Sunday, May 13, 2012

ABSTRAK

Dalam dunia Islam, terdapat perbedaan pendapat yang sangat mencolok di antara dua mazhab besar, yaitu Sunni dan Syi’ah. Perbedaan tersebut pada awalnya bersifat dan bertendensi politis. Namun watak politik dalam Islam berhubungan erat dengan agama, sehingga dalam orientasinya sering melakukan pembahasan terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan pokok-pokok agama (usul al-din) sekitar keimanan dan akidah tetapi juga berkembang dalam masalah fikih dan masalah furu`.
Penelitian ini mengangkat permasalahan imam yang selalu diperdebatkan oleh mazhab-mazhab politik terutama dua kelompok besar yaitu Sunni dan Syi`ah. Penelitian ini berusaha menelaah penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengan imam dalam al-Qur’an dengan mengambil penafsir-penafsir seperti, dari kalangan Sunni yaitu tafsir karya Abu Ja’far al-Tabari yang berjudul Jami’ al-Bayan `an Ta’wil Ayi al-Qur’an, sedangkan dari kalangan Syi`ah dipergunakan tafsir karya Muhammad Husayn al-Tabataba’i yang berjudul al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an.
Upaya pengumpulan dan penyusunan data yang kemudian dilanjutkan dengan klasifikasi dan analisa serta interpretasi tentang arti data yang didapat untuk menghasilkan gambaran yang menyeluruh dan utuh dari kedua mufassir, menjadikan metode deskriptif-analitis lebih layak diterapkan dalam penelitian ini, sehingga dapat mengungkap berbagai teori, pandangan hidup dan pemikiran-pemikiran orisinal keduanya.
Penafsiran-penafsiran al-Tabari yang menonjolkan penggunaan riwayat menjadi salah satu pertimbangan penting yang dinilai secara partikular menjadi contoh penting tafsir bi al-ma’sur. Hal ini berbeda dengan al-Tabataba’i yang memiliki orientasi penafsiran bi al-ra’y terlebih lagi keberadaan dia yang berlatar belakang teologis Syi’ah Imamiyah, sangat memepengaruhi penafsiran-penafsiran makna “imam” di dalam al-Qur’an yang selaras dengan pandangan-pandangan Syi’ah. Karena bahasan ini terkait sekali dengan rukun iman yang ketiga dalam mazhab Syi’ah.
al-Tabari dan al-Tabataba’i memiliki kesamaan metode penafsiran yaitu menggunakan metode tahlili. Perbedaan keduanya antara lain: al-Tabari dalam orientasi penaafsirannya menggabungkan antara orientasi al-tafsir bi al-ma’sur dan al-tafsir bi al-ra’y, meskipun lebih dominan bi al-ma’sur. Sedangkan penggunaan ra’y hanya sebatas pada penjelasan analisa bahasa dalam penafsirannya. Lain halnya dengan al-Tabataba’i yang memiliki orientasi penafsiran bi al-ra’y dengan corak al-tafsir al-falsafi. Latar belakang teologisnya yang Syi`ah sangat mempengaruhi penafsiran-penafsiran al-Tabataba’i terhadap makna “imam” di dalam al-Qur’an. Seperti halnya al-Tabari, al-Tabataba’i terkadang mengemukakan analisa bahasa dalam menafsirkan ayat. Dalam penggunaan riwayat al-Tabataba’i hanya menerima riwayat-riwayat yang benar-benar mutawatir dari Nabi  dan imam-imam Ahl al-Bayt yang ma`sum. Dari aspek substansi penafsiran, al-Tabari dan al-Tabataba’i meiliki persamaan ketika menafsirkan “imam” dan bentukannya yang terdapat dalam al-Qur’an pada tujuh ayat. Sedangkan perbedaan penafsiran al-Tabari dan al-Tabataba’i tentang makna “imam” ada pada lima ayat.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pemilihan Masalah
Al-Qur’an adalah Kitab Suci yang Allah  turunkan kepada Nabi Muhammad , yang dinukil secara mutawatir kepada kita, yang isinya memuat petunjuk bagi kebahagiaan kepada orang yang percaya kepadanya. Al-Qur’an, sebuah kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci juga diturunkan dari sisi (Allah ) Yang Maha Bijaksana Lagi Maha Tahu. Sekalipun turun di tengah bangsa Arab dan dengan bahasa Arab, tetapi misinya tertuju kepada seluruh umat manusia, tidak berbeda antara bangsa Arab dengan bangsa non Arab, atau satu umat atas umat lainnya.
Keberadaan al-Qur’an di tengah-tengah umat Islam, karena berfungsi sebagai hudan (petunjuk), furqan (pembeda), sehingga menjadi tolok ukur dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan, ditambah keinginan untuk memahami petunjuk yang terdapat didalamnya telah melahirkan beberapa metode untuk memahami al-Qur’an. Bermunculanlah karya-karya tafsir yang beraneka ragam yang kesemuanya berkeinginan untuk memahami apa yang terdapat didalam al-Qur’an agar dapat membimbing dan menjawab permasalahan-permasalahan umat manusia dimuka bumi ini.
Luasnya keanekaragaman karya-karya tafsir tidak dapat dipungkiri karena telah menjadi fakta bahwa para penafsir pada umumnya mempunyai cara berfikir yang berbeda-beda, sesuai dengan latar belakang pengetahuan dan orientasi mereka dalam menafsirkan al-Qur’an. Sejarah membuktikan, perbedaan-perbedaan yang terjadi tidak hanya dalam masalah-masalah penafsiran tapi juga pada sisi-sisi lain dari ilmu-ilmu keislaman. Dalam bidang fiqih, ada mazhab-mazhab fiqih yang berkembang semisal mazhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hambali. Dalam bidang aqidah, banyak masalah-masalah kontroversial yang diperdebatkan diantara kelompok-kelompok seperti Murji`ah, Mu`tazilah, Asy`ariyah, Maturidiyah dan yang lainnya. Begitu juga dalam bidang politik seperti adanya golongan Syi`ah, Khawarij dan Sunni.
Sebagai contoh, perbedaan pendapat diantara mazhab-mazhab politik berkisar pada masalah khilafah yaitu puncak kepemimpinan (al-imamah al-kubra). Dinamakan dengan khilafah, karena yang memegang jabatan ini merupakan pemimpin tertinggi kaum muslimin dan pengganti Nabi  dalam urusan kehidupan mereka. Dinamakan dengan imamah karena seorang khalifah disebut juga “imam” yang wajib dipatuhi oleh rakyat yang ada dibelakangnya. Pemerintahan kenabian menuntut seorang imam untuk berada ditengah-tengah kaum muslimin agar dapat memperhatikan kemaslahatan mereka di dunia, memelihara agama mereka yang diridai serta menjamin kemerdekaan keyakinan, jiwa dan harta mereka dalam ruang lingkup syariat Islam.
Mazhab-mazhab politik pada awalnya bersifat dan bertendensi politis. Akan tetapi, watak politik dalam Islam berhubungan erat dengan agama, sehingga dalam orientasinya sering melakukan pembahasan terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan pokok-pokok agama (usul al-din) sekitar keimanan dan akidah namun juga berkembang dalam mazhab fiqih dan masalah furu’.
Penelitian ini mencoba mengangkat permasalahan imamah yang selalu diperdebatkan oleh mazhab-mazhab politik terutama dua kelompok besar yaitu Sunni dan Syi`ah . Penelitian diarahkan pada penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengan imam dalam al-Qur’an dengan mengambil penafsir-penafsir seperti, dari kalangan Sunni yaitu tafsir karya Abu Ja’far al-Tabari yang berjudul Jami’ al-Bayan `an Ta’wil Ayi al-Qur’an, sedangkan dari kalangan Syi`ah dipergunakan tafsir karya Muhammad Husayn al-Tabataba’i yang berjudul al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an.
Kalangan Sunni telah sepakat tentang kemestian adanya seorang imam untuk menegakkan persatuan dan mengatur masyarakat, mengusahakan berlakunya hukuman atas kejahatan-kejahatan tertentu, mengumpulkan zakat dari orang kaya dan mendistribusikannya kepada orang miskin, mempertahankan batas-batas wilayah kekuasaan, menyelesaikan perkara dengan cara mengangkat para hakim, menyatakan pendapat, serta melaksanakan hukum-hukum syariat sehingga tercipta negara yang penuh keberkatan sebagaimana yang diajarkan Islam. Ibn Khaldun, dalam bukunya al-Muqaddimah, menjelaskan makna “imamah” sebagai usaha membawa masyarakat agar kembali kepada tuntunan ajaran Islam untuk kemaslahatan dunia dan akherat, karena masalah-masalah duniawi harus kembali kepada Allah dengan mempertimbangkan kemaslahatan akherat, dengan begitu, pada hakekatnya khilafah atau imamah merupakan pembawa ajaran Islam agar dapat menjaga keutuhan agama dan mengelola urusan-urusan dunia.
Pandangan-pandangan Sunni tentang imamah ternyata berseberangan dengan pandangan-pandangan Syi`ah, walaupun penganut Syi`ah terbagi pada kelompok yang ekstrim, moderat dan liberal. Namun pandangan kelompok-kelompok yang ada dalam tubuh Syi’ah sendiri memiliki kesamaan bahwa imamah merupakan salah satu rukun iman dimana iman seseorang dianggap tidak sempurna bila tidak ada iman kepada imamah. Pendapatnya yang lain adalah adanya anggapan bahwa seorang imam ditunjuk berdasarkan nas dari Nabi, seorang imam juga bebas dari dosa dan kesalahan karena dia ma`sum seperti halnya para nabi, dan juga seorang imam adalah pemimpin yang diumumkan Allah agar mereka menjadi saksi atas segenap manusia.
Ulama-ulama Syi`ah menilai al-Qur’an dengan penilaian yang berbeda dari ulama Sunni pada umumnya, diantara perbedaan itu karena ulama Syi’ah beranggapan bahwa sebagian ayat-ayat al-Qur’an telah mengalami perubahan dan penyimpangan dikarenakan sebagian ayat-ayatnya ada yang asli namun ada juga yang palsu, seperti pada al-Qur’an: (1): 7, (2): 23, 57, 59 87, 9; (3): 33, 43, 44, 55, 81, dan masih banyak lagi. al-Tabarsi dalam bukunya, Fasl al-Khitab Fi Tahrif Kitab Rabb al-Arbab, menyatakan “Ini adalah kitab yang lembut mulia, saya tulis kitab ini untuk menyatakan kebenaran bahwa telah terjadi perubahan dalam al-Qur’an, dan saya ungkapkan kecurangan-kecurangan orang yang berbuat jahat dan permusuhan”. Demikian juga adanya pandangan bahwa al-Qur’an itu memiliki sisi lahir dan sisi batin. Jika sisi lahir al-Qur’an berkaitan dengan masalah tauhid, kenabian dan risalah maka sisi batin al-Qur’an membahas tentang imamah dan wilayah.
Inilah sedikit gambaran yang menjadikan penulis memiliki ketertarikan untuk membuat penelitian perbandingan antara pandangan-pandangan al-Tabari yang memang secara historis memiliki kedekatan dengan kemunculan Syi`ah namun tetap mengedepankan penafsiran-penafsiran yang sejalan dengan pemikiran Sunni, dan al-Tabataba’i dengan pemikiran-pemikiran ke-Syia’h-annya yang sangat kental.
B. Perumusan Masalah
Sekilas gambaran pada pembahasan-pembahasan sebelumnya membuat peneliti merasa perlu mengangkat beberapa rumusan masalah berkaitan dengan kajian “imam” menurut dua penafsir ternama, al-Tabari dan al-Tabataba’i, diantaranya adalah:
1. Bagaimana penafsiran al-Tabari dan al-Tabataba’i tentang “imam”.
2. Mengapa terjadi persamaan dan perbedaan al-Tabari dan al-Tabataba’i dalam menafsirkan ayat-ayat tentang “imam”.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk:
1. Mengetahui penafsiran-penafsiran al-Tabari dan al-Tabataba’i tentang “imam” setelah mengkaji karya mereka di bidang tafsir.
2. Mengetahui persamaan dan perbedaan al-Tabari dan al-Tabataba’i mengenai tema ini serta kekhasan masing-masing.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini berusaha mengkaji, meneliti, menelaah dan memahami pemikiran al-Tabari dan al-Tabataba’i tentang “imam” dengan merujuk kepada karya tafsir mereka dan karya tulis keduanya yang lain yang terkait dengan tema tersebut.
Metode deskriptif-analitis dirasakan lebih tepat untuk dipergunakan dalam penelitian ini, karena tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data namun juga meliputi usaha klasifikasi data, analisa data dan interpretasi tentang arti data yang diperoleh sehingga dapat menghasilkan gambaran yang utuh dan menyeluruh.
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah berbagai peninggalan tertulis yang berkaitan dengan tema yang diangkat dari kedua penafsir, al-Tabari dan al-Tabataba’i, terutama karya tafsir mereka. Hal ini dilakukan untuk mengungkap berbagai teori, pandangan hidup dan pemikiran-pemikiran orisinal keduanya.
Di dalam ilmu tafsir dikenal beberapa metode penafsiran al-Qur’an, seperti dikemukakan al-Farmawi, yaitu tahlili, ijmali, muqaran dan maudu’i. Penelitian ini berupaya mengkaji pandangan al-Tabari dan al-Tabataba’i tentang “imam” dalam karya tefsir mereka. Metode muqaran (komparatif) sebagai salah satu metode yang berkembang dalam dunia penafsiran, menjadi pilihan yang tepat dipergunakan dalam penelitian ini. Karena metode ini selain menghimpun sejumlah ayat yang dijadikan obyek studi juga berusaha membandingkan pendapat dua penafsir tersebut diatas untuk mendapatkan informasi berkenaan dengan identitas dan pola berpikir masing-masing penafsir serta orientasi dan aliran yang mereka anut.
E. Telaah Pustaka
Pembahasan mengenai “imam” sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Dalam kitab-kitab fiqih, uraian mengenai “imam” selalu dikaitkan baik dalam masalah salat namun juga dibahas secara mendalam ketika membicarakan prinsip-prinsip penyelenggaraan sebuah negara Islam. Seperti kitab al-Ahkam al-Sultaniyyah yang disusun oleh Imam al-Mawardi. Juga kitab al-Imamah al-‘Udma yang disusun secara sistematis dan lengkap oleh `Abd Allah ibn Umar al-Dumayji.
Uraian mengenai “imam” juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab yang membahas aliran-aliran teologi dalam Islam. Seperti dalam kitab Firaqun Mu`asirah tantasibu ila al-Islam yang ditulis oleh Galib ibn ‘Ali ‘Iwaji, buku ini memaparkan tentang aliran-aliran teologi yang muncul dalam Islam beserta latar belakang sejarah yang mempengaruhi kemunculannya. Begitu juga buku yang ditulis oleh Imam Muhammad Abu Zahrah berjudul Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam dalam edisi terjemahan Indonesia, dalam buku tersebut pembahasannya selain pada perbedaan-perbedaan teologis tetapi juga perbedaan-perbedaan pandangan politik dalam lintasan sejarah Islam.
