Friday, May 4, 2012


BAB I 
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Allah SWT telah mewajibkan hamba-Nya agar beribadah kepada-Nya semata. Hal itu dapat ditemukan dalam beberapa  ayat al-Qur’an sebagai  berikut:
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون (الزا ريات : 56)
Artinya    :    Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS Adz-Zariyat : 56)[1]

Selanjutnya pada ayat lain Allah mengatakan bahwa manusia diperintahkan untuk menyembah kepada-Nya :
وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء ويقيموا الصلاة ويؤتواالزكاة وذلك دين القيمة (البينة : 5)
Artinya    :    Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah, dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan  supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS al-Bayyinah : 5)[2]

Berdasarkan ayat-ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah SWT memerintahkan untuk menyembah kepada-Nya. Cara menyembah Allah SWT yang dimaksud dalam ayat ini adalah dengan jalan mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Berarti mengerjakan shalat dan membayarkan zakat merupakan dua bentuk  pekerjaan yang diutamakan  bagi  manusia  dalam  agama  Islam. 
Shalat adalah salah satu ibadah yang sangat fundamental bahkan merupakan salah satu dari rukun Islam. Dengan demikian ibadah shalat  merupakan  salah  satu syarat untuk berdiri kokohnya agama Islam.
Fukaha telah berijma’  bahwa siapa yang meninggalkan shalat berarti telah  meruntuhkan  salah  satu  rukun  (sendi  Islam) terkuat.[3]
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW  berikut :
عبيد الله بن مو سى قال اخبرنا حنظلةبن أبى سفيان عن عكر مة بن خالد عن ابن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم بنى الا سلام على خمس شها دة ان لااله الا الله وان محمدارسو ل الله و اقام الصلاة وإيتاء الز كاة والحج البيت وصوم رمضان (رواه البجارى)
Artinya : Ubaid bin Abdullah berkata: telah dikabarkan kepada Hanzhalah bin Abi Sufyan, dari ‘Ikrimah bin Khalid dari ‘Umar ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Islam itu didirikan atas lima dasar yaitu : bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu adalah Rasul Allah, mendirikan shalat, membayarkan zakat, naik haji ke Baitullah serta berpuasa pada bulan Ramadhan.”(H.R Bukhari) [4]

            Berdasarkan hadits di atas dapat dipahami bahwa ibadah shalat  merupakan perbuatan yang paling utama, paling tinggi dan paling agung dalam Islam.[5] Oleh karena itu sudah seharusnya bagi umat Islam untuk mengetahui hukum-hukum shalat sehingga dalam pelaksanaannya benar-benar sesuai  syari’at.
            Ulama fiqhpun sepakat menyatakan bahwa ibadah shalat itu merupakan kewajiban yang harus diketahui dan dilaksanakan oleh setiap individu muslim.[6]
            Perintah melaksanakan shalat dibebankan kepada tiap individu muslim kecuali ada halangan yang diperbolehkan syara’ untuk tidak melaksanakannya. Shalat tidak dibebankan kepada orang gila, orang pingsan, wanita  haidh dan nifas karena habis melahirkan serta anak-anak yang belum baligh. Hanya pada waktu-waktu dan keadaan tersebutlah kewajiban shalat gugur pada diri seseorang.
Shalat adalah amal yang pertama kali akan dihisab pada diri seorang hamba, baik ketika di dalam kuburnya maupun ketika dipertemukan dengan Tuhannya. Apabila shalatnya baik maka baiklah semua amalnya tetapi apabila shalatnya rusak maka rusaklah semua amalannya.[7] Berarti agar  shalat  seseorang dapat diterima Allah SWT, maka wajib baginya berusaha untuk menyempurnakannya. Caranya dengan menggalinya dari  nash-nash  al-Qur’an  dan  Hadits  Rasulullah SAW.
Orang yang akan mendirikan shalat harus betul-betul memperhatikan dan memahami ketentuan seputar shalat seperti rukun  dan syarat-syarat shalat.Tanpa terpenuhinya kedua aspek tersebut shalat seseorang tidak sah.[8]       
Jadi pelaksanaan shalat harus berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah disyariatkan Allah SWT sebagai manifestasi  firman-Nya :
إنني أنا الله لا إله إلا أنا فاعبدني وأقم الصلاة لذكري (طه : 14)
Artinya :          Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (QS.Tha ha :14 )[9]

