Friday, May 18, 2012

ABSTRAK
Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah menentukan bahwa kewajiban memberi nafkah dibebankan kepada suami, yaitu tercantum dalam pasal 80 ayat (4). Di samping ketentuan tersebut, juga diatur ketentuan mengenai harta bersama. Menurut pasal 1 huruf f KHI bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri maupun bersama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun. Konsekuensi yang muncul dari harta bersama yaitu perbuatan hukum atas harta bersama harus mendapat persutujuan kedua belah pihak dan pembagian atas harta tersebut dilakukan secara berimbang. Jika ketentuan mengenai harta bersama dikaitkan dengan kewajiban suami memberi nafkah maka dapat memunculkan persoalan hukum tatkala isteri melakukan claim bahwa harta yang diberikan selama perkawinan sebagai nafkah dimaknai sebagai harta bersama. Kemudian aturan tersebut juga menunjukkan ketidakadilaan bagi suami karena di samping ia berkewajibaan memberi nafkah ia juga terikat dengan ketentuan bahwa pembagian harta bersama dilakukan secara berimbang.
Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah normatif-yuridis dengan bangunan teori holistik dan equal partner. Ketentuan-ketentuan normatif yang tercantum dalam al-Qur’an dan hadis dan ketentuan yuridis yang tercantum dalam KHI dikaji secara menyeluruh dan terpadu baik terhadap harta bersama maupun nafkah. Setelah itu, dicari konsekuensi yuridis harta bersama terhadap kewajiban suami memberi nafkah.
Hasil yang dicapai dari penelitian ini adalah menghasilkan tiga konsekuensi yuridis harta bersama terhadap kewajiban suami memberi nafkah yang bersifat pilihan. Pertama, tanggung jawab bersama suami isteri dalam ekonomi keluarga. Kedua, pemisahan harta suami isteri dalam perkawinan. Ketiga, kompromi aturan harta bersama dan kewajiban suami memberi nafkah.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan amat urgen dalam kehidupan manusia, individu maupun sosial. Dengan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan. Oleh karena itu, sangat relevan apabila Islam mengatur masalah perkawinan dengan teliti dan terperinci, untuk membawa umat manusia hidup berkehormatan, sesuai kedudukannnya yang amat mulia di tengah-tengah makhluk Allah yang lain.
Hukum perkawinan mempunyai kedudukan yang amat penting dalam Islam. Sebab di dalamnya mengatur tata-cara kehidupan keluarga yang merupakan inti kehidupan masyarakat sejalan dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia.
Perkawinan merupakan perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Adanya perjanjian di sini menunjukkan kesengajaan dari suatu perkawinan yang dilandasi oleh ketentuan-ketentuan agama. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, mengatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Di samping itu, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Ini sesuai dengan firman Allah:
ومن أياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن في ذلك لآيات لقوم يتفكرون
Hak dan kewajiban dalam kehidupan keluarga muncul akibat perkawinan sebagai perjanjian. Seorang laki-laki yang menjadi suami memperoleh hak suami dalam keluarga. Begitupun seorang perempuan yang mengikatkan diri menjadi isteri memperoleh hak sebagai isteri dalam keluarga. Di samping itu, keduanya juga mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus diperhatikan satu sama lain.
Suami isteri mempunyai kedudukan yang seimbang dan setara. Walaupun disadari ada perbedaan kewajiban satu sama lain dalam keluarga. Suami isteri mempunyai posisi dan peranan masing-masing. Superioritas dan inferioritas adalah tidak ada dalam keluarga. Dominasi dalam keluarga harus dilenyapkan tanpa memandang siapa yang melakukannya. Kerena di dalam dominasi itu ada pengangkangan hak dan pengingkaran esksistensi.
Suami isteri harus memahami hak dan kewajibannya sebagai upaya membangun sebuah keluarga. Kewajiban tersebut harus dimaknai secara timbal balik bahwa yang menjadi kewajiban suami merupakan hak isteri dan yang menjadi kewajiban isteri menjadi hak suami. Suami isteri harus bertanggung jawab untuk saling memenuhi kebutuhan pasangannya untuk membangun keluarga yang harmonis dan tentram.
Islam mengajarkan prinsip adil dalam membina keluarga. Yang berarti fungsi-fungsi keluarga harus diletakkan secara memadai. Dan fungsi paling utama dalam keluarga yang harus ada adalah meletakkan fungsi keagamaan. Urgensitas fungsi keagamaan untuk diterapkan sebagai upaya membentuk kehidupan keluarga yang sukses dan agamis.
Suatu perkawinan yang tidak diikuti dengan sikap saling memahami hak dan kewajiban masing-masing akan menimbulkan masalah dalam mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga. Dimungkinkan akan muncul banyak rintangan dalam mencapai tujuan perkawinan yang dicita-citakan. Bahkan peluang retaknya keluarga akan terbuka lebar.
Keluarga merupakan satuan unit terkecil dalam hidup bermasyarakat. Keberadaan suatu rumah tangga tentu akan membawa pengaruh terhadap terbentuknya suatu masyarakat. Oleh karena itu, suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi dasar dari susunan suatu masyarakat.
Keluarga menjadi persoalan yang penting di dalam Islam. Dengan eksistensi keluarga Islam yang bahagia dan sejahtera menjadikan bangunan kekuatan Islam akan kokoh. Untuk itu, diperlukan suatu aturan di dalam membentuk suatu keluarga agar tercipta tujuan perkawinan.
Ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan kehidupan berumah tangga telah diatur dalam Islam demi tercapainya tujuan perkawinan. Agama Islam telah memberikan beberapa ketentuan mengenai kewajiban suami isteri di dalam keluarga. Di antaranya adalah dalam persoalan nafkah. Allah berfirman:
وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف
Ayat tersebut menunjukkan bahwa nafkah menjadi tanggung jawab suami untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic need) keluarga. Pemenuhan terhadap nafkah merupakan bagian dari upaya mempertahankan keutuhan dan eksistensi sebuah keluarga. Dan nafkah wajib atas suami semenjak akad perkawinan dilakukan.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mempositifkan hukum Islam di Indonesia, mengatur juga mengenai kewajiban suami memberi nafkah untuk keperluan hidup keluarga. Keberadaan nafkah tentunya sangat penting dalam membangun keluarga. Jika dalam keluarga nafkah tidak terpenuhi, baik itu nafkah untuk isteri maupun anak-anaknya, dapat menimbulkan ketidakharmonisan dan ketidakberhasilan dalam membina keluarga.
Ketentuan lain yang ada dalam KHI erat kaitannya dengan pelaksanaan kewajiban suami memenuhi nafkah adalah adanya pengaturan harta kekayaan perkawinan. Menurut KHI, pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai secara penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan kekuasaan penuh tetap ada padanya.
Konsep harta bersama diakui dalam KHI. Hal ini menimbulkan adanya hak dan kewajiban antara suami dan isteri terhadap harta bersama. Dan perbuatan hukum terhadap harta bersama haruslah mendapat persetujuan dari kedua belah pihak.
Ketentuan mengenai harta bersama dalam KHI maupun Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak terlepas dari realita masyarakat Indonesia tentang harta bersama dengan istilah yang beragam. Di Jawa Timur disebut dengan gono gini, di Minangkabau disebut harta suarang, di Banda Aceh disebut hareuta seuhareukat.
Kompilasi Hukum Islam merumuskan harta bersama sebagai harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun.
Al-Qur’an dan hadis di satu sisi tidak memberikan ketentuan dengan tegas bahwa harta benda yang diperoleh suami selama perkawinan berlangsung sepenuhnya menjadi hak suami, dan hak isteri hanya terbatas atas nafkah yang diberikan suami.
Ketentuan kewajiban suami memberi nafkah menimbulkan suatu persoalan apabila dikaitkan dengan ketentuan harta bersama. Suami yang mempunyai kewajiban memberi nafkah harus menerima suatu aturan harta bersama yang mempunyai konsekuensi pembagian harta bersama dengan bagian berimbang dan penggunaan harta bersama harus mendapat persetujuan suami isteri. Persoalan lain yang muncul adalah mengenai pelaksanaan kewajiban suami memberi nafkah termasuk dalam institusi harta bersama atau berdiri sendiri. Sehingga, kedua aturan tersebut dapat menimbulkan celah-celah hukum yang dapat merusak asas kepastian hukum dan keadilan masyarakat.
B. Pokok Masalah
Bagaimanakah konsekuensi yuridis harta bersama terhadap pelaksanaan kewajiban suami memberi nafkah dalam Kompilasi Hukum Islam?.
C. Tujuan dan Kegunaan
1. Tujuan
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui konsekuensi yuridis harta bersama terhadap pelaksanaan kewajiban suami memberi nafkah dalam Kompilasi Hukum Islam.
2. Kegunaan
a. Terapan
Skripsi ini diharapkan mampu memperkaya wacana intelektual bagi setiap pribadi muslim dan masyarakat luas dalam memahami hukum Islam, khususnya dalam bidang perkawinan.
b. Ilmiah
Skrispsi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mencermati konsekuensi yuridis harta bersama terhadap kewajiban suami memberi nafkah dalam Kompilasi Hukum Islam.
D. Telaah Pustaka
Sepengetahuan penulis, ada beberapa tulisan yang membahas tentang harta bersama dan nafkah, tetapi dibahas secara terpisah. Pertama, skripsi Dinamika Hukum Islam (Studi Posisi Harta Bersama dalam UU No. 1 Tahun 1974). Skripsi tersebut membahas tentang posisi harta bersama dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 secara sosiologis, filosofis dan legalitas, pandangan hukum Islam terhadap posisi harta bersama dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dan relevansi posisi harta bersama dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dengan dinamisasi hukum Islam.
Hasil yang dicapai dalam tulisan tersebut adalah (1) posisi harta bersama dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai sarana penyatuan istilah yang materinya telah diakui dan ditaati oleh masyarakat sebagai suatu lembaga hukum, sistem pengendalian sosial yang bertujuan untuk menegakkan keadilan dan sistem pengendalian sosial untuk mencapai ketertiban dan kepastian hukum; (2) dalam hukum Islam, posisi harta bersama dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 adalah sebagai sarana yang wajib adanya untuk mewujudkan kepastian hukum terhadap ketentuan harta bersama; dan (3) dinamisasi hukum Islam sangat relevan dengan posisi harta bersama dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Sebab dinamisasi hukum Islam merupakan upaya agar kemaslahatan yang menjadi tujuan syariat terealisir dalam dunia nyata dengan memunculkan ketentuan hukum yang dapat menjawab permasalahan yang timbul dalam konteks sosial Indonesia.
Kedua, skripsi Penyelesaian Sengketa Harta Bersama Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 di Pengadilan Agama Bangil. Skripsi tersebut membahas tentang maksud harta bersama dan langkah hakim dalam menyelesaikan sengketa harta bersama, proses penyelesaian sengketa harta bersama menurut undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dan analisis tentang pemecahan masalah sengketa harta bersama.
Hasil yang diperoleh dari skripsi tersebut adalah (1) pemahaman hakim Pengadilan Agama Bangil tentang ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 khususnya perkara harta bersama, bahwa gugatan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian atau mengajukan perkara terpisah, mengenai pembagiannya sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam atau atas kehendak para pihak; (2) pedoman hakim Pengadilan Agama Bangil dalam memutus perkara harta bersama tidak menyimpang dari Kompilasi Hukum Islam dan dari Yurisprudensi Pengadilan Agama dan (3) kenyataan penyelesaian harta bersama di Pengadilan Agama Bangil bahwa harta bersama dibagi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau atas kehendak kedua belah pihak dan mengenai harta bawaan dari masing-masing pihak, ditarik kembali sesuai dengan bawaan semula.
Ketiga, skripsi Hak Kebendaan Istri dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam (Studi Komparatif). Skripsi tersebut membahas tentang posisi harta benda seorang isteri yang diperoleh selama dan sesudah terjadinya perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan menurut hukum Islam serta hak kebendaan mutlak isteri dalam hukum Islam.
Hasil yang diperoleh dari skripsi tersebut adalah (1) dalam Undang-undang Perkawinan, hak kebendaan isteri dalam status perkawinan hanya meliputi hak nafkah, tempat tinggal dan hak penguasaan terhadap harta miliknya. Sedangkan dalam hukum Islam, selain isteri mempunyai hak-hak yang tersebut dalam Undang-undang Perkawinan, ada juga hak lain yaitu berupa mahar dari suami; (2) hak kebendaan isteri sesudah terjadinya perceraian, baik dalam Undang-undang Perkawinan maupun dalam hukum Islam meliputi hak nafkah selama masa iddah, hak atas pemeliharaan anak dan hak atas harta bersama dan (3) dalam hal putusnya perkawinan karena kematian suami, Undang-undang Perkawinan tidak menjelaskan apakah janda tersebut mempunyai hak nafkah (biaya hidup) selama masa iddah atau tidak.
Keempat, skripsi Studi tentang Pembebasan Kewajiban Nafkah terhadap Kedudukan Suami Isteri dalam KHI. Skripsi tersebut membahas mengenai pandangan KHI tentang pembebasan nafkah terhadap kedudukan suami isteri sekaligus pandangan ulama tentang masalah tersebut.
Hasil yang diperoleh dari skripsi tersebut adalah (1) secara implisit, KHI membolehkan pembebasan kewajiban nafkah suami terhadap isterinya, jika suaminya tidak mampu memberi nafkah kepada isterinya dengan cara pembebasan dari pihak isteri ke suami (pasal 80 ayat 6). Hal ini diqiyaskan kepada pembebasan dari mengadakan giliran suami terhadap isterinya, atas kerelaan isterinya. Pasal lain yang mendukung yaitu pasal 93, jika harta suami tidak ada maka isteri ikut membantu melunasinya, diperkuat dengan prinsip hubungan suami isteri yang menekankan agar hubungan pernikahan berdasarkan kejiwaan dan antara keduanya harus saling membantu, melengkapi kekurangan masing-masing yang terdapat dalam pasal 77 ayat (2). Dan (2) mengenai akibat hukum terhadap kedudukan suami isteri kalau melihat alasan yang dikemukakan penafsir KHI, bahwasannya suami sebagai kepala keluarga karena alasan fungsional berdasarkan asas kodrati biologis, maka berdasarkan logika terbalik, jika fungsi itu tidak dijalankan suami, kepemimpinan suami akan gugur karena illat suami menjadi kepala keluarga adalah karena faktor nafkah yang ditunaikan suami kepada isteri. Jika alasan kepemimpinan itu tidak ada, maka akan gugur sifat kepemimpinan pada suami dari segi ekonomi, sehingga kepemimpinan berhak berada pada isteri. Sedangkan dalam keunggulan yang lain (fisik dan psikis) tetap dimiliki oleh suami karena KHI mendasarkan pula pada asas kodrati alamiah biologis.
Kelima, skripsi Peranan Wanita Pekerja dalam Meningkatkan Ekonomi Rumah Tangga Ditinjau dari Hukum Islam. Skripsi tersebut membahas mengenai peranan wanita pekerja dalam meningkatkan ekonomi rumah tangga, dampak yang muncul dan pandangan hukum Islam mengenai peranan wanita pekerja.
Hasil yang dicapai dari skripsi tersebut adalah (1) pada hakekatnya peranan wanita pekerja hanya bersifat menambah penghasilan dalam meningkatkan ekonomi rumah tangga; (2) dampak peranan wanita (isteri) pekerja dalam rumah tangga sangat dipengaruhi oleh keadaan keharmonisan rumah tangga itu sendiri, dengan menyesuaikan kemampuan dan ketrampilan yang dimilikinya; dan (3) pada dasarnya hukum bagi wanita pekerja itu tidak dilarang, asal saja memenuhi ketentuan Islam. Dan selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat dan tidak untuk kepentingan pribadi.
