Friday, May 18, 2012

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hadis Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur’an. Hadis adalah sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an yang semua ayatnya diterima secara mutawãtir. Dilihat dari periwayatannya, hadis Nabi berbeda dengan al-Qur’an. Al-Qur’an periwayatan semua ayat-ayatnya secara mutawătir, sedang hadis Nabi, sebagian periwayatannya secara mutawătir dan sebagian lagi secara ãhăd. Karenanya, al-Qur’an dilihat dari segi periwayatannya mempunyai kedudukan qaţ’ī al-wur¬ūd dan sebagian lagi zannī al-wurūd , sehingga tidak diragukan lagi orisinalitasnya. Berbeda dengan hadis Nabi yang berkategori ãhăd, diperlukan penelitian terhadap orisinalitas dan otentisitas hadis-hadis tersebut.
Untuk hadis-hadis yang periwayatannya secara mutawătir, setelah jelas kesahihannya, maka diperlukan pemaknaan yang tepat, proporsional dan representatif terhadap hadis tersebut melalui beberapa kajian, di antaranya kajian
linguistik, kajian tematis komprehensif, kajian konfirmatif dan kajian-kajian lainnya dalam rangka pemahaman teks hadis tersebut.
Hadis dapat dipahami secara tekstual dan kontekstual. Tekstual dan kontekstual adalah dua hal yang saling berseberangan, seharusnya pemilahannya seperti dua keping mata uang yang tidak bisa dipisahkan secara dikotomis, sehingga tidak semua hadis dapat dipahami secara tekstual dan atau kontekstual. Di samping itu ada hal yang harus diperhatikan yang dikatakan Komaruddin Hidayat bahwa di balik sebuah teks sesungguhnya terdapat, sekian banyak variabel serta gagasan yang tersembunyi yang harus dipertimbangkan agar mendekati kebenaran mengenai gagasan yang disajikan oleh pengarangnya.
Asbãbul wurūd hadis akan mengantarkan pada pemahaman hadis secara kontekstual, namun tidak semua hadis terdapat asbãbul wurūdnya. Pengetahuan akan konteks suatu hadis, tidak bisa menjamin adanya persamaan pemahaman pada setiap pemerhati hadis. Menurut Komaruddin Hidayat, hal ini disebabkan oleh keadaan hadis yang pada umumnya merupakan penafsiran kontekstual dan situasional atas ayat-ayat al-Qur’an dalam merespons pertanyaan sahabat. Oleh karena itu, menurutnya pemahaman ulama yang mengetahui sejarah hidup Rasul akan berbeda dengan yang tidak mengetahuinya. Di samping itu muatan sejarah secara detail telah banyak tereduksi, sehingga dalam sejarah pun sering didapatkan perbedaan informasi.
Permasalahan makna adalah konsekuensi logis dari adanya jarak yang begitu jauh antara pengarang, dalam hal ini Rasulullah dengan pembaca, yaitu umatnya, yang kemudian dihubungkan oleh sebuah teks yaitu hadis. Dengan terpisahnya teks dan pengarangnya serta dari situasi sosial yang melahirkannya maka implikasinya lebih jauh yaitu sebuah teks bisa tidak komunikatif lagi dengan realitas sosial yang melingkupi pihak pembaca. Di samping itu adanya jarak, perbedaan bahasa, tradisi dan cara berpikir antara teks dan pembaca, merupakan problematika tersendiri bagi penafsiran teks, karena bahasa dan muatannya tidak bisa dilepaskan dari kultural.
Menurut Dilthey, satu peristiwa itu, termasuk peristiwa munculnya teks, dapat dipahami dengan tiga proses; yaitu memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku asli, memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa sejarah dan menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat sejarawan yang bersangkutan hidup.
Senada dengan pandangan Dilthey tersebut, Carl Braaten berpandangan bahwa berusaha memahami suatu teks berarti mencoba memahami horizon zaman yang berbeda untuk dipahami dan diwujudkan dalam situasi konteks masa kini.
Hadis yang disebut sebagai sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an telah mengalami perjalanan yang panjang, bukan hanya dalam kodifikasi dan penelitian validitasnya, tapi juga berkembang pada “pemaknaan” yang tepat untuk sebuah matan hadis yang dapat membumikan keuniversalan ajaran Islam. Pemaknaan hadis merupakan probematika yang rumit. Pemaknaan hadis dilakukan terhadap hadis yang telah jelas validitasnya minimal hadis-hadis yang dikategorikan bersanad hasan.
Dalam pemaknaan hadis diperlukan kejelasan apakah suatu hadis akan dimaknai dengan tekstual ataukah kontekstual. Pemahaman akan kandungan hadis apakah suatu hadis termasuk kategori temporal, lokal atau universal, serta apakah konteks tersebut berkaitan dengan pribadi pengucapan saja atau mencakup mitra bicara kondisi sosial ketika teks itu muncul.
Memahami hadis itu tidak “mudah” khususnya jika terdapat hadis-hadis yang saling bertentangan. Terhadap problem yang demikian, para ulama hadis menggunakan metode al-jam’u, al-tarjīh, al-nãsikh wa al-mansūkh, atau al-tawaqquf.
Dari berbagai problem-problem pemahaman hadis secara global tersebut, maka penulis meneliti dan mengkaji pemaknaan dan pemahaman yang tepat terhadap hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita.
Identifikasi awal adalah apa makna salat dan bagaimana tata cara pelaksanaan salat menurut ketentuan syariat termasuk hal-hal yang dapat membatalkan salat menurut syariat. Para fuqaha memberikan pengertian shalat adalah
اَقْوَالٌ وَاَفْعَالٌ مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيْرِمُخْتَتَمَة ٌبِالتَّسْلِيْمِ يَتَعَبَّدُ بِهَا بِشَرَائِطِ مَخْصُوْصَةٌ
“Beberapa ucapan dan beberapa perbuatan yang dimulai dengan takbir, disudahi dengan salam, yang dengannya kita beribadat kepada Allah, menurut syarat-syarat yang ditentukan”.
Salat merupakan ritual ibadah bagi muslimin sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah dan mewujudkan ketakwaan kepada Ilahi Rabbi. Dalam salat itu terdapat aturan-aturan pelaksanaannya sesuai ketentuan syariat, di antaranya syarat sah salat, rukun-rukun salat dan hal-hal yang dapat membatalkan salat. Adapun syarat-syarat sah salat adalah mengetahui telah masuk waktu salat, suci dari hadas besar dan kecil, suci badan, pakaian dan tempat salat, menutup aurat dan menghadap kiblat.
Selain itu ada beberapa hal yang membatalkan salat, yakni makan, minum dengan sengaja, berbicara dengan sengaja bukan untuk kemaslahatan salat, mengerjakan pekerjaan yang banyak dengan sengaja, meninggalkan (merusakkan) suatu rukun atau dan syarat dengan sengaja dan tak ada udzur.
Di sisi lain ada beberapa hadis yang menjelaskan bahwa salat dapat terputus karena melintasnya anjing, keledai dan wanita. Menurut al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfăz al-Hadīs al-Nabawī , hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita didapatkan dalam kitab sebagai berikut : Şahīh Bukhărī sebanyak 2 buah, Şahīh Muslim sebanyak 4 buah, Sunan al-Tirmiżī sebanyak 2 buah, Sunan Abū Dăwud sebanyak 3 buah, Sunan an-Nasă’ī sebanyak 2 buah dan Sunan Ibn Măjah sebanyak 5 buah, Sunan ad-Darimī sebanyak 1 buah dan dalam Musnad Ahmad bin Hanbal sebanyak 15 buah. Sehingga jumlah keseluruhan hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dalam Kutub al-Tis’ah sebanyak 34 buah.
Di antara bunyi redaksi hadis – hadis tersebut yang didapatkan dalam Şahīh Bukhărī adalah :
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبِي قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ قَالَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ عَنِ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ ح قَالَ الْأَعْمَشُ وَحَدَّثَنِي مُسْلِمٌ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ ذُكِرَ عِنْدَهَا مَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْكَلْبُ وَالْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ فَقَالَتْ شَبَّهْتُمُونَا بِالْحُمُرِ وَالْكِلَابِ وَاللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَإِنِّي عَلَى السَّرِيرِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ مُضْطَجِعَةً فَتَبْدُو لِيَ الْحَاجَةُ فَأَكْرَهُ أَنْ أَجْلِسَ فَأُوذِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْسَلُّ مِنْ عِنْدِ رِجْلَيْهِ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Hafs bin Ghiyãs berkata, telah menceritakan kepada kami Abi (ayahku) berkata, telah menceritakan kepada kami al-A’masy berkata, telah menceritakan kepada kami Ibrahīm dari al-Aswãd dari ‘Āisyah: Disebut dekat ‘Āisyah beberapa hal yang dapat memutuskan salat adalah anjing, keledai dan wanita, jika melintas di hadapan orang yang salat, maka berkata ‘Āisyah: “Tuan-tuan samakan (wanita) dengan keledai dan anjing. Sesungguhnya saya lihat Nabi saw. salat dan aku berbaring di atas tempat tidur antara Nabi dan kiblat (di hadapan Nabi), kemudian ada bagiku suatu keperluan dan saya tidak suka duduk mengganggu Nabi saw., lalu aku turun dengan perlahan-lahan ke dekat kaki Nabi.”
Adapun hadis yang dimuat Sunăn Ibn Măjah sebagai berikut :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ خَلَّادٍ الْبَاهِلِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ حَدَّثَنَا جَابِرُ بْنُ زَيْدٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ وَالْمَرْأَةُ الْحَائِضُ
Artinya:
Telah mewartakan kepada kami Abū Bakar bin Khallãd al-Bãhilī, telah mewartakan kepada kami Yahyã bin Sa’īd, telah mewartakan kepada kami Syu’bah, telah mewartakan kepada kami Qatãdah, dari Jãbir, dari Ibnu Abbãs, dari Nabi saw., beliau bersabda: Dapat memutuskan salat, yaitu anjing hitam dan wanita yang sudah balig-usia haid-.
Dengan melihat hadis di atas, perlu kiranya menemukan pemaknaan yang tepat terhadap hadis tersebut. Problemnya adalah apakah melintasnya anjing, keledai dan wanita dapat memutuskan salat (membatalkan salat). Kedudukan hadis-hadis tersebut adalah hadīs hasan sahīh sehingga pemasalahan selanjutnya adalah memberikan pemaknaan yang tepat, proporsional dan representatif terhadap hadis tersebut. Apakah hadis yang sahih akan selalau representatif untuk dijadikan hujjah yang kemudian mampu diaplikasikan dalam realitas kekinian.
Dengan demikian, problem yang paling urgen adalah bahwa secara sekilas ada perbedaan apa yang dipaparkan ketentuan syariat tentang hal-hal yang dapat membatalkan salat dan pernyataan hadis bahwa salat dapat terputus karena melintasnya anjing, keledai dan wanita. Dengan demikian, bagaimana seharusnya hadis tersebut dipahami secara tekstual atau kontekstual dan kandungan hadis tersebut bersifat temporal, lokal atau universal. Dalam redaksi hadis tersebut, mengapa hanya melintasnya anjing, keledai dan wanita saja yang dapat memutuskan salat. Mengapa hal ini dikhususkan pada tiga hal tersebut saja, apa sebenarnya variabel yang terkandung di balik teks tersebut.
Dalam hadis yang lain lebih dikhususkan kepada melintasnya anjing hitam dan wanita haid saja yang dapat memutuskan salat. Apakah yang membedakan antara anjing hitam, anjing merah dan anjing putih kemudian apa yang menyebabkan anjing hitam saja yang dapat memutuskan salat. Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa mengenai anjing hitam dapat memutuskan salat, sedangkan wanita dan keledai masih ada keraguan.
Hal yang lebih fatal lagi adalah adanya anggapan penyerupaan seorang perempuan dengan seekor anjing dan keledai dalam hal merusak salat orang yang kebetulan dilewati ketiga-tiganya. Hal inilah keunikan dari interpretasi teks hadis tersebut sehingga perlu dikaji ulang dan mendalam, karena perempuan sebenarnya memiliki berbagai keistimewaan dan kesetaraan serta kesejajaran antara laki-laki dan perempuan.
Hal yang perlu diperhatikan lagi adalah problem kebahasaan (linguistik). Bagaimana seharusnya pemaknaan terhadap lafal قطع الصلاة. Menurut Abū ‘Abdillãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwīnī dalam kitab Syarh Sunăn Ibn Măjah bahwa secara dhahir yang dimaksud memutuskan salat di sini adalah membatalkan salat. Sedangkan menurut al-Nawãwī maksud dari قطع الصلاة, memutuskan salat adalah merusak salat, yakni mengurangi kesibukan hati dan mengganggu kekhusyukan hati menghadap Tuhan dalam salat, artinya hanya mengurangi essensi dan substansi daripada salat, bukan membatalkan salat. Implikasinya adalah salat itu tidak mencapai puncak kesempurnaan dan kekhusyukan salat, sebagai upaya mendekatkan diri dan ketakwaan kepada Allah.
Dengan melihat kondisi kekinian dengan adanya masjid telah diterapkan konsep satir dengan adanya dinding. Mengapa melintasnya ketiga hal tersebut dapat berimplikasi besar dalam pelaksanaan salat. Di samping itu adanya perbedaan pemahaman hal-hal yang dapat membatalkan salat menurut ketentuan syariat dan menurut teks hadis tersebut. Inilah kemudian menjadikan hadis tersebut perlu dikaji ulang untuk mencapai pemahaman yang tepat.
B. Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang masalah di atas dapat diketahui bahwa hadis tersebut perlu penjelasan yang lebih tepat. Oleh karena itu, sekiranya dapat dirumuskan beberapa permasalahan dari penelitian hadis tersebut :
1. Bagaimana hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita tersebut dipahami ? Apakah hadis tersebut dapat dipahami secara tekstual dan atau kontekstual, dan apakah kandungan hadis tersebut bersifat universal, temporal atau lokal ?
2. Bagaimana implikasi hadis tersebut terhadap ritual ibadah (salat) bagi muslim dalam kehidupan sehari – hari ?
C. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan :
1. Untuk memperoleh pemahaman yang tepat terhadap hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dan juga mengetahui kandungan hadis tersebut bersifat universal, temporal atau lokal.
2. Untuk mengetahui implikasi hadis tersebut terhadap ritual ibadah muslim sehingga penulis mendeskripsikan pemaknaan hadis-hadis tersebut untuk memperoleh pemaknaan yang tepat, apresiatif dan akomodatif terhadap perkembangan zaman.
Adapun kegunaan penelitian ini adalah :
1. Secara akademik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan pemikiran wacana keagamaan dan menambah khazanah literatur studi hadis di Indonesia.
2. Secara sosial, penelitian ini diharapkan berguna bagi pelaksanaan salat umat Islam sehingga dapat melaksanakan ibadah salat sesuai ketentuan syariat.
D. Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka ini dimaksudkan sebagai salah satu kebutuhan ilmiah untuk memberikan kejelasan tentang informasi yang digunakan melalui khazanah pustaka, yang relevan dengan tema yang terkait. Hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dimuat di berbagai kitab-kitab hadis di antaranya kutub al-tis’ah.
Muhammad al-Ghazali dalam bukunya Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw. antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual dijelaskan pemaknaan terhadap hadis-hadis terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita tersebut dengan berbagai versi redaksi hadis yang setema dan beberapa pendapat ulama.
Kajian pemaknaan terhadap hadis tersebut, secara tekstual dipahami bahwa hadis itu terdapat bias gender dengan mendiskursuskan hanya perempuan yang melintas, yang dapat memutuskan salat, bukan demikian halnya dengan laki-laki, sehingga digunakan juga buku-buku yang mengkaji jender sebagai analisis wacana kesetaraan jender dalam Islam yang terdapat dalam hadis tersebut. Di antara buku-buku tersebut adalah Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender karya PSW IAIN Sunan Kalijaga yang memaparkan bagaimana mengkontekstualisasikan hadis dalam studi jender dan Islam dengan menggunakan berbagai prinsip metodologi, yaitu prinsip ideologi, prinsip otoritas, prinsip klasifikasi dan prinsip regulasi terbatas.
Fatima Mernissi melalui karya-karyanya, seperti Wanita di dalam Islam , Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-Laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Patriarkhi , dengan menghadirkan hadis-hadis misoginis yang menurutnya mengandung bias jender sehingga perlu dikaji ulang. Dalam diskursusnya ini, ia menganggap pemahaman agama telah tereduksi karena kentalnya budaya patriarkis yang menyebabkan perempuan selalu berada dalam posisi subordinat, sehingga tanpa adanya pembongkaran tradisi Islam yang melahirkan kecenderungan-kecenderungan misoginis, perempuan akan tetap terdiskriminasi.
Asghar Ali Engineer, seorang tokoh yang sezaman dengan Fatima Mernissi yang menawarkan teologi pembebasan sekaligus memperjuangkan liberasi dan humanisasi (pembebasan dan kemanusiaan) dalam mewujudkan kesetaraan jender. Asghar juga tak jarang mengupas aspek sejarah Islam sebelum dan sesudah Islam datang. Ide dan pemikirannya tertuang dalam tulisannya yang berjudul Hak-Hak Perempuan dalam Islam serta Islam dan Teologi Pembebasan .
Kajian terhadap hadis tersebut, dilihat juga dari perspektif fikih dengan menggunakan buku-buku, di antaranya adalah Ibn Hazm dalam kitab al-Muhallã menjelaskan berbagai pemahaman ulama terhadap hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dengan membandingkan dari berbagai jalur sanad dan juga hadis-hadis yang setema dihadirkan untuk menguatkan pemaknaan terhadap hadis tersebut. Dimanakah Shalat yang Khusyu karya Muhammad Yunus bin Abdullah as-Saffar, mengemukakan berbagai pendapat ulama dalam merespons adanya hadis yang menyatakan bahwa salat dapat terputus karena melintasnya anjing, keledai dan wanita. Dalam Fikih Sunnah karya Sayyid Sabiq mengupas hal-hal yang dapat membatalkan salat karena anjing, keledai dan wanita tidak dapat memutuskan salat. Abdul Qadir al-Rahbawi dalam buku Shalat Empat Madzhab dipaparkan makna dan essensi dari salat, syarat sah salat, rukun salat dan hal-hal yang dapat membatakan salat sebagai acuan awal untuk melangkah pada pemaknaan hadis tersebut.
Hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita ini pernah dikaji oleh Kadarusman dalam skripsinya yang berjudul Kritik Hadis Perspektif Gender: Studi atas Pemikiraan Fatima Mernissi, yang hanya mengkaji hadis dari satu jalur sanad saja dengan menghujat eksistensi dari Abu Hurairah secara singkat.
Buku-buku di atas belum cukup memadai, walaupun penulis sendiri mengakui bahwa masing-masing saling melengkapi dalam memberikan informasi dalam penelitian ini. Sementara, sejauh penelusuran dari berbagai literatur, belum terdapat karya tulis yang khusus membahas makna hadis di atas dengan kajian ma’ãnī al-hadīs dan menjelaskan relevansi hadis tersebut. Dengan demikian, penulis mengadakan penelitian hadis yang dituangkan dalam karya tulis yang khusus membahas makna hadis tersebut dengan kajian ma’ãnī al-hadīs.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan sumber-sumber data dari bahan-bahan tertulis dalam bentuk kitab, buku, majalah dan lain-lain yang relevan dengan topik pembahasan.
Sumber utama penelitian ini adalah Kutub al-Tis’ah yang memuat hadis-hadis tersebut dengan syarh-nya. Dalam pelacakan dan penelusuran hadis tersebut dalam Kutub al-Tis’ah, penulis menggunakan metode takhrīj hadis dengan menggunakan kamus hadis melalui petunjuk lafal hadis dengan kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfãz al-Hadīs dan kata kunci (tema) hadis dengan kitab Miftãh Kunūz al-Sunnah. Di samping itu, digunakan juga jasa komputer dengan program CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf yang mampu mengakses sembilan kitab sumber primer hadis. Sedangkan sumber penunjangnya adalah kitab-kitab dan buku-buku yang relevan dengan kajian ini.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif-analitis, yaitu sebuah metode yang bertujuan memecahkan permasalahan yang ada, dengan menggunakan teknik deskriptif yakni penelitian, analisa dan klasifikasi. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan linguistik, pendekatan historis, dengan melihat kondisi pada saat hadis itu muncul, dan pendekatan sosiologis, dengan analisis kesetaraan jender. Dalam proses pelaksanaannya, dengan menggunakan langkah kerja ma’ãnī al-hadīs, yaitu :
1. Kritik Historis, menentukan validitas dan otentisitas hadis dengan menggunakan kaedah kesahihan dari ulama-ulama kritikus hadis.
2. Kritik Eidetis, pemaknaan hadis dengan mengadakan berbagai analisis, yakni:
1. Analisis Isi, muatan makna hadis melalui kajian linguistik, kajian tematis-komprehensif dan kajian konfirmatif.
2. Analisis Realitas Historis, pemahaman terhadap makna hadis dari problem historis ketika hadis muncul, baik makro maupun mikro.
3. Analisis Generalisasi, pemahaman terhadap makna universal dari teks hadis.
3. Kritik Praksis, pengubahan makna hadis yang dihasilkan dari proses generalisasi alam realitas kehidupan kekinian sehingga maknanya praksis bagi problematika hukum dan kemasyarakatan masa sekarang.
F. Sistematika Pembahasan
Bahasan studi ini, disusun dalam bab dan sub bab. Adapun sistematika pembahasan penelitian ini sebagai berikut :
Bab Pertama, Pendahuluan. Dalam bab ini dipaparkan latar belakang masalah, sebagai ungkapan inspirasi awal dari penelitian, kemudian pembatasan terhadap masalah yang tertuang dalam rumusan masalah. Langkah berikutnya menentukan tujuan dan kegunaan penelitian, kemudian dijelaskan pula tinjauan pustaka sebagai acuan untuk membedakan penelitian ini dengan kajian yang serupa. Selanjutnya dijelaskan metode yang digunakan dalam penelitian hadis ini dan diakhiri dengan rangkaian sistematika pembahasan.
Bab Kedua, Tinjauan umum tentang Salat, yang memaparkan seputar tata cara melaksanakan salat yang meliputi syarat sah salat dan rukun-rukun salat. Pada sub bab kedua dijelaskan hal-hal yang dapat membatalkan salat. Pada bab ini akan dijelaskan salat sesuai ketentuan syariat dengan hujjah al-Qur’an dan Hadis.
Bab Ketiga, pemaparan redaksional hadis-hadis yang variatif dengan mengkategorisasikan berdasarkan perbedaan redaksional dan juga mengungkap kritik historis, untuk menentukan validitas dan otentisitas hadis tersebut. Di samping itu, akan dijelaskan kritik Eidetis yang mencakup kajian linguistik, kajian tematik-komprehensif dan kajian konfirmatif. Pada sub bab ketiga dipaparkan analisis hadis, yang meliputi analisis pemaknaan hadis, analisis historis dan analisis generalisasi.
Bab Keempat, kontekstualisasi hadis sesuai konteks turunnya terhadap kondisi kekinian dengan kajian linguistik, tematik-komprehensif, konfirmatif dan generalisasi makna hadis. Selanjutnya merelevansikan teks dan konteks hadis tersebut pada realitas kehidupan kekinian.
Bab kelima, Penutup adalah bagian akhir penelitian ini yang berisi kesimpulan, saran-saran dan kata penutup dari pembahasan-pembahasan sebelumnya.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………….. i
HALAMAN NOTA DINAS……………………………………………….…. ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………… iii
MOTTO……………………………………………………………………….. iv
PERSEMBAHAN…………………………………………………………….. v
SISTEM TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA………………………… vi
ABSTRAK……………………………………………………………………. . x
KATA PENGANTAR………………………………………………………… xi
DAFTAR ISI………………………………………………………………….. xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah…………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………… 12
C. Tujuan dan Kegunaan penelitian ………………….………… 13
D. Telaah Pustaka……………………………….………………. 13
E. Metode Penelitian……………………………….…………… 18
F. Sistemtaika Pembahasan…….………………………………. 20
BAB II Seputar tentang Salat
A. Seputar Tentang Salat, sebagai ritual ibadah muslimin……… 1
B. Hukum Mendirikan Salat…………………………………….. 5
C. Tata cara Melakukan Salat…………………………………… 7
BAB III Tinjauan Redaksional Hadis Tentang putusnya shalat
dengan melintasnya anjing, keledai dan wanita
A. Redaksi hadis tentang batalnya Shalat dengan melintasnya anjing, keledai dan wanita
1. Redaksi hadis tentang putusnya shalat dengan melintasnya anjing keledai dan wanita…………………………………………..
2. Pemaknan hadis dengan kajian linguistik ………………….
B. Pemaknaan Hadis tentang Batalnya Shalat dengan Melintasnya Anjing, Keledai dan Wanita
1. Analisa Matan……………………………………………….
2. Analisa Sosio Historis……………………………………….
3. Analisa Fungsi Nabi…………………………………………
4. Analisa hadis-hadis yang bertentangan……………………..
5. Analisa Generalisasi…………………………………………
BAB IV Analisis Hadis-Hadis tentang Relevansi Teks dan Konteks
A. Kontekstualisasi hadis dengan kondisi temapat shalat masa sekarang………………………………………………………..
B. Implikasi Hadis terhadap Ritual Ibadah Shalat………………..
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………….
B. Saran-Saran……………………………………………………..
C. Penutup…………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………
LAMPIRAN
CURRICULUM VITAE
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, Abi Tayyib Muhammad Syamsul Haq, Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud. Madinah: Maktabah Salafiyah,1968
Adlabi, Sholehuddin, Manhaj Naqd al-Matan. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983
Amin, Qasim, Sejarah Penindasan Perempuan, Menggugat “Islam Laki-Laki”Menggurat Perempuan Baru. Yogyakarta: IRCiSod, 2003
Asqalany, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fath al-Bari bi Syarh Sahih Imam Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhary. t.tp.: Maktabah Salafiyah, t.th.