Kajian yang lebih menekankan pada perbandingan Sunni dan Syi`ah secara lebih lengkap dan sistematis dapat ditemukan seperti dalam buku yang ditulis oleh ‘Ali Ahmad as-Salus, dengan judul Ensiklopedi Sunnah-Syi`ah dalam edisi terjemahan. Buku ini berisi perbandingan Sunnah-Syi`ah dalam bidang aqidah dan tafsir pada jilid I dan pada jilid II membahas tema hadis dan fiqih.
Dari beberapa buku yang telah disebutkan diatas, ternyata belum didapati penelitian yang khusus mengkaji perbandingan Sunni-Syi`ah tentang tema “imam” dari sisi tafsir. Karenanya penelitian ini akan berupaya menyajikan uraian mengenai “imam” dengan menjadikan tafsir Jami` al-Bayan `an Ta’wil Ayi al-Qur’an yang ditulis oleh Abu Ja`far al-Tabari dan tafsir karya Muhammad Husayn al-Tabataba’i dengan judul al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an sebagai acuan dasar dan membahas kedua tafsir tersebut secara komparatif.
F. Sistematika Pembahasan
Untuk mengetahui gambaran keseluruhan pembahasan penelitian ini, berikut akan dikemukakan beberapa bahasan pokok dalam tiap bab.
Bab pertama, pendahuluan, meliputi latar belakang masalah untuk memberikan penjelasan secara akademik mengapa penelitian ini perlu dilakukan dan apa yang melatar-belakanginya. Kemudian rumusan masalah yang dimaksudkan untuk mempertegas pokok-pokok masalah yang akan diteliti agar lebih terfokus. Setelah itu, dilanjutkan dengan tujuan penelitian untuk menguraikan pentingnya penelitian ini. Adapun metode dan langkah-langkah penelitian dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana cara yang dipergunakan penulis dalam penelitian ini. Metode apa yang dipergunakan serta bagaimana langkah-langkah penelitian yang akan dikerjakan. Sedangkan telaah pustaka, untuk memberikan gambaran tentang letak ke-baru-an penelitian ini bila dibandingkan penelitian-penelitian yang telah ada.
Bab kedua, membahas tentang biografi al-Tabari dan al-Tabataba’i. Baik data-data riwayat hidup dan latar belakang pendidikan, juga menelaah karya-karya yang telah mereka hasilkan terutama mengkaji metode penafsiran yang dipergunakan keduanya agar diperoleh pola pemikiran mereka yang utuh.
Bab ketiga, memaparkan bentuk-bentuk pengungkapan “imam”, yang terdiri dari pengertian “imam” secara umum, selanjutnya mengkaji penafsiran al-Tabari tentang “imam” dalam tafsir Jami` al-Bayan `an Ta’wil Ayi al-Qur’an dan penafsiran al-Tabataba’i dalam tafsir al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an. Kemudian mengadakan analisa komparatif terhadap penafsiran “imam” sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Bagian ini merupakan analisa penulis untuk mengetahui persamaan dan perbedaan penafsiran dari kedua tokoh tersebut, baik dari aspek metode maupun substansi penafsiran, serta menelaah sebab-sebab adanya persamaan dan perbedaan di antara keduanya.
Bab Keempat, penutup yang meliputi kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
BIOGRAFI AL-TABARI DAN AL-TABATABA’I
A. AL-TABARI DAN TAFSIRNYA
1. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikannya
Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Tabari lahir di Amul, ibukota provinsi Tabaristan, sebuah daerah pegunungan yang terletak di pesisir utara laut Kaspia. Tampaknya para ahli sejarah tidak mengetahui secara pasti tahun kelahirannya, ada yang menyatakan al-Tabari dilahirkan pada akhir tahun 224 H atau awal tahun 225 H yang bertepatan dengan tahun 839 M. Ketidakpastian tahun kelahirannya disebabkan oleh sistem penanggalan tradisional pada saat itu, yaitu dengan kejadian-kejadian besar dan bukan dengan angka.
Nama al-Tabari disandangnya, karena ia terlahir di Tabaristan, suatu wilayah di Persia yang masyhur banyak ulamanya dan salah satu daerah tempat berkembangnya kebudayaan Islam saat itu. Penisbahan pada tempat lahirnya mengindikasikan bahwa al-Tabari bukanlah orang Arab asli. Pendapat ini dikemukakan oleh Brockelman, salah seorang sejarawan dari Barat. Akan tetapi pandangan ini banyak dikritik sejarawan Arab, mereka berpendapat bahwa al-Tabari adalah ‘Arabi asli yang terlahir di daerah ‘Ajam.
Bukti awal kedewasaan intelektualnya adalah pencarian kekayaan intelektual yang luas. Pencarian intelektualnya yang paling awal adalah di kota asalnya yaitu Amul, disini telah tampak kemampuannya dimana dia telah hafal al-Qur’an pada usia tujuh tahun, menjadi imam salat pada usia delapan tahun dan telah menulis hadis pada usia sembilan tahun. Kemudian pergi ke kota Rayy (utara Teheran modern) untuk belajar hadis dan fiqih. Selanjutnya, ia berniat pergi ke Bagdad untuk belajar kepada Ahmad ibn Hambal, namun ia mendapat kabar tentang wafatnya Ahmad ibn Hambal sebelum tiba di kota yang ditujunya. Akhirnya ia memutuskan untuk mengalihkan perjalanannya ke Basrah. Disana dia bertemu dengan beberapa ulama seperti Muhammad ibn Musa al-Harasy, ‘Ammar ibn Musa al-Qazzaz dan banyak lagi.
Kufah, ternyata menjadi salah satu kota yang al-Tabari kunjungi untuk mendalami hadis dan ilmu yang berkaitan dengannya. Di kota ini al-Tabari banyak belajar kepada ulama-ulama terkemuka seperti Hanad ibn al-Suray, Isma`il ibn Musa, dia juga menerima 100.000 hadis dari Abu Kurayb Muhammad ibn al-A‘la seorang ulama di bidang hadis.
Selang beberapa waktu, kemudian al-Tabari bertekad untuk melanjutkan perjalanan intelektualnya ke Mesir. Namun sebelum itu, dia berkunjung ke Syam untuk belajar qira’at al-Qur’an kepada al-‘Abbas ibn al-Walid. Barulah setelah itu dia pergi ke Mesir pada tahun 253 H yaitu masa-masa awal pemerintahan Ahmad ibn Tulun. Disini al-Tabari bertemu dengan ulama-ulama termasyhur bermazhab Syafi’i, seperti al-Rabi` ibn Sulayman dan Ismail ibn Ibrahim al-Muzanni, juga bertemu dengan murid-murid Ibn Wahab yang mengkaji mazhab Maliki. Al-Tabari banyak melakukan diskusi-diskusi ilmiah. Di negeri ini juga al-Tabari bertemu dengan Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah, seorang pengarang kitab sirah.
Setelah itu al-Tabari kembali ke Bagdad dan menetap disana untuk mengajar dan mengarang kitab. Selama tinggal di Bagdad, ia pernah ditawari jabatan-jabatan penting di pemerintahan tapi dia menolaknya. Sikapnya itu membuat ia lebih mengkonsentrasikan diri dalam menggeluti berbagai disiplin ilmu. Keahliannya tidak hanya terbatas dalam bidang sejarah, fiqh, tafsir dan hadis tetapi juga dalam bidang sastra, tata bahasa, logika, matematika dan kedokteran. Setelah melakukan pengembaraan intelektual yang panjang ke beberapa pusat ilmu pengetahuan, mengajar kepada murid-muridnya dan mengarang banyak kitab, al-Tabari wafat pada tanggal 4 Syawwal 310 H di Bagdad pada usia 85 tahun dan dikebumikan disana.
2. Karya-Karya al-Tabari
Dalam dunia ilmu pengetahuan, al-Tabari dikenal sebagai ilmuwan yang tekun mendalami bidang-bidang yang dikuasainya, dan senantiasa menambah ilmu pengetahuan, sehingga dengan begitu banyak bidang ilmu yang dikuasainya. Lebih dari itu, al-Tabari mampu menuangkan ide-ide dan gagasannya tersebut ke dalam bentuk tulisan. Kitab karangannya mencakup berbagai disiplin ilmu seperti tafsir, hadis, fiqih, tauhid, dan ilmu-ilmu bahasa serta sejarah, ilmu hisab juga ilmu kedokteran.
Karya-karya al-Tabari tidak semuanya ada sampai saat ini. Diperkirakan banyak karyanya tentang hukum lenyap bersamaan dengan lenyapnya mazhab Jaririyah. Diantara karya-karyanya, yang paling populer adalah kitab Jami` al-Bayan `an Ta’wil Ayi al-Qur’an, dalam bidang tafsir, dan Tarikh al-Umam wa al-Muluk, dalam bidang sejarah. Diantara karya-karyanya yang masih ada sampai saat ini:
a. Tafsir :
1) Jami` al-Bayan `an Ta’wil Ayi al-Qur’an.
b. Qira’at :
1) Kitab Qira’at wa Tanzil al-Qur’an.
c. Hadis :
1) Tahzib al-Asar wa Tafsil al-Sabit ‘an Rasul Allah min al-Akhbar.
2) al-Musnad al-Mujarrad.
3) Kitab fi ‘Ibarat al-Ru’ya.
d. Fiqh :
1) Ikhtilaf ‘Ulum al-Amsar fi Ahkam Syara’i al-Islam.
2) Latif al-Qawl fi Ahkam Syara’i al-Islam.
3) al-Khafif fi Ahkam Syara’i al-Islam.
4) Kitab Mukhtasar Manasik al-Hajj.
5) Kitab Mukhtasar al-Fara’id.
6) Kitab fi al-Radd ‘ala ibn ‘Abd al-Hukm ‘ala al-Malik.
7) Kitab Basit al-Qawl fi Ahkam Syara’i al-Islam.
8) Kitab Adab al-Qudat.
9) Kitab fi al-Radd ‘ala zi al-Asfar.
10) Tabsir Uli al-Nuha wa Ma’alim al-Huda.
e. Usul al-Din :
1) Risalat al-Basir fi Ma’alim al-Din.
2) Risalat al-Musammah bi Sarih al-Sunnah.
3) Kitab al-Mujaz fi al-Usul.
4) Kitab Adab al-Nufus al-Jayyidah wa al-Akhlaq al-Nafisah.
f. Sejarah :
1) Tarikh al-Umam wa al-Muluk.
2) Kitab Zail al-Muzil.
3) Kitab Fada’il ‘Ali ibn Abi Talib.
4) Kitab Fada’il Abi Bakr wa ‘Umar.
5) Kitab Fada’il al-‘Abbasy.
3. Metode Penafsiran al-Tabari
Setiap penafsir menggunakan satu atau lebih metode dalam menafsirkan al-Qur’an. Pemilihan terhadap sebuah metode yang lebih menonjol tergantung pada kecenderungan dan sudut pandang penafsir serta latar belakang penafsir serta latar belakang keilmuan dan faktor lain yang melingkupi. Dengan kata lain, metode tafsir tertentu telah digunakan secara aplikatif oleh penafsir untuk kebutuhan penafsiran yang dimaksud. Hanya penggunaan metode-metode tersebut tidak dinyatakan dan dibahas secara eksplisit.
Metode-metode penafsiran al-Qur’an secara garis besar terbagi kepada empat metode: 1) Ijmali, 2) Tahlili, 3) Muqarin, 4) Mawdu’i. Berkaitan dengan metode-metode tafsir tersebut, tampaknya al-Tabari lebih cenderung menggunakan metode tafsir tahlili. Yang dimaksud dengan metode ini adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya serta menerangkan maknanya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan penafsir.
Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung suatu ayat seperti pengertian kosa kata, konotasi kalimatnya, latar belakang turun ayat, kaitan antara ayat yang dikaji dengan ayat-ayat yang lain baik sebelum maupun sesudahnya (munasabat), dan tak ketinggalan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi , sahabat, para tabi’in maupun ahli tafsir lainnya. Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk ma’sur (riwayat) atau ra’y (pemikiran).
Dalam tafsirnya, al-Tabari menggabungkan bentuk tafsir bi al-ma’sur dan tafsir bi al-ra’yi meskipun yang lebih menonjol adalah tafsir bi al-ma’sur. Dengan pertimbangan banyaknya hadis yang dimasukkan di dalamnya, sehingga tafsir ini dinilai secara partikular menjadi contoh penting tafsir bi al-ma’sur. Namun tafsir ini lebih dari sekedar koleksi dan kompilasi materi tafsir yang luas. Struktur karya yang sangat hati-hati menunjukkan dengan jelas pandangan dan penilaian yang sungguh-sungguh. Semua asumsi diatas didasarkan pada bentuk penafsiran al-Tabari yang meliputi:
a. Dalam kitab tafsirnya, al-Tabari meyakini bahwa ayat al-Qur’an dapat menjadi tafsiran atas ayat yang lain dan ini menjadi penafsiran yang terbaik diantara penafsiran-penafsiran yang ada. al-Tabari juga menuturkan riwayat-riwayat beserta sanadnya yang berkaitan dengan penafsiran suatu ayat, baik riwayat yang sahih atau yang tidak sahih. Ia terkadang mengeritiknya tapi terkadang membiarkannya. Setelah itu, ia menjelaskan penafsirannya sendiri tanpa mengikatnya, kecuali bila penafsiran itu sudah pasti benar.
b. al-Tabari menolak penafsiran yang berdasarkan otoritas pemikiran semata. Ia lebih mengedepankan penafsiran yang didasarkan pada penjelasan (riwayat) dari Nabi , sahabat, dan tabi`in.
c. Setelah al-Tabari menafsirkan dengan sejumlah riwayat hadis, berikutnya ia membahas arti kosa kata, susunan kalimat sekaligus menjelaskan aspek kebahasaan lainnya, yang dilengkapi bukti penguat, baik berupa syair, prosa atau bahasa yang masyhur di kalangan orang Arab jika dianggap perlu. Selain itu, al-Tabari juga menaruh perhatian yang cukup besar terhadap pandangan-pandangan ahli bahasa dari Basrah dan Kufah ketika menafsirkan al-Qur’an.
d. al-Tabari dalam tafsirnya juga mengupas masalah-masalah fiqih. Ia menyeleksi pernyataan-pernyataan fuqaha mazhab tertentu, kemudian memilih pendapat yang terbaik dan terjamin keabsahannya dengan mengemukakan alasan-alasan yang kuat.
e. Perhatiannya yang cukup besar terhadap masalah qira’at ketika menafsirkan al-Qur’an juga menjadi ciri khas al-Tabari yang membedakannya dengan penafsir-penafsir lain. al-Tabari termasuk salah seorang ulama di bidang qira’at karena pengetahuannya yang begitu luas di bidang qira’at tersebut.
f. Hal lain dari penafsirannya, di satu sisi al-Tabari menjauhi pembahasan-pembahasan yang kurang bermanfaat, namun disisi lain ia terlibat aktif dalam pembahasan masalah-masalah kalam. Diskusi-diskusi masalah kalam banyak dimunculkan ketika menafsirkan suatu ayat, dengan mengangkat pendapat-pendapat yang sejalan dengan pandangannya tapi juga sekaligus mengoreksi pandangan-pandangan kalam yang dianggapnya tidak sesuai dengan maksud teks ayat.
g. Kekhususan lainnya yang dimiliki kitab tafsir ini adalah penggunaan kata “ta’wil” pada saat mulai mengungkapkan pendapatnya sendiri tentang penafsiran ayat-ayat tertentu. Nampaknya al-Tabari menggunakan kata itu dalam pengertian “tafsir” sebagaimana umumnya digunakan penafsir lainnya.