Skripsi Konsekuensi Yuridis Harta Bersama terhadap Kewajiban Suami Memberi Nafkah dalam KHI ini tentu berbeda dengan tulisan-tulisan yang sudah ada. Di sini penulis akan membahas tentang konsekuensi yuridis harta bersama terhadap pelaksanaan kewajiban suami memberi nafkah dalam KHI disertai analisis terhadapnya.
E. Kerangka Teoretik
Bangunan pemikiran dalam skripsi ini adalah menggunakan teori holistik dan teori equal partner. Menurut Fazlur Rahman, teori holistik adalah memahami al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh dan menyatu tanpa terpisahkan. Sedangkan menurut Scanzoni dan Scanzoni, teori equal partner mempunyai ciri-ciri yaitu tidak ada posisi yang lebih tinggi atau rendah antara suami isteri, suami isteri mempunyai kesempatan yang sama untuk berkembang, keputusan yang diambil berdasarkan kesepakatan bersama dan secara spesifik perkembangan individu sangat diperhatikan.
Jika ditarik ke pokok masalah skripsi, maka kedua teori tersebut digunakan untuk melakukan pemahaman secara menyatu dan terpadu terhadap ketentuan-ketentuan normatif dan yuridis yang berkaitan dengan harta bersama dan pelaksanaan kewajiban suami memberi nafkah diselaraskan dengan prinsip kesejajaran antara suami isteri dalam keluarga.
Titik tekan dalam skripsi ini adalah konsekuensi yuridisnya. Sehingga diperlukan pembacaan secara cermat dan menyeluruh terhadap pandangan fuqaha’ terlebih terhadap pasal-pasal yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam dan perundang-undangan lain. Dari pembacaan tersebut diharapkan akan diperoleh jawaban dari pokok masalah.
Berangkat dari suatu pemikiran bahwa perkawinan yang sah akan menimbulkan akibat hukum. Implikasinya suami isteri mempunyai hak dan kewajiban masing-masing dalam keluarga. Dan di antara kewajiban suami adalah memenuhi nafkah keluarga baik bersifat materiil maupun immateriil. Keberadaan nafkah adalah sangat penting dalam keluarga. Tanpa terpenuhinya nafkah keluarga, dimungkinkan sebuah keluarga akan mengalami keretakan dan kehancuran.
Ada sejumlah nas yang berbicara tentang kewajiban suami memberi nafkah. Nas-nas tersebut adalah:
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم
وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف
أسكنوهن من حيث سكنتم من وجدكم ولا تضاروهن لتضيقوا عليهن وإن كن أولات حمل فأنفقوا عليهن حتى يضعن حملهن
أن يطعمها إذاطعم ويكسوها اذااكتسي ولايضرب الوجه ولايقبح ولايهجر إلا فى البيت
Dalam Perundang-undangan Indonesia tidak terdapat sub bab khusus yang membahas masalah nafkah dalam kehidupan keluarga. Akan tetapi, ada beberapa pasal yang dapat ditarik sebagai bahasan yang berhubungan dengan nafkah.
Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) menyebutkan, “Suami isteri harus mempunyai tempat tinggal kediaman yang tetap, rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.”
Pasal 34 disebutkan, ayat (1), “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.” Ayat (2), “Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.” Ayat (3), “Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.”
Ketentuan pasal-pasal di atas yang terlihat secara langsung berbicara tentang nafkah adalah pasal 34 ayat (1) yakni dengan menyebut, suami wajib memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga.
Aturan mengenai nafkah dalam KHI lebih rinci dibandingkan UUP. Pasal 80 ayat (4) KHI menyebutkan, “Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: (a) nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri; (b) biaya rumah tangga, biaya perawatan dan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; (c) biaya pendidikan bagi anak.” Dari ketentuan tersebut sangat jelas bahwa KHI menempatkan beban pemenuhan nafkah pada suami.
Pengaturan nafkah dalam KHI menimbulkan suatu persoalan tatkala dikaitkan dengan pengakuan konsep harta bersama. Dengan melihat pasal 1 huruf (f) KHI, harta bersama dirumuskan sebagai harta yang diperoleh baik secara sendiri-sendiri atau bersama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun. Dalam pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, dijelaskan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Dan mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
Ketentuan dua pasal tersebut menunjukkan bahwa kualifikasi yang dipakai dalam merumuskan harta bersama adalah dengan menggunakan masa perkawinan yang sah. Selama harta itu diperoleh dalam perkawinan yang sah, maka otomatis menjadi harta bersama dengan merujuk pada terminologi harta bersama yang ada dalam KHI. Tetapi, KHI memberikan batasan bahwa harta yang diperoleh karena hadiah dan warisan menjadi harta pribadi masing-masing selama dimaksudkan untuk itu.
Sementara itu, di dalam hukum Islam terdapat dua pendapat yang dapat dikemukakan tentang harta bersama, yaitu: (1) Tidak dikenal harta bersama dalam lembaga Islam kecuali dikenal dengan syirkah. Pendapat ini didasarkan bahwa dalam Islam tidak mengenal percampuran harta antara suami dan isteri karena perkawinan. (2) Ada harta bersama antara suami dan isteri menurut hukum Islam. Pendapat ini mengakui bahwa apa yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sesuai dengan kehendak dan aspirasi hukum Islam.
Jika dicermati, ketentuan mengenai harta bersama dan kewajiban suami memberi nafkah dalam KHI terlihat tidak koheren. KHI merumuskan harta bersama sebagai harta yang diperoleh selama perkawinan yang sah tetapi tidak menyebutkan harta jenis apa yang bisa digunakan untuk pelaksanaan kewajiban suami memberi nafkah dan bagaimana posisi suami isteri dalam pemenuhan ekonomi keluarga. Hal ini dapat menimbulkan aturan yang penuh penafsiran dan tidak pasti. Padahal hukum bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan bersendikan keadilan. Jika suatu ketentuan tidak koheren dan pada akhirnya menunjukkan kontradiksi, seharusnya ada pembaharuan hukum demi arti penting hukum itu sendiri.
Untuk itu, teori holistik dan teori equal partner sangat diperlukan untuk memecahkan persoalan yang muncul dari ketentuan mengenai harta bersama dan kewajiban suami memberi nafkah. Dengan melakukan pemahaman yang menyatu dan menyeluruh terhadap ketentuan normatif maupun yuridis sekaligus dikaitkan dengan prinsip kesejajaran suami isteri dan prinsip-prinsip dalam perkawinan diharapkan mampu memperoleh problem solving terhadap persoalan tersebut.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah termasuk jenis penelitian pustaka (library research), yaitu suatu jenis penelitian yang di dalam memperoleh bahan-bahan penelitian dengan cara menelusuri bahan-bahan pustaka. Penelitian ini cukup ditempuh dengan penelitian pustaka karena data yang diperlukan berasal dari bahan-bahan pustaka baik berupa buku-buku, jurnal, maupun hasil penelitian.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis. Setelah data terkumpul dideskripsikan terlebih dahulu seputar masalah harta bersama dan nafkah secara umum. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan pada pokok masalah tentang konsekuensi yuridis harta bersama terhadap pelaksanaan kewajiban suami memberi nafkah serta dianalisis konsekuensi yuridisnya.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang ditempuh dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan normatif-yuridis. Pendekatan normatif digunakan untuk mengetahui ketentuan mengenai nafkah dan harta bersama dengan melandaskan pada ketentuan nas serta pendapat ulama dan para sarjana dalam buku-buku fiqh yang membahas persoalan tersebut. Sedangkan pendekatan yuridis digunakan untuk mengetahui konsekuensi yuridis antara harta bersama dan pelaksanaan kewajiban suami memberi nafkah dalam KHI dengan melandaskan aturan-aturan yang ada di dalamnya dan dengan merujuk ketentuan dalam Undang-undang Perkawinan.
4. Pengumpulan Data
Sesuai dengan jenis penelitian dalam skripsi ini, maka data yang dibutuhkan dikumpulkan dengan cara menelusuri berbagai tulisan yang memiliki kesesuaian dengan pokok masalah.
5. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif. Artinya penulis mempertajam analisis dari data yang diperoleh dan membahas secara mendalam tentang problem-problem yang muncul dari ketentuan normatif maupun yuridis.
G. Sistematika Pembahasan
Pembahasan skripsi ini dibagi menjadi lima bab, yaitu:
Bab pertama, berisi pendahuluan untuk mengantarkan pembahasan skripsi secara menyeluruh dan sistematis. Bab ini terdiri dari enam sub bab: latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan , telaah pustaka, kerangka teoretik, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, berisi tinjauan umum seputar harta bersama dan nafkah. Bab ini terdiri dua sub bab. Sub bab pertama berbicara tentang harta bersama yang meliputi: pengertian, dasar hukum, ruang lingkup dan wujud, tanggung jawab suami isteri dan hak suami isteri. Sub bab kedua berbicara tentang nafkah yang meliputi: pengertian, sebab-sebab yang mewajibkan, dasar hukum, syarat-syarat berhak menerima, macam-macam, kadar serta nafkah menurut pandangan fuqaha’ dan nafkah menurut perundang-undangan.
Bab ketiga, berbicara tentang pelaksanaan kewajiban suami memberi nafkah dikaitkan dengan harta bersama dalam KHI. Bab ini mencakup: hak dan kewajiban suami isteri, latar belakang pengaturan harta bersama dan kewajiban suami memberi nafkah, suami memberi nafkah dari harta bersama dan suami memberi nafkah dari harta pribadinya.
Bab keempat, yaitu analisis tentang konsekuensi yuridis harta bersama terhadap kewajiban suami memberi nafkah dalam KHI. Bab ini mencakup: kewajiban nafkah atas suami dan konsekuensi yuridisnya.
Bab kelima, merupakan penutup. Terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA BERSAMA DAN NAFKAH
A. Harta Bersama
1. Pengertian
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) menerangkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan pengertian bahwa harta bersama atau syirkah yaitu harta yang diperoleh sendiri-sendiri atau bersama-sama suami isteri selama perkawinan tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun.
Ketentuan-ketentuan tersebut menunjukkan bahwa masa dalam ikatan perkawinan menjadi suatu hal yang penting untuk menentukan harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, kecuali harta yang diperoleh dari hibah, hadiah dan warisan, sepanjang tidak ditentukan lain oleh para pihak.
Pengertian harta bersama menurut para ahli hukum mempunyai kesamaan satu sama lain. Menurut Sayuti Thalib, harta perolehan selama ikatan perkawinan yang didapat atas usaha masing-masing secara sendiri-sendiri atau didapat secara usaha bersama merupakan harta bersama bagi suami isteri tersebut. Menurut Hazairin, harta yang diperoleh suami dan isteri karena usahanya adalah harta bersama, baik mereka bekerja bersama-sama ataupun suami saja yang bekerja sedangkan isteri hanya mengurus rumah tangga dan anak-anak di rumah, sekali mereka itu terikat dalam suatu perjanjian perkawinan sebagai suami isteri maka semuanya menjadi bersatu baik harta maupun anak-anaknya.
Senada dengan kedua tokoh di atas, Iman Sudiyat juga memberikan definisi harta bersama, yaitu harta kekayaan yang diperoleh selama masa perkawinan, baik suami maupun isteri bekerja untuk kepentingan kehidupan keluarga. Syarat terakhir ini sering juga ditiadakan, sehingga harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan itu selalu menjadi harta bersama keluarga.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka harta yang diperoleh selama perkawinan, kecuali harta warisan, hibah, wasiat dan hadiah, sepanjang para pihak tidak menentukan lain adalah harta bersama.
Selain diatur ketentuan mengenai harta bersama, di dalam pasal 35 ayat (2) UUP jo pasal 87 ayat (1) KHI dijelaskan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Ketentuan ini menunjukkan di samping ada harta bersama, ada juga harta pribadi dalam harta perkawinan. Yaitu terdiri dari harta bawaan dan harta pemberian. Disebut harta bawaan karena masing-masing suami dan isteri membawa harta sebagai bekal ke dalam ikatan perkawinan yang bebas dan mandiri. Sedangkan harta pemberian adalah harta yang bukan didapat karena jerih payah bekerja sendiri melainkan karena hubungan cinta kasih, balas budi atau jasa, atau karena sesuatu tujuan. Dalam pasal tersebut yang termasuk kategori harta pemberian adalah harta karena hibah maupun warisan. Akan tetapi, menurut Hilman Hadikusuma, harta pemberian meliputi: harta pemberian suami, harta pemberian orang tua, harta pemberian kerabat, harta pemberian anak kemenakan, harta pemberian orang lain, hadiah-hadiah dan hibah wasiat.
2. Dasar hukum
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Ketentuan ini memberikan pemahaman bahwa harta yang dibawa suami isteri ke dalam perkawinan tetap menjadi harta pribadi masing-masing selama para mereka tidak menetukan lain lewat perjanjian.
Menurut penulis, ketentuan yang tercantum dalam pasal 86 tersebut adalah bersifat fakultatif, yang dibuktikan dengan adanya ketentuan mengenai harta bersama dan perjanjian kawin yang menyimpangi ketentuan tersebut. Dasar hukum adanya harta bersama dalam perkawinan adalah pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan pasal 1 huruf f KHI. Ketentuan tersebut memberikan legitimasi bahwa harta bersama diakui dalam hukum perkawinan nasional.
Al-Qur’an dan hadis sendiri tidak menegaskan bahwa harta yang diperoleh suami dalam perkawinan, secara langsung isteri juga ikut berhak atasnya. Dengan demikian, tidak ada ketentuan yang jelas apakah harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung menjadi harta bersama atau tidak.
Menurut Idris Ramulyo, ada dua pendapat dalam hukum Islam mengenai ada tidaknya harta bersama dalam perkawinan. a. Tidak dikenal harta bersama dalam lembaga Islam. Argumentasi dari pendapat ini bertitik tolak dari ketentuan al-Qur’an:
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم
أسكنوهن من حيث سكنتم من وجدكم ولا تضاروهن لتضيقوا عليهن
Isteri mendapatkan suatu perlindungan dari suami baik tentang nafkah, sandang pangan, nafkah batin dan materiil maupun tempat tinggal demikian juga biaya kesehatan, pemeliharaan, serta pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab penuh suami sebagai kepala keluarga. Sebagaimana yang ditentukan oleh kedua ayat di atas, berarti isteri dianggap pasif menerima apa yang datang dari suami. Maka menurut tafsiran ini tidak ada harta bersama.
b. Ada harta bersama antara suami isteri dalam hukum Islam. Pendapat ini mendasarkan bahwa apa yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengenai harta bersama sesuai dengan kehendak dan aspirasi hukum Islam. Pendapat ini bertitik tolak dari ketentuan nas:
وعاشروهن بالمعروف فإن كرهتموهن فعسى أن تكرهوا شيئا ويجعل الله فيه خيرا كثيرا
وأخذن منكم ميثاقا غليظا
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم
ومن أياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن في ذلك لآيات لقوم يتفكرون
Menurut Ismail Muhammad Syah, harta gono gini (harta bersama) dimasukkan sebagai syirkah abdan atau muwafadah. Alasan gono gini sebagai syirkah abdan karena sebagian besar suami isteri dalam masyarakat Indonesia sama-sama bekerja dan berusaha untuk mendapatkan nafkah sehari-hari dan sekedar harta simpanan untuk masa tua mereka, dan selanjutnya untuk peninggalan kepada anak-anak mereka sesudah mereka meninggal. Suami isteri sama-sama bekerja dalam mencari sandang pangan. Menurut Imam al-Syafi’i, sebagaimana dikutip oleh Sayuti Thalib, Syirkah ini adalah batal karena mengandung penipuan. Dibantah oleh Ismail Muhammad Syah, pada perkongsian gono gini tidak ada penipuan. Sebabnya adalah:
Perkongsian suami isteri tidak hanya mengenai kebendaan, tetapi djuga mengenai djiwa dan keturunan. Masing-masing dari suami isteri berusaha selain untuk sekedar dapat hidup dengan mendapat makan setjukupnya djuga bermaksud untuk sekedar belandja dan warisan kepada anak-anak mereka bersama. Andaikata hasil usaha mereka dipisahkan, tentu akan kembali kepada anak-anak mereka djuga. Oleh karena itu, maka keinginan suami untuk menipu isterinja atau keinginan isteri untuk menipu suami, tidak akan timbul….
