BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Gagasan tentang relasi Islam dan Negara selalu menjadi wacana aktual di Indonesia meskipun telah diperdebatkan beberapa tahun yang lalu, dan mengalami fluctuative discourse dalam percaturan politik di Indonesia, akan tetapi wacana ini selalu survive pada momen-momen tertentu. Hampir bisa dipastikan ketegangan dan perdebatan ini muncul menjelang pemilu karena momen ini merupakan kesempatan besar bagi semua golongan yang ingin memperjuangkan aspirasi politiknya, baik itu yang berideologikan nasionalis, maupun Islam.
Sejak pancasila dijadikan dasar ideologi formal Republik Indonesia pada tahun 1945 oleh Soekarno, pancasila menjadi bagian perdebatan politik yang tak terelakan oleh Politikus dan Agamawan, khususnya Islam. Pada tahun 1950-1955 melahirkan sistem multipartai, ini merupakan kesempatan besar bagi Partai Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai asas Negara, akan tetapi apa yang dicita-citakannya masih belum bisa dicapai sampai sekarang. Hal yang sama terjadi pada 1999 tahun lalu yang menggunakan sistem multipartai dan lagi-lagi Islam belum cukup kuat untuk meletakkan ideologi Islam sebagai dasar negara. Berhubung partai politik merupakan salah satu alat untuk mewujudkan cita-cita gagasan, tidak menutup kemungkinan bahwa pemilu 2004 yang akan datang juga muncul polemik sistem negara apalagi Islam formalis masih berada di ujung kekakalahan.
Sebelumnya pada tahun 1978-1985 telah terjadi ideologisasi pancasila yang diinstruksikan oleh Soeharto, dan kemudian menimbulkan perdebatan yang luar biasa di kalangan tokoh dan gerakan ideologi Islam. Insiden politik semacam itu sempat terulang kembali pada tahun 1990 di negeri ini, yakni mengenai perdebatan ideologi. Sebenarnya sumber perdebatan itu adalah relasi Islam dan negara, khususnya mengenai sistem negara apa yang akan dipakai untuk membangun Indonesia, apakah berasaskan Islam atau sekuler ?
Penelitian ini mengambil judul “Diskursus Pemikiran Politik Islam di Indonesia (Studi Pemikiran M. Natsir dan Abdurrahman Wahid tentang Relasi Islam dan Negara),” penyusun lebih memfokuskan pada dua tokoh ini yang tentunya telah banyak mewarnai wacana perdebatan Islam dan Negara sepanjang lahirnya kemerdekaan bangsa Indonesia sampai saat ini.
Menurut Munawir Sjadzali ada tiga kategori dalam memandang hubungan Islam dan negara di kalangan tokoh Islam. Pertama, aliran konservatif tradisionalis, yang berpendapat Islam adalah agama yang sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara, oleh sebab itu tidak ada alasan memisahkan keduanya. Di antara para tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran integratif modernis, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh yang terkemuka yaitu M. Husein Haikal. Dan yang Ketiga, aliran nasionalis sekuler, Islam tidak ada hubunganya dengan negara karena menurut aliran ini Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh utama aliran ini ialah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein.
Dari ketiga aliran tersebut, M. Natsir dan Gus Dur memang masuk dalam kategori aliran integratif modernis yang sebenarnya dalam klasifikasinya Munawir Sjadzali merupakan terma dari modernis, dalam hal ini penyusun lebih suka memposisikan M. Natsir sebagai tokoh modernis, sedangkan Gus Dur sebagai tokoh neo-modernis (meminjam istilah Greg Barton), ini karena pemikirannya yang liberal dan rasional tentang isu kontemporer (baik itu politik, budaya dan agama) dengan tetap setia pada posisi konservatif-tradisional bahwa kejujuran dan kebenaran al-Qur’an tidak perlu diganggu gugat.
Kedua tokoh ini menarik untuk dikaji. Pertama, secara umum keduanya masuk dalam kategori aliran yang sama yaitu integratif modernis tetapi beda pendapat mengenai relasi Islam dan negara, khususnya azas negara, apalagi kelompok (background) yang diwakilinya sangat kontradiktif dengan gagasan dan prilaku politik tokoh tersebut, Gus Dur yang dibesarkan dalam lingkungan kaum tradisionalis, yaitu NU yang nota bene orientasi politiknya berkiblat pada ulama klasik seperti Al-Mawardi dan Al-Ghazali ternyata mampu mengapresiasikan pemikiran liberal yang cenderung ala Ali Abd al-Raziq, sedangkan M. Natsir yang dibesarkan dalam lingkungan modernis justru lebih akrab dengan pemikiran politik Islam fundamentalis seperti al-Maududi yang sangat menginginkan Islam dijadikan sebuah dasar negara karena menurut M. Natsir sendiri meniru sistem pemerintahan Barat adalah tindakan sekuler yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.
Kedua, wacana ini selalu aktual di Indonesia apalagi ketika mendekati pemilu. Dan tentunya gagasan kedua tokoh tersebut juga masih banyak mempengaruhi wacana perdebatan Islam dan negara di Indonesia. Setidaknya kedua alasan inilah yang menyebabkan penelitian ini dilakukan.
M. Natsir menawarkan Islam sebagai azas negara bukanlah aksi pembangkangan negara (makar), akan tetapi lebih pada penghidupan demokrasi. Oleh sebab itu dalam pidatonya pada sidang pleno konstituante (12 November 1957) ia menghendaki negara Indonesia ini berazaskan ideologi Islam. “Negara demokrasi berdasarkan Islam”. Keinginannya ini Bukan semata-mata karena Islam agama mayoritas di Indonesia melainkan ajaran Islam mengenai ketatanegaraan dan kehidupan bermasyarakat itu mempunyai sifat yang sempurna dalam menjamin kerukunan beragama dan bernegara.
Sementara mengenai sistem pemerintahan suatu negara, M. Natsir berpendapat boleh meniru pemerintahan Barat asalkan tidak melanggar nilai-nilai dasar Islam. Karena baginya Islam memang tidak mempunyai sistem ketatanegaraan yang sempurna. Ini menarik untuk dicermati satu sisi M. Natsir terbuka untuk memakai sistem apa yang akan dipakai di Indonesia sisi lain dia bersikeras memperjuangkan Islam sebagai azas ideologi negara.
Sedangkan menurut Gus Dur apabila politik, budaya dan agama diideologikan fungsinya bisa terdistorsi karena yang muncul bukanlah struktur yang lebih baik melainkan konflik horizontal. Hal yang senada diungkapkan oleh Cak Nur bahwa Islam bukanlah sebuah ideologi, sebab pendapat Islam sebagai ideologi hanya akan menyamakan agama itu setaraf dengan ideologi-ideologi yang ada di dunia.
Dalam memandang relasi Islam dan negara, masalah ketatanegaraan merupakan hal yang tak bisa ditinggalkan, sebab faktor inilah yang kemudian seringkali memunculkan perdebatan antara kelompok muslim idealis dan realis di negara kita. Adanya “Sistem Kekhalifahan” di masa Rasulullah S.A.W. dan Sahabat membuat sebagian masyarakat muslim dunia semakin menyakini bahwa jauh sebelum sistem demokrasi muncul, sebenarnya Islam telah mempunyai sistem Tata Negara sendiri.
Dalam perspektif Ahl as-Sunnah wa al-Jama>‘ah pemerintahan dinilai dari segi fungsionalnya bukan pada formalitas bentuknya, apakah negara Islam atau bukan. Disamping itu, menurut Gus Dur Islam tidak mempunyai konsep pemerintahan yang definitif, misalnya tentang suksesi kepemimpinan terkadang memakai istikhla>f, bay‘ah, dan ahl al-H{alli wa al-Aqdi (sistem formatur). Hal ini menunjukkan Islam inkonsisten dan tidak mempunyai konsep yang baku.
Atas dasar pemikiran inilah, Gus Dur menerima ideologi pancasila sebagai azas negara, dan yang terpenting baginya adalah umat Islam bisa melaksanakan kehidupan beragama secara penuh dan tetap berpegang pada etika sosial (social ethic).
Berbeda dengan M. Natsir yang menolak secara tegas ideologi pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Tetapi bukan berarti jalannya pemerintahan terlepas dan terpisah dari keagamaan begitu saja karena baginya Islam sendiri tidak asing dengan nilai-nilai demokrasi dan kemajemukan. Menurut penyusun “posisi Gus Dur yang menempatkan pancasila sebagai pra-syarat demokratisasi dan pembangunan keIslaman yang sehat di Indonesia nampaknya harus dilihat dari perspektif neo-modernisme.”
Integrasi antara kemajemukan, demokrasi, Islam dan nasionalisme inilah yang secara intelektual politis melatarbelakangi keikutsertaan Islam dalam diskursus politik dan ideologi negara di Indonesia selama ini.
B. Pokok Masalah.
Dari uraian di atas dipaparkan bahwa ada persamaan dan perbedaan pemikiran di antara M. Natsir dan Gus Dur mengenai hubungan Islam dan negara, keduanya sama-sama menjunjung nilai demokrasi tetapi berbeda dalam gagasan dan prilaku politiknya Hal ini bisa disebabkan latar belakang sosiohistoris yang berbeda. Oleh sebab itu perlu penyusun tegaskan bahwa fokus dari permasalahan ini yaitu:
1. Bagaimanakah pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai relasi Islam dan negara?
2. Mengapa kedua tokoh itu mengajukan tesis yang berbeda?
3. Apa implikasi tesis mereka terhadap pemikiran politik Islam di Indonesia?
Tiga pokok masalah di atas diharapkan dapat mewakili (cover) dari beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Di samping itu juga berguna untuk memperjelas arah penelitian yang dimaksud.
C. Tujuan dan Kegunaan.
Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dalam bidang Perbandingan Madzhab Dan Hukum di Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain itu juga ada tujuan yang lain yaitu:
1. Untuk mendapatkan penjelasan (explanation) yang lebih tajam tentang karakteristik pemikiran antara M. Natsir dan Gus Dur mengenai wacana Islam dan negara, khususnya azas negara Indonesia.
2. Mengidentifikasi asal-usul gagasan kedua tokoh tersebut dalam perspektif perbandingan, baik itu latar belakang sosial, pendidikan dan politik.
3. Mendapatkan deskripsi yang jelas mengenai implikasi kedua gagasan tersebut dalam konteks perkembangan Islam dan politik Indonesia saat ini.
Adapun dari penulisan ini diharapkan dapat diambil beberapa manfaat atau kegunaan, di antaranya:
1. Dapat diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan terhadap karakteristik pemikiran kedua tokoh tersebut dalam mengkaji azas negara (Pancasila).
2. Bisa dijadikan salah satu sumber diskusi dalam mengkaji relasi Islam dan negara di Indonesia, khususnya dalam perspektif Islam modernis dan neo-modernis.
3. Sebagai prediksi, sejauh mana implikasi kedua pemikiran itu dalam perubahan dan perkembangan politik Islam di Indonesia saat ini.
D. Telaah Pustaka.
M. Natsir dan Gus Dur adalah tokoh pemikir dan sekaligus seorang politikus yang sangat dikenal oleh masyarakat luas, meskipun keduanya hidup pada masa yang berlainan, namun gagasannya selalu aktual bahkan sering dijadikan rujukan dalam diskusi dan aksi politik.
Penelitian ini mempunyai Dua variabel. Pertama, mengenai diskursus pemikiran politik Islam di Indonesia. Kedua, pemikiran M. Natsir dan Gus Dur mengenai Relasi Islam dan Negara di Indonesia. Banyak buku atau karya ilmiah yang membahas M. Natsir dan Gus Dur, baik itu biografi, prilaku politik maupun gagasannya. Akan tetapi pembahasan itu sering kali tidak dilakukan secara bersamaan hanya difokuskan pada satu tokoh saja kalau memang ada yang mengkaji perbandingan itu juga tidak membahas M. Natsir dan Gus Dur sekaligus. Karena penulisan ini meliputi dua variabel di atas, maka penyusun merasa perlu menelaah buku-buku yang berkaitan dengan variabel tersebut.
Dalam tesisnya A. Syafi’i Maarif yang dibukukan dengan judul Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Karya ini meneliti tentang relasi Islam dan politik yang kemudian menggambarkan prilaku partai-partai Islam dalam menghadapi kebijakan politik Soekarno saat itu, khususnya partai Masyumi yang dibubarkannya. Di sini penyusun sempat membahas M. Natsir namun tidak lengkap karena lebih memfokuskan pada gerakan partai politiknya.
Disamping itu, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at Islami (Pakistan) karya Yusril Ihza Mahendra, buku ini lebih menitik beratkan pada partai-partai di atas meskipun ada tokoh yang dilibatkan seperti M. Natsir dan Maududi sebagai representasi dari modernisme dan fundamentalisme akan tetapi kedua tokoh itu tidak menjadi fokus kajiannya karena lebih pada partai tempat tokoh ini berpolitik.
Bahtiar Effendy dalam bukunya Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (1998) yang menjelaskan relasi Islam dan negara di Indonesia. Dengan kesimpulan bahwa buku ini hanya menyoroti keterwakilan kaum muslim secara proporsional dalam lembaga-lembaga negara dan dipertahankannya komitmen bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler. Di samping itu penulis juga menyinggung sedikit polemik M. Natsir dengan Soekarno mengenai azas negara.
Sedangkan Ahmad Suhelmi dalam bukunya Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler (1999) juga mengkaji pemikiran kenegaraan dalam perspektif M. Natsir, khususnya pandangan M. Natsir vis-a-vis Soekarno. Buku ini lebih melihat sosok pemikir M. Natsir dibanding Natsir yang mewakili tokoh modernisme Islam.
Sementara itu, Buku politics in Indonesia: Democracy, Islam and Ideology of Tolerance yang ditulis Douglas E. Ramage membahas Islam dan demokrasi, khususnya mengenai ideologi pancasila dalam relevansinya dengan persoalan dekonfensionalisasi politik Islam di Indonesia. Buku ini merupakan hasil penelitian yang banyak didasarkan pada wawancara personal untuk melihat pola pemikirannya Abdurrrahman Wahid dalam mengakaji pancasila sebagai asas negara.
Skrpisi yang dibukukan dengan judul Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang Demokrasi. Karya Umaruddin Masdar, berusaha melacak pola pemikiran kedua tokoh tersebut dalam mempertemukan Islam dan demokrasi. Dalam hal ini penulis lebih memfokuskan pada konsep demokrasi dengan menggunakan teori politik sunni sebagai rujukan utama untuk meneliti gagasan kedua tokoh tersebut.
Sedangkan buku Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais yang disunting oleh Arief Affandi merupakan buku yang lebih menyoroti tentang strategi perjuangan kedua tokoh tersebut dalam menyikapi gerakan demokratisasi di Indonesia.
Dan yang terakhir tesis yang berjudul Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur Dan Amien Rais Tentang Negara karya Ma’mun Murod al-Brebesy, tesis ini telah dibukukan dengan fokus kajian membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai relasi Islam dan negara, civil society dan demokratisasi.
Selain buku-buku di atas penyusun juga menelaah karya asli dari kedua tokoh tersebut yang banyak berupa tulisan lepas dan artikel media.
E. Kerangka Teoretis.
Lahirnya kemerdekaan Indonesia membuat para tokoh nasional, baik paham nasionalis, sekuler maupun Islam untuk berfikir serius dalam meletakan dasar filosofis negara, terlepas itu perjuangan atau kepentingan golongan yang jelas Indonesia saat itu memerlukan konsep dasar negara yang kuat sehingga terjamin kemaslahatannya dan terhindar dari segala kemudlaratan .
Lebih lanjut, karena penelitian ini mengkaji masalah Islam dan negara maka penyusun mengkategorikannya dalam perspektif Fiqih as-Siyya>syah atau Siyya>syah as-Syar‘iyyah. Menurut Abdul Wahab Khallaf definisi Siyya>syah as-Syar‘iyyah ialah wewenang seorang penguasa atau pemimpin dalam mengatur kepentingan umum demi terciptanya kemaslahatan dan terhindar dari kemudaratan. Dengan demikian siapapun yang ingin membangun pemerintahan yang baik harus berlandaskan pada Mas}lah}ah al-Mursalah (kepentingan umum).
Menurut Imam Malik Mas}lah}ah al-Mursalah itu merupakan salah satu dari epistimologi syari’ah. Dengan syarat bahwa: 1) kepentingan umum itu bukanlah suatu hal yang berkaitan dengan ibadat (transeden). 2) kepentingan umum itu selaras dan tidak bertentangan dengan nilai dasar Syari‘ah (Al-qur’an dan Sunnah).3) kemaslahatan umum itu haruslah merupakan kepentingan esensial yang sangat diperlukan.
Setidaknya kepentingan esensial yang diperlukan di atas sejalan dengan dirumuskannya lima tujuan syari’ah meskipun tidak tercover secara Ka>ffah, lima tujuan tersebut yaitu: memelihara kemaslahatan agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta dan kehormatan.
Objek kajian fiqih siyasah atau Siya>syah as-Syari‘yyah menurut Abdul Wahab Khallaf adalah membuat peraturan dan perundang-undangan yang dibutuhkan untuk mengurus negara sesuai dengan dasar ajaran agama yang bertujuan merealisasikan kemaslahatan manusia untuk kebutuhan mereka. Dengan demikian secara garis besar bahasan Fiqih as-Siya>syah meliputi tiga aspek utama di antaranya: 1) Peraturan dan Perundang-Undangan Negara sebagai pedoman dan landasaan idiil dalam mewujudkan kemaslahatan umat. 2) Pengorganisasian untuk mewujudkan kemaslahatan. 3) Mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak dan kewajiban masing-masing dalam usaha mencapai negara.
Untuk mengkaji pemikiran politik Islam memang tidak lepas dari Fiqih as-Siya>syah dan hukum Islam. Hukum Islam dibagi menjadi dua yaitu hukum yang bersifat Qat}‘i (Syari’ah) dan yang bersifat Z}anni (fiqih), karena politik seringkali mengalami perubahan sesuai dengan situasi maka penyusun memasukkanya dalam kategori fiqih. Dimana fiqih siyasah mempunyai dimensi yang sangat luas dalam mengimplementasikan kehidupan bernegara seperti menjamin kemaslahatan, keadilan dan kestabilan.
Dengan demikian al-Mas}lahah al-Mursalah menempati posisi yang sangat penting dalam mengkaji diskursus relasi Islam dan negara, lebih khusus lagi dalam menentukan sistem dasar ketatanegaraan. Apakah berideologikan Islam atau sekuler? Karena yang terpenting bukanlah formalitas bentuk pemerintahan tetapi esensi nilai dasar al-Qur’an dan Sunnah tetap berjalan (tidak kontradiktif), sehingga terciptalah kemaslahatan umum sesuai dengan kebutuhan zaman.
Dalam diskursus pemikiran politik Islam dewasa ini, penyusun meminjam istilah Munawir Sjadzali dalam mengkategorikan aliran yang concern terhadap relasi Islam dan negara, meskipun berbeda dalam menggunakan terma aliran ini akan tetapi substansinya sama. Ada tiga aliran dalam hal ini. Pertama, aliran konservatif tradisionalis, yang berpendapat Islam adalah agama yang sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara karena menurutnya Islam adalah ad-Din wa ad-Daulah, tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran integratif modernis, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh aliran ini ialah Muhammad Abduh dan Muhammad Husein Haikal. Ketiga, aliran nasionalis sekuler, yang mengatakan Islam tidak ada hubungannya dengan negara karena menurut aliran ini Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh aliran ini ialah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein.
Dalam paragraf ini penyusun mencoba memaparkan beberapa tokoh politik sunni kontemporer sebagai landasan teoritis penelitian ini, diantaranya Jamaluddin al-Afghani, Abdul Raziq dan Fazlur Rahman. Tokoh-tokoh ini dikaji guna membidik kerangka teoritis pemikiran M. Natsir dan Gus Dur.
Jamaluddin al-Afghani, Pemikiran politiknya besifat reaktif terhadap kondisi kemunduran umat Islam saat itu, dengan menganjurkan pembentukan Jam‘iyah Isla>miyah yang biasa disebut Pan-Islamisme, ikatan ini didasarkan pada akidah Islam yang bertujuan 1) menentang sistem pemerintahan yang despotik (sewenang-wenang) dan diganti dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan musyawarah seperti yang diajarkan Islam, 2) menentang kolonialisme atas dominasi barat.
Dalam perjalanan politiknya ia selalu memunculkan gagasan revolusioner, seperti pembentukan pemerintah dan dewan melalui partisipasi rakyat, selain itu dia juga menganjurkan kepada rakyat untuk merebut kebebasan dan kemerdekaannya melalui revolusi kalau perlu dengan pertumpahan darah. Hal inilah yang sering kali mengakibatkan pengusiran atas dirinya dari negara yang ia kunjungi. Oleh sebab itu Afghani lebih cocok diposisikan sebagai tokoh aktivis dan agitator politik daripada pemikir politik.
Ali Abdul Raziq, menurutnya nabi Muhammad hanyalah seorang utusan Allah yang ditugaskan syiar agama Islam, untuk itu tidak ada maksud dalam misinya mendirikan sebuah negara Islam (Khilafah). Dia sama seperti nabi-nabi sebelumnya bukan nabi atau pendiri negara yang diutus mendirikan kerajaan dalam arti politik, lebih lanjut ia menolak adanya keharusan sistem khilafah dalam pengertian pemimpin negara, karena menurutnya tidak ada ayat ataupun hadis yang bisa dijadikan dasar kuat untuk mendirikan khilafah. al-Raziq memang mengakui perlunya pemerintahan untuk mengatur negara tapi bukan berarti harus bentuk khilafah boleh konstitusional, diktator, republik atau totaliter.
Meskipun ia mengakui Ijma‘ sebagai H{ujjah Syar‘iyyah akan tetapi dalam hal ini ia tidak mengakuinya sebagai ijma’ yang shahih, alasannya sejak sistem khilafah dibentuk sampai sekarang selalu saja ada pihak oposisi yang tidak setuju dan seringkali menimbulkan bencana bagi Islam dan umatnya, terkecuali Abu Bakar, Umar dan Usman.
Fazlur Rahman, pada hakikatnya Pemikiran politik Rahman didasarkan pada konsepsi al-Qur’an. Dalam al-Qur’an, menurut Rahman, umat merupakan suatu “penengah” sehingga menjadi saksi terhadap umat manusia. Umat Islam diharapkan mampu menengahi antara sikap kekakuan ideologi komunisme dan kapitalisme atau sikap ekstrem yang lain. “Tugas umat adalah menciptakan ketertiban di muka bumi di mana tata tertib itu merupakan sosiopolitis yang harus ditegakkan atas dasar etika yang sah dan viable. Sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur’an.
كنتم خير أمـﺔ أخرجت للنـاس تأمرون بالمعروف وتـنهون عن المنكروتؤمنون بالله ولوأمن أهل الكـتاب لكان خيرالهم منهم المؤمنون وأكثرهم الفاسقـون (ال عمران: ١١۰)
الذين أخرجوامن ديارهم بغـيرحق إلاان يقولواربنـاالله ولودفع الله الناس بعضهم ببعض لهدمت صوامع وبيع وصلوات ومساجديذكرفيهااسم الله كثيـراولينصرن الله من ينصره إن الله لقوى عزيز (الحج:٤٠)
Lebih lanjut, menurut Rahman Istilah syura yang merupakan nilai dasar al-Qur’an bisa dikembangkan menjadi sebuah institusi yang efektif dan permanen seperti halnya di Barat, akan tetapi apabila secara formal institusional proses dan bentuk demokrasi ‘ala Barat itu tetap sejalan dengan orientasi nilai dasar Islam maka sistem ini bisa diterapkan di dunia Islam.
Rahman memang liberal dan radikal dalam gagasannya, menurut hemat penyusun sikap ini muncul sebagai respon terhadap tantangan modernitas yang tak terelakan. Rahman dikenal sebagai pemikir kontemporer yang menggagas aliran neo-modernisme Islam. Dikatakan demikian karena pemikirannya yang selalu berusaha menemukan titik temu antara kaum Islam modernis dengan kaum Islam tradisionalis, bagi Rahman meskipun modernisme memberikan sumbangan positif pada era kebangkitan Islam tetapi tetap memperlihatkan kelemahan dan kekurangan tertentu.
Demikianlah sepintas gambaran mengenai tokoh-tokoh Islam kontempoer yang nantinya diharapkan banyak membantu penyusun dalam membuat kerangka teoritis, menurut penyusun tidak ada seorang tokohpun yang bisa dibidik Pemikirannya menganut satu paham tokoh sebelumnya karena dalam kenyataannya banyak tokoh yang mengadopsi suatu paham tertentu untuk masalah tertentu dan paham lain untuk masalah yang lain pula.
Hal yang sama terjadi pada M. Natsir dan Gus Dur, sekilas pemikiran Natsir tampak maududian akan tetapi banyak juga diwarnai paham Abduhis.
F. Metode Penelitian.
Dalam sub bab ini perlu penyusun paparkan tentang metode penelitian yang digunakan. Antara lain meliputi jenis penelitian, sifat penelitian, tehnik pengumpulan data, pendekatan-pendekatannyadan analisa data.
1. Jenis penelitian.
Kajian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yang mana lebih mengutamakan bahan perpustakaan sebagai sumber utamanya. Karena ini studi tokoh maka ada dua metode pokok untuk memperoleh pemikiran tokoh tersebut. Pertama, penelitian pikiran dan keyakinan kedua tokoh tersebut. Kedua, penelitian tentang biografinya sejak dari permulaan sampai akhir pemikiran politiknya.
2. Sifat Penelitian.
Studi yang merupakan penelitian pustaka ini lebih bersifat deskriptif-analisis dan komparatif. Yang dimaksud dengan deskriptif adalah menggambarkan karakteristik dan fenomena yang terdapat dalam masyarakat atau literatur. Dengan kata lain karakter dan fenomena yang dikaji dalam penelitian ini ialah karakter dari kedua tokoh tersebut dan fenomena yang mempengaruhi pemikiran mereka. Adapun analisis disini adalah analisis dalam pengertian historis, yakni meneliti akar sejarah yang melatarbelakangi gagasan mereka, dalam hal ini penyusun lebih memfokuskan pada dua aliran pemikiran Islam kontemporer yakni modernis dan neo-modernis yang penyusun anggap sebagai representasi dari kedua tokoh tersebut.
Sedangkan komparatif berarti membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut dalam proses penelitiannya, supaya mendapatkan letak persamaan dan perbedaan yang tepat.
3. Tehnik Pengumpulan Data.
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua macam yaitu: data primer dan data sekunder. Karya-karya asli dari kedua tokoh tersebut baik buku, artikel dan kumpulan tulisan yang dibukukan dianggap sebagai data primer. Sedangkan karya yang mengkaji tentang gagasan kedua tokoh tersebut dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan kajian ini dimasukkan sebagai data sekunder.
4. Pendekatan.
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif dan sosio-historis. Yang dimaksud pendekatan normatif ialah suatu pendekatan untuk menjelaskan masalah yang dikaji dengan norma atau hukum (fiqih) yang berlaku sebagai upaya penegasan. Hal ini penting untuk dilakukan karena diskursus Islam dan negara merupakan bagian dari kajian hukum Islam, khususnya fiqih siya>sah.
Adapun pendekatan sosio-historis yaitu pendekatan yang menyatakan bahwa setiap produk pemikiran itu merupakan hasil interaksi pemikir dengan lingkungan sosio-kultural dan sosio-politik yang mengitarinya. Berkaitan dengan penelitian ini sudah barang tentu sosial politik dan kultur yang melatarbelakangi metode pemikiran M. Natsir dan Gus Dur akan dikaji sepanjang peristiwa tersebut mempengaruhi pemikiran mereka dalam masalah ini.
5. Analisa Data
Setelah data terkumpul penyusun akan menganalisa dengan metode kualitatif analisis deduksi dan komparasi. Deduksi yaitu metode yang berawal dari pengetahuan umum ditarik ke pengetahuan khusus. Dalam hal ini analisa dari kedua tokoh tersebut tentang Islam dan negara di Indonesia, khususnya mengenai asas negara akan dipersempit dalam paradigma modernisme dan neo-modernisme Islam. Sementara komparasi dimaksudkan untuk membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut apakah terdapat persamaan dan perbedaan yang tajam dan signifikan di antara keduanya.
G. Sistematika Pembahasan.
Dalam pembahasan ini penyusun membagi menjadi lima bab. Bab pertama memuat pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoritis, metodologi penelitian, dan yang terakhir sistematika pembahasan.
Bab kedua melacak asal-usul dan tipologi relasi agama dan negara dalam sejarah politik Islam, yang tentunya berimplikasi terhadap pemikiran tokoh politik Islam Indonesia dalam mengkaji hubungan Islam dan negara di Indonesia. Selain itu karakteristik pemikiran ini kemudian dibagi pada dua perspektif, yaitu modernisme dan neo-modernisme. Yang dalam pembahasannya kedua perspektif tersebut akan dihadapkan pada dua tokoh yang dikaji.
Bab ketiga memaparkan biografi M. Natsir dan Gus Dur. Penelaahan ini meliputi latar belakang sosial dan prilaku politik kedua tokoh tersebut dalam menggagas relasi Islam dan negara di Indonesia. Bab ini juga menyinggung sedikit cita-cita ideologi negara yang mereka perjuangkan sebagai repesentasi tokoh muslim yang peduli terhadap bangsa, di antaranya yang berkaitan dengan Islam, demokrasi dan dasar negara.
Bab keempat menganalisa pemikiran kedua tokoh tersebut tentang relasi Islam dan negara, khususnya tentang demokrasi dan ideologi pancasila, yaitu dengan membandingkan gagasan kedua tokoh di atas, apakah dalam penelitian ini terdapat persamaan dan perbedaan yang signifikan. Selain itu, bab ini juga berusaha menjelaskan implikasi gagasan kedua tokoh tersebut terhadap tokoh politisi muslim Indonesia dan pemikiran politik Islam generasi saat ini.
Bab kelima penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan dimaksudkan untuk memperlihatkan letak signifikansi penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, dengan memberikan konklusi pemikiran M. Natsir dan Gus Dur tentang hubungan Islam dan negara di Indonesia, sedangkan saran-saran ditujukan bagi para penyusun atau peneliti yang akan mengkaji masalah-masalah yang berkaitan dengan variabel skripsi ini lebih lanjut.
BAB II
ASAL-USUL DAN TIPOLOGI PEMIKIRAN
TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA
A. Awal Perdebatan Islam dan Negara di Indonesia.
Wacana tentang makna, penafsiran dan fungsi pancasila telah menjadi perdebatan sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia, setidaknya sejak bangsa ini merdeka, perdebatan ini selalu menjadi aktual di kalangan akademisi dan politisi Indonesia sampai saat ini. Apalagi didorong dengan lahirnya beberapa Partai Islam, permintaan diberlakukannya syariat Islam di Aceh (NAD), munculnya teroris-teroris yang berkedok Islam, laskar serta organisasi yang bernafaskan Islam kanan, di antaranya Laskar Jihad, Hizbu Tahrer, Jaringan Islamiyah dan Front Pembela Islam (FPI). Selain itu yang paling jelas menjadi indikator perlunya kejelasan relasi Islam dan negara dalam kehidupan berbangsa terlihat pada menguatnya ide-ide pencantuman Syari‘at Isla>m dalam amandemen UUD 45 setiap ST MPR hasil pemilu 1999.
Hal ini juga sering terjadi dalam wacana politik Indonesia di penghujung tahun 1990-an yang juga sibuk memperdebatkan ideologi dan peristiwa-peristiwa politik yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini, di antaranya mengenai hubungan Islam dan negara, peran ABRI dalam politik, dan bentuk demokrasi yang sesuai dengan negara ini. Dalam skripsi ini penyusun menitikberatkan pada masalah yang pertama yaitu mengenai hubungan Islam dan negara.
Untuk memperjelas tahap-tahap perjuangan umat Islam Indonesia dalam merespon perdebatan Islam dan negara. M. Rusli Karim membagi menjadi empat tahap. Tahap pertama, 1912 hinggga proklamasi kemerdekaan, tahap kedua 1945-1955, tahap ketiga, 1955-1965 dan tahap keempat 1965 sampai sekarang. Akan tetapi dalam bab ini penyusun akan memfokuskan asal-usul lahirnya perdebatan Islam dan negara sepanjang sejarah perpolitikkan Indonesia secara global.
Perdebatan ini mulai aktual sejak dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai upaya persiapan kemerdekaan yang diharapkan, dan telah disetujui oleh pemerintahan Jepang. Hal ini juga dinyatakan dalam pidato Perdana Menteri Kuniaki Koiso kepada Parlemen Jepang pada tahun 1944 yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia dalam “waktu dekat”.
Akan tetapi kalau kita teliti lebih dalam bahwa persinggungan antara Islam dan negara di Nusantara ini sudah berlangsung lama sebelum Indonesia merdeka yakni di bawah tekanan kolonial Belanda dan Jepang, namun demikian untuk melacak isu tentang istilah negara Islam di Indonesia bukanlah suatu pekerjaan mudah, karena sejauh ini yang diketahui hanyalah pemimpin-pemimpin Sarekat Islam (SI) seperti Surjopronoto dan Dr. Sukiman Wirjosandjojo yang telah mewacanakan suatu kekuasaan atau pemerintahan Islam di akhir tahun 1920-an. Saat itu Surjopronoto menggunakan tema een Islamietsche regeering (Suatu Pemerintahan Islam) sementara Sukiman memakai istilah een eigen Islamietisch bestuur onder een eigen vlag (Suatu kekuassan Islam di bawah benderanya sendiri) semua ini digunakan untuk menciptakan kekuasaan Islam di Indonesia yang substansinya sebagai alat mencapai kemerdekaan.
Barangkali wacana dan teori tentang Negara Islam ini belum banyak ditulis secara terperinci oleh pemimpin Islam pada saat itu, sehingga dalam sidang BPUPKI pada 1945 wacana ini terkesan begitu aktual diperdebatkan karena secara resmi peristiwa ini muncul pertama kalinya dalam panggung politik Indonesia.
Anggota BPUPKI ini terdiri dari berbagai macam kelompok ideologi yang akhirnya mengalami kesulitan dalam mencari titik temu (Kalimah as-Sawa’) posisi masing-masing anggota tersebut, di antaranya. Pertama, mereka yang ingin menegakkan demokrasi konstitusional sekuler. Kedua, mereka yang menganjurkan negara integralistik, dan ketiga. Yang paling emosional dan konfrontasional adalah mereka yang menginginkan Islam dijadikan dasar negara.
Badan penyelidik ini mengadakan dua kali sidang, pada sidang pertama, dari 29 Mei – 2 Juni 1945 membahas masalah umum, dalam sidang ini Soekarno membuat pidato yang sangat berpengaruh tentang dasar negara dan kemudian dikenal dengan Lahirnya Pancasila. Sedangkan pada sidang kedua, 10-14 Juni 1945 membahas tentang isi konstitusi negara yang akan dibentuk. Dalam kedua pembahasan sidang ini menimbulkan perdebatan keras di antara para anggota penyelidik terutama kalangan Islam yang diwakili Abdoel Kahar Moezakkir dengan cita-cita ideologi Islamnya dan kalangan nasionalis diwakili oleh Soekarno yang cenderung netral terhadap agama. Masalah yang sangat krusial dan mengundang perdebatan dalam sidang ini adalah tentang “peletakkan dasar negara” sebab masalah ini berkaitan dengan integritas agama, budaya dan bangsa yang plural. Karena khawatir akan kegagalan Badan Penyelidik yang terus-menerus semakin memanas maka para anggota mengambil iniasiatif dengan membentuk panitia BPUPKI yang terdiri dari 9 orang.
Semula anggota BPUPKI ini berjumlah 62 orang, lalu ditambah enam orang yang kebanyakan berasal dari Jawa dan satu orang lagi dari Jepang yakni Ichibangase yang menjabat sebagai ketua yunior dan anggota luar biasa, untuk mengamati secara lebih detail keanggotaan Badan Penyelidik ini maka penyusun paparkan pendapat Prawoto Mangkusasmito, dari 68 anggota BPUPKI, hanya 15 orang (+ 20%) yang menyuarakan aspirasi politik Islam yakni berasal dari nasionalisme-Islam, sedangkan 80 %-nya berasal dari kelompok nasionalis-sekuler. Statistik ini menunjukkan betapa tidak seimbangnya representasi dari masing-masing kelompok itu.
Di antara wakil dari kelompok Islam yaitu; K. H. Mas Mansur, Abdul Kahar Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Masykur, K.H. A. Wahid Hasyim, Abikusno Cokrosujoso, H. Agus Salim, Sukiman Wiryosanjoyo, K.H. A. Sanusi, dan K.H. Abdul Halim, sedangkan wakil dari kelompok nasionalis, antara lain, Rajiman Widiodiningrat, Soekarno, Mohammad Hatta, Prof. Soepomo, Wongsonegoro, Sartono, R. P. Soeroso, Dr. Buntaran Martoatmojo dan Muhammad Yamin, untuk Ketua dan wakil ketua BPUPKI dijabat oleh Rajiman Widiodiningrat dan R. P. Soeroso, ini menunjukkan bahwa kepemimpinan BPUPKI berada di tangan kelompok nasionalis.
Akan tetapi karena banyaknya anggota Badan Penyelidik yang malah dikhawatirkan akan membawa kegagalan Badan Penyelidik itu sendiri (atas perdebatan yang semakin memanas) maka dibentuklah Panitia Kecil BPUPKI yang hanya terdiri dari 9 orang itu, yaitu: empat orang dari kalangan Islam (H. Agus salim, K.H. Wahid Hasyim, Abikusno, dan Abdul Kahar Muzakkir) dan lima orang dari kalangan Naionalis (Soekarno, Mohammad Hatta, A. A. Maramis, Achmad Subarjo, dan M. Yamin).
Dalam panitia ini, Islam politik mempunyai kepentingan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, sebab menurutnya yang paling banyak berkorban dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah kelompok Islam. Kepentingan tersebut menimbulkan reaksi keras dari kelompok nasionalis sekuler yang memang secara kuantitatif anggota mereka dalam badan ini merupakan mayoritas, sebagai jalan tengah akhirnya Jepang membentuk “Panitia Sembilan” di atas.
Pada tanggal 21 Juni 1945 BPUPKI menyetujui Piagam Jakarta yang rumusan sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syari‘at Isla>m bagi pemeluk-pemeluknya”, kesepakatan ini merupakan hasil perjuangan Islam politik dalam kepentingannya saat itu, akan tetapi umat Islam terpaksa harus kecewa karena dalam UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 itu, ternyata telah menghapuskan Piagam Jakarta tersebut. Ini merupakan kekecewaan Islam politik yang pertama dalam perjuangan politiknya.
Diterimanya pancasila sebagai asas dan ideologi negara merupakan puncak dari pertentangan dan sekaligus menunjukkan kekalahan kelompok Islam yang harus berkompromi dengan kepentingan lain. Umat Islam yang sebelumnya memperjuangkan ideologi Islam sebagai dasar negara dalam mukadimah UUD 1945 harus mengalah dengan pancasila. Keinginan keras umat Islam saat itu bisa dimaklumi, selain sebagai pejuang mayoritas kemerdekaan, pancasila sendiri menyimpan dua faktor yang sangat debatable. Pertama, tentang kandungan pancasila itu sendiri. Kedua, tentang makna penting pancasila jika dibanding dengan agama.
Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu bertahan selama 57 hari, ini dikarenakan pengiring redaksi sila pertama yang mewajibkan umat Islam menjalankan Syari‘at Isla>m dirasakan oleh kawasan Timur Indonesia sebagai sikap diskriminatif terhadap pemeluk agama lain. Maka demi persatuan bangsa akhirnya para pemimpin politik Islam terpaksa menelan kekecewaan cita-cita politiknya pada 18 Agustus 1945 dengan menghilangkan anak kalimat tersebut dari pembukaan UUD 1945.
Peristiwa ini dikenal sebagai sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang merupakan pengganti dari BPUPKI yang telah dibubarkan. Jumlah anggota PPKI semula sebanyak 21 orang, kemudian atas usul Soekarno akhirnya ditambah menjadi 27 orang, dan yang menarik dicermati dari total jumlah ini ternyata hanya tiga anggota dari organisasi Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim dan Kasman Singodimedjo. Betapa ironisnya umat Islam sebagai mayoritas populasi dan penggerak melawan penjajah di negeri ini hanya diwakili oleh tiga anggota.
Sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 bertujuan menetapkan UUD dan memilih presiden dan wakilnya, kebetulan presiden yang dipilih adalah ketua dan wakil PPKI saat itu yaitu Soekarno dan Hatta. Secara kultural Soekarno mewakili kultur Jawa sedangkan Hatta dari kultur Minang/Sumatera, terang saja latar belakang Hatta ini bisa dijadikan pelebur sikap keras Ki Bagus yang selalu bersekukuh mempertahankan rumusan Piagam Jakarta. Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi konsistensi Ki Bagus yang tetap bertahan dengan Piagam tersebut, maka melalui Hatta yang memanfaatkan Teuku Moehammad Hassan anggota PPKI dari Sumatera berhasil melunakan sikap keras Ki Bagus dan dalam waktu 15 menit anak kalimat pada sila Ketuhanan itu diganti dengan Yang Maha Esa.
Akar perdebatan ini tidak lepas dari letupan pertarungan ideologi saat itu, yaitu Nasionalis dan Islam. Golongan nasionalis adalah kelompok yang berprinsip bahwa ad-Din wa ad-Daulah (agama dan negara) harus dipisahkan secara tegas dan proporsional, dengan keyakinan bahwa fungsi agama hanya mengurusi ajaran-ajaran yang berkaitan dengan kehidupan akhirat dan urusan pribadi saja, Sedangkan negara memang merupakan masalah politik yang berurusan dengan duniawi. Sementara itu golongan Islam saat itu berprinsip bahwa agama (dalam hal ini Islam) tidak dapat dipisahkan dari urusan kenegaraan, karena Islam menurut mereka tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan saja, melainkan juga hubungan sesama manusia, lingkungan dan alam semesta.
Indikasi pertarungan ideologi ini bisa dilihat sejak tahun 1920-1930-an dari kasus retaknya hubungan Sarekat Islam (SI) dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), kasus Jawi Hisworo, majalah Timboel, Swara Oemoem dan peristiwa itu perdebatan sengit antara tokoh Nasionalis-Muslim, seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Ahmad Hassan dan M. Natsir dengan tokoh-tokoh Nasionalis-sekuler yang diwakili Tjipto Mangunkusumo, Soekarno dan lain-lain, Polemik inilah yang kemudian berlanjut sampai sekarang.
Di sisi lain, konsep “Piagam Madinah” dan praktek pemerintahan Islam pada zaman Rasulullah, sahabat dan komunitas muslim lainnya juga ikut mempengaruhi lahirnya perdebatan Islam dan negara di Indonesia, sebab munculnya terma Piagam Jakarta di Indonesia sedikit banyak terinspirasi dari konsep Piagam Madinah yang pasti tidak bisa lepas dari persinggungan wacana politik Islam yang telah berlaku di bangsa Arab itu. Selain itu praktik pemerintahan Negara Turki yang memisahkan negara dan agama juga ikut mewarnai perdebatan ini.
Jadi, untuk memaparkan secara lebih jelas pemikiran politik tokoh Islam dan keterkaitan mereka dalam memperjuangkan negara berdasarkan Islam di Indonesia, perlu penyusun bahas secara singkat tentang teori-teori yang diajukan para intelektual muslim.
Secara umum pemikiran politik Muslim bisa diklasifikasikan menjadi tiga teori. Pemikiran pertama berpendapat bahwa negara dan agama tidak harus dipisahkan, karena Islam merupakan agama yang integral dan komprehensif dalam mengatur kehidupan baik urusan duniawi maupun ukhrawi, oleh sebab itu menurut pandangan ini konstitusi negara harus didasarkan pada Islam. Tokoh teori ini antara lain , Abu A’la Maududi (1903-1979) dari Pakistan yang memimpin Jamiy‘ah al-Isla>m, Sayyid Qutb (1906-1966) dan para ideolog lain Ikhwan al-Muslimin dari Mesir. Baik Jam‘iyah al-Isla>m maupun Ikhwan al-Muslimin dikenal sebagai gerakan Fundamentalis di Iran, Pakistan dan Saudi Arabia, hal ini bisa dilihat dari jargon politiknya bahwa ad-Din wa ad-Daulah (agama dan Negara) tidak bisa dipisahkan. Pandangan komprehensif ini dikutip dari nash al-Qur’an :
ياأيهاالذ ين أمنوا ادخلوا فىالسلم كآّفة ولا تتبعوا خطوات الشيطـن إنّه لكم عدوّ مّبين. (البقرة :٢٠٨)
Menurut teori yang kedua, agama dan negara harus dipisahkan, urusan agama sebatas pada urusan pibadi dan ukhrawi tidak perlu mencampuri urusan politik. Oleh sebab itu konstitusi negara dalam pandangan ini tidak harus didasarkan pada Islam, namun pada nilai sekuler, contoh konkret teori ini adalah negara Turki Modern. Teori ketiga, sepakat dengan adanya pemisahan antara agama dan negara dalam arti konstitusi negara tidak harus didasarkan Islam, akan tetapi nilai agama harus menjadi ruh kehidupan masyarakat bernegara,
Ketiga teori ini mewakili pilihan-pillihan yang dapat menentukan karakteristik struktur sosial dan politik negara-negara muslim dunia dalam menghadapi tantangan modernitas. Terutama teori pertama ini sangat kuat mewarnai pemikiran politik muslim Indonesia tahun 1940-an dan 1950-an, karena dalam sidang BPUPKI 1945 maupun konstituante (1956-1959) para pemimpin muslim berjuang keras agar Islam dijadikan dasar negara. Selain itu tidak ada indikasi yang tampak bahwa pemikiran politik nasionalis-muslim Indonesia saat itu, dipengaruhi oleh Kemal Attaturk ataupun Ali Abd al-Raziq (1888-1966) yang berpendapat bahwa Nabi tidak pernah berupaya membangun sebuah negara, beliau hanyalah seorang utusan yang dikirim oleh Tuhan semata.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas, konflik ideologi antara kaum nasionalis-sekuler dan nasionalis-muslim bisa diperkirakan sejak menjelang kemerdekaan (Sidang BPUPKI). Melengkapi data sebelumnya, pada tanggal 31-Mei 1945 Soepomo lebih mendukung gagasan Hatta yang mengusulkan bentuk Indonesia sebagai negara kesatuan daripada keinginan umat Islam dalam meletakkan dasar negara , yakni memisahkan negara dari persoalan agama.
Menurut Soepomo sendiri, jika negara Islam diciptakan di Indonesia maka sudah pasti persoalan minoritas, persoalan kelompok-kelompok kecil agama dan yang lainnya akan muncul. Meskipun Islam menjamin kelompok agama lain sebaik mungkin, kelompok kecil ini tidak akan merasakan keterlibatannya dalam negara, karena cita-cita negara Islam tidak sesuai dengan cita-cita negara kesatuan yang diharapkan bersama.
Pada tahun 1953 Soekarno juga mengungkapkan kekhawatirannya secara terbuka tentang implikasi-implikasi negatif yang muncul, apabila umat Islam Indonesia tetap memaksakan kehendaknya (negara Islam), yakni pengakuan Islam secara legal formal di negara ini. Dengan mengingat kekhawatiran yang diungkapkan Hatta pada tahun 1945, Soekarno mengatakan bahwa ia cemas, kalau banyak bagian negara Republik Indonesia memisahkan diri, atau negara bekas jajahan Hindia Belanda seperti Irian Barat juga tidak ikut menggabungkan diri dengan Indonesia yang ber-ruh Islami ini.
Melihat keberatan kelompok nasionalis-muslim terhadap Negara Sekuler mengharuskan kita meninjau kembali sejarah Islam yang menyatukan pemahaman antara agama (di>n) dan negara (daulah). Istilah “negara” dalam bahasa Indonesia mempunyai arti; pertama, organisasi di suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Kedua, kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintahan yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.
Dalam Bab ini penyusun merasa perlu mengkaji pula istilah-istilah dalam kajian politik Islam seperti daulah, khalifah, imamah dan kesultanan yang seringkali dikonotasikan dengan istilah negara. Di samping itu teori-teori tersebut paling tidak ikut mempengaruhi pemikiran politik Islam di Indonesia.
a. Daulah.
Istilah daulah berasal dari bahasa Arab yang bermakna bergilir, beredar dan berputar (rotate, alernate, take turns or Occur priodically). menurut Olaf Schuman istilah “daulah” sama dengan “dinasti atau wangsa” yang berarti sistem kekuasaan yang berpuncak pada seorang pribadi dan didukung oleh keluarganya atau clanya. Jadi dalam konteks sekarang istilah tersebut bisa diartikan negara, selain itu Paham ini juga erat dengan paham Da>r al-Isla>m yang bermakna bahwa kekuasaan tertinggi terletak di tangan seorang penguasa muslim yang memberlakukan Hukum Islam sebagai hukum utama di dalam wilayahnya.
Menurut sejarah istilah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam ketika masa kemenangan kekhalifahan dinasti Abbasiyyah pada pertengahan abad delapan. Kalau memang istilah ini pernah ada, berarti masa itu terdapat pada daullah Umayyah yang kemudian begilir pada keluarga Bani Abbas (Daulah Abbasiyyah).
b. Khilafah.
Istilah “Khila>fah” berasal dari bahasa arab yang bermakna perwakilan atau pergantian. Dalam perspektif politik sunni, khilafah didasarkan pada dua rukun, yaitu: konsensus elit politik (ijma‘) dan pemberian legitimasi (Bay‘ah). Oleh sebab itu sudah menjadi hal yang lazim dalam pemilihan pemimpin Islam bahwa pemilihan pemimpin ditetapkan oleh elit politik melalu ijma‘ kemudian baru di Bay‘ah , menurut Harun Nasution sistem ini menyerupai dengan sistem republik daripada sistem kerajaan, karena pemimpin dalam hal ini dipilih bukan merupakan sistem monarkhi yang bersifat turun-temurun.
Sistem khilafah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam setelah Nabi Muhammad wafat, yaitu pada masa khalifah Abu Bakar, dalam pidato inagurasinya Abu Bakar menyatakan dirinya sebagai Khalifah Rasul Allah dalam artian sebagai “Pengganti Rasulullah” yang bertugas meneruskan misi-misinya. Sedangkan menurut Bernard Lewis istilah khalifah muncul pertama kali pada masa pra-Islam abad ke-6 Masehi dalam suatu prasasti Islam di Arabia.
c. Imamah.
Selain kedua istilah di atas, “imamah” dalam kajian Islam juga sering digunakan sebagai teori yang menyerupai makna negara. Menurut Mawardi, imam bisa dimaknai khalifah, raja, sultan atau kepala negara, dengan demikian menurut Munawir Sjadzali, Mawardi memberikan ruang bagi agama suatu jabatan politik yaitu kepala negara. Sementara menurut Taqiyuddin an-Nabhani, imamah dan khilafah merupakan dua istilah yang sama maknanya, karena khilafah adalah suatu kepemimpinan yang berlaku secara umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at dan mensyiarkan Islam ke seluruh penjuru dunia.
Pada dasarnya teori imamah lebih banyak berkembang di aliran syi’ah daripada aliran sunni, dalam aliran Syi’ah Imama>h menekankan dua rukun, yaitu kekuasaan imam (wilayah) dan kesucian Imam (‘ismah).
d. Kesultanan.
Adapun istilah kesultanan seringkali diartikan kekuasaan dalam kitab al-Qur’an, menurut Lewis ada seorang penulis dari kelompok scribal, Abd Hamid, yang hidup pada awal abad kedelapan, secara umum menggunakan istilah sultan untuk pemerintah.
Dari uraian di atas, tampak bahwa istilah negara dalam Islam memiliki beberapa sinonim di antaranya Daulah, Khila>fah, Ima>mah dan S{ult}aniyyah, oleh sebab itu merupakan hal yang lazim kalau wacana Negara Islam selalu hangat untuk diperdebatkan, karena secara de facto ternyata Islam mempraktekkan beberapa istilah yang bersinonom dengan konsep negara, sedangkan secara konseptual atau de jure Islam memang tidak mengenal konsep negara yang detail. Namun demikian patut diteliti apakah teori-teori tersebut untuk konteks modern saat ini bisa dikategorikan sebuah konsep negara.
Mengingat wacana negara Islam di Indonesia selalu menjadi perdebatan panjang dalam sejarah didirikannya negara ini, sejak pra-kemerdekaan sampai sekarang. Patut dicari apa sebenarnya yang membuat tokoh muslim berkeinginan keras meletakkan Islam sebagai dasar negara Indonesia? Salah satu jawaban atas pertanyaan ini, yaitu karena mereka bertujuan menerapkan Syari‘at secara efektif di seluruh penjuru wilayah negara, M. Natsir salah satu tokoh Islam yang kontra dengan gagasan Soekarno mengklaim bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan salah satu cita-cita Islam oleh sebab itu pencapaian kemerdekaan Indonesia merupakan bagian integral dari perjuangan Islam untuk menerapkan Syari‘at.
Tampaknya klaim ini didasarkan pada kenyataan saat itu, bahwa umat Islam Indonesia sebagai kelompok mayoritas mempunyai peran yang sangat besar dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Untuk mendukung opini ini bisa dilihat dari semangat jihad Islam yang terukir dalam sejarah tanah air ini, seperti Sultan Babullah dari Ternate, Sultan Hasanuddin dari Makassar, Pangeran Diponegoro (pemimpin Perang Diponegoro 1825-1830, Imam Bonjol (pemimpin Perang Padri 1921-1937), Teuku Umar, Tjut Nya’Dien dan Tengku Tjhik di Tiro (pemimpin Perang Aceh tahun 1872-1912). Di samping itu terdapat juga ulama-ulama Jawa, salah satunya Syekh Hayim Asy’ari yang terkenal dengan “Resolusi Jihadnya”.
Selain alasan di atas, kekecewaan umat Islam atas dihapuskannya “Piagam Jakarta” bisa juga dipahami melalui berbagai organisasi kultural dan ekonomis Islam yang telah didirikan jauh sebelum Indonesia merdeka, apalagi organisasi tersebut banyak memberi konstribusi dalam kemerdekaan ini, misalnya Sarekat Islam (didirikan tahun 1912), gerakan Modernis Muhammadiyah (yang juga didirikan tahun 1912, dan organisasi Tradisionalis NU (didirikan 1926). Menurut hemat penyusun organisasi ini merupakan alat konsolidasi yang sangat efektif saat itu.
Meski dalam kenyataanya umat Islam merupakan mayoritas dalam bangsa ini dan organisasi Islam memainkan peran penting pada masa kemerdekaan, menurut Fred von den Mehden “Indonesia sebagai satu bangsa Islam tidak seluruhnya sepakat dengan apa yang harus dilakukan sebagai pemeluk Islam”. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran dan praktik agama yang dikerjakan, sebagaimana yang dinyatakan Cliford Geertz bahwa rakyat Indonesia terbagi menjadi tiga aliran atau trikotomi, yaitu Priyayi, Santri dan Abangan.
Perbedaan relegius dan politik dalam komunitas Muslim tampak jelas dalam wacana pancasila, Seperti halnya yang penyusun bahas di atas. Dengan demikian suatu dinamika “Islam versus Pancasila” telah mempengaruhi sebagian besar perdebatan dan wacana pemikiran politik Indonesia sepanjang tahun 1980-an sampai 1990-an. Sebagaimana yang akan dibahas dalam bab-bab berikut, dinamika ini memiliki implikasi-implikasi penting bagi perpolitikan nasional.
