Sunday, May 27, 2012


← POLA PEMIKIRAN IBNU RUSYD TENTANG PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAHAM QADARIYAH

A.  Sejarah Munculnya Faham Qadariyah
Qadariyah diambil dari bahasa Arab, dasarkatanya adalah qadara yang memiliki arti kemampuan atau kekuasaan. Adapun pengertian qadariyah berdasarkan terminology adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan, artinya tanpa campur tangan Tuhan.
Dalam bahasa Inggris qadariyah ini diartikan sebagai free will and free act, bahwa manusialah yang mewujudkan perbuatan-perbuatan dengan kemauan dan tenaganya.
Aliran qadariyah ini dirkirakan muncul pada tahun 70 H dengan berbagai versi yang memperdebatkan mengenai tokoh pemulanya.

Versi pertama dikemukakan oleh Ahmad Amin berdasarkan pendapat beberapa ahli teologi bahwa faham qadariyah ini pertama kali diperkenalkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy.
Versi kedua, masih dikemukakan oleh Ahmad Amin berdasarkan pendapat Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun bahwa faham qadariyah ini pertama kali dimunculkan oleh seorang Kristen Irak yang masuk Islam kemudian kembali kepada Kristen yang bernama Susan.
Versi ketiga dikemukakan oleh W. Montgomery Watt berdasarkan tulisan Hellmut Ritter yang ditulis dalam bahasa Jerman, menyebutkan bahwa faham qadariyah ditemukan dalam kitab Ar-Risalah karya Hasan Al-Basri. Namun versi ini menjadi perdebatan panjang bahwa Hasan Al-Basri seorang Qadariyah. Dalam kitab ini, dia menulis bahwa manusia berhak memilih mana yang baik dan buruk bagi dirinya. 
Seharusnya, sebutan qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkahlaku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun, sebutan tersebut telah melekat kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak. Menurut Ahmad Amin, sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk Hadits yang menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah.  Yakni “Bahwa kaum qadariyah majusinya ummat ini”.
Beberapa ayat Al-Qur’an yang digunakan sebagai dasar pemikiran mereka adalah:
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا
Artinya: Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (Al-Kahfi: 29)
أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Ali Imran: 165).
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (Ar-Ra’d:11).
وَمَنْ يَكْسِبْ إِثْمًا فَإِنَّمَا يَكْسِبُهُ عَلَى نَفْسِهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (An-Nisa: 111).
Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama sekali memunculkan faham Qadariyah adalah orang irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk islam dan balik lagi ke agama Kristen. Dari orang inilah, Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini. Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al-Auzai, adalah Susan.
Sementara itu, W. Montgomery Watt manamukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa Jerman yang dipublikasikan melalui majalah Der Islam pada tahun 1933. Artikel ini menjelaskan bahwa faham Qadariyah terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk Kholifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Basri sekitar tahun 700 M. Hasan Al-Basri (642-728) adalah anak seorang tahanan di irak. Ia lahir dimadinah, tetapi pada tahun 657, pergi ke Basrah dan tinggal disana sampai akhir hayatnya. Apakah Hasan Al-Basri termasuk orang Qadariyah atau bukan, hal ini memang menjadi perdebatan. Namun, yang jelas, -berdasarkan catatannya yang terdapat dalam kitab Risalah ini ia percaya bahwa manusia dapat memilih secara bebas antara baik dan buruk. Hasan yakin bahwa manusia bebas memilih antara berbuat baik atau berbuat buruk.
Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad- Dimasyqi, menurut Watt, adalah penganut Qadariyah yang hidup setelah Hasan Al-Basri. Kalau dihubungkan dengan keterangan Adz-Dhahabi dalam Mizan Al-I’tidal seperti dikutip Ahmad Amin yang menyatakan bahwa Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar pada Hasan Al-Basri, makasngat mungkin faham Qadariyah ini mula-mula dikembangkan hasan Al-Bashri. Dengan demikian, keterangan yang itulis oleh Ibn Nabatah dalam Syahrul Al-Uyun bahwa faham Qadariyah berasal dari orang irak Kristen yang masuk Islam dan kemudian kembali kepada Kristen, adalah hasil rekayasa orang yang tidak sependapat dengan faham ini agar orang-orang tidak tertarik dengan pikiran Qadariyah. Lagi pula menurut Kremer, seperti dikutip Ignaz Goldziher, dikalangan gereja timur ketika itu terjadi perdebatan tentang butir doktrin Qadariyah yang mencekam pikiran para teolognya.
Berkaitan dengan persoalan pertama kalinya Qadariyah muncul, ada baiknya bila meninjau kembali pendapat Ahmad Amin yang menyatakan kesulitan untuk menentukannya. Para peneliti sebelumnya pun belum sepakat mengenai hal ini karna penganut Qadariyah ketika itu banyak sekali. Sebagian terdapat di irak dengan bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian Hasan Al-Basri. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibn Nabatah bahwa yang mencetuskan pendapat pertama tentang masalah ini adalah seorang Kristen dari irak yang telah masuk ilam pendapatnya itu diambil olrh Ma’bad dan Ghailan. Sebagaimana lain berpendapat bahwa faham ini muncul di Damaskus. Di duga di sebabkan oleh pengaruh orang-orang Kristen yang banyak dipekerjakan di istana-istana Khalifah.     
  1. B.   I’tiqad Qadariyah Yang Bertentangan Dengan Ahlussunnah Waljamaah
Adapun doktrin yang dikembangkan oleh kaum qadariyah ini diantaranya:
  1. Manusia mempunyai daya dan kekuatan untuk menentukan nasibnya, melakukan segala sesuatu yang diinginkan baik dan buruknya. Jadi surga atau neraka yang didapatnya bukan merupakan takdir Tuhan melainkan karena kehendak dan perbuatannya sendiri.
  2. takdir merupakan ketentuan Allah SWT terhadap alam semesta sejak zaman azali, yaitu hukum yang dalam Al-Qur’an disebut sunnatullah.
  3. Secara alamiah manusia mempunyai takdir yang tak dapat diubah mengikuti hukum alam seperti tidak memiliki sayap untuk terbang, tetapi manusia memiliki daya untuk mengembangkan pemikiran dan daya kreatifitasnya sehingga manusia dapat menghasilkan karya untuk mengimbangi atau mengikuti hukum alam tersebut dengan menciptakan pesawat terbang.
C.  Perbandingan Aliran Jabariyah Dan Qadariyah
Beberapa perbedaan mendasar terhadap berbagai permasalahan teologi yang berkembang diantara kedua aliran ini diantaranya adalah:
1. Jabariyah meyakini bahwa segala perbuatan manusia telah diatur dan dipaksa oleh Allah sehingga manusia tidak memiliki kemampuan dan kehendak dalam hidup, sementara qadariyah meyakini bahwa Allah tidak ikut campur dalam kehidupan manusia sehingga manusia memiliki wewenang penuh dalam menentukan hidupnya dan dalam menentukan sikap.
2. Jabariyah menyatakan bahwa surga dan neraka tidak kekal, setiap manusia pasti merasakan surga dan neraka, setelah itu keduanya akan lenyap. Qadariyah menyatakan bahwa manusia yang berbuat baik akan mendapat surga, sementara yang berbuat jahat akan mendapat ganjaran di neraka, kedua keputusan itu merupakan konsekuensi dari perbuatan yang dilakukan manusia berdasarkan kehendak dan pilihannya sendiri.
3. Takdir dalam pandangan kaum jabariyah memiliki makna bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dan digariskan Allah SWT, sehingga tidak ada pilihan bagi manusia. Sementara takdir menurut kaum qadariyah merupakan ketentuan Allah terhadap alam semesta sejak zaman azali, manusia menyesuaikan terhadap alam semesta melalui upaya dan pemikirannya yang tercermin dalam kreatifitasnya.
D. Pandangan Ahli Ilmu Kalam Terhadap Aliran Jabariyah Dan Qadariyah
Para ahli ilmu kalam banyak memperdebatkan ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh ulama jabariyah maupun ulama qadariyah. Beberapa argument diberikan untuk menolak ajaran kedua faham ini.
Jika manusia tidak memiliki daya dan segala perbuatannya dipaksa oleh Allah, maka sejauh mana eksistensi manusia sebagai khalifah di muka bumi, bagaimana fungsi berita gembira dan ancaman yang Allah berikan, serta untuk apa Allah menyediakan ganjaran atas segala perilaku manusia selama hidup.
Keyakinan bahwa manusia dipaksa (majbur) dalam melakukan segala sesuatu akan membuat manusia menjadi malas berusaha karena menganggap semuanya merupakan takdir yang tak dapat diubah, juga dapat menyebabkan manusia tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap segala sesuatu.
Begitu pun sebaliknya, jika seluruh perbuatan manusia berada pada tangan manusia itu sendiri tanpa andil Sang Pencipta, maka seberapa kuat kemampuan manusia untuk mengelola alam ini sementara kemampuan kita sangat terbatas. Maka di mana letak batas kreatifitas kita. Dengan keyakinan ini, maka di mana letak keimanan kita terhadap qadha dan qadar Allah SWT.
Penolakan terhadap ajaran qadariyah ini disebabkan oleh beberapa hal. Diantaranya, pertama, bangsa Arab telah terbiasa dengan pemikiran pasrah terhadap alam yang keras dan ganas. Kedua, pemerintah yang menganut jabariyah menganggap gerakan faham qadariyah sebagai suatu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat, yang pada gilirannya mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai, bhakan dapat menggulingkan kedudukan mereka di dalam pemerintahan.
Dengan semakin berkembang teology, pemikiran ahli ilmu kalam pun semakin berkembang dan tentu semakin kritis. Hal ini banyak membantu masyarakat awam untuk memilih ajaran murni yang datang dari Allah SWT dan utusan-Nya. Masyarakat dapat memperkokoh keimanannya melalui ajaran yang disebarkan oleh para ulama ilmu kalam modern saat ini. Maka tidak heran bila saat ini banyak terbuka ketimpangan dan kerancuan dalam berbagai aliran karena kekritisan ulama ilmu kalam modern saat ini.
/