Bakar, Anton, Metode Research. Yogyakarta: Kanisius, 1992
Faiz, Fakhruddin, Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi. Yogyakarta: Qalam, 2002
Ghafur, Waryono Abdul, Gender dan Islam Teks dan Konteks,Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2003
Ghazali, Muhammad, Studi Kritis atas Hadis Nabi SAW., antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Bandung: Mizan, 1993
HAM, Musahadi, Evolusi Konsep Sunnah: Implikasi Pada Perkembangan Hukum Islam. Semarang: Aneka Ilmu,2000
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama. Jakarta: Paramadina, 1996
Ilyas, Hamim dkk. Keadilan Gender dalam Syari’at Islam, Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah. Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN SUKA, 2001
ILyas, Yunahar, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis. Yogyakarta: Lembaga Pengajian dan Pengalaman Islam “LPPI”,1996
Isma’il, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang,1992
Ismail, M. Syuhudi, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: Bulan Bintang, 1994
Mernissi, Fatima, Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-Laki dan Perempuan dalam Tradisi Pasca Patriarkhi, Yogyakarta: LSSPA-Yayasan Prakarsa,1995
Mubar, Abi ‘Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim, Tuhfadzul ahwadz bi Syarh Tirmidzi. Beirut: Dar al-Fikhr, 1995
Munawwir, Achmad Warson, al-Munawwir, Kamus Arab – Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif,1997
Naisyabury, Imam Abu Husain Muslim bin Hajjaj Ibn Muslim al-Qusyairy, al-Jami’ al-Sahih Juz II. Beirut: Dar al-Fikhr, t.th
Nawawy, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawy. Beirut: Dar al-Fikhr, 1981
Qardhawi, Yusuf, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW. Terj. Muhammad al-Baqir. Bandung: Karisma, 1995
Qasthalany, Abu Abbas Syihabuddin Ahmad bin Muhammad , Irsyad al-Sary li Syarh Sahih al-Bukhary. Beirut: Dar al-Fikhr, t.th.
Qazwiny, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid, Syarh Sunan Ibn Majah. Beirut: dar al-Fikhr, t.th
Rahbawi, Abdul Qadir, Shalat Empat Madzhab. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1994
Salih, Subhi, Ulum al-Hadis Wa Mustalahuhu. Beirut: Dar al-‘Um al-Malayin,1997
Shieddieqy, M. Hasbi, Pedoman Shalat. Jakarta: Bulan Bintang, 1983
Subhan, Zaitunah, Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an. Yogyakarta: LKiS,1999
Surahmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito, 1994
Suyuti, Jalaluddin, Sunan an-Nasa’I bi Syarh al-Hafidz Jaluddin al-Suyuti wa Hasiyah al-Imam al-Sanadi. Beirut: Dar al-Fikhr, 1930
Tahhan, Mahmud, Taisir Musthala al-Hadis. Beirut: Dar al-Fikhr, t.th
Wensick, A. J., Mu’jam Mufahras Li alfadhil Hadis al-Nabawi Juz V. Leiden: E.J. Brill,1965
Wensick, A.J., Miftah Kunuz as-Sunah, Mesir: Maktabah al-Misriyyah, 1924
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG SALAT
Seputar Tata Cara Melaksanakan Salat
Dalam ajaran Islam ada tiga hal pokok yaitu aqidah, ibadah dan muamalah. Ibadah sebagai aspek kedua dalam agama Islam itu merupakan tujuan manusia diciptakan oleh Allah di dunia ini. Salat adalah hubungan antara Tuhan dengan manusia yang merupakan hubungan ajaib yang tidak ada duanya, tidak ada bandingannya, yang tidak dapat dikiaskan dengan hubungan antara dua makhluk di atas bumi ini.
Kata as-Şalãt berasal dari bahasa arab, yakni “şallã, yuşallī, şalãtan”. Salat harus dimaknai dengan salat juga, bukan dengan sembahyang seperti agama lain dengan berbagai cara mereka. Akibatnya, salat akan dilaksanakan dengan keliru, tidak seperti ketentuan syariat. Inti dari salat adalah doa, namun berdoa dalam salat berbeda dengan doa pada umumnya. Salat harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syariat.
Secara etimologis, as-Şalãt menurut Ibn Manzūr berarti rukū’, as-sujūd, ad-du’ã, al-istigfãr (ruku’, sujud, permohonan, permohonan ampun). Menurut Rãghib al-Isfahãnī, as-şalãt berarti ad-du’ã, al-tabrīku, al-tamjīdu (permohonan, pemberkahan dan pemuliaan). Jadi, secara etimologis, salat adalah berdoa dengan melakukan ruku dan sujud.
Secara terminologis, arti salat menurut Abū Ja’far Muhammad bin Jarīr at-Thabarī, as-şalãt berarti ad-du’ã, karena orang yang salat sedang berupaya untuk mendapatkan keinginannya, yang berupa ganjaran dari Allah dengan perbuatannya beserta dengan apa yang diminta kepada Allah berupa kebutuhan-kebutuhannya. Menurut Muhammad Rasyīd Ridhã, as-şalãt adalah menampakkan hajat dan kebutuhan kepada yang disembah dengan ucapan, perbuatan atau keduanya.
Menurut Ahmad Musţafã al-Marãghī, as-şalãt berarti ad-du’ã yaitu berdoa kepada yang disembah dengan ucapan atau perbuatan atau kedua-duanya sebagai simbol seorang hamba membutuhkan penciptanya karena pemberian nikmatnya dan diselamatkan dari kemurkaan. Sayyid Sabiq, memberi pengertian salat adalah ibadah yang terdiri dari perkataan tertentu yang dimulai dengan takbir kepada Allah Ta’ala dan disudahi dengan memberi salam. Imam empat madzhab, memaknai salat adalah ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan membaca salam.
Para fuqaha sepakat memaknai salat adalah beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam yang dengannya orang beribadah kepada Allah menurut syarat-syarat yang telah ditentukan. Jadi salat adalah berdoa kepada Allah dengan beberapa ucapan dan beberapa perbuatan yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam sebagai penampakan hajat dan kebutuhan kepada penciptanya menurut syariat yang telah ditentukan.
Salat diperintahkan dalam al-Qur’an berulang-ulang berupa perintah yang tegas, memuji orang-orang yang mendirikan salat dan mencela orang-orang yang meninggalkannya. Dengan sering berulang-ulangnya perintah mendirikan salat dapat dipahami bahwa salat adalah tiang agama.
Maksud ibadah salat adalah menumbuhkan kesadaran penuh dalam hati seseorang bahwa ia sedang menghadap Allah dan mempersatukan umat mukmin dalam ritual salat. Salat bertujuan untuk mengingat Allah, bersyukur kepada Allah dan mencegah perbuatan yang keji dan munkar. Dengan demikian untuk menjadikan salat sebagai sarana ber-taqarrub kepada Allah swt., maka harus mengetahui mkna-makna batiniah daripada salat tersebut. Sebagai langkah awal haruslah menghadirkan hati dengan kekhusyukan menghadap-Nya. Adapun ruh salat atau jiwa salat itu ada tiga hal , yaitu :
1. Khusyuk, merendahkan diri dan mencegah penglihatan dari keharaman. Amr ibn Dinãr memaknai khusyuk adalah tenang dan gerakan yang baik dalam mengerjakan salat. Ibn Sirrin memahami khusyuk dengan konsentrasi pikiran pada salat dan lepas dari pemikiran lainnya Lain halnya dengan Ibn Jubair yang memaknai khusyuk dengan tetap mengarahkan pikiran kepada salat sehingga tidak mengetahui orang sebelah kanan dan kiri. Athã’ justru memahami khusyuk dengan tidak mempermain-mainkan tangan, tidak memegang-megang benda dalam salat. Jadi, khusyuk adalah amalan hati, suatu keadaan yang mempengaruhi jiwa, seperti tenang dan menundukkan diri.
Hal ini dijelaskan dalam surat al-Baqarah (2) ayat 45 :
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِين
Artinya:
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.
2. Hadir hati. Dalam menghadirkan hati dengan cara memusatkan segala pikiran pada yang dikerjakan yakni salat, tidak berpaling dari kesadaran berbuat dan berucap, sehingga salat benar-benar dapat dimengerti, dipahami dan dihayati. Dengan demikian, essensi dan substansi dari salat dapat dipahami dan dihayati.
3. Ikhlas. Ikhlas adalah niat hati yang murni hanya untuk memperoleh keridhaan Allah semata-mata. Ikhlas dengan memelihara ibadat dari perhatian manusia, semua ditujukan untuk memperoleh ridha dari Allah.
Jika salat dilaksanakan tanpa kekhusyukan, hadir hati dan ikhlas, maka salat itu seperti tubuh tanpa ruh yang tidak dapat berdiri. Begitu pula salat tersebut tidak menemukan hakekatnya, jika tanpa kekhusyukan dan keikhlasan.
Di samping itu, al-Gazãlī mengatakan bahwa ada enam kondisi yang harus diperhatikan ketika melaksanakan salat, yaitu :
1. Hudhūr al-qalb (kehadiran hati)
2. Tafahhum (bersungguh-sungguh dalam upaya memahami makna yang terkandung dalam setiap ucapan)
3. Ta’zhīm (pengagungan dan penghormatan kepada Allah swt., yang kepada-Nya ditujukan salat seseorang)
4. Haibah (ketakutan yang bersumber dari ta’zhim atau pengagungan kepada-Nya)
5. Rajã’ (pengharapan yang ditujukan kepada Allah swt., semoga diterima salatnya)
6. Hayã’ ( rasa malu yang dilatarbelakangi oleh rasa bersalah, baik karena kelalaian hati dalam melaksanakan ibadah, ataupun kesadaran telah berbuat dosa kepada Allah swt.
Salat harus dilaksanakan dengan kekhusyukan karena puncak kenikmatan dan makna dari salat tersebut hanya dapat dirasakan jika salat tersebut dilaksanakan dengan khusyuk, hadir hati dan ikhlas. Substansi dan essensi salat akan memiliki makna dan nilai yang mendalam, jika salat tersebut dilakukan dengan kekhusyukan dan keikhlasan.
Salat harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syariat, yang memiliki tata cara tersendiri. Dalam ritual salat itu terdapat rukun-rukun salat, syarat-syarat sah salat yang merupakan hal-hal yang harus terpenuhi ketika melakukan salat. Adapun syarat-syarat sah salat adalah sebagai berikut :
1.Mengetahui telah masuk waktu salat.
Salat itu dilaksanakan sesuai dengan waktu-waktu masing-masing dari setiap jenisnya sebagaimana ketentuan syariat. Salat dilaksanakan setelah diketahui telah tiba waktunya. Waktu salat dapat diketahui dengan adzannya mu’adzin, ijtihad sendiri, sesuatu sebab yang menghasilkan keyakinan seperti jam penunjuk.
2. Suci dari hadats besar dan hadats kecil.
Dalam melaksanakan salat, seseorang harus bersuci dahulu dari hadats kecil dengan wudhu dan hadats besar dengan mandi suci sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Ma’idah ayat 6 sebagai berikut :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ
Artinya:
Wahai segala mereka yang telah beriman! Apabila kamu hendak berdiri kepada shalat maka basuhlah muka-mukamu dan tangan-tanganmu hingga siku dan sapulah kepalamu dan basuhlah kaki-kakimu hingga dua mata kaki (sepuluh kaki-kakimu jika kamu memakai sarung kaki) dan jika kamu berjunub ,maka mandilah kamu dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau baharu membuang air,atau telah menyentuh istrinya (menyetubuhi istri) lalu kamu tiada mendapati air untuk berwudhu atau mandi, maka carilah tanah yang bersih, lalu sapulah muka-mukamu, tangan-tanganmu dengannya, Allah tiada menghendaki untukmenyempitkan atau menyukarkan kamu, tetapi Allah berkehendak membersihkan kamu dan meyempurnakan nikmat-Nya atas kamu supaya kamu mensyukurinya.
Dalam sebuah hadis juga dijelaskan :
لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةً بِغَيْرٍ وَلَا صَدَ قَةً مِنْ غُلُوْلٍ
Artinya:
Allah tiada menerima salat dengan tidak bersuci dan tiada menerima sedekah yang diberi dari harta yang disembunyikan dari rampasan perang yang belum dibagikan.
3. Suci badan, pakaian dan tempat salat dari najis, hadats kecil dan hadats besar. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadis :
سَمِعْتُ رَجُلًا سَالَ النَّبِىُ ص م اُصَلِّى فِى الثَّوْبِ الَّذِى اَتِى فِيْهِ اَهْلِيٌّ: نَعَمْ إِلَّا اَنْ تَرَى شَيْئًا فِيْهِ فَتَغْسِلُه ُ
Artinya:
Saya mendengar seorang laki-laki bertanya kepada Nabi : Bolehlah saya salat dengan memakai pakaian yang saya pakai ketika bersenggama ? Beliau menjawab : boleh, kecuali jika kamu lihat sesuatu kotoran padanya, maka hendaklah kau cuci.
4. Menutup aurat.
Ketika bersalat hendaknya memakai pakaian yang baik untuk menutup aurat. Batas aurat laki-laki dan wanita dalam salat berbeda. Adapun aurat yang disepakati wajib ditutupi orang laki-laki di saat salat, ialah : “qubul dan dubur “ (kemaluan dan dubur). Ada pula yang menyatakan bahwa aurat laki-laki di saat salat adalah bagian tubuhnya antara pusar dan lutut. Adapun yang selain dari itu, yaitu paha, pusat dan lutut, para ulama berselisih mengenai paha. Bedanya ada yang mengatakannya aurat dan ada pula yang mengatakannya bukan aurat.
Sebuah hadis menjelaskan:
مَرَّ رَسُوْلُ الله ِص م عَلَى مَعْمَرٍ, وَفَخِذَاهُ مَكْشُوْفَتَانِ فَقَالَ يَامَعْمَر, غَطِّ فَخِذَيْكَ فَإِنَّ اْلفَخِذَيْنِ عَوْرَةٌ
Artinya:
Rasulullah lewat pada Ma’nar yang kedua pahanya tersingkap, maka sabdanya : Hai Ma’mar ! Tutuplah kedua pahamu karena paha itu aurat.
Kemudian memakai “pakaian yang baik” yang menutup bagian-bagian badan yang dipandang baik ketika menutupnya oleh rasa susila, adalah suatu (wajib) yang berdiri sendiri, yang tidak patut diabaikan.
Adapun aurat wanita di dalam salat menurut jumhur ulama ialah seluruh badannya selain dari muka dan kedua telapak tangan. Menurut asy-Syafi’i dan Hanafi bahwa aurat wanita di dalam salat adalah seluruh badannya kecuali muka dan telapak tangan. Demikian pula punggung telapak kaki bukanlah aurat menurut golongan Hanafi. Hal ini berdasarkan surat an-Nur ayat 31:
وَلَايُبْدِ يْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَمِنْهَا
Artinya:
Dan janganlah mereka (para wanita menampakkan hiasan-hiasan mereka, tempat-tempat hiasan mereka), melainkan sekedar yang tampak daripadanya.
Pakaian yang dipakai menutup aurat itu disyariatkan harus tebal. Karena itu, tidak cukup jika pakaian itu tipis sehingga terbayang warna kulit dibaliknya. Sehingga boleh memakai pakaian yang sempit sekali sehingga lekuk tubuh dibaliknya nampak jelas, asalkan tidak nampak warnanya. Barangsiapa tidak mendapatkan pakaian untuk menutup auratnya, maka hendaklah ia salat dengan telanjang dan salatnya itu sah. Tetapi menurut Hanafi dan Hanbali, yang lebih utama bagi orang yang salat telanjang ialah mengerjakannnya dengan duduk dan memberi isyarat untuk ruku’ dan sujudnya, serta merapatkan pahanya satu dengan yang lain. Ulama Hanafi menambahkan : Hendaknya kedua kakinya itu dijulurkan ke arah kiblat, untuk menutupnya erat-erat.
Batasan aurat sebagaimana dijelaskan di atas adalah batasan minimal, namun jika seseorang itu memiliki kemampuan, hendaknya memakai pakaian yang dianggap sopan, patut dan layak pakai, terutama ketika menuju tempat salat sebagaiman dijelaskan dalam surat al-A’rãf (7) ayat 31 sebagai berikut:
يَابَنِي ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدوَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Artinya:
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
5. Menghadap Kiblat
Para ulama sepakat bahwa salat wajib menghadap kiblat, masjidil haram sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis sebagai berikut :
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِاللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو حَازِمٍ قَالَ سَأَلُوا سَهْلَ بْنَ سَعْدٍ مِنْ أَيِّ شَيْءٍ الْمِنْبَرُ فَقَالَ مَا بَقِيَ بِالنَّاسِ أَعْلَمُ مِنِّي هُوَ مِنْ أَثْلِ الْغَابَةِ عَمِلَهُ فُلَانٌ مَوْلَى فُلَانَةَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَامَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ عُمِلَ وَوُضِعَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ كَبَّرَ وَقَامَ النَّاسُ خَلْفَهُ فَقَرَأَ وَرَكَعَ وَرَكَعَ النَّاسُ خَلْفَهُ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ ثُمَّ رَجَعَ الْقَهْقَرَى فَسَجَدَ عَلَى الْأَرْضِ ثُمَّ عَادَ إِلَى الْمِنْبَرِ ثُمَّ رَكَعَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ ثُمَّ رَجَعَ الْقَهْقَرَى حَتَّى سَجَدَ بِالْأَرْضِ فَهَذَا شَأْنُهُ قَالَ أَبمو عَبْد اللَّهِ قَالَ عَلِيُّ بْنُ الْمَدِينِيِّ سَأَلَنِي أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ رَحِمَهُ اللَّهُ عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ قَالَ فَإِنَّمَا أَرَدْتُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَعْلَى مِنَ النَّاسِ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَكُونَ الْإِمَامُ أَعْلَى مِنَ النَّاسِ بِهَذَا الْحَدِيثِ قَالَ فَقُلْتُ إِنَّ سُفْيَانَ بْنَ عُيَيْنَةَ كَانَ يُسْأَلُ عَنْ هَذَا كَثِيرًا فَلَمْ تَسْمَعْهُ مِنْهُ قَالَ لَا
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Alī bin Abdullah, telah menceritakan kepada kaami Sufyãn, telah menceritakan kepada kami Abu Hãzm, Ia berkata bahwa orang-orang bertanya kepada Sahl bin Sa’id tentang untuk apa mimbar? Lalu ia berkata: “Apa yang ada pada manusia maka aku mengetahuinya, itu adalah tempat pemusatan amalan (ibadah) sekumpulan orang keturunan Rasulullah saw. yang menghadap kepadanya. Sesungguhnya Rasulullah jika melakukan amalan itu (salat) maka ia menghadap kiblat dengan bertakbir dan orang-orang berdiri dibelakangnya lalu membaca ayat, lalu ruku’, dan orang-orang dibelakangnya bersujud pula, kemudian mengangkat kepalanya bangun dari ruku’, kemudian kembali mengulanginya sampai sujud di tanah. Kemudian kembali menghadap ke minbar lalu ruku’, kemudian mengangkat kepalanya bangun dari ruku’, kemudian kembali mengulanginya sampai sujud di tanah. Dan inilah perkatan Abū Abdullãh , Alī bin al-Madīnī berkata bahwa Ahmad bin Hanbal bertanya kepadaku (Alī al-Madīnī) tentang hadis ini lalu aku mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw. memiliki derajat tinggi di antara manusia, tidak ada masalah menjadikannya imam di antara manusia dalam hadis ini. kemudian aku mengatakan bahwa Sufyãn banyak ditanya tentang hal ini dan ia tidak mendengarnya berkata tidak.
Menghadap kiblat adalah hal yang fardhu dalam salat yang mempengaruhi sah atau tidaknya salat tersebut. Salat dapat dilakukan dengan tidak menghadap kiblat jika disebabkan oleh empat hal yaitu keadaan salat sunnah di atas kendaraan, keadaan yang terpaksa, keadaan orang sakit yang tak mendapatkan orang yang menghadapkannya ke arah kiblat atau tidak mampu menghadap kiblat dan keadaan salat khauf, keadaan salat dalam ketakutan.
Hal itu berdasarkan surat al-Baqarah (2) ayat 286 yang menjelaskan :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
Artinya:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”.
6. Niat.
Menurut golongan Hanafi dan Hambali, niat adalah syarat, sedangkan menurut golongan Maliki, Asy-Syafi’i, niat adalah rukun. Perbedaan antara syarat dengan rukun ialah bahwa syarat boleh dilakukan sebelum amal, sehingga seandainya seseorang keluar dari rumah atau tokonya, sambil niat hendak salat dan antara niat dengan salatnya itu tidak terselang jarak yang lama atau pekerjaan maka sahlah salatnya. Karena itu, ia tidak boleh dilakukan sebelum amal, meskipun dengan tenggang waktu yang relatif singkat. Karena itulah, maka niat salat harus dikerjakan bersama dengan takbīratul ihram.
Jadi, sebelum melakukan salat harus memenuhi syarat sah salat tersebut. Setelah itu, harus dipenuhi rukun-rukun salat tersebut. Sekiranya perlu dibedakan antara syarat sah salat dan rukun-rukun salat. Syarat sah salat adalah hal-hal yang harus dipenuhi ketika akan melaksanakan salat yang berada di luar salat. Kemudian rukun-rukun salat adalah hal-hal yang harus dilakukan dalam salat (intern ritual salat). Keduanya sama-sama menyebabkan batalnya salat, jika tidak terpenuhi salah satu hal diantara hal-hal yang harus dilaksanakan sebelum dan ketika salat, yakni syarat sah salat dan rukun salat.
Kemudian rukun-rukun salat yang merupakan unsur-unsur fardhu yang berkembang dalam mencapai hakikat salat adalah :
1. Niat. Ada kontroversial mengenai niat termasuk dalam rukun salat atau syarat sah salat. Jiwa salat dan yang mensahkannya adalah ikhlas, bukan semata-mata bersengaja mengerjakannya walaupun bersengaja itu diperlukan juga untuk mengi’tibarkan sesuatu pekerjaan. Hakikat niat adalah iradat yang berhadap ke arah pekerjaan untuk mencari keridlaan Allah dan mengikuti hukum-Nya. Niat adalah amalan hati, sebagai pengungkapan qasad (maksud) dan ‘azam (cita-cita) mengerjakan sesuatu.
2. Takbiratul Ihram. Takbiratul ihram itu harus disebut dengan lafal “Allahu Akbar” sebagaimana hadis :
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جُحَادَةَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الْجَبَّارِ بْنُ وَائِلٍ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ وَمَوْلًى لَهُمْ أَنَّهُمَا حَدَّثَاهُ عَنْ أَبِيهِ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ كَبَّرَ وَصَفَ هَمَّامٌ حِيَالَ أُذُنَيْهِ ثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ أَخْرَجَ يَدَيْهِ مِنَ الثَّوْبِ ثُمَّ رَفَعَهُمَا ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ فَلَمَّا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ فَلَمَّا سَجَدَ سَجَدَ بَيْنَ كَفَّيْهِ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin harb, telah menceritakan kepada kami Affãn, telah menceritakan kepada kami Hammãm, telah menceritakan kepada kami Muhammmad bin Juhãdah, telah menceritakan kepadaku Abdul Jabbãr bin Wã’il, dari Alqamah bin Wã’il dan budak-budak mereka. Sesungguhnya keduanya telah menceritakan kepadanya ayahnya, Wã’il bin Hujr, sesungguhnya ia melihat Nabi saw. mengangkat tangannya dan bertakbir, lalu Hammãm mengangkat tangannya sampai sejajar telinganya, kemudian memasukkan dalam pakaiannya, kemudian meletakkan tangannya yang kanan di atas tangan yang kiri. Kemudian mengeluarkan tangannya dari pakaiannya, kemudian mengangkat tangannya dan bertakbir lalu ruku’. Ketika berlafal “Sami’a Allah Liman Hamidah”, ia mengangkat tangannya. Kemudian bersujud dengan kedua telapak tangannya.
3. Berdiri dalam salat fardhu. Salat wajib dilaksanakan dengan berdiri, kecuali tak mampu untuk berdiri karena sakit atau udzur yang lain.
4. Membaca surat Fatihah pada setiap rakaat salat.
لَا صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْبِفَاتِحَةِ الْكِتَاب ِ
Artinya:
Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah di dalamnya.
Mengenai basmalah di permulaan surat al-Fatihah, maka ada yang menjadikannya satu ayat dari surat al-Fatihah, ada yang menjadikannya satu ayat yang berdiri sendiri; boleh dibaca di permulaan al-Fatihah, bahkan dipandang baik, tetapi tiada sunnat dijaharkan. Ada pendapat lain, bahwa membaca basmalah itu makruh, baik sirr maupun jahar dalam salat fardhu, tidak dalam salat sunnat.
Maka apabila dikonfirmasikan pendapat yang pertama dan pendapat yang kedua, timbullah pengertian bahwa Nabi saw. kadang-kadang menjaharkan basmallah dan kadang-kadang tidak, namun lebih banyak tidak menjaharkannya.
5. Ruku’, ruku’ ini harus disertai ţuma’ninah dalam melaksanakannya.
6. I’tidal, keadaan berdiri tegak setelah bangkit dari ruku’ harus dilakukan dengan ţuma’ninah.
7. Sujud, sujud dilaksanakan dengan meletakkan muka, dua telapak tangan, dua lutut dan dua telapak kaki pada tempat sujud dengan ţuma’ninah.
8. Duduk yang akhir dan membaca tasyahud di dalamnya.
9. Salam, salam yang difardhukan adalah salam yang pertama, sedangkan salam yang kedua, hanya disukai oleh Allah.
B. Hal-hal yang Membatalkan Salat
Di samping syarat-syarat sah salat dan rukun- rukun salat, masih ada satu hal lagi yang memegang peranan penting dalam mencapai derajat sah atau tidaknya salat tersebut, yakni hal-hal yang membatalkan salat. Adapun hal-hal yang membatalkan salat adalah hal-hal yang membuat salat itu rusak, terputus dan batal sehingga salat harus diulang kembali. Adapun hal-hal yang dapat membatalkan salat adalah :
1. Makan dan minum dengan sengaja dalam salat itu membatalkan salat. Hal itu akan mengurangi essensi dan kekhusyukan salat. Di samping itu, salat adalah ibadah dalam hubungan vertikal antara Tuhan dengan manusia, seharusnya tidak dicampuradukkan dengan aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang bersifat jasmaniah. Salat memerlukan kekhusyukan, penuh konsentrasi, tawakkal dan tawadhu’ kepada Ilahi Rabbi.
Menurut golongan Syafi’iyah dan Hanbaliyah : “Tiada batal salat dengan makan atau minum dalam keadaan lupa, atau karena tidak mengetahui hukum.” Demikian juga kalau terdapat di antara gigi makanan yang kurang dari sebesar anak kacang lalu ditelannya. Hal itu tidak membatalkan salat.