Dalam catatan sejarah, tuntutan-tuntutan Islam politik atas negara sangat tampak dalam pemberontakkan Darul Islam melawan Pemerintahan Pusat antara tahun 1948-1962. Akibat serangan pemberontakan ini, bentuk konkret ancaman “ekstrem kanan” (istilah yang secara resmi dipakai untuk menunjuk fundamentalisme Islam di era Orde Baru) semakin jelas. Djohan Effendi menambahkan bahwa Darul Islam mempertinggi kecurigaan militer bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara partai-partai Islam dengan pemberontak Darul Islam. Satu-satunya perbedaan, menurut pihak militer adalah bahwa yang pertama memperjuangkan negara Islam dengan jalan legal, sedangkan yang kedua dengan kekuatan illegal.
Deliar Noer, tidak sepakat dengan cara pandang militer ini, baginya cita-cita partai Islam ini dilakukan secara demokratis. Jadi tentu berbeda dengan gerakan Darul Islam yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo, gerakan ini menggunakan kekerasan dan mementingkan simbol-simbol, seperti nama Darul Islam, istilah Imam untuk Kepala negara dan lain sebagainya, Sedangkan partai Islam lebih pada substansi tujuan. Dalam kasus ini gerakan Kartosuwiryo tidak berkesempatan mengembangkan pemikiran substansi tujuannya karena terburu menggunakan kekerasan. Peristiwa ini sedikit banyak menumbuhkan citra negatif pada sebagian kalangan bangsa kita dalam merespon hubungan Islam dan negara, yang kemudian berdampak negatif pula terhadap cita-cita dan perjuangan partai-partai Islam selama ini.
Dan saat itu, citra negatif ini digunakan untuk mendeskriditkan kedudukan partai Masyumi dan umat Islam secara umum. Padahal dalam kasus DI ini secara perlahan-lahan juga ditunggangi oleh golongan yang tidak bersimpati terhadap RI, di antaranya orang-orang Belanda seperti Jungschlager, Schmidt, dan Van Kleef. Selain itu masalah pemberontakan PRRI/Permesta (1958-1961) juga sering dihubungkan dengan cita-cita Islam sehingga membuat partai Masyumi dibubarkan (tahun 1960), walupun banyak orang Kristen yang terlibat di dalamnya karena tokoh-tokoh cabang Parkindo dan komandan daerah yang beragama Kristen jelas-jelas menyokong pemberontakan ini.
Posisi Islam semakin mengkhawatirkan ketika Soekarno membubarkan partai Islam terbesar, Masyumi, karena dituduh terlibat dalam pemberontakan regional berideologi Islam. Dalam usaha menyeimbangkan kekuatan-kekuatan ideologis antara Islam, nasionalisme, dan komunisme Soekarno tidak hanya menganjurkan konsep Pancasila, melainkan juga sebuah konsep NASAKOM, yang akhirnya malah menimbulkan struktur politis dan ideologis yang labil pada awal tahun 1960-an karena masing-masing kepentingan politisnya jelas saling berlawanan.
Demikian pembahasan asal-usul perdebatan Islam dan negara di Indonesia. Semoga prawacana ini akan lebih memudahkan kita dalam memahami bab-bab berikutnya.
B. Tipologi Pemikiran Relasi Islam dan Negara.
Islam di Indonesia dewasa ini tidak lepas dari dinamika pemikiran dan gerakan pembaharuan, di antaranya dipengaruhi ide-ide pembaharuan Abduh yang dianggap rasional-liberal, dan kemudian di Indonesia berpadu dengan faham Wahabiyyah yang skriptural-formal. Di sisi lain, masih terdapat kuatnya madzhab yang dilestarikan oleh para kyai melalui pesantren, yang dianggap sebagai basis kelompok tradisionalis Islam. Dengan adanya dialektika modernis versus tradisionalis inilah yang akhirnya melahirkan pemikiran neo-modernisme Islam Indonesia.
Sebelum membahas lebih jauh, penyusun ingin mempertegas antara Islam dan pemikiran Islam. Menurut Moslem Abdurrahman “Islam” adalah wahyu, sedangkan “pemikiran Islam” adalah kebenaran subjektif yang dihasilkan dari penangkapan seseorang terhadap pesan obyektif Tuhan. Sebagai kebenaran subjektif pemikiran Islam bisa berubah-rubah sesuai dengan konteks dan perkembangan pemahaman seseorang tersebut terhadap pesan Tuhan. Oleh sebab itu untuk memamahami tokoh pemikir Islam harus diletakkan pada kerangka Ijtiha>d.
Suatu hal yang wajar sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia wacana relasi Islam dan negara mendapatkan komentar, kritik dan debat yang tajam karena masalah ini termasuk kategori Ijtiha>d seseorang dalam memahami teks Tuhan.
Pada tahun 1940-an sampai 1990-an sering terjadi perdebatan hangat mengenai masalah tersebut, Seperti yang penyusun bahas sebelumnya. Padahal perdebatan ini sudah pernah menemukan titik temunya, yaitu dalam konsep “Piagam Jakarta”, yang kemudian dianulir sehari setelah kemerdekaan. Upaya penyelesaian masalah tersebut pada sidang konstituante kandas di tengah jalan karena dipotong oleh Soekarno melalui Dekrit 1959. Demikian pula yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru, yang sengaja menutupi kemungkinan-kemungkinan pembicaraan mengenai persoalan tersebut.
Diawali perdebatan antara Natsir dan Soekarno, akhirnya Islam mencari jalannya sendiri dalam kehidupan sosial politiknya dengan cara yang bisa dibilang formalistik, agar kehadirannya tidak hanya dirasakan tapi juga diakui. Dalam pandangan umum, langkah-langkah ini telah menempatkan Islam dalam posisi antagonistik vis-a-vis negara dengan seluruh implikasinya.
Akhirnya, situasi inilah yang mendorong pemikir Islam Indonesia generasi kedua (sejak tahun 1970-an), yang kemudian sering disebut sebagai kelompok “Islam kultural”. Dalam pandangan ini Islam politik merupakan sesuatu yang sulit untuk dijual karena trauma politik yang membekas para aktivis politik saat itu, baik dari pihak Islam politik maupun negara. Untuk itu generasi kedua ini tidak menginginkan Islam dijadikan sebuah ideologi, dengan memfokuskan pada bidang garapan “transformasi sosial” yang disesuaikan dengan kebutuhan tertentu. Di antaranya pandangan dasar Nurcholish Madjid yang mengemukakan desakralisasi; Abdurrahman Wahid dengan gagasan Pribumisasi Islam, Dawam Rahardjo yang menggeluti Masyarakat pedesaan melalui pesantren; dan Munawir Sjadzali yang menyatakan perlunya melihat Islam dalam konteks Indonesia.
Sebenarnya kalau dilihat dari aspek politik, aktivitas Islam kultural dan Islam politik mempunyai persamaan, karena kalangan inilah yang meletakkan dasar-dasar kehidupan politik yang demokratis, dengan menonjolkan aspek-aspek keadilan, musyawarah, dan egalitarianisme yang disesuaikan dengan spirit Islam. Lebih spesifik dalam pembahasan ini, Munawir Sjadzali mengklasifikasikan relasi Islam dan negara menjadi tiga kategori.
Pertama, aliran konservatif, yang berpendapat Islam adalah agama yang sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara, oleh sebab itu tidak ada alasan memisahkan keduanya. Di antara para tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran modernis, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh yang terkemuka yaitu M. Husein Haikal. Ketiga, aliran sekuler, Islam tidak ada hubunganya dengan negara karena menurut aliran ini Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh utama aliran ini ialah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein
Akan tetapi dalam tipologi ini, penyusun akan mengkaji pada kategori kedua, yakni aliran Modernis, yang kemudian penyusun klasifikasikan kembali menjadi dua aliran: modernis dan neo-modernis. Pemetaan ini didasarkan pada analisa pemikiran yang telah bekembang, bahwa pemikiran politik Islam di Indonesia memang tidak lepas dari hubungan dialektis antara aliran tradisionalis dan modernis, yang akhirnya melahirkan neo-modernisme tersebut.
Dalam pandangan politik Islam, kelompok modernis biasanya menggunakan pendekatan struktural yang dapat juga disebut sebagai kaum idealis, sementara kelompok neo-modernis menggunakan pendekatan kultural yang biasa disebut kaum realistis atau akomodasionis.
1. Perspektif Modernisme.
Pemikiran modernisme Islam sudah dimulai sejak abad ke 20-an sebelum Indonesia merdeka. Pada tahun 1912 didirikan sarekat Islam, yakni sebuah organisasi politik Islam modern pertama kali di Indonesia yang didasarkan pada sebuah prinsip antipenjajahan. Di bawah pengaruh modernisme Islam, nilai-nilai demokrasi menjadi suatu yang lazim di kalangan intelektual muslim prakemerdekaan.
Menurut Mukti Ali, munculnya Modernisme karena didorong kesadaran akan kemunduran umat Islam yang disebabkan telah meninggalkan sumber ajaran al-Qur’an yang asli, Oleh sebab itu kalangan modernisme seringkali menyerukan umat Islam untuk “kembali kepada al-Qur’an dan sunnah secara murni”. Sebagai reaksi terhadap Barat, wajar apabila kalangan modernisme mengagendakan sebuah apologia melalui “ideologisasi Islam” bahwa Islam adalah agama yang Ka>ffah.
Dalam konteks pembahasan, perspektif ini dihadapkan penyusun pada pemikiran M. Natsir. Tokoh ini dikategorikan dalam perspektif modernis karena gagasannya yang rasional-fundamental, penulis katakan rasional-fundamental karena satu sisi Natsir mengakui bahwa di dalam Islam juga mengandung unsur-unsur demokrasi, dalam artian demokrasi adalah sistem pemerintahan yang bermanfaat bagi rakyat atau dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat, sisi fundamentalnya, M. Natsir bersikap keras meletakkan Islam sebagai dasar negara, dengan tujuan supaya ajaran Islam bisa laksanakan secara utuh dan konsekuen dalam kehidupan bernegara.
Ide-ide pemikiran modernisme tentang Islam dan negara cenderung bercirikan konservatif, liberal dan demokratis sosial. Di Indonesia sendiri menurut Dawam Rahardjo ciri yang menonjol dari kalangan modernisme adalah “apologik”, pemurnian dan “skripturalistik”, sedangkan dalam pandangan Liddle istilah modernisme dalam politik mempunyai dua corak, pertama, “skripturalistis”-yang masih menginginkan bentuk negara Islam dan berlakunya undang-undang Islam; kedua, “substansialis”-kelompok ini lebih mengedepankan pada isi daripada bentuk.
Untuk memperjelas pada pembahasan lebih lanjut, perlu penyusun tegaskan bahwa yang dimaksud modernisme di sini adalah aliran pemikiran yang selalu mengidealkan pemerintahan Islam, dengan tetap menerima sistem Barat asalkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sebenarnya secara genetik kelompok ini sudah ada sebelum Orde Baru lahir, yaitu Masyumi dan Muhammadiyah. Kedua organisasi ini mempunyai pemikiran yang sama dalam memandang konsep negara, menurut tokoh-tokoh modernis, Islam dan negara mempunyai hubungan integral, tetapi bukan berarti menolak sistem Barat secara totalitas. Karena menurut M. Natsir sendiri Islam memang tidak mempunyai sistem ketatanegaraan yang sempurna, maka dari itu apabila negara Islam nanti didirikan boleh mengadopsi sistem Barat asal tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Pada intinya aliran modernisme semacam ini mendukung negara Islam secara ideologis, karena baginya secara tekstual, al-Qur’an dan Sunnah telah menunjukkan perangkat dasar negara yang dapat diterapkan di zamannya. Selain itu, masih ada alasan-alasan lain yang akan dibahas dalam bab selanjutnya, mengapa tokoh modernisme seperti M. Natsir ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Untuk lebih lengkapnya akan penyusun bahas dalam bab selanjutnya.
2. Perspektif Neo-Modernisme.
Pola pemikiran neo-modernisme sangat identik dengan Fazlur Rahman, menurutnya meskipun di era modern pemikiran modernisme memberikan sumbangan positif terhadap kebangkitan Islam, tetapi aliran ini masih menunjukkan kelemahan-kelemahan tertentu, di antaranya adalah kurangnya metodologi dalam menafsirkan al-Qur’an dan Sunnah, dan terlalu apriori terhadap kekayaan potensi pemikiran Islam tradisional.
Lebih lanjut, Nurcholis Madjid menyatakan bahwa meninggalkan tradisi lama akan menimbulkan jump to conslusion (kesimpulan yang melompat), artinya mengambil pokoknya saja tanpa memahami latar belakangnya, dengan meminjam istilah H.A.R. Gibb, dia mengkritik kaum modernisme Islam bahwa kalangan ini menurutnya, akan terancam intellectual impoverisment (pemiskinan intelektual), karena pemikiran-pemikirannya seringkali terjebak pada proses pengambilalihan konsep-konsep Barat. Oleh sebab itu kaum neo-modernisme menggunakan kaidah Islam klasik berikut ini, sebagai prinsip pengembangan pemikirannya. Yaitu:
المحافظـﺔ على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
Neo-Modernisme adalah aliran pemikiran yang melakukan usaha-usaha untuk menemukan titik temu antara kaum Islam tradisionalis dengan kaum Islam modernis. Di Indonesia sendiri gagasan neo-modernisme Islam dimulai sejak tahun 1970-an, sebagai pemikiran generasi kedua setelah modernisme yang mengarah pada Islam politik, kemudian pada tahun 1980-an generasi kedua ini dikenal dengan sebutan Islam kultural.
Menurut Greg Barton, ada lima ciri yang menonjol dari aliran neo modernisme. Pertama, neo modernisme adalah gerakan pemikiran progresif yang mempunyai sikap positif terhadap modernitas, perubahan dan pembangunan. Kedua, aliran ini sangat berbeda dengan fundamentalisme yang menganggap Barat sebagai ancaman bagi umat Islam. Neo-modernis justru membela ide-ide liberal Barat, tetapi juga mengajukan argumentasi bahwa Islam juga mempunyai kepedulian yang sama terhadap ide-ide Barat seperti demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Ketiga, neo-modernisme Islam mengarfimasi semangat sekularisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena menurutnya al-Qur’an dan Sunnah tidak pernah menyuruh mendirikan negara Islam. Keempat, neo-modernisme sangat mengedepankan pemahaman Islam yang terbuka, inklusif dan liberal, khususnya dalam merespon pluralisme masyarakat. Kelima, neo-modernisme selalu berijtihad dalam membuat sintesis antara khazanah pemikiran Islam tradisional dengan gagasan-gagasan Barat mengenai ilmu-ilmu sosial dan humoniora.
Banyak penulis yang mengkategorikan tokoh-tokoh muslim Indonesia, seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo, dan Munawir Sjadzali masuk dalam aliran ini, di antaranya. Dalam pembahasan ini, corak pemikiran neo-modernisme akan penyusun hadapkan dengan pemikiran Abdurrahman Wahid, ia seorang neo-modernis yang latar belakang sosialnya berasal dari golongan tradisionalis, meskipun Abdurrahman Wahid sangat kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah di tahun 1990-an, tetapi dia tergolong akomodasionis terhadap sistem sosial yang berlaku di Indonesia.
Dalam memandang relasi Islam dan negara, kalangan ini lebih suka menggunakan pendekatan kultural, yakni dengan memerankan Islam sebagai “faktor komplementer” untuk mengembangkan sosio-ekonomi, politik, dan moralitas bangsa. Di antara kalangan neo-modernis yang paling utama mendukung pendekatan kultural ini adalah Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid, meskipun mereka tidak sepenuhnya sama dalam berpendapat, tetapi mereka menyadari bahwa secara historis ekspresi Islam ideologis tidak pernah berhasil.
Selain itu, menurut Abdurrahman Wahid kalau Islam di Indonesia dijadikan faktor alternatif, yakni diideologikan, maka fungsinya bisa terdistorsi karena yang muncul bukanlah struktur yang lebih baik melainkan konflik horizontal dan ancaman disintegrasi bangsa, hal yang senada diungkapkan oleh Nurcholish Madjid bahwa Islam bukanlah sebuah ideologi, sebab pendapat Islam sebagai ideologi hanya akan menyamakan agama itu setaraf dengan ideologi-ideologi yang ada di dunia.
Meskipun demikian, bukan berarti pemikir neo-modernisme ini mengabaikan aspek agama dalam politik, karena dalam pemikirannya selalu mempertimbangkan aspek fiqih. Hal ini terlihat dalam pemikiran Abdurrahman Wahid yang mengajukan dalil agar kebijaksanaan pemerintah harus senantiasa disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan fiqih, dalam kaidah fiqihnya “Tas}araf al Ima>m manu>t}un bi al-Mas}lahah” (kebijaksanaan kepala pemerintah harus mengikuti kesejahteraan rakyat)”.
Pokok pikiran kedua aliran ini, baik modernisme maupun neo-modernisme dalam memandang agama dan negara sudah tentu berbeda, karena secara teoritis dalam konteks agama dan negara kedua pemikiran tersebut memang terbagi dua, yakni idealistik dan realistik. Dalam kerangka pemikiran idealistik dirumuskan sebuah sistem negara yang sepenuhnya berdasarkan wawasan Islam. Kelompok inilah yang kemudian menggunakan Islam sebagai “tawaran alternatif” dan selanjutnya penyusun kategorikan dalam “kelompok modernis”. Sementara pemikiran realistik lebih tertarik menempatkan Islam sebagai “faktor komplementer”, yang menekankan pada substansi bukan sebuah bentuk formal, dan kemudian penyusun kategorikan sebagai kelompok neo-modernisme.
Sebenarnya kedua kelompok di atas sama-sama menyadari bahwa di dalam al-Qur’an maupun Sunnah memang tidak ada yang menyatakan untuk mendirikan negara Islam, akan tetapi dalam aksi politiknya masing-masing berbeda. Kelompok modernis lebih suka menggunakan pendekatan Islam politik dalam kehidupan bernegara, karena untuk memberlakukan syari’ah pasti membutuhkan kekuatan politik dan yang memiliki kekuatan itu adalah negara, sedangkan negara dalam pandangan mereka adalah penjaga syari’ah. Sementara generasi kedua, neo-modernisme tidak tertarik dengan pendekatan Islam politik tetapi lebih pada Islam kultural, yang menempatkan syari’ah sebagai tata nilai masyarkat dalam kehidupan bernegara, karena pada dasarnya agama adalah urusan pribadi yang tidak bisa diintervensi siapapun.
Dari uraian di atas, bisa dimengerti mengapa persoalan agama dan negara di Indonesia selalu menjadi pembicaraan hangat di kalangan intelektual muslim kita. Ini tidak lain karena pengaruh geneologi pemikiran yang melatarbelakangi keduanya, baik itu faktor organisasi ataupun studi yang dijalaninya.
BAB III
POKOK-POKOK PEMIKIRAN
M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID
TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA
Sketsa Biografi M. Natsir
1. Latar Belakang Sosial Politik
Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, nama M. Natsir tidak pernah luput dari pembahasan. Selain seorang tokoh yang gigih memperjuangkan cita-cita Islam, dia juga dikenal sebagai bapak pemersatu bangsa karena mosi yang dilontarkannya dalam Sidang Parlemen RIS 3 April 1950, yang kemudian dikenal dengan Mosi Integral Nastir. M. Natsir berasal dari Sumatera Barat, daerah yang memang banyak memunculkan tokoh-tokoh pembaharu nasional, baik dalam bidang politik, pendidikan, maupun keagamaan. Diantaranya: Imam Bonjol, HAMKA, Haji Agus Salim, Muhammad Hatta, dan Sutan Sjahrir.
Secara tidak langsung, masyarakat Minangkabau telah akrab dengan dunia politik, budaya dan agama. Hal ini bisa dilihat dari masyarakatnya sendiri yang terdiri dari sejumlah republik (negeri-negeri), dan dibentuk sesuai tradisi kepala kelompok suku keluarga yang didasarkan pada suatu sistem Matriarchat. Di sisi lain adat-istiadat, suku juga sangat dipertahankan, terutama oleh golongan adat atau kaum tradisionalis.
Akibat tradisi keagamaan yang berlangsung di daerah itu, melahirkan para gerakan pembaharu Islam, mereka adalah ulama muda yang dipengaruhi oleh gerakan Wahabi di Arab Saudi dan gerakan pembaharuan Islam Mesir. Bahkkan di antara mereka itu ada yang berguru secara langsung kepada tokoh-tokoh Wahabi, dan dipengaruhi kuat dengan gagasan-gagasannya M. Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh. Salah satu tuntutan gerakan ini adalah pemurnian ajaran Islam (purifikasi).
Menurut Mahmud Yunus, awal timbulnya aliran pembaharuan Islam ini disebabkan beredarnya buku yang mengecam ulama dengan melarang berdiri waktu membaca “Maulid Nabi” (waktu Marh}aban) dan melafalkan Us}alli ketika niat sholat. Deliar Noer menambahkan, selain dua masalah di atas Syeikh Ahmad Khatib selaku penulis buku tersebut, juga menentang keras praktik T{ariqah Naqsabandiyyah dan peraturan-peraturan adat tentang warisan. Padahal kedua praktik itu telah menjadi tradisi masyarakat setempat.
Gerakan pembaharuan ini, menurut penyusun membawa implikasi besar dalam kehidupan masyarakat. Pertama, gerakan ini menimbulkan reaksi keras dari kalangan tradisionalis dan Kepala suku. Akibatnya masyarakat terpolarisasi menjadi kaum adat dan puritan. Kedua, gerakan ini membawa perubahan-perubahan positif bagi kehidupan keagamaan masyarakat Minangkabau, sehingga mengkondisikan lahirnya institusi keagamaan. Seperti yang di tulis Mahmud Yunus bahwa ada sisi positif dari dealektika dikotomi di atas, antara lain:
“Dari kalangan pembaharu melahirkan Sumatera Thawalib, majalah al-Munir, al-Bayan, al-Imam al-Basyir dan al-Ittiqan, sedangkan dari kalangan tradisional ada Tarbiyah Islamiyah dan majalah al-Mizan. Kedua golongan itu juga berlomba-lomba menyelidiki, membahas, mendalami ilmu-ilmu agama, dan mencari dalil untuk memperkuat fakta masing-masing, akibatnya ilmu agama semakin berkembang di Minangkabau dan melahirkan banyak madrasah agama.”
M. Natsir lahir pada tgl 17 Jumadil Akhir 1326 H, bertepatan dengan tanggal 17 Juli 1908 di Jembatan Berukir Alahan Panjang, Kabupaten Solok. Ia merupakan anak ketiga dari pasangan Idris Sutan Saripado Dan Khadijah, pola pemikirannya sedikit banyak dipengaruhi dengan kondisi sosiologis di mana ia tumbuh, yakni saat masyarakat Minangkabau bersemangat bangkit melawan politik kolonial dan mengadakan perubahan doktrin keagamaan.
Pendidikan formalnya ditempuh di HIS (Holland Inlandische School) Adabiyah dan Madrasah Diniyah Solok pada tahun 1916-1923. setelah lulus dari HIS ia melanjutkan ke MULO (Meer Uitgerbreid Lager Onderswij) Padang. M. Natsir mulai terlibat organisasi sejak di MULO, awalnya ia masuk Jong Sumatranen Bond di Padang, dan kemudian beralih ke Jong Islameten Bond (JIB), kedua organisasi tersebut diketuai oleh Sanusi Pane. Pada Juli 1927 ia tamat dari MULO dan melanjutkan ke AMS (Algemene Middelbare School) dengan jurusan sastra Barat (Eropa) klasik di Bandung.
Jika dilihat dari jenjang pendidikannya, M. Natsir tampak menguasai bahasa-bahasa Eropa tersebut, dengan demikian bisa dipastikan kalau ia tidak banyak mengalami kesulitan dalam memahami karya-karya bangsa Eropa, di antaranya sejarah, filsafat, sastra, politik dan orientalisme. Selain itu, M. Natsir sendiri mengakui bahwa bahasa-bahasa Eropa; Belanda, Inggris dan sebagainya memang banyak membantu kecerdasan bangsa Indonesia.
Namun demikian, ia juga mempunyai kepedulian khusus terhadap karya-karya klasik ulama Islam yang berbahasa Arab. Baginya bahasa Arab bukanlah bahasa agama semata, bukan satu dialek atau salah satu bahasa propinsi, malainkan suatu bahasa dunia yang merupakan kunci dari berbagai pengetahuan yang kaya raya untuk mengutarakan suatu pengertian, dari yang mudah sampai yang sesulit-sulitnya atau dari yang bersifat Maddah (konkrit) sampai yang bersifat Ma‘nawi (abstrak), oleh sebab itu baginya bahasa Arab lebih kaya dari bahasa Eropa manapun juga.
Melalui bahasa arab tersebut, tidak heran juga kalau M. Natsir sangat tertarik dengan karya Ibnu Taimiyah dan Ibn Qayyim. Di samping itu ia juga tertarik dengan pemikiran-pemikiran keagamaan para tokoh modernis, seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ahmad Khan, dan Syed Amir Ali di Asia Selatan.
Pada dasarnya M. Natsir telah mengenal ajaran-ajaran Islam yang bercorak pembaharuan sejak usia muda, hal ini bisa dilihat dari pengaruh gurunya, Tuanku Mudo Amid, seorang pengikut gerakan pembaharuan Islam yang juga merupakan kawan dekat Haji Rasul yakni seorang tokoh pembaharu pemikiran di Minangkabau. Selain itu, M. Natsir mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Haji Abdullah Ahmad secara teratur, seorang tokoh pembaharu di Padang.
Pemikiran Natsir semakin berkembang ketika ia belajar pada tokoh utama Persis (Persatuan Islam) di Bandung , Ahmad Hassan, salah seorang pendiri organisasi Persis, selain Ahmad Hassan ada juga Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus yang ikut mendirikan organisasi tersebut, tanpa bermaksud memperkecil peranan Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus sebagai pelopor pendiri Persis, namun organisasi ini memang baru terlihat karakternya sebagai kubu gerakan muslim modernis pada waktu dipimpin oleh Ahmad Hassan.
Menurut M. Natsir ada dua alasan mengapa ia tertarik berguru pada Ahmad Hassan. Pertama, Hassan sangat menguasai berbagai ajaran Islam, hal ini terlihat bagaimana Hassan mampu menghadapi persoalan masyarakat muslim yang berkembang saat itu. Kedua, pendekatan Hassan terhadap kajian Islam sangatlah menarik bagi generasi muda muslim karena cara yang digunakan sangat berbeda dengan para ulama lainnya.
Selain pengaruh dari tokoh-tokoh di atas, kondisi sosial masyarakat Minangkabau juga ikut mempengaruhi corak pemikiran M. Natsir. Karena pada masa kecil, ia telah menyaksikan pertentangan antara kaum adat dan agamawan di daerahnya. Oleh sebab itu tidak menutup kemungkinan kalau pandangan Natsir tentang keagamaan nanti sedikit banyak terpengaruh dengan fenomena yang ia lihat sewaktu kecil, yaitu pertentangan antara kaum adat dengan kaum muslim puritan, yang kemudian ikut membentuk pemikirannya dalam menentang paham sekulerisme.
Pola pemikiran politik Natsir mulai terlihat khas ketika ia berdomisili di Bandung, di mana ia banyak terlibat dalam organisasi, di antaranya Jong Islamieten Bond (the Association of Muslim Youth) dan Persis (The Unity of Islam). JIB berdiri pada tanggal 1 Januari 1925, organisasi ini merupakan perkumpulan generasi muda muslim yang didirikan di Jakarta dan kemudian membuka cabang di daerah-daerah. Pada tahun 1929 M. Natsir menjadi anggota JIB cabang Bandung. Dan kemudian ia mengajar Islam di Hollands Inlandse Kweekkschool (HIK) atau sekolah guru dan MULO di kota ini juga.
Namun demikian, pengaruh Persis terhadap dirinya lebih dominan ketimbang JIB. Karena dalam Persis M. Natsir merasa lebih banyak mendapatkan teman yang dapat memecahkan masalah yang sedang berkembang dalam pemikirannya, khususnya dalam bidang politik dan agama. M. Natsir mempunyai hubungan yang dekat dengan tokoh-tokoh Persis, apalagi ia juga sangat tekun dalam mengikuti kelas khusus yang memang diperuntukkan anggota muda Persis oleh Hassan, terutama yang sedang belajar di sekolah menengah Belanda.
Ditambah lagi, adanya majalah Persis Pembela Islam yang memberinya kesempatan untuk menuangkan pendapat-pendapatnya dalam bentuk tulisan, selain itu yang menarik bagi Natsir adalah perhatian besarnya Persis pada kegiatan-kegiatan pendidikan, tabligh dan publikasi. Yang semuanya itu mengantarkannya sebagai pejuang, negarawan, dan agamawan di negara Republik Indonesia ini. Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa Persis merupakan wahana awal yang menjadikannya sebagai tokoh nasional, karena melalui kegiatan yang dipelopori Persis seperti tablig, penerbitan majalah, buku, dan pendidikan itulah ia berkesempatan terjun langsung sebagai juru bicara, pendidik, dan team redaksi Pembela Islam.
Selain pengalaman organisasi di atas, secara akademis ia juga terlihat lebih serius dalam mempelajari ilmu pengetahuan Barat di AMS Bandung daripada sebelumnya, di sekolahan ini ia telah banyak mempelajari berbagai aspek sejarah peradaban Islam, Romawi, dan Yunani dengan menggunakan literatur yang berbahasa Arab, Prancis dan Latin.
Jadi bisa dikatakan bahwa dalam usia yang relatif muda (21 tahun) Natsir telah menguasai lima bahasa asing (Belanda, Arab, Inggris, Prancis, dan Latin), dengan demikian tidak heran apabila ia dengan mudah menjelajahi dunia intelektual. Melihat kecerdasan yang dimiliki Natsir, Pemerintah Belanda sempat menawarkan sebuah beasiswa untuk mengantarkannya ke Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta atau Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam Belanda, tetapi ia menolak tawaran beasiswa tersebut karena kecintaannya terhadap studi keislaman saat itu.
Kesadaran Natsir untuk menentang sistem kolonial Belanda, mulai terlihat saat ia mengkritik pandangan guru Belandanya yang menganggap bahwa sistem kerja kolonial di pabrik-pabrik gula di Jawa telah banyak memberi keuntungan kepada petani. Menurut M. Natsir yang mendapat keuntungan bukanlah petani melainkan para pemilik modal dan bupati yang memaksa rakyatnya untuk menyewakan tanah mereka dengan sewa rendah. Dan justru sistem inilah menurutnya yang membuat petani semakin menderita karena tidak pernah bebas dari beban-beban hutang.
Inilah awal perlawanan Natsir terhadap kolonial Belanda, ia mulai berontak akan penindasan yang dilakukan Belanda atas bangsanya. Dari peristiwa tersebut, ia terdorong untuk mempelajari politik lebih dalam, ia sadar bahwa untuk melawan tirani kolonialisme sangat ditentukan oleh perjuangan politik rakyat. Oleh sebab itu bisa dimungkinkan bahwa pemikiran politik Natsir pasca kemerdekaan juga dipengaruhi atas perjuangan politiknya ketika memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini melawan bangsa kolonial.
Sedangkan Peristiwa lain yang juga memperkuat cita-cita politik keislaman Natsir pada periode ini adalah responnya terhadap kalangan nasionalis netral agama atau yang biasa dikenal dengan sebutan kalangan sekuler, yang dipelopori oleh PNI dengan tokoh utamanya Ir. Soekarno, Tjipto Mangunkusumo dan lain-lain. Organisasi ini berbasiskan anggota di Bandung, tempat di mana Natsir mengembangkan pemikiran politik dan agamanya. Sebagai aktivis Persis yang bermukim di kota tersebut, M. Natsir tertarik dan seringkali mengujungi propoganda PNI yang dikampanyekan Soekarno, hanya saja ia tidak suka ketika kampanye PNI merendahkan aturan-aturan agama.
Perbedaan ideologi politik itulah, yang kemudian mempengaruhi perdebatan keras di antara keduanya dalam menentukan bentuk dan dasar negara, setelah kemerdekaan Indonesia ini tercapai. Dan selanjutnya, yang perlu dicermati setelah kondisi di atas adalah keterlibatan Natsir dalam mendirikan partai Islam di Indonesia yaitu Masyumi. Partai ini didirikan pada tanggal 7 Novemper 1945 dalam kondisi revolusi yang bergolak untuk menentang tentara kolonial yang hendak kembali lagi ke Indonesia.
Menurut Yusril Ihza Mahendra, ide pembentukan partai ini datang dari sejumlah tokoh politik dan pergerakan sosial keagamaan Islam Indonesia yang telah aktif sejak zaman Belanda. Di antaranya adalah Haji Agus Salim, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid Hasyim, Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Dr. Sukiman Wiryosajoyo, Ki Bagus Hadikusumo, Mohammad Mawardi, dan Dr. Abu Hanifah.
M. Natsir sendiri pernah memimpin partai ini selama beberapa periode, dalam pidatonya yang disampaikan pada hari jadinya Masyumi yang kesebelas (7 november 1956), ia menyampaikan bahwa Masyumi didirikan atas hasrat umat Islam yang diwakili oleh para tokoh Ulama dan Zuama dari seluruh kepulauan Indonesia di ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta.
Dalam organisasi partai tersebut, pada tahun 1945, M. Natsir masih menjadi anggota, selanjutnya pada tahun 1945 ia dipilih sebagi ketua sampai lima kali berturut-turut dari tahun 1951, 1952, 1954, dan 1956. Masyumi merupakan partai Islam yang asalnya terdiri dari empat macam organisasi masyarakat yang bernafaskan Islam, yaitu Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Perikatan Umat Islam, dan persatuan Umat Islam Indonesia.
Namun demikian, pada bulan April 1952 Nahdlatul Ulama sebagai Organisasi Masyarakat terbesar di nusantara ini, yang sekaligus menjadi salah satu anggota Partai Masyumi sebelumnya, akhirnya memisahkan diri dari keanggotaan partai tersebut dan kemudian mendirikan partai politik sendiri.
2. Pemikiran M. Natsir tentang Relasi Islam dan Negara.
Dalam pidatonya di Pakistan, M. Natsir menyatakan dengan tegas bahwa Indonesia merupakan negara Islam, meskipun tidak disebutkan dalam konstitusi, Islam adalah agama negara. Baginya secara de facto sudah pasti menunjukkan bahwa Islam diakui sebagai agama dan anutan jiwa bangsa Indonesia, bahkan lebih dari itu persoalan kenegaraan di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari agama.
Menurut A. Muchlis, M. Natsir beranggapan bahwa urusan kenegaraan pada dasarnya merupakan bagian integral Islam, yang di dalamnya mengandung falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, Fasis Atau Komunisme. Dengan berdasarkan H{ujjah nas} al-Qur’a>n yang dianggapnya mendukung pendapatnya tentang Islam sebagai dasar negara, Natsir menyebutkan :
و ماخلقـت الجن و الإنس إلا ليعبـد ون (الذاريات:٥٦)
Jadi, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang muslim di dunia ini hanyalah ingin menjadi hamba Allah dengan arti yang sepenuhnya, agar mendapat kejayaan dunia dan akhirat kelak.
Namun demikian, untuk mencapai kejayaan tersebut, menurut M. Natsir Allah telah memberikan aturan-aturan kepada manusia, yakni :
Aturan atau cara kita berlaku berhubungan dengan Tuhan yang menjadikan kita, dan cara kita berhubungan dengan sesama manusia. Di antaranya aturan-aturan yang berhubungan dengan sesama manusia, yang kemudian di antara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah sesama makhluk itu, diberikan garis-garis besarnya seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang, yang saat ini diistilahkan dengan urusan kenegaraan.
Untuk melacak pemikiran M. Natsir tentang negara, menurut Ahmad Suhelmi ada dua faktor yang perlu diperhatikan. Pertama, faktor sosial politik pada tahun 1940-an yang memunculkan polemik dan pertarungan ideologi antara kaum nasionalis Islam dengan nasionalis sekuler. Kedua, faktor emosional Natsir selaku tokoh negarawan muslim saat itu, akhirnya melahirkan gagasan-gagasan yang cukup reaksioner terhadap pemikiran Soekarno yang cenderung sekuler.
Sedangkan dalam konteks eforia politik Islam saat itu, wacana tersebut juga sedang hangat diperdebatkan di Timur Tengah karena isu tentang sekulerisme juga sangat kuat di sana. Yakni pemisahan antara agama dan negara seperti halnya yang diterapkan Kemal Fasya di Turki.
Oleh sebab itu, tidak menutup kemungkinan bahwa pemikiran-pemikiran Soekarno banyak dipengaruhi oleh sekularisasi yang sedang terjadi di Turki, dan di sisi lain, M. Natsir juga berkeinginan memposisikan Indonesia seperti Pakistan yang telah menjadi Republik Islam, meskipun dengan cara memperkenalkan Pancasila yang sebelumnya ia tentang sendiri.
Di samping itu, banyaknya ide pembaharuan dari tokoh-tokoh Indonesia dan Timur Tengah yang melekat dalam jiwa Natsir, juga telah ikut mempengaruhi pemikirannya dalam menggagas kenegaraan dalam Islam. Khususnya dalam menyumbangkan pemikirannya tentang bentuk negara Indonesia yang ideal menurut Islam, Padahal saat itu Indonesia belum merdeka.
M. Natsir pernah menegaskan dalam pidatonya dalam sidang Pleno Konstituante 12 November 1957 bahwa mengenai dasar negara Indonesia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu Sekulerisme; tanpa agama (La> diniyyah) dan paham agama (Dini>). Dari pernyataan tegas Natsir tersebut bisa disimpulkan bahwa M. Natsir telah memberikan dua pilihan tersebut sebagai respon atas menguatnya dualisme pemikiran Islam saat itu antara yang menginginkan dasar negara Islam dan sekular.
Paham sekulerisme menurutnya sangat berbahaya dalam membentuk masyarakat ke depan, karena paham ini akan menagakibatkan manusia kehilangan pegangan hidup yang asasnya kokoh, yakni gampang terserang penyakit syaraf dan rohani, seorang sekulerisme memang beranggapan bahwa konsep tentang Tuhan adalah relatif, yakni ditentukan oleh keadaan masyarakat sendiri, bukan oleh Wahyu.
Sebagaimana yang ia katakan bahwa ajaran sekulerisme, selalu memandang remeh kehidupan agama, karena “menurunkan nilai-nilai hidup manusia dari taraf kehidupan kepada taraf kemasyarakatan semata-mata”.
Paham inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor yang menggerakkan fikiran Natsir, sebagai pemikir Islam. Dengan memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Selain itu berdasarkan atas alasan bahwa secara sosiologis, mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, dan masyarakat muslimlah yang mempunyai andil besar dalam mengusir penjajah dari bumi nusantara ini, di samping itu baginya ajaran Islam mempunyai sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dalam menjamin keragaman hidup antar berbagai golongan.
Adapun Thohir Luth, memandang bahwa alasan Natsir bersama-sama partai-partai Islam lainnya mengusulkan Islam sebagai dasar negara karena tiga hal. Pertama, adanya fakta sosiologis, yakni mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim. Kedua, adanya fakta normatif yang jauh sebelum Pancasila lahir, umat Islam di Indonesia telah menjadikan dan mengamalkan Islam dalam kehidupan sehari-harinya. Ketiga, adanya komitmen yang sangat kuat tentang Islam dalam diri Natsir, hal ini terbukti dalam pernyataannya yang memperjuangkan Islam sebagai pedoman kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Kalau kita meminjam perkataan seorang orientalis, H.A.R. Gibb, kata Natsir, maka kita dapat simpulkan bahwa Islam is much more than a religious system, it is a complete civilization, Islam itu lebih dari sebuah sistem peribadatan, ia merupakan suatu kebudayaan yang lengkap dan sempurna. Artinya Islam tidak hanya membicarakan persoalan keakhiratan unsich, melainkan juga masalah keduniawiaan, seperti masalah sosial politik, hukum dan pendidikan.
Bukan hanya itu, Natsir juga menyebutkan bahwa agama Islam adalah agama yang meliputi semua kaedah-kaedah, hudud-hudud (batas-batas) dalam muamalah (pergaulan) masyarakat, menurut garis yang telah ditetapkan oleh Islam. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa berdasarkan : pertama. Watak holistik Islam, kedua, keunggulan Islam atas ideologi dunia lain, dan ketiga, kenyataaan bahwa Islam dipeluk oleh mayoritas masyarakat Indonesia, Natsir dan teman-temannya mengusulkan agar Islam dijadikan ideologi bangsa Indonesia.
Sedangkan menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif menyatakan bahwa ketika Mohammad Natsir berbicara tentang kelebihan agama, mengemukakan dua premis pokok. Pertama, agama memberi kemungkinan lebih banyak kepada pemeluknya untuk mencari ilmu pengetahuan dan kebenaran; sedangkan dalam filsafat hanya mengakui tiga dasar berpikir tidak mengakui adanya wahyu, yaitu empirisme, rasionalisme dan intusionisme. Kedua, jangkauan agama meliputi seluruh aspek kehidupan.
Dari pandangan-pandangan tokoh dan pendapat Natsir sendiri, yang menyebutkan alasan historis sosiologis di atas; mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam, maka sangat ironis jika agama Islam menjadi minoritas di negara ini. oleh sebab, itu untuk memperkuat ajaran Islam dalam jiwa masyarakat muslim Indonesia, Islam perlu dijadikan dasar negara. apalagi dalam sejarah dinyatakan bahwa sejak Islam masuk di Indonesia telah menjadi salah satu sumber kekuatan politik di nusantara ini, ini terbukti dengan banyaknya kerajaan-kerajaan Islam yang hampir semuanya menjadikan Islam sebagai dasar ideologi kerajaan tersebut.
Menarik untuk dicermati kembali isi pidato Natsir, yang terkesan tidak konsisten dalam menyatakan alasan. Sebelumnya ia berpendapat bahwa sudah sewajarnya Islam dijadikan dasar negara karena secara sosiologis umat Islam di Indonesia memang mayoritas jumlahnya, sedangkan dalam kesempatan lain ia menyatakan:
“bukan semata-mata umat Islam adalah golongan terbanyak di kalangan rakyat Indonesia seluruhnya, kami memajukan Islam sebagai dasar negara kita, tetapi berdasarkan pada keyakinan kami bahwa ajaran-ajaran Islam yang mengenai ketatanegaraan dan masyarakat hidup itu mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat, serta dapat menjamin hidup keagaman atas saling harga menghargai antara berbagai golongan di dalam negara ini”.
Dengan usaha meyakinkan pada seluruh lapisan bangsa Indonesia, M. Natsir juga menyatakan dalam pidatonya, “kalau pun besar tidak akan melanda, kalupun tinggi malah akan melindungi”.
Sedangkan dalam sisi lain, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, bahwa pernyataan Natsir sebagai salah satu anggota Masyumi tentang maksud suatu negara akan bersifat Islam bukan berarti secara formal harus dinamakan negara Islam ataupun berdasarkan Islam, tetapi negara disusun sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, baik dalam teori maupun praktiknya. Dan mengenai dasar negara menurut Natsir dapat dirumuskan dalam klausul-klausul yang bersifat umum sepanjang mencerminkan kehendak-kehendak Islam.
Untuk menjelaskan sebuah negara, menurut Natsir tidak perlu memberi definisi panjang karena malah tidak akan menjelaskan pengertian apa-apa tentang negara ini, apalagi sudah terdapat banyak pandangan tokoh yang berlainan dalam hal ini di antaranya, Ibnu Khaldun, Machiavely, Hegel, Marx, Adam Smith, Robert Owen, Plato, Agustinus, Hobbes, Rosseau dan lain sebagainya.
Negara menurut Natsir adalah suatu institusi yang mempunyai hak, tugas dan tujuan khusus. Institusi secara umum adalah suatu badan atau organisasi yang mempunyai tujuan khusus dan dilengkapi oleh alat-alat material, peraturan-peraturan sendiri dan diakui oleh umum.
Lebih dari itu, Natsir menambahkan bahwa untuk sesuatu dinamakan institusi apabila :
a. Bertujuan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat di lapangan jasmani maupun rohani.
b. Diakui oleh masyarakat.
c. Mempunyai alat untuk melaksanakan tujuan.
d. Mempunyai peraturan-peraturan, norma-norma dan nilai-nilai tertentu.
e. Berdasarkan atas paham hidup.
f. Mempunyai keanggotaan.
g. Mempunyai daerah berlakunya.
h. Mempunyai kedaulatan atas anggotanya.
i. Memberikan hukuman terhadap pelanggaran atas peraturan-peraturan dan norma-normanya.
.
Maka negara sebagai suatu institutsi, menurutnya harus mempunyai: a) wilayah. b) Rakyat. c) Pemerintah. D) Kedaulatan. E) Undang-undang Dasar, atau suatu sumber hukum dan kekuasaan lain yang tidak tertulis. Melihat dari karakteristik yang disampaikan Natsir di atas, maka bisa dikatakan bahwa konsep negara yang dinyatakan termasuk syarat-syarat negara modern.
Menurutnya, dalam kenegaraan Islam memang hanya mengatur dasar dan pokok-pokoknya saja, seperti halnya kepentingan dan keperluan masyarakat manusia yang tidak berubah-ubah selama manusia masih bersifat manusia, baik itu manusia zaman unta, manusia zaman kapal terbang dan lain sebagainya.
Mengenai bersikerasnya M. Natsir dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara republik ini, karena ia berpandangan bahwa negara bisa menjadi alat yang kokoh bagi berlakunya hukum-hukum Islam. Dengan demikian negara hanyalah sebuah alat untuk mencapai tujuan, yakni mewujudkan ajaran-ajaran Islam.
Sebagaimana di atas, Natsir menegaskan bahwa negara bukanlah tujuan akhir Islam, melainkan hanya alat untuk merealisasikan aturan-aturan Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah, ia menyebutkan bahwa di antara aturan-aturan tersebut yaitu kewajiban belajar, kewajiban zakat, pemberantasan perzinaan dan lain-lain. Menurutnya negara di sini berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan “kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi,baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia sendiri,(sebagai individu) ataupun sebagai anggota masyarakat”.
Menanggapi statemen tentang tidak adanya doktrin agama yang menyuruh dan mendirikan negara sebagaimana dinyatakan oleh Soekarno, bahwa tidak ada ijma‘ ulama yang memerintahkan membentuk negara dibantah oleh Natsir, menurutnya pengutipan ijma‘ oleh Soekarno tentang masalah ini hanya mempersulit persoalan.
Menurut Natsir, ada atau tidak adanya Islam, eksistensi negara nerupakan keharusan di dunia ini dan di zaman apapun, mendirikan negara tidak perlu disuruh Rasulullah lagi, eksistensi negara telah ada sebelum dan sesudah Islam, Jadi dengan Islam atau tidak tetap saja merupakan sebuah negara.
Melihat pemikiran Natsir tentang dasar negara Indonesia di atas, menimbulkan kesan bahwa Natsir selama perjuangannya adalah anti Pancasila, padahal dalam pidatonya di depan Pakistan Institute of World Affairs pada 1952, sikapnya yang anti Pancasila berubah. Ia menyatakan bahwa:
Tidak diragukan lagi Pakistan adalah sebuah negeri Islam karena telah menyatakan Islam sebagai agama negara, begitu pula Indonesia, menurutnya negara ini juga negeri Islam, karena kenyataannya negara ini diakui sebagai agama rakyat, meskipun dalam konstitusi kami tidak dinyatakan tegas sebagai agama negara. Tetapi Indonesia tidak mengeluarkan agama dari sistem kenegaraan, bahkan kepercayaan tauhid (monothestic belief) telah ditempatkan pada tempat teratas dari sila Pancasila , yang berfungsi sebagai dasar etik, moral dan spritual bangsa dan negara kita.
Dalam tulisannya yang berjudul “Apakah Islam bertolak belakang dengan doktrin al-Qur’an ?”, Natsir mengatakan:
“Pancasila adalah formulasi lima cita-cita kebaikan sebagai hasil dari konsensus para pemimpin kita pada tahap perjuangan sembilan tahun yang lalu. Dan sebagai lima dasar kebaikan tidaklah bertentangan dengan al-Qur’an, kecuali apabila dimasuki oleh sesuatu yang tidak sesuai dengan al-Qur’an. Dalam pandangan umat Islam, rumusan Pancasila tidak memperlihatkan sesuatu yang asing dalam ajaran al-Qur’an, dan meskipun tidak identik dengan Islam itu sendiri, Pancasila telah mencakup cita-cita islam.
Dan kemudian ia menambahkan, Pancasila adalah manifestasi dari maksud dan cita-cita tentang kebaikan dimana kita akan melakukan setiap usaha untuk meletakannya ke dalam praktik negara kita.
Namun kemudian, Natsir terlihat inkonsisten dengan pendiriaannya, pada 1957 di sidang konstituante ia kembali menolak Pancasila sebagai dasar negara, karena ideologi ini dianggap sebagai hasil ciptaan manusia dan tergolong sekuler. Dalan hal ini Syafi’i Ma’arif memandang bahwa mungkin Natsir mengambil sikap keras dalam majelis karena telah terjadi pengaburan interprestai Pancasila yang dibuat-buat oleh masyarakat kita.
Bahkan dalam sidang konstituante tersebut, terang-terangan ia menyatakan bahwa sidang konstituante adalah forum tempat mengemukakan pendapat dan pikiran anggota secara lurus, jujur, dan mencerminkan pemikiran yang hidup di masyarakat. Oleh sebab itu ia beranggapan bahwa kesempatan inilah yang tepat untuk menolak Pancasila .
Menurut Njoto, salah satu tokoh komunis, mengatakan bahwa penerimaan Natsir terhadap Pancasila selama 12 tahun sebagai dasar dan ideologi negara sekedar “di bibir saja”, karena dalam majelis tersebut, ia sepenuhnya menolak Pancasila , dan bahkan mengusulkan Islam sebagai dasar dan ideologi negara.
Dan lebih keras lagi, Njoto menyerang pandangan Natsir di atas, dengan mempertanyakan mengapa Natsir dalam sidang-sidang majelis, memperlihatkan sikap-sikap “kejam” terhadap Pancasila dengan menyebutnya tidak berdasar, netral, dan streril yang sepenuhnya menolak Pancasila. Njoto kemudian mengajukan pertanyaan: Natsir yang mana yang harus diikuti, apakah Natsir pada tahun 1954 atau Natsir pada tahun 1957? Atau malah tidak kedua-duanya.
Sebagai seorang demokrat sejati Natsir harus menerima Pancasila sebagai dasar negara, yang telah diberlakukan sejak 1945 sampai tejadinya perdebatan ideologis di majelis konstituante 1957. Namun perlu diketahui bahwa apa yang dilakukan Natsir dalam sidang konstituante tersebut secara konstitusional adalah sah, karena pada saat itu majelis belum menetapkan dasar negara baru yang permanen. Dan sebagaimana tokoh politik yang lain, Natsir sebagai representasi dari pihak muslim berhak mengajukan Islam sebagai dasar negara melawan pendukung Pancasila dalam momen itu.
Perubahan sikap Natsir dalam sidang konstituante saat itu, menurut Deliar Noer dipicu oleh tiga alasan. Pertama, majelis konstituante merupakan forum tertinggi bagi para anggotanya untuk mengusulkan ideologi negara yang mereka yakini dan cocok untuk negara Indonesia. Kedua, dalam majelis, Natsir dan teman-temanya memikul tanggung jawab agama dan politik dalam memperjuangkan aspirasi politik umat Islam, yang menginginkan Islam sebagai dasar negara. Ketiga, sebagaimana wakil-wakil non muslim yang menjelaskan argumentasi usulan mereka, Natsir juga menjelaskan usulannya secara argumentatif pula.
Sementara mengenai sistem pemerintahan suatu negara, Natsir mengatakan boleh saja meniru negara non Islam asalkan tidak menyalahi ajaran-ajaran Islam, sebab dari syarat-sayarat negara yang ia sebut di atas adalah tidak sepenuhnya sistem negara Islam. Kemudian menyinggung soal nama penguasa negara, Natsir juga tidak bersikeras menggunakan istilah-istilah penguasa Islam, menurutnya boleh saja bernama khalifah, Amir al-Mu‘minin, presiden dan lain sebagainya.
Selain itu titel “kholifah” menurutnya tidak menjadi syarat mutlak dalam pemerintahan Islam, bukan conditio sine qua non, yang terpenting adalah seorang kepala negara tersebut sanggup bertindak bijaksana dan menerapkan peraturan-peraturan Islam dengan semestinya dalam susunan kenegaraan baik dalam kaidah maupun praktiknya. Dan untuk syarat sebagai kepala negara Islam, Natsir menilai dari sisi: agamanya, sifat dan tabi’atnya, akhlak dan kecakapannya dalam menjalankan kekuasaan yang diberikan kepadanya. Jadi, bukan dari bangsa dan keturunannya atau semata-mata keintelekannya saja.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, seorang kepala negara menurut Natsir, wajib bermusyawarah dengan orang-orang yang layak diajaknya dalam mengatur umat. Adapun untuk urusan-urusan yang di luar ketetapan agama, semua boleh diatur menurut keadaan zaman, dengan cara-cara yang Muna>sabah, dan tidak melanggar hukum-hukum yang telah ditetapkan.
Oleh sebab itu, Natsir membolehkan umat Islam untuk mencontoh sistem negara lain, dalam hal ini ia menuliskan:
Bila sudah ada sistem yang dikehendaki itu terdapat di negara-negara lain, kita orang Islam ada hak mencontoh negara itu selama tidak berlawanan atau bertentangan dengan aturan-aturan yang diadakan Islam. Sebab tiap-tiap hasil kebudayaan, bukanlah monopoli salah satu bangsa atau salah satu negara saja. Kita ada hak mengambil peraturan-peraturan yang baik, yang tidak berlawanan dengan agama kita, dari Inggris, Jepang, Rusia, atau dari Finlandia umpamanya.
Dengan demikian Natsir mengakui sistem pemerintahan sekular, sebab dari negara-negara yang ia sebut di atas adalah negara yang memisahkan agama dan negara. dan lebih spesifik, bisa dikatakan bahwa Natsir menganggap Islam tidak mempunyai sistem negara yang lengkap sehingga ia harus mencontoh Barat.
Lebih lanjut, Yusril Ihza Mahendra juga mengatakan hal yang sama, yakni contoh negara-negara yang disebutkan Natsir di atas sangatlah liberal, karena Jepang di masa itu adalah sebuah negara totaliter yang berhaluan fasis, apalagi Rusia adalah sebuah negara komunis. Contoh-contoh itu lanjut Yusril, sengaja ditunjukkan oleh Natsir, semata-mata ingin memeperlihatkan bahwa doktrin politik Islam itu bersifat terbuka untuk beradaptasi dengan sistem-sistem pemerintahan yang telah ada di dunia ini.
Namun demikian, ketika Natsir berbicara tentang sistem pemerintahan demokrasi, perlu dicermati lebih lanjut, sebab dalam pandangannya prinsip musyawarah dalam Islam tidak selalu identik dengan azas demokrasi, meskipun ia mengemukakan bahwa Islam anti Istiibdad (despostisme), anti absolutisme dan kesewenang-wenangan. Bukan berarti bahwa dalam pemerintahan Islam semua urusan diserahkan kepada keputusan majelis Syura, sebab Dalam parlemen negara Islam yang boleh dimusyawarahkan hanyalah masalah tata cara pelaksanaan hukum Islam (syari’at Islam), bukan dasar negaranya.
