Friday, May 4, 2012


BAHASA ARAB DAN PERUBAHAN SOSIAL
(Realita, Orientasi dan Tantangan Pendidikan Bahasa Arab)
1.         PENDAHULUAN
Kajian perubahan sosial merupakan inti sosiologi. Hampir semua kajian sosiologi berkaitan dengan perubahan sosial. Setiap teori ilmu sosial, apa pun titik tolak konseptualnya, tentu akan tertuju pada perubahan yang menggambarkan realitas sosial.
Isu perubahan sosial telah menjadi sasaran kajian sosiologi sejak awal kelahirannya. Sosiologi lahir pada abad 19 sebagai upaya memahami transformasi fundamental dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, yakni munculnya tatanan masyarakat urban, industrial dan kapitalis. Kebutuhan untuk memahami perubahan sosial yang terus menerus ini benar-benar dirasakan baik oleh orang kebanyakan maupun oleh para sosiolog. Segala aspek kehidupan kita tidak terlepas dari pengaruh perubahan sosial, seperti seni, ilmu, agama, moral, pendidikan, politik, ekonomi dan lain sebagainya.[1]
Apa yang dipikirkan orang tentang perubahan sosial, sangat besar perannya dalam mendorong orang untuk bertindak, dan karena itu sangat besar pengaruhnya terhadap jalannya perubahan sosial beserta prospeknya. Gagasan tentang perubahan menjadi sumber untuk memperkenalkan perubahan. [2]
Kaitannya dengan bahasa Arab, maka tulisan ini mencoba akan membahas tentang perspektif perubahan sosial dalam bahasa Arab yang meliputi realita, orientasi dan tantangan pendidikan bahasa Arab,  dengan tata urut meliputi pendahuluan, pembahasan dan simpulan.
2.         PEMBAHASAN
a.         Bahasa Arab
1)         Pengertian.
Dalam perspektif Islam, bahasa Arab merupakan bahasa al-Qur’an, bahasa komunikasi dan informasi antar umat Islam. Bahasa Arab selain bahasa al-Qur’an, juga identik dengan bahasa al-Hadits dan bahasa dalam shalat. Dengan bahasa Arab umat Islam dapat membaca dan memahami al-Qur’an serta mengetahui perintah dan larangannya juga hukum syari’ah yang ada di dalamnya.[3]
2)         Fungsi Bahasa dalam Kehidupan Individu
Bahasa merupakan sarana komunikasi individu dengan yang lainnya untuk memenuhi kebutuhannya, dan memperoleh apa yang diharapkannya dari komunikasi tersebut. Bahasa memberikan banyak kesempatan bagi individu dalam mengambil manfaat di waktu senggang dengan salah satu caranya adalah melalui metode membaca. Dengan membaca, seseorang dapat membayangkan suatu bentuk atau pemandangan yang belum pernah dilihatnya.[4]
3)         Fungsi Bahasa dalam Kehidupan Masyarakat
Bahasa merupakan perantara sosial, dan sebagai alat untuk memahami antara setiap individu dan masyarakat. Bahasa juga merupakan faktor penting dalam memelihara dan memberdayakan warisan kebudayaan dan peradaban yang ditransfer dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Di samping itu pula, bahasa merupakan senjata individu dalam menghadapi berbagai permasalahan kehidupan yang menuntut kompetensi bicara, mendengar, menulis dan membaca. Keempat kompetensi tersebut merupakan komponen-komponen penting dalam menyempurnakan proses saling memahami dalam komunikasi.[5] Komunikasi menurut Carl L. Hovland, adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas dalam penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap.[6]
b.         Konsep Perubahan Sosial
Pemikiran tentang sistem merupakan satu kesatuan yang kompleks, terdiri dari berbagai antar hubungan dan dipisahkan dari lingkungan sekitarnya oleh batas tertentu. Organisme jelas merupakan contoh sebuah sistem, begitu pula molekul, bangunan, planet dan galaksi. Pemikiran umum seperti ini dapat pula diterapkan pada masyarakat manusia dengan berbagai tingkat kompleksitasnya. Pada tingkat makro, keseluruhan masyarakat dunia dapat dibayangkan sebagai sebuah sistem. Pada tingkat menengah, negara bangsa dan kesatuan politik regional atau aliansi militer pun dapat dipandang sebagai sebuah sistem. Pada tingkat makro, komunitas lokal, asosiasi, perusahaan, keluarga atau ikatan pertemanan dapat diperlakukan sebagai sebuah sistem kecil. Begitu pula, di tangan pakar teori sistem seperti Talcott Parsons (1902-1979) pemikiran tentang sistem sosial itu menemukan bentuknya yang umum dan dapat diterapkan secara universal.
Perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi di dalam atau mencakup sistem sosial. Lebih tepatnya, terdapat perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan. Berbicara tentang perubahan, kita membayangkan sesuatu yang terjadi setelah jangka waktu tertentu. [7]
Adapun konsep dasar perubahan sosial mencakup tiga gagasan, yaitu perbedaan, pada waktu berbeda, dan di antara keadaan sistem sosial yang sama. Contoh definisi perubahan sosial yang lain adalah setiap perubahan yang tidak terulang dari sistem sosial sebagai satu kesatuan.
Perubahan sosial dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, tergantung pada sudut pandang, apakah  dari sudut aspek, fragmen atau dimensi sistem sosialnya. Ini disebabkan keadaan sistem sosial itu tidak sederhana, tidak hanya berdimensi tunggal, tetapi muncul sebagai kombinasi atau gabungan hasil keadaan berbagai komponen seperti   berikut :[8]
1)           Unsur-unsur pokok (misalnya : jumlah dan jenis individu, serta tindakan mereka).
2)           Hubungan antar unsur (misalnya : ikatan sosial, loyalitas, ketergantungan, hubungan antar individu, integrasi).
3)           Berfungsinya unsur-unsur di dalam sistem (misalnya : peran pekerjaan yang dimainkan oleh individu atau diperlukannya tindakan tertentu untuk melestarikan ketertiban sosial).
4)           Pemeliharaan batas (misalnya : kriteria untuk menentukan siapa saja yang termasuk anggota sistem, syarat penerimaan individu dalam kelompok, prinsip rekrutmen dalam organisasi, dan sebagainya).
5)           Subsistem (misalnya : jumlah dan jenis seksi, segmen, atau divisi khusus yang dapat dibedakan).
6)           Lingkungan (misalnya : keadaan alam atau lokasi geopolitik).
Terciptanya keseimbangan atau kegoncangan, konsesus atau pertikaian, harmoni atau perselisihan, kerjasama atau konflik, damai atau perang, kemakmuran atau krisis dan sebagainya, berasal dari sifat saling mempengaruhi dari keseluruhan ciri-ciri sistem sosial yang kompleks itu.
Perubahan sosial dihubungkan melalui aktor individual. Karenanya teori-teori tentang perubahan struktural menunjukkan bagaimana cara variabel-variabel mikro mempengaruhi motif dan pilihan individual , serta bagaimana cara pilihan individual ini selanjutnya mengubah variabel makro.[9]
Bila dipisah-pisah menjadi komponen dan dimensi utamanya, teori sistem secara tak langsung menyatakan kemungkinan perubahan berikut :[10]
1)           Perubahan komposisi (misalnya : migrasi dari satu kelompok ke kelompok lain, menjadi anggota satu kelompok tertentu, pengurangan jumlah penduduk karena kelaparan, demobilisasi gerakan sosial, bubarnya suatu kelompok).
2)           Perubahan struktur (misalnya : terciptanya ketimpangan, kristalisasi kekuasaan, munculnya ikatan persahabatan, terbentuknya kerjasama atau hubungan kompetitif).
3)           Perubahan fungsi (misalnya : spesialisasi dan diferensiasi pekerjaan, hancurnya peran ekonomi keluarga).
4)           Perubahan batas (misalnya : penggabungan beberapa kelompok, atau satu kelompok oleh kelompok lain, mengendurnya kriteria keanggotaan kelompok dan demokratisasi keanggotaan, dan penaklukan).
5)           Perubahan hubungan antar subsistem (misalnya : penguasaan rezim politik atas organisasi ekonomi, pengendalian keluarga dan keseluruhan kehidupan privat oleh pemerintah totaliter).
6)           Perubahan lingkungan (misalnya : kerusakan ekologi, gempa bumi, munculnya wabah atau virus HIV, lenyapnya sistem bipolar internasional).