ALIRAN JABARIYAH DAN QADARIYAH
A. Pendahuluan
Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.[1]
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.[2]
Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij, Jabariyah dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.
Makalah ini akan mencoba menjelaskan aliran Jabariyah dan Qadariyah. Dalam makalah ini penulis hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran Jabariyah dan Qadariyah. Mencakup di dalamnya adalah latar belakang lahirnya sebuah aliran dan ajaran-ajarannya secara umum.
B. Aliran Jabariyah
1. Latar Belakang Lahirnya Jabariyah
Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur). [3]
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.[4]
Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.[5] Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jahm bin Safwan,[6] yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.[7]
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyatalkat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme.[8]
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam Alquran sendiri banyak terdapat ayat-ayat yeng menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham jabariyah, diantaranya:
a. QS ash-Shaffat: 96
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
b. QS al-Anfal: 17
4 $tBur |Mø‹tBu‘ øŒÎ) |Mø‹tBu‘ ÆÅ3»s9ur ©!$# 4’tGu‘
Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka
c. QS al-Insan: 30
$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o„ ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJ‹Å3ym ÇÌÉÈ
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Selain ayat-ayat Alquran di atas benih-benih faham al-Jabar juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah:
a. Suatu ketika Nabi menjumpai sabahatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b. Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika ditntrogasi, pencuri itu berkata "Tuhan telah menentukan aku mencuri". Mendengar itu Umar kemudian marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan karena mencuri dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
c. Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang tua itu bertanya,"apabila perjalanan (menuju perang siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadha Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan ancaman Allah, dan tidak pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
d. Adanya paham Jabar telah mengemuka kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang tumbuh berkembang di Syiria.[9]
Di samping adanya bibit pengaruh faham jabar yang telah muncul dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran Jabar muncul karena adanya pengaruh dari dari pemikriran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit.[10]
Dengan demikian, latar belakang lahirnya aliran Jabariyah dapat dibedakan kedalam dua factor, yaitu factor yang berasal dari pemahaman ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah, yang mempunyai paham yang mengarah kepada Jabariyah. Lebih dari itu adalah adanya pengaruh dari luar Islam yang ikut andil dalam melahirkan aliran ini.
Adapun yang menjadi dasar munculnya paham ini adalah sebagai reaksi dari tiga perkara: pertama, adanya paham Qadariyah, keduanya, telalu tekstualnya pamahaman agama tanpa adanya keberanian menakwilkan dan ketiga adalah adanya aliran salaf yang ditokohi Muqatil bin Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih. [11]
2. Ajaran-ajaran Jabariyah
Adapun ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan berdasarkan menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim dan moderat.
Pertama, aliran ekstrim. Di antara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendaptnya adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak.[12] Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah.[13]
Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Alquran adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.[14]
Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.
Kedua, ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya) pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.[15]
C. Aliran Qadariyah
1. Latar Belakang Lahirnya Aliran Qadariyah
Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia menusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[16]
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.[17]
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M. [18]
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.[19]
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.[20]
2. Ajaran-ajaran Qadariyah
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.[21]
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.[22]
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hokum yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat lain, kecuali mengikuti hokum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan kecuali tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang seratus kilogram.
Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan kepada Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat Alquran yang berbicara dan mendukung paham itu
a. QS al-Kahfi: 29
`yJsù uä!$x© `ÏB÷sã‹ù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3u‹ù=sù 4
Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir".
b. QS Ali Imran: 165
!$£Js9urr& Nä3÷Gu;»|¹r& ×pt7ŠÅÁ•B ô‰s% Läêö6|¹r& $pköŽn=÷VÏiB ÷Läêù=è% 4’¯Tr& #x‹»yd ( ö@è% uqèd ô`ÏB ωYÏã öNä3Å¡àÿRr& 3 ¨bÎ) ©!$# 4’n?tã Èe@ä. &äóÓx« փωs% ÇÊÏÎÈ
Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu Telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
c. QS ar-Ra'd:11
3 žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3
Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaanyang ada pada diri mereka sendiri.
d. QS. An-Nisa: 111
`tBur ó=Å¡õ3tƒ $VJøOÎ) $yJ¯RÎ*sù ¼çmç7Å¡õ3tƒ 4’n?tã ¾ÏmÅ¡øÿtR 4
Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri.
D. Refleksi Faham Qadariyah dan Jabariyah: Sebuah Perbandingan tentang Musibah
Dalam paham Jabariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan bagai kapas yang melayang di udara yang tidak memiliki sedikit pun daya untuk menentukan gerakannya yang ditentukan dan digerakkan oleh arus angin. Sedang yang berpaham Qadariyah akan menjawab, bahwa perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh manusia, bukan Allah. Dalam paham Qadariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan sebagai berkuasa penuh untuk menentukan dan mengerjakan perbuatannya.
Pada perkembangan selanjutnya, paham Jabariyah disebut juga sebagai paham tradisional dan konservatif dalam Islam dan paham Qadariyah disebut juga sebagai paham rasional dan liberal dalam Islam. Kedua paham teologi Islam tersebut melandaskan diri di atas dalil-dalil naqli (agama) - sesuai pemahaman masing-masing atas nash-nash agama (Alquran dan hadits-hadits Nabi Muhammad) - dan aqli (argumen pikiran). Di negeri-negeri kaum Muslimin, seperti di Indonesia, yang dominan adalah paham Jabariyah. Orang Muslim yang berpaham Qadariyah merupakan kalangan yang terbatas atau hanya sedikit dari mereka.
Kedua paham itu dapat dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa dan berkaitan dengan perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang. Bagi yang berpaham Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa kecelakaan itu sudah kehendak dan perbuatan Allah. Sedang, yang berpaham Qadariyah condong mencari tahu di mana letak peranan manusia pada kecelakaan itu.
Kedua paham teologi Islam tersebut membawa efek masing-masing. Pada paham Jabariyah semangat melakukan investigasi sangat kecil, karena semua peristiwa dipandang sudah kehendak dan dilakukan oleh Allah. Sedang, pada paham Qadariyah, semangat investigasi amat besar, karena semua peristiwa yang berkaitan dengan peranan (perbuatan) manusia harus dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui suatu investigasi.
Dengan demikian, dalam paham Qadariyah, selain manusia dinyatakan sebagai makhluk yang merdeka, juga adalah makhluk yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Posisi manusia demikian tidak terdapat di dalam paham Jabariyah. Akibat dari perbedaan sikap dan posisi itu, ilmu pengetahuan lebih pasti berkembang di dalam paham Qadariyah ketimbang Jabariyah.
Dalam hal musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai kehendak dan perbuatan Allah, bagi yang berpaham Jabariyah, sudah cukup bila tindakan membantu korban dan memetik "hikmat" sudah dilakukan.
Sedang hikmat yang dimaksud hanya berupa pengakuan dosa-dosa dan hidup selanjutnya tanpa mengulangi dosa-dosa. Sedang bagi yang berpaham Qadariyah, meski gempa dan tsunami tidak secara langsung menunjuk perbuatan manusia, namun mengajukan pertanyaan yang harus dijawab: adakah andil manusia di dalam "mengganggu" ekosistem kehidupan yang menyebabkan alam "marah" dalam bentuk gempa dan tsunami? Untuk itu, paham Qadariyah membenarkan suatu investigasi (pencaritahuan), misalnya, dengan memotret lewat satelit kawasan yang dilanda musibah.
E. Penutup
Sebagai penutup dalam makalah ini. Kedua alira, baik Qadariyah ataupun Jabariyah nampaknya memperlihatkan paham yang saling bertentangan sekalipun mereka sama-sama berpegang pada Alquran. Hal ini menunjukkan betapa terbukanya kemungkinan perbedaan pendapat dalam Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2
Asmuni, Yusran, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)
Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)
Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008)
Maghfur, Muhammad, Koreksi atas Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil: al-Izzah, 2002)
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5
an-Nasyar, Ali Syami, Nasy'at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1977)
Nata, Abudin, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998)
al-Qaththan, Manna Khalil, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari "Mabahits fi Ulum al-Qur'an. (Jakarta: Litera AntarNusa, 2004)
asy-Syahrastani, Muhammad ibn Abd al-Karim, al-Milal wa an-Nihal, (Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, t.th)
Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997)