Dalam Islam pengertian demokrasi diartikannya suatu aturan yang memberikan hak kepada rakyat untuk mengkritik dan membetulkan pemerintahan yang zalim, kalau perlu menggunakan kekuatan dan kekerasan untuk menghilangkannya.
Natsir mengakui bahwa demokrasi itu baik, akan tetapi sistem kenegaraan Islam tidaklah menggantungkan semua urusannya kepada instrumen demokrasi, menurutnya demokrasi tidak kosong dari berbagai bahaya yang terkandung di dalamnya. Ia menyatakan bahwa perjalanan demokrasi dari abad ke abad telah memperlihatkan beberapa sifatnya yang baik. Akan tetapi bukan berarti ia lepas sama sekali dari pelbagai sifat-sifat bahaya.
Dengan tegas ia mengatakan bahwa Islam adalah suatu pengertian, suatu paham, suatu begrip sendiri, yang juga mempunyai sifat-sifat sendiri. Intinya “Islam tak usah demokrasi 100%, bukan pula otokrasi 100%, Islam itu…yah Islam”. Hal ini disebabkan karena politik tidaklah semata-mata harus didasarkan kepada kemauan mayoritas anggota parlemen. Keputusan itu tidak dapat melampaui H{udud (batas-batas) yang telah ditetapkan Tuhan.
Dari uraian di atas, Natsir tidak menjelaskan bagaimana sesungguhnya demokrasi dalam Islam. Namun kemudian dalam sidang konstituante 1957 ia memperkenalkan konsep demokrasi yang ia maksudkan, “Thestic Democracy”, yaitu demokrasi yang dilandasakan pada nilai-nilai ketuhanan. Maksudnya keputusan mayoritas yang berpedoman kepada nilai-nilai ketuhanan, yang kemudian ia anggap sebagai ijma’ yang mengikat untuk tempat dan zaman tertentu.
Oleh sebab itu, berangkat dari pandangan-pandangan Natsir di atas dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa hubungan Islam dan negara tidak dapat dipisahkan, dan secara tersurat ia mendukung Islam dijadikan ideologi negara. kesimpulan tersebut bisa dilihat dari pernyataannya bahwa:
Fungsi agama dalam negara sangatlah penting dan tidak boleh diabaikan sama sekali, lebih lanjut ia mendefiniskan persatuan agama dan negara. Bagi kita kaum muslimin negara bukanlah suatu badan tersendiri yang menjadi tujuan, melainkan sebuah alat. Persatuan tersebut bukanlah dimaksudkan bahwa agama itu cukup dimasuk-masukkan saja di sana sini kepada negara, bukan begitu!
Dan urusan kenegaraan pada dasarnya adalah satu bagian yang tak dapat dipisahkan, satu “intergreerend deel” dari Islam. Yang menjadi tujuan adalah kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan manusia sendiri (individu), ataupun sebagai masyarakat .
Dan pada intinya. Pertama, sistem ketatanegaraan dalam pandangan Natsir boleh meniru bentuk mana saja (Barat), asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kedua, menurutnya, hubungan agama dan negara dalam politik Islam tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sebab Islam tidak seperti agama yang lain. Islam baginya telah menyediakan perangkat dasar yang dapat diterapkan sesuai zamannya. Ketiga, berdasarkan fakta di atas, Natsir sebagai tokoh muslim tampak ingin sekali menjadikan Islam sebagai dasar negara Indonesia.
Kemudian, Natsir juga menghimbau kepada kaum muslimin agar dalam masalah persatuan atau pemisahan agama dan negara ini tidak menjadikan “sejarah sebagai ukuran” kebenaran terakhir.
Sketsa Biografi Abdurrahman Wahid
1. Latar Belakang Sosial Politik
Berbeda dengan Natsir, Abdurrahman Wahid lahir dari latar belakang kalangan tradisional, sejak kecil ia dididik dan dibesarkan dalam naungan keluarga ulama. Kakeknya adalah seorang pelopor pesantren Tebuireng, Jombang dan sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari.
Pada saat usia kanak-kanak ia tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya, Gus Dur tidak memilih tinggal bersama ayahnya, tetapi ikut bersama kakeknya. Dan saat tinggal serumah dengan kakeknya itulah, ia mulai mengenal politik dari orang-orang yang tiap hari hilir mudik di rumah kakeknya.
Tahun 1950, Gus Dur dan saudara-saudaranya harus pindah ke Jakarta, sebab saat itu bapaknya dilantik menjadi menteri agama Republik Indonesia. Sehingga mengharuskannya bermukim di Jakarta. Keluarga Gus Dur tinggal di Hotel Des Indes yang sekarang menjadi pusat pertokoan Duta Merlin. Karena kedudukan bapaknya ini pulalah, ia semakin akrab dengan dunia politik yang ia dengar dari rekan-rekan ayahnya saat bincang-bincang di rumahnya itu. Lagi pula, Gus Dur termasuk anak yang sangat peka mengamati dunia sekelilingnya. Maka tak heran menurut pengakuan ibunya, “sejak usia lima tahun, dia sudah lancar membaca, dan gurunya saat itu adalah bapaknya sendiri”.
Selain membaca buku, Gus Dur mempunyai hobi lain, yaitu: main bola, catur, musik, dan nonton film. Di usia yang masih belasan tahun ia sudah banyak menghabiskan segala macam majalah, buku, surat kabar. Mulai dari filsafat, sejarah, agama, cerita silat, dan fiksi cerita. Buku-buku itu bisa ia dapatkan dari perpustakaan pribadi bapaknya, yang memang terdapat berbagai macam buku yang dikoleksinya, baik buku yang diterbitkan oleh orang-orang katolik atau non muslim lainnya.
Sementara itu, perkenalannya dengan musik dimulai lewat pertemuannya dengan seorang pria Jerman, teman baik bapaknya yang telah berpindah ke agama Islam dan dipanggil dengan nama Williem Iskandar Bueller. Dan dari sinilah pertama kali Gus Dur tertarik dan mencintai musik klasik, khususnya karya Bethoven.
Kegemaran Gus Dur terhadap berbagai hal tersebut, membuat sekolah formalnya terganggu, bahkan sampai membuatnya tidak naik kelas di sekolah menengah ekonomi pertama (SMEP). Ini disebabkan sangat gandrungnya ia dalam menonton sepak bola dan membaca buku, di samping itu juga karena ia masih dalam keadaan sedih karena kehilangan bapaknya saat kecelakaan mobil tanggal 18 April 1953.
Gus Dur dilahirkan di Denanyar, Jombang, pada tanggal 4 sya’ban menurut penanggalan Islam, yang kemudian bertepatan dengan tanggal 7 September 1940 M. Namun demikian perayaan hari kelahirannya selalu diadakan pada tanggal 4 Agustus, hal ini memang aneh, sebagaimana terlihat dalam aspek kepribadiannya yang nyleneh pula, seringkali mengundang kontroversial.
Ditilik dari geneologi keluarganya, Gus Dur termasuk dari golongan “darah biru” pesantren. Ia merupakan anak dari K.H. Abdul Wahid Hasyim, yang ia sendiri merupakan anak dari Hadratu al-Syaikh Hasyim Asy’ari, pendiri pesantren Tebuireng, Jombang. Sementara ibunya, bernama Nyai Hj. Siti Salekhah yang merupakan anak dari K.H. Bisri Syamsuri, pendiri pesantren Denanyar, Jombang. Dan kedua kakeknya itu dikenal sebagai Founding Father NU di samping K.H. Wahab Hasbullah.
Walupun bapaknya seorang menteri dan terkenal di lingkungan Jakarta, Gus Dur tidak ingin sekolah di sekolahan elit yang biasanya dimasuki anak-anak pejabat pemerintah, ia lebih menyukai sekolah-sekolah biasa, menurutnya sekolahan elit membuatnya tidak betah.
Gus Dur memulai pendidikan formalnya di Sekolah Rakyat (SD) KRIS, di Jakarta Pusat. Ia hanya mengikuti kelas tiga dan empat di sekolahan ini, karena kemudian ia pindah ke Sekolah Dasar Matraman Perwari, yang terletak di dekat rumah keluarganya yang baru di Matraman, Jakarta Pusat.
Pada tahun 1953, Gus Dur tamat dari sekolah dasarnya di Jakarta. Lalu setahun setelah tamat SD, pada tahun 1954 ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta dan berhasil menamatkannya pada tahun 1956. Di kota ini persisnya di desa Kauman, Gus Dur bermukim di rumah salah seorang teman ayahnya, Kiai Junaidi, seoarang ulama kecil yang terlibat dalam gerakan organisasi Muhammadiyah. Bahkan Lebih dari itu, ia juga termasuk anggota Majelis Tarjih (Dewan Penasihat Agama Muhammadiyah). Selain itu, Gus Dur juga mengaji tiga kali seminggu di pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, di bawah asuhan K.H. Ali Maksum.
Ketika di Jakarta, Gus Dur sudah mampu berbicara bahasa Inggris dengan baik dan bisa membaca tulisan dalam bahasa Prancis dan Belanda, serta sudah mengerti bahasa Arab tetapi masih pasif. Namun ketika ia belajar di kota Yogyakarta, perkembangan bahasanya berkembang cepat. Bagi Gus Dur yang suka membaca buku, Jogja merupakan kota pembawa berkah bagi perkembangannya.
Setelah tamat dari SMEP di Yogyakarta pada tahun 1957, Gus Dur mulai mengikuti pelajaran pesantren secara penuh, tepatnya di pesantren Tegalrejo Magelang, yang terletak di sebelah utara kota Yogyakarta. Ia belajar di pesantren ini dari tahun 1957-1959 pada Kiai Khudori, salah satu pemuka NU.
Kemudian pada tahun 1959, Gus Dur pindah ke pesantren Tambak beras Jombang. Di bawah bimbingan Kiai Wahab Chasbullah, sampai pada tahun 1963. Di sini ia sempat mengajar dan menjadi kepala sekolah, namun kemudian Gus Dur pindah lagi ke pesantren Krapyak Yogyakarta dan tinggal di rumah Kiai Ali Ma’shum. Pada masa-masa itulah (sejak akhir 1950-an sampai 1963) Gus Dur mengalami konsolidasi dalam studi formalnya tentang Islam dan sastra Arab klasik.
Di samping itu, perpindahannya dari Yogyakarta ke Magelang dan kemudian ke Jombang, yang dalam proses pertumbuhan dari kanak-kanak menjadi remaja, menjadikannya mulai serius memasuki dunia bacaan: tokoh-tokoh teori sosial Eropa dan novel-novel besar Inggris, Parancis dan Rusia. Sebagai seorang remaja ia mulai mencoba memahami tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles, dua pemikir penting bagi sarjana-sarjana mengenai Islam zaman pertengahan.
Pada saat yang sama ia juga tertarik menggeluti karya Das Kapital yang ditulis oleh Marx dan What is Tobe Done nya Lenin. Kedua buku itu menurutnya gampang diperoleh, karena saat itu partai komunis Indonesia membuat kemajuan besar. Di samping itu ia juga tertarik pada ide Lenin tentang ketelibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile Communism (kekiri-kirian Penyakit Kekanak-kanakan) dan dalam Little Res Book-Mao (kutipan kata-kata ketua Mao).
Setelah menimba ilmu dari pesantren-pesantren di atas, pada tahun 1964 Gus Dur memperoleh kesempatan belajar ke Universitas al-Azhar Kairo Mesir, melalui beasiswa Departemen Agama. Saat itu ia sedang berumur 23 tahun, dan telah menyelesaikan gramatika bahasa Arab sebanyak 1000 bait (Alfiah) di luar kepala. Di negeri ini, Gus Dur mengambil spesialisasi bidang Syari’ah. Namun, ia merasa tidak betah belajar di sini karena materi yang diajarkannya tidak jauh berbeda dengan apa yang ia dapatkan di pesantren dulu.
Oleh sebab itu, di Mesir Gus Dur lebih memilih aktif di organisasi Perhimpunan Mahasiswa Indonesia daripada menekuni belajarnya. Dengan demikian, sebagian waktunya ia habiskan untuk membaca di perpustakaan terkenal di kota itu, American University Library, sebuah perpustakaan terlengkap di kota Kairo dan waktu lebihnya ia manfaatkan menonton film. Namun demikian bukan berarti Gus Dur kecewa sepenuhnya kepada institusi al-Azhar, karena di kota ini ia juga banyak memanfaatkan kelompok diskusi dengan para intelektual muda Mesir untuk bertukar fikiran, di samping menonton kegemarannya film-film Prancis dan sepak bola.
Dari Kairo Gus Dur pindah ke Irak, untuk mengikuti kuliah di Universitas Baghdad, Fakultas Sastra, selama empat tahun. Di sini ia banyak belajar tentang sastra dan kebudayaan Arab, filsafat Eropa dan teori sosial. Menurut pengakuannya ia sangat senang dengan sistem Universitas Baghdad ini karena kampus tersebut jauh lebih mirip Eropa daripada al-Azhar Kairo, selain itu Gus Dur juga pernah menjadi ketua Perhimpunan Mahasiswa Indonesia Timur Tengah dari tahun 1964 sampai 1970.
Di negeri inilah bakat empirismenya tumbuh pesat, lingkungan baru ini juga membantunya banyak membaca karya-karya pemikiran seperti pemikiran Emile Durkhim. Minatnya tentang Indonesia juga mulai tumbuh di Universitas tersebut, sebab referensi buku tentang Indonesia cukup banyak tersedia di sana. Dan akhirnya di univesitas Baghdad ini pulalah ia diminta untuk meneliti asal-usul historis Islam di Indonesia.
Lalu pada tahun 1971, Gus Dur melanjutkan petualangannya ke negeri Eropa dengan harapan bisa belajar di salah satu universitas di sana, tetapi harapan ini sukar terwujud, karena background studinya di Kairo dan Baghdad tidak diakui di Eropa. Ia juga sempat bermaksud pergi ke McGill Univesity di Kanada, untuk belajar program studi Islam yang sangat diseganinya. Tapi tidak kesampaian karena ia lebih memilih balik ke Indonesia. Tetapi, kemudian ia memutuskan untuk tetap tinggal di Indonesia saja, sebagian karena diilhami oleh berita-berita perkembangan baru dunia pesantren yang menggembirakan.
Setelah itu, akhirnya Gus Dur kembali lagi ke Indonesia dan kehidupan pesantren. Pada tahun 1972-1974, ia menjadi dosen dan dekan Fakultas Ushuluddin di Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY), yang sekarang menjadi Institut Keislaman Hasyim Asy’ari (IKAHA), Jombang. Kemudian dari tahun 1975-1979, ia menjadi sekretaris umum pondok pesantren Tebuireng, Jombang.
Selama periode ini, Gus Dur juga banyak terlibat dalam kepemimpinan nasional NU. Sampai akhirnya pada tahun 1979 ia hijrah ke Jakarta, dan mengawali kariernya di PB NU sebagai katib awal Syuriah NU, dan menjadi dosen IAIN Syarif Hidayatullah, sebelum akhirnya mendirikan Pesantren Ciganjur, di Jakarta Selatan. Selain itu, ia juga banyak terlibat dalam berbagai proyek dan aktivitas di Jakarta termasuk mengajar di dalam program pelatihan bulanan kependetaan Protestan.
Setelah menetap di Jakarta, secara teratur ia melakukan kontak dengan intelektual muslim progresif di Jakarta, seperti Nurcholish Madjid dan Djohan Effendi untuk ikut bergabung dalam forum diskusi dan lingkaran studi mereka. Meskipun latar belakang pendidikannya berbeda, akan tetapi Gus Dur jauh lebih siap untuk menggagas wacana agama yang bercorak liberal.
Rentetan petualangan pendidikannya di atas, telah menjadikannya sebagai tokoh intelektual yang berfikiran liberal, longgar dan moderat. Bahkan menurut Greg Barton, meskipun Gus Dur tidak pernah menempuh pendidikan formalnya di Barat, akan tetapi sikap dan pemikirannya jauh lebih siap untuk berpartisipasi dalam wacana-wacana besar mengenai pemikiran Barat, pendidikan Islam dan masyarakat muslim. Selain belajar secara otodidak, studinya di Baghdad juga banyak memberikan dasar-dasar yang baik mengenai wacana liberal yang bercorak Barat dan sekular.
Karena sikap liberal, progresif dan inklusif inilah, kemudian ia diberi kepercayaan untuk menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 1982-1985. Ia juga pernah menjadi juri pada Festifal Film Indonesia, yang saat itu masih dianggap tabu oleh kaum santri (NU). Sikap dan pemikiran Gus Dur semakin liberal dan progresif ketika dipercaya menjabat ketua PBNU pada tahun 1984, hal ini bisa dilihat dari gagasan-gagasannya, seperti Pribumisasi Islam, orang-orang non muslim menjadi presiden Indonesia, rukun tetangga (sosial), dan lain sebagainya.
Kemudian dari tahun 1985 hingga 1990 ia berkhidmat dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan sejak tahun 1994 ia menjadi penasehat International Dialogue Foundation on Perspective Studies of Syari’ah and Secular Law, di Den Haag.
Namun sebelumnya dalam periode yang sama tahun 1993, Gus Dur dinobatkan sebagai seorang yang layak menerima piagam “Ramon Magsasay” dan hadiah senilai 50.000 dollar AS, sebuah penghargaan bergengsi yang diberikan pada tokoh Asia karena dinilai telah memberi kemajuan yang khas bagi bangsanya. Bersamaan pada periode itu, Gus Dur juga terlibat dalam aktivitas-aktivitas sosial, seperti LSM Fodem (Forum Demokrasi), di sini ia menjabat sebagai ketuanya.
Karena kritik politiknya terhadap kediktatoran negara dan gagasan-gagasannya yang berkaitan dengan demokrasi, pluralisme agama, kebebasan berpendapat, dan pribumisasi Islam, telah mendapat respon dari kalangan luas (sejak tahun 1980-an sampai 1990-an), maka tidak aneh saat reformasi 1998 terjadi, ia dijuluki sebagai salah satu tokoh pembawa gerbong reformasi.
Akhirnya pada tahun 1998 pasca reformasi, Gus Dur yang saat itu masih aktif menjabat ketua umum PBNU mendirikan sebuah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), pada tanggal 23 Juli 1998, dengan menyatakan bahwa PKB bukanlah Partai Islam dan merupakan partai yang menginginkan negara sekuler. Dengan dukungan PKB dan Partai-Partai Islam yang dinamakan “poros tengah” saat itu, telah berhasil mengantarkannya pada kursi kepresidenan pada tahun 1999 di masa reformasi ini.
Terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden, dengan cara yang sangat demokratis telah mengangkat citra kelompok santri dalam percaturan politik nasional, yang sebelumnya seringkali dimarginalkan. Namun sayang masa pemerintahan Gus Dur harus berhenti di tengah jalan pada tanggal 23 Juli 2001 secara inkonstitusional karena sikap politiknya yang mengundang banyak kritik, dari pengamat dan lawan politik yang mengantarkannya dulu.
Cara pemberhentian ini benar-benar menyakiti kalangan santri, yang kemudian membuat mereka terpaksa kembali menelan kepahitan politik di awal sejarah reformasi ini. Namun yang menjadi cukup menarik setelah ia dijatuhkan dari kepresidenan, Gus Dur kembali membuat geger masyarakat muslim dengan menerima penobatan sebagai anggota kehormatan Legium Kristus pada 28 Januari 2002 di Tataaran Tonando, Minahasa, Sulawesi Utara. Dan mengenai peran Gus Dur di PKB saat ini (tahun 2003-2004), ia masih menjabat sebagai ketua Dewan Syura partai tersebut.
2. Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Relasi Islam dan Negara.
Masalah relasi Islam dan negara merupakan salah satu hal yang penting dalam pemikiran Gus Dur, oleh sebab itu banyak orang yang melakukan review terhadap pemikirannya ini. Secara garis besar bisa dikatakan bahwa arus pemikiran Gus Dur mengenai relasi Islam dan negara dapat dikategorikan sebagai pemikiran yang sekularistik, yaitu pemisahan antara agama dan negara, yang sejalan dengan pemikiran Ali Abd al-Raziq.
Berbeda dengan M. Natsir dengan berbagai alasannya di atas, yang menginginkan Islam dijadikan kekuatan ideologi dan dasar negara ini. Gus Dur sebaliknya, ia menolak Islam dijadikan ideologi, karena menurutnya kalau agama, politik dan budaya diideologikan fungsinya akan terdistorsi dan bukan malah mendapatkan struktur yang lebih baik, melainkan justru akan memicu disintegrasi yang berbasis sekretarian dan konflik horizontal.
Menurutnya, ada dua alasan mengapa ia menolak didirikannya negara Islam. Pertama, argumentasi normatif-teologis, yang menyebutkan bahwa Daulah Isla>miyyah (Islamic State) tidak pernah disebutkan secara eksplisit dalam al-Qur’an. Memang dalam al-Qur’an ada ayat yang berbunyi Baldatun T{ayibatun wa rabbun Gafur, sebuah ayat yang lebih pada konteks sosiologis, yaitu negara yang baik, penuh pengampunan Tuhan. Atas dasar inilah Islam tidak memberi konsep yang jelas, melainkan hanya memberi nilai etik bagi kehidupan bangsa dan negara.
Kedua, argumentasi historis, yaitu berkaitan dengan fakta bahwa dalam sejarah Islam tidak pernah menunjukan adanya mekanisme baku bagaimana suksesi dalam Islam. Ini bisa dilihat dari keempat khalifah pertama sepeninggalnya Rasulullah, semuanya diangkat melalui mekanisme yang berbeda satu sama lain, padahal pengangkatan seorang kepala negara merupakan kunci utama untuk mengetahui sistem kenegaraan.
Selain itu, dalam konteks negara pluralistik seperti Indonesia, menjadikan Islam atau agama apapun sebagai ideologi negara hanya akan memicu disintegrasi bangsa, karena menurutnya sangat tidak mungkin memberlakukan formalisme agama tertentu dalam komunitas agama masyarakat yang sangat beragam. Oleh sebab itu, baginya pluralitas merupakan hukum alam atau Sunnatullah di negeri ini, dan seharusnya Islam dijadikan sebuah nilai etik sosial (social ethics), yang berarti Islam berfungsi komplementer dalam kehidupan negara.
Apabila Islam dijadikan ideologi negara, berarti akan membuka peluang intervensi negara terhadap agama dan politisasi agama, padahal ajaran-ajaran agama itu sendiri bersifat privat, yang berjalan di kalangan masyarakat melalui persuasif, bukan melalui perundangan negara yang bersifat kohesif. Selanjutnya, Gus Dur menyatakan bahwa agama merupakan dimensi privat yang paling independen dari manusia dan tidak boleh diintervensi oleh negara yang bersifat publik.
Baginya Islam adalah agama yang penuh dengan kasih sayang, toleran dan keadilan. Untuk itu Gus Dur sepakat dengan aksioma bahwa Islam adalah agama pembebasan (a liberating religion), yang lahir dalam konteks protes terhadap ketidakadilan di tengah komersial Arab dengan nilai-nilai dasarnya, seperti musyawarah, persamaan dan keadilan.
Pemaksaan formalisasi hukum Islam melalui struktur negara, bagi Gus Dur, merupakan pengingkaran terhadap demokrasi yang ingin ditegakkan di negeri ini, padahal dalam negara demokrasi nilai egalitarianisme sangatlah dijunjung tinggi, bukan malah menjadikan pemeluk agama lain menjadi warga negara kelas dua.
Dalam pandangan Greg Barton, Fachry Ali, dan Bachtiar Effendi, Gus Dur dikategorikan dalam aliran neo-modernis. Ini dikarenakan gagasan-gagasannya yang liberal dan tetap menggunakan esensi khazanah pemikiran tradisional (legacy of past).
Berkaitan dengan ideologi Pancasila, yang ia sampaikan dalam sambutannya saat menerima penghargaan Magsaysay, Gus Dur menunjukkan pemikirannya dengan berkomentar mengenai prestasi umat Islam Indonesia:
“Pada mulanya ada semacam pertentangan antara Islam, yang saat itu ditawarkan dalam bentuk ideologi melawan Pancasila , di satu sisi adalah pemberontakan kelompok militan muslim yang dikenal pada tahun 1950-an sebagai Darul Islam. Sisi lain, pertentangan itu tercermin dalam kemacetan sidang konstituante pada tahun 1959, yang ditugaskan menetapkan sebuah konstitusi bagi republik ini.
Sebagai sebuah bangsa, Indonesia mampu menyelesaikan masalah itu secara pasti, yaitu dengan menghasilkan sebuah formulasi mendasar bahwa Pancasila dijadikan asas dasar dan ideologi setiap organisasi, sementara agama tetap dijadikan landasan kepercayaan. Pengakuan atas berbagai ragam agama dan ideologi nasional itu memberi jaminan kebebasan bagi setiap pemeluk agama untuk menjalankan kepercayaannya masing-masing”.
Lebih dari itu, Gus Dur juga menyatakan bahwa tanpa Pancasila negara Indonesia akan bubar, ideologi ini merupakan asas negara yang harus kita miliki dan perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya pertahankan dengan nyawa saya sendiri, tidak peduli apakah ia dikebiri angkatan bersenjata, dimanipulasi umat Islam, atau malah disalahgunakan oleh keduanya.
Ini merupakan pernyataan yang penuh resiko pada tahun 1990-an, karena pada saat itu rakyat Indonesia sudah sangat bosan dan jenuh mendengar Pancasila yang selalu disebut oleh pejabat-pejabat dan hampir setiap hari dipropogandakan dalam media massa. Seolah-olah Pancasila saat itu telah menjadi mantra pemerintahan dalam menjalankan kebijakan, dan sempat menjadi ejekan karena semua kegiatan harus berlabelkan Pancasila , seperti pers Pancasila , ekonomi Pancasila , bahkan sepak bola Pancasila .
Selanjutnya, mengenai relasi antara agama dan negara yang selalu menimbulkan ketegangan sejak periode awal Indonesia merdeka, antara kaum nasionalis dan kaum muslim. Gus Dur sebagaimana K.H. Achmad Siddiq, berupaya untuk mencairkan ketegangan tersebut, dengan menyatakan bahwa Islam sebagai agama memberlakukan nilai-nilai normatif dalam kehidupan perorangan maupun kolektif, sedangkan negara tidak mungkin memberlakukan nilai-nilai yang tidak diterima oleh masyarakat yang berbeda-beda agama dan pandangan hidupnya.
Singkatnya, Gus Dur menginginkan adanya pemisahan wewenang fungsional agama dan negara yang berbau sekularistik. Lalu bagaimana ia menanggapi tuntutan sebagian masyarakat yang selalu mendesak penerapan syari’at Islam dengan mengundangkan secara positif dalam hukum negara?
Untuk menjawab ini, Gus Dur berbicara tentang “hukum Islam” yang dalam kenyataannya hanya berlaku sebagai panduan moral yang dilakukan atas kesadaran masyarakat, mengikat dengan sendirinya (Mulzimun binafsihi), bukan karena dipaksa negara. Dan menurutnya, sebuah hukum agama dapat diundangkan negara apabila hal itu dapat berlaku untuk seluruh komponen masyarakat, meskipun berbeda agama, (Wad‘u al-Ah}kam fi H{alati Imka>niyyah Wad‘ihi).
Sebagaimana yang ia katakan di atas, bahwa rumusan Pancasila sebagai ideologi negara harus kita pegang teguh. Di samping itu, yang terpenting bagi umat Islam menurut Gus Dur adalah pengaturannya (al-H{ukmu) bukan al-Qur’an. Dalam Islam sendiri tidak mengenal sistem pemerintahan yang definitif, seperti yang dikatakan negara bangsa (nation state) saat ini, memang pernah ada tiga sistem yang dipakai dalam Islam, di antaranya sistem Istikhlaf, Bay‘ah, Ahl H{alli wa al-‘Aqdi, tetapi ini hanya terjadi dalam tempo 13 tahun.
Ada beberapa teoritisi Islam seperti al-Mawardi (al-Ah}ka>m as-S}ultaniyyah), Ibnu Abi ‘Arabi, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun (Muqadimah), yang telah banyak merumuskan konsepsi kenegaraan. Dan ternyata paham kebangsaan ini, menurut Gus Dur pernah digali oleh pikiran cemerlang Ibnu Khaldun.
Dalam konteks ini, Gus Dur setuju dengan pendapat Ibnu Khaldun yang menyatakan, bahwa agama saja tidak cukup untuk dapat membentuk negara. Pembentukan negara, disamping paham keagamaan juga diperlukan rasa ‘As}h}abiyyah (perasaan keterikatan) untuk membentuk ikatan sosial kemasyarakatan. Sebab, menurut Ibnu Khaldun, alasan berdirinya sebuah negara karena adanya perasaan kebangsaan.
Dan yang tak kalah penting menurutnya adalah fungsi negara sebagai penyerap heterogenitas dan kepentingan masyarakat, oleh sebab itu tidak aneh kalau Gus Dur menolak Islam sebagai ideologi negara di Indonesia, sekalipun agama itu merupakan anutan mayoritas penduduk di negara ini.
Di Indonesia, hubungan Islam dan negara pernah mengalami ketegangan politik yang tajam, sebab Islam politik dianggap sebagai pesaing yang mengusik basis kebangsaan. Ketegangan itu bisa dikatakan relatif berhenti, setidaknya secara de jure, semua ormas Islam menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi pada tahun 1980-an yang lalu.
Ada dua hal yang ditawarkan Gus Dur dalam menetralisasi ketegangan kedua pihak tersebut. Pertama, menjadikan Islam sebagai etika sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, mengembangkan Islam sesuai dengan konteks setempat atau yang biasa dikenal pribumisasi Islam. Dan kedua tawaran itu kemudian mengarah pada penempatan Islam sebagai faktor komplementer dalam kehidupan sosio-kultural dan politik di Indonesia.
Dengan berprinsip al-Gayah wa al-Wasa>il (tujuan dan cara penyampaiannya), Gus Dur menegaskan bahwa Islam bertugas melestarikan sejumlah nilai dan prilaku sosial yang mengaitkan pencapaian tujuan dengan kemulian cara yang digunakan. Oleh sebab itu, menurutnya selama tujuan masih tetap, maka cara penyampaian menjadi masalah sekunder, dan yang dimaksud nilai dan prilaku tersebut adalah Ah}laq al-Karimah.
Jelaslah dengan demikian, Islam berfungsi sebagai etika sosial yang memandu jalannya kehidupan bernegara bukan sebagai bentuk kenegaraan tertentu. Pendapat-pendapat Gus Dur tersebut merupakan konsekuensinya dalam memperjuangkan demokrasi dan semangat pluralisme di negeri ini.
Di samping itu, menurutnya dalam prespektif Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah, pemerintahan ditilik dan dinilai dari segi fungsionalnya, bukan dari norma formal eksistensinya, negara Islam atau bukan. Selama kaum muslim dapat menyelenggarakan kehidupan beragama mereka secara penuh, maka bentuk pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat pemikirannya.
Dan atas dasar kerangka berfikir inilah, NU di bawah aksi politik yang dimotori Gus Dur secara sadar menerima asas tunggal Pancasila, dan tentunya dengan mendapat persetujuan para ulama organisasi tersebut. Lebih lanjut, Pancasila dalam pandangan NU merupakan ideologi bangsa yang sejalan dengan visi Imam Syafi’i tentang tiga jenis negara: Da>ru al-Isla>m, Da>ru al-H{arbi dan Da>ru as-S}ulh}. Dan Gus Dur sendiri dengan penuh keyakinan menyatakan bahwa pemerintahan yang berideologikan Pancasila ini, bisa dikategorikan dalam negara damai (Da>ru as-S}ulh) yang harus dipertahankan.
Melihat kebijakan NU, yang dalam sejarah politik Indonesia acapkali menunjukkan sikap akrab dengan negara, tak heran kalau banyak orang yang menuduh NU sebagai organisasi opurtunistik. Namun Gus Dur membantah itu, karena bagi NU, pedomannya bukanlah strategi perjuangan politik atau ideologi Islam dalam artian yang abstrak, melainkan keabsahan di mata hukum fiqih.
Secara teoritis, Gus Dur juga mengakui bahwa pemikiran negara dalam Islam telah terbagi menjadi dua arus, yakni idealistik dan realistik. Dalam pemikiran idealistik menginginkan sebuah konsep kenegaraan yang sepenuhnya berwawasan Islam, yang kemudian arus ini dinamakan Gus Dur sebagai kelompok alternatif.
Sementara pandangan realistik, lebih tertarik pada pemecahan masalah bagaimana perkembangan historis yang berkaitan dengan negara dapat ditampung dalam pandangan Islam, yang kemudian dalam konteks ini Islam dijadikan sebagai faktor komplementer bagi ideologi negara.
Gus Dur seringkali memunculkan gagasan kontroversial di mata masyarakat, baik ketika di NU, PKB maupun di Pemerintahan. Oleh sebab itu, ia kerap memperoleh serangan sebagai pro-Kristen, agen Zionis dan berbagai tuduhan minor lainnya. Ini dikarenakan sepak terjangnya yang terkesan tidak membela Islam.
Bahkan menurut Liddle, di antara para tokoh tradisionalis, Gus Dur adalah seorang tokoh yang paling unik, karena sering memimpin ke mana para pengikutnya tidak mau ikut. Sedangkan meminjam analisis Cak Nun, menurutnya kita bisa melihat sepak terjang Gus Dur, baik dari sikapnya yang biasa-biasa saja, yang kontroversial, yang radikal, yang gendheng, maupun yang membingungkan. Karena semuanya itu terletak pada grand theory yang tidak sukar dipahami.
Pertama, dalam perspektif universal ia bermaksud menumbuhkan demokrasi setelanjang-telanjangnya.
Kedua, dalam konstelasi keindonesiaan ia bermaksud menerapkan suatu ideologi nasionalisme habis-habisan, yakni dengan menomorsatukan apa pun yang indikatif terhadap primordialisme dan anti-nasionalisme.
Ketiga, khusus kaitannya dengan Islam, Gus Dur dengan segala resikonya berkehendak melakukan domestikasi atau pembumian nilai-nilai Islam dalam kerangka nuansa kultural yang tak bersedia ditawar oleh segala “kegamangan teologis” apapun.
Sejak dipilih sebagai pemimpin NU pada tahun 1984, retorika Gus Dur semakin bernada liberal dan progresif, ia banyak bersikap positif dan fleksibel dalam merespon modernitas, dan menegaskan bahwa watak pluralistik dan multi komunal masyarakat Indonesia harus dipertahankan dari kecenderungan-kecenderungan sektarianistik. Berkaitan dengan sumber-sumber pemikiran Islam, ia mengkombinasikan antara apa yang baik dalam nilai-nilai modernitas dengan komitmen terhadap rasionalitas, keulamaan dan kebudayaan tradisional.
Untuk mendukung tujuan-tujuan demokratis dan sosialnya, Gus Dur lebih sering menggunakan ideologi Pancasila daripada Islam dalam melegitimasi partisipasinya dalam wacana politik dan pengekspresian gagasan kunci politiknya. Dari sini bisa dilihat bahwa pemikiran politiknya didasarkan pada visi politik yang demokratis, sekular dan nasionalis.
Bagi Gus Dur Pancasila adalah ideologi nasional yang esensial untuk mempertahankan kesatuan nasional. Pandangan ini menurutnya penting untuk disampaikan karena beberapa muslim memandang Pancasila sebagai ideologi sekular yang tidak sesuai dengan Islam. Ia kemudian menunjukkan bahwa ayahnya, Wahid Hasyim, seorang pemimpin NU pada tahun 1945 juga sepakat mendukung sebuah negara nasional non Islam.
Untuk memahami sepenuhnya politik Abdurrahman Wahid dan penggunaannya terhadap Pancasila dalam mengembangkan demokratisasi, perlu ditinjau terlebih dahulu “keluarnya NU” dari panggung politik formal pada tahun 1984. Padahal pada tahun 1983, NU adalah ormas Islam yang pertama kali menyetujui asas tunggal.
Keputusan untuk keluar dari politik atau yang dikenal dengan kembali ke khittah 1926, menurut Gus Dur, bukan hanya karena adanya keinginan untuk memusatkan perhatian pada tujuan-tujuan sosial, pendidikan dan keagamaan, tetapi juga sebagai respons terhadap depolitisasi orde baru. Singkatnya, NU ingin tetap menjaga independensi politiknya dan menghindari intervensi serta manipulasi pemerintah, karena saat itu pemerintah terus-terusan menekan politik Islam dengan menggunakan Pancasila untuk membatasi kegiatan partai politik yang legal pada tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an.
Selanjutnya, berkaitan dengan perannya sebagai Kepala Presiden yang relatif singkat. Visi demokrasi, humanisme dan toleransi agama yang Gus Dur perjuangkan semakin kuat, ini terlihat dalam upaya pencabutan Inpres No. 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat cina. Dalam Inpres ini, terlihat tidak adanya pengakuan hak-hak penganut Konghucu sehingga mereka terpaksa harus pindah ke agama lain, Namun pada masa Pemerintahan Gus Dur Inpres No. 14 tahun 1967 itu dicabut dengan Kepres No. 6 tahun 2000.
Selain itu, ada ide yang lebih kontroversial, yakni pencabutan Tap MPRS XXV/1966 tentang pembubaran PKI dan pelarangan penyebaran Marxisme, Leninisme dan Komunisme, yang menurutnya telah mendiskriminasikan sebagian warga dalam kehidupan publik dan negara. Akan tetapi ide pencabutan kemudian memunculkan gelombang demonstran selama kurun masa kekuasaannya dan akhirnya di tolak oleh MPR.
Di luar masalah tersebut, Gus Dur juga harus menghadapi sebuah cita-cita politik yang bertolak belakang dengan trade mark pemikirannya, yakni adanya masyarakat muslim yang ingin menghidupkan kembali “Piagam Jakarta” dan mengharapakan penerapan Syari‘ah Islam melalui power negara. sebagai seorang demokrat Gus Dur tidak memangkas keinginan itu melalui kekuasaannya, melainkan membiarkan rakyat untuk menguji wacana tersebut.
Akhirnya, pada Sidang Tahunan Agustus 2000, dua partai politik Islam (PPP dan PBB) mengusulkan kembali “Tujuh Kata Piagam Jakarta” untuk dimasukkan dalam pasal yang mengatur bab agama dalam proses amandemen 1945. Tetapi hasrat kedua parpol tersebut gagal, karena banyaknya kalangan yang khawatir akan campur tangan negara terhadap agama dan politisasi agama, sebagaimana yang pernah diungkapkan Gus Dur.
Berdasarkan uraian panjang lebar di atas, dapat disimpulkan beberapa hal pemikirannya mengenai hubungan Islam dan negara. Pertama, Gus Dur selalu ingin menjaga independensi keberagamaan masyarakat dalam menghadapi negara, karena ketaatan seseorang harus muncul dari kesadaran pribadi, bukan dari paksaan negara.
Kedua, penolakan Gus Dur terhadap sebagian masyarakat muslim yang ingin menjadikan Islam sebagai ideologi negara, merupakan konsekuensi dari pemahaman demokrasi yang ia perjuangakan, yakni menempatkan masyarakat secara egaliter di hadapan negara. Karena pengistimewaan agama tertentu dalam negara yang plural ini, berarti pengingkaran nilai-nilai demokrasi.
Ketiga, negara tidak boleh mengintervensi urusan-urusan agama masyarakat. Begitu juga sebaliknya agama tidak perlu mengemis legitimasi kepada negara karena hal tersebut bukan menguatkan eksistensi agama sebagai kepercayaan, melainkan justru merendahkan.
Sebagai seorang pemikir dan aktivis Islam, sikap dan gagasan Gus Dur mengenai relasi Islam dan negara sebenarnya cukup jelas, yaitu bagaimana membangun independensi agama dan para pemeluknya vis a vis negara. Yang mana agama sebagai wilayah privat manusia seharusnya tidak boleh dicampuri oleh siapapun.
Sikap itu begitu tegas disampaikan oleh Gus Dur, baik melalui tulisan-tulisan maupun ceramahnya, yang menunjukkan bahwa ia menolak bentuk formalisme agama dalam kehidupan politik, baik sebagai kehendak masyarakat maupun sebagai kehendak negara. Hal ini juga bisa dilihat dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dideklarasikannya, partai mayoritas muslim yang tidak melabelkan Islam, sebuah refleksi pemikirannya dalam membangun relasi Islam dan negara.
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN
M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID
A. Persamaan.
Sebagaimana yang telah diuraikan pada Bab III, bahwa gambaran kedua tokoh di atas sangat diperlukan untuk menganalisa pemikiran keduanya. Di antaranya mengenai latar belakang kehidupan, karier politik, dan organisasi yang menjadi dapur pertama pemikiran politiknya. Selain itu ulasan tersebut, setidaknya dapat dijadikan pertimbangan sebelum menempatkan atau mengklaim kedua tokoh tersebut dalam kategori aliran tertentu.
Pada bab-bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa M. Natsir sebagai Prototype modernisme Islam dan Gus Dur sebagai neo-modernisme Islam, telah banyak mewarnai sejarah perpolitikan Indonesia. Terlepas dari itu, perlu diakui bahwa perdebatan Islam dan negara sudah lama terjadi, sejak dasawarsa 1930-an antara M. Natsir dan Soekarno, yang kemudian dalam situasi itulah Islam menapaki langkah-langkah yang boleh dibilang idealistik atau formalistik. Singkatnya, gerakan ini ingin menjadikan Islam sebagai ideologi negara.
Situasi inilah yang mendorong aktivis dan pemikir Islam generasi kedua pada tahun 1970-an, yang kemudian dinamakan Islam kultural. Dalam pandangan kelompok ini, Islam politik merupakan sesuatu yang sulit dijual, karena masih kuatnya trauma politik yang membekas antara aktivis politik Islam dengan negara. Oleh sebab itu kalangan ini lebih memilih garapan transformasi sosial, dengan menawarkan Islam yang sesuai dengan konteks Indonesia dan tidak begitu ideologis.
Meskipun keduanya hidup pada masa yang tidak bersamaan, tetapi pemikiran politik kedua tokoh tersebut masih tetap mewarnai panggung politik Indonesia sampai saat ini. Yang kemudian terpolarisasi pada kelompok modernis dan neo-modernis.
Dalam diskursus kaum modernis, ada dua faktor yang telah disepakati sebagai penyebab kemunduran dunia Islam. Pertama, secara internal, praktik-praktik keagamaan umat Islam telah banyak yang menyimpang dari ajaran Islam yang asli, al-Qur’an dan Hadits, yang kemudian menyebabkan umat Islam mengalami kemunduran, oleh sebab itu pembaharuan doktrin Islam sangat diperlukan. Kedua, peradaban Barat sekular yang mulai masuk dalam percaturan peradaban Islam, dianggap sebagai faktor lain (eksternal) yang dominan menyebabkan kemuduran dunia Islam.
Di Indonesia Gerakan modernis ini termanifestasikan dalam beberapa organisasi, seperti Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad dan Sarekat Islam, sebuah organisasi yang mengedepankan motif gerakan kembali ke al-Qur’an dan Hadis, yang menurutnya sebagai sumber ilmu yang otentik, abadi dan akan tetap relevan dengan perubahan zaman dan tempat. (S{a>lih} Likulli Zama>nin wa Maka>nin).
Dengan demikian pemikiran-pemikiran politik kaum modernis Islam banyak diwarnai oleh idiom-idiom al-Qur’an dan Hadis. Pada dasarnya doktrin kembali ke al-Qur’an dan Hadis di atas, merupakan rintisan yang tepat dengan realitas politik Islam saat itu, hanya saja doktrin tersebut kemudian terkontaminasi dengan sikap anti Barat yang rigid dan akhirnya melahirkan pemikiran normatif dan cenderung apologetik, misalnya dengan menawarkan sistem ekonomi Islam dan negara Islam sebagai alternatif menghadapi Barat.
Dalam diskursus politik Islam (al-Fiqh as-Siya>syi), upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dirumuskan dalam suatu kaidah :
تصرف الإمام على الرعـية منوط بالمصلحـﺔ
Menurut Abd al-Wahab Khalaf, kaidah di atas dapat dijadikan sebagai landasan teori hukum atau referensi untuk pengambilan keputusan hukum aktual, apabila memenuhi tiga kriteria berikut ini. Pertama, maslahah itu bersifat essensial, yakni kepentingan yang secara praksis dapat mewujudkan kesejahteraan umum dan mencegah timbulnya kerusakan. Kedua, maslahah itu ditujukan pada kepentingan rakyat banyak, bukan individu. Ketiga, maslahah itu tidak bertentangan dengan ketetentuan atau dalil-dalil umum nash.
Teori kemaslahatan inilah yang kemudian dijadikan pisau analisis oleh M. Natsir dan Gus Dur dalam memecahkan persoalan hubungan Islam dan negara. Dan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pemikiran kedua tokoh tersebut, memang perlu diawali dari teori ini.
Ada beberapa persamaan dari kedua tokoh tersebut dalam merespon hubungan Islam dan negara. Dan yang pasti secara esensial kedua tokoh tersebut sepakat bahwa tujuan diterapkannya demokrasi di negeri ini adalah untuk mencapai kemaslahatan bersama dan keadilan yang merata bagi umat manusia.
Dalam sejarah politik Indonesia, M. Natsir dan Gus Dur dikenal sebagai pemikir muslim yang sekaligus praktisi politik terkemuka di negeri ini, keduanya sama-sama mempunyai komitmen untuk menjadikan Islam sebagai agama pembebas yang membebaskan manusia dari segala bentuk eksploitasi dan diskriminasi
Sedangkan sisi persamaan yang dominan antara M. Natsir dengan Gus Dur dalam membangun relasi Islam dan negara adalah pengakuan mereka tentang tidak adanya sistem politik yang rigid dalam Islam sebagaimana yang telah ada dewasa ini, dan bagi mereka yang ada dalam Islam hanyalah prinsip dasar berbangsa dan bernegara, seperti musyawarah, keadilan, persamaan, kebebasan, dan kebersamaan.
Menurut Natsir, dalam kenegaraan, Islam hanyalah mengatur dasar dan pokok-pokokmya saja seperti yang dinyatakan di atas, maka dari itu dalam membangun sebuah negara M. Natsir banyak menggunakan syarat-syarat sebuah negara modern, di antaranya harus mempunyai wilayah, rakyat, Pemerintah, Kedaulatan, Undang-Undang Dasar atau sumber hukum atau kekuasaan lain yang tidak tertulis.
Masih dalam konteks yang sama, Gus Dur juga menyatakan secara tegas bahwa Islam tidak memberi konsep yang jelas untuk membangun sebuah negara, melainkan hanya memberi nilai etik bagi kehidupan bangsa dan negara. Secara historis juga telah terbukti bahwa dari keempat khalifah sepeninggalnya Rasulullah, semuanya diangkat melalui mekanisme yang berbeda satu sama lain, ini menunjukkan bahwa Islam memang tidak mempunyai mekanisme baku sebuah suksesi, padahal pengangkatan seorang kepala negara merupakan kunci utama untuk mengetahui sistem kenegaraan.
Oleh sebab itu, sistem demokrasi menurut kedua tokoh tersebut merupakan sistem yang paling realistik untuk mewujudkan terbentuknya suatu masyarakat yang adil, egaliter dan manusiawi sebagaimana yang dicita-citakan Islam. Karena dengan adanya nilai-nilai dasar di atas Islam bisa dikatakan sebagai agama pembebas sepenuhnya kompatibel dengan aturan demokrasi.
Mengenai tipologi pemikiran kedua tokoh tersebut, memang tidak sepenuhnya murni sebagaimana yang telah penyusun tempatkan, sebab walaupun Yusril mengkategorikan Natsir sebagai kalangan modernis, akan tetapi tidak jarang pendapat-pendapat Natsir yang mengarah pada faham fundamentalisme, menentang pemisahan agama dan negara. Begitu juga dengan pemikiran Gus Dur, yang menurut Greg Barton seringkali terkesan sekuler , namun juga terkadang terlihat konservatif dalam wacana keislaman yang lain.
Sebagaimana Abduh, M. Natsir menganggap sumber kekuasaan bagi pemerintahan adalah rakyat. Karena itu, demokrasi yang berdasarkan doktrin kedaulatan rakyat diterima secara terbuka, akan tetapi bukan berarti ia menerima konsep sekulerisme sebagaimana yang inheren dalam sistem demokrasi Barat. Oleh sebab itu ia menawarkan sebuah konsep thestic democracy, yaitu demokrasi yang sesuai dengan prinsip tauhid.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa konsep demokrasi ini ditujukan untuk menetapkan hak-hak dan kewajiban timbal balik antara rakyat dengan penguasa, dan sistem yang ada harus mampu menegakkan keadilan, kebebasan, persamaan sebagaimana yang dituntut oleh Islam secara radikal.
Menurutnya, Syari‘ah sebagai suatu sistem hukum terpadu dan lengkap hanya bisa dilaksanakan apabila ada suatu otoritas yang melakasanakan penerapan (law enforcement), sehingga pelaksanaan Syari‘ah memerlukan dukungan kekuasaan politik, yaitu negara. Dengan demikian tujuan pertama didirikannya negara demokrasi adalah untuk menjaga dan melindungi Syari‘at itu sendiri.
Sedangkan Gus Dur ingin menegakkan demokrasi yang seutuhnya, artinya tidak ada tendensi agama yang melekat pada konsep ini. Dengan demikian ada perbedaan yang sangat mendasar mengenai paradigma dalam memperjuangkan konsep demokrasi, meskipun keduanya sama-sama menerima demokrasi secara terbuka. Dan sebenarnya sikap ini sudah jelas terlihat di atas, bagaimana reaksi dan sikap keduanya dalam memandang Pancasila di negeri ini.
Atas dasar pemahaman, Islam mempunyai prinsip-prinsip dasar dalam berbangsa dan bernegara, maka keduanya sepakat untuk menjadikan demokrasi sebagai sistem yang paling rasional untuk negara republik ini. Terlepas bagaimana cara kedua tokoh itu dalam memperjuangkannya.
B. Perbedaan.
Sedangkan sisi perbedaan antara pemikiran M. Natsir dan Gus Dur dalam memandang relasi Islam dan negara yang paling fundamental terdapat dua hal. Pertama, respon mereka terhadap paham sekuler, yang memisahkan antara agama dan negara. Kedua, pemikiran politik mereka dalam menyikapi demokrasi dan ideologi Pancasila sebagai dasar negara di Indonesia ini.
Berangkat dari wacana relasi Islam dan negara di atas, M. Natsir dengan tegas menolak negara yang berdasarkan sekularisme, menurutnya sekularisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan, dan sikap yang hanya sebatas keduniawian saja. Walaupun para sekularis mengakui adanya Tuhan, tapi dalam kehidupan sehari-harinya tidak menganggap perlu adanya hubungan jiwa dengan Tuhan, baik dalam sikap, tingkah laku, ibadah dan tindakan sehari-harinya.
Ditarik dalam konteks Indonesia, tampaknya M. Natsir ingin membuktikan bahwa Indonesia telah terkontaminasi dengan paham ini. Baginya dengan adanya konsep Pancasila berarti telah terbukti bahwa negara Indonesia telah terjangkit penyakit sekularisme, karena konsep ini jelas bercorak La>-diniyyah yang tidak mau mengakui wahyu sebagai sumbernya, di samping itu Pancasila adalah hasil penggalian dari masyarakat.
Dilihat dari beberapa pernyataan Natsir pada bab-bab sebelumnya, bisa dikatakan bahwa hubungan Islam dan negara, menurutnya tidak dapat dipisahkan, karena keduanya mempunyai fungsi timbal balik, simbiosis mutualisme. Baginya, negara adalah sebuah alat bukan tujuan, berarti negara di sini selain merupakan institusi pemerintahan, juga mempunyai kekuatan penuh untuk menjaga dan memberlakuan undang-undang Syari‘ah, yang berkenaan dengan kehidupan manusia sebagai individu, maupun masyarakat secara kolektif.
Sedangkan Gus Dur, lebih mengasumsikan agama sebagai sumber motivasi pandangan hidup bangsa atau ideologi negara (Pancasila). Maksudnya agama berperan mendorong kegiatan individu melalui nilai-nilai yang diserap Pancasila dengan menjadikannya sebagai bentuk pandangan hidup bangsa. Jadi agama di sini hanyalah bersifat dialogis bukan simbiosis.
Pola pemikiran Gus Dur ini bisa dikategorikan cukup sekuler, mengingat gagasan yang ia hasilkan selalu mengesampingkan simbolisasi agama terhadap negara atau sebaliknya. Ia tidak pernah berkeinginan untuk memanfaatkan negara sebagai alat pemberlakuan hukum agama tertentu, seperti tuntutan diberlakuannya syariah oleh negara, karena menurutnya hanya akan menciptakan diskriminasi agama.
Dan tentunya, kalau kebijakan tersebut sampai diterapkan di negara yang sangat heterogen ini, berarti kita telah melakukan pengingkarana terhadap nilai-nilai demokrasi, karena telah mengabaikan prinsip-prinsip pluralisme agama, persamaan hak dan kemaslahatan umat. Jadi, bagi Gus Dur, Pancasila sebagai ideologi negara sudah sesuai dengan konteks demokrasi dan tidak perlu lagi diperdebatkan, apalagi diganti. Meskipun ia merupakan hasil ijtihad manusia.
Selain itu, demokrasi yang menurut Natsir dan Gus Dur merupakan konsep paling rasional untuk sistem negara. Secara tegas dikatakan Natsir, Islam tetap tidak perlu menganut demokrasi 100%, dan konsep demokrasi yang cocok bagi Indonesia adalah demokrasi yang tidak meninggalkan nilai-nilai ketuhanan, thestic democracy, maksudnya, keputusan mayoritas yang berpedoman pada ketuhanan. Ini menunjukkan bahwa Natsir selaku tokoh modernis muslim sangat selektif dalam menerapkan filterisasi (saringan) terhadap Barat.
Dalam modernisasi politik Islam, Natsir mempunyai pandangan untuk berusaha menerapkan ajaran dan nilai-nilai, kerohanian, sosial, dan politik Islam yang terkandung di dalam al-Qur’an dan sunnah dengan menyesuaikan terhadap perkembangan zaman. Selanjutnya, Natsir mewajibkan seoarang muslim untuk berpolitik sebagai sarana dakwah Islam.
Berbeda dengan Natsir, Gus Dur menilai demokrasi sebagai suatu kedaulatan rakyat sepenuhnya, ia tidak sepakat kalau urusan Tuhan dicampuradukkan dalam kepentingan ini. Baginya demokrasi adalah urusan manusia yang diberi kebebasan untuk mengatur dunia, sedangkan kedaulatan Tuhan (Syari‘ah) merupakan prinsip-prinsip universal yang menjadi patokan etik moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terlebih lagi, apabila hukum Islam atau hukum gereja harus diberlakukan oleh negara melalui (taqnin, legislasi) ajaran agama tersebut pada hakikatnya merupakan pengingkaran hakikat demokrasi yang ingin kita tegakkan di negeri ini, karena akan menjadikan mereka yang tidak memeluk agama mayoritas menjadi warga negara kelas dua dan kehilangan haknya dalam memperoleh keadilan sesama dalam bernegara.
