Sunday, May 13, 2012

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan sangatlah penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan, manusia sebagai makhluk yang berkehormatan, pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tentram dan penuh rasa kasih sayang antara suami dan isteri.1
Dalam hubungan perkawinan banyak menimbulkan berbagai konsekwensi sebagai dampak adanya perikatan (Aqad) baru yang terjalin, antara lain terjalinnya ikatan kekeluargaan di antara keduanya, di samping itu hubungan perkawinan juga membuahkan adanya hak-hak baru yang sebelumnya tidak ada, kewajiban-kewajiban baru antara pihak yang satu terhadap yang lainnya, di antara kewajiban–kewajiban itu, termasuk kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada isterinya.2
Jika seorang isteri telah menyerahkan dirinya kepada suaminya dan suami itu telah bersenang-senang kepadanya, sedangkan suami isteri tersebut termasuk orang yang ahlu al-istimta>’ dalam perkawinan yang sah maka wajib kepada suami untuk memberikan nafkah dan diserahkan dengan sepantasnya,3 dan hal ini sesuai dengan hadis Nabi Saw:
فاتّقوا الله في النساء فإنّكم أخذ تموهنّ بأمانة الله واستحللتم فروجهنّ بكلمة الله ولكم عليهنّ إلا يوطئن فراشكم أحدا تكرهونه فإنّ فعلن ذلك فاضربوهنّ ضربا غير مبرح ولهنّ عليكم رزقهنّ وكسوتهنّ بالمعروف4
Apabila seorang isteri taat kepada suaminya maka wajib bagi suami memberikan nafkah, sedangkan jika suami tidak memberikannya hingga lewat suatu masa maka nafkah tersebut menjadi hutang suami (nafkah qada>’) karena tanggungannya, dan tidaklah gugur hutang tersebut dengan melewati suatu masa.5
Ibnu Hazm seperti dikutip oleh as-Sayyid Sabiq berkata: “suami berhak menafkahi isterinya sejak terjalinnya akad nikah baik suami mengajak hidup serumah atau tidak, baik isteri masih di buaian atau isteri berbuat nusyuz atau tidak, kaya atau fakir, masih punya orang tua atau yatim piatu, gadis atau janda, merdeka atau budak, semua itu disesuaikan dengan keadaan dan kesanggupan suami”.6
Tanggung jawab suami, tidak hanya ketika seorang wanita itu masih menjadi isterinya yang sah, akan tetapi kewajiban untuk memberikan nafkah juga pada saat perceraian,7 karena pada hakekatnya ucapan cerai itu baru berlaku setelah habis masa ‘iddahnya.8 Berkaitan dengan nafkah Allah SWT berfirman:
وعلي المولود له رزقهنّ وكسوتهنّ بالمعروف9
Terputusnya perkawinan dalam Islam membawa akibat-akibat tertentu baik kepada mantan suami atau kepada mantan isteri.10 Akibat hukum terputusnya perkawinan karena talak adalah:
Bahwa bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya baik berupa uang atau benda, kecuali qabla ad dukhu>l; memberikan nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada bekas isteri selama masa iddah (menunggu), kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyu>z; melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separo apabila qabla ad-dukhu>l; memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.11 dan memberikan nafkah iddahnya kepada bekas isterinya, kecuali isterinya nusyuz.12
Kewajiban-kewajiban tersebut melekat pada diri suami dan harus dipenuhi oleh suami karena merupakan hak-hak isteri sebagai akibat hukum dari cerai talak, dan tanggung jawab nafkah dalam kasus perceraian itu sesuai dengan firman Allah SWT:
أسكنوهنّ من حيث سكنتم من وجدكم ولا تضارّوهنّّ لتضيّقوا عليهنّ وإن كنّ أولات حمل فأنفقوا عليهنّ حتّي يضعن حملهنّ فإن أرضعن لكم فأتوهنّ أجورهنّ وأتمروا بينكم بمعروف وإن تعاسرتم فسترضع له أخرى.13
Menurut mazhab Abu Hani>fah, mantan suaminya wajib memberikan nafkah kepada mereka (mantan isteri) secara komplit dan utuh baik makanan, pakaian, dan tempat tinggal selama masa ‘iddah,14 menurut ulama Mujtahiddin, bahwa wajib kepada seseorang untuk menafkahi orang-orang yang wajib diberikan nafkah seperti isterinya, ayahnya serta anaknya yang masih kecil (belum sampai umur).15 Sedangkan menurut para ulama Maliki suami berkewajiban untuk menyediakan akomodasi bagi isteri yang dicerainya, bila dia telah bercampur dengannya, meskipun demikian, sang suami tak wajib memberikan nafkah kepada isteri yang dicerai talak tiga, tetapi wanita yang hamil tetap mendapatkan nafkahnya baik talak satu maupun talak tiga.16
Sedangkan berkaitan dengan ‘iddah bagi mantan isteri yang dicerai suaminya yang masih hidup (cerai Hidup), adalah : a. Jika perempuan itu masih haid, ‘iddahnya 3 kali sucian; b. Jika perempuan yang ditalak belum/ tidak haid karena belum saatnya (misalnya: usianya masih sedikit atau tidak haid lagi karena sudah tua maka ‘iddahnya 3 bulan).17
Berkaitan dengan persoalan di atas kemudian muncul seorang tokoh feminis muslim asal India, yaitu Asghar Ali Engineer18, yang dilahirkan pada tanggal 10 Maret 1949 di Bombay, yang mempunyai pendapat berbeda dengan fuqaha yang lain mengenai pemberian nafkah bagi isteri yang telah dicerai. Dia adalah seorang Direktur Institut of Islamic Studies, Bombay, India, di samping itu dia juga seorang teolog Islam dengan reputasi Internasional. Dia sudah menulis banyak buku, paper penelitian dan artikel tentang teologi, yurisprudensi, sejarah dan filsafat Islam serta memberi kuliah di berbagai Negara, dia juga adalah seorang feminis muslim yang gigih dalam penegakan kesetaraan gender dan perjuangan untuk menetapkan relasi gender yang berkeadilan dalam Islam. Penulis memilih Asghar disebabkan karena Asghar di mata para tokoh feminis mempunyai kedudukan yang istimewa. Pertama, karena ia menempatkan masalah-masalah pandangan yang berkembang dalam dunia Islam tentang perempuan dari sudut/metode pendekatan yang tidak hanya terbatas pada masalah fiqh akan tetapi juga mencakup aspek filsafat, antropologi, sosiologis dan sejarah. Kedua, dia menyajikan tulisannya dalam prespektif tantangan sosio kultural yang dihadapi dunia Islam zaman modern ini. Di samping pandangannya yang cukup revolusioner dalam bidang teologi yaitu perlunya dikembangkan “teologi pembebasan Islam” namun Asghar juga memiliki pandangan yang cukup liberal dalam menginterpretasikan suatu teks yang dianggap bias gender. Salah satunya adalah mengenai pemberian nafkah bagi mantan isteri yang dicerai.
Menurut Asghar pemberian nafkah bagi mantan isteri yang telah diceraikan tidak hanya selama masa ‘iddah saja, akan tetapi sampai menikah lagi atau mati,19 sebagian pemimpin Islam menganggap bahwa hukum Islam itu suci dan tidak bisa diubah, para pemimpin ini mempropagandakan, dalam Islam mantan isteri yang diceraikan itu hanya dapat jatah nafkah pada periode ‘iddah, bahkan ada diantara pemimpin itu berpendapat bahwa memberikan nafkah di luar periode tersebut adalah dosa.20
Menurut Asghar adalah jauh dari rasa keadilan bila isteri yang dicerai harus dipelihara oleh orang tua atau kerabatnya setelah periode ‘iddah, adalah benar bahwa dalam hukum Islam seorang yang telah dicerai berhak mendapatkan nafkah hanya selama masa ‘iddah, setelah itu dia bebas untuk kawin lagi atau kembali kepada orang tuanya atau jika sudah tidak punya orang tua atau kepada kerabatnya.21
Hal senada juga diungkapkan oleh Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam, berkaitan dengan QS. al-Baqarah: 241, yang menegaskan bahwa perempuan yang ditalak berhak atas mata’ dengan ma’ru>f, sebagai hak atas orang-orang yang bertaqwa. Mata’ dengan ma’ru>f biasanya diartikan sebagai hiburan yang pantas, berupa sejumlah harta yang diberikan kepada isteri yang ditalak, untuk memperluas arti mata’ sebagaimana disebutkan dalam al-Quran yang dikaitkan pula dengan ma’ru>f (yang pantas), tidak ada halangan apabila pengadilan dalam kasus-kasus perceraian tertentu memutuskan ujud dari mata’ itu berupa sejumlah uang yang dapat menjadi biaya hidup mantan isteri sehabis masa ‘iddah, untuk waktu tertentu.22
Sedangkan dasar filosofis yang dikemukakan Asghar adalah bahwa semua manusia adalah sama, merdeka dan makhluk berakal yang memberi kecenderungan kepada persamaan dan keadilan. Oleh karena itu secara natural akan selalu melawan segala bentuk penindasan, diskriminasi dan ketidakadilan dalam segala hal. Dengan menggali nilai-nilai revolusioner dalam kitab suci dan semangat perjuangan para nabi, khusunya Nabi Muhammad dalam menegakkan nilai-nilai keislaman sebagai sumber inspirasi dalam mengkritisi realitas praksis sejarah, Asghar berpendapat bahwa Islam sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat wanita sehingga tidak ada subordinasi atas wanita. Yang ada hanya kesetaraan gender dalam Islam.23
Berangkat dari pendapat Asghar Ali Engineer yang kontroversi dengan pendapat jumhur ulama dan Kompilasi Hukum Islam, maka menjadi sangat penting kiranya masalah ini diteliti lebih mendalam melalui skripsi ini, sebagai kontribusi dan kajian ulang pemikiran dalam pengembangan kajian kontemporer.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana kriteria bagi wanita yang berhak mendapatkan nafkah dari mantan suaminya menurut Asghar? dan bagaimanakah Asghar memahami ayat-ayat al-Qur’an tentang pemberian nafkah bagi mantan isteri?
2. Bagaimana relevansinya dengan konteks sekarang?
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
2. Tujuan Penelitian
a. Untuk menjelaskan bagaimana pandangan Ashgar Ali Engineer kriteri-kriteria bagi mantan isteri yang berhak untuk mendapatkan nafkah, dan untuk menjelaskan pandangan-pandangan Asghar dalam memahami tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan nafkah bagi mantan isteri.
b. Untuk menjelaskan bagaimana relevansi pendapat Asghar dengan konteks sekarang.
3. Kegunaan Penelitian
a. Hasil studi ini setidaknya dapat ikut andil dalam memperkaya kajian keislaman tentang perceraian, khususnya pemberian nafkah bagi mantan isteri.
b. Sebagai bahan kajian ulang bagi pemerhati hukum Islam terutama berkaitan dengan reaktualisasi hukum perkawinan Islam di Indonesia serta kajian ulang terhadap pemikiran Asghar Ali Engineer.
Telaah Pustaka
Asghar Ali Engineer adalah seorang pemikir sekaligus da’i yang memimpin salah satu kelompok Syi’ah Ismai’liyah, Daudi Bohras di Bombay India. Sosok seorang Engineer memang tidak terkenal sebagaimana para pemikir muslim lainnya seperti Ali Syaria’ti, Fazlur Rahman, Hassan Hanafi, maupun Mohammad Arkoun. Namun demikian bukan berarti ia tidak mempunyai reputasi. Reputasinya ditunjukkan melalui berbagai karya yang sudah beredar di komunitas akademis muslim di Malaysia, Philipina, Pakistan, dan anak benua India sendiri. Di Indonesia sendiri karya-karya tulisnya sudah banyak beredar, baik dalam bentuk berbahasa Inggris maupun yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, di antaranya Hak-hak Perempuan dalam Islam, diterbitkan oleh LSPPA, Islam dan Teologi Pembebasan, diterbitkan oleh Pustaka Pelajar, Islam dan Pembebasan oleh LKis, dan lain-lainya.
Walaupun demikian, sepanjang pengamatan penyusun sangat minim sekali tulisan yang membahas dan mencermati pola pemikiran Ashgar Ali Engineer dalam bentuk karya ilmiah. Ada beberapa tulisan yang membahas tentang Asghar Ali Engineer, di antaranya adalah tesis Nasihun Amin, Teologi Pembebasan sebagai Alternatif (Telaah terhadap Pemikiran Ashgar Ali Engineer).24 Dalam tesis ini Nasihun Amin berusaha mencermati pola konstruksi teologi pembebasan Islam yang dibangun oleh Asghar Ali Engineer sebagai bentuk alternatif teologis dalam Islam.
Adapun karya lainnya adalah skripsi Ade Ismail Fahmi, Peran Perempuan dalam Nafkah Keluarga Menurut Pemikiran Syekh Nawawi dan Asghar Ali Engineer.25 Dalam skripsi ini penulisnya berusaha melakukan studi komparatif antara pemikiraan Syekh Nawawi dan Asghar Ali Engineer tentang peran serta perempuan dalam mencari nafkah. Di mana selama ini beban mencari nafkah adalah semata–mata menjadi tanggung jawab suami sedangkan peran perempuan hanya sebatas menjadi ibu rumah tangga. Di samping itu, ada karya tulis M. Agus Nuryatno dalam bukunya yang berjudul Islam, Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender (Studi atas Pemikiran Asghar Ali Engineer).26 Dalam buku ini penulisnya hanya membahas konstruksi pemikiran Asghar Ali Engineer secara umum dengan mencoba mengaitkan bagaimana semangat teologi pembebasan mempengaruhi pemikiran Asghar tentang status wanita dalam Islam.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa belum ditemukan penelitian yang berusaha mengkaji pandangan Asghar mengenai nafkah bagi mantan isteri setelah ‘iddah. Bertitik tolak dari sinilah penyusun berusaha ikut andil dalam menutupi kekosongan tersebut melalui penelitian ini dengan meneliti pemikiran Asghar Ali Engineer tentang pemberian nafkah bagi mantan isteri.
E. Kerangka Teoretik
Karena penelitian ini mengenai masalah perkawinan (pemberian nafkah), maka penelitian ini masuk dalam wilayah al-Akhwal asy-Syakhshiyyah, yaitu hukum yang yang berkaitan dengan urusan keluarga dan pembentukannya yang bertujuan mengatur hubungan suami isteri dan keluarga satu dengan yang lainnya,
Hukum Islam adalah sebuah hukum yang bersumber dari al-Qur’an dan sunah Nabi, ia diyakini sebagai hukum yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dan bersifat universal, hukum Islam tersebut juga memiliki sifat yang elastis dengan beberapa penggerak atau dasar-dasar pokok yang terus berlaku seiring perkembangan dan perubahan zaman.27
Berkaitan dengan pemberian nafkah bagi mantan isteri, Allah SWT berfirman:
ياأيها الذين ءامنوا إذا نكحتم المؤمنات ثم طلقتموهن من قبل أن تمسوهن فما لكم عليهن من عدة تعتدونها فمتعوهن وسرحوهن سراحا جميلا28
Zahir dari firman Allah SWT: فمتٌعوهنٌ (berikanlah mereka mut’ah) menunjukkan kepada wajibnya memberikan nafkah kepada isteri yang diceraikan sebelum dicampuri baik maharnya sudah atau belum ditetapkan baginya.29 Pendapat yang didasarkan pada zahir firman Allah SWT tersebut diatas diperkuat oleh firman Allah:
وللمطلّقت متع بالمعروف حقّا علي المتّقين30
Ayat tersebut mewajibkan pemberian nafkah terhadap setiap wanita yang diceraikan, tidak membatasi masa pemberian nafkah bagi mantan isteri yang diceraikan, demikian juga tidak disebutkan berapa besar nafkah dan jangka waktu pemberiannya. Demikian juga pada surat at-Talaq (65): 6-7, dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa kewajiban nafkah terhadap isteri baik yang ditalak maupun isteri yang sdang menyusui. 31 kewajiban nafkah berupa tempat tinggal dan nafkah terhadap isteri yang hamil dan telah ditalak sampai sang isteri itu melahirkan.32 Rasulullah SAW pada waktu melaksanakan haji wada>’ bersabda:
فاتّقوا الله في النساء فإنّكم أخذ تموهنّ بأمانة الله واستحللتم فروجهنّ بكلمة الله ولكم عليهنّ إلا يوطئن فراشكم أحدا تكرهونه فاءنّ فعلن ذلك فاضربوهنّ ضربا غير مبرح ولهنّ عليكم رزقهنّ وكسوتهنّ بالمعروف33
Menurut hukum positif yang berlaku di Pengadilan termuat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tentang perkawinan pasal 41 c, yang berbunyi: Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban kepada mantan isteri. Berdasarkan undang-undang tersebut pengadilan dapat menentukan suatu kewajiban kepada mantan suami yang yang harus dilakukannya setelah perceraian.
Sedangkan dalam hukum Islam terputusnya perkawinan disebabkan oleh diantaranya: 1.kematian, kematian suami atau isteri menyebabkan terputusnya perkawinan sejak terjadinya kematian. Apabila tidak terdapat halangan syara’, isteri atau suami yang ditinggal mati berhak mendapatkan peninggalan.34 2.talak (melepaskan ikatan pernikahan), hukum Islam menentukan bahwa hak menjatuhkan talak ada pada suami.35 3. khulu>’ (tebus talak) yaitu perceraian yang terjadi atas tuntutan isteri disertai tebusan atau ‘iwa>d atas persetujuan kedua belah pihak, karena cacat misalnya atau karena sebab lainnya. Bisa juga tebusan itu merupakan pengembalian mahar dari isteri.36 4. li’an, yaitu perceraian karena tuduhan berzina dari seorang suami atau isteri, tetapi tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, dan adanya pengingkaran dari sumi terhadap anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya.37 5.Terjadinya perselisihan atau percekokan antara suami dan istri, yang dalam al-qur’an disebut syiqaq,38 dan ini dapat mengakibatkan terputusnya perkawinan dengan melalui perantaraan pengadilan (dengan perantaraan hakim).