B. AL-TABATABA’I DAN TAFSIRNYA
1. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikannya
Sayyid Muhammad Husayn al-Tabataba’i -seperti diakuinya sendiri dalam otobiografi singkatnya- dilahirkan di kota Tabriz, pada 29 Zulhijjah 1321 H/1892 M. Ia lahir dalam sebuah keluarga ulama dan keturunan Nabi Muhammad  yang selama empat belas generasi telah melahirkan ulama-ulama terkemuka. Ibunya meninggal ketika ia masih berumur lima tahun, empat tahun berselang kemudian ayahnya meninggal. Sejak itu, untuk melangsungkan kehidupan sehari-hari, seorang wali (pengurus harta peninggalan orang tua) menyerahkan al-Tabataba’i dan adik putrinya kepada seorang pelayan laki-laki dan seorang pelayan perempuan.
al-Tabataba’i memperoleh pendidikan dasar dan menengah pada sekolah resmi namun kemudian belajar melalui guru-guru privat yang datang ke rumah-rumah dimana ia belajar bahasa Parsi dan pelajaran-pelajaran dasar selama enam tahun. Pada saat itu al-Tabataba’i mendalami al-Qur’an dan karya-karya klasik tentang sastra dan sejarah melalui buku-buku Gulistan dan Bustan karya Sa`di. Juga tulisan-tulisan dan karya-karya lain dari penulis terkenal saat itu. Pada usia 20 tahun, ia belajar di Universitas Syi`ah di Najaf, menetap disana selama sepuluh tahun. Sebuah perjalanan intelektual yang panjang dilaluinya. al-Tabataba’i mempelajari fiqh dan usul fiqh kepada Muhammad Husayn al-Na`ini dan Muhammad Husayn al-Isfahani selama hampir sepuluh tahun. Mengenai kemampuan al-Tabataba’i dalam bidang fiqh dan usul fiqh ini, Sayyid Husayn Nasr memberikan penilaian, kalau saja ia tetap bertahan sepenuhnya dalam bidang tersebut, ia sebenarnya telah menjadi seorang mujtahid terkenal dan amat berpengaruh dalam bidang politik dan sosial.
Tetapi tampaknya ia memilih jalan lain dalam pengembaraan intelektualnya, karena dia juga belajar dengan penuh semangat semua seluk-beluk matematika tradisional dari Sayyid Abu al-Qasim al-Khawansari, dan mendalami filsafat islam tradisional melalui buku asy-Syifa karya Ibn Sina, Asfar dan Masya`ir karya Sadruddin Syirazi, Tahmid al-Qawaid karya Ibn Turkah dan Tahzib al-Akhlaq karya Ibn Miskawaih kepada Sayyid Husayn Badkubi.
Selain dalam bidang filsafat, ia juga mempelajari ilmu gramatika melalui Ketab Amsela dan Tasrif. Di bidang sintaksis, ia mempelajari Ketab-e ‘Avamel, Enmuzaj, Samadiya, Soyuti, Jami dan Mughanni. Mengenai retorika ia mempelajari Ketab-e Motavval; untuk fiqh, Syarh-e Lama’a dan Makaseb; tentang usul fiqh, Ketab-e Ma’alem, Qavanin, Rasa’il, dan Kafaya. Mengenai mantiq (logika), ia mempelajari Kobra, Hasyiya dan Syarh-e Syamsiya. Sedang di bidang teologi ia mempelajari kitab Kasyf al-Murad. Sumber-sumber bacaan Islam tradisional Syi`ah inilah yang banyak dikajinya.
Di bawah bimbingan Mirza ‘Ali al-Qadir, masa-masa hidup al-Tabataba’i tidak hanya dimanfaatkan untuk belajar tetapi juga sebagai wahana pencapaian berupa praktek-praktek kezuhudan dan kerohanian. Ia memanfaatkan waktunya dengan melakukan salat dan puasa, serta mengalami waktu jeda yang panjang dalam kondisi membisu.
Karena kesulitan ekonomi melilitnya, pada tahun 1935, al-Tabataba’i kembali ke kampung halamannya, Tabriz. Selama sepuluh tahun ia tinggal di Tabriz, yang ia rasakan sebagai masa kekeringan spiritual dalam kehidupannya, tidak bisa melakukan perenungan disebabkan kontak-kontak sosial dalam mencari penghidupan dengan bertani. Walaupun begitu, di tempat itu ia masih sempat menghasilkan beberapa karya ilmiah serta mengajar sejumlah kecil murid.
Terjadinya peristiwa menggemparkan dunia tahun 1945, yaitu Perang Dunia II dan pendudukan segara Iran oleh Rusia, mendorong al-Tabataba’i pindah dari Tabriz ke Qum, kota yang saat itu merupakan pusat keagamaan di Persia. Dengan cara yang sederhana, ia mengajarkan tafsir al-Qur’an yang belum pernah diajarkan di Qum. Di kota ini ia mengajarkan beratus-ratus mahasiswa dan melakukan pembaharuan di bidang pemikiran.
Usaha pembaharuan yang dilakukan al-Tabataba’i terlihat dari keteguhannya dalam mengedepankan gagasan filosofis Islam dan menentang pemikiran-pemikiran materialistik yang mulai membanjiri negara-negara Islam, termasuk Iran. Dengan komitmen yang demikian mendalam memegang nilai-nilai Islam, ia senantiasa menggencarkan pemikiran-pemikiran filsafat dan spiritual Islam. Ketika masa-masa inilah, al-Tabataba’i mulai menyibukkan diri dalam pengajaran tafsir al-Qur’an dan bergelut di dalamnya untuk waktu yang panjang.
Selain menulis, membimbing masyarakat, mengajarkan al-Qur’an dan filsafat-sejak kedatangannya di Qum- hari-harinya juga diisi dengan melakukan kunjungan di beberapa kota. Di kota Qum ini, menurut Husayn Nasr, ia mengajarkan pengetahuan dan pemikiran keislaman kepada tiga kelompok masyarakat. Pertama, murid-murid tradisional di kota Qum yang kemudian menyebar ke seluruh negara Iran, bahkan ke luar negri. Kedua, kelompok mahasiswa pilihan yang diajarinya ilmu ma’rifat dan tasawuf dengan suasana yang cukup akrab. Ketiga, orang-orang Iran yang berpendidikan modern, termasuk beberapa orang dari luar Iran, seperti Henry Corbin yang mengkhususkan belajar kepadanya di musim gugur.
al-Tabataba’i menggoreskan kepribadiannya yang agung dengan ilmu, perjuangan, kerja keras dan menulis. Jiwanya yang mulia dan intelektualnya yang cukup cemerlang telah memberikan pengaruh yang mendalam di kalangan intelektual tradisional dan modern di Iran. Dengan pembaharuan yang dilakukannya, ia dikenal sebagai tokoh yang berjasa dalam menciptakan elite intelektual baru di antara kelompok-kelompok yang berpendidikan modern, suatu kelompok yang disamping mempunyai perhatian dengan nilai-nilai Islam juga mempunyai wawasan tentang ilmu pengetahuan modern. Keluasaan wawasan intelektual al-Tabataba’i dapat diketahui antara lain dari karya-karya ilmiahnya dan penguasaan referensi dalam karya-karya yang ditekuninya.
Ketika Kenneth W. Morgan dari Universitas Colgate bermaksud memperoleh buku tentang Syi`ah –sebagai salah satu kegiatannya untuk “menyuguhkan” agama-agama Timur kepada Barat- dan meminta Sayyid Husayn Nasr mengawasi penulisan itu. Nasr memandang al-Tabataba’i yang paling memenuhi syarat untuk menulis buku semacam itu, suatu karya yang sepenuhnya otentik dari sudut pandang Syi`ah yang mampu menggabungkan ilmu fiqih, tafsir, filsafat, teosofi dan tasawuf, yang pada saat itu jumlah ulama yang menguasai disiplin tersebut diatas masih sedikit. Hasil dari usahanya untuk memenuhi permintaan Kenneth W. Morgan – yang ia kerjakan di tengah penulisan tafsir al-Mizan- yang kemudian diterbitkan, berjudul asy-Syi`ah fi al-Islam.
al-Tabataba’i melalui pembaharuan-pembaharuannya juga dinilai telah melahirkan tokoh-tokoh intelektual yang berhasil membawa perubahan dan kemajuan besar dalam kehidupan masyarakat Iran. Melalui didikannya, muncul tokoh-tokoh Islam seperti Murtadha Muthahhari, Ayat Allah Muntaziri, Muhammad Mufatih, Muhammad Bahisty, ‘Ali Quddusi, Javadi Amuli, Ansari, Nasr Makarim Syirazi dan Ja’far Subhani. Profil Al-Tabataba’i merupakan lambang kemajuan tradisi kesarjanaan dan pengetahuan Islam Syi`ah. Ia memberikan contoh dengan kehalusan budi, kerendahan hati dan pencarian kebenaran yang akhirnya mampu menghasilkan karya-karya orisinal.
al-Tabataba’i wafat pada tanggal 15 November 1981 di kota Qum dan dimakamkan disana, setelah lama dirundung sakit. Ratusan ribu orang termasuk para ulama dan pembesar serta tokoh-tokoh pejuang keagamaan menghadiri pemakamannya.
2. Karya-Karya al-Tabataba’i
Al-Tabataba’i merupakan salah seorang ulama yang menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan umum juga keagamaan; meliputi fiqh, usul fiqh, tasawuf sampai ilmu matematika dan filsafat. Sebagai seorang filosof, kecenderungannya terhadap filsafat bahkan sangat mewarnai karya-karya intelektualnya, termasuk dalam kitab tafsirnya, ¬al-Mizan Fi Tafsir al-Qur’an.
Selain tetap teguh belajar pada ulama-ulama besar, Al-Tabataba’i memulai kegiatan di bidang tulis menulis sejak masih berada di Najaf, diantara karya-karyanya pada saat di kota tersebut adalah:
a. Risalah fi al-Burhan (Risalah tentang Penalaran) berbahasa Arab.
b. Risalah fi al-Mugalatah (Risalah tentang Sofistri) berbahasa Arab.
c. Risalah fi al-Tahlil (Risalah tentang analisis) berbahasa Arab.
d. Risalah fi al-Tarkib (Risalah tentang susunan) berbahasa Arab.
e. Risalah fi al-I’tibariyyat (Risalah tentang Gagasan Asal-Usul Manusia) berbahasa Arab.
f. Risalah fi al-Nubuwwah wa al-Manamat (Risalah tentang Kenabian dan Mmpi-mimpi) berbahasa Arab.
Sedangkan buku-buku yang ditulis ketika ia bermukim di Tabriz adalah:
a. Risalah fi al-Asma’ wa al-Sifat (Risalah tentang Nama-nama dan Sifat Tuhan) berbahasa Arab.
b. Risalah fi al-Af’al (Risalah tentang Perbuatan-perbuatan Tuhan) berbahasa Arab.
c. Risalah al-Insan Qabla al-Dunya (Risalah tentang Manusia Sebelum di Dunia) berbahasa Arab.
d. Risalah al-Insan fi al-Dunya (Risalah tentang Manusia di Dunia) berbahasa Arab.
e. Risalah al-Insan Ba’da al-Dunya (Risalah tentang Manusia Setelah di Dunia) berbahasa Arab.
f. Risalah fi al-Wilayah (Risalah tentang Kekuasaan) berbahasa Arab.
g. Risalah fi al-Nubuwwah (Risalah tentang Kenabian) berbahasa Arab.
h. Kitab Silsilah al-Tabataba’i fi al-Ajrbaijan (Kitab Silsilah al-Tabataba’i di Azerbaijan) berbahasa Arab.
Kitab-kitab yang ditulisnya di Qum adalah:
a. al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, berbahasa Arab.
b. Usul al-Falsafah (Dasar-dasar Filsafat) berbahasa Persi.
c. Ta’liqat ‘Ala Kifayah al-Usul (Anotasi atas Kitab Kifayat al-Usul) berbahasa Arab.
d. Ta’liqat ‘Ala al-Asfar al-Arba’ah (Anotasi atas kitab al-Asfar al-Arba’ah) berbahasa Arab.
e. Risalah fi al-I’jaz (Risalah tentang Mu’jizat) berbahasa Persi.
f. Al-Syi`ah fi al-Islam (Islam Syi`ah) berbahasa Arab.
g. Al-Qur’an fi al-Islam (al-Qur’an dalam Islam) berbahasa Persi.
Keseluruhan karya-karya al-Tabataba’i mencapai sekitar 50 buah. Diantaranya berupa artikel-artikel yang dimuat oleh media massa. Tafsir al-Mizan yang terdiri dari 20 jilid merupakan karyanya yang paling besar dan monumental.
3. Metode Penafsiran al-Tabataba’i
Semenjak kepindahannya ke kota Qum, al-Tabataba’i banyak menyampaikan kuliah-kuliah di bidang tafsir kepada murid-muridnya. Namun kemudian murid-muridnya tersebut meminta al-Tabataba’i untuk membuat semacam karya tulis khusus di bidang tafsir. Atas desakan tersebut, akhirnya al-Tabataba’i memulai penulisan khusus di bidang tafsir semenjak tahun 1375 H/1956 M dan selesai pada tanggal 23 Ramadan 1392 H, sebanyak 20 jilid. Penulisan kitab tafsir ini membutuhkan waktu selama 17 tahun.
Ada pendapat, berkaitan penamaan tafsir ini dengan judul ”al-Mizan”, yang menyatakan bahwa nama itu dipakai karena dalam kitab tafsir ini banyak memuat pandangan-pandangan para penafsir, ahli fiqh, ahli bahasa, para filosof dan lainnya. al-Tabataba’i selanjutnya menimbang dan memilih pendapat yang lebih kuat serta menolak pandangan-pandangan yang dianggapnya lemah. Tampak dari uraian-uaraian yang telah disampaikan bahwa tafsir al-Mizan ini menggunakan metode tafsir tahlili. Semua asumsi tersebut didasarkan pada bentuk penafsiran al-Tabataba’i yang meliputi:
a. Dalam kitab tafsirnya, al-Tabataba’i memasukkan rujukan-rujukan yang beraneka ragam baik kepada kitab-kitab tafsir, hadis, sejarah, tata bahasa dan lainnya yang tidak hanya berasal dari rujukan-rujukan kalangan Syi`ah saja.
b. al-Tabataba’i menggunakan penafsiran suatu ayat atas ayat yang lain selama hal tersebut sesuai dengan mengkaji susunan kalimat dalam ayat-ayat tersebut. Dia juga memasukkan riwayat-riwayat yang membahas tafsiran suatu ayat selama riwayat tersebut mutawatir baik yang berasal dari Nabi atau para imam Ahl al-Bayt.
c. Perhatian terhadap masalah asbab al-nuzul, masalah qira’at, kaitan suatu ayat dengan ayat sebelum atau sesudahnya (munasabat), juga mengkaji pendapat-pendapat dari kalangan sahabat dan tabi’in menjadi pertimbangan al-Tabataba’i ketika menafsirkan suatu ayat.
d. Penolakan terhadap kisah-kisah Israiliyat dilakukan al-Tabataba’i, sehingga dia jarang mengutip kisah Israiliyat ketika menafsirkan al-Qur’an.
e. Menurut al-Tabataba’i, setiap ayat al-Qur’an dapat dipahami dari dua sisi, yaitu yang tersurat atau makna literal dari suatu ayat yang kemudian disebutnya sebagai aspek lahir dan pemahaman terhadap yang tersirat atau makna yang terdapat “di balik” teks ayat yang disebut aspek batin. Dia menggunakan istilah ta’wil, dalam kitab tafsirnya, untuk maksud mengarahkan kembali pada permulaan atau asalnya. Dengan ta’wil berarti berusaha memahami rahasia batin teks karena makna batinlah makna yang sesungguhnya dari al-Qur’an. Sebuah proses yang mengarahkan penemuan sesuatu dalam teks sebagaimana nampaknya ke pandangan esensi spiritual atau rahasia batinnya melalui tindakan spiritual atau intuitif. Oleh karena itu, ta’wil hanya bisa dilakukan oleh orang yang mempunyai otoritas dalam menerjemahkan agama, menurut al-Tabataba’i adalah Nabi  dan para imam Ahl al-Bayt.
f. Hal lain yang menjadi ciri khas kitab tafsir ini adalah adanya pembahasan masalah-masalah kefilsafatan, seperti menggunakan pendapat-pendapat al-Farabi dan Ibn Sina, selama pendapat tersebut sesuai dengan maksud ayat. Ini dilakukan al-Tabataba’i hanya sebagai penjelasan tambahan tapi terkadang menolak pendapat-pendapat filsafat yang bertentangan dengan makna yang terkandung dalam al-Qur’an.
g. Dengan latar belakang teologis yang dipegangnya, yaitu Syi`ah, al-Tabataba’i berusaha menyajikan penafsiran-penafsiran yang sejalan dengan paham Syi`ah Imamiyah serta meninggalkan paham yang tidak sesuai dengan keyakinan teologisnya.
