Friday, May 18, 2012

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Hukum merupakan esensi yang disaring dari peradaban suatu bangsa dan sekaligus mencerminkan jiwa suatu bangsa secara lebih jelas dari lembaga lain yang ada. ( Kedudukan hukum dalam Islam adalah sebagai inti dan saripati ajaran Islam itu sendiri. Sehingga sangatlah tidak mungkin untuk dapat memahami Islam tanpa memahami hukum Islam. )
Hukum Islam ) dalam catatan sejarah telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Hal tersebut menunjukkan suatu dinamika pemikiran keagamaan itu sendiri dan menggambarkan benturan-benturan agama dengan perkembangan sosial budaya dimana hukum itu tumbuh. ) Karena pada dasarnya ijtihad dalam hukum Islam merupakan hasil interaksi antara pemikir hukum dengan faktor sosial-budaya dan faktor sosial-politik yang mengitarinya. )
Sejarah Islam pada masa modern ini diwarnai oleh peristiwa – peristiwa yang sangat mendasar dan besar sekali pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran hukum Islam pada masa-masa mendatang. Pertama, peristiwa merembesnya ide-ide modern yang berasal dari Barat seperti ide nasionalisme, rasionalisme, demokrasi, emansipasi, sekularisasi, dan lain-lain yang pada akhirnya ide-ide tersebut mengubah struktur kebudayaan Islam klasik pada tingkat sosial kemasyarakatan maupun pada tingkat politik kenegaraan. Kedua, peristiwa runtuhnya tradisi sistem khilafah berganti dengan sistem kekuasaan negara nasional. Ummat Islam yang sebelumnya bersatu dalam kekuasaan imperium Islam dan akhirnya jatuh dalam dominasi kekuasaan kolonialis Barat, setelah merdeka mereka mempunyai kesempatan membangun corak kehidupan masyarakat yang mereka kehendaki. Konsekuensi logis dari berdirinya negara-negara muslim tersebut melahirkan upaya perancangan sistem hukum nasional sesuai aspirasi sosial politik masing-masing. )
Pada dewasa ini pembaharuan hukum Islam telah menjadi suatu kebutuhan di negara-negara muslim. ) Meskipun pada kenyataannya pembaharuan hukum Islam di negara-negara muslim masih terbatas pada wilayah hukum keluarga, setidaknya fenomena tersebut mencerminkan bahwa aktifitas ijtihad masih tetap hidup pada era globalisasi ini. Karena tanpa adanya ijtihad pasti hukum Islam akan kehilangan sifat elastis dan akomodatifnya dalam merespon permasalahan baru yang muncul seiring dengan perubahan zaman.
Di Indonesia upaya pembaharuan hukum Islam telah menghasilkan wujud yang konkret. Salah satunya adalah Kompilasi Hukum Islam yang patut dinilai sebagai ijma’ ulama Indonesia. ) Namun mencermati gagasan-gagasan yang ada dalam KHI, kesimpulan yang dapat diperoleh adalah pemanfaatan lembaga talfiq dan takhayyur dalam fomulasi hukumnya. Nilai lebih dari proses penyusunan KHI adalah referensi dari 38 buah kitab dari berbagai mazhab fiqh yang ada, studi banding ke negara-negara muslim Timur Tengah, telaah yurisprudensi dan serangkaian wawancara dengan para ulama Indonesia. )
Dasar hukum KHI adalah Instruksi Presiden No.1 tahun 1991 yang dikeluarkan pada tanggal 10 Juni 1991. Kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Agama No.154 tahun 1991 mengenai penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. ) Meskipun KHI oleh pakar hukum di Indonesia tidak dinyatakan sebagai hukum perundang – undangan yang berlaku di Indonesia namun seluruh jajaran peradilan agama di Indonesia sudah mengakuinya sebagai hukum dan pedoman yang harus dijalankan dan dipatuhi oleh umat Islam sehingga KHI dapat disebut sebagai undang – undang Islam. )
Adapun pendekatan yang digunakan di dalam penyusunan KHI mencakup beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan normatif. Yaitu bahwa perumusan KHI mengambil bahan sumber utama dari nas{s} al-Qur’an dan Sunnah. Kedua, mengutamakan pemecahan problema masa kini. Ketiga, unity dan variety. Dan keempat, pendekatan kompromi dengan hukum adat. ) Keempat pendekatan tersebut digunakan di dalam merumuskan KHI yang terdiri dari tiga kitab hukum. Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan dan Buku III tentang Perwakafan.
Dalam pendekatan yang lebih mengutamakan pemecahan problema masa kini dimaksudkan bahwa di dalam perumusan KHI sejauh mungkin dihindari perdebatan di dalam mempersoalkan perbedaan pendapat ulama. Akan tetapi langsung diarahkan kepada masalah yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat, kemudian baru dicari dan dipilih pendapat yang paling potensial untuk memecahkan problema ketidaktertiban yang dihadapi selama ini. ) Dalam hal ini tampak sekali pemanfaatan lembaga talfi>q dan takhayyur dalam formulasi hukum KHI.
Akhir-akhir ini perubahan peradaban manusia semakin akseleratif. Sejalan dengan tuntutan perkembangan jaman, manusia semakin banyak kehilangan nilai-nilai yang diyakini sebelumnya. Manusia semakin dihadapkan pada perbenturan dan erosi nilai-nilai moral dan keluhuran. Budaya permisif dan serba terbuka memerangkap manusia hingga berkubang di dunia kemaksiatan.
Pergaulan bebas hingga free sex melanda kalangan muda-mudi hingga resiko kehamilan di luar nikah. Sementara pihak yang mengalami selalu berusaha untuk menutupi kehamilan di luar nikah tersebut dengan terpaksa mengawinkan anak perempuannya dengan laki-laki yang menghamili maupun yang bukan menghamili.
Sebenarnya masalah ‘iddah secara umum adalah sesuatu yang sudah disepakati oleh para ulama selain juga telah dijelaskan secara eksplisit oleh nass al-Qur’an maupun Sunnah. Akan tetapi ketika ‘iddah tersebut dihadapkan pada suatu peristiwa yang tidak lazim, seperti seorang perempuan yang hamil karena zina maka ‘iddah tersebut menjadi sebuah masalah yang membutuhkan pengkajian secara cermat.
Bagaimanapun ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina tersebut akan membawa implikasi pada kebolehan akad nikah, dalam arti syah atau tidaknya perkawinan tersebut. Selain itu ‘iddah perempuan hamil karena zina tidak dijelaskan secara eksplisit baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah sehingga mengundang perbedaan pendapat dikalangan ulama.
Menurut Sya>fi’iyyah dan H}anafiyyah perempuan hamil karena zina tidak diwajibkan untuk menjalankan ‘iddah, karena ‘iddah bertujuan untuk menjaga nasab sementara persetubuhan dalam bentuk zina tidak menyebabkan hubungan nasab dengan laki – laki yang menyebabkan hamil. )
Sebagian ulama H>>}anafiyyah menambahkan bahwa terdapat larangan bagi suami untuk menggauli isterinya itu selama masih dalam keadaan hamil sampai isterinya melahirkan. ) Adapun menurut Sya>fi’iyyah tidak ada larangan untuk menggauli isterinya tersebut meskipun masih dalam keadaan hamil. )
Ulama Ma>likiyyah berpendapat bahwa perempuan yang dicampuri dalam bentuk zina sama hukumnya dengan perempuan yang dicampuri secara syubhat, berdasarkan akad yang batil maupun fasid yaitu dia harus menyucikan dirinya dalam waktu yang sama dengan ‘iddah kecuali jika dikehendaki untuk dilakukan hadd atas dirinya, maka ia cukup menyucikan dirinya dengan satu kali haid. )
Ulama H}ana>bilah menyatakan bahwa ‘iddah perempuan hamil karena zina seperti halnya ‘iddah yang berlaku bagi isteri yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan hamil yaitu sampai dengan melahirkan. ) Konsekuensi dari pendapat ini adalah larangan untuk menikahi perempuan tersebut pada waktu hamil. Pendapat ini didasarkan pada hadis\ Nabi :
لايحل لإمرئ يؤمن بالله واليوم الآخر ان يسقى ماءه زرع غيره (
لاتوطأ حامل حتى تضع , ولا غير ذات حمل حتى تحيض حيضة (
Sementara itu jika meninjau hukum positif di Indonesia ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina secara implisit diatur dalam pasal 53 KHI sebagai berikut :
Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Dari pasal 53 ayat 2 di atas dapat dipahami bahwa tidak ada kewajiban ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina jika ia dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Persoalan yang kemudian muncul adalah jika perempuan hamil karena zina tersebut menikah dengan laki-laki yang tidak menghamilinya. Dalam hal ini KHI belum memberikan penjelasan.
Berangkat dari persoalan di atas penyusun ingin melakukan analisis terhadap ketentuan pasal 53 ayat 2 KHI tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina.
Pokok Masalah
Bagaimana ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam Kompilasi Hukum Islam ?
Bagaimana analisis hukum ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam Kompilasi Hukum Islam ?
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam Kompilasi Hukum Islam.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan analisis hukum ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam Kompilasi Hukum Islam.
Kegunaan
Terapan
Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya wacana intelektual bagi para peminat dan pengkaji hukum Islam khususnya dalam bidang perkawinan.