Untuk merealisasikan demokrasi tersebut, ada enam kaidah demokrasi dalam Islam, yaitu: 1) Ta‘a>ruf (saling mengenal); 2) Syu>ra (musyawarah); 3) Ta‘a>wun (kerja sama); 4) Mas}lah}ah (menguntungkan masyarakat); 5) ‘Adl (adil); dan 6) Tagyir (perubahan).
Natsir dan Gus Dur sama-sama terlibat dalam pemerintahan, akan tetapi keduanya mempunyai tujuan politik yang berbeda, Natsir masuk dalam birokrasi pemerintahan berharap akan bisa memperjuangkan pemeberlakuan syari’ah Islam melalui otoritas negara. Sedangkan Gus Dur justru sebaliknya, ia malah berkeinginan untuk meminimalisir intervensi negara terhadap agama, termasuk penolakannya terhadap pemberlakuan syari’ah di negara ini.
Berbicara mengenai Syari‘ah, terdapat berbagai macam pemahaman. Menurut terori klasik, Syari‘ah merupakan kehendak Ilahi yang suci dan bertujuan mengatur kehidupan masyarakat muslim. Sedangkan dalam al-Qur’an kata Syir‘ah atau Syari‘ah dimaknai agama, baik sebagai jalan lurus (T{ariq Mustaqi>mah) yang ditentukan oleh Allah untuk manusia atau suatu ketentuan yang harus dilaksanakan. Ketika nabi Muhammad S.A.W. ditanya tentang syari’at Islam, beliau menjelaskan tentang sholat, zakat, puasa, dan haji.
Ini menunjukkan bahwa secara terminologis, Syari‘ah pada masa nabi Muhammad S.A.W. digunakan untuk menyebut masalah essensial dalam ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah yang telah diyakini kesahihannya. Lebih lanjut, Manna al-Qattan (ahli fiqh) mendefiniskan Syari‘ah sebagai segala ketentuan Allah bagi hambanya yang meliputi masalah akidah, ibadah, dan tata kehidupan umat manusia untuk mencapai kebahagian mereka di dunia dan akhirat.
Berdasarkan definisi Syari‘ah di atas, ulama fiqih dan usul fiqih menyatakan bahwa Syari‘ah merupakan sumber fiqih. Dinyatakan demikian, karena fiqih merupakan hasil ijtihad atau pemahaman ulama terhadap ayat-ayat suci al-Qur’an tersebut.
Ada beberapa definisi fiqih yang kemudian dikemukakan oleh ulama. Imam Abu Hanifah yang mendefinisikan fiqih dengan Ma‘rifat al-Nafsi ma>laha wa ma> ‘alaiha (pengetahuan seseorang tentang hak-hak dan kewajibannya), definisi ini memberi gambaran bahwa fiqih meliputi aspek kehidupan, baik dari akidah, hukum sampai pada tingkah laku kehidupan.
Sedangkan al- Amidi, seorang ulama Syafi’iyyah terkemuka dalam bukunya al-Ih}kam fi us}uli al-Ah}ka>m, mendefinisikan fiqih sebagai ilmu tentang hukum-hukum syari’ah amaliah dari dalil-dalilnya yang terperinci (‘adilah tafs}iliyyah), selain itu, menurut fuqaha Malikiyyah, fiqih adalah ilmu tentang perintah-perintah syari’ah dalam masalah khusus yang diperoleh dari aplikasi teori Istidla>l atau pencarian hukum dengan dalil (process of reasoning).
Tampaknya, pola pemikiran Gus Dur di atas, didasarkan pada pertimbangan fiqih bahwa urusan politik atau negara lebih pada kepentingan dan kreativitas manusia, sehingga masuk dalam wilayah fiqih. Dan sebagai wilayah fiqih, setiap apa yang dirumuskan dan diinterpretasikan merupakan produk ijtihad yang bebas. Namun demikian, kreativitas itu harus mengacu pada kemaslahatan rakyat, sebagaimana dalam kaidah fiqihnya bahwa “seluruh kebijakan penguasa harus sesuai dengan kepentingan seluruh warga negara”.
Paradigma di ataslah, yang kemudian secara teoritis membedakan gagasan kedua tokoh tersebut, Walaupun pada masalah-masalah tertentu mereka juga mempunyai persamaan pendapat. Pola pemikiran Natsir yang cenderung idealistik dalam memahami ad-Din wa ad-Daulah, sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari pemikiran politik yang didasarkan pada konsep tauhid.
Konsep tauhid menderivasikan prinsip-prinsip universal yang kemudian menjadi sumber etik-moral bagi sebuah negara demokrasi, selain itu Natsir juga lebih suka mendasarkan gagasannya pada dua sumber utama Syari‘ah, al-Qur’an dan sunnah, daripada menggunakan metodologi khazanah intelektual sunni klasik, seperti fiqih, Us}ul al-Fiqh ataupun Qawa>‘id al-Fiqhiyyah.
Di samping paradigma, faktor perbedaan masa kehidupan juga cukup mempengaruhi pola pemikiran keduanya, di mana Natsir hidup pada masa kolonial dan pasca kolonial yang selalu berjuang memerdekakan bangsa ini melalui jargon Islam. Sedangkan gagasan dan perjuangan Gus Dur dihadapkan pada masa 1980-an, pasca kolonial. Namun demikian, apa yang dihadapi Gus Dur tentang wacana keislaman sebenarnya juga masih banyak diwarnai wacana-wacana keislaman di masa Natsir hidup.
Perbedaan paradigma dan masa itulah yang kemudian melahirkan polarisasi aliran, antara modernisme dan neo-modernisme. Gerakan modernisme di Indonesia lahir sejak tahun 1912-an, sebagai salah satu respon intelektual terhadap berbagai persoalan aktual modern yang secara umum menempatkan Islam pada posisi dilematis, antara keharusan menyesuaikan diri dengan perubahan arus modernitas atau menegaskan diri sebagai agama secara eksklusif.
Modernisme Islam mempunyai kecenderungan kuat untuk mengembalikan kejayaan dan keunggulan Islam atas partai atau peradaban yang lain, dengan cara memperbaharui doktrin-doktrin sesuai dengan tuntutan zaman. Secara teoritis gerakan ini cenderung eksklusif karena dasar argumentasinya lebih ditekankan pada sumber Syari‘ah yang absolut, al-Qur’an dan sunnah.
Lain halnya, dengan pemikiran neo-modernisme Islam, yang baru lahir pada masa 1970-an. Kalangan ini cenderung akomodasionis dalam merespon tradisionalisme dan modernisme. Menurutnya, sikap modernitas seharusnya tidak menggantikan sama sekali nulai-nilai lama dengan nilai-nilai baru, seperti apa yang diungkapkan oleh mayoritas kalangan modernis Islam saat ini, melainkan bahwa antara tradisi dan modernitas harus dilihat sebagai proses kontinuitas.
Sedangkan untuk mengelaborasi wacana pemikiran Islam semacam ini, bagi mereka penggunaan metodologi fiqh atau Qawa>‘id al-Fiqh transformatif lebih cocok daripada memakai konsep tauhid yang cenderung dogmatis. Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa gagasan modern yang mereka tawarkan bukan berarti anti tradisionalisme sama-sekali, seperti apa yang tertulis dalam Qawa>‘id al-Fiqh.
المحافظـﺔ على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
Selain kaidah di atas, masih banyak kaidah lain yang digunakan sebagai upaya melaksanakan transformasi gagasan. Di antaranya, yaitu:
درء المفا سد مقدم على جلب المصالح
الحاجـﺔ تـنزل منزل الضرورة
الضرورة تبيح المحظورة
Selanjutnya, Gus Dur menjelaskan bahwa apa yang ditawarkan kelompok modernis, seperti legalisme (pemikiran keislaman yang telah dibakukan lewat mazhab yang empat) baik dalam kerangka mazhab fiqih, maupun melalui pembaharuan (pemurnian) ternyata malah tidak mampu menjawab tantangan zaman. Ditambah lagi, over idealissasi Islam sebagai sistem kehidupan alternatif tidak menunjukkan prospek yang baik, bahkan menjurus ke situasi traumatik di masa depan.
Untuk itu, menurutnya perlu dibuat kerangka pemahaman kontekstualisasi ajaran Islam dengan berdasarkan asas-asas sebagai berikut: 1) asas menyeluruh. 2) asas keterbukaan. 3) asas kontinuitas sejarah. 4) asas deinstitusionalisasi Islam, 5) asas depoloitisasi Islam. 6) asas kesejarahan 7) asas pluralitas. dan asas konvergensi.
Beradasarkan uraian di atas dan bab-bab sebelumnya, bisa disimpulkan bahwa antara M. Natsir dan Gus Dur sangat berbeda dalam memandang relasi Islam dan negara, Natsir beranggapan bahwa agama dan negara tidak dapat dipisahkan sebagai konsekuensi dari penolakannya atas paham sekular, sebaliknya dengan Gus Dur, ia lebih mengarah pada paham sekular, memisahkan agama dan negara, tetapi dengan tetap menjadikan nilai-nilai agama sebagai motivasi bukan formalisasi dalam berbangsa dan bernegara.
Dan pandangan inilah, yang kemudian mempengaruhi sikap mereka dalam menerima ideologi Pancasila. Bagi Gus Dur, meskipun Pancasila merupakan hasil ijtihad manusia yang ditentukan oleh kondisi sosialnya, akan tetapi konsep ini harus tetap dipertahankan demi kemaslahatan bangsa Indonesia yang plural ini, sedangkan Natsir lebih memilih Islam sebagai ideologi negara daripada Pancasila, karena dengan ideologi ini masyarakat akan terjamin kehidupan beragama dan bernegaranya.
Demikianlah persamaan dan perbedaan antara pemikiran M. Natsir dan Gus Dur. Sebenarnya apa yang ingin penyusun tegaskan di sini adalah bahwa pemikiran kedua tokoh di atas, sangat dipengaruhi oleh realitas sosial politik di saat mereka hidup. Dan dari sisi inilah, yang kemudian melahirkan klasifikasi pemikiran, yakni modernisme dan neo-modernisme. Untuk lebih singkatnya bisa dilihat dalam tabel berikut ini.
PERSAMAAN PEMIKIRAN
M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID
1. Islam adalah agama pembebasan (a liberating religion) yang membebaskan manusia dari segala bentuk eskploitasi dan diskriminasi.
2. Sebagai agama pembebasan Islam sepenuhnya kompatibel dengan demokrasi.
3. Demokrasi diterima sebagai sistem yang paling rasional dan realistik untuk mewujudkan masyarakat yang adil, egaliter, dan manusiawi sebagaimana yang diidealkan Islam.
4. Seorang pemikir dan praktisi politik yang terlibat langsung dalam lembaga kenegaraan.
5. Penggagas dan pendiri partai politik.
PERBEDAAN PEMIKIRAN
M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID
Perbedaan tentang M. Natsir Gus Dur
1. Basis pendidikan
2. Dasar paradigma pemikiran
3. Sifat pemikiran
4. Tipologi aliran pemikiran
5. Pandangan terhadap sistem nilai Islam
6. Sikap terhadap sekularisasi
7. Negara demokrasi yang dicita-citakan
8. Tujuan membela demokrasi
9. Pluralisme yang diterima
10. Penerapan ideologi Pancasila
11. Partai yang diperjuangkan
12. Fungsi politik
Pendidikan modern
Al-qur’an dan Hadits.
Islam ideologis
Modernisme
Islam sebagai sumber hukum yang lengkap
Negatif (menolak dengan tegas)
Thestic Democracy (Demokrasi yang tidak meninggalkan nilai-nilai ketuhanan)
Untuk melindungi Syari’ah
Pluralisme eksklusif
Menolak
Partai Islam
Gerakan dakwah Pesantren tradisional
Konsep Fiqih Transformatif
Islam kultural
Neo-modernisme
Islam hanya salah satu unsur dalam bangunan kebangsaan yang ada
Afirmatif
Negara demokrasi yang utuh dan tidak ada unsur fundamentalismenya
Untuk melindungi pluralitas
Pluralisme inklusif
Menerima secara terbuka
Partai sekular
Gerakan moral
C. Implikasi.
Pemikiran-pemikiran M. Natsir dan Gus Dur yang berkaitan dengan wacana relasi Islam dan negara di atas, sudah pasti semakin menambah khazanah pemikiran politik Islam di negara kita. Dan tentunya, pemikiran-pemikiran tersebut membawa implikasi besar terhadap kehidupan politik masyarakat Indonesia, khususnya bagi generasi muslim selanjutnya.
Untuk lebih jelasnya, penyusun akan membagi implikasi pimikiran kedua tokoh tersebut menjadi dua aspek, yaitu implikasi yang bersifat institusional (Institusional Implication) dan implikasi personal (Personal Implication). Pertama, implikasi institusional, aspek ini lebih mengarah pada pemikiran suatu lembaga organisasi atau partai politik saja, baik itu partai yang mereka pimpin sendiri atau bukan. Kedua, implikasi personal, yang berarti pemikiran mereka tidak hanya berimplikasi pada sebuah partai saja, tetapi juga terhadap praktik dan pemahaman masyarakat dalam bernegara. Khususnya bagi generasi pemikir politik masa sekarang.
Peran politik Natsir mulai diperhitungkan oleh khalayak umum, sejak keterlibatannya dalam pembentukan partai Islam yang pertama kali di Indonesia, Masyumi, sebuah partai Islam yang berhasil mengantarkannya ke kursi birokrasi negara. Sebenarnya, keaktifan Natsir di partai ini sudah jelas menunjukkan bahwa manuver dan pemikirannya memang bersifat idealistik.
Kegigihannya dalam memperjuangkan Islam melalui dakwah politiknya, banyak mengundang simpati para kalangan modernis Islam Indonesia. Manuver dan pemikiran politiknya sampai saat ini masih tetap mendapat tempat istimewa di kalangan generasi muslim modernis abad 20-an ini, bahkan lebih dari itu, tampaknya generasi yang terinspirasi ini, tidak hanya mengaguminya namun juga mengembangkan ide dan perjuangan politiknya melalui gerakan dan partai Islam yang sama sekali baru.
Implikasi Pemikiran M. Natsir
Dari sisi institusional, ide-pemikiran M. Natsir ini sangat mempengaruhi karakter partai dan organisasi muslim modernis Indonesia, di antaranya Masyumi, Parmusi (Partai Muslim Indonesia), PBB dan DDII. Dalam pandangan Natsir dakwah merupakan sarana yang cukup efektif dalam memperjuangkan ajaran dan kepentingan politik umat Islam Indonesia, bahkan ia menganjurkan umat Islam untuk menggunakan politik sebagai media dakwah umat.
Pemikiran-pemikiran Natsir disambut baik oleh kalangan modernis muslim Indonesia, sebab spirit pesan yang disampaikannya sama-sama bertujuan mengembalikan kejayaan Islam, yakni dengan cara menerapkan pembaharuan pemikiran-pemikiran Islam klasik dan kemudian dipadukan dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern.
Pada zaman orde lama, pemikiran Natsir banyak mempengaruhi visi dan strategi partai politik Masyumi yang dibubarkan Soekarno, selain disebabkan keterlibatannya sebagai pendiri yang sekaligus pemimpin partai selama 5 kali berturut-turut. Ia juga tertarik lantaran platform partai ini sangat cocok dengan ide perjuangannya yang menurutnya sebagai representasi kelompok Islam. Dan salah satu cita-cita partai yang sesuai dengan ide pemikirannya yaitu mentransformasikan hukum Islam menjadi hukum nasional.
Sebagai tokoh politisi Islam modernis, ia mencoba memadukan ilmu pengetahuan modern dengan ajaran-ajaran Islam yang kemudian diaplikasikannya sesuai dengan keadaan masyarakat setempat. Keinginannya untuk memasukkan nilai-nilai dasar Islam dalam institusi negara inilah yang kemudian menggerakkannya untuk tetap konsisten mempertahankan dan memperjuangkan misi partai Islam yang bercorak modern di atas (Masyumi).
Tampak jelas, bahwa cita-cita dan pemikiran Natsir mempunyai pengaruh yang besar terhadap misi perjuangan partai Islam ini. Meskipun partai Masyumi sebelumnya merupakan partai Islam yang terdiri dari berbagai aliran Islam (fundamentalis, tradisionalis dan modernis), namun pada perkembangan selanjutnya partai ini lebih didominasi oleh pemkiran-pemikiran kelompok Islam modernis.
Selanjutnya pada masa orde baru, politik Islam masih saja menemui jalan buntu. Selain dibatasi ruang geraknya, ia juga ditempatkan sebagai kelompok yang berhaluan ekstrem kanan serta dinilai berpotensi melahirkan kekacauan nasional karena berupaya mendirikan negara Islam di tengah masyarakat yang plural, sehingga pada proses selanjutnya politik Islam seringkali menerima intimidasi, pengekangan dan pengkebirian hak politiknya oleh negara.
Sikap negara yang memusuhi politik Islam ini, tampaknya membuat mantan aktivis Masyumi harus memilih jalan lain, yakni dengan membentuk sebuah partai politik yang sama sekali baru, tetapi idealisme dan semangat Masyumi diharapkan tetap mengalir di dalamnya. Akhirnya dengan jalan penuh liku negara mengizinkan pembentukan partai ini, asalkan pemimpin dan penggiat partai Masyumi dicoret dari daftar kepemimpin, sehingga pada tanggal 20 Februari 1968 lahir “Partai Muslimin Indonesia” (Parmusi) di bawah pimpinan Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun, dua pegiat terkemuka dari Muhammadiyah.
Selain di Masyumi dan Parmusi, pemikiran M. Natsir juga masih banyak mempengaruhi peta politik Islam saat ini, khususnya PBB (Partai Bulan Bintang). Partai ini bukan hanya lahir karena dorongan eforia politik pasca reformasi 1998, akan tetapi juga mempunyai perjalanan sejarah yang lebih panjang, yakni dari masa politik orde lama, orde baru dan sampai sekarang masa reformasi.
Sejatinya secara historis, embrio lahirnya partai ini telah dirintis oleh tokoh-tokoh Islam terkenal, seperti Dr. H. M. Natsir, K.H. Masykur, K.H. Rusli Abdul Wahid dan Prof. Dr. H.M. Rosjidi yang sebelumnya bergerak dalam satu wadah yang dinamai dengan Forum Ukhuwah Islamiyyah (FUI). FUI didirikan pada tanggal 17 Agustus 1989, pendiriannya dilatarbelakangi oleh keprihatinan para pemuka muslim tersebut, atas gencarnya gerakan tans}iriyyah (kristenisasi) dalam merongrong akidah umat Islam Indonesia selama rezim Orde Baru berkuasa.
Pada mulanya Partai Bulan Bintang akan diberi nama “Partai Politik Islam Masyumi” oleh tim perumus partai ini. Namun keinginan itu diurungkan karena beberapa alasan. Pertama, tokoh-tokoh Masyumi di masa lalu dikenal integritas pribadinya yang tak tebantahkan, sehingga generasi baru yang akan memimpin partai ini dikhawatirkan akan sangat berat menanggung beban moral apabila tidak mampu menjaganya, dan akibatnya akan mencoreng nama baik Masyumi. Kedua, selama ini penyebutan keluarga besar Bulan Bintang pun identik dengan keluarga Masyumi.
Dari uraian-uraian tersebut bisa dipahami, bahwa pemikiran M. Natsir secara institusional mempunyai implikasi besar terhadap pembentukan partai-partai Islam di atas, di antaranya Masyumi, Parmusi, dan PBB. Meskipun masih banyak organisasi lain yang juga terpengaruh oleh pemikirannya, seperti DDII, FUI, Persis dan lain sebagainya.
Di antara implikasi yang sangat menonjol dari partai-partai Islam itu adalah semangat juangnya yang selalu menjadikan prinsip-prinsip Universal Islam itu sebagai rujukan dalam memecahkan masalah-masalah masyarakat dan negara seperti kemiskinan, ketimpangan sosial ekonomi, sistem kenegaraan, dan simbiosisme antara agama dan negara dan seterusnya. Selain itu labelisasi Islam sebagai asas partai ini tidak pernah mereka tinggalkan. Sehingga tidak aneh kalau kelompok ini sangat kritis dan selektif terhadap pemikiran Barat, sebagaimana yang ditunjukkan Natsir sebelumnya.
Sedangkan dari aspek personal, pemikiran Natsir ini juga cukup berpengaruh pada generasi intelektual muslim Indonesia zaman sekarang. Ini terlihat dalam pemikiran-pemikiran tokoh muslim modernis seperti Amien Rais, Nurcholish Madjid, dan Yusril Ihza Mahendra. Meskipun tidak sepenuhnya mereka sama dalam memahami relasi Islam dan negara, akan tetapi ada masalah-masalah tertentu yang membuat mereka terkesan Natsiris dalam mengkomunikasikan gagasan-gagasannya.
Sebagai tokoh pembaharu Muhammadiyah, Amien Rais sangat apresiatif dengan pemikiran-pemikiran Natsir sepanjang sejarah perpolitikan bangsa ini, baik itu yang berkaitan dengan masalah kenegaraan maupun keagamaan. Apalagi mengingat figur tokoh Islam Indonesia yang sangat dikagumi Amien ketika muda adalah M. Natsir, oleh sebab itu tidaklah berlebihan kalau Cak Nur mengatakan : “Dia itu sangat Natsiris”. Ini terlihat dari sikap kritisnya terhadap Barat dan kecintaannya terhadap umat Islam.
Lebih khusus, Amien cenderung anti terhadap Orientalisme dan sekularisme. Dalam analisanya, umat Islam dunia sengaja dipisahkan dari ajaran-ajarannya oleh hegemoni Barat, yakni dengan cara imprerialisme baru, melakukan proses peng-alienasian masyarakat Islam dari agamanya dan meracuninya dengan pemikiran-pemikaran Barat (Westoxication), yang mengakibatkan umat Islam terjangkit penyakit Westomania, sejenis penyakit jiwa yang menganggap Barat adalah segala-galanya.
Selanjutnya, ia berpendapat bahwa antara agama dan negara adalah saling bersatu yang berarti satu sama lainnya tak bisa dipisahkan, oleh sebab itu ia dengan tegas menolak ide sekularisme, baik itu sekulerisme moderat ataupun radikal. Dari uraian-uraian tersebut tampak jelas bahwa pengaruh Natsir dalam pemikiran Amien sangatlah besar.
Berbeda dengan Nurcholis Madjid, yang justu menggagas wacana sekularisme di tahun 1980-an. Namun demikian, sewaktu muda Cak Nur juga pernah menyandang gelar sebagai “Natsir Muda”. Hal ini disebabkan inovasi pemikirannya yang dirasa sesuai oleh kaum Islam modernis yang lebih tua saat itu, bahkan selama masih menjadi mahasiswa Cak Nur secara luas dianggap sebagai generasi penerus spritual M. Natsir.
Selain Amien Rais dan Nurcholis, Yusril Ihza Mahendara juga sangat dikenal sebagai kader penerus gagasan-gagasan M. Natsir. Ini terlihat bagaimana ia memperjuangkan aspirasi partai yang dipimpinnya, yakni PBB (Partai Bulan Bintang) yang sampai saat ini masih eksis mempertahankan Islam sebagai asas dasar partainya.
Implikasi Pemikiran Gus Dur
Secara institusional, pemikiran Abdurrahman Wahid cukup mewarnai manuver politik NU. Meskipun secara lahiriyah NU merupakan organisasi sosial akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa sense natural politiknya selalu muncul di tengah-tengah kemelut politik bangsa ini. Hal ini bisa dilihat dari sejarah perjuangannya, pada tahun 1978-an NU yang saat itu masih berafiliasi dengan PPP, dituduh oleh rezim Orde Baru sebagai embrio gerakan anti Pancasila.
Tuduhan itu diangkat dari tindakan protes dan walk out para tokoh NU dari sidang MPR yang membahas tentang rancangan ketetapan P4. Menurut Sidney Jones NU adalah Organisasi Sosial terbesar di negara ini yang masih memiliki aspirasi-aspirasi politis. Dan pada tahun 1971 ia menolak untuk mematuhi pedoman-pedoman Orde Baru tentang prilaku Politik, kemudian pada tahun 1981 NU juga menolak mendukung Soeharto untuk menjabat kembali atau memberinya gelar “Bapak Pembangunan”. Prilaku inilah yang membuat NU menjadi sasaran tuduhan anti Pancasila oleh rezim Soeharto.
Lebih lanjut, ditegaskan dalam pidato presiden Soeharto pada Rapim ABRI 1980 di Pekanbaru. Soeharto memperingatkan untuk tidak mencoba mengubah Pancasila atau UUD 1945, ia mengingatkan “walk out” (walau tidak menyebut NU) sebagaimana yang dilakukan ketika pembahasan masalah P4 pada tahun 1978 adalah salah satu contoh gerakan anti-Pancasila yang harus diwaspadai. Ini menunjukkan kecemasan Soeharto terhadap gerakan politik Islam.
Dalam perkembangan politik selanjutnya, NU yang saat itu sedang dipimpin Gus Dur semakin dinamis dan akomodatif dalam merespon kebijakan pemerintahan, ia menjadi aktor politik “nonpolitis” yang paling penting atau yang biasa disebut dengan istilah NU kembali ke khittah 1926, dan tentu saja inisiatif ini dimaksudkan untuk menjaga independensi politik NU dari intervensi Soeharto.
Pemikiran liberal Gus Dur sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan Ormas Islam ini, meskipun ada juga beberapa pemimpin NU terkemuka yang tidak sepakat dengan pemikirannya, di antaranya para Kyai dan tokoh senior NU, termasuk pamannya, Yusuf Hasyim, yang seringkali menentang inisiatif dan pernyataan-pernyataannya. Untuk itu, implikasi pemikiran Gus Dur terhadap NU ini tampaknya harus dilihat dari aspek nasionalisme dan Islam.
NU menurut Gus Dur, mempunyai akar fondasi nasionalis yang kuat sebagaimana yang telah dikatakan bapaknya (Wahid Hasyim) bahwa ia bersedia mendukung suatu negara nasionalis non-Islami. Selain itu, Gus Dur juga sering menekankan aspek-aspek nasionalis NU. Misalnya, dalam sebuah pidato penting kepada anggota-anggota NU pada tahun 1992, ia mengingatkan bahwa penerimaan NU kepada Pancasila bisa diterima karena beberapa alasan.
Dia menjelaskan bahwa pada tahun 1945 Soekarno meminta nasihat para pemimpin NU, termasuk bapaknya untuk membantu Soekarno merumuskan lima asas Pancasila. Lebih dari itu, Gus Dur menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada kontradiksi antara Islam dan nasionalisme, karena Islam tetap bisa berkembang dalam suatu negara nasionalisme yang tidak didasarkan pada Islam resmi.
Akibat dari pemikirannya yang bisa dikatakan nasionalis-Islam, Akhirnya pada tahun 1983 Nahdlatul Ulama menjadi Ormas Islam besar pertama yang menerima Pancasila dalam Anggaran Dasarnya, yang kemudian dipertegas kembali pada Muktamar ke 27-1984 di Situbondo Jawa-Timur bahwa Indonesia adalah negara yang didasarkan Pancasila, dan UUD 1945 adalah merupakan “Bentuk Final dari Negara” yang akan memerintah kepulauan Indonesia. Dan yang perlu diingat bahwa Pernyataan tersebut ditegaskan di tengah-tengah iklim politis yang saat itu benar-benar dalam keadaan memanas antara Islam dan negara, yakni pasca peristiwa Tanjungpriok dan pengeboman di Jakarta.
Sebenarnya yang mengeluarkan inisiatif kompromi Pancasila di atas adalah Kyai Ahmad Shidiq (almh) dan Gus Dur sendiri dalam membentuk dwitunggal yang bertangung jawab bagi transformasi dan revitalisasi NU sebagai basis kekuatan Islam yang pluralis dan neomodernis. Sebelumnya Ahmad Shidiq pernah menjelaskan bahwa NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal karena merupakan hasil filsafat manusia, sementara Islam merupakan wahyu Tuhan.
Selain berimplikasi di NU, pemikiran Gus Dur juga banyak mempengaruhi visi dan misi PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang ia pelopori sendiri. Maka tidaklah mustahil kalau PKB selama ini tetap menempatkannya sebagai Dewan Pertimbangan Penting di partai ini. PKB dipelopori oleh K.H. Ilyas Ruchiyat, K.H. Munasir Ali, K.H. Mustofa Bisri, K.H. Muchit Muzadi, dan K.H. Abdurrahman Wahid.
Melihat komposisi dari para pelopor di atas, sangatlah absurd kalau PKB tidak terkait sama sekali dari kepentingan NU, sebab sebagian besar yang membidani pembentukan partai ini adalah dari kalangan Kyai NU, ditambah lagi Gus Dur yang saat itu sebagai Ketua Umum PB NU, meskipun masih juga terdapat pro-kontra dalam pembentukannya. Pembentukan PKB merupakan upaya jalan tengah warga NU untuk berjuang di garis struktural politik, dengan seraya melakukan gerakan kultural melalui NU yang tetap dipertahankan sebagai organisasi sosial keagamaan (Jam‘iyah Diniyyah) seiring dengan perubahan yang terjadi di pentas nasional.
Kekonsistenan pemikiran para tokoh NU, termasuk Gus Dur, masih tetap bertahan dalam memberlakukan Pancasila sebagai asas tunggal di era reformasi ini, meskipun saat itu rezim Orde Baru telah jatuh dan eforia politik Islam sedang mendapatkan kebebasannya. Di lain kesempatan, Gus Dur yang saat itu didampingi oleh Matori Abdul Djalil pernah menyatakan, bahwa PKB bukanlah partai Islam dan merupakan partai yang menginginkan negara sekuler.
Dari sini bisa dilihat seberapa jauh implikasi pemikiran Gus Dur terhadap strategi perjuangan partai ini. Sebagaimana uraian di atas bahwa implikasi pemikiran Gus Dur ini tidak lepas dari aspek nasionalisme dan Islam, yang keduanya itu tampak dalam AD/ART PKB yang menjadikan Pancasila sebagai asas partai. Mengenai dipilihnya nasionalisme dan demokrasi yang dijadikan landasan dasar PKB daripada dasar agama, Gus Dur mengatakan bahwa PKB mengutamakan kepentingan nasional.
PKB senantiasa mengutamakan substansi Hukum Islam melalui Hukum Nasional dan bukan mengutamakan simbol-simbol formal keagamaan, karena Republik Indonesia adalah sebuah negara dengan kepentingan-kepentingan nasional dan bukan sebuah negara agama. Sedangkan dari sisi Islamnya, bagi Gus Dur bukan berarti karena PKB tidak mengusung simbol-simbol Islam kemudian dikatakan partai yang tidak Islami.
Dalam kaitan ini Gus Dur mengatakan:
“Tidak penting bagi PKB berasaskan Islam. Yang penting PKB adalah Partai Islam. Banyak partai yang berasaskan Islam, tapi mereka main tipu, main curang dan tidak berakhlak Islami. Islam hanya dijadikan mereknya saja. Jadi, parpol berasaskan Islam tidak bisa dibuat jaminan. Dan PKB tidak mementingkan mereknya, tapi isinya.
“Akhlak dari Tauhid PKB adalah Islam. Daripada parpol yang berasas Islam tapi tidak Islami, maka lebih baik seperti PKB, asas bukan Islam, tetapi kelakuan dan tauhidnya orang Islam.
Penegasan bahwa PKB merupakan Partai Islam dengan corak keislaman yang substantif dapat ditemukan pula dalam Prinsip Perjuangan Partai yang menyatakan: “pengabdian kepada Allah S.W.T., menjunjung tinggi kebenaran, menegakkan keadilan, menjaga persatuan, menumbuhkan persaudaraan dan kebersamaan sesuai dengan nilai-nilai Islam Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah”. Walaupun kekentalan PKB dengan aspek Islam sedemikan rupa, akan tetapi dalam kenyataannya tetap tidak membuat partai ini tergoda untuk menegaskan dirinya sebagai partai Islam.
Pemikiran-pemikiran Gus Dur tampaknya banyak mewarnai perjuangan PKB, di mana sebuah partai yang nota bene berbasiskan muslim santri pedesaan ternyata mampu membuat mereka (konstituennya) menerima pendekatan partai yang bersifat nasionalis atau Islam-kultural dibanding Islam-formal. Pemakaian Pancasila sebagai asas partai dilandasi oleh cara pandang tokoh PKB dalam melihat Islam, mereka meyakini bahwa Islam tidak perlu dilembagakan secara formal, tetapi yang penting adalah nilai ajaran Islam harus tercermin dalam kehidupan sehari-hari.
Selain dari aspek institusional di atas, pemikiran Gus Dur juga mempunyai implikasi yang bersifat personal terhadap tokoh-tokoh politik dan pemikir Indonesia, Alwi Shibab merupakan salah satu politisi sekaligus akademisi yang sedikit banyak mempunyai persamaan visi dan misi dengan Gus Dur dalam memandang “relasi agama dan negara”, sebagaimana yang sering dikatakan Gus Dur mengenai demokrasi, Alwi juga menandaskan agama idealnya dapat mendorong proses demokratisasi bukan malah menjadi alat legitimasi politik.
Dan istimewanya lagi ia dinilai mampu menerjemahkan pola pemikiran Gus Dur, sehingga banyak kalangan yang menganggap kedua tokoh ini merupakan duet yang ideal. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai politisi yang mengedepankan etika dan moralitas. Mengenai visi dan misinya dalam PKB, ia menyatakan bahwa partai ini merupakan partai terbuka dan inklusif yang bercita-cita mewujudkan masyarakat bermoral, bukan membentuk sebuah negara yang berdasarkan Syari‘at Isla>m.
Menurutnya, apabila Masyarakat telah menerapkan moralitas tentunya akan membentuk negara yang bermoral pula. Bukan bentuk, sistem atau asas yang diutamakannya, tetapi yang terpenting adalah usaha untuk menanamkan substansi dan essensi Islam dalam menciptakan masyarakat yang beradab. Lebih lanjut, Alwi mengatakan bahwa agama dan demokrasi juga sangat berkaitan, karena nilai-nilai substansi tersebut telah mendukung proses demokrasi, di antaranya yaitu keadilan, pemerataan, dan persamaan. Sekali lagi, ia menegaskan bahwa tujuan Islam adalah menciptakan masyarakat yang bermoral bukan menciptakan negara agama karena hanya akan memecah belah keutuhan bangsa saja, maka ide semacam itu harus ditinggalkan.
Saat ini Alwi Shihab menjabat sebagai Ketua Umum PKB, kehadirannya dalam dunia politik patut diperhitungkan oleh kawan dan lawan politiknya. Di samping itu, sebelum mejabat Ketua Umum PKB Alwi juga sempat menjadi Menteri Luar Negeri Indonesia di era kepresidenan Gus Dur. Persamaan visi dan misi membuatnya dekat dengan Gus Dur, bahkan karena kedekatannya ia diangap sebagai loyalis Gus Dur. Maka tak heran kalau dia kelihatan cukup fasih dalam membahasakan kebijakan Gus Dur seperti hubungan dagang dengan Israil. Namun demikian bukan berarti pembelaannya ini hanya disebabkan kedekatannya dengan Gus Dur semata, tetapi karena secara argumentatif memang ada nilai-nilai positif baginya.
Sebenarnya Karier politik Alwi lebih dilatarbelakangi dari jalur akademisi daripada organisasi, sebab sebelum terjun di dunia politik praktis, Alwi adalah seorang pengajar Islamic Studies di Harvard Divity School dan di Auburn Theological Seminary of New York. Namun demikian, sikap dan pemikiran politisnya yang elegan tersebut membuatnya bisa diterima oleh kalangan organisatoris tokoh NU dan PKB dan terpilih sebagai Ketua Umum PKB.
Mengenai eksistensi agama di Indonesia, penulis buku inclusive Islam (1997) ini, tidak jauh berbeda dengan pemikiran Gus Dur. Baginya Islam adalah agama rah}matan li al-‘alami>n, jadi tidak perlu menggunakan kekerasan dalam mendakwahkan ajaran, seperti yang dilakukan kalangan Islam Radikal. Dalam acara silaturrahmi warga NU dan PKB di Jember, Alwi Shihab meminta pada seluruh umat Islam Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah untuk berhati-hati terhadap berkembangnya Islam radikal, menyusul banyaknya pengeboman yang dilakukan Islam radikal itu. Dan katanya, kita adalah satu-satunya partai yang memiliki otoritas keagamaan yang dapat menkounter radikalisme ini.
Untuk itu, ia juga sepakat kalau Syari‘at Isla>m tidak perlu diundang-undangkan di negara ini, karena hanya akan memicu disintegrasi bangsa yang plural ini. Selain itu, meskipun Islamlah yang mayoritas di negara ini, namun dalam kenyataannya tidak semua orang Islam Indonesia mengerti dan menjalankan ‘Aqidah dan Syari‘ah-nya. Lalu apakah harus dipaksa? Padahal Islam dalam mensyiarkan Syari‘ah-nya itu selalu bertahap dan disesuaikan dengan kemampuan manusia itu sendiri.
Selain Alwi Shihab, banyak generasi muda NU yang saat ini masih terus mencoba mengembangkan pemikiran-pemikiran Gus Dur, baik dalam memahami agama maupun negara (politik). Salah satunya adalah Ulil Abshar Abdalllah, ia dikenal sebagai intelektual muda yang sangat kontroversial di kalangan NU, meskipun ia tidak akrab dengan dunia politik praktis tetapi kekritisannya mengenai intervensi negara terhadap agama menyegarkan kembali pemahaman wacana Islam di negara kita yang cenderung membeku baginya.
Saat ini Ulil menjabat sebagai Direktur JIL (Jaringan Islam Liberal) di Jakarta, sebelumnya ia aktif di LAKPESDAM NU. Pemikirannya sempat mengundang reaksi keras para tokoh Islam Indonesia yang tergabung dalam FUI, yang sampai mengeluarkan fatwa hukuman mati untuknya. Sebenarnya ada beberapa pokok pikiran Ulil yang secara essensial sama dengan pemikiran Gus Dur, seperti Pribumisasi Islam, Islam kontekstual, dan Islam Universal.
Beberapa pemahaman yang menurut Ulil perlu disegarkan kembali, di antaranya yaitu: Pertama, penafsiran Islam yang non literal, substansial dan sesuai dengan peradaban manusia yang selalu berubah. Kedua, pemisahan unsur-unsur budaya lokal dan nilai fundamental dalam ajaran Islam, artinya kita harus membedakan mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan yang bukan. Misalnya, masalah jilbab, potong tangan, rajam, jenggot, Jubbah dan ekspresi budaya arab lainnya. Bagi Ulil budaya semacam itu tidak wajib diikuti, karena itu hanyalah ekspresi lokal partikular Islam Arab saja, justru yang wajib diikuti adalah nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu.
Ketiga, perlu adanya pemisahan yang jelas antara kekuasaan politik dan agama. Bagi Ulil agama adalah urusan pribadi, sedangkan pengaturan kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil konsesi masyarakat melalui prosedur demokrasi. Meskipun demikian nilai-nilai universal agama tetap diharapkan partisipasinya dalam membentuk nilai-nilai publik.
Dalam wawancara yang dilakukan majalah Gatra, mengenai tuntutan pemberlakuan syariat Islam oleh negara. Ulil mengatakan bahwa Islam sebagai agama adalah masalah privat. Oleh sebab itu menurutnya, Islam tidak perlu memformalkan Syari‘at Isla>m karena hanya akan melibatkan peran negara (publik) secara penuh terhadap kehidupan beragama kita (privat), dan kemungkinan yang lebih parah lagi adalah terjadinya penyempitan pemahaman dan penyeragaman umat Islam dalam beragama, padahal perbedaan itu sendiri adalah sunnatullah.
Selanjutnya ia mengkritik secara tegas terhadap cara pandang yang menyebutkan Islam adalah agama dan negara, baginya agama haruslah dipisahkan dari peran negara sebagaimana yang ia uraikan di atas, agar kesucian agama tetap terjaga. Hal ini sesuai dengan apa yang Gus Dur cita-citakan selama ini bahwa umat Islam tidak harus menjadikan Islam sebagai merk atau label belaka, akan tetapi lebih ditekankan pada nilai-nilai substansinya karena kita hidup di negara yang sangat plural agama dan budayanya, dan tentunya sangat berbeda dengan tradisi Arab di sana.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Dari uraian di atas, bisa dipahami bahwa secara historis kondisi sosial politiknya M. Natsir dan Gus Dur memang berbeda, Akan tetapi secara ideologis perjuangan dan cita-cita politik mereka masih terus mewarnai panggung politik Indonesia hingga saat ini. Hal ini bisa dilihat dari implikasi pemikiran dan cita-cita mereka terhadap pemikiran politik Islam yang sedang berkembang kini. Dan untuk lebih jelasnya, penyusun simpulkan sebagai berikut:
1. Mengenai relasi Islam dan negara, meskipun secara teoritis keduanya sepakat bahwa Islam tidak mempunyai sistem kenegaraan yang baku, akan tetapi secara praksis aksi politik mereka berbeda. Menurut M. Natsir, Islam dan negara adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan (integratif), ia beranggapan bahwa urusan kenegaraan pada dasarnya merupakan bagian integral Islam yang di dalamnya mengandung ideologi atau falsafah hidup. Sementara menurut Gus Dur, antara agama dan negara harus dipisahkan secara jelas fungsi wewenangnya (sekular), supaya tidak terjadi pendistorsian. Dan seharusnya Islam hanya dijadikan sebagai etika sosial saja dalam kehidupan bernegara, bukan sebagai landasan ideologi.
2. Secara normatif paradigma M. Natsir mengenai relasi Islam dan negara di atas didasarkan pada salah satu ayat al-Qur’an yang berbunyi:
و ماخلقـت الجن و الإنس إلا ليعبـد ون (الذاريات : ٥٦)
Sedangkan paradigma Gus Dur didasarkan pada salah satu kaidah Usul Fiqih yang berbunyi:
تصرف الإمام على الرعـية منوط بالمصلحـﺔ
Selain dari aspek normatif tersebut, aspek sosio-historis juga sangat mempengaruhi cita-cita politik mereka baik dari setting sosial maupun aktivitas organisasinya. M. Natsir dibesarkan di lingkungan Islam modernis, yang sudah banyak melakukan pembaharuan dan pemurnian ajaran Islam. Sedangkan Gus Dur tumbuh besar di lingkungan Islam tradisionalis, yang memegang teguh doktrin Islam klasik dengan mengkontekskan pada tradisi atau budaya setempat.
3. Corak pemikiran politik M. Natsir dikategorikan sebagai kelompok idealis dalam wacana politik Islam. Dan sebagai konsekuensinya, pemikiran semacam ini banyak berimplikasi pada tokoh Islam modernis, yang mereformasi doktrin-doktrin lama dengan tetap berlandaskan al-Qur’an, akan tetapi tetap menolak keras paham sekular.
Sedangkan pemikiran politik Gus Dur dikategorikan sebagai kelompok realis, yang cenderung moderat dalam merespon realitas sosial. Meskipun berlatar belakang tradisionalis, akan tetapi pemikirannya cukup mewarnai di kalangan Islam neo-modernis, sebuah kelompok yang afirmatif dalam merespon sekulerisme, dan secara tegas menolak formalisasi agama.
B. Saran-saran.
Relasi Islam dan negara selalu mengalami ketegangan, dalam kehidupan politik Indonesia, apalagi menjelang Pemilu baik di era orde lama ataupun orde baru. Akan tetapi ketegangan itu telah mengalami metamorfosis di era reformasi ini, karena aspirasi politik Islam sudah tidak dipasung lagi dalam berpolitik praktis seperti mendirikan partai Islam.
Selanjutnya, skripsi ini hanyalah salah satu cara bagaimana menyikapi relasi Islam dan negara di Indonesia. Dan lebih menitik beratkan pada perbedaan cita-cita ideologi negara yang kemudian penyusun hadapkan pada dua tokoh, M. Natsir dan Gus Dur. Untuk itu masih banyak aspek lain yang bisa diteliti oleh penyusun selanjutnya mengingat baru sebagian masalah yang saat ini penyusun kaji dari pemikiran kedua tokoh tersebut. Di antaranya mengenai demokrasi, sistem tata negara Islam, eksistensi partai Islam di Indonesia dan pandangan mereka terhadap pemberlakuan Syari‘at Isla>m.
Dan tentunya, berkaitan dengan skripsi ini penyusun mengharapkan saran dan kritik para pembaca guna memperbaiki kesalahan atau kekurangan yang ada. Selain itu penyusun sendiri sadar bahwa karya ini merupakan buah pertama dari proses panjang pendewasaan intelektual penyusun, sehingga masih sangat dimungkinkan jauh dari kesempurnaan.
BIBLIOGRAFI
I. Kelompok Al-Qur’an/Tafsir
Departemen Agama RI (pengawas), Al-Qur,an dan Terjemahnya, Madinah: tp, 26 Rajab 1415 H
II. Kelompok Fiqih/Usul Fiqih
Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Madinah Dan Masa Kini, Jakarta, Bulan Bintang, 1992.
Dkk, Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Haikal, Muhammad Husein, al-Hukumat al-Islamiyyat, Mesir, Dar al-Ma’arif, 1983.
Khallaf, Abdul Wahab, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kairo, Dar al-Qolam, 1977.
—————————, Al-Siyasat as-Syari’at, AL-Qahirat: Dār al-Anshār, 1977.
Pulungan, J. Suyuthi, Fiqih Siyasah: ajaran, sejarah dan pemikiran, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997.
Sirry, A Mun’im, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya, Risalah Gusti, 1996.
III. Kelompok Buku Lain
Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999.
Abdurrahman, Moslem, Islam Transformatif, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995.
Anggaran Dasar PKB.
Ahmad, Abd. Al-’Athi Muhammad, al-Fikr al-Siyasi Li al-Imam Muhammad Abduh, Mesir, al-Maiat al-Mishriyyat al-’Ammat li al-Kitab, 1978.
Ali, A. Mukti, Metode Memahami Agama Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1991.
Ali, Fachry & Bahtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Di Indonesia Masa Orde Baru, Bandung, Mizan, 1995.
—————————————-, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung, Mizan, 1990.
Amal, Taufiq Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung, Mizan 1989.
Amir, Zainal Abidin, Peta Islam Politik: Pasca-Soeharto, Jakarta, Pustaka LP3ES, 2003.
An-Nabhani, Taqiyuddin, Sistem Pemerintahan dan Realitas Doktrin, Sejarah dan Doktrin, Sejarah Empirik, Bangil, al-Izzah, 1996.
Anshari, Endang Saefuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler, tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1949-1959, Bandung, Pustaka Salman, 1981.
Azhar, Muhammad, Filsafat Politik Perbandingan Antara Islam dan Barat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997.
Azra, Azyumardi, dan Saiful Umam (ed), Tokoh dan Pimpinan Agama: Biografi Sosial Intelektual, Jakarta, Badan Litbang DEPAG RI dan PPM, 1998.
———————, Jaringan Ulama Timur Tengah Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung, Mizan, 1994.
———————, Pergolakan Politik Islam di Indonesia dari Fundamentalisme, Modernisme dan Post Modernisme, Jakarta, Paramadina, 1999.
Bakker, Anton & Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1999.
Barton, Greg, Biografi Gus Dur, The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta, LKiS, 2003.
—————-, Gagasan Islam Liberal Di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, alih bahasa Nanang Tahqiq, Jakarta, Paramadina, 1999, cet. 1.
Barton, Greg, dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nahdlatul Ulama Negara, Yogyakarta, LKiS, 1997.
Boland, B.J., The Struggle of Islam in Modern Indonesia, Hgue, Martinus Nijhoff, 1971 dan 1982.
Dkk, Andrrée Fillard, Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta, LKiS, 1994.
Dkk, Anwar Haryono, Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001.
Dkk, Hasyim Wahid, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangkitan Indonesia, Yogyakarta, LKiS, 1999.
Dkk, Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1992.
Dkk, Ulil Abshar Abdalla, Islam Liberal dan Fundamental: sebuah Pertarungan Wacana, Yogyakarta, eLSAQ, 2003.
Effendy, Bahtiar, dan Fachry Ali, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung, Mizan, 1986.
Effendy, Bahtiar, (RE) Politisasi Islam, Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, Bandung, Mizan, 2000.
——————–, Islam dan Negara, Jakarta, Paramadina, 1999.
——————–, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta, Paramadina, 1998.
Effendy, Djohan, The Contribution of The Islamic Parties to The Decline of Democracy in the 1950, makalah Confrense on Indonesia Democrasy, Monash University, 18 Desember 1992.
Enayat, Hamid, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad ke 20, Bandung, Pustaka, 1998.
Feillard, Andrée, NU vis-a-vis NEGARA: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta, LkiS, 1999.
Gatra, No. 15, 16 Desesmber, 2002.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Reseach, Yogyakarta, Andi Offset, 1989,
Hakim, Abd al-Hamid, as-Sulam, Jakarta, Sa’adiyah Putra, tt.
Hakim, M. Arief, Membangun Budaya Kerakyatan: Kepemimpinan Gus Dur dan Gerakan Sosial NU, Yogyakarta, Titian Ilahi Press.
Hamzah, K.H. Imron, dan Choirul Anam, Sebuah Dialog Mencari Kejelasan, Gus Dur diadili Kiai-kiai, Surabaya, Jawa Pos, 1989.
Hasil Mukernas I Partai Bulan Bintang, Jakarta, DPP PBB, 1999.
Hatta, Memoir, Jakarta, Tintamas, 1978.
http://www.tokohindonesia.com, Dr. Alwi Shihab Kandidat Wakil Presiden 2004, 11 Desember 2003.
Hoesen, K.H. Ibrahim, Fiqih Siyasi Dalam Tradisi Pemikiran Islamik Klasik, Ulumul Qur’an, No.2 Vol.IV/1993.
Ida, Laode dan & Thantowi Jauhari, Gus Dur di antara Keberhasilan dan Kenestapaan, Jakarta, Rajawali Press, 1999.
Ismail, Faisal, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 1999.
Jawa Pos, Surabaya, 29 Mei 1999.
Jaiz, Hartono Ahmad, Gus Dur Menjual Bapaknya, Bantahan Pengantar Buku: Aku Bangga Jadi Anak PKI, Jakarta, Darul Falah, 2003.
Kreatif Islam dan Pancasila , Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999.
Kamaruzzaman, Relasi Islam Dan Negara: Perspektif Modernis Dan Fundamentalis, Magelang, IndonesiaTera, 2001.
Karim, A. Gaffar, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1995.
Karim, Muhammad Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999.
Kompas Harian Amanat Rakyat, PKB Rekrut Nur Mahmudi juga Tokoh-tokoh Muhammadiyah, Selasa, 4 Februari 1999.
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung, Mizan, 1999.
Lewis, Bernard, Bahasa Politik Islam, Jakarta, Gramedia, 994.
Liddle, William, Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political Thougt and Action in New Order Indonesia, kertas kerja tidak diterbitkan.
Luth, Thoir, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta, Gema Insani Press, 1999.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Masalah kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta, LP3ES, 1996.
—————————, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi terpimpin 1959-1965, Jakarta, Gema Insani Press, 1996.
—————————, Peta Bumi Intelektualisme Islam Indonesia, Bandung, Mizan, 1995.
Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at I-Islami (Pakistan), Jakarta, Paramadina, 1999.
Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme Islam dan Demokrasi: Pandangan Politik Natsir, Jurnal ISLAMIKA, No 13, 1994.
Malik, Dedy Djamaluddin & Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholis Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat, Bandung, Zaman Wacana Mulia, 1998.
Mangkusasmito, Prawoto, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Refleksi, Jakarta, Hudaya, 1970.
Masdar, Umaruddin, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.
Maududi, Islamic Law and Constitution, Lahore, Islamic Publication, 1990.
MD, Moh. Mahfud, Konfigurasi Politik dan Hukum pada Era Orde Lama dan Orde Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.
Mehden, Fred Den, Religion and Modernization in South East Asia Syracuse, Syracuse University Press, 1986.
Minhaji, Ahmad, Ahmad Hassan and Islamic Legal Reform in Indonesia (1887-1958), Yogyakarta, Kurnia Kalam Semesta, 2001.
Mitchel, Richard P., The Society of Muslim Brother, Oxford, Oxford Universuty Press, 1969.
Mochtar, Kustiniyati (peny), Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, Jakarta, Gramedia, 1989.
Mudzhar, M. Atho’, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta, Titian Ilahi Press, 1998.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, 1985.
Nasution, S, Sejarah Pendidikan Indonesia, Jakarta, Bumi Aksara, 1995.
Natsir, M, Capita Selecta, Jakarta, Bulan Bintang, 1973.
———–, Agama Dan Negara Dalam Perspektif Islam, Jakarta, Media Dakwah, 2001, cet 1.
Noer, Deliar, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, Singapura, Oxford University Press, 1973.
—————-, Gerakan Modern, Islam Di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES, 1966.
—————-, Gerakan Modern, Islam Di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES, 1982.
—————-, Islam, Pancasila dan Asas tunggal, Jakarta, Yayasan Perkhidmatan, 1983.
—————-, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, Bandung, Mizan, 2000.
—————-, Partai-Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1987.
Poesponegoro, Marwati Djoenod, dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta, Departemen P&K, 1984.
Qutb, Sayyid, Khas}ais} al-Tasawwur al-Isla>mi wa Muqawwamatuhu, Kairo: Issa al-Babi al-Halabi wa Shuraka’uhu, 1962
Rahardjo, M. Dawam, Intelektual Intelegensia dan Prilaku Politik Bangsa: Risalah Cendikiawan Muslim, Bandung, Mizan, 1993.
Rahman, Budhy Munawar, Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta, Paramadina, 1995.
Ramage, Douglas Edward, Percaturan Politik Di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi, Jogjakarta, Mata Bangsa, 2002, cet. I.
Republika, 27 Mei 1999, hlm. 3.
Rosidi, Ajib, M. Natsir, Sebuah Biografi, Jakarta, Girimurti Pustaka, 1990.
Schuman, Olaf, “Dilema Islam Kontemporer antara Masyarakat Modern dan Negara Islam”, Jurnal Paramadina, No. 2, Vol I, Jakarta, Paramadina, 1999
Shihab, Alwi, Mengemban Tuntutan Jaman, Yogyakarta, Wahyu Pustaka, 2000.
Sitompul, Einar M., NU dan Pancasila, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1989.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta, UI Press, 1993, edisi V.
Soekarno, Memudahkan Pengertian Islam, di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta, Panitia di Bawah bendera Revolusi, 1994.
Soenjoto, Peneliti dan peteliti, Yogyakarta, Ranggon Studi, 1983.
Suhelmi, Ahmad, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir, Bandung, Teraju, 2002.
Syamsuddin, M. Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta, Logos, 2000.
Tempo, No. 42, 22 Desember 2002.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1994.
Uhlin, Anders, Oposisi berserak, Arus Deras Demokratisasi Glombong Ketiga di Indonesia, Bandung, Mizan, 1998.
Ulum, Bahrul, Bodohnya NU apa NU Dibodohi?, Jejak Langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah Meneropong Paradigma Politik, Yogyakarta, 2002.
Wahid, Abdurrahman, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta, P3M, 1989.
—————————, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta, Grasindo, 1999.
—————————, Prisma Pemikiran Gus Dur, yogyakarta, LkiS, 1999.
—————————, Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia, Prisma, No. 4, April 1984.
Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, Yayasan Prapanca, 1959.