Pada garis besarnya perceraian dalam Islam, ada dua macam yaitu talak dan fasakh, dengan pengertian bahwa setiap perceraian yang sebab-sebab dari pihak suami disebut talak, sedangkan jika terjadi perceraian timbul dari sebab-sebab isteri disebut fasakh. Seperti diketahui dalam hukum perkawinan di Indonesia, perceraian yang dapat diajukan ke pengadilan agama ada dua, yakni cerai talak yang merupakan perkara perceraian yang mana yang mengajukan permohonan datang dari pihak suami, sedang yang kedua cerai gugat yang mana kehendak perceraian tersebut berasal dari isteri.39
Berkaitan dengan hak-hak mantan isteri, Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 149 menyatakan bahwa akibat putusnya perkawinan karena talak, maka suaminya wajib:
a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut Qabla ad dukhu>>l.
b. Memberikan nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada bekas isteri selama masa ‘iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c. Melunasi mahar yang masih tehutang seluruhnya, atau separo bila qabla ad dukhu>>l.
d. Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Agama Islam memberikan ketentuan sebagai berikut: a) Perempuan dalam masa ‘iddah raj’iyyah berhak menerima dari mantan suaminya berupa tempat tinggal, pakaian dan nafkah, kecuali isteri yang durhaka tidak berhak mendapatkan apa-apa. 40 Sesuai hadis Nabi SAW:
لها إنّما النفقة والسّكنى للمرأة إذا كان لزوجهاعليهاالرجعة41
b). Perempuan dalam ‘iddah ba’in kalau mengandung maka ia berhak mengambil kediaman, nafkah dan pakaian. Namun jika tidak mengandung, ia hanya berhak mendapatkan tempat tinggal. Sesuai dengan Firman Allah SWT dalam surat at-Talaq (65): 6. c). Wanita yang diceraikan sebelum dikumpuli maka ia berhak mendapatkan mut’ah (pemberian) sesuai dengan kemampuan suami untuk menyenangkan dirinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT, dalam Surat al-Ahzab (33): 49.
Dalam hal ini putusnya perkawinan yang dapat menimbulkan kewajiban pemberian nafkah bagi mantan isteri adalah perceraian yang timbul atas kehendak suami, terjadinya nusyuz dari pihak suami, dan perceraian yang timbul atas wewenang keputusan pengadilan, yang dapat menentukan suatu kewajiban yang harus ditaati oleh mantan suami. Akan tetapi dalam keadaan tertentu mantan isteri tidak dapat nafkah seperti: wanita yang menjalani ‘iddah kematian; wanita yang menjalani ‘iddah karena suatu perceraian yang wajib dilaksanakan menurut ketentuan syara’ seperti terjadi fasakh (akad nikah tidak memenuhi syarat-syarat sahnya); wanita yang menjalani ‘iddah karena perceraian yang disebabkan oleh isteri yang melakukan hal-hal yang dilarang syara’.42
Ketetapan hukum syari’at itu datang semata-mata untuk membuat kemaslahatan, semua ini selayaknya dipelihara ketika menafsirkan nas-nas dan menerapkan ketetapan-ketetapan hukum. Seorang faqih hendaknya tidak terpaku kepada prinsip tunggal yang abadi dalam berfatwa tanpa memperhatikan perubahan zaman, tempat, ‘Urf dan keadaan, bahkan tujuan-tujuan syara’ (maqa>sidu asy-syari>’at ) yang universal dan sasaran yang umumnya harus pula dipelihara ketika menetapkan hukum mengenai persoalan-persoalan yang juz’i (particulars) dan khususnya.43
Ijtihad adalah penggerak yang merupakan faktor penting dalam rangka pengembangan hukum Islam untuk menjawab persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam upaya tersebut ijtihad tidak hanya berarti memunculkan ide-ide baru akan tetapi bidang garapanya juga termasuk upaya meninjau kembali dalil-dalil secara kritis.44 Hal itu dimaksudkan agar ketetapan hukum yang dihasilkan semakin kontekstual.
Seorang mujtahid dalam berijtihad bertujuan agar terciptanya kemaslahatan bagi umat manusia baik secara individu maupun sebagian masyarakat, dengan demikan untuk melihat pemberian nafkah bagi mantan isteri maka peneliti menggunakan kemaslahatan sebagai tujuan pensyari’atan hukum Islam.
Berkaitan dengan maslahah bila dilihat dari segi keberadaannya menurut syara’ maka terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara’ maksudnya adanya dalil khusus yang menjadi dasar untuk jenis kemaslahatan tersebut.
b. Maslahah al-Mulgah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’ karena bertentangan dengan ketentuan syara’.
c. Maslahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci.45
Adapun dalam dalam menyusun skripsi ini, penyusun akan menggunakan maslahah, yang akan di bantu dengan qaedah-qaedah fiqh yang relevan dengan pembahasan ini, qaedah fiqh merupakan sebuah pisau analisis yang dapat digunakan dalam membahas permasalahan agama. Qaedah-qaedah fiqh yang digunakan yaitu:
الحكم يتبّع المصلحة الراجحة46
Penelitian ini juga menggunakan teori kesetaraan gender. Secara normatif, Islam dengan tegas mengakui konsep kesetaraan antara laki-laki dan wanita di mana keduanya adalah sama-sama manusia sebagai makhluk Tuhan.47 Masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang sama serta merupakan partner kerja yang satu sama lain saling membutuhkan sehingga yang satu tidak menganggap dirinya lebih mulia dari yang lain. Di samping keduanya mempunyai tujuan dan maksud yang sama yang hendak dicapai yaitu kebahagiaan di dunia dan akhirat.48
Dalam suatu tugas, baik laki-laki maupun wanita adalah sama dalam memikul tanggung jawab. Artinya, di hadapan hukum kedua insan yang berlainan jenis kelamin tersebut tidak berbeda. Siapa yang bersalah harus dihukum sedangkan yang berbuat baik harus mendapatkan balasan setimpal sesuai dengan perbuatannya.49 Dalam hal ini metodologi yang kemudian ditawarkan Asghar Ali Engineer dalam menginterpretasikan al-Qur’an adalah perlu adanya pembedaan antara pernyataan normatif dan pernyataan kontekstual dalam al-Qur’an.50
Adapun yang dimaksud dengan pernyataan normatif merujuk kepada sistem nilai dan prinsip-prinsip dasar dalam al-Qur’an, seperti prinsip persamaan, kesetaraan dan keadilan. Prinsip-prinsip ini bersifat eternal dan universal serta dapat diaplikasikan dalam berbagai konteks ruang dan waktu. Sedangkan pernyataan kontekstual dalam al-Qur’an berkaitan dengan ayat-ayat yang diturunkan untuk merespon problem-problem sosial tertentu pada masa itu. Maka seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, ayat-ayat ini dapat diabrogasi, dengan demikian ketentuan tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Qayyim:
تغير الفتوى و اختلافها بحسب تغير الأزمنة و الأمكنة والأحوال والنيات و العوائد 51
Di samping itu, suatu ketentuan hukum itu sendiri dianggap kurang bahkan tidak efektif apabila terdapat disparitas antara idealitas dan realitas.52 Oleh karena itu, diperlukan reinterpretasi terhadap kitab suci agar nilai-nilai kesetaraan dan keadilan yang menjadi prinsip dasar al-Qur’an dapat lebih dikedepankan daripada ha-hal yang bersifat legal-formalnya.
Tujuan pembedaan di atas menurut Asghar adalah untuk mengetahui perbedaan antara apa yang sebenarnya diinginkan oleh Allah dan apa yang dibentuk oleh realitas empiris masyarakat pada waktu itu. Karena kitab suci ini tidak hanya concern terhadap masyarakat ideal, atau “apa yang seharusnya”, akan tetapi juga mempertimbangkan realitas empiris, atau “apa yang terjadi”. Dialektika antara das sollen dan das sein membuat al-Qur’an dapat diterima oleh masyarakat dalam konteks sosial tertentu di mana ayat tersebut diturunkan dan dapat dijadikan rujukan sebagi norma-norma dan prinsip-prinsip universal yang dapat diberlakukan di masa depan ketika realitas masyarakat lebih kondusif yang pada akhirnya tidak ada lagi subordinasi atas wanita di depan hukum.
Al-Qur’an sebagai salah satu sumber penetapan hukum Islam, secara normatif-doktrinal mengandung kebenaran mutlak karena datang dari yang absolut dan mutlak (Allah) namun pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an tersebut tidaklah bersifat absolut tetapi bersifat relatif sesuai dengan sifat relativitas konstruksi pemikiran manusia itu sendiri,53 artinya teks al-Qur’an itu sendiri tentunya tidaklah mengalami perubahan akan tetapi pemahaman dan penerapannya dapat disesuaikan dengan konteks perkembangan zaman. Karena proses kemasyarakataan yang berjalan terus-menerus, maka perubahan penerapan pemahaman ajaran Islam juga harus bersifat kontinyu sepanjang zaman.54
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah data yang berasal dari sumber-sumber kepustakaan, baik berupa buku, makalah, majalah, jurnal dan lain-lainnya yang berkaitan dengan pemikiran Asghar Ali Engineer serta literatur-literatur tentang pemberian nafkah bagi mantan isteri yang dapat membantu penelitian ini sehingga akan diperoleh data yang jelas.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis, yaitu berusaha memaparkan pandangan Asghar Ali Engineer melalui data yang telah ada kemudian hasil deskripsi tersebut dianalisis agar diperoleh suatu kejelasan bagaimana pandangan Ashgar Ali Engineer tentang pemberian nafkah bagi mantan isteri
3. Pendekatan Penelitian
Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ada dua. Pertama, pendekatan historis, digunakan untuk mengetahui dan memperoleh kejelasan tentang bagaimana sejarah latar belakang sosial-kultural baik eksternal maupun internal yang turut berperan mempengaruhi konstruksi pemikiran Asghar Ali Engineer. Kedua, pendekatan Filosofis, digunakan untuk menganalis landasan dan pemikiran Asghar Ali Engineer tentang pemberian nafkah bagi mantan isteri kemudian dikaitkan dengan relevansinya dengan kesetaraan gender bagi wanita, khususnya dalam hukum Islam.
4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun untuk memperoleh data yang valid dan akurat, maka penelitian ini menggunakan teknik sebagai berikut:
a. Menggunakan buku primer yang ditulis langsung oleh Asghar Ali Engineer tentang pemberian nafkah bagi mantan isteri yaitu The Rights of Women in Islam yang diterjemahkan oleh Farid Wajidi dan Cici Farkha Asseqaf, dan juga E-mail dari Asghar Ali Engineer.
b. Menggunakan buku-buku sekunder yang membahas tentang pemikiran Asghar maupun buku literatur lain yang berkaitan dengan topik yang dibahas sebagai penunjang terhadap penelitian ini.
Sedangkan tekniknya dengan mengumpulkan data yang telah ada, agar dapat menjawab pemasalahan di atas.
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Pola-pola berpikir yang digunakan untuk memperoleh kesimpulan dalam mengolah dan menganalisis data tersebut adalah:
a. Berpikir induktif, yaitu proses mengorganisasikan fakta-fakta atau hasil pengamatan yang terpisah-pisah menjadi suatu rangkaian hubungan atau suatu generalisasi.55 Metode ini digunakan untuk menganalisis data yang berkaitan dengan sosok Asghar Ali Engineer dan landasan pemikirannya.
b. Berpikir deduktif, yaitu menyimpulkan hubungan yang tadinya tidak nampak berdasarkan generalisasi yang sudah ada.56 Metode ini digunakan untuk menganalisis pemikiran yang disajikan Asghar Ali Engineer tentang pemberian nafkah bagi mantan isteri serta implikasinya terhadap hukum perkawinan di Indonesia.
Sistematika Pembahasan
Untuk melihat kriteria-kriteria bagi mantan isteri yang berhak mendapatkan nafkah, maka sistematika pembahasannya yang kiranya dapat membantu dalam mempermudah penulisan penelitian ini, penyusun menguraikan ke dalam lima bab pembahasan yang saling terkait satu dengan yang lainnya.
Bab pertama adalah pendahuluan dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang mengapa masalah ini ditulis, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penulisaan, telaah pustaka dengan menelusuri literature-literatur sebelumnya untuk memastikan bahwa kajian ini belum ada yang meneliti, kerangka teoritik yang digunakan sebagai kerangka berpikir dalam menganalisis masalah yang ada dalam penelitian ini, kemudian penjelasan metode yang digunakan dalam penelitian ini, serta terakhir adalah sistematika pembahasan.
Bab kedua mengupas gambaran umum tentang nafkah bagi mantan isteri dalam Islam dan ini masuk dalam bab dua karena untuk melihat nafkah itu sendiri, yang meliputi : pengertian nafkah, ayat-ayat yang berkaitan dengan pemberian nafkah bagi mantan isteri, hukum pemberian nafkah, hak-hak mantan isteri, ukuran nafkah dalam perceraian.
Bab ketiga membahas sejarah latar belakang kehidupan Asghar Ali Engineer dan pemikirannya tentang pemberian nafkah bagi mantan isteri, dan ini masuk dalam bab tiga karena untuk melihat latar belakang pemikirannya, yang meliputi: biografi dan aktivitas keilmuannya, kondisi sosial dan politik di India, metodologi pemikiran Asghar Ali Engineer dan pemikirannya tentang pemberian nafkah bagi mantan isteri.
Bab keempat berisi analisis terhadap pemikiran Asghar Ali Engineer tentang pemberian nafkah bagi mantan isteri. Dalam bab ini penyusun bagi ke dalam dua bagian, yaitu : kriteria-kriteria bagi wanita yang berhak mendapatkan nafkah dari mantan suaminya, relevansi pendapat Asghar Ali Engineer dengan konteks sekarang.
Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan yang menjawab pokok permasalahan, sedangkan saran-saran dapat menjadi semacam agenda pembahasan lebih lanjut mengenai pemberian nafkah bagi mantan isteri.
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG NAFKAH
A. Pengertian Nafkah
Nafkah secara etimologi berasal dari” النفقه “ yang berarti “belanja”, “kebutuhan pokok” dan juga berarti “biaya” atau pun pengeluaran uang,1 sekilas bisa dipahami kalau nafkah tentu berkaitan dengan kebutuhan hidup sehari-hari bagi manusia.
Sedang menurut Zakiyah Darajat dalam bukunya “ Ilmu Fiqh” beliau mendefinisikan nafkah berarti “belanja”, maksudnya adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada isteri, kerabat dan miliknya sebagai keperluan pokok bagi mereka, keperluan pokok seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal.2 Definisi ini mengandung pengertian bahwa nafkah adalah segala macam kebutuhan hidup manusia bagi kebutuhan pribadinya maupun kebutuhan bagi orang di luar dirinya. Sulaiman Rasyid mendefinisikan nafkah yaitu semua hajat dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempatnya,3 sehingga tidak dibatasi apakah mesti pokok, tidak pokok, atau pun kebutuhan pelengkap, sebab kewajiban nafkah menurut beliau yang dimaksud tidak terbatas pada kebutuhan pokok, sehingga jika masing-masing yang memiliki hak nafkah dan kewajiban nafkah kebutuhan-kebutuhan pokoknya, sudah terpenuhi, tetap terkena kewajiban memenuhi kebutuhan meskipun kebutuhan itu tidak pokok, artinya kebutuhan itu tergantung (Fleksibel) sesuai dengan keadaan dan tempatnya.
Menurut hukum Islam nafkah dibagi secara global menjadi dua macam Pertama: nafkah untuk dirinya sendiri yakni kewajiban seorang manusia untuk memikul beban tanggung jawab dalam rangka memenuhi kebutuhannya sendiri, untuk kesejahteraan jasmani, dan rohaninya sendiri. Kedua: nafkah untuk orang di luar diri, tentu saja dalam hal ini adalah anak isteri orang tuanya dan berbagai macam tanggung jawab nafkah bagi orang-orang di luar diri manusia itu sendiri.4
Sedang pengertian nafkah dalam perceraian sebagaimana terdapat dalam tafsir as-Sabuni, bahwa nafkah itu diartikan sebagi mut’ah, yang berarti pemberian seorang suami kepada isterinya yang diceraikan, baik itu berupa uang, pakaian atau pembekalan apa saja sebagai bantuan dan penghormatan kepada isterinya itu serta menghindari dari kekejaman talak yang dijatuhkannya itu.5
Dalam hal ini nafkah (mut’ah) juga diartikan sebagai penghibur, nafkah sesuai dengan kemampuannya sebagaimana telah tersebut dalam firman Allah:
وللمطلّقت متع بالمعروف حقّا علي المتّقين 6
Inti dari ayat tersebut merupakan perwujudan mendapatkan persesuaian kepada hukum Islam dalam hal ini nafkah setelah nafkah ‘iddah habis. Mut’ah juga berarti sesuatu yang dengannya dapat diperoleh suatu (beberapa) manfaat atau kesenangan.7 Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pemberian mut’ah seorang suami terhadap isteri yang telah diceraikannya adalah dengan adanya pemberian tersebut diharapkan dapat menghibur atau menyenangkan hati isteri yang telah diceraikan dan dapat menjadi bekal hidup bagi mantan isteri tersebut, dan juga untuk membersihkan hati kaum wanita dan menghilangkan kekhawatiran terhadap penghinaan kaum pria terhadapnya.8
B. Ayat-Ayat yang Berkaitan dengan Nafkah
Dalam hal ini akan dijelaskan mengenai ayat-ayat yang berkaitan dengan pemberian nafkah bagi mantan isteri.
أسكنوهنّ من حيث سكنتم من وجدكم ولا تضارّوهنّّ لتضيّقوا عليهنّ وإن كنّ أولات حمل فأنفقوا عليهنّ حتّي يضعن حملهنّ فإن أرضعن لكم فأتوهنّ أجورهنّ وأتمروا بينكم بمعروف وإن تعاسرتم فسترضع له أخرى .
لينفق دوسعة من سعته ومن قدر عليه رزقه فلينفق ممّا أته الله لايكلّف الله نفسا إلاّ ماأتها سيجعل الله بعد عسر يسرا9
Jumhur Ulama sepakat bahwa ayat di atas merupakan dasar hukum dari kewajiban pemberian nafkah terhadap isteri baik yang ditalak maupun yang isteri yang sedang menyusui karena lafaz liyunfiq (menggunakan huruf lam amar (perintah).” 10
Al-Qur’an surat at-Talak (65): ayat 6 tersebut menjadi landasan hukum kewajiban nafkah berupa tempat tinggal dan nafkah terhadap isteri yang hamil dan telah ditalak, maka kewajiban nafkah sampai isteri tersebut melahirkan.11
لا جناح عليكم إن طلّقتم النّساء ما لم تمسّوهنّ أو تفريضوا لهنّ فريضة ومتّعوهنّ على الموسع قدره وعلى المقتر قدره متعا بالمعروف حقا على المحسنين12
Tidak ada suatu kewajiban bagi suami untuk membayar sesuatu baik berupa mahar atau lainnya ketika mentalak isterinya sebelum menggauli mereka dan sebelum ditetapkan mahar untuk mereka. Jika telah menggauli maka wajib untuk membayar mahar selengkapnya sesuai dengan ketentuan yang telah diputuskan, jika belum ditetapkan maka wajib membayar mahar yang sepantasnya. Apabila telah dijatuhkan talak sebelum digauli, sedangkan mahar telah ditentukan maka wajib membayar setengah dari mahar yang telah ditentukan. Berilah wanita-wanita yang ditalak sebahagian dari harta sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dalam hal ini Allah SWT tidak menentukan jumlah atau ukuran yang tetap, tetapi sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Jika talak itu terjadi sebelum suami menyetubuhi isterinya sedangkan ia telah menentukan maharnya maka isteri mendapatkan separo dari mahar tersebut dan sisanya dikembalikan kepada suaminya, kecuali jika isteri yang ditalak memaafkan suaminya dengan tidak mengambil separo atau sebahagian dari mahar, atau jika suami memaafkan isterinya dengan tidak mengambil kembali separo maharnya sebagai tanda mata untuk isterinya yang dicerai.13
والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا وصية لأزواجهم متاعا إلى الحول غير إخراج فإن خرجن فلا جناح عليكم في ما فعلن في أنفسهن من معروف والله عزيز حكيم
وللمطلقات متاع بالمعروف حقا على المتقين 14
Orang-orang yang akan meninggal dunia hendaknya membuat wasiat untuk isteri-isteri mereka yang akan ditinggalkannya. Yakni untuk menciptakan kesenangan mereka selama satu tahun, dan selama waktu itu isteri-isteri yang ditinggalkan dibolehkan untuk tinggal di rumah suaminya yang telah meninggal selama setahun penuh. Dalam masa itu sang isteri tidak boleh dikeluarkan dari rumah suaminya, untuk mengenang suaminya yang telah tiada. Jika atas kemauannya sendiri untuk keluar dari rumah suaminya maka bagi para penerima wasiat tidak berdosa atas kepergian isteri-isteri itu selama mempunyai tujuan yang baik.