Ilmiah
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan di dalam perumusan ketentuan ‘iddah perempuan hamil karena zina.
D. Telaah Pustaka
Bahan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi dua kategori. Pertama, bahan pustaka yang membahas tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina. Kedua,bahan pustaka yang membahas seputar KHI.
Diantara bahan pustaka yang termasuk dalam kategori pertama adalah buku Hukum Perkawinan Islam. ) Dalam buku tersebut dijelaskan prbedaan pendapat yang berkembang di kalangan fuqaha tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina. Menurut pendapat Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan dan Syafi’i perkawinan wanita hamil karena zina dengan laki-laki kawan berzinanya itu dapat dilakukan seketika tanpa harus menunggu sampai melahirkan kandungan sebab wanita tersebut tidak disebutkan dalam al-Qur’an termasuk wanita yang haram dinikah sebagaimana dijelaskan dalam Surat an-Nisa>’: 24. Dalam ayat itu dinyatakan bahwa selain yang telah disebutkan sebelumnya halal dikawin. Sedangkan Abu Yusuf, Zufar, Malik, dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa perempuan yang hamil karena zina wajib menjalankan ‘iddah yaitu sampai melahirkan.
Kemudian buku Hubungan Seks Menurut Islam ). Dalam bab kelima tentang zina terdapat uraian perbedaan pendapat tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina di kalangan fuqaha. Imam Ahmad dan Malik mewajibkan ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina sementara Abu Hanifah dan Syafi’i tidak mewajibkan ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina. Akan tetapi seorang ulama Hanafiyah yaitu Abu Yusuf, berpendapat bahwa perempuan hamil karena zina wajib menjalankan ‘iddah.
Selanjutnya buku Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil. ) Dalam buku ini juga dijelaskan perbedaan pendapat fuqaha berkaitan dengan ‘iddah perempuan hamil karena zina. Selain menjelaskan pendapat fuqaha sebagaimana telah dijelaskan dalam buku-buku sebelumnya, dalam buku ini dijelaskan pendapat An-Nawawi bahwa seorang wanita yang berzina tidak wajib ber’iddah baik sedang dalam keadaan hamil atau tidak. Sedangkan Ibn Hazm seorang ulama mazhab Z|a>hiri berpendapat bahwa wanita hamil karena zina boleh dikawinkan walaupun belum melahirkan anaknya.
Buku Meretas Kebekuan Ijtihad : Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia. ) Dalam buku ini juga terdapat uraian seputar perbedaan pendapat yang berkembang di kalangan fuqaha tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina sebagaimana dijelaskan dalam buku-buku sebelumnya.
Selain buku-buku di atas juga terdapat beberapa kitab fiqh yang menjelaskan masalah ‘iddah perempuan hamil karena zina, antara lain adalah Kita>>>>b al-Fiqh ‘ala> Maz\a>hib al-Arba’ah. ) Dalam juz IV Kita>b at-T}ala>q dijelaskan perbedaan pendapat tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina dari keempat imam maz}hab Sunni sebagaimana yang telah dijelaskan dalam buku-buku sebelumnya.
Dalam kitab Bida>>>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtas}id, )dijelaskan bahwa terjadinya perbedaan pendapat antara yuris Ma>likiyah dengan yuris-yuris pada umumnya (jumhur) dalam masalah ‘iddah perempuan hamil karena zina disebabkan karena perbedaan mereka dalam memahami larangan mengawini wanita yang berzina (Q.S.An-Nu>r (24) : 3), apakah hanya bersifat mencela atau mengharamkan. Sebagian besar mereka menangkap pesan ayat tersebut sebagai celaan saja dengan bukti bahwa penah terjadi kasus penyelewengan seorang isteri yang disarankan oleh Nabi agar diceraikan tetapi suaminya merasa keberatan hingga akhirnya Nabi merestui meneruskan rumah tangganya tanpa istibra>’ lagi.
Selanjutnya dalam kitab al-Mughni>, )dijelaskan pendapat ulama H}ana>bilah bahwa ‘iddah perempuan hamil karena zina seperti ‘iddah yang berlaku bagi isteri yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan hamil yaitu sampai melahirkan. Kemudian Fiqh as-Sunnah, )dalam kitab ini dijelaskan bahwa menurut ulama H}anafiyyah dan Sya>fi’iyyah perempuan hamil karena zina tidak diwajibkan ‘iddah karena ‘iddah bertujuan untuk menjaga nasab sedangkan persetubuhan dalam bentuk zina tidak menyebabkan hubungan nasab dengan laki-laki yang menyebabkan hamil. Sedangkan menurut Malik dan Ahmad perempuan hamil karena zina wajib menjalankan ‘iddah, baik dengan tiga kali haid atau cukup sekali haid untuk mengetahui kebersihan rahim.
Adapun bahan pustaka yang termasuk dalam kategori kedua misalnya buku Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum di Indonesia. ) Dalam tulisan Harahap tentang “Materi KHI” dijelaskan pendekatan yang ditempuh dalam merumuskan kebolehan kawin hamil, yaitu berdasarkan pendekatan kompromistis dengan hukum adat. Selain itu tujuan utama kebolehan kawin hamil adalah untuk memberikan perlindungan hukum yang pasti kepada anak yang dalam kandungan. Selanjutnya buku Hukum Islam di Indonesia. ) Dalam buku ini terdapat penjelasan tentang proses perumusan dan sumber rujukan KHI yang terdiri dari 38 buah kitab fiqh dari berbagai mazhab fiqh yang ada. Adapun proses perumusan KHI mencakup studi terhadap berbagai kitab fiqh, studi banding ke negara-negara muslim Timur Tengah, telaah yurisprudensi, dan serangkaian wawancara dengan para ulama Indonesia.
Sejauh pengetahuan penyusun, sedikitnya ada tiga skripsi yang pernah membahas masalah ‘iddah perempuan hamil karena zina. Pertama , skripsi yang berjudul “ ‘Iddah Perempuan yang Berzina Antara Imam Syafi’i dengan Imam Ahmad bin Hanbal”. ) Dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa menurut Imam Syafi’i perempuan hamil karena zina tidak wajib menjalankan ‘iddah dan boleh dicampuri meskipun dalam keadaan hamil. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal bependapat bahwa perempuan hamil karena zina wajib menjalankan ‘iddah sampai melahirkan. Kedua, skripsi yang berjudul “Analisis terhadap pendapat Imam Ahmad bin Hanbal tentang ‘Iddah Bagi Wanita Zina dan Implikasinya di Indonesia”. ). Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, perempuan hamil karena zina wajib melaksanakan ‘iddah sampai melahirkan dan penyusun skripsi ini berkesimpulan bahwa jika pendapat Imam Ahmad bin Hanbal ini diterapkan dalam konteks masyarakat Indonesia akan menyebabkan kesenjangan sosial. Dan yang terakhir, skripsi yang berjudul “ Pandangan Mazhab Maliki Terhadap ‘Iddah Perempuan Yang Berzina Dan Aplikasinya di Indonesia”. ) Dalam skripsi tersebut didiskripsikan metode istinbat hukum yang digunakan oleh mazhab Maliki dalam menetapkan ‘iddah yaitu berdasarkan qiyas disertai dengan bagaimana aplikasi pendapat Maliki tersebut di Indonesia. Menurut penyusun skripsi tersebut pendapat Maliki tidak relevan jika diterapkan di Indonesia karena akan menimbulkan kesenjangan sosial.
Adapun kajian yang membahas pasal 53 ayat 2 KHI tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina dengan memberikan analisis hukum, sejauh pengetahuan penyusun masih jarang, untuk tidak mengatakan belum pernah ada.
E. Kerangka Teoretik
Sebagaimana diketahui bahwa ‘iddah bagi perempuan hamil dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, apabila isteri dicerai suaminya dalam keadaan hamil maka ‘iddahnya sampai melahirkan berdasarkan firman Allah:
والئي يئسن من المحيض من نسائكم ان ارتبتم فعدتهن ثلثة اشهر والئي لم يحضنج واولا ت الاحمال اجلهن ان يضعن حملهنج ومن يتق الله يجعل له من امره يسرا (
Kedua, apabila isteri ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil. Mayoritas ulama menurut Ibn Rusyd ) berpendapat bahwa masa ‘iddah perempuan tersebut adalah sampai melahirkan, meskipun selisih waktu kematian suami hingga ia melahirkan hanya setengah bulan atau kurang dari empat bulan sepuluh hari. ) Sementara menurut Ma>lik dan Ibn ‘Abba>s masa ‘iddah perempuan tersebut diambil waktu yang terlama dari dua jenis ‘iddah tersebut apakah empat bulan sepuluh hari atau sampai melahirkan.
Sepanjang kedua jenis ‘iddah bagi perempuan diatas mungkin tidak begitu banyak mengundang kontroversi karena masing-masing telah dijelaskan oleh nass secara eksplisit. Akan tetapi dalam hal ’iddah bagi perempuan hamil karena zina maka tidak ada penjelasan secara eksplisit oleh nas. Sebagai konsekuensinya maka muncul perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang ada tidaknya kewajiban ‘iddah bagi perempuan tersebut ataupun tenggang waktu masa ‘iddah tersebut.