#Skripsi
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Gagasan tentang relasi Islam dan Negara selalu menjadi wacana aktual di Indonesia meskipun telah diperdebatkan beberapa tahun yang lalu, dan mengalami fluctuative discourse dalam percaturan politik di Indonesia, akan tetapi wacana ini selalu survive pada momen-momen tertentu. Hampir bisa dipastikan ketegangan dan perdebatan ini muncul menjelang pemilu karena momen ini merupakan kesempatan besar bagi semua golongan yang ingin memperjuangkan aspirasi politiknya, baik itu yang berideologikan nasionalis, maupun Islam.
Sejak pancasila dijadikan dasar ideologi formal Republik Indonesia pada tahun 1945 oleh Soekarno, pancasila menjadi bagian perdebatan politik yang tak terelakan oleh Politikus dan Agamawan, khususnya Islam. Pada tahun 1950-1955 melahirkan sistem multipartai, ini merupakan kesempatan besar bagi Partai Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai asas Negara, akan tetapi apa yang dicita-citakannya masih belum bisa dicapai sampai sekarang. Hal yang sama terjadi pada 1999 tahun lalu yang menggunakan sistem multipartai dan lagi-lagi Islam belum cukup kuat untuk meletakkan ideologi Islam sebagai dasar negara. Berhubung partai politik merupakan salah satu alat untuk mewujudkan cita-cita gagasan, tidak menutup kemungkinan bahwa pemilu 2004 yang akan datang juga muncul polemik sistem negara apalagi Islam formalis masih berada di ujung kekakalahan.
Sebelumnya pada tahun 1978-1985 telah terjadi ideologisasi pancasila yang diinstruksikan oleh Soeharto, dan kemudian menimbulkan perdebatan yang luar biasa di kalangan tokoh dan gerakan ideologi Islam. Insiden politik semacam itu sempat terulang kembali pada tahun 1990 di negeri ini, yakni mengenai perdebatan ideologi. Sebenarnya sumber perdebatan itu adalah relasi Islam dan negara, khususnya mengenai sistem negara apa yang akan dipakai untuk membangun Indonesia, apakah berasaskan Islam atau sekuler ?
Penelitian ini mengambil judul “Diskursus Pemikiran Politik Islam di Indonesia (Studi Pemikiran M. Natsir dan Abdurrahman Wahid tentang Relasi Islam dan Negara),” penyusun lebih memfokuskan pada dua tokoh ini yang tentunya telah banyak mewarnai wacana perdebatan Islam dan Negara sepanjang lahirnya kemerdekaan bangsa Indonesia sampai saat ini.
Menurut Munawir Sjadzali ada tiga kategori dalam memandang hubungan Islam dan negara di kalangan tokoh Islam. Pertama, aliran konservatif tradisionalis, yang berpendapat Islam adalah agama yang sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara, oleh sebab itu tidak ada alasan memisahkan keduanya. Di antara para tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran integratif modernis, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh yang terkemuka yaitu M. Husein Haikal. Dan yang Ketiga, aliran nasionalis sekuler, Islam tidak ada hubunganya dengan negara karena menurut aliran ini Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh utama aliran ini ialah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein.
Dari ketiga aliran tersebut, M. Natsir dan Gus Dur memang masuk dalam kategori aliran integratif modernis yang sebenarnya dalam klasifikasinya Munawir Sjadzali merupakan terma dari modernis, dalam hal ini penyusun lebih suka memposisikan M. Natsir sebagai tokoh modernis, sedangkan Gus Dur sebagai tokoh neo-modernis (meminjam istilah Greg Barton), ini karena pemikirannya yang liberal dan rasional tentang isu kontemporer (baik itu politik, budaya dan agama) dengan tetap setia pada posisi konservatif-tradisional bahwa kejujuran dan kebenaran al-Qur’an tidak perlu diganggu gugat.
Kedua tokoh ini menarik untuk dikaji. Pertama, secara umum keduanya masuk dalam kategori aliran yang sama yaitu integratif modernis tetapi beda pendapat mengenai relasi Islam dan negara, khususnya azas negara, apalagi kelompok (background) yang diwakilinya sangat kontradiktif dengan gagasan dan prilaku politik tokoh tersebut, Gus Dur yang dibesarkan dalam lingkungan kaum tradisionalis, yaitu NU yang nota bene orientasi politiknya berkiblat pada ulama klasik seperti Al-Mawardi dan Al-Ghazali ternyata mampu mengapresiasikan pemikiran liberal yang cenderung ala Ali Abd al-Raziq, sedangkan M. Natsir yang dibesarkan dalam lingkungan modernis justru lebih akrab dengan pemikiran politik Islam fundamentalis seperti al-Maududi yang sangat menginginkan Islam dijadikan sebuah dasar negara karena menurut M. Natsir sendiri meniru sistem pemerintahan Barat adalah tindakan sekuler yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.
Kedua, wacana ini selalu aktual di Indonesia apalagi ketika mendekati pemilu. Dan tentunya gagasan kedua tokoh tersebut juga masih banyak mempengaruhi wacana perdebatan Islam dan negara di Indonesia. Setidaknya kedua alasan inilah yang menyebabkan penelitian ini dilakukan.
M. Natsir menawarkan Islam sebagai azas negara bukanlah aksi pembangkangan negara (makar), akan tetapi lebih pada penghidupan demokrasi. Oleh sebab itu dalam pidatonya pada sidang pleno konstituante (12 November 1957) ia menghendaki negara Indonesia ini berazaskan ideologi Islam. “Negara demokrasi berdasarkan Islam”. Keinginannya ini Bukan semata-mata karena Islam agama mayoritas di Indonesia melainkan ajaran Islam mengenai ketatanegaraan dan kehidupan bermasyarakat itu mempunyai sifat yang sempurna dalam menjamin kerukunan beragama dan bernegara.
Sementara mengenai sistem pemerintahan suatu negara, M. Natsir berpendapat boleh meniru pemerintahan Barat asalkan tidak melanggar nilai-nilai dasar Islam. Karena baginya Islam memang tidak mempunyai sistem ketatanegaraan yang sempurna. Ini menarik untuk dicermati satu sisi M. Natsir terbuka untuk memakai sistem apa yang akan dipakai di Indonesia sisi lain dia bersikeras memperjuangkan Islam sebagai azas ideologi negara.
Sedangkan menurut Gus Dur apabila politik, budaya dan agama diideologikan fungsinya bisa terdistorsi karena yang muncul bukanlah struktur yang lebih baik melainkan konflik horizontal. Hal yang senada diungkapkan oleh Cak Nur bahwa Islam bukanlah sebuah ideologi, sebab pendapat Islam sebagai ideologi hanya akan menyamakan agama itu setaraf dengan ideologi-ideologi yang ada di dunia.
Dalam memandang relasi Islam dan negara, masalah ketatanegaraan merupakan hal yang tak bisa ditinggalkan, sebab faktor inilah yang kemudian seringkali memunculkan perdebatan antara kelompok muslim idealis dan realis di negara kita. Adanya “Sistem Kekhalifahan” di masa Rasulullah S.A.W. dan Sahabat membuat sebagian masyarakat muslim dunia semakin menyakini bahwa jauh sebelum sistem demokrasi muncul, sebenarnya Islam telah mempunyai sistem Tata Negara sendiri.
Dalam perspektif Ahl as-Sunnah wa al-Jama>‘ah pemerintahan dinilai dari segi fungsionalnya bukan pada formalitas bentuknya, apakah negara Islam atau bukan. Disamping itu, menurut Gus Dur Islam tidak mempunyai konsep pemerintahan yang definitif, misalnya tentang suksesi kepemimpinan terkadang memakai istikhla>f, bay‘ah, dan ahl al-H{alli wa al-Aqdi (sistem formatur). Hal ini menunjukkan Islam inkonsisten dan tidak mempunyai konsep yang baku.
Atas dasar pemikiran inilah, Gus Dur menerima ideologi pancasila sebagai azas negara, dan yang terpenting baginya adalah umat Islam bisa melaksanakan kehidupan beragama secara penuh dan tetap berpegang pada etika sosial (social ethic).
Berbeda dengan M. Natsir yang menolak secara tegas ideologi pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Tetapi bukan berarti jalannya pemerintahan terlepas dan terpisah dari keagamaan begitu saja karena baginya Islam sendiri tidak asing dengan nilai-nilai demokrasi dan kemajemukan. Menurut penyusun “posisi Gus Dur yang menempatkan pancasila sebagai pra-syarat demokratisasi dan pembangunan keIslaman yang sehat di Indonesia nampaknya harus dilihat dari perspektif neo-modernisme.”
Integrasi antara kemajemukan, demokrasi, Islam dan nasionalisme inilah yang secara intelektual politis melatarbelakangi keikutsertaan Islam dalam diskursus politik dan ideologi negara di Indonesia selama ini.
B. Pokok Masalah.
Dari uraian di atas dipaparkan bahwa ada persamaan dan perbedaan pemikiran di antara M. Natsir dan Gus Dur mengenai hubungan Islam dan negara, keduanya sama-sama menjunjung nilai demokrasi tetapi berbeda dalam gagasan dan prilaku politiknya Hal ini bisa disebabkan latar belakang sosiohistoris yang berbeda. Oleh sebab itu perlu penyusun tegaskan bahwa fokus dari permasalahan ini yaitu:
1. Bagaimanakah pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai relasi Islam dan negara?
2. Mengapa kedua tokoh itu mengajukan tesis yang berbeda?
3. Apa implikasi tesis mereka terhadap pemikiran politik Islam di Indonesia?
Tiga pokok masalah di atas diharapkan dapat mewakili (cover) dari beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Di samping itu juga berguna untuk memperjelas arah penelitian yang dimaksud.
C. Tujuan dan Kegunaan.
Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dalam bidang Perbandingan Madzhab Dan Hukum di Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain itu juga ada tujuan yang lain yaitu:
1. Untuk mendapatkan penjelasan (explanation) yang lebih tajam tentang karakteristik pemikiran antara M. Natsir dan Gus Dur mengenai wacana Islam dan negara, khususnya azas negara Indonesia.
2. Mengidentifikasi asal-usul gagasan kedua tokoh tersebut dalam perspektif perbandingan, baik itu latar belakang sosial, pendidikan dan politik.
3. Mendapatkan deskripsi yang jelas mengenai implikasi kedua gagasan tersebut dalam konteks perkembangan Islam dan politik Indonesia saat ini.
Adapun dari penulisan ini diharapkan dapat diambil beberapa manfaat atau kegunaan, di antaranya:
1. Dapat diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan terhadap karakteristik pemikiran kedua tokoh tersebut dalam mengkaji azas negara (Pancasila).
2. Bisa dijadikan salah satu sumber diskusi dalam mengkaji relasi Islam dan negara di Indonesia, khususnya dalam perspektif Islam modernis dan neo-modernis.
3. Sebagai prediksi, sejauh mana implikasi kedua pemikiran itu dalam perubahan dan perkembangan politik Islam di Indonesia saat ini.
D. Telaah Pustaka.
M. Natsir dan Gus Dur adalah tokoh pemikir dan sekaligus seorang politikus yang sangat dikenal oleh masyarakat luas, meskipun keduanya hidup pada masa yang berlainan, namun gagasannya selalu aktual bahkan sering dijadikan rujukan dalam diskusi dan aksi politik.
Penelitian ini mempunyai Dua variabel. Pertama, mengenai diskursus pemikiran politik Islam di Indonesia. Kedua, pemikiran M. Natsir dan Gus Dur mengenai Relasi Islam dan Negara di Indonesia. Banyak buku atau karya ilmiah yang membahas M. Natsir dan Gus Dur, baik itu biografi, prilaku politik maupun gagasannya. Akan tetapi pembahasan itu sering kali tidak dilakukan secara bersamaan hanya difokuskan pada satu tokoh saja kalau memang ada yang mengkaji perbandingan itu juga tidak membahas M. Natsir dan Gus Dur sekaligus. Karena penulisan ini meliputi dua variabel di atas, maka penyusun merasa perlu menelaah buku-buku yang berkaitan dengan variabel tersebut.
Dalam tesisnya A. Syafi’i Maarif yang dibukukan dengan judul Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Karya ini meneliti tentang relasi Islam dan politik yang kemudian menggambarkan prilaku partai-partai Islam dalam menghadapi kebijakan politik Soekarno saat itu, khususnya partai Masyumi yang dibubarkannya. Di sini penyusun sempat membahas M. Natsir namun tidak lengkap karena lebih memfokuskan pada gerakan partai politiknya.
Disamping itu, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at Islami (Pakistan) karya Yusril Ihza Mahendra, buku ini lebih menitik beratkan pada partai-partai di atas meskipun ada tokoh yang dilibatkan seperti M. Natsir dan Maududi sebagai representasi dari modernisme dan fundamentalisme akan tetapi kedua tokoh itu tidak menjadi fokus kajiannya karena lebih pada partai tempat tokoh ini berpolitik.
Bahtiar Effendy dalam bukunya Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (1998) yang menjelaskan relasi Islam dan negara di Indonesia. Dengan kesimpulan bahwa buku ini hanya menyoroti keterwakilan kaum muslim secara proporsional dalam lembaga-lembaga negara dan dipertahankannya komitmen bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler. Di samping itu penulis juga menyinggung sedikit polemik M. Natsir dengan Soekarno mengenai azas negara.
Sedangkan Ahmad Suhelmi dalam bukunya Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler (1999) juga mengkaji pemikiran kenegaraan dalam perspektif M. Natsir, khususnya pandangan M. Natsir vis-a-vis Soekarno. Buku ini lebih melihat sosok pemikir M. Natsir dibanding Natsir yang mewakili tokoh modernisme Islam.
Sementara itu, Buku politics in Indonesia: Democracy, Islam and Ideology of Tolerance yang ditulis Douglas E. Ramage membahas Islam dan demokrasi, khususnya mengenai ideologi pancasila dalam relevansinya dengan persoalan dekonfensionalisasi politik Islam di Indonesia. Buku ini merupakan hasil penelitian yang banyak didasarkan pada wawancara personal untuk melihat pola pemikirannya Abdurrrahman Wahid dalam mengakaji pancasila sebagai asas negara.
Skrpisi yang dibukukan dengan judul Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang Demokrasi. Karya Umaruddin Masdar, berusaha melacak pola pemikiran kedua tokoh tersebut dalam mempertemukan Islam dan demokrasi. Dalam hal ini penulis lebih memfokuskan pada konsep demokrasi dengan menggunakan teori politik sunni sebagai rujukan utama untuk meneliti gagasan kedua tokoh tersebut.
Sedangkan buku Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais yang disunting oleh Arief Affandi merupakan buku yang lebih menyoroti tentang strategi perjuangan kedua tokoh tersebut dalam menyikapi gerakan demokratisasi di Indonesia.
Dan yang terakhir tesis yang berjudul Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur Dan Amien Rais Tentang Negara karya Ma’mun Murod al-Brebesy, tesis ini telah dibukukan dengan fokus kajian membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai relasi Islam dan negara, civil society dan demokratisasi.
Selain buku-buku di atas penyusun juga menelaah karya asli dari kedua tokoh tersebut yang banyak berupa tulisan lepas dan artikel media.
E. Kerangka Teoretis.
Lahirnya kemerdekaan Indonesia membuat para tokoh nasional, baik paham nasionalis, sekuler maupun Islam untuk berfikir serius dalam meletakan dasar filosofis negara, terlepas itu perjuangan atau kepentingan golongan yang jelas Indonesia saat itu memerlukan konsep dasar negara yang kuat sehingga terjamin kemaslahatannya dan terhindar dari segala kemudlaratan .
Lebih lanjut, karena penelitian ini mengkaji masalah Islam dan negara maka penyusun mengkategorikannya dalam perspektif Fiqih as-Siyya>syah atau Siyya>syah as-Syar‘iyyah. Menurut Abdul Wahab Khallaf definisi Siyya>syah as-Syar‘iyyah ialah wewenang seorang penguasa atau pemimpin dalam mengatur kepentingan umum demi terciptanya kemaslahatan dan terhindar dari kemudaratan. Dengan demikian siapapun yang ingin membangun pemerintahan yang baik harus berlandaskan pada Mas}lah}ah al-Mursalah (kepentingan umum).
Menurut Imam Malik Mas}lah}ah al-Mursalah itu merupakan salah satu dari epistimologi syari’ah. Dengan syarat bahwa: 1) kepentingan umum itu bukanlah suatu hal yang berkaitan dengan ibadat (transeden). 2) kepentingan umum itu selaras dan tidak bertentangan dengan nilai dasar Syari‘ah (Al-qur’an dan Sunnah).3) kemaslahatan umum itu haruslah merupakan kepentingan esensial yang sangat diperlukan.
Setidaknya kepentingan esensial yang diperlukan di atas sejalan dengan dirumuskannya lima tujuan syari’ah meskipun tidak tercover secara Ka>ffah, lima tujuan tersebut yaitu: memelihara kemaslahatan agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta dan kehormatan.
Objek kajian fiqih siyasah atau Siya>syah as-Syari‘yyah menurut Abdul Wahab Khallaf adalah membuat peraturan dan perundang-undangan yang dibutuhkan untuk mengurus negara sesuai dengan dasar ajaran agama yang bertujuan merealisasikan kemaslahatan manusia untuk kebutuhan mereka. Dengan demikian secara garis besar bahasan Fiqih as-Siya>syah meliputi tiga aspek utama di antaranya: 1) Peraturan dan Perundang-Undangan Negara sebagai pedoman dan landasaan idiil dalam mewujudkan kemaslahatan umat. 2) Pengorganisasian untuk mewujudkan kemaslahatan. 3) Mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak dan kewajiban masing-masing dalam usaha mencapai negara.
Untuk mengkaji pemikiran politik Islam memang tidak lepas dari Fiqih as-Siya>syah dan hukum Islam. Hukum Islam dibagi menjadi dua yaitu hukum yang bersifat Qat}‘i (Syari’ah) dan yang bersifat Z}anni (fiqih), karena politik seringkali mengalami perubahan sesuai dengan situasi maka penyusun memasukkanya dalam kategori fiqih. Dimana fiqih siyasah mempunyai dimensi yang sangat luas dalam mengimplementasikan kehidupan bernegara seperti menjamin kemaslahatan, keadilan dan kestabilan.
Dengan demikian al-Mas}lahah al-Mursalah menempati posisi yang sangat penting dalam mengkaji diskursus relasi Islam dan negara, lebih khusus lagi dalam menentukan sistem dasar ketatanegaraan. Apakah berideologikan Islam atau sekuler? Karena yang terpenting bukanlah formalitas bentuk pemerintahan tetapi esensi nilai dasar al-Qur’an dan Sunnah tetap berjalan (tidak kontradiktif), sehingga terciptalah kemaslahatan umum sesuai dengan kebutuhan zaman.
Dalam diskursus pemikiran politik Islam dewasa ini, penyusun meminjam istilah Munawir Sjadzali dalam mengkategorikan aliran yang concern terhadap relasi Islam dan negara, meskipun berbeda dalam menggunakan terma aliran ini akan tetapi substansinya sama. Ada tiga aliran dalam hal ini. Pertama, aliran konservatif tradisionalis, yang berpendapat Islam adalah agama yang sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara karena menurutnya Islam adalah ad-Din wa ad-Daulah, tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran integratif modernis, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh aliran ini ialah Muhammad Abduh dan Muhammad Husein Haikal. Ketiga, aliran nasionalis sekuler, yang mengatakan Islam tidak ada hubungannya dengan negara karena menurut aliran ini Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh aliran ini ialah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein.
Dalam paragraf ini penyusun mencoba memaparkan beberapa tokoh politik sunni kontemporer sebagai landasan teoritis penelitian ini, diantaranya Jamaluddin al-Afghani, Abdul Raziq dan Fazlur Rahman. Tokoh-tokoh ini dikaji guna membidik kerangka teoritis pemikiran M. Natsir dan Gus Dur.
Jamaluddin al-Afghani, Pemikiran politiknya besifat reaktif terhadap kondisi kemunduran umat Islam saat itu, dengan menganjurkan pembentukan Jam‘iyah Isla>miyah yang biasa disebut Pan-Islamisme, ikatan ini didasarkan pada akidah Islam yang bertujuan 1) menentang sistem pemerintahan yang despotik (sewenang-wenang) dan diganti dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan musyawarah seperti yang diajarkan Islam, 2) menentang kolonialisme atas dominasi barat.
Dalam perjalanan politiknya ia selalu memunculkan gagasan revolusioner, seperti pembentukan pemerintah dan dewan melalui partisipasi rakyat, selain itu dia juga menganjurkan kepada rakyat untuk merebut kebebasan dan kemerdekaannya melalui revolusi kalau perlu dengan pertumpahan darah. Hal inilah yang sering kali mengakibatkan pengusiran atas dirinya dari negara yang ia kunjungi. Oleh sebab itu Afghani lebih cocok diposisikan sebagai tokoh aktivis dan agitator politik daripada pemikir politik.
Ali Abdul Raziq, menurutnya nabi Muhammad hanyalah seorang utusan Allah yang ditugaskan syiar agama Islam, untuk itu tidak ada maksud dalam misinya mendirikan sebuah negara Islam (Khilafah). Dia sama seperti nabi-nabi sebelumnya bukan nabi atau pendiri negara yang diutus mendirikan kerajaan dalam arti politik, lebih lanjut ia menolak adanya keharusan sistem khilafah dalam pengertian pemimpin negara, karena menurutnya tidak ada ayat ataupun hadis yang bisa dijadikan dasar kuat untuk mendirikan khilafah. al-Raziq memang mengakui perlunya pemerintahan untuk mengatur negara tapi bukan berarti harus bentuk khilafah boleh konstitusional, diktator, republik atau totaliter.
Meskipun ia mengakui Ijma‘ sebagai H{ujjah Syar‘iyyah akan tetapi dalam hal ini ia tidak mengakuinya sebagai ijma’ yang shahih, alasannya sejak sistem khilafah dibentuk sampai sekarang selalu saja ada pihak oposisi yang tidak setuju dan seringkali menimbulkan bencana bagi Islam dan umatnya, terkecuali Abu Bakar, Umar dan Usman.
Fazlur Rahman, pada hakikatnya Pemikiran politik Rahman didasarkan pada konsepsi al-Qur’an. Dalam al-Qur’an, menurut Rahman, umat merupakan suatu “penengah” sehingga menjadi saksi terhadap umat manusia. Umat Islam diharapkan mampu menengahi antara sikap kekakuan ideologi komunisme dan kapitalisme atau sikap ekstrem yang lain. “Tugas umat adalah menciptakan ketertiban di muka bumi di mana tata tertib itu merupakan sosiopolitis yang harus ditegakkan atas dasar etika yang sah dan viable. Sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur’an.
كنتم خير أمـﺔ أخرجت للنـاس تأمرون بالمعروف وتـنهون عن المنكروتؤمنون بالله ولوأمن أهل الكـتاب لكان خيرالهم منهم المؤمنون وأكثرهم الفاسقـون (ال عمران: ١١۰)
الذين أخرجوامن ديارهم بغـيرحق إلاان يقولواربنـاالله ولودفع الله الناس بعضهم ببعض لهدمت صوامع وبيع وصلوات ومساجديذكرفيهااسم الله كثيـراولينصرن الله من ينصره إن الله لقوى عزيز (الحج:٤٠)
Lebih lanjut, menurut Rahman Istilah syura yang merupakan nilai dasar al-Qur’an bisa dikembangkan menjadi sebuah institusi yang efektif dan permanen seperti halnya di Barat, akan tetapi apabila secara formal institusional proses dan bentuk demokrasi ‘ala Barat itu tetap sejalan dengan orientasi nilai dasar Islam maka sistem ini bisa diterapkan di dunia Islam.
Rahman memang liberal dan radikal dalam gagasannya, menurut hemat penyusun sikap ini muncul sebagai respon terhadap tantangan modernitas yang tak terelakan. Rahman dikenal sebagai pemikir kontemporer yang menggagas aliran neo-modernisme Islam. Dikatakan demikian karena pemikirannya yang selalu berusaha menemukan titik temu antara kaum Islam modernis dengan kaum Islam tradisionalis, bagi Rahman meskipun modernisme memberikan sumbangan positif pada era kebangkitan Islam tetapi tetap memperlihatkan kelemahan dan kekurangan tertentu.
Demikianlah sepintas gambaran mengenai tokoh-tokoh Islam kontempoer yang nantinya diharapkan banyak membantu penyusun dalam membuat kerangka teoritis, menurut penyusun tidak ada seorang tokohpun yang bisa dibidik Pemikirannya menganut satu paham tokoh sebelumnya karena dalam kenyataannya banyak tokoh yang mengadopsi suatu paham tertentu untuk masalah tertentu dan paham lain untuk masalah yang lain pula.
Hal yang sama terjadi pada M. Natsir dan Gus Dur, sekilas pemikiran Natsir tampak maududian akan tetapi banyak juga diwarnai paham Abduhis.
F. Metode Penelitian.
Dalam sub bab ini perlu penyusun paparkan tentang metode penelitian yang digunakan. Antara lain meliputi jenis penelitian, sifat penelitian, tehnik pengumpulan data, pendekatan-pendekatannyadan analisa data.
1. Jenis penelitian.
Kajian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yang mana lebih mengutamakan bahan perpustakaan sebagai sumber utamanya. Karena ini studi tokoh maka ada dua metode pokok untuk memperoleh pemikiran tokoh tersebut. Pertama, penelitian pikiran dan keyakinan kedua tokoh tersebut. Kedua, penelitian tentang biografinya sejak dari permulaan sampai akhir pemikiran politiknya.
2. Sifat Penelitian.
Studi yang merupakan penelitian pustaka ini lebih bersifat deskriptif-analisis dan komparatif. Yang dimaksud dengan deskriptif adalah menggambarkan karakteristik dan fenomena yang terdapat dalam masyarakat atau literatur. Dengan kata lain karakter dan fenomena yang dikaji dalam penelitian ini ialah karakter dari kedua tokoh tersebut dan fenomena yang mempengaruhi pemikiran mereka. Adapun analisis disini adalah analisis dalam pengertian historis, yakni meneliti akar sejarah yang melatarbelakangi gagasan mereka, dalam hal ini penyusun lebih memfokuskan pada dua aliran pemikiran Islam kontemporer yakni modernis dan neo-modernis yang penyusun anggap sebagai representasi dari kedua tokoh tersebut.
Sedangkan komparatif berarti membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut dalam proses penelitiannya, supaya mendapatkan letak persamaan dan perbedaan yang tepat.
3. Tehnik Pengumpulan Data.
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua macam yaitu: data primer dan data sekunder. Karya-karya asli dari kedua tokoh tersebut baik buku, artikel dan kumpulan tulisan yang dibukukan dianggap sebagai data primer. Sedangkan karya yang mengkaji tentang gagasan kedua tokoh tersebut dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan kajian ini dimasukkan sebagai data sekunder.
4. Pendekatan.
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif dan sosio-historis. Yang dimaksud pendekatan normatif ialah suatu pendekatan untuk menjelaskan masalah yang dikaji dengan norma atau hukum (fiqih) yang berlaku sebagai upaya penegasan. Hal ini penting untuk dilakukan karena diskursus Islam dan negara merupakan bagian dari kajian hukum Islam, khususnya fiqih siya>sah.
Adapun pendekatan sosio-historis yaitu pendekatan yang menyatakan bahwa setiap produk pemikiran itu merupakan hasil interaksi pemikir dengan lingkungan sosio-kultural dan sosio-politik yang mengitarinya. Berkaitan dengan penelitian ini sudah barang tentu sosial politik dan kultur yang melatarbelakangi metode pemikiran M. Natsir dan Gus Dur akan dikaji sepanjang peristiwa tersebut mempengaruhi pemikiran mereka dalam masalah ini.
5. Analisa Data
Setelah data terkumpul penyusun akan menganalisa dengan metode kualitatif analisis deduksi dan komparasi. Deduksi yaitu metode yang berawal dari pengetahuan umum ditarik ke pengetahuan khusus. Dalam hal ini analisa dari kedua tokoh tersebut tentang Islam dan negara di Indonesia, khususnya mengenai asas negara akan dipersempit dalam paradigma modernisme dan neo-modernisme Islam. Sementara komparasi dimaksudkan untuk membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut apakah terdapat persamaan dan perbedaan yang tajam dan signifikan di antara keduanya.
G. Sistematika Pembahasan.
Dalam pembahasan ini penyusun membagi menjadi lima bab. Bab pertama memuat pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoritis, metodologi penelitian, dan yang terakhir sistematika pembahasan.
Bab kedua melacak asal-usul dan tipologi relasi agama dan negara dalam sejarah politik Islam, yang tentunya berimplikasi terhadap pemikiran tokoh politik Islam Indonesia dalam mengkaji hubungan Islam dan negara di Indonesia. Selain itu karakteristik pemikiran ini kemudian dibagi pada dua perspektif, yaitu modernisme dan neo-modernisme. Yang dalam pembahasannya kedua perspektif tersebut akan dihadapkan pada dua tokoh yang dikaji.
Bab ketiga memaparkan biografi M. Natsir dan Gus Dur. Penelaahan ini meliputi latar belakang sosial dan prilaku politik kedua tokoh tersebut dalam menggagas relasi Islam dan negara di Indonesia. Bab ini juga menyinggung sedikit cita-cita ideologi negara yang mereka perjuangkan sebagai repesentasi tokoh muslim yang peduli terhadap bangsa, di antaranya yang berkaitan dengan Islam, demokrasi dan dasar negara.
Bab keempat menganalisa pemikiran kedua tokoh tersebut tentang relasi Islam dan negara, khususnya tentang demokrasi dan ideologi pancasila, yaitu dengan membandingkan gagasan kedua tokoh di atas, apakah dalam penelitian ini terdapat persamaan dan perbedaan yang signifikan. Selain itu, bab ini juga berusaha menjelaskan implikasi gagasan kedua tokoh tersebut terhadap tokoh politisi muslim Indonesia dan pemikiran politik Islam generasi saat ini.
Bab kelima penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan dimaksudkan untuk memperlihatkan letak signifikansi penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, dengan memberikan konklusi pemikiran M. Natsir dan Gus Dur tentang hubungan Islam dan negara di Indonesia, sedangkan saran-saran ditujukan bagi para penyusun atau peneliti yang akan mengkaji masalah-masalah yang berkaitan dengan variabel skripsi ini lebih lanjut.
BAB II
ASAL-USUL DAN TIPOLOGI PEMIKIRAN
TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA
A. Awal Perdebatan Islam dan Negara di Indonesia.
Wacana tentang makna, penafsiran dan fungsi pancasila telah menjadi perdebatan sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia, setidaknya sejak bangsa ini merdeka, perdebatan ini selalu menjadi aktual di kalangan akademisi dan politisi Indonesia sampai saat ini. Apalagi didorong dengan lahirnya beberapa Partai Islam, permintaan diberlakukannya syariat Islam di Aceh (NAD), munculnya teroris-teroris yang berkedok Islam, laskar serta organisasi yang bernafaskan Islam kanan, di antaranya Laskar Jihad, Hizbu Tahrer, Jaringan Islamiyah dan Front Pembela Islam (FPI). Selain itu yang paling jelas menjadi indikator perlunya kejelasan relasi Islam dan negara dalam kehidupan berbangsa terlihat pada menguatnya ide-ide pencantuman Syari‘at Isla>m dalam amandemen UUD 45 setiap ST MPR hasil pemilu 1999.
Hal ini juga sering terjadi dalam wacana politik Indonesia di penghujung tahun 1990-an yang juga sibuk memperdebatkan ideologi dan peristiwa-peristiwa politik yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini, di antaranya mengenai hubungan Islam dan negara, peran ABRI dalam politik, dan bentuk demokrasi yang sesuai dengan negara ini. Dalam skripsi ini penyusun menitikberatkan pada masalah yang pertama yaitu mengenai hubungan Islam dan negara.
Untuk memperjelas tahap-tahap perjuangan umat Islam Indonesia dalam merespon perdebatan Islam dan negara. M. Rusli Karim membagi menjadi empat tahap. Tahap pertama, 1912 hinggga proklamasi kemerdekaan, tahap kedua 1945-1955, tahap ketiga, 1955-1965 dan tahap keempat 1965 sampai sekarang. Akan tetapi dalam bab ini penyusun akan memfokuskan asal-usul lahirnya perdebatan Islam dan negara sepanjang sejarah perpolitikkan Indonesia secara global.
Perdebatan ini mulai aktual sejak dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai upaya persiapan kemerdekaan yang diharapkan, dan telah disetujui oleh pemerintahan Jepang. Hal ini juga dinyatakan dalam pidato Perdana Menteri Kuniaki Koiso kepada Parlemen Jepang pada tahun 1944 yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia dalam “waktu dekat”.
Akan tetapi kalau kita teliti lebih dalam bahwa persinggungan antara Islam dan negara di Nusantara ini sudah berlangsung lama sebelum Indonesia merdeka yakni di bawah tekanan kolonial Belanda dan Jepang, namun demikian untuk melacak isu tentang istilah negara Islam di Indonesia bukanlah suatu pekerjaan mudah, karena sejauh ini yang diketahui hanyalah pemimpin-pemimpin Sarekat Islam (SI) seperti Surjopronoto dan Dr. Sukiman Wirjosandjojo yang telah mewacanakan suatu kekuasaan atau pemerintahan Islam di akhir tahun 1920-an. Saat itu Surjopronoto menggunakan tema een Islamietsche regeering (Suatu Pemerintahan Islam) sementara Sukiman memakai istilah een eigen Islamietisch bestuur onder een eigen vlag (Suatu kekuassan Islam di bawah benderanya sendiri) semua ini digunakan untuk menciptakan kekuasaan Islam di Indonesia yang substansinya sebagai alat mencapai kemerdekaan.
Barangkali wacana dan teori tentang Negara Islam ini belum banyak ditulis secara terperinci oleh pemimpin Islam pada saat itu, sehingga dalam sidang BPUPKI pada 1945 wacana ini terkesan begitu aktual diperdebatkan karena secara resmi peristiwa ini muncul pertama kalinya dalam panggung politik Indonesia.
Anggota BPUPKI ini terdiri dari berbagai macam kelompok ideologi yang akhirnya mengalami kesulitan dalam mencari titik temu (Kalimah as-Sawa’) posisi masing-masing anggota tersebut, di antaranya. Pertama, mereka yang ingin menegakkan demokrasi konstitusional sekuler. Kedua, mereka yang menganjurkan negara integralistik, dan ketiga. Yang paling emosional dan konfrontasional adalah mereka yang menginginkan Islam dijadikan dasar negara.
Badan penyelidik ini mengadakan dua kali sidang, pada sidang pertama, dari 29 Mei – 2 Juni 1945 membahas masalah umum, dalam sidang ini Soekarno membuat pidato yang sangat berpengaruh tentang dasar negara dan kemudian dikenal dengan Lahirnya Pancasila. Sedangkan pada sidang kedua, 10-14 Juni 1945 membahas tentang isi konstitusi negara yang akan dibentuk. Dalam kedua pembahasan sidang ini menimbulkan perdebatan keras di antara para anggota penyelidik terutama kalangan Islam yang diwakili Abdoel Kahar Moezakkir dengan cita-cita ideologi Islamnya dan kalangan nasionalis diwakili oleh Soekarno yang cenderung netral terhadap agama. Masalah yang sangat krusial dan mengundang perdebatan dalam sidang ini adalah tentang “peletakkan dasar negara” sebab masalah ini berkaitan dengan integritas agama, budaya dan bangsa yang plural. Karena khawatir akan kegagalan Badan Penyelidik yang terus-menerus semakin memanas maka para anggota mengambil iniasiatif dengan membentuk panitia BPUPKI yang terdiri dari 9 orang.
Semula anggota BPUPKI ini berjumlah 62 orang, lalu ditambah enam orang yang kebanyakan berasal dari Jawa dan satu orang lagi dari Jepang yakni Ichibangase yang menjabat sebagai ketua yunior dan anggota luar biasa, untuk mengamati secara lebih detail keanggotaan Badan Penyelidik ini maka penyusun paparkan pendapat Prawoto Mangkusasmito, dari 68 anggota BPUPKI, hanya 15 orang (+ 20%) yang menyuarakan aspirasi politik Islam yakni berasal dari nasionalisme-Islam, sedangkan 80 %-nya berasal dari kelompok nasionalis-sekuler. Statistik ini menunjukkan betapa tidak seimbangnya representasi dari masing-masing kelompok itu.
Di antara wakil dari kelompok Islam yaitu; K. H. Mas Mansur, Abdul Kahar Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Masykur, K.H. A. Wahid Hasyim, Abikusno Cokrosujoso, H. Agus Salim, Sukiman Wiryosanjoyo, K.H. A. Sanusi, dan K.H. Abdul Halim, sedangkan wakil dari kelompok nasionalis, antara lain, Rajiman Widiodiningrat, Soekarno, Mohammad Hatta, Prof. Soepomo, Wongsonegoro, Sartono, R. P. Soeroso, Dr. Buntaran Martoatmojo dan Muhammad Yamin, untuk Ketua dan wakil ketua BPUPKI dijabat oleh Rajiman Widiodiningrat dan R. P. Soeroso, ini menunjukkan bahwa kepemimpinan BPUPKI berada di tangan kelompok nasionalis.
Akan tetapi karena banyaknya anggota Badan Penyelidik yang malah dikhawatirkan akan membawa kegagalan Badan Penyelidik itu sendiri (atas perdebatan yang semakin memanas) maka dibentuklah Panitia Kecil BPUPKI yang hanya terdiri dari 9 orang itu, yaitu: empat orang dari kalangan Islam (H. Agus salim, K.H. Wahid Hasyim, Abikusno, dan Abdul Kahar Muzakkir) dan lima orang dari kalangan Naionalis (Soekarno, Mohammad Hatta, A. A. Maramis, Achmad Subarjo, dan M. Yamin).
Dalam panitia ini, Islam politik mempunyai kepentingan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, sebab menurutnya yang paling banyak berkorban dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah kelompok Islam. Kepentingan tersebut menimbulkan reaksi keras dari kelompok nasionalis sekuler yang memang secara kuantitatif anggota mereka dalam badan ini merupakan mayoritas, sebagai jalan tengah akhirnya Jepang membentuk “Panitia Sembilan” di atas.
Pada tanggal 21 Juni 1945 BPUPKI menyetujui Piagam Jakarta yang rumusan sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syari‘at Isla>m bagi pemeluk-pemeluknya”, kesepakatan ini merupakan hasil perjuangan Islam politik dalam kepentingannya saat itu, akan tetapi umat Islam terpaksa harus kecewa karena dalam UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 itu, ternyata telah menghapuskan Piagam Jakarta tersebut. Ini merupakan kekecewaan Islam politik yang pertama dalam perjuangan politiknya.
Diterimanya pancasila sebagai asas dan ideologi negara merupakan puncak dari pertentangan dan sekaligus menunjukkan kekalahan kelompok Islam yang harus berkompromi dengan kepentingan lain. Umat Islam yang sebelumnya memperjuangkan ideologi Islam sebagai dasar negara dalam mukadimah UUD 1945 harus mengalah dengan pancasila. Keinginan keras umat Islam saat itu bisa dimaklumi, selain sebagai pejuang mayoritas kemerdekaan, pancasila sendiri menyimpan dua faktor yang sangat debatable. Pertama, tentang kandungan pancasila itu sendiri. Kedua, tentang makna penting pancasila jika dibanding dengan agama.
Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu bertahan selama 57 hari, ini dikarenakan pengiring redaksi sila pertama yang mewajibkan umat Islam menjalankan Syari‘at Isla>m dirasakan oleh kawasan Timur Indonesia sebagai sikap diskriminatif terhadap pemeluk agama lain. Maka demi persatuan bangsa akhirnya para pemimpin politik Islam terpaksa menelan kekecewaan cita-cita politiknya pada 18 Agustus 1945 dengan menghilangkan anak kalimat tersebut dari pembukaan UUD 1945.
Peristiwa ini dikenal sebagai sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang merupakan pengganti dari BPUPKI yang telah dibubarkan. Jumlah anggota PPKI semula sebanyak 21 orang, kemudian atas usul Soekarno akhirnya ditambah menjadi 27 orang, dan yang menarik dicermati dari total jumlah ini ternyata hanya tiga anggota dari organisasi Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim dan Kasman Singodimedjo. Betapa ironisnya umat Islam sebagai mayoritas populasi dan penggerak melawan penjajah di negeri ini hanya diwakili oleh tiga anggota.
Sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 bertujuan menetapkan UUD dan memilih presiden dan wakilnya, kebetulan presiden yang dipilih adalah ketua dan wakil PPKI saat itu yaitu Soekarno dan Hatta. Secara kultural Soekarno mewakili kultur Jawa sedangkan Hatta dari kultur Minang/Sumatera, terang saja latar belakang Hatta ini bisa dijadikan pelebur sikap keras Ki Bagus yang selalu bersekukuh mempertahankan rumusan Piagam Jakarta. Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi konsistensi Ki Bagus yang tetap bertahan dengan Piagam tersebut, maka melalui Hatta yang memanfaatkan Teuku Moehammad Hassan anggota PPKI dari Sumatera berhasil melunakan sikap keras Ki Bagus dan dalam waktu 15 menit anak kalimat pada sila Ketuhanan itu diganti dengan Yang Maha Esa.
Akar perdebatan ini tidak lepas dari letupan pertarungan ideologi saat itu, yaitu Nasionalis dan Islam. Golongan nasionalis adalah kelompok yang berprinsip bahwa ad-Din wa ad-Daulah (agama dan negara) harus dipisahkan secara tegas dan proporsional, dengan keyakinan bahwa fungsi agama hanya mengurusi ajaran-ajaran yang berkaitan dengan kehidupan akhirat dan urusan pribadi saja, Sedangkan negara memang merupakan masalah politik yang berurusan dengan duniawi. Sementara itu golongan Islam saat itu berprinsip bahwa agama (dalam hal ini Islam) tidak dapat dipisahkan dari urusan kenegaraan, karena Islam menurut mereka tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan saja, melainkan juga hubungan sesama manusia, lingkungan dan alam semesta.
Indikasi pertarungan ideologi ini bisa dilihat sejak tahun 1920-1930-an dari kasus retaknya hubungan Sarekat Islam (SI) dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), kasus Jawi Hisworo, majalah Timboel, Swara Oemoem dan peristiwa itu perdebatan sengit antara tokoh Nasionalis-Muslim, seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Ahmad Hassan dan M. Natsir dengan tokoh-tokoh Nasionalis-sekuler yang diwakili Tjipto Mangunkusumo, Soekarno dan lain-lain, Polemik inilah yang kemudian berlanjut sampai sekarang.
Di sisi lain, konsep “Piagam Madinah” dan praktek pemerintahan Islam pada zaman Rasulullah, sahabat dan komunitas muslim lainnya juga ikut mempengaruhi lahirnya perdebatan Islam dan negara di Indonesia, sebab munculnya terma Piagam Jakarta di Indonesia sedikit banyak terinspirasi dari konsep Piagam Madinah yang pasti tidak bisa lepas dari persinggungan wacana politik Islam yang telah berlaku di bangsa Arab itu. Selain itu praktik pemerintahan Negara Turki yang memisahkan negara dan agama juga ikut mewarnai perdebatan ini.
Jadi, untuk memaparkan secara lebih jelas pemikiran politik tokoh Islam dan keterkaitan mereka dalam memperjuangkan negara berdasarkan Islam di Indonesia, perlu penyusun bahas secara singkat tentang teori-teori yang diajukan para intelektual muslim.
Secara umum pemikiran politik Muslim bisa diklasifikasikan menjadi tiga teori. Pemikiran pertama berpendapat bahwa negara dan agama tidak harus dipisahkan, karena Islam merupakan agama yang integral dan komprehensif dalam mengatur kehidupan baik urusan duniawi maupun ukhrawi, oleh sebab itu menurut pandangan ini konstitusi negara harus didasarkan pada Islam. Tokoh teori ini antara lain , Abu A’la Maududi (1903-1979) dari Pakistan yang memimpin Jamiy‘ah al-Isla>m, Sayyid Qutb (1906-1966) dan para ideolog lain Ikhwan al-Muslimin dari Mesir. Baik Jam‘iyah al-Isla>m maupun Ikhwan al-Muslimin dikenal sebagai gerakan Fundamentalis di Iran, Pakistan dan Saudi Arabia, hal ini bisa dilihat dari jargon politiknya bahwa ad-Din wa ad-Daulah (agama dan Negara) tidak bisa dipisahkan. Pandangan komprehensif ini dikutip dari nash al-Qur’an :
ياأيهاالذ ين أمنوا ادخلوا فىالسلم كآّفة ولا تتبعوا خطوات الشيطـن إنّه لكم عدوّ مّبين. (البقرة :٢٠٨)
Menurut teori yang kedua, agama dan negara harus dipisahkan, urusan agama sebatas pada urusan pibadi dan ukhrawi tidak perlu mencampuri urusan politik. Oleh sebab itu konstitusi negara dalam pandangan ini tidak harus didasarkan pada Islam, namun pada nilai sekuler, contoh konkret teori ini adalah negara Turki Modern. Teori ketiga, sepakat dengan adanya pemisahan antara agama dan negara dalam arti konstitusi negara tidak harus didasarkan Islam, akan tetapi nilai agama harus menjadi ruh kehidupan masyarakat bernegara,
Ketiga teori ini mewakili pilihan-pillihan yang dapat menentukan karakteristik struktur sosial dan politik negara-negara muslim dunia dalam menghadapi tantangan modernitas. Terutama teori pertama ini sangat kuat mewarnai pemikiran politik muslim Indonesia tahun 1940-an dan 1950-an, karena dalam sidang BPUPKI 1945 maupun konstituante (1956-1959) para pemimpin muslim berjuang keras agar Islam dijadikan dasar negara. Selain itu tidak ada indikasi yang tampak bahwa pemikiran politik nasionalis-muslim Indonesia saat itu, dipengaruhi oleh Kemal Attaturk ataupun Ali Abd al-Raziq (1888-1966) yang berpendapat bahwa Nabi tidak pernah berupaya membangun sebuah negara, beliau hanyalah seorang utusan yang dikirim oleh Tuhan semata.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas, konflik ideologi antara kaum nasionalis-sekuler dan nasionalis-muslim bisa diperkirakan sejak menjelang kemerdekaan (Sidang BPUPKI). Melengkapi data sebelumnya, pada tanggal 31-Mei 1945 Soepomo lebih mendukung gagasan Hatta yang mengusulkan bentuk Indonesia sebagai negara kesatuan daripada keinginan umat Islam dalam meletakkan dasar negara , yakni memisahkan negara dari persoalan agama.
Menurut Soepomo sendiri, jika negara Islam diciptakan di Indonesia maka sudah pasti persoalan minoritas, persoalan kelompok-kelompok kecil agama dan yang lainnya akan muncul. Meskipun Islam menjamin kelompok agama lain sebaik mungkin, kelompok kecil ini tidak akan merasakan keterlibatannya dalam negara, karena cita-cita negara Islam tidak sesuai dengan cita-cita negara kesatuan yang diharapkan bersama.
Pada tahun 1953 Soekarno juga mengungkapkan kekhawatirannya secara terbuka tentang implikasi-implikasi negatif yang muncul, apabila umat Islam Indonesia tetap memaksakan kehendaknya (negara Islam), yakni pengakuan Islam secara legal formal di negara ini. Dengan mengingat kekhawatiran yang diungkapkan Hatta pada tahun 1945, Soekarno mengatakan bahwa ia cemas, kalau banyak bagian negara Republik Indonesia memisahkan diri, atau negara bekas jajahan Hindia Belanda seperti Irian Barat juga tidak ikut menggabungkan diri dengan Indonesia yang ber-ruh Islami ini.
Melihat keberatan kelompok nasionalis-muslim terhadap Negara Sekuler mengharuskan kita meninjau kembali sejarah Islam yang menyatukan pemahaman antara agama (di>n) dan negara (daulah). Istilah “negara” dalam bahasa Indonesia mempunyai arti; pertama, organisasi di suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Kedua, kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintahan yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.
Dalam Bab ini penyusun merasa perlu mengkaji pula istilah-istilah dalam kajian politik Islam seperti daulah, khalifah, imamah dan kesultanan yang seringkali dikonotasikan dengan istilah negara. Di samping itu teori-teori tersebut paling tidak ikut mempengaruhi pemikiran politik Islam di Indonesia.
a. Daulah.
Istilah daulah berasal dari bahasa Arab yang bermakna bergilir, beredar dan berputar (rotate, alernate, take turns or Occur priodically). menurut Olaf Schuman istilah “daulah” sama dengan “dinasti atau wangsa” yang berarti sistem kekuasaan yang berpuncak pada seorang pribadi dan didukung oleh keluarganya atau clanya. Jadi dalam konteks sekarang istilah tersebut bisa diartikan negara, selain itu Paham ini juga erat dengan paham Da>r al-Isla>m yang bermakna bahwa kekuasaan tertinggi terletak di tangan seorang penguasa muslim yang memberlakukan Hukum Islam sebagai hukum utama di dalam wilayahnya.
Menurut sejarah istilah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam ketika masa kemenangan kekhalifahan dinasti Abbasiyyah pada pertengahan abad delapan. Kalau memang istilah ini pernah ada, berarti masa itu terdapat pada daullah Umayyah yang kemudian begilir pada keluarga Bani Abbas (Daulah Abbasiyyah).
b. Khilafah.
Istilah “Khila>fah” berasal dari bahasa arab yang bermakna perwakilan atau pergantian. Dalam perspektif politik sunni, khilafah didasarkan pada dua rukun, yaitu: konsensus elit politik (ijma‘) dan pemberian legitimasi (Bay‘ah). Oleh sebab itu sudah menjadi hal yang lazim dalam pemilihan pemimpin Islam bahwa pemilihan pemimpin ditetapkan oleh elit politik melalu ijma‘ kemudian baru di Bay‘ah , menurut Harun Nasution sistem ini menyerupai dengan sistem republik daripada sistem kerajaan, karena pemimpin dalam hal ini dipilih bukan merupakan sistem monarkhi yang bersifat turun-temurun.
Sistem khilafah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam setelah Nabi Muhammad wafat, yaitu pada masa khalifah Abu Bakar, dalam pidato inagurasinya Abu Bakar menyatakan dirinya sebagai Khalifah Rasul Allah dalam artian sebagai “Pengganti Rasulullah” yang bertugas meneruskan misi-misinya. Sedangkan menurut Bernard Lewis istilah khalifah muncul pertama kali pada masa pra-Islam abad ke-6 Masehi dalam suatu prasasti Islam di Arabia.
c. Imamah.
Selain kedua istilah di atas, “imamah” dalam kajian Islam juga sering digunakan sebagai teori yang menyerupai makna negara. Menurut Mawardi, imam bisa dimaknai khalifah, raja, sultan atau kepala negara, dengan demikian menurut Munawir Sjadzali, Mawardi memberikan ruang bagi agama suatu jabatan politik yaitu kepala negara. Sementara menurut Taqiyuddin an-Nabhani, imamah dan khilafah merupakan dua istilah yang sama maknanya, karena khilafah adalah suatu kepemimpinan yang berlaku secara umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at dan mensyiarkan Islam ke seluruh penjuru dunia.
Pada dasarnya teori imamah lebih banyak berkembang di aliran syi’ah daripada aliran sunni, dalam aliran Syi’ah Imama>h menekankan dua rukun, yaitu kekuasaan imam (wilayah) dan kesucian Imam (‘ismah).
d. Kesultanan.
Adapun istilah kesultanan seringkali diartikan kekuasaan dalam kitab al-Qur’an, menurut Lewis ada seorang penulis dari kelompok scribal, Abd Hamid, yang hidup pada awal abad kedelapan, secara umum menggunakan istilah sultan untuk pemerintah.
Dari uraian di atas, tampak bahwa istilah negara dalam Islam memiliki beberapa sinonim di antaranya Daulah, Khila>fah, Ima>mah dan S{ult}aniyyah, oleh sebab itu merupakan hal yang lazim kalau wacana Negara Islam selalu hangat untuk diperdebatkan, karena secara de facto ternyata Islam mempraktekkan beberapa istilah yang bersinonom dengan konsep negara, sedangkan secara konseptual atau de jure Islam memang tidak mengenal konsep negara yang detail. Namun demikian patut diteliti apakah teori-teori tersebut untuk konteks modern saat ini bisa dikategorikan sebuah konsep negara.
Mengingat wacana negara Islam di Indonesia selalu menjadi perdebatan panjang dalam sejarah didirikannya negara ini, sejak pra-kemerdekaan sampai sekarang. Patut dicari apa sebenarnya yang membuat tokoh muslim berkeinginan keras meletakkan Islam sebagai dasar negara Indonesia? Salah satu jawaban atas pertanyaan ini, yaitu karena mereka bertujuan menerapkan Syari‘at secara efektif di seluruh penjuru wilayah negara, M. Natsir salah satu tokoh Islam yang kontra dengan gagasan Soekarno mengklaim bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan salah satu cita-cita Islam oleh sebab itu pencapaian kemerdekaan Indonesia merupakan bagian integral dari perjuangan Islam untuk menerapkan Syari‘at.
Tampaknya klaim ini didasarkan pada kenyataan saat itu, bahwa umat Islam Indonesia sebagai kelompok mayoritas mempunyai peran yang sangat besar dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Untuk mendukung opini ini bisa dilihat dari semangat jihad Islam yang terukir dalam sejarah tanah air ini, seperti Sultan Babullah dari Ternate, Sultan Hasanuddin dari Makassar, Pangeran Diponegoro (pemimpin Perang Diponegoro 1825-1830, Imam Bonjol (pemimpin Perang Padri 1921-1937), Teuku Umar, Tjut Nya’Dien dan Tengku Tjhik di Tiro (pemimpin Perang Aceh tahun 1872-1912). Di samping itu terdapat juga ulama-ulama Jawa, salah satunya Syekh Hayim Asy’ari yang terkenal dengan “Resolusi Jihadnya”.
Selain alasan di atas, kekecewaan umat Islam atas dihapuskannya “Piagam Jakarta” bisa juga dipahami melalui berbagai organisasi kultural dan ekonomis Islam yang telah didirikan jauh sebelum Indonesia merdeka, apalagi organisasi tersebut banyak memberi konstribusi dalam kemerdekaan ini, misalnya Sarekat Islam (didirikan tahun 1912), gerakan Modernis Muhammadiyah (yang juga didirikan tahun 1912, dan organisasi Tradisionalis NU (didirikan 1926). Menurut hemat penyusun organisasi ini merupakan alat konsolidasi yang sangat efektif saat itu.
Meski dalam kenyataanya umat Islam merupakan mayoritas dalam bangsa ini dan organisasi Islam memainkan peran penting pada masa kemerdekaan, menurut Fred von den Mehden “Indonesia sebagai satu bangsa Islam tidak seluruhnya sepakat dengan apa yang harus dilakukan sebagai pemeluk Islam”. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran dan praktik agama yang dikerjakan, sebagaimana yang dinyatakan Cliford Geertz bahwa rakyat Indonesia terbagi menjadi tiga aliran atau trikotomi, yaitu Priyayi, Santri dan Abangan.
Perbedaan relegius dan politik dalam komunitas Muslim tampak jelas dalam wacana pancasila, Seperti halnya yang penyusun bahas di atas. Dengan demikian suatu dinamika “Islam versus Pancasila” telah mempengaruhi sebagian besar perdebatan dan wacana pemikiran politik Indonesia sepanjang tahun 1980-an sampai 1990-an. Sebagaimana yang akan dibahas dalam bab-bab berikut, dinamika ini memiliki implikasi-implikasi penting bagi perpolitikan nasional.
