ABSTRAK
Prinsip pemisahan kekuasaan yang menjadi konsep dasar dari hubungan antar lembaga negara merupakan salah satu usaha untuk membatasi kekuasaan para penguasa. Pemikiran Montesquieu mengenai konsep ini kemudian dijadikan dasar sistem pemerintahan oleh sebagian besar negara-negara dunia. Pengikutan terhadap konsep ini oleh beberapa negara muslim dan derasnya wacana tentang pembentukan negara Islam melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang fundamental tentang bagaimana konsep hubungan antar lembaga negara bila diterapkan dalam negara Islam dan bagaimana Islam berbicara tentang hubungan antar lembaga negara. Dan satu-satunya tokoh Islam yang paling representatif dan rinci dalam membahas masalah hubungan antar lembaga negara dalam kerangka Islam adalah Abul A`la al-Maududi. Dari sini menarik untuk dikaji lebih dalam lagi melalui studi perbandingan bagaimana pemikiran Montesquieu dan al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara.
Masalah yang dipaparkan mencakup pemikiran Montesquieu dan al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara; perbedaan dan persamaan pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai hubungan antar lembaga negara; dan konsep yang ideal mengenai hubungan antar lembaga negara belajar dari perbandingan kedua pemikiran tersebut.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian pustaka dengan sifat deskriptif, analitik dan komparatif. Pendekatan masalah berupa pendekatan filo-sofis. Analisa data yang digunakan adalah induksi, deduksi dan interpretasi. Hasil penelitian yang berupa konsep ideal mengenai hubungan antar lembaga negara, selain sebagai hasil pengkajian dari studi perbandingan ini, juga merupakan hasil dari kumpulan berbagai teori seperti yang dikemukakan oleh M. Quraish Shihab, Miriam Budiardjo, Ismail Suny, Soehino dan beberapa sarjana lain.
Persamaan pemikiran Montesquieu dan al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara antara lain seperti pemisahan organ antar ketiga lembaga negara, tidak berhaknya eksekutif mengangkat anggota legislatif, tanggung jawab eksekutif di hadapan legislatif, pembatasan undang-undang atas hak penahanan preventif oleh eksekutif, dan putusan yudikatif yang harus berdasar undang-undang yang ditetapkan legislatif. Perbedaan pemikiran mereka terletak pada masalah hak eksekutif dalam menjalankan fungsi legislatif, hak legislatif dalam mengangkat kepala negara, penyelesaian kasus perselisihan antar lembaga, besarnya hak yudikatif dalam menjalankan fungsinya, hak legislatif dalam mencampuri fungsi yudikatif, dan ada atau tidaknya hak uji terhadap undang-undang bagi yudikatif. Konsep ideal yang dapat ditawarkan antara lain seperti pemisahan organ antar ketiga lembaga negara, memperbesar peran eksekutif di bidang legislatif, tanggung jawab eksekutif di hadapan legislatif, hak legislatif dalam mengangkat kepala negara, peran Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian kasus perselisihan antar lembaga, hak yudikatif dalam memberi saran dan pertimbangan hukum pada eksekutif, hak yudikatif mengadili eksekutif, pengangkatan yudikatif yang berdasar persetujuan legislatif dan eksekutif, hak penahanan preventif oleh eksekutif, tidak adanya hak bagi legislatif untuk menjalankan fungsi yudikatif, dan hak uji yang harus dimiliki yudikatif.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………i
ABSTRAK………………………………………………………………………ii
HALAMAN NOTA DINAS…………………………………………………….iii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………..v
KATA PENGANTAR………………………………………………………….vi
TRANSLITERASI……………………………………………………………..viii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………xi
BAB I: PENDAHULUAN………………………………………………………1
A. Latar Belakang…………………………………………………………1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………..8
C. Tujuan dan Kegunaan…………………………………………………8
D. Telaah Pustaka…………………………………………………………9
E. Kerangka Teoritik……………………………………………………..11
F. Metode Penelitian……………………………………………………..17
G. Sistematika Pembahasan………………………………………………20
BAB II: BIOGRAFI MONTESQUIEU DAN PEMIKIRANNYA MENGENAI HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA………………………22
A. Biografi Montesquieu………………………………………………….22
1. Sejarah Kelahiran dan Pendidikan…………………………….22
2. Pengalaman dan Aktivitas Intelektual………………………..23
3. Pemikiran dan Karya-karyanya……………………………….28
B. Pemikiran Montesquieu Mengenai Hubungan Antar Lembaga Negara.34
1. Lembaga Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif…………………39
2. Hubungan Antara Legislatif dan Eksekutif…………………..45
3. Hubungan Antara Eksekutif dan Yudikatif…………………..50
4. Hubungan Antara Legislatif dan Yudikatif…………………..52
BAB III: BIOGRAFI AL-MAUDUDI DAN PEMIKIRANNYA MENGENAI HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA……………………..55
A. Biografi Al-Maududi…………………………………………………..55
1. Sejarah Kelahiran dan Pendidikan…………………………….55
2. Pengalaman dan Aktivitas Intelektual…………………………56
3. Pemikiran dan Karya-karyanya……………………………….63
B. Pemikiran Al-Maududi Mengenai Hubungan Antar Lembaga Negara..66
1. Lembaga Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif…………………70
2. Hubungan Antara Legislatif dan Eksekutif…………………..77
3. Hubungan Antara Eksekutif dan Yudikatif…………………..80
4. Hubungan Antara Legislatif dan Yudikatif…………………..84
BAB IV: PERBEDAAN, PERSAMAAN DAN ANALISIS TERHADAP PEMI-KIRAN MONTESQUIEU DAN AL-MAUDUDI MENGENAI HU-BUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA…………………………86
A. Hubungan Antara Legislatif dan Eksekutif……………………………86
B. Hubungan Antara Eksekutif dan Yudikatif……………………………97
C. Hubungan Antara Legislatif dan Yudikatif…………………………103
BAB V: PENUTUP……………………………………………………………110
A. Kesimpulan…………………………………………………………..110
B. Saran-Saran……………………………………………………………114
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….115
LAMPIRAN…………………………………………………………………….I
1. Terjemahan……………………………………………………………………I
2. Biografi Ulama dan Sarjana………………………………………………….III
3. Curriculum Vitae.…………………………………………………………….V
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dilihat dari kacamata historis, ide konkrit mengenai pemisahan kekuasaan negara di negara-negara barat mulai muncul ke permukaan sejak paham absolutisme mencuat khususnya oleh Stuart di Inggris dan Louis XIV di Perancis. Sebagai kritik atas kekuasaan absolut raja-raja Stuart, seorang filosof Inggris yang bernama John Locke (1632-1711) melalui bukunya Two Treatises on Civil Government (1690) mengemukaan sebuah doktrin mengenai pemisahan kekuasaan. Dan ia dianggap sebagai pencetus pertama doktrin ini, yang mana mengandung suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan negara sebaiknya tidak diserahkan pada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara lebih terjamin. Menurut Locke, kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan yang terpisah satu sama lain yaitu kekuasaan legislatif sebagai pembuat hukum; eksekutif sebagai pelaksana hukum sekaligus mengadili para pelanggar hukum dan federatif yang berkuasa mengatur perang dan damai, liga dan aliansi, dan semua transaksi yang melibatkan komunitas masyarakat di luar negeri.2
Kondisi yang serupa juga terjadi di Perancis di masa pemerintahan Louis XIV (1638-1715). Ia adalah sampel dari sosok penguasa monarki absolut dengan pernyataannya yang terkenal: ”L`etat c`est moi” (aku adalah negara).3 Sistem monarki yang dibangun oleh Louis XIV adalah dengan melemahkan peranan parlemen dan menyerap seluruh bentuk kekuasaan melalui keputusan eksekutif.4 Dan satu-satunya pemikir di masa ini yang paling vokal menyerukan kritik terhadap absolutisme Louis XIV adalah Charles Louis de Secondat de la Brede et de Montesquieu (1689-1755), seorang filosof sekaligus politikus Perancis yang mengemukakan konsep pemisahan kekuasaan melalui bukunya L`Esprit des Lois (Jiwa Hukum) (1748). Menurut Montesquieu, kekuasaan negara terpisah dalam tiga bagian diantaranya Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif (Judicial). Legislatif adalah penguasa pemberlaku Undang-Undang yang bersifat sementara atau tetap, mengubah atau menghapus Undang-Undang yang telah diberlakukan. Eksekutif sebagai penguasa yang menetapkan perang dan damai, mengirim dan menerima duta, menjamin keamanan publik dan menghalau adanya invasi. Serta kekuasaan Yudikatif yang memberi hukuman para penjahat atau memutuskan perselisihan yang timbul antar perorangan.5 Mengenai hubungan antar ketiga lembaga tersebut, Montesquieu menekankan pada pemisahan secara mutlak satu sama lain,
baik mengenai tugas atau fungsi maupun mengenai alat perlengkapan atau organ
yang melakukannya.6
Dalam lapangan praktis sejarah Islam, hubungan antar lembaga negara secara substansial telah berlangsung dengan begitu dinamis pada masa Khulafa al-Rasyidin (632-661). Para khalifah tidak memutuskan suatu perkara yang berkaitan dengan pengaturan pemerintahan atau perundang-undangan kecuali dengan bermusyawarah dengan kaum cendikiawan diantara kaum Muslimin.7 Dan meskipun para hakim diangkat berdasar keputusan para Khulafa, namun para hakim itu memiliki kebebasan dari segala ikatan dan tekanan, kecuali ketakwaan pada Allah swt, ilmu dan nurani mereka. Sehingga mereka memperlakukan khalifah seperti salah seorang diantara rakyat awam dan mengadili mereka apabila ada perkara yang dihadapkan melawan mereka.8 Setelah berlalunya masa Khulafa al-Rasyidin, konsep musyawarah tidak lagi dijadikan dasar jalannya pemerintahan. Para penguasa menjauhkan diri dari para ahli ilmu yang berani menyatakan segala yang haq. Dan bila penguasa mengadakan musyawarah, maka peserta musyawarah bukanlah kaum pemikir yang dipercayai oleh umat keahlian dan keteguhan agamanya, namun hanya terdiri dari para keluarga kerajaan atau pejabat-pejabat istana.9 Pada masa Umayah(661-743) misalnya, fungsi eksekutif dan yudikatif menjadi satu dalam diri khalifah sehingga khalifah memiliki otoritas penuh untuk mengendalikan kekuasaan peradilan.10
Keadaan yang tidak jauh berbeda terus mewarnai sejarah pemerintahan Islam. Dalam catatan sejarah, bentuk monarki di dunia Islam – dimana peranan eksekutif mendominasi dengan kuat – berlangsung dari tahun 661 yaitu sejak masa Dinasti Umayah di Damaskus sampai dengan tahun 1924 setelah lembaga khilafah di Turki dihapuskan. Bentuk monarki dalam hal ini adalah monarki absolut hingga pada tanggal 23 Desember 1876 Turki Usmani merubah sistem monarki absolut ke monarki konstitusional yang berfungsi untuk membatasi kekuasaan eksekutif yang absolut. Sebelum itu pada Januari 1861, Tunis juga berubah menjadi sistem monarki konstitusional. Dua negara inilah yang merupakan pelopor hampir seluruh pemerintahan di dunia Islam untuk mempunyai konstitusi pada abad ke-20.11
Pada pertengahan abad ke-20, seorang ulama besar sekaligus politikus dari negeri metamorfosis India-Pakistan, Abul A`la al-Maududi (1903-1979), menyegarkan kembali wacana politik Islam melalui The Islamic Law and Constitution yang berisi kumpulan berbagai ceramah beliau; dan al-Khilafah wa al-Mulk yang berisi tinjauan kritis atas praktek pemerintahan Islam khususnya pada masa Umayah dan Abbasiyah.
Pada penghujung tahun 1930, Muhammad Iqbal (1873-1938) dan Muhammad Ali Jinnah (1876-1948) dari Liga Muslim India menyerukan pembagian India dan pembentukan Pakistan sebagai negara muslim yang terpisah. Disisi lain, Abdul Kalam Azad (1888-1958) dari Partai Kongres dengan gigih mendukung gabungan Muslim-Hindu dalam gerakan Nasionalisme India dengan membentuk negara India yang merdeka, bersatu dan sekuler.
Abul A`la al-Maududi menolak dua posisi dominan ini. Sikap ini berdasar pada keberatan atas bentuk nasionalisme, bahkan terhadap nasionalisme muslim. Karena menurutnya, nasionalisme adalah gejala dari barat yang berlawanan dengan Islam.12 Walaupun al-Maududi keberatan terhadap pembentukan Pakistan sebagai negara muslim yang terpisah atas dasar nasionalisme muslim, namun Setelah terbentuknya Pakistan pada tanggal 15 Agustus 1947 dengan Muhammad Ali Jinnah (Quadi Azam) sebagai Gubernur Jenderal dan Liaquat Ali Khan sebagai Perdana Menteri,13 al-Maududi akhirnya menerima realitas politik itu dan tetap berada dalam wilayah Pakistan.14
Meskipun ideologi dan lambang-lambang keagamaan sudah digunakan oleh Liga Muslim dalam pembentukan Pakistan, namun tidak ada pemahaman dan aplikasi yang jelas mengenai ideologi Pakistan. Permasalahan ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang teramat sederhana: Apa yang dimaksud dengan pernyataan bahwa Pakistan itu negara Islam modern ataupun negara muslim modern? Bagaimana ciri Islam itu dicerminkan dalam ideologi dan lembaga-lembaga negara?15 Ketika para pemuka negara baru itu berusaha merumuskan ideologi dan system pemerintahan Pakistan, Jamaat Islami (JI) – organisasi yang didirikan dan dipimpin oleh al-Maududi – melakukan tekanan untuk terbentuknya negara Islam dan segera maju ke depan dalam perdebatan (1948-1956) mengenai perumusan konstitusi Pakistan yang pertama.16
Dalam berbagai tekanan dan perdebatan itulah al-Maududi menguraikan berbagai permasalahan penting seputar prinsip-prinsip pembentukan negara Islam yang didalamnya juga disebutkan tentang berbagai lembaga negara dan hubungan yang terjalin antar lembaga tersebut.
Dalam pemikiran beliau, lembaga-lembaga negara dalam suatu negara Islam terdiri dari ahl al-hall wa al-`aqd yang berfungsi sebagai pembuat Undang-Undang, Umara sebagai penegak Undang-Undang, dan Qadha sebagai pemutus perkara atau perselisihan yang terjadi dalam masyarakat.17 Menurut al-Maududi, masing-masing lembaga negara haruslah terpisah, tetapi tidak secara mutlak. Setiap lembaga memiliki fungsi yang – dalam berbagai kondisi – saling terbuka satu sama lain. Sebagai contoh, menurut al-Maududi, lembaga yudikatif memiliki hak untuk membatalkan semua hukum dan perundang-undangan yang dibuat legislatif jika bertentangan dengan konstitusi yang tertinggi yaitu al-Qur`an as-Sunnah.18 Berbeda dengan Montesquieu yang dengan konsep pemisahan kekuasaan mutlaknya melarang seorang hakim untuk ikut campur dalam kekuasaan legislatif.19
Disini penyusun mengalami kegelisahan akademis yang cukup kuat untuk mengangkat pemikiran kedua tokoh ini. Pelaksanaan ajaran Trias Politika Montes-quieu setidaknya telah melahirkan tiga macam sistem pemerintahan, antara lain sistem pemerintahan kabinet Presidensiil seperti di Amerika Serikat; sistem pemerintahan kabinet Parlementer seperti di Inggris; dan sistem Referendum se-perti di Swiss. Ketiga sistem pemerintahan tersebut semuanya berpedoman pada ajaran Trias Politika Montesquieu, hanya saja hasil penafsirannya yang berma-cam-macam sesuai dengan keadaan sistem ketatanegaraan negara yang bersang-kutan.20 Disini bisa kita lihat bahwa pemikiran Montesquieu tentang hubungan an-tar lembaga negara telah menjadi referensi utama dan sangat berpengaruh bagi sistem pemerintahan nega-ra-negara barat. Yang kemudian menjadi kegelisahan penyusun adalah bagaima-nakah pemikiran Islam mengenai hubungan antar lembaga negara? Apakah prin-sip Montesquieu tentang masalah ini disamping paling populer juga merupakan yang paling ideal? Lalu bagaimana seharusnya sikap negara-negara muslim terha-dap sistem pemerintahannya sendiri? Apakah juga harus berupa hasil penafsiran dari pemikiran Montesquieu? Atau dari kerangka dasar Al-Qur`an dan As-Sun-nah? Menurut penyusun, jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh politik Islam lain seperti Al-Mawardi, Ibnu Abi Rabi`, Al-Farabi, Ibnu Khaldun, ataupun Ibnu Tai-miyah; maka Abul A`la Al-Maududi adalah tokoh yang paling representatif dalam menampilkan masalah hubungan antar lembaga negara dalam kerangka Islam. Al-Maududi merupakan tokoh Islam yang paling detail dan rinci dalam membahas masalah hubungan antar lembaga negara; disamping beliau memandangnya sesuai dengan kondisi umat Islam yang paling dekat dengan masa sekarang.
Berangkat dari latar belakang ini sangat menarik untuk dikaji lebih jauh dan mendalam lagi bagaimana sebenarnya pemikiran Montesquieu dan al- Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara yang selalu menjadi dinamika tiada henti dan wacana hangat bagi sistem politik negara-negara di berbagai belahan dunia.
B. Rumusan Masalah
Pokok permasalahan yang akan dipaparkan pada bagian pembahasan antara lain:
1. Bagaimana pemikiran Montesquieu dan al-Maududi mengenai hubung-an antar lembaga negara?
2. Bagaimana persamaan dan perbedaan pemikiran Montesquieu dan al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara?
3. Bagaimana konsep yang ideal mengenai hubungan antar lembaga nega-ra?
C. Tujuan Dan Kegunaan
Tujuan penulisan skripsi ini antara lain:
1. Untuk menjelaskan pemikiran Montesquieu dan al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara.
2. Untuk memaparkan persamaan dan perbedaan pemikiran Montesquieu dan al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara.
3. Untuk memaparkan konsep yang ideal mengenai hubungan antar lemba-ga negara.
Kegunaan dari penulisan skripsi ini antara lain:
1. Dapat dijadikan sebagai salah satu upaya untuk menyumbangkan pemikiran dalam rangka memberikan andil bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang fiqh siyasah, sebagai bagian dari mata kuliah yang diajarkan di Fakultas Syari`ah.
2. Dapat merupakan salah satu sumbangan pemikiran untuk memperkaya kepustakaan hukum Islam pada umumnya dan ilmu hukum tata pemerintahan pada khususnya.
D. Telaah Pustaka
Untuk menghindari duplikasi karya tulis ilmiah serta untuk menunjukkan keaslian penelitian ini, maka dirasa perlu mengkaji berbagai pustaka yang berkaitan dengan penelitian dalam skripsi ini.
Sepengetahuan penulis, kepustakaan yang membahas pemikiran Montes-quieu dan Al-Maududi dari sudut pandang hubungan antar lembaga negara belum ada. Buku-buku yang pernah ditulis kebanyakan berbicara politik dan tata peme-rintahan secara umum. Yang cukup terfokus pada tema ini misalnya karya Ismail Suny yang berjudul Pembagian Kekuasaan Negara21 yang berupa penyelidikan perbandingan dalam hukum tata negara Inggris, Amerika Serikat, Uni Sovyet dan Indonesia. Pada deretan skripsi, sebagian pemikiran politik Al-Maududi telah dibahas oleh beberapa penyusun. Diantaranya seperti Tri Yudianto Ahmadi yang membawa judul Konsep Majelis Syura Menurut Pemikiran Abul A`la al-Maududi dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Menurut Hukum Tata Negara Republik Indonesia.22 Ach. Noor Busthomi membahas Studi Kritis terha-dap Konsep Syura Sayyid Abul A`la al-Maududi dan Implementasinya Dalam Sistem Poltik Islam.23 Mochammad Imran membahas Konsepsi Kekuasaan Menurut al-Maududi dan Relevansinya di Indonesia yang lebih mengedepankan konsepsi kekuasaan secara umum. Moch. Imran sedikit menyinggung masalah hubungan antar lembaga nega-ra menurut al-Maududi. Disana ia hanya mengemukakan bahwa lembaga negara berfungsi secara terpisah serta mandiri satu sama lain.24 Disinilah letak kerancuan dan kesulitan untuk membedakan antara istilah Separation of Powers (Pemisahan Kekuasaan) dan Division of Powers (Pembagian Kekuasaan).25 Karena kajian tentang hubungan antar lembaga negara tidaklah hanya terbatas pada pemisahan organ tetapi juga interaksi yang kompleks diantara lembaga-lembaga tersebut. Pemikiran al-Maududi tentang hubungan antar lembaga negara jauh lebih dalam lagi. Jika kita teliti lebih jauh, ternyata alur pemikiran al-Maududi menyatakan bahwa fungsi dan kontrol antar lembaga negara sama sekali tidak terpisah secara mutlak sehingga disini diperlukan pembahasan yang lebih segar dan baru lagi, ter-utama ketika pemikiran al-Maududi dibandingkan dengan pemikiran Montesquieu yang setelah penulis mensurvey literatur-literatur terdahulu, belum ada sama sekali yang membahas hal tersebut.
E. Kerangka Teoritik
Dalam wacana politik barat, salah satu usaha untuk membatasi kekuasaan para penguasa adalah dengan melemahkan kedudukan mereka. Pelemahan itu bisa dengan jalan pemilihan oleh rakyat, pembagian kekuasaan dan pengawasan jurisdiksionil. Pembagian kekuasaan merupakan salah satu cara terbaik untuk mencegah keotoriteran penguasa atas rakyat.26
Cara ini oleh Ivor Jennings dalam bukunya The Law and The Constitution disebut dengan Pemisahan Kekuasaan. Ia membedakan antara pemisahan kekuasaan dalam arti material dengan pemisahan dalam arti formal.27
Pemisahan kekuasaan dalam arti material adalah pemisahan yang dipertahankan dengan tegas dalam tugas dan fungsi antara legislatif, eksekutif dan yudikatif.28 Penafsiran terhadap ajaran Montesquieu terletak pada pemisahan jenis ini. Menurut ajaran ini tidak dibenarkan adanya campur tangan atau pengaruh-mempengaruhi antar kekuasaan yang satu dengan lainnya, masing-masing terpisah dalam menjalankan fungsi dan tugas mereka.29
Doktrin Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan ini memiliki pengaruh besar pada tata pemerintahan Amerika Serikat. Namun para penyusun Undang-Undang Dasar Amerika Serikat menganggap perlu untuk menjamin bahwa masing-masing kekuasaan tidak akan melampaui batas kekuasaannya. Untuk itu setiap cabang kekuasaan diberi hak untuk mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan lainnya. Sistem ini dikenal dengan sebutan checks and balances dimana pemisahan kekuasaan tidak dipertahankan dengan tegas. Inilah yang dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal.30
Salah satu prinsip pokok bagi pemerintahan Islam adalah permusyawarat-an.31 Prinsip Syura ini telah ditetapkan dalam al-Qur`an yang turun sebelum em-pat belas abad yang lampau. Sedangkan daratan Eropa tidak mengenal istilah par-lemen kecuali pada abad ke sembilan belas. Ayat pertama tentang perintah bermu-syawarah ditujukan pada Rasulullah saw (dan orang-orang Islam sesudah beliau): “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” (Ali Imran:159). Dalam ayat kedua, perintah musyawarah disebutkan setelah perintah mendirikan shalat ketika mensifati orang-orang yang taat pada Allah swt: “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara mereka.” (asy Syura: 38).32
Prinsip musyawarah dalam pemerintahan Islam haruslah berada dalam kerangka ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya.33 Dalam surat an-Nisa ayat 59, Allah swt berfirman:
يايّهاالّذين امنوااطيعواالله واطيعواالرّسول واولىالامر منكم فان تنازعتم في شئ فردّوه الىالله والرّسول ان كنتم تؤمنون بالله واليوم الاخرذلك خيروّاحسن تأْويلا.
Dengan adanya kerangka ini, seluruh ruang lingkup kegiatan dalam suatu negara haruslah dibatasi oleh konstitusi tertinggi yang berupa al-Qur`an dan as-Sunnah. Kedaulatan yang dimiliki rakyat haruslah terkendali oleh kedaulatan hukum Tuhan dan Rasul-Nya. Dalam pengertian inilah istilah sistem Theo-demokrasi digunakan oleh al-Maududi. Sebuah sistem kenegaraan yang menyata-kan bahwa rakyat memiliki kedaulatan yang diposisikan dibawah pengawasan Tu-han.34 Dalam usaha untuk berpegang pada pedoman tersebut, dan untuk menegak-kan prinsip amr ma`ruf nahyi munkar, maka prinsip musyawarahlah yang menjadi dasar hubungan antar lembaga negara dalam Islam. Namun dikarenakan al-Qur`an dan as-Sunnah tidak menjelaskan mekanisme Syura secara eksplisit dan hanya mengandung prinsip-prinsip umumnya saja, maka konsep hubungan antar lemba-ga negara dalam Islam merupakan ruang ijtihad bagi umat Islam untuk merumus-kannya sesuai kondisi dan kebutuhan zaman. Abdul Malik Madaniy menyatakan:
Memang benar bahwa Nabi telah mempraktekkan langsung beberapa model teknis dari Syura, namun hal itu bukan merupakan bentuk baku yang wajib diikuti pada setiap zaman. Ini membuka peluang bagi umat Islam di setiap zaman untuk merancang model sendiri sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi yang senantiasa berkembang. Yang penting ialah bahwa setiap model yang diterapkan dapat mengakomodir substansi dan spirit dari Syura dalam Islam…35
Untuk lebih mengkonkritkan gambaran tentang hubungan antar lembaga negara, setidaknya ada delapan pertanyaan yang harus dimajukan untuk memper-jelas pembahasan tentang hubungan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif; baik dalam pemikiran Montesquieu maupun al-Maududi, antara lain:36
1. Bagaimana penjelasan tentang badan legislatif, eksekutif dan yudikatif?
2. Apakah orang-orang atau badan-badan yang sama dapat merangkap dua jabatan sekaligus diantara eksekutif, yudikatif dan legislatif?
3. Apakah badan legislatif yang mengontrol badan eksekutif, ataukah badan eksekutif yang mengontrol badan legislatif?
4. Adakah badan legislatif melaksanakan sebagian fungsi eksekutif dan atau badan eksekutif melaksanakan sebagian fungsi legislatif?
5. Apakah badan eksekutif yang mengontrol badan yudikatif, ataukah badan yudikatif yang mengontrol badan eksekutif?
6. Adakah badan eksekutif melaksanakan sebagian fungsi yudikatif dan atau badan yudikatif melaksanakan sebagian fungsi eksekutif?
7. Apakah badan legislatif yang mengontrol badan yudikatif, ataukah badan yudikatif yang mengontrol badan legislatif?
8. Adakah badan legislatif melaksanakan sebagian fungsi yudikatif dan atau badan yudikatif melaksanakan sebagian fungsi legislatif?
Kedelapan pertanyaan tersebut digunakan untuk memperjelas kedudukan suatu lembaga negara mengenai fungsi yang harus dijalankannya, seberapa besar fungsi lembaga lain yang dijalankan olehnya, fungsi apa saja yang harus dijalan-kan oleh lembaga lain, kontrolnya terhadap lembaga lain dan kontrol lembaga lain terhadap kekuasaannya. Dengan terjalinnya hubungan yang saling terkontrol da-lam rangka pengawasan terhadap penyelewengan atas hukum dan konstitusi, maka diharapkan akan terjalin interaksi, kerjasama dan pengawasan yang lebih terbuka dan proporsional antar lembaga-lembaga negara.
Satu hal yang tidak bisa dielakkan, bahwa interpretasi seorang pemikir se-dikit banyak akan dipengaruhi oleh berbagai variabel yang tidak tunggal. Setting sosial, latar belakang ilmu, pengalaman, karakteristik personal, serta perubahan kondisi-kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya akan mewarnai proses inter-pretasi seseorang. Oleh sebab itu, variabel-variabel tersebut tidak bisa diabaikan saat kita melakukan telaah terhadap pemikiran seseorang.37
Dalam hal ini, Abul A`la al-Maududi dengan latar religius yang cukup kental, memaparkan pemikirannya tentang hubungan antar lembaga negara dengan didasarkan pada prinsip theo-demokrasi yang telah dikemukakan di atas, yaitu prinsip yang mengakui kedaulatan rakyat yang berada di bawah pengawasan Tuhan.38 Artinya, kekuasaan rakyat tidak bersifat tidak terbatas karena dibatasi oleh hukum dan konstitusi yang berupa al-Qur`an dan as-Sunnah.
Lalu bagaimanakah menarik masalah ini ke hubungan antar lembaga negara jika pemikiran al-Maududi yang berdasarkan theo-demokrasi dibanding-kan dengan pemikiran Montesquieu yang berlandas pada prinsip demokrasi? Jawabannya bisa kita temukan dari pernyataan Montesquieu berikut:
It is true that in democracies the people seem to act as they please; but political liberty does not consist in an unlimited freedom…Liberty is a right of doing whatever the laws permit, and if a citizen could do what they forbid he would be no longer possessed of liberty, because all his fellow-citizens would have the same power.39
Disini bisa kita simpulkan bahwa bukan hanya al-Maududi yang memba-tasi kekuasaan rakyat (demokrasi) dengan hukum dan konstitusi, tetapi Montes-quieu juga melakukan pembatasan itu. Terlepas dari asal usul hukum tersebut, kita akan melihat sampai sejauh mana konsep hubungan antar lembaga negara yang dikemukakan masing-masing tokoh ini dapat meminimalisir penyelewengan terhadap hukum dan konstitusi.
F. Metode Penelitian
1.Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan dipakai penulis adalah penelitian pustaka (library research), yakni dengan meneliti sumber-sumber kepustakaan yang ada relevansinya dengan pembahasan tentang hubungan antar lembaga negara, khususnya dalam pemikiran Montesquieu dan al-Maududi.
2.Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif, analitik dan komparatif yaitu dengan menguraikan hal-hal mengenai hubungan antar lembaga negara khususnya dari kedua pemikiran tersebut kemudian mengkaji secara cermat melalui uraian analisis lalu menjelaskan persamaan dan perbedaan dari pemikiran kedua tokoh tersebut.
3.Metode Penggalian Data
Mengingat jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian pustaka, maka metode yang digunakan adalah pengumpulan data literatur atau bahan-ba-han pustaka yang koheren dengan obyek yang dimaksud. Satu-satunya karya yang paling memadai yang membahas pemikiran Montesquieu adalah karya asli Montesquieu sendiri, yaitu L`Esprit des Lois. Karya ini mencakup pembahasan yang cukup luas. Didalamnya Montesquieu bukan saja membahas masalah lembaga negara akan tetapi juga membahas tentang bentuk-bentuk pemerintahan, pengaturan militer, pajak, adat kebiasaan, ekonomi dan aga-ma yang kesemuanya dihubungkan dengan hukum. Sedangkan sumber primer dari pemikiran al-Maududi adalah karya al-Maududi sendiri yang berjudul Islamic Law and Constitutions dan al-Kilafah wa al-Mulk yang isinya didominasi oleh pemikiran dan teori politik Islam.
4. Pendekatan
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan Filosofis. Berdasar definisi yang dikemukakan Poerwadarminta, sebagaimana dikutip oleh Abudin nata, maka pendekatan filosofos dapat diartikan sebagai cara pandang yang bertolak dari penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hokum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti “adanya” sesuatu.40 Menurut Leo Strauss, filsafat merupakan pencarian kebijaksanaan dan pengetahuan universal, pada keseluruhan pengetahuan. Dan filsafat politik adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk mengetahui sifat politik dan kebenaran, atau tatanan politik yang bagaimana yang dianggap baik.41
Dalam hal ini, pendekatan akan bertolak dari pendalaman terhadap pemikiran kedua tokoh, kemudian menghasilkan sebuah pengetahuan yang utuh mengenai konsep ideal hubungan antar lembaga negara.
5.Analisa Data
a. Induksi, yaitu suatu cara yang dipakai dengan bertitik tolak dari hal-hal yang bersifat khusus, kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum. Dengan kata lain, Induksi adalah proses mengorganisasikan fakta-fakta atau hasil-hasil pengamatan yang terpisah-pisah menjadi suatu rangkaian hubungan atau suatu generalisasi.42 Dalam hal ini, pemikiran Montesquieu dan al-Maududi dianalisa berdasar pernyataan-pernyataan yang secara langsung (khusus) berkaitan dengan masalah hubungan antar lembaga negara, dan kemudian diambil kesimpulan secara umum.
b. Deduksi, yaitu suatu cara yang dipakai dengan berangkat dari kebenaran umum mengenai suatu fenomena (teori) dan menggeneralisasikan kebenaran tersebut pada suatu peristiwa atau data tertentu yang berciri sama dengan fenomena yang bersangkutan. Dengan kata lain, deduksi berarti menyimpulkan hubungan yang tadinya tidak tampak, berdasarkan generalisasi yang sudah ada.43 Dalam hal ini, pemikiran Montesquieu dan al-Maududi dianalisa dari pernyataan-nya yang bersifat umum dan tidak secara langsung berkaitan dengan hubungan antar lembaga negara, tetapi berpengaruh kuat terhadap pemikiran mereka selanjutnya tentang hubungan antar lembaga negara, kemudian disimpulkan secara khusus.
c. Interpretasi, yaitu pola pemikiran dengan melakukan penafsiran terha-dap teks-teks yang berkaitan dengan tema penelitian. Dalam hal ini, penyusun mendalami karya-karya Montesquieu dan Al-Maududi untuk memahami makna dan kandungannya serta dipaparkan oleh penyusun dalam bahasa ilmiah.
G. Sistematika Pembahasan
Sebelum mengadakan suatu penelitian, maka hal-hal yang penting dirumuskan untuk memperjelas dan memperkokoh penelitian, adalah dengan memaparkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Seluruh poin ini dibahas tuntas oleh penulis pada bab pertama skripsi ini.
Untuk menjawab dan mendeskripsikan sebagian dari pokok masalah pertama, maka di bab kedua, penulis memaparkan biografi Montesquieu dengan rincian: Sejarah kelahiran dan pendidikan, pengalaman dan aktivitas intelektual, pemikiran dan karya-karyanya; serta pemikiran Montesquieu mengenai hubungan antar lembaga negara yang meliputi: Lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif; hubungan anatar legislatif dan eksekutif; hubungan antara eksekutif dan yudikatif serta hubungan antara legislatif dan yudikatif.
Untuk menjawab dan mendeskripsikan sebagian dari pokok masalah pertama, maka di bab ketiga, penulis memaparkan biografi al-Maududi dengan rincian: Sejarah kelahiran dan pendidikan, pengalaman dan aktivitas intelektual, pemikiran dan karya-karyanya, serta pemikiran al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara yang meliputi: Lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif; hubungan antar legislatif dan eksekutif; hubungan antara eksekutif dan yudikatif serta hubungan antara legislatif dan yudikatif.
Untuk menjawab dan mendeskripsikan pokok masalah kedua dan ketiga, maka di Bab keempat, penulis memaparkan persamaan dan perbedaan pemikiran Montesquieu dan al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara serta konsep yang ideal mengenai hubungan antar lembaga negara. Karena persaman, perbedaan dan konsep yang ideal merupakan unsur-unsur yang saling berkait dan tidak dapat dipisahkan, maka penulis membahsnya dengan membagi bab ini berdasarkan tema, yaitu: hubungan antara legislatif dan eksekutif; hubungan antara eksekutif dan yudikatif serta hubungan antara legislatif dan yudikatif. Di bawah masing-masing tema tersebut kemudian dipaparkan secara tuntas mengenai persamaan dan perbedaan pemikiran Montesquieu dan al-Maududi serta konsep yang ideal mengenai hubungan antara masing-masing lembaga sesuai dengan tema diatasnya.
Untuk menarik kesimpulan yang jelas mengenai hasil penelitian skripsi ini, maka pada bab kelima, penulis memaparkan kesimpulan secara singkat dan padat, ditambah dengan beberapa saran.
BAB II
BIOGRAFI MONTESQUIEU DAN PEMIKIRANNYA MENGENAI HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA
A. Biografi Montesquieu
1. Sejarah kelahiran dan pendidikan
Keluarga Montesquieu termasuk kaum bangsawan; kakeknya adalah Presiden Parlemen Bordeaux, ayahnya, Jacques de Secondat, adalah anggota pengawal kerajaan, dan ibunya, Marie Francoise de Penel, yang wafat saat Montesquieu berumur sebelas tahun, berasal dari keluarga Inggris-Gascon.
Charles Louis de Secondat Baron de la Brede et de Montesquieu lahir di Chateau de la Brede, sekitar sepuluh mil dari Bordeaux, Perancis, pada tanggal 18 Januari 1689. Meskipun berasal dari keluarga yang berada, selama masa kanak-kanak Montesquieu berada di bawah asuhan orang tuanya yang miskin. Karena itu ia mengenal orang-orang miskin sebagai saudaranya sendiri. Pada tahun 1700, ia dikirim ke Fakultas Seni Berpidato di Juilly, dekat Meaux, dimana ia belajar kesusastraan klasik, sejarah dan ilmu pengetahuan umum hingga tahun 1711. Setelah ayahnya meninggal pada tahun 1713, ia berada di bawah asuhan pamannya dari pihak
ayah, Baron de Montesquieu, dan menjadi Dewan Penasehat Parlemen Bordeaux. Pada tahun 1715, ia menikah dengan seorang gadis Protestan, ahli waris perempuan dari sebuah keluarga militer, Jeanne Lartigue, dan dikaruniai tiga orang anak. Namun demikian, profesinya sebagai Dewan Penasehat maupun statusnya sebagai kepala keluarga, tidak menyita banyak perhatiannya untuk menuntut ilmu. Tahun 1716, pamannya wafat dan mewariskan kepada Montesquieu kedudukannya sebagai Presiden Parlemen Bordeaux, kekayaannya dan namanya; Baron de Montesquieu, yang dengan nama itu ia kemudian dikenal. Kemudian pada tahun itu juga ia menjadi anggota The Bordeaux Academy of Sciences dimana ia belajar hukum, adat istiadat serta ilmu pemerintahan negara-negara Eropa.
2. Pengalaman dan aktivitas intelektual
Meskipun memegang jabatan kepresidenan di Parlemen dan beraktivitas selayaknya seorang ahli hukum profesional, Montesquieu kelihatan lebih tertarik pada bidang kepustakaan dan model eksperimen ilmu alam.
Di Akademi Bordeaux, antara tahun 1717 sampai 1723, Montesquieu meng-ajukan sejumlah paper dalam berbagai tema diantaranya tentang politik keagamaan Romawi, sebab-sebab kemabukan, demam yang tiap sebentar kambuh, seluk beluk gema, kelemahan dan berat badan, arus air laut, peninggalan-peninggalan fosil, dan studi tentang bunga merambat. Pada satu kesempatan, ia berencana menulis tentang “Physical History of the Earth” (Sejarah Fisik Bumi) yang untuk itu ia mulai mengumpulkan bahan-bahan di tahun 1719. Namun dua tahun kemudian, ia disibuk-kan oleh topik yang sama sekali berbeda; mempublikasikan karya besar pertamanya di Amsterdam yang berjudul Lettres Persanes (Surat-Surat Orang Persia). Buku yang dipublikasikan pada tahun 1921 ini berisi tentang surat menyurat antara dua orang Persia yang melancong ke Eropa dengan teman mereka di Persia. Melalui surat-surat dari dua orang Persia ini – tokoh fiktif yang diciptakan Montesquieu – Montesquieu bebas megecam dengan penuh sindiran dan cemooh, berbagai kebodohan masyarakat Perancis tentang gaya hidup, pemerintahan, Parlemen, Akademi, Universitas, dan cercaan yang paling sengit dilontarkannya untuk gereja, Paus, dogma dan praktek agama Katolik. Dalam satu tahun buku ini sudah terjual sebanyak empat edisi asli yang sah dan sejumlah besar edisi bajakan. Ketika buku ini dipublikasikan, Montesquieu tidak mencantumkan namanya. Namun nama penulis ternyata segera dapat diketahui oleh masyarakat umum yang kemudian menominasikannya untuk masuk ke dalam French Academy. Tahun 1725, ia diterima di Frenc Academy tetapi tidak diakui oleh Raja Louis XV akibat kecamannya dalam Lettres Persanes. Di tahun berikutnya, Montesquieu menjual masa jabatan kedudukannya di Bordeaux dengan syarat bahwa setelah ia wafat, jabatan itu kembali pada anak laki-lakinya. Setelah itu ia pindah ke Paris untuk mencurahkan perhatiannya pada literatur, dan sekali lagi ia diterima di French Academy, dan diakui di tahun 1728.
Pada tahun itu juga, Montesquieu mulai mengadakan perjalanan panjang keliling Eropa untuk mengobservasi berbagai masalah hukum, masyarakat, dan adat istiadat mereka, yang kemudian dari perjalanan itu menghasilkan karya besar selanjutnya, L`Esprit des Lois. Dalam perjalanannya, ia menyertai Pangeran Waldegrave ke Vienna, mengunjungi Hongaria, singgah beberapa waktu di Venice, Florence, Naples, Genoa, dan Roma dimana ia disambut oleh Cardinal de Polignac dan Benedict XIII. Di tahun 1729, bersama Lord Chasterfield, ia pergi ke Inggris melalui Piedmont dan the Rhine. Selama delapan belas bulan di Inggris, ia menjumpai tokoh-tokoh terkemuka seperti Perdana Menteri Walpole, Swift dan Paus; serta memperoleh wawasan yang luas tentang kehidupan di Inggris. Kemanapun ia berkunjung, Montesquieu membuat catatan yang banyak tentang segala sesuatu yang ia lihat dan dengar, kemudian mempelajarinya dengan penuh semangat. Dan dari pengamatannya terhadap praktek pemerintahan Inggris inilah, ia kemudian menyandarkan pemikirannya tentang hubungan antar lembaga negara.
Setelah absen selama tiga tahun, pada tahun 1731, ia kembali pada keluarga, bisnis, perkebunan anggur dan lahan pertaniannya di Chateau de la Brede. Disana ia sering membagi waktu untuk berkunjung ke Paris, berbaur dengan para sastrawan dan teman-teman mereka di salon Madame de Tencin, du Deffand dan Geoffrin. Namun dalam interaksi itu, ia dengan hati-hati berusaha menghindari hal-hal yang berbau filsafat. Karena meskipun keyakinan agamanya tidak begitu kuat, pemikirannya tidak punya kesamaan dengan pemikiran Voltaire dan teman-temannya yang tidak mengakui adanya Tuhan.
Mulai saat itu, tujuan besar hidupnya adalah menulis L`Esprit des Lois, dan seluruh waktu luangnya dalam sanggar terpencil di la Brede disediakannya untuk itu. Adalah sebuah kebijaksanaan – menurut Montesquieu – untuk menjembatani masa peralihan antara Lettres persanes dengan L`Esprit des Lois dengan menampilkan sebuah karya yang lebih penting dari karya pertama (Lettres Persanes) dan tidak lebih terperinci dari karya yang akan datang (L`Esprit des Lois). Les Considerations sur les causes de la Grandeur et de la decadence des Romains (Studi tentang Faktor-Faktor Penyebab Kejayaan dan Kemunduran Romawi) dipublikasikan pada tahun 1734 di Amsterdam. Dalam buku ini, Montesquieu memaparkan dengan baik tentang kemajuan gemilang dan keruntuhan perlahan yang dialami kerajaan dari mulai berdirinya Roma hingga penaklukan Konstantinopel oleh Turki. Ia tidak mengisahkan berbagai peristiwa secara naratif, namun lebih memfokuskan pada mata rantai hubungan yang terjalin antar peristiwa, dengan anggapan bahwa para pembaca sudah mengetahui gambaran berbagai peristiwa tersebut. Berbeda dengan Bossuet yang dahulu telah menyediakan dua bab dalam karyanya Histoire Universelle untuk menjelaskan rangkaian perubahan di Roma, Montesquieu memaparkan subyek yang sama dengan cara yang lebih luas dan dengan hubungan antar fakta yang lebih dekat.
Secara formal, Montesquieu belum mulai menulis L`Esprit des Lois sebelum tahun 1743. Empat tahun kemudian, setelah naskah tersebut selesai, Montesquieu mengajukannya pada sekelompok sahabatnya, seperti Helvetius, Fontenelle, dan Crebillon the Younger. Meskipun mereka dengan suara bulat menolak pempublikasian buku itu, namun Montesquieu tetap menerbitkannya di Geneva pada tahun 1748. Di Perancis, buku itu mendapat sambutan yang tidak bersahabat dari pendukung maupun penentang rezim Louis XV. Tetapi di negara-negara Eropa lain, terutama di Inggris, buku ini disambut dengan penghargaan yang tinggi.
Dalam L`Esprit des Lois ini Montesquieu mengkaji tentang hukum-hukum masyarakat dan hubungannya dengan pemerintahan, karakter umum dari suatu negara, adat istiadat dan agama yang melingkupinya. Ia berusaha untuk tidak mengkaji berbagai bentuk hukum dan menjelaskan artinya, tetapi untuk menjelaskan prinsip-prinsip dasar hukum dan untuk menentukan beberapa kondisi yang harus diuji apakah suatu hukum itu diberlakukan untuk kebahagiaan manusia dalam masyarakat. Ia mengemukakan pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif; mengecam perbudakan, mendukung perlakuan yang lebih lembut pada pelaku kriminal, toleransi antar umat beragama dan kebebasan dalam menjalankan ibadah. Para negarawan pertama Amerika begitu dekat dengan L`Esprit des Lois dan darinya mereka mendapat ide tentang pemerintahan federal. Thomas Jefferson, pencetus Declaration of Independence, Hamilton, Madison, dan Jay, yang mendukung pembentukan konstitusi baru, mereka semua antusias pada pokok-pokok pemikiran Montesquieu. Kesuksesan buku ini terletak pada pengaruhnya yang begitu besar terhadap sistem politik negara-negara dunia.
Ketika merevisi bagian terakhir dari buku ini, ia berujar: “This work has nearly killed me, and now I shall rest and labor no more.” Di penghujung tahun 1745, Montesquieu berkunjung ke Paris dengan maksud menutup rumahnya disana sehingga ia dapat tinggal tetap menikmati pensiunnya di la Brede. Ketika di Paris, ia diserang demam dan wafat dua minggu kemudian pada tanggal 10 Februari 1755, dan dimakamkan di Gereja St. Sulpice, Paris. Upacara peringatan dilangsungkan untuk-nya oleh The French Academy, The Prussian Academy, dan The British Royal Society. Frederick the Great memberikan penghormatan padanya, dan dalam kaitannya dengan titah Lord Chesterfield, The London Evening Post menyatakan penyesalan atas kematiannya sebagai hilangnya seorang sahabat bagi umat manusia.
3. Pemikiran dan karya-karyanya
Sebelum menulis karya-karya besarnya, Montesquieu juga menghasilkan beberapa paper dan beberapa tulisan yang belum rampung yang ditulisnya saat belajar di Academy of Bordeaux, diantaranya: Le temple de Gnide, Essai sur le Gout, Dia-logue de Syela et d`Eucrate, Arsace et Ismenie, dan lebih dari seratus surat. Karya-karya ini sudah dikumpulkan dalam: Oeuvres Completes de Montesquieu, diedit oleh Edward Laboulaye (7 vols., Paris, 1875-1879); Melanges Inedits de Montesquieu (Bordeaux, 1892); Voyages de Montesquieu (Bordeaux, 1894-1896); dan Pensees et Fragments Inedits de Montesquieu (Bordeaux, 1899-1901).