Mengenai ada atau tidaknya kewajiban ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina, maka ulama telah bersepakat bahwa jika perempuan hamil karena zina tersebut menikah dengan laki-laki yang menghamilinya tidak diwajibkan ‘iddah. ) Sedangkan apabila menikah dengan laki-laki yang tidak menghamilinya terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Menurut ulama Sya>fi’iyyah dan sebagian ulama H}anafiyyah berpendapat bahwa perempuan tersebut tidak wajib menjalankan ‘iddah. Dalam arti bahwa perempuan tersebut dapat langsung dikawini pada waktu hamil, akan tetapi menurut H}anafiyyah selama isteri tersebut masih dalam keadaan hamil terdapat larangan bagi suami untuk menggaulinya berdasarkan pada hadis\ Nabi :
لايحل لإمرئ يؤمن بالله واليوم الآخر ان يسقى ماءه زرع غيره (
Sedangkan Imam Sya>fi’i menyatakan bahwa tidak ada larangan bagi suami untuk menggauli isterinya itu pada pada waktu masih dalam keadaan hamil, tetapi status anak itu tidak dapat dinasabkan kepada suaminya. ) Adapun ulama Ma>likiyah dan H}ana>bilah mewajibkan perempuan yang hamil karena zina untuk menjalankan ‘iddah, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang tenggang waktu ‘iddah tersebut. Menurut ulama H}ana>bilah tidak ada perbedaan antara perempuan hamil karena zina atau bukan dalam hal ber’iddah yaitu sampai melahirkan anak yang dikandungnya. ) Sedangkan ulama Ma>likiyyah berpendapat bahwa perempuan yang dicampuri dalam bentuk zina sama hukumnya dengan perempuan yang dicampuri secara syubhat, berdasarkan akad yang batil maupun fasid yaitu dia harus menyucikan dirinya dalam waktu yang sama dengan ‘iddah kecuali jika dikehendaki untuk dilakukan hadd atas dirinya, maka ia cukup menyucikan dirinya dengan satu kali haid. )
Sedangkan di dalam KHI pasal 53 tidak terdapat penjelasan jika perempuan yang hamil karena zina tersebut menikah dengan laki-laki yang tidak menghamilinya.
Sejauh pemahaman penyusun jika perempuan yang berzina tersebut sudah terlanjur hamil, sementara laki-laki yang menghamilinya tidak bertanggung jawab maka lebih baik dinikahkan meskipun dengan laki-laki yang tidak menghamilinya tanpa harus menunggu kelahiran anak yang ada dalam kandungan. Karena selain dapat menutup aib baik bagi perempuan tersebut maupun keluarganya juga dapat meringankan beban psikologis yang nantinya akan ditanggung oleh anak yang ada dalam kandungan pada masa-masa pertumbuhannya. Dalam hal ini berlaku kaidah fiqh :
درء المفاسد اولى من جلب المصالح )
Kondisi perempuan yang sudah terlanjur hamil sangat membutuhkan dukungan psikologis maupun ekonomi demi anak yang ada di dalam kandungan.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (library research), yaitu suatu jenis penelitian yang didalam memperoleh bahan dilakukan dengan cara menelusuri bahan-bahan pustaka. Dalam penelitian ini cukup ditempuh dengan penelitian pustaka karena sebagian besar data yang diperlukan berasal dari bahan pustaka baik berupa buku maupun hasil penelitian. Misalnya untuk mendiskripsikan ‘iddah perempuan hamil karena zina dapat diperoleh dari kitab-kitab fiqih konvensional, kemudian untuk mengetahui ketentuan ‘iddah tersebut menurut KHI dapat dilihat pada KHI.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis. Setelah data terkumpul akan dideskripsikan terlebih dahulu seputar masalah ‘iddah secara umum. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan pada pokok masalah tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina dan terakhir akan dianalisis ketentuan yang terdapat dalam KHI berkaitan dengan ‘iddah tersebut.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang ditempuh dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis-normatif-sosiologis. Pendekatan yuridis digunakan untuk mengetahui ketentuan ‘iddah perempuan hamil karena zina di dalam KHI. Sementara untuk mengetahui dalil-dalil dari nass baik al-Qur’an maupun Sunnah tentang ‘iddah serta pendapat ulama dalam kitab-kitab fiqh konvensional digunakan pendekatan normatif. Adapun untuk mengkaji dampak yang muncul dalam interaksi sosial ditempuh pendekatan sosiologis.
4. Pengumpulan Data
Sesuai dengan jenis penelitian ini maka data-data yang dibutuhkan dikumpulkan dengan cara menelusuri buku-buku maupun hasil penelitian yang memiliki kesesuaian dengan pokok masalah.
5. Analisa Data
Data-data yang telah diperoleh akan dianalisa secara kualitatif dengan mengunakan metode induktif. Metode induktif adalah suatu metode penalaran yang bertitik tolak dari premis-premis khusus kemudian digeneralisasikan sehingga menghasilkan kesimpulan umum. Dengan memperhatikan faktor psikologis maupun sosiologis dihubungkan dengan kondisi perempuan hamil karena zina serta pendapat yang berkembang di kalangan ulama akan ditarik suatu kesimpulan.
G. Sistematika Pembahasan
Pembahasan skripsi ini dibagi menjadi lima bab. Setiap bab terdiri dari sub-sub bab.
Bab satu berisi pendahuluan untuk mengantarkan pembahasan skripsi secara keseluruhan. Bab ini terdiri dari enam sub bab : latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoretik, metode penelitian.
Selanjutnya pada bab dua akan dideskripsikan tinjauan umum tentang ‘iddah. Bab ini terdiri dari beberapa sub bab, antara lain : pengertian dan dasar hukum ‘iddah, macam-macam ‘iddah, dan hikmah ‘iddah dan ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam pandangan ulama. Urgensi dari bab kedua ini adalah untuk memperoleh pemahaman tentang ‘iddah dan hikmah ditetapkannya semantara pemaparan pandangan ulama terhadap ‘iddah perempuan hamil karena zina akan digunakan sebagi suatu penilaian dalam menganalisis ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam KHI sebagaimana akan dijelaskan dalam bab ketiga.
Bab tiga menjelaskan ketentuan ‘iddah yang terdapat di dalam KHI, baik ‘iddah yang telah dijelaskan secara eksplisit oleh nas}s} maupun ‘iddah yang masih mengundang kontroversi pendapat, yaitu ‘iddah perempuan hamil karena zina. Dalam menjelaskan ketentuan ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam KHI ini akan dibagi menjadi dua pasal. Pertama, ‘iddah perempuan hamil karena zina jika dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya. Kedua, ‘iddah perempuan hamil karena zina jika dikawinkan dengan laki-laki yang tidak menghamilinya. Bab tiga ini akan menjadi bahan yang akan dianalisis pada bab selanjutnya.
Pada bab empat akan diberikan analisis terhadap ketentuan ‘iddah perempuan hamil karena zina baik yang menikah dengan laki-laki yang menghamilinya atau bukan. Akan tetapi sebelumnya akan diuraikan latar belakang perumusan pasal 53 KHI untuk mengetahui pendekatan yang digunakan maupun tujuan perumusan pasal tersebut.
Kemudian pada bab lima sebagai penutup akan diberikan kesimpulan akhir disertai dengan saran-saran.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ‘IDDAH
Bagi seorang perempuan yang putus perkawinannya baik karena talak, fasakh, khulu’, li’an maupun ditinggal mati oleh suaminya maka wajib menjalankan ‘iddah. Akan tetapi ketentuan ini tidak berlaku bagi laki-laki berdasarkan makna ‘iddah menurut istilah, sehingga dibolehkan bagi laki-laki untuk menikah secara langsung dengan perempuan lain setelah perceraian selama tidak ada larangan syara’ seperti penikahan dengan orang yang tidak dibolehkan baginya untuk dikumpulkan dengan isteri yang pertama dan pernikahan dengan kerabat-kerabatnya yang termasuk mahram seperti saudara perempuan kandung, saudara perempuan ayah,saudara perempuan ibu, anak perempuan saudara laki-laki, anak perempuan saudara perempuan meskipun berasal dari pernikahan yang fasid atau dalam bentuk akad yang syubhat. Dan menikahi isteri yang kelima pada masa masih berlaku ‘iddah bagi isteri yang keempat yang diceraikannya sampai habis ‘iddahnya, dan menikahi isteri yang telah ditalak tiga kali sebelum ada terpenuhi syarat yang menghalalkannya.
Secara sepintas memang tampak adanya diskriminasi terhadap perempuan berkaitan dengan masalah kewajiban ‘iddah ini, akan tetapi sebenarnya terdapat hikmah yang agung dibalik penetapan ‘iddah bagi perempuan.1) Untuk dapat memahami hikmah tersebut maka di dalam bab kedua ini akan diberikan gambaran umum tentang ‘iddah yang mencakup pengertian dan dasar hukum ‘iddah, macam-macam ‘iddah, hikmah ‘iddah dan ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam pandangan ulama.