2. Berbicara dengan sengaja, bukan untuk kemaslahatan salat. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh :
كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِى الصَّلَاةِ يُكَلِّمُ الرَّجُلُ مِنَّا صَاحِبَهُ وَهُوَ اِلَى جَنْبِهِ فِى الصَّلَاةِ حَتَّى نَزَلَتْ (( وَقُوْ مُوْا لله قَانِتِيْنَ)) فَأََمَرَ نَا بِالسُّكُوْتِ وَنُهِيْنَا عَنِ الْكَلَام ِ
Artinya:
Adalah kami (para sahabat) berbicara dalam salat. Masing-masing kami berbicara dengan temannya yang berdiri disampingnya dalam salat, hingga turun ayat “Waqumu lillahi Qanitin” dan berdirilah kamu karena Allah dengan khusyu’. Maka kami pun diperintah berdiam dan dilarang berbicara.
Golongan Malikiyah membolehkan kita berbicara untuk kebaikan salat, asal saja tidak banyak, dan apabila tidak dapat dipahamkan maksud jika diteguhkan dengan tasbih saja. Berkata al-Auza’ī : Barangsiapa berkata-kata dalam salat dengan sengaja dengan maksud untuk kebaikannnya, tidak batal salatnya.
3. Mengerjakan pekerjaan banyak dengan sengaja.
Yang dimaksudkan dengan mengerjakan banyak dengan sengaja adalah perilaku dan hal-hal yang dikerjakan dengan sengaja sering dan berulang-ulang. Ada kontroversial di antara para ulama fiqih mengenai kadar perbuatan yang banyak dan sedikit. Penentuan banyak dan sedikit itu kembali kepada ‘urf (adat).
Ada yang menyatakan : perbuatan yang jika dipandang oleh seseorang dari jauh, yakinlah dia bahwa orang yang mengerjakan perbuatan itu bukan dalam bersalat. Jika kurang dari itu, dipandang sedikit. Adapun perbuatan yang dipandang banyak oleh ‘urf ialah seperti banyak melangkah, beriring-iring dan berulang-ulang.
4. Tertawa terbahak-bahak.
Menurut Ibn Munzir, para ulama telah sepakat bahwa tertawa dapat membatalkan salat. Menurut al-Nawãwī: tertawa yang dimaksud ini ialah tertawa yang nyata lebih daripada dua haraf. Ada yang menyatakan bahwa hanya tertawa terbahak-bahak, maksudnya tertawa yang berlebihan, yang dapat membatalkan salat.
5. Meningggalkan suatu rukun dan syarat dengan sengaja dan tidak ada udzur.
Meninggalkan suatu rukun dan syarat dengan sengaja dan tidak ada udzur akan membatalkan salat. Terjadinya sesuatu yang membatalkan wudhu, menyentuh sesuatu yang najis secara sengaja, membuka aurat secara sengaja dan membelakangi kiblat ketika sedang salat, itu dapat membatalkan salat. Haram atas seseorang yang mengerjakan sesuatu yang merusak salat dengan tidak ada udzur.
Hal-hal di atas dapat membatalkan salat, sehingga orang yang salat itu harus mengulangi salatnya. Demikianlah identifikasi hal-hal yang membatalkan salat dari berbagai perspektif ulama, kemudian data-data dan informasi tersebut menjadi dasar untuk analisa hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita.
BAB III
TINJAUAN REDAKSIONAL HADIS-HADIS TENTANG
TERPUTUSNYA SALAT KARENA MELINTASNYA
ANJING, KELEDAI DAN WANITA
Teks-teks Hadis tentang Terputusnya Salat Karena Melintasnya Anjing, Keledai dan Wanita
Redaksi Hadis-hadis
Salat adalah ritual ibadah umat muslimin terhadap Tuhannya sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah dan mewujudkan ketakwaan kepada Allah. Salat adalah rangkaian ibadah yang berisikan do’a-do’a yang dilaksanakan sesuai ketentuan syariat. Salat adalah hal vital di antara ritual ibadah lainnya. Salat adalah ritual ibadah yang merupakan bentuk komunikasi vertikal antara makhluk dan khalik. Rangkaian ritual ibadah dalam salat bersifat verbal dan non verbal yang memiliki keunikan tersendiri dan sangat berhubungan karena apabila kehilangan salah satu dari rangkaian tersebut maka salat yang dikerjakan dapat dikatakan tidak sah secara hukum karena tidak sesuai ketentuan-ketentuan syariat. Salat adalah ritual ibadah yang kompleks antara gerak jasmani dan ruhani.
Salat dengan berbagai ketentuannya seperti tata cara (kaifiyah) salat, syarat sah salat, rukun-rukun salat, hal-hal yang sunnat dalam salat, hal-hal yang makruh dalam salat, hal-hal yang membatalkan salat, hal itu menjadi ketentuan syariat dengan dalil hukum.
Hadis-hadis Nabi sangat memperhatikan permasalahan hukum. Hadis Nabi adalah penjelasan terperinci tentang konstitusi yang paling pertama dan utama, yakni al-Qur’an baik yang bersifat teoritis ataupun penerapannya secara praksis. Al-Qur’an yang bersifat universal memerlukan penjelasan yang terperinci untuk dataran praksis. Terkait dengan hal tersebut, salat yang merupakan kewajiban ritual ibadah seorang hamba kepada Khalik sebagai sebuah bentuk komunikasi vertikal, tata cara salat (kaifiyah al-şalãt) dijelaskan dengan hadis-hadis Nabi baik berupa ucapan, perbuatan dan taqrir Nabi sebagai teladan umat muslimin.
Ada beberapa tata cara pelaksanaan salat, di antaranya ada ketentuan syariat tentang hal-hal yang membatalkan salat. Sehubungan dengan hal-hal yang membatalkan salat, muncul sebuah hadis yang kontroversial tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita, sehingga perlu pengkajian ulang terhadap pemaknaan hadis tersebut. Hadis-hadis tersebut dimuat dalam Kutub al-Tis’ah. Hadis itu harus dipahami secara tekstual atau kontekstual. Kemudian kandungan hadis tersebut bersifat universal, temporal atau lokal.
Hal yang paling awal adalah pelacakan redaksional hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita. Penulis menggunakan metode takhrīj yang telah digunakan para ulama. Selain itu, penulis juga melakukan takhrīj tersebut dengan menggunakan jasa komputer dengan program CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf yang mampu mengakses 9 (sembilan) kitab sumber primer hadis. Demikian pula halnya dengan nilai hadis tersebut. Setelah diadakan penelusuran hadis-hadis tersebut terdapat dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfãz al- Hadīs melalui kata قطع dan kitab Miftãh Kunūz as-Sunnah dengan term ستر serta menggunakan CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan kata kunci قطع dalam bab şalãt.
Dari pelacakan yang penyusun lakukan dari berbagi kitab hadis melalui kitab al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfãz al-Hãdis, kitab Miftãh Kunūz as-Sunnah dan CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan berdasarkan term-term di atas, yakni قطع dan ستر , maka diperoleh 34 buah hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dalam Kutub al-Tis’ah. Adapun hadis-hadis tersebut dalam Kutub al-Tis’ah adalah Şahīh Bukhărī dalam kitab Şalãt sejumlah 2 buah, dalam Şahīh Muslim terdapat pada kitab Şalãt sejumlah 4 buah, dalam Sunan al-Tirmīżī terdapat pada kitab Şalãt sejumlah 2 buah, dalam Sunan Al-Nasă’ī terdapat pada kitab al-Qiblat sejumlah 2 buah, dalam Sunan Abū Dăwud terdapat pada kitab Şalãt sejumlah 3 buah, dalam Sunan Ibn Măjah terdapat pada kitab al-Iqãmah al-Şalãt wa Sunnah sejumlah 5 buah, dalam Sunan ad-Dărimi terdapat pada kitab Şalãt sejumlah 1 buah dan dalam Musnad Ahmad bin Hanbal sejumlah 15 buah. Jadi, jumlah keseluruhan hadis ada 34 buah.
Periwayatan hadis tersebut satu sama lain terkadang memiliki persamaan di samping adanya perbedaan, baik dalam sanad maupun matan. Maka, apa yang terdapat dalam Şahīh Bukhărī terkadang terdapat pula dalam Şahīh Muslim atau yang lainnya. Penulis akan menyuguhkan hadis-hadis dari masing-masing kitab Kutub al-Tis’ah.
Di sini akan dipaparkan redaksi hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita lengkap dengan sanad dan matannya dengan pengkategorisasian hadis-hadis tersebut dilihat dari redaksi matannya.
Adapun redaksi hadis yang menyatakan bahwa salat dapat terputus karena melintasnya anjing, keledai dan wanita adalah sebagai berikut:
و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا الْمَخْزُومِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ وَهُوَ ابْنُ زِيَادٍ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ الْأَصَمِّ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ الْأَصَمِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْمَرْأَةُ وَالْحِمَارُ وَالْكَلْبُ وَيَقِي ذَلِكَ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Ishak bin Ibrahīm, telah mengkabarkan kepada kami Al-Makhzūmi, telah menceritakan kepada kami Abdul Wãhid ibn Ziyãd, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Abdullah bin Al-A’sham, telah menceritakan kepada kami Yazīd bin Al-A’sham, dari Abū Hurairah berkata: “Rasulullah berkata bahwa salat dapat terputus karena melintasnya wanita, keledai dan anjing jika tidak ada seperti pathok untuk pembatas salat.
حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ أَخْزَمَ أَبُو طَالِبٍ حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ قَتَادَةَ عَنْ زُرَارَةَ بْنِ أَوْفَى عَنْ سَعْدِ بْنِ هِشَامٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ وَالْحِمَار
Artinya:
Telah memberitahukan kepada kami Zaid bin Akhzam Abū Ţhãlib, telah memberitahukan kepada kami Muãż bin Hisyãm, telah memberitahukan kepada kami ayahku, dari Qatadah , dari Zurarah bin Aufa, dari Sa’īd bin Hisyãm, dari Abū Hurairah, dari Nabi saw. beliau bersabda: “Dapat memutuskan salat, yaitu wanita, anjing dan keledai.”
حَدَّثَنَا جَمِيلُ بْنُ الْحَسَنِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى حَدَّثَنَا سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ وَالْحِمَارُ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Jamīl bin Al-Hasan, telah memberitahukan kepada kami Abdul A’lã, telah memberitahukan kepada kami Sa’īd, dari Qatãdah, dari Abdullãh bin Mughaffal, dari Nabi saw. beliau bersabda; “Dapat memutuskan salat yaitu wanita anjing dan keledai.”
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَعِيلَ مَوْلَى بَنِي هَاشِمٍ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا مُعَاذٌ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ يَحْيَى عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَحْسَبُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى غَيْرِ سُتْرَةٍ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلَاتَهُ الْكَلْبُ وَالْحِمَارُ وَالْخِنْزِيرُ وَالْيَهُودِيُّ وَالْمَجُوسِيُّ وَالْمَرْأَةُ وَيُجْزِئُ عَنْهُ إِذَا مَرُّوا بَيْنَ يَدَيْهِ عَلَى قَذْفَةٍ بِحَجَرٍ قَالَ أَبمو دَاومد فِي نَفْسِي مِنْ هَذَا الْحَدِيثِ شَيْءٌ كُنْتُ أُذَاكِرُ بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَغَيْرَهُ فَلَمْ أَرَ أَحَدًا جَاءَ بِهِ عَنْ هِشَامٍ وَلَا يَعْرِفُهُ وَلَمْ أَرَ أَحَدًا يُحَدِّثُ بِهِ عَنْ هِشَامٍ وَأَحْسَبُ الْوَهْمَ مِنِ ابْنِ أَبِي سَمِينَةَ يَعْنِي مُحَمَّدَ بْنَ إِسْمَعِيلَ الْبَصْرِيَّ مَوْلَى بَنِي هَاشِمٍ وَالْمُنْكَرُ فِيهِ ذِكْرُ الْمَجُوسِيِّ وَفِيهِ عَلَى قَذْفَةٍ بِحَجَرٍ وَذِكْرُ الْخِنْزِيرِ وَفِيهِ نَكَارَةٌ قَالَ أَبمو دَاومد وَلَمْ أَسْمَعْ هَذَا الْحَدِيثَ إِلَّا مِنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْمَعِيلَ بْنِ أَبِي سَمِينَةَ وَأَحْسَبُهُ وَهِمَ لِأَنَّهُ كَانَ يُحَدِّثُنَا مِنْ حِفْظِهِ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismã’il maula Bani Hãsyim al-Başri, telah menceritakan kepada kami Muãż, telah menceritakan kepada kami Hisyãm, telah menceritakan kepada kami Yahyã dari Ikrimah dari Ibnu ‘Abbãs ra. berkata: aku menduganya hal itu dari Rasulullah saw. yang mengatakan bahwa apabila seseorang mengerjakan salat tanpa satir, maka salatnya dapat terputus oleh anjing, keledai, babi, orang yahudi, orang majusi dan wanita. Dan cukup baginya (tanpa satir), apabila mereka menyeberang di depannya sejauh lemparan batu. Kata Abū Dãwud: Aku mendengar hadis ini hanyalah dari Muhammad bin Ismã’il Al-Başri (bin Abi Saminah guru Abū Dãwud) dan aku kira dia membayangkan (waham) karena dia biasannya menuturkan hadis kepada kami dari hafalannya.
Adapun redaksi hadis yang menyatakan bahwa salat dapat terputus karena melintasnya wanita haid dan anjing adalah sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنِي شُعْبَةُ وَهِشَامٌ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ قُلْتُ لِجَابِرِ بْنِ زَيْدٍ مَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ قَالَ كَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَقُولُ الْمَرْأَةُ الْحَائِضُ وَالْكَلْبُ قَالَ يَحْيَى رَفَعَهُ شُعْبَة ُ
Artinya:
Telah memberitahukan kepada kami Amr bin Alī, telah memberitahukan kepada kami Yahyã bin Sa’īd, telah memberitahukan kepada kami Syu’bah dan Hisyãm dari Qatãdah berkata, Aku telah mengatakan kepada Jãbir bin Zaid: Apa yang biasa memutuskan seseorang dari salatnya? Jawab Jãbir: Ibnu Abbãs pernah berkata: Yang biasa memutuskan seseorang dari salatnya adalah wanita haid dan anjing. Yahyã berkata bahwa Syu’bah memarfu’kannya.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ خَلَّادٍ الْبَاهِلِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ حَدَّثَنَا جَابِرُ بْنُ زَيْدٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ وَالْمَرْأَةُ الْحَائِض ُ
Artinya:
Telah memberitahukan kepada kami Abū Bakar bin Kholãd al-Bãhilī, telah memberitahukan kepada kami Yahyã bin Sa’īd, telah memberitahukan kepada kami Syu’bah, telah memberitahukan kepada kami Qatãdah, telah memberitahukan kepada kami Jãbir bin Zaid dari Ibn ‘Abbãs dari Nabi saw. bersabda: “Yang dapat memutuskan salat adalah anjing hitam dan wanita yang sudah balig-usia haid-.”
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ زَيْدٍ يُحَدِّثُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَفَعَهُ شُعْبَةُ قَالَ يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْمَرْأَةُ الْحَائِضُ وَالْكَلْبُ قَالَ أَبمو دَاومد وَقَفَهُ سَعِيدٌ وَهِشَامٌ وَهَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ عَلَى ابْنِ عَبَّاس
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah memceritakan kepada kami Yahyã, dari Syu’bah, telah menceritakan kepada kami Qatãdah berkata: “Aku mendengar Jãbir bin Zaid diberitahu oleh Ibn Abbãs (dinyatakan marfu’ oleh Syu’bah), dia berkata: “Yang memutuskan salat itu, wanita haid (dewasa) dan anjing. Kata Abū Dãwud hadis ini dinyatakan mauqūf kepada Ibnu ‘Abbãs ra. oleh Sa’īd, Hisyãm dan Hammãm dari Qatãdah dari Jãbir bin Zaid.
حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ قَالَ حَدَّثَنِي قَتَادَةُ عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ يَحْيَى كَانَ شُعْبَةُ يَرْفَعُهُ يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْكَلْبُ وَالْمَرْأَةُ الْحَائِض ُ
Artinya:
Telah memberitahukan kepada kami Yahyã, dari Syu’bah berkata: telah menceritakan kepadaku Qatãdah, dari Jãbir bin Zaid, dari Ibn ‘Abbãs berkata (Yahyã telah mengatakan bahwa Syu’bah me-marfu’-kan hadis tersebut) : Yang biasa memutuskan seseorang dari salatnya adalah anjing dan wanita haid.
Adapun redaksi hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya keledai, wanita dan anjing hitam adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ ابْنُ عُلَيَّةَ قَالَ ح و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ يُونُسَ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ هِلَالٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الصَّامِتِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلَاتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ الْأَسْوَدُ قُلْتُ يَا أَبَا ذَرٍّ مَا بَالُ الْكَلْبِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْكَلْبِ الْأَحْمَرِ مِنَ الْكَلْبِ الْأَصْفَرِ قَالَ يَا ابْنَ أَخِي سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا سَأَلْتَنِي فَقَالَ الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ شَيْطَانٌ حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ قَالَ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا وَهْبُ بْنُ جَرِيرٍ حَدَّثَنَا أَبِي قَالَ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ أَيْضًا أَخْبَرَنَا الْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ سَمِعْتُ سَلْمَ بْنَ أَبِي الذَّيَّالِ قَالَ ح و حَدَّثَنِي يُوسُفُ بْنُ حَمَّادٍ الْمَعْنِيُّ حَدَّثَنَا زِيَادٌ الْبَكَّائِيُّ عَنْ عَاصِمٍ الْأَحْوَلِ كُلُّ هَؤُلَاءِ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ هِلَالٍ بِإِسْنَادِ يُونُسَ كَنَحْوِ حَدِيثِهِ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Abū Bakar bin Abī Syaibah, telah menceritakan kepada kami Ismã’il bin Uliyah berkata, dan telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb, telah menceritakan kepada kami Ismã’il bin Ibrahīm, dari Yūnus, dari Humaid bin Hilãl, dari Abdullãh bin al-Şãmit dari Abī Żar berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika seseorang berdiri untuk salat maka harus memberikan batas di antara kiblat dan orang yang salat semacam tiang kayu. Jika tidak ada semacam tiang kayu sebagai pembatas, maka salat dapat terputus karena melintasnya keledai, wanita dan anjing hitam, lalu aku bertanya kepada Abī Żar: apa yang membedakan anjing hitam dengan anjing merah atau anjing kuning. Ia berkata: “wahai anak saudaraku”: aku bertanya kepada Rasulullah saw. seperti yang telah kamu tanyakan kepadaku lalu beliau bersabda: anjing hitam itu adalah setan.Telah menceritakan juga kepada kami Syaibãn Furrūkh, telah menceritakan kepada kami Sulaimãn bin Mughīrah berkata dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Musannã dan Ibn Basyãr berkata bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dan telah menceritakan kepada kami Ishãk bin Ibrahīm, telah mengkabarkan kepada kami Wahb bin Jarīr, telah menceritakan kepada kami ayahnya berkata, telah menceritakan juga kepada kami Ishãk, telah mengkabarkan kepada kami al-Muktamir bin Sulaimãn berkata aku telah mendengar Salm bin Abī al-Dayyãl berkata, telah menceritakan kepada kami Yūsuf bin Hammãd al-Ma’niy, telah menceritakan kepada kami Ziyãd al-Bakkãi, dari ‘Āshim, kredibilitas mereka dari Humaid bin Hilãl dengan jalur sanad dari Yūnus seperti hadis yang diriwayatkannya.
حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ أَخْبَرَنِي حُمَيْدُ بْنُ هِلَالٍ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الصَّامِتِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْطَعُ صَلَاةَ الرَّجُلِ إِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ كَآخِرَةِ الرَّحْلِ الْمَرْأَةُ وَالْحِمَارُ وَالْكَلْبُ الْأَسْوَدُ قُلْتُ مَا بَالُ الْأَسْوَدِ مِنَ الْأَحْمَرِ قَالَ ابْنَ أَخِي سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا سَأَلْتَنِي فَقَالَ الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ شَيْطَانٌ
Artinya:
Telah memberitahukan kepada kami ‘Affãn, telah memberitahukan kepada kami Syu’bah, telah mengkabarkan kepadaku Humaid bin Hilãl, telah mendengar Abdullãh bin Al-Şãmit dari Abū Żar berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: Yang dapat memutuskan salat, adalah wanita, keledai dan anjing hitam bila di depan seorang yang salat tidak ada semacam tiang untuk pembatas salat,. Lalu Abdullãh bin al-Şãmit bertanya: “apa yang membedakan antara anjing hitam dan anjing merah?” Lalu Abū Żar menjawab: “Aku telah menanyakan kepada Rasulullah seperti yang engkau tanyakan kepadaku itu. Kemudian beliau Nabi bersabda: “anjing hitam adalah setan.”
Adapun redaksi hadis yang menyatakan bahwa wanita tidak dapat memutuskan salat adalah sebagai berikut :
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبِي قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ قَالَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ عَنِ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ ح قَالَ الْأَعْمَشُ وَحَدَّثَنِي مُسْلِمٌ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ ذُكِرَ عِنْدَهَا مَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْكَلْبُ وَالْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ فَقَالَتْ شَبَّهْتُمُونَا بِالْحُمُرِ وَالْكِلَابِ وَاللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَإِنِّي عَلَى السَّرِيرِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ مُضْطَجِعَةً فَتَبْدُو لِيَ الْحَاجَةُ فَأَكْرَهُ أَنْ أَجْلِسَ فَأُوذِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْسَلُّ مِنْ عِنْدِ رِجْلَيْهِ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Hafs bin Ghiyãś berkata, telah menceritakan kepada kami Abi (ayahku) berkata, telah menceritakan kepada kami al-A’masy berkata, telah menceritakan kepada kami Ibrahīm, dari al-Aswãd dari ‘Āisyah: Disebut dekat ‘Āisyah beberapa hal yang dapat memutuskan salat adalah anjing, keledai dan wanita, jika melintas di hadapan orang yang salat maka ‘Āisyah berkata: “Tuan-tuan samakan (wanita) dengan keledai dan anjing. Demi Allah, sesungguhnya aku melihat Nabi saw. salat dan aku berbaring di atas tempat tidur antara Nabi dan kiblat (di hadapan Nabi), kemudian ada bagiku suatu keperluan dan aku tidak suka duduk mengganggu Nabi saw., lalu aku turun dengan perlahan-lahan ke dekat kaki Nabi.”
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ خَلِيلٍ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ عَنِ الْأَعْمَشِ عَنْ مُسْلِمٍ يَعْنِي ابْنَ صُبَيْحٍ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهُ ذُكِرَ عِنْدَهَا مَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ فَقَالُوا يَقْطَعُهَا الْكَلْبُ وَالْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ قَالَتْ لَقَدْ جَعَلْتُمُونَا كِلَابًا لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَإِنِّي لَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ وَأَنَا مُضْطَجِعَةٌ عَلَى السَّرِيرِ فَتَكُونُ لِيَ الْحَاجَةُ فَأَكْرَهُ أَنْ أَسْتَقْبِلَهُ فَأَنْسَلُّ انْسِلَالًا وَعَنِ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنِ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ نَحْوَهُ *
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Ismã’il bin Kholīl, telah menceritakan kepada kami Alī bin Mushir, dari al-A’masyī dari Muslim bin Shubaih, dari Masyruq, dari ‘Āisyah: disebut dekat ‘Āisyah beberapa hal yang memutuskan (merusak) salat, yaitu anjing, keledai dan wanita, maka ‘Āisyah berkata: “Benar-benar telah engkau serupakan kami dengan anjing. Sesungguhnya aku telah melihat Nabi saw. salat dan aku berbaring di atas tempat tidur di antara Nabi dan kiblat kemudian ada bagiku suatu keperluan dan aku tidak suka duduk mengganggu Nabi saw., lalu aku turun dengan perlahan-lahan ke dekat kaki Nabi.” Dan dari jalur lain dari al-A’masyi, dari Ibrahīm, dari al-Aswãd, dari ‘Āisyah menyebutkan hadis yang serupa.
و حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَفْصٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ مَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ قَالَ فَقُلْنَا الْمَرْأَةُ وَالْحِمَارُ فَقَالَتْ إِنَّ الْمَرْأَةَ لَدَابَّةُ سَوْءٍ لَقَدْ رَأَيْتُنِي بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُعْتَرِضَةً كَاعْتِرَاضِ الْجَنَازَةِ وَهُوَ يُصَلِّي *
Artinya:
Telah menceritakan kepadaku ‘Amr bin Alī, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abū Bakar bin Hafs, dari ‘Urwah bin Zubair berkata: Āisyah bertanya: “apa yang dapat memutuskan salat, maka kami menjawab wanita dan keledai, lalu ‘Āisyah berkata: “Sesungguhnya wanita itu seperti binatang melata. Aku benar-benar telah melihat Nabi saw. salat, aku terbaring seperti melintangnya jenazah.
حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ مُسْلِمٍ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ وَحَدَّثَنَاهُ عَنِ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنِ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَ بَلَغَهَا أَنَّ نَاسًا يَقُولُونَ يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْكَلْبُ وَالْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ فَقَالَتْ عَائِشَةُ عَدَلْتُمُونَا بِالْكِلَابِ وَالْحَمِيرِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مُقَابِلَ السَّرِيرِ وَأَنَا عَلَيْهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ فَتَكُونُ لِيَ الْحَاجَةُ فَأَنْسَلُّ مِنْ قِبَلِ رِجْلِ السَّرِيرِ كَرَاهِيَةَ أَنْ أَسْتَقْبِلَهُ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ حَدَّثَنَا قُطْبَةُ فَذَكَرَهُمَا جَمِيعًا وَقَالَ رِجْلَيِ السَّرِيرِ
Artinya:
Telah memberitahukan kepada kami Ibn Numair, telah memberitahukan kepada kami Al-A’masy, dari Muslim, dari Masyruq dari ‘Āisyah dan telah memberitahukan kepada kami Al-A’masy, dari Ibrahīm, dari Al-Aswãd, dari ‘Āisyah berkata: sesungguhnya orang-orang mengatakan bahwa Yang dapat memutuskan salat adalah anjing, keledai dan wanita, maka Aisyah berkata: “Kamu serupakan diri kami (wanita) dengan anjing dan keledai? Aku benar-benar telah melihat Rasulullah salat menghadap kiblat dan aku berada diantara Nabi dan kiblat. Lalu aku ada keperluan maka aku pelan menurunkan kakiku dari tempat tidur dan aku tidak suka menganggunya.” Telah memberitahukan kepada kami Yahyã bin Ādam, telah memberitahukan kepada kami Qutbah, mereka berkata: kaki itu berada di tempat tidur.