Adakalanya perubahan hanya terjadi sebagian, terbatas ruang lingkupnya, tanpa  menimbulkan akibat besar terhadap unsur lain dari sistem. Sistem sebagai keseluruhan tetap utuh, tak terjadi perubahan menyeluruh atas unsur-unsurnya meski di dalamnya terjadi perubahan sedikit demi sedikit. Contohnya adalah kekuatan sistem politik demokratis terletak dalam kemampuannya menghadapi tantangan, mengurangi protes dan menyelesaikan konflik dengan mengadakan perombakan sebagian tanpa membahayakan stabilitas dan kontinuitas negara sebagai satu kesatuan. Perubahan seperti ini merupakan sebuah contoh perubahan dalam sistem. Namun, pada kesempatan lain, perubahan mungkin mencakup keseluruhan aspek sistem, menghasilkan perubahan menyeluruh, dan menciptakan sistem baru yang secara mendasar berbeda dari sistem lama.[11]
Bila dilihat contoh definisi perubahan sosial yang terdapat dalam buku ajar sosiologi, terlihat bahwa berbagai pakar  meletakkan tekanan pada jenis perubahan yang berbeda. Namun sebagian besar mereka memandang penting perubahan struktural dalam hubungan, organisasi, dan ikatan antar unsur-unsur masyarakat :
1)           Perubahan sosial adalah transformasi dalam organisasi masyarakat, dalam pola berpikir dan dalam perilaku pada waktu tertentu.[12]
2)           Perubahan sosial adalah modifikasi atau transformasi dalam pengorganisasian masyarakat.[13]
3)           Perubahan sosial mengacu pada variasi hubungan antar individu, kelompok, organisasi, kultur dan masyarakat pada waktu tertentu.[14]
4)           Perubahan sosial adalah perubahan pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada waktu tertentu.[15]
Alasan di balik seringnya penekanan ditujukan pada perubahan struktural ketimbang tipe lain, adalah karena perubahan struktural itu lebih mengarah kepada perubahan sistem sebagai keseluruhan ketimbang perubahan di dalam sistem sosial saja. Struktur sosial merupakan sejenis kerangka pembentukan masyarakat dan operasinya. Jika strukturnya berubah, maka semua unsur lain cenderung berubah pula.[16]
c.         Perspektif Perubahan Sosial dalam Bahasa Arab (Realita, Orientasi dan Tantangan Pendidikan Bahasa Arab)
Perubahan adalah satu-satunya hal yang pasti terjadi dalam setiap kehidupan manusia baik individu maupun kelompok. Tidak ada satupun yang dapat menghindar dari perubahan. Dalam era globalisasi saat ini, fenomena sosial semakin mencuat, pergeseran dalam sistem kehidupan masyarakat telah terjadi diseluruh pelosok dunia tanpa mengenal batas. Hal tersebut karena adanya perubahan.[17]
Perubahan sosial dalam bahasa Arab sangat berkaitan erat sekali dengan perubahan pola perilaku individu dalam melaksanakan interaksi sosial dengan lingkungannya. Dalam perspektif Islam, bahasa Arab merupakan bahasa al-Qur’an, bahasa komunikasi dan informasi.[18]
Dikarenakan bahasa Arab merupakan sarana komunikasi dan informasi antar umat Islam, maka  akan terjadi perubahan sosial yang berkaitan erat dengan pengendalian keluarga dan keseluruhan kehidupan pribadi umat Islam.  Kondisi ini menggambarkan perubahan sosial dalam bahasa Arab, karena perubahan tersebut merupakan perubahan hubungan antar subsistem.[19]
Realita dan Orientasi Pendidikan Bahasa Arab
Pendidikan bahasa Arab di Indonesia sudah diajarkan mulai dari TK (sebagian) hingga perguruan tinggi. Berbagai potret penyelenggaraan pendidikan bahasa Arab di lembaga-lembaga pendidikan Islam setidaknya menunjukkan adanya upaya serius untuk memajukan sistem dan mutunya.