[1] Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari "Mabahits fi Ulum al-Qur'an. (Jakarta: Litera AntarNusa, 2004), h. 86
[2] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5, h. 1
[3] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2, h. 63
[4] Harun Nasution, op.cit., h. 31
[5] Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet ke-4, h. 239
[6] Adapun riwayat Jahm tidak diketahui dengan jelas, akan tetapi sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa dia berasal dari Khurasan yang juga dikenal dengan tokoh murjiah, dan sebagai pemuka golongan Jahmiyah. Karena kelerlibatanya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah, sehingga dia ditangkap.
[7] Rosihan Anwar, op.cit., h. 64
[8] Harun Nasution, loc.cit.,
[9] Rosihan Anwar, op.cit., h. 64-65
[10] Ibid.,
[11] Ali Syami an-Nasyar, Nasy'at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1977), h. 335
[12] Rosihan Anwar, op.cit., h. 67-68; Lihat juga Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008), h. 79-80
[13] Hadariansyah, loc.cit; Lihat asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, (Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, t.th);
[14] Rosihan Anwar, op.cit., h. 68
[15] Ibid., Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 41-42; Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 75
[16] Lihat Rosihan Anwar, op.cit., h. 70; Abudin Nata, op.cit., h. 36; Hadariansyah, op.cit., h. 68
[17] Hadariansyah, loc.cit.,
[18] Hadariansyah, loc.cit.,; Harun Nasution, op.cit., h. 32; Rosihan Anwar, op.cit., h. 71
[19] Rosihan Anwar, loc. cit,.
[20] Yusran Asmuni, op.cit., h. 74
[21] Harun Nasution, op.cit., h. 31
[22] Rosihan Anwar, op.cit., h. 73