A. Pengertian dan Dasar Hukum ‘Iddah
Menurut bahasa kata ‘iddah berasal dari kata al-‘adad. Sedangkan kata al-‘adad merupakan bentuk masdar dari kata kerja ‘adda-ya’uddu yang berarti menghitung. Kata al-‘adad memiliki arti ukuran dari sesuatu yang dihitung dan jumlahnya. Adapun bentuk jama’ dari kata al-‘adad adalah al-a’da>d begitu pula bentuk jama’ dari kata ‘iddah adalah al-‘idad. Dan dikatakan juga bahwa seorang perempuan telah ber’iddah karena kematian suaminya atau talak suami kepadanya.2)
Menurut Sayyid Sa>biq yang dimaksud dengan ‘iddah dari segi bahasa adalah perempuan (isteri) menghitung hari-harinya dan masa bersihnya.3) Sementara al-Ja>ziri> menyatakan bahwa kata ‘iddah mutlak digunakan untuk menyebut hari-hari haid perempuan atau hari-hari sucinya.4)
Dari sisi terminologi maka terdapat beberapa definisi ‘iddah yang dikemukakan oleh para fuqaha. Meskipun dalam redaksi yang berbeda, berbagai definisi tersebut memiliki kesamaan secara garis besarnya.
Menurut al-Ja>ziri> ‘iddah secara syar’i memiliki makna yang lebih luas dari pada makna bahasa yaitu masa tunggu seorang perempuan yang tidak hanya didasarkan pada masa haid atau sucinya tetapi kadang-kadang juga didasarkan pada bilangan bulan atau dengan melahirkan dan selama masa tersebut seorang perempuan dilarang untuk menikah dengan laki-laki lain.5) Sementara itu Sayyid Sa>biq menjelaskan bahwa ‘iddah merupakan sebuah nama bagi masa lamanya perempuan (isteri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya atau setelah pisah dari suaminya.6)
Abu> Yahya> Zakariyya> al-Ans}a>ri memberikan definisi ‘iddah sebagai masa tunggu seorang perempuan untuk mengetahui kesucian rahim atau untuk ta’abbud (beribadah) atau untuk tafajju’ (bela sungkawa) terhadap suaminya.7) Dalam definisi lain dijelaskan bahwa ‘iddah menurut ‘urf syara’ adalah nama untuk suatu masa yang ditetapkan untuk mengakhiri apa yang tersisa dari pengaruh-pengaruh pernikahan.8)
Muhammad Zaid al-Ibya>ni menjelaskan bahwa ‘iddah memiliki tiga makna yaitu makna secara bahasa, secara syar’i dan dalam istilah fuqaha. Menurut makna bahasa berarti menghitung sedangkan secara syar’i adalah masa tunggu yang diwajibkan bagi perempuan maupun laki-laki ketika terdapat sebab. Adapun dalam istilah fuqaha yaitu masa tunggu yang diwajibkan bagi perempuan ketika putus perkawinan atau karena perkawinannya syubhat.9)
Dari berbagai definisi ‘iddah yang telah dikemukakan diatas maka dapat dirumuskan sebuah pengertian yang komprehensif tentang ‘iddah yaitu masa tunggu yang ditetapkan bagi perempuan setelah kematian suami atau putus perkawinan baik berdasarkan masa haid atau suci, bilangan bulan atau dengan melahirkan untuk mengetahui kesucian rahim, beribadah (ta’abbud) maupun bela sungkawa atas suaminya. Selama masa tersebut perempuan (isteri) dilarang menikah dengan laki-laki lain.
Kewajiban menjalankan ‘iddah bagi seorang perempuan setelah kematian suaminya atau setelah pisah dengan suaminya dijelaskan secara eksplisit dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Diantara nas}s} al-Qur’an yang menjelaskan tentang ‘iddah antara lain :
والمطلقت يتربصن بانفسهن ثلا ثة قروء ….(10
والذين يتوفون منكم ويذرون ازواجا يتربصن بانفسهن اربعة اشهر وعشرا….(11
ياايها الذين امنوا إذا نكحتم المؤمنت ثم طلقتموهن من قبل ان تمسوهن فمالكم عليهن من عدة تعتدونها ….(12
واللا ئى يئسن من المحيض من نسائكم ان ارتبتم فعدتهن ثلاثة اشهر واللائى لم يحضن ج واولات الاحمال اجلهن ان يضعن حملهن ….(13
Sementara itu masalah ‘iddah juga dijelaskan dalam Sunnah Nabi :
لا يحل لإمرأة تؤمن باالله واليوم الاخر ان تحد على ميت فوق ثلاث ليال الا على زوج اربعة اشهر وعشرا….(14
اعتدى فى بيت ابن ام مكتوم ….(15
Nas}s} al-Qur’an maupun Sunnah diatas merupakan dasar hukum penetapan ‘iddah. Berdasarkan nas}s} al-Qur’an dan Sunnah tersebut maka para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa ‘iddah hukumnya wajib. Mereka hanya berbeda dalam masalah tafsil (perincian ) dalam beberapa persoalan saja.
Selama dalam ketentuan ‘iddah yang telah dijelaskan secara eksplisit oleh nas al-Qur’an maupun Sunnah tidak banyak mengundang perbedaan pendapat dikalangan ulama. Tetapi ketika ketentuan ‘iddah tersebut dihadapkan pada suatu persoalan yang belum ada penjelasannya baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah seperti ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina telah menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama sebagaimana akan dibahas nanti.
B. Macam – macam ‘Iddah
Berdasarkan penjelasan tentang ‘iddah yang terdapat dalam nas al-Qur’an maka para fuqaha dalam kitab-kitab fikih konvensional membagi ‘iddah menjadi tiga yaitu berdasarkan masa haid atau suci, bilangan bulan dan dengan melahirkan. Kalau dicermati penentuan ‘iddah itu sendiri sebenarnya disesuaikan dengan sebab putusnnya perkawinan, keadaan isteri dan akad perkawinan.16)
Sebab putusnya perkawinan dapat dibedakan karena kematian suami, talaq bain sughra maupun kubra dan faskh (pembatalan) seperti murtadnya suami atau khiya>r bulu>g perempuan.
Keadaan isteri dapat dibedakan menjadi isteri yang sudah dicampuri atau belum, isteri masih mengalami haid atau belum bahkan sudah menopause, isteri dalam keadaan hamil atau tidak, isteri seorang yang merdeka atau dari hamba sahaya, dan isteri seorang muslim atau kitabiyah.
Sedangkan ditinjau dari jenis akad maka dapat dibagi menjadi akad shahih dan akad fasid.
Secara umum maka ‘iddah dapat dibedakan sebagai berikut :17)
1. ‘Iddah seorang isteri yang masih mengalami haid yaitu dengan tiga kali haid
2. ‘Iddah seorang isteri yang sudah tidak haid (menopause) yaitu tiga bulan
3. ‘Iddah seorang isteri yang ditinggal mati oleh suaminya adalah empat bulan sepuluh hari jika ia tidak dalam keadaan hamil
4. ‘Iddah seorang isteri yang hamil yaitu sampai melahirkan
Adapun secara rinci pembagian ‘iddah dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. ‘Iddah berdasarkan haid
Apabila terjadi putus perkawinan disebabkan karena talaq baik raj’i maupun bain, baik bain sughra maupun kubra atau karena fasakh seperti murtadnya suami atau khiya>r bulu>g dari perempuan sedangkan isteri masih mengalami haid maka ‘iddahnya dengan tiga kali haid. Akan tetapi hal tersebut berlaku bagi seorang isteri yang memenuhi syarat-syarat diantaranya :
1. Isteri yang merdeka, sedangkan bagi isteri yang hamba sahaya ‘iddahnya selesai dengan dua kali haid.
2. Isteri tersebut dalam keadaan tidak hamil (ha>’il). Sedangkan apabila ia hamil ‘iddahnya selesai sampai ia melahirkan.
3. Isteri tersebut telah dicampuri secara hakiki atau hukmi (khalwat) berdasarkan akad yang shahih dan tidak ada perbedaan baik isteri tersebut seorang muslim atau kitabiyah. Ulama H}anafiyyah, H}ana>bilah, dan Khulafa> ar-Ra>syidu>n berpendapat bahwa khalwat berdasarkan akad yang s}ahih dianggap dukhul yang mewajibkan ‘iddah. Sedangkan ulama Sya>fi’iyyah dalam mazhab yang baru (qaul al-jadi>d) berpendapat bahwa khalwat tidak mewajibkan ‘iddah.18)
Penetapan ‘iddah dengan haid ini juga berlaku bagi isteri yang ditinggal mati oleh suaminya dan ia tidak dalam keadaan hamil dalam dua keadaan. Pertama, apabila ia dicampuri secara syubhat dan sebelum putus perkawinannya suaminya meninggal maka ia wajib ber’iddah berdasarkan haid. Kedua, apabila akadnya fasid dan suaminya meninggal maka ia ber’iddah dengan berdasarkan haid tidak dengan empat bulan sepuluh hari yang merupakan ‘iddah atas kematian suami karena hikmah ‘iddah di sini adalah untuk mengetahui kebersihan rahim dan tidak untuk berduka terhadap suami karena dalam hal mencampuri secara syubhat tidak ada suami dan dalam akad yang fasid tidak ada suami secara syar’i maka tidak wajib berduka atas suami.
b. ‘Iddah berdasarkan bilangan bulan
Apabila perempuan (isteri) merdeka dalam keadaan tidak hamil dan telah dicampuri baik secara hakiki atau hukmi dalam bentuk perkawinan sahih dan dia tidak mengalami haid karena sebab apapun baik karena dia masih belum dewasa atau sudah dewasa tetapi telah menopause yaitu sekitar umur 55 tahun atau telah mencapai umur 15 tahun dan belum haid kemudian putus perkawinan antara dia dengan suaminya karena talak, atau fasakh atau berdasarkan sebab-sebab yang lain maka ‘iddahnya adalah tiga bulan penuh berdasarkan firman Allah dalam Surat at-T}ala>q (65) : 4. Dalam hal ini bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya dan ia tidak dalam keadaan hamil dan masih mengalami haid ‘iddahnya empat bulan sepuluh hari berdasarkan firman Allah dalam Surat al-Baqarah (2) : 234.