Berikutnya, dikatakan syirkah muwafadah, karena memang perkongsian suami isteri tidak terbatas. Harta apa saja yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta gono gini, selain dari warisan dan pemberian yang secara tegas dimaksudkan untuk salah seorang dari suami isteri itu.
Apabila dicermati, pembahasan tentang syirkah baik menurut al-Syafi’i dan pengikut-pengikutnya seperti Nawawi dan Syarbaini maupun dalam buku-buku lain seperti dalam tulisan Ibn Hajar al-Asqalany dan Muhammad Ibn Ismail al-San’ani, terdapat dalam “kitab dagang” bukan dalam “kitab nikah”. Kenyataan ini berarti bahwa asal persoalan syirkah adalah mengenai pengaturan perserikatan atau perkongsian dalam perdagangan atau pemberian jasa kemudian diterapkan pula pada soal harta bersama suami isteri dalam hukum perkawinan.
Adapun dalil nas yang dijadikan landasan bolehnya syirkah adalah hadis berikut:
قال تعالى اناثالث الشريكين مالم يخن احدهماصاحبه فاذاخان خرجت من بينها
3. Ruang lingkup dan wujud
Perkawinan tidak menjadikan hak kepemilikan harta suami atau isteri menjadi berkurang atau hilang. Suami isteri tetap mempunyai hak penuh terhadap hartanya masing-masing. Akan tetapi, dimungkinkan dalam suatu perkawinan, suami isteri mengadakan perjanjian percampuran harta kekayaan yang diperoleh suami atau isteri selama dalam hubungan perkawinan atas usaha suami atau isteri sendiri-sendiri atau atas usaha bersama-sama.
Menurut Sayuti Thalib, terjadinya percampuran harta dapat dilaksanakan dengan:
a. Mengadakan perjanjian secara nyata-nyata tertulis atau diucapkan sebelum atau sesudah berlangsungnya akad nikah dalam suatu perkawinan, baik untuk harta bawaan masing-masing atau harta yang diperoleh selama dalam perkawinan tetapi bukan atas usaha mereka sendiri ataupun harta pencaharian.
b. Dapat pula ditetapkan dengan undang-undang atau peraturan perundangan, bahwa harta yang diperoleh atas usaha salah seorang suami atau isteri atau kedua-duanya dalam masa adanya hubungan perkawinan yaitu harta pencaharian adalah harta bersama suami isteri tersebut.
c. Di samping dengan dua cara tersebut di atas, percampuran harta kekayaan suami isteri dapat pula terjadi dengan kenyataan kehidupan suami isteri itu. Dengan cara diam-diam memang telah terjadi percampuran harta kekayaan, apabila kenyataan suami isteri itu bersatu dalam mencari hidup dan membiayai hidup. Mencari hidup tidak hanya diartikan mereka yang bergerak keluar rumah berusaha dengan nyata. Akan tetapi, harus juga dilihat dari sudut pembagian kerja dalam keluarga.
Menurut pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa harta bersama meliputi harta-harta yang diperoleh suami isteri sepanjang perkawinan saja. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan dan sesudah perceraian menjadi harta pribadi masing-masing. Hadiah, hibah, wasiat dan warisan menjadi harta pribadi kecuali para pihak berkehendak untuk memasukkan ke dalam harta bersama.
Kemudian untuk memperjelas status kepemilikan harta dalam perkawinan, termasuk dalam harta bersama atau harta pribadi. Yahya Harahap telah mengemukakan tentang ruang lingkup harta bersama yang diperoleh selama perkawinan, yaitu:
a. Harta yang dibeli selama perkawinan. Dasarnya adalah putusan Mahkamah Agung Nomor 803 K/Sip/1970, tertanggal 5 Mei 1971. Dalam putusan ini dijelaskan bahwa harta yang dibeli oleh suami atau isteri di tempat yang jauh dari tempat tinggal mereka adalah termasuk harta bersama jika pembelian dilakukan selama perkawinan. Akan tetapi, berbeda jika uang pembelian barang berasal dari harta pribadi suami isteri. Jika pembelian atas barang tersebut secara murni berasal dari harta pribadi, maka barang tersebut tidak termasuk harta bersama. Ketentuan ini di dasarkan pada putusan Mahkamah Agung Nomor 151K/Sip/1974, tertanggal 16 Desember 1975.
b. Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta bersama. Dasarnya adalah putusan Mahkamah Agung Nomor 803 K/Sip/1970, tertanggal 5 Mei 1970. Patokan ini dimaksudkan untuk mencegah adanya manipulasi harta bersama sesudah perceraian. Sehingga, asas kemutlakan harta bersama harus tetap melekat pada setiap barang dalam jenis dan bentuk apapun asal barang itu berasal dari harta bersama walaupun wujud barang yang baru itu diperoleh atau dibeli sesudah perceraiaan terjadi.
c. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan yang dibiayai dari harta bersama. Dasarnya adalah putusan Mahkamah Agung Nomor 806 K/Sip/1974, tertanggal 30 Juli 1974. Dalam putusan ini telah ditentukan, masalah atas nama siapa harta terdaftar bukan faktor yang menggugurkan keabsahan suatu harta menjadi obyek harta bersama. Asal harta yang bersangkutan dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan serta pembiayaannya berasal dari harta bersama, maka harta tersebut termasuk obyek harta bersama.
d. Penghasilan harta bersama dan harta bawaan. Penghasilan yang tumbuh dari harta bersama, sudah logis akan menjadi harta bersama. Akan tetapi, bukan hanya harta yang tumbuh dari harta bersama saja yang menjadi harta bersama. Penghasilan yang tumbuh dari harta pribadi selama perkawinan, akan menjadi obyek harta bersama. Dengan demikian, harta pribadi mempunyai fungsi untuk ikut menopang dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Hal ini di dasarkan pada putusan Mahkamah Agung Nomor 151K/Sip/1974, tertanggal 16 Desember 1975.
e. Segala penghasilan pribadi suami isteri. Dasarnya adalah putusan Mahakamah Agung Nomor 454 K/Sip/1970, tertanggal 11 Maret 1971. Dalam ketentuan tersebut menunjukkan bahwa semua penghasilan pribadi suami isteri baik dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai jatuh menjadi harta bersama.
Berbicara tentang wujud harta bersama, pasal 91 KHI menjelaskan bahwa harta bersama adalah berupa:
a. Benda berwujud
Benda berwujud dapat berupa benda bergerak , benda tidak bergerak dan surat-surat berharga.
b. Benda tidak berwujud
Benda tidak berwujud dapat berupa hak dan kewajiban.
Ketentuan pasal 91 KHI tentang wujud harta bersama menunjukkan adanya nuansa modern, seperti surat-surat berharga. Dengan demikian pengertian harta kekayaan menjadi sangat luas, tidak hanya terbatas pada barang-barang yang secara material langsung dapat dikonsumsi. Ini menunjukkan bahwa KHI telah mengantisipasi problematika perekonomian modern.
Erat kaitannya dengan perkawinan poligami, KHI mengaturnya dalam pasal 94, bahwa (1) harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri; dan (2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1) dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau yang keempat.
Ketentuan tersebut dimaksudkan agar antara isteri pertama, kedua, ketiga dan atau keempat tidak terjadi perselisihan karena ketidakjelasan pemilikan harta bersama antara isteri-isteri tersebut. Sehingga kerukunan dan keharmonisan rumah tangga dalam perkawinan poligami tersebut dapat terus berlangsung.
4. Tanggung jawab suami isteri
Ketentuan tentang harta bersama yaitu pasal 35 sampai dengan pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan pasal 85 sampai dengan pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, pada akhirnya menyangkut mengenai tanggung jawab masing-masing suami isteri antara mereka sendiri ataupun terhadap pihak ketiga.
Tanggung jawab dalam lingkup suami isteri sendiri adalah berkaitan dengan pemeliharaan harta bersama. KHI menjelaskan bahwa suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri. Isteri juga turut bertanggung jawab terhadap harta bersama, maupun harta suami yang ada padanya. Dari ketentuan tersebut, dapat dimengerti bahwa suami isteri mempunyai tanggung jawab bersama dalam pemeliharaan harta bersama. Hal ini semata dimaksudkan sebagai perwujudan penegakan kehidupan keluarga menuju kehidupan sejahtera dan bahagia.
Tanggung jawab suami isteri terhadap pihak ketiga adalah berkaitan dengan penggunaan harta perkawinan. Dalam penggunaan harta perkawinan tersebut dimungkinkan terdapat hutang, baik hutang bersama maupun hutang pribadi. Problem yang muncul kemudian adalah tanggung jawab terhadap hutang tersebut. Untuk mempertegas pembahasan mengenai hutang dalam perkawinan, lebih dahulu perlu dipahami makna hutang dalam kapasitas pribadi masing-masing suami isteri ataupun hutang bersama selama perkawinan.
Hutang bersama merupakan semua hutang-hutang atau pengeluaran-pengeluaran yang dibuat, baik oleh suami ataupun isteri atau bersama-sama, untuk kebutuhan kehidupan keluarga mereka, pengeluaran untuk kebutuhan mereka bersama, termasuk pengeluaran sehari-hari. Sedangkan hutang pribadi merupakan hutang-hutang yang dibuat suami ataupun isteri untuk kepentingan pribadi mereka, yang bukan merupakan pengeluaran sehari-hari atau pengeluaran untuk kepentingan harta pribadi mereka masing-masing.
Berdasarkan hal tersebut, perihal tanggung jawab hutang piutang masing-masing suami isteri dapat timbul antara lain bahwa hutang-hutang yang membebani dari masing-masing sebelum perkawinan, hutang-hutang yang dibuat oleh suami isteri untuk keperluan pribadinya dan hutang-hutang sesudah adanya perceraian. Hutang pribadi suami isteri tersebut dibayar dengan menggunakan harta pribadi masing-masing. Hal ini dipertegas dengan ketentuan pasal 93 ayat (1) KHI, bahwa “Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing”.
Mengacu pada perolehan harta bersama yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, maka suami isteri dalam problematika hutang bersama mempunyai tanggung jawab terhadap hutang bersama tersebut dalam rangka membiayai pengeluaran bersama dalam keluarga. Pengeluaran bersama adalah pengeluaran yang diperlukan untuk menghidupi keluarga yang bersangkutan, termasuk di dalamnya pengeluaran kebutuhan sehari-hari, pengeluaran untuk kesehatan dan pengobatan serta pendidikan anak-anak. Dengan demikian, harta bersama menanggung hutang bersama.
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa apabila harta bersama tidak memadai untuk menutup tanggungan hutang bersama maka dapat diambil dari harta pribadi suami. Apabila harta pribadi suami tidak mencukupi , dibebankan pada harta pribadi isteri.
Kewajiban suami mempergunakan harta pribadinya untuk menutup hutang bersama sebelum mempergunakan harta pribadi isteri dalam hal tidak mencukupinya harta bersama, menurut penulis adalah terkait dengan kedudukan suami sebagai kepala keluarga. Dengan kedudukan tersebut, suami wajib melindungi isteri dan memenuhi kebutuhan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Artinya suami dengan penghasilannya menanggung nafkah, tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak, dan biaya pendidikan bagi anak.
Oleh karena itu, adalah wajar apabila KHI menentukan bahwa apabila pelunasan beban hutang bersama yang ditutup dengan harta bersama belum cukup maka diambilkan dari harta pribadi suami. Dengan kata lain bahwa prioritas utama untuk menutup hutang bersama setelah dipergunakan harta bersama dibebankan kepada harta pribadi suami.
Akan tetapi, mengingat harta bersama pada dasarnya merupakan harta yang diperoleh selama masa perkawinan sedangkan kedudukan suami isteri berimbang dalam suatu perkawinan baik hak maupun tanggung jawabnya maka suami isteri mempunyai andil yang sama atas harta bersama. Hal ini dimaksudkan agar kehidupan rumah tangga dapat kokoh.
5. Hak suami isteri
Kewenangan suami isteri dalam menggunakan harta bersama telah dijelaskan pasal 92 KHI dan pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa suami atau isteri dapat bertindak terhadap harta bersama atas persetujuan kedua belah pihak. Penjualan dan pengalihan harta bersama hanya dapat terjadi dengan persetujuan kedua belah pihak. Suami dapat bertindak atas harta bersama setelah ada persetujuan dari isteri, begitu juga sebaliknya isteri dapat bertindak atas harta bersama setelah mendapat persetujuan dari suami.
Akan tetapi dalam realitasnya, ketentuan tersebut tidaklah sekaku ketentuan teks pada pasal tersebut. Ini berarti bahwa tidak semua tindakan suami isteri terhadap harta bersama harus melalui persetujuan kedua belah pihak. Karena apabila semua tindakan atas harta bersama walaupun itu kecil harus dengan persetujuan kedua belah pihak akan menggangu kelancaran hubungan dalam kehidupan rumah tangga.
Mekanisme penggunaan harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak (secara timbal balik) tersebut, menunjukkan adanya kesederajatan suami isteri dalam keluarga dan pentingnya prinsip musyawarah dalam keluarga.
Apabila dalam kehidupan keluarga, salah satu pihak melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama, pasal 95 KHI telah menjelaskan bahwa (1) dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan pasal 136 ayat (2), suami isteri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti; judi, mabuk, boros, dan sebagainya. (2) Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama. Ketentuan ini tidak lain dimaksudkan untuk melindungi hak suami isteri terhadap harta bersama.
Dalam hal terjadi putusnya perkawinan, pasal 96 KHI menjelaskan bahwa separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Sedangkan pembagian harta bersama bagi seorang isteri atau suaminya yang hilang harus ditangguhkan dahulu sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama. Dalam hal terjadi cerai hidup, dijelaskan dalam pasal 97 bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dengan demikian, hak suami suami isteri terhadap harta bersama adalah berimbang.
B. Nafkah
1. Pengertian
Nafkah menurut bahasa adalah keluar dan pergi. Menurut istilah ahli fiqh adalah pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh orang yang wajib memberi nafkah kepada seseorang, baik berbentuk roti, gulai, pakaian, tempat tinggal dan segala sesuatu yang berhubungan dengan keperluan hidup seperti air, minyak, dan lampu.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, nafkah diartikan sebagai suatu pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.
Menurut al-Sayyid Sabiq, nafkah berarti memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, pengobatan isteri, jika ia seorang yang kaya. Nafkah juga dapat berarti kebutuhan pokok yang diperlukan oleh orang-orang yang membutuhkannya.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa nafkah adalah pengeluaran yang dipergunakan oleh seseorang untuk orang lain yang menjadi tanggung jawabnya dalam upaya memenuhi kebutuhan pokok mereka. Kebutuhan pokok itu adalah berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal.