Pada ayat ini Allah memerintahkan untuk melaksanakan shalat. Sebab dengan mendirikan shalat berarti hati seseorang ingat  kepada Allah SWT.
Melakukan ibadah shalat juga merupakan bukti kepatuhan seseorang  kepada Rasulullah SAW, sebagaimana  hadits  berikut :
محمد بن المثى قال حد ثنا عبد الو هاب قال حدثنا ايوب عن أبى قلا بة قال حد ثنا ما لك قال قال رسولالله صلى الله عليه وسلم صلو كما رايتمو انى اصلى(رواه البجارى)
Artinya  :    “Muhammad ibn Mutsana berkata “disampaikan oleh Abdul Wahab dia berkata diceritakan kepada kami oleh Ayyub dari Abi Qilabah ia berkata di ceritakan kepada kami  dari Malik ia berkata Rasulullah SAW bersabda shalatlah kalian sebagaimana melihat aku shalat …” (H.R. Bukhari). [10]

Berdasarkan hadits di atas dapat dipahami bahwa acuan dalam melaksanakan ibadah shalat berdasarkan yang telah dilaksanakan dan diajarkan Nabi  Muhammad  SAW.
Shalat merupakan ibadah yang dilaksanakan dengan anggota lahir dan bathin dalam bentuk perbuatan dan perkataan tertentu.[11]Sebab ibadah shalat  mempunyai gerakan-gerakan dan bacaan-bacaan tertentu. Apabila kedua hal itu tidak terpenuhi maka belum tentu shalat  yang dilakukan tersebut sah.
Mengenai cara pelaksanaan shalat telah dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah  r.a  berikut ini :
عن عائثة رضي الله عنها قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يستفتح الصلاة با لتكبير و القر اءة بالحمدالله رب العا لمين وكان اذاركع لم يشحص رأسه ولم يصو به ولكن بين ذلك وكان اذا رفع رأسه من الركوع لم يسجد حتى يستوي قائما وكان اذا رفع رأسه من السجدة حتى يستو ي جالساوكا ن يقول فى كل ركعتين التحية وكان يفرش رجله اليسرى وينصب رجله اليمنى وكان ينهى عن عقبة الشيطان وينهى ان يفترش الرجل ذر اعيه افتراش السبع وكان يختم الصلاة بالتسليم (رواه مسلم)
Artinya    :  Dari ‘Aisyah r.a  ia  berkata; Rasulullah SAW biasa membuka shalat dengan takbiratul ihram dan memulai membaca (Al-Qur’an) dengan “alhamdulillahhirobbil ‘alamin”. Apabila beliau ruku’  beliau tidak mengangkat kepalanya dan tidak pula menundukkan kepalanya, akan tetapi antara keduanya, Apabila beliau telah mengangkat kepalanya  dari ruku’ (I’tidal), beliau tidak sujud sehingga tegak berdiri : apabila beliau telah mengangkat kepalanya dari sujud, maka beliau tidak sujud lagi  (sehingga)  duduk  dengan tegak  dan biasanya pada setiap raka’at, beliau ( pada duduk tahiyat itu ) membentangkan kakinya yang kiri dan menegakkan kakinya yang kanan. Dan beliau duduk di atas dua kaki/tumit yang ditegakkan dan melarang seseorang yang membentangkan dua sikunya seperti binatang buas. Dan beliau mengakhiri shalatnya dengan membaca salam”. (H.R Muslim)[12]
Hadits di atas menjelaskan bahwa shalat diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Takbiratul ihram adalah tanda bahwa shalat telah dimulai. Bila shalat telah dimulai fikiran diusahakan jauh dari hal-hal keduniaan. Karena dengan takbiratul ihram berarti terputuslah hubungan dengan apa-apa yang ada  di luar shalat sampai shalat itu diakhiri  dengan  salam.
Seharusnya bagi orang yang sedang melaksanakan shalat hatinya  juga ikut turut serta merasakan apa yang sedang diucapkan lisannya. Artinya setiap gerakan-gerakan anggota tubuh dan bacaan-bacaan yang dibaca dalam shalat adalah satu kesatuan.
Jadi bukan hanya badan saja yang shalat melainkan hati juga berkonsentrasi memahami dan membenarkan ucapan lisannya sehingga khusu’ dalam shalat.
Sebagaimana telah disinggung pada pembahasan sebelumnya bahwa shalat adalah ibadah yang terdiri dari berbagai gerakan dan bacaan. Gerakan-gerakan shalat antara lain takbiratul ihram, ruku’, sujud, duduk antara dua sujud, duduk akhir serta gerakan lainnya sebagaimana yang telah disebutkan pada Hadits di atas.
Selanjutnya mengenai bacaan-bacaan ketika shalat dikalangan fukaha terjadi perbedaan pendapat dalam menggolongkan bacaan yang termasuk rukun dan syarat sah shalat. Salah satu perbedaan pendapat fukaha  dalam hal bacaan shalat adalah tentang kedudukan hukum membaca dua kali salam diakhir shalat. Golongan Syafi’iyah berpendapat bahwa salam yang wajib sebagai penutup shalat  adalah salam  pertama. Membaca salam kedua adalah sunat.[13]Sedangkan golongan Hanabilah berpendapat bahwa membaca salam yang kedua dalam shalat adalah wajib[14]sebagaimana salam pertama sebab kedua salam termasuk  rukun shalat.[15]
Mencermati perbedaan pendapat ini, maka penulis ingin  meneliti dan membahasnya dalam bentuk karya ilmiah (Skripsi) dengan judul : “KEDUDUKAN  SALAM DALAM  SHALAT (Studi Komparatif   Antara Fiqh  Syafi’iyah dan Fiqh Hanabilah)”.

