti menunjuk kasus tertentu (ma’rifah). Maka makna kata ar-riba yang dimaksud adalah praktek pengambilan untung dari debitur yang sudah biasa di kalangan orang-orang Arab pra-Islam ketika al-Qur’an belum diturunkan, dengan pemahaman ini, kesimpulan awal yang barangkali sangat penting untuk dicatat, bahwa untuk bias memahami ayat secara lebih tepat dan mengena, seorang harus mengetahui sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat (asbab an-Nuzul), barulah kemudian dapat diketahui apa arti riba sebenarnya.19
Oleh karena itu, pengertian riba menurut terminologi (pendapat ulama) adalah bunga kredit yang harus diberikan oleh orang yang berhutang kepada orang yang berpiutang, sebagai imbalan untuk menggunakan sejumlah uang milik berpiutang dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.20 Misalnya si A memberi pinjaman pada si B dengan syarat si B harus mengembalikan uang pokok pinjaman serta sekian persen tambahannya.
Di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah terdapat beberapa ayat yang membicarakan riba secara eksplisit di antaranya adalah:
- Firman Allah SWT :
1. يايهاالدين امنوا لا تا كلوا الربوا اضعافا مضفة واتقوا الله لعلكم تقلحون 21.
2. واحل الله البيع وحرم الربوا 22 .
3. ياايها الدين امنوا اتقوا الله ود روا ما بقي من الر بوا ان كنتم مؤمنين. فان لم تفعلوا فاد نوا بحرب من الله ورسوله وان تبتم فلكم رءوس اموالكم لاتظلمون ولاتظلمون23
- Hadis Nabi SAW:
1. لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم اكل الربا وموكله وكاتبه وشاهد يه 24.
2. انما الربا فى النسيئة 25.
Dari beberapa ayat dan hadis yang telah disebutkan tadi jelaslah bahwa riba itu betul-betul dilarang dalam agama Islam. Muncul sebuah pertanyaan, apakah semua riba termasuk dalam katagori arti atau maksud dari ayat dan hadits di atas?. Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah—ada beberapa pendapat dari para ulama. Di sini dijelaskan riba nasi’ah jelas-jelas dilarang karena ayat tersebut diturunkan karenanya (kejadian di masa jahiliyah). Jadi, dengan kata lain, turunnya ayat itu karena adanya riba nasi’ah. Menurut Ibnu Qayyim dalam kitab ‘Ilami al-Muwaqi’in, sebagaimana dikutip Sulaiman Rasjid, mengatakan, bahwa “riba nasi’ah adalah riba yang dilakukan oleh kaum jahili di masa jahiliyah. Mereka menta-khirkan utang dari waktu yang semestinya dengan menambah bayaran; apabila terlambat lagi, ditambah pula terus-menerus, tiap keterlambatan wajib ditambah lagi, sampai utang yang asalnya seratus rupiah akhirnya menjadi beribu-ribu. Kalau dengan gadai, barang yang tergadai juga tetap tergadai”26
Pelarangan riba nasi’ah mempunyai pengertian bahwa penetapan keuntungan positif atas uang yang harus dikembalikan dari suatu pinjaman sebagai imbalan karena menanti, pada dasarnya tidak diizinkan oleh syari’ah. Tidak ada perbedan apakah uang itu dalam prosentase yang pasti dari uang pokok atau tidak, atau suatu jumlah yang harus dibayar di muka atau dikemudian hari, atau diberikan dalam bentuk hadiah atau jasa yang diterima sebagai syarat pinjaman. Inti dari permaslahan di sini adalah keuntungan positif yang ditetapkan di muka. Penting untuk dicatat bahwa menurut syari’ah, waktu tunggu selama pembayaran kembali pinjaman tidak dengan sendirinya memberikan justifikasi atas keuntungan positif dimaksud.27
Hakikat pelarangan tersebut adalah tegas, mutlak, dan tidak mengandung perdebatan. Tidak ada ruang untuk mengatakan bahwa riba mengacu sekedar pada pinjaman dan bukan bunga, karena Nabi melarang mengambil, meskipun kecil, pemberian jasa atau kebaikan sebagai syarat pinjaman, sebagai tambahan dari uang pokok.28 Meskipun demikian, jika pemgembalian pinjaman pokok dapat bersifat positif atau negatif tergantung pada hasil akhir suatu bisnis, yang tidak diketahui terlebih dahulu. Ini diperbolehkan asal ditanggung bersama menurut prinsip-prinsip keadilan yang ditetapkan dalam syari’ah.
C. Macam-macam Riba dan Dampaknya.
Para ahli hukum Islam (fuqaha’) secara sederhana membagi riba menjadi empat macam yaitu: Pertama riba fadli, yaitu menukarkan dua barang yang sejenis dengan barang yang tidak sama. Kedua riba qardi, yaitu berutang dengan syarat ada keuntungan bagi yang memberi hutang. Ketiga riba yad, yaitu berpisah dari tempat akad sebelum timbang-terima. Keempat riba nasi’ah, yaitu disyaratkan salah satu dari kedua barang yang ditukarkan tersebut ditangguhkan penyerahannya.29 Riba nasi’ah juga disebut riba duyun—yakni riba yang timbul akibat utang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko dan hasil usaha muncul bersama biaya. Transaksi semacam ini karena mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban hanya karena berjalannya waktu.30
Sebagian ulama ada yang membagi riba tersebut atas tiga macam, yaitu riba fadli, riba yad, dan riba nasi’ah. Riba qardi termasuk ke dalam riba nasi’ah. Barang-barang yang berlaku riba padanya adalah emas, perak, dan makanan yang mengenyangkan atau berguna untuk yang mengenyangkan, misalnya garam. Jual beli barang tersebut, kalau sama sejenisnya—seperti emas dengan emas, gandum dengan gandum—diperlukan tiga syarat: 1. Tunai; 2. Serah terima; dan 3. Sama timbangannya. Kalau jenisnya berlainan, tetapi ‘illat ribanya satu—seperti emas dengan perak—boleh tidak sama timbangannya, tetapi mesti tunai dan timbang terima. Kalau jenis dan ‘illat ribanya berlainan perak dengan beras, boleh dijual bagaimana saja seperti barang-barang yang lain; berarti tidak diperlukan suatu syarat dari yang tiga tersebut.31
Sementara Ibnu Qayyim, membagi riba atas dua bagian: jali dan khafi. Riba jali adalah riba nasi’ah, diharamkan karena mendatangkan mandharat yang besar. Riba yang sempurna (riba al-kamil) adalah riba nasi’ah. Riba ini berjalan pada masa jahiliyah. Sedangkan riba khafi diharamkan untuk merutup terjadinya riba jali (wa al-khafi haramun li annahu zari’atun ila al-jali).32
Semua agama samawi (revealed relegion) telah melarang praktek bunga bank, karena dapat menimbulkan dampak bagi masyarakat pada umumnya dan bagi mereka yang terlibat langsung pada praktek riba pada khususnya. Adapun dampak akibat dari praktek riba adalah:
1. Menyebabkan eksploitasi (pemerasan) oleh si kaya terhadap si miskin.
2. Uang modal besar yang dikuasai oleh the haves tidak disalurkan ke dalam usaha-usaha yang produktif, misalnya pertanian, perkebunan, industri, dan sebagainya yang dapat ciptakan lapangan kerja banyak, yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dan juga bagi pemilik modal itu sendiri, tetapi modal besar itu justru disalurkan dalam perkreditan berbunga yang belum produktif.
3. Bisa menyebabkan kebangkrutan usaha dan pada gilirannya bisa mengakibatkan keretakan rumah tangga, jika si peminjam itu tidak mampu untuk mengembalikan pinjaman dan bunganya.33
4. Riba dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi dan mengurangi semangat kerja sama atau saling menolong dengan sesama manusia, dengan mengenakan tambahan kepada peminjam akan menimbulkan prasaan bahwa peminjam tidak tahu kesulitan dan tidak mau tahu penderitaan orang lain.
5. Riba merupakan salah satu bentuk penjajahan. Kreditur yang meminjamkan modal dengan menenutut pembayaran lebih kepada peminjam dengan nilai yang telah disepakati bersama menjadikan kreditur mempunyai legitimasi untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak baik untuk menuntut keasepakatan tersebut. Karena dalam kesepakatan kreditur telah memperhitungkan keuntungan yang telah diperoleh dari kelibahan bunga yang akan didapat, dan itu sebenarnya hanya berupa pengharapan dan belum terwujud.34
D. Fungsi Bank
Karena pembahasan ini sangat erat kaitannya dengan lembaga bank, maka ada baiknya lebih dahulu diuraikan pengertian bank secara singkat dan sederhana. Bank atau perbankan adalah suatu lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalulintas pelayanan dan peredaran uang dengan tujuan memenuhi kebutuhan kredit dengan modal sendiri atau orang lain.35 Selain itu, bank juga mempunyai fungsi mengedarkan alat tukar baru dalam bentuk uang bank atau giral.
Dari tinjauan bahasa, kata bank berasal dari bahasa Italia, Banco, yang berarti meja.36 Penyebutan ini didasarkan pada alasan, bahwa orang yang mengerjakan bank ini, umumnya memakai meja di tepi jalan untuk melayani orang-orang yang hendak berhubungan dengan mereka (pengelola bank). Pekerjaan semacam ini sudah dikenal dan dilakukan sejak zaman dahulu kala, dan lebih khusus dan lebih banyak dikerjakan oleh orang-orang Yahudi. Ketika ada kesewenang-wenangan dari pihak pengelola bank, maka pemerintah ikut campur dan melakukan pengawasan serta membuat peraturan untuk menghindari kesewenang-wenangan yang telah terjadi
Oleh karenanya, peraturan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap adanya bank tersebut, merupakan usaha untuk mencegah penipuan, atau tindakan yang bersifat aniaya. Namun pengawasan dan peraturan itu sendiri belum seluruhnya memenuhi prinsip-prinsip keadilan, dan masih banyak terjadi hal-hal yang bersifat negatif.
Semakin lama lembaga ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Akibatnya, muncullah definisi bank, yang diformulasikan oleh pemikir-pemikir dan ahli-ahli di bidang sosial, khususnya pemikir ahli ekonomi. Pierson, seorang ahli ekonomi dari Belanda abad ke-19 misalnya, mendefinisikan bank sebagai badan yang menerima kredit. Sementara Somary mendefinisikan bank sebagai lembaga yang mengambil kredit. Dari definisi yang kedua ini, terkesan pihak bank berlaku aktif. Lebih lengkap lagi G.M. Verrijn mendefinisikan bank sebagai lembaga yang berusaha memuaskan keperluan pihak kreditor, baik dengan uang yang diterimanya sebagai petaruh orang lain, maupun dengan jalan megeluarkan uang baru sebagai uang kertas atau giro.37
Menurut kenyataan sejarah, bahwa bank adalah suatu perusahaan yang bertujuan untuk mencari keuntungan yang diperoleh dari selisih bunga yang harus dibayarkan kepada pemberi pinjaman. Atau bunga-bunga yang harus dibayarkan kepada pemberi pinjaman atau yang menitipkan uangnya, dengan bunga yang didapat dari pemberian pinjaman kepada orang lain. Kalau ia membayar bunga tiga persen kepada orang yang memberi pinjaman sedang ia menerima lima persen dari orang yang meminjam. Maka ia mendapat keuntungan dua persen. Di samping itu bank juga mendapat imbalan bagi kegiatan-kegiatan lainnya, umpamanya dalam pelayanan pengiriman, pertukaran mata uang dan sebagainya.38 Adapun fungsi bank, sebagaimana diformulasikan para ahli ekonomi, bertujuan untuk memajukan perekonomian atau kesejahteraan masyarakat secara umum, dan khususnya pihak-pihak yang terlibat dalam lembaga perbankan. Hatta misalnya mengatakan, bank merupkan sendi kemajuan masyarakat. Bahkan menurutnya, masyarakat tidak bisa maju seperti sekarang ini tanpa adanya lembaga bank. Untuk membuktikan fakta pernyataannya, Hatta memberikan bukti, bahwa masyarakat yang tidak menggunakan jasa bank menjadi masyarakat yang terbelakang.39
Sementara Najetullah, dengan uraiannya yang lebih rinci mengatakan, bahwa peranan atau fungsi utama dari bank adalah sebagai perantara keuangan antara para penabung (rumah tangga) dengan para investor (perusahaan).40 Tabungan bertambah dengan jutaan rumah tangga. Sedangkan perusahaan terbatas pada puluhan ribu saja. Dengan demikian, bank mempunyai peranan ynag sangat penting dan menentukan dalam mengalokasikan sumber-sumber keuangan yang tersedia di dalam masyarakat. Sebagai konsekuensinya, kebutuhan masyarakat modern tidak terbatas pada tukar menukar dengan mata uang logam dan sejenisnya saja, melainkan kemudian muncul kebutuhan cek dan sejenisnya. Lebih lanjut menurutnya fungsi bank adalah tempat simpanan dalam bentuk rekening, simpanan aman barang-barang berharga, dan pengiriman uang dalam jarak jauh. Akan tetapi fungsi bank yang lebih pokok, ungkap Najetullah, adalah sebagai:41 (1) perantara keuangan antar penabung dan pemakai akhir—yaitu rumah tangga dan perusahaan; dan (2) menawarkan sejumlah pelayanan lain misalnya, simpan-aman, kemudahan-kemudahan seperti cek, transfer, jaminan pembayaran dan penerimaan jual-beli, manajemen, promosi dan seterusnya.
Menurut Afzalur Rahman, bank berfungsi menerima deposito, memberikan pinjaman dan menerbitkan cek, transfer deposit bank dari perorangan atau perusahaan dan memberikan berbagai macam pelayanan kepada nasabahnya, termasuk bisnis taransaksi penukaran uang asing, membeli dan menjual jaminan penukaran atas nama mereka, serta bertindak sebagai pengawas maupun yang diberi kepercayaan. Bank juga memiliki fungsi menyediakan fasilitas pinjaman kepada para nasabahnya dalam bentuk kartu kredit dan overdraft. Bentuk kartu kerdit dimaksudkan untuk digunakan para ibu rumah tangga dan para pembelanja lainnya serta para bisnismen. Karena besarnya nasabah bisnis, fasilitas overdraft sangat bermanfaat dan biasanya dilakukan pembaharuan negeoisasi pada saat interklien mengadakan persetujuan dengan bank mengenai batas kredit, dan membuka kesempatan untuk menarik cek atas uangnya pada batas limit yang telah ditentukan. Untuk segala pelayanan ini, bank mengenakan suatu bunga atau menarik komisi atas pelayanannya dan para nasabahnya dikenakan bunga.42
E. Bank Konvensional (sistem bunga) dan Bank Islam.
Bank sebagai lembaga keuangan yang melalui kegiatan-kegiatannya menarik uang dari yang menyalurkannya kepada masyarakat, dengan usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Bagi negara yang sedang berusaha meningkatkan ekonominya mempunyai peranan dan posisi yang sangat penting, terutama kaitannya dengan kontak-kontak ekonomi negara lain. Sulit dibayangkan melakukan kegiatan-kegiatan ekomomi tanpa behubungan dengan bank.
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat Islam hampir tidak bisa menghindari diri dari bermuamalah dengan bank konvensional dalam segala aspek kehidupannya, termasuk kehidupan agamanya. Misalnya ibadah haji di Indonesia umat Islam masih harus memakai jasa bank, apalagi dalam kehidupan ekonomi tidak bisa lepas dari yang namanya jasa perbankan. Sebab tanpa jasa bank, perekonomian Indonesia tidak selancar dan semaju seperti sekarang ini.43
Istilah “Bank Konvensional”44 dalam hal ini dimaksudkan sebagai sebutan bagi bank yang dipraktekkan orang pada umumnya sebelum bank Islam lahir. Yaitu bank dengan penerapan sistem bunga.45 Usia lembaga perbankan sebenarnya sudah tua sehingga ketika orang Islam mulai melakukan kontak dengan bank, ia sudah berada pada tahap perbangkan dengan pola modern. Karenanya, benar bahwa kegiatan perbankan dengan sistem bunga disebut sebagai persoalan baru dalam kajian keislaman.
Dalam perekonomian modern, pada dasarnya bank adalah lembaga perantara dan penyalur dana antara pihak yang berkelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana. Peran ini disebut “Financial Intermediary”. Dalam melaksanakan tugasnya yang paling menonjol sebagai financial intermediary itu, bank dapat dikatakan membeli uang dari masyarakat pemilik dana ketika ia menerima simpanan, dan menjual uang kepada masyarakat yang memerlukan dana ketika ia memberi pinjaman kepada mereka. Dalam kegiatan ini muncul apa yang disebut bunga. Sri Edi Swasano, seorang pakar muslim dalam disipilin ilmu ekonomi, berpendapat bahwa bunga adalah harga uang dalam transaksi jual-beli tersebut. Dengan demikian, bunga yang ditarik oleh bank dari pemakai jasa, merupakan ongkos adminitrasi dan ongkos sewa. Sehingga dari sini kelihatan bahwa penyimpanan uang di bank akan mendapat bagian keuntungan dari bank berupa bunga yang diambilkan dari bunga yang diterima oleh bank.46
Sebagai bank yang menerapkan sistem bunga, mekanisme perbankan konvensional sebagian besar ditentukan oleh kemampuannya dalam menghimpun dana masyarakat melalui pelayanan dan bunga yang menarik47 Suatu tingkat bunga simpanan akan dikatakan menarik manakalah: Pertama, lebih tinggi dari tingkat inflasi, karena pada tingkat bunga yang lebih renda, dana yang disimpan nilainya akan dikikis inflasi. Kedua, lebih tinggi dari tingkat bunga riil di luar negeri karena pada tingkat bunga yang lebih rendah dengan dianutnya sistem devisa bebas, dana-dana besar akan lebih menguntugkan untuk disimpan (diinvestasikan) di luar negeri. Ketiga, lebih bersaing di dalam negeri, karena penyimpanan dana akan memilih bank yang paling tinggi menawarkan tingkat bunga simpanannya dan memberikan berbagai jenis bonus atau hadiah. Kemudian pada sisi penyaluran dana tingkat bunga simpanan itu ditambah dengan prosentasi tertentu untuk spread yang terdiri dari; Biaya operasional, Cadangan kredit macet, Cadangan wajib, dan Profit marjin, dibebankan kepada peminjam dana. Artinya peminjam dana-lah yang sebenarnya membayar bunga simpanan dan spread bagi bank tersebut.