Demikianlah redaksi hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita yang dipaparkan berdasarkan matan hadis tersebut agar memudahkan penelitian ini. Hal itu bentuk kajian ini adalah ma’ãnī al-hadīs.
Kritik Historis
Dari sekian banyak jalur periwayatan yang terdapat dalam kutub al-tis’ah sebagaimana telah disebutkan di atas, tampak bahwa hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita tampak sekilas bertentangan. Secara tekstual, ada hadis yang menyatakan bahwa salat terputus dengan melintasnya anjing, keledai dan wanita, tidak terputusnya salat dengan melintasnya anjing, keledai dan wanita dan tidak terputusnya salat dengan melintasnya anjing, keledai dan wanita jika terdapat pembatas salat. Ada pula yang menjelaskan bahwa hadis ‘Āisyah menaskh hadis Abu Żar.
Setelah diteliti, ternyata hadis-hadis tentang terputusnya salat dengan melintasnya anjing, keledai dan wanita itu adalah hadis riwãyah bi al-ma’nã. Ada beberapa hadis-hadis tersebut yang mendiskursuskan pada anjing hitam dan wanita haid saja. Hadis yang diriwayatkan ‘Āisyah bahwa ‘Āisyah pernah tidur berbaring di depan Nabi saw. ketika beliau sedang salat.
Dengan demikian, peneliti sebelum memberikan kajian pemaknaan terhadap matan hadis, mencoba untuk mengungkap sedikit tentang kredibilitas periwayat hadis dari berbagai runtutan sanadnya secara sekilas. Hal ini dilakukan untuk menyelesaikan pertentangan dalam hadis tersebut. Implikasinya, Setelah nantinya taufīq (pengkompromian) dan nãsikh-mansūkh tidak dapat dilakukan, maka hadis-hadis tersebut dapat dilakukan tarjīh lewat sanad dan matan.
Hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dimuat dalam Şahīh Bukhărī dan Şahīh Muslim yang telah dijamin kesahihannya, namun kemudian peneliti melacak kesahihannya dengan CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf menunjukkan bahwa hadis tersebut adalah hadis sahih dengan jalur periwayatan ‘Āisyah dengan adanya persambungan sanad, tidak ada illat dan syuzuz dalam hadis tersebut. Namun dalam hadis lainnya dalam Sahīh Bukhărī dengan jalur periwayatan ‘Āisyah yang lain bahwa Hafs bin Ghiyãś adalah periwayat yang śiqah, terpercaya, tetapi ia sering melakukan tadlīs dari penilaian Muhammad bin Sa’ad. Ternyata, Muhammad bin Sa’ad bukanlah seorang kritikus yang śiqah dan dapat dipercaya. Ia memiliki keterbelakangan dibanding kritikus lainnya. Adapun bentuk hadis tersebut berupa hadīs fi’liyyah.
Hal yang serupa ditemukan dalam kitab Şahīh Muslim. Dalam Şahīh Muslim ada 4 hadis yang relevan dengan tema, ketiga hadis di antaranya dengan jalur periwayatan dari Abū Hurairah dan ‘Āisyah adalah hadis yang sahih yang ada persambungan sanad, ada kemungkinan pertemuan antara periwayat dan seluruh periwayatnya śiqah. Namun salah satu hadis dalam Şahīh Muslim dari jalur periwayatan ‘Āisyah juga terdapat informasi bahwa Hafs bin Ghiyãś adalah periwayat yang śiqah, terpercaya, tetapi pernah men-tadlīs dari penilaian Muhammad bin Sa’ad. Setelah diteliti, hadis tersebut berbentuk hadis qauliyyah yang dari jalur Abū Hurairah dan hadīs fi’liyyah dari jalur periwayatan ‘Āisyah.
Adapun dalam hadis yang dimuat dalam Sunan al-Tirmiżī dengan jalur periwayatan dari Abū Żar bahwa hadis tersebut berstatus hadis hasan sahīh karena ada pentadlisan pada sanadnya yakni Husyaim, ia adalah periwayat yang śiqah, kuat hafalannya, namun banyak pen-tadlīs-annya. Abū Żar sebagai periwayat pertama adalah seorang sahabat Nabi yang diperselisihkan namanya, namun ia adalah orang yang jujur dan seorang yang tinggi tingkat keadilan dan ke-śiqah-annya. Hadis tersebut menyatakan bahwa salat dapat terputus karena melintasnya anjing, keledai dan wanita jika tidak ada pembatas salat, seperti dinding, batu atau yang lainnya. Redaksi matan hadis tersebut dilanjutkan adanya pengkhususan pada anjing hitam. Kemudian muncul pertanyaan apa yang membedakan antara anjing hitam, anjing merah, anjing kuning dan anjing putih. Abū Żar dalam meriwayatkan hadis ini, di-takhrīj oleh Muslim, Ibn Mãjah, Tirmiżī, Nasã’i dan Abū Dãwud.
Kemudian dalam hadis yang lain dimuat dalam Sunan al-Tirmiżī dengan jalur periwayatan dari Ibn Abbãs menyatakan bahwa anjing, keledai dan wanita tidak dapat memutuskan salat, namun suatu ketika ada anak kambing yang melintas maka Rasulullah bergeser maju ke arah kiblat. Ternyata hadis tersebut berupa hadīs mauqūf, yang seluruh periwayat dalam runtutan sanadnya adalah periwayat yang śiqah dan kuat ingatannya. Hadis-hadis Ibn Abbãs tersebut di-takhrīj oleh Abū Dãwud, Ibn Mãjah dan Ahmad.
Dalam Sunan Abī Dãwud, hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita terdapat tiga hadis, dua hadis di antaranya dengan jalur periwayatan dari Ibn Abbãs dan satu diantaranya dengan jalur periwayatan dari Abū Żar. Kesemuanya adalah hadīs marfū’, adanya persambungan sanad dan seluruh periwayatnya śiqah, kuat hafalannya dan dapat dipercaya. Adapun redaksi hadisnya dari jalur periwayatan Ibn Abbãs bahwa salat dapat terputus karena melintasnya anjing, keledai, babi, Yahudi, Majusi dan wanita jika tidak ada satir adalah hadīs qauliyyah yang seluruh periwayatnya adalah śiqah dan kuat ingatannya dan runtutan sanadnya muttasil, tidak ada keterputusan sanad, ada yang mengkhususkan pada wanita haid dan anjing saja yang jelas ada persambungan sanad dengan periwayat-periwayat terpercaya ke-śiqah-annya.
Dalam periwayatan Ibn Abbãs yang lain dari Abī al-Sahbak, ada persambungan sanad, ada pertemuan antar periwayat dan seluruh periwayatnya śiqah kecuali Abī al-Sahbak adalah orang yang lemah dari penilaian an-Nasã’ī sedangkan Abī Zur’ah, ar-Rãzi dan Ibn Hibbãn menilainya sebagai orang yang tsiqah yang mana redaksi hadis tersebut menyatakan bahwa Ibn Abbãs pernah melintas di depan sekelompok orang yang salat dengan menunggangi kuda dan tidak menjadi batal salat mereka karenanya. Adapun hadis yang dari jalur periwayatan dari Abū Żar dari Abdullãh bin al-Şãmit sampai periwayat terakhir adalah periwayat yang terkenal dengan ke-dabit-annya. Selain itu Abdul al-Salãm sebagai periwayat kelima memiliki mutãbi’, yaitu Syu’bah bin al-Hajjãj dan Muhammad bin al-Katsīr.
Dalam Sunan Ibn Mãjah, hadis-hadis tentang terputusnya salat terdapat 5 buah hadis. Hadis-hadis dengan jalur periwayatan dari Ibn Abbãs, Abū Hurairah dan Abū Żar adalah hadīs marfū’, ada persambungan sanad, seluruh periwayatnya adalah orang-orang śiqah. Hadis-hadis tersebut berupa hadīs qauliyyah. Namun dari jalur periwayatan dari Ibn Abbãs dari al-Hasan al-‘Urani ada keterputusan sanad dilihat dari jarak masa hidupnya yang begitu jauh dan tahammul wa al-adã’-nya dengan عن . Al-Hasan al-‘Urani adalah seorang yang śiqah, sehingga hadis ini masih kuat kedudukannya. Selanjutnya dari jalur periwayatan dari ‘Abdullãh bin Mughaffal, runtutan sanad dari periwayat al-Hasan dan Sa’īd dinilai oleh ‘Abdullãh bin Sa’īd keduanya sebagai seorang yang śiqah, namun kadang ia melakukan tadlīs dan di akhir umurnya terdapat ikthilãt dalam meriwayatkan hadis.
Dalam Sunan al-Darimi terdapat sebuah hadis yang menjelaskan bahwa salat dapat terputus karena melintasnya anjing hitam, keledai dan wanita jika tidak ada satir. Adapun mengenai sanadnya, kesemua periwayat adalah periwayat yang śiqah, terpercaya dan kuat ingatannya. Runtutan sanadnya tidak ada keterputusan, jelas ada persambungan sanad dilihat dari berbagai sisi dari hubungan guru-murid, masa kehidupannya, tempat tinggalnya, dan tahammul wa al-‘adã-nya.
Hadis-hadis yang menyatakan bahwa salat dapat terputus karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dari Abū Hurairah tersebut memiliki syãhid, yaitu Ibn Abbãs, Abū Żar dan Abdullãh bin Mughaffal. Sedangkan hadis dari jalur periwayatan ‘Āisyah yang menyatakan Nabi pernah salat dalam keadaan ‘Āisyah tidur berbaring di depannya tidak memiliki syãhid, namun ia adalah seorang istri Nabi yang paling dekat dengan diri Nabi dan terkenal dengan ke-dabit-annya, sehingga periwayatannya tidak diragukan lagi.
Kemudian hadis-hadis yang periwayatnya ada yang terdapat tadlīs, apabila periwayat lainnya dari musyãhid dan mutãbi’ adalah śiqah maka tadlis ini terkalahkan oleh periwayat yang śiqah. Maka hadis-hadis tersebut menjadi kuat, dianggap dapat memenuhi kriteria sanad yang muttasil. Sehingga hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dapat diterima kredibilitas periwayatnya sehingga hadis-hadis tersebut dapat berstatus şahīh dan ada pula yang menyatakan hasan şahīh. Akhirnya problem yang urgen selanjutnya adalah bagaimana pemaknaan terhadap hadis tersebut.
Setelah diteliti secara jeli dan cermat, ternyata hadis tentang terputusnya salat yang dilintasi anjing, keledai dan wanita ini tidak diketemukan dalam kitab Şahīh Bukhãrī. Tetapi hadis ini terdapat dalam kitab Şahīh Muslim, Sunan Abī Dãwud, Sunan an-Nasã’ī, Sunan at-Tirmiżi, Sunan Ibn Mãjah, Sunan ad-Dãrimi dan Musnad Ahmad bin Hanbal. Dalam kitab Şahih Bukhãrī hanya terdapat hadis ‘Āisyah yang menyangkal atau menyanggah kebenaran hadis tersebut. Begitu pula hadis ‘Āisyah ini terdapat dalam kitab Şahīh Muslim dan Musnad Ahmad bin Hanbal. Dengan demikian, penjelasan tentang hadis ini bisa dideskripsikan dua materi hadis yang saling bertentangan. Dengan demikian perlu adanya penyelesaian terhadap hadis tersebut.
Setelah diketahui kedudukan dan posisi hadis tersebut ternyata sama-sama kuatnya, namun ternyata hadis-hadis yang menjelaskan terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita lebih kuat dibanding yang lainnya karena hadis itu berupa hadīs qauliyyah. Di samping itu hadis tersebut memiliki banyak syãhid dan mutãbi’ yang menjadi penguat hadis tersebut. Meskipun salah satu periwayatnya terdapat tadlīs dari periwayatan Abū Żar yang hanya dimuat dalam Sunan Abū Dãwud, namun keseluruhan periwayatnya adalah śiqah, sehingga kredibilitas periwayat tetap saja dapat diterima. Meskipun demikian perlu diperhatikan juga hadis dari Aisyah yang merupakan sanggahan dan bantahan dari hadis-hadis tersebut yang berupa hadīs fi’liyyah. Di mana ‘Āisyah adalah seorang istri Nabi yang dekat dengan sosok Nabi dan juga kredibilitasnya dalam periwayatan hadis tidak diragukan kevalidannya.
Hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita itu memiliki banyak periwayatnya dengan berbagai jalur sanad yang berlainan. Dalam menilai hadis semakin banyak periwayatnya dengan jalur sanad yang berlainan maka berarti bahwa semakin tinggi pula nilai hadis tersebut karena banyaknya orang yang meriwayatkan hadis tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa hadis yang dimaksud memiliki nilai lebih dilihat dari kekuatannya , sehingga kredibilitas periwayat tetap saja dapat diterima.
Dengan demikian, hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita sebagaimana penilaian dari ulama dan penelusuran penulis melalui CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf, maka hadis tersebut berstatus hadīs sahīh dan ada pula yang menyatakan hadīs hasan, maka telah layak untuk diteliti pemaknaan hadis tersebut dengan metode Ma’ănī al-Hadīs.
B. Kritik Eidetis
Setelah mengetahui redaksi matan hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita tersebut, maka langkah selanjutnya adalah memaparkan dan menjelaskan pemaknaan hadis secara tepat, proporsional dan komprehensif melalui kajian lingustik, kajian tematik-komprehensif dan kajian konfirmatif. Dalam memahami hadis tersebut, digunakan tiga analisis yaitu analisis makna, analisis sosio historis dan analisis generalisasi.
Pemaknaan matan hadis sebagai upaya untuk merefleksikan teks terhadap konteks kekinian sehingga dapat diperoleh pemahaman yang tepat. Sehingga implikasinya dapat dirasakan dalam kehidupan sekarang.
1. Kritik Linguistik
Dalam memahami matan hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita, penulis menggunakan pendekatan bahasa (linguistik), historis dan sosiologis. Dalam hal ini, penulis mempertimbangkan teks-teks hadis-hadis lain yang relevan (kajian tematik-komprehensif) sebagai penjelas dan atau pendukung hadis yang diteliti. Di samping itu, juga konfirmasi makna yang diperoleh melalui petunjuk-petunjuk al-Qur’an dan hadis lain.
Dalam hubungannya dengan al-sunnah sebagi hujjah, para ulama telah menetapkan hadis-hadis yang berstatus şahīh, hasan dan da’īf dengan syarat-syarat tertentu, baik dari segi sanad maupun matan.
Dalam mengkaji sebuah hadis, kritik matan baru dapat dilakukan setelah kritik sanad. Setelah dari sanadnya telah terbukti hadis tersebut berstatus şahīh dan hasan, maka dilanjutkan dengan kritik matan. Matan hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita adalah hadis yang bertentangan dengan memiliki berbagai versi sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Selain itu, ada problem kebahasaan (linguistik) dalam redaksi hadis tersebut. Di sinilah problem pemaknaan terhadap hadis perlu dikaji ulang.
Jika hadis-hadis tersebut dicermati, dapat diketahui bahwa hadis itu memiliki banyak versi dalam redaksi hadisnya. Perbedaan lafal yang diriwayatkan oleh dua orang yang berbeda merupakan hal yang wajar, namun yang menjadi kejanggalan jika terdapat lafal matan yang berbeda dan bertentangan, sehingga perlu diteliti dan dianalisis untuk memberikan pemaknaan dan pemahaman yang tepat, proporsional dan komprehensif.
Pada hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhãrī dengan jalur dari ‘Āisyah menggunakan lafal sebagai berikut :
مَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْكَلْبُ وَالْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ فَقَالَتْ شَبَّهْتُمُونَا بِالْحُمُرِ وَالْكِلَابِ وَاللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَإِنِّي عَلَى السَّرِيرِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ مُضْطَجِعَةً فَتَبْدُو لِيَ الْحَاجَةُ فَأَكْرَهُ أَنْ أَجْلِسَ فَأُوذِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْسَلُّ مِنْ عِنْدِ رِجْلَيْهِ
dan dalam jalur yang lain dari ‘Āisyah yang diriwayatkan al-Bukhãrī adalah :
مَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ فَقَالُوا يَقْطَعُهَا الْكَلْبُ وَالْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ قَالَتْ لَقَدْ جَعَلْتُمُونَا كِلَابًا لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَإِنِّي لَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ وَأَنَا مُضْطَجِعَةٌ عَلَى السَّرِيرِ فَتَكُونُ لِيَ الْحَاجَةُ فَأَكْرَهُ أَنْ أَسْتَقْبِلَهُ فَأَنْسَلُّ انْسِلَالًا وَعَنِ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنِ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ نَحْوَهُ
Dua redaksi hadis di atas menjelaskan bahwa beberapa periwayat hadis mengatakan bahwa salat terputus karena melintasnya anjing, keledai dan wanita lalu ‘Āisyah menyanggah hadis tersebut dengan mengatakan adanya penyerupaan wanita dengan anjing dengan argumen bahwa Nabi pernah salat sedangkan ‘Āisyah berbaring di tempat tidur di antara Nabi dan kiblat lalu ‘Āisyah ada suatu keperluan, ‘Āisyah tidak suka menganggu Nabi, kemudian turun berlahan-lahan ke dekat kedua kaki Nabi. Di sinilah Rasulullah tidak menyuruh ‘Āisyah untuk berpindah tempat dari hadapan Nabi, itu hanya inisiatif dari ‘Āisyah agar tidak mengganggu salat Nabi.
Mengenai redaksi matan dari hadis-hadis Abū Hurairah, Abū Żar dan Ibn Abbãs amat variatif, namun intinya kesemuanya menyatakan bahwa salat dapat terputus karena melintasnya anjing, keledai dan wanita, namun nantinya dalam redaksinya yang berbeda-beda, ada pengkhususan untuk jenis anjing atau wanitanya yang dapat memutuskan salat dalam berbagai riwayat tertentu. Adapun redaksi matan dari jalur periwayatan Abū Hurairah adalah:
يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْمَرْأَةُ وَالْحِمَارُ وَالْكَلْبُ وَيَقِي ذَلِكَ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ
Adapun redaksi matan dari jalur periwayatan Abū Żar adalah:
إِذَا صَلَّى الرَّجُلُ وَلَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ كَآخِرَةِ الرَّحْلِ أَوْ كَوَاسِطَةِ الرَّحْلِ قَطَعَ صَلَاتَهُ الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ وَالْمَرْأَةُ وَالْحِمَارُ فَقُلْتُ لِأَبِي ذَرٍّ مَا بَالُ الْأَسْوَدِ مِنَ الْأَحْمَرِ مِنَ الْأَبْيَضِ فَقَالَ يَا ابْنَ أَخِي سَأَلْتَنِي كَمَا سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ شَيْطَانٌ
Adapun redaksi matan hadis yang jalur periwayatan dari Ibn Abbãs diantaranya adalah:
يَقْطَعُ صَلَاتَهُ الْكَلْبُ وَالْحِمَارُ وَالْخِنْزِيرُ وَالْيَهُودِيُّ وَالْمَجُوسِيُّ وَالْمَرْأَةُ وَيُجْزِئُ عَنْهُ إِذَا مَرُّوا بَيْنَ يَدَيْهِ عَلَى قَذْفَةٍ بِحَجَرٍ
يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ وَالْمَرْأَةُ الْحَائِضُ
Diteliti secara lafal hadis, قطع bermakna memotong, memutuskan membatalkan, menghentikan. Al-Syãfi’i, Mãlik dan Abū Hanifah dalam Şahīh Muslim mengatakan bahwa makna قطع الصلاة dalam hadis tersebut adalah merusak salat, yakni mengurangi essensi dan substansi salat artinya mengurangi kekonsentrasian dan kekhusyukan salat, tidak sampai pada level membatalkan salat. Menurut Abū Abdillãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwīnī bahwa lafal قطع الصلاة dalam hadis tersebut bermakna membatalkan salat artinya di sini harus ada pengulangan salat dengan adanya 3 hal yang membatakan salat tersebut.
Problem selanjutnya adalah lafal اسواد , اصفر , ابيض dan احمر , apa yang sebenarnya rahasia warna pada anjing tersebut dan apa yang membedakan antara anjing hitam, anjing kuning dan anjing merah. Hitam, merah dan kuning adalah variasi warna-warna sebuah materiil.
Dalam sebuah riwayat bahwa anjing hitam adalah ibarat dari setan. Setan yang akan mengganggu kekhusyukan salat. Anjing hitam sebagai simbol dari setan yang akan menganggu salat. Setan berasal dari kata syaţana, syaţnan, syaiţãn. Ada yang mengatakan syaiţãn berwazan fi’alan dan ada pula yang menyebutkan berwazan fa’lan dan nunnya adalah zaidah. Adapun bentuk jama’ dari syaiţãn adalah syayaţīn.
Kemudian makna dari syaiţãn ( شيطا ن ) adalah menentang, menyalahi, menjauhkan dari kebaikan, menyimpang, membangkang, durhaka, berbuat seperti perbuatan setan, perbuatan kejahatan, ruh jahat, iblis dan setan jahat. Ada pula yang memaknai syaţanu ( شطن ) adalah mengikat dengan tali yang panjang, jika dalam bentuk lafal syãţinun ( شا طن ) adalah jauh dari kebaikan, yang keji, yang memiliki hawa nafsu. Setan adalah makhluk hidup yang memiliki pengetahuan, yang dapat berupa jin, manusia atau binatang. Di sini setan berupa wujud makhluk, yang berbentuk jin, iblis atau manusia. Ada pula yang memaknai setan sebagai perbuatan yang jahat, jauh dari kebaikan, yang dapat menimpa setiap makhluk dengan dihinggapi oleh perbuatan jahat itu.
Setan secara sempit dimaknai makhluk sejenis jin atau iblis yang memiliki sifat-sifat jahat dan hanya diliputi oleh nafsu. Kemudian anjing hitam hanyalah sebagai simbol makhluk yang memiliki sifat-sifat jahat (setan). Sehingga makna dari anjing hitam itu adalah setan sebagaimana pemaknaan di atas.
Dalam sebuah hadis lain disebutkan juga bahwa anjing hitam adalah simbol dari setan yang diperintahkan untuk dibunuhnya. Anjing hitam itu adalah salah satu wujud dari setan. Setan adalah salah satu bentuk dari jin. Kemudian anjing hitam adalah ibarat dari setan yang selalu membawa pada perbuatan kejahatan dan penyimpangan dari syariat.
Dalam redaksi matan hadis tersebut juga terdapat pengkhususan pada wanita haid. Dari lafal المراة الحا ئض dapat dipahami bahwa wanita itu harus telah dewasa, artinya wanita yang dapat menarik perhatian menuju kemaksiatan dan merusak kekhusyukan salat, bukan anak-anak kecil atau orang tua yang tidak menarik hati lagi.
2. Kritik Tematik-Komprehensif
Dalam kajian pemaknaan hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita tersebut ada banyak hadis-hadis yang mendukung atau relevan dengan tema yang diteliti, di antaranya adalah hadis-hadis yang secara parsial menjelaskan bahwa salah satu dari ketiga hal tersebut dapat memutuskan salat dan hadis-hadis tentang satir. Adapun hadis-hadis yang relevan dengan tema yang dikaji di antaranya adalah:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ أَبِي الشَّوَارِبِ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنْتُ رَدِيفَ الْفَضْلِ عَلَى أَتَانٍ فَجِئْنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ بِمِنًى قَالَ فَنَزَلْنَا عَنْهَا فَوَصَلْنَا الصَّفَّ فَمَرَّتْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ فَلَمْ تَقْطَعْ صَلَاتَهُمْ قَالَ أَبمو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ عَائِشَةَ وَالْفَضْلِ بْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ عُمَرَ قَالَ أَبمو عِيسَى وَحَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ التَّابِعِينَ قَالُوا لَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ شَيْءٌ وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وَالشَّافِعِيُّ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdul Mãlik bin Abī al-Syawãrib, telah menceritakan kepada kami Yazīd bin Zuraik, telah menceritakan kepada kami Ma’mar dari al-Zuhrī dari Ubaidillãh bin Abdullãh bin Utbah dari Ibn ‘Abbãs berkata: “aku membonceng Al-Fadl di atas keledai betina lalu kami datang sedangkan Rasulullah saw. tengah melakukan salat beserta sahabat-sahabatnya di Mina kemudian kami turun darinya, lalu kami mendatangi barisan, kemudian keledai tersebut lewat di hadapan mereka dan tidak memutuskan salat mereka. Dalam hal ini terdapat hadis dari ‘Āisyah, Al-Fadl bin Abbãs dan Ibnu Umar. Abu Īsa berkata: Hadis Ibn Abbãs adalah hadīs hasan şahīh. Hadis ini diamalkan menurut kebanyakan para ahli ilmu dari para sahabat Rasulullah saw. Dan para tabi’in sesudah mereka, mereka berkata: Tidak ada sesuatu yang memutuskan salat. Dan pendapat ini diikuti oleh Sufyãn dan Asy-Syãfi’i.
حد ثنا محمد بن عبد اللة بن نمير واسحق بن ابراهيم قال اسحق اخبرنا وقال ابن نميرحدثناعمر بن عبيد الطنالسي عن سماك ابن حرب عن موس بن طلحة عن ابيه قال كُنّاَ نُصَليِّ وَالدَّوَابً تَمُرُّ بَيْنَ اَيْدَيْنَا فَذَكَرْنَا ذَالِكَ لِرَسُوْلِ الله ص. م. فَقَاَلَ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ تَكُوْنُ بَيْنَ يَدَيْهِ وَ قَالَ اِبْنُ نُمَيْرٍ فَلَا يَضُرُهُ مَنْ َمّرَ بَيْنَ يَدَيْهِ.