Dalam catatan sejarah, tuntutan-tuntutan Islam politik atas negara sangat tampak dalam pemberontakkan Darul Islam melawan Pemerintahan Pusat antara tahun 1948-1962. Akibat serangan pemberontakan ini, bentuk konkret ancaman “ekstrem kanan” (istilah yang secara resmi dipakai untuk menunjuk fundamentalisme Islam di era Orde Baru) semakin jelas. Djohan Effendi menambahkan bahwa Darul Islam mempertinggi kecurigaan militer bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara partai-partai Islam dengan pemberontak Darul Islam. Satu-satunya perbedaan, menurut pihak militer adalah bahwa yang pertama memperjuangkan negara Islam dengan jalan legal, sedangkan yang kedua dengan kekuatan illegal.
Deliar Noer, tidak sepakat dengan cara pandang militer ini, baginya cita-cita partai Islam ini dilakukan secara demokratis. Jadi tentu berbeda dengan gerakan Darul Islam yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo, gerakan ini menggunakan kekerasan dan mementingkan simbol-simbol, seperti nama Darul Islam, istilah Imam untuk Kepala negara dan lain sebagainya, Sedangkan partai Islam lebih pada substansi tujuan. Dalam kasus ini gerakan Kartosuwiryo tidak berkesempatan mengembangkan pemikiran substansi tujuannya karena terburu menggunakan kekerasan. Peristiwa ini sedikit banyak menumbuhkan citra negatif pada sebagian kalangan bangsa kita dalam merespon hubungan Islam dan negara, yang kemudian berdampak negatif pula terhadap cita-cita dan perjuangan partai-partai Islam selama ini.
Dan saat itu, citra negatif ini digunakan untuk mendeskriditkan kedudukan partai Masyumi dan umat Islam secara umum. Padahal dalam kasus DI ini secara perlahan-lahan juga ditunggangi oleh golongan yang tidak bersimpati terhadap RI, di antaranya orang-orang Belanda seperti Jungschlager, Schmidt, dan Van Kleef. Selain itu masalah pemberontakan PRRI/Permesta (1958-1961) juga sering dihubungkan dengan cita-cita Islam sehingga membuat partai Masyumi dibubarkan (tahun 1960), walupun banyak orang Kristen yang terlibat di dalamnya karena tokoh-tokoh cabang Parkindo dan komandan daerah yang beragama Kristen jelas-jelas menyokong pemberontakan ini.
Posisi Islam semakin mengkhawatirkan ketika Soekarno membubarkan partai Islam terbesar, Masyumi, karena dituduh terlibat dalam pemberontakan regional berideologi Islam. Dalam usaha menyeimbangkan kekuatan-kekuatan ideologis antara Islam, nasionalisme, dan komunisme Soekarno tidak hanya menganjurkan konsep Pancasila, melainkan juga sebuah konsep NASAKOM, yang akhirnya malah menimbulkan struktur politis dan ideologis yang labil pada awal tahun 1960-an karena masing-masing kepentingan politisnya jelas saling berlawanan.
Demikian pembahasan asal-usul perdebatan Islam dan negara di Indonesia. Semoga prawacana ini akan lebih memudahkan kita dalam memahami bab-bab berikutnya.
B. Tipologi Pemikiran Relasi Islam dan Negara.
Islam di Indonesia dewasa ini tidak lepas dari dinamika pemikiran dan gerakan pembaharuan, di antaranya dipengaruhi ide-ide pembaharuan Abduh yang dianggap rasional-liberal, dan kemudian di Indonesia berpadu dengan faham Wahabiyyah yang skriptural-formal. Di sisi lain, masih terdapat kuatnya madzhab yang dilestarikan oleh para kyai melalui pesantren, yang dianggap sebagai basis kelompok tradisionalis Islam. Dengan adanya dialektika modernis versus tradisionalis inilah yang akhirnya melahirkan pemikiran neo-modernisme Islam Indonesia.
Sebelum membahas lebih jauh, penyusun ingin mempertegas antara Islam dan pemikiran Islam. Menurut Moslem Abdurrahman “Islam” adalah wahyu, sedangkan “pemikiran Islam” adalah kebenaran subjektif yang dihasilkan dari penangkapan seseorang terhadap pesan obyektif Tuhan. Sebagai kebenaran subjektif pemikiran Islam bisa berubah-rubah sesuai dengan konteks dan perkembangan pemahaman seseorang tersebut terhadap pesan Tuhan. Oleh sebab itu untuk memamahami tokoh pemikir Islam harus diletakkan pada kerangka Ijtiha>d.
Suatu hal yang wajar sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia wacana relasi Islam dan negara mendapatkan komentar, kritik dan debat yang tajam karena masalah ini termasuk kategori Ijtiha>d seseorang dalam memahami teks Tuhan.
Pada tahun 1940-an sampai 1990-an sering terjadi perdebatan hangat mengenai masalah tersebut, Seperti yang penyusun bahas sebelumnya. Padahal perdebatan ini sudah pernah menemukan titik temunya, yaitu dalam konsep “Piagam Jakarta”, yang kemudian dianulir sehari setelah kemerdekaan. Upaya penyelesaian masalah tersebut pada sidang konstituante kandas di tengah jalan karena dipotong oleh Soekarno melalui Dekrit 1959. Demikian pula yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru, yang sengaja menutupi kemungkinan-kemungkinan pembicaraan mengenai persoalan tersebut.
Diawali perdebatan antara Natsir dan Soekarno, akhirnya Islam mencari jalannya sendiri dalam kehidupan sosial politiknya dengan cara yang bisa dibilang formalistik, agar kehadirannya tidak hanya dirasakan tapi juga diakui. Dalam pandangan umum, langkah-langkah ini telah menempatkan Islam dalam posisi antagonistik vis-a-vis negara dengan seluruh implikasinya.
Akhirnya, situasi inilah yang mendorong pemikir Islam Indonesia generasi kedua (sejak tahun 1970-an), yang kemudian sering disebut sebagai kelompok “Islam kultural”. Dalam pandangan ini Islam politik merupakan sesuatu yang sulit untuk dijual karena trauma politik yang membekas para aktivis politik saat itu, baik dari pihak Islam politik maupun negara. Untuk itu generasi kedua ini tidak menginginkan Islam dijadikan sebuah ideologi, dengan memfokuskan pada bidang garapan “transformasi sosial” yang disesuaikan dengan kebutuhan tertentu. Di antaranya pandangan dasar Nurcholish Madjid yang mengemukakan desakralisasi; Abdurrahman Wahid dengan gagasan Pribumisasi Islam, Dawam Rahardjo yang menggeluti Masyarakat pedesaan melalui pesantren; dan Munawir Sjadzali yang menyatakan perlunya melihat Islam dalam konteks Indonesia.
Sebenarnya kalau dilihat dari aspek politik, aktivitas Islam kultural dan Islam politik mempunyai persamaan, karena kalangan inilah yang meletakkan dasar-dasar kehidupan politik yang demokratis, dengan menonjolkan aspek-aspek keadilan, musyawarah, dan egalitarianisme yang disesuaikan dengan spirit Islam. Lebih spesifik dalam pembahasan ini, Munawir Sjadzali mengklasifikasikan relasi Islam dan negara menjadi tiga kategori.
Pertama, aliran konservatif, yang berpendapat Islam adalah agama yang sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara, oleh sebab itu tidak ada alasan memisahkan keduanya. Di antara para tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran modernis, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh yang terkemuka yaitu M. Husein Haikal. Ketiga, aliran sekuler, Islam tidak ada hubunganya dengan negara karena menurut aliran ini Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh utama aliran ini ialah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein
Akan tetapi dalam tipologi ini, penyusun akan mengkaji pada kategori kedua, yakni aliran Modernis, yang kemudian penyusun klasifikasikan kembali menjadi dua aliran: modernis dan neo-modernis. Pemetaan ini didasarkan pada analisa pemikiran yang telah bekembang, bahwa pemikiran politik Islam di Indonesia memang tidak lepas dari hubungan dialektis antara aliran tradisionalis dan modernis, yang akhirnya melahirkan neo-modernisme tersebut.
Dalam pandangan politik Islam, kelompok modernis biasanya menggunakan pendekatan struktural yang dapat juga disebut sebagai kaum idealis, sementara kelompok neo-modernis menggunakan pendekatan kultural yang biasa disebut kaum realistis atau akomodasionis.
1. Perspektif Modernisme.
Pemikiran modernisme Islam sudah dimulai sejak abad ke 20-an sebelum Indonesia merdeka. Pada tahun 1912 didirikan sarekat Islam, yakni sebuah organisasi politik Islam modern pertama kali di Indonesia yang didasarkan pada sebuah prinsip antipenjajahan. Di bawah pengaruh modernisme Islam, nilai-nilai demokrasi menjadi suatu yang lazim di kalangan intelektual muslim prakemerdekaan.
Menurut Mukti Ali, munculnya Modernisme karena didorong kesadaran akan kemunduran umat Islam yang disebabkan telah meninggalkan sumber ajaran al-Qur’an yang asli, Oleh sebab itu kalangan modernisme seringkali menyerukan umat Islam untuk “kembali kepada al-Qur’an dan sunnah secara murni”. Sebagai reaksi terhadap Barat, wajar apabila kalangan modernisme mengagendakan sebuah apologia melalui “ideologisasi Islam” bahwa Islam adalah agama yang Ka>ffah.
Dalam konteks pembahasan, perspektif ini dihadapkan penyusun pada pemikiran M. Natsir. Tokoh ini dikategorikan dalam perspektif modernis karena gagasannya yang rasional-fundamental, penulis katakan rasional-fundamental karena satu sisi Natsir mengakui bahwa di dalam Islam juga mengandung unsur-unsur demokrasi, dalam artian demokrasi adalah sistem pemerintahan yang bermanfaat bagi rakyat atau dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat, sisi fundamentalnya, M. Natsir bersikap keras meletakkan Islam sebagai dasar negara, dengan tujuan supaya ajaran Islam bisa laksanakan secara utuh dan konsekuen dalam kehidupan bernegara.
Ide-ide pemikiran modernisme tentang Islam dan negara cenderung bercirikan konservatif, liberal dan demokratis sosial. Di Indonesia sendiri menurut Dawam Rahardjo ciri yang menonjol dari kalangan modernisme adalah “apologik”, pemurnian dan “skripturalistik”, sedangkan dalam pandangan Liddle istilah modernisme dalam politik mempunyai dua corak, pertama, “skripturalistis”-yang masih menginginkan bentuk negara Islam dan berlakunya undang-undang Islam; kedua, “substansialis”-kelompok ini lebih mengedepankan pada isi daripada bentuk.
Untuk memperjelas pada pembahasan lebih lanjut, perlu penyusun tegaskan bahwa yang dimaksud modernisme di sini adalah aliran pemikiran yang selalu mengidealkan pemerintahan Islam, dengan tetap menerima sistem Barat asalkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sebenarnya secara genetik kelompok ini sudah ada sebelum Orde Baru lahir, yaitu Masyumi dan Muhammadiyah. Kedua organisasi ini mempunyai pemikiran yang sama dalam memandang konsep negara, menurut tokoh-tokoh modernis, Islam dan negara mempunyai hubungan integral, tetapi bukan berarti menolak sistem Barat secara totalitas. Karena menurut M. Natsir sendiri Islam memang tidak mempunyai sistem ketatanegaraan yang sempurna, maka dari itu apabila negara Islam nanti didirikan boleh mengadopsi sistem Barat asal tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Pada intinya aliran modernisme semacam ini mendukung negara Islam secara ideologis, karena baginya secara tekstual, al-Qur’an dan Sunnah telah menunjukkan perangkat dasar negara yang dapat diterapkan di zamannya. Selain itu, masih ada alasan-alasan lain yang akan dibahas dalam bab selanjutnya, mengapa tokoh modernisme seperti M. Natsir ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Untuk lebih lengkapnya akan penyusun bahas dalam bab selanjutnya.
2. Perspektif Neo-Modernisme.
Pola pemikiran neo-modernisme sangat identik dengan Fazlur Rahman, menurutnya meskipun di era modern pemikiran modernisme memberikan sumbangan positif terhadap kebangkitan Islam, tetapi aliran ini masih menunjukkan kelemahan-kelemahan tertentu, di antaranya adalah kurangnya metodologi dalam menafsirkan al-Qur’an dan Sunnah, dan terlalu apriori terhadap kekayaan potensi pemikiran Islam tradisional.
Lebih lanjut, Nurcholis Madjid menyatakan bahwa meninggalkan tradisi lama akan menimbulkan jump to conslusion (kesimpulan yang melompat), artinya mengambil pokoknya saja tanpa memahami latar belakangnya, dengan meminjam istilah H.A.R. Gibb, dia mengkritik kaum modernisme Islam bahwa kalangan ini menurutnya, akan terancam intellectual impoverisment (pemiskinan intelektual), karena pemikiran-pemikirannya seringkali terjebak pada proses pengambilalihan konsep-konsep Barat. Oleh sebab itu kaum neo-modernisme menggunakan kaidah Islam klasik berikut ini, sebagai prinsip pengembangan pemikirannya. Yaitu:
المحافظـﺔ على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
Neo-Modernisme adalah aliran pemikiran yang melakukan usaha-usaha untuk menemukan titik temu antara kaum Islam tradisionalis dengan kaum Islam modernis. Di Indonesia sendiri gagasan neo-modernisme Islam dimulai sejak tahun 1970-an, sebagai pemikiran generasi kedua setelah modernisme yang mengarah pada Islam politik, kemudian pada tahun 1980-an generasi kedua ini dikenal dengan sebutan Islam kultural.
Menurut Greg Barton, ada lima ciri yang menonjol dari aliran neo modernisme. Pertama, neo modernisme adalah gerakan pemikiran progresif yang mempunyai sikap positif terhadap modernitas, perubahan dan pembangunan. Kedua, aliran ini sangat berbeda dengan fundamentalisme yang menganggap Barat sebagai ancaman bagi umat Islam. Neo-modernis justru membela ide-ide liberal Barat, tetapi juga mengajukan argumentasi bahwa Islam juga mempunyai kepedulian yang sama terhadap ide-ide Barat seperti demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Ketiga, neo-modernisme Islam mengarfimasi semangat sekularisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena menurutnya al-Qur’an dan Sunnah tidak pernah menyuruh mendirikan negara Islam. Keempat, neo-modernisme sangat mengedepankan pemahaman Islam yang terbuka, inklusif dan liberal, khususnya dalam merespon pluralisme masyarakat. Kelima, neo-modernisme selalu berijtihad dalam membuat sintesis antara khazanah pemikiran Islam tradisional dengan gagasan-gagasan Barat mengenai ilmu-ilmu sosial dan humoniora.
Banyak penulis yang mengkategorikan tokoh-tokoh muslim Indonesia, seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo, dan Munawir Sjadzali masuk dalam aliran ini, di antaranya. Dalam pembahasan ini, corak pemikiran neo-modernisme akan penyusun hadapkan dengan pemikiran Abdurrahman Wahid, ia seorang neo-modernis yang latar belakang sosialnya berasal dari golongan tradisionalis, meskipun Abdurrahman Wahid sangat kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah di tahun 1990-an, tetapi dia tergolong akomodasionis terhadap sistem sosial yang berlaku di Indonesia.
Dalam memandang relasi Islam dan negara, kalangan ini lebih suka menggunakan pendekatan kultural, yakni dengan memerankan Islam sebagai “faktor komplementer” untuk mengembangkan sosio-ekonomi, politik, dan moralitas bangsa. Di antara kalangan neo-modernis yang paling utama mendukung pendekatan kultural ini adalah Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid, meskipun mereka tidak sepenuhnya sama dalam berpendapat, tetapi mereka menyadari bahwa secara historis ekspresi Islam ideologis tidak pernah berhasil.
Selain itu, menurut Abdurrahman Wahid kalau Islam di Indonesia dijadikan faktor alternatif, yakni diideologikan, maka fungsinya bisa terdistorsi karena yang muncul bukanlah struktur yang lebih baik melainkan konflik horizontal dan ancaman disintegrasi bangsa, hal yang senada diungkapkan oleh Nurcholish Madjid bahwa Islam bukanlah sebuah ideologi, sebab pendapat Islam sebagai ideologi hanya akan menyamakan agama itu setaraf dengan ideologi-ideologi yang ada di dunia.
Meskipun demikian, bukan berarti pemikir neo-modernisme ini mengabaikan aspek agama dalam politik, karena dalam pemikirannya selalu mempertimbangkan aspek fiqih. Hal ini terlihat dalam pemikiran Abdurrahman Wahid yang mengajukan dalil agar kebijaksanaan pemerintah harus senantiasa disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan fiqih, dalam kaidah fiqihnya “Tas}araf al Ima>m manu>t}un bi al-Mas}lahah” (kebijaksanaan kepala pemerintah harus mengikuti kesejahteraan rakyat)”.
Pokok pikiran kedua aliran ini, baik modernisme maupun neo-modernisme dalam memandang agama dan negara sudah tentu berbeda, karena secara teoritis dalam konteks agama dan negara kedua pemikiran tersebut memang terbagi dua, yakni idealistik dan realistik. Dalam kerangka pemikiran idealistik dirumuskan sebuah sistem negara yang sepenuhnya berdasarkan wawasan Islam. Kelompok inilah yang kemudian menggunakan Islam sebagai “tawaran alternatif” dan selanjutnya penyusun kategorikan dalam “kelompok modernis”. Sementara pemikiran realistik lebih tertarik menempatkan Islam sebagai “faktor komplementer”, yang menekankan pada substansi bukan sebuah bentuk formal, dan kemudian penyusun kategorikan sebagai kelompok neo-modernisme.
Sebenarnya kedua kelompok di atas sama-sama menyadari bahwa di dalam al-Qur’an maupun Sunnah memang tidak ada yang menyatakan untuk mendirikan negara Islam, akan tetapi dalam aksi politiknya masing-masing berbeda. Kelompok modernis lebih suka menggunakan pendekatan Islam politik dalam kehidupan bernegara, karena untuk memberlakukan syari’ah pasti membutuhkan kekuatan politik dan yang memiliki kekuatan itu adalah negara, sedangkan negara dalam pandangan mereka adalah penjaga syari’ah. Sementara generasi kedua, neo-modernisme tidak tertarik dengan pendekatan Islam politik tetapi lebih pada Islam kultural, yang menempatkan syari’ah sebagai tata nilai masyarkat dalam kehidupan bernegara, karena pada dasarnya agama adalah urusan pribadi yang tidak bisa diintervensi siapapun.
Dari uraian di atas, bisa dimengerti mengapa persoalan agama dan negara di Indonesia selalu menjadi pembicaraan hangat di kalangan intelektual muslim kita. Ini tidak lain karena pengaruh geneologi pemikiran yang melatarbelakangi keduanya, baik itu faktor organisasi ataupun studi yang dijalaninya.
BAB III
POKOK-POKOK PEMIKIRAN
M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID
TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA
Sketsa Biografi M. Natsir
1. Latar Belakang Sosial Politik
Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, nama M. Natsir tidak pernah luput dari pembahasan. Selain seorang tokoh yang gigih memperjuangkan cita-cita Islam, dia juga dikenal sebagai bapak pemersatu bangsa karena mosi yang dilontarkannya dalam Sidang Parlemen RIS 3 April 1950, yang kemudian dikenal dengan Mosi Integral Nastir. M. Natsir berasal dari Sumatera Barat, daerah yang memang banyak memunculkan tokoh-tokoh pembaharu nasional, baik dalam bidang politik, pendidikan, maupun keagamaan. Diantaranya: Imam Bonjol, HAMKA, Haji Agus Salim, Muhammad Hatta, dan Sutan Sjahrir.
Secara tidak langsung, masyarakat Minangkabau telah akrab dengan dunia politik, budaya dan agama. Hal ini bisa dilihat dari masyarakatnya sendiri yang terdiri dari sejumlah republik (negeri-negeri), dan dibentuk sesuai tradisi kepala kelompok suku keluarga yang didasarkan pada suatu sistem Matriarchat. Di sisi lain adat-istiadat, suku juga sangat dipertahankan, terutama oleh golongan adat atau kaum tradisionalis.
Akibat tradisi keagamaan yang berlangsung di daerah itu, melahirkan para gerakan pembaharu Islam, mereka adalah ulama muda yang dipengaruhi oleh gerakan Wahabi di Arab Saudi dan gerakan pembaharuan Islam Mesir. Bahkkan di antara mereka itu ada yang berguru secara langsung kepada tokoh-tokoh Wahabi, dan dipengaruhi kuat dengan gagasan-gagasannya M. Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh. Salah satu tuntutan gerakan ini adalah pemurnian ajaran Islam (purifikasi).
Menurut Mahmud Yunus, awal timbulnya aliran pembaharuan Islam ini disebabkan beredarnya buku yang mengecam ulama dengan melarang berdiri waktu membaca “Maulid Nabi” (waktu Marh}aban) dan melafalkan Us}alli ketika niat sholat. Deliar Noer menambahkan, selain dua masalah di atas Syeikh Ahmad Khatib selaku penulis buku tersebut, juga menentang keras praktik T{ariqah Naqsabandiyyah dan peraturan-peraturan adat tentang warisan. Padahal kedua praktik itu telah menjadi tradisi masyarakat setempat.
Gerakan pembaharuan ini, menurut penyusun membawa implikasi besar dalam kehidupan masyarakat. Pertama, gerakan ini menimbulkan reaksi keras dari kalangan tradisionalis dan Kepala suku. Akibatnya masyarakat terpolarisasi menjadi kaum adat dan puritan. Kedua, gerakan ini membawa perubahan-perubahan positif bagi kehidupan keagamaan masyarakat Minangkabau, sehingga mengkondisikan lahirnya institusi keagamaan. Seperti yang di tulis Mahmud Yunus bahwa ada sisi positif dari dealektika dikotomi di atas, antara lain:
“Dari kalangan pembaharu melahirkan Sumatera Thawalib, majalah al-Munir, al-Bayan, al-Imam al-Basyir dan al-Ittiqan, sedangkan dari kalangan tradisional ada Tarbiyah Islamiyah dan majalah al-Mizan. Kedua golongan itu juga berlomba-lomba menyelidiki, membahas, mendalami ilmu-ilmu agama, dan mencari dalil untuk memperkuat fakta masing-masing, akibatnya ilmu agama semakin berkembang di Minangkabau dan melahirkan banyak madrasah agama.”
M. Natsir lahir pada tgl 17 Jumadil Akhir 1326 H, bertepatan dengan tanggal 17 Juli 1908 di Jembatan Berukir Alahan Panjang, Kabupaten Solok. Ia merupakan anak ketiga dari pasangan Idris Sutan Saripado Dan Khadijah, pola pemikirannya sedikit banyak dipengaruhi dengan kondisi sosiologis di mana ia tumbuh, yakni saat masyarakat Minangkabau bersemangat bangkit melawan politik kolonial dan mengadakan perubahan doktrin keagamaan.
Pendidikan formalnya ditempuh di HIS (Holland Inlandische School) Adabiyah dan Madrasah Diniyah Solok pada tahun 1916-1923. setelah lulus dari HIS ia melanjutkan ke MULO (Meer Uitgerbreid Lager Onderswij) Padang. M. Natsir mulai terlibat organisasi sejak di MULO, awalnya ia masuk Jong Sumatranen Bond di Padang, dan kemudian beralih ke Jong Islameten Bond (JIB), kedua organisasi tersebut diketuai oleh Sanusi Pane. Pada Juli 1927 ia tamat dari MULO dan melanjutkan ke AMS (Algemene Middelbare School) dengan jurusan sastra Barat (Eropa) klasik di Bandung.
Jika dilihat dari jenjang pendidikannya, M. Natsir tampak menguasai bahasa-bahasa Eropa tersebut, dengan demikian bisa dipastikan kalau ia tidak banyak mengalami kesulitan dalam memahami karya-karya bangsa Eropa, di antaranya sejarah, filsafat, sastra, politik dan orientalisme. Selain itu, M. Natsir sendiri mengakui bahwa bahasa-bahasa Eropa; Belanda, Inggris dan sebagainya memang banyak membantu kecerdasan bangsa Indonesia.
Namun demikian, ia juga mempunyai kepedulian khusus terhadap karya-karya klasik ulama Islam yang berbahasa Arab. Baginya bahasa Arab bukanlah bahasa agama semata, bukan satu dialek atau salah satu bahasa propinsi, malainkan suatu bahasa dunia yang merupakan kunci dari berbagai pengetahuan yang kaya raya untuk mengutarakan suatu pengertian, dari yang mudah sampai yang sesulit-sulitnya atau dari yang bersifat Maddah (konkrit) sampai yang bersifat Ma‘nawi (abstrak), oleh sebab itu baginya bahasa Arab lebih kaya dari bahasa Eropa manapun juga.
Melalui bahasa arab tersebut, tidak heran juga kalau M. Natsir sangat tertarik dengan karya Ibnu Taimiyah dan Ibn Qayyim. Di samping itu ia juga tertarik dengan pemikiran-pemikiran keagamaan para tokoh modernis, seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ahmad Khan, dan Syed Amir Ali di Asia Selatan.
Pada dasarnya M. Natsir telah mengenal ajaran-ajaran Islam yang bercorak pembaharuan sejak usia muda, hal ini bisa dilihat dari pengaruh gurunya, Tuanku Mudo Amid, seorang pengikut gerakan pembaharuan Islam yang juga merupakan kawan dekat Haji Rasul yakni seorang tokoh pembaharu pemikiran di Minangkabau. Selain itu, M. Natsir mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Haji Abdullah Ahmad secara teratur, seorang tokoh pembaharu di Padang.
Pemikiran Natsir semakin berkembang ketika ia belajar pada tokoh utama Persis (Persatuan Islam) di Bandung , Ahmad Hassan, salah seorang pendiri organisasi Persis, selain Ahmad Hassan ada juga Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus yang ikut mendirikan organisasi tersebut, tanpa bermaksud memperkecil peranan Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus sebagai pelopor pendiri Persis, namun organisasi ini memang baru terlihat karakternya sebagai kubu gerakan muslim modernis pada waktu dipimpin oleh Ahmad Hassan.
Menurut M. Natsir ada dua alasan mengapa ia tertarik berguru pada Ahmad Hassan. Pertama, Hassan sangat menguasai berbagai ajaran Islam, hal ini terlihat bagaimana Hassan mampu menghadapi persoalan masyarakat muslim yang berkembang saat itu. Kedua, pendekatan Hassan terhadap kajian Islam sangatlah menarik bagi generasi muda muslim karena cara yang digunakan sangat berbeda dengan para ulama lainnya.
Selain pengaruh dari tokoh-tokoh di atas, kondisi sosial masyarakat Minangkabau juga ikut mempengaruhi corak pemikiran M. Natsir. Karena pada masa kecil, ia telah menyaksikan pertentangan antara kaum adat dan agamawan di daerahnya. Oleh sebab itu tidak menutup kemungkinan kalau pandangan Natsir tentang keagamaan nanti sedikit banyak terpengaruh dengan fenomena yang ia lihat sewaktu kecil, yaitu pertentangan antara kaum adat dengan kaum muslim puritan, yang kemudian ikut membentuk pemikirannya dalam menentang paham sekulerisme.
Pola pemikiran politik Natsir mulai terlihat khas ketika ia berdomisili di Bandung, di mana ia banyak terlibat dalam organisasi, di antaranya Jong Islamieten Bond (the Association of Muslim Youth) dan Persis (The Unity of Islam). JIB berdiri pada tanggal 1 Januari 1925, organisasi ini merupakan perkumpulan generasi muda muslim yang didirikan di Jakarta dan kemudian membuka cabang di daerah-daerah. Pada tahun 1929 M. Natsir menjadi anggota JIB cabang Bandung. Dan kemudian ia mengajar Islam di Hollands Inlandse Kweekkschool (HIK) atau sekolah guru dan MULO di kota ini juga.
Namun demikian, pengaruh Persis terhadap dirinya lebih dominan ketimbang JIB. Karena dalam Persis M. Natsir merasa lebih banyak mendapatkan teman yang dapat memecahkan masalah yang sedang berkembang dalam pemikirannya, khususnya dalam bidang politik dan agama. M. Natsir mempunyai hubungan yang dekat dengan tokoh-tokoh Persis, apalagi ia juga sangat tekun dalam mengikuti kelas khusus yang memang diperuntukkan anggota muda Persis oleh Hassan, terutama yang sedang belajar di sekolah menengah Belanda.
Ditambah lagi, adanya majalah Persis Pembela Islam yang memberinya kesempatan untuk menuangkan pendapat-pendapatnya dalam bentuk tulisan, selain itu yang menarik bagi Natsir adalah perhatian besarnya Persis pada kegiatan-kegiatan pendidikan, tabligh dan publikasi. Yang semuanya itu mengantarkannya sebagai pejuang, negarawan, dan agamawan di negara Republik Indonesia ini. Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa Persis merupakan wahana awal yang menjadikannya sebagai tokoh nasional, karena melalui kegiatan yang dipelopori Persis seperti tablig, penerbitan majalah, buku, dan pendidikan itulah ia berkesempatan terjun langsung sebagai juru bicara, pendidik, dan team redaksi Pembela Islam.
Selain pengalaman organisasi di atas, secara akademis ia juga terlihat lebih serius dalam mempelajari ilmu pengetahuan Barat di AMS Bandung daripada sebelumnya, di sekolahan ini ia telah banyak mempelajari berbagai aspek sejarah peradaban Islam, Romawi, dan Yunani dengan menggunakan literatur yang berbahasa Arab, Prancis dan Latin.
Jadi bisa dikatakan bahwa dalam usia yang relatif muda (21 tahun) Natsir telah menguasai lima bahasa asing (Belanda, Arab, Inggris, Prancis, dan Latin), dengan demikian tidak heran apabila ia dengan mudah menjelajahi dunia intelektual. Melihat kecerdasan yang dimiliki Natsir, Pemerintah Belanda sempat menawarkan sebuah beasiswa untuk mengantarkannya ke Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta atau Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam Belanda, tetapi ia menolak tawaran beasiswa tersebut karena kecintaannya terhadap studi keislaman saat itu.
Kesadaran Natsir untuk menentang sistem kolonial Belanda, mulai terlihat saat ia mengkritik pandangan guru Belandanya yang menganggap bahwa sistem kerja kolonial di pabrik-pabrik gula di Jawa telah banyak memberi keuntungan kepada petani. Menurut M. Natsir yang mendapat keuntungan bukanlah petani melainkan para pemilik modal dan bupati yang memaksa rakyatnya untuk menyewakan tanah mereka dengan sewa rendah. Dan justru sistem inilah menurutnya yang membuat petani semakin menderita karena tidak pernah bebas dari beban-beban hutang.
Inilah awal perlawanan Natsir terhadap kolonial Belanda, ia mulai berontak akan penindasan yang dilakukan Belanda atas bangsanya. Dari peristiwa tersebut, ia terdorong untuk mempelajari politik lebih dalam, ia sadar bahwa untuk melawan tirani kolonialisme sangat ditentukan oleh perjuangan politik rakyat. Oleh sebab itu bisa dimungkinkan bahwa pemikiran politik Natsir pasca kemerdekaan juga dipengaruhi atas perjuangan politiknya ketika memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini melawan bangsa kolonial.
Sedangkan Peristiwa lain yang juga memperkuat cita-cita politik keislaman Natsir pada periode ini adalah responnya terhadap kalangan nasionalis netral agama atau yang biasa dikenal dengan sebutan kalangan sekuler, yang dipelopori oleh PNI dengan tokoh utamanya Ir. Soekarno, Tjipto Mangunkusumo dan lain-lain. Organisasi ini berbasiskan anggota di Bandung, tempat di mana Natsir mengembangkan pemikiran politik dan agamanya. Sebagai aktivis Persis yang bermukim di kota tersebut, M. Natsir tertarik dan seringkali mengujungi propoganda PNI yang dikampanyekan Soekarno, hanya saja ia tidak suka ketika kampanye PNI merendahkan aturan-aturan agama.
Perbedaan ideologi politik itulah, yang kemudian mempengaruhi perdebatan keras di antara keduanya dalam menentukan bentuk dan dasar negara, setelah kemerdekaan Indonesia ini tercapai. Dan selanjutnya, yang perlu dicermati setelah kondisi di atas adalah keterlibatan Natsir dalam mendirikan partai Islam di Indonesia yaitu Masyumi. Partai ini didirikan pada tanggal 7 Novemper 1945 dalam kondisi revolusi yang bergolak untuk menentang tentara kolonial yang hendak kembali lagi ke Indonesia.
Menurut Yusril Ihza Mahendra, ide pembentukan partai ini datang dari sejumlah tokoh politik dan pergerakan sosial keagamaan Islam Indonesia yang telah aktif sejak zaman Belanda. Di antaranya adalah Haji Agus Salim, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid Hasyim, Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Dr. Sukiman Wiryosajoyo, Ki Bagus Hadikusumo, Mohammad Mawardi, dan Dr. Abu Hanifah.
M. Natsir sendiri pernah memimpin partai ini selama beberapa periode, dalam pidatonya yang disampaikan pada hari jadinya Masyumi yang kesebelas (7 november 1956), ia menyampaikan bahwa Masyumi didirikan atas hasrat umat Islam yang diwakili oleh para tokoh Ulama dan Zuama dari seluruh kepulauan Indonesia di ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta.
Dalam organisasi partai tersebut, pada tahun 1945, M. Natsir masih menjadi anggota, selanjutnya pada tahun 1945 ia dipilih sebagi ketua sampai lima kali berturut-turut dari tahun 1951, 1952, 1954, dan 1956. Masyumi merupakan partai Islam yang asalnya terdiri dari empat macam organisasi masyarakat yang bernafaskan Islam, yaitu Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Perikatan Umat Islam, dan persatuan Umat Islam Indonesia.
Namun demikian, pada bulan April 1952 Nahdlatul Ulama sebagai Organisasi Masyarakat terbesar di nusantara ini, yang sekaligus menjadi salah satu anggota Partai Masyumi sebelumnya, akhirnya memisahkan diri dari keanggotaan partai tersebut dan kemudian mendirikan partai politik sendiri.
2. Pemikiran M. Natsir tentang Relasi Islam dan Negara.
Dalam pidatonya di Pakistan, M. Natsir menyatakan dengan tegas bahwa Indonesia merupakan negara Islam, meskipun tidak disebutkan dalam konstitusi, Islam adalah agama negara. Baginya secara de facto sudah pasti menunjukkan bahwa Islam diakui sebagai agama dan anutan jiwa bangsa Indonesia, bahkan lebih dari itu persoalan kenegaraan di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari agama.
Menurut A. Muchlis, M. Natsir beranggapan bahwa urusan kenegaraan pada dasarnya merupakan bagian integral Islam, yang di dalamnya mengandung falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, Fasis Atau Komunisme. Dengan berdasarkan H{ujjah nas} al-Qur’a>n yang dianggapnya mendukung pendapatnya tentang Islam sebagai dasar negara, Natsir menyebutkan :
و ماخلقـت الجن و الإنس إلا ليعبـد ون (الذاريات:٥٦)
Jadi, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang muslim di dunia ini hanyalah ingin menjadi hamba Allah dengan arti yang sepenuhnya, agar mendapat kejayaan dunia dan akhirat kelak.
Namun demikian, untuk mencapai kejayaan tersebut, menurut M. Natsir Allah telah memberikan aturan-aturan kepada manusia, yakni :
Aturan atau cara kita berlaku berhubungan dengan Tuhan yang menjadikan kita, dan cara kita berhubungan dengan sesama manusia. Di antaranya aturan-aturan yang berhubungan dengan sesama manusia, yang kemudian di antara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah sesama makhluk itu, diberikan garis-garis besarnya seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang, yang saat ini diistilahkan dengan urusan kenegaraan.
Untuk melacak pemikiran M. Natsir tentang negara, menurut Ahmad Suhelmi ada dua faktor yang perlu diperhatikan. Pertama, faktor sosial politik pada tahun 1940-an yang memunculkan polemik dan pertarungan ideologi antara kaum nasionalis Islam dengan nasionalis sekuler. Kedua, faktor emosional Natsir selaku tokoh negarawan muslim saat itu, akhirnya melahirkan gagasan-gagasan yang cukup reaksioner terhadap pemikiran Soekarno yang cenderung sekuler.
Sedangkan dalam konteks eforia politik Islam saat itu, wacana tersebut juga sedang hangat diperdebatkan di Timur Tengah karena isu tentang sekulerisme juga sangat kuat di sana. Yakni pemisahan antara agama dan negara seperti halnya yang diterapkan Kemal Fasya di Turki.
Oleh sebab itu, tidak menutup kemungkinan bahwa pemikiran-pemikiran Soekarno banyak dipengaruhi oleh sekularisasi yang sedang terjadi di Turki, dan di sisi lain, M. Natsir juga berkeinginan memposisikan Indonesia seperti Pakistan yang telah menjadi Republik Islam, meskipun dengan cara memperkenalkan Pancasila yang sebelumnya ia tentang sendiri.
Di samping itu, banyaknya ide pembaharuan dari tokoh-tokoh Indonesia dan Timur Tengah yang melekat dalam jiwa Natsir, juga telah ikut mempengaruhi pemikirannya dalam menggagas kenegaraan dalam Islam. Khususnya dalam menyumbangkan pemikirannya tentang bentuk negara Indonesia yang ideal menurut Islam, Padahal saat itu Indonesia belum merdeka.
M. Natsir pernah menegaskan dalam pidatonya dalam sidang Pleno Konstituante 12 November 1957 bahwa mengenai dasar negara Indonesia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu Sekulerisme; tanpa agama (La> diniyyah) dan paham agama (Dini>). Dari pernyataan tegas Natsir tersebut bisa disimpulkan bahwa M. Natsir telah memberikan dua pilihan tersebut sebagai respon atas menguatnya dualisme pemikiran Islam saat itu antara yang menginginkan dasar negara Islam dan sekular.
Paham sekulerisme menurutnya sangat berbahaya dalam membentuk masyarakat ke depan, karena paham ini akan menagakibatkan manusia kehilangan pegangan hidup yang asasnya kokoh, yakni gampang terserang penyakit syaraf dan rohani, seorang sekulerisme memang beranggapan bahwa konsep tentang Tuhan adalah relatif, yakni ditentukan oleh keadaan masyarakat sendiri, bukan oleh Wahyu.
Sebagaimana yang ia katakan bahwa ajaran sekulerisme, selalu memandang remeh kehidupan agama, karena “menurunkan nilai-nilai hidup manusia dari taraf kehidupan kepada taraf kemasyarakatan semata-mata”.
Paham inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor yang menggerakkan fikiran Natsir, sebagai pemikir Islam. Dengan memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Selain itu berdasarkan atas alasan bahwa secara sosiologis, mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, dan masyarakat muslimlah yang mempunyai andil besar dalam mengusir penjajah dari bumi nusantara ini, di samping itu baginya ajaran Islam mempunyai sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dalam menjamin keragaman hidup antar berbagai golongan.
Adapun Thohir Luth, memandang bahwa alasan Natsir bersama-sama partai-partai Islam lainnya mengusulkan Islam sebagai dasar negara karena tiga hal. Pertama, adanya fakta sosiologis, yakni mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim. Kedua, adanya fakta normatif yang jauh sebelum Pancasila lahir, umat Islam di Indonesia telah menjadikan dan mengamalkan Islam dalam kehidupan sehari-harinya. Ketiga, adanya komitmen yang sangat kuat tentang Islam dalam diri Natsir, hal ini terbukti dalam pernyataannya yang memperjuangkan Islam sebagai pedoman kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Kalau kita meminjam perkataan seorang orientalis, H.A.R. Gibb, kata Natsir, maka kita dapat simpulkan bahwa Islam is much more than a religious system, it is a complete civilization, Islam itu lebih dari sebuah sistem peribadatan, ia merupakan suatu kebudayaan yang lengkap dan sempurna. Artinya Islam tidak hanya membicarakan persoalan keakhiratan unsich, melainkan juga masalah keduniawiaan, seperti masalah sosial politik, hukum dan pendidikan.
Bukan hanya itu, Natsir juga menyebutkan bahwa agama Islam adalah agama yang meliputi semua kaedah-kaedah, hudud-hudud (batas-batas) dalam muamalah (pergaulan) masyarakat, menurut garis yang telah ditetapkan oleh Islam. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa berdasarkan : pertama. Watak holistik Islam, kedua, keunggulan Islam atas ideologi dunia lain, dan ketiga, kenyataaan bahwa Islam dipeluk oleh mayoritas masyarakat Indonesia, Natsir dan teman-temannya mengusulkan agar Islam dijadikan ideologi bangsa Indonesia.
Sedangkan menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif menyatakan bahwa ketika Mohammad Natsir berbicara tentang kelebihan agama, mengemukakan dua premis pokok. Pertama, agama memberi kemungkinan lebih banyak kepada pemeluknya untuk mencari ilmu pengetahuan dan kebenaran; sedangkan dalam filsafat hanya mengakui tiga dasar berpikir tidak mengakui adanya wahyu, yaitu empirisme, rasionalisme dan intusionisme. Kedua, jangkauan agama meliputi seluruh aspek kehidupan.
Dari pandangan-pandangan tokoh dan pendapat Natsir sendiri, yang menyebutkan alasan historis sosiologis di atas; mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam, maka sangat ironis jika agama Islam menjadi minoritas di negara ini. oleh sebab, itu untuk memperkuat ajaran Islam dalam jiwa masyarakat muslim Indonesia, Islam perlu dijadikan dasar negara. apalagi dalam sejarah dinyatakan bahwa sejak Islam masuk di Indonesia telah menjadi salah satu sumber kekuatan politik di nusantara ini, ini terbukti dengan banyaknya kerajaan-kerajaan Islam yang hampir semuanya menjadikan Islam sebagai dasar ideologi kerajaan tersebut.
Menarik untuk dicermati kembali isi pidato Natsir, yang terkesan tidak konsisten dalam menyatakan alasan. Sebelumnya ia berpendapat bahwa sudah sewajarnya Islam dijadikan dasar negara karena secara sosiologis umat Islam di Indonesia memang mayoritas jumlahnya, sedangkan dalam kesempatan lain ia menyatakan:
“bukan semata-mata umat Islam adalah golongan terbanyak di kalangan rakyat Indonesia seluruhnya, kami memajukan Islam sebagai dasar negara kita, tetapi berdasarkan pada keyakinan kami bahwa ajaran-ajaran Islam yang mengenai ketatanegaraan dan masyarakat hidup itu mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat, serta dapat menjamin hidup keagaman atas saling harga menghargai antara berbagai golongan di dalam negara ini”.
Dengan usaha meyakinkan pada seluruh lapisan bangsa Indonesia, M. Natsir juga menyatakan dalam pidatonya, “kalau pun besar tidak akan melanda, kalupun tinggi malah akan melindungi”.
Sedangkan dalam sisi lain, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, bahwa pernyataan Natsir sebagai salah satu anggota Masyumi tentang maksud suatu negara akan bersifat Islam bukan berarti secara formal harus dinamakan negara Islam ataupun berdasarkan Islam, tetapi negara disusun sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, baik dalam teori maupun praktiknya. Dan mengenai dasar negara menurut Natsir dapat dirumuskan dalam klausul-klausul yang bersifat umum sepanjang mencerminkan kehendak-kehendak Islam.
Untuk menjelaskan sebuah negara, menurut Natsir tidak perlu memberi definisi panjang karena malah tidak akan menjelaskan pengertian apa-apa tentang negara ini, apalagi sudah terdapat banyak pandangan tokoh yang berlainan dalam hal ini di antaranya, Ibnu Khaldun, Machiavely, Hegel, Marx, Adam Smith, Robert Owen, Plato, Agustinus, Hobbes, Rosseau dan lain sebagainya.
Negara menurut Natsir adalah suatu institusi yang mempunyai hak, tugas dan tujuan khusus. Institusi secara umum adalah suatu badan atau organisasi yang mempunyai tujuan khusus dan dilengkapi oleh alat-alat material, peraturan-peraturan sendiri dan diakui oleh umum.
Lebih dari itu, Natsir menambahkan bahwa untuk sesuatu dinamakan institusi apabila :
a. Bertujuan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat di lapangan jasmani maupun rohani.
b. Diakui oleh masyarakat.
c. Mempunyai alat untuk melaksanakan tujuan.
d. Mempunyai peraturan-peraturan, norma-norma dan nilai-nilai tertentu.
e. Berdasarkan atas paham hidup.
f. Mempunyai keanggotaan.
g. Mempunyai daerah berlakunya.
h. Mempunyai kedaulatan atas anggotanya.
i. Memberikan hukuman terhadap pelanggaran atas peraturan-peraturan dan norma-normanya.
.
Maka negara sebagai suatu institutsi, menurutnya harus mempunyai: a) wilayah. b) Rakyat. c) Pemerintah. D) Kedaulatan. E) Undang-undang Dasar, atau suatu sumber hukum dan kekuasaan lain yang tidak tertulis. Melihat dari karakteristik yang disampaikan Natsir di atas, maka bisa dikatakan bahwa konsep negara yang dinyatakan termasuk syarat-syarat negara modern.
Menurutnya, dalam kenegaraan Islam memang hanya mengatur dasar dan pokok-pokoknya saja, seperti halnya kepentingan dan keperluan masyarakat manusia yang tidak berubah-ubah selama manusia masih bersifat manusia, baik itu manusia zaman unta, manusia zaman kapal terbang dan lain sebagainya.
Mengenai bersikerasnya M. Natsir dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara republik ini, karena ia berpandangan bahwa negara bisa menjadi alat yang kokoh bagi berlakunya hukum-hukum Islam. Dengan demikian negara hanyalah sebuah alat untuk mencapai tujuan, yakni mewujudkan ajaran-ajaran Islam.
Sebagaimana di atas, Natsir menegaskan bahwa negara bukanlah tujuan akhir Islam, melainkan hanya alat untuk merealisasikan aturan-aturan Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah, ia menyebutkan bahwa di antara aturan-aturan tersebut yaitu kewajiban belajar, kewajiban zakat, pemberantasan perzinaan dan lain-lain. Menurutnya negara di sini berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan “kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi,baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia sendiri,(sebagai individu) ataupun sebagai anggota masyarakat”.
Menanggapi statemen tentang tidak adanya doktrin agama yang menyuruh dan mendirikan negara sebagaimana dinyatakan oleh Soekarno, bahwa tidak ada ijma‘ ulama yang memerintahkan membentuk negara dibantah oleh Natsir, menurutnya pengutipan ijma‘ oleh Soekarno tentang masalah ini hanya mempersulit persoalan.
Menurut Natsir, ada atau tidak adanya Islam, eksistensi negara nerupakan keharusan di dunia ini dan di zaman apapun, mendirikan negara tidak perlu disuruh Rasulullah lagi, eksistensi negara telah ada sebelum dan sesudah Islam, Jadi dengan Islam atau tidak tetap saja merupakan sebuah negara.
Melihat pemikiran Natsir tentang dasar negara Indonesia di atas, menimbulkan kesan bahwa Natsir selama perjuangannya adalah anti Pancasila, padahal dalam pidatonya di depan Pakistan Institute of World Affairs pada 1952, sikapnya yang anti Pancasila berubah. Ia menyatakan bahwa:
Tidak diragukan lagi Pakistan adalah sebuah negeri Islam karena telah menyatakan Islam sebagai agama negara, begitu pula Indonesia, menurutnya negara ini juga negeri Islam, karena kenyataannya negara ini diakui sebagai agama rakyat, meskipun dalam konstitusi kami tidak dinyatakan tegas sebagai agama negara. Tetapi Indonesia tidak mengeluarkan agama dari sistem kenegaraan, bahkan kepercayaan tauhid (monothestic belief) telah ditempatkan pada tempat teratas dari sila Pancasila , yang berfungsi sebagai dasar etik, moral dan spritual bangsa dan negara kita.
Dalam tulisannya yang berjudul “Apakah Islam bertolak belakang dengan doktrin al-Qur’an ?”, Natsir mengatakan:
“Pancasila adalah formulasi lima cita-cita kebaikan sebagai hasil dari konsensus para pemimpin kita pada tahap perjuangan sembilan tahun yang lalu. Dan sebagai lima dasar kebaikan tidaklah bertentangan dengan al-Qur’an, kecuali apabila dimasuki oleh sesuatu yang tidak sesuai dengan al-Qur’an. Dalam pandangan umat Islam, rumusan Pancasila tidak memperlihatkan sesuatu yang asing dalam ajaran al-Qur’an, dan meskipun tidak identik dengan Islam itu sendiri, Pancasila telah mencakup cita-cita islam.
Dan kemudian ia menambahkan, Pancasila adalah manifestasi dari maksud dan cita-cita tentang kebaikan dimana kita akan melakukan setiap usaha untuk meletakannya ke dalam praktik negara kita.
Namun kemudian, Natsir terlihat inkonsisten dengan pendiriaannya, pada 1957 di sidang konstituante ia kembali menolak Pancasila sebagai dasar negara, karena ideologi ini dianggap sebagai hasil ciptaan manusia dan tergolong sekuler. Dalan hal ini Syafi’i Ma’arif memandang bahwa mungkin Natsir mengambil sikap keras dalam majelis karena telah terjadi pengaburan interprestai Pancasila yang dibuat-buat oleh masyarakat kita.
Bahkan dalam sidang konstituante tersebut, terang-terangan ia menyatakan bahwa sidang konstituante adalah forum tempat mengemukakan pendapat dan pikiran anggota secara lurus, jujur, dan mencerminkan pemikiran yang hidup di masyarakat. Oleh sebab itu ia beranggapan bahwa kesempatan inilah yang tepat untuk menolak Pancasila .
Menurut Njoto, salah satu tokoh komunis, mengatakan bahwa penerimaan Natsir terhadap Pancasila selama 12 tahun sebagai dasar dan ideologi negara sekedar “di bibir saja”, karena dalam majelis tersebut, ia sepenuhnya menolak Pancasila , dan bahkan mengusulkan Islam sebagai dasar dan ideologi negara.
Dan lebih keras lagi, Njoto menyerang pandangan Natsir di atas, dengan mempertanyakan mengapa Natsir dalam sidang-sidang majelis, memperlihatkan sikap-sikap “kejam” terhadap Pancasila dengan menyebutnya tidak berdasar, netral, dan streril yang sepenuhnya menolak Pancasila. Njoto kemudian mengajukan pertanyaan: Natsir yang mana yang harus diikuti, apakah Natsir pada tahun 1954 atau Natsir pada tahun 1957? Atau malah tidak kedua-duanya.
Sebagai seorang demokrat sejati Natsir harus menerima Pancasila sebagai dasar negara, yang telah diberlakukan sejak 1945 sampai tejadinya perdebatan ideologis di majelis konstituante 1957. Namun perlu diketahui bahwa apa yang dilakukan Natsir dalam sidang konstituante tersebut secara konstitusional adalah sah, karena pada saat itu majelis belum menetapkan dasar negara baru yang permanen. Dan sebagaimana tokoh politik yang lain, Natsir sebagai representasi dari pihak muslim berhak mengajukan Islam sebagai dasar negara melawan pendukung Pancasila dalam momen itu.
Perubahan sikap Natsir dalam sidang konstituante saat itu, menurut Deliar Noer dipicu oleh tiga alasan. Pertama, majelis konstituante merupakan forum tertinggi bagi para anggotanya untuk mengusulkan ideologi negara yang mereka yakini dan cocok untuk negara Indonesia. Kedua, dalam majelis, Natsir dan teman-temanya memikul tanggung jawab agama dan politik dalam memperjuangkan aspirasi politik umat Islam, yang menginginkan Islam sebagai dasar negara. Ketiga, sebagaimana wakil-wakil non muslim yang menjelaskan argumentasi usulan mereka, Natsir juga menjelaskan usulannya secara argumentatif pula.
Sementara mengenai sistem pemerintahan suatu negara, Natsir mengatakan boleh saja meniru negara non Islam asalkan tidak menyalahi ajaran-ajaran Islam, sebab dari syarat-sayarat negara yang ia sebut di atas adalah tidak sepenuhnya sistem negara Islam. Kemudian menyinggung soal nama penguasa negara, Natsir juga tidak bersikeras menggunakan istilah-istilah penguasa Islam, menurutnya boleh saja bernama khalifah, Amir al-Mu‘minin, presiden dan lain sebagainya.
Selain itu titel “kholifah” menurutnya tidak menjadi syarat mutlak dalam pemerintahan Islam, bukan conditio sine qua non, yang terpenting adalah seorang kepala negara tersebut sanggup bertindak bijaksana dan menerapkan peraturan-peraturan Islam dengan semestinya dalam susunan kenegaraan baik dalam kaidah maupun praktiknya. Dan untuk syarat sebagai kepala negara Islam, Natsir menilai dari sisi: agamanya, sifat dan tabi’atnya, akhlak dan kecakapannya dalam menjalankan kekuasaan yang diberikan kepadanya. Jadi, bukan dari bangsa dan keturunannya atau semata-mata keintelekannya saja.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, seorang kepala negara menurut Natsir, wajib bermusyawarah dengan orang-orang yang layak diajaknya dalam mengatur umat. Adapun untuk urusan-urusan yang di luar ketetapan agama, semua boleh diatur menurut keadaan zaman, dengan cara-cara yang Muna>sabah, dan tidak melanggar hukum-hukum yang telah ditetapkan.
Oleh sebab itu, Natsir membolehkan umat Islam untuk mencontoh sistem negara lain, dalam hal ini ia menuliskan:
Bila sudah ada sistem yang dikehendaki itu terdapat di negara-negara lain, kita orang Islam ada hak mencontoh negara itu selama tidak berlawanan atau bertentangan dengan aturan-aturan yang diadakan Islam. Sebab tiap-tiap hasil kebudayaan, bukanlah monopoli salah satu bangsa atau salah satu negara saja. Kita ada hak mengambil peraturan-peraturan yang baik, yang tidak berlawanan dengan agama kita, dari Inggris, Jepang, Rusia, atau dari Finlandia umpamanya.
Dengan demikian Natsir mengakui sistem pemerintahan sekular, sebab dari negara-negara yang ia sebut di atas adalah negara yang memisahkan agama dan negara. dan lebih spesifik, bisa dikatakan bahwa Natsir menganggap Islam tidak mempunyai sistem negara yang lengkap sehingga ia harus mencontoh Barat.
Lebih lanjut, Yusril Ihza Mahendra juga mengatakan hal yang sama, yakni contoh negara-negara yang disebutkan Natsir di atas sangatlah liberal, karena Jepang di masa itu adalah sebuah negara totaliter yang berhaluan fasis, apalagi Rusia adalah sebuah negara komunis. Contoh-contoh itu lanjut Yusril, sengaja ditunjukkan oleh Natsir, semata-mata ingin memeperlihatkan bahwa doktrin politik Islam itu bersifat terbuka untuk beradaptasi dengan sistem-sistem pemerintahan yang telah ada di dunia ini.
Namun demikian, ketika Natsir berbicara tentang sistem pemerintahan demokrasi, perlu dicermati lebih lanjut, sebab dalam pandangannya prinsip musyawarah dalam Islam tidak selalu identik dengan azas demokrasi, meskipun ia mengemukakan bahwa Islam anti Istiibdad (despostisme), anti absolutisme dan kesewenang-wenangan. Bukan berarti bahwa dalam pemerintahan Islam semua urusan diserahkan kepada keputusan majelis Syura, sebab Dalam parlemen negara Islam yang boleh dimusyawarahkan hanyalah masalah tata cara pelaksanaan hukum Islam (syari’at Islam), bukan dasar negaranya.