2. Sebab-sebab yang mewajibkan
Hal-hal yang mewajibkan nafkah ada tiga macam, yaitu:
a. Sebab keturunan
Seorang ayah wajib memberikan nafkah kepada anak-anaknya, atau ibu apabila ayah telah tiada. Begitu juga wajib atas cucu jika ia tidak mempunyai ayah. Wajibnya memberi nafkah bagi ayah dan ibu kepada anak dengan syarat apabila anaknya masih kecil dan miskin, atau sudah besar, tetapi tidak kuat dan miskin. Demikian juga sebaliknya, anak wajib memberi nafkah kepada orang tua, apabila keduanya tidak mampu dan tidak memiliki harta.
b. Sebab perkawinan
Suami wajib memberi nafkah kepada isterinya yang taat, baik makanan, pakaian maupun tempat tinggal dan perkakas rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Dengan adanya perkawinan berarti ada ikatan antara suami dan isteri. Sehingga suami mempunyai kewajiban memberi nafkah kepada isteri. Dengan perkawinan yang sah itu isteri menjadi terikat kepada suaminya, isteri wajib taat kepada suaminya, tinggal dirumahnya, mengatur rumah tangganya, memelihara dan mendidik anak-anaknya. Suami berkewajiban memenuhi semua kebutuhan isteri, memberikan belanja kepadanya, selama ikatan suami isteri itu masih berjalan dan isteri tidak pernah nusyuz.
Menurut Hussein Bahreisj, nusyuz yaitu sikap membangkang atau durhaka dari isteri kepada suaminya, bahkan membantah dan tidak taat kepada suaminya atau terjadi penyelewengan-penyelewengan yang tidak dibenarkan oleh suaminya serta bersebrangan dengan ketentuan agama. Sedangkan tindakan isteri bisa berbentuk menyalahi tata cara yang telah diatur oleh suami dan dilaksanakan oleh isteri dengan sengaja, untuk menyakiti suaminya.
c. Sebab milik
Binatang yang dimiliki seseorang misalnya, maka mendapatkan makanan dan wajib dijaga agar tidak diberi beban melebihi kemampuannya. Maka seorang yang mempunyai budak mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah kepadanya, karena budak tersebut adalah miliknya.
Ketentuan tersebut di atas dipertegas oleh Imam Taqiuddin, bahwa sebab mendapatkan nafkah adalah karena hubungan kerabat, hubungan milik dan hubungan perkawinan. Dan dalam tulisan ini yang menjadi titik tekan pembicaraan adalah kewajiban nafkah atas suami kepada isteri.
3. Dasar hukum
Nafkah merupakan hak isteri dan suami wajib membayarnya. Ini didasarkan pada ketentuan al-Qur’an, hadis dan ijma’.
a. Al-Qur’an
والوالدات يرضعن أولادهن حولين كاملين لمن أراد أن يتم الرضاعة وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف
Ayat tersebut menjelaskan bahwa para suami mempunyai kewajiban memberi nafkah kepada isteri yang diceraikan bila mantan isterinya itu menyusui anak yang didapat darinya. Apabila seorang mantan suami berkewajiban memberi nafkah kepada mantan isterinya yang menyusui anaknya, lebih-lebih lagi bila keduanya masih terikat sebagai suami isteri. Artinya, seorang yang terikat sebagai suami dari seorang wanita lebih wajib memberikan nafkah kepada isterinya.
أسكنوهن من حيث سكنتم من وجدكم ولا تضاروهن لتضيقوا عليهن وإن كن أولات حمل فأنفقوا عليهن حتى يضعن حملهن
Ayat ini menjelaskan bahwa suami mempunyai kewajiban menyediakan tempat tinggal untuk isteri.
لينفق ذو سعة من سعته ومن قدر عليه رزقه فلينفق مما ءاتاه الله لا يكلف الله نفسا إلا ما ءاتاها سيجعل الله بعد عسر يسرا
Ayat ini menjelaskan bahwa nafkah yang diberikan kepada isteri adalah disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki suami.
b. Hadis
أن يطعمها إذاطعم ويكسوها اذااكتسي ولايضرب الوجه ولايقبح ولايهجر إلا فى البيت
خذى مايكفيك وولدك بالمعروف
Berdasrkan kedua hadis tersebut menunjukkan bahwa suami mempunyai kewajiban memberi nafkah kepada isteri baik makanan, pakaian dan tempat tinggal. Bahkan jika isteri yang tidak diberi nafkah cukup bagi diri maupun anaknya yang belum dewasa padahal suaminya mampu, berhak mengambil dari harta suaminya sejumlah harta yang dapat mencukupi belanja mereka dengan tidak berlebihan.
c. Ijma’
Menurut Ibn Qudamah, para ahli ilmu bersepakat tentang kewajiban suami menafkahi isteri-isterinya, bila sudah baligh, kecuali kalau isteri berbuat nusyuz. Sementara itu, menurut Ibn Munzir bahwa isteri yang nusyuz boleh dipukul sebagai pelajaran. Wanita adalah orang yang tertahan di tangan suaminya. Ia telah menahannya untuk memberikan belanja kepadanya. Hal ini sesuai dengan kaidah umum:
كل من احتبس لحق غيره ومنفعته، فنفقته على من احتبس لأجله
Berdasarkan ketentuan nas-nas tersebut, para ahli fiqh berpendapat, bahwa suami wajib memberi nafkah kepada isterinya secara patut dan tidak seorang pun di antara mereka mengingkarinya.
4. Syarat-syarat berhak menerima
Menurut Kamal Mukhtar, seorang isteri berhak menerima nafkah apabila telah memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Telah terjadi akad nikah yang sah. Apabila akad nikah tidak sah maka menjadikan isteri tidak berhak menerima nafkah.
b. Isteri telah menyerahkan dirinya kepada suaminya. Maksudnya adalah seorang isteri telah bersedia menerima dan melaksanakan kewajiban sebagai seorang isteri dan bersedia memenuhi hak-hak suaminya, seperti bersedia mengurus rumah tangga dan melayaninya sesuai dengan ketentuan agama.
c. Isteri telah bersedia tinggal bersama-sama di rumah suaminya. Dalam hal isteri tetap tinggal di rumah orang tuanya karena permintaan sendiri dan telah mendapat izin dari suaminya atau karena suami belum mampu menyediakan tempat kediaman bersama, ia tetap berhak mendapatkan nafkah. Apabila seorang isteri berpergian jauh tanpa mendapat izin suami maka dianggap berada di luar pengawasan dan ikatan suami, maka isteri tersebut tidak mendapatkan nafkah.
d. Isteri telah telah dewasa dan telah sanggup melakukan hubungan sebagai suami siteri.
Menurut golongan zahiri, ikatan suami isteri sendirilah yang menjadi sebab diperolehnya hak nafkah. Jadi selama ada ikatan suami isteri maka selama itu pula ada hak nafkah. Pendapat ini mereka dasarkan kepada hak nafkah bagi isteri yang masih di bawah umur atau isteri yang nusyuz, tanpa melihat syarat-syarat sebagaimana dikatakan para ahli fiqh lain.
Berdasarkan pada hal di atas, dapat diperoleh suatu kejelasan bahwa seorang isteri berhak menerima nafkah karena adanya perkawinan yang sah dan isteri tersebut telah menerima dan melaksanakan kewajiban sebagai seorang isteri.
Menurut Djaman Nur, hak nafkah isteri menjadi gugur apabila:
a. Akad nikah mereka ternyata batal atau fasid
b. Isteri nusyuz yaitu isteri tidak lagi melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai seorang isteri.
c. Isteri murtad.
d. Isteri melanggar larangan-larangan Allah yang berhubungan dengan kehidupan suami isteri, seperti meningalkan tempat kediaman suami tanpa seizin suami.
e. Isteri dalam keadaan sakit yang oleh karena tidak bersedia serumah dengan suaminya, tetapi jika ia bersedia serumah dengan suaminya, maka dia tetap mendapatkan nafkah.
f. Pada waktu akad nikah isteri masih belum baligh, dan ia masih belum serumah dengan suaminya.
5. Macam-macam
Kewajiban suami memberi nafkah terhadap isteri mencakup kebutuhan makan, pakaian dan tempat tinggal. Di samping itu, suami wajib memenuhi keperluan rumah tangga meliputi belanja dan keperluan rumah tangga sehari-hari, belanja pemeliharaan kehidupan anak-anak, dan belanja sekolah dan pendidikan anak.
Pengertian makan dan minum mencakup pula pemeliharaan kesehatan dan pengobatan jika sakit. Obat-obatan dan vitamin yang dibutuhkan untuk memelihara kesehatan termasuk dalam pengertian ta’am. Oleh karena itu, kebutuhan isteri untuk berobat karena penyakit yang dideritanya dan untuk mengonsumsi berbagai vitamin yang menjadi kebutuhan pemeliharaan kesehatan menjadi tanggung jawab suami.
Para isteri yang menuntut suami untuk membelikan sesuatu selain keperluan-keperluan pokok yang menjadi tanggung jawab suami harus benar-benar mempertimbangkan apakah menurut ajara agama sesuatu yang dimintanya itu merupakan pemborosan ataukah benar-benar menjadi kebutuhan hidup. Hal ini dimaksudkan agar tanggung jawab suami memenuhi nafkah isteri disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki, sehingga kehidupan suami tidak hanya terus diperuntukan untuk pemenuhan kebutuhan isteri.
Kemudian dalam hal penyediaan tempat tinggal untuk hidup bersama, suami mempunyai kewajiban untuk memenuhinya. Jika suami tidak dapat mempunyai rumah sendiri, ia wajib mengeluarkan biaya untuk menyediakan tempat tinggal isteri. Ia harus menyewa rumah orang lain untuk tinggal bersama isterinya.
Kewajiban menyediakan tempat tinggal memang menjadi kewajiban suami, tetapi kebijakan yang dilakukan suami hendaknya tidak menyusahkan hati isteri. Untuk itu, sebaiknya isteri harus dimintai persetujuannya juga. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan musyawarah dalam keluarga sangat penting untuk mewujudkan keharmonisan dan tegaknya rumah tangga.
6. Kadar
Ketentuan mengenai kadar nafkah tidak ditentukan secara tegas berapa jumlah yang harus dibayarkan suami kepada isteri. Al-Qur’an hanya menjelaskan bahwa suami mempunyai kewajiban memberi nafkah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Apabila seorang isteri ternyata mendapati kehidupan suaminya termasuk ekonomi lemah, isteri tidak boleh menuntut nafkah di luar kemampuan suami untuk menyediakan nafkah bagi dirinya. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya:
لينفق ذو سعة من سعته ومن قدر عليه رزقه فلينفق مما أتاه الله لا يكلف الله نفسا إلا ما أتاها سيجعل الله بعد عسر يسرا
Berdasarkan penegasan ayat tersebut, para suami tetap berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya walaupun penghasilan yang dimiliki sedikit. Tidak ada alasan bagi suami untuk tidak memberi nafkah kepada isterinya dengan dasar adanya pendapatan yang sedikit.
Dalam hal suami mampu membayar nafkah isterinya, maka dalam pemberian nafkah itu perlu diperhatikan beberapa hal:
a. Hendaklah jumlah nafkah itu mencukupi keperluan isteri dan disesuaikan dengan keadaan kemampuan suami, baik yang berkaitan dengan pangan, sandang maupun tempat tinggal.
b. Hendaklah nafkah itu telah ada pada waktu diperlukan. Oleh sebab itu, sebaiknya suami menetapkan cara-cara dan waktu-waktu pemberian pemberian nafkah kepada isteri.
c. Sebaiknya kadar nafkah itu didasarkan kepada jumlah kebutuhan pokok yang diperlukan, bukan berdasarkan jumlah uang yang diperlukan. Hal ini mengingat keadaan nilai uang dan harga barang tidak selalu tetap.
Dengan demikian kadar nafkah itu terkait dengan kedudukan sosial dan tingkat kehidupan ekonomi suami isteri. Yang terbaik adalah musyawarah antara suami isteri itu sendiri, karena mereka lah yang akan membina keberadaan keluarga tersebut.
Apabila suami dinilai mampu, akan tetapi dia kikir, tidak memberikan nafkah yang wajar, maka isteri dapat mengambil harta suami untuk keperluan nafkah yang wajar, walaupun suami suami tidak mengetahui. Ini di dasarkan pada hadis:
خذى مايكفيك وولدك بالمعروف
Apabila isteri terhutang untuk memenuhi kebutuhannya, maka suami wajib membayar hutang tersebut. Sebaliknya dalam keadaan tertentu apabila isteri rela untuk tidak diberikan nafkah karena ia mampu mencari nafkah sendiri atau dia seorang yang kaya maka kewajiban suami itu menjadi gugur. Seandanyai isteri itu kaya dan mempunyai penghasilan yang tetap, akan tetapi masih menuntut nafkahnya maka suami wajib membayar nafkah tersebut.
7. Nafkah menurut pandangan fuqaha’
Penulis akan menjabarkan pendapat dari empat mazhab mengenai nafkah, yaitu:
a. Mazhab al-Syafi’i
Pemberian nafkah kepada isteri adalah kewajiban yang harus ditunaikan oleh suami. Menurut Imam al-Syafi’i, yang termasuk biaya nafkah adalah biaya susuan, makan dan minum (pangan), pakaian (sandang), pembantu dan tempat tinggal. Mengenai kewajiban orang tua memberi nafkah kepada anak hanya sampai batas anak dewasa, yang ditandai haid (bagi wanita) dan bermimpi (bagi laki-laki). Akan tetapi, jika anak itu miskin sedangkan orang tua mempunyai kemampuan untuk membiayai, orang tua masih wajib membiayai nafkah anak meskipun sudah dewasa.
Kewajiban suami memberi nafkah kepada isteri adalah selama masih ada ikatan perkawinan. Jika terjadi talak, maka dalam masa iddah suami masih wajib memberi nafkah. Ini berlaku pada talak raj’i karena dalam keadaan ini suami tidak ada halangan untuk melakukan istimta’ yaitu karena adanya hak untuk rujuk. Akan tetapi, pada talak ba’in suami tidak wajib memberi nafkah karena hak untuk beristimta’ sudah hilang. Dari sini terlihat bahwa al-Syafi’i mempunyai pandangan bahwa kewajiban suami memberi nafkah adalah karena ia bisa beristimta’ (burhubungan seksual) dengan isterinya. Hal ini ditunjukkan lagi pada ketentuan tidak ada kewajiban memberi nafkah terhadap isteri yang masih kecil karena masih belum dapat diajak bersetubuh.
Kadar nafkah yang harus diberikan suami kepada isterinya adalah disesuaikan dengan kemampuan dan kelayakan di tempat tinggal mereka. Ketentuan ini didasarkan pada al-Talaq (65): 6. Kemudian, dalam hal suami tidak mampu mencukupi nafkah keluarga, tergantung isteri; apakah akan bertahan atau berpisah.
b. Mazhab Maliki
Menurut Imam Malik, kewajiban suami memberi nafkah adalah setelah ia dapat menikmati hubungan seksual dengan isterinya. Jika suami menikah dengan wanita kecil yang tidak dapat disetubuhi maka tidak ada kewajiban baginya untuk memberi nafkah. Begitu juga jika seorang anak kecil menikah dengan wanita dewasa yang mana ia tidak bisa berhubungan seksual dengannya, maka tidak ada kewajiban nafkah sampai ia baligh sebagai batas mampu jima’.
Dalam hal perceraian, Imam Malik menjelaskan bahwa pemberian tempat tinggal adalah wajib bagi isteri dalam semua talak. Sementara nafkah tidak wajib bagi wanita yang ditalak ba’in, kecuali isteri dalam keadaan hamil. Sedangkan untuk talak raj’i wajib nafkah (untuk semua jenis, baik hamil atau tidak) sampai habis masa iddahnya. Dan untuk isteri yang khulu’ berhak mendapatkan nafkah jika ia dalam keadaan hamil.
c. Mazhab Hambali
Kewajiban suami memberi nafkah kepada isteri berlaku jika isteri memenuhi dua syarat. Pertama, isteri sudah dewasa yang dimungkinkan dapat berhubungan seksual dengannya. Jika isteri itu masih kecil yang tidak dapat disetubuhi maka tidak ada kewajiban memberi nafkah. Kedua, wanita tersebut menyerahkan diri sepenuhnya kepada suaminya. Jika ia tidak menyerahkan diri, walinya tidak menyetujui atau berdiam diri sesudah akad maka dia tidak berhak menerima nafkah.