BAB III
PENAFSIRAN AL-TABARI DAN AL-TABATABA’I
TENTANG “IMAM”
A. Tinjauan Umum Kata “Imam”
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “imam” mengandung beberapa pengertian, diantaranya seperti: (1) pemimpin salat (pada salat yang dilakukan secara bersama-sama; (2) pemimpin atau kepala; (3) (dipakai sebagai gelar yang berarti) pemimpin atau penghulu; (4) pemimpin mazhab; (5) paderi yang mempersembahkan kurban Misa atau pemimpin upacara gereja; (6) paderi.
Kata “imam” berasal dari kata “amma-ya’ummu”, أم – يؤم , yang terdiri dari huruf hamzah, mim dan mim. Kata ini memiliki arti menuju, bermaksud kepada, menumpu, meneladani dan menyengaja. Dari akar kata yang sama juga muncul beberapa makna lain, diantaranya:
1. Kata الأَم ُّ , dalam bentuk masdar, dengan huruf hamzah yang di-fathah, mempunyai makna:
a. Pergi menuju, seperti ucapan Ka`ab ibn Malik:
انطلقت أتأمم رسول الله (Saya pergi menuju rasul Allah ).
b. Mengenai atau melukai otaknya, seperti pada kalimat: أصاب أم رأسه .
2. Kata الأُ مُّ, dalam bentuk masdar, dengan huruf hamzah yang di-dammah, bermakna ibu. Kata tersebut juga bisa berarti asal, pangkal, sumber, induk, tempat tinggal atau tempat kediaman. Bila di-idafah-kan dengan sebuah kata lain punya beberapa arti, misalnya: أم الطريق (jalan besar), أم عريط (kalajengking), أم البيض (burung onta), أم الحبر (ikan gurita), أم النجوم (bintang bima sakti), أم الرأس (otak), أم القرأن (surat al-Fatihah), أم الرمح (bendera), أم القوم (kepala, pemimpin), أم الكتاب (al-Lawh al-Mahfud), dan seperti ungkapan: رأى بأم عينه (melihat dengan mata kepala sendiri).
3. Kata الأُ مَّةُ , dalam bentuk masdar, dengan huruf hamzah yang di-dammah, huruf mim tasydid yang di-fathah dan huruf akhir ta marbutah. Dalam bentuk jamak “أمم “(umamun) mempunyai arti: saat, waktu, umat, rakyat, bangsa, dan juga beberapa makna lain, seperti: القامة (tinggi badan), الوجه (wajah, muka), النشاط (ketangkasan), الطاعة (taat, setia), jalan besar, dan juga bermakna: الرجل الجامع للخير (seseorang yang terkumpul padanya kebaikan), من هو على الحق (orang yang berpegang pada kebenaran), الوطن (tanah air). Namun ketika di-idafah-kan dengan kata lain memiliki beberapa arti yang berbeda, misalnya: مجلس الأمة (majelis rendah), جمعية الأمم (Liga Bangsa-Bangsa), هيئة الأمم المتحدة (Perserikatan Bangsa-Bangsa).
4. Kata الإِ مَّةُ , dalam bentuk masdar, dengan huruf hamzah yang di-kasrah, huruf mim tasydid yang di-fathah dan huruf akhir ta marbutah. Kata ini berarti: hal menjadi imam ata hal mengikuti imam (menjadi makmum) dan beberapa arti lain, seperti: الدين (agama), النعمة (kenikmatan), غضارة العيش (kehidupan yang menyenangkan), الشأن و الحالة (perkara, keadaan), atau dapat juga bermakna الهيـئـة (bentuk).
5. Kata الأُ مَمِيُّ , berarti internasional atau الوثني (pemuja berhala).
6. Kata الأُ مِّيُّ , memiliki arti orang yang tidak dapat membaca dan menulis, atau bisa juga berarti: الغبي الجافى (orang bodoh dan kasar), الأمية (keibuan), atau الجهل (kebodohan).
7. Kata الإِ مَامَةُ , memiliki arti hal menjadi, sebagai imam atau bermakna الرئاسة العامة (imamah, khilafah).
8. Kata الإِ مَامُ , dalam bentuk masdar, dengan huruf hamzah yang di-kasrah, dan penambahan huruf alif diantara dua huruf mim. Dalam bentuk jamak أئـمـة , yang berarti “imam”. Kata ini juga memiliki beberapa makna, antara lain:
a. Pemimpin, قيم الأمر و المصلح له (pemimpin sebuah urusan dan yang memperbaiki urusan tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam Q. s. al-Tawbah (9): 12. فقاتلوا أئمة الكفر (Maka bunuhlah pemimpin-pemimpin orang kafir itu).
b. Setiap orang yang diikuti oleh sebuah kelompok masyarakat baik dalam kebenaran ataupun kesesatan.
c. Perumpaan atau contoh ( المثـال ) atau sesuatu yang dipelajari seorang siswa setiap hari. Seperti ungkapan: حفظ الصبي إمامه (seorang anak menghafal materi pelajarannya.
d. Penunjuk jalan bagi binatang ( الدليل ). Dapat dijumpai dalam kalimat, misal: إمام الإبل (penunjuk jalan bagi onta).
e. Jalan ( الطريق ). Seperti dalam Q. s. al-Hijr (15): 79. وإنهما لبإمام مبين (dan sesungguhnya keduanya berada pada jalan yang terang.
f. Arah kiblat ( تلقاء القبلة ).
g. Benang pelurus tukang batu (untuk meratakan bangunan). Sebagaimana dalam kalimat: قوم البناء على الإمام (Tegakkanlah atau luruskanlah bangunan tersebut dengan benang).
h. al-Quran al-Karim. Seperti ungkapan: القرآن إمام المسلمين .
9. Kata الأَ مَامُ , dengan huruf hamzah yang di-fathah, mempunyai arti di muka atau di hadapan). Seperti kata: أمام الرئيس (di hadapan kepala negara), إلى الأ مام (ke depan).
10. Kata الاَمَـمُ , berarti dekat atau perkara yang jelas.
Didalam al-Quran, kata “imam” disebutkan sebanyak tujuh kali dalam bentuk mufrad dan lima kali dalam bentuk jamak. Bentuk-bentuk kata “imam” tersebut memiliki beberapa versi makna, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran dan Terjemahnya, antara lain:
1. Imam, sebagai jalan umum, seperti yang tersebut dalam Q. s. al-Hijr (15): 79 ( وإنهما لمإمام مبين ).
2. Imam, sebagai Kitab Induk (al-Lawh al-Mahfud), surat Yasin (36): 12 (و كل شيء أحصيناه فى إمام مبين ).
3. Imam, sebagai gelar bagi seorang Nabi, terdapat pada: surat al-Baqarah (2): 124 ( قال إنى جاعلك للناس إماما ), surat al-Furqan (25): 74 (واجعلنا للمتقين إماما ).
4. Imam, sebagai kitab pedoman yang dipegang, disebutkan dalam: surat Hud (11): 17 (كتاب موسى إماما ورحمة ), surat al-Ahqaf (46): 12 (كتاب موسى إماما ورحمة).
5. Imam, sebagai pemimpin yang diikuti sebuah kelompok masyarakat, sebagaimana terdapat dalam: surat al-Isra’ (17): 71 ( يوم ندعو كل أناس بإمامهم ), al-Tawbah (9): 12 ( فقاتلوا أئمة الكفر ), al-Anbiya’ (21): 73 ( وجعلناهم أئمة يهدون ), al-Qasas (28): 5 (ونجعلهم أئمة ), dan ayat 41 (و جعلناهم أئمة يدعون ), dan surat al-Sajdah (32): 24 (و جعلنامنهم أئمة يهدون ).
Muhammad ibn Salih al-`Usaymin menjelaskan makna kata “imam” yang terdapat dalam hadis Nabi , dari jalur sahabat Abu Hurayrah, untuk maksud seorang pemimpin sebuah komunitas yang di dalamnya terdapat aturan perundangan berdasarkan syariat Islam, sebagaimana dalam hadis:
حدثنا محمد بن بشّار قال حدثنا يحيى عن عبيد الله قال حدثنى خبيب بن عبد الرحمن عن حفص بن عاصم عن أبى هريرة , عن النبي  قال: سبعة يظلهم الله فى ظله يوم لا ظل إلا ظله:الإ مام العادل, و شاب نشأ فى عبادة الله, ورجل قلبه معلق فى المساجد, ورجلان تحاباّ فى الله, اجتمع عليه وتفرق عليه, ورجل دعته امرأة ذات منصب وجمال, فقال:إنـى أخاف الله, ورجل تصدق بصدقة فأخفاها حتى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه, ورجل ذكر الله خاليا ففاضت عيناه. (متفق عليه )
Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad ibn Basysyar, dia berkata: Telah meriwayatkan pada kami Yahya ibn `Ubayd Allah, dia berkata: Telah meriwayatkan kepadaku Khubayb ibn `Abd al-Rahman dari Hafs ibn `Asim dari Abu Hurayrah , dari Nabi , beliau bersabda: Ada tujuh golongan yang kelak Allah akan melindungi dalam naungan-Nya  pada hari dimana tidak ada perlindungan kecuali dari-Nya , (yaitu): seorang pemimpin yang adil, dan pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah , dan seseorang yang hatinya selalu terpaut di masjid, dan dua orang yang saling mencintai karena Allah , keduanya bertemu karena Allah  dan berpisah karena Allah , dan laki-laki yang dirayu oleh wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan lalu dia berkata: “Sesungguhnya saya takut kepada Allah”, dan seseorang yang bersedekah lantas dia menyembunyikan sedekahnya tersebut sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang telah diberikan oleh tangan kanannya, dan seseorang yang mengingat Allah  dikala sepi sampai meneteskan air mata.
Kata “imam” dalam hadis diatas ditafsirkan dalam definisi secara terminologi. Sehingga pembahasan “imam” sering dikaitkan dengan pembahasan “imamah” atau kepemimpinan religius-politis dalam masyarakat Muslim. Syarif al-Jurjani menerangkan makna “imam” sebagai orang yang menjalankan kepemimpinan umum dalam urusan agama maupun politik. Menurut Imam al-Mawardi, “imam” atau “imamah” merupakan posisi pengganti kepemimpinan Nabi  yang mengemban tugas menjalankan kepemimpinan umum dan agama. Pengertian ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Muhammad Najib al-Muti`i dan ibn Khaldun yang menguraikan makna “imamah” sebagai usaha membawa masyarakat agar kembali kepada tuntunan ajaran Islam untuk kemaslahatan dunia dan akherat, karena masalah-masalah duniawi harus kembali kepada Allah  dengan mempertimbangkan kemaslahatan akherat, dengan begitu, pada hakekatnya “imam” merupakan pembawa ajaran Islam agar dapat menjaga keutuhan agama dan mengelola urusan-urusan dunia.
Dari uraian di atas, ruang lingkup bahasan “imam” akan berkembang pada “khalifah”, “wali” dan “amir al-mu’minin”. Akan tetapi penulis membatasi obyek kajian dalam penelitian ini hanya pada ayat ayat-ayat yang terkait dengan term “imam” saja.
B. Pandangan Penafsir tentang Makna “Imam”
1. Penafsiran al-Tabari tentang Makna “Imam”
Abad ketiga Hijriyah dianggap sebagai zaman keemasan bagi penulisan hadis-hadis Nabi . Karena pada masa ini telah lahir beberapa kitab hadis induk yang sampai saat ini masih terpelihara dengan baik dan dijadikan rujukan dalam pengambilan sumber rujukan ajaran Islam. Begitu juga dengan kitab tafsir yang ditulis oleh al-Tabari, Jami` al-Bayan `an Ta`wil Ayi al-Qur’an, dan menjadi rujukan penting bagi penafsir-penafsir setelahnya.
Dalam kitab tafsirnya, al-Tabari menafsirkan kata “imam” dengan beberapa versi makna yang berbeda. Secara umum dapat dikelompokkan sebagaimana berikut:
a. Pemimpin yang diikuti dalam kebaikan atau keburukan.
1) Q. s. al-Tawbah (9): 12
و إن نكثوا أيمانهم من بعد عهد هم وطعنوا فى دينكم فقاتلوا أئـمة الكفر إنهم لا أيمان لهم لعلهم ينتهون .
Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti.
al-Tabari menafsirkan kata ” أئـمة ” dalam ayat ini dengan ” رؤساء الكفر ” (pemimpin-pemimpin yang kafir) kepada Allah . Kemudian al-Tabari menambahkan beberapa penjelasan tentang perbedaan pendapat mengenai siapa sebenarnya pemimpin-pemimpin yang kafir tersebut dengan menukil beberapa riwayat, meskipun al-Tabari tidak memilih salah satu dari pendapat-pendapat tersebut dan beliau cenderung membiarkan pendapat-pendapat yang ada dalam riwayat sebagaimana berikut ini:
a) Riwayat dari Ibn `Abbas
حدثنى محمد بن سعد قال, حدثنى أبى قال, حدثنى عمى قال, حدثنى أبى, عن أبيه عن ابن عباس قوله:( و إن نكثوا أيمانهم من بعد عهد هم),إلى:( لعلهم ينتهون), يعنى أهل العهد من المشركين, سماهم ( أئـمة الكفر).
Meriwayatkan kepadaku Muhammad ibn Sa`d, dia berkata: Meriwayatkan kepadaku bapakku, dia berkata: Meriwayatkan kepadaku pamanku, dia berkata: Meriwayatkan kepadaku bapakku, dari bapaknya dari Ibn `Abbas tentang firman Allah : (Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji), sampai pada: (agar supaya mereka berhenti), maksudnya adalah “para juru runding perjanjian dari kaum musyrikin”.
b) Riwayat dari Qatadah
حدثنابشر قال, حدثنا يزيدقال, حدثنا سعيد, عن قتادة: ( و إن نكثوا أيمانهم من بعد عهد هم),إلى:( ينتهون), فكان من أئمة الكفر: أبو جهل بن هشام, و أمية بن خلف, و عتبة بن ربيعة, و أبو سفيان, و سهيل بن عمرو.
