Friday, May 4, 2012


BAB I
PENDAHULUAN

Puji syukur kita panjatkan atas rahmat yang diberikan Allah pada hambnya, Salawat dan salam tak lupa kita kirimkan buat junjungan umat yakni Muhammad SAW.
Selanjutnya pada makalah ini sedikit akan menguraikan tentang hubungan filsafat dengan ilmu lainnya terutama kaitan filsafat dengan agama, pendidikan dan kebudayaan. Karena suatu ilmu tidak bisa berdiri sendiri tanpa ada ilmu yang lain. Dalam makalah ini akan dibahas bagaimana pandangan dan hubungan filsafat terhadap agama, pendidikan dan kebudayaan.
Dalam penulisan makalah ini, pemakalah menyadari masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan.

Penulis

 
BAB II
PEMBAHASAN
HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN PANDIDIKAN,
AGAMA, DAN KEBUDAYAAN

A.    Hubungan Filsafat dengan Pendidikan

Antara Filsafat dan pendidikan terdapat hubungan horizontal, meluas kesamping yaitu hubungan antara cabang disiplin ilmu yang satu dengan cabang yang lain, yang berbeda, sehinggan merupakan syintesa yang merupakan terapan ilmu pada bidang kehidupan, yaitu ilmu filsafat pada penyesuaian problema,  pendidikan dan pengajaran.
Dengan demikian tugas pendidik atau guru adalah  menanamkan nilai norma ukuran tingkah laku kepada anak didik, yang mungkin bersumber pada dasar-dasar agama, filsafat atau tradisi kebudayaan tertentu.
Dengan berkesimpulan bahwa filsafat dirumuskan sebagai teori pendidikan yang bersifat umum dan konsepsional.
Filsafat menjadikan manusia berkembang, mempunyai pandangan hidup yang menyeluruh secara sistematis, maka hal yang semacam ini telah dituangkan dalam sistem pendidikan, agar dapat terarah  untuk mencapai tujuan pendidikan. Usaha berfilsafat adalah usaha berpandangan menyeluruh dan sistematis yang diharapkan manusia itu dapat mengusainya, yang demikian ialah melalui proses ilmu pengetahuan, melalui proses ini manusia menegaskan pikirannya untuk bekerja sesuai dengan aturan dan hukum-hukum yang ada
B.     Hubungan Filsafat dengan Agama (Wahyu dan Akal)
Filsafat, sebagai proses berpikir yang sistematis dan radikal juga memiliki objek material dan objek formal objek material filsafat adalah segala yang ada mencakup “ada yang tampak dan yanga da yang tidak tampak”. Ada yang tampak adalah dunia empiris sedangkan ada yang tidak tampak adalah alam metafisika. Sebagai filosof membagi objek material filsafat atas tiga bagian, yaitu : yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam fikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Adapun objek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan objektif tentang yang ada, agar dapat mencapai hakekatnya.
Agama adalah suatu sistem percayaan kepada tuhan yang dianut oleh sekompok manusia dengan sellau mengadakan interaksi dengan-Nya. Pokok persoalan yang dibahas dalam agama adalah eksistensi Tuhan, Manusia dan hubungan antara manusia dan Tuhan. Tuhan dan hubungan manusia dengan-Nya merupakan aspek metafisika, sedangkan manusia sebagai makhluk dan bagian dari benda alam termasuk kedalam katagori fisika. Dengan demikian, filsafat membahas  agama dari segi metafisik.
Pendekatan objektif adalah metode yang sesuai dengan realitas objektif dengan meminimalkan subjektifitas pembahasan. Pendekatan objektif ini perlu dalam filsafat agama karena pada dasarnya aspek subjektifitas  pada agama sangat kuat. Lagi pula mayoritas pembahas filsafat agama adalah orang-orang yang telah menganut agama tertentu. Karena itu, pembahasan filsafat agama perlu ditekankan pada segi objektifitas , kendati tidak dinafikan samasekali masuknya unsur subjektifitas tadi. Namun , dalam pembahasan dasar agama yang bersifat umum diusahakan seobjektif mungkin.
Berpikir secara bebas dalam  membahas dasar-dasar agama dapat mengambil dua bentuk, yaitu :
  1. Membahasa dasar-dasar agama secara analitis dan kritis tanpa terikat pada ajaran-ajaran dan tanpa ada tujuan untuk menyatakan suatu kebenaran suatu agama.
  2. Membahas dasar-dasar agama secara analisis dan kritis dengan maksud untuk menyatakan kebenaran ajaran-ajaran agama, atau sekurang-kurangnya untuk  menyelaskan bahwa apa yang diajarkan agama tidak bertentang dengan agama. Dalam pembahasan semacam ini seseorang masih terikat pada ajaran agama.
Kebebasan berpikir dalam arti a tidak mempunyai tujuan apakah untuk mendukung agama atau tidak. Hal tersebut dapat berakibat pada pemikiran yang tidak terkendali dan akhirnya terjerumus pada atheisme. Kebebesan dalam arti b tidak sebebas-bebasnya, tetapi masih terikat dengan tujuan dan ajaran-ajaran pokok agama, sehingga seseorang tidak akan terbawa pada pemikiran  yang menentang agama.Kebebasan pembahasan dalam filsafat agama adalah kebebaasn dalam berpikir dalam arti b.
