Friday, May 4, 2012


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Setiap anak yang lahir normal, baik fisik maupun mentalnya berpotensi menjadi cerdas. Hal yang demikian terjadi, karena secara fitrah manusia dibekali potensi kecerdasan oleh Allah SWT. Dalam rangka mengaktualisasikan dirinya sebagai hamba (`abid) dan wakil Allah (khalifah) di muka bumi.[1]Sebagaimana dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ (البقرة : 30)

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui
(QS. 2: 30)
Demikian pula dengan pendapat al-Ghazali bahwa: “Anak dilahirkan dengan membawa fitrah yang seimbang dan sehat. Kedua orang tuanyalah yang memberikan agama kepada mereka.
Demikian pula anak dapat terpengaruhi sifat-sifat yang buruk. Ia mempelajari sifat–sifat yang buruk itu dari lingkungan yang dihadapinya. Dari corak hidup yang memberikan peranan kepadanya dan dari kebiasaan–kebiasaan yang dilakukannya.
Ketika dilahirkan, keadaan tubuh anak belum sempurna, kekurangan ini diatasinya dengan latihan dan pendidikan yang ditunjang dengan makanan. Demikian pula halnya dengan tabiat yang difitrahkan. kepada anak yang merupakan kebajikan yang diberikan al-Khalik kepadanya”.[2]
Pada masa sekarang ini, peran keluarga mulai melemah dikarenakan perubahan sosial, politik dan budaya yang terjadi. Keadaan ini memiliki andil yang besar terhadap terbebasnya anak dari kekuasaan orang tua, keluarga telah kehilangan fungsinya dalam perkembangan emosi anak.
Kehidupan anak-anak yang sudah memasuki usia ramaja sebagian waktunya dihabiskan di Asrama mulai pagi hingga Malam hari. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwasanya mereka pun berinteraksi dengan pengasuhnya dan teman-temannya, hasil interaksi inipun akan mempengaruhi pola perilaku mereka. Oleh karena itu Asrama merupakan rumah kedua setelah kehidupan mereka bersama orang tua dan saudaranya di rumah, di mana mereka dapat bermain dan belajar.
Pengaruh dari adanya perubahan sistem politik, sosial dan budaya yang menyebabkan melemahnya fungsi keluarga terhadap perkembangan emosi anak, maka peran Asrama di sini sangat penting dalam pembentukan pola perilaku anak-anak.
Pelaksanaan pendidikan tidak mungkin lepas dari faktor-faktor psikologis manusia di samping faktor lingkungan sekitar, maka dalam proses Pembinaan perlu bahkan wajib berpegang pada petunjuk-petunjuk dari para ahli psikologi terutama psikologi pendidikan dan psikologi perkembangan, termasuk psikologi agama.
Menurut al-Farabi dalam buku “Risalah Fi al-Siyasah”, bahwasanya perlu untuk memperhatikan faktor pembawaan dan tabiat anak-anak. Anak-anak berbeda pembawaanya satu sama lain. Oleh karena itu apa yang diajarkan harus sesuai dengan perbedaan pembawaan dan kemampuan itu.[3]
Namun selama ini hanya sedikit orang tua yang memperhatikan perkembangan kejiwaan anak secara universal. Orang tua biasanya hanya memperhatikan pada aspek jiwa yang langsung dapat teramati saat itu juga. Seperti pada perkembangan aspek kognisi, orang tua akan merasa sangat bahagia bila anaknya yang masih balita sudah dapat menghafal abjad ataupun mengenal bahasa asing.
Mereka tidak sadar bahwa anak akan mempunyai masalah-masalah di masa depan yang penyelesainya tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan orang tua dalam mengembangkan aspek kognisinya atau IQ (Intelligence Quotient)-nya, namun tak kalah penting adalah keberhasilan pengembangan aspek emosi anak juga merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan anak di masa depan.
Dalam kaitannya dengan hubungan tersebut maka upaya untuk membangun dan mengembangkan kecerdasan emosional anak patut diperhatikan karena secara psikologis bukan pikiran rasional saja yang dapat membantu anak mengalami perkembangan, tetapi pikiran emosional juga memberi dampak efektif. Hal ini melihat bahwa masa anak merupakan saat yang tepat untuk menerima dan menyerap informasi-informasi baru.
Jadi agar kecerdasan emosional anak dapat berjalan dan berkembang dengan baik, maka seyogyanya diberikan pembinaan dan bimbingan yang dilakukan oleh orang tua, dalam hal ini yang paling berkompeten adalah Pengasuhan santri kepada santri dalam masa pertumbuhannya agar ia memiliki kepribadian dan kecerdasan yang cemerlang baik kecerdasan logika maupun kecerdasan emosi.
Demikian uraian-uraian yang menjelaskan tentang betapa pentingnya arti kecerdasan emosional bagi kehidupan modern dewasa ini, yang dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan hidup.
Maka kecerdasan emosional ini semakin perlu dipahami, dimiliki dan diperhatikan dalam pengembanganya karena mengingat kondisi kehidupan dewasa ini yang semakin kompleks. Kehidupan yang semakin kompleks ini memberikan dampak yang sangat buruk terhadap konsentrasi kehidupan emosional individu.
Dalam hal ini, Daniel Goleman mengemukakan hasil survey terhadap para orang tua dan Pengasuh yang hasilnya menunjukkan bahwa ada kecenderungan yang sama di seluruh dunia, yaitu generasi sekarang lebih banyak mengalami kesulitan emosional daripada generasi sebelumnya. Mereka lebih kesepian dan pemurung, lebih beringasan dan kurang menghargai sopan-santun, lebih gugup dan mudah cemas, lebih impulsif dan agresif.[4]