Adapun nafkah yang wajib diberikan suami kepada isteri meliputi semua kebutuhan untuk kelangsungan hidup mereka (sebagai suami isteri) seperti makanan dan minuman, pakaian dan tempat tinggal Dan kadar nafkah yang harus diberikan kepada isteri adalah sesuai dengan kepantasan. Dan bersepakat ahli ilmu atas kewajiban suami memberi nafkah kepada isteri jika mereka balig dan isteri-isteri tidak berbuat nusyuz.
d. Mazhab Hanafi
Kewajiban nafkah atas suami erat kaitannya dengan hak bersenang-senang (istimta’) suami. Sehingga jika seorang isteri tidak melayani hasrat seksual suami, baik dengan alasan pergi atau menghindar maka isteri tidak berhak mendapat nafkah. Dalam hal seperti itu ia sudah berbuat nusyuz dan bagi isteri yang berbuat nusyuz tidak ada nafkah baginya. Dan bagi wanita yang dinikahi masih kecil dan belum siap berhubungan seksual dengan suami, suami belum wajib membayar nafkah.
Mengenai persoalan kadar nafkah, golongan Hanafi berpendapat bahwa agama tidak menentukan kadar (jumlah) nafkah. Suami wajib memberi nafkah kepada isterinya secukupnya dan sesuai dengan keadaan yang umum. Standar ini berbeda menurut keadaan dan situasi setempat. Kadar nafkah bagi isteri ditetapkan sesuai dengan kemampuan suami, kaya atau miskin, bukan dengan melihat bagaimana keadaan isterinya.
Berdasarkan pandangan keempat mazhab di atas, terlihat bahwa kewajiban suami memberi nafkah adalah dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan seksual suami. Jika seorang isteri tidak dapat memenuhi keinginan suami tanpa alasan yang dibenarkan maka hak untuk mendapat nafkah akan hilang. Karena hal tersebut termasuk dalam kategori nusyuz.
8. Nafkah menurut Perundang-undangan
Pembahasan masalah nafkah dalam Perundang-undangan Indonesia tidak ada sub bab khusus yang membahas. Melainkan hanya ada beberapa pasal yang dapat ditarik sebagai suatu bahasan yang menunjukkan adanya legitimasi eksistensi nafkah dalam kehidupan keluarga. Pasal-pasal tersebut terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991, yang biasa disebut Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam Pasal 32 ayat (1 dan 2) telah disebutkan, “Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman bersama yang tetap, rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama”. Kemudian dalam pasal 34 ayat (1) UUP, disebutkan, “suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala kebutuhan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”. Dari ketentuan tersebut menunjukkan bahwa UUP memberikan aturan tentang pemenuhan keperluan keluarga dan adanya tempat tinggal bersama dalam menjalani kehidupan keluarga.
Kompilasi Hukum Islam juga memuat beberapa pasal yang mengatur mengenai nafkah. Misalnya dalam pasal 80 ayat (4), “Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: (a) nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri; (b) biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; (c) biaya pendidikan bagi anak”. Sedangkan isi pasal 80 ayat (2), sama dengan ketentuan pasal 34 ayat (1) UUP, “Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”. Ketentuan pasal ini menunjukkan bahwa pemberian nafkah oleh suami kepada isterinya disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki.
Kemudian, dalam KHI juga diatur ketentuan mengenai sebab hapusnya hak nafkah isteri. Ini ditegaskan dalam pasal 80 ayat (7), “Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (2) gugur apabila isteri nusyuz”. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa nafkah isteri menjadi hilang apabila isteri berbuat nusyuz.
BAB III
PELAKSANAAN KEWAJIBAN SUAMI MEMBERI NAFKAH DIKAITKAN DENGAN HARTA BERSAMA DALAM KHI
A. Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Masalah hak dan kewajiban suami isteri dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) diatur dalam Bab XII pasal 77 sampai dengan pasal 84, yang mana materinya lebih lengkap dan lebih sistematis dibandingkan ketentuan yang ada dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), yaitu ketentuan pada Bab VII pasal 30 sampai dengan pasal 34. KHI telah menggariskan beberapa ketentuan mengenai prinsip-prinsip hubungan atau pergaulan suami isteri dalam hidup berkeluarga agar tercapai tujuan dari pada perkawinan, yaitu terbentuknya keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi susunan masyarakat.
Hak dan kewajiban suami dan isteri dalam KHI meliputi: hak dan kewajiban bersama, kewajiban suami dan kewajiban isteri. Adapun yang termasuk kategori hak dan kewajiban bersama suami isteri, yaitu:
1. Menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Suami isteri mempunyai tanggung jawab bersama secara penuh dalam menciptakan suatu kehidupan keluarga yang bahagia menuju tatanan sosial yang baik dan tertib. Kewajiban membina sebuah keluarga bukan menjadi tanggung jawab salah satu pihak saja, akan tetapi menjadi kewajiban suami isteri dan beban tanggung jawabnya pun seimbang.
2. Saling mencintai, saling menghormati, dan saling membantu.
Rasa cinta, hormat dan setia harus melekat pada jiwa dan perilaku suami isteri dalam kehidupan sebuah keluarga. Sehingga eksistensi perkawinan dapat terus berlangsung dan tujuan dari perkawinan pun dapat tercapai.
Suami dan isteri harus juga saling memberi bantuan baik lahir maupun batin. Suami dapat membimbing isteri secara baik dan bijak serta isteri membantu suami dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya, sehingga dapat menciptakan satu kesatuan yang terpadu dan kuat. Hal ini sesuai dengan ketentuan al-Qur’an ketika menggambarkan kekuatan ikatan suami isteri sebagai berikut:
هن لباس لكم وأنتم لباس لهن
Berdasarkan pada ketentuan ayat tersebut, maka dalam suatu perkawinan terdapat prinsip bahwa suami isteri adalah pasangan yang mempunyai hubungan kemitraan dan kesejajaran. Suami dan isteri mempunyai hubungan yang bersifat komplementer, yaitu antara suami dan isteri saling mengisi kekurangan masing-masing dan memberikan bantuan terhadap pihak lain yang membutuhkan.
3. Mengasuh dan memelihara anak-anak mereka.
Suami isteri mempunyai tanggung jawab bersama dalam mendidik dan memelihara anak-anak mereka. Membina dan mendidik anak tidaklah hanya menjadi monopoli isteri atau suami saja, akan tetapi merupakan tanggung jawab yang harus dijalankan bersama oleh pasangan suami isteri. Bahkan dalam pasal 49 ayat (1) UUP ditegaskan bahwa salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal: (a) Ia sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya; (b) Ia berkelakuan buruk sekali. Hal ini menunjukkan kedua orang tua mempunyai tanggung jawab yang besar dalam pemeliharaan anak.
4. Memelihara kehormatan.
Masing-masing suami isteri wajib memelihara kehormatannya karena salah satu tujuan perkawinan adalah memelihara kehormatan dan agar terhindar dari kemaksiatan. Begitu juga suami isteri wajib menyimpan rahasia rumah tangga, karena apabila salah seorang dari keduanya membuka rahasia rumah tangga, maka keamanan rumah tangga akan terganggu. Dan pada akhirnya, terjadilah percekcokan dan perselisihan antara keduanya.
5. Hak gugat apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya.
Perkawinan yang merupakan perjanjian antara suami isteri berakibat timbulnya hak dan kewajiban. Apabila terdapat kewajiban-kewajiban yang tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak lain pun bisa menuntut hal tersebut. Apabila seorang suami tidak menjalankan fungsi sebagai seorang suami maka isteri berhak mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama, begitu juga sebaliknya.
6. Bermusyawarah dalam penentuan tempat kediaman.
Pengadaan tempat kediaman memang menjadi tanggung jawab suami, akan tetapi persetujuan seorang isteri pun harus menjadi suatu pertimbangan yang penting. Janganlah penentuan tempat kediaman oleh suami menyusahkan hati isteri. Tempat kediaman bersama tersebut hendaknya membawa kenyamanan pada kedua belah pihak. Sehingga persetujuan kedua belah pihak sangat diperlukan.
Kemudian mengenai kedudukan suami isteri dalam perkawinan, telah dijelaskan KHI dalam pasal 79 ayat (1), “Suami adalah kepala keluarga, dan isteri ibu rumah tangga.” Ayat (2), “Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.” Ayat (3), “Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.”
Ketentuan pasal 79 (ayat 1 dan 2) dapat menimbulkan dua pemahaman. Pertama, menunjukkan adanya kontradiksi. Ketentuan kedua mengakui adanya kesejajaran dan keseimbangan hak dan kewajiban suami isteri dalam kehidupan rumah tangga maupun pergaulan masyarakat, akan tetapi pada ketentuan pertama menyebutkan adanya kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga dan isteri sebagai ibu rumah tangga. Pemberian kedudukan pada suami isteri tersebut menunjukkan ketidaksejajaran antara keduanya.
Kedua, tidak kontradiktif, tetapi dimaknai sebagai sistem pembagian tugas dalam keluarga. Ketentuan ayat (1) adalah untuk menunjukkan bahwa dalam sebuah keluarga perlu ada pembagian kerja dalam upaya mencapai tujuan perkawinan itu sendiri. Menurut M.Quraish Shihab, keluarga merupakan “umat kecil” yang memiliki pimpinan dan anggota, mempunyai pembagian tugas dan kerja serta ada hak dan kewajiban masing-masing anggotanya. Untuk menjalankan tugas-tugas rumah tangga diperlukan pembagian tugas yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing suami isteri. Walaupun suami sebagai kepala rumah tangga dan isteri sebagai ibu rumah tangga, keduanya tetap mempunyai kesejajaran dan keseimbangan hak dan kewajiban. Posisi tersebut tidak dimaknai dengan parameter yang sempit, akan tetapi dipahami dalam suatu wawasan keseimbangan yang proporsional tanpa mengabaikan sifat kodrati alamiah berdasar biologis dan psikologis. Perbedaan tugas bukanlah dimaksudkan sebagai diskriminasi akan tetapi merupakan penyesuaian dengan porsi kemampuan yang dimiliki. Dan dalam pembagian tugas itu harus ada kerja sama yang harmonis, saling membantu dalam pelaksanaan tugas masing-masing.
Suami sebagai kepala keluarga, tidak boleh melakukan tindakan otoriter terhadap isteri. Isteri adalah partner suami dalam membangun keluarga. Apabila ada masalah-masalah keluarga yang muncul, haruslah diselesaikan dengan melakukan musyawarah antara keduanya. Sehingga masing-masing akan merasa mempunyai peran dan tanggung jawab dalam keluarga. Dan penegasan kembali mengenai prinsip kesejajaran dalam KHI ditunjukkan dengan adanya ketentuan bahwa suami isteri berhak melakukan perbuatan hukum.
Adapun yang menjadi kewajiban suami terhadap isteri dalam KHI adalah:
1. Kewajiban immateriil
a. Membimbing isteri
Ketentuannya terdapat dalam pasal 80 ayat (1)
“Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama.”
b. Melindungi isteri
Ketentuannya terdapat dalam pasal 80 ayat (2)
“Suami wajib melindungi isterinya….”
c. Mendidik isteri
Ketentuannya terdapat dalam pasal 80 ayat (3)
“Suami wajib memberi pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.”
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa suami harus menjaga dan melindungi isteri dan bertanggung jawab atas keselamatan jiwa raga isteri. Suami wajib membimbing dan memimpin isterinya secara baik, menjaga jangan sampai isterinya menyeleweng dari ketentuan agama. Kemudian dalam pendidikan, suami juga harus meningkatkan kualitas keagamaan dan pengetahuan isteri yang kurang agamanya, baik dilakukan olehnya sendiri atau isteri menuntut ilmu itu dengan pembiayaan dari suami. Dan jika suami melihat kekurangan pada isterinya maka ia harus menyadari kekurangan-kekurangan itu dan berusaha mengatasinya, menyadarkannya dan mendidik isterinya dengan penuh kebijaksanaan.
2. Kewajiban materiil
Kewajiban suami terhadap isteri yang bersifat materiil adalah disebut dalam pasal 80 ayat (2) sebagai berikut:
“Suami wajib … memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.”
Ketentuan yang lebih rinci terdapat dalam ketentuan pasal 80 ayat (4), yaitu sebagai berikut:
Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri.
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak.
c. Biaya pendidikan anak.
Khusus mengenai tempat kediaman, pasal 81 menyebutkan sebagai berikut:
(1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak- anaknya atau bekas isteri yang masih iddah.
(2) Tempat kediaman adalah tempat yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
(3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpang harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
(4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.
Kemudian mengenai kewajiban suami yang beristeri lebih dari seorang, dijelaskan di dalam pasal 82 sebagai berikut:
(1) Suami yang mempunyai isteri yang lebih dari seorang berkewajiban memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
(2) Dalam hal para isteri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman.
Adapun kewajiban isteri terhadap suami dalam KHI adalah telah ditentukan oleh pasal 83 ayat (1) dan (2) sebagai berikut:
(1) Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.
(2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
Kepatuhan seorang isteri kepada suaminya meliputi segala perintahnya selama tidak melanggar peraturan-peraturan agama. Ini merupakan modal dalam menciptakan rumah tangga yang aman dan tentram. Hal ini sejalan dengan firman Allah:
فالصالحات قانتات حافظات للغيب بما حفظ الله
Menurut Azhar Basyir, ketaatan isteri pada perintah-perintah suami apabila memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Perintah yang dikeluarkan suami termasuk hal-hal yang ada hubungannya dengan kehidupan rumah tangga.
2. Perintah yang dikeluarkan harus sejalan dengan ketentuan syariah. Apabila suami memerintahkan isteri untuk menjalankan hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan syariah, perintah itu tidak boleh diikuti.
3. Suami memenuhi kewajiban-kewajibannya yang menjadi hak isteri, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat bukan kebendaan.
Penataan kehidupan rumah tangga yang baik, diperlukan peran seorang isteri. Mengatur rumah tangga adalah kewajiban suci. Untuk mengurus rumah tangga secara teratur, maka hendaknya isteri mempunyai pengetahuan mengatur ruangan dan perabot-perabotnya, makanan dan masakan, perbelanjaan, memelihara kebersihan dan kerapian dan pandai membagi waktu. Jika seorang isteri pandai mengatur rumah tangga yang menjadi wewenangnya, kebahagiaan dalam rumah tangga dimungkinkan akan tercapai.
B. Latar Belakang Pengaturan Harta Bersama dan Kewajiban Suami Memberi Nafkah dalam KHI
Berbicara tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada dasarnya adalah berbicara tentang salah satu aspek hukum Islam di Indonesia. Apabila kita membicarakan hukum Islam di Indonesia, kita akan memasuki sebuah perbincangan yang kompleks sekalipun hukum Islam menempati posisi yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa sekarang. Di katakan kompleks karena: (1) berlakunya hukum Islam di Indonesia untuk sebagian besar adalah tergantung pada umat Islam yang menjadi pendukung utamanya, (2) hukum Islam di Indonesia masih belum memperlihatkan kesatuan bentuk yang utuh sesuai dengan konsep dasarnya menurut al-Qur’an dan hadis, dan (3) adaptabilitas hukum Islam yang tinggi senantiasa berpacu dengan perkembangan zaman. Akan tetapi, usaha untuk mengaktualkan hukum Islam masih belum dikembangkan secara maksimal.
Kemudian mengenai penerapan hukum Islam di Indonesia, menurut Rahmat Djatnika, bahwa penerapan hukum Islam di Indonesia dalam kehidupan masyarakat dilakukan dengan penyesuaian dengan budaya Indonesia yang hasilnya terkadang berbeda dengan hasil ijtihad penerapan hukum Islam di negeri-negeri lainnya.