Secara teoritis, paling tidak ada empat orientasi pendidikan bahasa Arab sebagai berikut :[20]
1)           Orientasi religius, yaitu belajar bahasa Arab untuk tujuan memahami dan memahamkan ajaran Islam (fahm al-maqru). Orientasi ini dapat berupa belajar keterampilan pasif (mendengar dan membaca), dan dapat pula mempelajari keterampilan aktif (berbicara dan menulis).
2)           Orientasi akademik, yaitu belajar bahasa Arab untuk tujuan memahami ilmu-ilmu dan keterampilan berbahasa Arab yang meliiputi keterampilan mendengar (istima’), berbicara (kalam), membaca (qira’ah), dan menullis (kitabah). Orientasi ini cenderung menempatkan bahasa Arab sebagai disiplin ilmu atau obyek studi yang harus dikuasai secara akademik. Orientasi ini biasanya identik dengan studi bahasa Arab.
3)           Orientasi profesional/praktis dan pragmatis, yaitu belajar bahasa Arab untuk kepentingan profesi, praktis atau pragmatis, seperti mampu berkomunikasi lisan (muhadatsah) dalam bahasa Arab untuk bisa menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia), diplomat, turis, misi dagang, atau untuk melanjutkan studi di salah satu negara Timur Tengah, dan sebagainya.
4)           Orientasi ideologis dan ekonomis, yaitu belajar bahasa Arab untuk memahami dan menggunakan bahasa Arab sebagai media bagi kepentingan orientalisme, kapitalisme, imperialisme, dan sebagainya.  Orientasi ini, antara lain, terlihat dari dibukanya beberapa lembaga kursus bahasa Arab di negara-negara Barat.
Pendidikan bahasa Arab di Indonesia relatif sudah tersebar di berbagai UIN, IAIN, STAIN, dan sebagian PTAI swasta. Hanya saja, disiplin keilmuan ini masih tergolong terbatas baik dari aspek sumber daya manusia maupun sumber-sumber studi (referensi). Kondisi tersebut merupakan kelemahan yang harus dibenahi dengan memberikan aneka pelatihan keterampilan bahasa Arab.[21]
Tantangan Pendidikan Bahasa Arab
Bahasa Arab di negara-negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Mesir, Syria, Iraq, Yordania, Qatar, Kuwait, dapat dibedakan menjadi dua ragam, yaitu bahasa Arab fushha dan  bahasa Arab ’amiyah. Keduanya digunakan dalam realita sosial dengan konteks dan nuansa yang berbeda. Bahasa Arab fushha digunakan dalam forum resmi (kenegaraan, ilmiah, akademik, jurnalistik, termasuk khutbah), sedangkan bahasa Arab ‘amiyah digunakan dalam komunikasi tidak resmi, intrapersonal, dan dalam interaksi sosial di  berbagai tempat (rumah, pasar, kantor, bandara, dan sebagainya).
Frekuensi dan tendensi penggunaan bahasa Arab  ‘amiyah tampaknya lebih sering dan lebih luas, tidak hanya di kalangan masyarakat  umum, melainkan juga kalangan masyarakat terpelajar dan pejabat (jika mereka berkomunikasi dengan sesamanya). Mereka baru menggunakan bahasa Arab fushha jika audien bukan dari kalangan mereka saja.[22]
Menurut  ‘Abd al-Shabur  Syahin, pendidikan bahasa Arab dewasa ini dihadapkan pada berbagai tantangan yang serius. Pertama, akibat globalisasi, penggunaan bahasa Arab fushha di kalangan masyarakat Arab sendiri mulai berkurang frekuensi dan proporsinya, cenderung digantikan dengan bahasa Arab ‘amiyah atau dialek lokal (al-lahajat al-mahalliyah).
Dewasa ini, terutama di kalangan generasi muda Arab, terdapat kecenderungan baru, yaitu munculnya fenomena al-fush’amiyyah (campuran ragam fushha dan ‘âmmiyah). Gejala ini merupakan tantangan serius bagi dunia pendidikan karena terjadi pengeleminasian  beberapa gramatika (qawa’id). Kaidah-kaidah bahasa yang baku kurang diperhatikan, kultur fush’amiyyah lebih dominan daripadi kultur akademik yang memegang teguh kaidah-kaidah berbahasa Arab. [23]
Kedua, masih menurut  Syahin, realitas bahasa Arab dewasa ini juga dihadapkan pada tantangan globalisasi, tepatnya tanganan pola hidup dan kolonialisasi Barat, termasuk penyebarluasan bahasa Arab di dunia Islam. Kolonialisasi ini, jika memang tidak sampai menggatikan bahasa Arab, minimal dapat mengurasi penggunaan minat belajar bahasa Arab di kalangan generasi muda.