Jabariyah dan Qadariyah [Makalah Ilmu Kalam]

BAB I
PENDAHULUAN
Permulaan dari perpecahan umat Islam, boleh dikatakan sejak wafatnya Nabi. Tetapi perpecahan itu menjadi reda, karena terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah. Demikianlah berjalan masa-masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dalam kubu persatuan yang erat dan persaudaraan yang mesrah. Dalam masa ketiga khalifah itulah dipergunakan kesempatan yang sebaik-baiknya dan mengembangkan Islam keseluruh alam. Tetapi setelah Islam meluas kemana-mana, tiba-tiba diakhir khalifah Utsman, terjadi suatu cedera yang ditimbulkan oleh tindakan Utsman yang kurang disetujui oleh pendapat umum.
Inilah asalnya fitnah yang membuka kesempatan untuk orang-orang yang lapar kedudukan, menggulingkan pemerintahan Utsman. Semenjak itulah, berpangkalnya perpecahan umat Islam sehingga menjadi beberapa partai atau golongan. Pada pembahasan kali ini kami akan menjelaskan tentang mazhab Qadariyah dan Jabariyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. ASAL USUL MUNCULNYA SEKTE JABARIYAH
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid, dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Dalam bahasa Inggris, jabariyah disebut fatalisme, yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.
Faham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shufwan dari Khurasan. Dalam perkembangan selanjutnya faham al-jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirrar. Mengenai kemunculan faham al-jabar ini, para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Di antara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam Sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam.
Lebih lanjut, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka kepada sikap fatalism.
B. JABARIYAH DAN DOKTRIN-DOKTRINNYA
Menurut Asy-Syahratsani, jabariyah dapat dikelompokan menjadi dua bagian, kelompok ekstrim dan moderat. Di antara totoh-tokoh Jabariyah ekstrim ialah sebagai berikut:

Jahm bin Shufwan

Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut:
  1. Manusia tidak mampu untuk brbuaat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih terkenal dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan(nafyu as-sifat), dan melihat Tuhan di akhirat.
  2. Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
  3. Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman yang diajukan kaum Murji’ah.
  4. Kalam Tuhan adalah makhluq. Allah maha suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitupula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata di akhirat kelak.
Dengan demikian beberapa hal, pendapat Jahm hampir sama dengan Murji’ah, Mu’tazilah, dan As-Ariah. Itulah sebabnya para pengkritik dan sejarawan menyebutnya dengan Al-Mu’tazili, Al-Murji’i dan Al-Asy’ari.

Ja’d bin dirham

Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm. Al-Ghuraby Menjelaskannya sebagai berikut :
  1. Al-Quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah.
  2. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar.
  3. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Yang termasuk tokoh Jabariyah Moderat adalah sebagai berikut:

An-Najjar

Di antara pendapat-pendapatnya adalah:
  1. Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy’ari. Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najar tidak lagi seperti wayang yang gerakannya tergantung pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
  2. Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.