c. ‘Iddah karena kematian suaminya
Sementara itu jika putusnya perkawinan disebabkan karena kematian suami maka apabila isteri dalam keadaan hamil ‘iddahnya sampai melahirkan. Mayoritas ulama menurut Ibn Rusyd berpendapat bahwa masa ‘iddah perempuan tersebut adalah sampai melahirkan, meskipun selisih waktu kematian suami hingga ia melahirkan hanya setengah bulan atau kurang dari empat bulan sepuluh hari. Sementara menurut Ma>lik dan Ibn ‘Abba>s dan Ali> bin Abi> T}a>lib masa ‘iddah perempuan tersebut diambil waktu yang terlama dari dua jenis ‘iddah tersebut apakah empat bulan sepuluh hari atau sampai melahirkan.19) Menurut jumhur ulama antara lain H}anafiyyah dan jumhur shahabat telah diriwayatkan bahwa Umar dan Abdullah bin Mas’u>d dan Zaid bin S|a>bit dan Abdullah bin Umar dan Abu> Hurairah mengatakan : “ ‘iddahnya ialah dengan melahirkan kandungan yang ada di dalam perutnya meskipun suaminya ketika itu masih berada di atas kasur tempat membaringkan mayatnya.” Ini berarti bahwa ayat dari Surat at-T}ala>q mentakhsis ayat Surat al-Baqarah yang menjelaskan ‘iddah bagi isteri yang ditinggal mati oleh suaminya adalah empat bulan sepuluh hari. Hal ini karena ayat Surat at-T}a>laq diturunkan setelah ayat Surat al-Baqarah.20)
Dan bagi isteri yang tidak dalam keadaan hamil ‘iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari berdasarkan Surat al-Baqarah (2) : 234. Dalam hal ini tidak ada perbedaan baik isteri masih kecil atau sudah dewasa, muslim atau kitabiyah begitu pula apakah sudah melakukan hubungan atau belum karena ‘iddah dalam kondisi seperti ini adalah untuk menunjukkan kesedihan dan rasa belas kasih atas kematian suami sehingga disyaratkan bahwa akadnya s}ahi>h, jika akadnya fasid maka ‘iddahnya dengan haid karena untuk mengetahui kebersihan rahim. Semua ketentuan ini adalah bagi isteri yang merdeka sementara jika isteri adalah hamba sahaya dan hamil maka ‘iddahnya sama dengan isteri yang merdeka yaitu sampai melahirkan dan jika tidak hamil dan masih mengalami haid ‘iddahnya adalah dua kali haid berdasarkan hadis\ Nabi :
طلاق الامة تطليقتان وقرؤها حيضتان (21
d. ‘Iddah bagi isteri qabla ad-dukhu>l
Adapun jika putusnya perkawinan terjadi sebelum dukhul (hubungan seks) apabila disebabkan oleh kematian suami maka wajib bagi isteri untuk ber’iddah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Dan jika putusnya perkawinan disebabkan karena talaq atau fasakh maka tidak ada kewajiban ‘iddah bagi isteri. Jika nikahnya berdasarkan akad sahih tidak disyaratkan adanya hubungan seks ( dukhul) hakiki akan tetapi adanya khalwat shahih sudah mewajibkan untuk ber’iddah sebaliknya jika berdasarkan akad fasid maka tidak wajib ber’iddah kecuali telah terjadi dukhu>l hakiki ( hubungan seks). Dan tidak ada kewajiban ‘iddah bagi isteri yang dicerai sebelum dicampuri ( qabla ad-dukhu>l) berdasarkan firman Allah dalam Surat al-Ahzab (33) : 49.
C. Hikmah ‘Iddah
Perlu dimengerti bahwa Allah tidaklah meninggalkan perintah bagi kita maupun kaidah-kaidah penetapan hukum kecuali di dalamnya terdapat hikmah yang tinggi untuk menolong manusia di dunia maupun akhirat. Adapun hikmah disyari’atkannya ‘iddah antara lain :
1. Mengetahui kebersihan rahim dan kesuciannya sehingga tidak berkumpul benih dua laki-laki dalam satu rahim yang menyebabkan bercampurnya keturunan.
2. Menunjukkan penghormatan terhadap akad dan mengagungkannya.
3. Memperpanjang waktu untuk ruju’ bagi suami yang menjatuhkan talaq raj’i.
4. Menghormati hak suami yang meninggal dengan menunjukkan rasa sedih atas kepergiannya.
5. Kehati-hatian (ihtiyat) terhadap hak suami yang kedua.22)
6. Memberikan kesempatan kepada keduanya secara bersama-sama untuk memulai kehidupan keluarga dengan akad baru jika dalam bentuk talak ba’in.23)
7. Ihdad bagi isteri atas kematian suaminya.24)
8. Memuliakan isteri merdeka dari pada isteri hamba sahaya.25)
9. Perlindungan terhadap penyakit seks menular.
Sebenarnya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dalam bidang kedokteran, untuk mengetahui hamil atau tidaknya seorang perempuan tidak harus menunggu minimal sampai satu kali haid, akan tetapi dalam hal ini terdapat hikmah bahwa diantara maksud ditetapkannya ‘iddah adalah untuk memberikan waktu bagi kedua belah pihak untuk saling berpikir dan introspeksi terhadap diri sehingga dapat membenahi dan mewujudkan kembali kehidupan rumah tangga yang bahagia. Selain itu dengan ditetapkannya ‘iddah menunjukkan bahwa ikatan perkawinan adalah ikatan yang kokoh dan suci ( mis\a>qan gali>z}an) yang tidak mudah putus hanya dengan jatuhnya talak. Karena talak adalah sesuatu yang boleh dilakukan tetapi sangat dibenci di sisi Allah.
D. ‘Iddah Perempuan Hamil Karena Zina Dalam Pandangan Ulama
Sepanjang kedua jenis ‘iddah bagi perempuan hamil sebagai akibat dari perkawinan yang sah, baik karena kematian suaminya atau talak tidak begitu banyak mengundang kontroversi karena masing-masing telah dijelaskan oleh nass secara eksplisit. Akan tetapi dalam hal ’iddah bagi perempuan hamil karena zina maka tidak ada penjelasan secara eksplisit oleh nass. Sebagai konsekuensinya maka muncul perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang ada tidaknya kewajiban ‘iddah bagi perempuan tersebut ataupun tenggang waktu masa ‘iddah tersebut. Pada dasarnya ulama telah sepakat bahwa jika perempuan hamil karena zina menikah dengan orang yang menghamilinya tidak berlaku kewajiban ‘iddah. Sedangkan jika perempuan hamil karena zina menikah dengan laki-laki yang tidak menghamilinya maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama sebagai berikut :
1. Pandangan ulama Ma>likiyyah terhadap ‘iddah perempuan hamil karena zina
Ulama Ma>likiyyah berpendapat bahwa perempuan yang dicampuri dalam bentuk zina sama hukumnya dengan perempuan yang dicampuri secara syubhat, berdasarkan akad yang batil maupun fasid yaitu dia harus menyucikan dirinya dalam waktu yang sama dengan ‘iddah kecuali jika dikehendaki untuk dilakukan hadd atas dirinya, maka ia cukup menyucikan dirinya dengan satu kali haid.27) Adapun bagi perempuan hamil karena zina maka perempuan tersebut wajib menjalankan ‘iddah dengan tiga kali haid atau dengan tenggang waktu tiga bulan, baik bagi perempuan yang telah tampak kehamilannya maupun belum. Adapun yang pertama (telah tampak kehamilannya) berdasarkan hadis\ :
من كان يؤمن بالله واليوم الاخر فلا يسقي مأه ولد غيره(28
Sedangkan yang kedua (belum tampak kehamilannya) karena untuk menghindari bercampurnya keturunan.29)
Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa seorang perempuan hamil karena zina maka ketentuan ‘iddahnya adalah sampai dengan melahirkan.30) Berdasarkan firman Allah :
واولات الاحمال اجلهن ان يضعن حملهن …. )
2. Pandangan ulama H}anafiyyah terhadap ‘iddah perempuan hamil karena zina
Ulama H}anafiyyah berpendapat bahwa perempuan hamil karena zina tidak diwajibkan untuk menjalankan ‘iddah, karena ‘iddah bertujuan untuk menjaga nasab sementara persetubuhan dalam bentuk zina tidak menyebabkan hubungan nasab dengan laki – laki yang menyebabkan hamil.31) Sehingga boleh menikahi perempuan hamil karena zina tanpa harus menunggu ‘iddah. Pendapat ini didasarkan pada dua alasan.32) Pertama, laki-laki yang berzina dengan perempuan tersebut tidak disebutkan sebagai muharramat maka hukumnya mubah berdasarkan firman Allah :
واحل لكم ماورأ ذلكم….(33
Kedua, tidak ada penghargaan bagi air mani dalam hubungan zina dengan alasan air tersebut tidak menetapkan nasab berdasarkan hadis :
الولد للفراش وللعاهر الحجر(34
Akan tetapi menurut Abu Yusuf (salah seorang ulama Hanafiyah) ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina adalah sampai dengan melahirkan.35)
Sebagian ulama H}anafiyyah menambahkan bahwa terdapat larangan bagi suami untuk menggauli isterinya itu selama masih dalam keadaan hamil sampai isterinya melahirkan.36) Adapun larangan untuk mencampuri selama perempuan tersebut masih dalam keadaan hamil didasarkan pada hadis\ :
من كان يؤمن بالله واليوم الا خر فلا يسقي مأه ولد غيره(37
3. Pandangan ulama Sya>fi’iyyah terhadap ‘iddah perempuan hamil karena zina
Menurut ulama Sya>fi’iyyah perempuan yang dicampuri secara zina maka tidak ada kewajiban ‘iddah baginya dan diperbolehkan untuk menikahi perempuan hamil karena zina serta mencampurinya.38) Pendapat ini didasarkan pada hadis :
لايحرم الحرام الحلال (39
Karena mencampuri dalam bentuk zina tidak menyebabkan hubungan nasab maka tidak diharamkan menikahi perempuan tersebut seperti halnya jika tidak hamil.40)
4. Pandangan ulama H}ana>bilah terhadap ‘iddah perempuan hamil karena zina
Ulama H}ana>bilah menyatakan bahwa ‘iddah perempuan hamil karena zina seperti halnya ‘iddah yang berlaku bagi isteri yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan hamil yaitu sampai dengan melahirkan.41) Selain itu masih terdapat satu syarat lagi yaitu taubat. Konsekuensi dari pendapat ini adalah larangan untuk menikahi perempuan tersebut pada waktu hamil. Pendapat ini didasarkan pada hadis\ Nabi :
لايحل لإمرئ يؤمن بالله واليوم الآخر ان يسقى ماءه زرع غيره(42
لاتوطأ حامل حتى تضع , ولا غير ذات حمل حتى تحيض حيضة(43
Perbedaan pendapat yang muncul di kalangan ulama di atas kalau dikelompokkan dapat dibagi menjadi dua yaitu pendapat yang mewajibkan ‘iddah dan tidak mewajibkan ‘iddah terhadap perempuan hamil karena zina. Sementara mengenai dengan siapa perempuan hamil tersebut akan dikawinkan, apakah dengan laki-laki yang menghamili atau bukan sehingga mempengaruhi boleh dan tidaknya mencampuri perempuan tersebut pada waktu hamil, tidak ada penjelasan secara eksplisit.