Mut’ah atau pemberian untuk penghibur dari seorang suami kepada isteri yang telah diceraikan itu diwajibkan, jika isteri yang diceraikan itu belum disetubuhi, jika sudah disetubuhi maka pemberian itu hukumnya sunnah, pemberian itu diberikan untuk menghilangkan perasaan dendam antara mereka.15
ياأيها الذين ءامنوا إذا نكحتم المؤمنات ثم طلقتموهن من قبل أن تمسوهن فما لكم عليهن من عدة تعتدونها فمتعوهن وسرحوهن سراحا جميلا16
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa jika terjadi perceraian antara seorang mukmin dan isterinya belum pernah dicampuri maka perempuan yang telah diceraikan itu tidak mempunyai masa ‘iddah dan perempuan itu langsung bisa kawin lagi dengan laki-laki lain, mantan suami yang menceraikan itu hendaklah memberikan mut’ah, yaitu suatu pemberian untuk menghibur dan menyenangkan hati isteri yang diceraikan sebelum dicampurinya itu besar kecilnya mu’tah itu tergantung kesanggupan suami.
Apabila diperhatikan jika perempuan itu harus meninggalkan rumahnya maka cara mengeluarkannya hendaklah dengan sopan santun sehingga tidak menyebabkan sakit hatinya, dan kepadanya harus diberikan ongkos dan bekal yang wajar, sehingga pemberian itu benar-benar merupakan hiburan yang meringankan penderitaan hatinya akibat perceraian itu. 17
C. Hukum Pemberian Nafkah Bagi Mantan Isteri
Para fuqaha berbeda pendapat, ada Fuqaha yang berpendapat bahwa nafkah (mut’ah) itu wajib diberikan kepada isteri yang diceraikannya, apabila suami telah sempat berhubungan dengannya, baik maharnya telah ditentukan atau belum, dan juga kepada isteri yang telah diceraikan sebelum sempat dicampurinya apabila maharnya telah ditentukan. Hasan Basri berpendapat bahwa mut’ah itu wajib, hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Surat al-Baqarah (2): 241. Persolan mut’ah juga dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam antara lain pasal 158, yang menyatakan Mut’ah wajib diberikan oleh mantan suami dengan syarat: a. Belum ditetapkan mahar bagi isteri ba’da dukhu>l. b. Perceraian itu atas kehendak suami.
Biaya penghidupan juga diatur dalam hukum positif di Indonesia yaitu yang berlaku di Pengadilan termuat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan pasal 41 c, yang berbunyi: Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban kepada mantan isteri.
Sedangkan menurut Imam asy-Syafi’i, diwajibkan untuk setiap isteri yang diceraikan, jika putusan perkawinan datang dari pihak suami, fuqaha Dahiri juga sependapat dengan hal ini, Imam asy-Syafi’i memberikan pengecualian bagi isteri yang telah ditentukan mahar untuknya dan dicerai sebelum digauli, jumhur ulama juga memegangi pendapat ini. 18
Imam Malik berpendapat sebaliknya, hukum memberikan mut’ah hanya dianjurkan (mustasab) dan tidak wajib untuk semua wanita yang ditalak, sedangkan maskawin belum ditetapkan dan dianjurkan bagi wanita yang ditalak dan maskawin telah ditentukan.19
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Buku I Hukum Perkawinan Bab XVII pasal 149 (a) pasal 158 yang berbunyi:
Pasal 149.
a. “Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda kecuali bekas isteri tersebut qabla dukhu>l.”
Pasal 158.
“Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat:
a. Belum ditetapkan mahar bagi isteri ba’da dukhu>l.
b. Perceraian itu atas kehendak suami.”
Dari pasal-pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang wanita yang telah dicerai masih berhak mendapatkan nafkah dari mantan suaminya tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada pasal-pasal tersebut.
D. Ukuran Nafkah
Dalam Islam juga disinggung tentang ketentuan kadar nafkah dan sisi kemampuan memenuhi kewajiban nafkah memiliki kaitan erat dalam aplikasi nafkah secara riil, diakui bahwa, memang di kalangan para ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai kadar, jenis dan kemampuan nafkah secara orang perorang dalam pemenuhannya, antara lain dalam hal penentuan jenis kebutuhan nafkah misalnya. Dalam Kitab al-Akhwa>>l asy-Syakhsyiyyah ‘ala> Maza>hib al-Khamsah, bahwa sebagian ahli hukum Islam berpendapat bahwa yang dimaksud kebutuhan pokok (jenisnya) dalam nafkah adalah pangan, sandang dan tempat tinggal. Sementara ulama yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud kebutuhan pokok hanyalah pangan saja tidak menyangkut di dalamnya sandang dan papan atau tempat tinggal. 20
Nafkah dalam perceraian dikadar (dibatas) dengan keadaan syara’ yaitu dibatas dengan keadaan syara’ sendiri. Seperti halnya dalam hal ini Imam Malik berpendapat bahwa nafkah tidak ada batasnya, baik dalam maksimal maupun minimalnya. 21 Namun demikian Abu Hanifah dalam pendapatnya memberikan batasan-batasan kewajiban nafkah, yaitu sedikitnya baju kurung, tusuk konde, kudung, tidak boleh lebih dari setengah mahar. 22 Sedang Imam Ahmad berpendapat bahwa mut’ah berupa baju kurung dan kudung yang sekedar cukup dipakai shalat, dan ini sesuai dengan kemampuan suami.
Meskipun demikian ‘urf masyarakat muslim lebih arif dan bijaksana, persepsi mereka tentang nafkah tidak lain adalah meliputi makanan-minuman (pangan), pakaian dan perhiasan (sandang) dan juga tempat tinggal yang layak huni. Kecuali bagi yang benar-benar tidak mampu, barangkali pangan itulah yang mereka sediakan.
Selanjutnya mengenai kadar nafkah, dalam hal ini adalah nafkah bagi mantan isteri, al-Qur’an tidak menyebutkan ketentuannya, al-Qur’an hanya memberikan pengarahan/anjuran yang sangat bijaksana, yakni dengan menyerahkan kepada mantan suaminya dengan ukuran yang patut (ma’ru>>f) sesuai dengan kemampuannya, hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 236.
Dalam hal ini H. Sulaiman Rasyid berpendapat diwajibkan atas suami memberikan belanja kepada isteri yang taat, baik makanan, pakaian, tempat tinggal menurut keadaan di tempat masing-masing dan tingkatan suami. Banyaknya menurut hajat dan adat yang berlaku di tempat masing-masing, dengan mengingat tingkatan dan keadaan suami.23 Intinya yang menjadi ukuran berapa besar nafkah adalah kemampuan suami. Lebih lanjut Sulaiman Rasyid menguraikan walaupun sebagian ulama mengatakan nafkah isteri itu dengan kadar yang tertentu tetapi yang mu’tammad tidak ditentukan, hanya sekedar cukup serta menginggat keadaan suami.24
Dengan demikian jelas bahwa jika kedapatan suaminya kaya maka disesuaikan dengan kemampuan, nafkahnya itu sebanding dengan kekayaannya. Begitu juga sebaliknya. Seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 223 dan juga surat at-Talaq (65): 07, Imam Malik menjelaskan bahwa nafkah itu tidak ada batasan yang ma’ru>>f (patut), dalam sedikitnya atau banyaknya.25
E. Hak-hak Isteri Pasca Cerai Talak
Sebagaimana dalam perkawinan yang memuat hak dan kewajiban antara suami dan isteri, demikian juga jika terjadi perceraian maka ada akibat hukum darinya. Hal ini untuk menjaga adanya keseimbangan dan keadilan, sebab ketika mereka pertama kali melangsungkan perkawinan sehingga ketika berpisah pun juga harus secara baik-baik
Salah satu tujuan dibuat Undang-undang adalah untuk melindungi hak-hak isteri (wanita) sebab terjadinya perceraian yang tentunya merupakan peristiwa yang menyakitkan bagi wanita seharusnya tidak lagi membawa penderitaan terlalu dalam, jika ia mendapatkan haknya yang seharusnya ia dapat.
Dengan adanya Undang-undang tersebut diharapkan, salah satunya adalah hak-hak isteri dapat terlindungi, hal ini tentunya merupakan unsur penunjang yang secara yuridis sangat kuat landasannya, karena di dalamnya memuat hak-hak yang dapat diterima oleh isteri sebagai akibat dari peceraian. Hak-hak tersebut di antaranya:
Hak pemeliharaan anak
Dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Bab X pasal 45, kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Bagi anak yang masih dibawah umur biasanya hak perwalian dan pemeliharaan diberikan langsung kepada ibunya. Seperti yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam tahun 1991 pasal 105, yang menyatakan: bahwa dalam hal terjadi perceraian:
Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayahnya atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Juga dalam hadis disebutkan:
إنّ امرأة قالت يارسول الله: إنّ إبنني هذا كان بطني له وعاء وثدبي له سقاء وحجرىله حواء وأن أباه طلّقني وأراد أن يترعه منّي فقال لها رسول الله: أنت أحقّ به مالم تنكحى 26
Di samping itu, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 50 juga menetapkan :
1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tiada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.
2. Perkawinan itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Pada dasarnya baik ibu maupun bapak mempunyai hak yang sama untuk menjadi wali dari anak-anaknya berdasarkan keputusan pengadilan. Namun, hak perwalian dapat dicabut oleh pengadilan jika mereka (baik ibu atau bapak) lalai atau tidak mampu menjalankan perwalian tersebut.
Hak mendapatkan nafkah
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak secara spesifik mengatur tentang hak nafkah bagi mantan isteri yang telah dicerai. Pasal 41 c dalam Undang-undang tersebut menjelaskan: “pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isterinya”.
Namun untuk yang beragama Islam dan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) memang ada ketentuan mengenai hal itu, yakni untuk yang beragama Islam diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, sedang untuk Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990.
Berkaitan dengan hak-hak mantan isteri, Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 149 menyatakan bahwa akibat putusnya perkawinan karena talak, maka suaminya wajib:
e. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut Qabla ad dukhu>>l.
f. Memberikan nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada bekas isteri selama masa ‘iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
g. Melunasi mahar yang masih tehutang seluruhnya, atau separo bila qabla ad dukhu>>l.
h. Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Agama Islam memberikan ketentuan sebagai berikut: a) Perempuan dalam masa ‘iddah raj’iyyah berhak menerima dari mantan suaminya berupa tempat tinggal, pakaian dan nafkah, kecuali isteri yang durhaka tidak berhak mendapatkan apa-apa. Sabda Rasulullah SAW:
لها إنّما النفقة والسّكنى للمرأة إذا كان لزوجهاعليهاالرجعة 27
b). Perempuan dalam ‘iddah ba’in kalau mengandung maka ia berhak mengambil kediaman, nafkah dan pakaian. Namun jika tidak mengandung, ia hanya berhak mendapatkan tempat tinggal. Sesuai dengan Firman Allah SWT dalam surat at-Talaq (65): 6. c). Wanita yang diceraikan sebelum dikumpuli maka ia berhak mendapatkan mut’ah (pemberian) sesuai dengan kemampuan suami untuk menyenangkan dirinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT, dalam Surat al-Ahzab (33): 49.
Apabila suami adalah seorang Pegawai Negeri Sipil, maka sesuai dengan ketentuan pasal 8 PP. No.10 tahun 1983 berlaku peraturan sebagai berikut:
1). Apabila perceraian terjadi atas kehendak pegawai negeri sipil pria, maka ia wajib menyerahkan sebagaian gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan anaknya
2). Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ialah sepertiga untuk pegawai negeri pria yang bersangkutaan, sepertiga untuk bekas isterinya, dan sepertiga untuk anaknya.
3). Apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak maka bagian gaji wajib disertakan oleh pegawai negeri sipil pria kepada bekas isterinya ialah setengah dari gajinya.
4). Apabila perceraian terjadi atas kehendak isteri, maka ia tidak berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya
5). Ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (4) tidak berlaku, apabila isteri minta cerai karena dimadu
6). Apabila bekas isteri pegawai negeri sipil yang bersangkutan kawin lagi, maka haknya atas bagian gaji bekas suaminya menjadi hapus terhitung mulai ia kawin lagi.
Harta bersama
Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam menetapkan: “Bahwa janda atau duda cerai hidup, masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.
Mengenai harta bersama Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan juga menegaskan:
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri, dan harta benda yang di peroleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Sementara pada kata, “menentukan lain” berkaitan:
a.Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
b.Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan hukum mengenai harta bendanya.
Dari ketentuan-ketentuan yang dijelaskan tadi dapat ditarik suatu kesimpulan bahwasannya pemberian nafkah itu akan lebih baik jika diberikan dalam ukuran maksimalnya atau memberikan pelayanan yang terbaik dan termudah yang tentunya disesuaikan dengan kemampuan suami.
BAB III
LATAR BELAKANG ASHGAR ALI ENGINEER DAN PEMIKIRANNYA TENTANG PEMBERIAN NAFKAH BAGI MANTAN ISTERI
A. Biografi dan Aktivitas Keilmuan Ashgar Ali Engineer
Ashgar Ali Engineer dilahirkan di Rajastan, dekat Udaipur, pada tanggal 10 Maret 1940 dalam keluarga yang berafiliasi ke Syi’ah Ismai’liyah. Adapun ayahnya bernama Sheikh Qurban Husain, dan ibunya bernama Maryam. Dalam hal ini, ayahnya merupakan seorang pemuka agama yang mengabdi kepada pemimpin keagamaan Bohra. Melalui ayahnya, Asghar mempelajari ilmu-ilmu keislaman seperti teologi, tafsir, hadis dan fiqh. Bahkan ia juga pernah menempuh pendidikan formal dari tingkat dasar dan lanjutan pada sekolah yang berbeda-beda, seperti Hoshangabad, Wardha, Dewas dan Indore. Adapun pendidikan tingginya dimulai pada tahun 1956. Enam tahun kemudian, yaitu tahun 1962, ia berhasil menyelesaikannya dan akhirnya memperoleh gelar Doktor dalam bidang teknik sipil dari Vikram University, Ujjain (India).1
Di samping itu, Asghar juga menguasai berbagai bahasa, seperti Inggris, Arab, Urdu, Persia, Gujarati, Hindi dan Marathi. Dengan menguasai berbagai bahasa tersebut Asghar mempelajari dan menekuni masalah-masalah agama. Ia mempelajari fiqh perbandingan yang meliputi empat mazhab sunni dan juga mazhab Syi’ah Ismai’li. Dia sangat membela pada hak-hak wanita dalam Islam dan mempelajari berbagai mazhab hukum serta berusaha mengambil putusan yang paling baik tentang wanita dari mazhab-mazhab tersebut dengan jalan talfik. Bahkan dengan serius ia membaca tentang rasionalisme, baik yang berbahasa Urdu, Arab ataupun Inggris. Asghar juga membaca tulisan-tulisan Niyaz Fatehpuri (seorang penulis berbahasa Urdu yang terkenal dan pengkritik ortodoksi), Bertrand Russel (seorang filosof rasional asal Inggris), dan juga karya monumental Karl Marx, Das Capital. Asghar mengakui bahwa pemikirannya banyak dipengaruhi oleh para pemikir ini. Sedangkan untuk tafsir al-Qur’an, dia membaca karya tokoh-tokoh Islam seperti Sir Sayyid Ahmad Khan (meninggal 1898) dan Maulana Abū al-Kalam (meninggal 1958). Engineer juga telah membaca hampir semua karya besar tentang Dakwah Fatimi yang ditulis oleh, antara lain, Sayedna Hatim, Sayedna Qadi Nu‘man, Sayedna Muayyad Shirazi, Sayedna Haminuddin Kirmani, Sayedna Hatim al-Razi dan Sayedna Ja’far Mansur al-Yaman. Tak ketinggalan juga, Rasa’il Ikhwanus Safa, sebuah sintesis antara akal dan wahyu, turut serta membentuk wacana intelektual Asghar.2
Di samping sebagai pemikir, Asghar juga adalah seorang aktifis sekaligus seorang Da‘i yang memimpin sekte Syi‘ah Isma‘iliyah, Daudi Bohras yang berpusat di Bombay India. Untuk diakui sebagai Da‘i tidaklah mudah. Ia harus memenuhi 94 kualifikasi yang secara ringkasnya dibagi dalam empat kelompok. Pertama, kualifikasi-kualifikasi pendidikan. Kedua, kualifikasi-kualifikasi administratif. Ketiga, kualifikasi-kualifikasi moral. Keempat, kualifikasi-kualifikasi keluarga dan kepribadian.3 Bahkan yang lebih menarik lagi, di antara kualifikasi tersebut seorang Da‘i harus tampil sebagai pembela umat yang tertindas dan berjuang melawan kezaliman. Baginya, harus ada keseimbangan antara refleksi dan aksi.
Dengan memahami posisi Asghar di atas, maka tidaklah mengherankan mangapa ia sangat vokal sekali dalam memperjuangkan dan menyuarakan pembebasan. Suatu tema yang menjadi ruh pada setiap karyanya, seperti hak asasi manusia, hak-hak wanita, pembelaan rakyat tertindas, perdamaian etnis, agama, dan lain-lainnya. Itulah sebabnya, ia banyak terlibat bahkan memimpin organisasi yang memberikan banyak perhatian kepada upaya advokasi sosial. Meskipun harus bertentangan dengan generasi tua yang cenderung bersikap konservatif, dan pro status quo. Hal ini terjadi ketika sekte Daudi Bohra dipimpin oleh Sayyidina Muhammad Burhanuddin yang dikenal sebagai Da‘i mutlak (absolute preacher).4 Sebagai seorang Da‘i mutlak, Burhanuddin mempunyai otoritas absolut dan bahkan ia beranggapan bahhwa kekuatan yang tersembunyi dari seorang Imam berasal dari Nabi dan Allah sehingga semua pengikut Bohra diharuskan tunduk kepadanya, kecuali jika ingin menghadapi penyiksaan.