Disamping berbagai karya tersebut, adalah tiga karya terbesar Montesquieu yang paling berpengaruh, memakan waktu dan pengumpulan bahan yang tidak sedikit, yang menggambarkan pokok pemikiran Montesquieu secara utuh, diantaranya adalah:
a. Lettres Persanes
Lettres Persanes pertama kali dipublikasikan pada tahun 1721 ketika Montes-
quieu berusia tiga puluh dua tahun. Buku ini bercerita tentang tiga orang Persia yang bernama Usbek, Rica dan Rhedi; yang mengembara ke Eropa untuk mempelajari gaya hidup dan adat istiadat di Eropa. Pada suatu waktu, Rhedi berhenti di Venice, sedangkan Usbek dan Rica melanjutkan perjalanan ke Paris. Segera setelah keberangkatan mereka, mulailah terjadi dengan cepat surat menyurat antara pengunjung dari Persia ini dengan istri-istri, para pembantu dan teman-teman mereka di Persia, begitu juga surat menyurat antar pengunjung dari Persia ini sendiri.
Buku ini berisi surat-surat tersebut, tepatnya berjumlah 161 surat dan tidak terdapat uraian cerita diantara surat yang satu dan yang lain. Masing-masing surat lebih mirip dengan sebuah karangan singkat yang menggambarkan beberapa subjek seperti dasar pemerintahan, tradisi religius, gaya hidup dari suatu masyarakat; bahkan ada beberapa surat yang datang dari sanak saudara, istri-istri, dan para pembantu tentang berbagai peristiwa yang terjadi di Persia.
Melalui surat-surat ini, Montesquieu dapat dengan bebas menyindir dan mencemooh dengan tajam Raja dan Gereja dengan berpura-pura seolah-olah pengunjung dari Persia itu yang menulis dan berpendapat demikian. Seperti ketika Usbek berbicara dalam suratnya bahwa ada seorang tukang sulap yang bahkan lebih hebat dari Raja Perancis dengan berkata, “This Magician is called the Pope” dan diteruskan dengan cemoohan lainnya untuk Paus. Pernyataan ini menyebabkan timbulnya kontroversi ketika Montesquieu dicela sebagai seorang “Unbeliever”.
Alur dari sebagian cerita dalam buku ini juga cukup menarik. Ketika Usbek dan Rica menikmati masa pencerahan di Perancis selama tujuh tahun, istri-istri Usbek,selir-selir dan para budaknya semakin merasa resah. Yang terjadi kemudian adalah para istri dan selirnya berselingkuh dengan para budak laki-laki. Dan ketika Usbek mendengar kabar tentang ini dari pembantu kepercayaannya, para wanita dan budak telah menikmati “kebebasan” yang tidak ingin mereka lepas meski melalui kekerasan. Penggalan kisah ini mengusung wacana tentang kebebasan individu dan bagaimana seseorang seharusnya bereaksi menghadapi situasi semacam itu.
Buku ini tidak hanya sukses sebagai karya sejarah, tetapi juga sebagai karya fiksi, filsafat, politik dan uraian religius; dalam banyak hal berisi realitas masa kini, sebagaimana karya ini berisi realitas pada hampir tiga ratus tahun yang lalu.
b. Les Considerations sur les causes de la Grandeur et de la decadence des Romains
Karya ini diterbitkan pertama kali tahun 1734 di Amsterdam – sebagaimana karya sebelumnya – dengan tanpa nama, yang kemudian direvisi pada edisi 1748. Karya ini merupakan salah satu karya-karya pertama dari semua usaha untuk memahami setiap jengkal sejarah Romawi.
Sebagian besar karya ini menggunakan kerangka historis, dimulai dengan asal mula Romawi dan diakhiri dengan keruntuhannya. Keterangan yang terdapat pada ju-dulnya mengindikasikan bahwa Montesquieu kurang tertarik untuk memaparkan seja-rah umum Romawi, atau bahkan juga sejarah kejayaan dan keruntuhannya, tetapi le-bih difokuskan pada penjelasan tentang sebab-sebab dari kejayaan dan keruntuhan itu.
Kekuatan Romawi awal mulanya menampakkan diri di bawah kekuasaan Raja-Raja pertama dan mencapai puncaknya dalam bentuk Republik di bawah Pompey (sekitar 65 SM), yang “…completed the splendid work of Rome`s greatness.” Namun ketika korupsi menggerogoti Romawi dari dalam, sistem republik tidak dapat dipertahankan lebih lama dan diganti dengan kerajaan yang memakai kebiasaan dan lembaga-lembaga warisan dari Republik. Karena satu dan lain hal, kerajaan mengalami keruntuhannya di akhir abad ke-4 Masehi.
Kejayaan Romawi mengandung beberapa sebab diantaranya: kebajikan masyarakatnya, sistem konsul, kebijakan senat, kekuasaan rakyat yang terbatas, konsentrasi perang, kemenangan-kemenangan, pembagian harta rampasan, pembagian tanah yang merata, censorship (pemeriksaan), pembagian kekuasaan politik, dan dukungan senat terhadap militer dan terhadap politik luar negeri.
Sedangkan kemunduran Romawi antara lain disebabkan oleh merosotnya kerjasama antara rakyat dan militer, kesenjangan ekonomi dan kekuasaan, hilangnya identitas kewarganegaraan rakyat Romawi, yang kesemuanya membuat Republik ti-dak mungkin dapat dipertahankan. Montesquieu juga mencurahkan perhatiannya pada perkembangan paham atheisme, materialisme, dan hedonisme yang menyebabkan hancurnya moral, agama, patriotisme dan kebajikan masyarakat Romawi.
Karya ini menjadi salah satu konsep yang nantinya ia kembangkan dalam L`Esprit des Lois.
c. L`Esprit des Lois
Karya terbesar Montesquieu yang terdiri dari tiga puluh satu buku ini diterbitkan pertama kali di Geneva pada tahun 1748.
Dalam kata pengantar dan buku pertama, setidaknya Montesquieu memiliki dua sasaran: untuk memahami perbedaan hukum manusia dan hukum dalam kehidupan secara umum, dan memberi sumbangsih dasar bagi terbentuknya pemerintahan yang bijaksana di setiap tempat. Kemudian ia beralih pada pengujian struktur politik sebagai penghambat konflik sosial. Menurutnya, setiap pemerintahan memiliki hakikat dan prinsip yang padanya hukum haru dihubungkan. Dan jenis-jenis pemerintahan ia kelompokkan pada tiga golongan besar diantaranya Republik (baik Demokrasi maupun Aristokrasi), Monarki dan Despotisme. Persoalan-persoalan di dalam dan luar pemerintahan-pemerintahan tersebut merupakan subjek masalah yang dipaparkan Montesquieu dalam buku kedua sampai dengan buku ke sepuluh. Pada buku kesebelas sampai tiga belas, Montesquieu menganalisis bentuk pemerintahan dengan kebebasan sebagai prinsipnya. Ia menampilkan Inggris sebagai contoh pemerintahan yang objek langsung dari hukum-hukumnya adalah kebebasan dalam arti hak untuk melakukan sesuatu yang diizinkan hukum. Di bagian ini juga Montesquieu membahas tentang pemisahan kekuasaan yang terdiri dari legislatif, eksekutif dan yudikatif;yang jika disatukan pada orang atau lembaga yang sama maka kekuasaan akan sangat terkonsentrasi dan akan timbul kesewenang-wenangan. Buku keempat belas sampai delapan belas memaparkan tentang efek keadaan iklim terhadap bentuk-bentuk perbudakan, dan hubungan antara keadaan tanah dan masyarakat primitif. Buku kesembilan belas menjelaskan hubungan antara hukum dengan prinsip-prinsip moral dan adat suatu bangsa. Buku kedua puluh sampai dua puluh dua menjelaskan hubungan hukum dengan perdagangan. Buku kedua puluh tiga membahas hubungan hukum dengan jumlah penduduk. Buku kedua puluh empat dan dua puluh lima berbicara tentang hubungan hukum dengan agama, dan pada buku kedua puluh enam berisi penyelesaian konflik yang mungkin timbul antar hukum agama (law of religion), hukum kodrat (law of nature), hukum sipil (civil law), hukum politik (political law) dan hukum bangsa-bangsa (law of nations). Pada bagian terakhir, buku kedua puluh tujuh sampai tiga puluh satu, Montesquieu membahas hukum Romawi, Perancis dan Feodal sebagai suplemen tambahan.
Dalam karya ini, Montesquieu memandang hukum sebagai hal yang paling sentral dan paling menentukan tingkah laku manusia. Menurutnya, gagasan tentang sistem hukum merupakan hasil dari kompleksitas berbagai faktor empiris dalam kehidupan manusia. Setidaknya ada dua faktor penyebab utama yang membentuk General Spirit (watak umum masyarakat) yang sangat menentukan struktur sosial politik masyarakat, yaitu faktor fisik dan faktor moral. Faktor fisik yang utama adalah iklim, keadaan geografis, dan kepadatan penduduk yang menghasilkan akibat-akibat fisiologi dan mental tertentu. Sedangkan faktor moral antara lain berupa agama, kebiasaan, ekonomi, perdagangan, cara berpikir dan suasana yang tercipta di peradilan negara.
Dalam karya ini kita akan mendapatkan pembahasan yang cukup rumit namun saling berkaitan secara logika. Dan setelah hampir tiga ratus tahun, karya ini masih tetap menjadi salah satu referensi pokok bagi setiap orang yang berkecimpung dalam dunia politik dan pemerintahan.
B.Pemikiran Montesquieu Mengenai Hubungan Antar Lembaga Negara
Negara-negara yang lahir dan berkembang pada zaman purba seperti Babylonia, Assiria, Mesopotamia dan Mesir Kuno pada umumnya memiliki penguasa yang kekuasaannya bersifat absolut, mutlak dan tidak terbatas. Mereka adalah penguasa tunggal yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam segala bidang, baik perundang-undangan, pemerintahan maupun kehakiman. Untuk mempertahankan sifat kekuasaannya tersebut, antara lain dengan cara melarang orang mengadakan pemikiran dan mengeluarkan pendapat mengenai masalah kenegaraan. Itulah sebabnya bahwa pada zaman purba tersebut ilmu kenegaraan yang menyangkut sumber dan pembatasan kekuasaan belum lahir dan berkembang. Ilmu-ilmu kenegaraan dalam sejarah perkembangan pemikirannya mulai muncul ke permukaan pada sekitar abad ke-5 SM di Athena, Yunani Kuno dengan prinsip demokrasinya. Perkembangan ini muncul akibat kebebasan yang diberikan pada setiap warga untuk berfikir dan berpendapat tentang masalah kenegaraan. Meskipun demokrasi pada masa itu sudah dikenal, namun lahirnya kembali sistem demokrasi pada abad ke-19 seakan-akan merupakan sesuatu yang baru. Ini dikarenakan sejak memasuki zaman Imperium Romawi, zaman abad pertengahan, zaman Renaissance hingga abad ke-18 Masehi, sistem demokrasi ditumbangkan oleh sistem otoriter yang absolut, mutlak dan tidak terbatas. Praktek ketatanegaraan yang absolut inilah yang kemudian dihadapi oleh John Locke di penghujung abad ke-17, Montesquieu, Jean Jacques Rousseau dan Immanuel Kant di abad ke-18. Pemikiran-pemikiran ini kemudian diikuti oleh perkembangan politik yang cukup drastis pada penghujung abad ke-18 di beberapa negara barat. Declaration of Independence dan Bill of Rights di Amerika pada tahun 1776 dan 1778, Declaration des droits de l`homme et du citoyen di Perancis pada tahun 1789, The Parlementary Reform Bill diikuti peralihan system dari oligarki ke demokrasi pada abad ke-19 dan 20 di Inggris.
Dengan adanya gebrakan pemikiran dari beberapa tokoh tersebut – tanpa adanya jaminan kebebasan berpikir dari pemerintah seperti pada masa Yunani Kuno – akhirnya wacana tentang sumber dan pembatasan kekuasaanpun ikut mencuat ke permukaan dengan munculnya teori pemisahan lembaga kekuasaan oleh Locke dan Montesquieu, kedaulatan rakyat oleh Rousseau dan Negara Hukum oleh Immanuel Kant. Munculnya sistem pemerintahan presidensil, parlementer dan referendum yang dianut oleh negara-negara di Eropa, merupakan hasil penafsiran dari teori pemisahan kekuasaan Montesquieu yang membagi kekuasaan tersebut ke dalam tiga lembaga yang terpisah satu sama lain.
Prinsip pemisahan lembaga kekuasaan ini, oleh Montesquieu diawali dengan wacana tentang makna kebebasan. Menurut Montesquieu – sebagaimana yang ia tulis dalam buku kesebelas dari L`Esprit des Lois-nya – kata-kata liberty (kebebasan) memiliki variasi makna yang tak terhingga. Sebagian orang mengunakan istilah itu untuk menggulingkan penguasa tirani. Sebagian lagi menggunakannya sebagai kekuasaan untuk memilih pemimpin yang harus mereka taati. Ada juga yang menyamakannya dengan hak untuk membawa senjata dan menggunakan kekerasan. Yang lain mengartikan kebebasan sebagai hak istimewa untuk diperintah oleh pemimpin pribumi dari daerah mereka sendiri, atau oleh hukum-hukum mereka sendiri. Beberapa orang mengkaitkan kebebasan dengan bentuk pemerintahan yang mereka kehendaki; mereka yang memiliki selera republik mengkaitkan kebebasan pada sistem ini, mereka yang menyukai monarki menerapkannya pada sistem monarki. Jadi mereka semua telah menerapkan istilah kebebasan pada pemerintahan yang paling cocok dengan kebiasaan dan kecenderungan mereka. Oleh karena rakyat dalam sistem republik tidak memiliki pandangan yang pasti dan gamblang mengenai sebab-sebab penderitaan mereka dan juga karena para hakim sepertinya bertindak sesuai hukum, maka secara umum kebebasan dapat dikatakan berada pada sistem republik, bukan pada sistem monarki. Jadi karena dalam sistem demokrasi rakyat kelihatannya dapat berbuat sesuka mereka, maka jenis pemerintahan ini dianggap paling bebas dan kebebasan itu langsung dikaitkan dengan kekuasaan rakyat. Meskipun benar bahwa dalam demokrasi rakyat sepertinya dapat bertindak sesuka mereka, namun kebebasan politik tidaklah berarti kebebasan tanpa batas. Dalam suatu pemerintahan dan komunitas masyarakat yang diatur oleh hukum, kebebasan hanyalah merupakan kekuasaan untuk melakukan sesuatu yang seharusnya kita lakukan dan bukanlah merupakan desakan untuk melakukan sesuatu yang seharusnya tidak kita lakukan. Dengan kata lain, kebebasan adalah hak untuk melakukan segala sesuatu yang dibolehkan hukum. Dan jika seorang warga boleh melakukan sesuatu yang dilarang hukum maka sebenarnya ia tidak dapat merasakan kebebasan lebih lama lagi karena semua warga lain dalam negara itu akan mempunyai kekuasaan yang sama.
Sistem demokrasi dan aristokrasi pada hakikatnya tidaklah bebas. Kebebasan politik – yang didefinisikan sebagai ketenangan pikiran yang timbul dari pendapat bahwa tiap-tiap orang berada dalam keadaan aman – hanya bisa ditemukan dalam pemerintahan yang moderat, bahkan dalam pemerintahan inipun kebebasan politik tidak selalu ditemukan. Kebebasan semacam ini hanya ada ketika tidak ada penyalahgunaan kekuasaan. Namun pengalaman secara terus menerus menunjukkan kepada kita bahwa setiap orang yang dilimpahi kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakannya, dan meluaskan kekuasaan itu sejauh-jauhnya. Karena itu untuk mencegah penyalahgunaan ini maka sudah semestinyalah kekuasan harus dikontrol oleh kekuasan.
Meskipun setiap pemerintahan memiliki tujuan umum yang sama, yaitu kelestarian pemerintahannya, namun masing-masing pasti memiliki tujuan khusus yang berbeda-beda. Perluasan wilayah adalah tujuan Imperium Romawi, perang adalah tujuan Sparta, agama adalah tujuan hukum Yahudi, perdagangan adalah tujuan Marseilles, ketertiban umum adalah tujuan hukum China, pelayaran adalah tujuan hukum Rodesia, kebebasan alami adalah tujuan orang-orang primitif, kesenangan penguasa biasanya adalah tujuan dalam sistem monarki, dan kebebasan individu adalah tujuan yang ingin dicapai hukum Polandia. Dari berbagai tujuan-tujuan khusus tersebut, selanjutnya tanpa terkecuali akan menghasilkan penindasan atas seluruh rakyat. Namun ada juga suatu negara di dunia ini yang mencanangkan kebebasan politik sebagai tujuan langsung konstitusinya. Kebebasan itu dibangun di atas prinsip-prinsip, dan bila prinsip-prinsip tersebut kuat, maka kebebasan akan tampil dengan sempurna. Tidak sulit untuk menemukan kebebasan politik. Jika kita mampu melihat dimana keberadaannya, kebebasan itu akan ditemukan dan kita tidak perlu jauh-jauh untuk mencarinya.
Hilangnya kebebasan politik karena penyalahgunaan kekuasaan mencuatkan prinsip pengontrolan kekuasaan oleh kekuasaan yang oleh Montesquieu dikonkritkan dalam bentuk pemisahan kekuasaan agar kekuasaan tidak terkonsentrai sepenuhnya pada satu tangan atau badan dengan membagi kekuasaan ke dalam tiga lembaga yang saling terpisah; legislatif, eksekutif dan yudikatif. Adalah sebuah kemustahilan membahas pemikiran Montesquieu tentang hubungan antar ketiga lembaga ini tanpa terlebih dahulu memaparkan pandangannya tentang masing-masing lembaga secara terpisah. Di bawah ini adalah pemikiran Montesquieu mengenai ketiga lembaga tersebut dan dilanjutkan dengan hubungan antara ketiganya.
1. Lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif
a. Lembaga legislatif
Lembaga legislatif merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan untuk membuat undang-undang yang bersifat sementara atau tetap, dan mengubah atau menghapus undang-undang yang telah diberlakukan.
Sebagaimana dalam suatu negara yang bebas, dimana setiap warga diberi kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri, maka seharusnyalah kekuasaan legislatif berada dalam seluruh tubuh rakyat. Tetapi karena ini tidak mungkin diterapkan dalam negara yang luas, dan di negara yang kecilpun mengalami banyak kesulitan, maka tepatlah bahwa rakyat seharusnya bertindak melalui wakil-wakil mereka dalam hal yang mereka tidak dapat bertindak sendiri.
Penduduk yang berada dalam kota tertentu dapat mengenal dengan lebih baik kepentingan dan keinginan mereka sendiri daripada penduduk kota lain. Begitu juga mereka dapat menilai dengan lebih baik kemampuan dan kecakapan teman-teman satu kota mereka daripada penduduk kota lain di negara yang sama. Oleh karena itu, para anggota legislatif haruslah tidak dipilih dari badan umum suatu negara; tetapi pada tempatnyalah bahwa dalam setiap kota sedapat mungkin seorang wakil harus terpilih oleh penduduk kota tersebut. Keuntungan besar yang dapat diperoleh dari sistem perwakilan ini adalah kemampuan mereka dalam mendiskusikan persoalan-persoalan umum. Ini karena rakyat yang berkumpul secara keseluruhan sangat tidak patut melakukannya, yang mana hal ini adalah salah satu kesulitan utama untuk menegakkan sistem demokrasi langsung. Semua penduduk yang berada dalam beberapa wilayah pemerintahan harus memiliki hak untuk memberikan suaranya dalam pemilihan wakil rakyat, kecuali para penduduk yang berada dalam situasi sedemikian rupa sehingga dianggap tidak memiliki kehendak sendiri.
Terdapat satu kesalahan besar pada sebagian besar republik kuno, bahwa rakyat memiliki hak untuk mengambil keputusan aktif seperti melaksanakan hukuman mati – sesuatu hal yang mutlak tidak layak mereka lakukan. Mereka semestinya tidak boleh memiliki peranan dalam pemerintahan selain dalam memilih wakil-wakil rakyat, yang masih dalam jangkauan mereka. Karena meskipun hanya sedikit yang dapat mengatakan tingkat kemampuan seseorang secara pasti, tetapi mereka dapat mengetahui secara umum apakah orang yang mereka pilih memiliki kemampuan lebih baik dibanding sebagian besar orang disekitarnya.
Badan Perwakilan tidak boleh dipilih untuk bagian pemerintahan eksekutif, karena tidak begitu cocok. Tetapi lembaga perwakilan ini boleh dipilih untuk membuat undang-undang atau untuk mengawasi apakah hukum telah dijalankan sebagaimana mestinya – suatu hal yang cocok dengan kemampuan mereka yang tidak seorangpun kecuali mereka yang dapat melakukannya dengan tepat.
Dalam suatu negara semacam ini, selalu ada sekelompok orang yang terkenal karena kelahiran, kekayaan dan kehormatan mereka yang tergolong sebagai kaum bangsawan. Namun ketika mereka berbaur dengan rakyat kebanyakan dan hanya memiliki bobot satu suara seperti orang lain, maka kebebasan umum di mata rakyat akan menjadi perbudakan di mata mereka dan mereka tidak berminat untuk mendukungnya karena sebagian besar keputusan rakyat akan menentang mereka. Oleh karena itu, keikutsertaan mereka dalam legislative haruslah seimbang dengan keuntungan-keuntungan mereka lainnya dalam negara; yang dapat terjadi hanya apabila mereka membentuk suatu badan yang memiliki hak untuk memeriksa kebejatan rakyat, sama seperti rakyat memiliki hak untuk melawan mereka apabila mereka berbuat melampaui batas. Oleh karena itulah, kekuasan legislatif harus dipercayakan pada badan yang terdiri dari para bangsawan dan badan lain yang mewakili rakyat, yang masing-masing mengadakan pertemuan dan pertimbangan sendiri, dan memiliki pandangan dan kepentingan sendiri pula. Jika badan legislatif hanya terdiri dari wakil rakyat maka kepentingan kaum bangsawan akan tersingkirkan oleh sebagian besar keputusan rakyat yang menentang mereka. Bagian badan legislatif yang terdiri dari kaum bangsawan sangatlah tepat untuk mengatur dan melunakkan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif yang mewakili rakyat. Lembaga yang terdiri dari kaum bangsawan ini haruslah turun temurun, karena memang begitulah pada hakikatnya dan selanjutnya lembaga ini pasti memiliki kepentingan yang sangat besar untuk mempertahankan hak-hak istimewa mereka yang membangkitkan kecemburuan dan tidak disenangi oleh rakyat, serta selalu terancam dalam negara yang bebas.
Akan tetapi sebagaimana kekuasaan turun temurun dapat tergoda untuk mengejar kepentingan-kepentingan mereka sendiri dan melupakan kepentingan-kepentingan rakyat, maka pada tempatnyalah bila suatu keuntungan dapat diperoleh dengan kemungkinan kerugian di pihak bangsawan. Keuntungan itu adalah dengan tidak memberikan peranan kepada bangsawan dalam legislation (perundang-undangan) kecuali kekuasaan untuk menolak dan bukan untuk memutuskan. Yang dimaksud dengan kekuasaan untuk memutuskan adalah hak untuk menetapkan atau mengubah undang-undang yang telah ditetapkan pihak lain dengan kewenangan mereka sendiri. Dan yang dimaksud dengan kekuasaan untuk menolak adalah hak untuk menghapus atau membatalkan keputusan yang telah ditetapkan pihak lain. Dan meskipun orang yang memiliki kekuasaan untuk menolak juga dapat mempunyai hak untuk menyetujui, namun persetujuan ini diterima tidak lebih sebagai pernyataan bahwa ia bermaksud untuk tidak menggunakan hak istimewanya untuk menolak. Jadi hak menyetujui itu secara otomatis adalah konsekuensi dari adanya hak untuk menolak tersebut.
b. Lembaga eksekutif
Lembaga ini merupakan lembaga yang menyatakan perang dan damai, mengirim atau menerima duta, memelihara keamanan umum, membangun persiapan dalam menghadapi invasi, dan melaksanakan ketentuan perundangan yang ditetapkan oleh badan legislative yang mewakili rakyat.
Kekuasaan eksekutif haruslah berada di tangan seorang Raja, karena cabang pemerintahan ini, yang perlu menyelesaikan berbagai hal dengan cepat, lebih baik bila diurus oleh satu orang daripada banyak orang; berbeda dengan kekuasaan legis-latif yang sering kali lebih baik diurus oleh banyak orang daripada satu orang saja.
Pembahasan tentang wewenang dan perihal kekuasaan eksekutif akan dibicarakan lebih lanjut dalam hubungannya dengan kekuasaan legislatif dan yudikatif di bagian lain bab ini.
c. Lembaga yudikatif
Lembaga ini merupakan lembaga yang menghukum para pelaku kriminal atau memutuskan perselisihan yang timbul antar perseorangan.
Kekuasaan yudikatif tidak boleh diberikan kepada sebuah senat tetap, melainkan harus dijalankan oleh orang-orang yang diambil dari tubuh rakyat pada waktu-waktu tertentu, sesuai dengan bentuk dan cara yang telah ditentukan hukum, untuk membangun sebuah lembaga dalam jangka waktu tertentu yang berlaku hanya selama kebutuhan menghendaki.
Dengan cara ini kekuasaan yudikatif yang begitu menakutkan rakyat menjadi seolah-olah tidak terlihat, karena tidak dilimpahkan kepada suatu pemerintahan atau profesi tertentu. Dengan begitu, rakyat tidak terus menerus dibayangi oleh hakim. Meskipun mereka takut pada lembaganya, namun mereka akan merasa lebih nyaman berhadapan dengan hakim.
Dalam perkara tuduhan yang berat dan bersifat kriminal, si tertuduh – dalam batas tertentu –harus diberi hak untuk memilih sendiri hakim yang akan mengadilinya, sesuai dengan hukum. Atau setidaknya ia diberi hak untuk memisahkan beberapa orang dari sejumlah hakim, sehingga hasil pemilahannya itu dapat dianggap sebagai pilihannya sendiri.
Kekuasaan legislatif dan eksekutif bisa dilimpahkan pada para pejabat atau lembaga yang tetap karena kekuasaan ini tidak diterapkan pada persoalan-persoalan yang bersifat pribadi; dimana kekuasaan legislatif tidak lebih merupakan kehendak umum negara dan kekuasaan eksekutif hanyalah sebagai pelaksana kehendak umum itu. Meskipun kedua kekuasaan ini dapat dilimpahkan pada lembaga yang tetap, namun – sebagaimana telah disinggung di atas – kekuasaan yudikatif tidak boleh dipegang oleh pejabat tetap dan harus melepas kekuasaannya bila perkara yang diadili telah selesai.
Kekuasaan yudikatif sampai tingkat tertentu harus dilaksanakan sesuai dengan bunyi undang-undang. Jika keputusan lembaga ini merupakan pendapat pribadi hakim, maka rakyat akan tetap hidup dalam masyarakat tanpa mengetahui dengan pasti hakikat kewajiban mereka.
Para hakim di lembaga ini juga harus setingkat dan sederajat dengan tertuduh, agar si tertuduh tidak berpikiran bahwa ia jatuh ke tangan orang-orang yang cenderung akan memperlakukannya dengan keras. Melalui lembaga ini, para warga negara yang bisa menjamin bahwa tindakan mereka itu baik sedang mereka dituduh berbuat jahat, dapat dengan leluasa menjawab segala tuduhan tersebut di hadapan suatu sidang sehingga mereka benar-benar bebas dari belenggu kekuasaan apapun selain dari kekuasaan hukum semata.
2. Hubungan antara legislatif dan eksekutif
Pernyataan Montesquieu yang paling popular dalam kaitannya dengan hubungan antar kedua lembaga ini adalah bahwa bila kekuasaan legislatif dan eksekutif disatukan pada orang atau lembaga yang sama, tidak mungkin ada kebebasan, kecuali Raja dan senat sama-sama memberlakukan dan menjalankan hukum dengan sewenang-wenang.
Lembaga legislatif – menurut Montesquieu – dilarang keras memberikan hak untuk memenjarakan warga yang bisa menjamin ketidakbersalahan mereka kepada lembaga eksekutif, karena ini adalah tugas lembaga yudikatif untuk menghadapkannya pada suatu sidang agar kebebasan warga dengan ini dapat terjamin. Tetapi bila lembaga legislatif menganggap dirinya dalam keadaan bahaya oleh karena persekongkolan jahat terhadap negara atau oleh sesuatu yang berhubungan dengan musuh asing, maka lembaga legislatif boleh memberikan otoritas kepada kekuasaan eksekutif – dalam jangka waktu singkat dan terbatas – untuk memenjarakan para tersangka yang dalam hal ini akan kehilangan kebebasan mereka hanya untuk sementara, demi mempertahankan kebebasan untuk selamanya.
Jika dalam keadaan tertentu tidak ada Raja yang memegang kekuasaan eksekutif, maka kekuasaan tersebut tidak boleh dipercayakan pada sejumlah orang tertentu yang diseleksi dari lembaga legislatif, karena dengan begitu kekuasaan eksekutif dan legislatif akan bersatu dan orang yang sama akan bisa memiliki bagian dalam dua kekuasaan ini yang berakibat pada hilangnya kebebasan.
Jika dalam jangka waktu yang lama lembaga legislatif tidak mengadakan pertemuan, maka ini juga akan mengakhiri kebebasan. Karena dengan tidak adanya pertemuan akan menimbulkan setidaknya dua dampak yang logis: Pertama, jika ketetapan-ketetapan legislatif tidak muncul pada waktu yang lama maka tentu negara akan jatuh ke dalam anarkisme tanpa peraturan hukum yang jelas. Kedua, kepasifan legislatif ini juga akan mengakibatkan setiap keputusan yang seharusnya ditetapkan oleh lembaga legislatif akan diambil alih oleh kekuasaan eksekutif yang akan mengubahnya dengan sewenang-wenang.
Meskipun demikian, di sisi lain, lembaga legislatif juga tidak perlu terlalu sering mengadakan pertemuan. Yang demikian akan menyulitkan lembaga perwakilan ini, dan lebih dari itu, akan mengambil alih banyak tugas yang seharusnya berada pada kekuasaan eksekutif.
Di samping itu, jika lembaga legislatif selalu mengadakan pertemuan, maka kemungkinan besar anggota legislatif akan diganti oleh wakil yang baru hanya jika anggota legislatif tersebut meninggal dunia. Dalam hal ini jika kekuasaan legislatif disalahgunakan oleh anggotanya maka penyelewengan akan terjadi terus menerus. Namun jika anggota legislatif dalam waktu tertentu diganti oleh wakil yang lain, maka warga yang memiliki prasangka buruk terhadap anggota tersebut akan terhibur dengan harapan baru pada anggota penggantinya. Tetapi bila lembaga ini hanya terdiri dari anggota yang nyaris permanen, maka ketika rakyat melihat penyalahgunaan kekuasaan di dalamnya, rakyat tidak dapat lagi menemukan banyak kebaikan dari ketetapan-ketetapan legislatif dan hal ini tentu saja membuat rakyat menjadi putus asa dan jatuh dalam penindasan.
Dengan adanya akibat-akibat yang bisa timbul seperti di atas maka seharus-nyalah lembaga legislatif tidak mengadakan pertemuan dengan ketetapan mereka sendiri. Karena sebuah lembaga dianggap tidak memiliki maksud tertentu kecuali ketika mereka mengadakan pertemuan. Dan jika lembaga ini memiliki hak untuk menutup sidang atau pertemuan mereka sendiri, maka mereka bisa-bisa tidak pernah menutupnya. Hal ini akan sangat berbahaya karena dengan begitu lembaga ini akan dapat mencoba untuk melanggar batas-batas kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu, kekuasaan untuk mengatur waktu dan durasi pertemuan lembaga legislatif yang proporsional sesuai dengan kondisi dan kepentingan suatu negara seharusnyalah berada pada lembaga eksekutif.
Seandainya kekuasaan eksekutif tidak berhak mencegah dan mengatasi pelanggaran yang dilakukan lembaga legislatif, maka lembaga legislatif akan betindak sewenang-wenang karena badan ini bisa saja merebut wewenang apapun yang ia kehendaki yang dengan segera akan menghancurkan seluruh kekuasaan lain.
Namun di sisi lain tidaklah tepat bila lembaga legislatif memiliki hak untuk menahan gerak kekuasaan eksekutf. Karena tugas eksekutif untuk melaksanakan ketetapan dari legislatif telah memiliki batas-batas alaminya yaitu berupa ketetapan itu sendiri. Lagipula kekuasaan eksekutif pada umumnya beroperasi pada waktu-waktu tertentu.
Meskipun lembaga legislatif dalam negara bebas tidak berhak menahan gerak kekuasaan eksekutif, lembaga legislatif seharusnyalah berhak dan mempunyai cara untuk memeriksa dengan cara-cara mana hukum telah dilaksanakan oleh eksekutif. Dan isu apapun yang didapat dari pemeriksaan itu, lembaga legislatif tidaklah berwenang mendakwa tindakan orang yang dilimpahi kekuasaan eksekutif itu. Isu-isu yang menyangkut kejelekkan pribadinya harus dirahasiakan karena ini perlu untuk mencegah kesewenang-wenangan lembaga legislatif. Dan bila orang yang memegang kekuasaan eksekutif dituduh dan diadili dalam hal kesalahannya dalam menjalankan hukum, maka kebebasan akan berakhir. Dan bila penyalahgunaan dalam menjalankan hukum itu memang terjadi – yang sebenarnya tidak akan terjadi tanpa kebobrokan yang ada di pihak penasehat eksekutif – maka para penasehat ini dapat diperiksa dan bila perlu dapat dijatuhi hukuman.
Kekuasaan eksekutif harus memiliki kekuasaan untuk menolak dalam kaitannya dengan perundang-undangan, yang jika kekuasaan ini dirampas oleh legislatif, maka akan menghancurkan kekuasaan eksekutif. Jika eksekutif memiliki hak untuk memutuskan, kebebasan akan berakhir. Namun karena eksekutif seharusnya punya peranan dalam perundang-undangan untuk mendukung hak prerogatifnya sendiri, maka peranan ini harus berupa kekuasaan menolak. Karena itu kekuasaan eksekutif tidak punya peranan dalam debat-debat umum maupun pengajuan usul karena kekuasaan ini bisa selalu menolak untuk menyetujui keputusan-keputusan yang akan diambil yang bertentangan dengan kehendak kekuasaan ini.
Jika kekuasaan eksekutif menetapkan pengumpulan uang masyarakat, yang lebih dari sekedar memberi persetujuannya, kebebasan akan berakhir; karena kekuasaan eksekutif akan menggantikan fungsi legislatif dalam soal yang paling sentral dalam perundang-undangan.
Untuk mencegah agar kekuasaan eksekutif tidak menekan, maka angkatan bersenjata yang dipercayakan pada kekuasaan eksekutif haruslah terdiri dari rakyat dan punya semangat seperti rakyat. Mereka harus tinggal bersama rakyat dan tidak boleh menderita di camp, barak atau benteng. Masih dalam rangka mencegah tekanan eksekutif, orang yang dipekerjakan dalam angkatan bersenjata harus punya kekayaan yang cukup untuk mempertanggungjawabkan kelakuan mereka pada sesama warga negara, dan mereka haruslah didaftarkan setiap tahun. Jika ada angkatan bersenjata yang sifatnya tetap yang sebagian besar terdiri dari bagian yang dipandang paling rendah dari negara itu, maka kekuasaan legislatif harus mempunyai hak untuk membubarkan mereka dengan segera, begitu kekuasaan ini menghendakinya.
Karena pada hakikatnya urusan angkatan bersenjata lebih bersifat tindakan daripada pertimbangan, maka pasukan yang sudah terbentuk tidak boleh bergantung langsung pada lembaga legislatif, melainkan harus kepada lembaga eksekutif. Suatu kewajaran bagi umat manusia untuk menilai sifat berani, aktif dan kuat lebih tinggi dari sifat pengecut, hati-hati dan penuh pertimbangan. Oleh karena itu angkatan bersenjata selalu menghormati perwira-perwira mereka sendiri dan selalu meremehkan senat yang dalam pandangan mereka merupakan suatu badan yang terdiri dari orang-orang pengecut dan dengan begitu tidak pantas memerintah mereka. Maka dari itu, bila angkatan bersenjata langsung bergantung seluruhnya pada lembaga legislatif, pemerintahan akan menjadi pemerintahan militer. Jika tidak begitu yang terjadi, maka ini termasuk keadaan yang luar biasa.
Karena segala sesuatu yang bersifat manusiawi akan binasa, maka negara dengan hubungan kekuasaan ini akan kehilangan kebebasannya dan juga akan binasa. Bukankah Roma, Sparta dan Chartage juga binasa? Negara akan binasa ketika kekuasaan legislatif menjadi lebih buruk daripada kekuasaan eksekutif.
3. Hubungan antara eksekutif dan yudikatif
Satu-satunya pernyataan langsung Montesquieu mengenai hubungan kedua kekuasaan ini adalah bahwa jika kekuasaan yudikatif digabungkan dengan kekuasaan eksekutif, maka kekuasaan ini dapat saja bertindak dengan kekerasan dan penindasan.
Lembaga yudikatif yang anggotanya terdiri dari rakyat, yang memegang kekuasaan tersebut dalam waktu yang terbatas, sama sekali terpisah dari lembaga eksekutif dalam hal organ, fungsi maupun kontrol di antara keduanya.
Peranan lembaga yudikatif sangat kecil sekali. Karena hakim-hakim dalam badan ini diambil dari tubuh rakyat, maka yang bisa dihadapkan pada pengadilan yudikatif hanyalah yang berstatus rakyat kebanyakan.
Jika dalam kasus tertentu, salah seorang pejabat dari lembaga eksekutif dalam menjalankan tugasnya melanggar hak-hak rakyat, maka rakyat yang merasa dirugikan, yang dalam hal ini berstatus sebagai penuntut, tidak boleh mengajukan tuntutannya pada pengadilan yudikatif yang hakim-hakimnya juga diambil dari tubuh rakyat. Karena jika rakyat sekaligus menjadi hakim dan penuduh maka kedudukan pihak tertuduh yang berasal dari kaki tangan eksekutif menjadi semakin lemah sehingga keadilan akan sulit untuk ditegakkan.
Pelanggaran yang dilakukan oleh Raja, sebagai pemegang utama kekuasaan eksekutif, dianggap tidak mudah untuk terjadi dikarenakan kedudukan lembaga legislatif yang kuat dalam hal perundang-undangan, hak istimewa Raja yang hanya berupa kekuasaan untuk menolak, dan tugas eksekutif itu sendiri yang hanya sebagai penjalan ketentuan-ketentuan yang telah tercantum dalam perundang-undangan dengan pengawasan dari legislatif. Jika Raja dalam suatu waktu melakukan kesalahan dalam menjalankan hukum, maka tidak ada tempat bagi eksekutif untuk diadili di hadapan badan yudikatif. Seperti yang telah dijelaskan, privasinya harus tetap dijaga dan pemeriksaan lebih lanjut akan dilakukan terhadap penasehat Raja yang jika harus diadilipun tidak boleh dihadapkan pada lembaga yudikatif tetapi harus ditangani sendiri oleh “legislative justice,” pengadilan legislatif yang terdiri dari kaum bangsawan ahli hukum, yang dianggap sebagai badan netral yang tidak memiliki kepentingan untuk memihak; yang hal ini lebih lanjut akan dibahas dalam uraian mengenai hubungan antara legislatif dan yudikatif.
Lembaga yudikatif tidak memiliki peranan untuk mengontrol kekuasaan eksekutif. Begitu juga sebaliknya, pengangkatan dan penentuan masa jabatan yudikatif yang sangat sementara ditentukan oleh undang-undang yang telah ditetapkan legislatif. Eksekutif dalam hal ini hanya sebagai penegak ketentuan tersebut, tak ada indikasi yang menyatakan adanya kontrol langsung lebih lanjut dari lembaga eksekutif terhadap lembaga yudikatif.
4. Hubungan antara legislatif dan yudikatif
Jika lembaga yudikatif – yang dalam definisi Montesquieu pejabat hakimnya diambil dari rakyat dan juga untuk mengadili persoalan-persoalan rakyat – digabungkan dengan lembaga legislatif, kehidupan dan kebebasan warga negara akan berada dalam pengawasan yang sewenang-wenang karena hakim sekaligus akan menjadi legislator atau pembuat hukum.
Meskipun secara umum kekuasaan yudikatif tidak boleh disatukan dengan bagian apapun dari lembaga legislatif, tetapi penyatuan ini berlaku untuk beberapa pengecualian yang didasarkan pada kepentingan-kepentingan tertentu dari pihak tertuduh.
Orang-orang yang besar dan terpandang selalu membangkitkan kecemburuan rakyat. Jika mereka harus diadili rakyat, mereka bisa terancam bahaya oleh kesewenangan hakim mereka, lagipula mereka akan kehilangan hak istimewa yang dimiliki bahkan oleh warga negara yang terkecil sekalipun dalam negara bebas, yaitu hak untuk diadili oleh orang yang setingkat. Karena alasan inilah, kaum bangsawan tidak seharusnya diadili di hadapan badan pengadilan biasa yang terdiri dari rakyat, melainkan harus diadili oleh bagian badan legislatif yang terdiri dari kaum mereka sendiri.
Para hakim negara yang berasal dari tubuh rakyat adalah orang-orang pasif yang tidak lebih daripada mulut yang melafazkan ketentuan-ketentuan hukum. Padahal hukum pada hal-hal tertentu begitu kaku, keras dan buta bila tidak diinterpretasi sesuai dengan kondisi di Lapangan. Oleh karena itu, lembaga legislatif yang terdiri dari kaum bangsawan tadi sangat diperlukan untuk bagian ini sebagai penguasa utama dalam melunakan hukum demi kepentingan hukum itu sendiri, dengan mengurangi hukumannya.
Dapat juga terjadi bahwa seseorang yang dilimpahi wewenang administrasi urusan umum melanggar hak-hak rakyat. Secara umum kekuasaan legislatif tidak dapat mengadili perkara-perkara dan lembaga ini lebih tidak mampu lagi untuk mengadili perkara khusus ini sebagai wakil dari pihak yang dirugikan, yaitu rakyat. Karena itu lembaga ini hanya dapat mencurigai. Tetapi di hadapan pengadilan apa lembaga ini akan mengajukan kecurigaannya? Haruskah lembaga ini merendahkan derajatnya sendiri dan menghadap pengadilan biasa yang kedudukannya lebih rendah dari padanya, dan lebih lagi terdiri dari orang-orang yang dipilih dari rakyat, yang dengan pasti akan dipengaruhi oleh wewenang si penuduh yang sangat kuat? Tentu saja tidak. Untuk mempertahankan martabat rakyat dan keamanan warga, badan legislatif yang mewakili rakyat harus mengajukan tuduhannya di depan lembaga legislatif yang mewakili kaum bangsawan, yang tidak punya kepentingan maupun keinginan yang sama dengan pihak penuduh ataupun pihak-pihak yang dirugikan yaitu rakyat.
Ketika kita berbicara tentang lembaga-lembaga negara dan hubungan antar lembaga tersebut dalam takaran Islam, kita akan menemukan sedikit sekali pedoman eksplisit yang dipaparkan oleh al-Qur`an dan as-Sunnah. Tema ini tidak bisa lepas dari prinsip musyawarah dalam Islam. Petunjuk al-Qur`an mengenai hal ini amat singkat dan hanya mengandung prinsip-prinsip umumnya saja; firman Allah swt:23
فبمارحمة مّن الله لنت لهم ولوكنت فظّاغليظ القلب لاانفضّوامن حولك فاعف عنهم واستغفرلهم وشاورهم فىالأمر فإذا عزمت فتوكّل علىالله انّ الله يحبّ المتوكّلين
Meskipun ayat ini dari segi redaksional ditujukan pada Rasulullah saw agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota masyarakatnya, namun ayat ini juga merupakan petunjuk kepada setiap muslim, khususnya pada setiap pemimpin, agar bermusyawarah dengan anggota-anggotanya.