Meriwayatkan pada kami Bisyr, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Yazid, dia berkata: Meriwayatkan pada kami Sa`id, dari Qatadah: (Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji), sampai pada: (mereka berhenti), orang-orang yang termasuk dalam pemimpin-pemimpin yang kafir adalah: “Abu Jahl ibn Hisyam, Umayyah ibn Khalaf, `Utbah ibn Rabi`ah, Abu Sufyan dan Suhayl ibn `Amr”.
c) Riwayat dari al-Suddi
حدثنا القاسم قال, حدثنا الحسين قال, حدثنى حجاج قال, حدثنا أسباط, عن السدى: ( و إن نكثوا أيمانهم من بعد عهد هم),إلى:( ينتهون), هؤلاء قريش.
Meriwayatkan kepada kami al-Qasim, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami al-Husayn, dia berkata: Meriwayatkan kepadaku Hajjaj, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Asbat, dari al-Suddi: (Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji), sampai pada: (mereka berhenti), “mereka adalah orang-orang Quraysy”.
d) Riwayat dari al-Dahhak
حدثت عن الحسين بن الفرج قال, سمعت أبا معاذ قال, حدثنا عبيد قال, سمعت الضحاك يقول فى قوله: (فقاتلوا أئـمة الكفر),يعنى رؤساء المشركين, أهل مكة.
Saya telah meriwayatkan dari al-Husayn ibn al-Faraj, dia berkata: Saya mendengar Abu Mu`adz, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami `Ubayd, dia berkata: Saya mendengar al-Dahhak berkata tentang firman Allah : (Maka bunuhlah pemimpin-pemimpin orang kafir itu), maksudnya “pemimpin-pemimpin kaum musyrikin penduduk kota Mekah”.
e) Riwayat dari Huzayfah
حدثنا ابن وكيع قال, حدثنا أبو معاوية, عن الأعمش, عن زيد بن وهب, عن حذيفة: (فقاتلوا أئـمة الكفر), قال: ما قوتل أهل هذه الأية بعد.
Meriwayatkan kepada kami Ibn Waki`, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Abu Mu`wiyah, dari al-A`masy, dari Zayd ibn Wahb, dari Huzayfah: (Maka bunuhlah pemimpin-pemimpin orang kafir itu), dia berkata: “Pemimpin-pemimpin yang dimaksud dalam ayat ini tidak dibunuh”.
2) Q. s. al-Isra’ (17): 71
يوم ندعوا كل أناس بإمامهم فمن أوتي كتابه بيمينه فأولئــك يقرءون كتابهم ولا يظلمون فتيلا.
(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpin mereka, dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.
Ada perbedaan pendapat tentang makna “إمام ” dalam ayat ini. al-Tabari mengemukakan tiga penafsiran tentang maknanya dengan mengutip beberapa riwayat, yaitu:
a) Riwayat dari Mujahid
حدثنى يحيى بن طلحة اليربو عى, قال: ثنا فضيل, عن ليث, عن مجاهد (يوم ندعوا كل أناس بإمامهم) قال: نبيهم.
Meriwayatkan kepadaku Yahya ibn Talhah al-Yarbu’i, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Fudayl, dari Lays, dari Mujahid: (Pada hari dimana akan Kami panggil tiap umat dengan pemimpin mereka), dia berkata: “nabi mereka”.
b) Riwayat dari al-Hasan
حدثنا بشر, قال: ثنا يزيد,قال:ثنا سعيد, عن قتادة, عن الحسن (يوم ندعوا كل أناس بإمامهم) قال: بأعمالهم.
Meriwayatkan kepada kami Bisyr, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Yazid, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Sa`id, dari Qatadah, dari al-Hasan (Pada hari dimana akan Kami panggil tiap umat dengan pemimpin mereka), dia berkata: “dengan amal perbuatan mereka”.
حدثنا محمد, قال: ثنا محمد بن ثور,عن معمر, عن قتادة, قال:قال الحسن :بكتابهم الذى فيه أعمالهم.
Meriwayatkan kepada kami Muhammad, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Muhammad ibn Saur, dari Ma`mar, dari Qatadah, dia berkata: al-Hasan mengatakan: yaitu “dengan buku yang di dalamnya terdapat catatan amal perbuatan mereka”.
c) Riwayat dari Yahya ibn Zayd
حدثنى يونس, أخبرنا ابن وهب,قال:سمعت يحيى بن زيد فى قول الله  : (يوم ندعوا كل أناس بإمامهم)قال: بكتابهم الذى أنزل عليهم فيه أمر الله و نهيه و فرائضه.
Meriwayatkan kepadaku Yunus, meriwayatkan kepada kami Ibn Wahb, dia berkata: Saya mendengar Yahya ibn Zayd tentang firman Allah : (Pada hari dimana akan Kami panggil tiap umat dengan pemimpin mereka), dia berkata: yaitu “kitab suci yang telah diturunkan kepada mereka dan berisi perintah dan larangan serta aturan-aturan Allah”.
Dari ketiga riwayat diatas, yang menguraikan makna ” إمامهم ” sebagai: nabi, amal perbuatan atau kitab suci mereka. Al-Tabari mengemukakan pandangannya, bahwa makna kata “إمام ” yang paling tepat adalah pendapat yang menyatakan bahwa pada hari itu Kami panggil setiap umat dengan pemimpin-pemimpin yang mereka ikuti dan mereka jadikan teladan selama di dunia. Karena pada umumnya, penggunaan kata “imam” dalam bahasa Arab untuk menunjukkan kepada sesuatu atau seseorang yang diikuti atau dijadikan teladan. Menurutnya, mengarahkan makna-makna yang ada di dalam al-Quran kepada pendapat yang paling masyhur itu lebih baik selama belum ada pendapat yang bisa lebih mengkhususkan tafsiran makna kata tersebut.
3) Q. s. al-Furqan (25): 74
و الذ ين يقولون ربنا هب لنا من أزواجنا و ذرّيتنا قرة أعين و اجعلنا للمتقين إماما.
Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa”.
Ada perbedaan penafsiran tentang maksud dari kata “imam” yang terdapat dalam ayat ini. al-Tabari menelusuri beberapa riwayat tentang perbedaan tersebut, riwayat-riwayat itu antara lain sebagai berikut:
a) Riwayat dari Ibn `Abbas
حدثنى علىّ, قال: ثنا أبو صالح, قال: ثنى معاوية, عن علىّ, عن ابن عباس, قوله:( و اجعلنا للمتقين إماما) أئمة التقوى و لأهله يقتدى بنا.
Meriwayatkan kepadaku `Ali, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Abu Salih, dia berkata: Meriwayatkan kepadaku Mu`awiyah, dari `Ali, dari Ibn `Abbas tentang firman Allah: (Dan jadikanlah kami pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa), maksudnya: “pemimpin-pemimpin yang kami jadikan teladan dari orang-orang yang bertakwa”.
b) Riwayat dari Mujahid
حدثنا ابن بشار, قال: ثنامؤمل, قال: ثنا ابن عيينة, عن ابن أبى نجيح, عن مجاهد فى قوله: (و اجعلنا للمتقين إماما)قال: أئمة نقتدى بمن قبلنا, و نكون أئمة لمن بعدنا.
Meriwayatkan kepada kami Ibn Basysyar, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Mu’mal, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Ibn `Uyaynah, dari Ibn Abu Najih, dari Mujahid tentang firman Allah: (Dan jadikanlah kami pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa) dia berkata: “Pemimpin-pemimpin yang kami jadikan panutan dari orang-orang sebelum kami dan kelak kami menjadi panutan bagi orang-orang setelah kami”.
Kemudian al-Tabari menguraikan pendapatnya, bahwa yang dimaksud (و اجعلنا للمتقين إماما ) yaitu: permintaan agar Allah  menjadikan diri kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa bukan menjadikan seorang pemimpin dari orang yang bertakwa sebagaimana pendapat Ibn `Abbas. Beliau menjelaskan dengan analisa kebahasaan, yang mengikuti pendapat sebagian ahli bahasa dari Kufah dan Basrah, mengenai kata ” إماما ” yang berbentuk isim mufrad (tunggal) namun mengandung makna jamak.
4) Q. s. al -Qasas (28): 5
ونريد أن نمنّ على الذبن استضعفوا فى الأرض و نجعلهم أئمة ونجعلهم الوارثين.
Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas (Bani Isar’il) di bumi itu dan Kami hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka prang-orang yang mewarisi (bumi).
Pada ayat ini, kata ” أئمة ” diartikan sebagai pemimpin-pemimpin yang menguasai dan mengurus segala hal. Sebagaimana penafsiran Qatadah yang menyebutnya dengan ” ولاة الأمر “, para pemimpin yang berasal dari Bani Isra’il.
5) Q. s. al-Qasas (28): 41
وجعلنا هم أئمة يدعون إلى النار و يوم القيامة لا ينصرون.
Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong.
Kata “أئمة ” pada ayat diatas, menurut al-Tabari, untuk menunjuk kepada pemimpin-pemimpin yang mengajak kepada kesesatan, mereka adalah Fir`aun dan kaumnya serta orang-orang yang mengikuti langkah mereka.
6) Q. s. al-Sajdah (32): 24
وجعلنا منهم أئمة يهدون بأمرنا لماّ صبروا و كانوا بأياتنا يوقنون.
Dan Kami jadikan pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.
Ayat ini secara gamblang menyatakan, pemimpin-pemimpin yang diikuti dan dijadikan teladan dari kaum Bani Isra’il, karena ketaatan mereka kepada Allah  dan keyakinan mereka kepada ayat-ayat-Nya . Sebagaimana riwayat Qatadah menyebutkan:
حدثنا بشر, قال:ثنا يزيد, قال: ثنا سعيد, عن قتادة: (وجعلنا منهم أئمة يهدون بأمرنا) قال: رؤساء فى الخير.
Meriwayatkan kepada kami Bisyr, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Yazid, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Sa`id, dari Qatadah: (Dan Kami jadikan pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami) dia berkata: “Pemimpin-pemimpin dalam kebaikan”.
b. Imam (atribut bagi seorang Nabi)
1) Q. s. al-Baqarah (2): 124
و إذ ابتلى ابراهيم ربه بكلمات فأتمّهنّ قال إنـى جاعلك للناس إماما قال و من ذريتى قال لاينال عهدى الظالمين.
Dan (ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim”.
Pengangkatan dan penetapan Allah  bagi Nabi Ibrahim  sebagai imam yang diikuti dan dijadikan panutan bagi manusia. al-Tabari mengemukakan bahwa gelar “imam” yang Allah berikan hanya diperuntukkan bagi wali-wali Allah dan orang yang taat pada-Nya, bukan untuk musuh-musuh Allah dan orang-orang kafir.
2) Q. s. al-Anbiya’ (21): 73
و جعلنا هم أئمة يهدون بأمرنا و أوحينا إليهم فعل الخيرات و إقام الصلاة و إيتاء الزكاة وكانوا لنا عابدين.
Dan Kami telah menjadikan mereka itu sebagai imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan salat, menunaikan zakat dan hanya kepada Kami lah mereka selalu menyembah.
Ketika menafsirkan makna kata ” أئمة “, al-Tabari mengemukakan sebuah riwayat yang berasal dari Qatadah, bahwa mereka adalah imam-imam yang diikuti dalam kebaikan dan ketaatan. Berdasarkan penjelasan ayat sebelumnya, nabi-nabi yang diberi gelar “imam” adalah Ibrahim, Ishaq dan Ya`qub.
Gelar “imam” bagi nabi-nabi Allah , sebagaimana disebutkan pada dua ayat di atas, dalam pandangan al-Tabari menjadi atribut khusus bagi mereka karena menjadi panutan dan teladan manusia disebabkan perilaku mulia dan ketaatan kepada Allah .
c. Kitab pedoman bagi sebuah kaum.
1) Q. s. Hud (11): 17
أ فمن كان على بينة من ربـه ويتلوه شاهد منه ومن قبله كتاب موسى إماما و رحمة أولئــك يؤمنون به و من يكفر به من الأحزاب فالنار موعده فلا تك فى مرية منه إنه الحق من ربك ولكن أكثر الناس لا يؤمنون .
Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang ada mempunyai bukti yang nyata (al-Qur’an) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan sebelum al-Qur’an itu telah ada Kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat. Mereka itu beriman kepada al-Qur’an. Dan barangsiapa diantara mereka dan sekutunya yang kafir kepada al-Qur’an, maka nerakalah yang diancamkan baginya, karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadap al-Qur’an itu. Sesungguhnya (al-Qur’an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman.
2) Q. s. al-Ahqaf (46): 12
ومن قبله كتاب موسى إماما و رحمة وهذا كتاب مصدق لسانا عربيا لينذر الذ ين ظلموا و بشرى للمحسنين.
Dan sebelum al-Qur’an itu telah ada kitab Musa sebagai pedoman dan rahmat. Dan ini (al-Qur’an) adalah kitab yang membenarkannya dalam bahasa `Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang zalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
Pada dua ayat di atas, kata “إماما ” mempunyai makna untuk menunjuk sebuah kitab suci yang diturunkan Allah  kepada Nabi Musa , yaitu kitab Taurat, sebagai pedoman bagi Bani Isra’il dan sebagai rahmat bagi mereka.
d. Ummu al-Kitab
إنا نحن نحى الموت ونكتب ما قدموا وئاثارهم وكل شىء أحصيناه فى إمام مبين.
Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Ummu al-Kitab. [Q. s. Yasin (36): 12]
Mengomentari ayat di atas, al-Tabari mengemukakan, Ummu al-Kitab merupakan sebuah kitab yang di dalamnya berisi semua hal baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi dan ini hanya dimiliki oleh Allah . Sebagaimana sebuah riwayat yang berasal dari Qatadah berikut ini:
حدثنا بشر, قال: ثنا يزيد, قال: ثنا سعيد, عن قتادة, قوله (وكل شىء أحصيناه فى إمام مبين)يقول تعالى ذكره:وكل شىء كان أو هو كائن أحصيناه, فأثبتناه فى أم الكتاب وهو الإمام المبين.
Meriwayatkan kepada kami Bisyr, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Yazid, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Sa`id, dari Qatadah tentang firman Allah: (Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam imam yang jelas), maksudnya: “Dan segala sesuatu baik yang telah terjadi atau akan terjadi kami kumpulkan, lalu kami tetapkan dalam Ummu al-Kitab dan itulah al-imam al-mubin.
e. Jalan
Penafsiran al-Tabari terhadap kata “imam” dengan makna “jalan” hanya terdapat di satu tempat, yaitu pada surat al-Hijr (15): 79.
فانتقمنا منهم و إنهما لبإمام مبـين.
Maka Kami membinasakan mereka. Dan sesungguhnya kedua kota (kota kaum Lut dan Aykah) itu benar-benar terletak di jalan yang jelas.
Jalan yang dimaksud dalam ayat ini adalah jalan yang dipergunakan oleh sebuah kaum dalam perjalanan mereka. Sebagaimana Qatadah mengemukakan hal tersebut.