Melihat realita di atas, maka pada tahun 1972 ketika terjadi gerakan revolusi di Udaipur, Asghar mulai terjun ke arena gerakan pembaharuan Bohra untuk menentang eksploitasi atas nama agama. Dia memimpin gerakan kaum reformis menentang apa yang mereka sebut sebagai otoritarianisme dan rigiditas pemimpin Bohra. Asghar menyerukan perlunya tafsir liberal terhadap Islam yang dapat mengakomodasi hak-hak individu, martabat manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Penentangan terhadap pemimpin Bohra tersebut bukan hanya mendapat reaksi keras, tetapi juga berakibat terjadinya beberapa kali usaha pembuhuhan. Di antaranya terjadi pada tanggal 8 Nopember 1977 di Calcutta dan di Heiderabad pada tanggal 26 Desember 1977. .
Di samping aktifis, Asghar juga mendirikan sebuah insitut pada tahun 1980 yang terutama sekali memfokuskan pada dua bidang, yaitu : (1), kerukunan antar umat agama, (2), studi-studi wanita dari persfektif Islam. Karena kegigihan dan kesungguhan usahanya tersebut, Asghar dianugerahi gelar kehormatan D.Lit. (Doctor of Literature) oleh Universitas Calcuta pada tahun 1993 atas jasa dan publikasinya di Communal Harmony and Interreligious Understanding yaitu di bidang kerukunan dan pemahaman antar agama. Bahkan, Asghar juga memperoleh National Communal Harmony Award atas kerja kerasnya di Communal Harmony oleh National Foundation for Communal Harmony, pada tahun 1997 berkat perhatian yang besar dan partisipasinya dalam upaya pemecahan konflik yang diakibatkan oleh adanya pluralisme agama dan kelompok yang berbeda di India dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis dan berbagai penghargaan lainnya seperti Hakim Khan Sur Award oleh Maharana Mewar Foundation, Udaipur, Rajasthan.
Adapun jabatan yang pernah ia pegang adalah Wakil Presiden pada People’s Union for Civil Liberties, Pemimpin Rikas Adhyayan Kendra (Centre for Development Studies), Pimpinan EKTA (Committee for Communal Harmonyi), Ketua Pendiri pada Centre for Study of Society and Secularism, Mantan Dewan Eksekutif Universitas Jawaharlal Nehru, Delhi, Sekretaris Umum pada Board of Dawoodi Bohra Community dan Convenor Asian Muslims’ Action Network (AMAN). Di samping aktif dalam organisasi, Asghar juga aktif dalam akademik pendidikan. Ia pernah memberikan kuliah di universitas di berbagai negara seperti, Amerika, Kanada, Inggris, Swiss, Thailand, Malaysia, Indonesia, Sri Langka, Pakistan, Yaman, Mesir, Hongkong dan lain-lainnya.5
Sebagai seorang pemikir-reformis, lebih-lebih kapasitasnya sebagai Directur of Islamic Studies di Bombay, dan mantan anggota Dewan Eksekutif Universitas Jawaharlal Nehru, di India, Asghar sangat rajin dalam menuangkan ide-ide pemikirannya di berbagai forum ilmiah baik dalam seminar, perkuliahan, lokakarya, maupun simposium di berbagai negara. Bahkan dalam mensosialisasikan pemikirannya, Asghar aktif menulis maupun sebagai penyunting di berbagai penerbitan. Sehingga tidak lebih dari 38 buku yang telah ia terbitkan. Di antara judul bukunya adalah :
1. Islam and Revolution (New Delhi: Ajanta Publication, 1984).
2. Islam and Its Relevance to Our Age (Kuala Lumpur: Ikraq, 1987).
3.The Origin and Development of Islam (London: Sangam Book, 1987)
4. Status of Women in Islam (New Delhi: Ajanta Publication, 1987).
5. The Shah Bono Controversy, ed. Asghar Ali Engineer, (Hyderabad: Orient Longman Limited, 1987).
6. Justice, Women, and Communal Harmony in Islam (New Delhi: Indian Council of Social science Research, 1989).
7. Islam and Liberation Theology : Essays on Liberative Elements in Islam (New Delhi: Sterling Publishers Private Limited, 1990).
8. The Rights of Women in Islam (Lahore: Vanguard Books, 1992).
9. Islam and Pluralism (Mumbai: Insitute of Islamic Studies, 1999).
10. Islam The Ultimate Vision (Mumbai: Institute of Islamic Studies, 1999).
11.The Qur’an, Women and Modern Society (New Delhi: Sterling Publishers Private Limited, 1999).
12.Reconstruction of Islamic Thought (Mumbai: Institute of Islamic Studies, 1999).
13. What I believe (Mumbai: Institute of Islamic Studies, 1999).6
B. Kondisi Sosial dan Politik di India
Untuk mengetahui secara lebih mendalam pemikiran Asghar yang lahir awal abad dua puluh, maka perlu dicermati kondisi India pada umumnya, dan Islam India pada khususnya menjelang awal abad dua puluh yang secara langsung maupun tidak langsung ikut serta mempengaruhi terbentuknya konstruksi pemikiran Asghar.
1. Politik.
Sebelum tercapainya kemerdekaan di India, kedua kelompok agama yaitu, Hindu dan Muslim India, mereka saling bahu-membahu dan bekerjasama dalam merebut kemerdekaan dari pemerintah Inggris. Setelah perjuangan yang sangat panjang, akhirnya pada tanggal 15 Agustus 1947 India merdeka. Namun sehari sebelumya, pada tanggal 14 Agustus 1947 lahir pula negara Pakistan.7 Dua bangsa ini lahir di tengah gencarnya sebuah peperangan sipil dan peperangan komunal, di mana banyak jutaan orang dipaksa meninggalkan tanah air mereka. Orang Hindu melarikan diri dari Pakistan, sementara orang Muslim meninggalkan wilayah India. Ratusan ribu orang terbunuh dalam pemberontakan komunal8 yang bertujuan memisahkan diri dari India dengan membentuk negara Islam.
Ketika terjadi pemisahan antara India dan Pakistan, banyak orang-orang Islam yang migrasi secara besar-besaran. Dalam menyingkapi hal ini, para tokoh Islam terpecah dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok yang berpandangan bahwa nasionalisme dan Islam adalah dua ideologi yang berlawanan, karena yang satu bersifat partikular dan yang lainnya bersifat universal. Dalam pandangan ini, baik India maupun Pakistan sama-sama tidak bisa dibenarkan karena sifatnya yang partikularistik. Kelompok ini dipimpin oleh al-Maududi dan Ali an-Nadwi. Kedua, kelompok yang menumbuhkan apa yang disebut composite nationalism. Ini dilakukan karena masyarakat India dan Islam telah sama-sama menjalani sejarah dan pengalaman di India. Dengan demikian, mereka cenderung untuk tetap memilih India sebagai negaranya. Kelompok ini dipimpin oleh Abu Kalam azad. Ketiga, kelompok yang ingin menjadikan Islam sebagai denominator umum yang menjembatani kesukuan, bahasa, wilayah regional dan perbedaan lapisan komunitas muslim. Hal demikian hanya bisa terpenuhi apabila mereka berada di Pakistan. Di antara tokoh kelompok ini adalah Muhammad Ali Jinnah dan Muhammad Iqbal.9
Adapun puncak ketegangan dan konflik kedua negara tersebut mencuat ketika terjadi perebutan wilayah Kashmir, di mana kedua negara masing-masing mengaku mempunyai hak yang sama terhadap wilayah tersebut. Bebagai pertemuan dilakukan oleh kedua negara dalam menyelesaikan konflik tersebut. Walaupun telah diadakan berbagai pertemuan dan perundingan antara kedua tokoh negara sebagaimana yang dilakukan Presiden Pakistan Zulfikar Ali Bhutto dan Perdana Menteri India Ny. Indira Gandhi, namun belum juga berhasil menyelesaikan persengketaan kedua negara mengenai Kashmir.10 Bahkan sampai sekarang pun konflik tersebut masih berlangsung.
2. Agama
India bukan hanya terkenal karena pluralitas budaya dan seni, namun juga terkenal karena pluralitas keberagamaannya. Berbagai agama terdapat India, seperti Hindu, Budha, Kristen, Islam, Sikh, Zoroaster dan lain-lainnya. Dengan beraneka ragamnya agama tersebut secara tidak langsung ikut andil dalam mewarnai wajah keberagamaan di India.
Agama Islam sendiri secara langsung ikut andil dalam mempengaruhi sikap keberagamaan India pada umumnya, dan keberagamaan Muslim India pada khususnya. Menurut sementara pihak, kondisi keberagamaan umat Islam di India memiliki keterkaitan dengan kemunduran Islam. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya adalah telah terjadi pencampuran praktek keagamaan dengan unsur budaya setempat sehingga ajaran Islam tidak murni lagi. Hal ini dikemukakan oleh Sayyid Ahmad Syahid, seorang tokoh pembaharu pemikir Islam. Menurut dia, umat Islam India mundur karena agama yang mereka anut tidak lagi Islam yang murni melainkan Islam yang bercampur dengan faham dan praktek kaum sufi. Misalnya tentang kepatuhan terhadap guru-guru secara tidak terbatas dan juga melakukan ziarah kuburan para wali untuk minta syafaat.11
Bahkan praktik teologi yang sangat akulturatif dengan budaya asli dan Hindu justeru sangat menonjol. Ritual keagamaan yang secara berlebihan memuliakan para syekh tarekat baik semasa hidup maupun sesudah wafat merupakan fenomena umum, sehingga kadang mengarah kepada pengkultusan secara individu. Di samping itu, persoalan ijtihad tidak mendapat tempat dalam kesadaran intelektualiatas mereka. Umat Islam India tidak berusaha menggali hukum Islam secara dinamis melalui ijtihad. Mereka seakan merasa puas dengan hanya bertaklid kepada mazhab-mazhab fiqh yang sudah mapan melalui warisan ulama abad kedua dan ketiga hijriah.12 Apalagi dengan munculnya berbagai macam aliran tarekat di India, seperti tarekat Qadiriyah, Sattariyah, Naqsabandiyyah dan Chittiyah, semakin besar pengaruhnya terhadap kemandegan perkembangan pemikiran dan intelektulitas umat Islam di India.
3. Sosial.
Dalam pranata sosialnya, sistem kasta sangat dominan dalam mempengaruhi struktur masyarakat India.13 Padahal sebenarnya sistem kasta pada awalnya adalah institusi keagamaan Hindu. Di mana kasta adalah suatu kondisi hirarkis dari suatu kelompok masyarakat tertentu yang keanggotaannya didasarkan pada kelahiran. Sistem tersebut ternyata bukan hanya semata-mata bersifat religius, tetapi juga telah menjadi sistem sosial yang mempunyai pengaruh besar dalam menentukan status seseorang dalam masyarakat. Di samping itu, sistem kasta telah menjadi institusi besar dalam mengorganisasikan hubungan kemanusiaan di India.
Meskipun konstitusi India secara tegas menyatakan bahwa setiap orang dianggap sama dan sederajat, tidak ada diskriminasi, namun secara kultural struktur masyarakat India sangat dipengaruhi oleh sistem kasta sehingga konstitusi tersebut sangat sulit terwujud dalam tataran prakteknya. Hal ini berakibat hubungan yang dibangun dalam bermasyarakat tidak seimbang karena masing-masing anggota masyarakat hanya bisa menjalin hubungan dengan sesama kelompok kastanya masing-masing. Keadaan demikian tentunya sangat riskan akan terjadinya diskriminasi, eksploitasi terhadap kelompok kasta lain yang lebih rendah. Hal ini terlihat bagaimana sikap orang-orang Hindu India terhadap orang Muslim yang tidak melakukan migrasi ke Pakistan harus terpaksa mengaburkan identitas mereka. Kebiasaan yang mengandung unsur agama harus diubah. Misalnya ungkapan salam diganti dengan menjadi hello, janggut bagi kaum pria dan burkha bagi wanita juga ditiadakan. Simbol Hindu mulai digunakan, misalnya bindi, tanda bulat di dahi bagi kaum wanita. Bahkan orang Hindu mencela orang Muslim sebagai seorang yang hanya pandai dalam dua hal, yaitu makan dan berhubungan seperti hewan. Hal ini menunjukkan bahwa superioritas sosial orang Muslim dilemahkan dengan dalih bahwa orang Muslim itu sebenarnya berasal dari kasta Hindu yang terendah.14
4. Status Wanita
Selain sistem kasta, masyarakat India juga adalah masyarakat patriarkis yang sangat ditentukan oleh struktur kaum laki-laki. Hal ini tentunya berakibat tidak seimbangnya peran antara laki-laki dan wanita. Walaupun kesempatan dalam memperoleh pendidikan sama dengan laki-laki, namun dalam memperoleh pekerjaan kaum wanita masih diperlakukan diskriminatif. Apalagi ditambah majunya dalam sektor teknologi menjadikan mereka kehilangan pekerjaan, khususnya dalam wilayah agrobisnis.
Di India pada tahun 1961, angka sensus menunjukkan petani wanita banyak kehilangan kendali atas tanah mereka secara lebih cepat dibandingkan laki-laki. Sensus 1961 menunjukkan angka 33.156.000 pengolah tanah wanita (yakni wanita yang memiliki dan mengelola tanahnya sendiri), dalam tahun 1971 angka itu menurun hingga 15.976.000. Kenyataan bahwa masa itu merupakan tahun di mana Revolusi Hijau mulai menguasi pertanian India.15 Hal ini mengakibatkan peran wanita semakin tersisihkan oleh kemajuan teknologi berupa mesin-mesin sebagai alat bantu dalam bidang pertanian.
Di samping itu juga, sistem kasta turut mempengaruhi status wanita dalam masyarakat India. Di India, mereka yang berada di dasar hiraki sosial disebut sebagai “kasta tetap” (scheduled caste), istilah pasca kemerdekaan bagi orang-orang yang sebelumnya dikenal sebagai kaum untouchable (tak terjamah). Mahatma Ghandi menyebut mereka sebagai kaum “Harijan”, yang berarti “orang-orang Dewa”.16 Walaupun secara konstitusi menghapus diskriminasi terhadap kelompok ini, namun hanya sebatas catatan di atas kertas. Kaum Harijan tetap menjadi kelompok minoritas dan termarginalkan di India. Wanita dari komunitas mereka memikul beban diskriminasi yang besar, karena kasta mereka yang rendah. Dalam sektor ekonomi, penghasilan mereka jauh lebih kecil dibandingkan pendapatan laki-laki, walaupun dalam pekerjaan yang sama. Bahkan di kawasan pedesaan kaum wanita Harijan dianggap sebagai sasaran seksual yang sah oleh tuan tanah mereka, karena sebagian besar kaum Harijan tidak memiliki tanah sehingga sangat tergantung niat baik tuan tanah. Dari sini terlihat sekilas bagaimana gambaran kondisi sebagian kaum wanita di India yang sampai saat ini masih didominasi kaum laki-laki, ditambah sitem kasta yang membelenggu ruang gerak mereka dalam mengaktualisasikan diri di tengah masyarakat.
C. Karakteristik Pemikiran Asghar Ali Engineer
Sebelum melangkah lebih jauh mengenai metodologi pemikiran seorang tokoh, terlebih dulu kita harus mengetahui karakteristik yang menjadi landasan pemikiran Asghar. Adapun landasan pemikiran Asghar di antaranya adalah :
1. Mengenai hubungan akal dan wahyu. Asghar berpendapat bahwa akal merupakan instrumen penting bagi manusia. Akan tetapi, akal sendiri tidak akan sanggup dalam memperoleh kebenaran dan menjelaskan secara memuaskan tentang dunia, realitas, arti dan makna kehidupan manusia. Oleh karena itu, manusia membutuhkan wahyu sebagai komplementer dari akal. Asghar mengungkapkan bahwa kebenaran bukanlah semata-mata kesesuaian dengan kenyataan, bukan pula sesuatu yang bersifat transendental semata, namun ia harus keduanya sekaligus. Dengan demikian, akal dan wahyu dalam proses pemahaman kebenaran harus saling menunjang satu sama lain.17 Artinya, wahyu dan akal berfungsi komplementer, yang satu tidak akan komplit tanpa yang lain. Wahyu berfungsi sebagai alat untuk memahami tujuan hidup dan memperkaya aspek spiritualitas. Sementara akal berfungsi sebagai alat dalam memahami realitas fisik dari alam dan juga memperkaya kahidupan material manusia.
2. Mengenai pluralitas agama. Asghar berpendapat bahwa pluralitas dan diversitas agama sangat positif. Namun sebaliknya, sektarianisme keagamaan sebagai hal yang merusak. Fanatisme keagamaan dapat menggiring manusia ke arah ekslusivisme agama yang hanya memandang bahwa agamanyalah yang paling benar (truth claim), sedangkan yang lain adalah salah. Kondisi demikian menurut Asghar, merupakan akar masalah munculnya konflik agama. Untuk menghindari konfilk tersebut, diperlukan adanya sikap inklusif, toleran dan menghormati keyakinan orang lain. Sebab menurut Asghar, pluralisme agama akan memperkaya kehidupan spiritual dan meningkatkan kreativitas manusia. Dalam pandangannya, ada kesatuan transendental yang menghubungkan semua agama. Perbedaan tersebut hanya pada tingkat permukaannya saja daripada esensi atau substansi agama itu sendiri. Karena pada dasarnya beragamnya keyakinan manusia itu hanyalah “jalan yang berbeda” untuk mencapai tujuan yang sama. Oleh karenanya menurut Asghar, seseorang yang tidak dapat menghormati keyakinan orang lain berarti tidak dapat menghormati keyakinannya sendiri yang genuine(asli). Bahkan untuk memperkuat paham pluralisme ungkap Asghar, kita harus menanamkan dan mengembangkan sikap menghargai semua agama dan budaya secara adil tanpa ada perasaan saling curiga di antara semua agama.18
3. Mengenai keberagamaan seseorang. Asghar berpendapat bahwa seseorang dikatakan beragama jika ia memiliki sensitifitas dan empati terhadap penderiataan kelompok masyarakat yang lemah dan terindas. Sensitifitas inilah yang membuat ia baru diakui dan sebagai tanda akan keberagamaannya. Di samping itu, Asghar mengatakan bahwa seseorang yang mendukung dan atau fasif terhadap ketidakadilan sosial bukanlah orang yang taat beragama. Apalagi jika seseorang tersebut hanya diam saja dan tidak peduli terhadap adanya eksploitasi dan ketidakadilan, maka sama saja seseorang tersebut telah turut serta dalam proses pelanggengan eksploitasi dan ketidakadilan tersebut.19 Padahal al-Qur’an secara tegas mengutuk penindasan dan ketidakadilan. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa untuk menjadi Muslim sejati, seseorang harus turut serta memberi andil terhadap pembentukan masyarakat yang adil dengan jalan memelihara anak yatim, orang yang membutuhkan serta orang yang tertindas dan terzalimi. Bahkan secara tegas dia mengatakan bahwa orang kafir adalah orang yang tidak percaya pada Allah dan secara aktif menentang usaha-usaha yang jujur untuk membentuk kembali masyarakat, penghapusan penumpukan kekayaan, penindasan, eksploitasi dan segala bentuk ketidakadilan lainnya.20 Dengan kata lain, kesejatian keberagamaan seseorang salah satu tolak ukurnya adalah sejauh mana ia berjuang melawan segala bentuk ketidakadilan dan eksploitasi, termasuk di dalamnya eksploitasi atas nama agama
D. Metodologi Pemikiran Asghar Ali Engineer.
1. Hermeneutik
Hermeneutik sebagai sebuah metode penafsiran selalu berusaha memahami suatu teks agar diperoleh suatu pemahaman yang benar. Adapun kaitannya dengan dengan teks suci, hermenutik selalu bermaksud menghidupkan atau merekonstruksi makna teks suci tersebut. Karena adanya suatu teks tidak bisa lepas dari ruang dan waktu. Sedangkan upaya ini berada dalam jaringan antara pengarang (the author), dan pembaca (the reader), tanpa terlepas dari konteks psiko-sosial ketika teks itu terbentuk. Begitu juga halnya dengan al-Qur’an, sebagai teks kitab suci yang muncul dalam realitas sejarah harus selalu diperlakukan demikian. Sebagai pemikir dan mufassir liberal terhadap suatu teks yang dianggap bias gender yang hidup dalam konteks tertentu, Asghar selalu berusaha meleburkan teks ke dalam konteks dengan maksud untuk mengetahui apa sesungguhnya makna yang terkandung di dalamnya. Hal itu bisa dilihat pada bagaimana ia selalu memulai pembahasan dengan konteks sosio-historis kemunculan konsep-konsep keagamaan dan konteks sekarang dalam memahami berbagai ajaran agama.