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdullãh bin Numair dan Ishãq bin Ibrahīm, Ishãq berkata: telah memberitakan kepada kami, Ibn Numair, telah memceritakan kepada kami ‘Umar bin ‘Ubaid al-Ţanăfisī dari Simãk ibn Harbin, dari Mūsa bin Thalhah dari ayahnya ia berkata: Kami sedang salat dan binatang melata melintas di antara kami kemudian kami beritahukan itu kepada Rasulullah saw., maka Rasulullah berkata letakkanlah semacam tiang kayu (patok) di antara keduanya. Ibn Numair berkata maka tidak dikhawatirkan lagi sesuatu melintas di antaranya.
حَدَّثَنَا عَبْدُاللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي النَّضْرِ مَوْلَى عُمَرَ بْنِ عُبَيْدِاللَّهِ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ أَنَّ زَيْدَ ابْنَ خَالِدٍ أَرْسَلَهُ إِلَى أَبِي جُهَيْمٍ يَسْأَلُهُ مَاذَا سَمِعَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَارِّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي فَقَالَ أَبُو جُهَيْمٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ قَالَ أَبُو النَّضْرِ لَا أَدْرِي أَقَالَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا أَوْ شَهْرًا أَوْ سَنَةً
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullãh bin Yūsuf berkata, telah mengkabarkan kepada kami Mãlik, dari Abī Nadhr Maula ‘Umar bin Ubaidillãh dari Busrin bin Sa’īd, sesungguhnya Zaid bin Khãlid menyuruh dia pergi kepada Abū Juhaim menanyakan apa yang telah didengarnya dari Rasulullah tentang perkara orang yang melintas di hadapan orang yang salat. Abū Juhaim berkata: Rasulullah saw. bersabda: Kalau sekiranya orang yang melintas di hadapan orang yang salat itu mengetahui akan dosanya, niscahya berdiri empat puluh tahun lamanya lebih baik daripada melintas di hadapan orang yang salat. Abu Nadr berkata: aku tidak mengetahui yang dimaksudkannya empat puluh hari, bulan atau tahun.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ مُجَالِدٍ عَنْ أَبِي الْوَدَّاكِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ شَيْءٌ وَادْرَءُوا مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-‘Alã, telah menceritakan kepada kami Abū Usãmah, dari Mujãlid, dari Abī al-waddãk, dari Abī Sa’īd berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada sesuatupun yang dapat memutuskan salat dan tolaklah mereka semampumu karena sesungguhnya dia adalah setan.”
3. Kritik Konfirmatif
Untuk memahami hadis-hadis tentang putusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dengan pemahaman yang mendekati kebenaran, maka harus sesuai dengan petunjuk al-Qur’an, yang tidak diragukan lagi kebenarannya.
Oleh karena itu, tidak ada hadis sahih yang kandungannya bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang muhkamat. Jikalau masih ada pertentangan antara keduanya, maka terdapat beberapa kemungkinan, diantaranya pemahaman terhadap hadis kurang tepat atau pertentangan pada hadis tersebut bersifat semu atau tidak hakiki.
Hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita, ketika dikonfirmasikan dengan ayat al-Qur’an dalam surat al-Mu’minun (23) ayat 2-3 sebagai berikut:
الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ .الَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ
Artinya:
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang khusyuk dalam sembahyangnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.
Salat harus dilaksanakan dengan khusyuk dijelaskan dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 45:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِين
Artinya:
Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.
Allah menciptakan jin dan manusia agar beribadah kepada-Nya dengan keikhlasan dan kekhusyukan sebagaimana dijelaskan dalam surat adz-Dzariyat (51) ayat 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
Selanjutnya memang ada penyetaraan antara laki-laki dan perempuan, tidak ada pembedaan derajatnya. Keduanya adalah dua jenis yang memiliki kesejajaran derajat. Islam datang dengan membawa ajaran penyetaraan derajat, bukan diskriminatif, pendiskreditan perempuan dan bukan pula subordinasi dominasi laki-laki terhadap perempuan. Hal tersebut dijelaskan dalam beberapa ayat al-Quran sebagai berikut:
a. Q.S. al-Hujurat (49): 13:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
b. Q.S. an-Nisã’ (4): 1, 34:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا(1) الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا(34)
Artinya:
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
c. Q.S. Ali-‘Imrãn (3): 195
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ثَوَابًا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ
Artinya:
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.”
C. Analisis Hadis
Dalam penilaian matan hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita, penulis menggunakan pendekatan bahasa (linguistik), historis dan sosiologis. Juga dengan mempertimbangkan teks-teks hadis yang setema (kajian tematis-komprehensif), di samping itu juga dilakukan konfirmasi makna dari petunjuk-petunjuk al-Qur’an .
Pemaknaan hadis dari analisis sisi kebahasaan (linguistik), telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya. Konfirmasi dengan petunjuk-petunjuk al-Qur’an juga telah dibahas dalam sub bab sebelumnya. Selanjutnya adalah analisis matan secara umum setelah dianalisis sisi kebahasaan pada lafal redaksi matan hadis, didukung oleh hadis-hadis yang relevan dengan tema dan konfirmasi petunjuk al-Qur’an.
1. Analisis Pemaknaan Hadis
Hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita seharusnya dimaknai secara tekstual atau kontekstual. Hal ini sesuaikah dengan ketentuan syariat bahwa salat dapat terputus karena 3 hal tersebut. Dari data dan informasi yang dipaparkan pada bab II dari skripsi ini, dapat diketahui bahwa ada beberapa hal yang dapat membatalkan salat. Melintasnya tiga hal tersebut tidak termasuk dalam hal-hal yang membatalkan salat Dengan melihat kondisi kekinian yag jauh berbeda dengan kondisi dahulu dan juga ketentuan syariat atas kaifiyah salat serta makna kebahasaan, lafal-lafal dari redaksi matan hadis maka hadis tersebut harus dipahami secara kontekstual dengan berbagai analisis.
Mengenai hadis-hadis ini, ada yang memaknainya secar tekstual, kemudian menjadikannya sebagai hujjah maksudnya benar-benar salat dapat batal karena melintasnya anjing, keledai dan wanita. Namun mayoritas kalangan fuqaha menolak hadis ini, dengan dalil adanya hadis-hadis lainnya yang mengandung pengertian bahwa salat tidak batal karena adanya tiga hal tersebut. Rasulullah saw. sendiri, sering melakukan salat sementara ‘Āisyah, istri beliau tidur di depan beliau. Demikian pula Ibn Abbãs pernah menunggangi seekor keledai dan lewat di depan sekelompok orang yang sedang salat, dan salat mereka tidak menjadi batal karenanya.
Mengenai hadis tentang salat dapat terputus karena melintasnya anjing, keledai dan wanita muncul dua pemahaman yang berbeda bahwa memutuskan salat tersebut diartikan dengan mengurangi kekhusyukan salat dan memecahkan konsentrasi salatnya karena terganggu dengan melintasnya ketiga hal tersebut. Ada pula yang memahaminya dengan membatalkan salat secara totalitas artinya seseorang yang sedang salat, jika dilintasi oleh ketiga hal tersebut, maka ia harus mengulangi salatnya lagi dari awal karena salat pertamanya dianggap gugur.
Ada pula hadis yang menyatakan bahwa salat tidak dapat terputus oleh ketiga hal tersebut jika telah memenuhi syarat dengan meletakkan satir di depan orang salat sebagai pembatas salat tersebut. Adapun ketentuan satir itu dijelaskan dalam hadis lain sebagai berikut :
حد ثنا محمد بن عبد اللة بن نمير واسحق بن ابراهيم قال اسحق اخبرنا وقال ابن نميرحدثناعمر بن عبيد الطنالسي عن سماك ابن حرب عن موس بن طلحة عن ابيه قال كُنّاَ نُصَليِّ وَالدَّوَابً تَمُرُّ بَيْنَ اَيْدَيْنَا فَذَكَرْنَا ذَالِكَ لِرَسُوْلِ الله ص. م فَقَاَلَ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ تَكُوْنُ بَيْنَ يَدَيْهِ وَ قَالَ اِبْنُ نُمَيْرٍ فَلَا يَضُرُهُ مَنْ َمّرَ بَيْنَ يَدَيْهِ.
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdullah bin Numair dan Ishãq bin Ibrahīm, Ishãq berkata: memberitakan kepada kami, Ibn Numair berkata, telah memceritakan kepada kami ‘Umar bin ‘Ubaid al-Ţanăfisī dari Simãk ibn Harbin, dari Mūsa bin Thalhah dari ayahnya ia berkata: “Kami sedang salat dan binatang melata melintas di antara kami kemudian kami beritahukan itu kepada Rasulullah saw., maka Rasulullah berkata letakkanlah semacam tiang kayu (patok) di antara keduanya” dan Ibn Numair berkata: “maka tidak dikhawatirkan lagi sesuatu melintas di antaranya.”
Di sini berarti bahwa salat yang dilaksanakan di tempat terbuka seperti jalan, tanah lapang, kebun atau tempat lainnya yang terbuka, maka harus menggunakan satir sebagai pembatasnya secara tekstual agar tidak dilintasi oleh anjing, keledai dan wanita dan secara kontekstual adalah hal-hal lainnya yang dapat mengganggu kekhusyukan salat dan memecahkan konsentrasi orang yang sedang salat tersebut.
Ada sebuah hadis yang menjelaskan bahwa tidak dibolehkan seseorang melintas di depan orang yang sedang salat dengan konsekuensi yang besar bagi mereka, adapun redaksi hadisnya sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُاللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي النَّضْرِ مَوْلَى عُمَرَ بْنِ عُبَيْدِاللَّهِ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ أَنَّ زَيْدَ ابْنَ خَالِدٍ أَرْسَلَهُ إِلَى أَبِي جُهَيْمٍ يَسْأَلُهُ مَاذَا سَمِعَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَارِّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي فَقَالَ أَبُو جُهَيْمٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ قَالَ أَبُو النَّضْرِ لَا أَدْرِي أَقَالَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا أَوْ شَهْرًا أَوْ سَنَةً
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullãh bin Yusūf berkata, telah mengkabarkan kepada kami Mãlik, dari Abī Nadhr Maula ‘Umar bin Ubaidillãh dari Busrin bin Sa’īd, sesungguhnya Zaid bin Khãlid menyuruh dia pergi kepada Abū Juhaim menanyakan apa yang telah didengarnya dari Rasulullah tentang perkara orang yang melintas di hadapan orang yang salat. Abū Juhaim berkata: Rasulullah saw. bersabda: Kalau sekiranya orang yang melintas di hadapan orang yang salat itu mengetahui akan dosanya, niscahya berdiri empat puluh tahun lamanya lebih baik daripada melintas di hadapan orang yang salat. Abu Nadr mengatakan aku tidak tahu yang dimaksudkannya empat puluh hari, bulan atau tahun.
Konsekuensi yang menimpa orang yang melintas di depan orang yang sedang salat amat besar yakni dosa yang besar , maka orang tersebut akan lebih baik berdiri tegak selama empat puluh tahun lamanya daripada ia menyeberang di depan orang yang salat.
Kemudian dalam hadis lain dijelaskan bahwa Rasulullah memerintahkan umatnya, jika ada yang melintas di depan orang yang sedang salat hendaknya ia menolak dan mengusirnya dengan memukulnya sampai ia menjauh darinya. Adapun redaksi hadis tersebut adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرُ عَنِ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا وَلَا يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرُّ فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّهُ شَيْطَان ٌ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Abū Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abū Khãlid al-Ahmar, dari Ibn ‘Ajlãn, dari Zaid bin Aslam dari Abdurrahman bin Abī Sa’īd, dari ayahnya berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Apabila seseorang di antara kamu salat menghadap kepada sesuatu yang menjadi pembatas dari seseorang yang melintas, kemudian jika ada seseorang yang tetap melintas dihadapanmu, hendaklah menolaknya kalau ia tidak mau hendaklah dilawan, karena sesungguhnya ia itu adalah setan.”
Dengan pertimbangan hadis-hadis lain sebagaimana dijelaskan di atas, maka perlu dicermati lagi hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dengan variasi redaksinya. Setelah diteliti, ternyata hadis tentang putusnya salat yang dilintasi anjing, keledai dan wanita ini tidak ditemukan dalam kitab Şahīh Bukhãrī. Tetapi hadis ini terdapat dalam kitab Şahīh Muslim, Sunan Abū Dãwud, Sunan an-Nasã’ī, Sunan at-Tirmiżī, Sunan Ibn Mãjah, Sunan al-Darimi dan Musnad Ahmad bin Hanbal. Dalam kitab Şahīh Bukhãrī hanya terdapat hadis ‘Āisyah yang menyangkal atau menyanggah kebenaran hadis tersebut. Begitu pula hadis ‘Āisyah ini terdapat dalam kitab Şahīh Muslim dan Musnad Ahmad bin Hanbal. Dengan demikian, penjelasan tentang hadis ini bisa dideskripsikan sebagai hadis yang sedikit saling bertentangan.
Sehubungan dengan bentuk hadis Nabi, hadis dari Ibn Abbãs yang menyatakan tidak ada sesuatupun yang dapat memutuskan salat adalah qaul sahãbat atau diistilahkan hadīs mauqūf. Hadis yang diriwayatkan Ibn Abbãs yang menyatakan bahwa salat dapat terputus karena melintasnya anjing dan wanita dewasa berupa qaul sahãbat juga. Ada sebuah hadis lagi dari Ibn Abbãs berbentuk hadīs mauqūf juga, yang menyatakan bahwa ada keledai yang melintas di depan sekelompok orang salat dan salat tidak menjadi batal karenanya. Namun Ibn Abbãs juga meriwayatkan hadis yang menyatakan bahwa yang dapat memutuskan salat adalah anjing hitam dan wanita dewasa yang berbentuk hadīs qauliyyah yang mana hadīs qauliyyah memiliki level pertama dalam hadis Nabi karena periwayat mendengar langsung ucapan atau hadis Nabi tersebut sehingga tidak diragukan lagi kebenarannya.
Hadis yang diriwayatkan Abū Hurairah menyatakan bahwa salat dapat terputus karena melintasnya wanita, keledai dan anjing yang berbentuk hadīs qauliyyah. Hadīs qauliyyah ini memiliki kedudukan lebih tinggi dibanding hadīs fi’liyyah dan hadīs taqririyyah maupun hadīs mauqūf.
Kemudian hadis-hadis dari Abū Żar yang menyatakan bahwa salat dapat terputus karena melintasnya keledai, wanita dan anjing hitam jika tidak terdapat satir sebagai pembatas salat dan anjing hitam itu adalah setan yang mana hadis tersebut berbentuk hadīs qauliyyah dan ada pula yang berupa hadīs mauqūf. Selanjutnya hadis yang diriwayatkan ‘Āisyah berbentuk hadīs fi’liyyah yang menyatakan bahwa ‘Āisyah pernah tidur berbaring di depan Nabi ketika Nabi sedang salat.
Lain lagi, hadis-hadis yang melalui jalur periwayatan dari ‘Āisyah yang dimuat dalam Şahīh Bukhãrī, Şahīh Muslim dan Musnad Ahmad bin Hanbal merupakan sanggahan atas hadis yang menyatakan bahwa salat dapat terputus karena melintasnya wanita, tidak ada penolakan pada melintasnya anjing dan keledai. Hal ini disebabkan karena ‘Āisyah sebagai wanita merasa dilecehkan dan direndahkan karena pengaruh melintasnya wanita yang dapat memutuskan salat dan adanya penyerupaan wanita dengan anjing dan keledai. Dalam hadis itu dijelaskan bahwa Nabi sedang salat dengan keadaan ‘Āisyah yang terbaring di depannya, namun karena ‘Āisyah tidak mau mengganggu salatnya Nabi, lalu ia bergeser ke dekat kedua kaki Nabi. Dalam hal ini, Nabi tidak menegur dan menyuruh ‘Āisyah untuk bergeser. Di sinilah muncul inisiatif dari ’Āisyah sendiri untuk menggeserkan kakinya perlahan-lahan ke dekat kaki Nabi, agar tidak mengganggu salat beliau.
Ada yang mengatakan hadis dengan jalur periwayatan dari Abū Hurairah dan Anas mendapat ziyãdah pada hadis Abū Żar. Ziyãdah ini akan menjadikan diterimanya hadis tersebut atau bahkan menguatkannya. Mengenai pengkhususan pada anjing hitam itu hanya dari periwayatan Abū Żar, yang tidak ada pada periwayatan Abū Hurairah dan Anas. Dalam hal ini, lafal الكلب الاسواد شيطان, adalah ziyãdah pada hadis dari jalur periwayatan dari Abī Żar saja, sehingga lafal الكلب الاسواد شيطان tidak diterima, masih diragukan keberadaan lafal tersebut. Mengenai anjing hitam itu adalah salah satu wujud dari setan. Setan adalah satu bentuk dari jin. Sehingga anjing hitam menyandang simbol setan yang mengajak atau berbuat kejahatan.
Mengenai melintasnya keledai di depan orang yang sedang salat, Syaikh Ahmad Syãkir berkomentar dalam kitab Al-Muhallã, dalam kaitan sebuah riwayat yang antara lain berbunyi sebagai berikut : ”…Saya mendengar Umar bin Abdul Azīz menceritakan dari ‘Ayyasy bin Abī Rabī’ah, katanya: Pada suatu hari, ketika Rasulullah saw. sedang mengimami salat bersama para sahabatnya, tiba-tiba ada seekor keledai lewat di antara kami, lalu ‘Ayyasy berkata: Subhanallah! Maka setelah menyelesaikan salat, Rasulullah saw. bertanya: Siapa di antara kalian yang mengucapkan subhanallah? Berkata ‘Ayyasy: saya, ya Rasulullah! Saya dengar bahwa keledai menghentikan salat. Maka beliau bersabda: Tidak ada sesuatu yang menghentikan salat. Dalam syarh ‘Ayyasy bagi pentahkikan Ibn al-Jauzi, setelah meriwayatkan hadis ini, ia mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih.
Ahmad Syãkir mengatakan bahwa hadis tersebut, memberikan petunjuk yang jelas telah di-nasakh-kannya hadis-hadis yang menyatakan bahwa salat terhenti dengan lewatnya wanita, keledai dan anjing. “Ayyasy pernah mendengar bahwa keledai memutuskan salat. Ia tergolong orang-orang yang terdahulu memeluk agama Islam, dan ikut dalam kedua hijrah. Kemudian ia tertahan di Makkah, dan Rasulullah saw. berdo’a baginya dalam qunut beliau, sebagaimana disebutkan dalam Şahīh Bukhãrī dan Şahīh Muslim. Dengan demikian, ia mengetahui hukum yang pertama diucapkan (oleh Nabi saw.) dan tidak mendengar tentang penghapusan (naskh)-nya. Karena itu Rasulullah saw. memberitahukannya kemudian, bahwa salat tidak terhenti oleh sesuatu.
Hal serupa dikatakan oleh al-Ţahãwī dalam komentarnya menghadapi hadis tersebut dalam sebuah kitab syarh hadis bahwa hadis ‘Āisyah me-nasakh hadis Abū Żar. Hal ini jelas terlihat dalam hadis dari jalur periwayatan dari ‘Āisyah. Namun setelah dicermati, penasakhan itu hanya mengena pada satu sisi dari ketiga hal tersebut, yaitu wanita. Hal itu berangkat dari maraknya argumen orang yang mengatakaan adanya penyerupaan wanita dengan anjing dan keledai dalam hal memutuskan salat. Kemudian bagaimana dengan dua hal lainnya, yakni anjing dan keledai.
Salat dapat terputus dengan melintasnya anjing dan keledai, baik itu kecil atau besar, hidup atau mati. Sedangkan wanita tidak dapat memutuskan salat. Konsekuensi dari berbagai hadis yang relevan dengan tema yang diangkat maka salat yang dilakukan di tanah lapang (tempat terbuka) harus ada satir sebagai pembatas salat dengan menggunakan hujjah hadis-hadis dari jalur periwayatan Ibn Abbãs dan Abū Hurairah dan jika ada sesuatu yang melintas di depannya hendaknya mencegah atau menolaknya.
Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa salat dapat terputus dengan melintasnya anjing, keledai dan wanita kecuali jika ia dalam keadaan berbaring. Abū Hanifah, Mãlik dan Asy-Syãfi’i mengatakan tidak ada sesuatu yang dapat memutuskan salat dalam arti membatalkan salat dengan hujjah hadis dari Ibn Abbãs yang menyatakan bahwa Ibn Abbãs pernah melintas dengan keledainya saat ada sekelompok orang yang sedang salat.
Mengenai melintasnya wanita di depan orang yang sedang salat terkait dengan hadis sanggahan ‘Āisyah bahwa jelas dalam hadis tersebut bahwa tidak ada peringatan dari Nabi artinya tidak mungkin Nabi tidak berkomentar apapun juga, ketika hal itu dapat mengakibatkan hal yang fatal dalam salat, yaitu memutuskan salat dalam arti membatalkan salat. Kalaupun benar adanya bahwa wanita dapat memutuskan salat, di sini jelas terdapat pendiskreditan wanita. Perlu kiranya hadis tersebut dikaji ulang lebih mendalam.
Hadis tersebut jika dimaknai secara tekstual tanpa melihat sosio historis dan konteks daripada hadis, maka akan terjebak pada asumsi bahwa hadis itu akan mengurangi eksistensi dan kredibilitas Nabi yang dikenal sebagai figur yang mengasihi, menyayangi dan menghormati wanita, ternyata dalam hal ini menempatkan wanita dalam posisi yang rendah dan kurang terhormat.
Wanita merupakan sosok yang selalu tersingkirkan dalam ranah kehidupan publik yang selalu dianggap rendah, hina dan tidak memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Wanita hanya memiliki keterbatasan dalam bertindak karena dibatasi oleh kodrat dan dimensi lain dalam kehidupan.
Al-Qur’an juga menjelaskan perempuan adalah seperti laki-laki, makhluk ciptaan Allah yang juga memiliki kewajiban untuk beribadat kepada Allah (QS. adz-Dzariyat (51) : 56), ia juga seperti laki-laki, adalah anak turun Adam, yang dimuliakan Allah (QS. al-Isra’(17) : 70). Mereka adalah pasangan kaum laki-laki yang sama-sama akan mempertanggungjawabkan segala kreasi dan pilihannya (QS. al-Maryam (19) : 93-95).
Dalam ajaran Islam yang didasarkan pada al-Qur’an dan hadis sebagai penjelas, dipaparkan bahwa keutamaan seseorang bukan ditentukan oleh faktor jender, melainkan nilai ketakwaannya pada IIahi Rabbi (QS. al-Hujurat (49) : 13) dan martabat ini bisa dicapai secara bersama baik laki-laki maupun wanita.
Pandangan yang serba jender, material dan eksploitatif, yang berakibat pada perempuan harus segera dihindari karena sejarah mencatat adanya pengucilan terhadap perempuan pada masa jahiliyyah oleh orang-orang musyrik. Namun, hendaknya kesubyektifitasan seorang harus dihindarkan untuk membaca dan memahami teks dengan obyektif, dengan menanggalkan atribut dalam dirinya.
Selanjutnya perlu dijelaskan secara rinci ketentuan melintasnya wanita yang dapat memutuskan salat dilihat dari usianya. Seluruh wanita dapat memutuskan salat dari anak-anak sampai nenek-nenek atau beberapa wanita saja. Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa wanita yang sudah dewasa saja yang dapat memutuskan salat. Di sini tidak ada batasan usianya. Dalam sebuah syarh hadis bahwa wanita yang dimaksud adalah wanita yang telah dewasa dan dapat memecahkan konsentrasi dan menganggu kekhusyukan salat. Wanita yang sudah dewasa dipahami secara sempit adalah wanita yang sudah haid, dalam arti luasnya adalah seorang wanita yang sudah dapat membedakan antara yang baik dan buruk.
Selanjutnya bagaimana jika wanita yang sedang salat, lalu ada laki-laki yang melintas, maka apakah salat akan menjadi batal karenanya atau tidak. Jelasnya, tidak ada sebuah hadis yang menjelaskan bahwa melintasnya laki-laki dapat memutuskan salat. Di sinilah kemudian terbersit pemahaman akan adanya pendiskreditan terhadap perempuan dengan kecamannya terhadap melintasnya wanita di depan orang salat dapat memutuskan salat. Dalam memahami hadis ini, subyektivitas seorang peneliti harus ditanggalkan dan mengupayakan sikap obyektif terhadap sasaran yang dikaji.
Dengan adanya hadis ‘Āisyah yang menyanggah hadis dari Abū Hurairah, Abū Żar dan Ibn Abbãs, maka hadis tersebut tidak terkesan misoginis lagi dan tidak ada pendiskreditan pada perempuan, jika telah dilakukan al-jam’u (pengkompromian) hadis. Dalam menghadapi adanya pemahaman lain bahwa perempuan dapat memutuskan salat dalam hadis dari jalur periwayatan Abū Hurairah, Abū Żar dan Ibn Abbãs, maka dalam memahami hadis tersebut harus dilihat dari berbagai perspektif dan cakupan yang terkandung dalam hadis tersebut.
2. Analisis Sosio Historis
Setelah pemahaman hadis-hadis tentang terputusnya salat dengan melintasnya anjing, keledai dan wanita yang diperoleh melalui analisis pemaknaan hadis, maka selanjutnya akan diupayakan pemahaman hadis dengan memaparkan konteks sosio historis hadis-hadis tersebut. Langkah ini merupakan tahap yang penting dalam memahami hadis, karena mengingat bahwa koleksi hadis adalah bagian dari realitas tradisi keislaman yang bersinggungan dengan budaya (culture) dalam sebuah dimensi masyarakat, yakni pada masa Nabi dan para sahabatnya.
Oleh karena itu, sebelum melangkah lebih jauh pada pemaknaan hadis dengan metode ma’ãnī al-hadīs, diperlukan adanya analisis historis yang meliputi situasi makro dan mikro jika ada, yakni sebab munculnya suatu hadis (asbãb wurūd al-hadīs). Setelah mengadakan penelusuran pada kitab-kitab yang membahas asbãb wurūd al-hadīs dan kitab syarh hadis, penulis tidak mendapatkan sebab khusus yang melatarbelakangi hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita. Oleh sebab itu, dalam analisis historis hadis tersebut, maka penulis mencoba untuk memaparkan situasi makro yakni situasi sosial tempat salat, masjid atau dalam bentuk lainnya sebagai tempat ibadah kepada Allah di masa Nabi dan para sahabatnnya.