Adh-Ddirar

Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dirrar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat, Dirrar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad. Hadis ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.
C. ASAL USUL MUNCULNYA SEKTE QADARIYAH
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminology, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan.aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu dan meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.
Harun Nasition menegaskan bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar Tuhan.
Menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasqy. Ma’bad adalah seorang taba’I yang dapat dipercaya dan pernah berguru kepada Hasan Al-Bashri.
Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan faham Qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama Kristen. Dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini.
D. QADARIYAH DAN DOKTRIN-DOKTRINNYA
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatanya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahqa doktrin Qadariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendakya sendiri. Manusia mempunyai kewenagan untuk melakuakan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang ia lakukan dan juga behak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuat.
Faham takdir dalam pandangan qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu faham mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhdap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alan semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-quran sunnatullah.
BAB III
PENUTUP
Terkait qada’ dan qadar, mula-mula muncul permasalahan tentang kebebasan dan keterpaksaan manusia (al-jabr wa al-ikhtiyar). Pemikiran seputar masalah ini melahirkan dua kutub pemikiran ekstrim yang berbeda, yaitu Jabariyah dan Qadariyah. Faham Jabariyah pertama kali dipopulerkan oleh Ja’d bin Dirham di Basrah yang intinya menafikan adanya perbuatan otonom seorang hamba dengan menyandarkan semuanya kepada Allah.
Dalam pendapatnya, manusia digambarkan tidak memiliki sifat kesanggupan yang hakiki sehingga segala perbuatannya (baik ketaatan atau kemaksiatan) pada dasarnya adalah keterpaksaan (majburah) karena tidak berasal dari kekuasaan, kehendak maupun usahanya sendiri. Ide jabariyah ini kemudian terpelihara dalam gerakan pemikiran muridnya yaitu Jahm bin Shafwan, yang kepadanya dinisbatkan aliran Jahmiyah.
Di samping menerima ide jabariyah, Jahm juga mengembangkan pemikiran-pemikiran lain seperti mengemukakan pendapat bahwa surga dan neraka bersifat fana, iman adalah ma’rifah dan kekufuran adalah jahl, kalam Allah bersifat tidak qadim, Allah bukan sesuatu dan tidak bisa dilihat pada hari kiamat. Sedangkan faham Qadariyah dengan tokoh utamanya Ma’bad bin Khalid al-Juhani dan Ghailan al-Dimasyqi menyatakan bahwa semua perbuatan manusia adalah karena kehendaknya sendiri, bebas dari kehendak Allah. Jadi, perbuatan manusia berada di luar ruang lingkup kekuasaan atau campur tangan Allah.

Makalah yang berhubungan :

  1. Pengertian, Dasar Qur’ani dan Sejarah Timbulnya Ilmu Kalam
  2. Makalah Ilmu Kalam [Ringkasan 1]
  3. Mu’tazilah dan Syiah [Makalah Ilmu Kalam]
  4. Al-Khawarij dan Al-Murji’ah [Makalah Ilmu Kalam]
  5. Makalah Ulumul Hadits – Pengertian Ulumul Hadits
  6. Nahwu dan Sharaf [Makalah Bahasa Arab]
  7. Perbandingan Agama Islam dan Kristen [Makalah Teknik Penulisan Ilmiah]
  8. Pengertian, Dasar, Fungsi, Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam (PAI)
  9. Makalah Ushul Fiqh – Pengertian Ushul Fiqh dan Objek Kajiannya
  10. Makalah Filsafat Pendidikan Islam – Pengertian, Ruang Lingkup, Kegunaan dan Metode Pengembangan
  11. Makalah Ilmu Filsafat Tentang Hubungan Ilmu dan Filsafat
  12. Makalah Ulumul Qur’an – Muhkam dan Mutasyabih
  13. Zakat Fitrah [Makalah Fiqih]
  14. Teknik Penulisan Karya Ilmiah [Makalah, Tesis & Disertasi]
  15. Makalah Islam dan Pluralisme Agama – Tugas Mandiri Civic Education
  16. Makalah Perkembangan Moral dan Keagamaan Remaja
  17. Definisi, Isi, Kandungan dan Pokok Ajaran Al Quran – Materi Ushul Fiqh
  18. Makalah Ulumul Qur’an – Nasikh dan Mansukh
  19. Makalah Khalifah Umar bin Khattab
  20. Makalah Ilmu Pendidikan Islam Tentang Komponen Dasar Pendidikan Islam
  21. Makalah Ushul Fiqh – Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh
  22. Psikologi Perkembangan – Sejarah Psikologi Perkembangan
  23. Makalah Ulumul Qur’an – I’jaz Al Qur’an
  24. Makalah Ulumul Hadits – Pembagian Hadits
  25. Koleksi Pantun Agama dan Pantun Adat

Hasil pencarian yang masuk di makalah ini :

Posted in: Mata Kuliah   Tags: Ilmu Kalam
QADARIYAH
1. LATAR BELAKANG MUNCULNYA QADARIYAH
Qadariyah berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah dalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tadak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat difahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qadrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tubduk pada qadar Tuhan.
Seharusnya, sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa Qadh lawan mear menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun, sebutan tersebut telah melekat kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak. menurut Ahmad Amin, sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk Hadist yang menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah. hadist itu berbunyi :


Artinya : “kaum Qadariyah adalah majusinya umat ini”