Dalam surat asy-Syura, Allah swt menyatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang mukmin yang akan mendapat ganjaran yang lebih baik dan kekal di sisi Allah itu adalah:24
والّذين استجابوالربّهم وأقاموالصّلوة وأمرهم شورىبينهم وممّارزقنهم ينفقون
Ayat ini turun sebagai pujian kepada kelompok muslim Madinah (Ansār) yang ber-sedia membela Nabi saw setelah bermusyawarah di rumah Abū Ayyūb al-Ansārˉi. Namun demikian, ayat ini juga berlaku umum, mencakup setiap kelompok yang melakukan musyawarah.25
Membicarakan musyawarah dan orang-orang yang terlibat di dalamnya berkait dengan ayat: 26
يايّهاالّذين امنواأطيعواالله وأطيعواالرّسول واولىالأمرمنكم…
Dalam ayat ini terdapat kalimat ul al-amr, yang diperintahkan untuk ditaati dan yang juga bermakna orang-orang yang terlibat dalam musyawarah karena kata amr disini berkaitan dengan kata amr yang disebutkan dalam surat asy-Syura ayat 38. Karena tidak mudah melibatkan seluruh anggota masyarakat dalam musyawarah itu, maka keterlibatan mereka dapat diwujudkan melalui orang-orang tertentu yang mewakili mereka, yang oleh para ulama diberi nama yang berbeda-beda seperti ahl al- hall wa al-`aqd, ahl al-ijtihād atau ahl asy-syūrā.27
Menurut Muhammad Abduh, yang dimaksud dengan ul al-amr dalam ayat ini adalah ahl al- hall wa al-`aqd dalam arti luas yang mencakup para tokoh pemerintahan, ulama, cendikiawan, pimpinan militer dan tokoh-tokoh pemimpin lainnya yang menjadi rujukan orang dalam berbagai persoalan dan kepentingan umum.28
Dalam sunnah Nabi saw, yang dalam banyak hal menjabarkan petunjuk-petunjuk umum al-Qur`an, perihal musyawarah ini juga tidak dijelaskan rinciannya. Bahkan tidak pula memberikan pola tertentu yang harus diikuti. Itu sebabnya cara suksesi yang dilakukan oleh empat khalifah berbeda-beda diantara satu dengan lainnya.29
Pada dasarnya, sebagai utusan Allah, Nabi saw adalah pemimpin tertinggi yang memegang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif sekaligus. Meskipun demikian, dalam praktek pengambilan keputusan, Nabi saw tidak jarang mengadakan musyawarah dan menerima pendapat dari kalangan sahabat. Begitu juga beliau saw dalam prakteknya mendelegasikan tugas-tugas eksekutif dan yudikatif kepada para sahabat yang dianggap mampu dengan mengangkat seorang waliy, seorang qadi (hakim) dan seorang `amil (pengelola zakat) untuk setiap daerah atau propinsi.30
Setelah Nabi saw wafat, yang otomatis menyebabkan wahyu tidak lagi tu-run untuk masalah-masalah baru dan tak seorangpun yang memiliki otoritas seper-ti yang dimiliki Nabi saw, maka kekuasaan menjadi lebih tidak terfokus dan mun-cul lembaga-lembaga pemerintahan yang lebih kompleks seiring dengan meluas-nya wilayah kekuasaan. Kondisi pemerintahan inilah – disamping praktek pada masa Nabi saw – yang kemudian dijadikan dasar oleh al-Maududi dalam menge-mukakan pemikirannya tentang pemerintahan Islam yang menurutnya merupakan praktek pemerintahan Islam yang paling baik dibanding praktek yang dijalankan oleh daulah Umayah maupun Abbasiah yang cenderung absolut dan tidak lagi berdasarkan pada prinsip syura. Dengan pandangan bahwa dalam praktek al-Khulafa ar-Rasyidūn fungsi-fungsi lembaga negara – seperti merumuskan perun-dangan, menjalankan hukum, dan mengadili perkara – telah berjalan dengan ba-tasan yang jelas, maka al-Maududi memaparkan lembaga-lembaga negara Islam dengan terlebih dahulu meminjam terminologi politik barat yaitu legislatif bagi perumus undang-undang, eksekutif bagi pelaksana undang-undang dan yudikatif bagi pemutus perkara berdasar undang-undang.30
1. Lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif
a. Lembaga legislatif
Pada masa Nabi saw, ada dua jenis kelompok orang yang menjadi anggota Majelis Syura. Yang pertama yaitu orang-orang yang bersekutu dengan Nabi saw sejak permulaan sekali; dan yang kedua, orang-orang yang kemudian menjadi ter-kemuka karena pengorbanan, wawasan dan kemampuan mereka. Adalah sesuatu yang alami jika tokoh-tokoh yang lewat upayanya telah menumbuhsuburkan Islam dan telah mendapat kepercayaan dari umat Islam dengan seleksi alamiah ini harus diikutsertakan dalam Majelis Syura dengan kepemimpinan Nabi saw. Orang-orang ini merupakan wakil rakyat dan anggota Majelis Syura dengan kepercayaan kaum muslimin dengan tingkat yang sedemikian rupa sehingga jika pemilihan dalam bentuk modern harus dilaksanakan maka orang-orang ini jugalah yang akan terpilih. Begitu juga pada masa Khalifah yang empat, kedua kelompok orang ini juga terpilih melalui proses seleksi alamiah dan secara otomatis termasuk dalam Majelis Syura dengan para Khalifah sebagai pemegang eksekutif-nya. Dan meskipun pemilihan umum harus dilaksanakan, maka mereka jugalah yang akan terpilih dan menerima persetujuan publik.31
Inilah kelompok orang yang menjalankan fungsi legislatif dan dikenal da-lam terminologi fiqih dengan sebutan ahl al- hall wa al-`aqd (lembaga penengah dan pemberi ketetapan), dan kelompok ini jugalah yang tanpa sarannya akan me-nyebabkan tidak dapat dilaksanakannya keputusan yang berkaitan dengan semua masalah penting. Lembaga ini memegang kedudukan yang sangat dipercaya dan diberi hak untuk mengambil keputusan-keputusan bersama mengenai semua masalah penting yang menyangkut umat. Lembaga ini jugalah yang bertindak sebagai ahl asy-syūrā yang diberi hak untuk memberi saran-saran kepada Khalifah mengenai masalah-masalah penting yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.32
Karena lembaga ini harus terdiri dari orang-orang yang dipercaya oleh rakyat, maka, setelah mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan masa sekarang, kita dapat mengambil semua cara-cara yang mungkin dan diperbolehkan untuk dapat menentukan dengan benar orang-orang yang paling besar mendapat kepercayaan masyarakat.33
Dalam lembaga ini haruslah tidak terdapat partai oposisi tertentu. Seluruh majelis adalah partai penguasa eksekutif sepanjang ia tetap berada di jalur yang benar. Tetapi segera setelah ia menyimpang, seluruh majelis secara otomatis berubah menjadi partai oposisi.34 Kita harus merombak sistem ketaatan pada partai tertentu yang dominan, yang menjadi perantara pendapat masyarakat hingga menjadi kriteria untuk menilai benar dan tidak benar. Ini akan memungkinkan salah satu kelompak yang terlalu memprioritaskan kepentingan golongan atau partai di atas kepentingan masyarakat akan menjadi berkuasa dan merajalela.35 Jika keadaan menjadi demikian, maka pembentukan partai-partai atau golongan-golongan dalam dewan legislatif harus dilarang oleh undang-undang. Namun ini bukan berarti negara tidak menyediakan tempat bagi timbulnya partai-partai. Berbagai partai negara boleh saja mengambil bagian dalam pemilihan sebagai partai-partai yang mengirimkan anggota-anggota terbaiknya bagi dewan-dewan legislatif. Tetapi segera setelah pemilihan usai, para anggota dewan harus sepenuhnya mentaati negara, undang-undang dasar dan harus memberi suara serta bertindak sesuai dengan kesadaran mereka masing-masing tanpa ada paksaan yang didasarkan pada kepentingan partai-partai tertentu yang bertentangan dengan kepentingan umat.36 Terlepasnya anggota majelis dari pengaruh kepentingan golongan dan keharusan mereka untuk taat pada undang-undang dasar inilah yang dimaksud al-Maududi dengan menganut partai penguasa eksekutif selama tidak terjadi penyelewengan oleh penguasa eksekutif itu sendiri. Di satu sisi adanya pengawasan terhadap partai yang hanya mengutamakan kepentingan yang menguntungkan golongan, dan di sisi lain pengawasan ketat terhadap penguasa eksekutif dalam bentuk penolakan dari seluruh anggota majelis atas penyelewengan eksekutif terhadap undang-undang dasar.37
Lembaga legislatif dalam suatu negara Islam memiliki beberapa fungsi yang harus dijalankannya. Pertama, bila terdapat pedoman yang jelas dalam al-Qur`an dan as-Sunnah maka lembaga harus menegakkannya dalam bentuk pasal demi pasal, menggunakan definisi-definisi dan rincian yang relevan, serta menetapkan peraturan-peraturan untuk mengundangkannya. Kedua, bila pedoman-pedoman al-Qur`an dan as-Sunnah mempunyai kemungkinan interpretasi lebih dari satu, maka legislatif harus memutuskan interpretasi mana yang harus dituangkan dalam undang-undang dasar. Untuk tujuan ini maka lembaga legislatif haruslah beranggotakan orang-orang terpelajar yang memiliki kemampuan dan kapasitas untuk menafsirkan printah-perintah al-Qur`an. Ketiga, bila tidak ada isyarat yang jelas dalam al-Qur`an dan as-Sunnah, legislatif harus menetapkan hukumnya dengan tetap menjaga semangat hukum Islam atau dengan menganut hukum yang telah tercantum dalam kitab-kitab fiqih mengenai masalah tersebut dengan memilih salah satu diantaranya. Keempat, bila al-Qur`an dan as-Sunnah tidak memberikan pedoman yang sifatnya dasar sekalipun, begitu juga dalam konvensi khalifah yang empat, lembaga legislatif dapat merumuskan hukum tanpa batasan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dan semangat syari`ah, berdasar prinsip bahwa apapun yang tidak dilarang oleh hukum maka berarti diperbolehkan.38
b. Lembaga eksekutif
Menurut al-Maududi, lembaga eksekutif dalam Islam dinyatakan dengan istilah ul al-amr dan dikepalai oleh seorang Amir atau Khalifah.39 Berdasarkan al-Qur`an dan as-Sunnah, umat Islam diperintahkan untuk mentaatinya dengan syarat bahwa lembaga eksekutif ini mentaati Allah dan Rasul-Nya serta menghindari dosa dan pelanggaran.40 Al-Maududi mendasarkannya pada firman Allah swt dalam al-Qur`an:41
…ولاتطع من أغفلناقلبه عن ذكرناواتّبع هواه وكان أمره فرطا
Juga firman-Nya dalam surat asy-Syu`arā:42
ولاتطيعواأمرالمسرفين الّذين يفسدون فىالأرض ولايصلحون
Dan beberapa Hadis seperti:
لاطاعة في معصية الله إنّماالطّاعة فىالمعروف43
Dengan mengutip sebagian pidato Abu Bakar sesaat setelah dibai`at sebagai Kha-lifah dari riwayat Hussain Haykal, al-Maududi menyatakannya sebagai isi sumpah umum yang harus diucapkan oleh seorang Kepala Negara Islam.44
Dalam suatu negara Islam, pemilihan Kepala Negara harus dilaksanakan dengan prinsip kehendak bebas kaum muslimin tanpa adnya pemaksaan, ancaman atau kekerasan;45 dan tidak ada satu klan atau satu kelompok pun yang memonopoli jabatan ini. Tentang mekanisme lebih rinci mengenai pemilihan ini haruslah disesuaikan dengan tempat dan kondisi suatu negara karena metode-metode ini dirancang hanya untuk menentukan siapa yang paling dipercaya oleh umat dari suatu bangsa.46
Dalam kaitannya dengan hadis mengenai khalifah harus dari suku Qura-isy,47 al-Maududi menjelaskan bahwa hal ini bukanlah berarti hak kekhalifahan hanya untuk satu suku saja yakni Quraisy, tapi sebabnya adalah kondisi masa itu yang mengharuskan diisinya jabatan khalifah hanya oleh seorang dari suku Qura-isy sebagai suku yang memiliki sifat-sifat khusus dalam mencegah timbulnya per-selisihan. Rasulullah saw sendiri ketika menasehati agar jabatan khalifah berada di tangan suku Quraisy juga menjelaskan bahwa jabatan ini tetap berada dikalangan mereka selama masih ada sifat-sifat khusus pada diri mereka. Maka secara otomatis jabatan khalifah ini akan berada di luar lingkungan Quraisy apabila telah tiada lagi sifat-sifat tersebut.48 Uraian ini dan uraian serupa al-Maududi dalam bukunya yang lain telah memaparkan dengan jelas bagaimana sikap al-Maududi dalam kaitannya dengan hadis kekhalifahan suku Quraisy tersebut.49
c. Lembaga yudikatif
Lembaga yang dalam terminologi hukum Islam dikenal sebagai Qada ini memiliki wewenang sebagai pemutus berbagai perkara dan perselisihan yang timbul di kalangan rakyat.50
Dalam hubungannya dengan al-Qur`an surat an-Nisa ayat 59, al-Maududi melumrahkan seseorang untuk saling berbeda pendapat dengan pemimpin mereka. Dalam keadaan semacam ini, putusan yang berdasar al-Qur`an dan as-Sunnah haruslah diterima sebagai putusan final baik oleh rakyat maupun penguasa itu sendiri. Implikasinya adalah bahwa harus ada suatu lembaga yang khusus menangani atau memutuskan pertikaian ini berdasarkan hukum Islam. Namun syari`ah tidak menggariskan bentuk lembaga ini secara pasti. Lembaga tempat penampungan wewenang ini dapat saja berbentuk lembaga kaum ulama ataupun yang disebut sebagai Mahkamah Agung.51
Semua pengadilan yang lebih rendah harus secara yudisial dan administratif berada di bawah Mahkamah Agung. Penunjukkan, pemecatan, penahanan, penaikan pangkat, pemberhentian dan pemindahan para hakim dan pejabat-pejabat pengadilan yang lebih rendah lainnya haruslah sepenuhnya berada di tangan Mahkamah Agung.52
2. Hubungan antara legislatif dan eksekutif
Di bawah ini saya mencoba memaparkan pemikiran al-Maududi tentang masalah ini secara utuh, dengan sangat menyayangkan sebagian pemikir yang mengkaji konsep al-Maududi secara setengah-setengah dan cepat-cepat menarik kesimpulan secara serampangan tanpa dasar yang jelas.
Praktek yang dijalankan oleh al-Khulafa ar-Rasyidūn telah memberi kita pedoman untuk menyimpulkan bahwa tanggung jawab de facto semua urusan pemerintahan ada pada Kepala Negara. Dan meskipun Kepala Negara ini – lanjut al-Maududi – diharuskan untuk bermusyawarah dengan para penasehatnya (legislatif), tetapi ia tidak diharuskan untuk menerima, mengikuti atau menganut keputusan atau pandangan berdasarkan mufakat atau keputusan mayoritas mereka. Dengan kata lain, ia dapat selalu menggunakan hak vetonya. Tetapi, jika dilaksanakan dengan bentuknya yang persis, hal ini akan menyebabkan timbulnya kesalahpahaman besar karena dalam masyarakat modern, rakyat mencoba menafsirkan hal-hal ini dengan merujuk pada lingkungan politik masa kini, dengan sama sekali mengabaikan latar belakang yang menyertai berbagai konvensi tersebut. Pada masa Khalifah yang empat, alasan para sahabat secara sukarela menerima keputusan khalifah sebagian besar bukan disebabkan oleh hak veto khalifah yang mengharuskan mereka menerimanya, melainkan pada kenyataan bahwa para sahabat ini memiliki keyakinan mutlak atas wawasan dan hikmah Islam beliau dengan lebih memilih pendapat khalifah pribadi daripada pendapat mereka demi kepentingan negara, mereka merujukkan diri pada pendapat khalifah dengan penuh keikhlasan. Bahkan sesudahnya mereka mengakui bahwa pandangan khalifah adalah lebih baik dari mereka.53 Dari uraian ini kita dapat melihat dalam kondisi bagaimana konvensi tersebut tercipta. Tetapi bila diterapkan pada kondisi sekarang, dimana negara kita belum memungkinkan untuk membentuk badan permusyawaratan sekaliber diatas, maka tidak ada alternatif lain kecuali dengan membatasi dan menundukkan lembaga eksekutif kepada keputusan mayoritas lembaga legislatif.54
Berdasarkan tuntutan-tuntutan kebutuhan kita pada masa sekarang, kita dapat mempertimbangkan kembali kekuasan Kepala Negara dan mengubahnya sesuai dengan kebutuhan mengingat pada zaman sekarang ini kita sangat sulit menemukan seorang Kepala Negara yang kaliber dan standar ruhaniahnya setingkat dengan para Khalifah yang empat. Oleh karenanya kita dapat mempertimbangkan serta membatasi kekuasaan adminstratif mereka untuk melindungi diri terhadap kecenderungan kediktatoran mereka.55
Seorang Kepala Negara sama sekali tidak memiliki hak untuk mengangkat orang-orang tertentu sebagai anggota majelis permusyawaratan. Anggota majelis haruslah terdiri dari orang-orang yang memperoleh kepercayaan dari masyarakat sendiri.56
Setiap anggota parlemen maupun menteri-menteri memiliki kemerdekaan penuh untuk memberi suara mendukung atau menentangnya mengenai masalah apapun. Kepala Negara tidak hanya dapat dimintai pertanggungjawabannya di hadapan parlemen, tetapi juga di depan rakyat. Lima kali sehari ia harus menghadapi rakyat di Masjid dan harus menyampaikan pidatonya setiap hari Jum`at pada rakyat. Setiap anggota masyarakat memiliki hak untuk menghentikannya di jalanan untuk menanyakan perbuatannya atau untuk menuntut hak apapundarinya. Dan dari sumbah umum yang diucapkan oleh Kepala Negara – seperti telah dipaparkan di muka – yang dikutip dari bagian pidato Abu Bakar, menggambarkan pengawasan ketat dari legislatif dan hak penuh bagi parlemen atau majelis untuk meluruskan penyelewengan Kepala Negara dan menentang penyimpangan yang dilakukannya..57
Dalam keadaan bagaimanapun, Kepala Negara sama sekali tidak memiliki hak untuk mencabut undang-undang dasar. Hak maksimal yang dapat diberikan kepada Kepala Negara adalah hak untuk mencabut undang-undang dasar hanya jika negara dalam keadaan darurat dan maksimal hanya di satu propinsi dan hanya dalam jangka waktu yang sangat ditentukan batasannya. Hak mutlak untuk mencabut seluruh atau sebagian undang-undang dasar akan menciptakan kediktatoran.58 Begitu juga Kepala Negara tidak memiliki hak untuk menyelenggarakan pemerintahan tanpa majelis permusyawaratan. Dan badan yang diberi wewenang untuk memilih Kepala Negara yaitu majelis permusyawaraan ini, juga memiliki wewenang untuk memberhuentikannya melalui suaru mayoritas.59
3. Hubungan antara eksekutif dan yudikatif
Pada masa al-Khulafa ar-Rasyidūn, setiap hakim yang diangkat oleh Khalifah berada dalam keadaan bebas merdeka untuk memperlakukan para khalifah seperti salah seorang diantara rakyat awam, dan mengadili mereka apabila ada perkara yang dihadapkan melawan mereka.60 Seorang hakim dapat menjatuhkan keputusan yang merugikan para khalifah itu sendiri, bahkan dalam prakteknya seringkali membuat keputusan melawan mereka.61
Namun ketika pemerintahan mulai dijalankan oleh Dinasti Umayah, para Raja dan penguasa tidak lagi memberi kebebasan kepada para hakim untuk memutuskan perkara secara adil. Keadilan sulit untuk dicapai dalam perkara-perkara yang diajukan melawan para Amir, gubernur dan antek antek penguasa. Hal ini menyebabkan sejumlah ulama baik-baik menolak untuk menerima jabatan dalam peradilan.62 Tindakan melampaui batas yang dilakukan oleh lembaga eksekutif terhadap lembaga yudikatif ini berlangsung sedemikian rupa sehingga seorang gubernur berhak memecat dan mengangkat para hakim, padahal kekuasaan ini di masa Khalifah Empat hanya berada pada tangan Khalifah.63
Karena itu, lembaga yudikatif haruslah bersifat bebas dan terlepas dari segala campur tangan, tekanan atau pengaruh, sehingga ia dapat memutuskan perkara baik yang melawan rakyat maupun penguasa sesuai dengan konstitusi tanpa rasa takut atau penyimpangan. Dan menjadi kewajibannya untuk memutuskan perkara-perkara dengan benar dan adil tanpa terpengaruh oleh kecenderungannya sendiri maupun kecenderungan-kecenderungan orang lain.64
Tidak ada seorangpun dalam negara, meskipun Kepala Negaranya sendiri, yang berada di atas hukum atau di luar jangkauan yurisdiksi. Setiap warga negara harus memiliki hak untuk sebebas-bebasnya mencari perlindungan dari setiap pejabat negara (termasuk Kepala Negara) terhadap malapetaka yang ditimbulkan oleh pihak mereka dalam kedudukannya sebagai pribadi maupun pejabat. Hak untuk menggugat siapapun yang menyebabkan kerugian bagi seseorang dalam suatu negara Islam merupakan hak asasi setiap warga negara, sehingga baik kaum muslim maupun zimmi dapat menerapkannya bukan hanya kepada Khalifah tetapi juga kepada Rasulullah saw sendiri. Dengan demikian tidak ada satu kekuasaan pun yang diperkenankan untuk merampas hak ini dari warga negara Islam.65
Mengenai masalah pemberian kekuasaan penahanan preventif kepada pihak eksekutif, undang-undang harus memberi batasan yang jelas tentang pelanggaran-pelanggaran apa saja yang terhadapnya kekuasaan ini berlaku. Setiap orang yang ditahan di bawah undang-undang ini harus dihadapkan ke sidang pengadilan dengan tuduhan yang pasti dan harus diberi semua fasilitas dan kesempatan yang cukup untuk membuktikan ketidakbersalahannya. Pengadilan-pengadilan harus memiliki kekuasaan tak terbatas untuk memperoleh semua jenis pembuktian yang diperlukan. Pihak eksekutif tidak diperkenankan mendapatkan hak istimewa untuk menahan semua barang bukti yang dipandang penting oleh pengadilan untuk menjatuhkan vonis. Penahanan atas warga negara tidak boleh sama sekali dilaksanakan hanya sekedar untuk memuaskan pihak eksekutif saja. Hanya sidang pengadilanlah – jika merasa pasti mengenai kesalahan seseorang – yang harus memiliki kekuasaan untuk memerintahkan penahanan dan memutuskan jangka waktu penahanan. Pengalaman masa lalu menyatakan bahwa para penguasa sering menyalahgunakan hak ini dengan dalih keadaan darurat dan merampas hak-hak asasi pihak tertahan dengan perbuatan sewenang-wenang, memperpanjang masa penahanan dengan alasan yang tak berdasar. Kebolehan maksimal yang dapat diberikan dalam kaitan ini adalah dalam kasus perang, para pemberontak yang didakwa dengan tuntutan berat, persekongkolan jahat menentang pemerintah, atau pemberontakan bersenjata. Tetapi kekuasaan untuk menahan ini tidak boleh diberikan langsung pada pihak eksekutif tanpa terlebih dahulu ada perintah penahanan dari pihak pengadilan.66
Kepala Negara Islam tidak boleh diberi hak-hak prerogatif kecuali untuk beberapa hal. Pertama, hak memberi grasi bagi para terhukum yang divonis atas pelanggaran politik maupun administratif, demi kepentingan masyarakat umum. Kedua, memperingan hukuman mati menjadi bentuk hukuman lainnya, pun bukan dengan alasan hak prerogatif melainkan dengan meninjau kasus yang sebenarnya. Disarankan agar dibentuk komite yudisial yang lebih tinggi untuk membantu dan memberi saran kepada Kepala Negara mengenai kasus ini. Di luar ini, Kepala Negara tidak boleh diberi kekuasaan lagi khususnya dalam hal penetapan vonis atau hukuman. Begitu juga grasi dari eksekutif untuk membenarkan terhukum dalam kasus kriminal, tidak mendapat tempat dalam konsep keadilan Islam. Kekuasaan-kekuasaan semacam ini diperalat ole despotic monarchs untuk melaksanakan “hak Ilahi” dan kekuasaan tak terbatas mereka atas rakyat.67
4. Hubungan antara legislatif dan yudikatif
Pada masa al-Khulafa ar-Rasyidūn, para anggota legislatif memiliki wawasan yang dalam, berbobot dan benar didasarkan pada al-Qur`an dan as-Sunnah dalam penetapan hukum sehingga hampir tidak ada kemungkinan akan terjadi legislasi yang bertentangan dengan al-Qur`an dan as-Sunnah. Oleh karena itu, pada masa itu lembaga yudikatif tidak menikmati kekuasaan menolak ketentuan yang diundangkan legislatif. Setidaknya, tidak ada contoh bahwa pernah ada seorang Qadi melakukan hal ini. Tetapi bila kita terapkan pada masa sekarang dimana kondisinya tidak lagi dapat diandalkan, maka satu-satunya cara yang memuaskan adalah memberi kekuasaan kepada lembaga yudikatif untuk membatalkan semua hukum dan perundang-undangan yang bertentangan dengan al-Qur`an dan as-Sunnah.68
Selanjutnya, juga harus ada pasal khusus dalam undang-undang dasar yang menyatakan bahwa setiap warga negara akan memiliki hak untuk menggugat di Mahkamah Agung atas semua perundang-undangan yang telah diundangkan lembaga legislatif dengan alasan bahwa perundang-undangan tersebut bertentangan dengan pedoman-pedoman al-Qur`an dan as-Sunnah, dan oleh karenanya, bertentangan dengan undang-undang dasar.69
Dengan demikian, Mahkamah Agung harus memiliki yurisdiksi yang melekat dan orisinil untuk melaksanakan dan memutuskan kasus-kasus yang menggugat keabsahan legislasi yang diundangkan oleh lembaga-lembaga legislatif pusat dan daerah, jika peraturan perundang-undangan tersebut dianggap berten-tangan dengan jiwa dan semangat undang-undang dasar.70
BAB IV
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN PEMIKIRAN MONTESQUIEU DAN AL-MAUDUDI MENGENAI HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA
A. Hubungan Antara Legislatif dan Eksekutif
Baik Montesquieu maupun al-Maududi sama-sama menegaskan adanya pemisahan organ antara legislatif dan eksekutif. Meskipun pada dasarnya, pemisahan organ antar kedua lembaga ini bukanlah urgensitas yang harus dijalankan secara utuh dan ketat. Bukanlah menjadi persoalan bila dalam suatu negara seorang anggota kabinet juga merangkap sebagai anggota parlemen seperti yang terjadi di Inggris misalnya. Meskipun demikian, merangkapnya jabatan kedua lembaga ini memberi peluang bagi timbulnya berbagai kecenderungan yang negatif. Perangkapan ini akan semakin memperbesar wewenang eksekutif dalam pembentukan undang-undang dan di sisi lain akan memperlemah fungsi kontrol legislatif terhadap eksekutif dikarenakan organ eksekutif juga merangkap sebagai organ legislatif. Karena itu dalam rangka penerapan prinsip Syura dengan membentuk undang-undang melalui musyawarah yang lebih terbuka serta memperkuat fungsi kontrol legislatif terhadap berbagai kebijakan eksekutif, maka adalah sebuah tindakan yang tepat bila organ kedua lembaga ini harus terpisah satu sama lain.
Montesquieu menegaskan adanya peran legislatif yang dimainkan pihak eksekutif; dan peran itu haruslah hanya berupa hak untuk menolak undang-undang. Sedangkan al-Maududi menetapkan penundukan keputusan eksekutif di bawah keputusan mayoritas legislatif. Sebelum menganalisis lebih jauh kedua pendapat ini, kita harus mengingat bahwa pembahasan tentang pengaturan wewenang antara legislatif dan eksekutif perihal pembentukan undang-undang adalah suatu hal yang paing sensitif dalam ilmu tata pemerintahan; lebih-lebih undang-undang yang mengatur batas-batas wewenang kedua lembaga tersebut untuk periode ke depan.
Beberapa kegoncangan telah tercatat dalam kaitannya dengan penetapan wewenang legislatif dan eksekutif dalam perundang-undangan. Ketika berlangsungnya pembentukan konstitusi pertama bagi Kerajaan Turki Usmani yaitu Undang-Undang Dasar 1876, Yeni Usmanlilar (Usmani Muda) – sebuah perkumpulan yang berdiri tahun 1865 dengan tujuan untuk merubah pemerintahan absolut Kerajaan Usmani menjadi pemerintahan konstitusianal – terpaksa harus sedikit mengalah dari Sultan Abdul Hamid – penguasa eksekutif Kerajaan Usmani periode 1876 sampai 1909 – yang bersikeras bahwa tercantumnya hak-hak yang ia kehendaki adalah syarat untuk dapatnya konstitusi itu diterima dan diumumkan. Akibatnya, meskipun Usmani Muda berhasil membentuk konstitusi bagi Kerajaan Usmani, namun mereka tidak berhasil membatasi kekuasaan absolut Sultan dikarenakan konstitusi tersebut memuat hak-hak dan kekuasaan yang begitu besar untuk Sultan. Begitu juga pasal mengenai pembentukan undang-undang yang diatur dalam pasal 54 dimana disebutkan bahwa rencana undang-undang harus mendapat persetujuan Sultan, tetapi tidak dijelaskan bagaimana kalau rencana undang-undang tertentu ditolak Sultan dan sebagai gantinya ia keluarkan firman atau keputusan Sultan, dan tidak ada penegasan bahwa firman yang demikian itu tidak dapat menjadi undang-undang. Tanpa persetujuan Sultan, konstitusi ini (UUD 1876) tidak akan ada, dan konstitusi yang akan banyak membatasi kekuasaan Sultan sudah barang tentu tidak akan mendapat persetujuan Sultan. Rasanya tidak mungkin seseorang bersedia mengurangi kekuasaannya dengan kemauan sendiri.1
Sebuah penyelewengan yang dianggap cukup tabu dalam sebuah sistem demokrasi, juga terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) di Indonesia ketika Tata Tertib Peraturan Presiden No. 14 / 1960 memberikan wewenang kepada Presiden untuk memutuskan permasalahan yang tidak dapat dicapai mufakatnya oleh anggota legislatif. Dimana hal ini segera dikoreksi oleh Tata Tertib DPR-GR pada masa Demokrasi Pancasila dengan menghapuskan ketentuan tersebut.2
Dalam naskah perubahan pertama UUD 1945 yang telah disahkan dalam Sidang Umum MPR 1999 pada Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) menggambarkan telah terjadinya pergeseran dalam penyelenggaraan kekuasaan legislatif dari Presiden ke lembaga DPR.3 Hal ini disebabkan pada masa sebelumnya kedudukan Presiden dalam bidang legislatif jauh lebih besar daripada Dewan Perwakilan Rakyat.4 Meskipun demikian, adanya pasal-pasal ini tidaklah dengan sendirinya menjadikan DPR berada diatas angin dalm hal pembentukan undang-undang. Terhadap RUU yang sudah disetujui bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2) – meskipun merupakan hasil suara terbanyak yang dimenangkan oposisi eksekutif, namun sudah dianggap sebagai persetujuan bersama – Presiden yang kepentingannya dikalahkan dalam persidangan tersebut masih dapat menggunakan haknya – sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (4) – untuk tidak mengesahkan suatu RUU dengan cara tidak menandatangani pengundangan RUU tersebut. Hak inilah yang biasa disebut sebagai hak veto Presiden. Hak ini – sebagai aplikasi dari hak untuk menolak yang digagas Montesquieu – bisa kita temukan dimana-mana. Dan untuk mencegah kesewenang-wenangan Presiden, hak veto ini harus pula dibatasi. Di Amerika Serikat, apabila suatu undang-undang yang telah disahkan parlemen diveto oleh Presiden, maka parlemen dapat menggagalkan veto Presiden dengan syarat RUU tersebut kemudian disetujui oleh parlemen yang dua per tiga dari anggotanya hadir dan disetujui dua per tiga anggota parlemen yang hadir.5 Sedang di Perancis, dalam menggunakan veto-nya, Presiden dapat mengajukan langsung kepada rakyat supaya diputuskan dalam suatu referendum, atau dapat meminta pertimbangan pada Mahkamah Konstitusionil – sebuah lembaga penguji undang-undang (judicial review)6 yang terdiri dari hakim-hakim Mahkamah Agung ditambah dengan beberapa hakim lain.7
Kecenderungan yang terjadi dalam praktek, penggunaan hak veto dan hak mengajukan RUU oleh Presiden sangat mendominasi pembentukan undang-undang sehingga ketentuan yang mengidealkan peran parlemen di bidang legislatif nyaris hanya bersifat formalitas belaka. Sebagai contoh selama tahun1970-an dan 1980-an, sekitar 95 % RUU yang dibahas di parlemen Perancis justru berasal dari inisiatif pemerintah, bukan inisiatif parlemen. Sedangkan RUU yang berasal dari inisiatif parlemen hanya berjumlah 5%. Malah 3% diantaranya diprakarsai oleh partai pemerintah dan hanya 2% yang diprakarsai oleh partai oposisi, itupun untuk hal-hal yang tidak strategis. Di Amerika Serikat, meskipun banyak RUU berasal dari parlemen sendiri, para Presiden Amerika Serikat makin lama makin sering menggunakan hak veto mereka untuk menolak pengesahan RUU yang telah disetujui parlemen. Selama abad ke-19, hak veto cenderung digunakan lebih sering dibandingkan abad sebelumnya. Selama masa pemerintahan panjang Presiden Franklin D. Roosevelt, hak veto ini digunakan sebanyak 631 kali. Dalam masa yang jauh lebih singkat, Presiden Truman menggunakannya 250 kali, Presiden Eisenhower 181 kali. Pada abad ke-20, penggunaan hak veto ini meningkat lebih sering lagi. Selama periode tahun 1889-1968, rata-rata jumlah RUU yang diveto oleh 14 orang Presiden Amerika Serikat tercatat sebanyak 2,5%. Dari segi prosentase memang dapat dikatakan sedikit. Akan tetapi, angka nominalnya cukup besar sebagaimana dikemukakan di atas. Besarnya kekuasaan Presiden untuk mengajukan RUU dengan inisiatif sendiri dan memveto RUU inisiatif parlemen yang canderung meningkat selama abad ke-20, menunjukkan bahwa kekuasaan Presiden di bidang legislatif lebih dominan ketimbang parlemen. Hal ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari kondisi negara modern dimana badan eksekutif bertanggungjawab atas peningkatan taraf hidup rakyat dan karena itu lebih mengetahui kebutuhan untuk membentuk dan mempersiapkan suatu undang-undang sebagai bentuk peran aktif dalam mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat.8
Setelah menilik perikeadaan dan perkembangan hubungan antar kedua lembaga tersebut dewasa ini, kembali kita melihat dasar-dasar pemikiran yang telah dikemukakan Montesquieu dan al-Maududi mengenai hal ini sebagai usaha untuk saling membatasi dan mengontrol kekuasaan anatr lembaga. Pada dasarnya, pemikiran kedua tokoh ini saling melengkapi satu sama lain, dimana kekuasaan eksekutif untuk menolak RUU yang digagas Montesquieu ditindak lanjuti dengan penundukkan eksekutif di hadapan keputusan mayoritas legislatif seperti yang dikemukakan al-Maududi. Disini kita lihat bahwa kedua pemikiran ini nyaris tidak memberikan kesempatan sedikitpun kepada eksekutif untuk berperan dalam pembentukan undang-undang. Hal ini tidak mengherankan, sebab lembaran-lembaran masa lalu yang membentangkan penumpukkan kekuasaan pada badan eksekutif melahirkan sebuah trauma bagi setiap gerak-gerik penguasa eksekutif terutama dalam masalah pembentukan undang-undang sehingga menimbulkan sikap ekstrimisme terhadap pembatasan kekuasaan eksekutif. Pada tempatnyalah sekarang untuk bersikap lebih proporsional dengan tetap mewaspadai kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan baik oleh eksekutif maupun oleh lembaga-lembaga lainnya.
Dengan mempertimbangkan adanya tanggung jawab oleh pihak eksekutif sebagai penyelenggara negara sebagaimana telah dikemukakan, maka sudah seharusnyalah eksekutif memiliki peran dalam fungsi legislatif, dan peran tersebut haruslah mencakup beberapa hal. Pertama, hak untuk mengajukan RUU kepada parlemen yang kemudian dibahas dan diamandemen oleh parlemen, dimana pengajuan RUU dengan inisiatif eksekutif ini merupakan perwujudan dari peran aktif eksekutif dalam memperlancar kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintahan-nya yang bersifat membangun dan menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat. Kedua, hak veto untuk menolak RUU merupakan sebuah kemestian. Peniadaan hak ini sama saja dengan meniadakan prinsip permusyawaratan antar lembaga negara. Ketiga, bila hak veto ini ditolak oleh mayoritas anggota legislatif atau dua per tiga dari legislatif,9 maka bukan berarti RUU tersebut langsung dapat diundangkan begitu saja, tetapi pihak eksekutif juga berwenang – mengingat tanggung jawabnya sebagai penyelenggara negara dan akibat-akibat negatif yang mungkin ditimbulkan oleh RUU tersebut terhadap kebijakan-kebijakannya – untuk mengajukannya dalam suatu referendum dengan mengemukakan alasan-alasan penolakannya terhadap RUU tersebut. Namun bila dalam referendum itu eksekutif tidak dapat meyakinkan referendum maka hal ini berarti eksekutif tidak memiliki jalan untuk meneruskan penolakannya. Namun jika Presiden mendasakan vetonya pada kenyataan bahwa RUU tersebut bertentangan dengan UUD, maka Presiden berhak untuk mengajukannya pada Mahkamah Konstitusi.
Inilah bagian yang mesti dijalankan pihak eksekutif sebagai bentuk keikutsertaannya dalam menegakkan prinsip syura. Bukan untuk memenuhi kepentingan kekuasaannya sepihak melainkan untuk menjalankan amanat yang dipikulkan padanya dengan penuh tanggung jawab dalam menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan warganya, serta untuk mencegah terjadinya penyelewengan yang mungkin ditimbulkan oleh pihak-pihak lain.
Dengan berkurangnya peranan lembaga legislatif dalam pembentukan undang-undang seiring dengan bertambahnya kekuasaan eksekutif dalam bidang ini, maka seharusnyalah kekuasaan eksekutif ini didampingi oleh penyeimbang yang mengawasi dan mencegah penyelewengan yang mungkin dilakukan oleh pihak eksekutif.10 Setidaknya diperlukan dua hal pokok dalam memenuhi kebutuhan ini. Pertama, untuk masalah yang paling esensial yaitu adanya kemungkinan Presiden mengeluarkan ketetapan maupun RUU yang bertentangan dengan UUD, maka dalam hal ini legislatif berhak mengajukan perkara penyelewengan ini ke hadapan Mahkamah Konstitusi. Kedua, mengingat sebagian besar fungsi legislatif diserap oleh pihak eksekutif, maka untuk menyeimbangkan kondisi ini; juga untuk memastikan bahwa di samping keputusan eksekutif tidak bertentangan dengan UUD, keputusan eksekutif ini juga tidak bertentangan dengan general spirit atau general will yang juga tidak bertentangan dengan UUD; di samping itu juga untuk membangun citra parlemen yang efektif untuk menggambarkan kesederajatannya dengan pihak eksekutif, maka hal yang perlu dilakukan adalah dengan meningkatkan fungsi kontrol atau pengawasan parlemen terhadap pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, bisa melalui hak bertanya, interpelasi, angket maupun hak mosi. Dengan adanya kontrol dan pembagian peran yang demikian, maka diharapkan akan terbentuk keseimbangan peran dan saling terkontrolnya dua kekuasaan ini dengan tidak mengabaikan tuntutan-tuntutan perikeadaan politik pada masa sekarang.
Untuk mewujudkan suatu pengontrolan yang independen, maka seharus-nyalah pihak eksekutif tidak memiliki hak untuk memilih dan mengangkat anggo-ta legislatif. Dan pernyataan inilah yang dianut oleh Montesquieu dan al-Maududi. Sedangkan dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Kepala Negara, Montes-quieu meniadakan hak bagi legislatif untuk mengangkat dan memberhentikan Kepala Negara. Sedangkan al-Maududi mengakui wewenang legislatif untuk mengangkat dan memberhentikan Kepala Negara melalui suara mayoritas. Pendapat Montesquieu mengenai hal ini merupakan hasil dari kecenderungan Montesquieu terhadap sistem Monarki Konstitusi dimana dalam sistem ini Kepala Negara dijabat oleh seorang Raja yang tak dapat diganggugugat dan diangkat dengan cara turun temurun. Pada dasarnya, cara pengangkatan semacam ini tidaklah menjadi masalah selama umat menghendaki dan sejalan dengan kemaslahatan bersama. Namun dikarenakan dalam praktek cara seperti ini sering tidak mencerminkan kehendak rakyat dan memperbesar kecenderungan kedikta-toran maka cara pemilihan melalui legislatif – sebagaimana pendapat al-Maududi – akan lebih menjamin terpenuhinya kehendak rakyat yang tentunya ditindaklan-juti dengan kerelaan mereka untuk mentaatinya. Dan hal ini akan lebih terjamin lagi bila pengangkatan ini dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat.
Baik Montesquieu maupun al-Maududi sama-sama menyatakan adanya wewenang legislatif untuk memeriksa dan meminta pertanggungjawaban eksekutif atas tindak tanduknya. Pengontrolan semacam inilah yang harus diperkuat sebagai penyeimbang atas besarnya peran eksekutif di bidang legislatif. Hal ini bisa diwujudkan dengan memberikan hak-hak kontrol kepada legislatif seperti hak untuk bertanya, hak interpelasi (meminta keterangan), hak angket (menyelidiki), ataupun hak mosi.
Montesquieu mengharuskan adanya hak bagi eksekutif untuk mencegah dan mengatasi pelanggaran yang dilakukan lembaga legislatif. Sedang al-Maududi lebih cenderung menyerahkan kasus pelanggaran ini maupun kasus perselisihan antara legislatif dan eksekutif kepada Mahkamah Agung dan bukan menyerahkan-nya pada eksekutif. Pendapat Montesquieu tentang hak eksekutif untuk mengatasi pelanggaran legislatif, dalam praktek mencapai puncaknya pada pembubaran parlemen dalam sistem pemerintahan parlementer. Dalam sistem ini, setelah parle-men meminta pertanggungjawaban atas kebijaksanaan eksekutif dalam hal ini Perdana Menteri atau Kabinet maka Kabinet harus memberikan jawaban yang berisi penjelasan tentang kebijaksanaannya tersebut. Selanjutnya bila parlemen dapat menerima dengan baik dan menyetujui jawaban Kabinet tersebut, maka hal ini tidak akan menjadi masalah. Tetapi bila parlemen tidak menerima jawaban kabinet tersebut maka parlemen dapat menyatakan mosi tidak percaya terhadap kabinet. Dan bila ini benar-benar terjadi, maka akan mengakibatkan timbulnya dua kemungkinan. Pertama, menteri atau para menteri yang dikenai mosi tidak percaya mengundurkan diri, atau bahkan bisa menyebabkan jatuhnya kabinet. Kedua, bisa jadi justru parlemenlah ayng kemungkinan tidak bersifat repesentatif lagi. Dan untuk mencegah agar tidak sampai terjadi suatu kebijakan kabinet tidak diterima oleh parlemen yang tidak representatif lagi bahkan ada kemungkinan parlemen ini menjatuhkan kabinet, maka sebagai imbangan hak parlemen menjatuhkan kabinet, kabinet melalui Kepala Negara dapat membubarkan parlemen yang dianggapnya telah tidak bersifat repesentatif lagi. Ini kemudian diikuti dengan pemilihan dan pembentukan parlemen baru. Parlemen baru inilah nanti yang akan menentukan benar atau tidaknya mosi tidak percaya parlemen maupun tindakan kabinet membubarkan parlemen.11
Dalam sistem ini, seharusnya tidak pada tempatnya eksekutif dapat mem-bubarkan parlemen dengan alasan representativitas. Pernyataan sepihak eksekutif ini tidak mustahil akan didasarkan pada kepentingan sepihak eksekutif. Dan pem-bubaran parlemen ini juga tidak akan dapat menjamin terbentuknya parlemen baru yang lebih bersifat representatif. Andaipun parlemen baru tersebut memang lebih bersifat representatif, tetap tak ada jaminan bahwa parlemen yang baru itu memili-ki kapabilitas yang cukup profesional untuk menentukan benar tidaknya mosi tidak percaya parlemen maupun kebijaksanaan kabinet. Oleh karena itu, untuk menghadapi hal ini, pada tempatnyalah Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang independen dari pengaruh legislatif maupun eksekutif, mengambil peranan dalam penyelesaian perselisihan ini dengan menilai benar atau tidaknya kebijakan kabinet, mosi tidak percaya parlemen, maupun representativitas parlemen. Al-Maududi lebih cenderung menyebut lembaga ini dengan Mahkamah Agung.
B. Hubungan Antara Eksekutif dan Yudikatif
Tidak berlebihan jika saya katakan bahwa hubungan kedua lembaga ini adalah “the most horrible relationship” dalam praktek tata pemerintahan. Montesquieu dan al-Maududi sama-sama menegaskan pemisahan organ antar keduanya.
Dalam praktek di Indonesia, pencampurbauran kedua kekuasaan ini terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin dimana pada Pasal 19 UU No.19 tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dinyatakan: “Demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang mendesak, Presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal pengadilan.” Di dalam penjelasan umum UU itu dinyatakan bahwa pengadilan tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat undang-undang. Penyelewengan ini – sebagai suatu yang bertentangan dengan UUD 1945 – kemudian diluruskan oleh MPRS dengan mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XIX tahun 1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara di Luar Produk MPRS yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Berdasarkan ketetapan itu maka UU No. 19 tahun 1964 telah dicabut dan diganti dengan UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.12 Dalam pasal 4 ayat (3) UU No. 14 tahun 1970 ini dinyatakan: “ Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam UUD.” Dalam penjelasannya, dinyatakan bahwa agar supaya Pengadilan dapat menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya dengan memberi keputusan yang berdasarkan kebenaran, keadilan dan kejujuran, maka tidak dapat dibenarkan adanya pengaruh-pengaruh dari luar yang akan menyebabkan para Hakim tidak bebas lagi dalam mengambil keputusan yang seadil-adilnya.13
Kemandirian kekuasaan kehakiman ini kemudian makin dipertegas lagi agar benar-benar terbebas dari pengaruh pemerintah. Untuk mempertegas hal ini, Ketetapan MPR No.X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan sebagai Haluan Negara telah menentukan bahwa untuk mewujudkan peradilan yang independen, bersih dan profesional dengan memisahkan secara tegas antara fungsi yudikatif dan eksekutif. Atas amanat ketetapan inilah kemudian pemerintah mengajukan Rancangan UU yang kemudian disetujui oleh DPR-RI menjadi UU No. 35 tahun 1999 tentang perubahan atas UU No.14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.14
Menurut Montesquieu bila eksekutif – dalam hal ini penasehat Raja yang memiliki peran terbesar dalam menjalankan pemerintahan, atau yang sekarang disebut sebagai Perdana Menteri – melakukan pelanggaran dalam melaksanakan kebijakannya,15 maka ia harus diperiksa dan bila perlu dapat dijatuhi hukuman. Namun wewenang untuk memeriksa dan menjatuhi hukuman tidaklah berada pada pihak yudikatif, melainkan pada pihak legislatif yang terdiri dari kaum bangsawan yang ahli hukum. Pernyataan ini bertolak dari kenyataan adanya sentimen yang begitu besar antara rakyat dan penguasa. Bila yudikatif yang terdiri dari rakyat berhak mengadili penguasa – dimana diadilinya penguasa ini sebagian besar dikarenakan pelanggarannya terhadap pemenuhan hak-hak rakyat ditambah penuntut juga adalah rakyat – maka penguasa bisa terancam oleh kesewenangan para Hakim rakyat ini sehingga keadilan tidak akan bisa dicapai. Karena itu, menurut Montesquieu, wewenang ini haruslah diberikan pada badan legislatif yang terdiri dari kaum bangsawan yang ahli hukum yang dianggap sebagai badan netral yang tidak memiliki kepentingan untuk memihak.
Keadaan ini mengisyaratkan pentingnya pengakuan rakyat atas penguasa demi harmonisitas, dan pentingnya profesionalitas yudikatif dalam menangani penyelewengan eksekutif. Dengan ini, diharapkan kontrol yurisdiksionil dapat dioptimalkan,16 serta dengan kewibawaan, kemandirian dan keprofesionalan yudikatif, pelanggaran eksekutif dapat dihadapkan pada pengadilan yudikatif untuk memperoleh putusan yang seadil-adilnya sesuai dengan hukum yang berlaku – sebagaimana juga halnya pendapat al-Maududi.
Perihal pengangkatan anggota yudikatif bukanlah wewenang dari ekseku-tif – demikian Montesquieu – tetapi legislatif lah yang memiliki wewenang domi-nan dalam pengangkatan dan pemberhentian Hakim melalui ketetapan-ketetapan-nya. Sedangkan al-Maududi menyerahkan wewenang penunjukan, pemecatan, penaikan pangkat, pemberhentian dan pemindahan para Hakim dan pejabat-pejabat pengadilan sepenuhnya pada Mahkamah Agung. Sedang pengangkatan anggota Mahkamah Agung dilakukan oleh Kepala Negara. Dengan mempertim-bangkan pentingnya kemandirian yudikatif dari berbagai pengaruh, maka sudah seharusnya pengangkatan dan pemberhentian Hakim bukanlah merupakan wewenang pihak eksekutif an sich. Di Amerika Serikat, pengangkatan Hakim dan anggota-anggota Mahkamah Agung oleh Presiden haruslah mendapat pengesahan dan persetujuan dari senat.17 Dan bila anggota yudikatif ini terbukti melakukan perbuatan pidana, maka mereka dapat diberhentikan oleh legislatif.18 Campur tangan pihak legislatif dalam hal ini mutlak diperlukan, untuk mencegah kecende-rungan eksekutif mengangkat anggota yudikatif yang sejalan dengan kepentingan kekuasaannya semata, serta untuk memastikan adanya pengakuan rakyat melalui legislatif atas kapabilitas anggota-anggota yudikatif dalam menjalankan tugasnya.
Bagi Montesquieu, tidak ada tempat bagi pengadilan untuk melaksanakan tugas-tugas non yudikatif seperti memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada eksekutif. Begitu juga eksekutif tidak punya hak untuk menjalankan fungsi yudikatif. Sedangkan al-Maududi memberi tempat pada badan yudikatif untuk memberi saran kepada Kepala Negara dalam hal executive justice yang berupa pelaksanaan hak Grasi bagi terhukum atas pelanggaran administratif dan hak untuk memperingan hukuman mati dengan meninjau kasus yang sebenar-nya. Sebagaimana pemikiran Montesquieu, pengadilan-pengadilan Amerika Seri-kat telah menolak untuk memberikan pertimbangan (advisory opinions) atas per-mintaan baik oleh eksekutif maupun legislatif, karena ditakutkan akan menyebab-kan penyertaan yang sangat langsung oleh yudikatif di lapangan perundang-undangan dan administrasi.19 Berbeda dengan Indonesia dimana Ketetapan MPR No.VI / 1973 pasal 11 ayat (2) menyatakan: ”Mahkamah agung dapat memberi-kan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak, kepada lembaga-lembaga tinggi negara.”20 Pemberian saran dan pertimbangan oleh yudikatif kepada eksekutif dalam masalah hukum bukanlah berarti merusak kebebasan dan kemandirian badan yudikatif; melainkan sebuah kebutuhan untuk mencegah kesewenang-wenangan eksekutif dalam tindakannya yang berkaitan dengan hukum. Sedang untuk pendapat al-Maududi tentang adanya hak eksekutif dalam memberikan Grasi, maka hal ini akan menciptakan celah bagi kesewenang-wenangan eksekutif dalam penegakkan hukum. Begitu juga mengenai hak untuk meringankan hukuman mati dengan meninjau kasus sebenarnya, adalah sesuatu yang tidak perlu dimiliki pihak eksekutif karena peninjauan kasus sebenarnya sudah dilimpahkan pada pihak yudikatif sebagai lembaga yang profesional di bidang ini.