Dengan kerangka berpikir demikian, dapat dilihat bahwa Asghar dalam memahami berbagai teks dalam al-Qur’an juga menggunakan metode hermeneutik. Namun sebelum melangkah lebih mendalam mengenai metode hermeneutik menurut Asghar, terlebih dulu penyusun menjelaskan apa itu metode hermenutik.
Secara etimologi, hermeneutik berasal dari bahasa Yunani, hermeneuein, yang berarti menafsirkan. Adapun kata bendanya adalah hermeneia yang secara harfiah diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi.21 Oleh karena itu, secara terminologis hermeneutik adalah sebuah ilmu dan seni dalam menginterpretasikan sebuah teks.22 Kata hermeneutik pada mulanya merujuk pada nama dewa Yunani Kuno, Hermes, yang tugasnya menyampaikan berita dari Sang Maha Dewa yang dialamatkan kepada manusia. Oleh karena itu, fungsi Hermes sangat penting sebab bila terjadi kesalahpahaman tentang pesan tersebut berakibat fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan sebuah pesan ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan misi tertentu. Berhasil atau tidak misi itu, sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan.23
Sebagai metode penafsiran, hermeneutik selalu hadir dalam usaha memahami teks sejarah dan teks kitab suci sedangkan teks itu sendiri mengalami perkembangan makna, maka untuk memperoleh pemahaman yang benar yang hendak dicapai oleh pembaca, hermeneutik tidak cukup hanya mendasarkan pada teks atau pun pemahaman semantikal, melainkan perlu melibatkan faktor psikologis dan sosiologis agar tidak terkecoh oleh teks semata. Oleh karena itu, seluruh detail sebuah teks hanya bisa dipahami dari konteks dan cakupan maknanya.24 Demikian juga halnya dengan metode hermeneutik yang digunakan Asghar. Menurut Asghar, pemakaian metode ini didasarkan pada adanya suatu keyakinan bahwa al-Qur’an tidak bisa dipahami secara teologis dengan terlepas dari kerangka sosiologisnya.
Dalam menginterpretasikan kitab suci, Asghar lebih mengedepankan nilai-nilai dasar atau substansi yang terkandung di dalamnya dari pada mengedepankan hal-hal yang bersifat legal-formalnya. Oleh karenanya, ada beberapa hal yang mesti digaris-bawahi oleh Asghar ketika memahami al-Qur’an, khususnya yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang dianggap bias gender. Pertama, al-Qur’an itu mempunyai dua aspek, yaitu normatif dan kontekstual.25 Apa yang dimaksud dengan aspek normatif merujuk kepada sistem nilai dan prinsip-prinsip dasar dalam al-Qur’an, seperti prinsip persamaan, kesetaraan dan keadilan. Prinsip-prinsip ini bersifat eternal dan dapat diaplikasikan dalam berbagai konteks ruang dan waktu. Sedangkan aspek kontekstual dalam al-Qur’an berkaitan dengan ayat-ayat yang diturunkan untuk merespon problem-problem sosial tertentu pada masa itu. Oleh karenanya, seiring perkembangan zaman pemahaman terhadap ayat-ayat tersebut ikut berubah sesuai dengan konteks ruang ruang dan waktu agar tetap relevan dengan zamannya.
Adapun tujuan pembedaan di atas adalah untuk mengetahui perbedaan antara apa yang sebenarnya diinginkan Allah dan apa yang dibentuk oleh realitas empiris masyarakat pada waktu itu. Keduanya merupakan kekayaan al-Qur’an. Karena kitab suci ini tidak hanya concern terhadap masyarakat ideal, atau “apa yang seharusnya”, akan tetapi juga mempertimbangkan realitas empiris, atau ”apa yang terjadi”. Dialektika antara das sollen dan das sein membuat al-Qur’an dapat diterima oleh masyarakat dalam konteks sosial tertentu di mana ayat-ayat tersebut diturunkan dan dapat pula dijadikan rujukan sebagai norma-norma dan prinsip-prinsip universal yang dapat diberlakukan di masa depan ketika realitas masyarakat lebih kondusif dalam menerima suatu perubahan.26
Kedua, penafsiran ayat-ayat al-Qur’an sangatlah tergantung persepsi, pandangan dunia, pengalaman dan latar belakang sosio-kultural di mana si penafsir itu berada. Oleh karenanya, penafsiran terhadap fakta empiris atau teks dari sebuah kitab suci senantiasa tergantung kepada posisi apriori seseorang, karena setiap orang memiliki semacam weltanschauung(apriori).27 Dengan demikian, penafsiran terhadap al-Qur’an selalu dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural, tak seorang pun yang bisa lepas dari pengaruh seperti itu. Tidaklah mengherankan seandainya satu ayat dapat memberi inspirasi bagi beragam tafsir dan terdapat perbedaan antara mufassir yang satu dengan mufassir lainnya.
Ketiga, makna ayat-ayat al-Qur’an itu terbuka untuk sepanjang waktu. Oleh karena itu, interpretasi ulama abad pertengahan bisa jadi sangat berbeda dari pemahaman yang diterima oleh seorang ulama yang hidup di dunia modern. Hal ini disebabkan karena al-Qur’an itu seringkali memakai bahasa simbolik atau metaforis yang mempunyai makna ambigu. Ambiguitas ini dimaksudkan untuk membuka peluang fleksebilitas dalam melakukan perubahan yang kreatif dan konstruktif. Asghar mengajak untuk menafsirkan bahasa simbolik al-Qur’an ini dari sudut pengalaman pribadi.28
Dengan demikian, Asghar dalam menginterpretasi suatu teks selalu mengacu kepada konteks sosio-historis dengan maksud untuk mengetahui apa sesungguhnya makna yang terkandung dalam teks tersebut. Oleh karenanya, al-Qur’an tidak bisa hanya dipahami secara teologis semata, namun juga harus dipahami berdasarkan sosiologisnya.
2. Filsafat Praksis
Di samping menggunakan metode hermeneutik dalam kerangka pemikirannya, Asghar juga menggunakan filsafat praksis.29 Hal ini dapat dilhat dalam berbagai tulisannya yang lebih menitikberatkan pada praksis ketimbang teoritisasi metafisik. Di antaranya Asghar mengatakan :
Perlu dicatat bahwa teologi pembebasan itu lebih menitikberatkan pada praksis daripada teoritisasi metafisis yang mencakup hal-hal yang abstrak dan konsep-konsep yang ambigu. Praksis yang dimaksud adalah sifat liberatif dan menyangkut interaksi dialektis antara “apa yang ada” (is) dan “apa yang seharusnya” (ought).30
Dalam hal ini, filsafat praksis merupakan sebuah pemikiran yang lebih menekankan kepada kesatuan dialektis antara teori dan aksi, teori dan praksis, iman dan amal. Praksis bukan hanya sekedar aksi, tingkah laku, ataupun praktek sebagaimana lazim dipahami orang. Praksis memiliki makna yang bertujuan memperoleh kebenaran secara mendalam bahwa arah sejarah bukanlah ditentukan oleh takdir Tuhan semata, melainkan juga ditentukan oleh usaha manusia. Di samping itu, praksis dimaknai sebagai suatu tindakan partisipatif manusia dalam sejarah dan berperan aktif dalam memperjuangkan emansipasi manusia dari relasi-relasi kemasyarakatan yang memperbudak.31
Adapun filsafat ini banyak dipegangi oleh para ilmuwan sosial yang menghendaki adanya perubahan secara radikal. Karl Marx dan Mazhab Frankfurt32 dapat dikatakan merupakan representasi dari peletak dasar filsafat ini. Misalnya Marx memandang masyarakat tidak bersifat statis, melainkan secara dinamik. Masyarakat mengalami perkembangan melalui dialektika materialisme. Maksud materialisme Marx di sini adalah bahwa kebudayaan didasarkan atas pertimbangan material, yaitu ekonomi. Materialisme yang diajarkannya bersifat kesejarahan dan dialektik. Mengapa dikatakan bersifat kesejarahan karena ikut berubah dengan berubahnya sejarah dan mempengaruhi sejarah. Sedangkan dikatakan bersifat dialektik karena sejarah senantiasa berada dalam suatu proses dialektik, yaitu terjadi ketegangan antara alam dengan budaya, antara modal dengan kaum proletar dalam menentukan gerak proses sejarah.33 Agar dapat tercipta masyarakat yang bersifat sosial, utuh dan terbuka, di mana manusia menarik kembali kekuatan-kekuatan hakikatnya yang terasing ke dalam dirinya sendiri. Oleh karena itu, masyarakat tidak lagi berdasarkan akomodasi lahiriyah egoisme-egoisme yang hanya berdasarkan paksaan negara atau pertimbangan untung-rugi, melainkan berdasarkan kerja sama dan komunikasi bebas dan spontan.34
Selain Karl Marx, Mazhab Frankfurt merupakan suatu kelompok yang mesti disebut jika hendak menjelaskan kecenderungan filsafat praksis. Cara berpikir mereka disebut sebagai teori kritis yang bertujuan membebaskan manusia dari pemanipulasian para teknokrat modern. Adapun teori ini bertitik tolak dari pemikiran Marx, namun sekaligus melampaui dan meninggalkan dia disebabkan masalah yang dihadapi makin kompleks yaitu masyarakat industri maju secara lebih kreatif dan inovatif.
Dalam pandangan Mazhab Frankfurt bahwa teori tidak bisa dilepaskan dari praksis dan tidak ada ilmu pengetahuan yang bebas nilai atau dalam istilah Jurgen Habermas bahwa sikap teoretis selalu diresapi dan dijuruskan oleh kepentingan manusiawi tertentu.35 Mereka menggugat aliran positivisme yang menganggap bahwa ilmu-ilmu sosial membebaskan nilai (free value), yang mana ilmu terlepas dari praktik sosial dan moralitas dan dapat dipakai untuk prediksi, bersifat objektif dan sebagainya. Anggapan semacam itu oleh Mazhab Frankfurt hanya menunjang terjadinya status quo36 dibalik kedok obyektivitas. Oleh karena itu, teori kritis tidak hanya bersifat komtemplatif saja, melainkan memandang diri sebagai pewaris cita-cita Karl Marx sebagai teori yang menjadi emansipatoris yang tujuannya berusaha mengembalikan kemerdekaan dan masa depan manusia serta membebaskan mereka dari segala belenggu penghisapan dan penindasan manusia oleh manusia.37
E. Pemikiran Asghar Ali Engineer tentang Pemberian Nafkah bagi Mantan Isteri
Perbekalan maksimum telah diberikan al-Qur’an bagi mantan isteri yang diceraikan sehingga mereka tidak menderita sedapat mungkin, secara fisik, karena penderitaan emosional tidak selalu dapat dihindarkan. Penderitaan emosional berusaha dikurangi dan menganjurkan laki-laki agar melepaskan mereka dengan cara yang baik. Sangat disayangkan ada kesenjangan yang jauh antara ajaran idealnya dan prakteknya yang terjadi. Yang diperlukan adalah menanamkan pendidikan al-Qur’an dengan skala yang jauh lebih luas bagi perempuan muslim, sehingga mereka menjadi sadar atas hak-hak yang diberikan al-Qur’an dan berjuang untuk mencapainya, ini bukanlah sebuah pekerjaan gampang, walaupun sesuatu yang sangat berguna.38
Komitmen Asghar terhadap penegakan kesetaraan gender dan perjuangannya untuk menciptakan relasi gender yang berkeadilan, bisa dilihat dari responnya terhadap kasus Shah Bano pada Tahun 1985 di India, kasus ini berkaitan dengan keputusan Mahkamah Agung yang membenarkan keputusan Pengadilan Tinggi personal Muslim yang mewajibkan kepada Mohammad Ahmad Khan (mantan suami Shah Bano) untuk memberikan nafkah kepada shah Bano, keputusan itu berdasarkan Code of Criminnal Procedure (Cr.PC.) 125:
“seseorang yang kekayaannya cukup, mengabaikan atau berkeberatan untuk memelihara isterinya yang tidak mampu untuk memelihara dirinya sendiri, dapat dimintakan oleh Pengadilan untuk membayar suatu pemeliharaan bulanan kepadanya pada suatu tingkat tarip tidak melebihi lima ratus mata uang India… isteri meliputi seorang perempuan diceraikan yang belum menikah lagi”. 39
Inti dari ketentuan diatas adalah mewajibkan kepada para suami untuk memberikan nafkah kepada para isteri yang diceraikan bila mereka tidak memiliki nafkah hingga mereka kawin lagi atau sampai mati.40
Pemikiran Asghar Ali Engineer sangat berbeda dengan pandangan mayoritas ulama fiqh mengenai pemberian nafkah bagi mantan isteri, menurut para fuqaha bahwa pemberian nafkah bagi mantan isteri hanya sebatas pada periode ‘iddah. Sedangkan menurut Asghar tidaklah demikian adanya. Asghar berpendapat bahwa pemberian nafkah bagi mantan isteri adalah sampai isteri menikah lagi atau mati.41 Landasan yang dijadikan pegangan Asghar dalam menanggapi masalah pemberian nafkah bagi mantan isteri adalah bahwa Surat al-Baqarah (2): 241, jika dilihat secara cermat, tidak ada yang membatasi masalah pemberian nafkah bagi mantan isteri, ayat tersebut tidak menetapkan periode tertentu dan tidak juga menegaskan jumlah tertentu. Penafsiran diserahkan kepada pemahaman manusia dan tuntutan zaman yang senantiasa berubah, 42 dan semuanya diserahkan kepada hakim untuk memutuskan setelah segalanya dipertimbangkan.
Asghar juga beranggapan bahwa ada dua kata kunci dalam surat al-Baqarah (2): 241, yang berkenaan dengan pemberian nafkah: Mata’ah dan Ma’ru>f. Al-Quran mengatakan bahwa mereka tidak hanya harus dilepaskan dengan cara yang baik (Ma’ru>>f) akan tetapi perbekalan (Mata’ah) juga disediakan dengan cara yang baik pula. Berkaitan dengan permasalahan ini, belum ada ketetapan dalam hukum ini yang menghalangi seseorang memberikan nafkah melebihi masa ‘iddah. Argumen bahwa umat Islam tidak bisa dipaksa membayar nafkah di luar masa ‘iddah memang sangat kukuh, namun dengan adanya perubahan kondisi sosial, penerapan hukum dapat berubah juga.43 Ketentuan tentang perceraian harus dibuat, apakah dengan memberikan bagi mantan isteri cukup satu masa atau dalam bentuk cicilan.44 Dalam hal ini, tidak ada yang menghalangi seseorang memberikan nafkah melebihi masa ‘iddah. Dengan adanya perubahan kondisi sosial, maka penerapan hukum dapat berubah juga.45 Al-Qur’an sendiri tidak menyatakan baik secara implisit maupun eksplisit bahwa isteri yang diceraikan harus dirawat oleh orang tuanya atau kerabatnya, sebaliknya adalah kewajiban para suami untuk merawat isteri-isteri mereka.46
Asghar mengutip pendapat ‘Allamah Yusuf Ali beliau menerjemahkan surat al-Baqarah (2): 241, Mata’ah sebagai nafkah sedangkan ma’ru>>f sebagai kadar yang layak. Asghar juga mengutip pendapatnya Maulana Muhammad Ali, dalam menafsirkan ayat ini beliau mengatakan” Ingatlah bahwa perbekalan ini (Mata’ah adalah tambahan atas mas kawin) yang harus diberikan kepada mereka. Sebagaimana pada surat al-Baqarah (2): 240, ayat sebelumnya mengenai janda cerai mati yang diberi keuntungan tambahan, di sini perbekalan sebagai tambahan atas mas kawinnya, dan dianjurkan bagi perempuan yang dicerai suami.47
Setelah suami meninggal, isteri tidak boleh dikeluarkan dari rumahnya, dia harus diperbolehkan menetap di sana paling tidak selama satu tahun. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 240: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau ahli waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ru>>f terhadap diri mereka.
Seseorang laki-laki dapat berbicara dengan janda cerai mati pada masa iddahnya tentang maksudnya untuk mengawininya. Hal ini menunjukkan bahwa janda tersebut dilamar pada masa ‘iddahnya. Dengan demikian, sangatlah mungkin bahwa kerabat suaminya akan mendorong janda tersebut meninggalkan rumah suaminya setelah ‘iddahnya habis dan mencari suami yang baru. Inilah sebab al-Quran mendesak seorang suami untuk membuat wasiat khusus sebelum meninggal dunia untuk mempertahankan isterinya di dalam rumahnya paling tidak selama satu tahun dan untuk nafkah hidupnya dan segala keuntungan lainnya (sebagai tambahan atas hak warisnya yang biasa bagi seorang isteri dari harta suaminya, seperdelapan). Dengan demikian, jika ayat ini dibaca dalam prespektif sosial yang berlaku pada saat itu, maka akan terlihat bahwa perlindugan khusus diambil untuk melindungi hak-hak perempuan, (al-Baqarah (2):240).