Dari sisi sosiologi memang pendapat yang tidak mewajibkan adanya ‘iddah ( H}anafi dan Sya>fi’i ) menguntungkan pihak wanita karena dapat menutup aibnya dan tidak menanggung malu. Sedangkan pendapat Ma>lik dan Ah}mad yang mewajibkan adanya ‘iddah jika ditinjau dari segi tegaknya hukum, cukup positif, karena orang lebih berhati-hati dalam pergaulan, baik bagi muda-mudi maupun orang tua dalam mengawasi putera-puteri mereka. Di sini orang yang terlanjur melakukan zina sampai hamil memang dikorbankan, akan tetapi menjaga masyarakat banyak lebih utama dari pada perorangan. Biarlah satu orang menjadi korban, tetapi masyarakat tetap baik dan kasusnya menjadi pelajaran.44) Pendapat Ma>lik dan Ah}mad ini apabila dianut akan lebih menjamin terpeliharanya nilai-nilai akhlak dalam masyarakat.45) BAB III
‘IDDAH PEREMPUAN HAMIL KARENA ZINA DALAM KHI
Masalah ‘iddah dalam KHI diatur pada Bab XVII tentang Akibat Putusnya Perkawinan bagian kedua yaitu waktu tunggu pasal 153, 154, dan 155. Akan tetapi ‘iddah yang dijelaskan dalam pasal-pasal tersebut hanyalah ‘iddah yang telah disepakati oleh para ulama. Sedangkan masalah ‘iddah perempuan hamil karena zina tidak ada penjelasan secara eksplisit di dalam KHI. Namun kalau dicermati, ketentuan ‘iddah perempuan hamil karena zina tersebut sebenarnya dijelaskan secara implisit oleh KHI dalam pasal 53 yang mengatur masalah kawin hamil khususnya ayat kedua.
Dalam hal ini ‘iddah perempuan hamil karena zina dapat dibagi berdasarkan dengan siapa perempuan tersebut akan dikawinkan. Pertama, ‘iddah perempuan hamil karena zina jika dikawinkan dengan laki-laki yang menghamili. Kedua, ‘iddah perempuan hamil karena zina jika dikawinkan dengan laki-laki yang tidak menghamilinya.
A. Ketentuan ‘Iddah Dalam KHI
Dalam Kompilasi Hukum Islam, masalah ‘iddah atau waktu tunggu dijelaskan dalam pasal 153, 154 dan 155. Pasal 153 ayat (1) KHI menyatakan : “ bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau ‘iddah, kecuali qabla ad-dukhu>l dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.”
Adapun macam – macam ‘iddah dalam KHI dijelaskan sebagai berikut :
1. Putus perkawinan karena ditinggal mati suami
Pasal 153 ayat (2) huruf a KHI menjelaskan : “ apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla ad-dukhu>l, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari”. Ini berdasarkan Surat al-Baqarah (2) : 234.
Ketentuan di atas berlaku bagi isteri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan tidak hamil. Sedangkan apabila isteri tersebut dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu bagi mereka adalah sampai ia melahirkan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 153 ayat (2) huruf d KHI. Hal ini didasarkan pada Surat at-Talaq (65) : 4.
Persoalan yang muncul kemudian adalah apabila isteri dalam keadaan hamil tersebut melahirkan dalam waktu tidak sampai empat bulan sepuluh hari. Dalam hal ini tidak terdapat penjelasan di dalam KHI. Sementara itu mayoritas ulama berpendapat bahwa masa ‘iddah perempuan tersebut adalah sampai melahirkan meskipun selisih waktu kematian suami hingga ia melahirkan hanya setengah bulan.
Adapun menurut Ma>lik dari Ibn ‘Abba>s berpendapat bahwa ‘iddah bagi perempuan tersebut adalah berdasarkan waktu yang paling lama dari dua jenis ‘iddah tersebut, apakah 130 hari atau melahirkan. Ali> bin Abi> T}a>lib sependapat dengan pendapat Ma>lik tersebut. Argumentasi yang dikemukakan adalah mengkompromikan kedua ayat tentang ‘iddah hamil (at-T}a>laq (65) : 4 dan ayat tentang isteri yang ditinggal mati suaminya (al-Baqarah (2) : 234).1)
Pendapat Ma>lik diatas tampak lebih rasional yaitu untuk memberikan tenggang waktu berbela sungkawa relatif lebih lama. Karena kematian suami bagaimanapun bukanlah persoalan yang dapat segera dilupakan, namun ia membawa dampak psikologis yang memerlukan waktu untuk memulihkannya.2)
2. Putus perkawinan karena perceraian
Isteri yang dicerai suaminya dapat berlaku beberapa kemungkinan waktu tunggu sesuai dengan keadaannya :
a. Dalam keadaan hamil.
Apabila isteri dicerai suaminya dalam keadaan hamil maka ‘iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya seperti dijelaskan dalam pasal 153 ayat (2) huruf c KHI.
b. Apabila dicerai suaminya setelah terjadi hubungan kelamin (dukhul) :
1) Bagi yang masih datang bulan, waktu tunggunya adalah tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari (pasal 153 ayat (2) huruf b KHI).
2) Bagi yang tidak atau belum datang bulan masa ‘iddahnya tiga bulan atau 90 (sembilan puluh) hari(pasal 153 ayat (2) huruf b KHI).
3) Bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani ‘iddah tidak haid karena menyusui maka ‘iddahnya tiga kali waktu suci (pasal 153 ayat (5) KHI).
4) Dalam keadaan pada ayat (5) tersebut bukan karena menyusui maka ‘iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid kembali, maka ‘iddahnya menjadi tiga kali suci (pasal 153 ayat (6) KHI).
3. Putus perkawinan karena faskh, khulu>’ dan li’a>n
Waktu ‘iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khulu’ (cerai gugat atas dasar tebusan atau ‘iwad} dari isteri), fasakh, atau li’a>n, maka waktu tunggu berlaku seperti ‘iddah talak (pasal 155 KHI).
4. Isteri ditalak raj’i kemudian ditinggal mati suami dalam masa ‘iddah
Apabila isteri tertalak raj’i kemudian dalam waktu ‘iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) pasal 153 KHI ditinggal mati oleh suaminya, maka ‘iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari (130 hari) terhitung saat matinya bekas suami (pasal 154 KHI).
Selanjutnya dalam pasal 153 ayat (4) KHI menjelaskan bahwa bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu dihitung sejak kematian suami.
B. ‘Iddah Perempuan Hamil Karena Zina dalam KHI
1. ‘Iddah Perempuan Hamil Karena Zina jika Menikah dengan Laki-laki yang Menghamilinya.