  C.    Hubungan Filsafat dengan Kebudayaan
Kebudayaan adalah suatu konsep yang  berkaiatan dengan keseluruhan cara-cara hidup dari masyarakat manusia, atau kebudayaan adalah suatu matriks yang lengkap dan komplek jalinan relasinya dari lembaga-lembaga politik, sosial, ekonomis, keagamaan dan juga kepercayaan, aspirasi ideal dan cita-cita tetap pemikiran-pemikiran yang membimbing orang dalam kehidupannya baik sebagai individu dan masyarakat.
Manusia sebagai makhluk budaya mampu berspekulasi dan berteori filsafat yang akan menentukan kebudayaannnya, bahkan sampai sadar dan jujur mengakui  pernyataan Tuhan dan ajaran agama.
Makhluk budaya manusia tidak mau tunduk, bersikap pasrah kepada kodrat alamiahnya, dan memang apa yang dibawa sejak lahir tidak lebih hanya merupakan potensi-potensi yang akan berkembang menjadi kenyataan yang realita bilamana saja usaha-usaha baik dari manusia maupun masyarakatnya. Anak manusia yang pada saat melepaskan diri dari dunia dan kehidupan yang amamn dan tentram, dari dalam kandungan ibunya, tidak berdaya dan karena itu sangat membutuhkan pertolongan hanya dalam waktu lima – enam tahun telah siap melepaskan diri dari kandungan keluarganya dan telah mempu berpikir dan berbahasa secara sederhana. Anak manusia yang menjelang ambang kedewasaannya telah mampu mempermasalah dirinya, siapa dia apa yang dapat di harapkan yang tidak dari dirinya, mempertanyakan apa itu hidup, dari mana sumbernya dan arah tujuan apa dan mana yang akan dicapainya.
Dengan demikian manusia sebagai makhluk budaya bukanlah setan tetapi bukan pula malaikat, tetapi suatu ketika dapat berubah kearah bentuk yang dan jenis makhluk demikian itu, atau memiliki potensi-potensi kearah itu sebagai setan, manusia memiliki kecendrungan untuk menghancurkan nilai-nilai kebudayaan yang telah diciptakannya sendiri, dan sebagai malaikat, manusia mendapat kepercayaan dan kehormatan dari tuhan untuk berperan sebagai malaikat, sebagai penyuluh agama bagi manusia-manusia kearah jalan yang benar dan baik.
 D.    Hubungan antara filsafat, Agama dan Kebudayaan, Pendidikan
Brameld  memberi suatu contoh sebagai illustrasi tentang hubungan antara filsafat, agama dan  kebudayaan dan pendidikan.
 Ket
1        : Ilmu Pengetahuan (science)
2        : Ekonomi (Economycs )
3        : Sosial (Human Relation)
4        : Politik ( Politics)
5        : Agama ( Religion)
6        : Kesenian (Arts)
7        : Pendidikan (Education)
(1)   Bagan tersebut menggambarkan bahwa dasar filsafat merupakan simbol, atau sumber kebudayaan sehingga apabila logika dibalik, kebudayaan merupakan pengejawantahan dari sumber dasar filsafat, yaitu sumber-sumber nilai dasar atau etos-etos, yaitu nilai-nilai spiritual ethis yang mendasari tingkah laku manusia.[1]
(2)   Bagan menggambarkan jumlah dan jenis unsur-unsur kebudayaan yang umum dijumpai dari pola kebudayaan terutama dari sudut pendekatan sekuler ilmiah demokratis. [2]
(3)   Bagan menggambarkan  pola dan perkembangn unsur-unsr kebudayaan yang normal dan serempak dan yang seharusnya demikian sehingga tidak satu unsur pun mendahului lebih cepat dari yang lain pada hal dalam kenyataannya tidak mungkin demikian, kecuali dengan perencanaan sosial.[3]
(4)   Bagan menggambarkan fungsi peranan pendidikan sebagi unsur pengikat dan tenaga pengembang kebudayaan, sehinggan perkembangan pendidikan merupakan indikator sosial dari pada perkembangan kebudayaan dari suatu bangsa dan negara tertentu.[4]
(5)   Bagan menggambarkan, sesuai dengan butir (1) diatas, bahwa perbedaan dasar nilai-nilai filsafat atau etos-etos filsafat akan menyebabkan jumlah dan jenis dan unsur-unsur kebudayaan, seperti negara totaliter monistis komunistis tidak mengakui unsur sosial dan agaman dalam pola kebudayaannya.[5]
(6)   Bagan menggambarkan ,sesuia dengan butir (3) diatas kemungkinan terjadinya “ Differential diffusion of culture” artinya ketidak samaan arah dan kecepatan perkembangan unsur-unsur kebudayaan, yang pada suatu ketika dapat menimbulkan masalah-masalah sosial dan klebudayaan.



























[1] Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, (Surabaya : Usaha Nasional 1977) , Cet. 1, hal 117
[2]Jalaluddin dan Abdullah, Filsafat Pendidikan,(Jakarta : Gaya Media Pratama, 1997) Cet. hal 116
[3] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama 1 (Jakarta : LogosWacana Ilmu, 1997) cet.1 hal.1
[4] Harun Nasution,Falsafah Aga,ma (Jakarta : Bulan Bintang, 1991) Cet. hal. 4
[5] Amsal Bakhtiar, Loc, cif

0 Comment