Asghar lebih lanjut juga mengutip pendapat ‘Allamah Yusuf Ali, bahwa perempuan yang dicerai berhak atas nafkah yang layak dan pemberian tersebut diwajibkan bagi suami yang menceraikannya. (kasus banding Shah Bano untuk mendapatkan nafkah dari suminya, dan akhirnya dikabulkan oleh Pengadilan Tinggi India). Sebagian ulama masa awal Islam juga berpendapat bahwa mata’ah tidak mengisyaratkan waktu tertentu. Asghar mengutip pendapatnya Hasan al-Basri, seorang tabi’in yang juga ulama besar, berpendapat bahwa” tidak ada pembatasan waktu mengenai pemberian nafkah, ini harus diberikan menurut kemampuan seseorang, demikian juga dalam Lisan al-’Arab, leksikon Arab klasik dan diakui secara luas, mengatakan,” Ia (mata’ah) tidak mempunyai batas waktu, karena Allah tidak menetapkan batas waktu pemberian nafkah. Di antaranya menyuruh memberikan nafkah.48
Asghar juga mengutip pendapat seorang ulama pakistan Prof. Rafiullah Syihab, mengatakan dalam artikelnya yang dipublikasikan oleh Pakistan Times bahwa menurut prinsip yang ditetapkan fuqaha Hanafi, “jika seorang suami tidak memberikan nafkah kepada isterinya dengan benar, isteri bisa mendapatkan pemberian nafkah yang besarnya ditetapkan pengadilan, pemberian tersebut tidak hanya diberikan sewaktu menjadi isterinya akan tetapi juga setelah ia diceraikan”.49
Hal senada juga diungkapkan Imam Ibn Rujaim, “dia berpandangan bahwa argumen yang mengatakan berhentinya kewajiban pemberian nafkah selayaknya oleh suaminya dapat mengetuk pintu pengadilan dan mendapatkan nafkah yang besarnya ditetapkan pengadilan tersebut. Suami harus membayar dan memberikan nafkah yang sudah ditetapkan itu kepada isterinya secara teratur. Jika menolak melakukannya, dia akan dihukum kurungan, jika memungkinkan bagi suami untuk menyelamatkan diri dengan menceraikan isterinya, dia tentu akan melakukan yang demikian. Tetapi hukum Islam tidak membolehkannya berlaku demikian, dia tetap harus memberikan nafkah tersebut setelah menceraikannya.50 Berkaitan dengan kriteria-kriteria wanita yang berhak untuk mendapatkan nafkah dari mantan suaminya, Asghar belum menyinggung lebih lanjut, hanya saja beliau memberikan suatu pertimbangan kepada seorang hakim ketika memutuskan suatu kasus perceraian dan untuk bahan pertimbangannya seperti: 1. Apakah perceraian sesuai dengan syara’, seperti bagaimankah tingkahlaku seorang wanita itu sebelum diceraikan, apakah dia taat kepada suaminya; 2. Bagaimanakah status ekonominya,dalam hal ini status ekonomi seorang wanita yang telah diceraikan, apakah dia kaya atau miskin; 3. Apakah mempunyai anak-anak dalam tanggungannya; 4. Bagaimanakah status ekonomi suaminya, untuk mengukur kemampuan seorang suami, apakah dia mampu untuk memberikan nafkah kepada mantan isterinya. 51
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN ASGHAR ALI ENGINEER
TENTANG PEMBERIAN NAFKAH BAGI MANTAN ISTERI DAN RELEVANSINYA DI INDONESIA
A. Kriteria-kriteria bagi Wanita yang Berhak Mendapatkan Nafkah
Pada masa pembangunan, kontekstualisasi al-Qur’an khususnya dalam pemberian nafkah menjadi penting, pembangunan manusia yang selalu menjanjikan kesejahteraan bahkan menuju kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat merupakan proses interaksi dari serangkaian kegiatan yang mengarah pada peningkatan kualitas hidup manusia, dari aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi, lingkungan, politik dan utamannya aspek agama. Potensi, profesi dan berbagai wawasan keagamaan dan sosial tertata dalam suatu sistem dan mekanisme yang terarah. Kualitas manusia yang menyangkut berbgai aspek, dikelola dengan dukungan sumber daya manusia sendiri dan kekuatan dari luar dirinya. Dalam hal ini al-Quran sebagai sumber motifasi, diletakkan sebagai penyeimbang aqidah, syariah dan akhlaq karimah.1
Sebagaimana telah diuraikan dalam bab III, Asghar berpendapat bahwa pemberian nafkah bagi mantan isteri itu sampai menikah lagi atau sampai mati. Hal itu tentunya sangat berbeda dengan pandangan umum para mufasir, fuqaha dan juga Kompilasi Hukum Islam (KHI), dalam Hukum Islam bahwa seorang yang telah diceraikan berhak mendapatkan nafkah hanya selama ‘iddah karena sudah terputusnya hubungan perkawinannya, setelah itu setelah itu ia bebas untuk kawin lagi atau kembali kepada orang tuannya atau kepada kerabatnya.2 Begitu juga dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 149, bahwasannya nafkah, maskan dan kiswah kepada mantan isteri selama dalam ‘iddah.3
Berkaitan dengan kriteria-kriteria bagi mantan isteri yang berhak mendapatkan nafkah dari mantan suaminya, Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 149 memberikan gambaran, bahwasannya nafkah, maskan dan kiswah kepada mantan isteri itu hanya selama dalam ‘iddah, sedangkan mantan isteri yang telah di jatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil, tidak mendapatkan nafkah. Dari Kompilasi Hukum Islam tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwasannya wanita yang berhak mendapatkan nafkah dari mantan suaminya hanya wanita yang masih dalam masa ‘iddah dan wanita itu sedang hamil (karena selama masa ‘iddah itu untuk menggetahui apakah wanita itu hamil atau tidak),4 dan tidak pada posisi ditalak ba’in dan bukan karena wanita itu nusyuz, sedangkan berkaitan dengan talak ba’in itu sendiri masih banyak perbedaan pendapat dari kalangan ulama mazhab, seperti pendapat mazhab Hanafi yang berpendapat bahwa isteri yang dalam masa ‘iddah talak ba’in tetap mendapatkan nafkah (makanan, pakaian dan rumah), Syafi’i dan Maliki berpendapat bahwa isteri tersebut hanya berhak atas tempat tinggal saja.5 Begitu juga dalam Hukum Islam bahwasannya kriteria bagi mantan isteri yang berhak mendapatkan nafkah dari mantan suaminya, juga hanya selama isteri menjalankan masa ‘iddah, karena selama masa ‘iddah hubungan perkawinan suami isteri masih tetap berlangsung, karena talak raj’i tidak menghapuskan akad nikah, tidak menghilangkan hak-hak suami atas isterinya, begitu juga hak-hak isteri terhadap suaminya.6 Sedang wanita-wanita yang tidak berhak mendapatkan nafkah dari mantan suaminnya adalah seperti: wanita yang melakukan khulu’, wanita yang suaminya meninggal dunia, wanita yang menunggu masa ‘iddahnya karena fasakh, 7 dan setelah perceraian seorang mantan isteri itu hanya mendapatkan nafkah hanya selam masa ‘iddah, tentunya hal ini sangat berbeda dengan pendapat Asghar, jika melihat latar belakang Shah bano sendiri bahwa dia adalah seorang muslimah, yang telah berumur 62 (pada saat perceraian 1978) dan anak kelima dari Indore, Madhya Pradesh, diceraikan oleh suaminya Mohammad Ahmad Khan tahun 1978, kemudian dia mengajukan tuntutan dan tujuh tahun kemudian kasusnya mencapai Mahkamah Agung tepatnya pada tahun 1985,8 permohonan Shah bano dikabulkan oleh Mahkamah Agung di India berdasarkan Cr. P.C. 125 yang intinya mewajibkan kepada para suami untuk memberikan nafkah kepada para isteri yang diceraikan bila mereka tidak mempunyai nafkah untuk dirinya sendiri, dari pendapat tersebut dapat dilihat, bahwa kriteria bagi wanita yang berhak mendapatkan nafkah berkelanjutan adalah bagi mereka yang tidak mampu untuk memelihara dirinya sendiri (miskin), Shah Bano sendiri jika kita melihat bahwa wanita tersebut adalah wanita yang sudah sangat tua, dan sudah dapat dimungkinkan bahwa dia untuk mengurus dirinya sendiri pun akan sangat kesulitan.
Tujuan pemberian nafkah sendiri dimaksudkan untuk memberikan bantuan dan penghormatan kepada isteri serta menghindarkan dari kekejaman talak yang dijatuhkan oleh suaminya.9 Dapat dipahami juga bahwa tujuan pemberian nafkah dalam rangkaian menghindarkan kemungkinan kemadharatan setelah terjadinya perceraian, dan diharapkan dengan adanya pemberian nafkah bagi mantan isteri maka akan dapat menimbulkan kemaslahatan bagi mantan isteri tersebut jika tidak mampu mencari nafkah sendiri, dan juga mendatangkan kemudahan kepada mantan isteri tersebut. Terkadang seorang isteri yang ditalak itu miskin dan tidak ada seorang pun yang menanggungnya, maka dari itu suami yang menceraikan itu wajib untuk memberikan nafkah selama masa ‘iddah serta persiapannya untuk kawin dengan suami lain.10
Memang perbekalan telah diberikan al-Qur’an bagi mantan isteri yang diceraikan, sehingga mereka tidak menderita sedapat mungkin secara fisik karena penderitaan emosial yang tidak dapat dihindari. Penderitan emosial berusaha dikurangi dengan menganjurkan laki-laki agar melepaskan mereka dengan cara yang baik, sangat disayangkan ada kesenjagan yang jauh dari ajaran idealnya dan prakteknya yang terjadi. Yang diperlukan adalah menanamkan pendidikan al-Qur’an dalam sekala yang jauh lebih luas bagi perempuan muslim, sehingga mereka menjadi sadar, atas hak-hak yang akan dicapainya.11
Pemberian semacam uang hiburan kepada mantan isteri, apabila terjadi perceraian suami hanya memberikan sejumlah uang untuk sekali lalu saja kepada mantan isterinya tersebut, ini disebut sebagai uang hiburan karena perceraian itu terjadi tidak atas kesalahan isteri. Jalan pemberian mut’ah ini merupakan pengakuan suami atas kewajibannya bahwa ia harus membiayai isterinya yang telah diceraikannya itu, tetapi tidak mengikat untuk waktu yang lama hanya membayarnya sekaligus, kebiasaan yang demikian harus ditingkatkan menjadi pelaksanaan lebih ketat kepada kehendak QS: 241, biaya hidup bagi mantan isteri yang bersangkutan dengan syarat–syarat yang wajar, jadi jangan hanya bersifat uang penghibur saja tetapi harus bersifat uang kewajiban, hal ini suatu ketentuan yang juga akan mempersulit terjadinya perceraian,12 dapat disimpulkan bahwa pemberian nafkah (mut’ah) tidak hanya sebagai uang penghibur, tetapi sebagai uang kewajiban yang harus dibayarkan.
Segala sesuatu dinilai benar atau salah harus dikaitkan dengan hakekat yang sesungguhnya terjadi pada masyarakat itu sendiri serta niat ketundukan terhadap hukum, demi kemaslahatan dan demi untuk menghindari sesuatu yang potensial menimbulkan madharat adalah wajib, bahkan hal demikian harus didahulukan dari upaya meraih kemanfaatannya.13
Kasus Shah Bano jika dikaitkan dengan pendapat Asghar, sesungguhnya tidak jauh berbeda, menurut Asghar adalah jauh dari rasa keadilan bila isteri yang dicerai harus dipelihara oleh orang tua atau kerabatnya setelah periode ‘iddah, adalah benar bahwa dalam hukum Islam seorang yang telah dicerai berhak mendapatkan nafkah hanya selama masa ‘iddah, setelah itu dia bebas untuk kawin lagi atau kembali kepada orang tuanya atau jika sudah tidak punya orang tua kepada kerabatnya. Dengan demikian, Asghar ingin menegaskan bahwa dalam menginterpretasikan sebuah teks harus melihat konteks sosio-historisnya agar sesuai dengan perkembangan zaman. Hasil pemahaman ulama abad pertengahan belum tentu selaras dengan masa sekarang. Oleh karenanya, menurut Asghar, hasil pemahaman ulama ketika itu tidak bersifat mutlak kebenarannya namun bersifat relatif sesuai dengan relativitas pemikiran manusia itu sendiri.
Perbedaan pendapat Asghar tersebut kalau dicermati secara seksama, terletak pada model penafsiran yang dikembangkannya, khususnya dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat 241, tentang pemberian nafkah bagi mantan isteri. Dalam ayat tersebut tidak ada sesuatu yang membatasi masa kepada seseorang untuk memberikan nafkah, dan juga tidak ada suatu ketetapan yang menghalangi seorang untuk memberikan nafkah bagi mantan isteri melebihi masa ‘iddah.14 Al-Qur’an sendiri tidak menyatakan baik secara implisit atau eksplisit bahwa isteri yang diceraikan harus dirawat oleh orang tuanya atau kerabatnya, sebaliknya adalah kewajiban para suami untuk merawat isteri-isteri mereka.15 Asghar berusaha melakukan kontekstualisasi terhadap pemberian nafkah bagi mantan isteri selama masa ‘iddah, yang selama ini masih kukuh dipegang oleh umat muslim, dan juga Kompilasi Hukum Islam, beliau juga berusaha merekonstruksi ketentuan tersebut melalui penelusuran sosial historis, ketika ayat tersebut diturunkan kemudian menginterprestasikan sesuai dengan konteks sosial, ekonomi. Murtadha Muthahhari dalam bukunya Hak-Hak Wanita dalam Islam, memberikan suatu solusi terhadap wanita apabila terjadi suatu perceraian yang berhubungan dengan harta, ketika seorang wanita hidup bersama suaminya, maka ia harus diberikan hak untuk memiliki dan dapat menyimpan kekayaannya sendiri, sekalipun seluruh nafkahnya ditanggung oleh suaminya.16
Islam sesungguhnya membawa ajaran yang diyakini dapat meninggikan derajat dan martabat wanita, sayangnya ajaran-ajaran yang luhur itu sering ditafsirkan secara dangkal, sehingga tidak jarang ditemukan penafsiran yang beragam yang justru merendahkan wanita.17 Apa yang dilakukan Asghar dalam menginterprestasikan suatu ayat yang bias gender, ia lebih mengedepankan substansi dari pada legal-formalnya. Inilah yang membuat Asghar termasuk kelompok pemikir Islam liberal.18 Teori hermeneutik yang mereka gunakan berangkat dari suatu keyakinan bahwa al-Quran adalah membawa wacana keadilan yang berarti mempunyai visi kesetaraan gender.
Tidaklah berlebihan untuk melindungi hak-hak para isteri walaupun terhadap isteri yang telah diceraikan dalam pasal 17 Undang-undang No.14 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman, menentukan bahwa segala keputusan pengadilan harus memuat alasan-alasan hakim dan dasar–dasar memutuskan perkara, dalam bagian pertimbangan dari putusan adalah alasan-alasan hakim sebagai penanggung jawab pada masyarakat, mengapa ia sampai mengambil keputusan demikian sehingga mempunyai nilai obyektif,19 berdasarkan Undang-undang no. 1 tahun 1974 pasal 41 c, pengadilan dalam kasus-kasus perceraian tertentu dapat menentukan ujud dari mata’, berupa sejumlah uang yang dapat menjadi biaya hidup bagi mantan isteri sehabis masa ‘iddahnya untuk waktu tertentu.
Allah telah menganjurkan untuk dapat memberikan nafkah kepada orang lain, dalam hal ini tentunya dapat diterapkan pada suami terhadap isteri yang diceraikannya, seperti telah tertuang dalam surat at-Talaq ayat 6, dari ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa suami yang menceraikan isteri wajib memberikan pesangon (nafkah) baik nafkah ‘iddah bila isteri terdapat ketentuan-ketentuan untuk mendapatkan nafkah maupun mut’ah sesuai dengan kemampuannya, Perlu dipahami, bahwa pelaksanaan nafkah dalam perceraian masih perlu dikaitkan dengan sebab-sebab dan kondisi pribadi yang bersangkutan yang itu nanti sangat mempengaruhi pelaksanaan nafkah itu sendiri.
Dasar filosofis yang dikemukakan Asghar adalah bahwa semua manusia sama merdeka dan makhluk berakal yang memberi kecenderungan kepada persamaan dan keadilan, oleh karena itu secara natural, akan selalu melawan segala bentuk penindasan, diskriminasi dan segala bentuk ketidakadilan dalam segala hal dan jauh dari rasa keadilan, apabila mantan isteri yang telah diceraikan harus kembali kepada orang tuanya atau kepada kerabatnya.
Bahwa setiap wanita yang diceraikan oleh suaminya berhak atas nafkah bil ma’ru>f (atas ukuran sepatutnya) Q.S. al-Baqarah: 241, meliputi semua wanita yang diceraikan oleh suaminya baik sudah dicampuri maupun belum dicampurinya baik wanita yang ber’iddah maupun wanita yang tidak ber’iddah, berhak mendapatkan nafkah sepatutnya, dan berakhirnya nafkah, apabila wanita itu telah mendapatkan nafkah dari pihak lain, seperti jika ia telah bersuami lagi atau jika ia mempunyai perusahaan sendiri ataupun mantan suami tidak mampu lagi mengurus pihak luar karena telah payah kehidupannya, dan jika ada pertikaian tentang sanggup atau tidak sanggupnya atau tentang patut atau tidak patutnya (tentang ma’ruf itu sendiri) maka hakim berhak menetapkannya (berhak memberikan keputusannya).20
Adapun sebab turunnya ayat 241, surat al-Baqarah tentang kewajiban memberikan mut’ah adalah sebagai berikut: dalam suatu riwayat ketika turun ayat surat al-Baqarah ayat 236, berkatalah seorang laki-laki “jika keadaanku sedang baik, akan aku lakukan, tapi jika aku tidak mau, aku tidak akan melakukannya.” maka turunlah ayat 241 yang menegaskan kewajiban suami untuk memberikan mut’ah kepada mantan isteri.21
Al-Quran telah menyebutkan dalam surat al-Ahzab ayat 49 ayat ini menjadi dasar yang mengharuskan adanya nafkah (sesuai dengan kemampuannya) sebagai hadiah. Perceraiannya pun harus dengn cara-cara yang baik. dan kalaupun pada akhirnya suami tidak dapat memberikan nafkah lantaran kemampuannya yang tidak ada pada suami, dalam belanja maupun harta, semestinya suami tetap harus berbuat baik kepada isteri, sebagaimana kewajiban bahwa suami berkewajiban memelihara atau menceraikan dengan baik, seperti disebutkan dalam al-Qur’an al-Baqarah ayat 229.
B. Relevansi Pendapat Asghar terhadap Konteks Sekarang
Berdasarkan deskripsi tentang kriteria dan pemberian nafkah bagi mantan isteri yang diceraikan menurut Asghar sebagaimana penyusun kemukakan sebelumnya, bahwa pemberian nafkah bagi mantan isteri yang diceraikan dapat diberikan melebihi masa ‘iddah, dengan catatan melihat kondisi keadaan mantan isteri seperti: 1. Bagaimanakah status ekonominya, dengan ini dapat diketahui bagimana status ekonomi seorang mantan isteri tersebut; 2. Apakah mempunyai anak-anak dalam tanggungannya; 3. Bagaimanakah status ekonomi suaminya.22 Akhirnya seorang hakimlah yang berhak untuk memutuskannya. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian nafkah bagi mantan isteri dilaksanakan untuk kemaslahatan mantan isteri setelah perceraian.