Sebagai intermediary, bank lalu memperoleh spread sebagai salah satu sumber pendapat yang pada umumnya justru merupakan pendapatan utama. Hal tersebut di atas mengandung makna bahwa satu tingkat bunga simpanan yang tinggi itu bisa terjadi karena adanya tingkat inflasi yang tinggi, tingkat bunga riil di luar negeri yang tinggi, dan tingkat persaingan antar bank yang tinggi. Sebaliknya suatu tingkat buga pinjaman yang tinggi bisa terjadi karena tingkat bunga simpanan yang tinggi sebagai sumber dana dan tingkat spread yang tinggi pula.48 Proses penentuan tingkat bunga seperti tersebut di atas cenderung lebih mudah mengakomodir kenaikan dari pada penurunan tingkat bunga. Karena untuk menurunkan tingkat bunga harus dimulai dari menurunkan tingkat bunga simpanan yang mengandung resiko pindahnya penyimpanan dana dari bank yang menurunkan tingkat bunga ke bank yang memberikan tingkat bunga lebih tinggi. Oleh sebab itu, siapa yang berani terlebih dahulu menurunkan tingkat bunga? Tentu saja tidak ada walaupun melalui kesepakatan antar bank yang ada. Kesepakatan semacam itu sulit dilaksanakan karena adanya perbedaan kekuatan masing-masing bank. Di lain pihak, beban bunga pinjaman yang dibayar peminjam kepada bank itu lazimnya sebanyak mungkin akan digeserkan oleh peminjam dana kepada penanggung yang terakhir.
Jadi, apabila peminjam dana adalah perorangan untuk keperluan konsumtif, maka beban bunga pinjaman tadi tentunya harus ditangani sendiri. Tetapi apabila peminjam dana adalah pedangang maka logislah apabila beban bunga pinjaman itu digeserkannya kepada harga barang yang dijual.49 Dari mekanisme kerja antar bank dengan nasabah inilah, baik nasabah peminjam maupun nasabah penyimpan, maka bank konvensional tidak dapat mempertahankan hidupnya, apalagi mengembangkannya tanpa mekanisme sistem bunga. Oleh karenanya, di sini dapat diambil sedikit pengertian segi positif bank dari sistem bunga yaitu dengan melalui sistem bunga, bank dapat melaksanakan aktivitas perbankannya, namun dibalik semua segi positif dari sistem bunga, ternyata masih banyak kejelekan-kejelekan dari diterapkannya bank konvensional (sistem bunga). Diantaranya adalah:50 Pertama, dengan sistem ini, para wisatawan, pemerintah dan kelompok konsumen, berada dalam posisi yang terpojok. Sebab, kelompok ini akan mempunyai beban hutang dari sumber keuangan.
Kedua, kelompok yang bisa mendapatkan pinjaman pada umumnya hanyalah kelompok yang mempunyai jaminan yang lebih tinggi dan lebih terjamin. Sementara banyak kelompok lain yang lebih membutuhkan pinjaman dan mempunyai usaha yang lebih layak untuk dikembangkan, tidak mendapatkan pinjaman hanya karena tidak memiliki jaminan yang cukup dan aman.51 Ketiga, mengakibatkan tidak meratanya distribusi pendapatan. Sebagai contoh konkrit, dapat dilihat pekerjaan yang dilakukan perusahan, mulai dari proses produksi, pengelolahan sampai pada proses pemasaran. Dengan usaha yang sedemikian berat, pihak perusahaan masih penuh tanda tanya, antara berhasil atau tidak. Sementara pihak bank sendiri, hanya dan tinggal mengambil bunga bulanan.52 Keempat, perbankan dengan sistem bunga tidak mengenal adanya perbedaan antara peminjam komsumtif dan produktif. Padahal terlalu banyak orang yang meminjam uang untuk kebutuhan kosumsi, baik berupa kebutuhan sehari-hari, maupun untuk bekal masa depan yang sangat dibutuhkan, seperti rumah dan semacamnya. Semua kebutuhan konsumen tersebut, sama sekali tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan. Sementara bank mebebankan bunga yang sama dengan perusahaan-perusahaan yang masih ada kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan.53 Kelima, pihak bank juga tidak membedakan antara kebutuhan usaha dengan kebutuhan-kebutuhan umum, seperti kebutuhan air minum, listrik dan semacamnya. Padahal hal-hal semacam itu merupakan kebutuhan masyarakat secara umum. Sementara pihak bank tidak membedakan kebutuhan tersebut dengan pinjaman untuk kepentingan lainnya. Akibatnya adalah munculnya konsentrasi kekuatan keuangan di pihak bank. Sehinga akibat selanjutnya adalah munculnya ketidakmerataan pendapatan, yang bisa terjadi akan memunculkan inflasi.54
Untuk itu Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin, berusaha melalui para pakar muslim yang berkecimpung dalam dunia ekonomi untuk memberikan solusi terhadap sistem bunga bank, yaitu dengan mendirikan bank Islam,55 di mana prinsip yang dipakai dalam bank Islam ini adalah tidak didasarkan pada sistem bunga, melainkan lewat sistem bagi hasil.56 Bank tanpa bunga ini akan menyediakan fasilitas kredit dan melaksanakan semua fungsi bank perdagangan. Prinsip bagi hasil akan mendorong investor untuk menanam uang mereka di bank non konvensional, sebab kongsi dalam bank ini akan menanggung untung dan rugi secara bersama, yang berbeda dengan sistem perbankan modern di mana kerugian hanya akan ditanggung oleh peminjam, sedangkan pemberi pinjaman dalam hal ini adalah pihak bank akan selalu mendapatkan keuntungan.57
Sebagai pengganti sistem bunga, bank Islam menggunakan berbagai cara atau prinsip yang bersih dari unsur riba, antara lain adalah sebagai berikut: Pertama. Wadiah, yaitu titipan uang, barang, dan surat-surat berharga atau deposito. Lembaga fiqh Islam “wadiah” ini, bisa diterapkan oleh bank Islam dalam operasinya menghimpun dana dari masyarakat, dengan cara menerima deposito berupa uang, surat-surat berharga sebagai amanat yang wajib dijaga keselamatannya oleh bank Islam. Bank berhak menggunakan dana yang didepositokan itu tanpa harus membayar imbalannya (rente atau riba), tetapi bank harus menjamin bisa mengembalikan dana itu pada waktu pemiliknya (depositor) memerlukannya.58
Kedua. Mudarabah, yaitu suatu usaha kerjama antara tenaga kerja dengan pemilik modal bergabung bersama-sama sebagai mitra usaha untuk kerja. Ini bukan semata-mata usaha dalam arti modern. Ia punya kelebihan karena Islam telah memberikan kode etik ekonomi yang menggabungkan nilai material dan spiritual untuk jalankan sistem ekonominya. Kode etik ekonomi ini harus dicerminkan bila prinsip mudarabah dilaksanakan dalam praktek. Sistem perbankan Islam dapat membantu pembentukan lembaga tertentu atas dasar mudarabah dan dengan demikian, dapat menyelesaikan pertentangan yang berabad-abad lamanya antara tenaga kerja dan majikannya.59
Sungguh menyenangkan melihat bank Islam turut mngurus kontrak mudarabah, yaitu bank memberikan modal, sedangkan para nasabah memberikan keahlian mereka, sementara keuntungan dibagi menurut rasio yang disetujui. Telah dikemukan bahwa prinsip mudarabah dapat dimintakan dalam hal transaksi jangka pendek yang dapat membiayai dirinya sendiri (self liquidating), dan akibatnya permintaan untuk pinjaman jangka pendek sedikit- banyak dapat dikurangi, karena dalam ekonomi Islam pinjaman jangka pendek dengan bunga seperti yang diberikan bank dagang tradisional atau lembaga diskonto tidak akan tersedia.60
Ketiga. Musyarakah (persekutuan), yaitu kerja sama antara pihak bank dan pihak pengusaha yang sama-sama memiliki andil (saham) pada usaha persekutuan (join venture). Karena itu, kedua belah pihak berpartisipasi langsung mengelola usaha perseketuan tersebut mulai dari menanggung untung dan ruginya bersama atas dasar perjanjian profit and lose sharing (PLS agreement).61 Sehingga dengan musyarakah ini, baik bank atau klien menjadi mitra usaha dengan menyumbangkan modal dalam berbagai tingkat dan mencapai kata sepakat atas suatu rasio laba di muka untuk suatu waktu tertentu.62
Keempat. Murabahah, yaitu jual beli barang dengan tambahan harga atau cost plus atas dasar harga pembelian yang pertama secara jujur. Dengan murabahah ini, orang pada hakikatnya ingin mengubah bentuk bisnisnya dari kegiatan pinjam-meminjam menjadi transaksi jual beli (lending activity menjadi sale and purchase transaction).63 Di sini bank Islam bisa membelikan atau menyediakan barang-barang yang diperlukan oleh pengusaha untuk dijual lagi, dan bank minta tambahan harga (cost plus) atas harga pembelinya. Syarat transaksi murabahah ini adalah si pemilik barang, dalam hal ini bank Islam harus memberikan informasi yang sebenarnya atau sejujurnya kepada pembeli tentang harga pembeliannya dan keuntungan bersihnya (profit margin) dari pada cost plus-nya itu.
Kelima. Qard Hasan, yaitu pinjaman yang baik (benevolent loan). Bank Islam dapat memberikan pinjaman tanpa bunga kepada para nasabah yang baik, terutama nasabah yang memiliki deposito di bank Islam itu sebagai salah satu service dan penghargaan bank terhadap para deposan, karena deposan tidak menerima bunga atas depositonya dari bank Islam.64
Keenam. Bank Islam dalam melakukan transaksi juga diperbolehkan memungut dan menerima pembayaran untuk;65 1. Mengganti biaya-biaya yang langsung dikeluarkan oleh bank dalam melaksanakan pekerjaan untuk kepentingan nasabah, misalnya biaya telegram, telepon, telex dalam memindahkan atau memeberitahukan rekening nasabah dan sebagainya. 2. Membayar gaji para karyawan bank yang melakukan pekerjaan untuk kepentingan nasabah, dan untuk sarana dan prasarana yang disediakan oleh bank, dan biaya adminitrasi pada umumnya.
Dari keterangan tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa perbedaan prinsipil antara sistem bank konvensional dengan bank bebas bunga (bank Islam) adalah terletak pada cara penentuan keuntungan. Pada bank konvensional misalnya, jasa atau bunga pinjaman ditentukan lebih dahulu dan diperhitungkan menurut besar bunga yang ditetapkan dan jumlah pinjaman atau tabungan.66 Seorang atau suatu badan hukum yang meminjam uang dari bank sejak mulai hari pinjaman atau sejak saat yang ditentukan dalam perjanjian, ia sudah menanggung beban membayar bunga, tanpa diperhitungkan apakah uang pinjaman itu akan mendatangkan hasil atau tidak.
Sementara bank Islam menetukan keuntungan menurut laba yang telah diperoleh. Kedua belah pihak sama-sama menanggung untung dan rugi. Keuntungan bisa naik atau turun tergantung kepada besar kecilnya laba yang diperoleh. Kepada peminjam, bank Islam tidak menentukan bunga dan kepada penabung tidak memberikan bunga, yang diberikan adalah keuntungan yang diperhitungkan atas dasar besar kecilnya laba yang didapat.67
F. Riba, Bunga Bank, dan Masyarakat Indonesia.
Evolusi konsep riba ke bunga tidak lepas dari perkembangan lembaga keuangan, khususnya bank. Lembaga keuangan timbul, karena kebutuhan modal untuk membiayai industri dan perdagangan. Modalnya terutama berasal dari kaum pedagang. Oleh karena itu, para bankir pada umumnya berasal dari pedagang. Dalam menjalankan bisnis, para pedagang, pengusaha selalu membutuhkan modal. Bisnis kecil-kecilan biasanya pelakunya dapat mengatasi modalnya sendiri. Tetapi, apabila bisnis telah menunjukkan pada perkembangan yang besar, dan untuk mengembangkan usahanya biasanya membutuhkan modal yang cukup besar. Dalam hal ini modal harus dicarikan dari sumber yang lain,. Tetapi siapa orangnya yang mau meminjamkan uangnya dengan cuma-cuma, apalagi dalam jumlah besar? Dari sisnilah timbul keperluan bank sebagai perantara antara mereka yang membutuhkan kredit dengan mereka yang memiliki surplus modal. Bank tidak memandang untuk keperluan konsumsi, produksi, perdagangan atau jasa, tetapi pada umumnya pinjaman diarahkan kepada kegiatan usaha. Kalaupun ada yang memerlukan untuk konsumsi, bank hanya bersedia memberikan pinjaman jika ada jaminan bahwa hutang itu akan bisa dibayar.68
Dalam menjalankan transaksi bank harus mengenakan ongkos untuk peminjam, karena bank pun harus membayar ongkos itu untuk memberikan pinjaman. Di sini dikenal apa yang disebut sebagai modal murni, yaitu tingkat bunga nominal dikurangi beberapa ongkos, seperti biaya-biaya adminitrasi, jaminan terhadap keamanan hutang pokok maupun bunganya, kemungkinan merosotnya daya beli uang, baik karena inflasi maupun nilai tukarnya terhadap mata uang asing, dan juga ongkos-onkos yang diperlukan untuk menjaga keutuhan uang karena pembayaran dengan cara angsuran. Semua ongkos itu tentunya harus dipikul oleh debitur. Bank hanya menarik semua ongkos itu dalam rangka menjaga amanat dari para pemilik modal.
Oleh karenanya, mereka yang memiliki uang, baik besar maupun kecil sebenarnya menanggung beban dan resiko dengan meminjamkan atau menyimpan uangnya itu ke bank. Pertama, ia kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan uangnya itu. Baik untuk keperluan usaha maupun konsumsi. Kedua, nilai uangnya bisa merosot, apalagi karena adanya inflasi dan nilai tukar uang yang kini sudah bisa diperhitungkan, walaupun tidak terlalu persis. Ketiga, pemilik uang juga menaggung resiko uang tidak kembali, dan karena itu, maka bank perlu memperhitungkannya, demi keamann pemilik modal, agar bisa dipercaya untuk menyimpan uang masyarakat.69
Sementara itu, dalam perkembangannya lembaga keuangan syari’ah dengan berbagai instrumen yang telah ada telah menimbulkan optimisme akan perubahan sikap masyarakat terhadap keberadaan riba, tetapi masih ada beberapa alasan yang menjadikan bunga kurang bisa diterima sebagai riba oleh sebagian masyarakat. Adapun alasannya antara lain:70
1. Masalah emosi keagamaan.
Wacana bunga sebagai riba masuk dalam urusan keyakinan. Hal ini menjadikan justifikasi bagi beberapa orang untuk menerima atau menolak bunga sebagai riba. Oleh karenanya berbicara mengenai keberadaan bunga sebagai riba oleh sementara pihak akan menyinggung keyakinan pihak lain—yang menganggap bunga bukan termasuk katagori riba—dan ini akan menimbulkan sikap emosional dalam memposisikan keberadaan pelarangan riba. Hal ini yang menyebabkan sukarnya menjelaskan mengapa riba itu dilarang?.71
2. Selain riba, ada maisir (perjudian) dan garar (risiko).
Selain praktek riba yang dilarang, praktek maisir dan garar juga dilarang dalam Islam. Popularitas riba diakibatkan posisi riba yang banyak digunakan untuk melegitimasi haramnya bunga. Sehingga praktek garar dan maisir yang sebenarnya perlu disejajarkan dengan masalah riba kurang begitu mendapatkan perhatian. Dan ini lebih dikarenakan masir dan garar kurang populer untuk melegitimasi dilarangnya praktek-praktek perbankan yang tidak sesuai dengan syari’ah, sebagaimana pelarangan riba. Sehingga kadangkala keberadaan pelarangan riba dalam perbankan dipandang semata-semata sebagai antitesis dari keberadaan bunga, dan lebih menkhawatirkan adalah pemahaman ini memposisiskan pelarangan riba bukan untuk bertujuan memberikan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia, tetapi posisi pelarangan riba hanya karena adanya bunga.72
3. Kritik yang berlebihan terhadap lembaga keuangan syari’ah.
Sebagian masyarakat yang menolak bunga sebagai riba—berlebihan terhadap permasalahan lembaga keuangan syari’ah, tetapi tidak mau lebih jauh mengetahui ada apa dibalik permasalahan di lembaga keuangan syari’ah tersebut. Sedikit masalah dalam lembaga keuangan syari’ah selalu mendapat perhatian yang besar dibanding dengan lembaga keuangan konvensional—walaupun derajat permasalahannya sama. Hal ini dikarenakan lembaga keuangan syari’ah menanggung konsekuwensi untuk dianggap lebih baik dibanding dengan lembaga keuangan konvensional, karena awal eksistensinya telah dianggap sebagai kritik lembaga keuangan konvensional—yang menggunakan sistem bunga atau riba.73
4. Kurangnya dukungan akademisi.
Masih banyak institusi pendidikan lebih mengenalkan bunga sebagai bagian instrumen moneter dari pada sistem keuangan di dalam suatu negara. Hal ini diakibatkan sebagaian akademisi mengambil rujukan berbagai literatur konvensional. Sehingga sistem moneter non-ribawi kurang begitu dikenal oleh kalangan akademisi dan masyarakat. Bahkan, timbul kecenderungan beberapa pihak bersikap tidak peduli atau sebaliknya terlalu kritis—berlebihan—terhadap keberadaan bagi hasil (profit sharing) sebagai instrumen moneter.74
5. Lebih familier dengan sistem bank konvensional.
Kenyataan ini lebih disebabkan karena masyarakat lebih berkepentingan terhadap lembaga konvensional dibanding dengan lembaga keuangan syari’ah, di mana selama ini banyak bergaul dengan sistem keuungan konvensional. Sehingga ia merasa bahwa apa yang ia lakukan sekarang tidak menimbulkan konsekuensi buruk bagi mereka dan mereka pun menerima sebagai bagian dari sistem ekonomi yang berjalan.Sehingga keberadaan pelarangan riba dalam lembaga keuangan syari’ah lebih dianggap sebagai sebuah wacana normatif belaka.75
BAB. III
BUNGA BANK DALAM PERSPEKTIF
NAHDLATUL ULAMA (NU) DAN MUHAMMADIYAH
Nahdlatul Ulama dan Pandangannya tentang Bunga Bank
Sejarah dan Latar Belakang Lahirnya.