حدثنى يونس, قال: أخبرنا ابن وهب, قال: أخبرنا عمرو بن الحارث, عن سعيد بن أبي هلال, عن عمرو بن عبد الله, عن قتادة, أنه قال: (وإنهما): و إنّ مدينة أصحاب الأيكـة, ومدينة قوم لوط,(لبإمام): لبطريق يأتمون به فى سفرهم و يهتدون به.
Meriwayatkan kepadaku Yunus, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami Ibn Wahb, dia berkata: Meriwayatkan kepada kami `Amr ibn al-Haris, dari Sa`id ibn Abi Hilal, dari `Amr ibn `Abd Allah, dari Qatadah, dia berkata: (Dan sesungguhnya kedua kota itu): yaitu kota penduduk Aykah dan kota kaum Lut, (sungguh terletak di jalan): yaitu jalan yang mereka jadikan arah dan pedoman dalam perjalanan mereka.
Berdasarkan semua uraian di atas, penafsiran al-Tabari terhadap kata “إمام” yang terdapat di dalam al-Qur’an dapat dikelompokkan ke dalam beberapa versi makna, yaitu: a) Pemimpin yang diikuti dalam kebaikan atau keburukan, terdapat pada: [Q. s. al-Tawbah (9): 12], [Q. s. al-Isra' (17): 71], [Q.s. al-Furqan (25): 74], [Q. s. al- Qasas (28): 5 dan 41], [Q. s. al-Sajdah (32): 24]; b) Imam (atribut bagi seorang nabi), terdapat pada: [Q. s. al-Baqarah (2): 124], [Q. s. al-Anbiya' (21): 73]; c) Kitab pedoman bagi sebuah kaum, terdapat pada: [Q. s. Hud (11): 17] dan [Q. s. al-Ahqaf (46): 12]; d) Ummu al-Kitab, terdapat pada [Q. s. Yasin (36): 13; dan juga bermakna; e) Jalan, sebagaimana terdapat pada [Q. s. al-Hijr (15): 79].
2. Penafsiran al-Tabataba’i tentang Makna “Imam”
Dalam pandangan Syi`ah, imam atau imamah, termasuk tema pokok dari ajaran ini dan menjadi salah satu dari rukun iman yang jika seseorang mengingkari hal ini maka berarti orang tersebut telah meninggalkan ke-Islaman-nya.
al-Tabataba’i, sebagai salah seorang mufassir dari kalangan Syi`ah, memiliki pandangan-pandangan yang begitu kental dengan latar belakang teologisnya. Dalam kitab tafsirnya, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, dibahas secara panjang lebar tema “imam”. Menurutnya, sebuah organisasi yang ditegakkan di sebuah negeri untuk mengatur masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan tidaklah berjalan secara otomatis. Selama tidak ada individu-individu yang memiliki kemampuan mengelola, maka organisasi tersebut tidak akan bisa hidup, dan masyarakat tidak akan menikmati buah pemerintahan yang baik. Posisi kepemimpinan dalam masalah-masalah kea gamaan dan masyarakat Islam dikenal dengan istilah “imamah” dan pemegang posisi tersebut dinamakan “imam”.
Di antara makna “imam”, sebagaimana dikemukakan al-Tabataba’i, untuk maksud seorang pengganti Nabi  dalam mengemban risalah menegakkan budaya dan hukum-hukum agama dan membimbing umat manusia di jalan kebenaran. Secara umum penafsiran al-Tabataba’i terhadap kata “imam” di dalam al-Qur’an dapat dikelompokkan dalam beberapa versi makna, antara lain:
a. Kitab pedoman bagi sebuah kaum.
Di dalam al-Qur’an ada dua ayat yang memiliki susunan redaksi sama yang menyebut kata “إماما ” dengan makna kitab pedoman bagi sebuah kaum, sebagaimana disebutkan pada surat Hud (11): 17 dan surat al-Ahqaf (46): 12: (ومن قبله كتاب موسى إماما و رحمة ).
Kata “إماما ” pada potongan ayat di atas, berkedudukan sebagai hal untuk menjelaskan posisi Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa  dan dijadikan pedoman dan petunjuk setiap amal perbuatan kaum Bani Isra’il.
b. Jalan yang jelas
Menurut al-Tabataba’i, kata ” إمام ” yang terdapat pada al-Qur’an surat al-Hijr (15): 79, berarti jalan yang jelas (فانتقمنا منهم و إنهما لبإمام مبـين ).
Maka Kami membinasakan mereka. Dan sesungguhnya kedua kota (kota kaum Lut dan Aykah) itu benar-benar terletak di jalan yang jelas.
Allah  menjelaskan perilaku buruk dan kezaliman yang dilakukan penduduk kota Ashab al-Aykah, sebutan bagi kaum Nabi Syu`ayb  dan kaum Nabi Lut , lalu Allah  membinasakan mereka semua. al-Tabataba’i mengemukakan bahwa letak kedua kota tersebut berada di sepanjang jalan antara kota Madinah dan negeri Syam.
c. al-Lawh al-Mahfud
Di dalam al-Qur’an surat Yasin (36): 12, disebutkan kata ” إمام ” yang ditafsirkan dengan makna al-Lawh al-Mahfud, yang merupakan sebuah kitab berisi ketetapan-ketatapan Allah  bagi makhluk-Nya  dan segala hal yang ada di alam semesta ini. Menurut al-Tabataba’i, kitab ini juga memiliki beberapa nama lain seperti: Ummu al-Kitab, al-Kitab al-Mubin, atau al-Imam al-Mubin. Namun al-Tabataba’i menolak pendapat yang menafsirkan kata ” إمام ” dengan makna “catatan amal perbuatan manusia” atau pendapat yang menyatakan bahwa ” الإمام المبين ” adalah pengetahuan Allah yang terdahulu, karena dua pandangan ini tidak sesuai dengan sifat al-Lawh al-Mahfud, sebagaimana yang telah beliau kemukakan.
d. Contoh dalam kebaikan
Pada surat al-Furqan (25): 74, (و اجعلنا للمتقين إماما ), al-Tabataba’i menerjemahkan kata “imam” dengan makna “contoh”. Tema ayat ini mengisahkan sifat orang-orang yang mendapat kemuliaan, mereka memohon agar Allah  menjadikan mereka sebagai contoh bagi orang-orang bertakwa dalam hal mencari kebaikan dan rahmat Allah , sehingga orang-orang bertakwa tersebut mau mengikuti mereka.
Sebuah qira’at yang berasal dari ahl al-Bayt menyebutkan redaksi yang berbeda, و اجعل لنا من المتقين إماما (Dan jadikanlah untuk kami seorang (figur) contoh dari orang-orang yang bertakwa). Namun, menurut al-Tabataba’i, qira’at ini dianggap tidak masyhur di kalangan umat Islam.
e. Yang awal atau depan
1) Q. s. al-Tawbah (9): 12
Orang-orang yang awal atau lebih dahulu dalam bersikap kafir dengan apa yang telah Allah , inilah makna kata ” أئمة ” yang dipergunakan al-Tabataba’i ketika membahas ayat yang terdapat pada surat ini.
و إن نكثوا أيمانهم من بعد عهد هم وطعنوا فى دينكم فقاتلوا أئـمة الكفر إنهم لا أيمان لهم لعلهم ينتهون .
Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah orang-orang yang paling awal pada kekafiran, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti.
Dalam ayat ini, Allah  menggunakan kata ” أئمة الكفر ” bagi orang-orang yang paling awal atau terdahulu dalam ke-kufur-an kepada ayat-ayat Allah  sehingga orang-orang mengikuti jejak mereka dalam kekafiran. Perintah untuk membunuh mereka dimaksudkan sebagai upaya untuk mengehentikan perilaku buruk mereka berupa melanggar janji dan kesepakatan yang telah dibuat.
al-Tabataba’i menyebutkan beberapa riwayat, di antaranya yang berasal dari `Ali ibn Abi Talib tentang orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok ” أئمة الكفر ” :
و فى أمالى المفيد بإسناده عن أبى عثمان مؤذن بنى قصي قال: سمعت علىبن أبى طالب  حين خرج طلحة والزبير على قتاله: عذرنى الله من طلحة والزبير, بايعاني طائعين غير مكرهين ثم نكثا بيعتى من غير حدث حدثته ثم تلا هذه الأية: (و إن نكثوا أيمانهم من بعد عهد هم وطعنوا فى دينكم فقاتلوا أئـمة الكفر إنهم لا أيمان لهم لعلهم ينتهون ).
Dalam kitab Amali al-Mufid dengan sanadnya dari Abu `Usman, muazzin Bani Qusay berkata: Saya mendengar `Ali ibn Abi Talib, ketika Talhah dan al-Zubayr akan membunuhnya, berkata: Allah telah memperingatkan saya tentang Talhah dan al-Zubayr, keduanya telah ber-bay`at untuk taat dan tidak melanggarnya tapi kemudian keduanya merusak bay`at tanpa memberitahukan sebagaimana aku telah mengatakannya, kemudian membaca ayat ini: (Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah orang-orang yang paling awal pada kekafiran, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti).
2) Q. s. al-Qasas (28): 41
Menurut al-Tabataba’i, makna kata ” أئمة ” pada ayat ini adalah orang-orang yang paling awal dan terdahulu dalam kesesatan dan diikuti oleh orang-orang setelahnya dalam perilaku kafir serta berbuat maksiat kepada Allah . al-Tabataba’i mengutip sebuah riwayat dari kitab al-Kafi, sebagaimana berikut:
عن طلحة بن زيد عن أبي عبد الله  قال: إنّ الأئمة في كتاب الله  إمامان. قال الله  : (و جعلنا هم أئمة يهدون بأمرنا )لا بأمر الناس يقدمون أمر الله قبل أمرهم و حكم الله قبل حكمهم. قال: (وجعلنا هم أئمة يدعون إلى النار ) يقدمون أمرهم قبل أمر الله و حكمهم قبل حكم الله و يأخذون بأهوائهم خلاف ما فى كتاب الله .
Dari Talhah ibn Zayd, dari Abu `Abd Allah  dia berkata: Sesungguhnya imam di dalam al-Qur’an terbagi dua. Allah berfirman: (Dan Kami jadikan imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami) bukan dengan perintah manusia, mereka mendahulukan perintah Allah daripada perintah manusia dan hukum Allah daripada hukum manusia. Dia berkata: (Dan Kami jadikan mereka imam-imam yang menyeru (manusia) ke neraka) mereka mendahulukan perintah manusia daripada perintah Allah dan hukum manusia daripada hukum Allah dan menggunakan hawa nafsu mereka yang menyelisihi al-Qur’an.
f. Pemimpin yang diikuti dalam kebaikan dan keburukan
Dalam kitab tafsirnya, al-Tabataba’i menafsirkan kata “imam” dengan makna pemimpin yang diikuti apakah dalam kebaikan ataupun keburukan, pada tiga ayat yang berbeda, yaitu:
1) Q. s. al-Isra’ (17): 71
يوم ندعوا كل أناس بإمامهم فمن أوتي كتابه بيمينه فأولئــك يقرءون كتابهم ولا يظلمون فتيلا.
(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpin mereka, dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.
Yang dimaksud kata إمام , dalam ayat ini adalah pemimpin. Pada hari kiamat, Allah  akan memanggil setiap manusia bersama orang-orang yang mereka jadikan pemimpin. Ada dua tipe pemimpin yang dijadikan panutan, yaitu pemimpin dalam kebaikan dan pemimpin dalam kesesatan. al-Tabataba’i menolak pendapat yang menafsirkan kata “imam” dalam ayat ini dengan makna nabi yang menjadi pemimpin setiap umat, karena seseorang yang dijadikan panutan bukan hanya dalam kebenaran tapi juga bisa dalam kesesatan.
Ada beberapa versi penafsiran dalam memahami kata “imam” dalam ayat ini, antara lain:
a) Kitab suci yang dijadikan pedoman, seperti Taurat, Injil dan al-Qur’an.
b) Nabi atau setan, jika nabi mengajak di jalan yang benar maka setan mengajak pada kesesatan.
c) Buku catatan amal perbuatan manusia.
d) Ibu-ibu mereka, karena kata إمام dengan kata الأم (ibu), memiliki akar kata yang sama.
e) Segala sesuatu yang diikuti baik dalam kebenaran ataukah kesesatan. Makan ini lebih bersfat umum, karena apa saja yang diikuti maka dia lah yang akan menjadi “imam”, seperti: nabi, wali, setan, agama, buku yang dijadikan pedoman ataupun pola hidup yang dijalani.
Uraian di atas menggambarkan keluasan pemahaman al-Tabataba’i tentang penafsiran-penafsiran yang berbeda pada sebuah ayat. Namun demikian, al-Tabataba’i cenderung memahami makna “imam” dalam ayat ini dengan makna pemimpin yang diikuti. Hal ini sesuai dengan riwayat yang berasal dari jalur sanad Ahl al-Bayt:
عن إسماعيل بن همام عن أبي عبد الله  فى قول الله: (يوم ندعوا كل أناس بإمامهم ) فال: إذا كان يوم القيامة قال الله:أليس العدل من ربكم أن يولوا كل قوم من تولوا ؟ قالوا: بلى. فيقول: تميزوا فيتميزوا.
Dari Isma`il ibn Hammam, dari Abu `Abd Allah tentang firman Allah: (Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpin mereka) dia berkata: Pada hari kiamat kelak, Allah berkata: Bukankah keadilan itu dari Tuhan kamu semua agar setiap kamu menyerahkan urusan pada orang yang memimpin mereka? Mereka menjawab: Benar. Maka Allah berkata: Berpencarlah kamu semua, maka mereka berpencar secara berkelompok.
Panggilan Allah pada hari kiamat tidak hanya memanggil nama-nama pemimpin mereka saja, namun juga menghadirkan pemimpin-pemimpin tersebut.
2) Q. s. al-Qasas (28): 5
ونريد أن نمنّ على الذبن استضعفوا فى الأرض و نجعلهم أئمة ونجعلهم الوارثين.
Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas (Bani Isar’il) di bumi itu dan Kami hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka prang-orang yang mewarisi (bumi).
Menurut al-Tabataba’i, kata ” أئمة ” pada ayat ini untuk menunjuk pemimpin-pemimpin yang dipilih Allah  bagi orang-orang yang tertindas (Bani Isra’il). Karunia yang diberikan Allah bagi kaum Bani Isra’il berupa kenikmatan dan keselamatan dari penindasan Fir`awn dan bala tentaranya.
Sebuah riwayat yang berasal dari kalangan Syi`ah menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat ini:
عن محمد بن سنان عن المفضل بن عمر قال: سمعت أبا عبد الله  يقول: إنّ رسول الله  نظر إلى على والحسن والحسين عليهم السلام فبكى وقال: أنتم المستضعفون بعدى. قال المفضل: فقلت له: ما معنى ذلك؟ قال: معناه أنكم الأئمة بعدى, إنّ الله  يقول:( ونريد أن نمنّ على الذبن استضعفوا فى الأرض و نجعلهم أئمة ونجعلهم الوارثين) فهذه الآية جارية فينا إلى يوم القيامة.