Mengenai hak eksekutif untuk menahan para tersangka dalam kondisi darurat, Montesquieu dan al-Maududi sama-sama membatasinya melalui UU atau ketentuan yang ditetapkan legislatif dengan membatasinya pada bentuk-bentuk pelanggaran tertentu maupun jangka waktu penahanan yang sesingkat mungkin agar segera dapat diselesaikan di muka sidang pengadilan. Hak penahanan oleh eksekutif tanpa dibatasi oleh peran aktif pengadilan akan menciptakan kesewenang-wenangan. Pasal 113 UUD 1876 Kerajaan Usmani yang menyatakan bahwa Sultan berkuasa untuk mengumumkan keadaan darurat dan menangkap serta mengasingkan orang-orang yang dianggap berbahaya bagi keamanan negara, menjadi dasar bagi Sultan Abdul Hamid untuk menangkap PM Midhat Pasya dan beberapa temannya untuk kemudian dikirim ke tempat pengasingan dengan alasan keadaan bahaya negara akibat pecahnya perang dengan Rusia.21 Dengan demikian seharusnyalah negara memberi perlindungan terhadap penangkapan sewenang-wenang semacam ini. Piagam tertulis yang mempelopori perlindungan ini diajukan oleh Parlemen Inggris pada tahun 1679 sebagai perluasan dari ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Magna Charta yang dikenal dengan nama Habeas Corpus Act, yang memberi perlindungan terhadap penangkapan sewenang-wenang dan yang menjamin pengadilan yang cepat.22 Makna dari Habeas Corpus adalah suatu perintah tertulis dari Hakim, yang mengharuskan penjaga dari seorang yang ditahan melepaskan orang tersebut secepat mungkin agar dapat muncul di pengadilan dan menuntut kebebasannya. Hal ini menjadi jaminan penting bagi kebebasan minoritas politik dari penekanan-penekanan mayoritas politik.23
C. Hubungan Antara Legislatif dan Yudikatif
Konsep Montesquieu tentang pemisahan organ antar kedua lembaga ini – sebagaimana konsep-konsepnya yang lain – dianut oleh Amerika Serikat sehingga pada tahun 1954 dua orang harus berhenti dari keanggotaan senat untuk memungkinkan mereka diangkat sebagai Hakim Mahkamah Agung.24
Sebenarnya, pembentukan dua lembaga ini sebagai dua organ yang terpisah adalah lebih sebagai penyeimbang antara aspirasi rakyat di satu sisi dan penegakkan hukum di sisi yang lain. Bila lembaga legislatif sebagai wakil rakyat juga merupakan lembaga yudikatif, maka penegakkan hukum yang independen akan terancam karena sebagai wakil-wakil rakyat, kemungkinan besar mereka bukanlah para ahli hukum. Dan bila lembaga yudikatif sebagai para ahli hukum yang bukan wakil rakyat juga merupakan lembaga legislatif, maka penyaluran aspirasi rakyat akan menemukan jalan buntu. Karena itulah pembentukan dua lembaga ini sebagai organ yang terpisah adalah sebuah keniscayaan dalam hal penyelenggaraan negara. Pemisahan ini juga digagas oleh al-Maududi.
Fenomena yang paling mencolok yang bisa kita temukan pada pemikiran Montesquieu tentang hubungan kedua lembaga ini adalah adanya legislative justice dimana beberapa orang sebagai anggota legislatif juga merupakan para ahli di bidang hukum sehingga mereka juga menjalankan fungsi yudikatif. Seperti yang telah dikemukakan, golongan ini – para bangsawan anggota Upper House yang ahli hukum – dianggap sebagai golongan yang tidak berkepentingan untuk memihak dalam memutus perkara pelanggaran baik yang dilakukan oleh penguasa eksekutif – dalam hal ini atas permintaan dan tuntutan dari Majelis Rendah atas nama rakyat – maupun oleh kaum bangsawan sendiri. Kekuasaan-kekuasaan yudikatif dari Parlemen Inggris juga seluruhnya diserahkan kepada House of Lords (Upper House di Inggris) yang bersidang sebagai suatu pengadilan yang terpisah, dimana para bangsawan yang bukan ahli hukum tidak diperkenankan hadir.25 Bila konsep Montesquieu mengenai ini dipraktekkan secara utuh, maka akan terjadi kesewenang-wenangan. Hal ini disebabkan beberapa hal. Pertama, kedudukan pihak yudikatif dalam pandangan Montesquieu berada pada posisi yang sangat lemah sehingga tidak memungkinkan untuk mengadakan kontrol terhadap praktek yudisial oleh legislatif. Kedua, mengadili pelanggaran yang dilakukan kaum bangsawan oleh bagian badab legislatif yang terdiri dari kaum mereka sendiri akan menimbulkan sikap keberpihakan dalam memutuskan perkara. Dan mengenai hal ini, tidak ad suatu lembaga pun yang dimungkinkan dapat mengontrol kecenderungan kesewenangan ini. Dengan demikian, pembentukan badan yudisial yang lebih independen dan berwibawa sangatlah dibutuhkan sebagai pengontrol penyelenggaraan legislative justice dalam suatu negara yang menganut konsep ini. Mengenai hal ini, meskipun al-Maududi mensyaratkan keanggotaan legislatif haruslah ahli dalam hukum, namun dia tidak mengisyaratkan adanya fungsi yudisial yang dijalankan oleh legislatif.
Baik Montesquieu maupun al-Maududi sama-sama sejalan dengan aliran legalisme dimana Hakim harus mengadili perkara hanya berdasarkan peraturan hukum yang termuat dalam kodifikasi yang telah ditetapkan legislatif. Dalam hal ini Hakim hanya sebagai la voix de la loi (suara undang-undang); dimana keputusan tidak didominasi oleh judge-made law seperti yang dianut negara-negara Anglo Saxon dengan sistem Common Law-nya.26 Aliran legalisme ini secara tidak langsung mengandung fungsi kontrol bagi Hakim untuk tidak memutuskan perkara dengan sewenang-wenang.
Sebagai akhir dari bagian analisis ini, kita sampai pada pembahasan tentang sebuah peran kontrol yang sangat penting untuk dimiliki lembaga yudikatif yang dikenal dengan Judicial Review, yaitu hak untuk menguji apakah suatu UU yang ditetapkan legislatif bertentangan dengan UUD. Dalam kamus Montesquieu, Judicial Review adalah sesuatu yang mustahil; karena bagi Montesquieu, hakim-hakim yudikatif hanyalah merupakan orang-orang pasif yang tidak lebih dari pada mulut yang melafazkan ketentuan-ketentuan hukum, sehingga bahkan kekuasaan menafsirkan hukum pun harus dilimpahkan pada kaum bangsawan ahli hukum pada tubuh legislatif. Sedangkan al-Maududi – meskipun hak ini belum diketahui pernah dipraktekkan pada masa al-Khulafa ar-Rasyidun, namun dengan mempertimbangkan bahwa anggota legislatif dewasa ini tidak cukup handal untuk tidak mendapat pengawasan – menyatakan adanya hak bagi yudikatif untuk membatalkan semua hukum dan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD.
Praktek dari pemikiran Montesquieu dalam hal ini bisa kita temukan di Inggris dimana hanya Parlemen yang boleh menafsirkan ketentuan-ketentuan konstitusi, menjaga agar semua UU tidak bertentangan dengan UUD, dan mengubah serta membatalkan UU yang dianggapnya bertentangan dengan UUD. Hal ini berdasarkan gagasan bahwa kedaulatan rakyat yang diwakilkan kepada Parlemen merupakan pemegang kedaulatan yang tertinggi.27
Hal yang berbeda – sebagaimana pendapat al-Maududi – terjadi di beberapa negara seperti Amerika Serikat, India dan Jerman Barat dimana Mahkamah Agung dianggap sebagai Guardian of the Constitution (Pengaman UU) yang memiliki hak untuk menguji UU. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa anggota lembaga legislatif terlalu mudah terpengaruh oleh pihak lain dan oleh fluktuasi politik,28 sehingga lebih wajarlah bila hak uji ini diberikan pada Hakim-Hakim Mahkamah Agung yang dianggap lebih bijaksana, berpengetahuan dan berpengalaman di bidang hukum, dan karena kedudukannya yang agak bebas dari tekanan dan fluktuasi politik. Di Perancis bahkan dibentuk suatu badan khusus yaitu Mahkamah Konstitusionil untuk memegang wewenang ini.29
Di Amerika Serikat, peran wewenang ini sangat nyata dan berpengaruh besar terhadap proses politik. Hak uji ini berpangkal tolak pada suatu keputusan Mahkamah Agung yang dirumuskan oleh ketuanya John Marshall pada tahun 1803. menurut pandangan ini, bila badan legislatif membuat UU yang menurut Mahkamah Agung bertentangan dengan UUD, maka badan yudikatif tidak dapat memaksa badan legislatif untuk membatalkannya. Akan tetapi Mahkamah Agung dapat menyatakan bahwa UU itu bertentangan dengan UUD (unconstitutional) dan selanjutnya menyisihkannya, seolah-olah UU itu tidak ada lagi. Akan tetapi begitu besarnya pengaruh dan kewibawaan dari Mahkamah Agung, sehingga suatu pernyataan “unconstitutional” sama efeknya dengan membatalkan UU itu. Penggunaan hak ini oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat yang dianggap telah sangat mempengaruhi keadaan politik ialah keputusan mengenai Public School Desegregation Act (Brown v Board of Education) tahun 1954 yang menyatakan bahwa segregation (pemisahan antara golongan kulit putih dan golongan Negro) merupakan diskriminasi dan bertentangan dengan UUD. Keputusan ini dianggap sebagai tonggak sejarah dalam perjuangan orang Negro untuk hak-hak sipil dan telah mengubah tata masyarakat Amerika secara fundamental.30
Pada mulanya, azas judicial review tidak terdapat di Indonesia. UUD 1945 sebelum amandemen tidak menyebut adanya wewenang ini. Begitu juga pasal 26 UU No.14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman hanya menyatakan bahwa MA berhak untuk menyatakan tidak sah semua peraturan-peraturan dari tingkat yang lebih rendah dari UU atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Disini tidak disebutkan wewenang menyatakan tidak sah UU. Penjelasan mengenai pasal 26 lebih jelas menyatakan bahwa hanya UUD atau ketetapan MPR(S) yang dapat menentukan apakah MA mempunyai hak menguji UU atau tidak.31 Namun setelah diadakannya Sidang Tahunan MPR pada Agustus 2001 yang mengesahkan perubahan ketiga UUD 1945, azas judicial review memperoleh tempatnya dalam konstitusi Indonesia dimana dalam Pasal 24c UUD 1945 setelah amandemen mengatur soal kewenangan Mahkamah Konstitusi – sebuah lembaga baru – untuk menguji UU terhadap UUD dengan menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UndangUndang Dasar…”32
Di bagian sebeumnya dalam bab ini, beberapa kali saya telah menyebutkan adanya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tempat menampung tuntutan Presiden maupun Parlemen dalam hal RUU inisiatif Parlemen atau Presiden yang bertentangan denngan UUD, dan sebagai lembaga yang memutuskan perselisihan antara legislatif dan eksekutif. Berkaitan dengan hal ini, dalam surat an-Nisa, Allah swt berfirman:33
…فإن تنازعتم في شئ فردّوه الىالله والرّسول…
Sebagaimana yang dikemukakan al-Maududi, ayat ini menerangkan bahwa putusan yang berdasarkan al-Qur`an dan as-Sunnah sebagai konstitusi tertinggi haruslah diterima sebagai putusan final bagi semua pihak. Implikasinya adalah bahwa harus ada suatu lembaga khusus yang menangani dan memutuskan perselisihan yang terjadi berdasarkan konstitusi. Dan lembaga yang bernama Mahkamah Konstitusi dapat memainkan peranan ini.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara umum, fungsi dari ketiga lembaga negara tersebut antara lain:
1. Legislatif bertugas untuk menyusun, mengamandemen dan menghapus Undang-Undang; sebagai wakil rakyat; dan mengatasi persoalan-persoalan umum.
2. Eksekutif bertugas untuk menyatakan perang dan damai; mengirim dan menerima duta; memelihara keamanan umum; membangun persiapan menghadapi invasi; dan melaksanakan ketentuan perundangan.
3. Yudikatif bertugas untuk memberi sanksi hukuman pada para pelaku kriminal; dan memutuskan perselisihan antar perseorangan sesuai hukum.
Pemikiran Montesquieu mengenai hubungan antar lembaga negara antara lain:
1. Pemisahan organ antara legislatif, eksekutif dan yudikatif;
2. Hak eksekutif untuk menolak undang-undang;
3. Eksekutif tidak berhak mengangkat anggota legislatif;
4. Legislatif tidak berhak mengangkat dan memberhentikan Kepala Negara;
5. Legislatif berhak meminta pertanggungjawaban eksekutif;
6. Eksekutif berhak mengatasi pelanggaran legislatif;
7. Yudikatif tidak berhak mengadili eksekutif;
8. Eksekutif tidak berhak mengangkat yudikatif;
9. Pengadilan tidak berhak melaksanakan tugas-tugas non-yudikatif;
10. Eksekutif tidak berhak menjalankan fungsi yudikatif;
11. Hak eksekutif dalam penahanan preventif dibatasi undang-undang agar secepatnya dapat ditangani yudikatif;
12. Majelis Tinggi berhak menjalankan beberapa fungsi yudikatif;
13. Yudikatif mengadili berdasar undang-undang yang telah ditetapkan legislatif;
14. Yudikatif tidak memiliki hak uji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Pemikiran al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara antara lain:
1. Pemisahan organ antara legislatif, eksekutif dan yudikatif;
2. Penundukkan eksekutif di bawah keputusan mayoritas legislatif;
3. Eksekutif tidak berhak mengangkat anggota legislatif;
4. Legislatif berhak mengangkat dan memberhentikan Kepala Negara melalui suara mayoritas;
5. Legislatif berhak meminta pertanggungjawaban eksekutif;
6. Mahkamah Agung berhak menyelesaikan kasus perselisihan antara legislatif dan eksekutif;
7. Yudikatif berhak mengadili eksekutif;
8. Eksekutif berhak mengangkat yudikatif;
9. Yudikatif berhak melaksanakan tugas-tugas non-yudikatif yang berupa pemberian saran hukum pada eksekutif;
10. Eksekutif memiliki beberapa hak untuk menjalankan fungsi yudikatif;
11. Hak eksekutif dalam penahanan preventif dibatasi undang-undang agar secepatnya dapat ditangani yudikatif;
12. Legislatif tidak berhak menjalankan fungsi yudikatif;
13. Yudikatif mengadili berdasar undang-undang yang telah ditetapkan legislatif;
14. Yudikatif memiliki hak uji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Persamaan pemikiran Montesquieu dan al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara antara lain:
1. Pemisahan organ antara legislatif, eksekutif dan yudikatif;
2. Eksekutif tidak berhak mengangkat anggota legislatif;
3. Legislatif berhak meminta pertanggungjawaban eksekutif;
4. Hak eksekutif dalam penahanan preventif dibatasi undang-undang agar secepatnya diadili oleh yudikatif;
5. Yudikatif mengadili berdasar undang-undang yang telah ditetapkan legislatif.
Perbedaan pemikiran Montesquieu dan al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara antara lain:
No Montesquieu Al-Maududi
1
2
3
4
5
6
7
8
9 Hak eksekutif untuk menolak un-dang-undang
Legislatif tidak berhak mengang-kat dan memberhentikan Kepala Negara
Eksekutif berhak mengatasi pe-langgaran legislatif
Yudikatif tidak berhak mengadili eksekutif
Eksekutif tidak berhak mengang-kat yudikatif
Pengadilan tidak berhak melaksa-nakan tugas-tugas non-yudikatif
Eksekutif tidak berhak menjalan-kan fungsi yudikatif
Majelis Tinggi berhak menjalan-kan beberapa fungsi yudikatif
Yudikatif tidak memiliki hak uji UU terhadap UUD Penundukkan eksekutif di bawah mayoritas keputusan legislatif
Legislatif berhak mengangkat dan memberhentikan Kepala Negara
Mahkamah Agung yang berhak menga-tasi pelanggaran legislatif
Yudikatif berhak mengadili eksekutif
Eksekutif berhak mengangkat yudikatif
Yudikatif berhak melaksanakan tugas-tugas non-yudikatif yang berupa pem-berian saran hukum pada eksekutif
Eksekutif dalam beberapa hal berhak menjalankan fungsi yudikatif
Legislatif tidak berhak menjalankan fungsi yudikatif
Yudikatif memiliki hak uji UU terha-dap UUD
Dari perbandingan pemikiran Montesquieu dan al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara ini, konsep ideal yang dapat ditawarkan mengenai hubungan antar lembaga negara antara lain:
1. Pemisahan organ antara legislatif, eksekutif dan yudikatif.
2. Memperbesar peran eksekutif di bidang legislatif seperti adanya hak mengajukan RUU dan hak untuk menolak RUU. Sebagai konsekuensinya, fungsi kontrol legislatif harus ditingkatkan.
3. Eksekutif tidak berhak mengangkat anggota legislatif.
4. Untuk memenuhi kehendak dan kepercayaan rakyat, legislatif berhak mengangkat dan memberhentikan Kepala Negara.
5. Legislatif berhak meminta pertanggungjawaban eksekutif.
6. Mahkamah Konstitusi berhak menyelesaikan kasus perselisihan antara legislatif dan eksekutif.
7. Yudikatif berhak mengadili Eksekutif.
8. Pengangkatan yudikatif harus atas persetujuan bersama eksekutif dan legislatif.
9. Yudikatif berhak memberikan saran dan pertimbangan hukum pada eksekutif.
10. Eksekutif tidak perlu memiliki hak untuk menjalankan fungsi yudikatif.
11. Hak eksekutif dalam hal penahanan preventif harus dibatasi UU, dan pihak yang ditahan harus secepatnya diadili di hadapan yudikatif.
12. Legislatif tidak perlu memiliki hak untuk menjalankan fungsi yudikatif. Pembentukan badan yudikatif yang profesional, independen dan berwibawa mutlak diperlukan.
13. Agar yudikatif tidak memutuskan perkara dengan sewenang-wenang, yudikatif harus mengadili berdasar UU yang telah ditetapkan legislatif.
14. Yudikatif harus memiliki hak uji UU terhadap UUD.
B. Saran-Saran
Kerangka dasar yang telah digariskan al-Qur`an dan as-Sunnah mengenai prinsip Syura dan prinsip amr ma`ruf nahyi munkar dalam kehidupan tata negara haruslah dijadikan sebagai landasan konsep hubungan antar lembaga negara ini, dengan tidak mencampakkan pemikiran-pemikiran lain dan pengalaman negara-negara lain yang pelaksanaannya mungkin lebih dekat dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan Islam.
Bagi para pengkaji hukum tata negara dan politik Islam, hendaknyalah terus melakukan pembelajaran dan penelitian yang lebih dalam lagi mengenai ma-salah hubungan antar lembaga negara ini, terutama dengan mendasarkannya pada kerangka yang telah disediakan Islam melalui al-Qur`an dan as-Sunnah.
Terakhir, demi penyempurnaan tulisan ini, tidak tertutup adanya saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak, sehingga wacana ini bisa menjadi lebih berkembang di kemudian hari.
BAB III
BIOGRAFI AL-MAUDUDI DAN PEMIKIRANNYA MENGENAI HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA
A. Biografi Al-Maududi
1. Sejarah kelahiran dan pendidikan
Leluhur al-Maududi memiliki tradisi kepemimpinan spiritual yang sudah berjalan lama dan sejumlah nenek moyang al-Maududi adalah pemimpin-pemimpin terkemuka tarikat sufi. Salah satu yang paling termasyhur adalah Khawajah Qutb ad-Din Maudud (w. 527 H), seorang pemimpin besar tarikat sufi Chishti yang darinya al-Maududi mengambil nama keluarga. Nenek moyang al-Maududi kemudian pindah dari Chisht ke anak benua India di akhir abad ke-9 Hijriah (abad ke-15 Masehi). Orang pertama sebagai pemimpin di India yang tiba adalah juga bernama Abul A`la Maududi (w. 935 H). Ayah al-Maududi adalah Ahmad Hasan, lahir tahun 1855 M, seorang shalih dan taat beragama yang awalnya berprofesi sebagai pengacara. Al-Maududi adalah anak bungsu dari tiga orang anak laki-lakinya.
Abul A`la al-Maududi lahir di Aurangabad, India, pada 25 September 1903 (3 Rajab 1321). Semasa kecilnya al-Maududi belajar di rumah, dan dididik oleh ayahnya sendiri dengan sistem pendidikan klasik. Dalam sistem ini tidak ada mata pelajaran modern. Ia diajar bahasa Arab, Persia, Urdu, disamping al-Qur`an, Hadits, teks sastra dan agama selama bertahun-tahun. Sejak usia muda, ia sudah menguasai bahasa Arab dengan sangat baik, sehingga pada usia empat belas tahun ia sudah bisa menerjemahkan al-Mir`ah al-Jadidah karya Qasim Amin, dari bahasa Arab ke Urdu.
Setelah menjalani pendidikan awal di rumah, al-Maududi meneruskan pendidikannya ke Madrasah Furqaniyah, sebuah sekolah lanjutan yang berusaha mengkombinasikan pendidikan barat modern dengan pendidikan Islam tradisio-nal. Setelah dengan sukses menamatkan pendidikan lanjutannya, ia berada di te-ngah-tengah studinya di Darul Ulum, Hyderabad, ketika pendidikan formalnya terputus oleh keadaan ayahnya yang sakit parah dan berujung pada kematiannya.
2. Pengalaman dan aktivitas intelektual
Terputusnya al-Maududi dari pendidikan formal tidak menghalanginya untuk melanjutkan belajarnya meski di luar institusi formal. Di awal tahun 1920, al-Maududi sudah menguasai bahasa Arab, Persia dan Inggris di samping bahasa ibunya – Urdu, yang dengan itu ia dapat mempelajari berbagai subjek yang ia minati secara otodidak meskipun sesekali ia menerima instruksi dan bimbingan sistematis dari beberapa sarjana yang kompeten. Dengan proses ini, pertumbuhan intelektual al-Maududi merupakan hasil dari usahanya sendiri di samping stimu-lasi yang ia terima dari guru-gurunya.
Di tahun 1920, ketika berumur 17 tahun, ia ditunjuk sebagai editor pada mingguan Taj yang diterbitkan di Jabalpore (sekarang Madhya Pradesh), India. Kepercayaan ini diberikan karena sejak tahun 1918, beberapa tulisannya telah dimuat di sebuah koran terkemuka yang berbahasa Urdu. Di Delhi, ia bertemu tokoh pergerakan khilafah, Muhammad Ali, dan bekerjasama menerbitkan koran nasionalis, Hamdard. Kemudian ia juga bergabung dengan Tahrik-e Hijrah, yang mendorong umat Islam India untuk meninggalkan India (Dar al-Harb) ke Afghanistan sebagai Dar al-Islam.
Di tahun 1921, ia berkenalan dengan pemimpin Jami`at-i `Ulama Hind (Masyarakat Ulama India) yang kemudian mengundang al-Maududi untuk menjadi editor koran resmi mereka, Muslim; yang di tahun 1925 berganti nama menjadi al-Jami`at. Disini ia jadi lebih mengetahui kesadaran politik umat Islam. Ia mulai menulis berbagai realitas politik muslim seperti persoalan-persoalan umat Islam India dan keadaan Turki yang berhadapan dengan Imperealisme Eropa. Hubungannya dengan al-Jami`at mendorongnya untuk menerima pendidikan agama formal. Pada mulanya ia menjadi murid Abdussalam Niyazi dan kemudian menjadi murid ulama Deobandi di sekolah agama Masjid Fatihpuri di Delhi, dan pada tahun 1926, ia pun menerima sertifikat pendidikan agama.
Pada mulanya, al-Maududi memberikan dukungan pada nasionalisme India melalui Partai Kongres pimpinan Mahatma Ghandi. Namun setelah melihat realitas politik umat Islam, yang mencapai puncaknya pada keruntuhan khilafah di Turki pada tahun 1924, kehidupan al-Maududi mengalami perubahan besar. Dia menjadi penentang nasionalisme yang kini menurutnya menyesatkan orang Turki dan Mesir yang merongrong kesatuan muslim dengan cara menolak kekhilafahan. Ia juga tak lagi percaya pada nasionalisme India. Ia menganggap Partai Kongres hanya mengutamakan kepentingan Hindu dengan kedok nasionalisme. Pada saat inilah ia merasa pandangannya bertentangan dengan para ulama al-Jami`at yang mendukung upaya Kongres mengakhiri pemerintahan Inggris, sehingga ia meninggalkan Jami`at dan mulai menyerukan aksi Islami yang lebih melindungi kepentingan muslim dalam menentang imperealisme.
Pada tahun 1925, Swami Shradanand, pemuka gerakan revivalisme agama Hindu, dibunuh oleh seorang ekstrimis muslim yang menyatakan bahwa kewajiban keagamaan untuk membunuh orang-orang yang bukan Islam. Dari peristiwa tersebut bangkit tuduhan-tuduhan bahwa Islam adalah agama pedang yang haus darah. Tekanan dan tuduhan itu mendorong al-Maududi untuk menulis sebuah buku yang berjudul al-Jihad fi al-Islam yang diterbitkan pada tahun 1927. Meski ia tulis dalam usianya yang relatif masih belia, karya ini tercatat sebagai salah satu karya terbesarnya.
Pada tahun 1928 ia pindah ke Hyderabad. Disana ia menyelesaikan sejumlah terjemahan buku tafsir dan filsafat dari bahasa Arab, menulis sejarah Hyderabad dan beberapa teks studi Islam yang diantaranya adalah Risalah-i Diniyat (yang kemudian diterjemahkan sebagai Towards Understanding Islam).
Pada tahun 1930, ketika pihak Hindu maupun Muslim sedang gencar menuntut kemerdekaan dari Inggris beserta pembentukan negara secara terpisah, al-Maududi menjadi sangat kritis terhadap pendapat-pendapat Partai Kongres yang menyerukan pembentukan negara India yang merdeka dan sekuler maupun terhadap gagasan Liga Muslim pimpinan Muhammad Ali Jinnah untuk pemben-tukan Pakistan sebagai negara muslim yang terpisah. Menurut al-Maududi, revo-lusi Islam dan Islamisasi masyarakat adalah suatu kemestian bagi pembentukan dan pembangunan negara dan masyarakat Islam.
Pada 1932, al-Maududi mulai menerbitkan Turjuman al-Qur`an, sebuah jurnal berkala yang selama empat puluh tahun berikutnya menjadi forum terpen-ting bagi pandangan-pandangannya. Pada tahun 1938, al-Maududi pergi ke Punjab atas undangan Muhammad Iqbal (w. 1938), penyair sekaligus pemikir tersohor Punjab, untuk memimpin proyek pendidikan Dar al-Islam di Pathankot, Punjab. Perhatian al-Maududi pada proyek ini tidak berlangsung lama karena kesibukan-nya dengan politik. Pada 1939, ia melakukan aktivitas politik yang lebih langsung di Lahore. Di sini ia mengajar studi Islam di sekolah tinggi Islamiyah. Pada Agustus 1941, al-Maududi bersama sejumlah aktivis Muslim dan ulama muda, mendirikan Jama`at-i Islami yang kemudian markasnya pindah ke Pathankot tem-pat ia dan pengikutnya mengembangkan struktur partai, sikap politik, ideologi dan rencana aksi. Ketika India terpecah di tahun 1947, sedang Jama`at sudah meng-organisasi seluruh India, maka al-Maududi bersama 385 anggota Jama`at memilih Pakistan dan mendirikan markasnya di Lahore dengan al-Maududi sebagai pemimpin.
Setelah kemerdekaan Pakistan ini, Jama`at-i Islami maju ke barisan depan dalam perdebatan mengenai pembentukan konstitusi pertama Pakistan yang berdasar pada ajaran Islam. Organisasi ini merupakan wadah institusional bagi konsep al-Maududi dalam membangun kembali masyarakat muslim yang berdasar pada ajaran Islam, mensuplai dan melatih kader aktivis muslim yang dapat berfungsi sebagai “a vanguard of an Islamic revolutionary movement.” Popularitas al-Maududi yang semakin meningkat membuat ia semakin tidak populer di mata pemerintahan yang masih memegang teguh UU positif kolonial.
Pada bulan Maret 1948, al-Maududi dan jama`atnya mengadakan perte-muan akbar di Karachi untuk merumuskan dan mengesahkan rumusan konsepsi kenegaraan untuk diperjuangkan pada Majelis Konstituante Pakistan yang berisi prinsip-prinsip kedaulatan, hukum dasar Pakistan, pembatalan undang-undang, dan penggunaan kekuasaan yang semuanya harus berdasar pada syari`at Islam. Al-Maududi tidak banyak berhasil meyakinkan para pemimpin Liga Muslim yang kebanyakan berpendidikan barat, untuk pelaksanaan konsepsi tersebut. Maka hubungan al-Maududi dengan Liga Muslim di satu pihak dan pemerintah di lain pihak selalu diwarnai ketegangan. Tidak jarang dilakukan penangkapan terhadap
anggota Jama`at bahkan terhadap al-Maududi sendiri.
Atas tuduhan menulis dan menyebarkan pamflet yang berisi hasutan terhadap sekte Qadyani, pada 11 Mei 1953 pemerintah mengeluarkan putusan hukuman mati atas al-Maududi. Keputusan ini mengakibatkan demonstrasi besar-besaran bergerak memprotes pemerintahan Pakistan. Bukan hanya di Pakistan, para Ulama besar Islam seperti ulama terkemuka Iraq Syeikh Amjad az-Zahawi, mufti Amin al-Husaini, gerakan al-Ikhwan al-Muslimun dan Jam`iyah al-Ulama Aljazair turut melayangkan protes dan meminta amnesti al-Maududi kepada Presiden dan Perdana Menteri Pakistan meskipun al-Maududi sendiri secara pribadi – dengan keyakinan bahwa ajal ditentukan Allah – mencampakkan kesempatannya untuk meminta pengampunan dari pemerintah. Berbagai tekanan dan gelombang protes tersebut akhirnya membuahkan hasil, dan vonis mati atas al-Maududi pun dibatalkan.
Pada tanggal 23 Maret 1956 lahirlah konstitusi Pakistan yang telah menampung sebagian dari konsepsi al-Maududi. Meskipun demikian, konstitusi tersebut masih banyak kekurangan yang menyebabkan al-Maududi terus bekerja keras, menggerakkan Jama`at untuk berkampanye, berpromosi dan mensosialisasikan esensi konstitusi yang berupa teks-teks dan hukum-hukum. Tapi usaha tersebut harus terhenti oleh manuver militer yang alergi dengan gerak-
an Islamisasi konstitusi. Jenderal Muhammad Ayub Khan, seorang muslim modernis yang berorientasi barat, merebut kepemimpinan dengan kudeta militer pada bulan oktober 1958.
Dengan kondisi darurat militer seperti ini, al-Maududi terus mengkritik otoritas militer melalui majalah Turjuman al-Qur`an-nya. Ia menentang keras ku-deta militer dalam setiap ceramahnya hingga pada tanggal 6 Januari 1964 peme-rintah mengeluarkan keputusan melarang gerakan Jama`at-i Islami, pemberedelan majalah Turjuman, menutup kantor-kantor Jama`at dan menangkap al-Maududi beserta para pengikutnya. Untuk kesekian kalinya gelombang protes kembali muncul. Sejumlah pengacara dari dunia Islam secara sukarela menawarkan diri untuk membela al-Maududi. Ribuan teleks dan surat pun datang ke pemerintah Pakistan dengan mengungkapkan kemarahan mereka atas apa yang terjadi dengan Jama`at-i Islami dan al-Maududi. Pada bulan Oktober 1964, Mahkamah Agung Pakistan mencabut pelarangan Jama`at-i Islami.
Selama tahun 1956 sampai dengan 1974, al-Maududi melakukan beberapa kunjungan ke berbagai negara. Ia memberikan ceramahnya di Kairo, Damaskus, Amman, Makkah, Madinah, Jeddah, Kuwait, Rabat, Istanbul, London, New York, Toronto dan sejumlah besar pusat-pusat Internasionl. Selama tahun-tahun ini, ia juga berpartisipasi dalam sepuluh konferensi Internasional. Ia juga mengadakan study tour ke Saudi Arabia, Jordan, Jerussalem, Syria dan Mesir di tahun 1959-1960 untuk meneliti aspek-aspek geografis dari beberapa tempat yang disebut dalam al-Qur`an. Ia juga diundang untuk menjadi komite penasehat yang disiapkan untuk pembangunan Universitas Islam Madinah dan juga bergabung pada dewan akademik pada permulaan berdirinya Universitas ini di tahun 1962. Ia juga adalah anggota dari Komite Yayasan Rabitah al-Alam al-Islami, Makkah, dan Akademi Penelitian Hukum Islam di Madinah. Pendek kata, ia adalah menara inspirasi bagi muslim dunia dalam mempengaruhi kondisi dan corak pemikiran umat Islam.
Pada April 1979, penyakit ginjalnya semakin memburuk disamping pe-nyakit jantung. Ia pergi ke Rumah Sakit di Bufallo, New York, dimana anak laki-laki keduanya bekerja sebagai dokter, untuk menjalani perawatan. Bahkan ketika di Buffalo, waktu al-Maududi secara intelektual masih produktif. Ia menghabiskan sebagian waktunya me-review karya-karya orientalis tentang riwayat Nabi Muhammad saw dan sempat juga bertemu dengan beberapa tokoh muslim. Mela-lui sedikit operasi pembedahan, al-Maududi wafat pada tanggal 22 September 1979 dalam usia 76 tahun. Pengurusan jenazahnya diselenggarakan di Buffalo dan dikuburkan di kediamannya di Ichra, Lahore setelah melalui proses pemakaman yang begitu besar di sepanjang kota.
3. Pemikiran dan karya-karyanya
Al-Maududi telah menulis lebih dari 120 buku dan pamflet, dan telah menyampaikan lebih dari 1000 pidato dan pernyataan pers. Deretan subjek yang ia bahas meliputi berbagai tema yang luas seperti Tafsir, Hadits, Hukum, Filsafat, Sejarah, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Teologi dan sebagainya dengan meng-hubungkan berbagai masalah tersebut dengan prinsip dan ajaran Islam. Karya ter-besarnya adalah Tafhim al-Qur`an, sebuah tafsir monumental yang berbahasa Ur-du yang penggarapannya memakan waktu hingga 30 tahun. Karakteristik dari taf-sir ini adalah mengetengahkan makna dan pesan dari al-Qur`an dengan gaya baha-sa yang menyentuh qalbu dan pikiran pembaca, dan menunjukkan relevansinya dengan setiap permasalahan sehari-hari, baik dalam taraf individu maupun sosial. Karya-karya besarnya yang lain diantaranya seperti: al-Jihad fi al-Islam, Islamic Law and Constitution, A Short History of Revivalist Movement in Islam, Towards Understanding Islam, al-Khilafah wa al-Mulk, Daur al-Talabah fi binnai Mustaq-bal al-`Alami Islami, Waqi`al-Muslimin sabil an-Nuhudi bi him, Ushul al-Iqtisad baina al- Islami wa an-Nuzum al-Mu`asirah, Correspondence Between Maulana Maudoodi and Maryam Jameelah, Mabadi` al-Islam, dan sebagainya. Buku-bu-kunya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti bahasa Arab, Inggris, Turki, Persia, India, Perancis, Jerman, Bengali, dan saat ini terjemahan karya-karyanya makin digalakkan dan tersedia dalam bahasa-bahasa lain di benua Asia, Afrika maupun Eropa.
Pada awal-awal tulisannya, al-Maududi mengkritik tasawuf dan praktek tarikat di India. Seperti Hasan al-Banna, ia tidak setuju kalau tasawuf dihilangkan, namun ia ingin memperbaruinya dan menyesuaikannya dengan ketentuan Islam dan membersihkannya dari hal-hal bid`ah yang tidak bersumber dari Islam. Ia juga membahas masalah ekonomi Islam dengan memandangnya sebagai penerapan hukum Islam pada soal-soal muamalah seperti waris, riba dan hak pekerja. Ia juga memperhatikan peranan wanita dan kaum minoritas di negara Islam, yang menurutnya sudah ditetapkan oleh syari`at seperti penjelasan tentang kaum zimmi, hak-hak wanita dan kesopanan mereka dalam berbusana.
Fokus yang paling mencolok dari pemikiran al-Maududi adalah bentuk dan konstitusi negara Islam. Tujuannya adalah untuk membuktikan bahwa negara Islam, selain ideal, juga mengungguli model barat dan sosialis. Menurutnya, kaum muslimin akan menginginkan negara Islam jikalau mereka menyadari ajaran Islam dan keefektifan serta keunggulan dari negara Islam. Al-Maududi mendukung is-lamisasi masyarakat sebelum menegakkan negara Islam sehingga ia banyak mene-kankan pada aspek pendidikan. Karena menurutnya, keberhasilan negara Islam tergantung pada legitimasinya di mata masyarakat. Jika negara diislamisasikan se-belum masyarakat, maka negara akan terpaksa menggunakan otokrasi untuk me-maksakan kehendaknya pada masyarakat yang belum siap dan keberatan. Menu-rutnya, negara Islam tidak bisa memaksakan pemberlakuan hukum Islam, kecuali kalau masyarakat mau memenuhi tuntutan hukum Islam. Idealnya, rakyat yang menuntut diterapkannya syari`at, dan pemerintah mengesahkannya. Pendapatnya ini tercermin dalam penerapan hukuman hudud yang menurutnya dapat diterapkan jika masyarakat sudah terislamisasi sepenuhnya, sehingga masyarakat tahu persis ajaran Islam dan tak ada alasan untuk menolak syari`at. Dengan demikian, pendidikan dan islamisasi masyarakat mutlak diperlukan.
Menurut al-Maududi, Islam adalah agama yang paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur seluruh segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik dan sistem kenegaraan. Soal-soal kenegaraan yang tidak terdapat dalam syari`at secara jelas, harus diputuskan oleh kesepakatan umat Islam. Hak untuk menjelaskan suatu undang-undang atau menafsirkan suatu nash merupakan hak bagi setiap warga negara muslim yang telah mencapai tingkat mujtahid. Dan jika nash (al-Qur`an dan Hadits) telah memaparkan dengan jelas, maka seluruh warga, ulama, maupun badan legislatif tidak berhak mengubah ketetapan tersebut. Setiap kekuasaan, kedaulatan dan tindak tanduk warga yang dibatasi oleh ketetapan Allah ini melahirkan istilah sistem Theodemokrasi dalam pemikiran al-Maududi.
B. Pemikiran Al-Maududi Mengenai Hubungan Antar Lembaga Negara
Satu hal mencolok yang bisa kita tangkap dari berbagai pokok pemikiran al-Maududi tentang Islam adalah bahwa Islam adalah agama yang paripurna, yang aturannya mencakup segala segi kehidupan manusia. Bahwa Islam telah menyediakan dasar, prinsip dan pedoman bagi berbagai permasalahan hidup manusia sebagai jalan keselamatan yang dikaruniakan oleh Tuhan kepada umat manusia. Dan pedoman itu adalah berupa al-Qur`an dan as-Sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
A. Al-Qur`an dan `Ulūm al-Qur`an / Tafsir
Abduh, Muhammad, Tafsˉir al-Qur`ān al-Hakˉim asy-Syahˉir bi tafsˉir al-Manār, cet. ke-2, Beirut: Dār al-Ma`rifah, 1973.
Departemen Agama R.I., Al-Qur`an dan Terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur`an Depag R.I., 1979.
Shihab, Muhammad Quraish, Wawasan al-Qur`an: Tafsir Maudhu`i atas Pelba-gai Persoalan Umat, cet. ke-14, Bandung: Penerbit Mizan, 2003.
B. Al-Hadˉis dan `Ulūm al-Hadˉis
Hanbal, Ahmad Ibn, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal wa bihā misyih muta-khab kunuz al-`Ummāl fˉi sunan al-Aqwāl wa al-Af`āl, Beirut: Dār as-Sādr, t.t.
Muslim, Sahˉih Muslim bi Syarh an-Nawawiy, Ttp.: Dār al-Fikr, 1983.
Saurah, Abū `ˉIsā Muhammad Ibn`ˉIsā Ibn, al-Jāmi` as-Sahˉih wa huwa Sunan at-Tirmizׂiy, Ttp.: Dār al-Fikr, t.t.
Wensinck, A. J. , al-Mu`jam al-Mufahras li Alfāz al-Hadˉisׂan-Nabawiy, Leiden: Brill, 1936.
Zaglūl, Abū Hājar Muhammad as-Sa`ˉid Ibn Basyūnˉi, Mausū`ah Atrāf al-Hadˉisׂan-Nabawiy asy-Syarˉif, Beirut: Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah, t.t.
C. Fiqh dan Usūl al-Fiqh
Ahmadi, Tri Yudianto, “Konsep Majelis Syura Menurut Pemikiran Abul A`la Al-Mau-dudi dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Menurut Hukum Tata Negara Republik Indonesia,” skripsi sarjana Fakultas Syari`ah Institut Agama Islam Negeri Sunan Kaljaga Yogyakarta, 1998.
Bahansawi, Salim Ali al-, Wawasan Sistem Politik Islam, alih bahasa Mustolah Maufur, cet. ke-1, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996.
Busthomi, Ach. Noor, “Studi Kritis terhadap Konsep Syura Sayyid Abul A`la Al-Maududi dan Implementasinya Dalam Sistem Poltik Islam,” skripsi sarjana Fakultas Syari`ah Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2002.
Huwaidy, Fahmi, Al-Qur`an dan Kekuasaan, alih bahasa Kathur Suhardi, cet. ke-2, Solo: CV Pustaka Mantiq, 1982.
Imran, Mochammad, “Konsepsi Kekuasaan Menurut Al-Maududi dan Relevansinya di Indonesia,” skripsi sarjana Fakultas Syari`ah Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1998.
Maududi, Abul A`la al-, Islamic law and Constitution, Lahore: Islamic Publications (Pvt) Ltd., 1997.
—-, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam, alih bahasa Muhammad Al-Baqir, cet. ke-4, Bandung: Mizan, 1993.
Mudzhar, M. Atho, “Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi,” dalam M. Amin Abdulah, dkk., (ed.), Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman, cet. ke-1, Yogyakarta: SUKA-Press, 2003.
Nasution, Khoiruddin, “Islam dan Demokrasi,” Jurnal Ilmu Syari`ah Asy-Syir`ah, Vol.36,No.I, 2002.
Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, cet. ke-5, Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2000.
Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, cet. ke-3, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.
Shiddieqy, T. M. Hasbi ash-, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam, cet. ke-2, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, edisi kelima, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1993.
Widodo, L. Amin, Fiqih Siasah dalam Sistem Kenegaraan dan Pemerintahan, cet. ke-1, Yogyakarta: Sumbangsih Offset, 1994.
D. Kelompok Buku Lain
Ali, H. A. Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan, 1996.
Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Bashori, Ahmad Dumyathi, “Abul A`la al-Maududi: Jama`at Islam dan Revolusi Damai,” Majalah Islam Sabili Meniti Jalan Menuju Mardhotillah, edisi khusus No.01, Th. ke-10, 25 Juli 2002.
Brace, Richard M., “Louis,” The World Book Encyclopedia, U.S.A: World Book Inc., 1987, XII.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998.
Coulson, Noel J., A History of Islamic Law, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1991.
Daman, Rozikin, Hukum Tata Negara (Suatu Pengantar), cet. ke-1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993.
Djamaluddin, Dedy dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998.
Duverger, Maurice, Teori dan Praktek Tata Negara, alih bahasa Suwirjadi, cet. ke-2, Jakarta: Pustaka Rakyat, 1961.
Esposito, John L., Islam dan Politik, alih bahasa Joesoef Sou`yb, cet. ke-1, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Kansil, C.S.T., Hukum Antar Tata Pemerintahan (Comparative Government) Dalam Rangka Perbandingan Hukum Tata Negara, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1986.
Locke, John, “Concerning The True Original Extent and End of Civil Govern-ment,” dalam Robert Maynard Hut Chins (ed.), Great Books of Western World, Encyclopaedia Britannica, Inc., 1989, XXXV.
Lowenthal, David, “Montesquieu,” dalam Leo Strauss dan Joseph Cropsey (ed.), History of Political Philosophy, edisi ke-3, Chicago: The University of Chicago Press, 1987.
Montesquieu, Charles de , “The Spirit of Laws,” dalam Robert Maynard Hut Chins (ed.), Great Books of The Western World, Encyclopaedia Britannica, Inc., 1989, XXXVIII.
Nasr, Sayyid Vali Reza, “Maududi dan Jama`at-i Islami: Asal-usul, Teori dan Praktek Kebangkitan Islam,” dalam Ali Rahnema (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam, alih bahasa Ilyas Hasan, cet. ke-2, Bandung: Mizan, 1996.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikian dan Gerakan, cet. ke-2, Jakarta: Bulan Buntang, 1996.
Soehino, Hukum Tata Negara Sistem Pemerintahan Negara, Yogyakarta: Liberty, 1993.
Strayer, Joseph R. dan Hans W. Gatzke, The Mainstream of Civilization since 1660, edisi ke-3 New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., 1979.
Suny, Ismail, Pembagian Kekuasaan Negara, Jakarta: Aksara Baru, 1978.
Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekua-saan Kehakiman.
UUD `45 dan Amandemen Dilengkapi Susunan Kabinet Indonesia Bersatu Masa Bakti 2004-2009, Solo: Giri Ilmu, 2004.
Varma, S.P.,Teori Politik Modern, alih bahasa S.M Soemarno, cet.ke-1 Jakarta: CV. Rajawali, 1987.
E. Websites
“Biography of Montesquieu,” http://www.malaspina.com/site/person_857.asp, ak-ses 15 september 2004
“Baron de Montesquieu,” http://www.rjgeib.com/thoughts/montesquieu/montes-quieu-bio.html, akses 15 september 2004
http://www.atheism.about.com/library/glossary/political/bldef_montesquieucharles.htm, akses 15 september 2004.
Montesquieu, “Considerations on the Causes of the Greatness of the Romans and their Decline,” http://www.constitution.org/cm/ccgrd_l.htm, akses 25 September 2004.
“Reviews of Persian Letters,” http://www.fetchbook.info/fwd_reviews/search _0140442812 html, akses 24 September 2004.
“Sayyid Abul Ala Maududi,” http://www.abulala.com/shortbio.asp, akses 25 September 2004.
Shiddiqie, Jimly ash-, “Otonomi Daerah dan Parlemen di Daerah,” http: //www. theceli.com/dokumen/jurnal/jimly/j013.htm, akses 2 oktober 2004.
Tanuredjo, Budiman, “Trias Politica di Zaman yang Berubah,” http://www. kompas.com/kompas-cetak/0205/02/nasional/trias08.htm, akses 2 oktober 2004.