Memahami Nahdlatul Ulama (NU) sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan, secara komprehensip dan proporsional, maka tidak dapat mengesampingkan aspek-aspek historis (aspek sejarah), yaitu peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi dan mendorong lahirnya Nahdlatul Ulama.1
Pada saat kegiatan reformasi mulai berkembang luas, para ulama belum begitu terorganisasi. Namun mereka sudah saling mempunyai hubungan yang sangat kuat. Perayaan pesta seperti haul, ulang tahun kematian kyai, secara berkala mengumpulkan masyarakat sekitar atau pun para mantan murid pesantren mereka yang kini tersebar di seluruh nusantara. Selain itu. Perkawinan di antara anak-anak para kyai atau para murid yang baik, sering kali mempererat hubungan ini. Tradisi yang mengharuskan seorang santri pergi dari satu pesantern ke pesantren yang yang lainnya guna menambah ilmu pengetahuan agamanya juga ikut andil dalam memperkuat jaringan ini.2
Jauh sebelum lahir sebagai organisasi , NU telah ada dalam bentuk komunitas (jama’ah) yang diikat oleh aktivitas sosial keagamaan yang mempunyai karekter Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Wujudnya sebagai organisasi tidak lain adalah “penegasan formal dari mekanisme informal para ulama sepaham”. Arti penting dibentuknya organisasi ini tidak lepas dari konteks waktu itu, terutama berkaitan dengan upaya menjaga eksistensi jama’ah tradisional berhadapan dengan arus paham pembaharuan Islam, yang ketika itu telah terlembagakan, antara lain dalam Muhammadiyah.3
Masuknya paham pembaharuan ke Indonesia diawali oleh semakin banyaknya umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji ke Tanah suci, sejak dibukanya Terusan Suaez (1869). Bersamaan dengan itu, di Timur Tengah sedang merebak ajaran pembaharuan dan purifikasi ajaran Islam, seperti gerakan pembaharuan Muhammad bin Abdul Wahab yang kemudian dikenal sebagai Gerakan atau Paham Wahabiyah, maupun pemikiran Pan-Islamisme Jamaluddin al-Afgani yang kemudian dilanjutkan oleh Muhammad Abduh. Tak pelak, kontak pemikiran intensif antara jama’ah haji Indonesia dengan paham pembaharuan ini berlangsung. Oleh karenanya, ketika kembali ke Tanah Air, para jamaah haji membawa pemikiran itu untuk memurnikan ajaran Islam dari unsur-unsur yang dianggap dari tradisi di luar Islam.4
Tidak semua kalangan menerima paham pembaharuan itu secara bulat-bulat. Sekelompok ulama pesantren (yang nota bene juga haji) menilai bahwa penegakan ajaran Islam secara murni tidak selalu berimplikasi perombakan total terhadap tradisi lokal.5 Taradisi ini bisa saja diselaraskan dengan ajaran Islam secara luwes. Kalangan yang dikenal sebagai kelompok tradisionalis ini mengamati upaya purifikasi ajaran Islam itu dengan cemas. Sebab tidak mustahil jika hal itu dilakukan secara frontal dan radikal akan munggungncang keyakainan masyarakat. Terlebih lagi, upaya itu ternyata mulai berindikasi pendrobakan taradsisi keilmuan yang selama ini dianut oleh para ulama pesantren.
Oleh karenanya, pada abad XX, dalam kurun waktu sepuluh tahun, seseorang yang sangat dinamis yang pernah belajar di Makkah, yakni KH. Abdul Wahab Hasbullah,6 mengorganisir Islam tradisionalis dengan dukungan seorang kyai asal Jombang Jawa Timur yang sangat disegani, KH. Hasyim Asy’ari. Sejak bermukim di Makkah, Kyai Wahab aktif di Sarekat Islam (SI). Sebuah perkumpulan saudagar muslim, yang sejak semula bertujuan untuk memompa semangat nasionalisme dan menangkal para pencuri dengan sistem ronda serta memperbaiki posisi pedagang muslim, Arab, dan Jawa, dalam bersaing mengahadapi keterunan Tionghoa.7 Kyai Wahab juga berkerja sama dengan tokoh nasionalis, Soetomo, dalam sebuah kelompok diskusi, Islam Studie Club.
Keterlibatan Kyai Wahab dalam SI tampaknya kurang memberikan kepuasan pada dirimya, karena dalam perkembangannya SI lebih cenderung mengarah kepada persoalan-persoalan politik.8 Sebenarnya Kyai Wahab menginginkan untuk membangun semangat nasionalisme melalui jalur pendidikan. Sebab dengan demikian langkah yang ditempuh selain mengobarkan semangat perjuangan juga membangun dan meningkatkan kapasitas intelektual para pemuda.
Untuk mewujudkan obsesinya tersebut Kyai Wahab ketika bertemu dengan Kyai Mas Mansur, yang kemudian menjadi tokoh Muhammadiyah, mengajak berunding untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan guna mendidik dan mengobarkan semangat nasionalisme para pemuda dalam rangka memperoleh kemerdekaan RI. Ide yang dicetuskan oleh Kyai Wahab tersebut nampaknya mendapat sambutan hangat dari tokoh-tokoh masyarakat. Terbukti pada tahun 1916, KH. Wahab mendirikan sebuah madrasah yang bernama “Nahdatu al-Watan” (Kebangkitan Tanah Air), dengan gedungnya yang besar dan bertingkat di Surabaya—madrasah ini mempunyai tujuan untuk mendidik para remaja guna mendapat ilmu pengetahuan agama yang cukup, disamping juga sebagai markas penggemblengan para pemuda sebagai calon pemimpin muda untuk kegiatan dakwah—yang sering dikenal dengan “Jam’iyah Nasihin”.9 Kemudian menjelang tahun 1919, sebuah madrasah baru yang sehaluan berdiri lagi di daerah Ampel, Surabaya, dengan nama Taswiru al-Afkar,10 yang tujuan utamanya adalah menyediakan tempat bagi anak-anak untuk mengaji dan belajar, lalu ditujukan menjadi “sayap” untuk membela kepentingan kelompok Islam Tradisionalis.11
Perdebatan antara kaum tradisionalis dengan kaum reformis menjadi semakin seru pada tahun dua puluhan.12 Sehingga dalam beberapa diskusi, termasuk di forum Sarekat Islam (SI), KH. Wahab berhadapan dengan Ahmad Soerkati. Seorang guru besar dari Sudan, Afrika Timur, pendiri gerakan reformasi al-Irsyad. Demikian pula dengan Ahmad Dahlan, seorang pendiri Muhammadiyah.
Selanjutnya, pada tahun 1924-an merupakan masa-masa ramainya perdebatan masalah khilafiyah dalam Islam; mengenai bid’ah, mengenai ijtihad, mengenai madzhab dan masalah-masalah fiqhiyah lainnya. Berkali-kali telah diadakan munazarah (perdebetan sehat) untuk menyelesaikan masalah ini. Di Surabaya, munazarah diikuti oleh para ulama dari berbagai daerah, sebagian di bawah kepimimpinan KH. Abdul Wahab Hasbullah, sebagian di bawah naungan KH. Mas Mansur, dan sebagian lagi dipimpin oleh Sorkati. Dalam munazarah ini Kyai Wahab tetap mempertahankan adanya bermazhab, sementara pihak lain menentangnya dengan gencar, bahkan membid’ah-bid’ahkan masalah-masalah semacam ziarah kubur, sholat tarawih 20 rakaat, pembacaan qunut pada saat sholat shubuh dan lain sebagainya, selalu dipertahankan oleh Kyai Wahab sementara yang lainnya masih tetap menentangnya.13
Masalah-masalah khilafiyah yang diperdebatkan seperti ini, menurut Kyai Wahab telah dianggap selesai, dan tidak perlu diperdebatkan lagi, karena masing-masing pihak mempunyai dasar atau dalil sendiri-sendiri. Dan dalam perdebatan yang diadakan berulang-ulang kali itu pun, Kyai wahab telah banyak memaparkan dalil-dalil yang kuat dan tidak dapat dibantah lagi, namun pihak penentang tidak mau menerimanya dengan alasan kalau dalil yang diutarakan oleh Kyai Wahab adalah alasan yang dibuat-buat. Walaupun belum berhasil mengajak pihak penentang untuk menerima kebenaran yang telah disampaikannya itu, akan tetapi Kyai Wahab telah berhasil menunjukkan pada dunia Islam tentang alasan kebenaran paham yang dianutnya—yaitu paham Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah—paham Ahlu al-Mazhabi al-Arba’ah. Dan beliau hanya mampu ikhtiar, sedangkan hidayah hanya bisa diberikan oleh Allah SWT.
Walaupun Kyai Abdul Wahab Hasbullah telah mengakhiri perdebatan itu dengan penuh toleransi, berjiwa besar dan menganggap perdebatan itu telah selesai segala-segalanya. Namun, kaum pembaharu (reformis) tetap tidak mau mengimbangi sikap terpuji yang ditunjukkan oleh Kyai Wahab itu, malahan telah berbuat sepihak atau tidak adil.14 Di antara buktinya adalah, pada bulan Agustus tahun 1925 diadakan kongres al-Islam ke-4 yang bermaksud membahas surat undangan yang datangnya dari Raja Ibnu Sa’ud Arab Saudi, untuk menghadiri pertemuan internasional di Hijaz. Dalam kongres tersebut forum lebih didominasi oleh kelompok Islam Modern (pembaharu), sehingga tidak dibicarakan secara jelas hal-hal yang berkaitan dengan Islam Tradisional. Bahkan terjadi perselisihan mengenai kongres yang mana seharusnya dihadiri hingga akhirnya kongres berakhir tanpa adanya suatu keputusan yang jelas. 15
KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai wakil dari kelompok Islam Tradisionalis menghendaki agar delegasi yang dikirim ke Hijaz meminta jaminan kepada Raja Ibnu Sa’ud untuk menghormati mazhab-mazhab fiqh dan memperbolehkan melakukan praktek-praktek peribadatan atau keagamaan secara tradisional. Demikian pula meminta untuk meniadakan pelarangan melaksanakan tarikat dan ziarah kubur ke makam-makam orang-orang suci di Makkah dan sekitarnya.16 Usulan itu sering dilontorkan oleh Kyai Wahab dalam berbagai pertemuan-pertemuan dengan ulama lain, namun kurang mendapat sambutan, bahkan kongres yang selalu didominasi oleh kelompok Islam Modern tidak begitu menghiraukan usulan Kyai Wahab tersebut. Mereka, kelompok Islam Modernis cenderung mendukung pendapat Raja Ibnu Sa’ud.
Sebelum kongres al-Islam ke-5 di Bandung, telah diadakan suatu rapat antar organisasi-organisasi pembaharu di Cianjur dan memutuskan untuk mengirim utusan yang terdiri dari dua orang pembaharu ke Makkah—yakni, HOS. Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansur (Muhammadiyah). Satu bulan kemudian, ternyata kongres al-Islam tidak menyambut baik gagasan KH. Wahab yang menyarankan agar usulan-usulan kaum tradisonalis mengenai praktek-praktek peribadatan atau keagamaan agar di bawah oleh delegasi Indonesia.17 Penolakan yang memang masuk akal itu—karena sebagian kaum reformis menyambut baik pembersihan dalam kebiasaan ibadah agama di Arab Saudi.
Selanjutnya, dikarenakan Kyai Wahab dan kelompok Islam Tradisionalis semakin tidak mendapat tempat dalam berbagai forum, maka Kyai Wahab mengambil inisiatif untuk mengadakan pertemuan sendiri. Akhirnya sebelum kongres al-Islam ke-5 dilaksanakan pada tanggal 6 Januari 1926, Kyai Wahab dan para ulama di Surabaya mengadakan pertemuan dengan tujuan membahas pengiriman delegasi ke Kongres Islam Internasional di Hijaz (Makkah). Pertemuan tersebut dilaksanakan di rumah Kyai Wahab, atas undangan Komite Hijaz. Oleh karenanya, untuk memudahkan tugas ini, pada tanggal 31 Januari 1926 diputuskan beberapa hal yaitu;18
Pertama, mengutus KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Ahmad Ghana’im Al-Mishri agar dapat mewakili mereka di hadapan Raja Ibnu Sa’ud dalam Kongres Islam Internasional tersebut, untuk mencerahkan persoalan-persoalan peribadatan dan keagamaan yang akan dilaksanakan di Makkah.
Kedua, mendirikan sebuah jam’iyah yang dapat menampung aspirasi kelompok Islam tradisionalis, yaitu Nahdlatul Ulama (NU)—artinya; organisasi kembangkitan ulama.
Kedua utusan ini ternyata membawa hasil yang memuaskan, seperti yang telah diharapakan sejak semula—yakni janji-janji yang diberikan oleh penguasa hijaz (Raja Ibnu Sa’ud-Arab Saudi), sebagaimana berikut:
1. Meskipun penguasa Hijaz dan Nejed (Saudi Arabia sekarang) beraliran Wahabi, tetapi beliau akan bersikap adil serta melindungi adanya ajaran empat mazhab.
2. Tidak dilarangnya pengajaran Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah (paham yang berhaluan empat mazhab) yang biasa berlaku dalam Masjid al-Haram sejak dahulu kala.
3. Tidak akan mengganggu atau melarang orang-orang yang akan berziarah ke makam-makam yang ada di wilayah Hijaz dan Nejed, terutama makam-makam yang bersejarah. Misalnya, makam-makam para Nabi, Sahabat, dan lain sebagainya.19
Selain rapat Hijaz memutuskan dua hal tersebut di atas, rapat juga menyusun pengurus besar NU yang terdiri dari dua bagian yaitu, Syuriyah dan Tanfiziyah.20 Pengurus Syuriyah saat itu adalah:
Rais Akbar : KH. Hasyim Asy’ari (Tebuireng, Jombang)
Wakil Rais Akbar : KH. Dahlan (Kebondalem, Surabaya)
Katib Awal : KH. Abdul Wahab Hasbullah (Surabaya)
Katib Tsani : KH. Abdul Halim (Leuwimunding, Cirebon)
‘Awam : KHM. Alwi Abdul Aziz (Surabaya)
KH. Ridwan (Surabaya)
KH. Sa’id (Surabaya)
KH. Bisyri Syamsuri (Denanyar, Jombang)
KH. Abdullah Ubaid (Surabaya)
KH. Nachrawi (Malang)
KH. Amin (Surabaya)
KH. Masykuri (Lasem)
KH. Nachrawi (Surabaya)
Musytasyar : KHR. Asnawi (Kudus)
KH. Ridwan (Semarang)
KH. MS. Nawawi (Sidogiri, Pasuruan)
KH. Dhoro Muntaha (Bangkalan, Madura)
Syeikh Ahmad Ghona’im Al-Mishry (Mesir)
KHR. Hambali (Kudus).
Sedangkan pengurus Tanfiziyah adalah:
Ketua : H. Hasan Gipo (Blora, Surabaya)
Seketaris : Muhammad Shiddiq (Pemalang)
Bendahara : H. Burhan (Surabaya)
Pembantu : H. Saleh Syamil (Surabaya)
H. Ihsan (Surabaya)
H. Ja’far (Surabaya)
H. Utsman (Surabaya)
H. Achzab (Surabaya)
H. Nawawi (Surabaya)
H. Dahlan (Surabaya)
H. Mangun (Surabaya)
Latar belakang lahirnya NU tersebut di atas perlu mendapat perhatian, sebab karakteristik organisasi atau jam’iyah ini lebih berakar dari sini. Satu hal yang perlu dicatat dari proses kelahiran yang pada hakekatnya merupakan reaksi terhadap arus pembaharuan Islam tersebut— bahwa pola perilaku reaktif semacam itu ternyata menjadi inheren dalam dinamika NU selanjutnya.21
Pokok-pokok Pikiran.