Secara implisit ketentuan ‘iddah perempuan hamil karena zina jika menikah dengan laki-laki yang menghamilinya dijelaskan dalam pasal 53 ayat 2. Adapun pasal 53 KHI tersebut berbunyi :
1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Dalam pasal 53 ayat 2 diatas dapat diperoleh penjelasan secara implisit bahwa jika perempuan hamil karena zina menikah dengan laki-laki yang menghamilinya tidak ada kewajiban untuk menjalankan ‘iddah yaitu sampai melahirkan. Seperti dijelaskan dalam ayat 2 bahwa perempuan tersebut dapat langsung dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya tanpa harus menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
Memang ketentuan yang terdapat dalam pasal 53 ayat 2 merupakan suatu bagian integral dari pasal 53. Dalam arti bahwa antara ayat yang satu dengan ayat yang lain merupakan satu kesatuan. Sehingga tidak mungkin terjadi kontradiksi antar ayat dalam pasal 53. Karena ketentuan ayat 2 tersebut sangat terkait dengan kebolehan kawin hamil. Maka seandainya ada kewajiban untuk menjalankan ‘iddah (sampai melahirkan) berarti bertentangan dengan pasal 53 ayat 1 tentang kebolehan kawin hamil.
2. ‘Iddah Perempuan Hamil Karena Zina jika Menikah dengan Laki-laki yang Tidak Menghamilinya
Ketentuan ‘iddah perempuan hamil karena zina jika menikah dengan laki-laki yang tidak menghamilinya juga tidak dijelaskan secara eksplisit di dalam KHI. Sementara dalam pasal 53 ayat 2 sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, secara implisit hanya menjelaskan ketentuan ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina yang menikah dengan laki-laki yang menghamilinya.
Tetapi jika dikaji lebih jauh sebenarnya ketentuan dalam pasal 53 ayat 2 tersebut membuka peluang bagi kebolehan kawin hamil dengan laki-laki yang tidak menghamili. Seandainya laki-laki tersebut bersedia mengawini dan tidak disanggah oleh perempuan yang bersangkutan maka telah dianggap benar sebagai laki-laki yang menghamili. Sehingga kemungkinan pernikahan antara seorang laki-laki yang tidak menghamili perempuan hamil tersebut, sebagai bapak formal, sebagai pengganti karena laki-laki yang menghamilinya tidak bertanggung jawab, bisa terjadi untuk tidak mengatakan sering. ) Pernikahan seperti ini dalam adat Jawa disebut nikah Tambelan, sedangkan di dalam masyarakat Bugis disebut Pattongkok Siriq. )
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah uraian pada bab-bab sebelumnya yang mencakup pendahuluan, tinjauan umum tentang ‘iddah, ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam KHI dan analisis terhadap ketentuan ‘iddah perempuan hamil karena zina dalam KHI maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut :
1. Pasal 53 ayat 2 KHI menjelaskan bahwa tidak ada kewajiban ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina dengan dapat dikawinkan langsung dengan laki-laki yang menghamilinya tanpa harus menunggu terlebih dahulu kelahiran anak yang ada dalam kandungan. Adapun dalam hal perkawinan dengan laki-laki yang bukan menghamilinya tidak ada penjelasan. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan ketentuan ini juga berlaku bagi laki-laki yang tidak menghamilinya. Karena seandainya laki-laki tersebut besedia menikahi dan tidak disanggah oleh perempuan yang bersangkutan maka telah dianggap benar sebagai laki-laki yang menghamili.
2. Pada dasarnya tidak ada kewajiban ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina jika menikah baik dengan laki-laki yang menghamilinya atau bukan. Untuk yang pertama memang telah dijelaskan oleh KHI dalam pasal 53 ayat 2 dan telah disepakati oleh ulama. Sedangkan yang kedua,tidak dijelaskan oleh KHI dan terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ulama Syafi’iyyah dan Hanafiyyah tidak mewajibkan ‘iddah sedangkan ulama Malikiyyah dan Hanabilah mewajibkan ‘iddah yaitu sampai melahirkan. Akan tetapi mengingat dampak psikologis maupun sosiologis yang akan ditimbulkan, maka akan lebih baik kalau perempuan hamil karena zina tidak diwajibkan ‘iddah meski menikah dengan laki-laki yang tidak menghamilinya, karena laki-laki yang menghamilinya tidak bertanggung jawab.
B. Saran-saran
1. Perlu dipahami bahwa jenis perkawinan perempuan hamil karena zina baik dengan laki-laki yang menghamilinya atau bukan adalah jenis perkawinan darurat, sehingga jangan sampai dijadikan tradisi.
2. Berkaitan dengan kebolehan kawin hamil ini kita tidak boleh terpaku kepada legalitas hukum, akan tetapi merumuskan bagaimana agar tidak membuka peluang yang lebih besar bagi perzinaan merupakan hal yang sangat perlu untuk dipikirkan.
3. Dengan perhatian orang tua di dalam mendidik anak khususnya tentang agama, moral dan budi pekerti serta partisipasi masyarakat untuk ikut mencegah pornografi, serta pergaulan bebas di kalangan muda-mudi diharapkan dapat mengurangi maraknya perzinaan. Akan tetapi, sebenarnya hal ini kembali kepada masing-masing individu, sejauh mana penghayatan dan pengamalan keimanan dan keberagamaan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Qur’an
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Yayasan Penyelenggaraan Penterjemahaan al-Qur’an, 1989
2. Kelompok Hadits :
Majah, Ibn, Sunan Ibnu Majah, “Kitab At-Talaq, Bab fi Talaq Al-Ammah wa ‘Iddatiha, Semarang : Taha Putra, t.t, 2 juz
Muslim, Imam, Sahih Muslim, “ Kitab ar-Rada “, Bab al-Waladu Li al-Firasi wa Tauqi asy-Syubhat, ttp : al-Qana’ah, t.t, 2 juz
Sulaiman, Abi Dawud, Sunan Abi Dawud, “Kitab an-Nikah”, bab fi wat’i as-Sabaya, t.tp.: Dar al-Fikr, t.t., 4 juz
Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, “ Kitab at-Talaq wa Li’an”, Bab Ma Ja’a fi ‘lddati al-Mutawaffa ‘anha Zaujaha, Makkah : Maktabah at-Tijariyah, t.t, 5 juz
3. Kelompok Fiqh dan Ushul Fiqh :
‘Abidin, Ibn, Radd al-Mukhtar’ala al-Dur al-Mukhtar,(Beirut:Dar al-Ihya’ al-Turuki al-‘Arabiy,1407 H/1987 M, 5 juz
Ahmad, Noer dkk, Epistemologi Syara : Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, cet. I, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2000
al-H}anafi, Ibn al-Huma>m >,Fath al-Qodi>rI,cet. II,(t.tp:Da>r al-Fikr,1379 H/ 1977 M),4 juz
al-Bagda>di, Al-Qa>d}i ‘Abd al-Wahhab, Al-Ma’u>natu ‘ala> Maz}hab ‘Alim al-Madi>nati al-Ima>m Ma>lik ibn Anas,cet. III Beirut:Da>r al-Fikr,1415 H/ 1995 M, 2 juz
Ibn As\i>r, An-Niha>yah fi> Gari>b al-H}adi>s\ wa al-As\ar, Beirut:Maktabah al-‘Ilmiyyah,t.t, 5 juz
al-Jauziyyah, Ibn al-Qoyyim,I’la>m al-Muwaqqi’i>n ‘an Rabb al-‘A>lami>n,Beirut:Da>r al-Fikr ,t.t, 2 juz
Anderson, J.N.D, Islamic Law in the Modern World, New York : New York University Press,1959
Ansari, Abu Yahya Zakariya, Fath al-Wahhab, Semarang : Toha Putra, t.t
Ansary, Hafiz A.Z dan Chuzaimah T. Yanggo (ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer II, cet. II Jakarta : Pustaka Firdaus, 1996
, Problematika Hukum Islam Kontemporer I, cet. II Jakarta : Pustaka Firdaus, 1996
Badran, Badran Abu ‘Ainain, az-Zawaj wa Talaq fi al-Islam : Fiqh Maqarin baina al-Mazhahib al-Arba’ah as-Sunnah wa al-Mazhab al-Jaghfari wa al-Qonun, Iskandaria : Muasasah Syabab al-Jami’ah, t.t
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, cet. IX Yogyakarta:UII Press,1999
Bukhori, M. Hubungan Seks Menurut Islam, cet. I Jakarta : Bumi Aksara,1994
Djamil, Fathurrahman, Filasafat Hukum Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999
Ghazali, Abdul Moqsith, dkk, Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan, editor : Amiruddin Arani dan Faqihudin Abdul Qodir,cet.I Yogyakarta:LKIS,2002
Gundur, Ahmad, At-Talaq fi Syari’ah al-Islamiyah wa al-Qonun, cet. I Mesir : Dar al-Ma’arif, 1967
Hasaballah, Ali, al-Furqah Baina az-Zawjaini wa Ma Yata’allaqu biha min ‘Iddatin wa Nasab,t.tp:Dar al-Fikr al-‘Arabiy,t.t
Hasan, M.Ali, Masail Fiqhiyah al-Hadisah : Masalah – Masalah Kontemporer, cet. II Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1997
Ibn Naji>m ,Zain al-‘A>bidi>n Ibn Ibra>hi>m, al-Asybah wa an-Naz}a>’ir, cet. I Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah,1413H / 1993 M
Ibyani, Muhammad Zaid, Syarh al-Ahkam asy-Syari’ah fi al-Ahwal asy-Syakhsiyah, Beirut : Maktabah an-Nahdah, t.t, 3 juz
Jaziri, Abdurrahman, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazhahib al-Arba’ah, Mesir : Maktabah at-tijariyah al-Kubra, 1969, 5 juz
Jamil, Javed, “ Extraordinary Importance of Iddah in Family-Health” in Islam and the Modern Age,2000, 4 Vol
Jurjawi, Ali Ahmad, Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuh, t.tp : Dar al-Fikr, t.t, 2 juz
Kasani, Abu Bakar Ibn Mas’ud, Bada’I Sana’I fi Tartib asy-Syara’I, cet. I Beirut : Dar al-Fikr, 1996, 7 juz
Mas’adi, Ghufron Ajib, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, cet.II Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998
Mughniyyah, Muhammad Jawad, Al-Ahwal asy-Syakhsiyyah, cet. I Beirut : Dar al-‘Ilmi Li al-Malayin, 1964
Musa, Muhammad Yusuf, Ahkam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah fi Fiqh al-Islami, cet. I Mesir : Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1957 M/1376 H
Muzarie, Mukhlisin, Kontroversi Perkawinan wanita Hamil, cet. I Yogyakarta : Pustaka Dinamika, 2002
Muhdlor, A. Zuhdi, Memahami Hukum Perkawinan Islam (Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk),cet.II Bandung:al-Bayan,1995
Mu’alim, Amir dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, editor : M.B Mukhlisin dan Sobirin Malian, cet. II Yogyakarta:UII Press,2001
Qudamah, Ibn, al-Mughni, t.tp : Maktabah al-Jumhuriyyah al-‘Arabiyah, t.t, 9 juz
_________, al-Ka>fi> fi> Fiqh al-Ima>m al-Mujabbal Ahmad ibn Hanbal,(ttp: al-Maktabah al-Islam,t.t), 3juz
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, cet. IV Bandung : al-Ma’arif, t.t
Rusyd, Ibn, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Beirut : Dar al-Fikr, 1995, 2 juz
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia,cet.IV, Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2000
Rofiq, Ahmad Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, cet.I (Yogyakarta: Gama Media,2001),hlm.79-96.