Pendapat Asghar tersebut dapat dikaitkan dengan Undang-undang no.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang dalam pasal 41 c dijelaskan: Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan isterinya. Menurut pasal tersebut suatu pengadilan dapat menentukan kewajiban kepada mantan suami untuk memberikan nafkah kepada mantan isterinya akan tetapi dengan syarat-syarat yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, pasal 25, ayat 1, tertulis “setiap orang berhak atas tingkat hidup yang menjamin kesehatan dan keadaan, baik untuk dirinya maupun keluarganya, termasuk makanan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya serta usaha-usaha sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada waktu mengalami pengangguran, menderita sakit, menjadi cacat, janda, mencapai usia lanjut atau mengalami kekurangan nafkah dan lain-lain, dikarenakan keadaan yang berada di luar dirinya”. Disini, bukan saja deklarasi PBB itu memperlakukan keadaan kehilangan suami sebagai sutu kehilangan sumber kehidupan bagi seorang wanita, tetapi juga menyertakan janda dalam jajaran yang sama dengan orang yang ketiadaan pekerjaan, orang yang sakit serta yang cacat fisik.23
Pendapat Asghar juga dapat dikaitkan dengan pendapat A. Azhar Basyir berkaitan dengan QS al-Baqarah: 241, yang menegaskan bahwa wanita yang ditalak berhak atas Mata’ dengan Ma’ru>f, sebagai hak atas orang-orang yang bertaqwa. Mata’ dengan Ma’ru>f biasanya diartikan sebagai hiburan yang pantas, berupa sejumlah harta yang diberikan kepada isteri yang ditalak, untuk memperluas arti Mata’ sebagaimana disebutkan dalam al-Quran yang dikaitkan pula dengan Ma’ru>f (yang pantas), tidak ada halangan apabila pengadilan dalam kasus-kasus perceraian tertentu memutuskan ujud dari Mata’ itu berupa sejumlah uang yang dapat menjadi biaya hidup mantan isteri sehabis masa ‘iddah, untuk waktu tertentu”. 24
Metodologi yang digagas Asghar kelihatannya sangat sederhana namun begitu, elaborasinya tentang pembedaan antara ayat-ayat normatif dan kontekstual sangatlah penting lewat pembedaan ini orang akan dapat membedakan antara nilai-nilai fundamental yang menjadi spirit dasar al-Qur’an dan nilai-nilai kontekstual yang terikat oleh ruang dan waktu sehingga bisa berlaku universal. 25
Adalah wajar di antara para mufassir dan fuqaha dalam menafsirkan suatu ayat yang sama namun melahirkan pemahaman dan kesimpulan yang berbeda. Karena interpretasi terhadap ayat al-Qur’an sangatlah ditentukan oleh persepsi, pandangan dunia, pengalaman dan latar belakang sosio-kultural di mana mereka tinggal. Menurut Asghar, penafsiran terhadap fakta empiris atau teks kitab suci selalu tergantung kepada apriori seseorang. Setiap orang memiliki semacam weltanschauung(apriori). Begitu pula apa yang dikatakan oleh Amina Wadud bahwa perbedaan konklusi interpretasi seseorang sangat ditentukan oleh tiga aspek: 1). Konteks saat nas ditulis, yaitu konteks di mana wahyu diturunkan; 2). Komposisi nas dari segi gramatikanya, yaitu bagaimana nas menyatakan apa yang dinyatakannya; 3). nas secara keseluruhan, yaitu weltanschauung atau pandangan dunianya.26 Dengan demikian, penafsiran yang murni terhadap kitab suci tidaklah mungkin. Penafsiran selalu dipengaruhi oleh situasi-situasi sosio-kultural, tidak satu pun orang bisa melepaskan dari pengaruh seperti itu. Tidaklah mengherankan seandainya satu ayat dapat memberi inspirasi bagi beragam tafsir, khususnya ketika mendekati teks tersebut adalah orang-orang yang mempunyai latar belakang sosio-historis yang berbeda.
Adalah benar apa yang dikatakan oleh Abdul Munir Mulkhan bahwa derajat tertinggi pemahaman seseorang terhadap wahyu tetap akan berada dalam batas-batas historis dan sosiologis itu sendiri yang bersifat zhonni, ilmiah dan bersifat mungkin adanya. Setidak-tidaknya pemahaman orang tersebut benar adanya dalam cakupan waktu dan kerangka sosial tertentu dan belum tentu benar jika dihadapkan pada waktu dan kerangka sosial yang lain.27 Hal ini berarti bahwa usaha manusia dalam memahami wahyu adalah sebuah proses budaya yang berubah dan berkembang yang akan selalu menyisakan rahasia untuk diungkap dan didekonstruksi serta diinterpretasi kembali sesuai dengan konteks zaman. Termasuk apa yang dilakukan oleh fuqaha dalam menafsirkan ayat tentang nafkah diatas. Tinggal persoalannya sekarang sejauh mana kita mampu menangkap pesan moral ayat mengenai pemberian nafkah tersebut dalam kaitannya menjunjung tinggi harkat dan martabat wanita. Menurut Amina Wadud, bagaimana kita mampu menangkap pesan substansi dari setiap ayat al-Qur’an kemudian berusaha membuat aplikasi praktis dari ayat tersebut sesuai dengan kondisi dan situasi kekinian dengan tetap berpegang teguh pada substansi ajaran.28
Dengan kata lain, kita harus membebaskan diri dari kebiasaan berpegang teguh secara kaku terhadap pemahaman tekstualis dan mulai melakukan kontekstualisasi ayat sesuai kondisi sekarang dengan menjunjung tinggi nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar yang diberikan al-Qur’an. 29 Prinsip dasar dalam al-Qur’an ini bersifat eternal dan dapat diaplikasikan dalam berbagai konteks ruang dan waktu. Adapun pernyataan moral dari surah al-Baqarah ayat 241 bahwa al-Qur’an mendorong terjadinya keadilan. Perubahan yang dilakukan al-Qur’an tidaklah serta-merta dilakukan secara cepat dan radikal namun dilakukan secara gradual. Dalam menerapkan suatu hukum sangat terkait dengan kondisi sosial-budaya masyarakat setempat.
Satu hal yang mendasar yang perlu ditegaskan bahwa mengapa Asghar menentang ketentuan pemberian nafkah hanya selama masa ‘iddah dijadikan aturan umum. Ayat tersebut bersifat kontekstual dan temporal dan kesalahan fuqaha dalam menginterpretasikan ayat tersebut secara tidak proporsional dengan mendeduksikannya secara umum, sehingga berakibat status wanita jauh dari rasa keadilan serta secara tekstual ketentuan tersebut bias gender sehingga perlu interprestasi sesuai konteks kekinian.
Dengan demikian, mafhum mukhālafahnya adalah ketentuan yang jauh dari rasa keadilan dan sesuai dengan prinsip ajaran Islam tidak menjadi persoalan untuk dideduksikan menjadi aturan umum, sehingga dapat diterapkan pada keadaan tertentu, seperti halnya ketika seorang wanita itu dalam keadaan tidak mampu maka dapatlah dia diberikan hak-haknya sampai dia mendapatkan seorang laki-laki yang dapat menafkahinya, Karena menurut Asghar, makna ayat-ayat dalam al-Qur’an terbuka untuk sepanjang waktu. Apa arti ayat-ayat bagi ulama zaman pertengahan bisa sangat berbeda dari makna yang diterima pada seorang ulama yang hidup dalam kondisi modern. Teks kitab-kitab suci sering kali menggunakan bahasa simbolik yang membuatnya diliputi beberapa tingkat pemaknaan yang kesemuanya mungkin tidak berlaku untuk sepanjang zaman. Oleh karena itu, menjadi perlu menginterpretasikan bahasa simbolik itu secara kreatif agar sesuai dengan konteks pengalaman kita sendiri.30 Dalam menginterpretasikan sebuah teks menurut Asghar, kita dituntut menterjemahkan pesan Ilahi tersebut berdasarkan pengalaman kita sendiri agar ajaran Islam selalu relevan dengan tingkat perkembangan zaman.
Lebih lanjut Asghar mengungkapkan :
Kita harus memahami bahwa ada statemen yang bersifat normatif dan juga bersifat kontekstual di dalam al-Qur’an. Apa yang diinginkan Allah dinyatakan dan bagaimana realitas empirisnya, juga disebutkan. Sebuah kitab suci mengindikasikan tujuan”yang seharusnya dan semestinya”, tetapi juga mempertimbangkan realitas empiris “sebagaimana adanya”. Terjadi dialektika antara keduanya, sehingga tuntutan kitab suci diterima oleh masyarakat yang kongkret dalam kondisi-kondisi yang kongkret pula dan tuntutan tidak selamanya dalam bentuk gagasan abstrak. Pada saat yang sama, norma transendental juga ditunjukkan sehingga di masa depan – apabila kondisi-kondisi kongkretnya lebih kondusif bagi penerimaan norma itu – akan diterapkan atau setidaknya usaha untuk mendekatinya. 31
Dengan demikian, ketentuan pemberian nafkah selama masa iddah adalah merupakan produk hukum Islam (fiqh) sebagai hasil ijtihad para fuqaha ketika itu. Sebagai hasil ijtihadiyah manusia, maka kebenarannya tidaklah bersifat absolut namun bersifat relatif sesuai dengan relativitas konstruksi pemikiran manusia itu sendiri yang tidak bisa lepas dari ruang dan waktu sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya pergeseran paradigma (shifting paradigm) disebabkan munculnya anomali konteks zaman yang berubah. Oleh karena itu, ketentuan tersebut dapat saja berubah sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Qayyim bahwa suatu pendapat atau fatwa dapat berubah seiring perubahan waktu, tempat, dan kondisi sosio-kultural masyarakat setempat. 32
Diyakini bahwa hukum Islam selalu berhadapan dengan realitas tuntutan umat Islam sebagai subjek hukum sekaligus objek hukum. Hukum Islam dituntut mampu merespon kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat. KHI merupakan salah satu responsibilitas pemerintah terhadap kenyatan hukum yang hidup dalam masyarakat Islam Indonesia untuk diakui secara legal dalam perundang-undangan. Namun setelah KHI tersusun, ia juga tidak lepas dari kondisi tempat dan keadaan agar sejajar dengan gerak dinamika laju perkembangan masyarakat.
Di samping itu juga, salah satu obsesi al-Qur’an sendiri adalah terwujudnya keadilan dalam masyarakat. Keadilan dalam al-Qur’an mencakup segala segi kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Karena itu al-Qur’an tidak mentolerir segala bentuk diskriminasi, baik berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa, kepercayaan maupun yang berdasarkan jenis kelamin. Jika terdapat suatu hasil pemahaman atau penafsian yang bersifat bias gender atau menyalahi nilai-nilai luhur kemanusiaan, maka hasil pemahaman dan penafsiran tersebut terbuka untuk diperdebatkan. Bahkan dengan tegas Asghar menyatakan, ketika struktur sosial mendukung terjadinya pro status quo, ketidakadilan, penindasan terhadap kaum lemah, pengekangan terhadap aspirasi masyarakat banyak serta diskriminasi warna kulit, bangsa dan jenis kelamin, harus dilawan dan perlu didekonstruksi.33 KHI merupakan salah satu responsibilitas pemerintah terhadap kenyataan hukum yang hidup dalam masyarakat Islam Indonesia untuk diakui secara legal dalam perundang-undangan dan merupakan salah satu sumber rujukan hakim dalam menyelesaikan kasus hukum tertentu, diakui oleh Yahya Harahap baru merupakan langkah awal yang sifatnya belum final dan belum sempurna, tidak menutup diri untuk direkonstruksi. Oleh karenanya beliau menganjurkan perlu dibuat kembali KHI ke arah perumusan yang lebih matang atau maturity law yang berdimensi rasional, praktis dan aktual. 34
Secara filosofis hal demikian sangat dimungkinkan. Hal ini dikarenakan realitas umat Islam saat ini jauh berbeda dengan realitas umat Islam ketika formulasi KHI dibuat. Tingkat perkembangan pemikiran manusia itu berkembang dari masa ke masa. Karena konteks zaman, ruang dan waktu yang berbeda, tidak menutup kemungkinan semangat peraturan tersebut mengandung anomali-anomali ketika dihadapkan dengan realitas kontemporer. Ketentuan yang mengharuskan pemberian nafkah hanya selama masa ‘iddah perlu dikaji kembali. Dengan demikian, ketentuan pemberian nafkah sampai menikah lagi atau mati, dapat dijadikan tawaran pemikiran alternatif dan sebagai bahan masukan yang bernilai positif dalam menyempurnakan rumusan KHI ke depan yang berkeadilan gender, rasional, aktual dan selaras dengan gerak dinamika laju perkembangan masyarakat Islam pada khususnya, dan bangsa Indonesia pada umumnya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan :
1. Asghar Ali Engineer berpendapat bahwa, kriteria-kriteria bagi seorang wanita yang berhak mendapatkan nafkah dari mantan isterinya adalah: a. Seorang wanita yang telah dicerai dan tidak mampu untuk memelihara dirinya sendiri (miskin); b. Seorang wanita sudah sangat tua usianya; c.Sudah tidak mempunyai keluarga atau sanak famili. Seorang wanita itu berhak mendapatkan nafkah sampai dia menikah lagi atau sampai mati, karena jauh dari rasa keadilan jika seorang wanita yang telah diceraikan kembali kepada orang tuanya atau kepada kerabatnya.
2. Menurut Asghar ada dua kata kunci dalam surat al-Baqarah (2): 241, yang berkenaan dengan pemberian nafkah bagi mantan isteri: Mata’ah dan Ma’ru>f. Al-Quran mengatakan bahwa mereka tidak hanya harus dilepaskan dengan cara yang baik (Ma’ru>>f) akan tetapi perbekalan (Mata’ah) juga disediakan dengan cara yang baik pula.
3. Pemikiran Asghar Ali Engineer tersebut memiliki relevansi dengan Undang-undang No.I tahun 1974 pasal 41c Hal ini tentunya juga berimplikasi terhadap KHI yang hanya memberikan nafkah bagi mantan isteri hanya sampai masa ‘iddah, perlu ditinjau kembali.
B. Saran-Saran
1. Kepada para ulama dan cendikiawan muslim Indonesia, dalam menafsirkan sebuah teks (nas) tidak semata-mata bersifat normatif, tetapi juga harus memperhatikan konteks sosio-historis ketika suatu teks (ayat) tersebut diturunkan, sehingga produk hukum yang dihasilkan sesuai dengan kondisi perkembangan zaman.
2. Pengadilan Agama sebagai lembaga pertama yang menjadi tempat putusnya perceraian, diharapkan dapat menjaga dan menjalankan tugasnya secara baik dan mengantisipasi adanya berbagai penyalahgunaan kewajiban serta hak-hak dalam perkawinan khususnya dalam perceraian, sehingga hak-hak wanita dapat terlindungi dengan baik.
3. Kepada pemerintah Indonesia, perlu mengamandemen pasal-pasal dalam KHI yang masih memuat perbedaan gender yang mensubordinasi wanita dengan terlebih dahulu melakukan pengkajian terhadap KHI dari perspektif gender.
4. Sebagai sebuah produk pemikiran manusia, maka penyusun menyadari terdapat kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, terbuka kemungkinan untuk mengkaji kembali dan menyempurnakannya. Hal ini sesuai dengan relativitas konstruksi pemikiran manusia itu sendiri berubah seiring perkembangan zaman. Terutama sekali mengkaji mengenai pemberian nafkah bagi mantan isteri, karena selama ini mayoritas fuqaha masih kukuh dengan pendirian bahwa pemberian nafkah bagi wanita yang dicerai hanya selama masa ‘iddah.
DAFTAR PUSTAKA
A. KELOMPOK AL-QUR’AN DAN TAFSIR
Baidan, Nashruddin, Tafsir bi Ra’yi : Upaya Penggaliaan Konsep Wanita dalam Al-qur’an, Cet. 1 Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Ilyas, Yunhar, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-qur’an Klasik dan Kontemporer, Cet. 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997
al-maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maraghi, 30 juz Cet.3 Mesir :Mustafa al-Babi al-Halabi Wa Auladuhu, 1953
as-Sabuni, ‘Ali, Rawa’i al-bayan Tafsir al-Ahkam min al-Qur’an, 2 juz Makkah: tnp,tt.
——————, Tafsir ayat-ayat Hukum dalam al-Qur’an, diterj. Saleh Mahfoed, 2 jilid Cet.1 Bandung: al-Ma’arif, 1994
Shaleh, M. Dahlan, Asbaun Nuzul, Bandung: CV. Diponegoro, 1990
Tim Tashihi Departemen Agama, Al-Quran dan tafsirnya,10 jilid, Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1990
Wadud, Amina, Quran Menurut Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir, alih bahasa Abdullah Ali, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2001
B. KELOMPOK HADIS
Abi Ishaq Ibrahim, Asy-Syaikh al- Imam az-Zahid al-Muwafiq, al-Muhazzab, Surabaya: Ahmad Bin Said Bin Nabhah, t.t.
Dawud, Abu, Sunan Abi Dawud , 2 jilid Beirut: Dar al Fikr,t.t.
al-Muhdlor, Yunus Ali, Sunan an-Nasa’i, 4 jilid , Semarang: CV. Asy Syifa, 1993
an-Nawawy, Abi al-Husain, Sahih Muslim bi Syarkh al- Imam an-Nawawy, Beirut: Dar al-Fikr, 1983
C. KELOMPOK FIQH / USUL FIQH
Azhar, Muhammad, Fiqh Kontemporer dalam Pandangan Aliran Neomodernisme Islam, Cet. 1 Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2000
Darajat, Zakiyah, Ilmu Fiqh, cet. 1 Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, Cet. 2, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997
Idhamy, Dahlan, Asas-asas Fiqh munakahat Hukum Keluarga Islam, Surabaya: al-Ikhlas,t.t.
al-Jauziyyah, Ibn Qayyim, I’lam al-Muwāqi’in, 4 juz Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991
al-Jurjawi, Ali Ahmad, Hikmah al-tasyri’ wa falsafatuhu, diterj. Hadi mulyo, Shobahussurur.Cet. 1, Semarang: asy-Syifa’, 1992
al Kau Haji, Syeikh ‘Abdullah ibn Hasan al-Husai, Zadu Al mukhtaj bi Syarhi alminhaj, Beirut : al Maktabah al ‘Isriyah, t.t.