Pada masa Nabi, masa-masa awal masuknya Islam ke Arab yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., belum terdapat tempat ibadat yang khusus, dalam arti masjid yang dapat digunakan sebagai tempat ibadat, bermunajat kepada Allah swt. Umat Islam pada masa awalnya melaksanakan salat di mana saja, baik itu di jalan, tanah lapang, hutan, gurun dan tempat-tempat lainnya yang suci.
Hakikatnya, seluruh jagad raya adalah masjid bagi muslim. Hal ini berarti bahwa seluruh bumi adalah tempat tempat memperhamba diri pada Tuhan, tempat meluhurkan Tuhan. Anas memberitakan bahwa Rasulullah biasa salat di mana saja apabila waktunya salat sudah datang, meskipun di kandang kambing. Untuk hubungan vertikal antara Allah dengan makhluk-Nya, tidak perlu mengkhususkan tempat karena seluruh bumi ini adalah suci dan bersih. Maka, dimanapun seseorang berada boleh melakukan salat apabila waktunya telah tiba.
Pada masa awal Islam sebelum terdapat masjid, salat dilakukan oleh umat muslimin di mana saja baik itu jalan, tanah lapang, gurun, atau tempat-tempat lainnya. Rasululah baru membangun masjid, setelah hijrah ke Madinah, beliau membangun masjid Quba, selanjutnya dibangunlah masjid Nabawi di Madinah. Jika melihat kondisi tempat salat pada masa Rasulullah dan sahabat, kadang-kadang salat dilakukan di tanah lapang bukan di masjid. Selanjutnya mulai muncul masjid-masjid yang dibangun di berbagai kota di wilayah Islam, sehingga umat Islam dapat melakukan salat dengan tempat khusus untuk menghadap kepada Allah, tanpa gangguan sesuatu hal yang dapat berseberangan di depannya.
Dengan melihat sedikitnya masjid dan jarak yang jauh antara masyarakat dengan masjid serta kondisi kehidupan masyarakat Makkah dan Madinah yang berdagang dari kota ke kota, berpindah-pindah dari kota ke kota, mereka sering sekali melakukan salat di perjalanan, yakni di tanah lapang, jalan, gurun, kebun dan lain-lain Di sinilah kemudian muncul hadis yang memerintahkan untuk meletakkan satir (pembatas salat) di hadapan orang yang salat. Satir itu dapat berupa tiang, tongkat, kayu, lembing, dinding, tikar atau sesuatu apa saja yang bisa menjadi pembatas salat.
Kemudian mengenai ukuran satir adalah sepanjang ujung pelana unta, tombak atau tongkat sehingga sesuatu yang melewatinya tidak menganggu konsentrasi daripada orang yang salat tersebut. Satir itu juga dapat berupa kayu, pilar atau pohon, artinya salat itu dilakukan dengan berdekatan dengan 3 hal tersebut dan difungsikannya sebagai satir, pembatas salat.
Adapun mengenai jarak satir adalah seluas kambing berlalu atau berdekatan dengan satir sampai setan tidak dapat memutuskan salatnya. Adapula hadis yang diriwayatkan an-Nasã’ī menjelaskan bahwa jarak antara batasan dengan seorang yang sedang salat sejauh 3 hasta. Adapun hadisnya sebagai berikut :
اَخْبَرَنَامُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ وَ اْلَحَرِثُ بْنُ مَسْكِيْنٍ قِرَاءَةً عَلَيْهِ وَ اَنَا اَسْمَعُ عَنْ اُبْنِ القَاسِمِ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِالله بْنِ عُمَرَ اَنَّ رَسُوْلَ الله ص . م . دَخَلَ اْلكَعْبَةَ هُوَ وَ اُسَا مَةُ بْنُ زَيْدٍ وَ بِلَا لٍ وَ عُثْمَا نُ بْنُ طَلْحَةَ الحَجَبِي فَاَغْلَقَهَا عَلَيْهِ قَالَ عَبْدُ الله بْنُ عُمَرَ فَسَاَلْتُ بِلَاٍل حِيْنَ خَرَجَ مَاذَ صَنَعَ رَسُوْلُ الله ص . م . قَالَ جَعَلَ عَمُوْدًا عَن يَسَا رِهِ وَعَمُوْدَيْنٍ عَنْ يَمِيْنِيْهِ وَ ثَلَاثَةَ اَعْمَدَةٍ وَرَاءَهُ كَانَ اْلبَيْتُ يَوْمَئِذٍ عَلَى سِتَّةٍ اَعْمَدَةٍ ثُمَّ صَلَّي وَجَعَلَ بضيْنَهُ وَ بَيْنَ اْلجِدَارِ نَحْوَا مِنْ ثَلَاثَةٍ اَذْرُعٍ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salamah dan al-Harś bin Maskīn, dan aku mendengarnya dari Ibn Qãsim berkata: telah menceritakan kepadaku Mãlik, dari Nafi’, dari Abdullãh bin Umar berkata: “Di hari penaklukan Makkah Rasulullah saw. bersama Usãmah ibn Zaid, Bilãl dan Usman Ibnu Thalhah Al-Hajabi masuk ke dalam ka’bah, kemudian beliau menutup pintunya. Ketika beliau keluar, maka aku bertanya pada Bilal: “Apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. ketika ada di dalam ka’bah?” jawab Bilãl: “Rasulullah saw. bersembahyang dengan menghadap ke salah satu dinding ka’bah dan membelakangi 6 tiang yang berada di dalam ka’bah. Beliau berdiri di hadapan dinding itu sejauh 3 hasta.”
Di samping itu, keadaan wanita pada masa awal Islam masih amat memprihatinkan karena masih terakulturasi dengan tradisi budaya jahiliyah yang menganggap wanita adalah makhuk yang lemah dan hina, yang tidak mampu melakukan hal yang terhormat apapun juga. Kaum perempuan saat itu dianggap tidak lebih berharga dari suatu komoditi. Kehidupan bangsa Arab pra Islam terdiri dari kabilah-kabilah, yang mana hidupnya berpindah-pindah dari daerah ke daerah, sehingga hal itu juga mempengaruhi mata pencaharian mereka. Mereka ada yang memelihara ternak hewan dan berdagang, ada pula yang melakukan perampokan antar kabilah sebagai sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kehadiran anak laki-laki dianggap sebagai simbol kekuatan yang memberikan kehormatan dan kebanggaan tersendiri terkait dengan kebiasaan pola hidup merampok dalam kehidupan mereka. Bahkan, kebiasaan mengubur bayi perempuan hidup-hidup adalah praktik kekerasan (violence) yang merupakan implikasi dari sebuah ideologi yang merendahkan kaum perempuan, yang menyebar di dunia Arab pra-Islam.
Kondisi bangsa Arab mengalami perubahan yang radikal dan mendasar setelah kenabian Muhammad saw. Ikatan kabilah berubah menjadi ikatan tauhid yang berlaku universal tanpa tersekat fanatisme kelompok. Begitu pula dalam interaksi yang dulu dengan pemberlakuan hukum rimba berubah menjadi pola interaksi yang penuh kejujuran, kedamaian dan ketundukan terhadap syariat Islam.
Begitu pula dalam persoalan interaksi laki-laki dan perempuan, risalah kenabian memandang laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama dan mengajak untuk menghilangkan fanatisme golongan dan fanatisme terhadap jenis kelamin tertentu. Bahkan risalah kenabian pertama telah disambut oleh seorang perempuan, yakni Khadijah. Dengan adanya persamaan ini, peran perempuan tidak lagi di bawah dominasi laki-laki. Kemudian pada masa Nabi, perempuan banyak muncul mengambil peran dalam pendidikan dan peran sosial seperti laki-laki misalnya ‘Āisyah dan Asmã’ bin az-Zubair yang merupakan ahli dalam periwayatan hadis. Di sinilah jelas bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama dan kesetaraan, namun kesamaan dan kesetaraan itu tidak bersifat mutlak karena ada beberapa hal bagi perempuan yang bersifat kodrati yang tidak dimiliki laki-laki seperti menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui. Dengan demikian, laki-laki memang memiliki kesamaan dan kesetaraan, tidak ada subordinasi dominasi laki-laki terhadap perempuan, sehingga hubungan keduanya dapat dipahami secara fungsional. Artinya, adanya perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang dikarenakan masing-masing memiliki keterbatasan yang hanya bisa disempurnakan oleh lawan jenisnya. Karena memang laki-laki dan perempuan memiliki keterikatan dan ketergantungan satu sama lain.
Al-Qur’an sebagai rujukan prinsip dasar masyarakat Islam menunjukkan pada dasarnya mengakui, bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah adil. Keduanya diciptakan dari satu “nafs” (living entity), dimana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain.
3. Analisis Generalisasi
Setelah menganalisis pemaknaan hadis dan analisis historis hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita, maka langkah selanjutnya adalah bagimana makna-makna yang telah ditemukan dari kedua analisis tersebut digeneralisasikan dengan cara menangkap makna universal yang tercakup dalam hadis itu.
Berdasarkan analisis pemaknaan hadis, maka ditemukan makna tekstual hadis dan signifikansi konteksnya dengan realitas historis masa Nabi, makna-makna ini selanjutnya digeneralisasikan dengan menangkap makna universal daripada teks hadis tersebut. Dengan melihat pemaknaan hadis dan kondisi sosio historis munculnya hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita, dapat ditarik pesan inti yang terkandung bahwa hadis tersebut telah di-naskh oleh hadis dari ‘Āisyah bahwa ‘Āisyah pernah tidur berbaring di depan Nabi ketika Nabi sedang salat.
Dalam hadis ‘Āisyah dijelaskan bahwa jikalau wanita memang dapat memutuskan salat dalam hadis tersebut, maka ada penyerupaan, penyamaan dan penyetaraan wanita dengan anjing dan keledai. Di sinilah terkesan hadis tersebut misoginis yang merendahkan perempuan. Wanita dianggap remeh, hina dan rendah dalam status sosialnya. Padahal al-Qur’an telah menjelaskan bahwa posisi perempuan adalah setara (al-musawah), bukan subordinat di bawah laki-laki, sehingga tidaklah mungkin hadis bertentangan dengan al-Qur’an sebagai konstitusi dasar yang paling pertama dan utama, sumber utama dan paling sentral dalam pengambilan hukum dalam syariat. Untuk itu, sebelum adanya pe-naskh-an, agar hadis tersebut tidak terkesan misoginis, maka harus dikompromikan dahulu, sebenarnya wanita yang dimakudkan di sini bukan keseluruhan wanita, namun hanya dikhususkan pada wanita tertentu yang memiliki sifat-sifat jahat dan jelek yang mencerminkan sifat-sifat setan, yang selalu mengajak kepada kemaksiatan dan mengganggu kekhusyukan salat.
Problem yang sebenarnya adalah problem pemahaman terhadap hadis. Sebuah hadis harus dipahami dengan tepat, proporsional dan komprehensif dilihat dari berbagai sudut pandang di antaranya kebahasaan, sosio historis dan variabel-variabel lainnya sehingga memunculkan pemahaman yang mendekati kebenaran, sehingga tidak terkesan menitikberatkan pada satu sisi seperti membaca hadis dengan kesan misoginis tanpa dapat menanggalkan subyektivitas dari pembaca dan pengkaji teks hadis tersebut. Wanita di sini bukan dipahami keseluruhan wanita namun wanita tertentu yang memiliki sifat mengajak pada kejahatan dan mengganggu kedekatan hamba dengan Tuhannya melalui ibadah salatnya. Jelasnya adalah wanita yang menyandang sifat setan yang dapat mengganggu kekhusyukan salat. Ada pula yang memahami bahwa wanita di sini maksudnya adalah setan, bukan wanita secara hakiki sebagaimana hasil pengkompromian hadis-hadis tersebut.
Kemudian mengenai anjing dapat memutuskan salat tersebut karena dikhawatirkan najis yang ditimbulkan dari air liurnya dapat menimbulkan najis orang yang sedang salat, sehingga akhirnya dapat membatalkan salat tersebut. Dalam beberapa redaksi hadis yang lain, ada pengkhususan pada anjing hitam yang dapat memutuskan salat. Di sinilah terkesan terdapat keunikan anjing hitam dibanding dengan anjing lainnya. Ada pemahaman yang muncul bahwa anjing hitam adalah setan. Anjing hitam adalah sebuah simbol dari setan yang dapat mengganggu kekhusyukan salat. Dengan demikian, ada dua pemahaman terhadap anjing, yakni anjing secara hakiki karena najis yang dibawanya dan anjing sebagai simbol dari setan saja, hakikatnya adalah setan, bukan anjing sebenarnya.
Mengenai keledai dapat memutuskan salat, hal itu masih diragukan karena terdapat hadis dari Ibn Abbãs bahwa Ibnu Abbãs pernah melintas dengan menunggangi keledai di depan sekelompok orang yang sedang salat, namun salat mereka tidak menjadi batal karenanya. Sedangkan kedudukan hadis tersebut adalah hadis hasan şahīh, seluruh periwayatnya adalah śiqah.
Kajian linguistik adalah salah satu dari problem solver dalam memahami hadis tersebut. Lafal قطع الصلاة memiliki 2 pemaknaan yaitu membatalkan salat, dalam arti salat menjadi batal karenanya sehingga harus diadakan pengulangan salat dari awal dan merusak salat, dimaksudkan mengurangi kekhusyukan, konsentrasi, essensi dan substansi kehadiran hati dalam salat.
Satu hal lagi yang perlu diketahui bahwa hadis tersebut harus dipahami melalui beberapa perspektif di antaranya dalam perspektif tasawuf dan perspektif fikih. Dalam perspektif tasawuf bahwa salat akan terputus dalam arti batal jika melintas anjing, keledai dan wanita karena hal itu akan merusak kekhusyukan daripada salat.
Menurut mereka salat jika tidak dilakukan dengan khusyuk, penuh konsentrasi dan ţuma’ninah, maka salat tersebut tidak berarti apapun. Di sini hilanglah segala essensi dan substansi dari salat tersebut, sehingga salat secara penuh telah menjadi batal karena lepasnya dan hilangnya inti daripada salat yaitu kekhusyukan. Kekhusyukan adalah inti yang memiliki proporsi yang besar dari ritual salat. Kekhusyukan adalah pemegang kendali dari terlaksananya salat.
Kemudian dalam perspektif fikih bahwa salat tidak dapat terputus karena melintasnya ketiga hal tersebut. Terputusnya salat itu dimaknai dengan merusak salat artinya salat itu tidak menjadi batal karena melintasnya ketiga hal tersebut, hanya merusak salat saja. Artinya, essensi, substansi atau proporsi kekhusyukan salat itu menjadi berkurang karena tiga hal tersebut.
Kemudian setelah diteliti, dikaji dan dianalisis, ternyata dalam perspektif fikih memang salat tidak menjadi batal karena ketiga hal tersebut, hanya saja essensi dan substansi dari salat berkurang seiring dengan berkurangnya dan terganggunya kekhusyukan dari salat tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat dari para fuqaha, yakni Abū Hanīfah, Syãfi’ī dan Mãlik bahwa salat itu hanya rusak, artinya salat dilaksanakan dengan kurang kekhusyukan karena melintasnya ketiga hal tersebut, tidak sampai pada level membatalkan salat.
Kemudian mengenai validitas hadis-hadis yang relevan dengan tema tersebut, telah diketahui dalam pembahasan sebelumnya. Hadis-hadis tersebut kedudukannya kuat sehingga dapat menjadi hujjah, sehingga tidak mampu di-tarjih, meskipun hadis-hadis tersebut tampak saling bertentangan, karena sebenarnya hadis tersebut dapat dikompromikan untuk memperoleh pemahaman yang tepat, proporsional dan komprehensif sebagaimana telah diuraikan di atas dengan berbagai variasi pemahaman.
Demikianlah hadis-hadis tentang terputusnya salat dipahami oleh penulis ditinjau dari berbagai pendekatan yaitu pendekatan kebahasaan (linguistik), analisis sosio historis dan analisis generalisasi serta analisis wacana jender sebagai respons atas hadis yang berbau misoginis.
BAB IV
ANALISIS HADIS-HADIS TENTANG TERPUTUSNYA SALAT
KARENA MELINTASNYA ANJING, KELEDAI DAN WANITA:
RELEVANSI TEKS DAN KONTEKS
Setelah kritik historis dan proses pemahaman dengan kritik eiditis telah dilakukan ternyata masih ada masalah lagi yang terkait dengan penumbuhan hadis terhadap realitas kehidupan kekinian, yakni yang disebut kritik praksis. Konstruk rasional universal atau tujuan moral-sosial universal yang diperoleh dari proses generalisasi tersebut diproyeksikan ke dalam realitas kehidupan kekinian sehingga memiliki makna praksis bagi penyelesaian problematika hukum dan kemasyarakatan kekinian. Ia harus ditumbuhkan (embodied) dengan meminjam bahasa Rahman dalam konteks sosio historis yang konkrit di masa sekarang.
Berkaitan dengan ini diperlukan penelitian dan pengkajian yang teliti dan cermat terhadap situasi kekinian dan analisis berbagai realitas yang dihadapi, sehingga dapat dinilai situasi kekinian, kemudian mencoba untuk mengubah kondisinya sejauh diperlukan dan menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa mengimplementasikan nilai-nilai hadis secara baru pula. Dalam analisis realitas kekinian maupun analisis realitas historis masa lalu jelas dibutuhkan keterlibatan interdisipliner. Artinya perlu adanya konfirmasi dengan historisitas hadis dan sosial-budaya kemasyarakatan masa lalu dan sekarang.
Keseluruhan aspek yang terkait dengan penafsiran yaitu teks, penafsir dan audiens tercakup dalam pemahaman hadis model ini, yakni meliputi sisi kebahasaan, sosio historis dan analisis pemaknaan hadis yang digeneralisasikan kemudian dikontekstualisasikan dengan mencari relevansi antara teks dan konteksnya.
A. Kontekstualisasi Hadis tentang Terputusnya Salat karena Melintasnya Anjing, Keledai dan Wanita
Salat adalah ritual ibadah umat muslimin yang terdiri dari serangkaian gerakan dan do’a yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Salat adalah sebuah media komunikasi hubungan vertikal antara Tuhan dengan manusia. Salat memiliki aturan-aturan dan tata cara tesendiri (kaifiyah şalãt) sesuai ketentuan syariat.
Dalam salat terdapat rukun-rukun salat, syarat sah salat, dan hal-hal yang dapat membatalkan salat. Kesemuanya telah dijelaskan dalam Bab II dari skripsi ini. Tata cara salat (kaifiyah şalãt) itu telah diatur oleh syariat, dengan penjelasan terperinci dari hadis-hadis Nabi, qaul sahãbat dan ijma’ para fuqaha. Salat harus dilakukan dengan penuh kekhusyukan menghadap-Nya dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah. Perlu diketahui juga, sejauh mana pengaruh dari kekhusyukan terhadap essensi dan inti daripada salat tersebut.
Sehubungan dengan jenis hadis, hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita yang variatif tersebut dapat dikategorisasikan dalam hadīs qauliyyah, hadīs fi’liyyah, hadīs taqririyyah dan hadīs mauqūf. Hadīs qauliyyah memiliki level pertama dalam hadis Nabi karena periwayat mendengar langsung ucapan atau hadis Nabi tersebut. Hadīs qauliyyah ini memiliki kedudukan tertinggi dibanding hadīs fi’liyyah dan hadīs taqririyyah maupun hadīs mauqūf. Hal itu disebabkan karena hadīs qauliyyah itu sahabat mendengar langsung ucapan Nabi sehingga diyakini kebenarannya. Sedangkan dalam menghadapi hadīs fi’liyyah dan hadīs taqririyyah memiliki banyak kemungkinan pemahaman karena tiada kepastian ucapan, banyak pradugaan yang ditimbulkan. Hadīs mauqūf terkadang diragukan karena sahabat memang seorang yang paling dekat dan mengenal kehidupan Nabi secara langsung serta memiliki keadilan yang tidak diragukan, namun dalam hal tingkat ke-dabit-an sahabat terdapat beberapa tingkatan.
Setelah diketahui kedudukan dan posisi hadis tersebut ternyata sama-sama kuatnya, namun ternyata hadis-hadis yang menjelaskan terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita lebih kuat dibanding yang lainya karena hadis itu berupa hadīs qauliyyah. Di samping itu hadis tersebut memiliki banyak syãhid dan mutãbi’ yang menjadi penguatnya. Meskipun salah satu periwayatnya terdapat tadlīs dari jalur periwayatan Abū Żar yang hanya dimuat dalam Sunan Abū Dãwud, namun periwayat adalah seorang yang śiqah dan sezaman, bahkan riwayat Abū Żar dari jalur periwayatan yang lainnya, keseluruhan periwayatnya adalah śiqah. Sehingga kredibilitas periwayat tetap saja dapat diterima. Kemudian sebenarnya permasalahannya adalah problem pemaknaan, bagaimana memahami hadis tersebut secara tepat dan proporsional dengan perkembangan zaman.
Mengenai anjing memiliki multi-interpretasi. Di antaranya adalah anjing dalam arti sesungguhnya wujud anjing, seekor hewan yang air liurnya membawa najis. Mengapa air liurnya anjing itu najis, ini merupakan hal yang problematik. Ternyata, setelah diteliti air liur anjing itu memiliki zat-zat kimia atau virus yang membawa penyakit rabies. Dengan najis yang dimiliki anjing tersebut jika ia melintas di depan orang yang salat tanpa satir, maka amat dikhawatirkan orang yang salat itu terkena najis yang dibawa anjing itu.
Menurut ketentuan syariat, salah satu dari syarat sah salat adalah suci badan, pakaian dan tempat salat dari najis. Sedangkan salat menjadi batal jika tidak terpenuhi syarat sah salat dan rukun-rukun salat. Jika orang yang salat atau tempat salat tersebut terkena najis yang ditimbulkan dari melintasnya anjing tersebut, maka salah satu syarat sah salat tidak terpenuhi sehingga salat menjadi batal karena tidak terpenuhi salah satu dari syarat sah salat tersebut.
Penulis cenderung memiliki pemahaman yang berbeda mengenai anjing dalam hadis tersebut. Anjing dalam hadis tersebut tidak dapat dimaknai tekstual sebagai sebenar-benarnya wujud hewan, yakni anjing, namun hanya sebagai simbol dari setan.
Hal ini berangkat dari redaksi matan hadis yang sedikit berbeda yakni dari jalur periwayatan dari Abū Żar dan salah satu hadis dari jalur periwayatan Ibn Abbãs yaitu dengan pengkhususan pada anjing hitam, bukan anjing kuning atau anjing merah. Anjing hitam dijelaskan sebagai simbol dari setan yang memang memiliki profesi mengganggu segala tindakan kebaikan manusia termasuk di dalamnya salat sebagai media mendekatkan diri kepada Allah dan salah satu wujud ketakwaan kepada-Nya. Hal tersebut juga diperkuat argumen dengan adanya hadis lain yang relevan dengan kajian ini adalah sebagai berikut :
اَنَّ رَسُوْلَ الله ص.م. قَالَ: لَوْلَا اَنَّ اْلكِلَابَ اُمَّةٌ مِنَ اْلُاَمَمِ, لَاأَمَِرْتُ بِقَتْلِهَا وَلَكِنْ اقْتُلُوْا مِنْهَا كُلُّ اَسْوَادٍ بَهِيْمٍ
Artinya: Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: Kalaulah anjing itu bukan salah satu umat dari umat-umat maka sungguh aku perintahkan untuk membunuhnya, tetapi bunuhlah anjing hitam dari mereka.
Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa anjing adalah hewan yang merupakan umat juga yang tidak boleh dibunuh kecuali anjing hitam. Disini terdapat pengkhususan pada anjing hitam, tentunya ada sebab yang melatarbelakanginya. Dijelaskan bahwa anjing hitam adalah simbol dari setan yang mengajak pada kejahatan dan akan mengganggu serta menghancurkan segala kebaikan dan tidak memberikan kemanfaatan. Anjing hitam adalah dari golongan jin yang paling lemah yaitu setan. Bagi penulis, setan dapat menjelma dalam bentuk apa saja karena setan dapat berupa sifat atau tabiat yang buruk yang selalu ingin menghancurkan segala bentuk kebaikan dan dapat pula berupa jenis makhluk yang memiliki profesi mengganggu ketenangan hidup manusia yang berada dalam kebaikan dan kebahagiaan yang hakiki, yakni derajat ketakwaan di sisi Allah.
Ternyata setelah dilihat dari kedudukan hadis tersebut dari kedua redaksi yang menyatakan anjing saja dan pengkhususan pada anjing hitam tersebut sejajar sama-sama hadīs hasan şahīh, yang masing-masing memiliki tadlīs, dari salah satu periwayatnya, namun karena periwayat-periwayat lainnya adalah seorang yang śiqah, jujur dan terpercaya, maka tetap dapat diterima kredebilitas perawi dan validitas hadisnya. Namun konsekuensinya hadis tersebut menduduki level hadīs hasan şahīh.
Kemudian mengenai keledai adalah seekor binatang yang menjijikkan yang dapat memutuskan salat seseorang. Hal ini harus ditinjau kembali untuk reinterpretasi terhadap hadis tersebut. Di samping itu, penulis menemukan hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbãs bahwa ia pernah melintas di depan sekelompok orang yang sedang salat dengan menunggangi keledai dan salat tersebut tidak menjadi batal karenanya. Hadis tersebut berbentuk hadīs fi’liyyah dan memiliki kedudukan hadīs hasan şahīh. Adapun redaksi hadisnya sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ مَنْصُورٍ عَنِ الْحَكَمِ عَنْ يَحْيَى بْنِ الْجَزَّارِ عَنْ أَبِي الصَّهْبَاءِ قَالَ تَذَاكَرْنَا مَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ عِنْدَ ابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ جِئْتُ أَنَا وَغُلَامٌ مِنْ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ عَلَى حِمَارٍ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فَنَزَلَ وَنَزَلْتُ وَتَرَكْنَا الْحِمَارَ أَمَامَ الصَّفِّ فَمَا بَالَاهُ وَجَاءَتْ جَارِيَتَانِ مِنْ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَدَخَلَتَا بَيْنَ الصَّفِّ فَمَا بَالَى ذَلِكَ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَدَاوُدُ بْنُ مِخْرَاقٍ الْفِرْيَابِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ بِهَذَا الْحَدِيثِ بِإِسْنَادِهِ قَالَ فَجَاءَتْ جَارِيَتَانِ مِنْ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ اقْتَتَلَتَا فَأَخَذَهُمَا قَالَ عُثْمَانُ فَفَرَّعَ بَيْنَهُمَا وَقَالَ دَاوُدُ فَنَزَعَ إِحْدَاهُمَا عَنِ الْأُخْرَى فَمَا بَالَى ذَلِكَ
Artinya:
Musaddad telah menceritakan kepada kami, Abū Awãnah telah menceritakan kepada kami dari Mansūr dari al-Hakam dari Yahyã bin Jazzãr dari Abū Shabhãi dia berkata: Pernah kami memgadakan pembicaraan tentang sesuatu yang membatalkan salat di dekat Ibnu Abbãs r.a. lalu dia berkata: Aku pernah tiba bersama seorang pemuda dari Bani Abdul Muţalib mengendarai keledai, sedangkan Rasulullah sedang mengerjakan salat. Lalu pemuda itu dan aku turun dan kami tinggalkan keledai itu di depan shaf, tetapi beliau tidak menghiraukannya. Kemudian datang pula dua orang gadis Bani Abdul Muţalib bertengkar, maka beliau pisahkan keduanya, lalu beliau tidak menghiraukannya.