Ketiga, derasnya gelombang pendangkalan akidah, akhlak, dan penjauhan generasi muda Islam dari sumber-sumber ajaran Islam melalui pencitraan buruk terhadap bahasa Arab. Dalam waktu yang sama terjadi kampanye besar-besaran atas nama globalisasi untuk menyebarkan dan menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa yang paling kompatibel dengan kemajuan teknologi.[24]
Farid al-Anshari menambahkan, bahwa agenda neo-kolonialisasi globalisme (al-isti’mar al-‘awlami al-jadid) yang dilancarkan Barat terhadap dunia Islam  dewasa ini bertujuan untuk membunuh karakter dan identitas budaya, terutama Arab. Hal ini, antara lain, dapat dilihat dari arogansi Amerika Serikat, baik menyangkut kebijakan politik luar negerinya maupun perilaku politiknya, terhadap dunia Islam, khususnya Timur Tengah. Amerika Serikat seringkali ikut campur urusan dalam negeri negara-negara Islam, baik melalui intervensi langsung maupun melalui operasi intelijennya. Salah satu agenda yang diselundupkan ke dunia Arab adalah penghilangan atau pendangkalan identitas bahasa dan budaya Arab, mengasingkan sumber-sumber ajaran Islam dari sistem pendidikan di dunia Islam, dan sekularisasi dalam berbagai aspek kehidupan.[25]
Di samping itu, muncul upaya penggantian huruf Arab dengan latin, bahasa Arab pada lembaga pendidikan di dunia Islam juga mulai digeser oleh bahasa Inggris atau Perancis sebagai bahasa pengantar untuk pembelajaran sains. Berbagai siaran langsung olah raga di dunia Arab, terutama sepakbola, yang disiarkan dari Barat  sudah banyak menggunakan bahasa Inggris. Demikian pula halnya, mata acara atau program tayangan televisi di dunia Arab juga sudah banyak dipengaruhi oleh gaya dan pola hidup Barat yang sekuler dan materialistik.[26] Akibatnya, minat dan motivasi untuk mempelajari bahasa Arab secara serius menjadi menurun.
Menurut Muhbib ‘Abd al-Wahab, di Indonesia kita cenderung hanya mempelajari bahasa Arab fushha, dengan rasionalitas bahwa bahasa Arab fushha itu merupakan bahasa al-Qur’an dan al-Sunnah, karena tujuan utama studi bahasa Arab adalah untuk kepentingan memahami sumber-sumber ajaran Islam. Mungkin, sebagian kalangan cenderung anti bahasa Arab ‘amiyah, karena mempelajari bahasa Arab pasaran itu dapat merusak bahasa Arab fushha.
Namun, anggapan itu tidak sepenuhnya benar, karena dalam kenyataannya, masyarakat Arab yang terpelajar pun tetap menggunakan dua ragam bahasa Arab tersebut secara proporsional, sesuai dengan situasi dan kondisi. Yang hendak ditegaskan di sini adalah bahwa studi bahasa Arab di perguruan tinggi Islam di Indonesia perlu dikembangkan tidak hanya berorientasi penguasaan bahasa Arab fushha semata, melainkan juga bahasa Arab ‘amiyah perlu mendapat ruang dan waktu, meski hanya sekedar pengenalan dialek, agar para mahasiswa juga mampu berkomunikasi secara alami dan efektif dengan penutur bahasa Arab dalam situasi formal maupun informal.[27]
Kecenderungan berbahasa Arab ‘ammiyah tampaknya lebih didasari oleh kepentingan dan tujuan pragmatis, yaitu: komunikasi lisan yang lebih mengutamakan aspek kepraktisan, sederhana, dan cepat. Namun demikian, maraknya penggunaan bahasa Arab ‘ammiyah tetap merupakan sebuah tantangan yang dapat mengancam atau setidak-tidaknya mengurangi mutu kefashihan bagi orang atau bangsa Arab pada umumnya.[28]
Setiap tantangan pasti memberikan peluang dan prospek jika kita berusaha untuk menghadapi tantangan itu dengan berpikir positif (al-tafkir al-ijabi) dan bersikap penuh kesungguhan dan kearifan, termasuk tantangan yang kini dihadapi pendidikan bahasa Arab.