#Skripsi
Prinsip pemisahan kekuasaan yang menjadi konsep dasar dari hubungan antar lembaga negara merupakan salah satu usaha untuk membatasi kekuasaan para penguasa. Pemikiran Montesquieu mengenai konsep ini kemudian dijadikan dasar sistem pemerintahan oleh sebagian besar negara-negara dunia. Pengikutan terhadap konsep ini oleh beberapa negara muslim dan derasnya wacana tentang pembentukan negara Islam melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang fundamental tentang bagaimana konsep hubungan antar lembaga negara bila diterapkan dalam negara Islam dan bagaimana Islam berbicara tentang hubungan antar lembaga negara. Dan satu-satunya tokoh Islam yang paling representatif dan rinci dalam membahas masalah hubungan antar lembaga negara dalam kerangka Islam adalah Abul A`la al-Maududi. Dari sini menarik untuk dikaji lebih dalam lagi melalui studi perbandingan bagaimana pemikiran Montesquieu dan al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara.
Masalah yang dipaparkan mencakup pemikiran Montesquieu dan al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara; perbedaan dan persamaan pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai hubungan antar lembaga negara; dan konsep yang ideal mengenai hubungan antar lembaga negara belajar dari perbandingan kedua pemikiran tersebut.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian pustaka dengan sifat deskriptif, analitik dan komparatif. Pendekatan masalah berupa pendekatan filo-sofis. Analisa data yang digunakan adalah induksi, deduksi dan interpretasi. Hasil penelitian yang berupa konsep ideal mengenai hubungan antar lembaga negara, selain sebagai hasil pengkajian dari studi perbandingan ini, juga merupakan hasil dari kumpulan berbagai teori seperti yang dikemukakan oleh M. Quraish Shihab, Miriam Budiardjo, Ismail Suny, Soehino dan beberapa sarjana lain.
Persamaan pemikiran Montesquieu dan al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara antara lain seperti pemisahan organ antar ketiga lembaga negara, tidak berhaknya eksekutif mengangkat anggota legislatif, tanggung jawab eksekutif di hadapan legislatif, pembatasan undang-undang atas hak penahanan preventif oleh eksekutif, dan putusan yudikatif yang harus berdasar undang-undang yang ditetapkan legislatif. Perbedaan pemikiran mereka terletak pada masalah hak eksekutif dalam menjalankan fungsi legislatif, hak legislatif dalam mengangkat kepala negara, penyelesaian kasus perselisihan antar lembaga, besarnya hak yudikatif dalam menjalankan fungsinya, hak legislatif dalam mencampuri fungsi yudikatif, dan ada atau tidaknya hak uji terhadap undang-undang bagi yudikatif. Konsep ideal yang dapat ditawarkan antara lain seperti pemisahan organ antar ketiga lembaga negara, memperbesar peran eksekutif di bidang legislatif, tanggung jawab eksekutif di hadapan legislatif, hak legislatif dalam mengangkat kepala negara, peran Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian kasus perselisihan antar lembaga, hak yudikatif dalam memberi saran dan pertimbangan hukum pada eksekutif, hak yudikatif mengadili eksekutif, pengangkatan yudikatif yang berdasar persetujuan legislatif dan eksekutif, hak penahanan preventif oleh eksekutif, tidak adanya hak bagi legislatif untuk menjalankan fungsi yudikatif, dan hak uji yang harus dimiliki yudikatif.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………i
ABSTRAK………………………………………………………………………ii
HALAMAN NOTA DINAS…………………………………………………….iii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………..v
KATA PENGANTAR………………………………………………………….vi
TRANSLITERASI……………………………………………………………..viii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………xi
BAB I: PENDAHULUAN………………………………………………………1
A. Latar Belakang…………………………………………………………1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………..8
C. Tujuan dan Kegunaan…………………………………………………8
D. Telaah Pustaka…………………………………………………………9
E. Kerangka Teoritik……………………………………………………..11
F. Metode Penelitian……………………………………………………..17
G. Sistematika Pembahasan………………………………………………20
BAB II: BIOGRAFI MONTESQUIEU DAN PEMIKIRANNYA MENGENAI HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA………………………22
A. Biografi Montesquieu………………………………………………….22
1. Sejarah Kelahiran dan Pendidikan…………………………….22
2. Pengalaman dan Aktivitas Intelektual………………………..23
3. Pemikiran dan Karya-karyanya……………………………….28
B. Pemikiran Montesquieu Mengenai Hubungan Antar Lembaga Negara.34
1. Lembaga Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif…………………39
2. Hubungan Antara Legislatif dan Eksekutif…………………..45
3. Hubungan Antara Eksekutif dan Yudikatif…………………..50
4. Hubungan Antara Legislatif dan Yudikatif…………………..52
BAB III: BIOGRAFI AL-MAUDUDI DAN PEMIKIRANNYA MENGENAI HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA……………………..55
A. Biografi Al-Maududi…………………………………………………..55
1. Sejarah Kelahiran dan Pendidikan…………………………….55
2. Pengalaman dan Aktivitas Intelektual…………………………56
3. Pemikiran dan Karya-karyanya……………………………….63
B. Pemikiran Al-Maududi Mengenai Hubungan Antar Lembaga Negara..66
1. Lembaga Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif…………………70
2. Hubungan Antara Legislatif dan Eksekutif…………………..77
3. Hubungan Antara Eksekutif dan Yudikatif…………………..80
4. Hubungan Antara Legislatif dan Yudikatif…………………..84
BAB IV: PERBEDAAN, PERSAMAAN DAN ANALISIS TERHADAP PEMI-KIRAN MONTESQUIEU DAN AL-MAUDUDI MENGENAI HU-BUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA…………………………86
A. Hubungan Antara Legislatif dan Eksekutif……………………………86
B. Hubungan Antara Eksekutif dan Yudikatif……………………………97
C. Hubungan Antara Legislatif dan Yudikatif…………………………103
BAB V: PENUTUP……………………………………………………………110
A. Kesimpulan…………………………………………………………..110
B. Saran-Saran……………………………………………………………114
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….115
LAMPIRAN…………………………………………………………………….I
1. Terjemahan……………………………………………………………………I
2. Biografi Ulama dan Sarjana………………………………………………….III
3. Curriculum Vitae.…………………………………………………………….V
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dilihat dari kacamata historis, ide konkrit mengenai pemisahan kekuasaan negara di negara-negara barat mulai muncul ke permukaan sejak paham absolutisme mencuat khususnya oleh Stuart di Inggris dan Louis XIV di Perancis. Sebagai kritik atas kekuasaan absolut raja-raja Stuart, seorang filosof Inggris yang bernama John Locke (1632-1711) melalui bukunya Two Treatises on Civil Government (1690) mengemukaan sebuah doktrin mengenai pemisahan kekuasaan. Dan ia dianggap sebagai pencetus pertama doktrin ini, yang mana mengandung suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan negara sebaiknya tidak diserahkan pada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara lebih terjamin. Menurut Locke, kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan yang terpisah satu sama lain yaitu kekuasaan legislatif sebagai pembuat hukum; eksekutif sebagai pelaksana hukum sekaligus mengadili para pelanggar hukum dan federatif yang berkuasa mengatur perang dan damai, liga dan aliansi, dan semua transaksi yang melibatkan komunitas masyarakat di luar negeri.2
Kondisi yang serupa juga terjadi di Perancis di masa pemerintahan Louis XIV (1638-1715). Ia adalah sampel dari sosok penguasa monarki absolut dengan pernyataannya yang terkenal: ”L`etat c`est moi” (aku adalah negara).3 Sistem monarki yang dibangun oleh Louis XIV adalah dengan melemahkan peranan parlemen dan menyerap seluruh bentuk kekuasaan melalui keputusan eksekutif.4 Dan satu-satunya pemikir di masa ini yang paling vokal menyerukan kritik terhadap absolutisme Louis XIV adalah Charles Louis de Secondat de la Brede et de Montesquieu (1689-1755), seorang filosof sekaligus politikus Perancis yang mengemukakan konsep pemisahan kekuasaan melalui bukunya L`Esprit des Lois (Jiwa Hukum) (1748). Menurut Montesquieu, kekuasaan negara terpisah dalam tiga bagian diantaranya Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif (Judicial). Legislatif adalah penguasa pemberlaku Undang-Undang yang bersifat sementara atau tetap, mengubah atau menghapus Undang-Undang yang telah diberlakukan. Eksekutif sebagai penguasa yang menetapkan perang dan damai, mengirim dan menerima duta, menjamin keamanan publik dan menghalau adanya invasi. Serta kekuasaan Yudikatif yang memberi hukuman para penjahat atau memutuskan perselisihan yang timbul antar perorangan.5 Mengenai hubungan antar ketiga lembaga tersebut, Montesquieu menekankan pada pemisahan secara mutlak satu sama lain,
baik mengenai tugas atau fungsi maupun mengenai alat perlengkapan atau organ
yang melakukannya.6
Dalam lapangan praktis sejarah Islam, hubungan antar lembaga negara secara substansial telah berlangsung dengan begitu dinamis pada masa Khulafa al-Rasyidin (632-661). Para khalifah tidak memutuskan suatu perkara yang berkaitan dengan pengaturan pemerintahan atau perundang-undangan kecuali dengan bermusyawarah dengan kaum cendikiawan diantara kaum Muslimin.7 Dan meskipun para hakim diangkat berdasar keputusan para Khulafa, namun para hakim itu memiliki kebebasan dari segala ikatan dan tekanan, kecuali ketakwaan pada Allah swt, ilmu dan nurani mereka. Sehingga mereka memperlakukan khalifah seperti salah seorang diantara rakyat awam dan mengadili mereka apabila ada perkara yang dihadapkan melawan mereka.8 Setelah berlalunya masa Khulafa al-Rasyidin, konsep musyawarah tidak lagi dijadikan dasar jalannya pemerintahan. Para penguasa menjauhkan diri dari para ahli ilmu yang berani menyatakan segala yang haq. Dan bila penguasa mengadakan musyawarah, maka peserta musyawarah bukanlah kaum pemikir yang dipercayai oleh umat keahlian dan keteguhan agamanya, namun hanya terdiri dari para keluarga kerajaan atau pejabat-pejabat istana.9 Pada masa Umayah(661-743) misalnya, fungsi eksekutif dan yudikatif menjadi satu dalam diri khalifah sehingga khalifah memiliki otoritas penuh untuk mengendalikan kekuasaan peradilan.10
Keadaan yang tidak jauh berbeda terus mewarnai sejarah pemerintahan Islam. Dalam catatan sejarah, bentuk monarki di dunia Islam – dimana peranan eksekutif mendominasi dengan kuat – berlangsung dari tahun 661 yaitu sejak masa Dinasti Umayah di Damaskus sampai dengan tahun 1924 setelah lembaga khilafah di Turki dihapuskan. Bentuk monarki dalam hal ini adalah monarki absolut hingga pada tanggal 23 Desember 1876 Turki Usmani merubah sistem monarki absolut ke monarki konstitusional yang berfungsi untuk membatasi kekuasaan eksekutif yang absolut. Sebelum itu pada Januari 1861, Tunis juga berubah menjadi sistem monarki konstitusional. Dua negara inilah yang merupakan pelopor hampir seluruh pemerintahan di dunia Islam untuk mempunyai konstitusi pada abad ke-20.11
Pada pertengahan abad ke-20, seorang ulama besar sekaligus politikus dari negeri metamorfosis India-Pakistan, Abul A`la al-Maududi (1903-1979), menyegarkan kembali wacana politik Islam melalui The Islamic Law and Constitution yang berisi kumpulan berbagai ceramah beliau; dan al-Khilafah wa al-Mulk yang berisi tinjauan kritis atas praktek pemerintahan Islam khususnya pada masa Umayah dan Abbasiyah.
Pada penghujung tahun 1930, Muhammad Iqbal (1873-1938) dan Muhammad Ali Jinnah (1876-1948) dari Liga Muslim India menyerukan pembagian India dan pembentukan Pakistan sebagai negara muslim yang terpisah. Disisi lain, Abdul Kalam Azad (1888-1958) dari Partai Kongres dengan gigih mendukung gabungan Muslim-Hindu dalam gerakan Nasionalisme India dengan membentuk negara India yang merdeka, bersatu dan sekuler.
Abul A`la al-Maududi menolak dua posisi dominan ini. Sikap ini berdasar pada keberatan atas bentuk nasionalisme, bahkan terhadap nasionalisme muslim. Karena menurutnya, nasionalisme adalah gejala dari barat yang berlawanan dengan Islam.12 Walaupun al-Maududi keberatan terhadap pembentukan Pakistan sebagai negara muslim yang terpisah atas dasar nasionalisme muslim, namun Setelah terbentuknya Pakistan pada tanggal 15 Agustus 1947 dengan Muhammad Ali Jinnah (Quadi Azam) sebagai Gubernur Jenderal dan Liaquat Ali Khan sebagai Perdana Menteri,13 al-Maududi akhirnya menerima realitas politik itu dan tetap berada dalam wilayah Pakistan.14
Meskipun ideologi dan lambang-lambang keagamaan sudah digunakan oleh Liga Muslim dalam pembentukan Pakistan, namun tidak ada pemahaman dan aplikasi yang jelas mengenai ideologi Pakistan. Permasalahan ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang teramat sederhana: Apa yang dimaksud dengan pernyataan bahwa Pakistan itu negara Islam modern ataupun negara muslim modern? Bagaimana ciri Islam itu dicerminkan dalam ideologi dan lembaga-lembaga negara?15 Ketika para pemuka negara baru itu berusaha merumuskan ideologi dan system pemerintahan Pakistan, Jamaat Islami (JI) – organisasi yang didirikan dan dipimpin oleh al-Maududi – melakukan tekanan untuk terbentuknya negara Islam dan segera maju ke depan dalam perdebatan (1948-1956) mengenai perumusan konstitusi Pakistan yang pertama.16
Dalam berbagai tekanan dan perdebatan itulah al-Maududi menguraikan berbagai permasalahan penting seputar prinsip-prinsip pembentukan negara Islam yang didalamnya juga disebutkan tentang berbagai lembaga negara dan hubungan yang terjalin antar lembaga tersebut.
Dalam pemikiran beliau, lembaga-lembaga negara dalam suatu negara Islam terdiri dari ahl al-hall wa al-`aqd yang berfungsi sebagai pembuat Undang-Undang, Umara sebagai penegak Undang-Undang, dan Qadha sebagai pemutus perkara atau perselisihan yang terjadi dalam masyarakat.17 Menurut al-Maududi, masing-masing lembaga negara haruslah terpisah, tetapi tidak secara mutlak. Setiap lembaga memiliki fungsi yang – dalam berbagai kondisi – saling terbuka satu sama lain. Sebagai contoh, menurut al-Maududi, lembaga yudikatif memiliki hak untuk membatalkan semua hukum dan perundang-undangan yang dibuat legislatif jika bertentangan dengan konstitusi yang tertinggi yaitu al-Qur`an as-Sunnah.18 Berbeda dengan Montesquieu yang dengan konsep pemisahan kekuasaan mutlaknya melarang seorang hakim untuk ikut campur dalam kekuasaan legislatif.19
Disini penyusun mengalami kegelisahan akademis yang cukup kuat untuk mengangkat pemikiran kedua tokoh ini. Pelaksanaan ajaran Trias Politika Montes-quieu setidaknya telah melahirkan tiga macam sistem pemerintahan, antara lain sistem pemerintahan kabinet Presidensiil seperti di Amerika Serikat; sistem pemerintahan kabinet Parlementer seperti di Inggris; dan sistem Referendum se-perti di Swiss. Ketiga sistem pemerintahan tersebut semuanya berpedoman pada ajaran Trias Politika Montesquieu, hanya saja hasil penafsirannya yang berma-cam-macam sesuai dengan keadaan sistem ketatanegaraan negara yang bersang-kutan.20 Disini bisa kita lihat bahwa pemikiran Montesquieu tentang hubungan an-tar lembaga negara telah menjadi referensi utama dan sangat berpengaruh bagi sistem pemerintahan nega-ra-negara barat. Yang kemudian menjadi kegelisahan penyusun adalah bagaima-nakah pemikiran Islam mengenai hubungan antar lembaga negara? Apakah prin-sip Montesquieu tentang masalah ini disamping paling populer juga merupakan yang paling ideal? Lalu bagaimana seharusnya sikap negara-negara muslim terha-dap sistem pemerintahannya sendiri? Apakah juga harus berupa hasil penafsiran dari pemikiran Montesquieu? Atau dari kerangka dasar Al-Qur`an dan As-Sun-nah? Menurut penyusun, jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh politik Islam lain seperti Al-Mawardi, Ibnu Abi Rabi`, Al-Farabi, Ibnu Khaldun, ataupun Ibnu Tai-miyah; maka Abul A`la Al-Maududi adalah tokoh yang paling representatif dalam menampilkan masalah hubungan antar lembaga negara dalam kerangka Islam. Al-Maududi merupakan tokoh Islam yang paling detail dan rinci dalam membahas masalah hubungan antar lembaga negara; disamping beliau memandangnya sesuai dengan kondisi umat Islam yang paling dekat dengan masa sekarang.
Berangkat dari latar belakang ini sangat menarik untuk dikaji lebih jauh dan mendalam lagi bagaimana sebenarnya pemikiran Montesquieu dan al- Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara yang selalu menjadi dinamika tiada henti dan wacana hangat bagi sistem politik negara-negara di berbagai belahan dunia.
B. Rumusan Masalah
Pokok permasalahan yang akan dipaparkan pada bagian pembahasan antara lain:
1. Bagaimana pemikiran Montesquieu dan al-Maududi mengenai hubung-an antar lembaga negara?
2. Bagaimana persamaan dan perbedaan pemikiran Montesquieu dan al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara?
3. Bagaimana konsep yang ideal mengenai hubungan antar lembaga nega-ra?
C. Tujuan Dan Kegunaan
Tujuan penulisan skripsi ini antara lain:
1. Untuk menjelaskan pemikiran Montesquieu dan al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara.
2. Untuk memaparkan persamaan dan perbedaan pemikiran Montesquieu dan al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara.
3. Untuk memaparkan konsep yang ideal mengenai hubungan antar lemba-ga negara.
Kegunaan dari penulisan skripsi ini antara lain:
1. Dapat dijadikan sebagai salah satu upaya untuk menyumbangkan pemikiran dalam rangka memberikan andil bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang fiqh siyasah, sebagai bagian dari mata kuliah yang diajarkan di Fakultas Syari`ah.
2. Dapat merupakan salah satu sumbangan pemikiran untuk memperkaya kepustakaan hukum Islam pada umumnya dan ilmu hukum tata pemerintahan pada khususnya.
D. Telaah Pustaka
Untuk menghindari duplikasi karya tulis ilmiah serta untuk menunjukkan keaslian penelitian ini, maka dirasa perlu mengkaji berbagai pustaka yang berkaitan dengan penelitian dalam skripsi ini.
Sepengetahuan penulis, kepustakaan yang membahas pemikiran Montes-quieu dan Al-Maududi dari sudut pandang hubungan antar lembaga negara belum ada. Buku-buku yang pernah ditulis kebanyakan berbicara politik dan tata peme-rintahan secara umum. Yang cukup terfokus pada tema ini misalnya karya Ismail Suny yang berjudul Pembagian Kekuasaan Negara21 yang berupa penyelidikan perbandingan dalam hukum tata negara Inggris, Amerika Serikat, Uni Sovyet dan Indonesia. Pada deretan skripsi, sebagian pemikiran politik Al-Maududi telah dibahas oleh beberapa penyusun. Diantaranya seperti Tri Yudianto Ahmadi yang membawa judul Konsep Majelis Syura Menurut Pemikiran Abul A`la al-Maududi dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Menurut Hukum Tata Negara Republik Indonesia.22 Ach. Noor Busthomi membahas Studi Kritis terha-dap Konsep Syura Sayyid Abul A`la al-Maududi dan Implementasinya Dalam Sistem Poltik Islam.23 Mochammad Imran membahas Konsepsi Kekuasaan Menurut al-Maududi dan Relevansinya di Indonesia yang lebih mengedepankan konsepsi kekuasaan secara umum. Moch. Imran sedikit menyinggung masalah hubungan antar lembaga nega-ra menurut al-Maududi. Disana ia hanya mengemukakan bahwa lembaga negara berfungsi secara terpisah serta mandiri satu sama lain.24 Disinilah letak kerancuan dan kesulitan untuk membedakan antara istilah Separation of Powers (Pemisahan Kekuasaan) dan Division of Powers (Pembagian Kekuasaan).25 Karena kajian tentang hubungan antar lembaga negara tidaklah hanya terbatas pada pemisahan organ tetapi juga interaksi yang kompleks diantara lembaga-lembaga tersebut. Pemikiran al-Maududi tentang hubungan antar lembaga negara jauh lebih dalam lagi. Jika kita teliti lebih jauh, ternyata alur pemikiran al-Maududi menyatakan bahwa fungsi dan kontrol antar lembaga negara sama sekali tidak terpisah secara mutlak sehingga disini diperlukan pembahasan yang lebih segar dan baru lagi, ter-utama ketika pemikiran al-Maududi dibandingkan dengan pemikiran Montesquieu yang setelah penulis mensurvey literatur-literatur terdahulu, belum ada sama sekali yang membahas hal tersebut.
E. Kerangka Teoritik
Dalam wacana politik barat, salah satu usaha untuk membatasi kekuasaan para penguasa adalah dengan melemahkan kedudukan mereka. Pelemahan itu bisa dengan jalan pemilihan oleh rakyat, pembagian kekuasaan dan pengawasan jurisdiksionil. Pembagian kekuasaan merupakan salah satu cara terbaik untuk mencegah keotoriteran penguasa atas rakyat.26
Cara ini oleh Ivor Jennings dalam bukunya The Law and The Constitution disebut dengan Pemisahan Kekuasaan. Ia membedakan antara pemisahan kekuasaan dalam arti material dengan pemisahan dalam arti formal.27
Pemisahan kekuasaan dalam arti material adalah pemisahan yang dipertahankan dengan tegas dalam tugas dan fungsi antara legislatif, eksekutif dan yudikatif.28 Penafsiran terhadap ajaran Montesquieu terletak pada pemisahan jenis ini. Menurut ajaran ini tidak dibenarkan adanya campur tangan atau pengaruh-mempengaruhi antar kekuasaan yang satu dengan lainnya, masing-masing terpisah dalam menjalankan fungsi dan tugas mereka.29
Doktrin Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan ini memiliki pengaruh besar pada tata pemerintahan Amerika Serikat. Namun para penyusun Undang-Undang Dasar Amerika Serikat menganggap perlu untuk menjamin bahwa masing-masing kekuasaan tidak akan melampaui batas kekuasaannya. Untuk itu setiap cabang kekuasaan diberi hak untuk mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan lainnya. Sistem ini dikenal dengan sebutan checks and balances dimana pemisahan kekuasaan tidak dipertahankan dengan tegas. Inilah yang dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal.30
Salah satu prinsip pokok bagi pemerintahan Islam adalah permusyawarat-an.31 Prinsip Syura ini telah ditetapkan dalam al-Qur`an yang turun sebelum em-pat belas abad yang lampau. Sedangkan daratan Eropa tidak mengenal istilah par-lemen kecuali pada abad ke sembilan belas. Ayat pertama tentang perintah bermu-syawarah ditujukan pada Rasulullah saw (dan orang-orang Islam sesudah beliau): “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” (Ali Imran:159). Dalam ayat kedua, perintah musyawarah disebutkan setelah perintah mendirikan shalat ketika mensifati orang-orang yang taat pada Allah swt: “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara mereka.” (asy Syura: 38).32
Prinsip musyawarah dalam pemerintahan Islam haruslah berada dalam kerangka ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya.33 Dalam surat an-Nisa ayat 59, Allah swt berfirman:
يايّهاالّذين امنوااطيعواالله واطيعواالرّسول واولىالامر منكم فان تنازعتم في شئ فردّوه الىالله والرّسول ان كنتم تؤمنون بالله واليوم الاخرذلك خيروّاحسن تأْويلا.
Dengan adanya kerangka ini, seluruh ruang lingkup kegiatan dalam suatu negara haruslah dibatasi oleh konstitusi tertinggi yang berupa al-Qur`an dan as-Sunnah. Kedaulatan yang dimiliki rakyat haruslah terkendali oleh kedaulatan hukum Tuhan dan Rasul-Nya. Dalam pengertian inilah istilah sistem Theo-demokrasi digunakan oleh al-Maududi. Sebuah sistem kenegaraan yang menyata-kan bahwa rakyat memiliki kedaulatan yang diposisikan dibawah pengawasan Tu-han.34 Dalam usaha untuk berpegang pada pedoman tersebut, dan untuk menegak-kan prinsip amr ma`ruf nahyi munkar, maka prinsip musyawarahlah yang menjadi dasar hubungan antar lembaga negara dalam Islam. Namun dikarenakan al-Qur`an dan as-Sunnah tidak menjelaskan mekanisme Syura secara eksplisit dan hanya mengandung prinsip-prinsip umumnya saja, maka konsep hubungan antar lemba-ga negara dalam Islam merupakan ruang ijtihad bagi umat Islam untuk merumus-kannya sesuai kondisi dan kebutuhan zaman. Abdul Malik Madaniy menyatakan:
Memang benar bahwa Nabi telah mempraktekkan langsung beberapa model teknis dari Syura, namun hal itu bukan merupakan bentuk baku yang wajib diikuti pada setiap zaman. Ini membuka peluang bagi umat Islam di setiap zaman untuk merancang model sendiri sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi yang senantiasa berkembang. Yang penting ialah bahwa setiap model yang diterapkan dapat mengakomodir substansi dan spirit dari Syura dalam Islam…35
Untuk lebih mengkonkritkan gambaran tentang hubungan antar lembaga negara, setidaknya ada delapan pertanyaan yang harus dimajukan untuk memper-jelas pembahasan tentang hubungan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif; baik dalam pemikiran Montesquieu maupun al-Maududi, antara lain:36
1. Bagaimana penjelasan tentang badan legislatif, eksekutif dan yudikatif?
2. Apakah orang-orang atau badan-badan yang sama dapat merangkap dua jabatan sekaligus diantara eksekutif, yudikatif dan legislatif?
3. Apakah badan legislatif yang mengontrol badan eksekutif, ataukah badan eksekutif yang mengontrol badan legislatif?
4. Adakah badan legislatif melaksanakan sebagian fungsi eksekutif dan atau badan eksekutif melaksanakan sebagian fungsi legislatif?
5. Apakah badan eksekutif yang mengontrol badan yudikatif, ataukah badan yudikatif yang mengontrol badan eksekutif?
6. Adakah badan eksekutif melaksanakan sebagian fungsi yudikatif dan atau badan yudikatif melaksanakan sebagian fungsi eksekutif?
7. Apakah badan legislatif yang mengontrol badan yudikatif, ataukah badan yudikatif yang mengontrol badan legislatif?
8. Adakah badan legislatif melaksanakan sebagian fungsi yudikatif dan atau badan yudikatif melaksanakan sebagian fungsi legislatif?
Kedelapan pertanyaan tersebut digunakan untuk memperjelas kedudukan suatu lembaga negara mengenai fungsi yang harus dijalankannya, seberapa besar fungsi lembaga lain yang dijalankan olehnya, fungsi apa saja yang harus dijalan-kan oleh lembaga lain, kontrolnya terhadap lembaga lain dan kontrol lembaga lain terhadap kekuasaannya. Dengan terjalinnya hubungan yang saling terkontrol da-lam rangka pengawasan terhadap penyelewengan atas hukum dan konstitusi, maka diharapkan akan terjalin interaksi, kerjasama dan pengawasan yang lebih terbuka dan proporsional antar lembaga-lembaga negara.
Satu hal yang tidak bisa dielakkan, bahwa interpretasi seorang pemikir se-dikit banyak akan dipengaruhi oleh berbagai variabel yang tidak tunggal. Setting sosial, latar belakang ilmu, pengalaman, karakteristik personal, serta perubahan kondisi-kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya akan mewarnai proses inter-pretasi seseorang. Oleh sebab itu, variabel-variabel tersebut tidak bisa diabaikan saat kita melakukan telaah terhadap pemikiran seseorang.37
Dalam hal ini, Abul A`la al-Maududi dengan latar religius yang cukup kental, memaparkan pemikirannya tentang hubungan antar lembaga negara dengan didasarkan pada prinsip theo-demokrasi yang telah dikemukakan di atas, yaitu prinsip yang mengakui kedaulatan rakyat yang berada di bawah pengawasan Tuhan.38 Artinya, kekuasaan rakyat tidak bersifat tidak terbatas karena dibatasi oleh hukum dan konstitusi yang berupa al-Qur`an dan as-Sunnah.
Lalu bagaimanakah menarik masalah ini ke hubungan antar lembaga negara jika pemikiran al-Maududi yang berdasarkan theo-demokrasi dibanding-kan dengan pemikiran Montesquieu yang berlandas pada prinsip demokrasi? Jawabannya bisa kita temukan dari pernyataan Montesquieu berikut:
It is true that in democracies the people seem to act as they please; but political liberty does not consist in an unlimited freedom…Liberty is a right of doing whatever the laws permit, and if a citizen could do what they forbid he would be no longer possessed of liberty, because all his fellow-citizens would have the same power.39
Disini bisa kita simpulkan bahwa bukan hanya al-Maududi yang memba-tasi kekuasaan rakyat (demokrasi) dengan hukum dan konstitusi, tetapi Montes-quieu juga melakukan pembatasan itu. Terlepas dari asal usul hukum tersebut, kita akan melihat sampai sejauh mana konsep hubungan antar lembaga negara yang dikemukakan masing-masing tokoh ini dapat meminimalisir penyelewengan terhadap hukum dan konstitusi.
F. Metode Penelitian
1.Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan dipakai penulis adalah penelitian pustaka (library research), yakni dengan meneliti sumber-sumber kepustakaan yang ada relevansinya dengan pembahasan tentang hubungan antar lembaga negara, khususnya dalam pemikiran Montesquieu dan al-Maududi.
2.Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif, analitik dan komparatif yaitu dengan menguraikan hal-hal mengenai hubungan antar lembaga negara khususnya dari kedua pemikiran tersebut kemudian mengkaji secara cermat melalui uraian analisis lalu menjelaskan persamaan dan perbedaan dari pemikiran kedua tokoh tersebut.
3.Metode Penggalian Data
Mengingat jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian pustaka, maka metode yang digunakan adalah pengumpulan data literatur atau bahan-ba-han pustaka yang koheren dengan obyek yang dimaksud. Satu-satunya karya yang paling memadai yang membahas pemikiran Montesquieu adalah karya asli Montesquieu sendiri, yaitu L`Esprit des Lois. Karya ini mencakup pembahasan yang cukup luas. Didalamnya Montesquieu bukan saja membahas masalah lembaga negara akan tetapi juga membahas tentang bentuk-bentuk pemerintahan, pengaturan militer, pajak, adat kebiasaan, ekonomi dan aga-ma yang kesemuanya dihubungkan dengan hukum. Sedangkan sumber primer dari pemikiran al-Maududi adalah karya al-Maududi sendiri yang berjudul Islamic Law and Constitutions dan al-Kilafah wa al-Mulk yang isinya didominasi oleh pemikiran dan teori politik Islam.
4. Pendekatan
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan Filosofis. Berdasar definisi yang dikemukakan Poerwadarminta, sebagaimana dikutip oleh Abudin nata, maka pendekatan filosofos dapat diartikan sebagai cara pandang yang bertolak dari penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hokum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti “adanya” sesuatu.40 Menurut Leo Strauss, filsafat merupakan pencarian kebijaksanaan dan pengetahuan universal, pada keseluruhan pengetahuan. Dan filsafat politik adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk mengetahui sifat politik dan kebenaran, atau tatanan politik yang bagaimana yang dianggap baik.41
Dalam hal ini, pendekatan akan bertolak dari pendalaman terhadap pemikiran kedua tokoh, kemudian menghasilkan sebuah pengetahuan yang utuh mengenai konsep ideal hubungan antar lembaga negara.
5.Analisa Data
a. Induksi, yaitu suatu cara yang dipakai dengan bertitik tolak dari hal-hal yang bersifat khusus, kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum. Dengan kata lain, Induksi adalah proses mengorganisasikan fakta-fakta atau hasil-hasil pengamatan yang terpisah-pisah menjadi suatu rangkaian hubungan atau suatu generalisasi.42 Dalam hal ini, pemikiran Montesquieu dan al-Maududi dianalisa berdasar pernyataan-pernyataan yang secara langsung (khusus) berkaitan dengan masalah hubungan antar lembaga negara, dan kemudian diambil kesimpulan secara umum.
b. Deduksi, yaitu suatu cara yang dipakai dengan berangkat dari kebenaran umum mengenai suatu fenomena (teori) dan menggeneralisasikan kebenaran tersebut pada suatu peristiwa atau data tertentu yang berciri sama dengan fenomena yang bersangkutan. Dengan kata lain, deduksi berarti menyimpulkan hubungan yang tadinya tidak tampak, berdasarkan generalisasi yang sudah ada.43 Dalam hal ini, pemikiran Montesquieu dan al-Maududi dianalisa dari pernyataan-nya yang bersifat umum dan tidak secara langsung berkaitan dengan hubungan antar lembaga negara, tetapi berpengaruh kuat terhadap pemikiran mereka selanjutnya tentang hubungan antar lembaga negara, kemudian disimpulkan secara khusus.
c. Interpretasi, yaitu pola pemikiran dengan melakukan penafsiran terha-dap teks-teks yang berkaitan dengan tema penelitian. Dalam hal ini, penyusun mendalami karya-karya Montesquieu dan Al-Maududi untuk memahami makna dan kandungannya serta dipaparkan oleh penyusun dalam bahasa ilmiah.
G. Sistematika Pembahasan
Sebelum mengadakan suatu penelitian, maka hal-hal yang penting dirumuskan untuk memperjelas dan memperkokoh penelitian, adalah dengan memaparkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Seluruh poin ini dibahas tuntas oleh penulis pada bab pertama skripsi ini.
Untuk menjawab dan mendeskripsikan sebagian dari pokok masalah pertama, maka di bab kedua, penulis memaparkan biografi Montesquieu dengan rincian: Sejarah kelahiran dan pendidikan, pengalaman dan aktivitas intelektual, pemikiran dan karya-karyanya; serta pemikiran Montesquieu mengenai hubungan antar lembaga negara yang meliputi: Lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif; hubungan anatar legislatif dan eksekutif; hubungan antara eksekutif dan yudikatif serta hubungan antara legislatif dan yudikatif.
Untuk menjawab dan mendeskripsikan sebagian dari pokok masalah pertama, maka di bab ketiga, penulis memaparkan biografi al-Maududi dengan rincian: Sejarah kelahiran dan pendidikan, pengalaman dan aktivitas intelektual, pemikiran dan karya-karyanya, serta pemikiran al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara yang meliputi: Lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif; hubungan antar legislatif dan eksekutif; hubungan antara eksekutif dan yudikatif serta hubungan antara legislatif dan yudikatif.
Untuk menjawab dan mendeskripsikan pokok masalah kedua dan ketiga, maka di Bab keempat, penulis memaparkan persamaan dan perbedaan pemikiran Montesquieu dan al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara serta konsep yang ideal mengenai hubungan antar lembaga negara. Karena persaman, perbedaan dan konsep yang ideal merupakan unsur-unsur yang saling berkait dan tidak dapat dipisahkan, maka penulis membahsnya dengan membagi bab ini berdasarkan tema, yaitu: hubungan antara legislatif dan eksekutif; hubungan antara eksekutif dan yudikatif serta hubungan antara legislatif dan yudikatif. Di bawah masing-masing tema tersebut kemudian dipaparkan secara tuntas mengenai persamaan dan perbedaan pemikiran Montesquieu dan al-Maududi serta konsep yang ideal mengenai hubungan antara masing-masing lembaga sesuai dengan tema diatasnya.
Untuk menarik kesimpulan yang jelas mengenai hasil penelitian skripsi ini, maka pada bab kelima, penulis memaparkan kesimpulan secara singkat dan padat, ditambah dengan beberapa saran.
BAB II
BIOGRAFI MONTESQUIEU DAN PEMIKIRANNYA MENGENAI HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA
A. Biografi Montesquieu
1. Sejarah kelahiran dan pendidikan
Keluarga Montesquieu termasuk kaum bangsawan; kakeknya adalah Presiden Parlemen Bordeaux, ayahnya, Jacques de Secondat, adalah anggota pengawal kerajaan, dan ibunya, Marie Francoise de Penel, yang wafat saat Montesquieu berumur sebelas tahun, berasal dari keluarga Inggris-Gascon.
Charles Louis de Secondat Baron de la Brede et de Montesquieu lahir di Chateau de la Brede, sekitar sepuluh mil dari Bordeaux, Perancis, pada tanggal 18 Januari 1689. Meskipun berasal dari keluarga yang berada, selama masa kanak-kanak Montesquieu berada di bawah asuhan orang tuanya yang miskin. Karena itu ia mengenal orang-orang miskin sebagai saudaranya sendiri. Pada tahun 1700, ia dikirim ke Fakultas Seni Berpidato di Juilly, dekat Meaux, dimana ia belajar kesusastraan klasik, sejarah dan ilmu pengetahuan umum hingga tahun 1711. Setelah ayahnya meninggal pada tahun 1713, ia berada di bawah asuhan pamannya dari pihak
ayah, Baron de Montesquieu, dan menjadi Dewan Penasehat Parlemen Bordeaux. Pada tahun 1715, ia menikah dengan seorang gadis Protestan, ahli waris perempuan dari sebuah keluarga militer, Jeanne Lartigue, dan dikaruniai tiga orang anak. Namun demikian, profesinya sebagai Dewan Penasehat maupun statusnya sebagai kepala keluarga, tidak menyita banyak perhatiannya untuk menuntut ilmu. Tahun 1716, pamannya wafat dan mewariskan kepada Montesquieu kedudukannya sebagai Presiden Parlemen Bordeaux, kekayaannya dan namanya; Baron de Montesquieu, yang dengan nama itu ia kemudian dikenal. Kemudian pada tahun itu juga ia menjadi anggota The Bordeaux Academy of Sciences dimana ia belajar hukum, adat istiadat serta ilmu pemerintahan negara-negara Eropa.
2. Pengalaman dan aktivitas intelektual
Meskipun memegang jabatan kepresidenan di Parlemen dan beraktivitas selayaknya seorang ahli hukum profesional, Montesquieu kelihatan lebih tertarik pada bidang kepustakaan dan model eksperimen ilmu alam.
Di Akademi Bordeaux, antara tahun 1717 sampai 1723, Montesquieu meng-ajukan sejumlah paper dalam berbagai tema diantaranya tentang politik keagamaan Romawi, sebab-sebab kemabukan, demam yang tiap sebentar kambuh, seluk beluk gema, kelemahan dan berat badan, arus air laut, peninggalan-peninggalan fosil, dan studi tentang bunga merambat. Pada satu kesempatan, ia berencana menulis tentang “Physical History of the Earth” (Sejarah Fisik Bumi) yang untuk itu ia mulai mengumpulkan bahan-bahan di tahun 1719. Namun dua tahun kemudian, ia disibuk-kan oleh topik yang sama sekali berbeda; mempublikasikan karya besar pertamanya di Amsterdam yang berjudul Lettres Persanes (Surat-Surat Orang Persia). Buku yang dipublikasikan pada tahun 1921 ini berisi tentang surat menyurat antara dua orang Persia yang melancong ke Eropa dengan teman mereka di Persia. Melalui surat-surat dari dua orang Persia ini – tokoh fiktif yang diciptakan Montesquieu – Montesquieu bebas megecam dengan penuh sindiran dan cemooh, berbagai kebodohan masyarakat Perancis tentang gaya hidup, pemerintahan, Parlemen, Akademi, Universitas, dan cercaan yang paling sengit dilontarkannya untuk gereja, Paus, dogma dan praktek agama Katolik. Dalam satu tahun buku ini sudah terjual sebanyak empat edisi asli yang sah dan sejumlah besar edisi bajakan. Ketika buku ini dipublikasikan, Montesquieu tidak mencantumkan namanya. Namun nama penulis ternyata segera dapat diketahui oleh masyarakat umum yang kemudian menominasikannya untuk masuk ke dalam French Academy. Tahun 1725, ia diterima di Frenc Academy tetapi tidak diakui oleh Raja Louis XV akibat kecamannya dalam Lettres Persanes. Di tahun berikutnya, Montesquieu menjual masa jabatan kedudukannya di Bordeaux dengan syarat bahwa setelah ia wafat, jabatan itu kembali pada anak laki-lakinya. Setelah itu ia pindah ke Paris untuk mencurahkan perhatiannya pada literatur, dan sekali lagi ia diterima di French Academy, dan diakui di tahun 1728.
Pada tahun itu juga, Montesquieu mulai mengadakan perjalanan panjang keliling Eropa untuk mengobservasi berbagai masalah hukum, masyarakat, dan adat istiadat mereka, yang kemudian dari perjalanan itu menghasilkan karya besar selanjutnya, L`Esprit des Lois. Dalam perjalanannya, ia menyertai Pangeran Waldegrave ke Vienna, mengunjungi Hongaria, singgah beberapa waktu di Venice, Florence, Naples, Genoa, dan Roma dimana ia disambut oleh Cardinal de Polignac dan Benedict XIII. Di tahun 1729, bersama Lord Chasterfield, ia pergi ke Inggris melalui Piedmont dan the Rhine. Selama delapan belas bulan di Inggris, ia menjumpai tokoh-tokoh terkemuka seperti Perdana Menteri Walpole, Swift dan Paus; serta memperoleh wawasan yang luas tentang kehidupan di Inggris. Kemanapun ia berkunjung, Montesquieu membuat catatan yang banyak tentang segala sesuatu yang ia lihat dan dengar, kemudian mempelajarinya dengan penuh semangat. Dan dari pengamatannya terhadap praktek pemerintahan Inggris inilah, ia kemudian menyandarkan pemikirannya tentang hubungan antar lembaga negara.
Setelah absen selama tiga tahun, pada tahun 1731, ia kembali pada keluarga, bisnis, perkebunan anggur dan lahan pertaniannya di Chateau de la Brede. Disana ia sering membagi waktu untuk berkunjung ke Paris, berbaur dengan para sastrawan dan teman-teman mereka di salon Madame de Tencin, du Deffand dan Geoffrin. Namun dalam interaksi itu, ia dengan hati-hati berusaha menghindari hal-hal yang berbau filsafat. Karena meskipun keyakinan agamanya tidak begitu kuat, pemikirannya tidak punya kesamaan dengan pemikiran Voltaire dan teman-temannya yang tidak mengakui adanya Tuhan.
Mulai saat itu, tujuan besar hidupnya adalah menulis L`Esprit des Lois, dan seluruh waktu luangnya dalam sanggar terpencil di la Brede disediakannya untuk itu. Adalah sebuah kebijaksanaan – menurut Montesquieu – untuk menjembatani masa peralihan antara Lettres persanes dengan L`Esprit des Lois dengan menampilkan sebuah karya yang lebih penting dari karya pertama (Lettres Persanes) dan tidak lebih terperinci dari karya yang akan datang (L`Esprit des Lois). Les Considerations sur les causes de la Grandeur et de la decadence des Romains (Studi tentang Faktor-Faktor Penyebab Kejayaan dan Kemunduran Romawi) dipublikasikan pada tahun 1734 di Amsterdam. Dalam buku ini, Montesquieu memaparkan dengan baik tentang kemajuan gemilang dan keruntuhan perlahan yang dialami kerajaan dari mulai berdirinya Roma hingga penaklukan Konstantinopel oleh Turki. Ia tidak mengisahkan berbagai peristiwa secara naratif, namun lebih memfokuskan pada mata rantai hubungan yang terjalin antar peristiwa, dengan anggapan bahwa para pembaca sudah mengetahui gambaran berbagai peristiwa tersebut. Berbeda dengan Bossuet yang dahulu telah menyediakan dua bab dalam karyanya Histoire Universelle untuk menjelaskan rangkaian perubahan di Roma, Montesquieu memaparkan subyek yang sama dengan cara yang lebih luas dan dengan hubungan antar fakta yang lebih dekat.
Secara formal, Montesquieu belum mulai menulis L`Esprit des Lois sebelum tahun 1743. Empat tahun kemudian, setelah naskah tersebut selesai, Montesquieu mengajukannya pada sekelompok sahabatnya, seperti Helvetius, Fontenelle, dan Crebillon the Younger. Meskipun mereka dengan suara bulat menolak pempublikasian buku itu, namun Montesquieu tetap menerbitkannya di Geneva pada tahun 1748. Di Perancis, buku itu mendapat sambutan yang tidak bersahabat dari pendukung maupun penentang rezim Louis XV. Tetapi di negara-negara Eropa lain, terutama di Inggris, buku ini disambut dengan penghargaan yang tinggi.
Dalam L`Esprit des Lois ini Montesquieu mengkaji tentang hukum-hukum masyarakat dan hubungannya dengan pemerintahan, karakter umum dari suatu negara, adat istiadat dan agama yang melingkupinya. Ia berusaha untuk tidak mengkaji berbagai bentuk hukum dan menjelaskan artinya, tetapi untuk menjelaskan prinsip-prinsip dasar hukum dan untuk menentukan beberapa kondisi yang harus diuji apakah suatu hukum itu diberlakukan untuk kebahagiaan manusia dalam masyarakat. Ia mengemukakan pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif; mengecam perbudakan, mendukung perlakuan yang lebih lembut pada pelaku kriminal, toleransi antar umat beragama dan kebebasan dalam menjalankan ibadah. Para negarawan pertama Amerika begitu dekat dengan L`Esprit des Lois dan darinya mereka mendapat ide tentang pemerintahan federal. Thomas Jefferson, pencetus Declaration of Independence, Hamilton, Madison, dan Jay, yang mendukung pembentukan konstitusi baru, mereka semua antusias pada pokok-pokok pemikiran Montesquieu. Kesuksesan buku ini terletak pada pengaruhnya yang begitu besar terhadap sistem politik negara-negara dunia.
Ketika merevisi bagian terakhir dari buku ini, ia berujar: “This work has nearly killed me, and now I shall rest and labor no more.” Di penghujung tahun 1745, Montesquieu berkunjung ke Paris dengan maksud menutup rumahnya disana sehingga ia dapat tinggal tetap menikmati pensiunnya di la Brede. Ketika di Paris, ia diserang demam dan wafat dua minggu kemudian pada tanggal 10 Februari 1755, dan dimakamkan di Gereja St. Sulpice, Paris. Upacara peringatan dilangsungkan untuk-nya oleh The French Academy, The Prussian Academy, dan The British Royal Society. Frederick the Great memberikan penghormatan padanya, dan dalam kaitannya dengan titah Lord Chesterfield, The London Evening Post menyatakan penyesalan atas kematiannya sebagai hilangnya seorang sahabat bagi umat manusia.
3. Pemikiran dan karya-karyanya
Sebelum menulis karya-karya besarnya, Montesquieu juga menghasilkan beberapa paper dan beberapa tulisan yang belum rampung yang ditulisnya saat belajar di Academy of Bordeaux, diantaranya: Le temple de Gnide, Essai sur le Gout, Dia-logue de Syela et d`Eucrate, Arsace et Ismenie, dan lebih dari seratus surat. Karya-karya ini sudah dikumpulkan dalam: Oeuvres Completes de Montesquieu, diedit oleh Edward Laboulaye (7 vols., Paris, 1875-1879); Melanges Inedits de Montesquieu (Bordeaux, 1892); Voyages de Montesquieu (Bordeaux, 1894-1896); dan Pensees et Fragments Inedits de Montesquieu (Bordeaux, 1899-1901).