Dari beberapa hadis yang diriwayatkan Ibn Abbãs tentang terputusnya salat tersebut memiliki beberapa redaksi yang berbeda yaitu bahwa suatu saat ia meriwayatkan hadis bahwa tidak ada sesuatu yang dapat memutuskan salat dan dalam redaksi lain, salat dapat terputus karena melintasnya wanita dan anjing serta mengenai keledai tidak dapat memutuskan salat dalam redaksi hadis yang lainya. Di sinilah penulis justru berprasangka bahwa terdapat ketidak konsistenan pada diri Abdullah bin Abbãs sehingga akan meragukan tingkat ke-dabit-annya.
Selanjutnya setelah diteliti penulis mendapatkan informasi bahwa hadis yang diriwayatkan oleh ‘Āisyah yang dimuat dalam Şahīh Bukhãrī diletakkan pada bab “salat tidak dibatalkan oleh sesuatu”. Ternyata, hadis ‘Āisyah ini adalah bentuk hadis bantahan atas hadis-hadis yang menyatakan bahwa wanita dapat memutuskan salat. ‘Āisyah menolak hadis tersebut karena ia pernah tidur berbaring di depan Nabi ketika beliau sedang salat, di sini Nabi tidak menyuruhnya berpindah namun ‘Āisyah sendiri berinisiatif memindahkan kakinya karena khawatir akan mengganggu salat Nabi saja.
Fatima Mernissi sebagai salah seorang pemerhati hadis-hadis misoginis termasuk hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita. Dalam analisis ini sedikit dipaparkan mengenai pemahaman Fatima terhadap hadis tersebut. Fatima dalam memahami hadis ini dengan terlebih dahulu menjelaskan essensi salat menghadap kiblat. Baginya menjadikan Ka’bah sebagai kiblat merupakan usaha pemusatan salat dan penyatuan wilayah. Islam memberitahukan ajarannya bahwa masjid sebagai tempat ibadah atau salat tidak seperti agama lain. Ia bukanlah penata semata sebuah bangunan, sebuah konstruksi melainkan terutama sebuah perspektif. Masjid ada dimana-mana. Seluruh permukaan bumi adalah masjid. Sehingga ka’bah yang berada di Makkah yang menjadi simbol tempat yang suci, kemudian menjadi kiblat bagi orang-orang salat harus mengarah kepadanya.
Dengan demikian salat dapat dilakukan dimana saja baik di jalanan, sebuah lorong, kebun dan bahkan dalam peperangan serta berbagai tempat lainnya asal memenuhi syarat sah salat sesuai ketentuan syariat. Rasulullah misalnya, biasa menancapkan pedang di hadapannya, yang dengan sendirinya menjadi petanda kiblatnya. Bahkan, selagi melakukan perjalanan atau di dalam ekspedisi militer, Rasulullah sering mendirikan salat sambil bergerak. Dalam perspektif hadis ini, jika seseorang telah membangun kiblat simbolis, ia tidak boleh membiarkan sesuatupun melintas antara ia dengan kiblatnya, agar tidak mengganggu kekhusyukan salat. Dalam redaksi hadis ini secara tersurat, wanita disamakan dengan anjing dan keledai dan menyebut wanita sebagai pengganggu salat menimbulkan kontradiksi antara hakikat wanita dengan kesucian tempat salat. Selanjutnya, mempersamakan wanita dengan anjing dan keledai, berarti sama saja memasukkan wanita dalam spesies hewan.
Setelah diteliti secara jeli, ternyata dalam Sahīh Bukhãrī tidak terdapat hadis yang menyatakan terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita. Justru yang ada adalah hadis ‘Āisyah yang menyanggah dan menolak hadis tersebut. Fatima juga cenderung tidak mau merujuk kitab-kitab syarh hadis yang mengkaji hadis-hadis tersebut, ia hanya mengikuti pemahamannya, tanpa meneliti data-data dan informasi yang telah terpercaya kevaliditasannya. Fatima justru menuduh hadis-hadis misoginis merupakan konspirasi kelompok laki-laki untuk mempertahankan status quonya di tengah-tengah masyarakat tidak sepenuhnya benar.
Selanjutnya perlu kiranya mengkritisi pemahaman Fatima terhadap hadis terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita sebagaimana telah diteliti oleh Kadarusman dalam skripsinya dengan judul Kritik Hadis Perspektif Gender: Studi atas Pemikiraan Fatima Mernissi dan karya monumentalnya yang mana ia menghujat eksistensi dari Abū Hurairah sebagai sahabat Rasulullah yang banyak meriwayatkan hadis. Ia juga menyatakan bahwa hadis dari Abū Hurairah dimuat dalam Sahīh Bukhãrī, namun setelah diteliti ternyata dalam Sahīh Bukhãrī tidak terdapat hadis Abū Hurairah, hanya ada hadis sanggahan dari ‘Āisyah sebagai respon adanya hadis terputusnya salat.
Fatima Mernissi juga menuduh Abū Hurairah sebagai sosok yang menjenuhkan kehidupan sehari-hari perempuan Muslim modern. Penilaian Fatima terhadap Abū Hurairah itu memiliki dua argumen, yaitu perdebatan misteri nama Abū Hurairah, yang sebelumnya bernama Abdu asy-Syamsy (hamba sang matahari) dan peran Abū Hurairah sebagai pembantu Nabi yang selalu mengikuti gerak langkah Nabi, kadangkala membantu di tempat kediaman perempuan. Hal ini menunjukkan ketidakjantanan Abū Hurairah.
Kemudian setelah dilihat dalam sumber asli penukilan Fatima dalam teks Al- Işãbah secara lengkap teksnya, justru akan tampak kehormatan dan kejantanan Abū Hurairah. Ternyata, Abū Hurairah tidak membantu di tempat kediaman perempuan, namun justru Abū Hurairah selalu menyertai Rasulullah berkeliling ke rumah istri-istri beliau, ia melayani beliau. Ia berperang bersama beliau dan ia pun melaksanakan haji bersama beliau. Bahkan dalam kitab Difã’an Abī Hurairah dijelaskan bahwa Abū Hurairah pernah terjun dalam peperangan bersama Nabi yaitu perang Dzat ar-Riqa’, Penaklukan Makkah, Perang Hunain, perang Tabuk, perang Mut’ah dan sesudah itu ikut perang melawan murtadin, perang di Yarmuk, Armenia dan Georgia.
Polemik kesetaraan jender berawal dari penafsiran teks yang merugikan satu jenis kelamin. Padahal, Rasulullah memperlakukan laki-laki dan perempuan secara adil. Islam datang dengan mengangkat derajat perempuan sebagai makhluk yang dianggap lemah pada masa pra Islam. Penafsiran terhadap teks yang bernuansa feminisme terdapat dua versi; pertama, penafsir yang melegitimasi tradisi patriarkal atau meletakkan perempuan di bawah dimensi laki-laki. Kedua, penafsir kontemporer dan kaum feminis, orientasinya adalah membongkar tradisi patriarkal dan merekonstruksi kesederajatan laki-laki dan perempuan.
Kritik Asghar terhadap penafsir klasik yang dipengaruhi feodalisme. Keunggulan laki-laki atas perempuan sebenarnya adalah keunggulan fungsional. Sehingga superioritas laki-laki atas perempuan dalam kekuatan fisik dan akal bersifat kontekstual dan tidak bisa dijadikan sebagai pijakan yang konsisten.
Di sinilah jelas bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama dan setara, namun kesamaan dan kesetaraan itu tidak secara mutlak karena ada beberapa hal yang kodrati bagi perempuan seperti menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui. Dengan demikian, laki-laki memang memiliki kesamaan dan kesetaraan, tidak ada subordinasi dominasi laki-laki terhadap perempuan, sehingga hubungan keduanya dapat dipahami secara fungsional. Perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang dikarenakan keterbatasan masing-masing, yang hanya bisa dilengkapi atau disempurnakan oleh lawan jenisnya baik laki-laki atau perempuan. Di sini jelas bahwa laki-laki dan perempuan memiliki keterikatan dan ketergantungan satu sama lain, artinya bahwa tidak ada perbedaan kedudukan laki-laki dan perempuan. Jelas, dalam kehidupan ini yang ada hanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, tidak ada pendiskreditan pada perempuan serta subordinasi dominasi laki-laki atas perempuan.
Sehubungan dengan hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya perempuan itu tidak dapat dipahami secara tekstual. Di sini ada dua kemungkinan pemahaman bahwa hadis tersebut dapat dikompromikan dengan hadis ‘Āisyah, wanita yang dimaksud di sini adalah wanita tertentu yang memiliki sifat-sifat yang mengajak pada kejahatan. Jelasnya wanita yang menyandang sifat setan, mengganggu kekhusyukan salat. Kemungkinan pemahaman kedua, ialah bahwa memutuskan salat tersebut tidak dapat diartikan sebagai membatalkan salat, namun cenderung pada merusak salat dalam arti mengurangi kekhusyukan salat saja, sehingga konsekuensinya bahwa jika ada laki-laki yang melintas di depan orang salat, maka akan merusak salat pula, yakni mengurangi kekhusyukan salat. Hal itu juga akan mengurangi adanya bias jender yang terjadi pada hadis tersebut. Islam membawa ajaran penyetaraan laki-laki dan wanita tidak ada pendiskreditan perempuan. Oleh karena itu, penulis memahami bahwa melintasnya wanita tidak dapat memutuskan salat dalam arti membatalkan salat, namun dapat merusak salat yakni mengurangi kekhusyukan salat. Implikasinya adalah salat terganggu kekhusyukannya sehingga tidak dapat berkonsentrasi penuh dalan menghadap Tuhan dalam ritual salatnya. Hal tersebut diperjelas oleh hadis Nabi saw. sebagai berikut :
حَدَّثَنَا عَبْدُاللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي النَّضْرِ مَوْلَى عُمَرَ بْنِ عُبَيْدِاللَّهِ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ أَنَّ زَيْدَ ابْنَ خَالِدٍ أَرْسَلَهُ إِلَى أَبِي جُهَيْمٍ يَسْأَلُهُ مَاذَا سَمِعَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَارِّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي فَقَالَ أَبُو جُهَيْمٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ قَالَ أَبُو النَّضْرِ لَا أَدْرِي أَقَالَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا أَوْ شَهْرًا أَوْ سَنَةً
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Abdullãh bin Yūsuf berkata, telah mengkabarkan kepada kami Malik, dari Abī Nadhr Maula ‘Umar bin Ubaidillãh dari Busrin bin Sa’īd, sesungguhnya Zaid bin Khãlid menyuruh dia pergi kepada Abū Juhaim menanyakan apa yang telah didengarnya dari Rasulullah tentang perkara orang yang melintas di hadapan orang yang salat. Abū Juhaim berkata: Rasulullah saw. bersabda: Kalau sekiranya orang yang melintas di hadapan orang yang salat itu mengetahui akan dosanya, niscahya berdiri empat puluh tahun lamanya lebih baik daripada melintas di hadapan orang yang salat.
Di sini jelas dipaparkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan tidak boleh melintas di depan orang yang salat. Tidak ada pembedaan antara laki-laki atau perempuan. Hal ini dapat dilihat dari lafal المار yang menunjukan keumumannya yang mencakup seluruh jenis manusia baik itu laki-laki atau perempuan karena damir هو yang bersifat umum tanpa pengkhususan pada jenis tertentu, sehingga keduanya mendapat bagian atas larangan ini karena keduanya sama-sama dapat mengganggu konsentrasi dan kekhusyukan orang yang salat jika melintasi di depannya. Akibatnya, salat menjadi rusak, terkurangi kekhusyukannya, namun tidak sampai berakibat fatal yakni membatalkan salat tersebut.
Selanjutnya melihat bangunan tempat salat (masjid) sekarang tidak memungkinkan dilintasi oleh tiga hal tersebut yang telah menerapkan konsep satir sebagai pembatas salat. Dengan bentuk bangunan yang sedemikian rupa akan memberikan ketenangan dan kekhusyukan orang yang salat tanpa ada gangguan nyata yang dapat memecahkan konsentrasinya bermunajat menghadap-Nya.
Dari berbagai informasi yang ada, dapat diambil satu nilai ajaran Islam tentang salat bahwa salat yang dilaksanakan di kebun, jalan, tanah lapang atau tempat terbuka maka harus menggunakan satir sebagai pembatas salat yang meminjam bahasa Fatima dengan kiblat simboliknya agar tidak ada sesuatupun yang dapat melintas di depan orang yang salat yang dapat memutuskan salat dalam arti merusak salat, menganggu pelaksanaan ritual salat sehingga mengurangi kekhusyukan salat, tidak sampai level membatalkan salat.
Dalam memahami hadis yang menjelaskan bahwa salat dapat terputus karena melintasnya anjing, keledai dan wanita, penulis juga mencoba melihat dari dua perspektif pemahaman yakni mencermati pemaknaan dan pemahaman terhadap hadis tersebut dilihat dari berbagai lingkup kajian dan juga perspektif keilmuan baik dari fikih maupun tasawuf. Dilihat dari kajian kebahasaan, bahwa قطع الصلاة dimaknai dengan memutuskan salat dalam arti membatalkan salat atau merusak salat, penulis cenderung memaknainya dengan merusak salat artinya mengurangi kekhusyukan dan konsentrasi salat saja, tidak sampai level membatalkan salat. Implikasinya adalah berkurangnya atau hilangnya substansi salat dari sudut pandang kekhusyukan salat dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah dan mencapai derajat ketakwaan di sisi-Nya.
Menindaklanjuti pendapat Syãfi’ī bahwa terputusnya salat dimaknai merusak salat, artinya sekedar mengurangi kekhusyukan salat, bukan membatalkaan salat. Ketika merujuk pada pemaknaan memutuskan salat, hadis tersebut dapat dipahami sebagai membatalkan salat atau merusak salat.
Dengan demikian, hadis tersebut harus dilihat melalui kacamata, cara pandang dan perspektif yang berbeda. Jika ditinjau dari perspektif fikih, bahwa salat memiliki tata cara sesuai ketentuan syariat. Dalam syariat, tidak ada yang menjelaskan bahwa melintasnya anjing, keledai dan wanita dapat memutuskan salat dalam arti membatalkan salat, namun merusak salat. Para fuqahã’, yaitu Hanafī, Hambalī, Syãfi’ī dan Malikī dalam menanggapi hadis tersebut, mereka sepakat memahami bahwa salat itu dapat terputus karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dalam arti hanya merusak salat yakni mengurangi konsentrasi dan kekhusyukan salat di saat bermunajat dengan Allah. Implikasinya adalah mengurangi kesempurnaan ritual salat. Di sini proporsi kekhusyukan salat itu berkurang karena adanya beberapa gangguan yang melintasinya yakni anjing, keledai dan wanita. Dengan begitu salat tidak menjadi batal sehingga tidak harus mengulang salat dari awal ritualnya. Pemahaman yang demikian itu berangkat dari adanya ketentuan syariat bahwa ada beberapa hal yang dapat membatalkan salat dalam arti fatal dan makna kebahasaan serta dari berbagai data-data sebagaimana dalam Bab III dari hadis-hadis tematik, konfirmasi petunjuk al-Qur’an dan analisis terhadap data yang ada. Sehingga term hadis ini, hanya masuk pada kategori merusak salat. Kemudian tiga hal ini pula tidak dapat diartikan secara tekstual, apa kata teks, namun harus dipahami secara lebih luas, ada kemungkinan tiga hal tersebut hanya sebagai simbol dari setan yang memang telah memiliki profesi mengganggu manusia dalam segala hal gerak-gerik dan tindakan kebaikan manusia.
Telah diketahui juga bahwa salat menjadi batal menurut syariat karena beberapa hal yaitu makan dan minum dengan sengaja, berbicara dengan sengaja, mengerjakan pekerjaan banyak dengan sengaja, tertawa terbahak-bahak, meninggalkan suatu rukun dan syarat sah salat dengan sengaja dan tidak ada udzur. Lebih jelasnya, dapat dilihat pada bab II dari skripsi ini.
Ditinjau dari perspektif tasawuf, salat itu harus dilaksanakan dengan penuh konsentrasi dan kekhusyukan. Jika salat tidak dilakukan dengan begitu maka salat tersebut tidak berarti apapun. Dalam perspektif tasawuf, kekhusyukan salat termasuk pada syarat sah salat, sehingga jika tidak terpenuhi salah satu dari syarat sah salat tersebut, yakni kekhusyukan salat, maka salat akan menjadi batal karena kekhusyukkannya terganggu atau terpecahkan oleh melintasnya wanita yang menebarkan harum kebahagiaan dunia. Inti dan substansi dari salat adalah kesempurnaan salat yang dilakukan dengan penuh kekhusyukan dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah, bermunajat di hadapan-Nya dan mengharap ridha dari-Nya serta mencapai derajat ketakwaan di sisi Allah. Jelas, salat dapat terganggu kekhusyukannya karena melintasnya anjing, keledai dan wanita. Menurut perspektif tasawuf, jika kekhusyukan salat telah hilang, maka hilang pulalah essensi salat tersebut. Implikasinya, salat telah menjadi batal, sehingga harus diulang kembali sampai salat dapat dilakukan dengan penuh kekhusyukan. Ketiga hal dalam hadis tersebut, yaitu anjing, keledai dan wanita itu juga tidak dapat dimaknai tekstual sebagaimana dijelaskan sebelumnya tersebut di atas.
Kemudian jika teks hadis tersebut dikontekstualisasikan dengan kondisi sekarang, maka ketiga hal tersebut tepatnya dimaknai dengan setan yang mengganggu salat dari sisi kekhusyukannya. Setan adalah bentuk atau sifat yang dapat menimpa pada semua makhluk yang memiliki profesi mengganggu ketenangan hidup manusia yang melakukan kebaikan dalam rangka mencapai derajat ketakwaan kepada Allah swt. Setan selalu melakukan kejelekan dan kejahatan, tidak menyukai kebaikan. Kalaupun diartikan secara tekstual, maka hadis tersebut tidak berarti apapun juga bagi kehidupan sekarang. Akibatnya hadis tersebut tidak memiliki peran apapun dengan kondisi kekinian. Hal itu disebabkan kondisi kekinian yang sudah jauh berbeda seiring dengan bergulirnya waktu dengan berbagai perubahan sepanjang zaman. Untuk itu, anjing, keledai dan wanita akan lebih tepat dimaknai dengan setan, sehingga hadis tersebut disajikan dalam bentuk ungkapan simbolik dari setan yang dapat mengganggu kekhusyukan salat. Satu hal yang tak terlupakan bahwa setan dapat berwujud dalam bentuk apa saja untuk mengganggu dan menggoda manusia terutama ketika manusia berbuat kebaikan dan ibadah untuk mencapai derajat ketakwaan kepada Allah.
B. Implikasi Hadis Tentang Terputusnya Salat karena Melintasnya Anjing, Keledai dan Wanita Terhadap Ritual Pelaksanaan Ibadah Salat
Dengan melihat relevansi antara teks dan konteks sekarang dengan pertimbangan ketentuan syariat tentang kaifiyah salat dan pemaknaan kebahasaan teks hadis serta data-data syarh matan hadis dengan peluasan pemahaman dengan makna generalisasinya, hadis tersebut dapat dipahami dengan yang paling mendekati kebenaran bahwa yang dimaksud daripada lafal قطع الصلاة adalah merusak salat, dalam arti hanya mengurangi kekhusyukan salat. Di sinilah nilai dan substansi dari kesempurnaan salat itu terkurangi karena tidak terpenuhi satu organ dari serangkaian runtutan pelaksanaan ritual salat.
Dengan melihat kondisi kehidupan kekinian yang serba terkonstruk dengan bangunan dan fasilitas kehidupan yang memadai, maka salat tidak lagi dilakukan di jalanan, tapi dilaksanakan di tempat ibadah khusus, yakni disebut dengan masjid atau musholla. Dengan bentuk bangunan masjid atau musholla tersebut, salat dapat terkondisikan dengan baik, sehingga konsep satir yang diinginkan sudah terpenuhi dengan adanya dinding tembok yang membatasinya.
Konsekuensi hadis tersebut bahwa kekhusyukan salat harus selalu dijaga dan diperhatikan karena salat yang dilakukan dengan khusyuk akan memberikan ketenangan dan kenyamanan di jiwa. Salah satu caranya mencegah terpecahnya konsentrasi menghadap Allah dengan menghindari melintasnya sesuatupun di depannya yang dapat berbentuk apa saja dengan meletakkan satir di depannya.
Ditinjau dari sisi historis, inti dari hadis tersebut adalah bahwa jika salat dilaksanakan pada tempat yang terbuka seperti jalan, tanah lapang dan lain-lain maka harus mengunakan pembatas salat (satir) agar terhindar dari beberapa hal yang dapat melintas di depannya baik itu berupa anjing, keledai, wanita, kendaraan atau bentuk lain yang dapat memecahkan konsentrasi dan kekhusyukan seseorang yang salat. Dalam konteks kekinian hal yang banyak melintas di jalanan adalah kendaraan yang berlalu lalang sebagai alat transportasi. Berbeda dengan zaman Nabi dahulu, alat transportasi adalah keledai yang memungkinkan melintas di depan sekelompok orang yang salat.
Selanjutnya pemahaman hadis tersebut tidak hanya sempit pada ketiga hal saja anjing, keledai dan wanita saja yang dapat memutuskan salat, namun juga meluas pada segala bentuk-bentuk lain seperti benda yang indah dan menarik, jenis hewan yang selain kedua tersebut di hadis, atau kendaraan dalam konteks sekarang yang sering melintas di mana saja yang dapat mengurangi kekhusyukan salat. Hadis ini hanya saja mengambil sampel pada dua hewan tersebut dan wanita yang biasanya mereka menjadi simbol dari hal-hal yang mudah memecahkan konsentrasi seseorang dalam segala hal gerak langkahnya karena kelincahannya, daya tariknya dan simbol sesuatu yang suka mengajak pada kejahatan dan menjauhi serta membenci segala kebaikan sehingga akan melakukan apa saja untuk menggagalkan segala tindakan kebajikan.
Ketiga hal yang terdapat dalam hadis tersebut yaitu anjing, keledai dan wanita adalah beberapa bentuk hal-hal yang dapat mengganggu pelaksanaan kekhusyukan salat. Ketiganya adalah bentuk implementasi dari setan yang memiliki karakter menjerumuskan pada kejahatan dan menjauhi segala bentuk kebajikan termasuk halnya ibadah salat. Setan adalah salah satu golongan jin yang dapat menjelma dalam berbagai bentuk rupa. Ada pula yang mengatakan bahwa setan adalah sifat jahat yang mengajak pada kebatilan dan menjauhi segala kebajikan yang dapat melekat pada siapa saja. Setan sebagai makhluk yang dianggap selalu mengganggu tindakan manusia dalam upayanya mendekatkan diri kepada Allah dalam ritual ibadah salatnya.
Kemudian implikasi yang mendasar dilihat dari perspektif fikih, salat tidak menjadi batal secara fatal karena beberapa hal yang dapat mengganggu konsentrasi dan kekhusyukan orang yang salat baik berupa melintasnya sesuatu di hadapannya atau terlintasnya fikiran yang menyimpang dari substansi salat tersebut. Hal itu hanya berada dalam kategori merusak salat, maksudnya essensi, inti dan kesempurnaan salat terkurangi seiring dengan berkurangnya kekhusyukan salat.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Pembahasan hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dengan kajian ma’ãnī al-hadīs, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pemaknaan hadis tentang teputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita perlu ditinjau kembali untuk memperoleh pemahaman yang tepat. Salat sebagai ibadah mahdah, yang harus dilaksanakan sesuai ketentuan syariat. Dengan mempertimbangkan ketentuan syariat dalam pelaksanaan salat dan historisitas kondisi Arab pada masa Nabi dibandingkan dengan kondisi masa sekarang yang jauh berbeda, maka hadis tersebut harus dipahami secara kontekstual. Kemudian kandungan hadis tersebut juga bersifat universal, bahwa tiga hal tersebut, yakni anjing, keledai dan wanita merupakan simbol dari beberapa hal yang dapat mengurangi kekhusyukan salat. Artinya, adalah segala sesuatu bentuk atau wujud yang menyandang sifat setan yang dapat mengganggu kekhusyukan salat tersebut. Dengan adanya beberapa data-data dan informasi yang menjelaskan hal-hal yang dapat membatalkan salat secara fatal dan juga beberapa hal yang dapat mengurangi kekhusyukan salat, maka salat harus dilaksanakan dengan penuh kekhusyukan dan berusaha menghindari hal-hal yang dapat mengganggu kekhusyukan salat dan mengurangi inti dan substansi dari salat tersebut.