Kisyik, Abdul Hamid, Bimbingan Islam untuk Mencapai Keluarga Sakinah, diterj. Ida Mursida Bandung: al-Bayan, 1995
Mahfudh, Sahal, Nuansa Fiqh Sosial, Cet. 1, Yogyakarta: Lkis, 1994
Akh. Minhaji, “Reorientasi Kajian Ushul Fiqh”, dalam al-Jami’ah journal of Islamic Studies, No 63, Vol. VI 1999
Mughniyyah, Muhammad Jawad, al-Akhwal asy-Syakhsyiyyah ‘ala Mazahib al-Khamsah, Cet.1 Beirut: Dar ‘Ilmi,t.t
Muhdlor, A. Zuhdi, Memahami Hukum Perkawinan, cet. 1, Bandung: Al-bayan, , 1994
Mukhtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam, tentang perkawinan, Cet. 3, Jakarta: Bulan Bintang, 1993
Muthahhari, Murtadha, Hak-hak Wanita dalam Islam diterj. M. Hashem. Cet.6, Jakarta: Lentera, 2001
Rahman, Asmuni A., Qa’idah-Qa’idah Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1976
Rahman I, Abdur. Shari’ah The Islamic Law, alih bahasa, Basri Iba Asghary dan Wadi Masturi, Cet.1, Jakarata: Rineka Cipta, 1992
Ramulyo, Modh. Idris, Hukum Perkawinann Islam, Cet,1, Jakarta: Bumi Aksara, 1996
Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, Cet. 32, Bandung: Sinar Baru, 1998
Rusyd, Ibnu, Bidayatu al-Mujtahid wa nihayah al-Muqtasid, II jilid, Surabaya: Toko Kitab al-Hidayah, t,t.,
Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata sosial, Cet.1, Jakarta: Rajawali Pers, 1993
Rofiq, Ahamd, Hukum Islam di Indonesia, Cet. 4, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2000
Sabik, As-Sayid, Fiqh as-Sunnah, Cet. 2, II jilid, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1973,
ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman, Jakarta: Bulan Bintang,1986
—————————–, Hukum-hukum Fiqh Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1952
Sjadzali, Munawir, Ijtihad Kemanusian, Cet. 1, Jakarta: Paramadina, 1997
Al-Qardawy, Yusuf, Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam, alih bahasa H.S. Husi al-Munawwar, Semarang: CV.Toha Putra,1985
az-Zuhaili, Wahbah, ”Pembaharuan Ijtihad” dalam Mun’in A. Sirri, Sejarah Figh Islam, Surabaya: Risalah Gusti,1996
D. KELOMPOK LAIN-LAIN
Ahmed, Akbar S., Citra Muslim Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, alih bahasa Nunding Ram dan Ramli Yakub, Cet. 1, Jakarta: Erlangga, 1992
Amin, Nasihun, Teologi Pembebasan sebagai Alternatif Telaah terhadap Pemikiran Ashgar Ali Engineer, Yogyakarta: IAIN Sunan kalijaga, 1999, tesis tidak diterbitkan.
Anwar, Siti Musdah Muslim dan Marzani, (ed.), keadilan dan Kesetaraan jender Prespektif Islam, Cet.1, Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI: 2001
Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Cet. 3, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Bertens, K., Filsafat Barat Abad XX Inggris – Jerman, Cet. 4, Jakarta: PT Gramedia, 1990
Dahlan, Abdul Aziz (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, 6jilid cet.1 Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
Davies, Peter, Hak-hak Asasi Manusia, diterj. A. Rahman Zainuddin, Cet. 1, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991
Delfgaauw, Bernard, Filsafat Abad 20, alih bahasa Soejono Soemargono, Cet. 1, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1988
Dzhuyatin, Siti Ruhaini, dkk, Rekonstruksi Metodologi Wacana Gender dalam Islam, Cet. 1,Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, Mc Gill-ICIHEP dan Pustaka Pelajar, 2002
E-mail dari Asghar (csss@vsnl.com)
Effendi, Djohan, “Memikirkan Kembali Asumsi Pemikiran Kita”, alih bahasa Hairus Salim dan Imam Baehaqy, Cet. 1, Yogyakarta: Lkis, 1993
Engineer, Asghar Ali, Hak-hak Perempuan dalam Islam , ali bahasa Farid Wajidi dan Cici Farkha Asseqaf, Cet.2, Yogyakarta: LSPPA, 2000
————————, Islam dan Pembebasan, alih bahasa Hairus Salim dan Imam Baehaqy, Cet. 1, Yogyakarta: LkiS, 1993
————————, Islam dan Teologi Pembebasan, alih bahasa Agung Prihantoro, Cet. 3, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
Esposito, John L., Islam dan Politik, alih bahasa H. M. joesoef Sou‘yb, Cet. 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1990
Fakih, Mansour, Analisis Gender & Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Gadamer, Hans-Georg, Truth and Method, USA: Sheed and Word Ltd, 1975
Harahap, M. Yahya, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam : Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri (ed.), Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Cet. 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999
Harun, Lukman, Potret Dunia Islam, Cet.1, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985
Hazairin, Tinjauan Mengenai U.U Perkawinan No. 1-1974, Cet. 1, Jakarta: Tintamas, 1975
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama, Cet. 1, Jakarta: Paramadina, 1996
http: //02.0 uc.edu/thro/shahbano//
Lapidus, Ira. M., Sejarah Sosial Ummat Islam, alih bahasa Gufron A. Mas‘adi, Cet. 1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999
Mulkhan, Abdul Munir, Masalah-masalah Teologis dan Fiqh dalam Tarjih Muhammadiyah, Cet. 1, Yogyakarta: SIPRESS, 1994
Munawwir, Ahmad warson, Kamus al- munawwir, Cet.1, Yogyakarta: upbk. Pp. Al- Munawwir,1987
Mosse, Julia Cleves, Gender & Pembangunan, alih bahasa Hartian Silawati, Cet. 2, Yogyakarta: Kerjasama RIFKA ANNISA Women’s Crisis Centre dengan Pustaka Pelajar, 2002
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, cet 1, Yogyakarta: Liberti 1993
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Cet. 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1988
Nuryatno, M. Agus,Islam Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender, Yogyakarta: UII Press, 2001
Ridha, Maulana Rasyid, diterj. Afif Mohammad, Panggilan Islam terhadap Wanita, Cet. 1, Bandung: al-Bayan, 1986
Saleh, Wantjik, SH. Uraian Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, Cet. 1, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van-Hoeve, 1975
Sani, Abdul, Lintas Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, Cet.1, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998
Sudibyo, R. Subekti, dan R.Tjitro, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: PT Pradnya paramita, 1992
Sumaryono, E., Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1999
Suseno, Frans Magnis –, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisus, 1992
Soekanto, Soeryono dkk, Pendekatan Sosiologi terhadap Hukum, Jakrta: Bina Aksara, 1998
Smith, Wilfred Cantwell, Islam dalam Sedjarah Modern, alih bahasa Abusalamah, Cet.1, Jakarta: Bharata, 1964
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan: 1992
Yatim, Badri, M.A, Sejarah Peradaban Islam, Cet. 9, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000
Qai’ah, Muhammad Rawwas, Ensiklopedi Figh Umar ibn Khattab, diterj. M. Abdul Mujies. Cet. 1 Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999
LAMPIRAN I
TERJEMAHAN AL-QUR’AN, HADIS DAN
KUTIPAN BAHASA ARAB
No Hal Footnote Terjemahan
BAB I
1 2 4 Bertaqwalah kepada Allah tentang urusan wanita, sungguh engkau telah mengambilnya dengan amanat Allah, engkau menghalalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah, engkau mempunyai hak atas mereka yaitu mereka tidak boleh membiarkan orang lain yang tidak engkau sukai, menempati tempat tidurmu, apabila mereka melakukannya maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukainya dan bagi mereka (para wanita ) itu diwasiatkan rizki (nafkah, pangan dan demikian pula sandang bagi mereka dengan cara yang baik.
2 3 9 Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.
3 3 13 Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan jangan kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yaang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin. Kemudiaan jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya dan musyawarahkanlah diantara kamu segala sesuatu, dengan baik, dan jika kamu menemui kesulitan maka wanita lain boleh menyusukan (anak-anak itu) untuknya.
4 11 28 Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi wanita–wanita yang beriman, kemudian kamu menceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah, bagimu yang kamu minta menyempurnakannya, maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.
5 11 30 Kepada wanita-wanita yang diceraikan hendaklah diberikan oleh suaminya mut’ah, menurut yang ma’ruf sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa.
6 12 33 Bertaqwalah kepada Allah tentang urusan wanita, sungguh engkau telah mengambilnya dengan amanat Allah, engkau menghalalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah, engkau mempunyai hak atas mereka yaitu mereka tidak boleh membiarkan orang lain yang tidak engkau sukai, menempati tempat tidurmu, apabila mereka melakukannya maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukainya dan bagi mereka (para wanita ) itu diwasiatkan rizki (nafkah, pangan dan demikian pula sandang bagi mereka dengan cara yang baik.
7 14 41 Perempuan yang berhak memperoleh nafkah dan tempat tinggal dari mantan suaminya adalah yang apabila mantan suaminya dapat merujuk kepadanya.
8 17 46 Hukum itu mengikuti kemaslahatan yang paling kuat/banyak.
9 18 51 Berubahnya suatu Fatwa dan Perbedaannya disebabkan berubahnya kondisi zaman, tempat, keadaan, tradisi dan keinginan.
BAB II
10
25 6 Kepada wanita-wanita yang diceraikan hendaklah diberikan oleh suaminya mut’ah, menurut yang ma’ruf sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa.
11 26 9 Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan jangan kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yaang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin. Kemudiaan jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya dan musyawarahkanlah diantara kamu segala sesuatu, dengan baik, dan jika kamu menemui kesulitan maka wanita lain boleh menyusukan (anak-anak itu) untuknya.
Hendaklah orang-orang yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuannya, dan orang-orang yang disempitkaaan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang telah diberikan Allah kepadanya, Allah tidaklah memikulkan suatu beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
12 27 12 Tidak ada sutau kewajiban atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan mahar nya. Dan hendaklah kamu memberikan mut’ah (pemberian ), kepada mereka orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuanya pula, yaitu pemberian menurut yang patut, yang demikian itu merupakan ketentuan bagi oarang-orang yang berbuat kebajikan.
13 28 14 Dan orang-orang yang akan meninggalkan dunia dintara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, yaitu diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah dari rumahnya akan tetapi jika mereka pindah sendiri, maka tidak ada dosa bagimu (wali atau ahli waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka dan Allah Maha bijaksana.
14 29 16 Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi wanita–wanita yang beriman, kemudian kamu menceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah, bagimu yang kamu minta menyempurnakannya, maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.
15 36 26 Sesunggunya ada seorang wanita berkata ya Rasulallah, sesungguhnya anak saya ini wadahnya adalah perut saya, susu saya minumanya dan pangkuan saya perlindungannya, sedang ayahnya telah mentalak saya dan dia hendak merampasnya dari saya, maka Rasulullah bersabda: kamu lebih berhak kepada anak itu selagi kamu belum menikah.
16 37 27 Perempuan yang berhak memperoleh nafkah dan tempat tinggal dari mantan suaminya adalah yang apabila mantan suaminya dapat merujuk kepadanya.
LAMPIRAN II
BIOGRAFI TOKOH
1. Ahmad Azhar basyir
Beliau lahir di Yogyakarta pada 21 November 1928, menamatkan Sekolah Rakyat Muhammadiyah di Suronatan Yogyakarta tahun 1940, menamatkan Madrasah al-Falah di Kauman Yogyakarta tahun 1944, menamtkan Madrasah Muballighin III (Tabligh School) Muhammadiyah di Yogyakarta Tahun 1946.
Mulai bulan Mei 1946 bergabung dalam kesatuan TNI Hisbullah Batalion 36 di Yogyakarta, kembali belajar bulan Oktober 1949 di Madrasah Menengah Tinggi Yogyakarta tamat tahun 1952, melanjutkan belajar di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) Yogyakarta dan menyelesaikan Doktoral I tahun 1956, bulan Oktober 1957, bertugas belajar ke Irak dan hanya dapat mengikuti kuliah di Fakultas Adab (Sastra) Jurusan Arab Universitas Bagdad selama setahun.
Bulan September meninggalkan Bagdad, pindah ke Mesir memperoleh Master dalam ‘Ulum Islamiyah Jurusan Syari’ah Islamiyah dari Fakultas Darul ‘ulum Universitas Kairo, dengan judul tesis “Nizam al-Mirats fi Indonesia, Bainal ‘Urf Wasy Syari’ah al-Islamiyah” (Sitem Warisan Di Indonesia menurut Hukum Adat dan Hukum Islam).
Sejak tahun 1968 pernah menjadi Staf edukatif di Uniiversitas Gadjah Mada Yogyakarta, dalam mata kuliah Pendidikan Agama Islam, Hukum Islam dan Filasafat Islam. Disamping itu juga menjadi tenaga pengajar tidak tetap di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah, di Yogyakarta, Surakarta dan Malang. Dosen tidak tetap pada Pasca sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam mata kuliah Filsafat Islam dan Pascasarjana UI bidang Ilmu Hukum dalam mata kuliah Aliran-aliran Pikiran Islam.
Jabatan lain yang disandangnya adalah menjadi Anggota tetap Akademik Fiqh Islam OKI (wakil Indonesia); Salah seorang ketua Bank Muamalat Indonesia, dan ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1990-1991, Beliau wafat pada hari selasa, tanggal 28 Juni 1994.
2. H. Munawir Sadzali, M.A.
Tokoh intelektual dan agama serta diplomat, yang pernah menjabat sebagai Menteri Agama sejak Kabinet Pembangunan IV (1983-1988) hingga kabinet Pembangunan V (1988-1993), lahir di Klaten, 7 November 1925, setelah menamatkan Sekolah Menengah Pertama/Tinggi Islam Mambaul ulum di Solo, selanjutnya menjadi guru di Ungaran, Semarang dan selama masa perjuangan Kemerdekaan ikut menyumbang tenaga antara lain sebagai penghubung antara Markas Pertempuran Jawa tengah dengan badan-badan kelaskaran Islam, sebagai pengajar pada Fakultas Pascasarjana Intitut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Beliau mengajar mata Kuliah al-Fiqh al-Siyasi (Islam dan Tata Negara).
Kariernya dilingkungan Departemen Luar Negeri dirintisnya sejak tahun 1950, ketika ditugaskan pada seksi Arab/Timur Tengah. Diluar Negeri, beliau menjalankan tugas berturut-turut di Wasington DC. (1956-1959) dan Kolombo (1963-1968) kemudian menjabat sebagai Minister/Wakil Kepala Perwakilan RI di London (1971-1974) dan selanjutnya diangkat menjadi Duta Besar RI untuk Emirat Kuwait, Bahrain, Qatar dan perserikatan Keamiran Arab (1975-1985)
Adapun tugas-tugas dalam Negeri yang pernah dijabatnya adalah sebagai Kepala Bagian Amerika Utara (1959-1963), Kepala Biro Tata Usaha Pimpinan Deplu (1969-1970), Kepala Biro Umum Deplu (1975-1976), Staf Ahli Menteri Luar Negeri dan Direktur Jenderal Politik Departemen Luar Negeri sejak 1980.
Pendidikan Universitasnya di luar Negeri pada Universitas of Exeter, Inggris (1953-1954); dan Georgetown University, Wasigton DC., A.S., serta memperoleh gelar M.A. dengan tesis “Indonesia’s Muslim Parties and Their Political Concepts” (1959).
Makalah dan pidato penting yang pernah di sampaikannya pada forum Internasional antara lain: “ Shari’ah: A Dynamic Legal System” yang diucapkan di depan Shari’ah and Codification di Kolombo tahun 1985, dan “The Rule of the Muslim religious leaders (ulama) in The Solution of the Poulation Problem-Indonesian Experience”, di Kairo tahun 1987, demikian juga buku “Islam dan Tata Negara” (1993) disamping makalah-makalah dan artikel yang tersebar pada beberapa media massa.
3. Riffat Hasan
Adalah seorang feminis muslim kelahiran ladore pakistan, mendapatkan gelar Ph.D bidang filsafat Islam dari University of Durham Inggris, sejak tahun 1976, tinggal di Amerika Serikat, menjabat sebagai ketua program studi keagamaan di School Harvard University, dimana ia menulis bukunya yang berjudul “Egual Before Allah”, ia memberikan sumbangan besar terhadap gerakan perempuan di Pakistan.
4. Amina wadud
Tidak banyak yang dapat diketahui tentang riwayat hidup feminis muslim dari Malaysia ini, Bukunya yang berjudul “Qur’an dan woman” diterbitkan di Kula Lumpur, Malaysia (1992), Bukunya ini diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Yaziar Radianti dengan judul “wanita dan al-Quran” dan pengantar oleh Armahedi Mahzar, baik penerjemah maupun pemberi kata pengantar tidak sedikit pun memperkenalkan tokoh feminis ini.
5. Fatima Mernissi
Feminis muslim kelahiran Maroko ini lahir pada tahun 1940, mendapat gelar dibidang Ilmu politik dari Muhammad University di Rabat Inggris pada tahun 1965, gelar Ph.D didapatkan di Amerika Serikat tahun 1973, antara tahun 1974-1981, mengajar difakultas sastra di Muhammad V. Universsity sekaligus sebagai dosen.”the Institute of Scientific Research.” Pada Universitas yang sama., selain itu ia juga terlihat secara aktif dalam gerakan perempuan dan sebagai anggota “Pan Arab Woman Solidarity Association.”
6. Mansour Fakih
Beliau lahir di Brojonegoro, Jawa Timur. Memperoleh gelar sarjana teologi di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta gelar Doktor pada Centre for International Education University of Massaehusett USA., pernah aktif sebagai tenaga penyuluh lapangan pada program Pengembangan Industri Kecil di LPP3ES Jakarta. Setelah itu aktif di lembaga Studi Pembagunan (LSPI), kemudian di Lembaga Pengembangan Usaha Kecil (LUPK), seta ikut merancang dan aktif di Sekolah Tinggi Wira Swasta Dewantoro. Di samping itu juga menjabat sebagai koordinator Program Pendidikan dan pengembangan di P3M. Ia juga sebagai peneliti, konsultan serta fasilitator pelatihan, pernah mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah jakarta dan fakultas Teknik UI. Diantara buku karyannya adalah “Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergulatan Ideologi LSM Indonesia” (1996) dan “Analisis Gender dan Transformasi Sosial” (2001).
7. M. Yahya Harahap
Beliau Pernah menjadi Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 1960. Beliau merupakan salah seorang yang banyak terlibat dalam proses penyusunan KHI. Kedudukannya sebagai Hakim Agung dan pengalamannya di bidang hukum memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam penyusunan Hukum Islam menjadi kaidah-kaidah hukum yang aktual dan praktis. Diantara buku karyanya adalah “Islam, Adat dan Modernisasi” (1975) “Hukum Perkawinan Nasional” (1975), “Hukum Acara Perdata Peradilan Agama” (1997), “Segi-segi Hukum Perjanjian Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan” (1990) dan “Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama: UU Nomor 7 tahun 1989” (1990)

0 Comment