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial keagamaan yang berhaluan Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah,22 sebagai wadah pengemban dan mengamalkan ajaran Islam Ala Ahadi al-Mazhabi al-Arba’ah dalam rangka mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.23 Dengan kata lain sebagai salah satu ormas tertua, NU merupakan satu-satunya organisasi masa yang secara keseluruhan bahwa Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah sebagai mazhabnya.24 Sehingga, ketika NU berpegang pada mazhab, berarti mengambil produk hukum Islam (fiqh) dari empat Imam Mazhab, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali.25 Dalam kenyataan NU lebih condong pada pendapat Imam asy-Syafi’I, oleh karenanya NU sering “dicap” sebagai penganut fanatik mazhab Syafi’i. Hal ini dapat dilihat dari cara NU mengambil sebuah rujukan dalam menyelesaikan kasus-kasus atau permasalahan-permasalahan yang muncul. Alasan yang sering dilontarkan adalah umat Islam Indonesia manyoritas bermazhab Syafi’i.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah yang bertujuan membagun atau mengembangkan insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT senantiasa berpegang teguh pada kaidah-kaidah keagamaan (ajaran Islam) dan kaidah-kaidah fiqh lainnya dalam merumuskan pendapat, sikap dan langkah guna memajukan jam’iyah tersebut. Dalam bidang keagamaan dan kemasyarakatan alam pikiran (pokok ajaran) Nahdlatul Ulama (NU) secara ringkas dapat dibagi menjadi tiga bidang ajaran yaitu; bidang aqidah, fiqh, dan tasawuf.26
Dalam bidang aqidah yang dianut oleh NU sejak didirikan pada 1926 adalah Islam atas dasar Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Faham ini menjadi landasan utama bagi NU dalam menentukan segala langkah dan kebijakannya, baik sebagai organisasi keagamaan murni, maupun sebagai organisasi kemasyarakatan. Hal ini ditegaskan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)., bahwa NU mengikuti Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan (mazhab). Adapun faham Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah yang dianut NU adalah faham yang dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi.27 Keduanya dikenal memiliki keahlian dan keteguhan dalam mempertahankan i’tiqad (keimanan) Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah seperti yang telah disyaratkan oleh Nabi SAW dan para sahabatnya. Jadi dalam melaksanakan ajaran Islam, bila dikaitkan dengan masalah-masalah aqidah harus memilih salah satu di antara dua yaitu al-Asy’ari dan al-Maturidi.
Sementara dalam bidang fiqh ditegaskan bahwa: Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah beraqidah Islam menurut faham Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah dan mengikuti faham salah satu mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Namun dalam prakteknya para Kyai adalah penganut kuat dari pada mazhab Syafi’i.28
Jadi dengan demikian NU memegang produk hukum Islam (fiqh) dari salah satu empat mazhab tersebut—artinya bahwa dalam rangka mengamalkan ajaran Islam, NU menganut dan mengikuti bahkan mengamalkan produk hukum Islam (fiqh) dari salah satu empat mazhab empat sebagai konsekuensi dari menganut faham Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Walaupun demikian tidak berarti terus Nahdlatul Ulama tidak lagi menganut ajaran yang diterapkan Rasulullah SAW. sebab keempat mazhab tersebut dalam mempraktekkan ajaran Islam juga mengambil landasan dari al-Qur’an dan as-Sunnah di samping Ijma’ dan Qiyas sebagai sumber pokok penetapan hukum Islam.29
Adapun alasan kenapa Nahdlatul Ulama dalam bidang hukum Islam (fiqh) lebih berpedoman kepada salah satu dari empat mazhab;30 Pertama, al-Qur’an sebagai dasar hukum Islam yang pokok atau utama bersifat universal, sehingga hanya Nabi SAW. yang tahu secara mendetail maksud dan tujuan apa yang terkandung dalam al-Qur’an. Nabi SAW sendiri menunjukkan dan menjelaskan makna dan maksud dar al-Qur’an tersebut melalui sunnah-sunnah beliau—yaitu berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir. Kedua, sunnah Nabi SAW. yang berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya yang hanya diketahui oleh para sahabat yang hidup bersamaan (semasa) dengan beliau, oleh karena itu perlu untuk memeriksa, menyelidiki dan selanjutnya berpedoman pada keterangan-leterangan para sahabat tersebut. Namun sebagian ulama tidak memperbolehkan untuk mengikuti para sahabat dengan begitu saja. Maka dari itu untuk mendapatkan kepastian dan kemantapan, maka jalan yang ditempuh adalah merujuk kepada para ulama mujtahidin yang tidak lain adalah imam madzhab yang empat—artinya bahwa dalam mengambil dan menggunakan produk fiqh (hukum Islam) dari ulama mujtahidin harus dikaji, diteliti dan dpertimbangkan terlebih dahulu sebelum dijadikan pedoman dan landasan bagi Nahdhatul Ulama.
Oleh karena itu, untuk meneliti dan mengkaji suatu produk fiqh (hukum Islam) dalam NU ada suatu forum pengkajian produk-produk hukum fiqh yang biasa disebut “Bahsul Masail ad-Diniyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan)”.31 Jadi dalam forum ini berbagai masalah keagamaan akan digodok dan diputuskan hukumnya, yang selanjutnya keputusan tesebut akan menjadi pegangan bagi Jam’iyah Nahdlatul Ulama.
Faham Nahdlatul Ulama dalam bidang tasawuf. Tasawuf sebenarnya merupakan dari ibadah yang sulit dipisahkan dan merupakan hal yang penting, terutama yang berkaitan dengan makna hakiki dari suatu ibadah. Jika fiqh merupakan bagian lahir dari suatu ibadah yang segala ketentuan pelaksanaannya sudah ditetapkan dalam agama, untuk mendalami dan memahami bagian dari ibadah, maka jalan yang dapat ditempuh adalah melalui tasawuf itu sendiri.
Di antara berbagai macam aliran tasawuf yang tumbuh dan berkembang, NU mengikuti aliran tasawuf yang dipelopori oleh Imam Junaid al-Bagdadi dan Imam al-Gazali. Imam Junaid al-Bagdadi adalah salah seorang sufi terkenal yang wafat pada tahun 910 M di Irak, sedangkan Imam al-Gazali adalah seorang ulama besar yang berasal dari Persia.
Untuk kepentingan ini, yaitu membentuk sikap mental dan kesadaran batin yang benar dalam beribadah bagi warga Nahdlatul Ulama, maka pada tahun 1957 para tokoh NU membentuk suatu badan “Jam’iyah at-Tariqah al-Mu’tabarah” badan ini merupakan wadah bagi warga NU dalam mengikuti ajaran tasawuf tersebut. Dalam perkembangannya pada tahun 1979 saat muktamar NU di Semarang badan tersebut diganti namanya “Jam’iyah at-Tariqah al-Mu’tabarah an-Nadiyyah”.32 Dengan melihat nama badan tersebut di mana di dalamnya ada kata nadhiyyin ini menunjukkan identitasnya sebagai badan yang berada dalam linkungan Nahdhatul Ulama.
Selanjutnya, sejalan dengan derap langkah pembangunan yang sedang dilakukan, maka Nahdlatul Ulama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat dan bangsa harus mempunyai sikap dan pendirian dalam dan turut berpartisipasi dalam pembangunan tersebut. Sikap dan pendirian Nahdlatul Ulama ini selanjutnya menjadi pedoman dan acuan warga NU dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara. Sikap NU dalam bidang kemasyarakatan diilhami dan didasari oleh sikap dan faham keagamaan yang telah dianut. Sikap kemasyarakatan NU bercirikan pada sifat: tawasut dan i’tidal, tasamuh, tawazun dan amar ma’ruf nahi munkar.33 Sikap ini harus dimiliki baik oleh aktifis Nahdlatul Ulama maupun segenap warga dalam berorganisasi dan bermasyarakat:
1. Sikap Tawasut dan I’tidal.
Tawasut artinya tengah, sedangkan I’tidal artinya tegak. Sikap tawasuth dan i’tidal maksudnya adalah sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus ditengah-tengah kehidupan bersama.34 Dengan sikap dasar ini, maka NU akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersikap membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatarruf (ekstrim).
2. Sikap Tasamuh.
Maksudnya adalah Nahdlatul Ulama bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan teruma hal-hal yang bersifat furu’ atau yang menjadi masalah khilafiyah maupun dalam masalah yang berhubungan dengan kemasyarakatan dan kebudayaan.
3. Sikap Tawazun.
Yaitu sikap seimbang dalam berkhidmad. Menyesuaikan berkhidmad kepada Allah SWT, khidmat sesama manusia serta kepada lingkungan sekitarnya. Menserasikan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
4. Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Segenap warga Nahdlatul Ulama diharapkan mempunyai kepekaan untuk mendorong berbuat baik dan bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat, serta mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahakan nilai-nilai kehidupan manusia.
Dengan adanya beberapa aspek tersebut di atas, diharapkan agar kehidupan umat Islam pada umumnya dan warga Nahdlatul Ulama pada khususnya, akan dapat terpelihara secara baik dan terjalin secara harmonis baik dalam lingkungan organisasi maupun dalam segenap elemen masyarakat yang ada. Demikian pula perilaku warga Nahdlatul Ulama agar senantiasa terbentuk atas dasar faham keagamaan dan sikap kemasyarakatan, sebagai sarana untuk mencapai cita-cita dan tujuan yang baik bagi agama maupun masyarakat.
Pandangannya tentang Bunga Bank.
Persoalan bank dan bunganya dalam pandangan Nahdlatul Ulama (NU) telah menjadi persoalan yang signifikan, sehingga perlu mendapat perhatian yang cukup besar dari para ulama NU. Kaitannya dengan masalah bunga bank, NU melalui forum kajian Bahsul Masailnya telah mengaharamkannya, hal ini dikarenakan bunga bank disamakan dengan gadai yang digunakan pada zaman jahiliyah, jika pemilik barang gadai tidak bisa membayar uang pada waktunya, maka barang gadaiannya lepas dari pemiliknya dan menjadi milik penggadai dan hal ini telah ditetapkan hukumnya dalam Mu’tamar II tahun 1927 di Surabaya.
Dalam masalah bunga bank ini terdapat tiga pendapat dari para ahli hukum (ulama):35
a. Haram : Karena termasuk barang yang dipungut manfaatnya (rente).
b. Halal : Sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sebab menurut para ahli hukum terkenal, bahwa adat yang berlaku itu tidak termasuk menjadi syarat.
c. Syubhat : (tidak tentu halal-haramnya)
Sedangkan mu’tamar memutuskan, bahwa yang lebih hati-hati adalah pendapat mu’tamirin yang pertama—yakni mengaharamkan adanya bunga dalam dunia perbankan. Sikap NU ini didasari dengan mengambil hujjah dari kitab mu’tabar yaitu :
واما القرض بشرط جرنفع لمقرض ففاسد 36
Adapun hukum menitipkan uang di bank, demi keamanan saja, NU menyatakan makruh kalau meyakinkan bahwa uangnya tersebut akan digunakan untuk kegiatan yang melanggar norma-norma agama.37
Dalam keputusan lain juga telah ditetapkan:
Mengigat bahwa dalam bank, pihak debitur memiliki dan bertanggungjawab penuh atas uang yang dipinjamkan dan bunganya ditentukan atas dasar untung rugi atau besar kecilnya keuntungan dari hasil usahanya, maka transaksi bank tersebut termasuk dalam akad qard dan dengan sendirinya bunga bank termasuk riba qard. Dilihat dari sudut ini bahwa besar kecilnya bunga tergantung pada lama atau sebentarnya tempo pengambilan bunga bank cenderung masuk dalam riba nasi’ah—yang berlipat ganda.38
Meskipun telah diambil kesepakatan tentang hukum bunga bank, tampaknya para muktamirin masih berbeda pendapat, terutama dalam Munas ‘Alim Ulama di Bandar Lampung, 21-25 Januari 1992, khususnya mengenai hukum bunga bank konvensional. Di antaranya sebagai berikut:
a. Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya adalah haram.
b. Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya adalah boleh.
c. Ada pendapat yang mengatakan bunga bank hukumya syubhat (tidak identik dengan riba).
Untuk menyelesaikan masalah tersebut, NU memberikan solusi: Mengingat warga NU merupakan potensi yang terbesar dalam pembangunan nasional dan dalam kehidupan sosial ekonominya, diperlukan adanya suatu lembaga keuangan sebagai peminjam dan pembina yang memenuhi syarat sesuai dengan keyakian keyakian warga NU, maka dipandang perlu untuk mencari jalan keluar menentukan sistem perbankan yang sesuai dengan hukum Islam—yakni bank tanpa suku bunga dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Sebelum tercapainya cita-cita di atas, hendaknya sistem perbankan yang dijalankan sekarang ini harus segera diperbaiki
b. Perlu diataur—dalam penghimpunan dana masyarakat dengan prinsip:39
1) Wadi’ah (simpanan) bersyarat atau dhamanah, yang digunakan untuk menerima giro (current account) dan tabungan (seving account) serta pinjaman dari lembaga keuangan lain yang menganut sistem yang sama—Dalam hal ini yang menerima simpanan dana (bank) bertanggungjawab atas pengembalian dana tersebut sesuai dengan akad.
2) Mudarabah—dalam prinsip ini pemilik dana bersepakat dengan bank untuk melakukan usaha bersama dengan membagi keuntungan yang diperoleh dengan suatu rasio yang telah disepakati terlebih dahulu.
Dalam prakteknya, bentuk ini disebut investment account (deposito berjangka), mislanya 3 bulan, 6 bulan dan sebagainya, yang pada garis besarnya dapat dinyatakan dalam:
1) Genaral Investment (GIA).—Peraturan perbankan mewajibkan pengembalian dana nasabah secara utuh pada saat jatuhnya jangka waktu deposito, atau dapat ditarik seluruhnya jika dikehendaki oleh nasabah karena ia sebagai titipan (wadi’ah/amanat).
2) Special Investment (SIA).—Dana digunakan untuk membiayai proyek atau jenis perdagangan tertentu sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Sumber dana Bank Islam dapat juga dalam bentuk infaq, zakat, sedekah, hibah dan lain-lainnya. Special Investment ini meliputi:
a) Penanaman dana dan kegiatan usaha. Dalam penanaman dana atau kegiatan usaha lainnya, bank Islam pada dasarnya bergerak dalam tiga bidang yaitu:
- Pembiayaan proyek
- Pembiayaan perdagangan perkongsian
- Pemberian jasa atas dasar upaya melalui usaha patungan, profit sharing dan sebagainya.
b) Untuk proyek financing sistem yang dapat digunakan, atara lain:
(1) Mudarabah muqaradah
(2) Musyarakah
(3) Murabahah
(4) Pemberian kredit dengan service change (bukan bunga)
(5) Ijarah
(6) Bai’ ad-Dain, termasuk di dalamnya Bai’ as-Salam
(7) Al-Qard al-Hasan (pinjaman kredit tanpa bunga, dan tanpa service change)
(8) Bai’ al-‘Ajil.
c) Untuk aqriten participation, bank dapat membuka LC (letter of credit) dan pengeluaran surat pinjaman. Untuk ini dapat ditempuh kegiatan tersebut dengan dasar:
(1) Wakalah
(2) Musyarakah
(3) Murabahah
(4) Ijarah
(5) Sewa-beli
(6) Bai’ as-Salam
(7) Bai’ al-Ajil
(8) Kafalah (garansi bank)
(9) Working capital financing (pembiayaan modal kerja) melalui purshase order dengan menggunak prinsip murabahah
d) Untuk jasa-jasa perbankan (banking service) lainnya, seperti pengiriman dan transfer uang, jual beli valuta asing dan penukarannya dan lain-lain, tetap dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip tanpa bunga.40
Selanjutnya berkaitan dengan bank-bank yang ada sekarang (bank yang didirikan pemerintah). Nahdlatul Ulama tetap memperbolehkan beroperasinya bank-bank dan bahkan pemerintah dapat mendirikan bank-bank yang baru, karena kebutuhan yang kuat (hajat rajihah). Dalam hal ini NU menetapkan:
Indonesia sebagai negara yang melindungi tegaknya semua ajaran yang dianut oleh mayoritas penduduknya berada dalam posisi yang serba sulit. Di satu pihak negara dihadapkan pada sistem ekonomi modern yang tidak bisa lepas dari perbankan, di lain pihak negara didhadapkan pada ajaran agama yang mengharamkan adanya bunga. Dengan adanya kebutuhan yang mendesak dan tidak dapat dihindari itu, sementara bank Islam belum bisa memenuhi kebutuhan, maka sambil melakukan perbaikan secara bertahap, negara diperbolehkan untuk meneruskan operasinya bank milik pemerintah dan mendirikan bank-bank negara yang baru, disesuaikan dengan kadar kebutuhan.41
Tampaknya pernyataan NU di atas masih terdapat sedikit kerancuan. Satu sisi NU mengharamkan bunga bank, di sisi lain NU memperbolehkan terbentuknya bank-bank pemerintah walaupun dengan keadaan darurat (emergency). Sehubungan dengan keadaan tersebut, NU membagi tiga katagori bagi umat Islam kaitannya dengan bank. Pertama, orang Islam yang dalam hidupnya tidak dapat terlepas dari bank seperti para pengusaha,, para kontraktor dan lain sebagainya, dengan alasan darurat, maka boleh bermuamalah dengan bank. Kedua, orang Islam yang tidak terikat pada bank tetapi sangat butuh pada bank, maka hukumnya boleh berhubungan dengan bank tetapi disesuaikan dengan kadar kebutuhannya. Ketiga, bagi orang Islam yang tidak membutuhkan bank hukumnya haram untuk berhubungan dengan bank.42
B. Muhammadiyah dan Pandangannya Tentang Bunga Bank.
1. Sejarah dan Latar Belakang Lahirnya.
Sebelum masuknya agama Islam di Indonesia, masyarakat Inndonesia kebanyakan memeluk agama Hindu dan Budha dengan segalah amalan dan tradisi yang ada di dalamnya. Sementara itu pula agama Islam telah sampai ke Nusantara telah melawati perjalanan yang sangat panjang. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri lagi adanya kenyataan berbagai pengaruh kepercayaan lain yang menempel secara tidak sengaja ke tubuh ajaran Islam. Melihat kondisi yang semacam itu dapat dimaklumi kalau akhirnya dalam prakateknya umat Islam di Indonesia pada saat ini memperlihatkan hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.43
Dalam kehidupan beraqidah (keyakinan hidup) agama Islam mengajarkan pada umatnya untuk memiliki tauhid yang murni, bersih dari berbagai macam syirik maupun khurafat (tahayul). Namun dalam prakteknya banyak orang Islam yang percaya terhadap benda-benda keramat semacam keris, tombak, batu aji, percaya pada hari baik dan hari buruk, bulan baik dan bulan buruk dan lain sebagainya. Mereka sering pergi kekuburan-kuburan yang dianggap keramat, seperti kuburan para wali, ulama besar, dan sebagainya dengan tujuan untuk meminta berkah kepada mereka. Mereka percaya terhadap ramalan bintang, ramalan burung, ramalan nasib, ramalan dukun dan ramalan gaib lainnya.