Disamping berbagai karya tersebut, adalah tiga karya terbesar Montesquieu yang paling berpengaruh, memakan waktu dan pengumpulan bahan yang tidak sedikit, yang menggambarkan pokok pemikiran Montesquieu secara utuh, diantaranya adalah:
a. Lettres Persanes
Lettres Persanes pertama kali dipublikasikan pada tahun 1721 ketika Montes-
quieu berusia tiga puluh dua tahun. Buku ini bercerita tentang tiga orang Persia yang bernama Usbek, Rica dan Rhedi; yang mengembara ke Eropa untuk mempelajari gaya hidup dan adat istiadat di Eropa. Pada suatu waktu, Rhedi berhenti di Venice, sedangkan Usbek dan Rica melanjutkan perjalanan ke Paris. Segera setelah keberangkatan mereka, mulailah terjadi dengan cepat surat menyurat antara pengunjung dari Persia ini dengan istri-istri, para pembantu dan teman-teman mereka di Persia, begitu juga surat menyurat antar pengunjung dari Persia ini sendiri.
Buku ini berisi surat-surat tersebut, tepatnya berjumlah 161 surat dan tidak terdapat uraian cerita diantara surat yang satu dan yang lain. Masing-masing surat lebih mirip dengan sebuah karangan singkat yang menggambarkan beberapa subjek seperti dasar pemerintahan, tradisi religius, gaya hidup dari suatu masyarakat; bahkan ada beberapa surat yang datang dari sanak saudara, istri-istri, dan para pembantu tentang berbagai peristiwa yang terjadi di Persia.
Melalui surat-surat ini, Montesquieu dapat dengan bebas menyindir dan mencemooh dengan tajam Raja dan Gereja dengan berpura-pura seolah-olah pengunjung dari Persia itu yang menulis dan berpendapat demikian. Seperti ketika Usbek berbicara dalam suratnya bahwa ada seorang tukang sulap yang bahkan lebih hebat dari Raja Perancis dengan berkata, “This Magician is called the Pope” dan diteruskan dengan cemoohan lainnya untuk Paus. Pernyataan ini menyebabkan timbulnya kontroversi ketika Montesquieu dicela sebagai seorang “Unbeliever”.
Alur dari sebagian cerita dalam buku ini juga cukup menarik. Ketika Usbek dan Rica menikmati masa pencerahan di Perancis selama tujuh tahun, istri-istri Usbek,selir-selir dan para budaknya semakin merasa resah. Yang terjadi kemudian adalah para istri dan selirnya berselingkuh dengan para budak laki-laki. Dan ketika Usbek mendengar kabar tentang ini dari pembantu kepercayaannya, para wanita dan budak telah menikmati “kebebasan” yang tidak ingin mereka lepas meski melalui kekerasan. Penggalan kisah ini mengusung wacana tentang kebebasan individu dan bagaimana seseorang seharusnya bereaksi menghadapi situasi semacam itu.
Buku ini tidak hanya sukses sebagai karya sejarah, tetapi juga sebagai karya fiksi, filsafat, politik dan uraian religius; dalam banyak hal berisi realitas masa kini, sebagaimana karya ini berisi realitas pada hampir tiga ratus tahun yang lalu.
b. Les Considerations sur les causes de la Grandeur et de la decadence des Romains
Karya ini diterbitkan pertama kali tahun 1734 di Amsterdam – sebagaimana karya sebelumnya – dengan tanpa nama, yang kemudian direvisi pada edisi 1748. Karya ini merupakan salah satu karya-karya pertama dari semua usaha untuk memahami setiap jengkal sejarah Romawi.
Sebagian besar karya ini menggunakan kerangka historis, dimulai dengan asal mula Romawi dan diakhiri dengan keruntuhannya. Keterangan yang terdapat pada ju-dulnya mengindikasikan bahwa Montesquieu kurang tertarik untuk memaparkan seja-rah umum Romawi, atau bahkan juga sejarah kejayaan dan keruntuhannya, tetapi le-bih difokuskan pada penjelasan tentang sebab-sebab dari kejayaan dan keruntuhan itu.
Kekuatan Romawi awal mulanya menampakkan diri di bawah kekuasaan Raja-Raja pertama dan mencapai puncaknya dalam bentuk Republik di bawah Pompey (sekitar 65 SM), yang “…completed the splendid work of Rome`s greatness.” Namun ketika korupsi menggerogoti Romawi dari dalam, sistem republik tidak dapat dipertahankan lebih lama dan diganti dengan kerajaan yang memakai kebiasaan dan lembaga-lembaga warisan dari Republik. Karena satu dan lain hal, kerajaan mengalami keruntuhannya di akhir abad ke-4 Masehi.
Kejayaan Romawi mengandung beberapa sebab diantaranya: kebajikan masyarakatnya, sistem konsul, kebijakan senat, kekuasaan rakyat yang terbatas, konsentrasi perang, kemenangan-kemenangan, pembagian harta rampasan, pembagian tanah yang merata, censorship (pemeriksaan), pembagian kekuasaan politik, dan dukungan senat terhadap militer dan terhadap politik luar negeri.
Sedangkan kemunduran Romawi antara lain disebabkan oleh merosotnya kerjasama antara rakyat dan militer, kesenjangan ekonomi dan kekuasaan, hilangnya identitas kewarganegaraan rakyat Romawi, yang kesemuanya membuat Republik ti-dak mungkin dapat dipertahankan. Montesquieu juga mencurahkan perhatiannya pada perkembangan paham atheisme, materialisme, dan hedonisme yang menyebabkan hancurnya moral, agama, patriotisme dan kebajikan masyarakat Romawi.
Karya ini menjadi salah satu konsep yang nantinya ia kembangkan dalam L`Esprit des Lois.
c. L`Esprit des Lois
Karya terbesar Montesquieu yang terdiri dari tiga puluh satu buku ini diterbitkan pertama kali di Geneva pada tahun 1748.
Dalam kata pengantar dan buku pertama, setidaknya Montesquieu memiliki dua sasaran: untuk memahami perbedaan hukum manusia dan hukum dalam kehidupan secara umum, dan memberi sumbangsih dasar bagi terbentuknya pemerintahan yang bijaksana di setiap tempat. Kemudian ia beralih pada pengujian struktur politik sebagai penghambat konflik sosial. Menurutnya, setiap pemerintahan memiliki hakikat dan prinsip yang padanya hukum haru dihubungkan. Dan jenis-jenis pemerintahan ia kelompokkan pada tiga golongan besar diantaranya Republik (baik Demokrasi maupun Aristokrasi), Monarki dan Despotisme. Persoalan-persoalan di dalam dan luar pemerintahan-pemerintahan tersebut merupakan subjek masalah yang dipaparkan Montesquieu dalam buku kedua sampai dengan buku ke sepuluh. Pada buku kesebelas sampai tiga belas, Montesquieu menganalisis bentuk pemerintahan dengan kebebasan sebagai prinsipnya. Ia menampilkan Inggris sebagai contoh pemerintahan yang objek langsung dari hukum-hukumnya adalah kebebasan dalam arti hak untuk melakukan sesuatu yang diizinkan hukum. Di bagian ini juga Montesquieu membahas tentang pemisahan kekuasaan yang terdiri dari legislatif, eksekutif dan yudikatif;yang jika disatukan pada orang atau lembaga yang sama maka kekuasaan akan sangat terkonsentrasi dan akan timbul kesewenang-wenangan. Buku keempat belas sampai delapan belas memaparkan tentang efek keadaan iklim terhadap bentuk-bentuk perbudakan, dan hubungan antara keadaan tanah dan masyarakat primitif. Buku kesembilan belas menjelaskan hubungan antara hukum dengan prinsip-prinsip moral dan adat suatu bangsa. Buku kedua puluh sampai dua puluh dua menjelaskan hubungan hukum dengan perdagangan. Buku kedua puluh tiga membahas hubungan hukum dengan jumlah penduduk. Buku kedua puluh empat dan dua puluh lima berbicara tentang hubungan hukum dengan agama, dan pada buku kedua puluh enam berisi penyelesaian konflik yang mungkin timbul antar hukum agama (law of religion), hukum kodrat (law of nature), hukum sipil (civil law), hukum politik (political law) dan hukum bangsa-bangsa (law of nations). Pada bagian terakhir, buku kedua puluh tujuh sampai tiga puluh satu, Montesquieu membahas hukum Romawi, Perancis dan Feodal sebagai suplemen tambahan.
Dalam karya ini, Montesquieu memandang hukum sebagai hal yang paling sentral dan paling menentukan tingkah laku manusia. Menurutnya, gagasan tentang sistem hukum merupakan hasil dari kompleksitas berbagai faktor empiris dalam kehidupan manusia. Setidaknya ada dua faktor penyebab utama yang membentuk General Spirit (watak umum masyarakat) yang sangat menentukan struktur sosial politik masyarakat, yaitu faktor fisik dan faktor moral. Faktor fisik yang utama adalah iklim, keadaan geografis, dan kepadatan penduduk yang menghasilkan akibat-akibat fisiologi dan mental tertentu. Sedangkan faktor moral antara lain berupa agama, kebiasaan, ekonomi, perdagangan, cara berpikir dan suasana yang tercipta di peradilan negara.
Dalam karya ini kita akan mendapatkan pembahasan yang cukup rumit namun saling berkaitan secara logika. Dan setelah hampir tiga ratus tahun, karya ini masih tetap menjadi salah satu referensi pokok bagi setiap orang yang berkecimpung dalam dunia politik dan pemerintahan.
B.Pemikiran Montesquieu Mengenai Hubungan Antar Lembaga Negara
Negara-negara yang lahir dan berkembang pada zaman purba seperti Babylonia, Assiria, Mesopotamia dan Mesir Kuno pada umumnya memiliki penguasa yang kekuasaannya bersifat absolut, mutlak dan tidak terbatas. Mereka adalah penguasa tunggal yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam segala bidang, baik perundang-undangan, pemerintahan maupun kehakiman. Untuk mempertahankan sifat kekuasaannya tersebut, antara lain dengan cara melarang orang mengadakan pemikiran dan mengeluarkan pendapat mengenai masalah kenegaraan. Itulah sebabnya bahwa pada zaman purba tersebut ilmu kenegaraan yang menyangkut sumber dan pembatasan kekuasaan belum lahir dan berkembang. Ilmu-ilmu kenegaraan dalam sejarah perkembangan pemikirannya mulai muncul ke permukaan pada sekitar abad ke-5 SM di Athena, Yunani Kuno dengan prinsip demokrasinya. Perkembangan ini muncul akibat kebebasan yang diberikan pada setiap warga untuk berfikir dan berpendapat tentang masalah kenegaraan. Meskipun demokrasi pada masa itu sudah dikenal, namun lahirnya kembali sistem demokrasi pada abad ke-19 seakan-akan merupakan sesuatu yang baru. Ini dikarenakan sejak memasuki zaman Imperium Romawi, zaman abad pertengahan, zaman Renaissance hingga abad ke-18 Masehi, sistem demokrasi ditumbangkan oleh sistem otoriter yang absolut, mutlak dan tidak terbatas. Praktek ketatanegaraan yang absolut inilah yang kemudian dihadapi oleh John Locke di penghujung abad ke-17, Montesquieu, Jean Jacques Rousseau dan Immanuel Kant di abad ke-18. Pemikiran-pemikiran ini kemudian diikuti oleh perkembangan politik yang cukup drastis pada penghujung abad ke-18 di beberapa negara barat. Declaration of Independence dan Bill of Rights di Amerika pada tahun 1776 dan 1778, Declaration des droits de l`homme et du citoyen di Perancis pada tahun 1789, The Parlementary Reform Bill diikuti peralihan system dari oligarki ke demokrasi pada abad ke-19 dan 20 di Inggris.
Dengan adanya gebrakan pemikiran dari beberapa tokoh tersebut – tanpa adanya jaminan kebebasan berpikir dari pemerintah seperti pada masa Yunani Kuno – akhirnya wacana tentang sumber dan pembatasan kekuasaanpun ikut mencuat ke permukaan dengan munculnya teori pemisahan lembaga kekuasaan oleh Locke dan Montesquieu, kedaulatan rakyat oleh Rousseau dan Negara Hukum oleh Immanuel Kant. Munculnya sistem pemerintahan presidensil, parlementer dan referendum yang dianut oleh negara-negara di Eropa, merupakan hasil penafsiran dari teori pemisahan kekuasaan Montesquieu yang membagi kekuasaan tersebut ke dalam tiga lembaga yang terpisah satu sama lain.
Prinsip pemisahan lembaga kekuasaan ini, oleh Montesquieu diawali dengan wacana tentang makna kebebasan. Menurut Montesquieu – sebagaimana yang ia tulis dalam buku kesebelas dari L`Esprit des Lois-nya – kata-kata liberty (kebebasan) memiliki variasi makna yang tak terhingga. Sebagian orang mengunakan istilah itu untuk menggulingkan penguasa tirani. Sebagian lagi menggunakannya sebagai kekuasaan untuk memilih pemimpin yang harus mereka taati. Ada juga yang menyamakannya dengan hak untuk membawa senjata dan menggunakan kekerasan. Yang lain mengartikan kebebasan sebagai hak istimewa untuk diperintah oleh pemimpin pribumi dari daerah mereka sendiri, atau oleh hukum-hukum mereka sendiri. Beberapa orang mengkaitkan kebebasan dengan bentuk pemerintahan yang mereka kehendaki; mereka yang memiliki selera republik mengkaitkan kebebasan pada sistem ini, mereka yang menyukai monarki menerapkannya pada sistem monarki. Jadi mereka semua telah menerapkan istilah kebebasan pada pemerintahan yang paling cocok dengan kebiasaan dan kecenderungan mereka. Oleh karena rakyat dalam sistem republik tidak memiliki pandangan yang pasti dan gamblang mengenai sebab-sebab penderitaan mereka dan juga karena para hakim sepertinya bertindak sesuai hukum, maka secara umum kebebasan dapat dikatakan berada pada sistem republik, bukan pada sistem monarki. Jadi karena dalam sistem demokrasi rakyat kelihatannya dapat berbuat sesuka mereka, maka jenis pemerintahan ini dianggap paling bebas dan kebebasan itu langsung dikaitkan dengan kekuasaan rakyat. Meskipun benar bahwa dalam demokrasi rakyat sepertinya dapat bertindak sesuka mereka, namun kebebasan politik tidaklah berarti kebebasan tanpa batas. Dalam suatu pemerintahan dan komunitas masyarakat yang diatur oleh hukum, kebebasan hanyalah merupakan kekuasaan untuk melakukan sesuatu yang seharusnya kita lakukan dan bukanlah merupakan desakan untuk melakukan sesuatu yang seharusnya tidak kita lakukan. Dengan kata lain, kebebasan adalah hak untuk melakukan segala sesuatu yang dibolehkan hukum. Dan jika seorang warga boleh melakukan sesuatu yang dilarang hukum maka sebenarnya ia tidak dapat merasakan kebebasan lebih lama lagi karena semua warga lain dalam negara itu akan mempunyai kekuasaan yang sama.
Sistem demokrasi dan aristokrasi pada hakikatnya tidaklah bebas. Kebebasan politik – yang didefinisikan sebagai ketenangan pikiran yang timbul dari pendapat bahwa tiap-tiap orang berada dalam keadaan aman – hanya bisa ditemukan dalam pemerintahan yang moderat, bahkan dalam pemerintahan inipun kebebasan politik tidak selalu ditemukan. Kebebasan semacam ini hanya ada ketika tidak ada penyalahgunaan kekuasaan. Namun pengalaman secara terus menerus menunjukkan kepada kita bahwa setiap orang yang dilimpahi kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakannya, dan meluaskan kekuasaan itu sejauh-jauhnya. Karena itu untuk mencegah penyalahgunaan ini maka sudah semestinyalah kekuasan harus dikontrol oleh kekuasan.
Meskipun setiap pemerintahan memiliki tujuan umum yang sama, yaitu kelestarian pemerintahannya, namun masing-masing pasti memiliki tujuan khusus yang berbeda-beda. Perluasan wilayah adalah tujuan Imperium Romawi, perang adalah tujuan Sparta, agama adalah tujuan hukum Yahudi, perdagangan adalah tujuan Marseilles, ketertiban umum adalah tujuan hukum China, pelayaran adalah tujuan hukum Rodesia, kebebasan alami adalah tujuan orang-orang primitif, kesenangan penguasa biasanya adalah tujuan dalam sistem monarki, dan kebebasan individu adalah tujuan yang ingin dicapai hukum Polandia. Dari berbagai tujuan-tujuan khusus tersebut, selanjutnya tanpa terkecuali akan menghasilkan penindasan atas seluruh rakyat. Namun ada juga suatu negara di dunia ini yang mencanangkan kebebasan politik sebagai tujuan langsung konstitusinya. Kebebasan itu dibangun di atas prinsip-prinsip, dan bila prinsip-prinsip tersebut kuat, maka kebebasan akan tampil dengan sempurna. Tidak sulit untuk menemukan kebebasan politik. Jika kita mampu melihat dimana keberadaannya, kebebasan itu akan ditemukan dan kita tidak perlu jauh-jauh untuk mencarinya.
Hilangnya kebebasan politik karena penyalahgunaan kekuasaan mencuatkan prinsip pengontrolan kekuasaan oleh kekuasaan yang oleh Montesquieu dikonkritkan dalam bentuk pemisahan kekuasaan agar kekuasaan tidak terkonsentrai sepenuhnya pada satu tangan atau badan dengan membagi kekuasaan ke dalam tiga lembaga yang saling terpisah; legislatif, eksekutif dan yudikatif. Adalah sebuah kemustahilan membahas pemikiran Montesquieu tentang hubungan antar ketiga lembaga ini tanpa terlebih dahulu memaparkan pandangannya tentang masing-masing lembaga secara terpisah. Di bawah ini adalah pemikiran Montesquieu mengenai ketiga lembaga tersebut dan dilanjutkan dengan hubungan antara ketiganya.
1. Lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif
a. Lembaga legislatif
Lembaga legislatif merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan untuk membuat undang-undang yang bersifat sementara atau tetap, dan mengubah atau menghapus undang-undang yang telah diberlakukan.
Sebagaimana dalam suatu negara yang bebas, dimana setiap warga diberi kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri, maka seharusnyalah kekuasaan legislatif berada dalam seluruh tubuh rakyat. Tetapi karena ini tidak mungkin diterapkan dalam negara yang luas, dan di negara yang kecilpun mengalami banyak kesulitan, maka tepatlah bahwa rakyat seharusnya bertindak melalui wakil-wakil mereka dalam hal yang mereka tidak dapat bertindak sendiri.
Penduduk yang berada dalam kota tertentu dapat mengenal dengan lebih baik kepentingan dan keinginan mereka sendiri daripada penduduk kota lain. Begitu juga mereka dapat menilai dengan lebih baik kemampuan dan kecakapan teman-teman satu kota mereka daripada penduduk kota lain di negara yang sama. Oleh karena itu, para anggota legislatif haruslah tidak dipilih dari badan umum suatu negara; tetapi pada tempatnyalah bahwa dalam setiap kota sedapat mungkin seorang wakil harus terpilih oleh penduduk kota tersebut. Keuntungan besar yang dapat diperoleh dari sistem perwakilan ini adalah kemampuan mereka dalam mendiskusikan persoalan-persoalan umum. Ini karena rakyat yang berkumpul secara keseluruhan sangat tidak patut melakukannya, yang mana hal ini adalah salah satu kesulitan utama untuk menegakkan sistem demokrasi langsung. Semua penduduk yang berada dalam beberapa wilayah pemerintahan harus memiliki hak untuk memberikan suaranya dalam pemilihan wakil rakyat, kecuali para penduduk yang berada dalam situasi sedemikian rupa sehingga dianggap tidak memiliki kehendak sendiri.
Terdapat satu kesalahan besar pada sebagian besar republik kuno, bahwa rakyat memiliki hak untuk mengambil keputusan aktif seperti melaksanakan hukuman mati – sesuatu hal yang mutlak tidak layak mereka lakukan. Mereka semestinya tidak boleh memiliki peranan dalam pemerintahan selain dalam memilih wakil-wakil rakyat, yang masih dalam jangkauan mereka. Karena meskipun hanya sedikit yang dapat mengatakan tingkat kemampuan seseorang secara pasti, tetapi mereka dapat mengetahui secara umum apakah orang yang mereka pilih memiliki kemampuan lebih baik dibanding sebagian besar orang disekitarnya.
Badan Perwakilan tidak boleh dipilih untuk bagian pemerintahan eksekutif, karena tidak begitu cocok. Tetapi lembaga perwakilan ini boleh dipilih untuk membuat undang-undang atau untuk mengawasi apakah hukum telah dijalankan sebagaimana mestinya – suatu hal yang cocok dengan kemampuan mereka yang tidak seorangpun kecuali mereka yang dapat melakukannya dengan tepat.
Dalam suatu negara semacam ini, selalu ada sekelompok orang yang terkenal karena kelahiran, kekayaan dan kehormatan mereka yang tergolong sebagai kaum bangsawan. Namun ketika mereka berbaur dengan rakyat kebanyakan dan hanya memiliki bobot satu suara seperti orang lain, maka kebebasan umum di mata rakyat akan menjadi perbudakan di mata mereka dan mereka tidak berminat untuk mendukungnya karena sebagian besar keputusan rakyat akan menentang mereka. Oleh karena itu, keikutsertaan mereka dalam legislative haruslah seimbang dengan keuntungan-keuntungan mereka lainnya dalam negara; yang dapat terjadi hanya apabila mereka membentuk suatu badan yang memiliki hak untuk memeriksa kebejatan rakyat, sama seperti rakyat memiliki hak untuk melawan mereka apabila mereka berbuat melampaui batas. Oleh karena itulah, kekuasan legislatif harus dipercayakan pada badan yang terdiri dari para bangsawan dan badan lain yang mewakili rakyat, yang masing-masing mengadakan pertemuan dan pertimbangan sendiri, dan memiliki pandangan dan kepentingan sendiri pula. Jika badan legislatif hanya terdiri dari wakil rakyat maka kepentingan kaum bangsawan akan tersingkirkan oleh sebagian besar keputusan rakyat yang menentang mereka. Bagian badan legislatif yang terdiri dari kaum bangsawan sangatlah tepat untuk mengatur dan melunakkan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif yang mewakili rakyat. Lembaga yang terdiri dari kaum bangsawan ini haruslah turun temurun, karena memang begitulah pada hakikatnya dan selanjutnya lembaga ini pasti memiliki kepentingan yang sangat besar untuk mempertahankan hak-hak istimewa mereka yang membangkitkan kecemburuan dan tidak disenangi oleh rakyat, serta selalu terancam dalam negara yang bebas.
Akan tetapi sebagaimana kekuasaan turun temurun dapat tergoda untuk mengejar kepentingan-kepentingan mereka sendiri dan melupakan kepentingan-kepentingan rakyat, maka pada tempatnyalah bila suatu keuntungan dapat diperoleh dengan kemungkinan kerugian di pihak bangsawan. Keuntungan itu adalah dengan tidak memberikan peranan kepada bangsawan dalam legislation (perundang-undangan) kecuali kekuasaan untuk menolak dan bukan untuk memutuskan. Yang dimaksud dengan kekuasaan untuk memutuskan adalah hak untuk menetapkan atau mengubah undang-undang yang telah ditetapkan pihak lain dengan kewenangan mereka sendiri. Dan yang dimaksud dengan kekuasaan untuk menolak adalah hak untuk menghapus atau membatalkan keputusan yang telah ditetapkan pihak lain. Dan meskipun orang yang memiliki kekuasaan untuk menolak juga dapat mempunyai hak untuk menyetujui, namun persetujuan ini diterima tidak lebih sebagai pernyataan bahwa ia bermaksud untuk tidak menggunakan hak istimewanya untuk menolak. Jadi hak menyetujui itu secara otomatis adalah konsekuensi dari adanya hak untuk menolak tersebut.
b. Lembaga eksekutif
Lembaga ini merupakan lembaga yang menyatakan perang dan damai, mengirim atau menerima duta, memelihara keamanan umum, membangun persiapan dalam menghadapi invasi, dan melaksanakan ketentuan perundangan yang ditetapkan oleh badan legislative yang mewakili rakyat.
Kekuasaan eksekutif haruslah berada di tangan seorang Raja, karena cabang pemerintahan ini, yang perlu menyelesaikan berbagai hal dengan cepat, lebih baik bila diurus oleh satu orang daripada banyak orang; berbeda dengan kekuasaan legis-latif yang sering kali lebih baik diurus oleh banyak orang daripada satu orang saja.
Pembahasan tentang wewenang dan perihal kekuasaan eksekutif akan dibicarakan lebih lanjut dalam hubungannya dengan kekuasaan legislatif dan yudikatif di bagian lain bab ini.
c. Lembaga yudikatif
Lembaga ini merupakan lembaga yang menghukum para pelaku kriminal atau memutuskan perselisihan yang timbul antar perseorangan.
Kekuasaan yudikatif tidak boleh diberikan kepada sebuah senat tetap, melainkan harus dijalankan oleh orang-orang yang diambil dari tubuh rakyat pada waktu-waktu tertentu, sesuai dengan bentuk dan cara yang telah ditentukan hukum, untuk membangun sebuah lembaga dalam jangka waktu tertentu yang berlaku hanya selama kebutuhan menghendaki.
Dengan cara ini kekuasaan yudikatif yang begitu menakutkan rakyat menjadi seolah-olah tidak terlihat, karena tidak dilimpahkan kepada suatu pemerintahan atau profesi tertentu. Dengan begitu, rakyat tidak terus menerus dibayangi oleh hakim. Meskipun mereka takut pada lembaganya, namun mereka akan merasa lebih nyaman berhadapan dengan hakim.
Dalam perkara tuduhan yang berat dan bersifat kriminal, si tertuduh – dalam batas tertentu –harus diberi hak untuk memilih sendiri hakim yang akan mengadilinya, sesuai dengan hukum. Atau setidaknya ia diberi hak untuk memisahkan beberapa orang dari sejumlah hakim, sehingga hasil pemilahannya itu dapat dianggap sebagai pilihannya sendiri.
Kekuasaan legislatif dan eksekutif bisa dilimpahkan pada para pejabat atau lembaga yang tetap karena kekuasaan ini tidak diterapkan pada persoalan-persoalan yang bersifat pribadi; dimana kekuasaan legislatif tidak lebih merupakan kehendak umum negara dan kekuasaan eksekutif hanyalah sebagai pelaksana kehendak umum itu. Meskipun kedua kekuasaan ini dapat dilimpahkan pada lembaga yang tetap, namun – sebagaimana telah disinggung di atas – kekuasaan yudikatif tidak boleh dipegang oleh pejabat tetap dan harus melepas kekuasaannya bila perkara yang diadili telah selesai.
Kekuasaan yudikatif sampai tingkat tertentu harus dilaksanakan sesuai dengan bunyi undang-undang. Jika keputusan lembaga ini merupakan pendapat pribadi hakim, maka rakyat akan tetap hidup dalam masyarakat tanpa mengetahui dengan pasti hakikat kewajiban mereka.
Para hakim di lembaga ini juga harus setingkat dan sederajat dengan tertuduh, agar si tertuduh tidak berpikiran bahwa ia jatuh ke tangan orang-orang yang cenderung akan memperlakukannya dengan keras. Melalui lembaga ini, para warga negara yang bisa menjamin bahwa tindakan mereka itu baik sedang mereka dituduh berbuat jahat, dapat dengan leluasa menjawab segala tuduhan tersebut di hadapan suatu sidang sehingga mereka benar-benar bebas dari belenggu kekuasaan apapun selain dari kekuasaan hukum semata.
2. Hubungan antara legislatif dan eksekutif
Pernyataan Montesquieu yang paling popular dalam kaitannya dengan hubungan antar kedua lembaga ini adalah bahwa bila kekuasaan legislatif dan eksekutif disatukan pada orang atau lembaga yang sama, tidak mungkin ada kebebasan, kecuali Raja dan senat sama-sama memberlakukan dan menjalankan hukum dengan sewenang-wenang.
Lembaga legislatif – menurut Montesquieu – dilarang keras memberikan hak untuk memenjarakan warga yang bisa menjamin ketidakbersalahan mereka kepada lembaga eksekutif, karena ini adalah tugas lembaga yudikatif untuk menghadapkannya pada suatu sidang agar kebebasan warga dengan ini dapat terjamin. Tetapi bila lembaga legislatif menganggap dirinya dalam keadaan bahaya oleh karena persekongkolan jahat terhadap negara atau oleh sesuatu yang berhubungan dengan musuh asing, maka lembaga legislatif boleh memberikan otoritas kepada kekuasaan eksekutif – dalam jangka waktu singkat dan terbatas – untuk memenjarakan para tersangka yang dalam hal ini akan kehilangan kebebasan mereka hanya untuk sementara, demi mempertahankan kebebasan untuk selamanya.
Jika dalam keadaan tertentu tidak ada Raja yang memegang kekuasaan eksekutif, maka kekuasaan tersebut tidak boleh dipercayakan pada sejumlah orang tertentu yang diseleksi dari lembaga legislatif, karena dengan begitu kekuasaan eksekutif dan legislatif akan bersatu dan orang yang sama akan bisa memiliki bagian dalam dua kekuasaan ini yang berakibat pada hilangnya kebebasan.
Jika dalam jangka waktu yang lama lembaga legislatif tidak mengadakan pertemuan, maka ini juga akan mengakhiri kebebasan. Karena dengan tidak adanya pertemuan akan menimbulkan setidaknya dua dampak yang logis: Pertama, jika ketetapan-ketetapan legislatif tidak muncul pada waktu yang lama maka tentu negara akan jatuh ke dalam anarkisme tanpa peraturan hukum yang jelas. Kedua, kepasifan legislatif ini juga akan mengakibatkan setiap keputusan yang seharusnya ditetapkan oleh lembaga legislatif akan diambil alih oleh kekuasaan eksekutif yang akan mengubahnya dengan sewenang-wenang.
Meskipun demikian, di sisi lain, lembaga legislatif juga tidak perlu terlalu sering mengadakan pertemuan. Yang demikian akan menyulitkan lembaga perwakilan ini, dan lebih dari itu, akan mengambil alih banyak tugas yang seharusnya berada pada kekuasaan eksekutif.
Di samping itu, jika lembaga legislatif selalu mengadakan pertemuan, maka kemungkinan besar anggota legislatif akan diganti oleh wakil yang baru hanya jika anggota legislatif tersebut meninggal dunia. Dalam hal ini jika kekuasaan legislatif disalahgunakan oleh anggotanya maka penyelewengan akan terjadi terus menerus. Namun jika anggota legislatif dalam waktu tertentu diganti oleh wakil yang lain, maka warga yang memiliki prasangka buruk terhadap anggota tersebut akan terhibur dengan harapan baru pada anggota penggantinya. Tetapi bila lembaga ini hanya terdiri dari anggota yang nyaris permanen, maka ketika rakyat melihat penyalahgunaan kekuasaan di dalamnya, rakyat tidak dapat lagi menemukan banyak kebaikan dari ketetapan-ketetapan legislatif dan hal ini tentu saja membuat rakyat menjadi putus asa dan jatuh dalam penindasan.
Dengan adanya akibat-akibat yang bisa timbul seperti di atas maka seharus-nyalah lembaga legislatif tidak mengadakan pertemuan dengan ketetapan mereka sendiri. Karena sebuah lembaga dianggap tidak memiliki maksud tertentu kecuali ketika mereka mengadakan pertemuan. Dan jika lembaga ini memiliki hak untuk menutup sidang atau pertemuan mereka sendiri, maka mereka bisa-bisa tidak pernah menutupnya. Hal ini akan sangat berbahaya karena dengan begitu lembaga ini akan dapat mencoba untuk melanggar batas-batas kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu, kekuasaan untuk mengatur waktu dan durasi pertemuan lembaga legislatif yang proporsional sesuai dengan kondisi dan kepentingan suatu negara seharusnyalah berada pada lembaga eksekutif.
Seandainya kekuasaan eksekutif tidak berhak mencegah dan mengatasi pelanggaran yang dilakukan lembaga legislatif, maka lembaga legislatif akan betindak sewenang-wenang karena badan ini bisa saja merebut wewenang apapun yang ia kehendaki yang dengan segera akan menghancurkan seluruh kekuasaan lain.
Namun di sisi lain tidaklah tepat bila lembaga legislatif memiliki hak untuk menahan gerak kekuasaan eksekutf. Karena tugas eksekutif untuk melaksanakan ketetapan dari legislatif telah memiliki batas-batas alaminya yaitu berupa ketetapan itu sendiri. Lagipula kekuasaan eksekutif pada umumnya beroperasi pada waktu-waktu tertentu.
Meskipun lembaga legislatif dalam negara bebas tidak berhak menahan gerak kekuasaan eksekutif, lembaga legislatif seharusnyalah berhak dan mempunyai cara untuk memeriksa dengan cara-cara mana hukum telah dilaksanakan oleh eksekutif. Dan isu apapun yang didapat dari pemeriksaan itu, lembaga legislatif tidaklah berwenang mendakwa tindakan orang yang dilimpahi kekuasaan eksekutif itu. Isu-isu yang menyangkut kejelekkan pribadinya harus dirahasiakan karena ini perlu untuk mencegah kesewenang-wenangan lembaga legislatif. Dan bila orang yang memegang kekuasaan eksekutif dituduh dan diadili dalam hal kesalahannya dalam menjalankan hukum, maka kebebasan akan berakhir. Dan bila penyalahgunaan dalam menjalankan hukum itu memang terjadi – yang sebenarnya tidak akan terjadi tanpa kebobrokan yang ada di pihak penasehat eksekutif – maka para penasehat ini dapat diperiksa dan bila perlu dapat dijatuhi hukuman.
Kekuasaan eksekutif harus memiliki kekuasaan untuk menolak dalam kaitannya dengan perundang-undangan, yang jika kekuasaan ini dirampas oleh legislatif, maka akan menghancurkan kekuasaan eksekutif. Jika eksekutif memiliki hak untuk memutuskan, kebebasan akan berakhir. Namun karena eksekutif seharusnya punya peranan dalam perundang-undangan untuk mendukung hak prerogatifnya sendiri, maka peranan ini harus berupa kekuasaan menolak. Karena itu kekuasaan eksekutif tidak punya peranan dalam debat-debat umum maupun pengajuan usul karena kekuasaan ini bisa selalu menolak untuk menyetujui keputusan-keputusan yang akan diambil yang bertentangan dengan kehendak kekuasaan ini.
Jika kekuasaan eksekutif menetapkan pengumpulan uang masyarakat, yang lebih dari sekedar memberi persetujuannya, kebebasan akan berakhir; karena kekuasaan eksekutif akan menggantikan fungsi legislatif dalam soal yang paling sentral dalam perundang-undangan.
Untuk mencegah agar kekuasaan eksekutif tidak menekan, maka angkatan bersenjata yang dipercayakan pada kekuasaan eksekutif haruslah terdiri dari rakyat dan punya semangat seperti rakyat. Mereka harus tinggal bersama rakyat dan tidak boleh menderita di camp, barak atau benteng. Masih dalam rangka mencegah tekanan eksekutif, orang yang dipekerjakan dalam angkatan bersenjata harus punya kekayaan yang cukup untuk mempertanggungjawabkan kelakuan mereka pada sesama warga negara, dan mereka haruslah didaftarkan setiap tahun. Jika ada angkatan bersenjata yang sifatnya tetap yang sebagian besar terdiri dari bagian yang dipandang paling rendah dari negara itu, maka kekuasaan legislatif harus mempunyai hak untuk membubarkan mereka dengan segera, begitu kekuasaan ini menghendakinya.
Karena pada hakikatnya urusan angkatan bersenjata lebih bersifat tindakan daripada pertimbangan, maka pasukan yang sudah terbentuk tidak boleh bergantung langsung pada lembaga legislatif, melainkan harus kepada lembaga eksekutif. Suatu kewajaran bagi umat manusia untuk menilai sifat berani, aktif dan kuat lebih tinggi dari sifat pengecut, hati-hati dan penuh pertimbangan. Oleh karena itu angkatan bersenjata selalu menghormati perwira-perwira mereka sendiri dan selalu meremehkan senat yang dalam pandangan mereka merupakan suatu badan yang terdiri dari orang-orang pengecut dan dengan begitu tidak pantas memerintah mereka. Maka dari itu, bila angkatan bersenjata langsung bergantung seluruhnya pada lembaga legislatif, pemerintahan akan menjadi pemerintahan militer. Jika tidak begitu yang terjadi, maka ini termasuk keadaan yang luar biasa.
Karena segala sesuatu yang bersifat manusiawi akan binasa, maka negara dengan hubungan kekuasaan ini akan kehilangan kebebasannya dan juga akan binasa. Bukankah Roma, Sparta dan Chartage juga binasa? Negara akan binasa ketika kekuasaan legislatif menjadi lebih buruk daripada kekuasaan eksekutif.
3. Hubungan antara eksekutif dan yudikatif
Satu-satunya pernyataan langsung Montesquieu mengenai hubungan kedua kekuasaan ini adalah bahwa jika kekuasaan yudikatif digabungkan dengan kekuasaan eksekutif, maka kekuasaan ini dapat saja bertindak dengan kekerasan dan penindasan.
Lembaga yudikatif yang anggotanya terdiri dari rakyat, yang memegang kekuasaan tersebut dalam waktu yang terbatas, sama sekali terpisah dari lembaga eksekutif dalam hal organ, fungsi maupun kontrol di antara keduanya.
Peranan lembaga yudikatif sangat kecil sekali. Karena hakim-hakim dalam badan ini diambil dari tubuh rakyat, maka yang bisa dihadapkan pada pengadilan yudikatif hanyalah yang berstatus rakyat kebanyakan.
Jika dalam kasus tertentu, salah seorang pejabat dari lembaga eksekutif dalam menjalankan tugasnya melanggar hak-hak rakyat, maka rakyat yang merasa dirugikan, yang dalam hal ini berstatus sebagai penuntut, tidak boleh mengajukan tuntutannya pada pengadilan yudikatif yang hakim-hakimnya juga diambil dari tubuh rakyat. Karena jika rakyat sekaligus menjadi hakim dan penuduh maka kedudukan pihak tertuduh yang berasal dari kaki tangan eksekutif menjadi semakin lemah sehingga keadilan akan sulit untuk ditegakkan.
Pelanggaran yang dilakukan oleh Raja, sebagai pemegang utama kekuasaan eksekutif, dianggap tidak mudah untuk terjadi dikarenakan kedudukan lembaga legislatif yang kuat dalam hal perundang-undangan, hak istimewa Raja yang hanya berupa kekuasaan untuk menolak, dan tugas eksekutif itu sendiri yang hanya sebagai penjalan ketentuan-ketentuan yang telah tercantum dalam perundang-undangan dengan pengawasan dari legislatif. Jika Raja dalam suatu waktu melakukan kesalahan dalam menjalankan hukum, maka tidak ada tempat bagi eksekutif untuk diadili di hadapan badan yudikatif. Seperti yang telah dijelaskan, privasinya harus tetap dijaga dan pemeriksaan lebih lanjut akan dilakukan terhadap penasehat Raja yang jika harus diadilipun tidak boleh dihadapkan pada lembaga yudikatif tetapi harus ditangani sendiri oleh “legislative justice,” pengadilan legislatif yang terdiri dari kaum bangsawan ahli hukum, yang dianggap sebagai badan netral yang tidak memiliki kepentingan untuk memihak; yang hal ini lebih lanjut akan dibahas dalam uraian mengenai hubungan antara legislatif dan yudikatif.
Lembaga yudikatif tidak memiliki peranan untuk mengontrol kekuasaan eksekutif. Begitu juga sebaliknya, pengangkatan dan penentuan masa jabatan yudikatif yang sangat sementara ditentukan oleh undang-undang yang telah ditetapkan legislatif. Eksekutif dalam hal ini hanya sebagai penegak ketentuan tersebut, tak ada indikasi yang menyatakan adanya kontrol langsung lebih lanjut dari lembaga eksekutif terhadap lembaga yudikatif.
4. Hubungan antara legislatif dan yudikatif
Jika lembaga yudikatif – yang dalam definisi Montesquieu pejabat hakimnya diambil dari rakyat dan juga untuk mengadili persoalan-persoalan rakyat – digabungkan dengan lembaga legislatif, kehidupan dan kebebasan warga negara akan berada dalam pengawasan yang sewenang-wenang karena hakim sekaligus akan menjadi legislator atau pembuat hukum.
Meskipun secara umum kekuasaan yudikatif tidak boleh disatukan dengan bagian apapun dari lembaga legislatif, tetapi penyatuan ini berlaku untuk beberapa pengecualian yang didasarkan pada kepentingan-kepentingan tertentu dari pihak tertuduh.
Orang-orang yang besar dan terpandang selalu membangkitkan kecemburuan rakyat. Jika mereka harus diadili rakyat, mereka bisa terancam bahaya oleh kesewenangan hakim mereka, lagipula mereka akan kehilangan hak istimewa yang dimiliki bahkan oleh warga negara yang terkecil sekalipun dalam negara bebas, yaitu hak untuk diadili oleh orang yang setingkat. Karena alasan inilah, kaum bangsawan tidak seharusnya diadili di hadapan badan pengadilan biasa yang terdiri dari rakyat, melainkan harus diadili oleh bagian badan legislatif yang terdiri dari kaum mereka sendiri.
Para hakim negara yang berasal dari tubuh rakyat adalah orang-orang pasif yang tidak lebih daripada mulut yang melafazkan ketentuan-ketentuan hukum. Padahal hukum pada hal-hal tertentu begitu kaku, keras dan buta bila tidak diinterpretasi sesuai dengan kondisi di Lapangan. Oleh karena itu, lembaga legislatif yang terdiri dari kaum bangsawan tadi sangat diperlukan untuk bagian ini sebagai penguasa utama dalam melunakan hukum demi kepentingan hukum itu sendiri, dengan mengurangi hukumannya.
Dapat juga terjadi bahwa seseorang yang dilimpahi wewenang administrasi urusan umum melanggar hak-hak rakyat. Secara umum kekuasaan legislatif tidak dapat mengadili perkara-perkara dan lembaga ini lebih tidak mampu lagi untuk mengadili perkara khusus ini sebagai wakil dari pihak yang dirugikan, yaitu rakyat. Karena itu lembaga ini hanya dapat mencurigai. Tetapi di hadapan pengadilan apa lembaga ini akan mengajukan kecurigaannya? Haruskah lembaga ini merendahkan derajatnya sendiri dan menghadap pengadilan biasa yang kedudukannya lebih rendah dari padanya, dan lebih lagi terdiri dari orang-orang yang dipilih dari rakyat, yang dengan pasti akan dipengaruhi oleh wewenang si penuduh yang sangat kuat? Tentu saja tidak. Untuk mempertahankan martabat rakyat dan keamanan warga, badan legislatif yang mewakili rakyat harus mengajukan tuduhannya di depan lembaga legislatif yang mewakili kaum bangsawan, yang tidak punya kepentingan maupun keinginan yang sama dengan pihak penuduh ataupun pihak-pihak yang dirugikan yaitu rakyat.
Ketika kita berbicara tentang lembaga-lembaga negara dan hubungan antar lembaga tersebut dalam takaran Islam, kita akan menemukan sedikit sekali pedoman eksplisit yang dipaparkan oleh al-Qur`an dan as-Sunnah. Tema ini tidak bisa lepas dari prinsip musyawarah dalam Islam. Petunjuk al-Qur`an mengenai hal ini amat singkat dan hanya mengandung prinsip-prinsip umumnya saja; firman Allah swt:23
فبمارحمة مّن الله لنت لهم ولوكنت فظّاغليظ القلب لاانفضّوامن حولك فاعف عنهم واستغفرلهم وشاورهم فىالأمر فإذا عزمت فتوكّل علىالله انّ الله يحبّ المتوكّلين
Meskipun ayat ini dari segi redaksional ditujukan pada Rasulullah saw agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota masyarakatnya, namun ayat ini juga merupakan petunjuk kepada setiap muslim, khususnya pada setiap pemimpin, agar bermusyawarah dengan anggota-anggotanya.