Sebenarnya, pembentukan (KHI) di samping untuk pegangan hakim di lingkungan Peradilan Agama di seluruh Indonesia agar tidak terjadi kerancuan hukum karena penerapan landasan yang berbeda, juga diperuntukkan untuk merespon perkembangan sosial dan setidaknya mampu memberikan pedoman dalam menyelesaikan problem sosial yang muncul. Sehingga KHI pun bersikap kompromistis terhadap nilai-nilai hukum yang ada di masyarakat. Di antara buktinya yaitu adanya ketentuan mengenai harta bersama.
Ketiadaan ketentuan yang tegas dari nas mengenai harta bersama, yang sebelum dibagi waris diberikan separoh terlebih dahulu, sebagai hak suami atau isteri. Baru setelah itu dibagi lagi dengan cara pewarisan. Maka dalam aturannya, KHI mencantumkan ketentuan mengenai harta bersama dan cara pembagiaannya. Apabila dilacak metodologinya, antara lain adalah karena praktek tersebut menjadi kebiasaan masyarakat dalam istilah teknis disebut urf, yang secara materiil disebut harta gono-gini, pada sisi lain dapat ditempuh dengan jalan istislah atau maslahah mursalah.
Keberadaan harta bersama dalam hukum adat adalah variatif. Di Jawa Timur disebut dengan harta gono-gini, di Minangkabau disebut harta suarang, di Banda Aceh disebut hareuta-seuhareukat. Di dalam susunan keluarga yang parental, menurut Fatchur Rahman, sebagaimana dikutip Ahmad Rofiq, semua harta kekayaan kedua orang tua ini diwariskan kepada anak-anaknya sama rata. Dalam pembagiannya, harta pusaka dalam tipe ini selalu terdiri dari harta kekayaan sendiri ditambah dengan separoh atau dua pertiga untuk suami dan seperti untuk isteri diambil dari harta gono-gini. Kemudian di Aceh, apabila salah seorang suami isteri meninggal, sebelum hartanya dibagi waris, lebih dulu harus dipisahkan hareuta seuhareukat, kemudian harta peninggalan dibagi tiga bagian. Satu bagian untuk isteri dan dua bagian lagi untuk suami. Bagian itu dikumpulkan dengan harta bawaan si mati, kemudian baru dibagi kepada ahli waris menurut hukum waris Islam. Sedangkan di Jawa dalam pembagiaan harta tersebut dikenal istilah segendong sepikul – laki-laki mendapat dua bagian perempuan – di samping ada juga pembagian masing-masing menerima separoh.
Keberadaan lembaga harta bersama dalam perkawinan merupakan hukum adat yang hidup dalam kesadaran masyarakat. Dengan lembaga tersebut diharapkan benar-benar menegakkan asas keseimbangan persamaan hak dan kedudukan serta kewajiban suami isteri dalam kehidupan rumah tangga. Sekiranya hal itu dicampakkan, diperkirakan dapat merusak tatanan keseimbangan persamaan hak dan derajat suami isteri. Dengan demikian, sikap kompromistis KHI terhadap hukum adat adalah cukup tepat.
Kemudian terkait dengan nafkah dalam keluarga, KHI memberikan ketentuan bahwa beban ekonomi keluarga dibebankan pada suami. Artinya suami berkewajiban untuk memenuhi nafkah demi kelangsungan hidup rumah tangga. Suami harus berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan isteri dan anak-anaknya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Keberadaan nafkah adalah sangat besar pengaruh dan fungsinya dalam membina rumah tangga bahagia, aman tentram dan sejahtera. Salah satu penyebab krisis perkawinan yang menimbulkan pertengkaran dan kekacauan dalam rumah tangga adalah karena faktor nafkah. Ada suami yang mampu memberi nafkah, tetapi dia melalaikannya. Bahkan terjadi dalam masyarakat, suami mampu memberi nafkah tetapi seolah-olah tidak mau tahu saja, padahal isterinya hidup serba kekurangan. Jika kemudian menimbulkan perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun maka seorang isteri dapat mengajukan gugatan cerai kepada Pengadilan.
Ketentuan nafkah yang ada dalam KHI merupakan representasi dari ketentuan yang ada dalam nas dan ketentuan undang-undang yang telah ada sebelumnya. Pada bab kedua yaitu dalam pembicaraan dasar hukum nafkah telah disebutkan dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban nafkah dalam keluarga baik untuk isteri dan anak-anaknya dibebankan kepada suami. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 telah disebutkan, “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.” Ketentuan ini mengindikasikan adanya kewajiban suami memberi nafkah walaupun bunyi pasal menyatakan secara umum mengenai pengertian nafkah.
C. Suami Memberi Nafkah dari Harta Bersama
Suami mempunyai kewajiban untuk memenuhi tuntutan ekonomi keluarga. Untuk membentuk sebuah keluarga yang ideal, penuh kebahagiaan dan kesejahteraan haruslah ditopang dengan terpenuhinya kebutuhan masing-masing pihak dalam sebuah keluarga tersebut. Kebutuhan pangan, sandang, tempat tinggal dan kebutuhan sehari-hari seorang isteri, anak-anak maupun suami sendiri harus diperhatikan. Pengabaian terhadap kebutuhan material sama halnya akan membiarkan terbukanya peluang keretakan dalam sebuah keluarga.
Ketentuan nas dan hukum positif menunjukkan bahwa beban perekonomian keluarga dibebankan kepada suami. Suami wajib memenuhi nafkah untuk isteri dan anak-anaknya sesuai dengan kelayakan dan tingkat kemampuan yang dimiliki. Suami harus berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan hasil yang dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Perilaku malas bekerja harus dihilangkan dari pribadi seorang suami karena memenuhi nafkah merupakan kewajibannya sebagai upaya menegakkan rumah tangga. Di samping itu, perlunya peran seorang isteri untuk memberikan dukungan terhadap suami dalam mencari rezeki. Karena untuk mendapatkan rezeki, manusia harus bekerja keras dan mengerahkan segala daya dan upaya. Dan di sinilah letak seorang isteri untuk terus memberikan semangat agar suami bekerja secara maksimal dan memperoleh hasil yang optimal pula.
Diskursus pemberian nafkah dari harta bersama adalah terkait dengan ketentuan harta bersama yang tertera dalam KHI maupun UUP. Kedua aturan tersebut menyatakan bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Dengan demikian, lewat suatu pemikiran yang sederhana maka penghasilan yang diperoleh suami selama perkawinan adalah harta bersama. Konsekuensi yang muncul terhadap harta bersama adalah perbuatan hukum atas harta tersebut harus lewat persetujuan kedua belah pihak karena keduanya sama-sama mempunyai hak terhadap harta tersebut.
Ketentuan hukum mengenai harta bersama yang bersifat in abstracto hendaknya tidak menghalangi suami secara yuridis untuk melaksanakan kewajiban memberi nafkah secara penuh. Rumusan harta bersama sebagai harta yang diperoleh selama perkawinan, harus diiringi ketentuan khusus mengenai jenis harta yang dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban tersebut. Sehingga suami dapat mempergunakan harta bersama untuk penunaian kewajiban memberi nafkah dalam pengertian harta yang diperoleh dari kerja atau usahanya sendiri untuk memenuhi nafkah isteri maupun anak-anaknya.
Kewajiban suami memenuhi nafkah yang tercantum dalam nas maupun ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia haruslah menjadi pijakan utama terkait adanya institusi harta bersama dalam perkawinan. Kalau ternyata definisi harta bersama menimbulkan persoalan hukum tatkala ada tuntutan isteri tentang status harta yang diberikan sebagai nafkah adalah harta bersama berarti ketentuan tersebut menjadikan ketidakadilan bagi suami dan beban berat baginya untuk melaksanakan kewajiban yang telah ditentukan oleh agama maupun hukum yang berlaku di Indonesia. Padahal, hakikat hukum adalah menjadi sarana bagi penciptaan suatu aturan masyarakat yang adil.
Pemenuhan nafkah dari harta bersama, dapat berupa benda berwujud dan benda tidak berwujud. Benda berwujud yang dapat dipergunakan meliputi benda bergerak, benda tidak bergerak dan surat berharga. Sedangkan dari benda tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban. Suami dapat mempergunakan harta-harta tersebut untuk memenuhi ekonomi keluarga sesuai batas kewajaran dan tidak melampaui batas. Jika ternyata seorang suami tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga karena keterbatasan kemampuan maka peran isteri sangat diperlukan dalam menopang ekonomi keluarga.
D. Suami Memberi Nafkah dari Harta Pribadinya
Harta kekayaan dalam perkawinan dapat meliputi dua jenis harta. Yaitu harta bersama dan harta pribadi. Harta bersama adalah harta yang diperoleh suami isteri selama perkawinan berlangsung. Sedangkan harta pribadi dapat diperoleh dari harta yang di dapat sebelum perkawinan maupun harta yang diperoleh selama perkawinan yang dimaksudkan sebagai harta pribadi. Harta bawaan suami maupun isteri berfungsi sebagai harta pembekalan masing-masing di dalam ikatan perkawinan yang terlepas dari ikatan kekeluargaan orang tua. Harta bawaan suami maupun isteri terpisah penguasaan dan pemilikannya dan oleh karenanya masing-masing berhak melakukan perbuatan hukum atas harta bawaan mereka dengan persetujuan atau tanpa persetujuan teman nikahnya. Di samping itu, harta pribadi dapat berasal dari orang atau pihak lain, yang mana kekuasaan dan kepemilikan penuh berada pada pribadi masing-masing suami isteri sepanjang mereka tidak menentukan lain.
Adanya perkawinan tidak membawa pengaruh terhadap penguasaan dan kepemilikan harta pribadi masing-masing. Suami atau isteri dapat berbuat secara penuh terhadap harta miliknya. Mereka dapat menggunakan harta untuk segala kebutuhan yang diinginkan, selama itu tidak menyimpang dari aturan normatif maupun yuridis.
Kemudian, jika dikaitkan dengan kewajiban suami memberi nafkah maka seorang suami dapat mempergunakan harta pribadinya untuk memenuhi kewajibannya karena ia mempunyai hak penuh untuk berbuat atas harta tersebut. Suami dapat menggunakan harta bawaan baik yang diperoleh dari hasil kerja sebelum perkawinan maupun dari pemberian pihak lain. Di samping itu, seorang suami juga dapat menggunakan harta yang diperoleh dari pemberian pihak lain selama perkawinan, baik itu berupa hibah, hibah wasiat, warisan, hadiah maupun shadaqah untuk memenuhi kewajiban memberi nafkah kepada isteri maupun anak-anaknya.
Penggunaan harta pribadi suami untuk memenuhi kewajiban memberi nafkah adalah bersifat kebolehan, bukan keharusan. Karena jika bersifat keharusan maka jelas akan memberatkan bagi pria yang sebelum menikah itu miskin, berbeda jika ia mempunyai kekayaan yang melimpah maka itu akan menjadi mudah. Di samping itu, penggunaan harta pribadi tidak dimaksudkan agar suami bergantung pada harta pribadinya dan menimbulkan rasa malas untuk berusaha lebih maksimal dalam meningkatkan taraf hidup keluarga. Jika seorang suami melakukan itu maka harta pribadi yang dimiliki akan terus berkurang dan tingkat ekonomi keluarga akan semakin turun. Padahal ekonomi keluarga yang turun naik dapat mengakibatkan munculnya konflik, terlebih bagi ekonomi keluarga yang terus menerus mengalami resesi. Dengan demikian para pihak dalam keluarga, baik suami maupun isteri harus menjaga kestabilan ekonomi keluarga dalam upaya menghindari konflik keluarga karena faktor ekonomi.
Kestabilan ekonomi keluarga akan tercapai jika suami sebagai penanggung jawab ekonomi dan isteri sebagai ibu rumah tangga yang berperan mengatur urusan rumah tangga dapat menjalin komunikasi yang baik dan adanya jalinan kerja sama yang kuat serta saling membantu satu sama lain. Jika salah satu atau kedua belah pihak (suami isteri) tidak peduli dengan kesulitan pasangannya, masalah ekonomi akan semakin sulit. Pendek kata, peranan suami isteri dalam ekonomi keluarga sangat diperlukan.
BAB IV
ANALISIS TENTANG KONSEKUENSI YURIDIS HARTA BERSAMA TERHADAP KEWAJIBAN SUAMI MEMBERI NAFKAH DALAM KHI
A. Kewajiban Nafkah Atas Suami
Islam memberikan perhatian yang besar dalam pembinaan keluarga. Ini ditunjukkan dengan adanya ketentuan-ketentuan agama mengenai pembentukan keluarga yang harmonis dan bahagia. Untuk mewujudkan itu, telah diatur hak dan kewajiban masing-masing suami isteri dalam menjalani kehidupan keluarga. Di antara kewajiban suami yang urgen dalam keluarga adalah memenuhi nafkah. Ketentuan tersebut telah dijelaskan al-Qur’an dan hadis sebagaimana telah dipaparkan pada bab dua tentang dasar hukum nafkah.
Pemahaman terhadap ketentuan normatif mengenai nafkah seharusnya juga dikaitkan dengan pola hubungan suami isteri, pola kepemimpinan dan konteks sosial nas. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif dan integral serta dapat diimplementasikan dalam perilaku manusia sehingga konsep agama tidak hanya berada pada dataran ideologis tetapi juga berada pada dataran praktis.
Al-Qur’an telah mengakui adanya keseimbangan hak dan kewajiban suami isteri dalam keluarga. Allah telah berfirman:
ولهن مثل الذي عليهن با لمعروف
Pemahaman yang dapat diperoleh dari ayat tersebut menjelaskan bahwa asas yang menjadi dasar penetapan hak dan kewajiban suami isteri adalah “kewajaran” yang merupakan tuntutan, baik oleh fitrah wanita maupun fitrah laki-laki. Dan prinsip “kewajaran” atau “kepantasan” akan berimplikasi pada pendistribusian tugas masing-masing sesuai dengan kapasitas kemampuan yang dimiliki.
Ayat tersebut juga menujukkan pola hubungan tanggung jawab suami isteri yang bersifat komplementer dan interaktif. Yaitu suami isteri harus saling melengkapi dan berhubungan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing pihak dan kebutuhan keluarga. Jika salah satu pihak tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas keluarga maka pihak yang lain harus membantu. Dengan demikian, kerja sama dan saling membantu sangat dibutuhkan dalam kehidupan keluarga. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
وتعاونوا على البر والتقوى
Sekalipun di dalam Islam telah diatur keseimbangan hak dan kewajiban suami isteri, terdapat pula ketentuan mengenai pola kepemimpinan dalam keluarga. Allah telah berfirman:
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما انفقوامن اموالهم
Perdebatan yang muncul mengenai pola kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan baik pada ruang lingkup keluarga maupun di luarnya adalah terletak pada pemaknaan qowwam. Para ahli tafsir berbeda pendapat dalam memaknai kata qowwam. Menurut Wahbah al-Zuhaili, laki-laki adalah qoyyim atas perempuan, yaitu sebagai pemimpin, pembesar, dan hakim atas wanita dan pendidik apabila melakukan kekeliruan serta wajib melakukan pemeliharaan dan penjagaan atas wanita.
Menurut Muhammad Asad, pemaknaan terhadap qowwam ditekankan bukan pada superioritas laki-laki terhadap perempuan akan tetapi kewajiban laki-laki menjaga perempuan. Kata qowwam sepenuhnya diartikan sebagai seseorang yang harus “sepenuhnya menjaga perempuan”. Dan menurut Masdar Farid Mas’udi, kata qowwam dimaknai sebagai penopang dan penguat. Sehingga surat al-Nisa’: 34 diartikan “kaum laki-laki adalah penguat atau penopang kaum isteri dengan (bukan karena) kelebihan yang satu atas yang lain dan dengan (bukan karena) nafkah yang mereka berikan”. Dengan pemaknaan seperti itu, secara normatif sikap suami terhadap isteri bukanlah menguasai atau mendominasi dan cenderung memaksa melainkan mendukung dan mengayomi. Dan ini lebih sesuai dengan prinsip mu’asyarah bil ma’ruf.