Ada beberapa prospek studi bahasa Arab di masa depan yang dapat diraih, jika para penggiat dan peminat studi bahasa Arab secara bersama-sama mau dan mampu menekuninya dan mengubah tantangan menjadi peluang, diantaranya adalah sebagai berikut :[29]
Pertama, peluang untuk pengembangan bahasa Arab semakin terbuka, karena seseorang yang menguasai bahasa Arab dapat dipastikan memiliki  modal dasar untuk mendalami dan mengembangkan kajian Islam, atau setidak-tidaknya mengembangkan studi ilmu-ilmu keislaman seperti Fiqh, Tafsir, Hadits, Sejarah Islam, Filsafat Islam, dan sebagainya, dengan merevitalisasi penelusuran (eksplorasi) dan elaborasi sumber-sumber aslinya. Dengan kata lain, bahasa Arab dapat dijadikan sebagai alat dan modal hidup untuk mencari dan memperoleh yang lain di luar bahasa Arab, baik itu ilmu maupun keterampilan berkomunikasi lisan.
Kedua, pengembangan profesi keguruan, yaitu menjadi tenaga pengajar bahasa Arab yang profesional. Sebab yang mempunyai kompetensi dan kewenangan akademik dan profesional di MI/SD, MTs/SMP, dan MA/SMU atau lembaga pendidikan yang sederajat adalah lulusan Pendidikan Bahasa Arab.
Ketiga, penggiatan dan pembudayaan tradisi penelitian dan pengembangan metodologi pembelajaran bahasa Arab. Hal ini perlu dilakukan agar ilmu bahasa Arab dan metodologi pembelajarannya semakin berkembang dinamis dan maju. Melalui penggiatan penelitian, tentu saja, karya akademik dapat dihasilkan, dan pada gilirannya komunitas pendidikan bahasa Arab menjadi lebih tercerahkan.
Keempat, intensifikasi penerjemahan karya-karya berbahasa Arab, baik mengenai keilmuan dan keislaman ke dalam bahasa Indonesia maupun sebaliknya. Profesi ini cukup menantang dan menjanjikan harapan, meskipun penerjemahan relatif belum mendapat apresiasi yang sewajarnya. Menarik dicatat bahwa salah satu faktor yang mempercepat kemajuan peradaban Islam di masa klasik adalah adanya gerakan penerjemahan besar-besaran, terutama pada masa Harun al-Rasyid (786-809 M) dan al-Ma’mun (786-833 M). Gerakan penerjemahan itu disosialisasikan dengan ditunjang oleh adanya pusat riset dan pendidikan seperti Bait al-Hikmah (Wisma Kebijaksanaan).
Kelima, intensifikasi akses dan kerjasama dengan pihak luar, termasuk melalui Kementerian Luar Negeri, agar “pos-pos” yang bernuansa atau berbasis bahasa Arab dapat diisi oleh lulusan PBA, yang berminat terhadap karir di bidang diplomasi dan politik. Jika program ini atau konsentrasi yang terkait dengan bahasa Arab dapat dikembangkan, makna peluang untuk memperoleh lapangan pekerjaan bagi alumni pendidikan bahasa Arab menjadi lebih terbuka dan kompetetif. Oleh karena itu, pembenahan internal, terutama penjaminan mutu akademik dan peningkatan kapasitas dan kapabilitas SDM (tenaga pendidik) yang mengabdikan diri pada Pendidikan Bahasa Arab mutlak harus disiplin, baik dari segi keilmuan maupun kesejahteraan.
Keenam, pengembangan media dan teknologi pembelajaran bahasa Arab. Prospek ini diupayakan melalui bermitra dan bersinergi dengan SDM yang memiliki kompetensi untuk mengembangkan teknologi pendidikan dan pembelajaran bahasa Arab yang modern. Dengan begitu, tampilan atau performansi pembelajaran bahasa Arab akan memiliki nilai tambah (added value) dan daya tarik tersendiri.