Sementara dalam kehidupan beribadah, agama Islam memberikan tuntunan secara pasti sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW. Bertitik-tolak pada prinsip ini dalam ilmu usul fiqh ada kaidah yang menyatakan bahwa “dalam ibadah mahdah semua amalan terlarang, kecuali hal-hal yang telah di ajarkan Nabi SAW. Sedangkan dalam urusan keduniaan semua amalan diperbolehkan, kecuali yang secara jelas telah dilarang oleh oleh agama”. Rasulullah sendiri telah menyatakan dengan tegas bahawa “semua rekan-rekan (bid’ah) dalam ibadah mahdiyah adalah sesat, dan semua yang sesat akan masuk neraka”. Namun dalam kenyataannya masih banyak sekali umat Islam yang dalam praktek ubudiyahnya bercampur-aduk antara apa yang diajarkan oleh agama Islam dengan berbagai amalan yang berasal dari kepercayaan lain, sebagi contoh dapat dilihat masih mentradisinya sesaji yang ditujukan kepada para arwah, kepada roh-roh halus, selamatan saat kematian, semacam mentuju hari; empat puluh hari, seratus hari, seribu hari dengan dibacakan bacaan tertentu seperti bacaan tahlil, surat Yasin, ayat Kursi dan sebagainya.44 Bukankah hal semacam itu bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam sebagaimana yang telah digariskan dalam al-Qur’an surat al-Fatihah ayat 5, al-Baqarah ayat 286, al-An’am ayat 164 dan an-Najm ayat 39.
Sementara itu pondok pesantren yang merupakan salah satu lembaga pendidikan khas milik umat Islam di Indonesia, sekaligus merupakan sistem pendidikan yang sangat khas Indonesia. Ditilik dari sejarahnya sistem ini sebenarnya sudah ada dan berkembang sejak zaman Hindu-Budha, dan terus berlanjut ketika Indonesia memasuki zaman Islam. Sistem pondok pesantren yang dikembangkan oleh umat Islam Indonesia telah banyak memberikan sumbangan bagi nusa dan bangsa dari sejak sebelum masa penjajahan Belanda hingga masa penjajahan Belanda.
Lewat lembaga pesantren dilahirkan kader-kader umat Islam dan bangsa yang tidak sedikit jumlahnya. Namun kalau ditinjau dari fungsinya selaku lembaga yang harus menyiapkan kader-kader umat dan bangsa pada masa mendatang dalam rangka menghadapi tantatangan kemajuan zaman yang tidak perna mengenal berhenti, maka akan terasa bahwa muatan isi yang ada dalam sistem pondok pesantren yang hanya mengajarkan “mata pelajaran agama” dalam arti sempit, yaitu terbatas dalam bidang; fiqh agama atau fiqhuddin sebagaimana yang disyaratkan dalam surat at-Taubah ayat 122, yang meliputi pelajaran bahasa Arab, terjemah dan tafsir, hadits, akhlak atau tasawuf, aqaid, ilmu mantiq (logika) dan ilmu falaq. Sedangkan pelajaran yang berhubungan dengan urusan keduniaan, yang sering dikenal dengan istilah ilmu pengetahuan umum semacam sejarah, ilmu bumi (geografi), fisika, kimia, biologi, matematika, ekonomi, sosiologi dan sebagainya sama sekali belum diperkenalkan di lembaga pendidikan pondok pesantrem. Padahal justru lewat ilmu-ilmu pengetahuan ini seorang akan lebih mampu melaksanakan tugas-tugas keduniaan, satu dari tugas yang diemban oleh “Khalifah Allah”. Padahal semestinya lembaga pendidikan Islam sudah seharusnya menyiapkan diri menjadi lembaga pembibitan kader-kader penerus cita-cita Islam dan siap mengemban amanat Allah sebagai khalifah di muka bumi.45
Menigingat fungsi pendidikam Islam seperti ini, maka apa yang ada dalam lembaga pendidikan pondok pesantren pada saat itu dirasakan oleh KHA. Dahlan masih ada satu kekurangan mendasar yang harus segera disempurnakan. Kalau pada awalnya sistem pondok pesantren membekali kepada para santri-santrinya hanya dengan ilmu-ilmu agama semata, maka untuk penyempurnaannya diberikan juga kepada mereka ilmu-ilmu pengetahuan umum, sehingga dengan pengetahuan umum tersebut akan lahirlah dari lembaga pendidikan ini manusia yang bertaqwa kepada Allah menjadi “Cerdas lagi Ttrampil”, yang dalam terminologi al-Qur’an disebut sebagai Ulul Albab.46
Demikian pula dengan kedatangan bangsa-bangsa Eropa terutama bangsa Belanda ke Indonesia, khususnya dalam aspek kebudayaan, peradaban dan keagamaan telah membawa pengaruh buruk terhadap perkembangan agama Islam di Indonesia. Sebagaimana halnya bengsa-bangsa Eropa lainnya, bangsa Belanda pun ketika masuk negeri Indonesia juga mengibarkan panji-panji “Tiga G”, yaitu Glory, Gold, dan Gospel. Ketiga G tersebut sebenarnya menggambarkan motif kedatangan kaum penjajah ke negeri-negeri jajahannya. Yang pertama motif politik (Glory = menang); suatu motif untuk menjajah dan menguasai negeri jajahannya sebagai negeri kekuasaannya. Kedua motif ekonomi (Gold = emas atau kekayaan); suatu motif untuk mengekploitasi, memeras dan mengeruk harta kekayaan negeri jajahan. Dan ketiga (Gospel = Injil); motif untuk menyebarluaskan agama Kristen kepada anak negeri jajahan, atau motif untuk mengubah agama penduduk, yang Islam atau bukan Islam agar menjadi Kristen. Ketiga motif tersebut di atas, khususnya motif yang terkhir (Kristenisasi)47 inilah yang menjadikan KH. Ahmad Dahlan khawatir dengan perkembangan Islam selanjutnya—umat Islam banyak ikut-ikutan dengan ajakan pemerintah Hindia Belanda dengan menerima dan menerapkan kebudayaan Barat yang telah dibawanya.
Selanjutnya pendidikan model Barat yang mereka kembangkan, dengan ciri-cirinya yang sangat menonjolkan sifat intelektualistik, individualistik, elistis dan diskriminatis, sama sekali tidak memperhatikan dasar-dasar asas moral kegamaan (sekuler), sehingga lahirlah generasi baru bangsa Indonesia yang terkena pengaruh paham rasionalisme dan individualisme dalam pola berfikir mereka. Bahkan lebih jauh dari pada itu, H.J. Benda sebagaimana dikutip oleh Mustafa Kamal Pasha, menyatakan bahwa dalam analisisnya terakhir maka pendidikan Barat adalah sebagai satu-satunya alat yang paling pasti untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia. Apa yang diharapakan oleh pemerintah Hindia Belanda seperti di atas tanda-tandanya akan segera terlihat, antara lain seperti muculnya generasai baru bangsa Indonesia yang bersikap acuh tak acuh terhadap agama Islam, kalau tidak malah melecehkannya. Mereka menganggap selama mereka masih menampakkan ke-Islam-annya, mereka rasanya belum dapat disebut sebagai orang modern, orang yang berkemajuan tinggi dan sebagainya.48
Dari beberapa faktor di atas , tampaknya telah membuat KH. Ahmad Dahlan merasa terpanggil untuk memurnikan kembali ajaran-ajaran Islam dari beberapa pengaruh tersebut, dengan banyak melakukan dakwah dan pengajian yang berisi faham baru dalam Islam dan menitikberatkan dalam segi amaliyah. Baginya, Islam adalah agama amal—suatu agama yang mendorong umatnya untuk banyak melakukan kerja dan berbuat sesuatu yang bermanfaat. Dengan bekal pendalamnya terhadap pemahaman al-Qur’an dan as-Sunnah, sampailah KH. Ahmad Dahlan pada pendirian dan tindakannya yang banyak bersifat pengamalan Islam dalam kehidupan nyata.
Akhirnya, pada tahun 1911 KH. Ahmad Dahlan mendirikan “Sekolah Muhammadiyah”.49 Dalam sekolah tersebut, dimasukkan pula beberapa pelajaran yang lazim diajarkan di sekolah model Barat, seperti ilmu bumi, ilmu alam, ilmu hayat, dan sebagainya. Begitu pula diperkenalkan cara-cara baru dalam pengajaran ilmu-ilmu keagamaan sehingga lebih menarik dan menyerap. Dengan murid yang tidak begitu banyak, jadilah “Sekolah Muhammadiyah” tersebut sebagai tempat persemaian bibit-bibit pembaharu dalam Islam di Indonesia.
Sebagai puncaknya, berdirlah organisasi atau jam’iyah pembaharu dalam Islam sebagai wahana untuk menjembatani dan menyelamatkan ajaran Islam dari adanya pengaruh obyektif yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal bagi perkembangan Islam selanjutnya di Indonesia. Maka pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 yang bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 Jam’iyah Muhammadiyah berdiri—yang di dalam anggaran dasarnya pertama kalinya bertujuan: “Menyebarkan Pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. kepada penduduk bumi-putera, di dalam residensi Yogyakarta” serta “Memajukan perihal agama Islam kepada sekutu-sekutunya”.50
2. Pokok-pokok Pikiran.
Muhammadiyah merupakan salah satu orgnisasi Islam pembaharu di Indonesia. Muhammadiyah yang dibangun oleh K.H. Ahmad Dahlan51 sesungguhnya merupakan salah satu mata rantai yang panjang dari gerakan pembaharuan Islam yang dimulai sejak tokoh pertamanya, yaitu Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Sayyid Jamaludin al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida, dan sebagainya. Pengaruh gerakan pembaharuan tersebut terutama berasal dari Muhammad Abduh melalui tafsirnya, al-Manar, suntingan dari Rasyid Rida serta majalah al-Urwatu al-Wusqa.
Muhammadiyah sebagai persyarikatan yang merupakan gerakan Islam. Maksud gerakannya adalah melakukan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar yang ditujukan dalam dua bidang perseorangan dan masyarakat. Dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang yang pertama terbagi mrenjadi dua golongan, kepada yang Islam bersifat pembaharuan (tajdid) yaitu mengembalikan kepada ajaran-ajaran agama Islam yang asli dan murni dengan jalan menghilangkan bid’ah, khurafat, dan lain sebagainya. Yang kedua kepada yang belum Islam—bersifat seruan dan ajakan untuk mengikuti atau memeluk ajaran agama Islam. Adapun Dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang yang kedua adalah kepada masyarakat, bersifat perbaikan dan bimbingan serta peringatan. Kesemuanya itu dilakukan bersama dengan bermusyawarah atas dasar taqwa dan mengharap keridhaan Allah semata-mata.52 Dengan melaksanakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dengan cara masing-masing yang sesuai, Muhammadiyah menggerakkan masyarakat menuju tujuaannya adalah; terwujudnya masyarakat yang Islam yang sebenar-benarnya.
Dalam perjuangan melaksanakan usaha menunju tujuan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya di mana kesejahteraan, kebaikan dan kebahagiaan luas merata serta menuju tujuan terwujudnya masyarakat utma, adil dan makmur yang diridhai Allah SWT. Maka Muhammadiyah mendasarkan segala gerak dan amal usahanya atas prinsip-primsip yang tersimpul dalam Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, yaitu:53
a. Hidup manusia harus berdasarakan tauhid, ibadah dan taat kepada Allah SWT.
Dalam melaksanakan segala gerak dan kegiatannya maka tauhid dan tawakkal kepada Allah SWT harus senantiasa menjadikan landasan dasar utamanya, dengan maksud semata-semata untuk beribadah serta mentaati semua perintah dan larangan-Nya. Dasar seperti inilah yang harus menjadi ciri milik pribadi setiap warga Muhammadiyah sehingga dapat menjadi contoh teladan dalam bangunan dan perbaikan negara dan masyarakat.
b. Hidup Manusia bermasyarakat.
Muhammadiyah adalah salah satu faktor yang kuat dalam perkembangan masyarakat serta warga Muhammadiyah merupakan anggota masyarakat yang tidak diam, akan tetepi bergerak maju, aktif dinamais dalam membangun. Oleh karena itu, gerakan Muhammadiyah harus aktif dan menonjol di tengah-tengah masyarakat untuk memimpin atau paling tidak menjadi sosok penerang yang cemerlang dalam kehidupan bermasyarakat.
c. Menegakkan ajaran Islam dengan keyakinan bahwa ajaran Islam adalah asatu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagian dunia dan akhirat.
Muhammadiyah berkeyakinan bahwa tidak ada dasar landasan yang dapat membahagiakan manusia di dunia ini kecuali dengan dasar al-Qur’an dan as-Sunnah yang akan membawa kebahagian manusia yang hakiki di akhirat kelak. Oleh karena itu, apa pun ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah wajib dan mutlak dipatuhi oleh setiap warga Muhammadiyah. Segala kebijaksanaan pimpinan serta taktik daa srrategi perjuangan harus dinilai dan sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
d. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah wajib, sebagai ibadah kepda Allah dan berbuat ihsan dan islah kepada kemanusiaan.
Setelah Muhammadiyah dapat berdiri tegak dan berjalan di atas landasan seperti di atas, barulah kuat untuk menegakkan dan menjunjung tinggi ajaran Islam serta mampu mengatasi berbagai rintangan, hambatan, tantangan dan segala halangan yang akan terjadi.
e. Ittiba’ kepada langkah perjuangan Nabi Muhammad SAW.
Ittiba’ atau mengikuti jejak langkah perjuangan Rasulullah SAW. adalah wajib menjadi syarat yang tidak boleh tidak harus dan wajib dilakukan oleh setiap muslim, dan sesungguhnya dalam rangka menggerakkan Umat Islam ke arah ittiba’ itulah hakikatnya Muahammadiyah didirikan
Umat Islam wajib mencontoh sikap keteguhan Rasulullah dalam menghadapi penderitaan dan rintangan, kesabaran dalam duka dan derita serta kesyukurannya dalam menerima nikmat-nikmat Allah SWT—di mana umat Islam harus senantiasa berusaha memiliki sifat-sifat yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
f. Melancarkan amal usaha dan perjuangannya dengan ketertiban organisasi.
Muhammadiyah beramal dan berjuang dengan berorganisasi yang didasarkan atau musyawarah bersama. Menghimpun dan mendidik kader pimpinan, mengaktifkan gerak anggota, menentukan peraturan-peraturan untuk mencapai hasil yang jauh kebih besar dan lebih dapat menanggulangi berbagai rintangan dan halangan karena bergerak dengan menggunakan sebuah organisasi.
3. Pandangannya tentang Bunga Bank
Mu’tamar Majlis Tarjih Muhammadiyah setelah mempelajari:54
a. Uraian tentang masalah bunga bank dalam segala seginya yang disampaikan oleh Nandang Komar, Direktur Bank Negara Indonesia Unit 1 Cabang Surabaya.
b. Pembahasan dari para Mu’tamirin
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT.
Menyadari:
1) Bahwa bank dalam sistem ekonomi-pertukaran adalah mempunyai fungsi yang vital dalam perekonomian pada masa sekarang
2) Bahwa bank dalam wujudnya sekarang bukan merupakan lembaga yang lahir dari cita-cita sosial ekonomi Islam.