Dengan melihat kondisi kehidupan kekinian dengan adanya bangunan masjid dan musholla sebagai tempat salat di mana-mana, maka hal ini akan memudahkan seorang muslim untuk melaksanakan ritual ibadah salat. Di sinilah konsep satir telah terlaksana, dengan adanya dinding-dinding yang membatasinya, sehingga penggunaan konsep kiblat simbolik jarang terjadi di masa sekarang. Sebenarnya pemahaman terhadap hadis tersebut tidak sempit sebagaimana teks adanya. Hadis tersebut hanya relevan pada konteks kehidupan Rasul jika dimaknai secara tekstual, tetapi harus dikontekstualisasikan di masa sekarang sebagai refleksi dan wacana pemikiran hadis dengan menguji kevaliditasannya dan dipahami secara tepat dan proporsional, bahkan mendekati kebenaran. Ditinjau dari sisi kebahasaan, sosio-historis, kajian tematik-komprehensif, kajian konfirmasi dengan petunjuk-petunjuk al-Qur’an dan berbagai perspektif keilmuan, maka hadis tersebut dapat dipahami lebih luas dengan merelevansikan teks dan konteks dengan berbagai perspektif. Dilihat dari perspektif fikih, memutuskan salat berarti sebatas merusak salat, mengurangi kekhusyukan salat saja, tetapi dapat dipahami dengan membatalkan salat, jika dilihat dari perspektif tasawuf. Kemudian ketiga hal tersebut hanyalah simbol dari pengganggu kekhusyukan salat. Pada hakikatnya yang dapat memutuskan salat dalam arti merusak salat adalah setan dan atau segala bentuk wujud yang menyandang sifat-sifat setan.
Saran-saran
Dalam studi hadis, perlu kiranya menggunakan metodologi kritik hadis yang baru, sehingga metodologi kritik hadis itu tidak statis, namun mampu berdialog dengan perkembangan metodologi untuk memperoleh sebuah metodologi yang baru. Lebih jauh kritik sanad dan matan mampu menjadi problem solver, memecahkan persoalan umat di era kontemporer.
Studi kritik hadis dengan menggunakan berbagai pendekatan, maka akan mendapatkan hasil yang optimal. Karena keterbatasan pendekatan yang dilakukan penulis, maka hasil penelitian pun amat sempit.
Pembahasan seputar hadis-hadis yang terkait dengan salat amat diperlukan karena salat adalah sarana mewujudkan nilai-nilai ketakwaan. Dengan demikian, perlu kiranya melakukan kajian yang mendalam tentang ma’ãnī al-hadīs dalam kaitan dengan ilmu fikih terutama cakupannya pada ibadah mahdah. Di sinilah kemudian implikasinya pada hukum syariat sabagai aturan hukum Islam.
Pembahasan hadis-hadis yang bernuansa wacana jender memiliki banyak sisi keunikan dilihat dari sisi periwayatnya ataupun dari pemaknaan matan hadis dilihat dari berbagai perspektif. Ada banyak sisi dan cara pandang yang dapat diteliti dan dikembangkan dalam memahami hadis-hadis yang berbau misoginis. Semakin banyak pemahaman yang muncul, akan memperluas wacana keilmuan hadis dalam khazanah pemikiran hadis. Sehingga penulis mengharapkan masih ada penulis lain yang berminat untuk meneliti atau mengkaji hadis-hadis yang berbau misoginis lainnya.
Kata Penutup
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis persembahkan kepada Allah Ta’ala yang telah melimpahkan rahmat dan ampunan-Nya yang tak pernah henti, cahaya ilmu yang selalu terpancarkan, yang telah memberikan kekuatan, kemampuan dan kesabaran bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
Peranan dosen pembimbing yang selalu meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, saran, inspirasi dan motivasi selama proses penulisan skripsi ini. Dengan demikiaan, penulis mengucapkan banyak terimakasih. Juga pada semua pihak yang ikut berperan dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis telah mengerahkan segala usaha dan kemampuan untuk meyelesaikan skripsi ini, meskipun masih banyak kekurangan dan kesalahan, maka kami mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak. Semoga skripsi ini bermanfaat dalam khazanah perkembangan pemikiran pemahaman hadis. Akhirnya, hanyalah syukur yang dapat kami sampaikan kepada Allah Ta’ala yang selalu melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepada hambanya ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, Abi Tayyib Muhammad Syamsul Haq. Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud. Madinah: Maktabah Salafiyah,1968
Abū Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’īd bin Hazm, al-Muhallã, Juz IV. Beirūt: Dar al-Fikr, t.th
Adlabi, Sholehuddin. Manhaj Naqd al-Matan. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983
Amin, Qasim. Sejarah Penindasan Perempuan, Menggugat “Islam Laki-Laki”Menggurat Perempuan Baru. Yogyakarta: IRCiSod, 2003
Asqalãnī, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fath al-Barī bi Syarh Sahīh Imãm Abī Abdillah Muhammad bin Ismã’īl al-Bukhãrī. t.tp.: al-Maktabah al-Salafiyah, t.th
Asqalãnī, Ibnu Hajar. Al-Ishãbah fi Tamyīz ash-Shahãbah, Juz VII. Beirūt: Dãr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th
Bakar, Anton. Metode Research. Yogyakarta: Kanisius, 1992
Bakri, Oemar. Islam Menentang Sekularisme Jakarta: Mutiara, 1984
Dainuri, Imam Abdullah bin Muslim bin Qutaibah al-Dainūrī. Ta’wil Mukhtalif al-Hadis. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1995
Darimi, Abū Muhammad bin Bahramī. Sunan ad-Dãrimi, Juz I. Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th
Djamaris, Zainal Arifin. Menyempurnakan Shalat dengan Menyempurnakan Kaifiat dan Menggali Latar Filosofinya. Jakarta: Grafindo Persada, 1997
Faiz, Fakhruddin. Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi. Yogyakarta: Qalam, 2002
Fakih, Mansour. Membincang Feminisme, Diskursus Gender Perspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 2000
Gazãlī, Imam Abū Hamid. Ihyă’ Ulūm ad-Dīn, cet. II. Beirūt: Dãr al-Kitab al-Islami, t.th
Ghafur, Waryono Abdul. Gender dan Islam Teks dan Konteks.Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2003
Ghazali, Muhammad. Studi Kritis atas Hadis Nabi SAW., antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Bandung: Mizan, 1993
Habsyī, Muhammad Bãqir. Fqih Praktis, Menurut al-Qur’an, As-Sunnah dan Pendapat Para Ulama. Bandung: Mizan, 1999
HAM, Musahadi. Evolusi Konsep Sunnah: Implikasi Pada Perkembangan Hukum Islam. Semarang: Aneka Ilmu,2000
Hasan, Ibrahim Hasan. Tarīkh al-Islãm as-Siyãsi wa ad-Dinī wa as-Saqãfī wa al-Ijtimã’i, Juz I. Qahirah: Maktabah an-Nahdah al-Misriyyah, 1964
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama. Jakarta: Paramadina, 1996
Ibn Mandhur, Abū Fadhl Jamãluddīn Muhammad bin Makram. Lisãn al-‘Arab, Jilid VIII. Beirut: Dar Shadir, t.th
Ilyas, Hamim dkk. Keadilan Gender dalam Syari’at Islam, Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah. Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN SUKA, 2001
Isfahãnī, Ar-Rãghib. al-Mu’jam al-Mufradãt li Alfãdh al-Qur’ãn al-Karīm. Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th
Isma’il, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang,1992
Isma’il, Syuhudi. hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Tela’ah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporaal dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang, 1994
Ismail, M. Syuhudi, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: Bulan Bintang, 1994
Izzī, Abdul Mun’īm Shãlih al-Aly. Difã’an Abī Hurairah, Cet. II. Beirūt: Dãr al Qalam, 1981
Kafūrī, Abū al-Ulã Muhammad Abdurrahmãn ibn Abdurrahīm al-Mubãr. Tuhfat al-Ahważī, Juz II. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1995
Khallãf, Abdul Wahhãb. Kaidah-Kaidah Hukum Islam, terj. Moch. Tholchah Mansoer. Bandung: Penerbit Risalah, 1985
Marãgī, Ahmad Musţofă. Tafsīr al-Marăgī, Jilid I. Mesir: Multazam at-Tiba’ wa an-Nasyr Syirkah Maktabah wa Matha’ah Mustofa al-Babi, 1970
Mernissi, Fatima, Riffat Hasan. Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-Laki dan Perempuan dalam Tradisi Pasca Patriarkhi. Yogyakarta: LSSPA-Yayasan Prakarsa,1995
Mernissi, Fatima. The Veil and The male Elite: a Feminist Interpretation of Womens Rights in Islam, Terj. Mary Jo Lakeland. Addison: Wesley Publishing Company, 1991
Mernissi, Fatima. Wanita dalam Islam, terj. Yaziar Radianti, Cet. I. Bandung: Pustaka, 1994
Mughīrah, Abī Abdillah Muhammad bin Ismã’īl bin Ibrahīm ibn al-Mughīrah. Sahīh Bukhãrī, Juz I. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1981
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997
Naisyabury, Imam Abu Husain Muslim bin Hajjaj Ibn Muslim al-Qusyairy. al-Jami’ al-Sahih Juz II. Beirut: Dar al-Fikr, t.th
Nawãwī. Sahīh Muslim bi Syarh an-Nawãwī, Juz IV. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1981
Qardhawi, Yusuf. Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, terj. Muhammad al-Baqir. Bandung: Karisma, 1995
Qasthalany, Abu Abbas Syihabuddin Ahmad bin Muhammad. Irsyad al-Sary li Syarh Sahih al-Bukhary. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Qazwiny, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid. Syarh Sunan Ibn Majah. Beirut: dar al-Fikr, t.th
Rahbawī, Abdul Qãdir. Salat Empat madzhab. terj. Zeid Husein al-Hãmid dan M. Hasanuddin. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 1994
Rahman, Asjmuni Abdur. Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis. Yogyakarta: Lembaga Pengajian dan Pengalaman Islam “LPPI”,1996
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1995
Ridhã, Muhammad Rasyīd. Tafsīr al-Qur’an al-Hakīm, as-Syahīr min Tafsīr al-Manăr, Jilid I. Beirūt: Dãr al-Ma’rifah li Tibã’at wa an-Nasyr, t.th
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Bandung: al-Ma’arif , 1977
Salih, Subhi. Ulum al-Hadis Wa Mustalahuhu. Beirut: Dar al-‘Um al-Malayin,1997
Shieddieqy, M. Hasbi. Pedoman Shalat. Jakarta: Bulan Bintang, 1983
Shieddieqy, M. Hasbi. Pedoman Shalat. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999
Subhan, Zaitunah. Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an. Yogyakarta: LKiS,1999
Surahmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito, 1994
Suyūtī, Jalãluddin. Sunan an-Nasã’ī bi Syarh Jalãluddīn al-Suyūtī, Juz II. Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th
Tabarī, Abū Ja’far Muhammad bin Jarīr. Jămi al-Bayăn fī Tafsīr al-Qur’ãn, Jilid I. Beirūt: Dãr al-Ma’rifah li Tibă’at Wa Nasyr, 1982
Tahhan, Mahmud. Taisir Musthala al-Hadis. Beirut: Dar al-Fikr, t.th
Wensick, A. J.. Mu’jam Mufahras Li alfadhil Hadis al-Nabawi. Juz V. Leiden: E.J. Brill,1965
Wensick, A.J.. Miftah Kunuz as-Sunah. Mesir: Maktabah al-Misriyyah, 1924
Zaid, Muhammad Abd al-Hãmid Abu. Makãnah al-Mar’ah fi al-Islãm. tkp.: Dar an-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1979
DAFTAR PUSTAKA
Ābadi, Abī Tayyib Muhammad Syamsul Haq. Aunul Ma’būd Syarh Sunan Abū Dãwud. Madīnah: Maktabah Salafiyah,1968
Al-Adlabi, Şalãh al-Dīn. Manhãj Naqd al-Matan. Beirūt: Dãr al-Afaq al-Jadīdah, 1983
Amin, Qasim. Sejarah Penindasan Perempuan, Menggugat “Islam Laki-Laki”Menggurat Perempuan Baru, terj. Syariful Alam. Yogyakarta: IRCiSod, 2003
Al-Asqalãnī, Ahmad bin Alī bin Hajar, Fath al-Bãrī bi Syarh Sahīh Imãm Abī Abdillãh Muhammad bin Ismã’īl al-Bukhãrī. t.tp.: al-Maktabah al-Salafiyah, t.th
_______. Al-Işãbah fi Tamyīz al-Şahãbah, Juz VII. Beirūt: Dãr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th
Bakar, Anton. Metode Research. Yogyakarta: Kanisius, 1992
Bakri, Oemar. Islam Menentang Sekularisme Jakarta: Mutiara, 1984
Al-Dainūrī, Imam Abdullãh bin Muslim bin Qutaibah. Ta’wīl Mukhtalif al-Hadīs. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1995
Al-Darimi, Abū Muhammad bin Bahramī. Sunan al-Dãrimi, Juz I. Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th
Djamaris, Zainal Arifin. Menyempurnakan Shalat dengan Menyempurnakan Kaifiat dan Menggali Latar Filosofinya. Jakarta: Grafindo Persada, 1997
Dzuhayatin, Siti Ruhaini dkk.. Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam. Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002
Engineer, Asghar Ali. Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici F.A.. Yogyakarta: LSSPA, 2000
_______. Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
_______. Matinya Perempuan, Menyingkap Megaskandal Doktrin dan Laki-laki, Transformasi al-Qur’an, Perempuan dan Masyarakat Modern, terj. Ahmad Affandi dan Muh. Ihsan. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003
Faiz, Fakhruddin. Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi. Yogyakarta: Qalam, 2002
Fakih, Mansour. Membincang Feminisme, Diskursus Gender Perspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 2000
Al-Ghazali, Muhammad. Studi Kritis atas Hadis Nabi saw., antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, terj. Muhammad al-Baqir. Bandung: Mizan, 1993
Habsyī, Muhammad Bãqir. Fiqih Praktis, Menurut al-Qur’an, Al-Sunnah dan Pendapat Para Ulama. Bandung: Mizan, 1999
HAM, Musahadi. Evolusi Konsep Sunnah: Implikasi Pada Perkembangan Hukum Islam. Semarang: Aneka Ilmu,2000
Hasan, Ibrahim Hasan. Tarīkh al-Islãm as-Siyãsi wa ad-Dinī wa as-Saqãfī wa al-Ijtimã’i, Juz I. Qãhirah: Maktabah an-Nahdah al-Misriyyah, 1964
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama. Jakarta: Paramadina, 1996
Ibn Hazm, Abū Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’īd, al-Muhallã, Juz IV. Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th
Ibn Mandur, Abū Fadl Jamãluddīn Muhammad bin Makram. Lisãn al-‘Arab, Jilid VIII. Beirūt: Dar Shadir, t.th
Ilyas, Hamim dkk. Keadilan Gender dalam Syari’at Islam, Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah. Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN SUKA, 2001
Isfahãnī, Ar-Rãghib. al-Mu’jam al-Mufradãt li Alfãz al-Qur’ãn al-Karīm. Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th
Isma’il, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang,1992
_______. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Tela’ah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang, 1994
_______. Kaedah kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1988
Itr, Nuruddin.‘Ulūm al-Hadīs 2, terj. Mujiyo. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994
Izzī, Abdul Mun’īm Sãlih al-Aly. Difã’an Abī Hurairah, Cet. II. Beirūt: Dãr al Qalam, 1981
Juynboll, G.H.A.. Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960), terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1999
Al-Katūrī, Abū al-Ulã Muhammad Abdurrahmãn ibn Abdurrahīm al-Mubãr. Tuhfat al-Ahważī, Juz II. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1995
Al-Marãgī, Ahmad Musţofă. Tafsīr al-Marăgī, Jilid I. Mesir: Multazam at-Tiba’ wa an-Nasyr Syirkah Maktabah wa Matha’ah Mustofa al-Babi, 1970
Mernissi, Fatima, Riffat Hasan. Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-Laki dan Perempuan dalam Tradisi Pasca Patriarkhi. Yogyakarta: LSSPA-Yayasan Prakarsa,1995
_______. The Veil and The male Elite: a Feminist Interpretation of Womens Rights in Islam, terj. Mary Jo Lakeland. Addison: Wesley Publishing Company, 1991
_______. Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti, Cet. I. Bandung: Pustaka, 1994
Al-Mughīrah, Abī Abdillãh Muhammad bin Ismã’īl bin Ibrahīm ibn al-Mughīrah. Şahīh Bukhãrī, Juz I. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1981
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997
Al-Naisyãbūrī, Imãm Abū Husain Muslim bin Hajjãj Ibn Muslim al-Qusyairī. al-Jãmi’ al-Şahīh Juz II. Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th
Al-Nawãwī. Şahīh Muslim bi Syarh al-Nawãwī, Juz IV. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1981
Al-Qardhawi, Yusuf. Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw., terj. Muhammad al-Baqir. Bandung: Karisma, 1995
Al-Qasţalanī, Abū Abbas Syihãbuddīn Ahmad bin Muhammad. Irsyãd al-Sãrī li Syarh Şahīh al-Bukhãrī. Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th.
Al-Qazwīnī, Abū Abdillãh Muhammad bin Yazīd. Syarh Sunan Ibn Mãjah. Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th
Rahbawī, Abdul Qãdir. Salat Empat madzhab, terj. Zeid Husein al-Hãmid dan M. Hasanuddin. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 1994
Ilyas, Yunahar dan M. Mas’udi. Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis. Yogyakarta: Lembaga Pengajian dan Pengalaman Islam “LPPI”,1996
Rahman, Fazlur. Islam, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 2000
Ridhã, Muhammad Rasyīd. Tafsīr al-Qur’an al-Hakīm, as-Syahīr min Tafsīr al-Manăr, Jilid I. Beirūt: Dãr al-Ma’rifah li Tibã’at wa an-Nasyr, t.th
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Bandung: al-Ma’arif , 1977
Salih, Subhi. Ulūm al-Hadīs Wa Mustalahuhu. Beirūt: Dãr al-‘Um al-Malayin,1997
Shieddieqy, M. Hasbi. Pedoman Shalat. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999
Subhan, Zaitunah. Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an. Yogyakarta: LKiS,1999
Surahmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito, 1994
Suyūtī, Jalãluddīn. Sunan al-Nasã’ī bi Syarh Jalãluddīn al-Suyūtī, Juz II. Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th
Tabarī, Abū Ja’far Muhammad bin Jarīr. Jămi’ al-Bayăn fī Tafsīr al-Qur’ãn, Jilid I. Beirūt: Dãr al-Ma’rifah li Tibă’at Wa Nasyr, 1982
Tahhan, Mahmud. Taisīr Mustala al-Hadīs. Beirut: Dar al-Fikr, t.th
Wensick, A. J.. al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfãz al-Hadīs al-Nabawī. Juz V. Leiden: E.J. Brill,1965
_______. Miftãh Kunūz as-Sunah, terj. Muhammad Fu’ad Abdul al-Baqiy. Mesir: Maktabah al-Misriyyah, 1924
Zaid, Muhammad Abd al-Hãmid Abu. Makãnah al-Mar’ah fī al-Islãm. tkp.: Dãr an-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1979
Zayd, Nasr Hamid Abu. Dekonstruksi Gender, Kritik Wacana Perempuan dalam Islam, terj. Moch. Nur Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi. Yogyakarta: SAMHA, 2003
DAFTAR PUSTAKA
Ābadi, Abī Tayyib Muhammad Syamsul Haq. Aunul Ma’būd Syarh Sunan Abū Dãwud. Madīnah: Maktabah Salafiyah,1968
Al-Adlabi, Şalãh al-Dīn. Manhãj Naqd al-Matan. Beirūt: Dãr al-Afaq al-Jadīdah, 1983
Amin, Qasim. Sejarah Penindasan Perempuan, Menggugat “Islam Laki-Laki”Menggurat Perempuan Baru, terj. Syariful Alam. Yogyakarta: IRCiSod, 2003
Al-Asqalãnī, Ahmad bin Alī bin Hajar, Fath al-Bãrī bi Syarh Sahīh Imãm Abī Abdillãh Muhammad bin Ismã’īl al-Bukhãrī. t.tp.: al-Maktabah al-Salafiyah, t.th
_______. Al-Işãbah fi Tamyīz al-Şahãbah, Juz VII. Beirūt: Dãr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th
Bakar, Anton. Metode Research. Yogyakarta: Kanisius, 1992
Bakri, Oemar. Islam Menentang Sekularisme Jakarta: Mutiara, 1984
Al-Dainūrī, Imam Abdullãh bin Muslim bin Qutaibah. Ta’wīl Mukhtalif al-Hadīs. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1995
Al-Darimi, Abū Muhammad bin Bahramī. Sunan al-Dãrimi, Juz I. Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th
Djamaris, Zainal Arifin. Menyempurnakan Shalat dengan Menyempurnakan Kaifiat dan Menggali Latar Filosofinya. Jakarta: Grafindo Persada, 1997
Dzuhayatin, Siti Ruhaini dkk.. Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam. Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002
Engineer, Asghar Ali. Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici F.A.. Yogyakarta: LSSPA, 2000
_______. Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
_______. Matinya Perempuan, Menyingkap Megaskandal Doktrin dan Laki-laki, Transformasi al-Qur’an, Perempuan dan Masyarakat Modern, terj. Ahmad Affandi dan Muh. Ihsan. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003
Faiz, Fakhruddin. Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi. Yogyakarta: Qalam, 2002
Fakih, Mansour. Membincang Feminisme, Diskursus Gender Perspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 2000
Al-Ghazali, Muhammad. Studi Kritis atas Hadis Nabi saw., antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, terj. Muhammad al-Baqir. Bandung: Mizan, 1993
Habsyī, Muhammad Bãqir. Fiqih Praktis, Menurut al-Qur’an, Al-Sunnah dan Pendapat Para Ulama. Bandung: Mizan, 1999
HAM, Musahadi. Evolusi Konsep Sunnah: Implikasi Pada Perkembangan Hukum Islam. Semarang: Aneka Ilmu,2000
Hasan, Ibrahim Hasan. Tarīkh al-Islãm as-Siyãsi wa ad-Dinī wa as-Saqãfī wa al-Ijtimã’i, Juz I. Qãhirah: Maktabah an-Nahdah al-Misriyyah, 1964
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama. Jakarta: Paramadina, 1996
Ibn Hazm, Abū Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’īd, al-Muhallã, Juz IV. Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th
Ibn Mandur, Abū Fadl Jamãluddīn Muhammad bin Makram. Lisãn al-‘Arab, Jilid VIII. Beirūt: Dar Shadir, t.th
Ilyas, Hamim dkk. Keadilan Gender dalam Syari’at Islam, Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah. Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN SUKA, 2001
Isfahãnī, Ar-Rãghib. al-Mu’jam al-Mufradãt li Alfãz al-Qur’ãn al-Karīm. Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th
Isma’il, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang,1992
_______. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Tela’ah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang, 1994
_______. Kaedah kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1988
Itr, Nuruddin.‘Ulūm al-Hadīs 2, terj. Mujiyo. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994
Izzī, Abdul Mun’īm Sãlih al-Aly. Difã’an Abī Hurairah, Cet. II. Beirūt: Dãr al Qalam, 1981
Juynboll, G.H.A.. Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960), terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1999
Al-Katūrī, Abū al-Ulã Muhammad Abdurrahmãn ibn Abdurrahīm al-Mubãr. Tuhfat al-Ahważī, Juz II. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1995
Al-Marãgī, Ahmad Musţofă. Tafsīr al-Marăgī, Jilid I. Mesir: Multazam at-Tiba’ wa an-Nasyr Syirkah Maktabah wa Matha’ah Mustofa al-Babi, 1970
Mernissi, Fatima, Riffat Hasan. Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-Laki dan Perempuan dalam Tradisi Pasca Patriarkhi. Yogyakarta: LSSPA-Yayasan Prakarsa,1995
_______. The Veil and The male Elite: a Feminist Interpretation of Womens Rights in Islam, terj. Mary Jo Lakeland. Addison: Wesley Publishing Company, 1991
_______. Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti, Cet. I. Bandung: Pustaka, 1994
Al-Mughīrah, Abī Abdillãh Muhammad bin Ismã’īl bin Ibrahīm ibn al-Mughīrah. Şahīh Bukhãrī, Juz I. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1981
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997
Al-Naisyãbūrī, Imãm Abū Husain Muslim bin Hajjãj Ibn Muslim al-Qusyairī. al-Jãmi’ al-Şahīh Juz II. Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th
Al-Nawãwī. Şahīh Muslim bi Syarh al-Nawãwī, Juz IV. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1981
Al-Qardhawi, Yusuf. Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw., terj. Muhammad al-Baqir. Bandung: Karisma, 1995
Al-Qasţalanī, Abū Abbas Syihãbuddīn Ahmad bin Muhammad. Irsyãd al-Sãrī li Syarh Şahīh al-Bukhãrī. Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th.
Al-Qazwīnī, Abū Abdillãh Muhammad bin Yazīd. Syarh Sunan Ibn Mãjah. Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th
Rahbawī, Abdul Qãdir. Salat Empat madzhab, terj. Zeid Husein al-Hãmid dan M. Hasanuddin. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 1994
Ilyas, Yunahar dan M. Mas’udi. Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis. Yogyakarta: Lembaga Pengajian dan Pengalaman Islam “LPPI”,1996
Rahman, Fazlur. Islam, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 2000
Ridhã, Muhammad Rasyīd. Tafsīr al-Qur’an al-Hakīm, as-Syahīr min Tafsīr al-Manăr, Jilid I. Beirūt: Dãr al-Ma’rifah li Tibã’at wa an-Nasyr, t.th
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Bandung: al-Ma’arif , 1977
Salih, Subhi. Ulūm al-Hadīs Wa Mustalahuhu. Beirūt: Dãr al-‘Um al-Malayin,1997
Shieddieqy, M. Hasbi. Pedoman Shalat. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999
Subhan, Zaitunah. Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an. Yogyakarta: LKiS,1999
Surahmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito, 1994
Suyūtī, Jalãluddīn. Sunan al-Nasã’ī bi Syarh Jalãluddīn al-Suyūtī, Juz II. Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th
Tabarī, Abū Ja’far Muhammad bin Jarīr. Jămi’ al-Bayăn fī Tafsīr al-Qur’ãn, Jilid I. Beirūt: Dãr al-Ma’rifah li Tibă’at Wa Nasyr, 1982
Tahhan, Mahmud. Taisīr Mustala al-Hadīs. Beirut: Dar al-Fikr, t.th
Wensick, A. J.. al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfãz al-Hadīs al-Nabawī. Juz V. Leiden: E.J. Brill,1965
_______. Miftãh Kunūz as-Sunah, terj. Muhammad Fu’ad Abdul al-Baqiy. Mesir: Maktabah al-Misriyyah, 1924
Zaid, Muhammad Abd al-Hãmid Abu. Makãnah al-Mar’ah fī al-Islãm. tkp.: Dãr an-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1979
Zayd, Nasr Hamid Abu. Dekonstruksi Gender, Kritik Wacana Perempuan dalam Islam, terj. Moch. Nur Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi. Yogyakarta: SAMHA, 2003

0 Comment