Dalam surat asy-Syura, Allah swt menyatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang mukmin yang akan mendapat ganjaran yang lebih baik dan kekal di sisi Allah itu adalah:24
والّذين استجابوالربّهم وأقاموالصّلوة وأمرهم شورىبينهم وممّارزقنهم ينفقون
Ayat ini turun sebagai pujian kepada kelompok muslim Madinah (Ansār) yang ber-sedia membela Nabi saw setelah bermusyawarah di rumah Abū Ayyūb al-Ansārˉi. Namun demikian, ayat ini juga berlaku umum, mencakup setiap kelompok yang melakukan musyawarah.25
Membicarakan musyawarah dan orang-orang yang terlibat di dalamnya berkait dengan ayat: 26
يايّهاالّذين امنواأطيعواالله وأطيعواالرّسول واولىالأمرمنكم…
Dalam ayat ini terdapat kalimat ul al-amr, yang diperintahkan untuk ditaati dan yang juga bermakna orang-orang yang terlibat dalam musyawarah karena kata amr disini berkaitan dengan kata amr yang disebutkan dalam surat asy-Syura ayat 38. Karena tidak mudah melibatkan seluruh anggota masyarakat dalam musyawarah itu, maka keterlibatan mereka dapat diwujudkan melalui orang-orang tertentu yang mewakili mereka, yang oleh para ulama diberi nama yang berbeda-beda seperti ahl al- hall wa al-`aqd, ahl al-ijtihād atau ahl asy-syūrā.27
Menurut Muhammad Abduh, yang dimaksud dengan ul al-amr dalam ayat ini adalah ahl al- hall wa al-`aqd dalam arti luas yang mencakup para tokoh pemerintahan, ulama, cendikiawan, pimpinan militer dan tokoh-tokoh pemimpin lainnya yang menjadi rujukan orang dalam berbagai persoalan dan kepentingan umum.28
Dalam sunnah Nabi saw, yang dalam banyak hal menjabarkan petunjuk-petunjuk umum al-Qur`an, perihal musyawarah ini juga tidak dijelaskan rinciannya. Bahkan tidak pula memberikan pola tertentu yang harus diikuti. Itu sebabnya cara suksesi yang dilakukan oleh empat khalifah berbeda-beda diantara satu dengan lainnya.29
Pada dasarnya, sebagai utusan Allah, Nabi saw adalah pemimpin tertinggi yang memegang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif sekaligus. Meskipun demikian, dalam praktek pengambilan keputusan, Nabi saw tidak jarang mengadakan musyawarah dan menerima pendapat dari kalangan sahabat. Begitu juga beliau saw dalam prakteknya mendelegasikan tugas-tugas eksekutif dan yudikatif kepada para sahabat yang dianggap mampu dengan mengangkat seorang waliy, seorang qadi (hakim) dan seorang `amil (pengelola zakat) untuk setiap daerah atau propinsi.30
Setelah Nabi saw wafat, yang otomatis menyebabkan wahyu tidak lagi tu-run untuk masalah-masalah baru dan tak seorangpun yang memiliki otoritas seper-ti yang dimiliki Nabi saw, maka kekuasaan menjadi lebih tidak terfokus dan mun-cul lembaga-lembaga pemerintahan yang lebih kompleks seiring dengan meluas-nya wilayah kekuasaan. Kondisi pemerintahan inilah – disamping praktek pada masa Nabi saw – yang kemudian dijadikan dasar oleh al-Maududi dalam menge-mukakan pemikirannya tentang pemerintahan Islam yang menurutnya merupakan praktek pemerintahan Islam yang paling baik dibanding praktek yang dijalankan oleh daulah Umayah maupun Abbasiah yang cenderung absolut dan tidak lagi berdasarkan pada prinsip syura. Dengan pandangan bahwa dalam praktek al-Khulafa ar-Rasyidūn fungsi-fungsi lembaga negara – seperti merumuskan perun-dangan, menjalankan hukum, dan mengadili perkara – telah berjalan dengan ba-tasan yang jelas, maka al-Maududi memaparkan lembaga-lembaga negara Islam dengan terlebih dahulu meminjam terminologi politik barat yaitu legislatif bagi perumus undang-undang, eksekutif bagi pelaksana undang-undang dan yudikatif bagi pemutus perkara berdasar undang-undang.30
1. Lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif
a. Lembaga legislatif
Pada masa Nabi saw, ada dua jenis kelompok orang yang menjadi anggota Majelis Syura. Yang pertama yaitu orang-orang yang bersekutu dengan Nabi saw sejak permulaan sekali; dan yang kedua, orang-orang yang kemudian menjadi ter-kemuka karena pengorbanan, wawasan dan kemampuan mereka. Adalah sesuatu yang alami jika tokoh-tokoh yang lewat upayanya telah menumbuhsuburkan Islam dan telah mendapat kepercayaan dari umat Islam dengan seleksi alamiah ini harus diikutsertakan dalam Majelis Syura dengan kepemimpinan Nabi saw. Orang-orang ini merupakan wakil rakyat dan anggota Majelis Syura dengan kepercayaan kaum muslimin dengan tingkat yang sedemikian rupa sehingga jika pemilihan dalam bentuk modern harus dilaksanakan maka orang-orang ini jugalah yang akan terpilih. Begitu juga pada masa Khalifah yang empat, kedua kelompok orang ini juga terpilih melalui proses seleksi alamiah dan secara otomatis termasuk dalam Majelis Syura dengan para Khalifah sebagai pemegang eksekutif-nya. Dan meskipun pemilihan umum harus dilaksanakan, maka mereka jugalah yang akan terpilih dan menerima persetujuan publik.31
Inilah kelompok orang yang menjalankan fungsi legislatif dan dikenal da-lam terminologi fiqih dengan sebutan ahl al- hall wa al-`aqd (lembaga penengah dan pemberi ketetapan), dan kelompok ini jugalah yang tanpa sarannya akan me-nyebabkan tidak dapat dilaksanakannya keputusan yang berkaitan dengan semua masalah penting. Lembaga ini memegang kedudukan yang sangat dipercaya dan diberi hak untuk mengambil keputusan-keputusan bersama mengenai semua masalah penting yang menyangkut umat. Lembaga ini jugalah yang bertindak sebagai ahl asy-syūrā yang diberi hak untuk memberi saran-saran kepada Khalifah mengenai masalah-masalah penting yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.32
Karena lembaga ini harus terdiri dari orang-orang yang dipercaya oleh rakyat, maka, setelah mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan masa sekarang, kita dapat mengambil semua cara-cara yang mungkin dan diperbolehkan untuk dapat menentukan dengan benar orang-orang yang paling besar mendapat kepercayaan masyarakat.33
Dalam lembaga ini haruslah tidak terdapat partai oposisi tertentu. Seluruh majelis adalah partai penguasa eksekutif sepanjang ia tetap berada di jalur yang benar. Tetapi segera setelah ia menyimpang, seluruh majelis secara otomatis berubah menjadi partai oposisi.34 Kita harus merombak sistem ketaatan pada partai tertentu yang dominan, yang menjadi perantara pendapat masyarakat hingga menjadi kriteria untuk menilai benar dan tidak benar. Ini akan memungkinkan salah satu kelompak yang terlalu memprioritaskan kepentingan golongan atau partai di atas kepentingan masyarakat akan menjadi berkuasa dan merajalela.35 Jika keadaan menjadi demikian, maka pembentukan partai-partai atau golongan-golongan dalam dewan legislatif harus dilarang oleh undang-undang. Namun ini bukan berarti negara tidak menyediakan tempat bagi timbulnya partai-partai. Berbagai partai negara boleh saja mengambil bagian dalam pemilihan sebagai partai-partai yang mengirimkan anggota-anggota terbaiknya bagi dewan-dewan legislatif. Tetapi segera setelah pemilihan usai, para anggota dewan harus sepenuhnya mentaati negara, undang-undang dasar dan harus memberi suara serta bertindak sesuai dengan kesadaran mereka masing-masing tanpa ada paksaan yang didasarkan pada kepentingan partai-partai tertentu yang bertentangan dengan kepentingan umat.36 Terlepasnya anggota majelis dari pengaruh kepentingan golongan dan keharusan mereka untuk taat pada undang-undang dasar inilah yang dimaksud al-Maududi dengan menganut partai penguasa eksekutif selama tidak terjadi penyelewengan oleh penguasa eksekutif itu sendiri. Di satu sisi adanya pengawasan terhadap partai yang hanya mengutamakan kepentingan yang menguntungkan golongan, dan di sisi lain pengawasan ketat terhadap penguasa eksekutif dalam bentuk penolakan dari seluruh anggota majelis atas penyelewengan eksekutif terhadap undang-undang dasar.37
Lembaga legislatif dalam suatu negara Islam memiliki beberapa fungsi yang harus dijalankannya. Pertama, bila terdapat pedoman yang jelas dalam al-Qur`an dan as-Sunnah maka lembaga harus menegakkannya dalam bentuk pasal demi pasal, menggunakan definisi-definisi dan rincian yang relevan, serta menetapkan peraturan-peraturan untuk mengundangkannya. Kedua, bila pedoman-pedoman al-Qur`an dan as-Sunnah mempunyai kemungkinan interpretasi lebih dari satu, maka legislatif harus memutuskan interpretasi mana yang harus dituangkan dalam undang-undang dasar. Untuk tujuan ini maka lembaga legislatif haruslah beranggotakan orang-orang terpelajar yang memiliki kemampuan dan kapasitas untuk menafsirkan printah-perintah al-Qur`an. Ketiga, bila tidak ada isyarat yang jelas dalam al-Qur`an dan as-Sunnah, legislatif harus menetapkan hukumnya dengan tetap menjaga semangat hukum Islam atau dengan menganut hukum yang telah tercantum dalam kitab-kitab fiqih mengenai masalah tersebut dengan memilih salah satu diantaranya. Keempat, bila al-Qur`an dan as-Sunnah tidak memberikan pedoman yang sifatnya dasar sekalipun, begitu juga dalam konvensi khalifah yang empat, lembaga legislatif dapat merumuskan hukum tanpa batasan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dan semangat syari`ah, berdasar prinsip bahwa apapun yang tidak dilarang oleh hukum maka berarti diperbolehkan.38
b. Lembaga eksekutif
Menurut al-Maududi, lembaga eksekutif dalam Islam dinyatakan dengan istilah ul al-amr dan dikepalai oleh seorang Amir atau Khalifah.39 Berdasarkan al-Qur`an dan as-Sunnah, umat Islam diperintahkan untuk mentaatinya dengan syarat bahwa lembaga eksekutif ini mentaati Allah dan Rasul-Nya serta menghindari dosa dan pelanggaran.40 Al-Maududi mendasarkannya pada firman Allah swt dalam al-Qur`an:41
…ولاتطع من أغفلناقلبه عن ذكرناواتّبع هواه وكان أمره فرطا
Juga firman-Nya dalam surat asy-Syu`arā:42
ولاتطيعواأمرالمسرفين الّذين يفسدون فىالأرض ولايصلحون
Dan beberapa Hadis seperti:
لاطاعة في معصية الله إنّماالطّاعة فىالمعروف43
Dengan mengutip sebagian pidato Abu Bakar sesaat setelah dibai`at sebagai Kha-lifah dari riwayat Hussain Haykal, al-Maududi menyatakannya sebagai isi sumpah umum yang harus diucapkan oleh seorang Kepala Negara Islam.44
Dalam suatu negara Islam, pemilihan Kepala Negara harus dilaksanakan dengan prinsip kehendak bebas kaum muslimin tanpa adnya pemaksaan, ancaman atau kekerasan;45 dan tidak ada satu klan atau satu kelompok pun yang memonopoli jabatan ini. Tentang mekanisme lebih rinci mengenai pemilihan ini haruslah disesuaikan dengan tempat dan kondisi suatu negara karena metode-metode ini dirancang hanya untuk menentukan siapa yang paling dipercaya oleh umat dari suatu bangsa.46
Dalam kaitannya dengan hadis mengenai khalifah harus dari suku Qura-isy,47 al-Maududi menjelaskan bahwa hal ini bukanlah berarti hak kekhalifahan hanya untuk satu suku saja yakni Quraisy, tapi sebabnya adalah kondisi masa itu yang mengharuskan diisinya jabatan khalifah hanya oleh seorang dari suku Qura-isy sebagai suku yang memiliki sifat-sifat khusus dalam mencegah timbulnya per-selisihan. Rasulullah saw sendiri ketika menasehati agar jabatan khalifah berada di tangan suku Quraisy juga menjelaskan bahwa jabatan ini tetap berada dikalangan mereka selama masih ada sifat-sifat khusus pada diri mereka. Maka secara otomatis jabatan khalifah ini akan berada di luar lingkungan Quraisy apabila telah tiada lagi sifat-sifat tersebut.48 Uraian ini dan uraian serupa al-Maududi dalam bukunya yang lain telah memaparkan dengan jelas bagaimana sikap al-Maududi dalam kaitannya dengan hadis kekhalifahan suku Quraisy tersebut.49
c. Lembaga yudikatif
Lembaga yang dalam terminologi hukum Islam dikenal sebagai Qada ini memiliki wewenang sebagai pemutus berbagai perkara dan perselisihan yang timbul di kalangan rakyat.50
Dalam hubungannya dengan al-Qur`an surat an-Nisa ayat 59, al-Maududi melumrahkan seseorang untuk saling berbeda pendapat dengan pemimpin mereka. Dalam keadaan semacam ini, putusan yang berdasar al-Qur`an dan as-Sunnah haruslah diterima sebagai putusan final baik oleh rakyat maupun penguasa itu sendiri. Implikasinya adalah bahwa harus ada suatu lembaga yang khusus menangani atau memutuskan pertikaian ini berdasarkan hukum Islam. Namun syari`ah tidak menggariskan bentuk lembaga ini secara pasti. Lembaga tempat penampungan wewenang ini dapat saja berbentuk lembaga kaum ulama ataupun yang disebut sebagai Mahkamah Agung.51
Semua pengadilan yang lebih rendah harus secara yudisial dan administratif berada di bawah Mahkamah Agung. Penunjukkan, pemecatan, penahanan, penaikan pangkat, pemberhentian dan pemindahan para hakim dan pejabat-pejabat pengadilan yang lebih rendah lainnya haruslah sepenuhnya berada di tangan Mahkamah Agung.52
2. Hubungan antara legislatif dan eksekutif
Di bawah ini saya mencoba memaparkan pemikiran al-Maududi tentang masalah ini secara utuh, dengan sangat menyayangkan sebagian pemikir yang mengkaji konsep al-Maududi secara setengah-setengah dan cepat-cepat menarik kesimpulan secara serampangan tanpa dasar yang jelas.
Praktek yang dijalankan oleh al-Khulafa ar-Rasyidūn telah memberi kita pedoman untuk menyimpulkan bahwa tanggung jawab de facto semua urusan pemerintahan ada pada Kepala Negara. Dan meskipun Kepala Negara ini – lanjut al-Maududi – diharuskan untuk bermusyawarah dengan para penasehatnya (legislatif), tetapi ia tidak diharuskan untuk menerima, mengikuti atau menganut keputusan atau pandangan berdasarkan mufakat atau keputusan mayoritas mereka. Dengan kata lain, ia dapat selalu menggunakan hak vetonya. Tetapi, jika dilaksanakan dengan bentuknya yang persis, hal ini akan menyebabkan timbulnya kesalahpahaman besar karena dalam masyarakat modern, rakyat mencoba menafsirkan hal-hal ini dengan merujuk pada lingkungan politik masa kini, dengan sama sekali mengabaikan latar belakang yang menyertai berbagai konvensi tersebut. Pada masa Khalifah yang empat, alasan para sahabat secara sukarela menerima keputusan khalifah sebagian besar bukan disebabkan oleh hak veto khalifah yang mengharuskan mereka menerimanya, melainkan pada kenyataan bahwa para sahabat ini memiliki keyakinan mutlak atas wawasan dan hikmah Islam beliau dengan lebih memilih pendapat khalifah pribadi daripada pendapat mereka demi kepentingan negara, mereka merujukkan diri pada pendapat khalifah dengan penuh keikhlasan. Bahkan sesudahnya mereka mengakui bahwa pandangan khalifah adalah lebih baik dari mereka.53 Dari uraian ini kita dapat melihat dalam kondisi bagaimana konvensi tersebut tercipta. Tetapi bila diterapkan pada kondisi sekarang, dimana negara kita belum memungkinkan untuk membentuk badan permusyawaratan sekaliber diatas, maka tidak ada alternatif lain kecuali dengan membatasi dan menundukkan lembaga eksekutif kepada keputusan mayoritas lembaga legislatif.54
Berdasarkan tuntutan-tuntutan kebutuhan kita pada masa sekarang, kita dapat mempertimbangkan kembali kekuasan Kepala Negara dan mengubahnya sesuai dengan kebutuhan mengingat pada zaman sekarang ini kita sangat sulit menemukan seorang Kepala Negara yang kaliber dan standar ruhaniahnya setingkat dengan para Khalifah yang empat. Oleh karenanya kita dapat mempertimbangkan serta membatasi kekuasaan adminstratif mereka untuk melindungi diri terhadap kecenderungan kediktatoran mereka.55
Seorang Kepala Negara sama sekali tidak memiliki hak untuk mengangkat orang-orang tertentu sebagai anggota majelis permusyawaratan. Anggota majelis haruslah terdiri dari orang-orang yang memperoleh kepercayaan dari masyarakat sendiri.56
Setiap anggota parlemen maupun menteri-menteri memiliki kemerdekaan penuh untuk memberi suara mendukung atau menentangnya mengenai masalah apapun. Kepala Negara tidak hanya dapat dimintai pertanggungjawabannya di hadapan parlemen, tetapi juga di depan rakyat. Lima kali sehari ia harus menghadapi rakyat di Masjid dan harus menyampaikan pidatonya setiap hari Jum`at pada rakyat. Setiap anggota masyarakat memiliki hak untuk menghentikannya di jalanan untuk menanyakan perbuatannya atau untuk menuntut hak apapundarinya. Dan dari sumbah umum yang diucapkan oleh Kepala Negara – seperti telah dipaparkan di muka – yang dikutip dari bagian pidato Abu Bakar, menggambarkan pengawasan ketat dari legislatif dan hak penuh bagi parlemen atau majelis untuk meluruskan penyelewengan Kepala Negara dan menentang penyimpangan yang dilakukannya..57
Dalam keadaan bagaimanapun, Kepala Negara sama sekali tidak memiliki hak untuk mencabut undang-undang dasar. Hak maksimal yang dapat diberikan kepada Kepala Negara adalah hak untuk mencabut undang-undang dasar hanya jika negara dalam keadaan darurat dan maksimal hanya di satu propinsi dan hanya dalam jangka waktu yang sangat ditentukan batasannya. Hak mutlak untuk mencabut seluruh atau sebagian undang-undang dasar akan menciptakan kediktatoran.58 Begitu juga Kepala Negara tidak memiliki hak untuk menyelenggarakan pemerintahan tanpa majelis permusyawaratan. Dan badan yang diberi wewenang untuk memilih Kepala Negara yaitu majelis permusyawaraan ini, juga memiliki wewenang untuk memberhuentikannya melalui suaru mayoritas.59
3. Hubungan antara eksekutif dan yudikatif
Pada masa al-Khulafa ar-Rasyidūn, setiap hakim yang diangkat oleh Khalifah berada dalam keadaan bebas merdeka untuk memperlakukan para khalifah seperti salah seorang diantara rakyat awam, dan mengadili mereka apabila ada perkara yang dihadapkan melawan mereka.60 Seorang hakim dapat menjatuhkan keputusan yang merugikan para khalifah itu sendiri, bahkan dalam prakteknya seringkali membuat keputusan melawan mereka.61
Namun ketika pemerintahan mulai dijalankan oleh Dinasti Umayah, para Raja dan penguasa tidak lagi memberi kebebasan kepada para hakim untuk memutuskan perkara secara adil. Keadilan sulit untuk dicapai dalam perkara-perkara yang diajukan melawan para Amir, gubernur dan antek antek penguasa. Hal ini menyebabkan sejumlah ulama baik-baik menolak untuk menerima jabatan dalam peradilan.62 Tindakan melampaui batas yang dilakukan oleh lembaga eksekutif terhadap lembaga yudikatif ini berlangsung sedemikian rupa sehingga seorang gubernur berhak memecat dan mengangkat para hakim, padahal kekuasaan ini di masa Khalifah Empat hanya berada pada tangan Khalifah.63
Karena itu, lembaga yudikatif haruslah bersifat bebas dan terlepas dari segala campur tangan, tekanan atau pengaruh, sehingga ia dapat memutuskan perkara baik yang melawan rakyat maupun penguasa sesuai dengan konstitusi tanpa rasa takut atau penyimpangan. Dan menjadi kewajibannya untuk memutuskan perkara-perkara dengan benar dan adil tanpa terpengaruh oleh kecenderungannya sendiri maupun kecenderungan-kecenderungan orang lain.64
Tidak ada seorangpun dalam negara, meskipun Kepala Negaranya sendiri, yang berada di atas hukum atau di luar jangkauan yurisdiksi. Setiap warga negara harus memiliki hak untuk sebebas-bebasnya mencari perlindungan dari setiap pejabat negara (termasuk Kepala Negara) terhadap malapetaka yang ditimbulkan oleh pihak mereka dalam kedudukannya sebagai pribadi maupun pejabat. Hak untuk menggugat siapapun yang menyebabkan kerugian bagi seseorang dalam suatu negara Islam merupakan hak asasi setiap warga negara, sehingga baik kaum muslim maupun zimmi dapat menerapkannya bukan hanya kepada Khalifah tetapi juga kepada Rasulullah saw sendiri. Dengan demikian tidak ada satu kekuasaan pun yang diperkenankan untuk merampas hak ini dari warga negara Islam.65
Mengenai masalah pemberian kekuasaan penahanan preventif kepada pihak eksekutif, undang-undang harus memberi batasan yang jelas tentang pelanggaran-pelanggaran apa saja yang terhadapnya kekuasaan ini berlaku. Setiap orang yang ditahan di bawah undang-undang ini harus dihadapkan ke sidang pengadilan dengan tuduhan yang pasti dan harus diberi semua fasilitas dan kesempatan yang cukup untuk membuktikan ketidakbersalahannya. Pengadilan-pengadilan harus memiliki kekuasaan tak terbatas untuk memperoleh semua jenis pembuktian yang diperlukan. Pihak eksekutif tidak diperkenankan mendapatkan hak istimewa untuk menahan semua barang bukti yang dipandang penting oleh pengadilan untuk menjatuhkan vonis. Penahanan atas warga negara tidak boleh sama sekali dilaksanakan hanya sekedar untuk memuaskan pihak eksekutif saja. Hanya sidang pengadilanlah – jika merasa pasti mengenai kesalahan seseorang – yang harus memiliki kekuasaan untuk memerintahkan penahanan dan memutuskan jangka waktu penahanan. Pengalaman masa lalu menyatakan bahwa para penguasa sering menyalahgunakan hak ini dengan dalih keadaan darurat dan merampas hak-hak asasi pihak tertahan dengan perbuatan sewenang-wenang, memperpanjang masa penahanan dengan alasan yang tak berdasar. Kebolehan maksimal yang dapat diberikan dalam kaitan ini adalah dalam kasus perang, para pemberontak yang didakwa dengan tuntutan berat, persekongkolan jahat menentang pemerintah, atau pemberontakan bersenjata. Tetapi kekuasaan untuk menahan ini tidak boleh diberikan langsung pada pihak eksekutif tanpa terlebih dahulu ada perintah penahanan dari pihak pengadilan.66
Kepala Negara Islam tidak boleh diberi hak-hak prerogatif kecuali untuk beberapa hal. Pertama, hak memberi grasi bagi para terhukum yang divonis atas pelanggaran politik maupun administratif, demi kepentingan masyarakat umum. Kedua, memperingan hukuman mati menjadi bentuk hukuman lainnya, pun bukan dengan alasan hak prerogatif melainkan dengan meninjau kasus yang sebenarnya. Disarankan agar dibentuk komite yudisial yang lebih tinggi untuk membantu dan memberi saran kepada Kepala Negara mengenai kasus ini. Di luar ini, Kepala Negara tidak boleh diberi kekuasaan lagi khususnya dalam hal penetapan vonis atau hukuman. Begitu juga grasi dari eksekutif untuk membenarkan terhukum dalam kasus kriminal, tidak mendapat tempat dalam konsep keadilan Islam. Kekuasaan-kekuasaan semacam ini diperalat ole despotic monarchs untuk melaksanakan “hak Ilahi” dan kekuasaan tak terbatas mereka atas rakyat.67
4. Hubungan antara legislatif dan yudikatif
Pada masa al-Khulafa ar-Rasyidūn, para anggota legislatif memiliki wawasan yang dalam, berbobot dan benar didasarkan pada al-Qur`an dan as-Sunnah dalam penetapan hukum sehingga hampir tidak ada kemungkinan akan terjadi legislasi yang bertentangan dengan al-Qur`an dan as-Sunnah. Oleh karena itu, pada masa itu lembaga yudikatif tidak menikmati kekuasaan menolak ketentuan yang diundangkan legislatif. Setidaknya, tidak ada contoh bahwa pernah ada seorang Qadi melakukan hal ini. Tetapi bila kita terapkan pada masa sekarang dimana kondisinya tidak lagi dapat diandalkan, maka satu-satunya cara yang memuaskan adalah memberi kekuasaan kepada lembaga yudikatif untuk membatalkan semua hukum dan perundang-undangan yang bertentangan dengan al-Qur`an dan as-Sunnah.68
Selanjutnya, juga harus ada pasal khusus dalam undang-undang dasar yang menyatakan bahwa setiap warga negara akan memiliki hak untuk menggugat di Mahkamah Agung atas semua perundang-undangan yang telah diundangkan lembaga legislatif dengan alasan bahwa perundang-undangan tersebut bertentangan dengan pedoman-pedoman al-Qur`an dan as-Sunnah, dan oleh karenanya, bertentangan dengan undang-undang dasar.69
Dengan demikian, Mahkamah Agung harus memiliki yurisdiksi yang melekat dan orisinil untuk melaksanakan dan memutuskan kasus-kasus yang menggugat keabsahan legislasi yang diundangkan oleh lembaga-lembaga legislatif pusat dan daerah, jika peraturan perundang-undangan tersebut dianggap berten-tangan dengan jiwa dan semangat undang-undang dasar.70
BAB IV
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN PEMIKIRAN MONTESQUIEU DAN AL-MAUDUDI MENGENAI HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA
A. Hubungan Antara Legislatif dan Eksekutif
Baik Montesquieu maupun al-Maududi sama-sama menegaskan adanya pemisahan organ antara legislatif dan eksekutif. Meskipun pada dasarnya, pemisahan organ antar kedua lembaga ini bukanlah urgensitas yang harus dijalankan secara utuh dan ketat. Bukanlah menjadi persoalan bila dalam suatu negara seorang anggota kabinet juga merangkap sebagai anggota parlemen seperti yang terjadi di Inggris misalnya. Meskipun demikian, merangkapnya jabatan kedua lembaga ini memberi peluang bagi timbulnya berbagai kecenderungan yang negatif. Perangkapan ini akan semakin memperbesar wewenang eksekutif dalam pembentukan undang-undang dan di sisi lain akan memperlemah fungsi kontrol legislatif terhadap eksekutif dikarenakan organ eksekutif juga merangkap sebagai organ legislatif. Karena itu dalam rangka penerapan prinsip Syura dengan membentuk undang-undang melalui musyawarah yang lebih terbuka serta memperkuat fungsi kontrol legislatif terhadap berbagai kebijakan eksekutif, maka adalah sebuah tindakan yang tepat bila organ kedua lembaga ini harus terpisah satu sama lain.
Montesquieu menegaskan adanya peran legislatif yang dimainkan pihak eksekutif; dan peran itu haruslah hanya berupa hak untuk menolak undang-undang. Sedangkan al-Maududi menetapkan penundukan keputusan eksekutif di bawah keputusan mayoritas legislatif. Sebelum menganalisis lebih jauh kedua pendapat ini, kita harus mengingat bahwa pembahasan tentang pengaturan wewenang antara legislatif dan eksekutif perihal pembentukan undang-undang adalah suatu hal yang paing sensitif dalam ilmu tata pemerintahan; lebih-lebih undang-undang yang mengatur batas-batas wewenang kedua lembaga tersebut untuk periode ke depan.
Beberapa kegoncangan telah tercatat dalam kaitannya dengan penetapan wewenang legislatif dan eksekutif dalam perundang-undangan. Ketika berlangsungnya pembentukan konstitusi pertama bagi Kerajaan Turki Usmani yaitu Undang-Undang Dasar 1876, Yeni Usmanlilar (Usmani Muda) – sebuah perkumpulan yang berdiri tahun 1865 dengan tujuan untuk merubah pemerintahan absolut Kerajaan Usmani menjadi pemerintahan konstitusianal – terpaksa harus sedikit mengalah dari Sultan Abdul Hamid – penguasa eksekutif Kerajaan Usmani periode 1876 sampai 1909 – yang bersikeras bahwa tercantumnya hak-hak yang ia kehendaki adalah syarat untuk dapatnya konstitusi itu diterima dan diumumkan. Akibatnya, meskipun Usmani Muda berhasil membentuk konstitusi bagi Kerajaan Usmani, namun mereka tidak berhasil membatasi kekuasaan absolut Sultan dikarenakan konstitusi tersebut memuat hak-hak dan kekuasaan yang begitu besar untuk Sultan. Begitu juga pasal mengenai pembentukan undang-undang yang diatur dalam pasal 54 dimana disebutkan bahwa rencana undang-undang harus mendapat persetujuan Sultan, tetapi tidak dijelaskan bagaimana kalau rencana undang-undang tertentu ditolak Sultan dan sebagai gantinya ia keluarkan firman atau keputusan Sultan, dan tidak ada penegasan bahwa firman yang demikian itu tidak dapat menjadi undang-undang. Tanpa persetujuan Sultan, konstitusi ini (UUD 1876) tidak akan ada, dan konstitusi yang akan banyak membatasi kekuasaan Sultan sudah barang tentu tidak akan mendapat persetujuan Sultan. Rasanya tidak mungkin seseorang bersedia mengurangi kekuasaannya dengan kemauan sendiri.1
Sebuah penyelewengan yang dianggap cukup tabu dalam sebuah sistem demokrasi, juga terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) di Indonesia ketika Tata Tertib Peraturan Presiden No. 14 / 1960 memberikan wewenang kepada Presiden untuk memutuskan permasalahan yang tidak dapat dicapai mufakatnya oleh anggota legislatif. Dimana hal ini segera dikoreksi oleh Tata Tertib DPR-GR pada masa Demokrasi Pancasila dengan menghapuskan ketentuan tersebut.2
Dalam naskah perubahan pertama UUD 1945 yang telah disahkan dalam Sidang Umum MPR 1999 pada Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) menggambarkan telah terjadinya pergeseran dalam penyelenggaraan kekuasaan legislatif dari Presiden ke lembaga DPR.3 Hal ini disebabkan pada masa sebelumnya kedudukan Presiden dalam bidang legislatif jauh lebih besar daripada Dewan Perwakilan Rakyat.4 Meskipun demikian, adanya pasal-pasal ini tidaklah dengan sendirinya menjadikan DPR berada diatas angin dalm hal pembentukan undang-undang. Terhadap RUU yang sudah disetujui bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2) – meskipun merupakan hasil suara terbanyak yang dimenangkan oposisi eksekutif, namun sudah dianggap sebagai persetujuan bersama – Presiden yang kepentingannya dikalahkan dalam persidangan tersebut masih dapat menggunakan haknya – sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (4) – untuk tidak mengesahkan suatu RUU dengan cara tidak menandatangani pengundangan RUU tersebut. Hak inilah yang biasa disebut sebagai hak veto Presiden. Hak ini – sebagai aplikasi dari hak untuk menolak yang digagas Montesquieu – bisa kita temukan dimana-mana. Dan untuk mencegah kesewenang-wenangan Presiden, hak veto ini harus pula dibatasi. Di Amerika Serikat, apabila suatu undang-undang yang telah disahkan parlemen diveto oleh Presiden, maka parlemen dapat menggagalkan veto Presiden dengan syarat RUU tersebut kemudian disetujui oleh parlemen yang dua per tiga dari anggotanya hadir dan disetujui dua per tiga anggota parlemen yang hadir.5 Sedang di Perancis, dalam menggunakan veto-nya, Presiden dapat mengajukan langsung kepada rakyat supaya diputuskan dalam suatu referendum, atau dapat meminta pertimbangan pada Mahkamah Konstitusionil – sebuah lembaga penguji undang-undang (judicial review)6 yang terdiri dari hakim-hakim Mahkamah Agung ditambah dengan beberapa hakim lain.7
Kecenderungan yang terjadi dalam praktek, penggunaan hak veto dan hak mengajukan RUU oleh Presiden sangat mendominasi pembentukan undang-undang sehingga ketentuan yang mengidealkan peran parlemen di bidang legislatif nyaris hanya bersifat formalitas belaka. Sebagai contoh selama tahun1970-an dan 1980-an, sekitar 95 % RUU yang dibahas di parlemen Perancis justru berasal dari inisiatif pemerintah, bukan inisiatif parlemen. Sedangkan RUU yang berasal dari inisiatif parlemen hanya berjumlah 5%. Malah 3% diantaranya diprakarsai oleh partai pemerintah dan hanya 2% yang diprakarsai oleh partai oposisi, itupun untuk hal-hal yang tidak strategis. Di Amerika Serikat, meskipun banyak RUU berasal dari parlemen sendiri, para Presiden Amerika Serikat makin lama makin sering menggunakan hak veto mereka untuk menolak pengesahan RUU yang telah disetujui parlemen. Selama abad ke-19, hak veto cenderung digunakan lebih sering dibandingkan abad sebelumnya. Selama masa pemerintahan panjang Presiden Franklin D. Roosevelt, hak veto ini digunakan sebanyak 631 kali. Dalam masa yang jauh lebih singkat, Presiden Truman menggunakannya 250 kali, Presiden Eisenhower 181 kali. Pada abad ke-20, penggunaan hak veto ini meningkat lebih sering lagi. Selama periode tahun 1889-1968, rata-rata jumlah RUU yang diveto oleh 14 orang Presiden Amerika Serikat tercatat sebanyak 2,5%. Dari segi prosentase memang dapat dikatakan sedikit. Akan tetapi, angka nominalnya cukup besar sebagaimana dikemukakan di atas. Besarnya kekuasaan Presiden untuk mengajukan RUU dengan inisiatif sendiri dan memveto RUU inisiatif parlemen yang canderung meningkat selama abad ke-20, menunjukkan bahwa kekuasaan Presiden di bidang legislatif lebih dominan ketimbang parlemen. Hal ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari kondisi negara modern dimana badan eksekutif bertanggungjawab atas peningkatan taraf hidup rakyat dan karena itu lebih mengetahui kebutuhan untuk membentuk dan mempersiapkan suatu undang-undang sebagai bentuk peran aktif dalam mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat.8
Setelah menilik perikeadaan dan perkembangan hubungan antar kedua lembaga tersebut dewasa ini, kembali kita melihat dasar-dasar pemikiran yang telah dikemukakan Montesquieu dan al-Maududi mengenai hal ini sebagai usaha untuk saling membatasi dan mengontrol kekuasaan anatr lembaga. Pada dasarnya, pemikiran kedua tokoh ini saling melengkapi satu sama lain, dimana kekuasaan eksekutif untuk menolak RUU yang digagas Montesquieu ditindak lanjuti dengan penundukkan eksekutif di hadapan keputusan mayoritas legislatif seperti yang dikemukakan al-Maududi. Disini kita lihat bahwa kedua pemikiran ini nyaris tidak memberikan kesempatan sedikitpun kepada eksekutif untuk berperan dalam pembentukan undang-undang. Hal ini tidak mengherankan, sebab lembaran-lembaran masa lalu yang membentangkan penumpukkan kekuasaan pada badan eksekutif melahirkan sebuah trauma bagi setiap gerak-gerik penguasa eksekutif terutama dalam masalah pembentukan undang-undang sehingga menimbulkan sikap ekstrimisme terhadap pembatasan kekuasaan eksekutif. Pada tempatnyalah sekarang untuk bersikap lebih proporsional dengan tetap mewaspadai kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan baik oleh eksekutif maupun oleh lembaga-lembaga lainnya.
Dengan mempertimbangkan adanya tanggung jawab oleh pihak eksekutif sebagai penyelenggara negara sebagaimana telah dikemukakan, maka sudah seharusnyalah eksekutif memiliki peran dalam fungsi legislatif, dan peran tersebut haruslah mencakup beberapa hal. Pertama, hak untuk mengajukan RUU kepada parlemen yang kemudian dibahas dan diamandemen oleh parlemen, dimana pengajuan RUU dengan inisiatif eksekutif ini merupakan perwujudan dari peran aktif eksekutif dalam memperlancar kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintahan-nya yang bersifat membangun dan menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat. Kedua, hak veto untuk menolak RUU merupakan sebuah kemestian. Peniadaan hak ini sama saja dengan meniadakan prinsip permusyawaratan antar lembaga negara. Ketiga, bila hak veto ini ditolak oleh mayoritas anggota legislatif atau dua per tiga dari legislatif,9 maka bukan berarti RUU tersebut langsung dapat diundangkan begitu saja, tetapi pihak eksekutif juga berwenang – mengingat tanggung jawabnya sebagai penyelenggara negara dan akibat-akibat negatif yang mungkin ditimbulkan oleh RUU tersebut terhadap kebijakan-kebijakannya – untuk mengajukannya dalam suatu referendum dengan mengemukakan alasan-alasan penolakannya terhadap RUU tersebut. Namun bila dalam referendum itu eksekutif tidak dapat meyakinkan referendum maka hal ini berarti eksekutif tidak memiliki jalan untuk meneruskan penolakannya. Namun jika Presiden mendasakan vetonya pada kenyataan bahwa RUU tersebut bertentangan dengan UUD, maka Presiden berhak untuk mengajukannya pada Mahkamah Konstitusi.
Inilah bagian yang mesti dijalankan pihak eksekutif sebagai bentuk keikutsertaannya dalam menegakkan prinsip syura. Bukan untuk memenuhi kepentingan kekuasaannya sepihak melainkan untuk menjalankan amanat yang dipikulkan padanya dengan penuh tanggung jawab dalam menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan warganya, serta untuk mencegah terjadinya penyelewengan yang mungkin ditimbulkan oleh pihak-pihak lain.
Dengan berkurangnya peranan lembaga legislatif dalam pembentukan undang-undang seiring dengan bertambahnya kekuasaan eksekutif dalam bidang ini, maka seharusnyalah kekuasaan eksekutif ini didampingi oleh penyeimbang yang mengawasi dan mencegah penyelewengan yang mungkin dilakukan oleh pihak eksekutif.10 Setidaknya diperlukan dua hal pokok dalam memenuhi kebutuhan ini. Pertama, untuk masalah yang paling esensial yaitu adanya kemungkinan Presiden mengeluarkan ketetapan maupun RUU yang bertentangan dengan UUD, maka dalam hal ini legislatif berhak mengajukan perkara penyelewengan ini ke hadapan Mahkamah Konstitusi. Kedua, mengingat sebagian besar fungsi legislatif diserap oleh pihak eksekutif, maka untuk menyeimbangkan kondisi ini; juga untuk memastikan bahwa di samping keputusan eksekutif tidak bertentangan dengan UUD, keputusan eksekutif ini juga tidak bertentangan dengan general spirit atau general will yang juga tidak bertentangan dengan UUD; di samping itu juga untuk membangun citra parlemen yang efektif untuk menggambarkan kesederajatannya dengan pihak eksekutif, maka hal yang perlu dilakukan adalah dengan meningkatkan fungsi kontrol atau pengawasan parlemen terhadap pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, bisa melalui hak bertanya, interpelasi, angket maupun hak mosi. Dengan adanya kontrol dan pembagian peran yang demikian, maka diharapkan akan terbentuk keseimbangan peran dan saling terkontrolnya dua kekuasaan ini dengan tidak mengabaikan tuntutan-tuntutan perikeadaan politik pada masa sekarang.
Untuk mewujudkan suatu pengontrolan yang independen, maka seharus-nyalah pihak eksekutif tidak memiliki hak untuk memilih dan mengangkat anggo-ta legislatif. Dan pernyataan inilah yang dianut oleh Montesquieu dan al-Maududi. Sedangkan dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Kepala Negara, Montes-quieu meniadakan hak bagi legislatif untuk mengangkat dan memberhentikan Kepala Negara. Sedangkan al-Maududi mengakui wewenang legislatif untuk mengangkat dan memberhentikan Kepala Negara melalui suara mayoritas. Pendapat Montesquieu mengenai hal ini merupakan hasil dari kecenderungan Montesquieu terhadap sistem Monarki Konstitusi dimana dalam sistem ini Kepala Negara dijabat oleh seorang Raja yang tak dapat diganggugugat dan diangkat dengan cara turun temurun. Pada dasarnya, cara pengangkatan semacam ini tidaklah menjadi masalah selama umat menghendaki dan sejalan dengan kemaslahatan bersama. Namun dikarenakan dalam praktek cara seperti ini sering tidak mencerminkan kehendak rakyat dan memperbesar kecenderungan kedikta-toran maka cara pemilihan melalui legislatif – sebagaimana pendapat al-Maududi – akan lebih menjamin terpenuhinya kehendak rakyat yang tentunya ditindaklan-juti dengan kerelaan mereka untuk mentaatinya. Dan hal ini akan lebih terjamin lagi bila pengangkatan ini dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat.
Baik Montesquieu maupun al-Maududi sama-sama menyatakan adanya wewenang legislatif untuk memeriksa dan meminta pertanggungjawaban eksekutif atas tindak tanduknya. Pengontrolan semacam inilah yang harus diperkuat sebagai penyeimbang atas besarnya peran eksekutif di bidang legislatif. Hal ini bisa diwujudkan dengan memberikan hak-hak kontrol kepada legislatif seperti hak untuk bertanya, hak interpelasi (meminta keterangan), hak angket (menyelidiki), ataupun hak mosi.
Montesquieu mengharuskan adanya hak bagi eksekutif untuk mencegah dan mengatasi pelanggaran yang dilakukan lembaga legislatif. Sedang al-Maududi lebih cenderung menyerahkan kasus pelanggaran ini maupun kasus perselisihan antara legislatif dan eksekutif kepada Mahkamah Agung dan bukan menyerahkan-nya pada eksekutif. Pendapat Montesquieu tentang hak eksekutif untuk mengatasi pelanggaran legislatif, dalam praktek mencapai puncaknya pada pembubaran parlemen dalam sistem pemerintahan parlementer. Dalam sistem ini, setelah parle-men meminta pertanggungjawaban atas kebijaksanaan eksekutif dalam hal ini Perdana Menteri atau Kabinet maka Kabinet harus memberikan jawaban yang berisi penjelasan tentang kebijaksanaannya tersebut. Selanjutnya bila parlemen dapat menerima dengan baik dan menyetujui jawaban Kabinet tersebut, maka hal ini tidak akan menjadi masalah. Tetapi bila parlemen tidak menerima jawaban kabinet tersebut maka parlemen dapat menyatakan mosi tidak percaya terhadap kabinet. Dan bila ini benar-benar terjadi, maka akan mengakibatkan timbulnya dua kemungkinan. Pertama, menteri atau para menteri yang dikenai mosi tidak percaya mengundurkan diri, atau bahkan bisa menyebabkan jatuhnya kabinet. Kedua, bisa jadi justru parlemenlah ayng kemungkinan tidak bersifat repesentatif lagi. Dan untuk mencegah agar tidak sampai terjadi suatu kebijakan kabinet tidak diterima oleh parlemen yang tidak representatif lagi bahkan ada kemungkinan parlemen ini menjatuhkan kabinet, maka sebagai imbangan hak parlemen menjatuhkan kabinet, kabinet melalui Kepala Negara dapat membubarkan parlemen yang dianggapnya telah tidak bersifat repesentatif lagi. Ini kemudian diikuti dengan pemilihan dan pembentukan parlemen baru. Parlemen baru inilah nanti yang akan menentukan benar atau tidaknya mosi tidak percaya parlemen maupun tindakan kabinet membubarkan parlemen.11
Dalam sistem ini, seharusnya tidak pada tempatnya eksekutif dapat mem-bubarkan parlemen dengan alasan representativitas. Pernyataan sepihak eksekutif ini tidak mustahil akan didasarkan pada kepentingan sepihak eksekutif. Dan pem-bubaran parlemen ini juga tidak akan dapat menjamin terbentuknya parlemen baru yang lebih bersifat representatif. Andaipun parlemen baru tersebut memang lebih bersifat representatif, tetap tak ada jaminan bahwa parlemen yang baru itu memili-ki kapabilitas yang cukup profesional untuk menentukan benar tidaknya mosi tidak percaya parlemen maupun kebijaksanaan kabinet. Oleh karena itu, untuk menghadapi hal ini, pada tempatnyalah Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang independen dari pengaruh legislatif maupun eksekutif, mengambil peranan dalam penyelesaian perselisihan ini dengan menilai benar atau tidaknya kebijakan kabinet, mosi tidak percaya parlemen, maupun representativitas parlemen. Al-Maududi lebih cenderung menyebut lembaga ini dengan Mahkamah Agung.
B. Hubungan Antara Eksekutif dan Yudikatif
Tidak berlebihan jika saya katakan bahwa hubungan kedua lembaga ini adalah “the most horrible relationship” dalam praktek tata pemerintahan. Montesquieu dan al-Maududi sama-sama menegaskan pemisahan organ antar keduanya.
Dalam praktek di Indonesia, pencampurbauran kedua kekuasaan ini terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin dimana pada Pasal 19 UU No.19 tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dinyatakan: “Demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang mendesak, Presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal pengadilan.” Di dalam penjelasan umum UU itu dinyatakan bahwa pengadilan tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat undang-undang. Penyelewengan ini – sebagai suatu yang bertentangan dengan UUD 1945 – kemudian diluruskan oleh MPRS dengan mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XIX tahun 1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara di Luar Produk MPRS yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Berdasarkan ketetapan itu maka UU No. 19 tahun 1964 telah dicabut dan diganti dengan UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.12 Dalam pasal 4 ayat (3) UU No. 14 tahun 1970 ini dinyatakan: “ Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam UUD.” Dalam penjelasannya, dinyatakan bahwa agar supaya Pengadilan dapat menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya dengan memberi keputusan yang berdasarkan kebenaran, keadilan dan kejujuran, maka tidak dapat dibenarkan adanya pengaruh-pengaruh dari luar yang akan menyebabkan para Hakim tidak bebas lagi dalam mengambil keputusan yang seadil-adilnya.13
Kemandirian kekuasaan kehakiman ini kemudian makin dipertegas lagi agar benar-benar terbebas dari pengaruh pemerintah. Untuk mempertegas hal ini, Ketetapan MPR No.X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan sebagai Haluan Negara telah menentukan bahwa untuk mewujudkan peradilan yang independen, bersih dan profesional dengan memisahkan secara tegas antara fungsi yudikatif dan eksekutif. Atas amanat ketetapan inilah kemudian pemerintah mengajukan Rancangan UU yang kemudian disetujui oleh DPR-RI menjadi UU No. 35 tahun 1999 tentang perubahan atas UU No.14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.14
Menurut Montesquieu bila eksekutif – dalam hal ini penasehat Raja yang memiliki peran terbesar dalam menjalankan pemerintahan, atau yang sekarang disebut sebagai Perdana Menteri – melakukan pelanggaran dalam melaksanakan kebijakannya,15 maka ia harus diperiksa dan bila perlu dapat dijatuhi hukuman. Namun wewenang untuk memeriksa dan menjatuhi hukuman tidaklah berada pada pihak yudikatif, melainkan pada pihak legislatif yang terdiri dari kaum bangsawan yang ahli hukum. Pernyataan ini bertolak dari kenyataan adanya sentimen yang begitu besar antara rakyat dan penguasa. Bila yudikatif yang terdiri dari rakyat berhak mengadili penguasa – dimana diadilinya penguasa ini sebagian besar dikarenakan pelanggarannya terhadap pemenuhan hak-hak rakyat ditambah penuntut juga adalah rakyat – maka penguasa bisa terancam oleh kesewenangan para Hakim rakyat ini sehingga keadilan tidak akan bisa dicapai. Karena itu, menurut Montesquieu, wewenang ini haruslah diberikan pada badan legislatif yang terdiri dari kaum bangsawan yang ahli hukum yang dianggap sebagai badan netral yang tidak memiliki kepentingan untuk memihak.
Keadaan ini mengisyaratkan pentingnya pengakuan rakyat atas penguasa demi harmonisitas, dan pentingnya profesionalitas yudikatif dalam menangani penyelewengan eksekutif. Dengan ini, diharapkan kontrol yurisdiksionil dapat dioptimalkan,16 serta dengan kewibawaan, kemandirian dan keprofesionalan yudikatif, pelanggaran eksekutif dapat dihadapkan pada pengadilan yudikatif untuk memperoleh putusan yang seadil-adilnya sesuai dengan hukum yang berlaku – sebagaimana juga halnya pendapat al-Maududi.
Perihal pengangkatan anggota yudikatif bukanlah wewenang dari ekseku-tif – demikian Montesquieu – tetapi legislatif lah yang memiliki wewenang domi-nan dalam pengangkatan dan pemberhentian Hakim melalui ketetapan-ketetapan-nya. Sedangkan al-Maududi menyerahkan wewenang penunjukan, pemecatan, penaikan pangkat, pemberhentian dan pemindahan para Hakim dan pejabat-pejabat pengadilan sepenuhnya pada Mahkamah Agung. Sedang pengangkatan anggota Mahkamah Agung dilakukan oleh Kepala Negara. Dengan mempertim-bangkan pentingnya kemandirian yudikatif dari berbagai pengaruh, maka sudah seharusnya pengangkatan dan pemberhentian Hakim bukanlah merupakan wewenang pihak eksekutif an sich. Di Amerika Serikat, pengangkatan Hakim dan anggota-anggota Mahkamah Agung oleh Presiden haruslah mendapat pengesahan dan persetujuan dari senat.17 Dan bila anggota yudikatif ini terbukti melakukan perbuatan pidana, maka mereka dapat diberhentikan oleh legislatif.18 Campur tangan pihak legislatif dalam hal ini mutlak diperlukan, untuk mencegah kecende-rungan eksekutif mengangkat anggota yudikatif yang sejalan dengan kepentingan kekuasaannya semata, serta untuk memastikan adanya pengakuan rakyat melalui legislatif atas kapabilitas anggota-anggota yudikatif dalam menjalankan tugasnya.
Bagi Montesquieu, tidak ada tempat bagi pengadilan untuk melaksanakan tugas-tugas non yudikatif seperti memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada eksekutif. Begitu juga eksekutif tidak punya hak untuk menjalankan fungsi yudikatif. Sedangkan al-Maududi memberi tempat pada badan yudikatif untuk memberi saran kepada Kepala Negara dalam hal executive justice yang berupa pelaksanaan hak Grasi bagi terhukum atas pelanggaran administratif dan hak untuk memperingan hukuman mati dengan meninjau kasus yang sebenar-nya. Sebagaimana pemikiran Montesquieu, pengadilan-pengadilan Amerika Seri-kat telah menolak untuk memberikan pertimbangan (advisory opinions) atas per-mintaan baik oleh eksekutif maupun legislatif, karena ditakutkan akan menyebab-kan penyertaan yang sangat langsung oleh yudikatif di lapangan perundang-undangan dan administrasi.19 Berbeda dengan Indonesia dimana Ketetapan MPR No.VI / 1973 pasal 11 ayat (2) menyatakan: ”Mahkamah agung dapat memberi-kan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak, kepada lembaga-lembaga tinggi negara.”20 Pemberian saran dan pertimbangan oleh yudikatif kepada eksekutif dalam masalah hukum bukanlah berarti merusak kebebasan dan kemandirian badan yudikatif; melainkan sebuah kebutuhan untuk mencegah kesewenang-wenangan eksekutif dalam tindakannya yang berkaitan dengan hukum. Sedang untuk pendapat al-Maududi tentang adanya hak eksekutif dalam memberikan Grasi, maka hal ini akan menciptakan celah bagi kesewenang-wenangan eksekutif dalam penegakkan hukum. Begitu juga mengenai hak untuk meringankan hukuman mati dengan meninjau kasus sebenarnya, adalah sesuatu yang tidak perlu dimiliki pihak eksekutif karena peninjauan kasus sebenarnya sudah dilimpahkan pada pihak yudikatif sebagai lembaga yang profesional di bidang ini.