3) Bunga adalah sendi dari sistem perbankan yang berlaku selama ini.
4) Bahwa umat Islam sebagai umat pada dewasa ini tidak dapat melepaskan diri daripada pengaruh perbankan yang secara langsung atau tidak langsung telah menguasai perekonomian umat Islam.
Mengingat:
1) Bahwa nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah dengan jelas mengharamkan riba.
2) Bahwa fungsi bank dalam perekonomian modern sekarang ini bukan hanya menjadi sumber penghasilan bagi bank, melainkan juga berfungsi sebagai alat politik perekonomian Negara untuk kesejahteraan umat (stabilisasi ekonomi).
3) Bahwa adanya undang-undang yang mengatur besar kecilnya bunga adalah untuk mencegah kemungkinan terjadinya penghisapan pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah di samping untuk melindungi berlangsungnya kehidupan bank itu sendiri.
4) Bahwa hingga saat ini belum ada konsepsi sistem perekonomian yang disusun dan dilaksanakan dengan kaidah Islam.
Menimbang:
1) Bahwa nas-nas al-Qur’an dan as-Sunnah tentang haramnya riba mengesankan adanya ‘illat terjadinya penghisapan oleh pihak yang kuat terhadap yang lemah.
2) Bahwa perbankan adalah suatu sistem lembaga perekonomian yang belum pernah dialami umat Islam pada masa Rasulullah SAW.
3) Bahwa hasil keuntungan Bank-bank milik Negara pada akhirnya akan kembali untuk kemaslahatan umat.
4) Bahwa termasuk atau tidaknya bunga bank ke dalam pengertian riba Syar’i dirasa belum mencapai bentuk yang meyakinkan
Memutuskan:
1) Riba hukumnya haram, dengan nas sarih al-Qur’an dan as-Sunnah.
2) Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.
3) Bunga bank yang diberikan oleh Bank-bank milik Negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara Musytabihat.55
4) Menyarankan kepada PP. Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
BAB IV
ANALISIS KOMPARATIF PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA DAN MUHAMMADIYAH TENTANG BUNGA BANK
A. Ketentuan Hukum Bunga Bank.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa bank merupakan lembaga keuangan yang fungsi utamanya adalah menerima dan menyalurkan dana. Penerimaan dana masyarakat selalu dihubungkan dengan penyalurannya kepada orang atau lembaga yang memerlukan dana itu. Besar bunga yang diberikan oleh bank kepada pemasok modal disesuaikan dengan bunga yang dikenakan kepada peminjam dari bank. Selisih antara bunga yang diberikan kepada pemasok modal dan bunga yang dikenakan kepada peminjam merupakan keuntungan bank itu sendiri. Biasanya bank hanya akan memberikan kredit kepada orang atau lembaga yang diduga kuat dapat mengembangkan usahanya, dan bukan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan kata lain, bank hanya memberikan pinjaman yang bersifat produktif, bukan konsumtif.1
Karena itu, wajar kalau pemilik modal dan bank mendapatkan keuntungan, seiring dengan keuntungan yang akan diperoleh pengusaha yang meminjamkan modal. Sedangkan bagi orang yang memerlukan bantuan keuangan untuk kebutuhan harian atau (misalnya untuk biaya pengobatan), tidak selayaknya menggunakan jasa bank dengan sistem bunga tersebut. Sehingga di sini perlu adanya lembaga sosial yang menyediakan dana yang bersifat non-profit. Jika kepada orang yang terakhir ini dibebankan bunga, maka kemungkinan adanya unsur “pemerasan” yang menjadi illat haramnya riba, menjadi lebih besar. Karena itu, pembebanan tambahan atas pokok pinjaman menjadi riba, sebagaimana yang dikehendaki al-Qur’an.
Terjadinya riba (yang sekarang sering lebih dikenal dengan istilah bunga bank) merupakan kenyataan “normatif tekstual” yang dinyatakan jelas dalam al-Qur’an.2 Demikian pula didukung oleh kenyataan “historis” yang menunjukkan bahwa bunga bank telah berkembang di tengah-tengah masyarakat sebelum datangnya Islam. Kemudian Islam dengan ajarannya tentang riba bermaksud mengatur melalui cara melaksanakan sistem bagi hasil dalam mejalankkan segala transaksi perekonomian.
Dalam dataran pemikiran tersebut baik NU maupun Muhammadiyah sepakat bahwa riba hukumnya adalah haram karena nash tentang itu sudah jelas, tetapi kedua organisasi tersebut masih berbeda pendapat di dalam melihat hukum bunga bank karena pada dasarnya nas al-Qur’an dan al-Hadits yang tegas tentang pelarangan bunga bank tidak ada.
Maka untuk menganalisis lebih jauh dari pernyataan NU dan Muhammadiyah tentang bunga bank, sebelumnya perlu dikemukan terlebih dahulu tentang keharaman riba dalam al-Qur’an secara berangsur-angsur (tadriji) yang biasa berlaku dalam proses penetapan hukum, yaitu:
- وما اتيتم من ربا ليربوا في اموال الناس فلا يربوا عندالله وما اتيتم من زكوة تريدون وجه الله فاولئك هم المضعفون. 3
- واخدهم الربوا وقدنهوا عنه واكلهم اموال الناس باالباطل واعتدنا للكافرين منهم عدابا اليما. 4
- يايهاالدين امنوا لا تاكلوا الربوا اضعافا مضعفة واتقوا الله لعلكم تقلحون 5 .
- ياايها الدين امنوا اتقوا الله ودروا مابقي من الربوا ان كنتم مؤمنين .فان لم تفعلوا فادنوا بحرب من الله ورسوله وان تبتم فلكم رءوس اموالكم لاتظلمون ولاتظلمون 6
Dari ayat-ayat di atas, walaupun minimal ada empat tahapan dalam pengaharaman riba, tetapi yang relevan untuk pembahasan ini adalah paling tidak pada tahap ayat ketiga dan keempat, karena dalam memahami dua ayat tersebut masih menjadi perdebatan panjang oleh para ulama. Maka tulisan ini hanya menekankan pada kedua ayat tersebut.7
Dengan memperhatikan ayat ketiga dan kempat di atas, terlihat dengan jelas tentang pengharaman riba, namun masih bersifat parsial (juz’i), karena belum bersifat menyeluruh (kulli), yaitu pada surat Ali Imran ayat 130. sebab pengaharaman tersebut baru pada katagori riba yang berlipat ganda (ad’afan muda’afah) dan sangat memberatkan bagi peminjam. Sedangkan sebab turunnya (asbab an-Nuzul) ayat tersebut, menurut satu riwayat dari ‘Ata’ disebutkan bahwa, kaum Saqif biasa meminjamkan uang kepada keluarganya Mugirah, pada waktu jatuh tempo mereka berjanji akan membayar lebih di kemudian hari apabila diberi tenggang waktu. Dengan lain perkataan, jikalau tidak bisa membayar pada waktu pembayaran, disuruh untuk menunda dengan syarat menambahkan jumlah dikarenakan penundaan waktu pembayaran, baik berupa mata uang maupun benda (barter). Keadaan ini disebabkan oleh faktor ketidakmampuan membayar pinjaman. Tegasnya, tambahan itu dikenakan berdasarkan perjanjian pada waktu transaksi utang piutang itu berlangsung. Itulah yang dimaksud riba nasi’ah dalam literatur fiqh.8
Sejalan dengan dengan ayat di atas, di dalam melihat kata-kata ad’afan muda’afah (berlipat ganda). Persoalannya adalah apakah kata ad’afan muda’afah dalam ayat tersebut dianggap sebagai kriteria (syarat) dalam pelarangan riba atau untuk menerangkan kondisi obyektif dan sekaligus mengecam terhadap perbuatan atau praktek riba. Oleh karenanya dalam menyikapi hal ini menurut Fuad Zein, diperlukan ihwal analisis hukum bunga bank, dengan berpijak kepada kerangka penalaran bayani dan ta’lili untuk menelusuri karakteristik riba yang disebutkan dalam al-Qur’an.9
1. Penalaran Bayani.
Dalam al-Qur’an surat Ali Imran: 130, riba diberi sifat “berlipat ganda”. Tidak demikian dengan yang tersurat di dalam surat al-Baqarah: 278. dalam ayat ini disebutkan bahwa setiap pengambilan yang melebihi jumlah pokok modal disebut riba. Ada kesan paradok antara dua ayat dari surat di atas. Sehingga ada ulama yang mengatakan, riba yang terlarang adalah yang mempunyai unsur berlipat ganda (ad’afan muda’afah). Ada pula yang tidak membatasi riba harus berlipat ganda, seperti pendapat fuqaha pada umumnya.
Dalam akhir surat al-Baqarah: 278, yang artinya “..…kamu tidak berbuat zalim, dan tidak pula menjadi korbannya”. Jika ini dijadikan tolak ukur riba, maka jalan tengah dapat ditemukan, yaitu betapapun kecilnya tambahan itu apabila menimbulkan kesengsaraan (zulm) maka termasuk riba. Hanya saja, karena di masa Rasulullah riba selalu mengambil bentuk ad’afan muda’afah, tidak dalam bentuk lain. Dengan demikian, ad’afan muda’afah relevan dengan ketidakadilan.10
Lebih lanjut Fuad Zein mengungkapkan, perlu dijadikan pertimbangan, bahwa di masa Rasulullah tidak ada inflasi, karena mata uang yang berlaku adalah emas dan perak (dinar dan dirham). Karenanya, pengembalian hutang sebesar jumlah pinjaman menggambarkan keadilan. Dalam suatu kurun waktu di mana inflasi melanda mata uang tertentu, maka pengembalian suatu hutang sebesar jumlah pinjaman tidak mengambarkan keadilan. Sebaliknya menimbulkan kerugian sepihak. Kalau statemen la tazlimun wa la tuzlamun (al-Baqarah: 278) maka kembalian hutang sebesar pinjaman berikut bunga yang proporsional dengan besarnya inflasi akan menjamin keadilan daripada tanpa tambahan. Kalau demikian, maka pemahaman lebih adil tentang pokok modal masa sekarang untuk kasus Indonesia, adalah modal yang dihitung berdasarkan nilai kurs, bukan berdasarkana nilai nominal. Dengan cara ini maka pihak pemberi pinjaman maupun yang meminjam tidak dirugikan.
2. Penalaran Ta’lili.
Berdasarkan dan merujuk pada pengertian riba pada pembahasan sebelumnya, di mana riba didefinisikan dengan kata-kata ziyadah, yakni “tambahan yang diperjanjikan atas besarnya pinjamaan ketika pelunasan hutang…”. Jadi tekanannya adalah pada “ziyadah” sebagai ciri pokok riba.
Riba dapat juga didefinisikan dengan “tambahan atas besarnya pinjaman ketika pelunasan hutang yang mendatangkan kesengsaraan pihak peminjam.” Di sini titik tekanannya ada pada “kesengsaraan atau zulm”, bukan “tambahan”. “Tambahan” sebagai an-nau’ atau spicies, sedangkan “kesengsaraan” sebagai al-jins atau genus atau ‘illat. Sama halnya dengan ungkapan “khamr adalah minuman yang memabukkan,” maka khamr adalah sesuatu yang didefinisikan, minuman sebagai an-nau’ atau spicies, dan memabukkan sebagai al-jins atau genus atau ‘illat., ungkap Fuad Zein.
Dengan demikian, bahwa esensi riba adalah “tambahan” dan ada juga yang mengatakan esensinya adalah zulm. jika kembali pada pangkal persoalan larangan riba, maka “tambahan” tidak memiliki makna apa-apa. Sebaliknya, ketidakadilan adalah hal yang bertentangan dengan tujuan penetapan prinsip ekonomi Islam. Karenanya, ‘illat pelarangan riba seharusnya adalah zulm bukan “tambahan”. 11
Orang yang berpandangan pada teks tentu akan menyatakan bahwa kata ad’afan muda’afah tersebut merupakan syarat keharaman riba, di antara tokoh yang berpandangan seperti itu adalah Rasyid Rida. Di dalam makalahnya “Hukum Bunga Konvensional”12 Anwar Abbas menjelaskan tiga alasan yang dikemukan Rida untuk membuktikan bahwa kata riba yang termaktub dalam surat al-Baqarah adalah riba yang merujuk kepada riba yang berbentuk ad’afan muda’afah.
Pertama, kaidah kebahasaan, yaitu kaidah pengulangan kosakata yang berbentuk makrifah—di mana apabila ada suatu kosakata berbentuk makrifah berulang, maka pengertian kosakata kedua (yang diulang) sama dengan kosakata yang pertama. Kata riba pada Ali-Imran ayat 130 dalam bentuk makrifah demikian halnya dalam al-Baqarah 287, sehingga hal ini berarti bahwa riba yang dimaksud pada ayat tahapan terakhir sama dengan riba yang dimaksud pada ayat pada tahapan kedua yaitu berbentuk ad’afan muda’afah.
Kedua, kaidah memahami ayat yang tidak bersyarat berdasarkan ayat yang sama tetapi bersyarat. Penerapan kaidah ini pada ayat-ayat riba adalah memahami arti riba pada ayat al-Baqarah yang tidak bersyarat itu berdasarkan kata riba yang bersyarat ad’afan muda’afah pada ayat Ali- Imran. Sehingga yang dimaksud dengan riba pada ayat tahapan terakhir adalah riba yang berlipat ganda.
Ketiga, diamati oleh Rasyid Rida bahwa pembicaraan al-Qur’an tentang riba selalu digandengkan atau dihadapkan dengan pembicaraan tentang sedekah, dan riba dinamainya sebagai “zulm” (penganiayaan atau penderitaan). Jadi dengan demikian riba yang diharamkan itu adalah riba yang ad’afan muda’afah (yang berlipat ganda), sedangkan riba yang kecil seperti 8 % atau 10 %, tidak termasuk riba yang diharamkan atau dilarang al-Qur’an.
Pendapat Rasyid Rida ini masih menimbulkan sebuah pertanyaan. Apakah hal ini berarti bahwa bila penambahan atau kelebihan itu tidak bersifat “berlipat ganda” menjadi tidak diharamkan oleh al-Quran? Jawaban untuk pertanyaan tersebut, menurut Quraish Syihab adalah terdapat pada kata kunci berikutnya, yaitu fa lakum ru’usu amwalikum (bagimu modal-modal kamu) (QS 2: 279). Dalam arti bahwa yang berhak mereka peroleh kembali hanyalah modal-modal mereka. Jika demikian, setiap penambahan atau kelebihan dari modal tersebut yang dipungut dalam kondisi yang sama dengan apa yang terjadi pada masa turunnya ayat-ayat riba ini tidak dapat dibenarkan. Dan dengan demikian kata kunci ini menetapkan bahwa segala bentuk penambahan atau kelebihan baik berlipat ganda atau tidak dalam sebuah transaksi, telah diharamkan oleh al-Quran dengan turunnya ayat tersebut. Dan ini berarti bahwa kata ad’afan muda’afah bukan syarat tetapi sekadar penjelasan tentang riba yang sudah lumrah mereka praktekkan.13
Sehingga di sini menjadikan persoalan, di mana kata ad’afan muda’afah tidak penting lagi, karena apakah ia syarat atau bukan, apakah yang dimaksud dengannya pelipatgandaan atau bukan, pada akhirnya yang diharamkan adalah segala bentuk kelebihan. Namun perlu digarisbawahi bahwa kelebihan yang dimaksud adalah dalam kondisi yang sama seperti yang terjadi pada masa turunnya al-Quran dan yang diisyaratkan oleh penutup ayat pada al-Baqarah 279 tersebut, yaitu la tazlimuna wa la tuzlamun (kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya).
Penjelesan yang diperoleh dari riwayat-riwayat tentang praktek riba pada masa turunnya al-Quran, sebagaimana telah dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa praktek tersebut mengandung penganiayaan dan penindasan terhadap orang-orang yang membutuhkan dan yang seharusnya mendapat uluran tangan. penjelasan tersebut dikonfirmasikan oleh ayat al-Baqarah 279 di atas, sebagaimana ia sebelumnya diperkuat dengan diperhadapkannya uraian tentang riba dan sedekah, seperti dikemukakan Rasyid Rida, yang menunjukkan bahwa kebutukan si peminjam sedemikian mendesaknya dan keadaannya sedemikian parah, sehingga sewajarnya ia diberi bantuan sedekah, bukan pinjaman, atau paling tidak diberi punjaman tanpa meniadakan sedekah. Kemudian pada ayat 280 ditegaskan bahwa, “Dan jika orang yang berhutang tidak mampu membayar pada waktu yang ditetapkan, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan”.
Ayat-ayat di atas lebih memperkuat penjelasan bahwa kelebihan yang dipungut, apalagi bila berbentuk pelipatgandaan, merupakan penganiayaan terhadap si peminjam.14
Sejalan dengan pendapat di atas, ketika membahas ad’afan muda’afah, yang merupakan bantahan terhadap orang yang berpendapat bahwa riba yang diharamkan hanya riba yang berlipat ganda, Ali as-Sabuni mengatakan: Pertama, lafad tersebut bukanlah qayyid dan syarat. Tujuan dari ungkapan ini hanya menerangkan tentang praktek yang dilakukan orang-orang Jahiliyah Arab pra-Islam. Kedua, kaum muslimin telah sepakat tentang pengharaman riba baik sedikit maupun banyak. Pengharaman riba sedikit karena mendorong banyaknya. as-Sabuni beralasan, Islam ketika mengharamkan seluruhnya (kulli) sebab kaidah sadd az-zari’ah. Dan kebolehan yang sedikit niscaya akan menarik kepada yang banyak. Untuk menguatkan pendapatnya, al-Sabuni menulis ayat-ayat yang melarang riba sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Baqarah dan Ali Imran. Demikian juga dengan hadis:
لعن رسولوالله صلي الله عليه وسلم اكل الربا وموكله وكاتبه وشاهد يه 15.