B.     Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah :
1.       Mengapa golongan Syafi’iyah berpendapat hukum membaca salam kedua dalam shalat adalah sunnat dan mengapa pula golongan Hanabilah berpendapat membaca salam kedua adalah wajib sebagaimana salam pertama?
2.       Apakah yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat antara Syafi’iyah dan Hanabilah dalam masalah hukum membaca salam kedua dalam shalat?
3.       Manakah di antara kedua pendapat itu yang lebih kuat dan lebih tepat untuk dipedomani?

C.    Tujuan dan Kegunaan
1.      Tujuan
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah :
1.      Untuk mengetahui alasan golongan Syafi’iyah yang mengatakan membaca salam kedua hukumnya sunnat dan untuk mengetahui alasan golongan Hanabilah yang berpendapat salam kedua hukumnya wajib juga sebagaimana salam pertama.
2.      Untuk mengetahui penyebab terjadinya perbedaan pendapat antara Syafi’iyah dan Hanabilah mengenai  hukum membaca  salam kedua dalam shalat
3.      Untuk mengetahui pendapat siapakah yang paling kuat dalilnya sehingga bisa dijadikan pedoman dalam pengamalannya.

2.      Kegunaan

Kegunaan penulisan skripsi ini adalah :
1.      Melengkapi persyaratan dalam mencapai gelar sarjana (S1) dalam ilmu Perbandingan Hukum dan Mazhab Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol Padang.
2.      Menambah literatur perpustakaan IAIN Imam Bonjol Padang.


D.    Penjelasan Judul
Untuk mempermudah dalam memahami arti, maksud serta menghindari kesalahan dalam memahami judul skripsi ini, terlebih dahulu penulis memberikan penjelasan kata-kata kunci yang terdapat dalam judul di atas
Kedudukan                   :    kediaman, letak atau tempat suatu benda, tingkatan martabat, keadaan yang sebenarnya, status.[16]
 Salam                           :    Salam adalah ucapan “assalamu ’alaikum warahmatullahi wabarakatuh” (mudah-mudahan keselamatan atas dirimu dengan mendapat rahmat dan berkah-Nya)[17]. Salam yang dimaksudkan adalah ucapan “assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh” yang kedua sewaktu menoleh ke kiri sebagai penutup shalat
Shalat                            :    Shalat secara lughat berati do’a.Sedangkan menurut istilah  syara’adalah ibadah yang terdiri dari beberapa perbuatan dan perkataan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, menurut cara-cara dan syarat-syarat serta rukun-rukun yang telah ditentukan.[18]
Studi Komparatif          :    Kalimat ini terdiri dari dua kata “studi dan komparatif”. Studi adalah : Kajian, telaah, penelitian, penyelidikan ilmiah.[19] Komparatif : Berasal dari kata comparative yang berarti bertalian dengan perbandingan.[20] Studi komparatif yang penulis maksud adalah : perbandingan pendapat antara Syafi’iyah dan Hanabilah
Fiqh Syafi’iyah             :    Terdiri dari dua kata yaitu Fiqh dan Syafi’iyah. Fiqh adalah pemahaman yang mendalam.[21] Syafi’iyah adalah penamaan bagi para pengikut Imam Syafi’i yang dinisbahkan dari namanya, Muhammad bin Idris al Syafi’i, lahir tahun 150 H di Gazza dan wafat di Mesir, tahun 204 H.[22] Fiqh Syafi’iyah adalah hasil ijtihad  Imam Syafi’i dan pengikutnya dalam bidang hukum (fiqh).
Hanabilah                      :  Orang-orang yang mengikuti hasil ijtihad Ahmad bin Hanbal dalam masalah hukum (fiqh). Imam Ahmad bin Hanbal, yang lengkapnya bernama Abu Abdillah Ahmad  bin Hanbal lahir pada tahun 164 H, wafat tahun 241 H.[23] Fiqh Hanabilah adalah hasil ijtihad Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya dalam bidang  hukum (fiqh).