Mengenai hak eksekutif untuk menahan para tersangka dalam kondisi darurat, Montesquieu dan al-Maududi sama-sama membatasinya melalui UU atau ketentuan yang ditetapkan legislatif dengan membatasinya pada bentuk-bentuk pelanggaran tertentu maupun jangka waktu penahanan yang sesingkat mungkin agar segera dapat diselesaikan di muka sidang pengadilan. Hak penahanan oleh eksekutif tanpa dibatasi oleh peran aktif pengadilan akan menciptakan kesewenang-wenangan. Pasal 113 UUD 1876 Kerajaan Usmani yang menyatakan bahwa Sultan berkuasa untuk mengumumkan keadaan darurat dan menangkap serta mengasingkan orang-orang yang dianggap berbahaya bagi keamanan negara, menjadi dasar bagi Sultan Abdul Hamid untuk menangkap PM Midhat Pasya dan beberapa temannya untuk kemudian dikirim ke tempat pengasingan dengan alasan keadaan bahaya negara akibat pecahnya perang dengan Rusia.21 Dengan demikian seharusnyalah negara memberi perlindungan terhadap penangkapan sewenang-wenang semacam ini. Piagam tertulis yang mempelopori perlindungan ini diajukan oleh Parlemen Inggris pada tahun 1679 sebagai perluasan dari ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Magna Charta yang dikenal dengan nama Habeas Corpus Act, yang memberi perlindungan terhadap penangkapan sewenang-wenang dan yang menjamin pengadilan yang cepat.22 Makna dari Habeas Corpus adalah suatu perintah tertulis dari Hakim, yang mengharuskan penjaga dari seorang yang ditahan melepaskan orang tersebut secepat mungkin agar dapat muncul di pengadilan dan menuntut kebebasannya. Hal ini menjadi jaminan penting bagi kebebasan minoritas politik dari penekanan-penekanan mayoritas politik.23
C. Hubungan Antara Legislatif dan Yudikatif
Konsep Montesquieu tentang pemisahan organ antar kedua lembaga ini – sebagaimana konsep-konsepnya yang lain – dianut oleh Amerika Serikat sehingga pada tahun 1954 dua orang harus berhenti dari keanggotaan senat untuk memungkinkan mereka diangkat sebagai Hakim Mahkamah Agung.24
Sebenarnya, pembentukan dua lembaga ini sebagai dua organ yang terpisah adalah lebih sebagai penyeimbang antara aspirasi rakyat di satu sisi dan penegakkan hukum di sisi yang lain. Bila lembaga legislatif sebagai wakil rakyat juga merupakan lembaga yudikatif, maka penegakkan hukum yang independen akan terancam karena sebagai wakil-wakil rakyat, kemungkinan besar mereka bukanlah para ahli hukum. Dan bila lembaga yudikatif sebagai para ahli hukum yang bukan wakil rakyat juga merupakan lembaga legislatif, maka penyaluran aspirasi rakyat akan menemukan jalan buntu. Karena itulah pembentukan dua lembaga ini sebagai organ yang terpisah adalah sebuah keniscayaan dalam hal penyelenggaraan negara. Pemisahan ini juga digagas oleh al-Maududi.
Fenomena yang paling mencolok yang bisa kita temukan pada pemikiran Montesquieu tentang hubungan kedua lembaga ini adalah adanya legislative justice dimana beberapa orang sebagai anggota legislatif juga merupakan para ahli di bidang hukum sehingga mereka juga menjalankan fungsi yudikatif. Seperti yang telah dikemukakan, golongan ini – para bangsawan anggota Upper House yang ahli hukum – dianggap sebagai golongan yang tidak berkepentingan untuk memihak dalam memutus perkara pelanggaran baik yang dilakukan oleh penguasa eksekutif – dalam hal ini atas permintaan dan tuntutan dari Majelis Rendah atas nama rakyat – maupun oleh kaum bangsawan sendiri. Kekuasaan-kekuasaan yudikatif dari Parlemen Inggris juga seluruhnya diserahkan kepada House of Lords (Upper House di Inggris) yang bersidang sebagai suatu pengadilan yang terpisah, dimana para bangsawan yang bukan ahli hukum tidak diperkenankan hadir.25 Bila konsep Montesquieu mengenai ini dipraktekkan secara utuh, maka akan terjadi kesewenang-wenangan. Hal ini disebabkan beberapa hal. Pertama, kedudukan pihak yudikatif dalam pandangan Montesquieu berada pada posisi yang sangat lemah sehingga tidak memungkinkan untuk mengadakan kontrol terhadap praktek yudisial oleh legislatif. Kedua, mengadili pelanggaran yang dilakukan kaum bangsawan oleh bagian badab legislatif yang terdiri dari kaum mereka sendiri akan menimbulkan sikap keberpihakan dalam memutuskan perkara. Dan mengenai hal ini, tidak ad suatu lembaga pun yang dimungkinkan dapat mengontrol kecenderungan kesewenangan ini. Dengan demikian, pembentukan badan yudisial yang lebih independen dan berwibawa sangatlah dibutuhkan sebagai pengontrol penyelenggaraan legislative justice dalam suatu negara yang menganut konsep ini. Mengenai hal ini, meskipun al-Maududi mensyaratkan keanggotaan legislatif haruslah ahli dalam hukum, namun dia tidak mengisyaratkan adanya fungsi yudisial yang dijalankan oleh legislatif.
Baik Montesquieu maupun al-Maududi sama-sama sejalan dengan aliran legalisme dimana Hakim harus mengadili perkara hanya berdasarkan peraturan hukum yang termuat dalam kodifikasi yang telah ditetapkan legislatif. Dalam hal ini Hakim hanya sebagai la voix de la loi (suara undang-undang); dimana keputusan tidak didominasi oleh judge-made law seperti yang dianut negara-negara Anglo Saxon dengan sistem Common Law-nya.26 Aliran legalisme ini secara tidak langsung mengandung fungsi kontrol bagi Hakim untuk tidak memutuskan perkara dengan sewenang-wenang.
Sebagai akhir dari bagian analisis ini, kita sampai pada pembahasan tentang sebuah peran kontrol yang sangat penting untuk dimiliki lembaga yudikatif yang dikenal dengan Judicial Review, yaitu hak untuk menguji apakah suatu UU yang ditetapkan legislatif bertentangan dengan UUD. Dalam kamus Montesquieu, Judicial Review adalah sesuatu yang mustahil; karena bagi Montesquieu, hakim-hakim yudikatif hanyalah merupakan orang-orang pasif yang tidak lebih dari pada mulut yang melafazkan ketentuan-ketentuan hukum, sehingga bahkan kekuasaan menafsirkan hukum pun harus dilimpahkan pada kaum bangsawan ahli hukum pada tubuh legislatif. Sedangkan al-Maududi – meskipun hak ini belum diketahui pernah dipraktekkan pada masa al-Khulafa ar-Rasyidun, namun dengan mempertimbangkan bahwa anggota legislatif dewasa ini tidak cukup handal untuk tidak mendapat pengawasan – menyatakan adanya hak bagi yudikatif untuk membatalkan semua hukum dan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD.
Praktek dari pemikiran Montesquieu dalam hal ini bisa kita temukan di Inggris dimana hanya Parlemen yang boleh menafsirkan ketentuan-ketentuan konstitusi, menjaga agar semua UU tidak bertentangan dengan UUD, dan mengubah serta membatalkan UU yang dianggapnya bertentangan dengan UUD. Hal ini berdasarkan gagasan bahwa kedaulatan rakyat yang diwakilkan kepada Parlemen merupakan pemegang kedaulatan yang tertinggi.27
Hal yang berbeda – sebagaimana pendapat al-Maududi – terjadi di beberapa negara seperti Amerika Serikat, India dan Jerman Barat dimana Mahkamah Agung dianggap sebagai Guardian of the Constitution (Pengaman UU) yang memiliki hak untuk menguji UU. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa anggota lembaga legislatif terlalu mudah terpengaruh oleh pihak lain dan oleh fluktuasi politik,28 sehingga lebih wajarlah bila hak uji ini diberikan pada Hakim-Hakim Mahkamah Agung yang dianggap lebih bijaksana, berpengetahuan dan berpengalaman di bidang hukum, dan karena kedudukannya yang agak bebas dari tekanan dan fluktuasi politik. Di Perancis bahkan dibentuk suatu badan khusus yaitu Mahkamah Konstitusionil untuk memegang wewenang ini.29
Di Amerika Serikat, peran wewenang ini sangat nyata dan berpengaruh besar terhadap proses politik. Hak uji ini berpangkal tolak pada suatu keputusan Mahkamah Agung yang dirumuskan oleh ketuanya John Marshall pada tahun 1803. menurut pandangan ini, bila badan legislatif membuat UU yang menurut Mahkamah Agung bertentangan dengan UUD, maka badan yudikatif tidak dapat memaksa badan legislatif untuk membatalkannya. Akan tetapi Mahkamah Agung dapat menyatakan bahwa UU itu bertentangan dengan UUD (unconstitutional) dan selanjutnya menyisihkannya, seolah-olah UU itu tidak ada lagi. Akan tetapi begitu besarnya pengaruh dan kewibawaan dari Mahkamah Agung, sehingga suatu pernyataan “unconstitutional” sama efeknya dengan membatalkan UU itu. Penggunaan hak ini oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat yang dianggap telah sangat mempengaruhi keadaan politik ialah keputusan mengenai Public School Desegregation Act (Brown v Board of Education) tahun 1954 yang menyatakan bahwa segregation (pemisahan antara golongan kulit putih dan golongan Negro) merupakan diskriminasi dan bertentangan dengan UUD. Keputusan ini dianggap sebagai tonggak sejarah dalam perjuangan orang Negro untuk hak-hak sipil dan telah mengubah tata masyarakat Amerika secara fundamental.30
Pada mulanya, azas judicial review tidak terdapat di Indonesia. UUD 1945 sebelum amandemen tidak menyebut adanya wewenang ini. Begitu juga pasal 26 UU No.14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman hanya menyatakan bahwa MA berhak untuk menyatakan tidak sah semua peraturan-peraturan dari tingkat yang lebih rendah dari UU atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Disini tidak disebutkan wewenang menyatakan tidak sah UU. Penjelasan mengenai pasal 26 lebih jelas menyatakan bahwa hanya UUD atau ketetapan MPR(S) yang dapat menentukan apakah MA mempunyai hak menguji UU atau tidak.31 Namun setelah diadakannya Sidang Tahunan MPR pada Agustus 2001 yang mengesahkan perubahan ketiga UUD 1945, azas judicial review memperoleh tempatnya dalam konstitusi Indonesia dimana dalam Pasal 24c UUD 1945 setelah amandemen mengatur soal kewenangan Mahkamah Konstitusi – sebuah lembaga baru – untuk menguji UU terhadap UUD dengan menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UndangUndang Dasar…”32
Di bagian sebeumnya dalam bab ini, beberapa kali saya telah menyebutkan adanya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tempat menampung tuntutan Presiden maupun Parlemen dalam hal RUU inisiatif Parlemen atau Presiden yang bertentangan denngan UUD, dan sebagai lembaga yang memutuskan perselisihan antara legislatif dan eksekutif. Berkaitan dengan hal ini, dalam surat an-Nisa, Allah swt berfirman:33
…فإن تنازعتم في شئ فردّوه الىالله والرّسول…
Sebagaimana yang dikemukakan al-Maududi, ayat ini menerangkan bahwa putusan yang berdasarkan al-Qur`an dan as-Sunnah sebagai konstitusi tertinggi haruslah diterima sebagai putusan final bagi semua pihak. Implikasinya adalah bahwa harus ada suatu lembaga khusus yang menangani dan memutuskan perselisihan yang terjadi berdasarkan konstitusi. Dan lembaga yang bernama Mahkamah Konstitusi dapat memainkan peranan ini.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara umum, fungsi dari ketiga lembaga negara tersebut antara lain:
1. Legislatif bertugas untuk menyusun, mengamandemen dan menghapus Undang-Undang; sebagai wakil rakyat; dan mengatasi persoalan-persoalan umum.
2. Eksekutif bertugas untuk menyatakan perang dan damai; mengirim dan menerima duta; memelihara keamanan umum; membangun persiapan menghadapi invasi; dan melaksanakan ketentuan perundangan.
3. Yudikatif bertugas untuk memberi sanksi hukuman pada para pelaku kriminal; dan memutuskan perselisihan antar perseorangan sesuai hukum.
Pemikiran Montesquieu mengenai hubungan antar lembaga negara antara lain:
1. Pemisahan organ antara legislatif, eksekutif dan yudikatif;
2. Hak eksekutif untuk menolak undang-undang;
3. Eksekutif tidak berhak mengangkat anggota legislatif;
4. Legislatif tidak berhak mengangkat dan memberhentikan Kepala Negara;
5. Legislatif berhak meminta pertanggungjawaban eksekutif;
6. Eksekutif berhak mengatasi pelanggaran legislatif;
7. Yudikatif tidak berhak mengadili eksekutif;
8. Eksekutif tidak berhak mengangkat yudikatif;
9. Pengadilan tidak berhak melaksanakan tugas-tugas non-yudikatif;
10. Eksekutif tidak berhak menjalankan fungsi yudikatif;
11. Hak eksekutif dalam penahanan preventif dibatasi undang-undang agar secepatnya dapat ditangani yudikatif;
12. Majelis Tinggi berhak menjalankan beberapa fungsi yudikatif;
13. Yudikatif mengadili berdasar undang-undang yang telah ditetapkan legislatif;
14. Yudikatif tidak memiliki hak uji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Pemikiran al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara antara lain:
1. Pemisahan organ antara legislatif, eksekutif dan yudikatif;
2. Penundukkan eksekutif di bawah keputusan mayoritas legislatif;
3. Eksekutif tidak berhak mengangkat anggota legislatif;
4. Legislatif berhak mengangkat dan memberhentikan Kepala Negara melalui suara mayoritas;
5. Legislatif berhak meminta pertanggungjawaban eksekutif;
6. Mahkamah Agung berhak menyelesaikan kasus perselisihan antara legislatif dan eksekutif;
7. Yudikatif berhak mengadili eksekutif;
8. Eksekutif berhak mengangkat yudikatif;
9. Yudikatif berhak melaksanakan tugas-tugas non-yudikatif yang berupa pemberian saran hukum pada eksekutif;
10. Eksekutif memiliki beberapa hak untuk menjalankan fungsi yudikatif;
11. Hak eksekutif dalam penahanan preventif dibatasi undang-undang agar secepatnya dapat ditangani yudikatif;
12. Legislatif tidak berhak menjalankan fungsi yudikatif;
13. Yudikatif mengadili berdasar undang-undang yang telah ditetapkan legislatif;
14. Yudikatif memiliki hak uji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Persamaan pemikiran Montesquieu dan al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara antara lain:
1. Pemisahan organ antara legislatif, eksekutif dan yudikatif;
2. Eksekutif tidak berhak mengangkat anggota legislatif;
3. Legislatif berhak meminta pertanggungjawaban eksekutif;
4. Hak eksekutif dalam penahanan preventif dibatasi undang-undang agar secepatnya diadili oleh yudikatif;
5. Yudikatif mengadili berdasar undang-undang yang telah ditetapkan legislatif.
Perbedaan pemikiran Montesquieu dan al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara antara lain:
No Montesquieu Al-Maududi
1
2
3
4
5
6
7
8
9 Hak eksekutif untuk menolak un-dang-undang
Legislatif tidak berhak mengang-kat dan memberhentikan Kepala Negara
Eksekutif berhak mengatasi pe-langgaran legislatif
Yudikatif tidak berhak mengadili eksekutif
Eksekutif tidak berhak mengang-kat yudikatif
Pengadilan tidak berhak melaksa-nakan tugas-tugas non-yudikatif
Eksekutif tidak berhak menjalan-kan fungsi yudikatif
Majelis Tinggi berhak menjalan-kan beberapa fungsi yudikatif
Yudikatif tidak memiliki hak uji UU terhadap UUD Penundukkan eksekutif di bawah mayoritas keputusan legislatif
Legislatif berhak mengangkat dan memberhentikan Kepala Negara
Mahkamah Agung yang berhak menga-tasi pelanggaran legislatif
Yudikatif berhak mengadili eksekutif
Eksekutif berhak mengangkat yudikatif
Yudikatif berhak melaksanakan tugas-tugas non-yudikatif yang berupa pem-berian saran hukum pada eksekutif
Eksekutif dalam beberapa hal berhak menjalankan fungsi yudikatif
Legislatif tidak berhak menjalankan fungsi yudikatif
Yudikatif memiliki hak uji UU terha-dap UUD
Dari perbandingan pemikiran Montesquieu dan al-Maududi mengenai hubungan antar lembaga negara ini, konsep ideal yang dapat ditawarkan mengenai hubungan antar lembaga negara antara lain:
1. Pemisahan organ antara legislatif, eksekutif dan yudikatif.
2. Memperbesar peran eksekutif di bidang legislatif seperti adanya hak mengajukan RUU dan hak untuk menolak RUU. Sebagai konsekuensinya, fungsi kontrol legislatif harus ditingkatkan.
3. Eksekutif tidak berhak mengangkat anggota legislatif.
4. Untuk memenuhi kehendak dan kepercayaan rakyat, legislatif berhak mengangkat dan memberhentikan Kepala Negara.
5. Legislatif berhak meminta pertanggungjawaban eksekutif.
6. Mahkamah Konstitusi berhak menyelesaikan kasus perselisihan antara legislatif dan eksekutif.
7. Yudikatif berhak mengadili Eksekutif.
8. Pengangkatan yudikatif harus atas persetujuan bersama eksekutif dan legislatif.
9. Yudikatif berhak memberikan saran dan pertimbangan hukum pada eksekutif.
10. Eksekutif tidak perlu memiliki hak untuk menjalankan fungsi yudikatif.
11. Hak eksekutif dalam hal penahanan preventif harus dibatasi UU, dan pihak yang ditahan harus secepatnya diadili di hadapan yudikatif.
12. Legislatif tidak perlu memiliki hak untuk menjalankan fungsi yudikatif. Pembentukan badan yudikatif yang profesional, independen dan berwibawa mutlak diperlukan.
13. Agar yudikatif tidak memutuskan perkara dengan sewenang-wenang, yudikatif harus mengadili berdasar UU yang telah ditetapkan legislatif.
14. Yudikatif harus memiliki hak uji UU terhadap UUD.
B. Saran-Saran
Kerangka dasar yang telah digariskan al-Qur`an dan as-Sunnah mengenai prinsip Syura dan prinsip amr ma`ruf nahyi munkar dalam kehidupan tata negara haruslah dijadikan sebagai landasan konsep hubungan antar lembaga negara ini, dengan tidak mencampakkan pemikiran-pemikiran lain dan pengalaman negara-negara lain yang pelaksanaannya mungkin lebih dekat dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan Islam.
Bagi para pengkaji hukum tata negara dan politik Islam, hendaknyalah terus melakukan pembelajaran dan penelitian yang lebih dalam lagi mengenai ma-salah hubungan antar lembaga negara ini, terutama dengan mendasarkannya pada kerangka yang telah disediakan Islam melalui al-Qur`an dan as-Sunnah.
Terakhir, demi penyempurnaan tulisan ini, tidak tertutup adanya saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak, sehingga wacana ini bisa menjadi lebih berkembang di kemudian hari.
BAB III
BIOGRAFI AL-MAUDUDI DAN PEMIKIRANNYA MENGENAI HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA
A. Biografi Al-Maududi
1. Sejarah kelahiran dan pendidikan
Leluhur al-Maududi memiliki tradisi kepemimpinan spiritual yang sudah berjalan lama dan sejumlah nenek moyang al-Maududi adalah pemimpin-pemimpin terkemuka tarikat sufi. Salah satu yang paling termasyhur adalah Khawajah Qutb ad-Din Maudud (w. 527 H), seorang pemimpin besar tarikat sufi Chishti yang darinya al-Maududi mengambil nama keluarga. Nenek moyang al-Maududi kemudian pindah dari Chisht ke anak benua India di akhir abad ke-9 Hijriah (abad ke-15 Masehi). Orang pertama sebagai pemimpin di India yang tiba adalah juga bernama Abul A`la Maududi (w. 935 H). Ayah al-Maududi adalah Ahmad Hasan, lahir tahun 1855 M, seorang shalih dan taat beragama yang awalnya berprofesi sebagai pengacara. Al-Maududi adalah anak bungsu dari tiga orang anak laki-lakinya.
Abul A`la al-Maududi lahir di Aurangabad, India, pada 25 September 1903 (3 Rajab 1321). Semasa kecilnya al-Maududi belajar di rumah, dan dididik oleh ayahnya sendiri dengan sistem pendidikan klasik. Dalam sistem ini tidak ada mata pelajaran modern. Ia diajar bahasa Arab, Persia, Urdu, disamping al-Qur`an, Hadits, teks sastra dan agama selama bertahun-tahun. Sejak usia muda, ia sudah menguasai bahasa Arab dengan sangat baik, sehingga pada usia empat belas tahun ia sudah bisa menerjemahkan al-Mir`ah al-Jadidah karya Qasim Amin, dari bahasa Arab ke Urdu.
Setelah menjalani pendidikan awal di rumah, al-Maududi meneruskan pendidikannya ke Madrasah Furqaniyah, sebuah sekolah lanjutan yang berusaha mengkombinasikan pendidikan barat modern dengan pendidikan Islam tradisio-nal. Setelah dengan sukses menamatkan pendidikan lanjutannya, ia berada di te-ngah-tengah studinya di Darul Ulum, Hyderabad, ketika pendidikan formalnya terputus oleh keadaan ayahnya yang sakit parah dan berujung pada kematiannya.
2. Pengalaman dan aktivitas intelektual
Terputusnya al-Maududi dari pendidikan formal tidak menghalanginya untuk melanjutkan belajarnya meski di luar institusi formal. Di awal tahun 1920, al-Maududi sudah menguasai bahasa Arab, Persia dan Inggris di samping bahasa ibunya – Urdu, yang dengan itu ia dapat mempelajari berbagai subjek yang ia minati secara otodidak meskipun sesekali ia menerima instruksi dan bimbingan sistematis dari beberapa sarjana yang kompeten. Dengan proses ini, pertumbuhan intelektual al-Maududi merupakan hasil dari usahanya sendiri di samping stimu-lasi yang ia terima dari guru-gurunya.
Di tahun 1920, ketika berumur 17 tahun, ia ditunjuk sebagai editor pada mingguan Taj yang diterbitkan di Jabalpore (sekarang Madhya Pradesh), India. Kepercayaan ini diberikan karena sejak tahun 1918, beberapa tulisannya telah dimuat di sebuah koran terkemuka yang berbahasa Urdu. Di Delhi, ia bertemu tokoh pergerakan khilafah, Muhammad Ali, dan bekerjasama menerbitkan koran nasionalis, Hamdard. Kemudian ia juga bergabung dengan Tahrik-e Hijrah, yang mendorong umat Islam India untuk meninggalkan India (Dar al-Harb) ke Afghanistan sebagai Dar al-Islam.
Di tahun 1921, ia berkenalan dengan pemimpin Jami`at-i `Ulama Hind (Masyarakat Ulama India) yang kemudian mengundang al-Maududi untuk menjadi editor koran resmi mereka, Muslim; yang di tahun 1925 berganti nama menjadi al-Jami`at. Disini ia jadi lebih mengetahui kesadaran politik umat Islam. Ia mulai menulis berbagai realitas politik muslim seperti persoalan-persoalan umat Islam India dan keadaan Turki yang berhadapan dengan Imperealisme Eropa. Hubungannya dengan al-Jami`at mendorongnya untuk menerima pendidikan agama formal. Pada mulanya ia menjadi murid Abdussalam Niyazi dan kemudian menjadi murid ulama Deobandi di sekolah agama Masjid Fatihpuri di Delhi, dan pada tahun 1926, ia pun menerima sertifikat pendidikan agama.
Pada mulanya, al-Maududi memberikan dukungan pada nasionalisme India melalui Partai Kongres pimpinan Mahatma Ghandi. Namun setelah melihat realitas politik umat Islam, yang mencapai puncaknya pada keruntuhan khilafah di Turki pada tahun 1924, kehidupan al-Maududi mengalami perubahan besar. Dia menjadi penentang nasionalisme yang kini menurutnya menyesatkan orang Turki dan Mesir yang merongrong kesatuan muslim dengan cara menolak kekhilafahan. Ia juga tak lagi percaya pada nasionalisme India. Ia menganggap Partai Kongres hanya mengutamakan kepentingan Hindu dengan kedok nasionalisme. Pada saat inilah ia merasa pandangannya bertentangan dengan para ulama al-Jami`at yang mendukung upaya Kongres mengakhiri pemerintahan Inggris, sehingga ia meninggalkan Jami`at dan mulai menyerukan aksi Islami yang lebih melindungi kepentingan muslim dalam menentang imperealisme.
Pada tahun 1925, Swami Shradanand, pemuka gerakan revivalisme agama Hindu, dibunuh oleh seorang ekstrimis muslim yang menyatakan bahwa kewajiban keagamaan untuk membunuh orang-orang yang bukan Islam. Dari peristiwa tersebut bangkit tuduhan-tuduhan bahwa Islam adalah agama pedang yang haus darah. Tekanan dan tuduhan itu mendorong al-Maududi untuk menulis sebuah buku yang berjudul al-Jihad fi al-Islam yang diterbitkan pada tahun 1927. Meski ia tulis dalam usianya yang relatif masih belia, karya ini tercatat sebagai salah satu karya terbesarnya.
Pada tahun 1928 ia pindah ke Hyderabad. Disana ia menyelesaikan sejumlah terjemahan buku tafsir dan filsafat dari bahasa Arab, menulis sejarah Hyderabad dan beberapa teks studi Islam yang diantaranya adalah Risalah-i Diniyat (yang kemudian diterjemahkan sebagai Towards Understanding Islam).
Pada tahun 1930, ketika pihak Hindu maupun Muslim sedang gencar menuntut kemerdekaan dari Inggris beserta pembentukan negara secara terpisah, al-Maududi menjadi sangat kritis terhadap pendapat-pendapat Partai Kongres yang menyerukan pembentukan negara India yang merdeka dan sekuler maupun terhadap gagasan Liga Muslim pimpinan Muhammad Ali Jinnah untuk pemben-tukan Pakistan sebagai negara muslim yang terpisah. Menurut al-Maududi, revo-lusi Islam dan Islamisasi masyarakat adalah suatu kemestian bagi pembentukan dan pembangunan negara dan masyarakat Islam.
Pada 1932, al-Maududi mulai menerbitkan Turjuman al-Qur`an, sebuah jurnal berkala yang selama empat puluh tahun berikutnya menjadi forum terpen-ting bagi pandangan-pandangannya. Pada tahun 1938, al-Maududi pergi ke Punjab atas undangan Muhammad Iqbal (w. 1938), penyair sekaligus pemikir tersohor Punjab, untuk memimpin proyek pendidikan Dar al-Islam di Pathankot, Punjab. Perhatian al-Maududi pada proyek ini tidak berlangsung lama karena kesibukan-nya dengan politik. Pada 1939, ia melakukan aktivitas politik yang lebih langsung di Lahore. Di sini ia mengajar studi Islam di sekolah tinggi Islamiyah. Pada Agustus 1941, al-Maududi bersama sejumlah aktivis Muslim dan ulama muda, mendirikan Jama`at-i Islami yang kemudian markasnya pindah ke Pathankot tem-pat ia dan pengikutnya mengembangkan struktur partai, sikap politik, ideologi dan rencana aksi. Ketika India terpecah di tahun 1947, sedang Jama`at sudah meng-organisasi seluruh India, maka al-Maududi bersama 385 anggota Jama`at memilih Pakistan dan mendirikan markasnya di Lahore dengan al-Maududi sebagai pemimpin.
Setelah kemerdekaan Pakistan ini, Jama`at-i Islami maju ke barisan depan dalam perdebatan mengenai pembentukan konstitusi pertama Pakistan yang berdasar pada ajaran Islam. Organisasi ini merupakan wadah institusional bagi konsep al-Maududi dalam membangun kembali masyarakat muslim yang berdasar pada ajaran Islam, mensuplai dan melatih kader aktivis muslim yang dapat berfungsi sebagai “a vanguard of an Islamic revolutionary movement.” Popularitas al-Maududi yang semakin meningkat membuat ia semakin tidak populer di mata pemerintahan yang masih memegang teguh UU positif kolonial.
Pada bulan Maret 1948, al-Maududi dan jama`atnya mengadakan perte-muan akbar di Karachi untuk merumuskan dan mengesahkan rumusan konsepsi kenegaraan untuk diperjuangkan pada Majelis Konstituante Pakistan yang berisi prinsip-prinsip kedaulatan, hukum dasar Pakistan, pembatalan undang-undang, dan penggunaan kekuasaan yang semuanya harus berdasar pada syari`at Islam. Al-Maududi tidak banyak berhasil meyakinkan para pemimpin Liga Muslim yang kebanyakan berpendidikan barat, untuk pelaksanaan konsepsi tersebut. Maka hubungan al-Maududi dengan Liga Muslim di satu pihak dan pemerintah di lain pihak selalu diwarnai ketegangan. Tidak jarang dilakukan penangkapan terhadap
anggota Jama`at bahkan terhadap al-Maududi sendiri.
Atas tuduhan menulis dan menyebarkan pamflet yang berisi hasutan terhadap sekte Qadyani, pada 11 Mei 1953 pemerintah mengeluarkan putusan hukuman mati atas al-Maududi. Keputusan ini mengakibatkan demonstrasi besar-besaran bergerak memprotes pemerintahan Pakistan. Bukan hanya di Pakistan, para Ulama besar Islam seperti ulama terkemuka Iraq Syeikh Amjad az-Zahawi, mufti Amin al-Husaini, gerakan al-Ikhwan al-Muslimun dan Jam`iyah al-Ulama Aljazair turut melayangkan protes dan meminta amnesti al-Maududi kepada Presiden dan Perdana Menteri Pakistan meskipun al-Maududi sendiri secara pribadi – dengan keyakinan bahwa ajal ditentukan Allah – mencampakkan kesempatannya untuk meminta pengampunan dari pemerintah. Berbagai tekanan dan gelombang protes tersebut akhirnya membuahkan hasil, dan vonis mati atas al-Maududi pun dibatalkan.
Pada tanggal 23 Maret 1956 lahirlah konstitusi Pakistan yang telah menampung sebagian dari konsepsi al-Maududi. Meskipun demikian, konstitusi tersebut masih banyak kekurangan yang menyebabkan al-Maududi terus bekerja keras, menggerakkan Jama`at untuk berkampanye, berpromosi dan mensosialisasikan esensi konstitusi yang berupa teks-teks dan hukum-hukum. Tapi usaha tersebut harus terhenti oleh manuver militer yang alergi dengan gerak-
an Islamisasi konstitusi. Jenderal Muhammad Ayub Khan, seorang muslim modernis yang berorientasi barat, merebut kepemimpinan dengan kudeta militer pada bulan oktober 1958.
Dengan kondisi darurat militer seperti ini, al-Maududi terus mengkritik otoritas militer melalui majalah Turjuman al-Qur`an-nya. Ia menentang keras ku-deta militer dalam setiap ceramahnya hingga pada tanggal 6 Januari 1964 peme-rintah mengeluarkan keputusan melarang gerakan Jama`at-i Islami, pemberedelan majalah Turjuman, menutup kantor-kantor Jama`at dan menangkap al-Maududi beserta para pengikutnya. Untuk kesekian kalinya gelombang protes kembali muncul. Sejumlah pengacara dari dunia Islam secara sukarela menawarkan diri untuk membela al-Maududi. Ribuan teleks dan surat pun datang ke pemerintah Pakistan dengan mengungkapkan kemarahan mereka atas apa yang terjadi dengan Jama`at-i Islami dan al-Maududi. Pada bulan Oktober 1964, Mahkamah Agung Pakistan mencabut pelarangan Jama`at-i Islami.
Selama tahun 1956 sampai dengan 1974, al-Maududi melakukan beberapa kunjungan ke berbagai negara. Ia memberikan ceramahnya di Kairo, Damaskus, Amman, Makkah, Madinah, Jeddah, Kuwait, Rabat, Istanbul, London, New York, Toronto dan sejumlah besar pusat-pusat Internasionl. Selama tahun-tahun ini, ia juga berpartisipasi dalam sepuluh konferensi Internasional. Ia juga mengadakan study tour ke Saudi Arabia, Jordan, Jerussalem, Syria dan Mesir di tahun 1959-1960 untuk meneliti aspek-aspek geografis dari beberapa tempat yang disebut dalam al-Qur`an. Ia juga diundang untuk menjadi komite penasehat yang disiapkan untuk pembangunan Universitas Islam Madinah dan juga bergabung pada dewan akademik pada permulaan berdirinya Universitas ini di tahun 1962. Ia juga adalah anggota dari Komite Yayasan Rabitah al-Alam al-Islami, Makkah, dan Akademi Penelitian Hukum Islam di Madinah. Pendek kata, ia adalah menara inspirasi bagi muslim dunia dalam mempengaruhi kondisi dan corak pemikiran umat Islam.
Pada April 1979, penyakit ginjalnya semakin memburuk disamping pe-nyakit jantung. Ia pergi ke Rumah Sakit di Bufallo, New York, dimana anak laki-laki keduanya bekerja sebagai dokter, untuk menjalani perawatan. Bahkan ketika di Buffalo, waktu al-Maududi secara intelektual masih produktif. Ia menghabiskan sebagian waktunya me-review karya-karya orientalis tentang riwayat Nabi Muhammad saw dan sempat juga bertemu dengan beberapa tokoh muslim. Mela-lui sedikit operasi pembedahan, al-Maududi wafat pada tanggal 22 September 1979 dalam usia 76 tahun. Pengurusan jenazahnya diselenggarakan di Buffalo dan dikuburkan di kediamannya di Ichra, Lahore setelah melalui proses pemakaman yang begitu besar di sepanjang kota.
3. Pemikiran dan karya-karyanya
Al-Maududi telah menulis lebih dari 120 buku dan pamflet, dan telah menyampaikan lebih dari 1000 pidato dan pernyataan pers. Deretan subjek yang ia bahas meliputi berbagai tema yang luas seperti Tafsir, Hadits, Hukum, Filsafat, Sejarah, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Teologi dan sebagainya dengan meng-hubungkan berbagai masalah tersebut dengan prinsip dan ajaran Islam. Karya ter-besarnya adalah Tafhim al-Qur`an, sebuah tafsir monumental yang berbahasa Ur-du yang penggarapannya memakan waktu hingga 30 tahun. Karakteristik dari taf-sir ini adalah mengetengahkan makna dan pesan dari al-Qur`an dengan gaya baha-sa yang menyentuh qalbu dan pikiran pembaca, dan menunjukkan relevansinya dengan setiap permasalahan sehari-hari, baik dalam taraf individu maupun sosial. Karya-karya besarnya yang lain diantaranya seperti: al-Jihad fi al-Islam, Islamic Law and Constitution, A Short History of Revivalist Movement in Islam, Towards Understanding Islam, al-Khilafah wa al-Mulk, Daur al-Talabah fi binnai Mustaq-bal al-`Alami Islami, Waqi`al-Muslimin sabil an-Nuhudi bi him, Ushul al-Iqtisad baina al- Islami wa an-Nuzum al-Mu`asirah, Correspondence Between Maulana Maudoodi and Maryam Jameelah, Mabadi` al-Islam, dan sebagainya. Buku-bu-kunya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti bahasa Arab, Inggris, Turki, Persia, India, Perancis, Jerman, Bengali, dan saat ini terjemahan karya-karyanya makin digalakkan dan tersedia dalam bahasa-bahasa lain di benua Asia, Afrika maupun Eropa.
Pada awal-awal tulisannya, al-Maududi mengkritik tasawuf dan praktek tarikat di India. Seperti Hasan al-Banna, ia tidak setuju kalau tasawuf dihilangkan, namun ia ingin memperbaruinya dan menyesuaikannya dengan ketentuan Islam dan membersihkannya dari hal-hal bid`ah yang tidak bersumber dari Islam. Ia juga membahas masalah ekonomi Islam dengan memandangnya sebagai penerapan hukum Islam pada soal-soal muamalah seperti waris, riba dan hak pekerja. Ia juga memperhatikan peranan wanita dan kaum minoritas di negara Islam, yang menurutnya sudah ditetapkan oleh syari`at seperti penjelasan tentang kaum zimmi, hak-hak wanita dan kesopanan mereka dalam berbusana.
Fokus yang paling mencolok dari pemikiran al-Maududi adalah bentuk dan konstitusi negara Islam. Tujuannya adalah untuk membuktikan bahwa negara Islam, selain ideal, juga mengungguli model barat dan sosialis. Menurutnya, kaum muslimin akan menginginkan negara Islam jikalau mereka menyadari ajaran Islam dan keefektifan serta keunggulan dari negara Islam. Al-Maududi mendukung is-lamisasi masyarakat sebelum menegakkan negara Islam sehingga ia banyak mene-kankan pada aspek pendidikan. Karena menurutnya, keberhasilan negara Islam tergantung pada legitimasinya di mata masyarakat. Jika negara diislamisasikan se-belum masyarakat, maka negara akan terpaksa menggunakan otokrasi untuk me-maksakan kehendaknya pada masyarakat yang belum siap dan keberatan. Menu-rutnya, negara Islam tidak bisa memaksakan pemberlakuan hukum Islam, kecuali kalau masyarakat mau memenuhi tuntutan hukum Islam. Idealnya, rakyat yang menuntut diterapkannya syari`at, dan pemerintah mengesahkannya. Pendapatnya ini tercermin dalam penerapan hukuman hudud yang menurutnya dapat diterapkan jika masyarakat sudah terislamisasi sepenuhnya, sehingga masyarakat tahu persis ajaran Islam dan tak ada alasan untuk menolak syari`at. Dengan demikian, pendidikan dan islamisasi masyarakat mutlak diperlukan.
Menurut al-Maududi, Islam adalah agama yang paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur seluruh segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik dan sistem kenegaraan. Soal-soal kenegaraan yang tidak terdapat dalam syari`at secara jelas, harus diputuskan oleh kesepakatan umat Islam. Hak untuk menjelaskan suatu undang-undang atau menafsirkan suatu nash merupakan hak bagi setiap warga negara muslim yang telah mencapai tingkat mujtahid. Dan jika nash (al-Qur`an dan Hadits) telah memaparkan dengan jelas, maka seluruh warga, ulama, maupun badan legislatif tidak berhak mengubah ketetapan tersebut. Setiap kekuasaan, kedaulatan dan tindak tanduk warga yang dibatasi oleh ketetapan Allah ini melahirkan istilah sistem Theodemokrasi dalam pemikiran al-Maududi.
B. Pemikiran Al-Maududi Mengenai Hubungan Antar Lembaga Negara
Satu hal mencolok yang bisa kita tangkap dari berbagai pokok pemikiran al-Maududi tentang Islam adalah bahwa Islam adalah agama yang paripurna, yang aturannya mencakup segala segi kehidupan manusia. Bahwa Islam telah menyediakan dasar, prinsip dan pedoman bagi berbagai permasalahan hidup manusia sebagai jalan keselamatan yang dikaruniakan oleh Tuhan kepada umat manusia. Dan pedoman itu adalah berupa al-Qur`an dan as-Sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
A. Al-Qur`an dan `Ulūm al-Qur`an / Tafsir
Abduh, Muhammad, Tafsˉir al-Qur`ān al-Hakˉim asy-Syahˉir bi tafsˉir al-Manār, cet. ke-2, Beirut: Dār al-Ma`rifah, 1973.
Departemen Agama R.I., Al-Qur`an dan Terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur`an Depag R.I., 1979.
Shihab, Muhammad Quraish, Wawasan al-Qur`an: Tafsir Maudhu`i atas Pelba-gai Persoalan Umat, cet. ke-14, Bandung: Penerbit Mizan, 2003.
B. Al-Hadˉis dan `Ulūm al-Hadˉis
Hanbal, Ahmad Ibn, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal wa bihā misyih muta-khab kunuz al-`Ummāl fˉi sunan al-Aqwāl wa al-Af`āl, Beirut: Dār as-Sādr, t.t.
Muslim, Sahˉih Muslim bi Syarh an-Nawawiy, Ttp.: Dār al-Fikr, 1983.
Saurah, Abū `ˉIsā Muhammad Ibn`ˉIsā Ibn, al-Jāmi` as-Sahˉih wa huwa Sunan at-Tirmizׂiy, Ttp.: Dār al-Fikr, t.t.
Wensinck, A. J. , al-Mu`jam al-Mufahras li Alfāz al-Hadˉisׂan-Nabawiy, Leiden: Brill, 1936.
Zaglūl, Abū Hājar Muhammad as-Sa`ˉid Ibn Basyūnˉi, Mausū`ah Atrāf al-Hadˉisׂan-Nabawiy asy-Syarˉif, Beirut: Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah, t.t.
C. Fiqh dan Usūl al-Fiqh
Ahmadi, Tri Yudianto, “Konsep Majelis Syura Menurut Pemikiran Abul A`la Al-Mau-dudi dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Menurut Hukum Tata Negara Republik Indonesia,” skripsi sarjana Fakultas Syari`ah Institut Agama Islam Negeri Sunan Kaljaga Yogyakarta, 1998.
Bahansawi, Salim Ali al-, Wawasan Sistem Politik Islam, alih bahasa Mustolah Maufur, cet. ke-1, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996.
Busthomi, Ach. Noor, “Studi Kritis terhadap Konsep Syura Sayyid Abul A`la Al-Maududi dan Implementasinya Dalam Sistem Poltik Islam,” skripsi sarjana Fakultas Syari`ah Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2002.
Huwaidy, Fahmi, Al-Qur`an dan Kekuasaan, alih bahasa Kathur Suhardi, cet. ke-2, Solo: CV Pustaka Mantiq, 1982.
Imran, Mochammad, “Konsepsi Kekuasaan Menurut Al-Maududi dan Relevansinya di Indonesia,” skripsi sarjana Fakultas Syari`ah Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1998.
Maududi, Abul A`la al-, Islamic law and Constitution, Lahore: Islamic Publications (Pvt) Ltd., 1997.
—-, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam, alih bahasa Muhammad Al-Baqir, cet. ke-4, Bandung: Mizan, 1993.
Mudzhar, M. Atho, “Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi,” dalam M. Amin Abdulah, dkk., (ed.), Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman, cet. ke-1, Yogyakarta: SUKA-Press, 2003.
Nasution, Khoiruddin, “Islam dan Demokrasi,” Jurnal Ilmu Syari`ah Asy-Syir`ah, Vol.36,No.I, 2002.
Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, cet. ke-5, Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2000.
Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, cet. ke-3, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.
Shiddieqy, T. M. Hasbi ash-, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam, cet. ke-2, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, edisi kelima, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1993.
Widodo, L. Amin, Fiqih Siasah dalam Sistem Kenegaraan dan Pemerintahan, cet. ke-1, Yogyakarta: Sumbangsih Offset, 1994.
D. Kelompok Buku Lain
Ali, H. A. Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan, 1996.
Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Bashori, Ahmad Dumyathi, “Abul A`la al-Maududi: Jama`at Islam dan Revolusi Damai,” Majalah Islam Sabili Meniti Jalan Menuju Mardhotillah, edisi khusus No.01, Th. ke-10, 25 Juli 2002.
Brace, Richard M., “Louis,” The World Book Encyclopedia, U.S.A: World Book Inc., 1987, XII.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998.
Coulson, Noel J., A History of Islamic Law, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1991.
Daman, Rozikin, Hukum Tata Negara (Suatu Pengantar), cet. ke-1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993.
Djamaluddin, Dedy dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998.
Duverger, Maurice, Teori dan Praktek Tata Negara, alih bahasa Suwirjadi, cet. ke-2, Jakarta: Pustaka Rakyat, 1961.
Esposito, John L., Islam dan Politik, alih bahasa Joesoef Sou`yb, cet. ke-1, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Kansil, C.S.T., Hukum Antar Tata Pemerintahan (Comparative Government) Dalam Rangka Perbandingan Hukum Tata Negara, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1986.
Locke, John, “Concerning The True Original Extent and End of Civil Govern-ment,” dalam Robert Maynard Hut Chins (ed.), Great Books of Western World, Encyclopaedia Britannica, Inc., 1989, XXXV.
Lowenthal, David, “Montesquieu,” dalam Leo Strauss dan Joseph Cropsey (ed.), History of Political Philosophy, edisi ke-3, Chicago: The University of Chicago Press, 1987.
Montesquieu, Charles de , “The Spirit of Laws,” dalam Robert Maynard Hut Chins (ed.), Great Books of The Western World, Encyclopaedia Britannica, Inc., 1989, XXXVIII.
Nasr, Sayyid Vali Reza, “Maududi dan Jama`at-i Islami: Asal-usul, Teori dan Praktek Kebangkitan Islam,” dalam Ali Rahnema (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam, alih bahasa Ilyas Hasan, cet. ke-2, Bandung: Mizan, 1996.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikian dan Gerakan, cet. ke-2, Jakarta: Bulan Buntang, 1996.
Soehino, Hukum Tata Negara Sistem Pemerintahan Negara, Yogyakarta: Liberty, 1993.
Strayer, Joseph R. dan Hans W. Gatzke, The Mainstream of Civilization since 1660, edisi ke-3 New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., 1979.
Suny, Ismail, Pembagian Kekuasaan Negara, Jakarta: Aksara Baru, 1978.
Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekua-saan Kehakiman.
UUD `45 dan Amandemen Dilengkapi Susunan Kabinet Indonesia Bersatu Masa Bakti 2004-2009, Solo: Giri Ilmu, 2004.
Varma, S.P.,Teori Politik Modern, alih bahasa S.M Soemarno, cet.ke-1 Jakarta: CV. Rajawali, 1987.
E. Websites
“Biography of Montesquieu,” http://www.malaspina.com/site/person_857.asp, ak-ses 15 september 2004
“Baron de Montesquieu,” http://www.rjgeib.com/thoughts/montesquieu/montes-quieu-bio.html, akses 15 september 2004
http://www.atheism.about.com/library/glossary/political/bldef_montesquieucharles.htm, akses 15 september 2004.
Montesquieu, “Considerations on the Causes of the Greatness of the Romans and their Decline,” http://www.constitution.org/cm/ccgrd_l.htm, akses 25 September 2004.
“Reviews of Persian Letters,” http://www.fetchbook.info/fwd_reviews/search _0140442812 html, akses 24 September 2004.
“Sayyid Abul Ala Maududi,” http://www.abulala.com/shortbio.asp, akses 25 September 2004.
Shiddiqie, Jimly ash-, “Otonomi Daerah dan Parlemen di Daerah,” http: //www. theceli.com/dokumen/jurnal/jimly/j013.htm, akses 2 oktober 2004.
Tanuredjo, Budiman, “Trias Politica di Zaman yang Berubah,” http://www. kompas.com/kompas-cetak/0205/02/nasional/trias08.htm, akses 2 oktober 2004.
0 Comment