Jika dikaitkan dengan istilah ushul fiqh, maka menyikapi kata ad’afan muda’afah, tidak bisa dijadikan mafhum al-Mukhalafah. Artinya, jika rente (bunga bank) tidak berlipat ganda boleh dipungut, sebab batasan qayyid dalam nas tersebut hanya untuk membatasi hukum. Jika qayyid mempunyai tujuan lain, seperti untuk dorongan (targib), memberikan peringatan (tarhib), atau agar orang menjahuinya (tanfir), maka tidak dapat ditarik mafhum al-mukhalafah.
Oleh karenanya dalam mensifati ad’afan muda’afah dalam ayat tersebut semata-mata agar orang-orang mukmin menjahuinya (tanfir), karena yang dimaksud riba adalah menambah pada setiap tahun (waktu).16 Dan dalil yang menunjukkan bahwa sifat tersebut hanya agar dijauhi (tanfir) adalah firman Allah:
وان تبتم فلكم رءوس اموالكم لاتظلمون ولاتظلمون 17
Setelah memeperhatikan penafsiran-penafsiran ayat di atas, dapat dikatakan bahwa riba yang dilarang Allah dalam ayat-ayat tersebut adalah masih umum sifatnya, tidak membedakan sedikit atau banyak, produktif atau konsumtif. Dan jenis riba ini adalah riba yang telah dipraktekkan dalam sistem perekonomian masyarakat jahiliyah Arab pra-Islam. Dengan demikian, jelas bahwa pada masa jahiliyah apabila terjadi akad perdagangan yang dikenakan bunga terhadap debitur oleh si kreditur tetap diharamkan.
Selanjutnya, untuk mengetahui bahwa bunga bank termasuk riba yang telah ditetapkan hukum keharamannya, perlu dikaji lebih dalam mengenai “kriteria” mengapa bunga bank tersebut diharamkan oleh NU, terutama yang berakaitan dengan para debitur yang ingin mengembangkan usahanya dengan menggunakan jasa perbankan, sehingga umat Islam (umumnya) dalam kehidupan dapat berusaha menghindarkan diri dari bermuamalah dengan perkara yang dilarang oleh ajaran Islam. Sebagaimana diketauhi bahwa bank merupakan lembaga keuangan yang fungsi utamanya adalah menerima dan menyalurkan dana.18
Pemberian kredit oleh pihak bank kepada nasabah dengan mempersyaratkan bunga tertentu dalam persentase pinjamannya. Bahkan apabila nasabah tidak bisa melunasi kreditnya pada waktu yang telah ditentukan oleh pihak bank (kreditur) maka pinjaman itu bisa menjadi berlipat ganda. Dan jika nasabah dibebankan bunga, maka kemungkinan adanya unsur “penambahan atas jumlah pinjaman dengan tenggang waktu” menjadi lebih besar. Karena itu, pembebanan tambahan atas pokok pinjaman menjadi riba, sebagaimana yang dikehendaki al-Qur’an.19
Sebaliknya, tambahan tanpa risiko tidak dapat dikatagorikan dalam riba, karena Nabi SAW. pernah malakukannya. Kemudian, bagaimana apabila hal itu dihubungkan dengan pemberian bunga oleh pihak bank atas simpanan para nasabah dan diberikannya dalam prosentasi oleh pihak bank sendiri untuk kepentingan para nasabahnya, sepenjang para nasabah tidak mempersyaratkan tambahan bunga kepada bank, karena bank sebagai debitur memberikan bunga atas kehendaknya sendiri.
Sehubungan dengan itu, walaupun NU tidak menjelaskan secara detail tentang hal di atas, NU menyatakan bahwa menitipkan uang di bank dengan alasan demi keamanan dan meyakinkan bahwa uangnya tidak digunakan untuk larangan agama adalah makruh.20 Inipun apabila seorang nasabah yang tidak ingin menarik bunga. Pernyataan NU ini tidak disertai dengan ungkapan yang jelas, yaitu pada kalimat “larangan agama”. Tampaknya batasan “larangan agama” yang dimaksud adalah meliputi larangan bagi pihak bank untuk menyalurkan uang kepada debitur yang memakai jasa bank dengan tambahan pinjaman atau pihak bank sebagai kreditur meminjamkan dana kepada perseorangan (bunga konsumtif). jadi, apabila bank tempat para nasabah menyimpan uang, memakainya untuk larangan agama, NU tetap mengharamkan praktek bunga bank tersebut.
NU nampaknya sependapat dengan Yusuf al-Qardawi. Dia meyatakan bahwa bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah riba yang diharamkan. Artinya, apa yang diambil seseorang tanpa melalui usaha perdagangan dan tanpa bersusah payah sebagai tambahan pokok hartanya, maka yang demikian itu termasuk riba. Hal ini juga berimplementasi dengan ibadah mahdahnya, yaitu tidak boleh memberikan zakat atau bersedekah dengan hasil bunga bank tersebut. al-Qardawi kemudian menguatkan pendapatnya, bahwa segala sesuatu yang haram, tidak boleh dimiliki dan wajib disedekahkan sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama muhaqqiq, sedangkan sebagian ulama berpendapat bahwa uang itu tidak boleh diambil meskipun untuk disedekahkan, ia harus membiarkannya atau membuangnya. Akan tetapi, hal ini juga betentangan denga kaidah syar’iyah yang melarang menyia-nyiakan harta dan tidak memanfaatkannya.21
Lebih lanjut NU mengungkapkan, bahwa pengambilan bunga bank oleh nasabah yang menyimpan uangnya di bank adalah haram. Tetapi NU lebih tegas dalam menetapkan hukumnya yaitu apabila pihak bank menggunakannya untuk perbuatan yang telah dilarang agama.
Sementara Muhammadiyah agaknya masih ragu terhadap ada atau tidak adanya ‘illat riba pada bank milik negara, hal ini terlihat dengan penetapan, bahwa hukum bunga bank milik negara adalah musytabihat. Alasan mengatakan musytabihat, adalah karena ada dua kecenderungan yaitu halal atau haram,22 di samping juga karena dalam bank itu tidak dibedakan antara orang yang meminjam uang untuk konsumsi dan meminjam untuk diproduksikan. Maka hal ini harus dihindari, kecuali dalam keadaan darurat (terpaksa). Tampaknya keputusan Muhammadiyah ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank boleh karena darurat, seperti pendapat Mustafa az-Zarqani, yang mengatakan bahwa bank merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindarkan. Karenanya umat Islam boleh bermu’amalah dengan bank atas pertimbangan darurat.23 Lebih lanjut, Muhammadiyah menyatakan, bahwa riba yang diharmakan oleh agama adalah sifat pembungaan yang selalu disertai unsur penyalahgunaan kesempatan dan penindasan. Sedang yang berlaku dewasa ini sama sekali tidak menimbulkan rasa penindasan atau kekecewaan oleh siapapun yang berkepentingan.24
Akan tetapi, jika Muahmmadiyah berkeyakinan bahwa ‘illat haramnya riba adalah pemerasan (zulm), maka Muhammadiyah dapat menetapkan hukumnya yang tegas, apakah hukumnya bunga bank negara itu haram atau halal. Dengan kata lain, apabila ‘illat itu ada, maka dapat dinyatakan bahwa bunga adalah haram, dan apabila tidak ada ‘illat maka bunga bank dapat dinyatakan halal.25 Alasan yang mendasari Muhammadiyah masih ragu untuk menetapkan kehalalan bunga bank negara adalah karena adanya pendapat anggota panitia perumus hasil mu’tamar tarjih yang menyatakan, bahwa dalam masyarakat terdapat praktek pembungaan uang yang berlaku pada salah satu bank swasta di Indonesia.—Seseorang yang akan menitipkan sejumlah uang pada bank tersebut untuk memperoleh bunga tiap bulannya sebanyak 10 %, suatu pembungaan yang tidak kecil.—Kemudian bank itu pada gilirannya memberikan pinjaman kepada pedagang dengan menarik bunga sebesar 15 %.26
Gambaran dalam keadaan ekonomi seperti di Indonesia dewasa ini, besar sekali adanya kemungkinan si pedagang meminjamkan lagi uang pinjaman itu kepada pihak keempat untuk mendapatkan keuntungan bunga lagi. Sebenarnya, kalau praktek bank itu ada, maka tindakan itu telah menyalahi ketentuan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI), sebagai bank sentral. Dalam ketentuan itu disebutkkan, bahwa suku bunga maksimal pada saat Majlis Tarjih bermu’tamar adalah 18 % per-tahunnya. Jadi tindakan tersebut merupakan penyimpangan dari peraturan yang berlaku. Sekiranya itu merupakan penyimpangan yang dilakukan oleh sebagian bank swasta, maka kurang bijaksana kalau Muhammadiyah menetapkan hukum haram terhadap bunga bank milik swasta secara keseluruhan, apalagi terhadap bunga bank milik negara.27
Asumsi yang menguatkan bahwa Muhammadiyah, pada dasarnya cenderung kepada halalnya bunga bank milik negara, dikuatkan oleh pengamatan Kasman Singodimedjo (wakil ketua-III PP. Muhammadiyah periode 1971-1974) terhadap putusan Majlis Tarjih tentang bunga bank itu. Menurut pengamatannya, Muhammadiyah sebenarnya sudah membenarkan praktek bank konvensional (yang memakai sistem bunga). Argumentasi yang dimajukannya adalah bahwa penjelasan Majlis Tarjih Muhammadiyah tentang bunga bank disebutkan: “kecuali apabila ada suatu kepentingan masyarakat atau kepentingan pribadi yang sesuai dengan maksud-maksud dari pada tujuan agama Islam pada umumnya, maka tidak ada halangan perkara musytabihat tersebut dikerjakan sekedar sesuai dengan kepentingan itu”.28 Pertanyaan yang diajukan oleh Kasman Singodimedjo adalah, apakah ketika putusan itu diambil telah terdapat kepentingan-kepentingan seperti yang disebutkan di atas? Ternyata, jawabannya telah terdapat dalam konsideran dan penjelasan dari putusan tersebut. Di antara konsideran dan penjelasan yang menjawab persoalan tersebut adalah:29
1. Konsideran “mengingat” no.2: “bahwa fungsi bunga bank dalam perekonomian modern sekarang ini bukan hanya menjadi sumber penghasilan bagi bank, melainkan juga berfungsi sebagai alat politik perekonomian negara untuk kesejahteraan umat (stabilitasi ekonomi)”.
2. Konsideran “menimbang” no.3: “bahwa hasil keuntungan bank-bank milik negara pada akhirnya akan kembali untuk kemaslahatan umat”.
3. Konsideran “menyadari” no.3: “bunga adalah sendi dari sistem perbankan yang berlaku selama ini”.
4. Konsideran “menyadari” no.1: “bahwa bank dalam sistim ekonomi pertukaran adalah mempunyai fungsi yang vital bagi perekonomian pada masa sekarang”.
5. Konsideran “menyadari” no.4: ‘bahwa umat Islam sebagai umat pada dewasa ini tidak dapat melepaskan diri daripada pengaruh perbankan yang lansung atau tidak langsung mengenai perekonomian umat Islam”.
6. Konsideran “mengingat” no.3: “bahwa adanya undang-undang yang mengatur besar kecilnya bunga adalah untuk mencegah terjadinya penghisapan pihak yang kuat terhadap yang lemah, disamping untuk melindungi berlangsungnya kehidupan bank itu sendiri”.
7. penjelasan dari mu’tamar tarjih sendiri: “bank negara dianggap badan yang mencakup hampir semua kebaikan dalam alam perekonomian modern dan dipandang memiliki norma yang menguntungkan masyarakat dibidang kemakmuran. Bunga yang dipungut dalam sistim perkreditan adalah sangat rendah sehingga sama sekali tidak ada pihak yang dikecewakan”.
8. Penjelasan dari mu’tamar tarjih sendiri: “…tetapi terang diinsafi bahwa segi positif daripada bank perkreditan sangat besar bagi dunia perekonomian”.
9. Penjelasan dari mu’tamar tarjih sendiri: “…sedang (pembangunan) yang berlaku selama ini sama sekali tidak menimbulkan rasa penindasan atau kekecewaan oleh siapapun yang bersangkutan”.
B. Metode Pemahaman Dalil (Istinbat)
Untuk memutuskan atau menetapkan suatu hukum, ulama tentunya memiliki metode pemahaman dalil (istinbat). Karena penetapan hukum tidak dilakukan secara gegabah (kurang hati-hati), hanya orang-orang tertentu yang dapat melakukan dan dianggap telah memenuhi kapasitas berijtihad (memiliki ilmu-ilmu yang kompeten).
Secara umum, ijtihad dapat dikatakan sebagai suatu upaya berfikir secara optimal dalam menggali hukum Islam dari sumbernya untuk memperoleh jawaban terhadap permasalahan hukum yang muncul dalam masyarakat.30 Antara upaya ijtihad di satu pihak dan tuntutan perubahan sosial di pihak lain terdapat suatu interaksi. Ijtihad, baik langsung atau tidak dipengaruhi oleh perubahan-perubahan sosial, sedangkan disadari bahwa perubahan-perubahan sosial itu harus diberi arah oleh hukum sehingga dapat mewujudkan kebutuhan dan kemaslahatan umat manusia.
Ijtihad dalam kehidupan manusia merupakan kebutuhan yang bersifat kontinuitas di mana realitas kehidupan ini senantiasa berubah, begitupun situasi masyarakatnya yang senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan. Ijtihad yang benar tentunya yang dapat menjelaskan kehendak agama (maqasid at-tasyri’) dengan kebutuhan masyarakat, dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum Islam sebagai produk ijtihad hendaknya mampu mengelaborasikan nilai-nilai dan aturan normatif yang telah mentradisi dalam sebuah tatanan suci (syari’ah) yang telah menjadi landasan hidup beragama. Hal ini sesuai dengan penerapan sosial hukum, bahwa suatu hukum hendaknya dapat memainkan peranan ganda yang sama-sama penting. Pertama, hukum dapat dijadikan sebagai kontrol sosial terhadap perubahan-perubahan yang berlangsung dalam kehidupan manusia. Kedua, hukum dapat dijadikan sebagai alat rekayasa sosial dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat manusia, sebagai tujuan hakekat hukum itu sendiri.31
Masalah bunga bank pada hakekatnya tidak lepas dari dua hal yang mendasar, yakni peraturan syar’i dan kondisi masyarakat (sosio kultural). Kemudian dari dua dasar tersebut kemudian menimbulkan berbagai interpretasi. Pandangan NU maupun Muhammadiyah sebenarnya bermuara pada nas yang sama mengenai riba, yaitu Q.S.: Ali Imran 130 dan al-Baqarah: 278-279.
Persoalan riba tidak akan terlepas dari masalah teori pembungaan uang. Identifikasi ini juga telah begitu kuat di masyarakat. Sepertinya telah menjadi kehendak sejarah, bahwa bunga (interest) dalam institusi keuangan dewasa ini menjadi instrumen yang sangat urgen di hampir sistem ekonomi dunia. Bunga (interest) telah diterima sebagai suatu kewajaran dan dianggap sebagai salah satu ciri perekonomian modern. Bahkan bunga telah menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk dinikmati dan dimanfaatkan dalam proses perputaran keungan dan kegiatan bisnis. Dalam pada itu bank dan institusi keuangan lainnya (lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan IDB) sebagai lembaga perantara antara sektor riil dan moneter telah mendesain sedemikian rupa untuk menjadikan bunga supaya bisa merangsang terlaksananya tabungan dan kredit (baik konsumtif maupun produktif).32
Betapapun kredit dari bank itu dimaksudkan untuk usaha yang bersifat produktif, sehingga uang yang dipinjamkan akan menghasilkan keuntungan kepada debitur, seharusnya perlu ditinjau kembali. Karena adakah jaminan bahwa pinjaman selamanya akan mendapat keuntungan dari usahanya (perusahaan)?. Sedangkan bunga akan terus dikenakan selama masih ada simpanan atau pinjaman, tidak terbatas jangka waktunya dan pihak bank tidak melihat, apakah peminjam mendapat keuntungan atau malah rugi dari pinjaman tersebut. Dengan sistem bunga, kelihatan pihak pemberi pinjaman (kreditur) membiarkan wiraswastawan menanggung risiko ketidakpastian itu sendirian, yang sebenarnya adalah resiko kedua belah pihak. Keadaan semacam ini yang menggambarkan ketidakadilan.