Secara utuh judul skripsi ini adalah untuk meneliti, menelaah dan memperbandingkan pendapat mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali tentang ketentuan membaca assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh yang kedua  sewaktu memalingkan muka kesebelah  kiri sebagai ucapan penutup dalam  shalat.

E.     Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai membaca salam dalam shalat ini juga telah pernah dilakukan oleh sarjana lain, tetapi dengan sudut pandang berbeda dari penelitian yang akan penulis lakukan.
Penelitian tersebut dilakukan oleh Yendrizal (Bp. 398 055) dengan judul Hukum Membaca Salam di Akhir Shalat, (Komparatif Fiqh Hanafiah dan Fiqh Syafi’iyah). Penelitiannya menyoroti masalah kedudukan salam dengan mengkomparatifkan fiqh Hanafiyah dengan fiqh Syafi’iyah dalam menetapkan hukum salam. Hanafiyah berpendapat salam adalah wajib shalat, jadi tanpa membaca salam shalat tetap sah (tidak batal). Syafi’iyah berpendapat salam adalah fardhu shalat akibatnya tanpa membaca salam shalat tidak sah (batal). Sebab salam adalah rukun shalat. Kesimpulan penelitiannya pendapat Syafi’iyah lebih kuat argumen dan dalilnya.
Sedangkan dalam penelitian ini penulis akan meneliti bagaimanakah kedudukan hukum membaca dua kali salam dalam shalat? Pokok utama permasalahan bagi penulis adalah mengapa Syafi’iyah mengatakan salam yang kedua (sewaktu menoleh ke kiri) adalah sunat. Pendapat Syafi’iyah ini akan penulis komparasikan dengan pendapat Hanabilah yang mengatakan membaca kedua salam (salam pertama dan salam kedua) adalah fardhu shalat yang apabila tidak diucapkan maka shalat tidak sah (batal).

F.     Metode  Penelitian
            Untuk sampai kepada hasil yang penulis tuju, penulis melakukan penelitian ini dengan menggunakan metode Library Research (Penelitian Kepustakaan), yaitu memilih, membaca, kemudian menelaah buku-buku yang relevan  dan representatif dengan masalah yang dibahas, baik melalui sumber primer maupun  sumber sekunder.
            Setelah data terkumpul, kemudian penulis pelajari dan dianalisa untuk kemudian  dipaparkan dalam bentuk karya tulis ilmiah (skripsi)
Sumber primer adalah buku-buku yang dikarang langsung oleh Imam Mazhab atau buku-buku yang dikarang oleh pengikut-pengikutnya. Sumber-sumber primer di kalangan Syafi’iyah seperti kitab al-Umm karangan Imam al-Syafi’i sendiri, al-Muhazzab karangan al-Syairazi, Majmu’ Sarh al-Muhazzab  karangan an-Nawawi dan kitab- kitab lainnya. Sumber-sumber primer di kalangan Hanabilah adalah al-Mughni ‘ala-Mukhtashiril al-Kharqi karangan Ibnu Qudamah al-Maqdusi, al-Mu’tamad fi Fiqh Imam Ahmad karangan Muhammad Nashiruddin al-Bani serta kitab-kitab lainnya. Sedangkan data yang berupa sumber sekunder adalah kitab-kitab atau buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan ini tetapi tidak dikarang oleh kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah
Dalam mengolah data penulis menggunakan metode :
Deduktif         :           yaitu dengan  metode pembahasan yang dimulai  dari uraian yang bersifat umum menuju pada kesimpulan  yang bersifat khusus.[24]
Induktif          :           yaitu metode pengambilan kesimpulan yang berangkat dari fakta-fakta yang bersifat khusus menuju pada kesimpulan yang bersifat umum.[25]
Komparatif     :           yaitu penulis akan mengambil pendapat yang terkuat setelah memperhatikan dan memperbandingkan pendapat golongan Syafi’iyah  dan golongan Hanabilah, dalil-dalil serta alasan-alasan mereka masing-masing.