Dalam Islam pengertian demokrasi diartikannya suatu aturan yang memberikan hak kepada rakyat untuk mengkritik dan membetulkan pemerintahan yang zalim, kalau perlu menggunakan kekuatan dan kekerasan untuk menghilangkannya.
Natsir mengakui bahwa demokrasi itu baik, akan tetapi sistem kenegaraan Islam tidaklah menggantungkan semua urusannya kepada instrumen demokrasi, menurutnya demokrasi tidak kosong dari berbagai bahaya yang terkandung di dalamnya. Ia menyatakan bahwa perjalanan demokrasi dari abad ke abad telah memperlihatkan beberapa sifatnya yang baik. Akan tetapi bukan berarti ia lepas sama sekali dari pelbagai sifat-sifat bahaya.
Dengan tegas ia mengatakan bahwa Islam adalah suatu pengertian, suatu paham, suatu begrip sendiri, yang juga mempunyai sifat-sifat sendiri. Intinya “Islam tak usah demokrasi 100%, bukan pula otokrasi 100%, Islam itu…yah Islam”. Hal ini disebabkan karena politik tidaklah semata-mata harus didasarkan kepada kemauan mayoritas anggota parlemen. Keputusan itu tidak dapat melampaui H{udud (batas-batas) yang telah ditetapkan Tuhan.
Dari uraian di atas, Natsir tidak menjelaskan bagaimana sesungguhnya demokrasi dalam Islam. Namun kemudian dalam sidang konstituante 1957 ia memperkenalkan konsep demokrasi yang ia maksudkan, “Thestic Democracy”, yaitu demokrasi yang dilandasakan pada nilai-nilai ketuhanan. Maksudnya keputusan mayoritas yang berpedoman kepada nilai-nilai ketuhanan, yang kemudian ia anggap sebagai ijma’ yang mengikat untuk tempat dan zaman tertentu.
Oleh sebab itu, berangkat dari pandangan-pandangan Natsir di atas dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa hubungan Islam dan negara tidak dapat dipisahkan, dan secara tersurat ia mendukung Islam dijadikan ideologi negara. kesimpulan tersebut bisa dilihat dari pernyataannya bahwa:
Fungsi agama dalam negara sangatlah penting dan tidak boleh diabaikan sama sekali, lebih lanjut ia mendefiniskan persatuan agama dan negara. Bagi kita kaum muslimin negara bukanlah suatu badan tersendiri yang menjadi tujuan, melainkan sebuah alat. Persatuan tersebut bukanlah dimaksudkan bahwa agama itu cukup dimasuk-masukkan saja di sana sini kepada negara, bukan begitu!
Dan urusan kenegaraan pada dasarnya adalah satu bagian yang tak dapat dipisahkan, satu “intergreerend deel” dari Islam. Yang menjadi tujuan adalah kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan manusia sendiri (individu), ataupun sebagai masyarakat .
Dan pada intinya. Pertama, sistem ketatanegaraan dalam pandangan Natsir boleh meniru bentuk mana saja (Barat), asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kedua, menurutnya, hubungan agama dan negara dalam politik Islam tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sebab Islam tidak seperti agama yang lain. Islam baginya telah menyediakan perangkat dasar yang dapat diterapkan sesuai zamannya. Ketiga, berdasarkan fakta di atas, Natsir sebagai tokoh muslim tampak ingin sekali menjadikan Islam sebagai dasar negara Indonesia.
Kemudian, Natsir juga menghimbau kepada kaum muslimin agar dalam masalah persatuan atau pemisahan agama dan negara ini tidak menjadikan “sejarah sebagai ukuran” kebenaran terakhir.
Sketsa Biografi Abdurrahman Wahid
1. Latar Belakang Sosial Politik
Berbeda dengan Natsir, Abdurrahman Wahid lahir dari latar belakang kalangan tradisional, sejak kecil ia dididik dan dibesarkan dalam naungan keluarga ulama. Kakeknya adalah seorang pelopor pesantren Tebuireng, Jombang dan sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari.
Pada saat usia kanak-kanak ia tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya, Gus Dur tidak memilih tinggal bersama ayahnya, tetapi ikut bersama kakeknya. Dan saat tinggal serumah dengan kakeknya itulah, ia mulai mengenal politik dari orang-orang yang tiap hari hilir mudik di rumah kakeknya.
Tahun 1950, Gus Dur dan saudara-saudaranya harus pindah ke Jakarta, sebab saat itu bapaknya dilantik menjadi menteri agama Republik Indonesia. Sehingga mengharuskannya bermukim di Jakarta. Keluarga Gus Dur tinggal di Hotel Des Indes yang sekarang menjadi pusat pertokoan Duta Merlin. Karena kedudukan bapaknya ini pulalah, ia semakin akrab dengan dunia politik yang ia dengar dari rekan-rekan ayahnya saat bincang-bincang di rumahnya itu. Lagi pula, Gus Dur termasuk anak yang sangat peka mengamati dunia sekelilingnya. Maka tak heran menurut pengakuan ibunya, “sejak usia lima tahun, dia sudah lancar membaca, dan gurunya saat itu adalah bapaknya sendiri”.
Selain membaca buku, Gus Dur mempunyai hobi lain, yaitu: main bola, catur, musik, dan nonton film. Di usia yang masih belasan tahun ia sudah banyak menghabiskan segala macam majalah, buku, surat kabar. Mulai dari filsafat, sejarah, agama, cerita silat, dan fiksi cerita. Buku-buku itu bisa ia dapatkan dari perpustakaan pribadi bapaknya, yang memang terdapat berbagai macam buku yang dikoleksinya, baik buku yang diterbitkan oleh orang-orang katolik atau non muslim lainnya.
Sementara itu, perkenalannya dengan musik dimulai lewat pertemuannya dengan seorang pria Jerman, teman baik bapaknya yang telah berpindah ke agama Islam dan dipanggil dengan nama Williem Iskandar Bueller. Dan dari sinilah pertama kali Gus Dur tertarik dan mencintai musik klasik, khususnya karya Bethoven.
Kegemaran Gus Dur terhadap berbagai hal tersebut, membuat sekolah formalnya terganggu, bahkan sampai membuatnya tidak naik kelas di sekolah menengah ekonomi pertama (SMEP). Ini disebabkan sangat gandrungnya ia dalam menonton sepak bola dan membaca buku, di samping itu juga karena ia masih dalam keadaan sedih karena kehilangan bapaknya saat kecelakaan mobil tanggal 18 April 1953.
Gus Dur dilahirkan di Denanyar, Jombang, pada tanggal 4 sya’ban menurut penanggalan Islam, yang kemudian bertepatan dengan tanggal 7 September 1940 M. Namun demikian perayaan hari kelahirannya selalu diadakan pada tanggal 4 Agustus, hal ini memang aneh, sebagaimana terlihat dalam aspek kepribadiannya yang nyleneh pula, seringkali mengundang kontroversial.
Ditilik dari geneologi keluarganya, Gus Dur termasuk dari golongan “darah biru” pesantren. Ia merupakan anak dari K.H. Abdul Wahid Hasyim, yang ia sendiri merupakan anak dari Hadratu al-Syaikh Hasyim Asy’ari, pendiri pesantren Tebuireng, Jombang. Sementara ibunya, bernama Nyai Hj. Siti Salekhah yang merupakan anak dari K.H. Bisri Syamsuri, pendiri pesantren Denanyar, Jombang. Dan kedua kakeknya itu dikenal sebagai Founding Father NU di samping K.H. Wahab Hasbullah.
Walupun bapaknya seorang menteri dan terkenal di lingkungan Jakarta, Gus Dur tidak ingin sekolah di sekolahan elit yang biasanya dimasuki anak-anak pejabat pemerintah, ia lebih menyukai sekolah-sekolah biasa, menurutnya sekolahan elit membuatnya tidak betah.
Gus Dur memulai pendidikan formalnya di Sekolah Rakyat (SD) KRIS, di Jakarta Pusat. Ia hanya mengikuti kelas tiga dan empat di sekolahan ini, karena kemudian ia pindah ke Sekolah Dasar Matraman Perwari, yang terletak di dekat rumah keluarganya yang baru di Matraman, Jakarta Pusat.
Pada tahun 1953, Gus Dur tamat dari sekolah dasarnya di Jakarta. Lalu setahun setelah tamat SD, pada tahun 1954 ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta dan berhasil menamatkannya pada tahun 1956. Di kota ini persisnya di desa Kauman, Gus Dur bermukim di rumah salah seorang teman ayahnya, Kiai Junaidi, seoarang ulama kecil yang terlibat dalam gerakan organisasi Muhammadiyah. Bahkan Lebih dari itu, ia juga termasuk anggota Majelis Tarjih (Dewan Penasihat Agama Muhammadiyah). Selain itu, Gus Dur juga mengaji tiga kali seminggu di pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, di bawah asuhan K.H. Ali Maksum.
Ketika di Jakarta, Gus Dur sudah mampu berbicara bahasa Inggris dengan baik dan bisa membaca tulisan dalam bahasa Prancis dan Belanda, serta sudah mengerti bahasa Arab tetapi masih pasif. Namun ketika ia belajar di kota Yogyakarta, perkembangan bahasanya berkembang cepat. Bagi Gus Dur yang suka membaca buku, Jogja merupakan kota pembawa berkah bagi perkembangannya.
Setelah tamat dari SMEP di Yogyakarta pada tahun 1957, Gus Dur mulai mengikuti pelajaran pesantren secara penuh, tepatnya di pesantren Tegalrejo Magelang, yang terletak di sebelah utara kota Yogyakarta. Ia belajar di pesantren ini dari tahun 1957-1959 pada Kiai Khudori, salah satu pemuka NU.
Kemudian pada tahun 1959, Gus Dur pindah ke pesantren Tambak beras Jombang. Di bawah bimbingan Kiai Wahab Chasbullah, sampai pada tahun 1963. Di sini ia sempat mengajar dan menjadi kepala sekolah, namun kemudian Gus Dur pindah lagi ke pesantren Krapyak Yogyakarta dan tinggal di rumah Kiai Ali Ma’shum. Pada masa-masa itulah (sejak akhir 1950-an sampai 1963) Gus Dur mengalami konsolidasi dalam studi formalnya tentang Islam dan sastra Arab klasik.
Di samping itu, perpindahannya dari Yogyakarta ke Magelang dan kemudian ke Jombang, yang dalam proses pertumbuhan dari kanak-kanak menjadi remaja, menjadikannya mulai serius memasuki dunia bacaan: tokoh-tokoh teori sosial Eropa dan novel-novel besar Inggris, Parancis dan Rusia. Sebagai seorang remaja ia mulai mencoba memahami tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles, dua pemikir penting bagi sarjana-sarjana mengenai Islam zaman pertengahan.
Pada saat yang sama ia juga tertarik menggeluti karya Das Kapital yang ditulis oleh Marx dan What is Tobe Done nya Lenin. Kedua buku itu menurutnya gampang diperoleh, karena saat itu partai komunis Indonesia membuat kemajuan besar. Di samping itu ia juga tertarik pada ide Lenin tentang ketelibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile Communism (kekiri-kirian Penyakit Kekanak-kanakan) dan dalam Little Res Book-Mao (kutipan kata-kata ketua Mao).
Setelah menimba ilmu dari pesantren-pesantren di atas, pada tahun 1964 Gus Dur memperoleh kesempatan belajar ke Universitas al-Azhar Kairo Mesir, melalui beasiswa Departemen Agama. Saat itu ia sedang berumur 23 tahun, dan telah menyelesaikan gramatika bahasa Arab sebanyak 1000 bait (Alfiah) di luar kepala. Di negeri ini, Gus Dur mengambil spesialisasi bidang Syari’ah. Namun, ia merasa tidak betah belajar di sini karena materi yang diajarkannya tidak jauh berbeda dengan apa yang ia dapatkan di pesantren dulu.
Oleh sebab itu, di Mesir Gus Dur lebih memilih aktif di organisasi Perhimpunan Mahasiswa Indonesia daripada menekuni belajarnya. Dengan demikian, sebagian waktunya ia habiskan untuk membaca di perpustakaan terkenal di kota itu, American University Library, sebuah perpustakaan terlengkap di kota Kairo dan waktu lebihnya ia manfaatkan menonton film. Namun demikian bukan berarti Gus Dur kecewa sepenuhnya kepada institusi al-Azhar, karena di kota ini ia juga banyak memanfaatkan kelompok diskusi dengan para intelektual muda Mesir untuk bertukar fikiran, di samping menonton kegemarannya film-film Prancis dan sepak bola.
Dari Kairo Gus Dur pindah ke Irak, untuk mengikuti kuliah di Universitas Baghdad, Fakultas Sastra, selama empat tahun. Di sini ia banyak belajar tentang sastra dan kebudayaan Arab, filsafat Eropa dan teori sosial. Menurut pengakuannya ia sangat senang dengan sistem Universitas Baghdad ini karena kampus tersebut jauh lebih mirip Eropa daripada al-Azhar Kairo, selain itu Gus Dur juga pernah menjadi ketua Perhimpunan Mahasiswa Indonesia Timur Tengah dari tahun 1964 sampai 1970.
Di negeri inilah bakat empirismenya tumbuh pesat, lingkungan baru ini juga membantunya banyak membaca karya-karya pemikiran seperti pemikiran Emile Durkhim. Minatnya tentang Indonesia juga mulai tumbuh di Universitas tersebut, sebab referensi buku tentang Indonesia cukup banyak tersedia di sana. Dan akhirnya di univesitas Baghdad ini pulalah ia diminta untuk meneliti asal-usul historis Islam di Indonesia.
Lalu pada tahun 1971, Gus Dur melanjutkan petualangannya ke negeri Eropa dengan harapan bisa belajar di salah satu universitas di sana, tetapi harapan ini sukar terwujud, karena background studinya di Kairo dan Baghdad tidak diakui di Eropa. Ia juga sempat bermaksud pergi ke McGill Univesity di Kanada, untuk belajar program studi Islam yang sangat diseganinya. Tapi tidak kesampaian karena ia lebih memilih balik ke Indonesia. Tetapi, kemudian ia memutuskan untuk tetap tinggal di Indonesia saja, sebagian karena diilhami oleh berita-berita perkembangan baru dunia pesantren yang menggembirakan.
Setelah itu, akhirnya Gus Dur kembali lagi ke Indonesia dan kehidupan pesantren. Pada tahun 1972-1974, ia menjadi dosen dan dekan Fakultas Ushuluddin di Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY), yang sekarang menjadi Institut Keislaman Hasyim Asy’ari (IKAHA), Jombang. Kemudian dari tahun 1975-1979, ia menjadi sekretaris umum pondok pesantren Tebuireng, Jombang.
Selama periode ini, Gus Dur juga banyak terlibat dalam kepemimpinan nasional NU. Sampai akhirnya pada tahun 1979 ia hijrah ke Jakarta, dan mengawali kariernya di PB NU sebagai katib awal Syuriah NU, dan menjadi dosen IAIN Syarif Hidayatullah, sebelum akhirnya mendirikan Pesantren Ciganjur, di Jakarta Selatan. Selain itu, ia juga banyak terlibat dalam berbagai proyek dan aktivitas di Jakarta termasuk mengajar di dalam program pelatihan bulanan kependetaan Protestan.
Setelah menetap di Jakarta, secara teratur ia melakukan kontak dengan intelektual muslim progresif di Jakarta, seperti Nurcholish Madjid dan Djohan Effendi untuk ikut bergabung dalam forum diskusi dan lingkaran studi mereka. Meskipun latar belakang pendidikannya berbeda, akan tetapi Gus Dur jauh lebih siap untuk menggagas wacana agama yang bercorak liberal.
Rentetan petualangan pendidikannya di atas, telah menjadikannya sebagai tokoh intelektual yang berfikiran liberal, longgar dan moderat. Bahkan menurut Greg Barton, meskipun Gus Dur tidak pernah menempuh pendidikan formalnya di Barat, akan tetapi sikap dan pemikirannya jauh lebih siap untuk berpartisipasi dalam wacana-wacana besar mengenai pemikiran Barat, pendidikan Islam dan masyarakat muslim. Selain belajar secara otodidak, studinya di Baghdad juga banyak memberikan dasar-dasar yang baik mengenai wacana liberal yang bercorak Barat dan sekular.
Karena sikap liberal, progresif dan inklusif inilah, kemudian ia diberi kepercayaan untuk menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 1982-1985. Ia juga pernah menjadi juri pada Festifal Film Indonesia, yang saat itu masih dianggap tabu oleh kaum santri (NU). Sikap dan pemikiran Gus Dur semakin liberal dan progresif ketika dipercaya menjabat ketua PBNU pada tahun 1984, hal ini bisa dilihat dari gagasan-gagasannya, seperti Pribumisasi Islam, orang-orang non muslim menjadi presiden Indonesia, rukun tetangga (sosial), dan lain sebagainya.
Kemudian dari tahun 1985 hingga 1990 ia berkhidmat dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan sejak tahun 1994 ia menjadi penasehat International Dialogue Foundation on Perspective Studies of Syari’ah and Secular Law, di Den Haag.
Namun sebelumnya dalam periode yang sama tahun 1993, Gus Dur dinobatkan sebagai seorang yang layak menerima piagam “Ramon Magsasay” dan hadiah senilai 50.000 dollar AS, sebuah penghargaan bergengsi yang diberikan pada tokoh Asia karena dinilai telah memberi kemajuan yang khas bagi bangsanya. Bersamaan pada periode itu, Gus Dur juga terlibat dalam aktivitas-aktivitas sosial, seperti LSM Fodem (Forum Demokrasi), di sini ia menjabat sebagai ketuanya.
Karena kritik politiknya terhadap kediktatoran negara dan gagasan-gagasannya yang berkaitan dengan demokrasi, pluralisme agama, kebebasan berpendapat, dan pribumisasi Islam, telah mendapat respon dari kalangan luas (sejak tahun 1980-an sampai 1990-an), maka tidak aneh saat reformasi 1998 terjadi, ia dijuluki sebagai salah satu tokoh pembawa gerbong reformasi.
Akhirnya pada tahun 1998 pasca reformasi, Gus Dur yang saat itu masih aktif menjabat ketua umum PBNU mendirikan sebuah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), pada tanggal 23 Juli 1998, dengan menyatakan bahwa PKB bukanlah Partai Islam dan merupakan partai yang menginginkan negara sekuler. Dengan dukungan PKB dan Partai-Partai Islam yang dinamakan “poros tengah” saat itu, telah berhasil mengantarkannya pada kursi kepresidenan pada tahun 1999 di masa reformasi ini.
Terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden, dengan cara yang sangat demokratis telah mengangkat citra kelompok santri dalam percaturan politik nasional, yang sebelumnya seringkali dimarginalkan. Namun sayang masa pemerintahan Gus Dur harus berhenti di tengah jalan pada tanggal 23 Juli 2001 secara inkonstitusional karena sikap politiknya yang mengundang banyak kritik, dari pengamat dan lawan politik yang mengantarkannya dulu.
Cara pemberhentian ini benar-benar menyakiti kalangan santri, yang kemudian membuat mereka terpaksa kembali menelan kepahitan politik di awal sejarah reformasi ini. Namun yang menjadi cukup menarik setelah ia dijatuhkan dari kepresidenan, Gus Dur kembali membuat geger masyarakat muslim dengan menerima penobatan sebagai anggota kehormatan Legium Kristus pada 28 Januari 2002 di Tataaran Tonando, Minahasa, Sulawesi Utara. Dan mengenai peran Gus Dur di PKB saat ini (tahun 2003-2004), ia masih menjabat sebagai ketua Dewan Syura partai tersebut.
2. Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Relasi Islam dan Negara.
Masalah relasi Islam dan negara merupakan salah satu hal yang penting dalam pemikiran Gus Dur, oleh sebab itu banyak orang yang melakukan review terhadap pemikirannya ini. Secara garis besar bisa dikatakan bahwa arus pemikiran Gus Dur mengenai relasi Islam dan negara dapat dikategorikan sebagai pemikiran yang sekularistik, yaitu pemisahan antara agama dan negara, yang sejalan dengan pemikiran Ali Abd al-Raziq.
Berbeda dengan M. Natsir dengan berbagai alasannya di atas, yang menginginkan Islam dijadikan kekuatan ideologi dan dasar negara ini. Gus Dur sebaliknya, ia menolak Islam dijadikan ideologi, karena menurutnya kalau agama, politik dan budaya diideologikan fungsinya akan terdistorsi dan bukan malah mendapatkan struktur yang lebih baik, melainkan justru akan memicu disintegrasi yang berbasis sekretarian dan konflik horizontal.
Menurutnya, ada dua alasan mengapa ia menolak didirikannya negara Islam. Pertama, argumentasi normatif-teologis, yang menyebutkan bahwa Daulah Isla>miyyah (Islamic State) tidak pernah disebutkan secara eksplisit dalam al-Qur’an. Memang dalam al-Qur’an ada ayat yang berbunyi Baldatun T{ayibatun wa rabbun Gafur, sebuah ayat yang lebih pada konteks sosiologis, yaitu negara yang baik, penuh pengampunan Tuhan. Atas dasar inilah Islam tidak memberi konsep yang jelas, melainkan hanya memberi nilai etik bagi kehidupan bangsa dan negara.
Kedua, argumentasi historis, yaitu berkaitan dengan fakta bahwa dalam sejarah Islam tidak pernah menunjukan adanya mekanisme baku bagaimana suksesi dalam Islam. Ini bisa dilihat dari keempat khalifah pertama sepeninggalnya Rasulullah, semuanya diangkat melalui mekanisme yang berbeda satu sama lain, padahal pengangkatan seorang kepala negara merupakan kunci utama untuk mengetahui sistem kenegaraan.
Selain itu, dalam konteks negara pluralistik seperti Indonesia, menjadikan Islam atau agama apapun sebagai ideologi negara hanya akan memicu disintegrasi bangsa, karena menurutnya sangat tidak mungkin memberlakukan formalisme agama tertentu dalam komunitas agama masyarakat yang sangat beragam. Oleh sebab itu, baginya pluralitas merupakan hukum alam atau Sunnatullah di negeri ini, dan seharusnya Islam dijadikan sebuah nilai etik sosial (social ethics), yang berarti Islam berfungsi komplementer dalam kehidupan negara.
Apabila Islam dijadikan ideologi negara, berarti akan membuka peluang intervensi negara terhadap agama dan politisasi agama, padahal ajaran-ajaran agama itu sendiri bersifat privat, yang berjalan di kalangan masyarakat melalui persuasif, bukan melalui perundangan negara yang bersifat kohesif. Selanjutnya, Gus Dur menyatakan bahwa agama merupakan dimensi privat yang paling independen dari manusia dan tidak boleh diintervensi oleh negara yang bersifat publik.
Baginya Islam adalah agama yang penuh dengan kasih sayang, toleran dan keadilan. Untuk itu Gus Dur sepakat dengan aksioma bahwa Islam adalah agama pembebasan (a liberating religion), yang lahir dalam konteks protes terhadap ketidakadilan di tengah komersial Arab dengan nilai-nilai dasarnya, seperti musyawarah, persamaan dan keadilan.
Pemaksaan formalisasi hukum Islam melalui struktur negara, bagi Gus Dur, merupakan pengingkaran terhadap demokrasi yang ingin ditegakkan di negeri ini, padahal dalam negara demokrasi nilai egalitarianisme sangatlah dijunjung tinggi, bukan malah menjadikan pemeluk agama lain menjadi warga negara kelas dua.
Dalam pandangan Greg Barton, Fachry Ali, dan Bachtiar Effendi, Gus Dur dikategorikan dalam aliran neo-modernis. Ini dikarenakan gagasan-gagasannya yang liberal dan tetap menggunakan esensi khazanah pemikiran tradisional (legacy of past).
Berkaitan dengan ideologi Pancasila, yang ia sampaikan dalam sambutannya saat menerima penghargaan Magsaysay, Gus Dur menunjukkan pemikirannya dengan berkomentar mengenai prestasi umat Islam Indonesia:
“Pada mulanya ada semacam pertentangan antara Islam, yang saat itu ditawarkan dalam bentuk ideologi melawan Pancasila , di satu sisi adalah pemberontakan kelompok militan muslim yang dikenal pada tahun 1950-an sebagai Darul Islam. Sisi lain, pertentangan itu tercermin dalam kemacetan sidang konstituante pada tahun 1959, yang ditugaskan menetapkan sebuah konstitusi bagi republik ini.
Sebagai sebuah bangsa, Indonesia mampu menyelesaikan masalah itu secara pasti, yaitu dengan menghasilkan sebuah formulasi mendasar bahwa Pancasila dijadikan asas dasar dan ideologi setiap organisasi, sementara agama tetap dijadikan landasan kepercayaan. Pengakuan atas berbagai ragam agama dan ideologi nasional itu memberi jaminan kebebasan bagi setiap pemeluk agama untuk menjalankan kepercayaannya masing-masing”.
Lebih dari itu, Gus Dur juga menyatakan bahwa tanpa Pancasila negara Indonesia akan bubar, ideologi ini merupakan asas negara yang harus kita miliki dan perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya pertahankan dengan nyawa saya sendiri, tidak peduli apakah ia dikebiri angkatan bersenjata, dimanipulasi umat Islam, atau malah disalahgunakan oleh keduanya.
Ini merupakan pernyataan yang penuh resiko pada tahun 1990-an, karena pada saat itu rakyat Indonesia sudah sangat bosan dan jenuh mendengar Pancasila yang selalu disebut oleh pejabat-pejabat dan hampir setiap hari dipropogandakan dalam media massa. Seolah-olah Pancasila saat itu telah menjadi mantra pemerintahan dalam menjalankan kebijakan, dan sempat menjadi ejekan karena semua kegiatan harus berlabelkan Pancasila , seperti pers Pancasila , ekonomi Pancasila , bahkan sepak bola Pancasila .
Selanjutnya, mengenai relasi antara agama dan negara yang selalu menimbulkan ketegangan sejak periode awal Indonesia merdeka, antara kaum nasionalis dan kaum muslim. Gus Dur sebagaimana K.H. Achmad Siddiq, berupaya untuk mencairkan ketegangan tersebut, dengan menyatakan bahwa Islam sebagai agama memberlakukan nilai-nilai normatif dalam kehidupan perorangan maupun kolektif, sedangkan negara tidak mungkin memberlakukan nilai-nilai yang tidak diterima oleh masyarakat yang berbeda-beda agama dan pandangan hidupnya.
Singkatnya, Gus Dur menginginkan adanya pemisahan wewenang fungsional agama dan negara yang berbau sekularistik. Lalu bagaimana ia menanggapi tuntutan sebagian masyarakat yang selalu mendesak penerapan syari’at Islam dengan mengundangkan secara positif dalam hukum negara?
Untuk menjawab ini, Gus Dur berbicara tentang “hukum Islam” yang dalam kenyataannya hanya berlaku sebagai panduan moral yang dilakukan atas kesadaran masyarakat, mengikat dengan sendirinya (Mulzimun binafsihi), bukan karena dipaksa negara. Dan menurutnya, sebuah hukum agama dapat diundangkan negara apabila hal itu dapat berlaku untuk seluruh komponen masyarakat, meskipun berbeda agama, (Wad‘u al-Ah}kam fi H{alati Imka>niyyah Wad‘ihi).
Sebagaimana yang ia katakan di atas, bahwa rumusan Pancasila sebagai ideologi negara harus kita pegang teguh. Di samping itu, yang terpenting bagi umat Islam menurut Gus Dur adalah pengaturannya (al-H{ukmu) bukan al-Qur’an. Dalam Islam sendiri tidak mengenal sistem pemerintahan yang definitif, seperti yang dikatakan negara bangsa (nation state) saat ini, memang pernah ada tiga sistem yang dipakai dalam Islam, di antaranya sistem Istikhlaf, Bay‘ah, Ahl H{alli wa al-‘Aqdi, tetapi ini hanya terjadi dalam tempo 13 tahun.
Ada beberapa teoritisi Islam seperti al-Mawardi (al-Ah}ka>m as-S}ultaniyyah), Ibnu Abi ‘Arabi, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun (Muqadimah), yang telah banyak merumuskan konsepsi kenegaraan. Dan ternyata paham kebangsaan ini, menurut Gus Dur pernah digali oleh pikiran cemerlang Ibnu Khaldun.
Dalam konteks ini, Gus Dur setuju dengan pendapat Ibnu Khaldun yang menyatakan, bahwa agama saja tidak cukup untuk dapat membentuk negara. Pembentukan negara, disamping paham keagamaan juga diperlukan rasa ‘As}h}abiyyah (perasaan keterikatan) untuk membentuk ikatan sosial kemasyarakatan. Sebab, menurut Ibnu Khaldun, alasan berdirinya sebuah negara karena adanya perasaan kebangsaan.
Dan yang tak kalah penting menurutnya adalah fungsi negara sebagai penyerap heterogenitas dan kepentingan masyarakat, oleh sebab itu tidak aneh kalau Gus Dur menolak Islam sebagai ideologi negara di Indonesia, sekalipun agama itu merupakan anutan mayoritas penduduk di negara ini.
Di Indonesia, hubungan Islam dan negara pernah mengalami ketegangan politik yang tajam, sebab Islam politik dianggap sebagai pesaing yang mengusik basis kebangsaan. Ketegangan itu bisa dikatakan relatif berhenti, setidaknya secara de jure, semua ormas Islam menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi pada tahun 1980-an yang lalu.
Ada dua hal yang ditawarkan Gus Dur dalam menetralisasi ketegangan kedua pihak tersebut. Pertama, menjadikan Islam sebagai etika sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, mengembangkan Islam sesuai dengan konteks setempat atau yang biasa dikenal pribumisasi Islam. Dan kedua tawaran itu kemudian mengarah pada penempatan Islam sebagai faktor komplementer dalam kehidupan sosio-kultural dan politik di Indonesia.
Dengan berprinsip al-Gayah wa al-Wasa>il (tujuan dan cara penyampaiannya), Gus Dur menegaskan bahwa Islam bertugas melestarikan sejumlah nilai dan prilaku sosial yang mengaitkan pencapaian tujuan dengan kemulian cara yang digunakan. Oleh sebab itu, menurutnya selama tujuan masih tetap, maka cara penyampaian menjadi masalah sekunder, dan yang dimaksud nilai dan prilaku tersebut adalah Ah}laq al-Karimah.
Jelaslah dengan demikian, Islam berfungsi sebagai etika sosial yang memandu jalannya kehidupan bernegara bukan sebagai bentuk kenegaraan tertentu. Pendapat-pendapat Gus Dur tersebut merupakan konsekuensinya dalam memperjuangkan demokrasi dan semangat pluralisme di negeri ini.
Di samping itu, menurutnya dalam prespektif Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah, pemerintahan ditilik dan dinilai dari segi fungsionalnya, bukan dari norma formal eksistensinya, negara Islam atau bukan. Selama kaum muslim dapat menyelenggarakan kehidupan beragama mereka secara penuh, maka bentuk pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat pemikirannya.
Dan atas dasar kerangka berfikir inilah, NU di bawah aksi politik yang dimotori Gus Dur secara sadar menerima asas tunggal Pancasila, dan tentunya dengan mendapat persetujuan para ulama organisasi tersebut. Lebih lanjut, Pancasila dalam pandangan NU merupakan ideologi bangsa yang sejalan dengan visi Imam Syafi’i tentang tiga jenis negara: Da>ru al-Isla>m, Da>ru al-H{arbi dan Da>ru as-S}ulh}. Dan Gus Dur sendiri dengan penuh keyakinan menyatakan bahwa pemerintahan yang berideologikan Pancasila ini, bisa dikategorikan dalam negara damai (Da>ru as-S}ulh) yang harus dipertahankan.
Melihat kebijakan NU, yang dalam sejarah politik Indonesia acapkali menunjukkan sikap akrab dengan negara, tak heran kalau banyak orang yang menuduh NU sebagai organisasi opurtunistik. Namun Gus Dur membantah itu, karena bagi NU, pedomannya bukanlah strategi perjuangan politik atau ideologi Islam dalam artian yang abstrak, melainkan keabsahan di mata hukum fiqih.
Secara teoritis, Gus Dur juga mengakui bahwa pemikiran negara dalam Islam telah terbagi menjadi dua arus, yakni idealistik dan realistik. Dalam pemikiran idealistik menginginkan sebuah konsep kenegaraan yang sepenuhnya berwawasan Islam, yang kemudian arus ini dinamakan Gus Dur sebagai kelompok alternatif.
Sementara pandangan realistik, lebih tertarik pada pemecahan masalah bagaimana perkembangan historis yang berkaitan dengan negara dapat ditampung dalam pandangan Islam, yang kemudian dalam konteks ini Islam dijadikan sebagai faktor komplementer bagi ideologi negara.
Gus Dur seringkali memunculkan gagasan kontroversial di mata masyarakat, baik ketika di NU, PKB maupun di Pemerintahan. Oleh sebab itu, ia kerap memperoleh serangan sebagai pro-Kristen, agen Zionis dan berbagai tuduhan minor lainnya. Ini dikarenakan sepak terjangnya yang terkesan tidak membela Islam.
Bahkan menurut Liddle, di antara para tokoh tradisionalis, Gus Dur adalah seorang tokoh yang paling unik, karena sering memimpin ke mana para pengikutnya tidak mau ikut. Sedangkan meminjam analisis Cak Nun, menurutnya kita bisa melihat sepak terjang Gus Dur, baik dari sikapnya yang biasa-biasa saja, yang kontroversial, yang radikal, yang gendheng, maupun yang membingungkan. Karena semuanya itu terletak pada grand theory yang tidak sukar dipahami.
Pertama, dalam perspektif universal ia bermaksud menumbuhkan demokrasi setelanjang-telanjangnya.
Kedua, dalam konstelasi keindonesiaan ia bermaksud menerapkan suatu ideologi nasionalisme habis-habisan, yakni dengan menomorsatukan apa pun yang indikatif terhadap primordialisme dan anti-nasionalisme.
Ketiga, khusus kaitannya dengan Islam, Gus Dur dengan segala resikonya berkehendak melakukan domestikasi atau pembumian nilai-nilai Islam dalam kerangka nuansa kultural yang tak bersedia ditawar oleh segala “kegamangan teologis” apapun.
Sejak dipilih sebagai pemimpin NU pada tahun 1984, retorika Gus Dur semakin bernada liberal dan progresif, ia banyak bersikap positif dan fleksibel dalam merespon modernitas, dan menegaskan bahwa watak pluralistik dan multi komunal masyarakat Indonesia harus dipertahankan dari kecenderungan-kecenderungan sektarianistik. Berkaitan dengan sumber-sumber pemikiran Islam, ia mengkombinasikan antara apa yang baik dalam nilai-nilai modernitas dengan komitmen terhadap rasionalitas, keulamaan dan kebudayaan tradisional.
Untuk mendukung tujuan-tujuan demokratis dan sosialnya, Gus Dur lebih sering menggunakan ideologi Pancasila daripada Islam dalam melegitimasi partisipasinya dalam wacana politik dan pengekspresian gagasan kunci politiknya. Dari sini bisa dilihat bahwa pemikiran politiknya didasarkan pada visi politik yang demokratis, sekular dan nasionalis.
Bagi Gus Dur Pancasila adalah ideologi nasional yang esensial untuk mempertahankan kesatuan nasional. Pandangan ini menurutnya penting untuk disampaikan karena beberapa muslim memandang Pancasila sebagai ideologi sekular yang tidak sesuai dengan Islam. Ia kemudian menunjukkan bahwa ayahnya, Wahid Hasyim, seorang pemimpin NU pada tahun 1945 juga sepakat mendukung sebuah negara nasional non Islam.
Untuk memahami sepenuhnya politik Abdurrahman Wahid dan penggunaannya terhadap Pancasila dalam mengembangkan demokratisasi, perlu ditinjau terlebih dahulu “keluarnya NU” dari panggung politik formal pada tahun 1984. Padahal pada tahun 1983, NU adalah ormas Islam yang pertama kali menyetujui asas tunggal.
Keputusan untuk keluar dari politik atau yang dikenal dengan kembali ke khittah 1926, menurut Gus Dur, bukan hanya karena adanya keinginan untuk memusatkan perhatian pada tujuan-tujuan sosial, pendidikan dan keagamaan, tetapi juga sebagai respons terhadap depolitisasi orde baru. Singkatnya, NU ingin tetap menjaga independensi politiknya dan menghindari intervensi serta manipulasi pemerintah, karena saat itu pemerintah terus-terusan menekan politik Islam dengan menggunakan Pancasila untuk membatasi kegiatan partai politik yang legal pada tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an.
Selanjutnya, berkaitan dengan perannya sebagai Kepala Presiden yang relatif singkat. Visi demokrasi, humanisme dan toleransi agama yang Gus Dur perjuangkan semakin kuat, ini terlihat dalam upaya pencabutan Inpres No. 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat cina. Dalam Inpres ini, terlihat tidak adanya pengakuan hak-hak penganut Konghucu sehingga mereka terpaksa harus pindah ke agama lain, Namun pada masa Pemerintahan Gus Dur Inpres No. 14 tahun 1967 itu dicabut dengan Kepres No. 6 tahun 2000.
Selain itu, ada ide yang lebih kontroversial, yakni pencabutan Tap MPRS XXV/1966 tentang pembubaran PKI dan pelarangan penyebaran Marxisme, Leninisme dan Komunisme, yang menurutnya telah mendiskriminasikan sebagian warga dalam kehidupan publik dan negara. Akan tetapi ide pencabutan kemudian memunculkan gelombang demonstran selama kurun masa kekuasaannya dan akhirnya di tolak oleh MPR.
Di luar masalah tersebut, Gus Dur juga harus menghadapi sebuah cita-cita politik yang bertolak belakang dengan trade mark pemikirannya, yakni adanya masyarakat muslim yang ingin menghidupkan kembali “Piagam Jakarta” dan mengharapakan penerapan Syari‘ah Islam melalui power negara. sebagai seorang demokrat Gus Dur tidak memangkas keinginan itu melalui kekuasaannya, melainkan membiarkan rakyat untuk menguji wacana tersebut.
Akhirnya, pada Sidang Tahunan Agustus 2000, dua partai politik Islam (PPP dan PBB) mengusulkan kembali “Tujuh Kata Piagam Jakarta” untuk dimasukkan dalam pasal yang mengatur bab agama dalam proses amandemen 1945. Tetapi hasrat kedua parpol tersebut gagal, karena banyaknya kalangan yang khawatir akan campur tangan negara terhadap agama dan politisasi agama, sebagaimana yang pernah diungkapkan Gus Dur.
Berdasarkan uraian panjang lebar di atas, dapat disimpulkan beberapa hal pemikirannya mengenai hubungan Islam dan negara. Pertama, Gus Dur selalu ingin menjaga independensi keberagamaan masyarakat dalam menghadapi negara, karena ketaatan seseorang harus muncul dari kesadaran pribadi, bukan dari paksaan negara.
Kedua, penolakan Gus Dur terhadap sebagian masyarakat muslim yang ingin menjadikan Islam sebagai ideologi negara, merupakan konsekuensi dari pemahaman demokrasi yang ia perjuangakan, yakni menempatkan masyarakat secara egaliter di hadapan negara. Karena pengistimewaan agama tertentu dalam negara yang plural ini, berarti pengingkaran nilai-nilai demokrasi.
Ketiga, negara tidak boleh mengintervensi urusan-urusan agama masyarakat. Begitu juga sebaliknya agama tidak perlu mengemis legitimasi kepada negara karena hal tersebut bukan menguatkan eksistensi agama sebagai kepercayaan, melainkan justru merendahkan.
Sebagai seorang pemikir dan aktivis Islam, sikap dan gagasan Gus Dur mengenai relasi Islam dan negara sebenarnya cukup jelas, yaitu bagaimana membangun independensi agama dan para pemeluknya vis a vis negara. Yang mana agama sebagai wilayah privat manusia seharusnya tidak boleh dicampuri oleh siapapun.
Sikap itu begitu tegas disampaikan oleh Gus Dur, baik melalui tulisan-tulisan maupun ceramahnya, yang menunjukkan bahwa ia menolak bentuk formalisme agama dalam kehidupan politik, baik sebagai kehendak masyarakat maupun sebagai kehendak negara. Hal ini juga bisa dilihat dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dideklarasikannya, partai mayoritas muslim yang tidak melabelkan Islam, sebuah refleksi pemikirannya dalam membangun relasi Islam dan negara.
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN
M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID
A. Persamaan.
Sebagaimana yang telah diuraikan pada Bab III, bahwa gambaran kedua tokoh di atas sangat diperlukan untuk menganalisa pemikiran keduanya. Di antaranya mengenai latar belakang kehidupan, karier politik, dan organisasi yang menjadi dapur pertama pemikiran politiknya. Selain itu ulasan tersebut, setidaknya dapat dijadikan pertimbangan sebelum menempatkan atau mengklaim kedua tokoh tersebut dalam kategori aliran tertentu.
Pada bab-bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa M. Natsir sebagai Prototype modernisme Islam dan Gus Dur sebagai neo-modernisme Islam, telah banyak mewarnai sejarah perpolitikan Indonesia. Terlepas dari itu, perlu diakui bahwa perdebatan Islam dan negara sudah lama terjadi, sejak dasawarsa 1930-an antara M. Natsir dan Soekarno, yang kemudian dalam situasi itulah Islam menapaki langkah-langkah yang boleh dibilang idealistik atau formalistik. Singkatnya, gerakan ini ingin menjadikan Islam sebagai ideologi negara.
Situasi inilah yang mendorong aktivis dan pemikir Islam generasi kedua pada tahun 1970-an, yang kemudian dinamakan Islam kultural. Dalam pandangan kelompok ini, Islam politik merupakan sesuatu yang sulit dijual, karena masih kuatnya trauma politik yang membekas antara aktivis politik Islam dengan negara. Oleh sebab itu kalangan ini lebih memilih garapan transformasi sosial, dengan menawarkan Islam yang sesuai dengan konteks Indonesia dan tidak begitu ideologis.
Meskipun keduanya hidup pada masa yang tidak bersamaan, tetapi pemikiran politik kedua tokoh tersebut masih tetap mewarnai panggung politik Indonesia sampai saat ini. Yang kemudian terpolarisasi pada kelompok modernis dan neo-modernis.
Dalam diskursus kaum modernis, ada dua faktor yang telah disepakati sebagai penyebab kemunduran dunia Islam. Pertama, secara internal, praktik-praktik keagamaan umat Islam telah banyak yang menyimpang dari ajaran Islam yang asli, al-Qur’an dan Hadits, yang kemudian menyebabkan umat Islam mengalami kemunduran, oleh sebab itu pembaharuan doktrin Islam sangat diperlukan. Kedua, peradaban Barat sekular yang mulai masuk dalam percaturan peradaban Islam, dianggap sebagai faktor lain (eksternal) yang dominan menyebabkan kemuduran dunia Islam.
Di Indonesia Gerakan modernis ini termanifestasikan dalam beberapa organisasi, seperti Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad dan Sarekat Islam, sebuah organisasi yang mengedepankan motif gerakan kembali ke al-Qur’an dan Hadis, yang menurutnya sebagai sumber ilmu yang otentik, abadi dan akan tetap relevan dengan perubahan zaman dan tempat. (S{a>lih} Likulli Zama>nin wa Maka>nin).
Dengan demikian pemikiran-pemikiran politik kaum modernis Islam banyak diwarnai oleh idiom-idiom al-Qur’an dan Hadis. Pada dasarnya doktrin kembali ke al-Qur’an dan Hadis di atas, merupakan rintisan yang tepat dengan realitas politik Islam saat itu, hanya saja doktrin tersebut kemudian terkontaminasi dengan sikap anti Barat yang rigid dan akhirnya melahirkan pemikiran normatif dan cenderung apologetik, misalnya dengan menawarkan sistem ekonomi Islam dan negara Islam sebagai alternatif menghadapi Barat.
Dalam diskursus politik Islam (al-Fiqh as-Siya>syi), upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dirumuskan dalam suatu kaidah :
تصرف الإمام على الرعـية منوط بالمصلحـﺔ
Menurut Abd al-Wahab Khalaf, kaidah di atas dapat dijadikan sebagai landasan teori hukum atau referensi untuk pengambilan keputusan hukum aktual, apabila memenuhi tiga kriteria berikut ini. Pertama, maslahah itu bersifat essensial, yakni kepentingan yang secara praksis dapat mewujudkan kesejahteraan umum dan mencegah timbulnya kerusakan. Kedua, maslahah itu ditujukan pada kepentingan rakyat banyak, bukan individu. Ketiga, maslahah itu tidak bertentangan dengan ketetentuan atau dalil-dalil umum nash.
Teori kemaslahatan inilah yang kemudian dijadikan pisau analisis oleh M. Natsir dan Gus Dur dalam memecahkan persoalan hubungan Islam dan negara. Dan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pemikiran kedua tokoh tersebut, memang perlu diawali dari teori ini.
Ada beberapa persamaan dari kedua tokoh tersebut dalam merespon hubungan Islam dan negara. Dan yang pasti secara esensial kedua tokoh tersebut sepakat bahwa tujuan diterapkannya demokrasi di negeri ini adalah untuk mencapai kemaslahatan bersama dan keadilan yang merata bagi umat manusia.
Dalam sejarah politik Indonesia, M. Natsir dan Gus Dur dikenal sebagai pemikir muslim yang sekaligus praktisi politik terkemuka di negeri ini, keduanya sama-sama mempunyai komitmen untuk menjadikan Islam sebagai agama pembebas yang membebaskan manusia dari segala bentuk eksploitasi dan diskriminasi
Sedangkan sisi persamaan yang dominan antara M. Natsir dengan Gus Dur dalam membangun relasi Islam dan negara adalah pengakuan mereka tentang tidak adanya sistem politik yang rigid dalam Islam sebagaimana yang telah ada dewasa ini, dan bagi mereka yang ada dalam Islam hanyalah prinsip dasar berbangsa dan bernegara, seperti musyawarah, keadilan, persamaan, kebebasan, dan kebersamaan.
Menurut Natsir, dalam kenegaraan, Islam hanyalah mengatur dasar dan pokok-pokokmya saja seperti yang dinyatakan di atas, maka dari itu dalam membangun sebuah negara M. Natsir banyak menggunakan syarat-syarat sebuah negara modern, di antaranya harus mempunyai wilayah, rakyat, Pemerintah, Kedaulatan, Undang-Undang Dasar atau sumber hukum atau kekuasaan lain yang tidak tertulis.
Masih dalam konteks yang sama, Gus Dur juga menyatakan secara tegas bahwa Islam tidak memberi konsep yang jelas untuk membangun sebuah negara, melainkan hanya memberi nilai etik bagi kehidupan bangsa dan negara. Secara historis juga telah terbukti bahwa dari keempat khalifah sepeninggalnya Rasulullah, semuanya diangkat melalui mekanisme yang berbeda satu sama lain, ini menunjukkan bahwa Islam memang tidak mempunyai mekanisme baku sebuah suksesi, padahal pengangkatan seorang kepala negara merupakan kunci utama untuk mengetahui sistem kenegaraan.
Oleh sebab itu, sistem demokrasi menurut kedua tokoh tersebut merupakan sistem yang paling realistik untuk mewujudkan terbentuknya suatu masyarakat yang adil, egaliter dan manusiawi sebagaimana yang dicita-citakan Islam. Karena dengan adanya nilai-nilai dasar di atas Islam bisa dikatakan sebagai agama pembebas sepenuhnya kompatibel dengan aturan demokrasi.
Mengenai tipologi pemikiran kedua tokoh tersebut, memang tidak sepenuhnya murni sebagaimana yang telah penyusun tempatkan, sebab walaupun Yusril mengkategorikan Natsir sebagai kalangan modernis, akan tetapi tidak jarang pendapat-pendapat Natsir yang mengarah pada faham fundamentalisme, menentang pemisahan agama dan negara. Begitu juga dengan pemikiran Gus Dur, yang menurut Greg Barton seringkali terkesan sekuler , namun juga terkadang terlihat konservatif dalam wacana keislaman yang lain.
Sebagaimana Abduh, M. Natsir menganggap sumber kekuasaan bagi pemerintahan adalah rakyat. Karena itu, demokrasi yang berdasarkan doktrin kedaulatan rakyat diterima secara terbuka, akan tetapi bukan berarti ia menerima konsep sekulerisme sebagaimana yang inheren dalam sistem demokrasi Barat. Oleh sebab itu ia menawarkan sebuah konsep thestic democracy, yaitu demokrasi yang sesuai dengan prinsip tauhid.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa konsep demokrasi ini ditujukan untuk menetapkan hak-hak dan kewajiban timbal balik antara rakyat dengan penguasa, dan sistem yang ada harus mampu menegakkan keadilan, kebebasan, persamaan sebagaimana yang dituntut oleh Islam secara radikal.
Menurutnya, Syari‘ah sebagai suatu sistem hukum terpadu dan lengkap hanya bisa dilaksanakan apabila ada suatu otoritas yang melakasanakan penerapan (law enforcement), sehingga pelaksanaan Syari‘ah memerlukan dukungan kekuasaan politik, yaitu negara. Dengan demikian tujuan pertama didirikannya negara demokrasi adalah untuk menjaga dan melindungi Syari‘at itu sendiri.
Sedangkan Gus Dur ingin menegakkan demokrasi yang seutuhnya, artinya tidak ada tendensi agama yang melekat pada konsep ini. Dengan demikian ada perbedaan yang sangat mendasar mengenai paradigma dalam memperjuangkan konsep demokrasi, meskipun keduanya sama-sama menerima demokrasi secara terbuka. Dan sebenarnya sikap ini sudah jelas terlihat di atas, bagaimana reaksi dan sikap keduanya dalam memandang Pancasila di negeri ini.
Atas dasar pemahaman, Islam mempunyai prinsip-prinsip dasar dalam berbangsa dan bernegara, maka keduanya sepakat untuk menjadikan demokrasi sebagai sistem yang paling rasional untuk negara republik ini. Terlepas bagaimana cara kedua tokoh itu dalam memperjuangkannya.
B. Perbedaan.
Sedangkan sisi perbedaan antara pemikiran M. Natsir dan Gus Dur dalam memandang relasi Islam dan negara yang paling fundamental terdapat dua hal. Pertama, respon mereka terhadap paham sekuler, yang memisahkan antara agama dan negara. Kedua, pemikiran politik mereka dalam menyikapi demokrasi dan ideologi Pancasila sebagai dasar negara di Indonesia ini.
Berangkat dari wacana relasi Islam dan negara di atas, M. Natsir dengan tegas menolak negara yang berdasarkan sekularisme, menurutnya sekularisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan, dan sikap yang hanya sebatas keduniawian saja. Walaupun para sekularis mengakui adanya Tuhan, tapi dalam kehidupan sehari-harinya tidak menganggap perlu adanya hubungan jiwa dengan Tuhan, baik dalam sikap, tingkah laku, ibadah dan tindakan sehari-harinya.
Ditarik dalam konteks Indonesia, tampaknya M. Natsir ingin membuktikan bahwa Indonesia telah terkontaminasi dengan paham ini. Baginya dengan adanya konsep Pancasila berarti telah terbukti bahwa negara Indonesia telah terjangkit penyakit sekularisme, karena konsep ini jelas bercorak La>-diniyyah yang tidak mau mengakui wahyu sebagai sumbernya, di samping itu Pancasila adalah hasil penggalian dari masyarakat.
Dilihat dari beberapa pernyataan Natsir pada bab-bab sebelumnya, bisa dikatakan bahwa hubungan Islam dan negara, menurutnya tidak dapat dipisahkan, karena keduanya mempunyai fungsi timbal balik, simbiosis mutualisme. Baginya, negara adalah sebuah alat bukan tujuan, berarti negara di sini selain merupakan institusi pemerintahan, juga mempunyai kekuatan penuh untuk menjaga dan memberlakuan undang-undang Syari‘ah, yang berkenaan dengan kehidupan manusia sebagai individu, maupun masyarakat secara kolektif.
Sedangkan Gus Dur, lebih mengasumsikan agama sebagai sumber motivasi pandangan hidup bangsa atau ideologi negara (Pancasila). Maksudnya agama berperan mendorong kegiatan individu melalui nilai-nilai yang diserap Pancasila dengan menjadikannya sebagai bentuk pandangan hidup bangsa. Jadi agama di sini hanyalah bersifat dialogis bukan simbiosis.
Pola pemikiran Gus Dur ini bisa dikategorikan cukup sekuler, mengingat gagasan yang ia hasilkan selalu mengesampingkan simbolisasi agama terhadap negara atau sebaliknya. Ia tidak pernah berkeinginan untuk memanfaatkan negara sebagai alat pemberlakuan hukum agama tertentu, seperti tuntutan diberlakuannya syariah oleh negara, karena menurutnya hanya akan menciptakan diskriminasi agama.
Dan tentunya, kalau kebijakan tersebut sampai diterapkan di negara yang sangat heterogen ini, berarti kita telah melakukan pengingkarana terhadap nilai-nilai demokrasi, karena telah mengabaikan prinsip-prinsip pluralisme agama, persamaan hak dan kemaslahatan umat. Jadi, bagi Gus Dur, Pancasila sebagai ideologi negara sudah sesuai dengan konteks demokrasi dan tidak perlu lagi diperdebatkan, apalagi diganti. Meskipun ia merupakan hasil ijtihad manusia.
Selain itu, demokrasi yang menurut Natsir dan Gus Dur merupakan konsep paling rasional untuk sistem negara. Secara tegas dikatakan Natsir, Islam tetap tidak perlu menganut demokrasi 100%, dan konsep demokrasi yang cocok bagi Indonesia adalah demokrasi yang tidak meninggalkan nilai-nilai ketuhanan, thestic democracy, maksudnya, keputusan mayoritas yang berpedoman pada ketuhanan. Ini menunjukkan bahwa Natsir selaku tokoh modernis muslim sangat selektif dalam menerapkan filterisasi (saringan) terhadap Barat.
Dalam modernisasi politik Islam, Natsir mempunyai pandangan untuk berusaha menerapkan ajaran dan nilai-nilai, kerohanian, sosial, dan politik Islam yang terkandung di dalam al-Qur’an dan sunnah dengan menyesuaikan terhadap perkembangan zaman. Selanjutnya, Natsir mewajibkan seoarang muslim untuk berpolitik sebagai sarana dakwah Islam.
Berbeda dengan Natsir, Gus Dur menilai demokrasi sebagai suatu kedaulatan rakyat sepenuhnya, ia tidak sepakat kalau urusan Tuhan dicampuradukkan dalam kepentingan ini. Baginya demokrasi adalah urusan manusia yang diberi kebebasan untuk mengatur dunia, sedangkan kedaulatan Tuhan (Syari‘ah) merupakan prinsip-prinsip universal yang menjadi patokan etik moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terlebih lagi, apabila hukum Islam atau hukum gereja harus diberlakukan oleh negara melalui (taqnin, legislasi) ajaran agama tersebut pada hakikatnya merupakan pengingkaran hakikat demokrasi yang ingin kita tegakkan di negeri ini, karena akan menjadikan mereka yang tidak memeluk agama mayoritas menjadi warga negara kelas dua dan kehilangan haknya dalam memperoleh keadilan sesama dalam bernegara.