Kapan qadariyah muncul dan siapa tokoh-tokohnya? Merupakan dua tema yang masih diperdebatkan. Menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama sekali dimunculkan oleh Ma’bad Al-jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah seorang tabi’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-basri. Adapun Ghailan adalah seorang orator berasal dari damaskus dan ayahnya menjadi maula usman bin Affan.
Berkaitan dengan persoalan pertama kalinya qadariyah muncul, ada baiknya bila meninjau kembali pendapat Ahmad Amin yang menyatakan kesulitan untuk menentukannya. Para peneliti sebelumnya pun belum sepakat mengenai hal ini karena penganut Qadariyah ketika itu banyak sekali. Sebagian terdapat di Irak dengan bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian Hasan Al-Bashri. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibn Nabatah bahwa yang mencetuskan pendapat pertama tentang masalah ini adalah seorang kristen dari Irak yang telah masuk Islam pendapatnya itu diambil oleh Ma’bad dan Ghailan. Sebagian lain berpendapat bahwa fahama ini muncul di Damaskus. Diduga disebabkan oleh pengaruh orang-orang Kristen yang banyak dipekerjakan di istana-istana khalifah.
Faham Qadariyah mendapat tantangan keras dari umat Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya reaksi keras ini, pertama seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham fatalis. Kehidupan bangsa Arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka selalu terpaksa mengalah Kepada keganasan alam, panas yang menyengat, serta tanah dan gunungnya yang gundul. Mereka merasa dirinya lemah dan tak mampu menghadapi kesukaran hidup kendatipun mereka sudah beragama Islam. Karena itu, ketika faham Qadariyah dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya. Faham Qadariyah itu dianggap bertentangan dengan dokterin Islam.
Kedua, tantangan dari pemerintah ketika itu. Tantangan ini sangat mungkin terjadi karena para pejabat pemerintahan menganut faham Jabariyah. Ada kemungkinan juga pejabat pemerintah menganggap gerakan faham Qadariyah sebagai satu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat, yang pada gilirannya mampu mengkeritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai, dan bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.
Dokterin-dokterin Qadariyah:
Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal, pembahsan masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang dokterin-dokterin Mu’tazilah,sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa dokterin qadar lebih luas dikupas oleh kalangan Mu’tazilah sebab faham ini menjadikan salah satu dokterin Mu’tazilah. Akibatnya, seringkali orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang dokterin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. salah seorang pemuka qadariyah yang lain, An-Nazzam, mengemukaakan bahwa manusia hidup mempunyai daya. Selagi hidup manusia mempunyai daya, ia berkuasa atas segala perbuatannya.
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat difahami bahwa dokterin Qadariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Dalam kaitan ini, bila seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat, itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Sungguh tidak pantas, manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
Faham takdir dalam pandangan qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa nasub manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbutan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Qur’an adalah sunatullah.
Secara alamiah, sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya, manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang dilautan lepas. Demikian juga, manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang beratus kilogram, dan lain-lain. Akan tetapi, manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif. Demikian juga anggota tubuh lainnya dapat berlatih sehingga dapat tampil membuat sesuatu. Dengan daya pikir yang kreatif dan anggota tubuh yang dapat dilatih terampil, manusia dapat meniru apa yang dimiliki ikan sehingga dia dapat juga berenang di laut lepas. Demikian juga, manusia dapat membuat benda lain yang dapat membantunya membawa barang seberat yang dibawa gajah, bahkan lebih dari itu. Disinilah terlihat semakin besar wilayah kebebasan yang dimiliki manusia. Suatu hal yang benar-benar tidak sanggup diketahui adalah sejauh mana kebebasan yang dimiliki manusia? Siapa dapat membatasi daya imajinasi manusia? Atau dengan pertanyaan lain, di mana batas akhir kreativitas manusia?
Dengan pemahaman seperti ini, kaum Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyadarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Dokterin-dokterin ini mempunyai tempat pijakan dalam dokterin Islam sendiri. Banyak awal Al-Qur’an yang dapat mendukung pendapat ini, misalnya dalam surat Al-Kahfi [18]:29:

Artinya :
“Katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu barang siapa yang mau, berimanlah dia, dan barang siapa Yang ingin kafir, biarlah ia kafir.”
(Q.S. Al-Kahfi [18]:29)
Dalam surat Ali Imran [3]:165 disebutkan:


Artinya :
“Adakah patut, ketika kamu ditimpa musibah (pada Perang Uhud), padahal telah mendapat kemenangan dua kali (pada Perang Badar), lalu kamu berkata; Dari manakah bahya ini? Katakanlah, sebabnya dari kesalahan kamu sendiri.”
(Q.S. Ali Imran [3]:165)
Dalam surat Ar-Ra’d [13]:11 disebutkan :


Artinya ;
“Sesungguhanya Allah tiada mengubah keadaan suatu bangsa, kecuali jika mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”
(Q.S. Ar-Ra’d [13];11)
Dalam surat An-Nisa[4]:111 disebutkan ;