G.    Sistematika Penulisan
Untuk lebih mempermudah dalam memahami dan terarahnya penelitian ini maka sistematika penulisan penulis bagi dalam  empat  bab. Masing-masing bab mempunyai spesifikasi pembahasan tersendiri, yang pembahasannya diurutkan dari bab satu sampai bab lima.
Pada bab pertama merupakan pendahuluan yang merupakan acuan dasar dalam penulisan skripsi ini. Bab pendahuluan ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, penjelasan judul, tujuan dan kegunaan pembahasan, tinjauan pustaka, metode  penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua adalah pembahasan tentang fiqh Syafi’iyah dan Hanabilah. Tujuan diadakannya pembahasan ini adalah agar jelas perbedaan masing-masing  mazhab. Bab dua ini terdiri dari tiga sub bab. Sub bab pertama menceritakan  sekilas tentang fiqh Syafi’iyah dan fiqh Hanabilah. Sub bab kedua  dan ketiga adalah metode istinbath hukum fiqh Syafi’iyah dan fiqh Hanabilah .
Bab ketiga merupakan uraian tentang  shalat secara umum. Dalam bab tiga ini dibahas beberapa aspek tentang shalat yang terdiri dari lima sub bab yang dimulai dari pengertian shalat dan  dasar hukum perintah shalat, syarat dan rukun shalat, keutamaan ibadah shalat dalam Islam serta hikmah Shalat.
Bab keempat merupakan inti pokok dari pembahasan skripsi ini. Bab empat memuat pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah tentang hukum membaca salam yang kedua dalam shalat. Bab empat ini juga dilengkapi dengan analisa penulis.
Bab kelima adalah kesimpulan dan saran. Bagian kesimpulan untuk mengetahui jawaban dari persoalan pokok yang dibahas dalam rumusan masalah Pada bab lima ini juga tergambar implikasi dari pembahasan yang bermuatan saran-saran.  


[1]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1989),    h. 736

[2]Ibid., h. 862

[3]Abdurrahman al Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, Alih Bahasa Chatibul Umam, Abu Hurairah, judul asli “Al Fiqh ‘Ala Mazhahib Al ‘Arba’ah”, (Jakarta : Darul Ulum Press, 2002), Jil. I, Cet Ke- III, h. 3

[4]Imam Bukhari, Sahih Bukhari, (Beirut : Dar al-Fikr, 1981), Juz I, h. 2

[5]Abdurrahman al Jaziri, Op. cit, h. 2

[6]Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam,  (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), Juz V., h.1536

[7]Ibnu Qayyim al Jauziyah, Rahasia di Balik Shalat, Penerjemah Amir Hamzah Fachruddin dan Kamaluddin Sa’adiatulharamaini, judul asli “Kitabus Shalah wa Hukmu Tharikiha”, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2003), Cet ke.VII, h.13

[8]M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995), Cet.ke I, h. 35

[9]Departemen Agama RI, Op.  cit, h 477.

[10]Imam Bukhari, Op. cit, h.155

[11]Syahminan Zaidan, Untuk Apa Seorang Muslim Shalat, (Jakarta: Kalam Mulia, 1987)

[12]Muhammad bin Isma’il al - Kahlani, Subul al-Salam, (Bandung : Dahlan, t. th), Juz. I,  h. 511,

[13]Abu Ishak al Syairazi, Al Muhazzab  fi Fiqh Imam al Syafi’I, (Mesir : Dar al Fikr,t.th), Juz. I., h.111

[14]Ibnu Qudamah al-Maqdusi, Al Mughni ‘Ala Mukhtashiril  Kharqi, (Beirut : Dar al-Kitab ‘Ilmiah,  t. th.), Juz. I., h. 386

[15]Muhammad Nashiruddin al- Bani, Al Mu’tamad  fi Fiqh Imam Ahmad, (Kairo: Dar al Fikr, t. th), Juz. I, h. 128
[16]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka,1993), Cet Ke II, h. 214

[17]Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fikih, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1995), Cet. Ke. II,  h. 313
[18]Abdul Mjieb dkk, Op cit, h. 307


[19]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op. cit,h. 860

[20]John M. Exhols dan Hasan Sadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 1990), h. 131

[21]Abdul Aziz Dahlan, Op cit. , h.708.

[22]IAIN Syarif Hidayatullah , Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1993), h 37.

[23]Abdul Mujieb dkk, Op. cit  h.98
[24]Winarno Surachman, Pengantar  Penelitian Ilmiah, (Bandung : Tersito, 1985), h. 143

[25]Sutrisno Hadi, Metodologi Research,(Yogyakarta : Andi Offset, 1989), h. 142

0 Comment