Dari Muhammad ibn Sinan, dari al-Mifdal ibn `Umar, dia berkata: Saya mendengar Abu `Abd Allah berkata: Sesungguhnya rasul Allah melihat kepada `Ali, al-Hasan dan al-Husayn lalu dia menangis seraya berkata: Kamu semua adalah orang-orang yang tertindas pada masa setelahku. Al-Mifdal berkata: Saya bertanya kepada Abu `Abd Allah: Apa maksud hal tersebut? Dia menjawab: Maksudnya kamu semua menjadi imam-imam setelahku, karena Allah berfirman: (Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas (Bani Isar’il) di bumi itu dan Kami hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka prang-orang yang mewarisi (bumi)), dan ayat ini berlaku bagi kami sampai hari kiamat.
Dalam riwayat di atas, al-Tabataba’i menambahkan penafsiran dari kalangan Ahl al-Bayt, bahwa ada imam-imam dari kalangan Syi`ah yang mendapatkan penindasan namun mereka dipilih Allah untuk menjadi pemimpin-pemimpin yang diikuti.
3) Q. s. al-Sajdah (32): 24
Senada dengan bahasan yang terdapat pada surat al-Qasas (28): 5. Dalam ayat ini, al-Tabataba’i mengemukakan tentang pengangkatan pemimpin yang mengajak kaumnya kepada kebaikan. Karena Allah akan menjadikan pemimpin-pemimpin yang berasal dari kalangan mereka sendiri (Bani Isra’il), yaitu pemimpin-pemimpin yang memiliki sifat sabar dan memegang keyakinannya dengan ayat-ayat Allah .
وجعلنا منهم أئمة يهدون بأمرنا لماّ صبروا و كانوا بأياتنا يوقنون.
Dan Kami jadikan pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.
g. Gelar “imam”, bagi nabi-nabi dan penerus risalah kenabian
1) Q. s. al-Baqarah (2): 124
Dalam ayat ini, Allah  menjelaskan tentang ujian-ujian kepada Nabi Ibrahim , sebagaimana disebutkan dengan menggunakan redaksi: و إذ ابتلى ابراهيم ربه بكلمات (Dan (ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan)). Di antara ujian yang dibebankan kepada Nabi Ibrahim antara lain: membangun Ka’bah, membersihkan Ka’bah dari kesirikan, mengorbankan Isma`il, dan menghadapi raja Namruz. Kemudian diikuti dengan kata ” فأتمهنّ ” yang membuktikan selesainya semua ujian yang dibebankan kepada Nabi Ibrahim tersebut.
Menurut al-Tabataba’i, ayat ini menjadi tanda tentang anugerah Allah  kepada Nabi Ibrahim berupa pemberian status “imam”. Gelar ini diperoleh Ibrahim  Ibrahim pada masa-masa akhir dari kehidupannya, yaitu setelah kelahiran Isma’il dan Ishaq serta mereka tinggal di Mekah. Sehingga susunan redaksi ayat tersebut menyatakan:
قال إنـى جاعلك للناس إماما قال و من ذريتى
Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi manusia. Ibrahim berkata: (Dan Saya mohon juga) dari keturunanku.
Kata “إماما ” sebagai gelar bagi nabi karena dijadikan teladan dan manusia mengikuti dan malaksanakan ajaran-ajaran yang disampaikan Nabi Ibrahim .
Dalam bahasan “imam” ini, al-Tabataba’i merumuskan beberapa hal penting yang menjadi keyakinan kalangan Syi`ah, rumusan tersebut antara lain:
a) Gelar “imam” merupakan pemberian dari Allah.
b) Seorang “imam” wajib bersifat ma`sum (terbebas dari dosa dan maksiat).
c) Selama manusia berada di muka bumi, keberadaan seorang “imam” merupakan sebuah keniscayaan.
d) Seorang “imam” ditentukan oleh Allah.
e) Seorang “imam” dapat mengetahui perbuatan-perbuatan manusia.
f) “Imam” perlu mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan manusia untuk kebahagiaan mereka di dunia dan akherat.
g) Seorang “imam” harus melebihi manusia biasa dalam keutumaan moral.
Uraian di atas menegaskan bahwa maqam tertinggi dari seorang manusia adalah ketika dia menjadi seorang “imam”. al-Tabataba’i menyebutkan sebuah riwayat yang berasal dari Ja`far al-Sadiq, salah seorang “imam” kalangan Syi`ah, sebagaimana berikut:
عن الصادق  : إنّ الله  اتخذ إبراهيم عبدا قبل أن يتخذه نبيا, و إنّ الله اتخذه نبيا قبل أن يتخذه رسولا, و إنّ الله اتخذه رسولا قبل أن يتخذه خليلا, و إنّ الله اتخذه خليلا قبل أن يتخذه إماما, فلما جمع له الأشياء قال: ( إنـى جاعلك للناس إماما) قال : فمن عظمها فى عين إراهيم قال: ( و من ذريتى قال لا ينال عهدى الظالمين) قال: لا يكون السفيه إمام التقيّ.
Dari al-Sadiq: Sesungguhnya Allah menjadikan Ibrahim sebagai hamba sebelum menjadikannya seorang nabi, dan Allah menjadikannya nabi sebelum menjadikannya seorang rasul, lalu Allah menjadikannya rasul sebelum menjadikannya seorang kekasih, kemudian Allah menjadikannya kekasih sebelum menjadikannya seorang imam, dia berkata: (Sesungguhnya Aku akan menjadikan kamu seorang imam bagi manusia), dan inilah (status “imam”) yang terbesar dalam diri Ibrahim, al-Sadiq berkata: (Dan dari anak keturunanku. Allah berfirman: Janji-Ku ini tidak mengenai orang-orang yang zalim) orang bodoh tidaklah menjadi imam bagi orang yang bertakwa.
2) Q. s. al- Anbiya’ (21): 73
Kata ” أئمة ” dalam ayat ini, merupakan bentuk pernyataan Allah bahwa Dia akan mengangkat nabi-nabi sebagai “imam” yang diikuti dan dijadikan teladan. Khususnya adalah nabi Ibrahim, Ishaq dan Ya`qub, sebagaimana disebutkan dalam redaksi ayat:
وجعلناهم أئمة يهدون بأمرنا
Dan Kami menjadikan mereka (Ibrahim, Ishaq dan Ya`qub) sebagai imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami.
Redaksi ayat ” يهدون بأمرنا” yang disebutkan setelah kata ” أئمة ” menjelaskan keberadaan imam-imam yang ditunjuk Allah, ketika melakukan aktivitas kebaikan memperoleh hidayah langsung dari Allah, sehingga seorang “imam” pasti bersifat ma`sum dari kesesatan dan dosa-dosa maksiat.
Berdasarkan semua uraian di atas, penafsiran al-Tabataba’i terhadap kata “إمام”, baik dalam bentuk tunggal maupun jamak, yang terdapat di dalam al-Qur’an dapat dikelompokkan ke dalam beberapa versi makna, yaitu: a) Kitab pedoman sebuah kaum, terdapat pada: [Q. s. Hud (11): 17] dan [Q. s. al-Ahqaf (46): 12]; b) Jalan yang jelas, terdapat pada: [Q. s. al-Hijr (15): 79]; c) al-Lawh al-Mahfud, terdapat pada: [Q. s. Yasin (36): 12]; d) Contoh dalam kebaikan, terdapat pada: [Q. s. al-Furqan (25): 74]; e) Yang awal atau depan, terdapat pada: [Q. s. al-Tawbah (9): 12] dan [ Q. s. al-Qasas (28): 41]; f) Pemimpin yang diikuti dalam kebaikan atau keburukan, terdapat pada: [Q. s. al-Isra' (17): 71], [Q. s. al-Qasas (28): 5] dan [Q. s. al-Sajdah (32): 24]; g) Gelar “imam” , bagi nabi-nabi dan penerus risalah kenabian, terdapat pada: [Q. s. al-Baqarah (2): 124] dan [Q. s. al-Anbiya' (21): 73].
C. Analisa Komparatif Penafsiran “Imam”
Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang di dalamnya terdapat kata “imam” dari dua mufassir dengan latar belakang pola pemikiran yang berbeda menghasilkan pandangan-pandangan yang sama di satu sisi, namun di sisi lain memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut di antaranya disebabkan oleh perbedaan orientasi penafsiran yang berbeda atau kerena terpengaruh dengan spesialisasi keilmuan sang mufassir.
Melihat begitu luasnya ruang lingkup dan wilayah kajian yang akan dibahas. Penelitian ini berusaha menganalisa persamaan dan perbedaan penafsiran Muhammad ibn Jarir al-Tabari dan Muhammad Husayn al-Tabataba’i terhadap ayat-ayat yang menyebutkan kata “imam”.
1. Persamaan Penafsiran “Imam” antara al-Tabari dan al-Tabataba’i
a. Persamaan dari Aspek Metode Penafsiran
Dua karya tafsir besar, Muhammad ibn Jarir al-Tabari dengan karyanya Jami` al-Bayan `an Ta’wil Ayi al-Qur’an dan Muhammad Husayn al-Tabataba’i dengan karyanya al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, memiliki beberapa persamaan. Keduanya menggunakan metode penafsiran yang sama yaitu metode tahlili, namun keduanya memiliki orientasi dan corak penafsiran yang berbeda, maka hasil penafsirannya pun berbeda.
Persamaan yang lain, misalnya dalam penggunaan riwayat dan penjelasan tata bahasa, namun dengan porsi yang berbeda. Sebagian besar penafsiran al-Tabari dengan mengutip riwayat-riwayat yang berasal dari sahabat atau generasi sesudahnya. Sedangkan al-Tabataba’i hanya memilih riwayat-riwayat yang mutawatir dari Nabi  atau imam-imam Ahl al-Bayt.
b. Persamaan dari Aspek Substansi Penafsiran
Ada persamaan dari aspek substansi antara penafsiran al-Tabari dan al-Tabataba’i terhadap kata “imam” di dalam al-Qur’an. Persamaan tersebut ada pada beberapa ayat, antara lain:
1) Q. s. Yasin (36): 12
Ketika menguraikan makna “imam” yang terdapat dalam ayat ini, baik al-Tabari dan al-Tabataba’i menerjemahkannya dengan sebuah kitab yang memuat dan mencatat segala sesuatu di alam semesta ini dan hanya dimiliki Allah . Kitab tersebut dinamakan Ummu al-Kitab atau al-Lawh al-Mahfud.
2) Q. s. al-Hijr (15): 79
Kedua mufassir sama-sama menafsirkan kata “imam” yang terdpat dalam ayat ini dengan makna “jalan”. Jalan yang menunjukkan letak keberadaan kota penduduk Ashab al-Aykah dan kota kaum Nabi Lut .
3) Q. s. Hud (11): 17 dan Q. s. al-Ahqaf (46): 12
Baik al-Tabari maupun al-Tabataba’i menafsirkan “imam” pada ayat ini dengan makna “pedoman”. Sebuah kitab pedoman yang diturunkan kepada Nabi Musa , yaitu kitab al-Taurat.
4) Q. s. al-Isra (17): 71; Q. s. al-Qasas (28): 5 dan Q. s. al-Sajdah (32): 24
Makna kata “imam” yang terdapat pada ketiga ayat ini adalah “pemimpin”. Namun, yang terdapat pada surat al-Isra (17): 71, disifati dengan pemimpin yang diikuti oleh sebuah kaum baik dalam kebenaran atau kesesatan. Sedangkan dua ayat yang lain, baik al-Tabari maupun al-Tabataba’i, menjelaskan tentang pemimpin dalam kebaikan yang Allah  tunjuk dari kaum Bani Isra’il.
Berdasarkan uraian di atas, al-Tabari dan al-Tabataba’i memiliki kesamaan pandangan ketika menafsirkan kata “imam” dan bentukannya yang terdapat dalam al-Qur’an pada tujuh ayat, yaitu “imam” yang bermakna: Ummu al-Kitab, jalan, kitab pedoman dan pemimpin yang diikuti dalam kebaikan atau keburukan.
Adanya persamaan pandangan kedua mufassir dilatarbelakangi oleh kesamaan ayat-ayat yang dibahas dan secara kebetulan akar permasalahan yang diangkat juga sama meskipun cara pengungkapannya sedikit berbeda sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang pola pikir masing-masing.
2. Perbedaan Penafsiran “Imam” antara al-Tabari dan al-Tabataba’i
a. Perbedaan dari Aspek Metode Penafsiran
Dari pembahasan mengenai makna “imam” menurut penafsiran al-Tabari dan al-Tabataba’i, disamping ada kesamaan penafsiran tetapi ada beberapa perbedaan yang nyata antara kedua mufassir tersebut.
al-Tabari, seorang mufassir dari generasi salaf berbeda dengan al-Tabataba’i yang termasuk dalam mufassir generasi khalaf. Dalam kitab tafsirnya, Jami` al-Bayan `an Ta’wil Ayi al-Qur’an, al-Tabari menggunakan metode tahlili yang menafsirkan al-Qur’an berdasarkan susunan mushafi. Orientasi penafsiran yang dipergunakannya merupakan gabungan orientasi penafsiran bi al-ma’sur dan bi al-ra’y, meskipun orientasi penafsiran bi al-ma’sur lebih dominan.
Penggunaan riwayat dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an menjadi salah satu kekhasan al-Tabari dibandingkan dengan ulama-ulama tafsir yang lain. Ketika menyajikan riwayat, al-Tabari selalu menyebutkan jalur periwayatan secara lengkap dan berurutan meskipun sikapnya terhadap riwayat yang dia kutip berbeda-beda. Terkadang al-Tabari memberikan kritikan, penilaian serta analisanya terhadap riwayat tersebut, atau memilih dari beberapa riwayat yang sekiranya bertentangan, namun tidak jarang al-Tabari seolah-olah membiarkan riwayat-riwayat tersebut. Sikap kritis al-Tabari terhadap sebagian riwayat yang diterimanya ini, terutama bila riwayat-riwayat itu berkaitan dengan persoalan yaang bertentangan dengan prinsipnya. Dari dua belas ayat di dalam al-Qur’an yang menyebutkan kata “imam”, pada sembilan ayat al-Tabari menafsirkannya dengan menggunakan riwayat.
Dalam pandangan al-Tabari, tafsir yang baik haruslah memperhatikan apa yang disampaikan sahabat Nabi  dan generasi-generasi sesudahnya, sehingga rujukan riwayat yang sering dipergunakan al-Tabari adalah riwayat yang berasal dari generasi-generasi tersebut. Misalnya: Ibn `Abbas, Qatadah, Mujahid, al-Dahhak, Huzayfah, al-Hasan al-Basri, dan Bisyr.
Namun demikian, bukan berarti al-Tabari meninggalkan ra’y sama sekali. Beliau juga menggunakan ra’y ketika menafsirkan al-Qur’an, misalnya ketika menafsirkan “imam” yang terdapat pada surat Hud (11): 17 dan surat al-Ahqaf (46): 12 dengan menggunakan analisa bahasa. al-Tabari menguraikan bahwa kata “imam” pada dua ayat ini dalam bentuk mansub karena sebagai hal untuk menjelaskan kitab al-Tawrat yang menjadi pedoman bagi kaum Bani Isra’il. Contoh yang lain adalah ketika ia memilih pendapat yang paling tepat dalam pandangannya dengan menggunakan analisa bahasa dari tiga riwayat yang berbeda dalam menafsirkan kata “imam” pada surat al-Isra (17): 71.