Artinya :
“ Dan barang siapa melakukan suatu dosa, maka sesungguhnya ia melakukannya untuk merugikan dirinya sendiri.”
(Q.S. An-Nisa [4]:111)
2. TOKOH-TOKOH QADARIYAH
Paham Qadariyah muncul kira-kira pada tahun 70 H, yang dipelopori oleh:
1. Hasan Al-Basri.
2. Ma’bab Al-jauhani Al-Basri,
3. Gailan Ad Dimasyqi,
4. Khalifah Abdul Malik bin Marwan di Irak
5. Dan lain-lain
Ibnu Nabatah dalam kitabnya syaerh Al-Uyun, seperti dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama sekali memunculkan faham Qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama kristen. Dari orang inilah, Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini. orang Irak yang dimaskud sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari al-Auzi adalah Susan.
Sementara itu, W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa Jerman yang dipublikasikan melalui majalah Der Islam pada tahun 1933. Artikel ini menjelaskan bahwa faham qadariyah terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Basri sekitar tahun 700 M. Hasan Al-basri (642-728) adalah anak seorang tahanan di Irak. Ia lahir di Medinah, tetapi pada tahun 675, pergi ke Basrah dan tinggal di sana sampai akhir hayatnya. Apakah Hasan Al-Basri termasuk orang qadariyah atau bukan, hal ini memang menjadi perdebatan. Namun, yang jelas berdasarkan catatannya yang terdapat dalam kitab Risalah ini ia percaya bahwa manusia dapat memilih secara bebas antara baik dan buruk. Hasan yakin bahwa manusia bebas memilih antara berbuat baik atau berbuat buruk.
Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan ad-Dimasqy menurut Watt adalah penganut qadariyah yang hidup setelah Hasan Al-Basri. kalau dihubungkan dengan keterangan Adz-Dzahabi dalam Mizan Al-I’tidal, seperti dikutip Ahmad Amin yang menyatakan bahwa Ma’ad Al-Jauhani pernah belajar pada Hasan Al-Bashri, maka sangat mungkin faham Qadariyah ini mula-mula dikembangkan Hasan Al-bashri. Dengan demikian, keterangan yang ditulis oleh Ibn Nabatah dalam syahrul Al-uyun bahwa faham Qadariyah berasal dari orang Irak kristen yang termasuk Islam dan kemudian kembali kepada Kristen, adalah hasil rekayasa orang yang tidak sependapat dengan faham ini agar orang-orang tidak tertarik dengan pikiran qadariyah. Lagi pula menurut Kremer, seperti dikutip Ignez goldziher, di kalangan Greja Timur ketika itu terjadi perdebatan tentang butir dokterin qadariyah yang mencekam pikiran para teologinya.
3. AJARAN/PEMIKIRAN THEOLOGI YANG DIKEMBANGKAN
Paham Qadariyah
Paham Qadariyah ini pada hakikatnya sebagian dari paham Mu’tazilah, karena imam-imamnya terdiri dari orang-orang Mu’tazilah, akan tetapi sepanjang sejarah persoalan Qadariyah ini merupakan suatu soal yang besar juga yang harus menjadi perhatian.
Timbulnya aliran Qadariyah ini di Irak pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Aliran ini berpendapat bahwa manusia itu mempunyai kekuasaan mutlak atas dirinya dan segala amal perbuatannya dengan kemauan dan kekuasaan sendiri manusia dapat berbuat baik atau buruk dengan tidak ada kekuasaan lain yang memaksanya. Dasar fikiran ini adalah adanya ketentuan pahala dan siksa, bagi mereka yang berbuat baik akan mendapat pahala dan mereka yang berbuat dosa akan mendapat siksa.
Hal tersebut tidak akan terlaksana bila perbuatan manusia tidak dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab atas segala perbuatanya. Paham ini bertentanagn sekali dengan faham Ahlussunnah Waljamaah.
Adapun referensi lain juga mengatakan hal yang sama tentang faham qadariyah yaitu bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut faham qadariyah manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau kadar Tuhan. Dalam istilah Inggrisnya paham ini dikenal dengan nama free will dan free act.
ALIRAN QADARIYAH
Aliran qadariyah atau disebut Mu’tazilah adalah suatu aliran yang suka mendahulukan akal dan pikiran daripada prinsip ajaran Al-Qur’an dan Hadist sendiri. Al-Qur’an dan Hadist mereka tafsirkan berdasarkan logika semata-mata. Padahal kita tahu bahwa logika itu tidak bisa menjamin seluruh kebenaran, sebab logika itu hanya jalan pikiran yang mneyerap hasil tangkapan pancaindra yang serba terbatas kemampuannya. Jadi, seharusnya logika dank an pikiranlah yang harus tunduk kepada Al-Qur’an dan Hadist, bukan sebaliknya.
Kaum Qadariyah atau Mu’tazilah dalam mengartikan dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadist yang ada hubungannya dengan ilmu Tauhid telah menggunakan cara berfikir yang sama seperti mereka yang berfikir tentang akhlak, perundang-undangan dan filsafat. Begitu juga dalam mengkaji tingkah laku manusia secara Tauhid. Misalnya dalam masalah kemerdekaan kemauan manusia untuk berbuat mereka berpendapat bahwa kemauan manusia itu bebas, dan itu berarti bahwa manusia itu bebas utnuk berbuat atau tidak berbuat, sehingga manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas perbuatannya sendiri. Karena itulah, manurut Qadariyah/Mu’tazilah, manusia berhak menerima pujian dan pahala atas perbuatannya yang baik dan menerima celaan dan hokum atas perbuatannya yang salah dan dosa.
Karena pendapatnya bahwa manusia mempunyai kuasa penuh atas perbuatannya sendiri itulah maka golongan ini disebut Qadariyah oleh lawan-lawannya. Mereka sendiri tidak senang disebut kaum Qadariyah. Mereka menamakan dirinya kaum Ahli Adil wat-Tauhid. Adil yang mereka maksud ialah bahwa karena mereka tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa Allah SWT. Mentakdirkan orang berbuat dosa, lalu Allah menyiksa orang itu. Itu tidak adil, kata mereka. Yang adil ialah seperti yang menjadi pendapat mereka, yaitu bahwa manusia itu bebas dan berkuasa penuh atas segala perbuatannya, sehingga wajarlah kalu manusia menerima balasan baik atau buruk atas perbuatannya. Dan yang dimaksud dengan nama mereka Ahli Tauhid, ialah karena mereka mengannggap Allah SWT. Itu benar-benar Esa, Satu tanpa ditambah sifat apa-apa. Kalau yang berkuasa itu zat Allah, bukan Allah memiliki sifat Qudrat sebab menurut mereka kalau dikatakan bahwa Allah memilki sifat, berarti bahwa Allah SWT. Itu tidak Esa/Satu lagi. Apalagi kalau dikatakan bahwa Allah itu juga Qadim, sebab jika demikian kata mereka sifat Allah itu sama dengan zat-Nya sendiri.
Menurut Dr. Ahhmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam halaman 297/298, pokok-pokok ajaran Qadariyah itu ialah :
1. Orang yang berdosa besar itu bukan kafir dan buka mukmin, tapi fasik dan orang fasik itu masuk neraka secara kekal. Pendapat mereka itu sperti timbul sesudah terjadi pembunuhan Khalifah Utsman, perang unta antara Khalifah Ali dan Siti ‘Aisyah janda Nabi SAW. Dan perang Shiffa antara Khalifah Ali dan mu’wiyah yang mneyebabkan banyak orang bertanya : siapa yang benar dan siapa yang salah, dalam semua peristiwa itu. Sesudah itu mereka bertanya apakah yang bersalah dalam pembunuhan Utsman dan kedua peristiwa peperangan itu menjadi kafir atau masih tetap mukmin? Pertanyaan itu oleh Kaum Khawarij dijawab bahwa orang yang melakukan dosa besar itu menjadi kafir. Sebaliknya Kaum Murjiah mengatakan, bahwa orang yang melakukan dosa besar itu tetap mukmin. Sedangkan Washil bin ‘Atha, seorang tokoh qadariyah/Mu’tazilah bahwa yang melakukan dosa besar itu fasik dan kedudukanya antara kafir dan mukmin, tapi kata ‘Atha, orang yang melakukan dosa besar itu kekal dalam neraka.
2. Allah SWT. Tidak menciptakan amal perbuatan manusia. Manusia sendirilah kata mereka, yang menciptakan segala amal perbuatannya dan karena itulah maka manusia akan menerima balasan baik (surga) atas segala amalnya yang baik, dan manusia akan menerima balasan buruk (siksa nerka) atas segala amal perbuatannya yang salah dan dosa. Karena itu pula, maka Allah SWT. Berhak disebut adil. Boleh jadi pendapat mereka itu dipengaruhi oleh pendapat Jaham bin shafwan yang ekstrim yang menyatakan yang sebaliknya yaitu bahwa tidak mempunyai kekuasaan atau kemampuan apa-apa, sehingga tidak ada bedanya dengan batu yang menerima apa saja yang berlaku atas dirinya. Menurut datang ke Khurusan untuk bertukar pikiran atau berdebat dengan jaham bin Shafwan.
3. Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu Esa atau Satu dalam arti bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat azaly., seperti ilmu, kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan dengan zat-Nya sendiri. Tidak ada sifat-sifat yang menambah atas zat Allah. Pendapat yang mengatakan bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang qadim itu, menurut Qadariyah sama dengan mengatakan bahwa Allah itu lebih dari satu, padahal allah itu sati dan tidak bersekutu dalam segala hal dan dalam segala keadaan. Mungkin sekali yang menyebabkan mereka berpendapat demikian itu ialah karena pada zaman mereka banyak orang yang menganggap bahwa zat Allah SWT. Itu jasmani dan memiliki sifat-sifat yang sama dengan sifat-sifat mahluk, antara lain ialah Mu’tazil bin Sulaiman yang hidup sezaman dengan tokoh qadariyah. Mu’tazilah, Washil bin ’Atha.
4. Kaum qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik, walaupun Allah tdak menurunkan agama. Sebab, katanya segala sesuatu ada memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk. Misalnya, benar itu memilki sifat-sifat sendiri yang menyebabkannya baik, dan sebaliknya ialah bohong itu juga memiliki sifat sendiri yang menyebabkan buruk. Oleh karena itulah maka semua orang yang berakalal Mu’tazilah muncul mula-mula di Basrah, lalu tersebar luas diseluruh Irak atas prakasa Washil bin ‘Amr bin Ubaid pada tahun 105 H. Atau tahun 723 M.