Untuk merealisasikan demokrasi tersebut, ada enam kaidah demokrasi dalam Islam, yaitu: 1) Ta‘a>ruf (saling mengenal); 2) Syu>ra (musyawarah); 3) Ta‘a>wun (kerja sama); 4) Mas}lah}ah (menguntungkan masyarakat); 5) ‘Adl (adil); dan 6) Tagyir (perubahan).
Natsir dan Gus Dur sama-sama terlibat dalam pemerintahan, akan tetapi keduanya mempunyai tujuan politik yang berbeda, Natsir masuk dalam birokrasi pemerintahan berharap akan bisa memperjuangkan pemeberlakuan syari’ah Islam melalui otoritas negara. Sedangkan Gus Dur justru sebaliknya, ia malah berkeinginan untuk meminimalisir intervensi negara terhadap agama, termasuk penolakannya terhadap pemberlakuan syari’ah di negara ini.
Berbicara mengenai Syari‘ah, terdapat berbagai macam pemahaman. Menurut terori klasik, Syari‘ah merupakan kehendak Ilahi yang suci dan bertujuan mengatur kehidupan masyarakat muslim. Sedangkan dalam al-Qur’an kata Syir‘ah atau Syari‘ah dimaknai agama, baik sebagai jalan lurus (T{ariq Mustaqi>mah) yang ditentukan oleh Allah untuk manusia atau suatu ketentuan yang harus dilaksanakan. Ketika nabi Muhammad S.A.W. ditanya tentang syari’at Islam, beliau menjelaskan tentang sholat, zakat, puasa, dan haji.
Ini menunjukkan bahwa secara terminologis, Syari‘ah pada masa nabi Muhammad S.A.W. digunakan untuk menyebut masalah essensial dalam ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah yang telah diyakini kesahihannya. Lebih lanjut, Manna al-Qattan (ahli fiqh) mendefiniskan Syari‘ah sebagai segala ketentuan Allah bagi hambanya yang meliputi masalah akidah, ibadah, dan tata kehidupan umat manusia untuk mencapai kebahagian mereka di dunia dan akhirat.
Berdasarkan definisi Syari‘ah di atas, ulama fiqih dan usul fiqih menyatakan bahwa Syari‘ah merupakan sumber fiqih. Dinyatakan demikian, karena fiqih merupakan hasil ijtihad atau pemahaman ulama terhadap ayat-ayat suci al-Qur’an tersebut.
Ada beberapa definisi fiqih yang kemudian dikemukakan oleh ulama. Imam Abu Hanifah yang mendefinisikan fiqih dengan Ma‘rifat al-Nafsi ma>laha wa ma> ‘alaiha (pengetahuan seseorang tentang hak-hak dan kewajibannya), definisi ini memberi gambaran bahwa fiqih meliputi aspek kehidupan, baik dari akidah, hukum sampai pada tingkah laku kehidupan.
Sedangkan al- Amidi, seorang ulama Syafi’iyyah terkemuka dalam bukunya al-Ih}kam fi us}uli al-Ah}ka>m, mendefinisikan fiqih sebagai ilmu tentang hukum-hukum syari’ah amaliah dari dalil-dalilnya yang terperinci (‘adilah tafs}iliyyah), selain itu, menurut fuqaha Malikiyyah, fiqih adalah ilmu tentang perintah-perintah syari’ah dalam masalah khusus yang diperoleh dari aplikasi teori Istidla>l atau pencarian hukum dengan dalil (process of reasoning).
Tampaknya, pola pemikiran Gus Dur di atas, didasarkan pada pertimbangan fiqih bahwa urusan politik atau negara lebih pada kepentingan dan kreativitas manusia, sehingga masuk dalam wilayah fiqih. Dan sebagai wilayah fiqih, setiap apa yang dirumuskan dan diinterpretasikan merupakan produk ijtihad yang bebas. Namun demikian, kreativitas itu harus mengacu pada kemaslahatan rakyat, sebagaimana dalam kaidah fiqihnya bahwa “seluruh kebijakan penguasa harus sesuai dengan kepentingan seluruh warga negara”.
Paradigma di ataslah, yang kemudian secara teoritis membedakan gagasan kedua tokoh tersebut, Walaupun pada masalah-masalah tertentu mereka juga mempunyai persamaan pendapat. Pola pemikiran Natsir yang cenderung idealistik dalam memahami ad-Din wa ad-Daulah, sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari pemikiran politik yang didasarkan pada konsep tauhid.
Konsep tauhid menderivasikan prinsip-prinsip universal yang kemudian menjadi sumber etik-moral bagi sebuah negara demokrasi, selain itu Natsir juga lebih suka mendasarkan gagasannya pada dua sumber utama Syari‘ah, al-Qur’an dan sunnah, daripada menggunakan metodologi khazanah intelektual sunni klasik, seperti fiqih, Us}ul al-Fiqh ataupun Qawa>‘id al-Fiqhiyyah.
Di samping paradigma, faktor perbedaan masa kehidupan juga cukup mempengaruhi pola pemikiran keduanya, di mana Natsir hidup pada masa kolonial dan pasca kolonial yang selalu berjuang memerdekakan bangsa ini melalui jargon Islam. Sedangkan gagasan dan perjuangan Gus Dur dihadapkan pada masa 1980-an, pasca kolonial. Namun demikian, apa yang dihadapi Gus Dur tentang wacana keislaman sebenarnya juga masih banyak diwarnai wacana-wacana keislaman di masa Natsir hidup.
Perbedaan paradigma dan masa itulah yang kemudian melahirkan polarisasi aliran, antara modernisme dan neo-modernisme. Gerakan modernisme di Indonesia lahir sejak tahun 1912-an, sebagai salah satu respon intelektual terhadap berbagai persoalan aktual modern yang secara umum menempatkan Islam pada posisi dilematis, antara keharusan menyesuaikan diri dengan perubahan arus modernitas atau menegaskan diri sebagai agama secara eksklusif.
Modernisme Islam mempunyai kecenderungan kuat untuk mengembalikan kejayaan dan keunggulan Islam atas partai atau peradaban yang lain, dengan cara memperbaharui doktrin-doktrin sesuai dengan tuntutan zaman. Secara teoritis gerakan ini cenderung eksklusif karena dasar argumentasinya lebih ditekankan pada sumber Syari‘ah yang absolut, al-Qur’an dan sunnah.
Lain halnya, dengan pemikiran neo-modernisme Islam, yang baru lahir pada masa 1970-an. Kalangan ini cenderung akomodasionis dalam merespon tradisionalisme dan modernisme. Menurutnya, sikap modernitas seharusnya tidak menggantikan sama sekali nulai-nilai lama dengan nilai-nilai baru, seperti apa yang diungkapkan oleh mayoritas kalangan modernis Islam saat ini, melainkan bahwa antara tradisi dan modernitas harus dilihat sebagai proses kontinuitas.
Sedangkan untuk mengelaborasi wacana pemikiran Islam semacam ini, bagi mereka penggunaan metodologi fiqh atau Qawa>‘id al-Fiqh transformatif lebih cocok daripada memakai konsep tauhid yang cenderung dogmatis. Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa gagasan modern yang mereka tawarkan bukan berarti anti tradisionalisme sama-sekali, seperti apa yang tertulis dalam Qawa>‘id al-Fiqh.
المحافظـﺔ على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
Selain kaidah di atas, masih banyak kaidah lain yang digunakan sebagai upaya melaksanakan transformasi gagasan. Di antaranya, yaitu:
درء المفا سد مقدم على جلب المصالح
الحاجـﺔ تـنزل منزل الضرورة
الضرورة تبيح المحظورة
Selanjutnya, Gus Dur menjelaskan bahwa apa yang ditawarkan kelompok modernis, seperti legalisme (pemikiran keislaman yang telah dibakukan lewat mazhab yang empat) baik dalam kerangka mazhab fiqih, maupun melalui pembaharuan (pemurnian) ternyata malah tidak mampu menjawab tantangan zaman. Ditambah lagi, over idealissasi Islam sebagai sistem kehidupan alternatif tidak menunjukkan prospek yang baik, bahkan menjurus ke situasi traumatik di masa depan.
Untuk itu, menurutnya perlu dibuat kerangka pemahaman kontekstualisasi ajaran Islam dengan berdasarkan asas-asas sebagai berikut: 1) asas menyeluruh. 2) asas keterbukaan. 3) asas kontinuitas sejarah. 4) asas deinstitusionalisasi Islam, 5) asas depoloitisasi Islam. 6) asas kesejarahan 7) asas pluralitas. dan asas konvergensi.
Beradasarkan uraian di atas dan bab-bab sebelumnya, bisa disimpulkan bahwa antara M. Natsir dan Gus Dur sangat berbeda dalam memandang relasi Islam dan negara, Natsir beranggapan bahwa agama dan negara tidak dapat dipisahkan sebagai konsekuensi dari penolakannya atas paham sekular, sebaliknya dengan Gus Dur, ia lebih mengarah pada paham sekular, memisahkan agama dan negara, tetapi dengan tetap menjadikan nilai-nilai agama sebagai motivasi bukan formalisasi dalam berbangsa dan bernegara.
Dan pandangan inilah, yang kemudian mempengaruhi sikap mereka dalam menerima ideologi Pancasila. Bagi Gus Dur, meskipun Pancasila merupakan hasil ijtihad manusia yang ditentukan oleh kondisi sosialnya, akan tetapi konsep ini harus tetap dipertahankan demi kemaslahatan bangsa Indonesia yang plural ini, sedangkan Natsir lebih memilih Islam sebagai ideologi negara daripada Pancasila, karena dengan ideologi ini masyarakat akan terjamin kehidupan beragama dan bernegaranya.
Demikianlah persamaan dan perbedaan antara pemikiran M. Natsir dan Gus Dur. Sebenarnya apa yang ingin penyusun tegaskan di sini adalah bahwa pemikiran kedua tokoh di atas, sangat dipengaruhi oleh realitas sosial politik di saat mereka hidup. Dan dari sisi inilah, yang kemudian melahirkan klasifikasi pemikiran, yakni modernisme dan neo-modernisme. Untuk lebih singkatnya bisa dilihat dalam tabel berikut ini.
PERSAMAAN PEMIKIRAN
M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID
1. Islam adalah agama pembebasan (a liberating religion) yang membebaskan manusia dari segala bentuk eskploitasi dan diskriminasi.
2. Sebagai agama pembebasan Islam sepenuhnya kompatibel dengan demokrasi.
3. Demokrasi diterima sebagai sistem yang paling rasional dan realistik untuk mewujudkan masyarakat yang adil, egaliter, dan manusiawi sebagaimana yang diidealkan Islam.
4. Seorang pemikir dan praktisi politik yang terlibat langsung dalam lembaga kenegaraan.
5. Penggagas dan pendiri partai politik.
PERBEDAAN PEMIKIRAN
M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID
Perbedaan tentang M. Natsir Gus Dur
1. Basis pendidikan
2. Dasar paradigma pemikiran
3. Sifat pemikiran
4. Tipologi aliran pemikiran
5. Pandangan terhadap sistem nilai Islam
6. Sikap terhadap sekularisasi
7. Negara demokrasi yang dicita-citakan
8. Tujuan membela demokrasi
9. Pluralisme yang diterima
10. Penerapan ideologi Pancasila
11. Partai yang diperjuangkan
12. Fungsi politik
Pendidikan modern
Al-qur’an dan Hadits.
Islam ideologis
Modernisme
Islam sebagai sumber hukum yang lengkap
Negatif (menolak dengan tegas)
Thestic Democracy (Demokrasi yang tidak meninggalkan nilai-nilai ketuhanan)
Untuk melindungi Syari’ah
Pluralisme eksklusif
Menolak
Partai Islam
Gerakan dakwah Pesantren tradisional
Konsep Fiqih Transformatif
Islam kultural
Neo-modernisme
Islam hanya salah satu unsur dalam bangunan kebangsaan yang ada
Afirmatif
Negara demokrasi yang utuh dan tidak ada unsur fundamentalismenya
Untuk melindungi pluralitas
Pluralisme inklusif
Menerima secara terbuka
Partai sekular
Gerakan moral
C. Implikasi.
Pemikiran-pemikiran M. Natsir dan Gus Dur yang berkaitan dengan wacana relasi Islam dan negara di atas, sudah pasti semakin menambah khazanah pemikiran politik Islam di negara kita. Dan tentunya, pemikiran-pemikiran tersebut membawa implikasi besar terhadap kehidupan politik masyarakat Indonesia, khususnya bagi generasi muslim selanjutnya.
Untuk lebih jelasnya, penyusun akan membagi implikasi pimikiran kedua tokoh tersebut menjadi dua aspek, yaitu implikasi yang bersifat institusional (Institusional Implication) dan implikasi personal (Personal Implication). Pertama, implikasi institusional, aspek ini lebih mengarah pada pemikiran suatu lembaga organisasi atau partai politik saja, baik itu partai yang mereka pimpin sendiri atau bukan. Kedua, implikasi personal, yang berarti pemikiran mereka tidak hanya berimplikasi pada sebuah partai saja, tetapi juga terhadap praktik dan pemahaman masyarakat dalam bernegara. Khususnya bagi generasi pemikir politik masa sekarang.
Peran politik Natsir mulai diperhitungkan oleh khalayak umum, sejak keterlibatannya dalam pembentukan partai Islam yang pertama kali di Indonesia, Masyumi, sebuah partai Islam yang berhasil mengantarkannya ke kursi birokrasi negara. Sebenarnya, keaktifan Natsir di partai ini sudah jelas menunjukkan bahwa manuver dan pemikirannya memang bersifat idealistik.
Kegigihannya dalam memperjuangkan Islam melalui dakwah politiknya, banyak mengundang simpati para kalangan modernis Islam Indonesia. Manuver dan pemikiran politiknya sampai saat ini masih tetap mendapat tempat istimewa di kalangan generasi muslim modernis abad 20-an ini, bahkan lebih dari itu, tampaknya generasi yang terinspirasi ini, tidak hanya mengaguminya namun juga mengembangkan ide dan perjuangan politiknya melalui gerakan dan partai Islam yang sama sekali baru.
Implikasi Pemikiran M. Natsir
Dari sisi institusional, ide-pemikiran M. Natsir ini sangat mempengaruhi karakter partai dan organisasi muslim modernis Indonesia, di antaranya Masyumi, Parmusi (Partai Muslim Indonesia), PBB dan DDII. Dalam pandangan Natsir dakwah merupakan sarana yang cukup efektif dalam memperjuangkan ajaran dan kepentingan politik umat Islam Indonesia, bahkan ia menganjurkan umat Islam untuk menggunakan politik sebagai media dakwah umat.
Pemikiran-pemikiran Natsir disambut baik oleh kalangan modernis muslim Indonesia, sebab spirit pesan yang disampaikannya sama-sama bertujuan mengembalikan kejayaan Islam, yakni dengan cara menerapkan pembaharuan pemikiran-pemikiran Islam klasik dan kemudian dipadukan dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern.
Pada zaman orde lama, pemikiran Natsir banyak mempengaruhi visi dan strategi partai politik Masyumi yang dibubarkan Soekarno, selain disebabkan keterlibatannya sebagai pendiri yang sekaligus pemimpin partai selama 5 kali berturut-turut. Ia juga tertarik lantaran platform partai ini sangat cocok dengan ide perjuangannya yang menurutnya sebagai representasi kelompok Islam. Dan salah satu cita-cita partai yang sesuai dengan ide pemikirannya yaitu mentransformasikan hukum Islam menjadi hukum nasional.
Sebagai tokoh politisi Islam modernis, ia mencoba memadukan ilmu pengetahuan modern dengan ajaran-ajaran Islam yang kemudian diaplikasikannya sesuai dengan keadaan masyarakat setempat. Keinginannya untuk memasukkan nilai-nilai dasar Islam dalam institusi negara inilah yang kemudian menggerakkannya untuk tetap konsisten mempertahankan dan memperjuangkan misi partai Islam yang bercorak modern di atas (Masyumi).
Tampak jelas, bahwa cita-cita dan pemikiran Natsir mempunyai pengaruh yang besar terhadap misi perjuangan partai Islam ini. Meskipun partai Masyumi sebelumnya merupakan partai Islam yang terdiri dari berbagai aliran Islam (fundamentalis, tradisionalis dan modernis), namun pada perkembangan selanjutnya partai ini lebih didominasi oleh pemkiran-pemikiran kelompok Islam modernis.
Selanjutnya pada masa orde baru, politik Islam masih saja menemui jalan buntu. Selain dibatasi ruang geraknya, ia juga ditempatkan sebagai kelompok yang berhaluan ekstrem kanan serta dinilai berpotensi melahirkan kekacauan nasional karena berupaya mendirikan negara Islam di tengah masyarakat yang plural, sehingga pada proses selanjutnya politik Islam seringkali menerima intimidasi, pengekangan dan pengkebirian hak politiknya oleh negara.
Sikap negara yang memusuhi politik Islam ini, tampaknya membuat mantan aktivis Masyumi harus memilih jalan lain, yakni dengan membentuk sebuah partai politik yang sama sekali baru, tetapi idealisme dan semangat Masyumi diharapkan tetap mengalir di dalamnya. Akhirnya dengan jalan penuh liku negara mengizinkan pembentukan partai ini, asalkan pemimpin dan penggiat partai Masyumi dicoret dari daftar kepemimpin, sehingga pada tanggal 20 Februari 1968 lahir “Partai Muslimin Indonesia” (Parmusi) di bawah pimpinan Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun, dua pegiat terkemuka dari Muhammadiyah.
Selain di Masyumi dan Parmusi, pemikiran M. Natsir juga masih banyak mempengaruhi peta politik Islam saat ini, khususnya PBB (Partai Bulan Bintang). Partai ini bukan hanya lahir karena dorongan eforia politik pasca reformasi 1998, akan tetapi juga mempunyai perjalanan sejarah yang lebih panjang, yakni dari masa politik orde lama, orde baru dan sampai sekarang masa reformasi.
Sejatinya secara historis, embrio lahirnya partai ini telah dirintis oleh tokoh-tokoh Islam terkenal, seperti Dr. H. M. Natsir, K.H. Masykur, K.H. Rusli Abdul Wahid dan Prof. Dr. H.M. Rosjidi yang sebelumnya bergerak dalam satu wadah yang dinamai dengan Forum Ukhuwah Islamiyyah (FUI). FUI didirikan pada tanggal 17 Agustus 1989, pendiriannya dilatarbelakangi oleh keprihatinan para pemuka muslim tersebut, atas gencarnya gerakan tans}iriyyah (kristenisasi) dalam merongrong akidah umat Islam Indonesia selama rezim Orde Baru berkuasa.
Pada mulanya Partai Bulan Bintang akan diberi nama “Partai Politik Islam Masyumi” oleh tim perumus partai ini. Namun keinginan itu diurungkan karena beberapa alasan. Pertama, tokoh-tokoh Masyumi di masa lalu dikenal integritas pribadinya yang tak tebantahkan, sehingga generasi baru yang akan memimpin partai ini dikhawatirkan akan sangat berat menanggung beban moral apabila tidak mampu menjaganya, dan akibatnya akan mencoreng nama baik Masyumi. Kedua, selama ini penyebutan keluarga besar Bulan Bintang pun identik dengan keluarga Masyumi.
Dari uraian-uraian tersebut bisa dipahami, bahwa pemikiran M. Natsir secara institusional mempunyai implikasi besar terhadap pembentukan partai-partai Islam di atas, di antaranya Masyumi, Parmusi, dan PBB. Meskipun masih banyak organisasi lain yang juga terpengaruh oleh pemikirannya, seperti DDII, FUI, Persis dan lain sebagainya.
Di antara implikasi yang sangat menonjol dari partai-partai Islam itu adalah semangat juangnya yang selalu menjadikan prinsip-prinsip Universal Islam itu sebagai rujukan dalam memecahkan masalah-masalah masyarakat dan negara seperti kemiskinan, ketimpangan sosial ekonomi, sistem kenegaraan, dan simbiosisme antara agama dan negara dan seterusnya. Selain itu labelisasi Islam sebagai asas partai ini tidak pernah mereka tinggalkan. Sehingga tidak aneh kalau kelompok ini sangat kritis dan selektif terhadap pemikiran Barat, sebagaimana yang ditunjukkan Natsir sebelumnya.
Sedangkan dari aspek personal, pemikiran Natsir ini juga cukup berpengaruh pada generasi intelektual muslim Indonesia zaman sekarang. Ini terlihat dalam pemikiran-pemikiran tokoh muslim modernis seperti Amien Rais, Nurcholish Madjid, dan Yusril Ihza Mahendra. Meskipun tidak sepenuhnya mereka sama dalam memahami relasi Islam dan negara, akan tetapi ada masalah-masalah tertentu yang membuat mereka terkesan Natsiris dalam mengkomunikasikan gagasan-gagasannya.
Sebagai tokoh pembaharu Muhammadiyah, Amien Rais sangat apresiatif dengan pemikiran-pemikiran Natsir sepanjang sejarah perpolitikan bangsa ini, baik itu yang berkaitan dengan masalah kenegaraan maupun keagamaan. Apalagi mengingat figur tokoh Islam Indonesia yang sangat dikagumi Amien ketika muda adalah M. Natsir, oleh sebab itu tidaklah berlebihan kalau Cak Nur mengatakan : “Dia itu sangat Natsiris”. Ini terlihat dari sikap kritisnya terhadap Barat dan kecintaannya terhadap umat Islam.
Lebih khusus, Amien cenderung anti terhadap Orientalisme dan sekularisme. Dalam analisanya, umat Islam dunia sengaja dipisahkan dari ajaran-ajarannya oleh hegemoni Barat, yakni dengan cara imprerialisme baru, melakukan proses peng-alienasian masyarakat Islam dari agamanya dan meracuninya dengan pemikiran-pemikaran Barat (Westoxication), yang mengakibatkan umat Islam terjangkit penyakit Westomania, sejenis penyakit jiwa yang menganggap Barat adalah segala-galanya.
Selanjutnya, ia berpendapat bahwa antara agama dan negara adalah saling bersatu yang berarti satu sama lainnya tak bisa dipisahkan, oleh sebab itu ia dengan tegas menolak ide sekularisme, baik itu sekulerisme moderat ataupun radikal. Dari uraian-uraian tersebut tampak jelas bahwa pengaruh Natsir dalam pemikiran Amien sangatlah besar.
Berbeda dengan Nurcholis Madjid, yang justu menggagas wacana sekularisme di tahun 1980-an. Namun demikian, sewaktu muda Cak Nur juga pernah menyandang gelar sebagai “Natsir Muda”. Hal ini disebabkan inovasi pemikirannya yang dirasa sesuai oleh kaum Islam modernis yang lebih tua saat itu, bahkan selama masih menjadi mahasiswa Cak Nur secara luas dianggap sebagai generasi penerus spritual M. Natsir.
Selain Amien Rais dan Nurcholis, Yusril Ihza Mahendara juga sangat dikenal sebagai kader penerus gagasan-gagasan M. Natsir. Ini terlihat bagaimana ia memperjuangkan aspirasi partai yang dipimpinnya, yakni PBB (Partai Bulan Bintang) yang sampai saat ini masih eksis mempertahankan Islam sebagai asas dasar partainya.
Implikasi Pemikiran Gus Dur
Secara institusional, pemikiran Abdurrahman Wahid cukup mewarnai manuver politik NU. Meskipun secara lahiriyah NU merupakan organisasi sosial akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa sense natural politiknya selalu muncul di tengah-tengah kemelut politik bangsa ini. Hal ini bisa dilihat dari sejarah perjuangannya, pada tahun 1978-an NU yang saat itu masih berafiliasi dengan PPP, dituduh oleh rezim Orde Baru sebagai embrio gerakan anti Pancasila.
Tuduhan itu diangkat dari tindakan protes dan walk out para tokoh NU dari sidang MPR yang membahas tentang rancangan ketetapan P4. Menurut Sidney Jones NU adalah Organisasi Sosial terbesar di negara ini yang masih memiliki aspirasi-aspirasi politis. Dan pada tahun 1971 ia menolak untuk mematuhi pedoman-pedoman Orde Baru tentang prilaku Politik, kemudian pada tahun 1981 NU juga menolak mendukung Soeharto untuk menjabat kembali atau memberinya gelar “Bapak Pembangunan”. Prilaku inilah yang membuat NU menjadi sasaran tuduhan anti Pancasila oleh rezim Soeharto.
Lebih lanjut, ditegaskan dalam pidato presiden Soeharto pada Rapim ABRI 1980 di Pekanbaru. Soeharto memperingatkan untuk tidak mencoba mengubah Pancasila atau UUD 1945, ia mengingatkan “walk out” (walau tidak menyebut NU) sebagaimana yang dilakukan ketika pembahasan masalah P4 pada tahun 1978 adalah salah satu contoh gerakan anti-Pancasila yang harus diwaspadai. Ini menunjukkan kecemasan Soeharto terhadap gerakan politik Islam.
Dalam perkembangan politik selanjutnya, NU yang saat itu sedang dipimpin Gus Dur semakin dinamis dan akomodatif dalam merespon kebijakan pemerintahan, ia menjadi aktor politik “nonpolitis” yang paling penting atau yang biasa disebut dengan istilah NU kembali ke khittah 1926, dan tentu saja inisiatif ini dimaksudkan untuk menjaga independensi politik NU dari intervensi Soeharto.
Pemikiran liberal Gus Dur sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan Ormas Islam ini, meskipun ada juga beberapa pemimpin NU terkemuka yang tidak sepakat dengan pemikirannya, di antaranya para Kyai dan tokoh senior NU, termasuk pamannya, Yusuf Hasyim, yang seringkali menentang inisiatif dan pernyataan-pernyataannya. Untuk itu, implikasi pemikiran Gus Dur terhadap NU ini tampaknya harus dilihat dari aspek nasionalisme dan Islam.
NU menurut Gus Dur, mempunyai akar fondasi nasionalis yang kuat sebagaimana yang telah dikatakan bapaknya (Wahid Hasyim) bahwa ia bersedia mendukung suatu negara nasionalis non-Islami. Selain itu, Gus Dur juga sering menekankan aspek-aspek nasionalis NU. Misalnya, dalam sebuah pidato penting kepada anggota-anggota NU pada tahun 1992, ia mengingatkan bahwa penerimaan NU kepada Pancasila bisa diterima karena beberapa alasan.
Dia menjelaskan bahwa pada tahun 1945 Soekarno meminta nasihat para pemimpin NU, termasuk bapaknya untuk membantu Soekarno merumuskan lima asas Pancasila. Lebih dari itu, Gus Dur menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada kontradiksi antara Islam dan nasionalisme, karena Islam tetap bisa berkembang dalam suatu negara nasionalisme yang tidak didasarkan pada Islam resmi.
Akibat dari pemikirannya yang bisa dikatakan nasionalis-Islam, Akhirnya pada tahun 1983 Nahdlatul Ulama menjadi Ormas Islam besar pertama yang menerima Pancasila dalam Anggaran Dasarnya, yang kemudian dipertegas kembali pada Muktamar ke 27-1984 di Situbondo Jawa-Timur bahwa Indonesia adalah negara yang didasarkan Pancasila, dan UUD 1945 adalah merupakan “Bentuk Final dari Negara” yang akan memerintah kepulauan Indonesia. Dan yang perlu diingat bahwa Pernyataan tersebut ditegaskan di tengah-tengah iklim politis yang saat itu benar-benar dalam keadaan memanas antara Islam dan negara, yakni pasca peristiwa Tanjungpriok dan pengeboman di Jakarta.
Sebenarnya yang mengeluarkan inisiatif kompromi Pancasila di atas adalah Kyai Ahmad Shidiq (almh) dan Gus Dur sendiri dalam membentuk dwitunggal yang bertangung jawab bagi transformasi dan revitalisasi NU sebagai basis kekuatan Islam yang pluralis dan neomodernis. Sebelumnya Ahmad Shidiq pernah menjelaskan bahwa NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal karena merupakan hasil filsafat manusia, sementara Islam merupakan wahyu Tuhan.
Selain berimplikasi di NU, pemikiran Gus Dur juga banyak mempengaruhi visi dan misi PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang ia pelopori sendiri. Maka tidaklah mustahil kalau PKB selama ini tetap menempatkannya sebagai Dewan Pertimbangan Penting di partai ini. PKB dipelopori oleh K.H. Ilyas Ruchiyat, K.H. Munasir Ali, K.H. Mustofa Bisri, K.H. Muchit Muzadi, dan K.H. Abdurrahman Wahid.
Melihat komposisi dari para pelopor di atas, sangatlah absurd kalau PKB tidak terkait sama sekali dari kepentingan NU, sebab sebagian besar yang membidani pembentukan partai ini adalah dari kalangan Kyai NU, ditambah lagi Gus Dur yang saat itu sebagai Ketua Umum PB NU, meskipun masih juga terdapat pro-kontra dalam pembentukannya. Pembentukan PKB merupakan upaya jalan tengah warga NU untuk berjuang di garis struktural politik, dengan seraya melakukan gerakan kultural melalui NU yang tetap dipertahankan sebagai organisasi sosial keagamaan (Jam‘iyah Diniyyah) seiring dengan perubahan yang terjadi di pentas nasional.
Kekonsistenan pemikiran para tokoh NU, termasuk Gus Dur, masih tetap bertahan dalam memberlakukan Pancasila sebagai asas tunggal di era reformasi ini, meskipun saat itu rezim Orde Baru telah jatuh dan eforia politik Islam sedang mendapatkan kebebasannya. Di lain kesempatan, Gus Dur yang saat itu didampingi oleh Matori Abdul Djalil pernah menyatakan, bahwa PKB bukanlah partai Islam dan merupakan partai yang menginginkan negara sekuler.
Dari sini bisa dilihat seberapa jauh implikasi pemikiran Gus Dur terhadap strategi perjuangan partai ini. Sebagaimana uraian di atas bahwa implikasi pemikiran Gus Dur ini tidak lepas dari aspek nasionalisme dan Islam, yang keduanya itu tampak dalam AD/ART PKB yang menjadikan Pancasila sebagai asas partai. Mengenai dipilihnya nasionalisme dan demokrasi yang dijadikan landasan dasar PKB daripada dasar agama, Gus Dur mengatakan bahwa PKB mengutamakan kepentingan nasional.
PKB senantiasa mengutamakan substansi Hukum Islam melalui Hukum Nasional dan bukan mengutamakan simbol-simbol formal keagamaan, karena Republik Indonesia adalah sebuah negara dengan kepentingan-kepentingan nasional dan bukan sebuah negara agama. Sedangkan dari sisi Islamnya, bagi Gus Dur bukan berarti karena PKB tidak mengusung simbol-simbol Islam kemudian dikatakan partai yang tidak Islami.
Dalam kaitan ini Gus Dur mengatakan:
“Tidak penting bagi PKB berasaskan Islam. Yang penting PKB adalah Partai Islam. Banyak partai yang berasaskan Islam, tapi mereka main tipu, main curang dan tidak berakhlak Islami. Islam hanya dijadikan mereknya saja. Jadi, parpol berasaskan Islam tidak bisa dibuat jaminan. Dan PKB tidak mementingkan mereknya, tapi isinya.
“Akhlak dari Tauhid PKB adalah Islam. Daripada parpol yang berasas Islam tapi tidak Islami, maka lebih baik seperti PKB, asas bukan Islam, tetapi kelakuan dan tauhidnya orang Islam.
Penegasan bahwa PKB merupakan Partai Islam dengan corak keislaman yang substantif dapat ditemukan pula dalam Prinsip Perjuangan Partai yang menyatakan: “pengabdian kepada Allah S.W.T., menjunjung tinggi kebenaran, menegakkan keadilan, menjaga persatuan, menumbuhkan persaudaraan dan kebersamaan sesuai dengan nilai-nilai Islam Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah”. Walaupun kekentalan PKB dengan aspek Islam sedemikan rupa, akan tetapi dalam kenyataannya tetap tidak membuat partai ini tergoda untuk menegaskan dirinya sebagai partai Islam.
Pemikiran-pemikiran Gus Dur tampaknya banyak mewarnai perjuangan PKB, di mana sebuah partai yang nota bene berbasiskan muslim santri pedesaan ternyata mampu membuat mereka (konstituennya) menerima pendekatan partai yang bersifat nasionalis atau Islam-kultural dibanding Islam-formal. Pemakaian Pancasila sebagai asas partai dilandasi oleh cara pandang tokoh PKB dalam melihat Islam, mereka meyakini bahwa Islam tidak perlu dilembagakan secara formal, tetapi yang penting adalah nilai ajaran Islam harus tercermin dalam kehidupan sehari-hari.
Selain dari aspek institusional di atas, pemikiran Gus Dur juga mempunyai implikasi yang bersifat personal terhadap tokoh-tokoh politik dan pemikir Indonesia, Alwi Shibab merupakan salah satu politisi sekaligus akademisi yang sedikit banyak mempunyai persamaan visi dan misi dengan Gus Dur dalam memandang “relasi agama dan negara”, sebagaimana yang sering dikatakan Gus Dur mengenai demokrasi, Alwi juga menandaskan agama idealnya dapat mendorong proses demokratisasi bukan malah menjadi alat legitimasi politik.
Dan istimewanya lagi ia dinilai mampu menerjemahkan pola pemikiran Gus Dur, sehingga banyak kalangan yang menganggap kedua tokoh ini merupakan duet yang ideal. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai politisi yang mengedepankan etika dan moralitas. Mengenai visi dan misinya dalam PKB, ia menyatakan bahwa partai ini merupakan partai terbuka dan inklusif yang bercita-cita mewujudkan masyarakat bermoral, bukan membentuk sebuah negara yang berdasarkan Syari‘at Isla>m.
Menurutnya, apabila Masyarakat telah menerapkan moralitas tentunya akan membentuk negara yang bermoral pula. Bukan bentuk, sistem atau asas yang diutamakannya, tetapi yang terpenting adalah usaha untuk menanamkan substansi dan essensi Islam dalam menciptakan masyarakat yang beradab. Lebih lanjut, Alwi mengatakan bahwa agama dan demokrasi juga sangat berkaitan, karena nilai-nilai substansi tersebut telah mendukung proses demokrasi, di antaranya yaitu keadilan, pemerataan, dan persamaan. Sekali lagi, ia menegaskan bahwa tujuan Islam adalah menciptakan masyarakat yang bermoral bukan menciptakan negara agama karena hanya akan memecah belah keutuhan bangsa saja, maka ide semacam itu harus ditinggalkan.
Saat ini Alwi Shihab menjabat sebagai Ketua Umum PKB, kehadirannya dalam dunia politik patut diperhitungkan oleh kawan dan lawan politiknya. Di samping itu, sebelum mejabat Ketua Umum PKB Alwi juga sempat menjadi Menteri Luar Negeri Indonesia di era kepresidenan Gus Dur. Persamaan visi dan misi membuatnya dekat dengan Gus Dur, bahkan karena kedekatannya ia diangap sebagai loyalis Gus Dur. Maka tak heran kalau dia kelihatan cukup fasih dalam membahasakan kebijakan Gus Dur seperti hubungan dagang dengan Israil. Namun demikian bukan berarti pembelaannya ini hanya disebabkan kedekatannya dengan Gus Dur semata, tetapi karena secara argumentatif memang ada nilai-nilai positif baginya.
Sebenarnya Karier politik Alwi lebih dilatarbelakangi dari jalur akademisi daripada organisasi, sebab sebelum terjun di dunia politik praktis, Alwi adalah seorang pengajar Islamic Studies di Harvard Divity School dan di Auburn Theological Seminary of New York. Namun demikian, sikap dan pemikiran politisnya yang elegan tersebut membuatnya bisa diterima oleh kalangan organisatoris tokoh NU dan PKB dan terpilih sebagai Ketua Umum PKB.
Mengenai eksistensi agama di Indonesia, penulis buku inclusive Islam (1997) ini, tidak jauh berbeda dengan pemikiran Gus Dur. Baginya Islam adalah agama rah}matan li al-‘alami>n, jadi tidak perlu menggunakan kekerasan dalam mendakwahkan ajaran, seperti yang dilakukan kalangan Islam Radikal. Dalam acara silaturrahmi warga NU dan PKB di Jember, Alwi Shihab meminta pada seluruh umat Islam Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah untuk berhati-hati terhadap berkembangnya Islam radikal, menyusul banyaknya pengeboman yang dilakukan Islam radikal itu. Dan katanya, kita adalah satu-satunya partai yang memiliki otoritas keagamaan yang dapat menkounter radikalisme ini.
Untuk itu, ia juga sepakat kalau Syari‘at Isla>m tidak perlu diundang-undangkan di negara ini, karena hanya akan memicu disintegrasi bangsa yang plural ini. Selain itu, meskipun Islamlah yang mayoritas di negara ini, namun dalam kenyataannya tidak semua orang Islam Indonesia mengerti dan menjalankan ‘Aqidah dan Syari‘ah-nya. Lalu apakah harus dipaksa? Padahal Islam dalam mensyiarkan Syari‘ah-nya itu selalu bertahap dan disesuaikan dengan kemampuan manusia itu sendiri.
Selain Alwi Shihab, banyak generasi muda NU yang saat ini masih terus mencoba mengembangkan pemikiran-pemikiran Gus Dur, baik dalam memahami agama maupun negara (politik). Salah satunya adalah Ulil Abshar Abdalllah, ia dikenal sebagai intelektual muda yang sangat kontroversial di kalangan NU, meskipun ia tidak akrab dengan dunia politik praktis tetapi kekritisannya mengenai intervensi negara terhadap agama menyegarkan kembali pemahaman wacana Islam di negara kita yang cenderung membeku baginya.
Saat ini Ulil menjabat sebagai Direktur JIL (Jaringan Islam Liberal) di Jakarta, sebelumnya ia aktif di LAKPESDAM NU. Pemikirannya sempat mengundang reaksi keras para tokoh Islam Indonesia yang tergabung dalam FUI, yang sampai mengeluarkan fatwa hukuman mati untuknya. Sebenarnya ada beberapa pokok pikiran Ulil yang secara essensial sama dengan pemikiran Gus Dur, seperti Pribumisasi Islam, Islam kontekstual, dan Islam Universal.
Beberapa pemahaman yang menurut Ulil perlu disegarkan kembali, di antaranya yaitu: Pertama, penafsiran Islam yang non literal, substansial dan sesuai dengan peradaban manusia yang selalu berubah. Kedua, pemisahan unsur-unsur budaya lokal dan nilai fundamental dalam ajaran Islam, artinya kita harus membedakan mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan yang bukan. Misalnya, masalah jilbab, potong tangan, rajam, jenggot, Jubbah dan ekspresi budaya arab lainnya. Bagi Ulil budaya semacam itu tidak wajib diikuti, karena itu hanyalah ekspresi lokal partikular Islam Arab saja, justru yang wajib diikuti adalah nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu.
Ketiga, perlu adanya pemisahan yang jelas antara kekuasaan politik dan agama. Bagi Ulil agama adalah urusan pribadi, sedangkan pengaturan kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil konsesi masyarakat melalui prosedur demokrasi. Meskipun demikian nilai-nilai universal agama tetap diharapkan partisipasinya dalam membentuk nilai-nilai publik.
Dalam wawancara yang dilakukan majalah Gatra, mengenai tuntutan pemberlakuan syariat Islam oleh negara. Ulil mengatakan bahwa Islam sebagai agama adalah masalah privat. Oleh sebab itu menurutnya, Islam tidak perlu memformalkan Syari‘at Isla>m karena hanya akan melibatkan peran negara (publik) secara penuh terhadap kehidupan beragama kita (privat), dan kemungkinan yang lebih parah lagi adalah terjadinya penyempitan pemahaman dan penyeragaman umat Islam dalam beragama, padahal perbedaan itu sendiri adalah sunnatullah.
Selanjutnya ia mengkritik secara tegas terhadap cara pandang yang menyebutkan Islam adalah agama dan negara, baginya agama haruslah dipisahkan dari peran negara sebagaimana yang ia uraikan di atas, agar kesucian agama tetap terjaga. Hal ini sesuai dengan apa yang Gus Dur cita-citakan selama ini bahwa umat Islam tidak harus menjadikan Islam sebagai merk atau label belaka, akan tetapi lebih ditekankan pada nilai-nilai substansinya karena kita hidup di negara yang sangat plural agama dan budayanya, dan tentunya sangat berbeda dengan tradisi Arab di sana.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Dari uraian di atas, bisa dipahami bahwa secara historis kondisi sosial politiknya M. Natsir dan Gus Dur memang berbeda, Akan tetapi secara ideologis perjuangan dan cita-cita politik mereka masih terus mewarnai panggung politik Indonesia hingga saat ini. Hal ini bisa dilihat dari implikasi pemikiran dan cita-cita mereka terhadap pemikiran politik Islam yang sedang berkembang kini. Dan untuk lebih jelasnya, penyusun simpulkan sebagai berikut:
1. Mengenai relasi Islam dan negara, meskipun secara teoritis keduanya sepakat bahwa Islam tidak mempunyai sistem kenegaraan yang baku, akan tetapi secara praksis aksi politik mereka berbeda. Menurut M. Natsir, Islam dan negara adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan (integratif), ia beranggapan bahwa urusan kenegaraan pada dasarnya merupakan bagian integral Islam yang di dalamnya mengandung ideologi atau falsafah hidup. Sementara menurut Gus Dur, antara agama dan negara harus dipisahkan secara jelas fungsi wewenangnya (sekular), supaya tidak terjadi pendistorsian. Dan seharusnya Islam hanya dijadikan sebagai etika sosial saja dalam kehidupan bernegara, bukan sebagai landasan ideologi.
2. Secara normatif paradigma M. Natsir mengenai relasi Islam dan negara di atas didasarkan pada salah satu ayat al-Qur’an yang berbunyi:
و ماخلقـت الجن و الإنس إلا ليعبـد ون (الذاريات : ٥٦)
Sedangkan paradigma Gus Dur didasarkan pada salah satu kaidah Usul Fiqih yang berbunyi:
تصرف الإمام على الرعـية منوط بالمصلحـﺔ
Selain dari aspek normatif tersebut, aspek sosio-historis juga sangat mempengaruhi cita-cita politik mereka baik dari setting sosial maupun aktivitas organisasinya. M. Natsir dibesarkan di lingkungan Islam modernis, yang sudah banyak melakukan pembaharuan dan pemurnian ajaran Islam. Sedangkan Gus Dur tumbuh besar di lingkungan Islam tradisionalis, yang memegang teguh doktrin Islam klasik dengan mengkontekskan pada tradisi atau budaya setempat.
3. Corak pemikiran politik M. Natsir dikategorikan sebagai kelompok idealis dalam wacana politik Islam. Dan sebagai konsekuensinya, pemikiran semacam ini banyak berimplikasi pada tokoh Islam modernis, yang mereformasi doktrin-doktrin lama dengan tetap berlandaskan al-Qur’an, akan tetapi tetap menolak keras paham sekular.
Sedangkan pemikiran politik Gus Dur dikategorikan sebagai kelompok realis, yang cenderung moderat dalam merespon realitas sosial. Meskipun berlatar belakang tradisionalis, akan tetapi pemikirannya cukup mewarnai di kalangan Islam neo-modernis, sebuah kelompok yang afirmatif dalam merespon sekulerisme, dan secara tegas menolak formalisasi agama.
B. Saran-saran.
Relasi Islam dan negara selalu mengalami ketegangan, dalam kehidupan politik Indonesia, apalagi menjelang Pemilu baik di era orde lama ataupun orde baru. Akan tetapi ketegangan itu telah mengalami metamorfosis di era reformasi ini, karena aspirasi politik Islam sudah tidak dipasung lagi dalam berpolitik praktis seperti mendirikan partai Islam.
Selanjutnya, skripsi ini hanyalah salah satu cara bagaimana menyikapi relasi Islam dan negara di Indonesia. Dan lebih menitik beratkan pada perbedaan cita-cita ideologi negara yang kemudian penyusun hadapkan pada dua tokoh, M. Natsir dan Gus Dur. Untuk itu masih banyak aspek lain yang bisa diteliti oleh penyusun selanjutnya mengingat baru sebagian masalah yang saat ini penyusun kaji dari pemikiran kedua tokoh tersebut. Di antaranya mengenai demokrasi, sistem tata negara Islam, eksistensi partai Islam di Indonesia dan pandangan mereka terhadap pemberlakuan Syari‘at Isla>m.
Dan tentunya, berkaitan dengan skripsi ini penyusun mengharapkan saran dan kritik para pembaca guna memperbaiki kesalahan atau kekurangan yang ada. Selain itu penyusun sendiri sadar bahwa karya ini merupakan buah pertama dari proses panjang pendewasaan intelektual penyusun, sehingga masih sangat dimungkinkan jauh dari kesempurnaan.
BIBLIOGRAFI
I. Kelompok Al-Qur’an/Tafsir
Departemen Agama RI (pengawas), Al-Qur,an dan Terjemahnya, Madinah: tp, 26 Rajab 1415 H
II. Kelompok Fiqih/Usul Fiqih
Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Madinah Dan Masa Kini, Jakarta, Bulan Bintang, 1992.
Dkk, Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Haikal, Muhammad Husein, al-Hukumat al-Islamiyyat, Mesir, Dar al-Ma’arif, 1983.
Khallaf, Abdul Wahab, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kairo, Dar al-Qolam, 1977.
—————————, Al-Siyasat as-Syari’at, AL-Qahirat: Dār al-Anshār, 1977.
Pulungan, J. Suyuthi, Fiqih Siyasah: ajaran, sejarah dan pemikiran, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997.
Sirry, A Mun’im, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya, Risalah Gusti, 1996.
III. Kelompok Buku Lain
Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999.
Abdurrahman, Moslem, Islam Transformatif, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995.
Anggaran Dasar PKB.
Ahmad, Abd. Al-’Athi Muhammad, al-Fikr al-Siyasi Li al-Imam Muhammad Abduh, Mesir, al-Maiat al-Mishriyyat al-’Ammat li al-Kitab, 1978.
Ali, A. Mukti, Metode Memahami Agama Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1991.
Ali, Fachry & Bahtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Di Indonesia Masa Orde Baru, Bandung, Mizan, 1995.
—————————————-, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung, Mizan, 1990.
Amal, Taufiq Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung, Mizan 1989.
Amir, Zainal Abidin, Peta Islam Politik: Pasca-Soeharto, Jakarta, Pustaka LP3ES, 2003.
An-Nabhani, Taqiyuddin, Sistem Pemerintahan dan Realitas Doktrin, Sejarah dan Doktrin, Sejarah Empirik, Bangil, al-Izzah, 1996.
Anshari, Endang Saefuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler, tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1949-1959, Bandung, Pustaka Salman, 1981.
Azhar, Muhammad, Filsafat Politik Perbandingan Antara Islam dan Barat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997.
Azra, Azyumardi, dan Saiful Umam (ed), Tokoh dan Pimpinan Agama: Biografi Sosial Intelektual, Jakarta, Badan Litbang DEPAG RI dan PPM, 1998.
———————, Jaringan Ulama Timur Tengah Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung, Mizan, 1994.
———————, Pergolakan Politik Islam di Indonesia dari Fundamentalisme, Modernisme dan Post Modernisme, Jakarta, Paramadina, 1999.
Bakker, Anton & Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1999.
Barton, Greg, Biografi Gus Dur, The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta, LKiS, 2003.
—————-, Gagasan Islam Liberal Di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, alih bahasa Nanang Tahqiq, Jakarta, Paramadina, 1999, cet. 1.
Barton, Greg, dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nahdlatul Ulama Negara, Yogyakarta, LKiS, 1997.
Boland, B.J., The Struggle of Islam in Modern Indonesia, Hgue, Martinus Nijhoff, 1971 dan 1982.
Dkk, Andrrée Fillard, Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta, LKiS, 1994.
Dkk, Anwar Haryono, Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001.
Dkk, Hasyim Wahid, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangkitan Indonesia, Yogyakarta, LKiS, 1999.
Dkk, Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1992.
Dkk, Ulil Abshar Abdalla, Islam Liberal dan Fundamental: sebuah Pertarungan Wacana, Yogyakarta, eLSAQ, 2003.
Effendy, Bahtiar, dan Fachry Ali, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung, Mizan, 1986.
Effendy, Bahtiar, (RE) Politisasi Islam, Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, Bandung, Mizan, 2000.
——————–, Islam dan Negara, Jakarta, Paramadina, 1999.
——————–, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta, Paramadina, 1998.
Effendy, Djohan, The Contribution of The Islamic Parties to The Decline of Democracy in the 1950, makalah Confrense on Indonesia Democrasy, Monash University, 18 Desember 1992.
Enayat, Hamid, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad ke 20, Bandung, Pustaka, 1998.
Feillard, Andrée, NU vis-a-vis NEGARA: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta, LkiS, 1999.
Gatra, No. 15, 16 Desesmber, 2002.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Reseach, Yogyakarta, Andi Offset, 1989,
Hakim, Abd al-Hamid, as-Sulam, Jakarta, Sa’adiyah Putra, tt.
Hakim, M. Arief, Membangun Budaya Kerakyatan: Kepemimpinan Gus Dur dan Gerakan Sosial NU, Yogyakarta, Titian Ilahi Press.
Hamzah, K.H. Imron, dan Choirul Anam, Sebuah Dialog Mencari Kejelasan, Gus Dur diadili Kiai-kiai, Surabaya, Jawa Pos, 1989.
Hasil Mukernas I Partai Bulan Bintang, Jakarta, DPP PBB, 1999.
Hatta, Memoir, Jakarta, Tintamas, 1978.
http://www.tokohindonesia.com, Dr. Alwi Shihab Kandidat Wakil Presiden 2004, 11 Desember 2003.
Hoesen, K.H. Ibrahim, Fiqih Siyasi Dalam Tradisi Pemikiran Islamik Klasik, Ulumul Qur’an, No.2 Vol.IV/1993.
Ida, Laode dan & Thantowi Jauhari, Gus Dur di antara Keberhasilan dan Kenestapaan, Jakarta, Rajawali Press, 1999.
Ismail, Faisal, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 1999.
Jawa Pos, Surabaya, 29 Mei 1999.
Jaiz, Hartono Ahmad, Gus Dur Menjual Bapaknya, Bantahan Pengantar Buku: Aku Bangga Jadi Anak PKI, Jakarta, Darul Falah, 2003.
Kreatif Islam dan Pancasila , Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999.
Kamaruzzaman, Relasi Islam Dan Negara: Perspektif Modernis Dan Fundamentalis, Magelang, IndonesiaTera, 2001.
Karim, A. Gaffar, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1995.
Karim, Muhammad Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999.
Kompas Harian Amanat Rakyat, PKB Rekrut Nur Mahmudi juga Tokoh-tokoh Muhammadiyah, Selasa, 4 Februari 1999.
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung, Mizan, 1999.
Lewis, Bernard, Bahasa Politik Islam, Jakarta, Gramedia, 994.
Liddle, William, Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political Thougt and Action in New Order Indonesia, kertas kerja tidak diterbitkan.
Luth, Thoir, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta, Gema Insani Press, 1999.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Masalah kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta, LP3ES, 1996.
—————————, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi terpimpin 1959-1965, Jakarta, Gema Insani Press, 1996.
—————————, Peta Bumi Intelektualisme Islam Indonesia, Bandung, Mizan, 1995.
Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at I-Islami (Pakistan), Jakarta, Paramadina, 1999.
Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme Islam dan Demokrasi: Pandangan Politik Natsir, Jurnal ISLAMIKA, No 13, 1994.
Malik, Dedy Djamaluddin & Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholis Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat, Bandung, Zaman Wacana Mulia, 1998.
Mangkusasmito, Prawoto, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Refleksi, Jakarta, Hudaya, 1970.
Masdar, Umaruddin, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.
Maududi, Islamic Law and Constitution, Lahore, Islamic Publication, 1990.
MD, Moh. Mahfud, Konfigurasi Politik dan Hukum pada Era Orde Lama dan Orde Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.
Mehden, Fred Den, Religion and Modernization in South East Asia Syracuse, Syracuse University Press, 1986.
Minhaji, Ahmad, Ahmad Hassan and Islamic Legal Reform in Indonesia (1887-1958), Yogyakarta, Kurnia Kalam Semesta, 2001.
Mitchel, Richard P., The Society of Muslim Brother, Oxford, Oxford Universuty Press, 1969.
Mochtar, Kustiniyati (peny), Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, Jakarta, Gramedia, 1989.
Mudzhar, M. Atho’, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta, Titian Ilahi Press, 1998.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, 1985.
Nasution, S, Sejarah Pendidikan Indonesia, Jakarta, Bumi Aksara, 1995.
Natsir, M, Capita Selecta, Jakarta, Bulan Bintang, 1973.
———–, Agama Dan Negara Dalam Perspektif Islam, Jakarta, Media Dakwah, 2001, cet 1.
Noer, Deliar, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, Singapura, Oxford University Press, 1973.
—————-, Gerakan Modern, Islam Di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES, 1966.
—————-, Gerakan Modern, Islam Di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES, 1982.
—————-, Islam, Pancasila dan Asas tunggal, Jakarta, Yayasan Perkhidmatan, 1983.
—————-, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, Bandung, Mizan, 2000.
—————-, Partai-Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1987.
Poesponegoro, Marwati Djoenod, dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta, Departemen P&K, 1984.
Qutb, Sayyid, Khas}ais} al-Tasawwur al-Isla>mi wa Muqawwamatuhu, Kairo: Issa al-Babi al-Halabi wa Shuraka’uhu, 1962
Rahardjo, M. Dawam, Intelektual Intelegensia dan Prilaku Politik Bangsa: Risalah Cendikiawan Muslim, Bandung, Mizan, 1993.
Rahman, Budhy Munawar, Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta, Paramadina, 1995.
Ramage, Douglas Edward, Percaturan Politik Di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi, Jogjakarta, Mata Bangsa, 2002, cet. I.
Republika, 27 Mei 1999, hlm. 3.
Rosidi, Ajib, M. Natsir, Sebuah Biografi, Jakarta, Girimurti Pustaka, 1990.
Schuman, Olaf, “Dilema Islam Kontemporer antara Masyarakat Modern dan Negara Islam”, Jurnal Paramadina, No. 2, Vol I, Jakarta, Paramadina, 1999
Shihab, Alwi, Mengemban Tuntutan Jaman, Yogyakarta, Wahyu Pustaka, 2000.
Sitompul, Einar M., NU dan Pancasila, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1989.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta, UI Press, 1993, edisi V.
Soekarno, Memudahkan Pengertian Islam, di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta, Panitia di Bawah bendera Revolusi, 1994.
Soenjoto, Peneliti dan peteliti, Yogyakarta, Ranggon Studi, 1983.
Suhelmi, Ahmad, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir, Bandung, Teraju, 2002.
Syamsuddin, M. Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta, Logos, 2000.
Tempo, No. 42, 22 Desember 2002.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1994.
Uhlin, Anders, Oposisi berserak, Arus Deras Demokratisasi Glombong Ketiga di Indonesia, Bandung, Mizan, 1998.
Ulum, Bahrul, Bodohnya NU apa NU Dibodohi?, Jejak Langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah Meneropong Paradigma Politik, Yogyakarta, 2002.
Wahid, Abdurrahman, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta, P3M, 1989.
—————————, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta, Grasindo, 1999.
—————————, Prisma Pemikiran Gus Dur, yogyakarta, LkiS, 1999.
—————————, Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia, Prisma, No. 4, April 1984.
Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, Yayasan Prapanca, 1959.
0 Comment