Adapun kitab tafsir al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an karya Muhammad Husayn al-Tabataba’i merupakan tafsir dari generasi khalaf, dengan orientasi bi al-ra’y dan bercorak al-falsafi. Hal ini terlihat ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, al-Tabataba’i sering membuat bab khusus berjudul “Bahsun Falsafi” pada setiap kumpulan beberapa ayat yang dia tafsirkan.
Dengan latar belakang teologisnya yang Syi`ah, al-Tabataba’i banyak memasukkan pandangan-pandangan Syi`ahnya ketika menafsirkan al-Qur’an. Misalnya ketika menguraikan makna “imam” yang terdapat pada surat al-Baqarah (2): 124, secara panjang lebar beliau menjelaskan hal-hal yang terkait dengan imam dalam pandangan Syi`ah yaitu imam-imam Ahl al-Bayt.
Penyajian riwayat juga dilakukan al-Tabataba’i, selama riwayat tersebut berasal dari Nabi  atau imam-imam kalangan Syi`ah. Seperti penafsiran yang terdapat pada: [Q. s. Yasin (36): 12], [Q. s. al-Qasas (28): 5 dan 41], [Q. s. al-Isra (17): 71] dan [Q. s. al-Baqarah (2): 124].
Penguasannya terhadap ilmu Bahasa Arab juga terlihat ketika beliau berusaha menguraikan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan analisa bahasa. Seperti yang terdapat pada surat Hud (11): 17 dan surat al-Ahqaf (46): 12.
b. Perbedaan dari Aspek Substansi Penafsiran
Perbedaan pandangan antara al-Tabari dan al-Tabataba’i dari aspek substansi penafsiran dapat dikaji pada ayat-ayat berikut:
1) Q. s. al-Baqarah (2): 124
Dalam ayat ini, al-Tabari menjelaskan tentang gelar “imam” yang Allah berikan kepada Nabi Ibrahim , juga akan diberikan kepada wali-wali dan orang-orang yang taat pada Allah  bukan untuk mausuh-musuh Allah dan orang-orang kafir. Orang-orang yang taat kepada Allah selain Nabi pun bisa menjadi seorang “imam” yang diikuti dan dijadikan teladan dalam kebaikan dan kebenaran.
Menurut al-Tabataba’i, “imam” yang dimaksud dalam ayat ini, selain menjadi gelar bagi Nabi Ibrahim  juga dianugerahkan Allah  kepada imam-imam yang ada pada kalangan Syi`ah yaitu dua belas imam yang ditunjuk oleh Allah untuk melanjutkan risalah kenabian setelah wafatnya nabi Muhammad , dan imam-imam tersebut wajib ditaati dan dijadikan teladan seperti halnya nabi-nabi.
2) Q. s. al-Anbiya (21): 73
Senada dengan yang disebutkan pada ayat di atas, ayat ini membahas pengangkatan Allah  kepada nabi Ibrahim, Ishaq dan Ya`qub sebagai “imam”. Letak perbedaannya, al-Tabari menilai pemberian gelar “imam” bagi nabi-nabi dikarenakan perilaku mulia ketaatan mereka sehingga mereka menjadi teladan yang diikuti. Sementara al-Tabataba’i memandang gelar “imam” diperoleh nabi-nabi melalui proses pembentukan diri dengan cara yang sempurna dari Allah. Dan posisi imam adalah maqam tertinggi dari kehidupan manusia.
3) Q. s. al-Furqan (25): 74
Pada ayat ini, al-Tabari menafsirkan “imam” dengan makna “pemimpin” yang akan memimpin orang-orang yang bertakwa. Sedangkan, al-Tabataba’i menafsirkanya dengan makna “contoh” (figur) bagi orang-orang yang bertakwa dalam mencari kebaikan dan rahmat Allah .
4) Q. s. al-Tawbah (9): 12
Kata ” أئمة ” pada ayat ini, menurut al-Tabari bermakna ” رؤساء ” yang menunjuk kepada pemimpin-pemimpin kafir.Pemimpin-pemimpin tersebut telah melanggar perjanjian dan kesepakatan serta melecehkan umat Islam. al-Tabataba’i menyatakan “وسماهم أئمة الكفر لأنهم السابقون فى الكفر “, Allah memberi nama mereka “أئمة الكفر”, karena mereka adalah orang-orang yang awal atau depan dalam bersikap kafir dengan ayat-ayat Allah.
5) Q. s. al-Qasas (28): 41
Dari dua belas ayat yang menyebutkan kata “imam”, al-Tabari menafsirkannya dengan makna “pemimpin” pada enam ayat. Termasuk pada ayat ini, yang mengisahkan tentang perilaku pemimpin-pemimpin yang mengajak pada kesesatan yaitu Fir`awn dan bala tentaranya. Sedangkan al-Tabataba’i menilai bahwa maksud kata “imam” dalam ayat ini adalah ” سابقين فى الضلال “, yaitu orang-orang yang awal atau depan dalam kesesatan disebabkan sikap mereka yang mendahulukan hawa nafsu dan kepentingan mereka daripada perintah Allah.
Dari uraian di atas, al-Tabari dan al-Tabataba’i memiliki perbedaan penafsiran makna “imam” pada lima ayat yang terdapat pada: [Q. s. al-Baqarah (2): 124], [Q. s. al-Anbiya' (21): 73], [Q. s. al-Furqan (25): 74], [Q. s. al-Tawbah (9): 12], dan [Q. s. al-Qasas (28): 41].
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari semua bahasan tentang penafsiran makna “imam” yang terdapat dalam tafsir Jami` al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an karya Muhammad ibn Jarir al-Tabari dan al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an karya Muhammad Husayn al-Tabataba’i, ada beberapa hal penting yang menarik mengenai persamaan dan perbedaan kedua mufassir tersebut.
Menurut al-Tabari, “imam” di dalam al-Qur’an memiliki beberapa versi makna, yaitu: a) Pemimpin yang diikuti dalam kebaikan atau keburukan, terdapat pada: (Q. s. 9: 12), (Q. s. 17: 71), (Q.s. 25: 74), (Q. s. 28: 5 dan 41), (Q. s. 32: 24); b) Imam (atribut bagi seorang nabi), terdapat pada: (Q. s. 2: 124), (Q. s. 21: 73); c) Kitab “pedoman” bagi sebuah kaum, terdapat pada: (Q. s. 11: 17) dan (Q. s. 46: 12); d) Ummu al-Kitab, terdapat pada (Q. s. 36: 13); dan juga bermakna; e) Jalan, sebagaimana terdapat pada (Q. s. 15: 79). Sedangkan al-Tabataba’i menguraikan makna “imam” dengan beberapa makna, antara lain: a) Kitab pedoman sebuah kaum, terdapat pada: (Q. s. 11: 17) dan (Q. s. 46: 12); b) Jalan yang jelas, terdapat pada: (Q. s. 15: 79); c) al-Lawh al-Mahfud, terdapat pada: (Q. s. 36: 12); d) Contoh (dalam kebaikan), terdapat pada: (Q. s. 25: 74); e) Yang awal atau depan, terdapat pada: (Q. s. 9: 12) dan (Q. s. 28: 41); f) Pemimpin yang diikuti dalam kebaikan atau keburukan, terdapat pada: (Q. s. 17: 71), (Q. s. 28: 5) dan (Q. s. 32: 24); g) Gelar “imam”, bagi nabi-nabi dan penerus risalah kenabian, terdapat pada: (Q. s. 2: 124) dan (Q. s. 21: 73).
Bila memperhatikan aspek metode penafsiran, antara al-Tabari dan al-Tabataba’i memiliki kesamaan metode penafsiran yaitu menggunakan metode tahlili. Perbedaan keduanya antara lain: al-Tabari dalam orientasi penaafsirannya menggabungkan antara orientasi al-tafsir bi al-ma’sur dan al-tafsir bi al-ra’y, meskipun lebih dominan bi al-ma’sur. Sedangkan penggunaan ra’y hanya sebatas pada penjelasan analisa bahasa dalam penafsirannya. Lain halnya dengan al-Tabataba’i yang memiliki orientasi penafsiran bi al-ra’y dengan corak al-tafsir al-falsafi. Latar belakang teologisnya yang Syi`ah sangat mempengaruhi penafsiran-penafsiran al-Tabataba’i terhadap makna “imam” di dalam al-Qur’an. Seperti halnya al-Tabari, al-Tabataba’i terkadang mengemukakan analisa bahasa dalam menafsirkan ayat. Dalam penggunaan riwayat al-Tabataba’i hanya menerima riwayat-riwayat yang benar-benar mutawatir dari Nabi  dan imam-imam Ahl al-Bayt yang ma`sum. Dari aspek substansi penafsiran, al-Tabari dan al-Tabataba’i meiliki persamaan ketika menafsirkan “imam” dan bentukannya yang terdapat dalam al-Qur’an pada tujuh ayat, yaitu “imam” yang bermakna: Ummu al-Kitab, jalan, kitab “pedoman” dan pemimpin yang diikuti dalam kebaikan atau keburukan. Sedangkan perbedaan penafsiran al-Tabari dan al-Tabataba’i tentang makna “imam” ada pada lima ayat yang terdapat pada: (Q. s. 2: 124), (Q. s. 21: 73), (Q. s. 25: 74), (Q. s. 9: 12), dan (Q. s. 28: 41).
Baik al-Tabari maupun al-Tabataba’i tampaknya memiliki pandangan yang sama tentang penggunaan dan pemaknaan kata ” إمام “. Kata ” إمام “, dalam bentuk mufrad memiliki konotasi positif, sedangkan kata ” أئمة “, dalam bentuk jamak, memiliki konotasi positif ataupun negatif tergantung pada kata lain yang mengikuti kata tersebut, baik ketika dalam bentuk idafah ataupun hanya sekedar menjelaskan sifat kata tersebut. Adanya kesamaan penafsiran kedua mufassir dilatarbelakangi oleh karena kesamaan ayat-ayat yang dibahas dan akar permasalahan yang diangkat dalam suatu ayat pun sama. Perbedaan penafsiran keduanya dikarenakan perbedaan spesialisasi keilmuan keduanya, dan perbedaan generasi antara keduanya terutama sekali perbedaan latar belakang teologis yang mereka anut dan kondisi sosial budaya yang mereka hadapi.
B. Saran-Saran
Bagi para pengkaji tafsir, hendaknya dapat melakukan penelitian lebih mendalam terhadap tema yang diangkat dari penelitian ini terutama berkaitan dengan metode penafsiran, orientasi, dan kecenderungan serta mengakji latar belakang pola pemikiran masing-masing secara mendalam. Selain melakukan penelitian perbandingan juga menguji kebenaran hasil penafsiran para mufassir, sehingga akan bermanfaat bagi tambahnya khazanah keilmuan di bidang tafsir dan hadis.
Untuk seluruh kalangan yang terjun dan menggeluti kajian tafsir al-Qur’an dan hadis, hendaknya lebih giat lagi mengadakan kajian-kajian dengan menggali karya-karya ulama salaf agar dapat memperoleh pemahaman yang baik dalam menggali sumber-sumber ajaran Islam serta bermanfaat bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim.
Abadi, al-Fayruz, al-Qamus al-Muhit, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1407 H/1987 M.
Anis, Ibrahim, al-Mu’jam al-Wasit, Kairo: T.Pn., T.Th..
Anwar, M. Dawam, dkk., Mengapa Kita Menolak Syi’ah, Jakarta: LPPI, 2000.
Anwar, Rosihon, Melacak Unsur-Unsur Israiliyat dalam Tafsir al-Tabari dan Tafsir Ibn Kasir, Bandung: Pustaka Setia, 1999 M.
Arikunto, Suharsimi, Manajemen Penelitian, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998.
Asbahani, Abu Na`im al-, Kitab al-Imamah wa al-Radd `ala al-Rafidah, Madinah: Maktabah al-`Ulum wa la-Hikam, 1415 H/ 1994 M.
`Asy, Husayn, Abu Ja`far Muhammad ibn Jarir al-Tabari wa Kitabuhu Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1413 H / 1992 M.
`Awaji, Galib ibn ‘Ali, Firaqun Mu`asirah tantasibu ila al-Islam, Madinah: Dar Layyinah, 1418 H/ 1998 M.
Baidan, Nasiruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Baqi, Muhammad Fuad `Abd al-, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfad al-Qur’an al-Karim, Kairo: Dar al-Hadis, 1417 H/1996 M.
Departemen Agama R. I., al-Qur’an dan Terjemahnya, Madinah: Mujamma’ Khadim al-Haramayn al-Syarifayn al-Malik Fahd li Tiba’ah al-Mushaf al-Syarif, 1412 H.
Depdikbud R. I., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Dumayji, ‘Abd Allah al-, al-Imamah al-‘Uzma, Riyadh: Dar Tayyibah, 1409 H.
Farmawi, ‘Abd al-Hayy al-, Metode Tafsir Maudu`i: Suatu Pengantar, terjemahan: Suryan A. Jamrah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996.
Isma`il, Muhammad Bakr, Ibn Jarir al-Tabari wa Manhajuhu fi al-Tafsir, Kairo: Dar al-Manar, 1411 H / 1991 M.
Jurjani, Syarif al-, Kitab al-Ta’rifat, Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1416 H/1995 M.
Manzur, Ibn, Lisan al-`Arab, Beirut: Dar Ihya al-Turas al-`Arabi, 1413 H/1993 M.
Mawardi, Imam al-, al-Ahkam as-Sultaniyyah, terjemahan: Fadli Bahri, Jakarta: Darul Falah, 1420 H/ 2000 M.
McAuliffe, Jane Dammen, Hermeneutik al-Qur’an: Pandangan al-Tabari dan Ibn Kasir, terjemahan: Dede Iswadi, Jurnal Teks, Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati, 2002.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984.
Nasiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Nasr, Sayyid Husain, Islam Tradisi, terjemahan: Lukman Hakim, Bandung: Pustaka, 1994.
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985.
Salus, `Ali Ahmad al-, Ensiklopedi Sunnah-Syi`ah, terjemahan: Bisri Abdussomad, dkk., Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001.
Surakhmad, Winarno, Dasar dan Teknik Research, Bandung: Tarsito, 1978.
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992.
—–, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1416 H/ 1996 M.
Tabari, ibn Jarir al-, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Ayi al-Qur’an, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1412 H/ 1992 M.
Tabataba`i, Muhammad Husayn al-, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Beirut: Mu’assasah al-A`lami li al-Matbu`ah, 1393 H/ 1973 M.
—–, Inilah Islam, Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, terjemahan: Ahsin Muhammad, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992 M.
—–, Islam Syi’ah Asal-Usul dan Perkembangannya, terjemahan: M. Wahyudin, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989.
—–, Mengungkap Rahasia al-Qur’an, terjemahan: A. Malik Madany dan Hamim Ilyas, Bandung: Mizan, 1415 H/1994 M.
`Usaymin, Muhammad ibn Salih al-, Syarhu Riyad al-Salihin, Riyad: Dar al-Watan, 1416 H.
—–, Muhammad ibn Salih al-, Dasar-Dasar Penafsiran al-Qur’an, terjemahan: Said Agil Husayn A. dan Ahmad Rifqi Mukhtar, Semarang: Dina Utama, 1989 M.
Zahabi, Muhammad Husayn al-, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Maktabah Wahbah, 1989.
Zahrah, Imam Muhammad Abu, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terjemahan: `Abd al-Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib dengan judul “Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah”, Jakarta: Logos, 1996.

0 Comment