Rumadi, dan Marzuki Wahid, Fiqh Mazhab Negara : Kritik Atas Politik Hukum di Indonesia, editor : Nurul Huda, cet.1,Yogyakarta:LKIS Yogyakarta, 2001
Sabiq, Sayid, Fiqh as-Sunah, cet. IV Beirut : Dar al-Fikr, 1983, 3 juz
San’ani, Subul as-Salam, Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t, 4 juz
Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic Law, Oxford : Oxford University Press, 1964
Sirry, Mun’im A, Sejarah Fiqh Islam : Suatu Pengantar, cet. II Surabaya : Risalah Gusti, 1996
Syarifuddin, Amir, Meretas Kebekuan Ijtihad : Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, editor : Abdul Halim cet. I Jakarta : Ciputat Press, 2002
________________, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang : Angkasa Raya, 1990
Sudirman Tebba, Sosiologi Hukum Islam, cet.I (Yogyakarta:UII Press, 2003),hlm.52
Zahrah, Muhammad Abu, Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah, ttp : Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t
Az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, cet. IV Damaskus : Dar al-Fikr, 1997 M/1418 H, 11 juz
4. Kelompok Umum :
Bisri, Cik Hasan (et.al); editor : Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, cet.II Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999
Muhammad, Bushar, Pokok-Pokok Hukum Adat, cet.II Jakarta : Pradnya Paramita, 2000
Muttaqien, Dadan dkk (ed), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, edisi II Yogyakarta : UII Press,2000
Ibn Mundzir, Lisan al-‘Arab, ttp : tnp, t.t
Kompilasi Hukum Islam
Undang – Undang Perkawinan di Indonesia, Surabaya : Arkola,t.t
5. Kelompok Jurnal dan Artikel :
Mudzhar, ‘Atho’, Social History Approach to Islamic Law, Al-Jami’ah, No.61, 1998
TERJEMAHAN

BAB I
Tidak halal bagi seorang laki-laki yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menumpahkan air ( mani) nya diatas benih orang lain.
Jangan dicampuri perempuan yang hamil sebelum melahirkan dan perempuan yang tidak hamil sebelum berhaid satu kali
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi( Menopause) diantara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu tentang masa ‘iddahnya ) maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu sampai melahirkan kandungannya, dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
Sama dengan foot note no 19
Menghindari kerusakan lebih utama dari pada menarik kemaslahatan
BAB II
Wanita-wanita yang tertalak hendaklah menahan diri ( menunggu) tiga kali quru’
Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri ( hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya ( ber’iddah) empat bulan sepuluh hari
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang minta menyempurnakanya.
Sama dengan foot note no. 34
Tidak halal bagi perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir berihdad lebih dari tiga malam terhadap orang yang meninngal, kecuali terhadap suami yang meningal maka ia harus berihdad empat bulan sepuluh hari
Ber’iddahlah dirumah anak umi makum
Talak bagi hamba sahaya adalah dua kali
Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan menumpahkan airnya ( sperma) diatas janin orang lain
Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian
Anak adalah milik ibu yang dicampuri dan bagi pezina adalah al-khaibah ( tidak dihargai spermanya)
Sama dengan foot note no : 28
Sesuatu yang haram tidak mengharamkan sesuatu yang halal
Sama dengan foot note no : 19
Sama dengan foot note no : 20
BAB IV
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.
Sama dengan foot note no : 39
Sama dengan foot note no : 33
Sama dengan foot note no : 34
Menghindari kerusakan lebih utama dari pada menarik kemaslahatan.
BIOGRAFI ULAMA
1. Ahmad Azhar Basyir
Beliau lahir di Jogjakarta pada tanggal 21 November 1928 beliau adalah alumnus PTAIN Jogjakarta ( 1956) dan memperoleh gelar Magister dalam studi Islam pada universitas Cairo (1965). Mengikuti pendidikan purna sarjana dalam bidang Filasafat di Universitas Gajah Madah (1971-1972). Beliau juga menjabat lector pada almamater yang sama dalam bidang Filsafat Islam dengan merangkap Islamologi, Hukum Islam dan pendidikan agama Islam, dosen luar biasa di IAIN, UII, dan UMY.
Diantara karyanya adalah hukum perkawinan Islam, Hukum Waris Islam, Ikhtisar Figh Jinayat, Asas-asas Muamalat dan lain-lain.
2. As-Sayyid Sabiq
Seorang ulama Mesir yang memiliki reputasi Internasional di bidang Fiqh dan dakwah Islam terutama melalui karyanya yang monumental yaitu Fiqh as-Sunnah, al-Tikami. Lahir di Islanka bertemu dengan khalifa ketiga Usman Bin Affan. Menganut mazhab Syafi’i termasuk keluarga as-Sayid Sabiq namun as-Sayyid Sabiq lebih memilih mengambil mazhab Hanafi di Universitas Ummu al Qarra’ Makkah sampai sekarang.
3. Ibn Rusyd
Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd al-Qurtubi lahir di Cardova beliau adalah seorang dokter, ahli hukum dan Filosof, di Barat ia lebih dikenal dengan sebutan Averous, ilmu-ilmu yang ditekuninya meliputi fisika, kimia, astronomi, logika dan lain-lain karyanya yang terkenal adalah Bidayah al- Mujtahid wa Nihayah al Muqtasid
4. Ibn Qudamah
Nama lengkapnya adalah Muaffaq ad- Din Abu Muhammad Abdillah Ibn Ahmad Ibn Muhammad Bin Qudamah Magdisi, lahir dan meninggal di Damaskus( 541H/1147-620H/1224M) beliau adalah ulama besar di bidang ilmu Fiqh. Beliau belajar ilmu Fiqh kepada Syekh Abd-Qadi Al Jailani selama empat tahun di Bagdad, menurut sejarawan beliau termasuk keturunan Khalifah Umar Ibn Khattab beliau juga belajar kepada Ibn Al Manni’ seorang ahli Fiqh dan Ushul Fiqh dari Mazhab Hambali di Bagdad, diantara karyanya adalah al-Mugni ( kitab Fiqh satandar dalam mazhab Hanbali) al-Kabir almugni Raudah an Nazir fi Ushul Fiqh dan lain-lain muridnya yang paling terkenal adalah Abu al Faraj dan al ahmad al Magdisi
5. Muhammad Abu Zahrah
Beliau adalah guru besar hukum Islam di universitas al Azhar Mesir, termasuk orang pertama ilmu perbandingan Mazhab, beliau sangat produktif menulis buku dalam berbagai disiplin ilmu keislaman, terutama hukum Islam, karyanya antara lain:
Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, Ushul al-Fiqh, dan buku-buku biografi Imam–Imam Mujtahid
CURRICULUM VITAE :
Nama : Muhammad Isna Wahyudi
NIM : 00350175
Tempat/Tgl.Lahir : Semarang, 02 Mei 1981
Alamat : Ngempon RT 05 / I Bergas Semarang 50552
Pendidikan : – SD Negeri Ngempon 1 lulus tahun 1993
- SMP Negeri I Karang Jati lulus tahun 1996
- Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam Sukoharjo 4 tahun lulus tahun 2000
- IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta masuk tahun 2000

0 Comment