Ketujuh, sudah saatnya Pendidikan Bahasa Arab melahirkan karya-karya akademik (hasil-hasil penelitian, teori-teori baru, buku, media, dan sebagainya) yang dapat memberikan pencerahan masyarakat. Menurut Mahmud Fahmi Hijazi, studi bahasa Arab masih terus memerlukan karya terutama di bidang pengembangan kosakata dan istilah-istilah modern, ensiklopedi, bank istilah sains dan teknologi, dan sebagainya, sehingga bahasa Arab tidak dianggap sebagai bahasa yang tidak mampu beradaptasi dengan perkembangan ilmu dan teknologi.[30]
3.         SIMPULAN
Mengalir dari uraian di atas , dapat disimpulkan bahwa dihadapkan pada perubahan sosial saat ini, maka terdapat banyak permasalahan dan tantangan pendidikan bahasa Arab yang perlu dihadapi, disikapi, dan dicari jalan penyelesaiannya. Isu pencitraan buruk terhadap bahasa Arab, penggantian fushha dengan ‘amiyah, rendahnya minat dan motivasi sebagian peserta didik dalam belajar bahasa Arab, seyogyanya menyadarkan kita semua bahwa kita masih harus berpikir, bersikap, dan berdedikasi lebih optimal untuk kemajuan pendidikan bahasa Arab di Indonesia dalam rangka meningkatkan daya saing di dunia internasional.
Tantangan internal maupun eksternal pendidikan bahasa Arab harus kita jadikan sebagai peluang yang dapat memberikan prospek yang lebih cerah dan menjanjikan bagi peminat dan penggiat studi bahasa Arab di masa depan. Semua itu menuntut banyak pihak untuk bersinergi dalam menyatukan visi, misi, arah kebijakan dan pengembangan yang dilandasi oleh kajian akademik yang mendalam. Selama lembaga pendidikan Islam masih eksis, prospek pendidikan bahasa Arab tetap akan cerah dan menjadi daya tarik tersendiri.
Akhirnya, kita berharap agar pemerintah lebih banyak belajar dari pengalaman negara yang sudah lebih maju dalam menerbitkan kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan bahasa Arab dengan kebijakan yang lebih visioner guna memberikan prospek yang cerah dan mencerahkan menuju transformasi bahasa Arab di setiap organisasi masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
1.       ‘Abd al-’Alim Ibrahim, al-Muwajjih al-Fanni, Beirut, Dar al-Ma’arif.
2.       ‘Abd al-Shabur  Syahin, al-Tahaddiyât al-lati Tuwajihu al-Lughah al-‘Arabiyyah, (Rabath: Isesco, 2006).
3.       Daniel Bell, The Coming of The Post-Industrial Society, London, Heinemann, 1974.
4.       Muhammad ‘Ali al-Khulli, Model Pembelajaran Bahasa Arab, Bandung, PSIBA UPI, 2002
5.       Muhbib Abdul Wahab, Quo Vadis Pendidikan Bahasa Arab di Era Globalisasi, makalah disampaikan dalam Seminar Sehari BEMJ PBA FITK UIN Jakarta, 29 Mei 2006.
6.       Muhbib ‘Abd al-Wahab, Tantangan dan Prospek Pendidikan Bahasa Arab di Indonesia, Jurnal Afaq Arabiyyah, Vol. 2, No. 1 Juni 2007: 1-18.  (Jakarta : Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007)
7.       Nazir Muhammad Maktabi, al-Fushha fi Muwajahat al-Tahaddiyat, Beirut, Dar al-Basya’ir al-Islamiyyah, 1991.
8.       Onong Uchjana Effendy, Prof. Dr. M.A, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung, Rosdakarya, 2005.
9.       Piotr Sztompka, The Sociology of Social Change (Sosiologi Perubahan Sosial), Alimandan, penerjemah, Jakarta, Prenada, 2010.
10.    Stern, H.H., Fundamental Concepts of Language Teaching, USA, Oxford University Press, 1983.
11.  http://alfi86.multiply.com/journal/item/1
12.  http://www.isesco.org.ma/pub/arabic/Langue_arabe/p9.htm., 25 Juli 2007.