Menurut Riffat Hasan, seorang ulama perempuan dari Pakistan, menjelaskan bahwa makna qawwamun adalah pencari nafkah atau mereka yang menyediakan sarana pendukung kehidupan. Pada saat perempuan melaksanakan tugas kodratinya untuk mengandung dan melahirkan, adalah tidak adil bila menambahi bebannya dengan mencari nafkah. Oleh karena itu, suamilah yang seharusnya menyediakan sarana pendukungnya. Menurutnya, kebutuhan akan generasi penerus adalah kebutuhan seluruh umat manusia, tetapi hanya perempuan yang secara kodrati diberi beban untuk mengandung dan melahirkan. Supaya kebutuhan seluruh umat ini bisa terpenuhi dengan baik, perempuan yang sedang menjalankan kodratinya harus didukung. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa adanya kata qawwam adalah untuk menjamin keadilan di masyarakat dan bukan untuk meneguhkan superioritas laki-laki.
Pemikiran Riffat Hasan menurut penulis adalah masih menimbulkan persoalan. Belum ada penegasan mengenai kedudukan suami sebagai pencari nafkah, apakah hanya terbatas pada saat isteri melaksanakan fungsi reproduksi atau selama ikatan perkawinan. Jika tugas pencari nafkah hanya terbatas pada saat pelaksanaan fungsi reproduksi isteri, maka kemungkinan isteri menjadi pribadi mandiri terbuka lebar dan tugas memenuhi ekonomi keluarga akan dapat menjadi suatu kewajiban bagi seorang isteri. Sebaliknya, jika tugas suami memberi nafkah berlaku selama perkawinan maka akan dapat mengurangi peran seorang isteri dalam urusan produksi. Pendek kata, dapat menimbulkan pola ketergantungan isteri terhadap suami dalam urusan perekonomian keluarga.
Akibat lain yang muncul dari paradikma suami sebagai pencari nafkah adalah dalam hal penentuan siapa yang berhak menentukan pelaksanaan fungsi reproduksi. Apakah pihak isteri sendiri, pihak suami atau kedua belah pihak. Menurut penulis, lebih tepat kalau dikatakan sebagai hak bersama karena kedua peranan yang dimainkan suami isteri tersebut merupakan kewajiban timbal balik. Di saat seorang isteri melaksanakan fungsi reproduksi maka sangat adil jika tugas memenuhi kebutuhan keluarga menjadi tanggung jawab suami. Apabila seorang isteri yang dalam keadaan melaksanakan fungsi reproduksi harus terbebani dengan urusan produksi berarti isteri memerankan fungsi ganda pada kondisi yang sama. Dan itu tidaklah adil. Dengan demikian, tidak tepat jika suami dan isteri saling berebut hak dalam menentukan pelaksanaan reproduksi.
Suami isteri mempunyai beban tanggung jawab masing-masing dalam keluarga. Pertanggungjawaban suami terhadap isteri dimaknai sebagai tanggung jawab untuk memimpin dan memikul beban, bukan tanggung jawab berkuasa, memerintah ataupun memaksa. Dan harus diakui bahwa seorang isteri juga mempunyai tanggung jawab dalam keluarga. Hal ini sesuai dengan hadis:
كلكم راع ومسئول عن رعيته والامام راع ومسئول عن رعيته والرجل راع فى اهله ومسئول عن رعيته والمرأة فى بيت زوجها راعية ومسئولة عن رعيتها
Berdasarkan pada ketentuan yang tertera dalam surat al-Nisa’: 34, alasan laki-laki menjadi pemimpin bagi perempuan adalah karena dua hal. Pertama, laki-laki mempunyai kelebihan atas perempuan. Kedua, kewajiban laki-laki (suami) memberi nafkah. Faktor pertama tidak dapat selalu menjadi ukuran. Sebab tidak semua laki-laki mempunyai keunggulan melebihi kemampuan perempuan, baik dalam kekuatan fisik maupun akal. Dimungkinkan seorang isteri mempunyai kelebihan melebihi suaminya yang dapat mengarah pada kuantitas dan kualitas yang diperankan isteri. Dan dalam al-Qur’an sendiri tidak dijelaskan secara rinci tentang kelebihan yang dimiliki seorang laki-laki. Faktor kedua menunjukkan bahwa kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan erat kaitannya dengan fungsi produksi. Karena suami berperan mencari nafkah maka kepemimpinan berada pada laki-laki. Dengan kedua faktor tersebut memberikan pemahaman bahwa kepemimpinan laki-laki itu terkait dengan keadaan dan peranan. Sehingga apabila keadaan atau peranan berubah maka juga akan berakibat pada pola kepemimpinan keluarga.
Kedudukan laki-laki (suami) menjadi pemimpin dalam keluarga, bukan lah dimaksudkan untuk berbuat otoriter. Keberadaan kepemimpinan ini dimaksudkan agar sistem kehidupan keluarga tetap berlangsung dengan adanya keterlibatan peran seorang isteri. Kepemimpinan yang dijalankan hendaknya dilandasi prinsip demokrasi dan musyawarah. Tindakan-tindakan yang menyangkut eksistensi keluarga haruslah disertai semangat kebersamaan dengan mengakui keberadaan masing-masing pihak terhadap seluruh persoalan keluarga, termasuk dalam hal nafkah. Dengan demikian, perlu penerapan musyawarah dalam menentukan masa depan keluarga yang akan dibangun. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
وشاورهم فى الامر
وامرهم شورى بينهم
Jika dicermati berdasarkan konteks sosial nas maka kewajiban suami memberi nafkah terkait dengan struktur patriakhal bangsa Arab. Suami mempunyai peranan penting dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat luas. Dengan peran tersebut, suami berkesempatan memperoleh pengetahuan, pengalaman, pemahaman dan kesempatan yang lebih dibandingkan isteri. Sehingga sangat relevan jika beban pemenuhan nafkah diberikan pada suami.
Ada dua hal yang penting dicermati terkait dengan pembahasan nafkah. Pertama, perlunya memahami konteks mikro dari ayat dan hadis (¬sabab al-nuzul dan sabab al-wurud) serta memahami konteks yang lebih luas dari nas, yakni konteks masyarakat Arab sebagai obyek langsung dari nas sebagai konteks makro. Kedua, ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan nafkah turun di masyarakat Arab yang termasuk masyarakat agraris. Konsekuensinya, untuk mencari nafkah dibutuhkan kekuatan fisik. Dan kekuatan fisik dimiliki oleh laki-laki.
Pembahasan tentang nafkah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), juga terkait dengan pola kepemimpinan dan pola hubungan suami isteri. Pasal 80 ayat (4) menjelaskan bahwa sesuai penghasilannya suami menanggung; a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri, b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak, c. biaya pendidikan bagi anak. Pembebanan nafkah terhadap suami ini jika dicermati terkait dengan kedudukan suami isteri dalam keluarga. Pasal 79 ayat (1) menjelaskan bahwa suami adalah kepala keluarga, dan isteri adalah ibu rumah tangga. Sebagai kepala keluarga, suami bertanggung jawab terhadap keberlangsungan sistem keluarga yang salah satu caranya adalah dengan memenuhi nafkah.
Prinsip kesejajaran suami isteri diakui oleh KHI, sekalipun terdapat ketentuan mengenai kedudukan suami isteri. Ini ditunjukkan dengan ketentuan pasal 79 ayat (2) bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Dan ayat (3) menjelaskan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Berdasarkan penggunaan teori holistik dan equal partner dalam memahami ketentuan nas dan KHI, pemikiran yang dituju penulis adalah mengarah pada pola hubungan yang berkeadilan dan kesejajaran suami isteri. Pertama, hubungan yang berkeadilan antara suami isteri mengandung maksud bahwa peranan masing-masing suami isteri dalam keluarga disesuaikan dengan kapasitas kemampuan yang dimiliki dan peranan sosial yang dimainkan. Suami mempunyai tanggung jawab memenuhi nafkah adalah karena peranan yang dimiliki dan realitas sosial. Konstruksi budaya dalam masyarakat kita telah membedakan antara pekerjaan laki-laki dan perempuan. Laki-laki dikonstruksikan untuk bekerja di sektor publik dan produktif, sedangkan perempuan dikonstruksikan untuk bekerja di sektor domestik dan reproduktif. Dengan konstruksi demikian, menjadikan suami wajib memberi nafkah kepada isteri. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan isteri juga berperan dalam ekonomi keluarga, baik karena dorongan untuk menambah tingkat kehidupan keluarga maupun keinginan untuk bekerja. Setiap orang tentu mempunyai keinginan untuk melakukan pengembangan diri dan aktualisasi diri. Hal ini tidak hanya berlaku bagi laki-laki, tetapi juga wanita. Perempuan juga mempunyai hak otonom untuk mendapatkan ruang gerak untuk aktualisasi dan mengembangkan diri. Bahkan dalam hal yang kasuistik, dimungkinkan peran suami sebagai pencari nafkah digantikan oleh isteri. Seperti dalam hal suami tidak mampu bekerja karena keterbatasan fisik atau cacat. Keadaan seperti ini telah diantisipasi dengan adanya ketentuan pasal 80 ayat (6) bahwa isteri dapat membebaskan suaminya atas kewajiban memberi nafkah terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
Kedua, prinsip kesejajaran yang menuntut kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan serta tidak ada dominasi dalam keluarga. Walaupun ada perbedaan peranan atau tugas dalam keluarga, tidak menunjukkan adanya superioritas dan inferioritas atau legitimasi sikap otoriter. Perbedaan tugas adalah dimaksudkan agar suami isteri dapat melaksanakan tugas-tugasnya secara baik. Di samping itu juga, satu sama lain diharapkan tidak berpendirian bahwa ia cukup menunaikan kewajibannya tanpa mau memperhatikan dan membantu tugas pihak lain. Karena perkawinan dalam Islam bukanlah urusan perdata semata, tetapi mengandung unsur relegiusitas yang penuh dengan prinsip kebersamaan, demokrasi dan keadilan.
B. Konsekuensi Yuridisnya
Berdasarkan pemahaman yang menyeluruh dan terpadu terhadap ketentuan normatif dan yuridis tentang nafkah dan harta bersama dalam KHI, maka diperoleh beberapa konsekuensi yuridis harta bersama terhadap kewajiban suami memberi nafkah yang bersifat pilihan, yaitu:
1. Tanggung jawab bersama suami isteri dalam ekonomi keluarga
Melalui pemahaman nas tentang nafkah dengan melihat konteks nas dan realitas sosial menunjukkan bahwa kewajiban suami memberi nafkah adalah terkait dengan peranan sosial yang diperankan oleh suami. Suami mempunyai tanggung jawab memimpin sebuah keluarga dan mempunyai tugas-tugas disektor publik dan produktif, sedangkan isteri bertugas pada wilayah domestik dan reproduktif. Dengan posisi demikian, wajar kalau suami mempunyai kewajiban memberi nafkah.
Keadaan demikian kemungkinan besar akan mengalami perubahan seiring perkembangan pola pikir manusia dan perkembangan peran masing-masing suami isteri. Jika seorang isteri tidak hanya berada pada sektor domestik dan reproduktif saja, maka peran yang dilakukan isteri pun akan mengalami perubahan. Seorang isteri tentu menginginkan aktualisasi diri dan pengembangan potensi yang dimiliki. Dan di antara perwujudannya adalah keinginan seorang isteri untuk berkerja dalam memenuhi nafkah keluarga maupun meningkatkan ekonomi keluarga. Pada keadaan keluarga seperti ini, menujukkan bahwa suami isteri berperan penting dalam ekonomi keluarga.
Pasal 77 ayat (1) KHI telah menjelaskan bahwa suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Salah satu upaya mewujudkan tujuan rumah tangga tersebut adalah dengan terpenuhinya nafkah keluarga. Ketentuan dalam pasal tersebut memang bersifat umum yang kemudian diatur suatu ketentuan khusus mengenai tanggung jawab suami memberi nafkah. Dan sesuai dengan asas hukum lex specialis derogat legi generalis, maka aturan yang khusus yang dipakai. Akan tetapi, ketentuan khusus tersebut akan membawa persoalan konsep jika dikaitkan dengan ketentuan harta bersama dalam KHI.
Ketentuan-ketentuan yuridis mengenai hak dan kewajiban suami isteri yang tertera dalam KHI sebenarnya mengarah pada suatu konsep atau pola pembagian kerja agar sistem dalam keluarga dapat berjalan dengan baik dan masing-masing pihak dapat menjalankan fungsinya dalam upaya mencapai tujuan perkawinan. Ini ditunjukkan dengan adanya pemberian posisi suami sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga. Akan tetapi, harus dipahami bahwa ketentuan tersebut hendaknya tidak mematikan upaya pengembangan diri dan aktualisasi potensi suami isteri. Harus diingat bahwa dalam sebuah keluarga, pola yang sebaiknya diterapkan adalah hubungan yang berkeadilan dan prinsip kesejajaran. Dengan pemahaman melalui teori equal partner yang di antara cirinya adalah pengakuan bahwa suami isteri mempunyai kesempatan yang sama untuk berkembang dan perkembangan individu sebagai pribadi sangat diperhatikan, maka adanya realitas seorang isteri berperan dalam ekonomi keluarga secara aktif dapat dibenarkan. Adanya fenomena perempuan yang bekerja hendaknya dimaknai sebagai bagian wujud partisipasi dalam mencapai tujuan perkawinan. Akan tetapi, perkembangan peran suami isteri hendaknya tidak menjadikan kesemrawutan pelaksanaan tugas-tugas yang ada dalam keluarga.
Fenomena perkembangan peran yang dijalankan suami isteri dalam kehidupan keluarga harus direspon secara tepat di samping tetap memperhatikan konsep kesejajaran suami isteri. Sehingga aturan tentang tanggung jawab ekonomi keluarga yang tercantum dalam KHI perlu untuk dikritisi. KHI memang sudah tepat meletakkan beban pemenuhan nafkah kepada suami terkait dengan pemberian kedudukan suami isteri dalam keluarga. Akan tetapi, perkembangan pola pikir manusia dan fenomena sosial harus diperhatikan dalam merumuskan aturan hukum.
Pola yang dibangun KHI berdasarkan relevansi ketentuan tanggung jawab ekonomi keluarga dan harta bersama sebenarnya mengarah pada tanggung jawab bersama suami isteri dalam ekonomi keluarga. Alasannya meliputi dua hal. a. Adanya ketentuan harta bersama menunjukkan suami isteri sama-sama mempunyai peranan penting dalam ekonomi keluarga. Hal ini diperlihatkan dengan adanya ketentuan bahwa perbuatan hukum atas harta bersama harus lewat persetujuan kedua belah pihak dan masing-masing pihak berhak mendapat bagian yang sama apabila terjadi putusnya perkawinan. b. Jika definisi harta bersama menjadikan seluruh harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama maka secara yuridis menimbulkan persoalan hukum tatkala isteri menuntut bahwa harta yang diberikan selama perkawinan yang dimaksudkan suami sebagai nafkah adalah harta bersama. Apabila ini terjadi maka pelaksanakan kewajiban suami memberi nafkah dilakukan melalui harta pribadinya. Padahal tidak semua laki-laki yang melakukan perkawinan berangkat dari ekonomi kuat.