Dalam masalah ini, NU berpendapat bahwa pihak debitur yang bertransaksi dengan bank harus bertanggung jawab penuh atas uang yang dipinjamnya dan bunganya ditentukan atas dasar untung rugi atau besar kecilnya keuntungan dari hasil usahanya. Maka transaksi tersebut termasuk aqad qard dan dengan sendirinya bunga bank yang terikat aturan, haram hukumnya, karena termasuk riba qard. NU memandang, bahwa setiap pinjaman kredit yang menarik manfaat yang diberikan oleh debitur yang dipersyaratkan oleh kreditur, bukan merupakan kebaikan hati dari pihak debitur. Karena hal ini juga bertentangan dengan firman Allah:
فلكم رءوس اموالكم لاتظلمون ولاتظلمون 33
Ikhtiar dari permasalahan itu tidak terlepas dari praktek riba dalam pemikiran hukum, bukan pada ayat-ayat mengenai keharaman riba itu sendiri, melainkan pada benda-benda yang boleh atau tidak tatkala dilakukan secara riba. Dan hal ini bermula dari tidak adanya permasalahan yang muncul menyangkut pemahaman masalah riba nasi’ah di kalangan para ulama dalam kurun waktu yang lama, sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh kaum jahiliyah pra-Islam. Sebuah hadis yang bisa diambil sebagai dasar para ulama untuk riba adalah:
عن عبادة بن الصامت قال النبى ص.م. الدهب بالدهب والفضة بالفضة والبر باالبر والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح مثلا بمثل سواء بسواء يدا بيد فادا احتلفت هده الاصناف فبيعوا كيف شئتم ادا كان يدا بيد. 34
Rumusan yang digunakan para ulama terhadap ketidakbolehan terjadi riba nasi’ah pada kebutuhan jenis barang tersebut, bila dibandingkan dengan rumusan mufassirin tidak ada perbedaan, dan rumusan itu dapat dilihat bahwa riba nasi’ah mempunyai unsur:
1. Terjadi karena peminjaman dalam jangka waktu tertentu.
2. Pihak peminjam berkewajiban memberi tambahan kepada debitur untuk mengangsur atau melunasi, sesuai dengan pinjaman,
3. Obyek peminjaman berupa benda ribawi.35
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan (khulasah), menurut metode pengambilan hukum yang dilakukan NU mengikuti prosedur pengambilan dengan cara ilhaq al-masail bi nazairiha. NU menjadikan riba qard sebagai mulhaq ‘alaihi, transaksi bank adalah mulhiq. Hukum mulhaq ‘alaihi adalah haram dan wajh al-‘ilhaqnya adalah timbangan atau takaran dan juga standar harga emas dan perak atau harga saja. Kecenderungan pernyatan NU ini agaknya memperlihatkan corak fiqh Syafi’I (Syafi’i oriented).
Atas dasar keterangan ini, maka NU mengambil hukum bunga bank diharamkan baik kecil atau besar, sedikit atau banyak. Keharaman yang berlipat ganda atau besar, hukumnya sama dengan ad’afan muda’afah (riba jahiliyyah), yakni haram li zatihi. Adapun bunga yang kecil atau sedikit termasuk riba khafi yang hukumnya haram karena untuk menutup riba yang besar haram li sadd az-zari’ah. Namun demikian, keharaman karena sadd az-zari’ah diperbolehkan karena adanya hajah maslahah.
Adapun Muhammadiyah dalam menetapkan bunga bank bermaksud menggunakan qiyas sebagai metode penetapan hukumnya. Bagi Muhammadiyah, ‘illat diharamkannya riba adalah adanya penghisapan atau penganiayaan terhadap pihak peminjam. Konsekuwensinya, kalau ‘illat itu ada pada bunga bank, maka bunga pada bank sama dengan riba dan hukumnya haram. Sebaliknya, kalau ‘illat tidak ada pada bunga bank, maka bunga bank bukan riba, karena itu tidak haram.36
Untuk memahami masalah ini secara utuh, berikut ini dijelaskan cara kerja qiyas dalam menetapkan kasus bunga bank. ‘Asl dalam kasus ini adalah riba yang terdapat dalam al-Quran. Far’u-nya adalah bunga bank. Hukmu al-Asl-nya adalah bahwa riba itu hukumnya haram. ‘illat diharamkannya riba adalah zulm atau penghisapan dan pemerasan terhadap peminjam. Menurut Muhammadiyah, oleh karena riba itu telah terdapat pada bunga bank, maka bunga bank sama dengan riba dan hukumnya haram. Tetapi kesimpulan ini hanya berlaku untuk bank swasta. Adapun bunga bank pada bank-bank milik negara, ‘illat-nya belum meyakinkan. Karena itu, menurut Muhammadiyah, hukum bunga bank milik pemerintah adalah musytabihat, tidak haram dan tidak pula halal secara mutlak.37
Telah dijelaskan bahwa illat adalah sifat tertentu yang dapat diketahui secara objektif (zahir), dapat diketahui tolak ukurnya (mundabit), dan sesuai dengan ketentuan hukum (munasib). ‘illat dapat diambil dari hikmah ditetapkannya hukum. Hikmah baru dapat ditetapkan sebagai ‘illat kalau terdapat mazhinnat atau indikator yang menunjukkan bahwa hikmah itu telah ada pada kasus tersebut. Hubungannya dengan masalah riba, apakah sifat zulm itu sudah dapat dikatakan ‘illat atau baru hikmah? Kalau sudah termasuk ‘illat apakah indikator yang menunjukkan hal tersebut? Dengan memperhatikan praktek riba pada masa ayat al-Quran ini diturunkan, dapat difahami bahwa pemerasan merupakan hikmah diharamkannya riba. Hikmah ini dapat menjadi ‘illat setelah adanya mazhinnat, yaitu bahwa tambahan itu dipersyaratkan ketika transaksi utang-piutang itu berlangsung. Oleh karena ‘Illat ini tidak secara eksplisit disebutkan dalam al-Quran maupun al-Hadis, maka kedudukannya termasuk ‘illat mustanbatah, dan bukan ‘illat mansusat. Karena itu, ketika Muhammadiyah menyatakan bahwa’illat diharamkan riba adalah pemerasan kreditur kepada debitur, tentu sudah melalui proses pencarian ‘illat, atau yang dalam ushul fiqih dikenal sebagai masalik al-‘illat.38
Secara garis besar proses penemuan ‘illat dapat dilakukan melalui tiga tahap. Tahap pertama adalah takhrij al-manat, yakni menginventarisasi beberapa sifat yang dapat dijadikan ‘illat. Tahap kedua adalah tanqih al-manat, yakni menyeleksi beberapa sifat yang telah diinventarisasi pada tahap pertama. Sedangkan tahap ketiga adalah tahqiq al-manat, yakni membuktikan keefektifan ‘illat haramnya riba, apakah dapat diterapkan dalam kasus bunga bank atau tidak.39
Berdasarkan cara kerja itu, pertama sekali dicari dan dihimpun beberapa sifat yang dapat dijadikan ‘illat haramnya riba. Pada tahap ini diperoleh informasi, bahwa sifat yang dapat dijadikan riba adalah pemerasan atau penganiayaan (istiglal wa az-zulm), tambahan tanpa risiko (ziyadah al-Khaliyat ‘an al-‘Iwad) dan tambahan yang berlipat ganda (ziyadah al-Muda’afat). Tahap berikutnya diadakan seleksi, mana di antara ketiga sifat itu yang dianggap relevan. Dalam tahap ini dapat diketahui, bahwa sifat “tambahan tanpa resiko” tidak dapat dijadikan ‘illat, karena ternyata nabi sendiri pernah memberikan kelebihan pembayaran kepada kreditur. Begitu pula sifat “tambahan yang berlipat ganda” semata-mata tidak dapat dijadikan ‘illat, karena Allah SWT menyatakan “wa in tubtum falakum ru’usu amwalikum”. Dari sini tinggalah sifat “pemerasan dan penganiayaan” yang dapat dijadikan ‘illat haramnya riba. Sifat yang terakhir ini, di samping dapat dilihat dalam sabab an-Nuzul ayat terakhir tentang riba, juga diisyaratkan oleh ungkapan al-Quran sendiri: “la tazlimuna wa la tuzlamun”. 40
Melalui proses pencarian ‘illat seperti di atas dapat disimpulkan bahwa pemerasan dan penganiayaan merupakan ‘illat diharamkannya riba. ‘illat di sini masih perlu diteliti lagi, dalam kaitannya dengan penerapan kasus bunga bank, karena sifat itu belum dapat diketahui tolak ukurnya (mundabit). Untuk itu ditetapkan ketentuan bahwa unsur pemerasan itu telah dianggap ada manakala ada “perjanjian pada awal transaksi utang piutang itu”. Persyaratan ini dianggap sebagai mazinnat, yaitu pemerasan. Inilah yang dianut mayoritas oleh ahli ushul fiqh.41
Pernyataan Muhammadiyah mengenai bunga bank seperti di atas tidak lepas dari komitmennya untuk menggunakan tolak ukur kemaslahatan yang menjadi tujuan utama diyariatkan hukum dalam Islam. Menurut pendapatnya, bahwa kepentingan dan kebutuhan umat Islam tidak boleh diabaikan. Sebab kalau kepentingan itu diabaikan, maka akan berakibat modal berada pada tangan orang non-muslim. Pada gilirannya harta ummat Islam akan semakin menipis, sementara harta orang-orang non-muslim akan semakin banyak jumlahnya. Dalam kondisi demikian, kemungkinan terjadinya kemiskinan di kalangan umat Islam akan semakin besar pula. Tidak mustahil hal ini akan membawa kepada kekufuran. Jadi, menjaga stabilitas ekonomi umat Islam berarti menjaga keutuhan agama yang dianut mereka. Menjaga harta dari kepunahan dan menjaga agama merupakan aspek esensial (daruriyat).42
Dapat dikatakan, bahwa Muhammadiyah menggunakan qiyas sebagai metode penetapan hukum bunga bank. Hikmah dan ‘illat, yang menjadi faktor penentu dalam metode ini, difahami oleh organisasi ini sebagai satu istilah yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karena itu, Muhammadiyah mengalami kesulitan untuk memutuskan kasus bunga bank ini. Lebih jauh dari itu, organisasi ini juga menggunakan istihsan bi ad-darurat sebagai metode penetapan hukum bunga bank. Namun metode ini juga tidak sepenuhnya ditetapkan. Baginya, meskipun berdasarkan qiyas jali ternyata bunga bank itu sama dengan riba, tapi demi kepentingan umat Islam, maka hukum haram riba tidak dapat diterapkan sepenuhnya pada kasus bunga bank.43
BAB. V
P E N U T U P
A. Kesimpulan.
1. Bahwa dalam merespon tentang masalah bunga bank, NU telah melakukan ijtihad (jama’i) ketika menghadapai persoalan fiqh kontemporer, khususnya persoalan bunga bank, akan tetapi juga tidak meninggalkan cara-cara lama. Yaitu bermazhab secara qauli, dengan hanya mengambil pendapat ulama (Syafi’iyah) secara sporadis dan apa adanya. Ijtihad bagi NU hanya dilakukan jika “benar-benar” persoalan hukum Islam yang dihadapi tidak ditemukan dalam kitab-kitab mu’tabar. Dan paling jauh menerapkan metode ijtihad yang telah dibangun oleh ulama terdahulu, karena sebagai cermin sikap tawaddu’ NU kepada mereka. Lebih lanjut, dalam hal ini (masalah bunga bank) NU memandang bahwa hukum tentang bunga bank adalah sebagaimana yang telah diputuskan dalam Sidang Lajnah Bahsul Masa’il NU di Malang, Jawa Timur tahun 1937, yang memutuskan: Pertama, haram, karena termasuk utang yang dipungut rente. Kedua, halal, karena tidak ada syarat pada waktu aqad, sementara adat yang berlaku tidak dapat begitu saja dijadikan syarat. Ketiga, syubhat, sebab para ahli berselisih paham tentangnya. Meski begitu, Lajnah memutuskan, pilihan yang lebih berhati-hati adalah bunga bank haram.
2. Sementara Muhammadiyah menggunakan qiyas sebagai metode ijtihad dalam merespon bunga bank. Bagi Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba adalah adanya pengisapan atau penganiayaan (az-Zulm) terhadap peminjaman dana. Konsekuensinya, kalau ‘illat itu ada pada bunga bank, maka bunga bank sama dengan riba dan hukumnya riba. Sebaliknya kalau ‘illat itu tidak ada pada bunga bank, maka bunga bank bukan riba, kerana itu tidak haram. Bagi Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba disinyalir juga ada pada bunga bank, sehingga bunga bank disamakan dengan riba dan hukumnya adalah haram. Namun keputusan tersebut hanya berlaku untuk bank milik swasta. Adapun bunga bank yang diberikan oleh bank milik negara pada para nasabahnya atau sebaliknya, termasuk perkara musytabihat, tidak haram dan tidak pula halal secara mutlak. Pendapat Muhammadiyah mengacu pada hasil mu’tamar Majlis Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo Jawa Timur, tahun 1968 yang memutuskan: Pertama, riba hukumnya haram dengan nas sarih al-Qur’an dan as-Sunnah. Kedua, Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal. Ketiga, Bunga yang diberikan oleh bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya, termasuk perkara musytabihat (yang meragukan).. Keempat, Menyarankan pada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan, yang sesuai dengan kaidah Islam.
3. Baik NU Maupun Muhammadiyah sama-sama sependapat bahwa riba hukumnya adalah haram hal ini berdasarkan pada nas sarih al-Qur’an dan al-Hadis yang dengan jelas-jelas telah mengharamkan adanya praktek riba. Meskipun dalam melihat aplikasi hukum Islam tentang riba sama-sama mengharamkanya, tetapi NU dan Muhammadiyah memiliki cara pandang atau berfikir yang berbeda. Bagi NU bahwa hukum bunga bank adalah haram baik itu bank milik swasta maupun bank milik negara. Lebih lanjut, NU mengungkapkan bahwa bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah riba yang diharamkan. Artinya, apa yang diambil seseorang tanpa melalui usaha perdagangan dan tanpa bersusah payah sebagai tambahan pokok hartanya, maka yang demikian itu termasuk riba.. NU kemudian menguatkan pendapatnya, bahwa pengambilan bunga bank oleh nasabah yang menyimpan uangnya di bank adalah haram. Dalam hal ini NU lebih tegas dalam menetapkan keharaman bunga bank—yaitu apabila pihak bank menggunakannya untuk perbuatan yang telah dilarang agama. Sedangkan bagi Muhammadiyah agaknya masih ragu terhadap ada atau tidak adanya ‘illat riba pada bank milik negara, hal ini terlihat dengan penetapan, bahwa hukum bunga bank milik negara adalah musytabihat. Alasan mengatakan musytabihat, adalah karena ada dua kecenderungan yaitu halal atau haram, di samping juga karena dalam bank itu tidak dibedakan antara orang yang meminjam uang untuk konsumsi dan meminjam untuk diproduksikan. Maka hal ini harus dihindari, kecuali dalam keadaan darurat (terpaksa). Tampaknya keputusan Muhammadiyah ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank boleh karena darurat, seperti pendapat Mustafa az-Zarqani, yang mengatakan bahwa bank merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindarkan. Karenanya umat Islam boleh bermu’amalah dengan bank atas pertimbangan darurat. Lebih lanjut, Muhammadiyah menyatakan, bahwa riba yang diharamkan oleh agama adalah sifat pembungaan yang selalu disertai unsur penyalahgunaan kesempatan dan penindasan. Sedang yang berlaku dewasa ini sama sekali tidak menimbulkan rasa penindasan atau kekecewaan oleh siapapun yang berkepentingan.
B. Saran-saran.
1. Dalam melihat permaslahan fiqh yang akan diberi ketetapan norma hukumnya, baik NU maupun Muhammadiyah hendaknya mengkaji permasalahan yang ada tersebut dari berbagai sudut pandang yang menyangkut hakekat permasalahan, latar belakang sosial, ekonomi politik, budaya dan yang semisalnya, di samping juga dengan tidak mengesampingkan al-Qur’an dan al-Hadis sebagai rujukan utama dalam menetapkan hukum Islam. Karena fiqh sebagai suatu bentuk ketetapan hukum akan selalu berubah sesuai dengan masyarakat yang dihadapinya (salih li kulli zaman wa makan). Sehingga akhirnya dalam memberikan norma hukum yang ada dapat bersesuaian dengan kebutuhan yang telah berkembang dan berlaku di tengah-tengah masyarakat.
2. Diperlukan adanya forum kajian atau musyawarah yang harus dilakukan oleh NU atau Muhammadiyah yang diikuti oleh para ulama dan ahli-ahli perbankan agar kajiannya lebih komprehensif dan hasilnya diharapakan lebih mendekati bahkan sesuai dengan realita yang sebenarnya.
3. Dalam menyikapi perbedaan persepsi tentang bunga bank yang berkisar pada persoalan prosedurnya, maka disarankan agar bagaimana prosedur itu dapat disesuaikan dengan keyakinan banyak pihak yang akan menggunakan jasa bank, karena sesuai dengan perundang-undangan yang ada sekarang ini, maka masih ada kemungkinan untuk diupayakan terwujudnya ketentuan hukum bunga bank yang lebih sempurna bagi masyarakat.
4. Untuk para cendekiawan terutama kalangan muda untuk pro aktif dan serius menggali sekaligus ikut memecahkan masalah-masalah fiqh kontemporer, agar dapat memperkaya hazanah pemikiran dengan tidak membatasi disiplin ilmu, tokoh maupun kelompoknya, sehingga tidak membuka ruang konflik yang membodohkan. Tetapi lebih mengembangkan sikap toleran dan saling memahami sehingga sikap mengklaim diri atau kelompoknya yang paling benar dapat terhindarkan.

0 Comment