14.  http://www.atida.org/melayu/index.php?option=com_content&view=article&id=50:tantangandanprospekpendidikanbahasaarabdiindonesiaolehmuhbibabdulwahab&catid=4:articles

[1] Daniel Bell, The Coming of The Post-Industrial Society, (London : Heinemann, 1974), hal. 3.
[2] Piotr Sztompka, The Sociology of Social Change (Sosiologi Perubahan Sosial), Alimandan, penerjemah, (Jakarta : Prenada, 2010), hal. 1.
[3] Muhammad ‘Ali al-Khulli, Model Pembelajaran Bahasa Arab, (Bandung : PSIBA UPI, 2002), hal. 5.
[4] ‘Abd al-’Alim Ibrahim, al-Muwajjih al-Fanni, (Beirut : Dar al-Ma’arif), hal. 43 – 44.
[5] ‘Abd al-’Alim Ibrahim, hal. 44-45.
[6])  Onong Uchjana Effendy, Prof. Dr. M.A, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung : Rosdakarya, 2005), hal. 10.
[7] Piotr Sztompka, hal. 2-3.
[8] Piotr Sztompka, hal. 3-4.
[9] Hernes, 1976 : 514.
[10] Piotr Sztompka, hal. 4.
[11] Piotr Sztompka, hal. 4-5.
[12] Macionis, 1987, hal. 638.
[13] Persell, 1987, hal. 586.
[14] Ritzer, et.al, 1987, hal. 560.
[15] Farley, 1990, hal. 626.
[16] Piotrs Sztompka, hal. 5.
[17] Muhammad Rusli Karim, Seluk Beluk Perubahan Sosial, (Bandung : Usaha Nasional, 1997), hal. 3.
[18] Muhammad ‘Ali al-Khulli, hal. 5.
[19] Piotr Sztompka, hal. 4.
[20] Muhbib Abdul Wahab, Quo Vadis Pendidikan Bahasa Arab di Era Globalisasi, makalah disampaikan dalam Seminar Sehari BEMJ PBA FITK UIN Jakarta, 29 Mei 2006.
[21] Muhbib ‘Abd al-Wahab, Tantangan dan Prospek Pendidikan Bahasa Arab di Indonesia, Jurnal Afaq Arabiyyah, Vol. 2, No. 1 Juni 2007: 1-18.  (Jakarta : Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007).
[22] Muhbib ‘Abd al-Wahab, Tantangan dan Prospek Pendidikan Bahasa Arab di Indonesia, Jurnal Afaq Arabiyyah, Vol. 2, No. 1 Juni 2007: 1-18.  (Jakarta : Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007).
[23] ‘Abd al-Shabur  Syahin, al-Tahaddiyât al-lati Tuwajihu al-Lughah al-‘Arabiyyah, (Rabath: Isesco, 2006).
[24] http://www.isesco.org.ma/pub/arabic/Langue_arabe/p9.htm., 25 Juli 2007.
[25] Farîd al-Anshârî, “Ishlâh al-Ta’lîm wa Azmah al-Lughah al-‘Arabiyyah fi al-‘Âlam al-Islâmî,” diakses dari  http//:www.albayan-magazine.com/Dialogues/12.htm, 20 Agustus 2007.
[26] Manshûr ibn Shâlih al-Yûsuf, “al-Lughah al-‘Arabiyyah wa Tahaddiyat al-‘Ashr”,  diakses darihttp://www.suhuf.net.sa/2000jaz/dec/10/ar8.htm, 23 Oktober 2007.
[27] http://alfi86.multiply.com/journal/item/1
[28] Nazir Muhammad Maktabi, al-Fushha fi Muwâjahat al-Tahaddiyat, (Beirut: Dar al-Basya’ir al-Islamiyyah, 1991).
[29] Muhbib ‘Abd al-Wahab, Tantangan dan Prospek Pendidikan Bahasa Arab di Indonesia, Jurnal Afaq Arabiyyah, Vol. 2, No. 1 Juni 2007: 1-18.  (Jakarta : Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007).
[30] Mahmud Fahmi Hijazi, al-Lughah al-‘Arabiyyah fi al-‘Ashr al-Hadits Qadhaya wa Musykilat, (Kairo: Dar Quba’, 1998), cetakan ke-1, hal. 79.

0 Comment