Secara empirik, memang belum ditemukan adanya tindakan isteri yang mempersoalkan bahwa pemberian nafkah dari suami selama perkawinan termasuk harta bersama. Selama ini, masyarakat memahami harta bersama sebagai keseluruhan harta yang diperoleh selama perkawinan setelah dipergunakan untuk biaya hidup keluarga. Dan harta bersama baru dipersoalkan setelah terjadi putusnya perkawinan. Pendek kata, harta yang diberikan suami selama perkawinan sebagai nafkah tidak diartikan sebagai harta bersama. Akan tetapi, melalui pembacaan aturan yuridis dari harta bersama terkait dengan kewajiban nafkah maka harus diatur konsekuensi yuridisnya untuk menghindari munculnya celah-celah hukum. Harus diingat bahwa suatu perundang-undangan harus memiliki sifat universal. Dengan demikian, sekalipun masyarakat belum mempersoalkan mengenai status harta yang diberikan suami sebagai nafkah selama perkawinan, perlu diatur ketentuan hukum yang jelas dan tidak interpretatif sebagai upaya mengantisipasi suatu peristiwa hukum yang berbeda dalam kehidupan masyarakat. Sebab dinamika pemahaman dan kesadaran hukum masyarakat mengalami perkembangan dan perubahan.
Untuk itu, perumusan ulang terhadap aturan tentang tanggung jawab nafkah atau ekonomi keluarga harus segera dilakukan, jika konsep harta bersama masih dipertahankan. Akan tetapi, harus diingat bahwa perumusan ulang tersebut membawa konsekuensi berlanjut yaitu perlunya perumusan ulang terhadap aturan tentang hak dan kewajiban suami isteri yang tercantum dalam KHI, perlunya KHI dijadikan undang-undang agar mempunyai kekuatan hukum yang kuat serta revisi terhadap Undang-undang Perkawinan karena sebagian ketentuan perkawinan yang tercantum dalam KHI adalah rumusan ulang dari Undang-undang Perkawinan.
2. Pemisahan harta suami isteri dalam perkawinan
Eksistensi aturan tentang harta bersama yang tertera dalam KHI, harus dikritisi. Jika ketentuan tersebut dikaitkan dengan aturan tentang pembebanan nafkah terhadap suami maka menimbulkan celah-celah hukum. Yaitu membuka peluang adanya tuntutan isteri mengenai keberadaan harta yang diberikan sebagai nafkah selama perkawinan merupakan harta bersama. Jika hal ini terjadi, dapat menimbulkan persoalan hukum terkait dengan pelaksanaan kewajiban suami memberi nafkah. Suami hanya dapat memenuhi kewajiban tersebut lewat harta pribadinya saja. Di samping itu, aturan harta bersama dan kewajiban nafkah juga menimbulkan rasa ketidakadilan bagi suami karena ada kewajiban ganda yang dibebankan kepada suami. Yaitu suami harus melaksanakan kewajiban memberi nafkah sekaligus harus menerima konsekuensi pembagian harta bersama secara berimbang.
Ketentuan pembebanan nafkah atas suami yang tertera dalam nas menunjukkan potret ideal untuk masyarakat patriakhal. Sedangkan keberadaan harta bersama yang menjadi bagian kehidupan masyarakat Indonesia menunjukkan pola kebersamaan dalam kehidupan keluarga.
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Akan tetapi, ketentuan tersebut adalah fakultatif karena dapat dapat disimpangi dengan aturan lain.
Konsep yang perlu dibangun dalam KHI adalah tidak dikenal harta bersama maupun percampuran harta jika paradikma kewajiban nafkah tetap dibebankan kepada suami. Harta yang diperoleh suami menjadi hak milik penuh suami dan sebaliknya harta yang diperoleh isteri menjadi hak milik penuh isteri. Dengan konsep seperti ini, secara yuridis kewajiban suami memberi nafkah dapat terealisir secara penuh.
3. Kompromi antara harta bersama dan kewajiban suami memberi nafkah.
Upaya kompromi akibat tetap dipertahankannya ketentuan harta bersama dan kewajiban suami memberi nafkah dapat dilakukan dengan menambah aturan dalam pasal 80 KHI mengenai jenis harta yang dapat dipergunakan untuk memberi nafkah. Yaitu Nafkah dapat diambilkan dari harta pribadi suami dan atau harta bersama yang berasal dari harta yang diperoleh suami selama perkawinan.
Penambahan ketentuan tersebut menunjukkan adanya pembedaan asal harta bersama, yaitu harta yang diperoleh isteri, suami dan suami isteri. Dengan pemilahan seperti ini menjadikan suami dapat mempergunakan harta bersama dalam jenis harta yang diperolehnya sendiri untuk melaksanakan kewajiban memberi nafkah. Dengan demikian, ada pengkhususan jenis harta bersama melalui aturan pengunaan jenis harta dalam pemenuhan kewajiban nafkah.
Dampak positif dari penambahan aturan tersebut, di antaranya akan membawa argumentasi yang kuat dalam menyelesaikan suatu perkara apabila seorang isteri menuntut pemberian nafkah dengan dalih harta yang diberikan selama ini adalah harta bersama karena diperoleh selama perkawinan yang mana kepemilikan atas harta tersebut adalah milik bersama sehingga pada akhirnya suami dianggap tidak memberi nafkah. Melalui aturan tentang kebolehan menggunakan harta bersama yang diperoleh suami selama perkawinan maka adanya tuntutan semacam itu dapat dimentahkan dengan dasar hukum yang jelas, sekaligus kedua aturan tersebut tetap eksis.
كلكم راع وكلكم مسؤ ل عن رعيته والا مير راع والرجل راع على اهل بيته والمرأة راعية عل بيت زوجها وولده فكلكم راع وكلكم مسؤل عن رعيته
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah penulis kemukakan mengenai konsekuensi yuridis harta bersama terhadap kewajiban suami memberi nafkah dalam KHI, dapat disimpulkan:
1. Penunaian kewajiban suami memberi nafkah dapat dilakukan dengan menggunakan harta pribadinya dan atau dengan harta bersama dalam pengertian harta yang diperoleh suami selama perkawinan yang sah.
2. Ketentuan nas yang berbicara tentang kewajiban suami memberi nafkah haruslah dipahami dengan mencermati konteks nas, konteks sosial yang berkembang, hak dan kewajiban suami isteri, pola kepemimpinan dalam keluarga dan prinsip-prinsip perkawinan sehingga akan diperoleh pemahaman yang komprehensif dan integral.
3. Penggunaan teori holistik dan equal partner dalam diskursus harta bersama dan nafkah memunculkan tiga konsekuensi yuridis harta bersama terhadap kewajiban suami memberi nafkah yang bersifat pilihan. a. Tanggung jawab bersama suami isteri dalam ekonomi keluarga. Alasannya adalah 1) bahwa ketentuan harta bersama menunjukkan bahwa suami isteri sama-sama mempunyai peranan penting dalam ekonomi keluarga. Buktinya yaitu adanya ketentuan bahwa perbuatan hukum atas harta bersama berdasarkan kesepakatan suami isteri dan masing-masing suami dan isteri mempunyai bagian yang sama apabila terjadi putusnya perkawinan. 2) Jika definisi harta bersama menjadikan seluruh harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama maka secara yuridis menimbulkan persoalan hukum tatkala isteri menuntut bahwa harta yang diberikan selama perkawinan yang dimaksudkan suami sebagai nafkah adalah harta bersama. b. Pemisahan harta suami isteri dalam perkawinan. Jika KHI tetap menggunakan ketentuan pemenuhan nafkah menjadi kewajiban suami, maka kewajiban tersebut dapat dilaksanakan secara penuh dengan dipakainya konsep harta terpisah dalam perkawinan. c. Kompromi antara harta bersama dan kewajiban suami memberi nafkah. Ini dilakukan dengan memberi penambahan aturan dalam pasal 80 KHI mengenai jenis harta yang dapat dipakai untuk memberi nafkah yaitu harta pribadi dan atau harta yang diperoleh suami selama perkawinan.
B. Saran-Saran
1. Hendaknya pemahaman terhadap nas dilakukan secara menyeluruh agar apa yang dihasilkan dapat diterapkan dalam dataran praktis dan tidak hanya sampai pada dataran ideologis saja.
2. Tulisan ini diharapkan mampu memberikan kontribusi yang berharga kepada pembentuk aturan hukum agar dapat merumuskan kembali aturan mengenai kewajiban suami memberi nafkah dan harta bersama. Dan diharapkan kepada semua pihak agar mencermati, mengkritisi dan memberikan tawaran solusi terhadap berbagai permasalahan hukum agar suatu aturan hukum dapat mencerminkan asas kepastian hukum, asas keadilan dan kemanfaatan.
BAB I
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di ataramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikiann itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Dan Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Dan Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.
Dia memberi makan apabila dia makan, dia memberi pakaian jika ia berpakaian, dan dia tidak memukul wajahnya, tidak menjelek-jelekkannya dan tidak mengucilkannya, kecuali masih dalam rumah.
BAB II
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.
Dan bergaulah dengan mereka secara patut, kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dank arena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di ataramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikiann itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Allah Berfirman, “ Aku adalah yang ketiga di antara dua orang yang bersekutu, sepanjang salah satu dari keduanya tidak mengkhianati temannya (sekutunya) , maka jika berkhianat, (Allah) keluar dari keduanya.
Dan para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
Dia memberi makan apabila dia makan, dia memberi pakaian jika ia berpakaian, dan dia tidak memukul wajahnya, tidak menjelek-jelekkannya dan tidak mengucilkannya, kecuali masih dalam rumah.
Ambillah sekedar untuk dirimu dan anakmu dengan wajar.
Setiap orang yang menahan hak orang lain atau kemanfaatannya, maka ia bertanggung jawab memberi nafkah kepadanya.
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
Ambillah sekedar untuk dirimu dan anakmu dengan wajar.
BAB III
Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka.
Sebab itu, wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memlihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
BAB IV
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.
Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa.
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Setiap kamu adalah pemimpin dan dimintai pertanggungjwaban dari kepemimpinannya. Dan Imam (penguasa) adalah pemimpin dan dimintai pertanggungjawaban dari kepemimpinannya. Dan laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan dimintai pertanggungjawaban dari kepemimpinannya. Dan Perempuan adalah di rumah suaminya dan dimintai pertanggungjawaban dari kepemimpinannya.
Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.
Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.
Lampiran 2
BIOGRAFI ULAMA
1. Khoiruddin Nasution
Ia lahir di Simangambat Tapanuli Selatan (sekarang Kabupaten Mandailing Natal) Sumatera Utara. Adapun pendidikannya pondok pesantren Musthafawiyah Purbabaru Tapanuli Selatan selesai tahun 1982, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta selesai tahun 1989. S2 di Mcgill University Montreal Kanada selesai 1995, Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta selesai 1996, Sandwich Ph.D McGill University tahun 2000 dan S3 Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta selesai tahun 2001.
Aktifitas rutin beliau adalah dosen tetap Fakultas Syari’ah dan Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan dosen tidak tetap pada: (1) Progam Magister Studi Islam (MSI-S2) UII Yogyakarta, (2) Progam Magister Studi Islam (MSI-S2) Universitas Islam Malang, (3) Fakultas Hukum UII Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah pada progam S1.
Adapun di antara karya tulisnya adalah: (1) Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, (2) Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Indonesia dan Malysia, (3) Fazlur Rahman tentang Wanita, (4) Tafsir-tafsir Baru di Era Multi Kultural, (4) Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, (6) Islam tentang Relasi Suami isteri, dan (7) Pengantar Studi Islam.
2. Ahmad Azhar Basyir
Ia dilahirkan di Yogyakarta 21 November 1928. Ia adalah alumnus PerguruanTinggi Agama Islam Negeri Yogyakarta (1956). Pada tahun 1965, ia memperoleh gelar Magister dalam Islamic Studies dari Universitas Kairo. Sejak tahun 1953, ia aktif menulis buku antara lain: Terjemah Matan Taqrib; Terjemah Jawahirul Kalimiyah (‘Aqaid), Ringkasan Ilmu Tafsir, Ikhtisar Ilmu Musthalah Hadis, Ilmu Shorof dan Soal Jawab Nahwul Wadih. Adapun karyanya untuk bahan di Perguruan Tinggi antara lain: Manusia, Kebenaran Agama, dan Toleransi Pendidikan Agama Islam I, Hukum Perkawinan Islam, Ikhtisar Fiqih Jinayat, Masalah Imamah dan Filsafat Politik Islam, Ikhtisar Hukum Internasional Islam, Negara dan Pemerintahan dalam Islam, Kawin Campur, Adopsi dan Wasiat menurut Islam, Hukum Islam tentang Riba, Utang-Piutang dan Gadai, Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah dan Syirkah, Aborsi Ditinjau dari Segi Syari’ah Islamiayah, Keuangan Negara dan Hisbah dalam Islam, Garis Besar Sistem Ekonomi Islam, Falsafah Ibadah dalam Islam, Hubungan Agama dan Pancasila dan Peranan Agama dan Pembinaan Moral Pancasila.
Ia Menjadi Dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sejak tahun 1968 samapai wafat (1994) dalam mata kuliah Sejarah Filsafat Islam, Filsafat Ketuhanan, Hukum Islam, Islamologi dan Pendidikan Agama Islam. Ia juga menjadi Dosen Luar Biasa Universitas Islam Indonesia (UII) sejak tahun tahun 1968dalam mata kuliah Hukum Islam dan mengajara di berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia. Selain itu, ia terpilih menjadi ketua PP Muhammadiyah periode 1990-1995 dan aktif di berbagai organisasi dan aktif mengikuti seminar nasioanal dan internasional.
3. Masdar Farid Mas’udi.
Ia lahir dilahirkan di purwokerto pada tahun 1954. Ia adalah direktur P3M (Perhimpunan Perkembangan Pesantren dan Masyarakat) – sebuah LSM yang dikenal aktif melakukan aksi-aksi pembaharuan pemikiran Islam dengan pendekatan partisipatoris dikalangan masyarakat pesantren yang justru dikaenal “tradisional”. Dosen islamologi pada STF (sekolah tinggi filsafat) Driyakara, Jakarta, dan wakil penanggung jawab Pesantren Al-Hamidiyah, Depok, Jakarta, ini pernah belajar di pesantren asuhan Kiai Ali Maksoem (Alm) Krapyak, Yogyakarta (1969-1975). Selepas dari pesantren, dia melanjutkan studi ke Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dan tamat 1980. Di samping menulis artikel untuk berbagai media ibu kota, dia juga menulis buku Agama Keadilan: Risalah Zakat/Pajak dalam Islam yang cukup kontroversial (1992).
4. Ahmad Rofiq
Ia lahir di Kudus, 14 Juli 1959. Ia menyelesaikan pendidikan S-1 di Fakultas Syariah IAIN Wali Songo Semarang. Kemudian melanjutkan ke pendidikan S-2 dan S-3 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sekarang ia mengabdikan diri sebagai dosen di Fakultas Syariah IAIN Wali Songo. Karya ilmiahnya yang telah terbit diantaranya: Hukum Islam di Indonesia, Fiqh Mawaris, 40 Entry Ensiklopedi Islam, dan 25 Entry Ensiklopedi Al-Qur’an.
5. Al-Sayyid Sabiq
Beliau lahir di Istanha Mesir pada tahun 1915. Beliau menerima pendidikan pertama di Kuttab, yaitu tempat belajar untuk menulis, membaca dan menghafal al-Qur’an. Kemudian beliau masuk pada Perguruan Tinggi Al-Azhar, pendidikan terakhir diperoleh di Fakultas Syariah (4 tahun) dan Takhasus (2 tahun) dengan gelar Al-Syahadah al-’Alamiah yang nilainya setingkat dengn doctor pada perguruan tinggi yang sama. Beliau adalah ula kontemporer Mesir yang mempunyai reputasi internasional di bidang dakwah dan fiqh Islam. Karya monumental yang dihasilkan di antaranya: Fiqh al-Sunnah, Al-Aqaid fi al Islam, Da’wah al-Islam dan Islamuna.

0 Comment