Ayat-ayat yang boleh membawa kepada Qadariyah umpanya :
Al-kahfi,(18)-29


Katakanlah : “Kebenaran datang dari Tuhan. Siapa yang mau, percayalah ia, siapa yang mau janganlah ia percaya.”
Fussilat, (41)-40



“Buatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya ia melihat apa yang kamu perbuat.”
Al-imran, (3)-164


Bagaimana? Apabila bencana menimpa diri kamu sedang kamu telah menimpakan bencana yang berlipat ganda (pada kaum musryik di Badar) kamu bertanya :” Dari mana datangnya ini?” jawablah: “ Dari kamu sendiri.”
Al-Rafd,(130-11


“Tuhan tidak mengubah apa yang ada pada sesuatu bangsa, sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.”

4. KRITIK KELOMPOK MENGENAI PEMIKIRAN QADARIYAH
Berdasarkan penjelasan mengenai faham Qadariyah diatas kami dari kelompok IV (empat) memberikan beberapa kritikan mengenai adanya faham Qadariyah tersebut, dimana jikalau faham tersebut tetap berkembang sampai sekarang ini menurut kelompok kami ada beberapa hal yang akan terjadi pada diri pribadi manusia diantaranya yaitu:
Dampak Negatif :
a. Manusia merasa diri sangat berkuasa atas segala perbuatan yang dilakukannya, tanpa berfikir bahwa sesungguhnya dibalik kekuasannya dalam berbuat itu Allah lah yang paling berkuasa atas segala sesuatunya.
b. Mengurangi rasa percaya dan keyakinan kita bahwa sesunggunhnya Allah yang paling berkuasa dalam setiap urusan yang ada.
c. Manusia akan menjadi angkuh dan sombong terhadap semua perbuatan yang dilakukannya, dimana jika mereka (manusia) berbuat sesuatu kebaikan maka dia akan membangga-banggakan dirinya, sementara telah kita ketahui bahwa kita tidaklah patut menyombongkan diri atau bersikap angkuh didunia ini karena yang patut untuk sombong hanyalah Allah SWT.
d. Silaturrahmi atau hubungan sesama manusia akan menjadi renggang dan bahkan bisa menjadi musuh.
Dampak positif :
a. Selalu berusaha sungguh-sungguh karena selalu merasa yakin bahwa usaha yang dilakukannya akan berhasil karena atas kehendaknya sendiri atau tidak ada campur tangan Tuhan.
b. Selalu optimis dalam mengerjakan sesuatu
c. Mempunyai rasa percaya diri yang tinggi
d. Selalu merasa puas atas perbuatannya




5. REFERENSI BUKU
a. Pelajaran Ilmu Kalam. kurikulum 1984 edisi 1994 penerbit wicaksana semarang : Drs. H.Moh. Rifa’i dan Drs.RS.Abdul Aziz.
b. Teologi Islam, Harun Nasution.2002.Penerbit:Universitas Indonesia. Jakarta.
c. Ilmu kalam. Drs.Rosihan Anwar,M.Ag. dan Drs.Abdul Rozak, M.Ag. Penerbit:Pustaka Setia Bandung;2009.
d. Ilmu Tauhid.1992.

0 Comment