Dengan melihat hasil penemuan dari Daniel Goleman yang mengarah pada arti penting kecerdasan emosional (EQ) bagi kehidupan manusia dewasa ini. Khusus bagi anak-anak, keterampilan kecerdasan emosional (EQ) perlu disuguhkan sedini mungkin agar nantinya anak-anak (siswa) ini dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dan sehat secara moral, emosional, dan sosial.
Merupakan tugas yang berat bagi orang tua dalam memilih Asrama yang berkualitas bagi pembinaan anak-anaknya.
Asrama pada umumnya jarang ditemukan adanya pendidikan yang berorientasi tidak hanya pada aspek kognitif dan psikomotirik saja melainkan aspek emosional siswanya pun mendapatkan posisi yang cukup penting diperhatikan. Seperti keberadaan santri yang tinggal di Asrama PPM Diniyyah Pasia yang menempati posisi yang cukup diperhitungkan sebagai instansi yang patut dipilih bagi pendidikan anak-anak sekarang. Karena Pesantren tersebut mempunyai iklim yang bagus bagi perkembangan emosional anak
Iklim yang mendukung terciptanya kecerdasan emosional anak ini nampak pada aktivitas harian baik di dalam maupun di luar Asrama. Pola-pola kecerdasan emosional yang dikembangkan Pengasuh di dalam Asrama dengan jalan memperhatikan aktivitas anak yang diasuh dan dibimbing.
Hal ini dikarenakan banyaknya beban kegiatan yang harus diperhatikan pengasuh dan tidak tersedianya waktu yang memungkinkan bagi mereka untuk memberikan pelatihan kecerdasan emosional secara khusus.
Dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan penulis dalam memahami persoalan kecerdasan emosional, khususnya tentang perkembangan kecerdasan emosional anak.
Maka dalam penelitian ini penulis berusaha untuk menuangkan berbagai masalah emosional siswa yang dihadapi pengasuhan beserta cara-cara pengasuhan dalam melatih kecerdasan emosional Anak di Asrama PPM Diniyyah Pasia Kabupaten Agam.
Namun bila kita lihat fenomena yang ada pada masa sekarang, banyak sekali anak-anak yang pemurung, depresi, lebih menurutkan kata hati dan tidak patuh. Kemerosotan ini diakibatkan oleh berbagai hal, misalnya kenyataan-kenyataan ekonomi baru yang membuat pengasuh terpaksa bekerja lebih keras daripada sebalumnya untuk memberi pembinaan kepada anak,
Hal ini hendaklah mendapat perhatian khusus dari orang tua, karena jika tidak, anak-anak tentu tidak akan tumbuh optimal sebagaimana yang diharapkan.
Di samping itu pengasuhan yang tidak hanya mengarahkan anak untuk cerdas dari segi intelegensi saja, namun lebih dari itu para pengasuh hendaklah memperhatikan unsur kecerdasan emosional anak agar anak bisa tumbuh optimal seperti yang diharapkan.
Kecerdasan emosional merupakan sebuah istilah yang relatif baru dikenal dalam khazanah ilmu pengetahuan. Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya sangat penting bagi keberhasilan seseorang dalam berbagai bidang kehidupannya.
Kemudian istilah “kecerdasan emosional” ini menjadi populer tahun 1995 berkat buku “Emotional Intelligence” buah karya Daniel Goleman.[5]
Adapun yang dimaksud dengan kecerdasan emosional menurut Salovey dan Mayer adalah “kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan tersebut untuk memantau pikiran dan tindakan.[6]
Sementara itu Daniel Golomen menjelaskan pengertian kecerdasan emosional berikut: “Merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain”.
Kecerdasan emosional mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda tetapi saling melengkapi dengan kecerdasan akademik (academic intelligence), yaitu kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Banyak anak cerdas dalam arti terpelajar, tetapi kurang mempunyai kecerdasan emosional, sehingga bekerja menjadi bawahan orang ber-IQ lebih rendah tetapi unggul dalam keterampilan kecerdasan emosional.[7]
Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah suatu kemampuan yang mengenali dan mengelola diri sendiri, perasaan atau emosi sendiri dalam hubungannya dengan orang lain. Dengan demikian, kecakapan emosi mencakup kecakapan pribadi dan kecakapan sosial.
Kecakapan atau kecerdasan emosi merupakan faktor penting dalam menentukan dan mengarahkan sikap dan tingkah laku seseorang. Kecerdasan emosi sangat menentukan keberhasilan dan kesejahteraan seseorang dalam kehidupannya.
Karena seseorang yang memiliki kecerdasan emosional akan mampu untuk mengelola dan mengabdikan emosional sendiri untuk mencapai tujuan-tujuan yang positif, memiliki motivasi atau dorongan untuk menjadi lebih baik, memiliki empati dan kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang serta mengantarkan seseorang untuk memiliki keterampilan sosial dalam berinteraksi dengan orang lain.
Berkaitan dengan pentingnya kecerdasan emosional dalam mencapai keberhasilan seseorang, Lawrence E. Shapiro menjelaskan sebagai berikut:

Keuletan, optimisme, motivasi diri dan antusiasme adalah bagian dari kecerdasan emosional atau EQ bukan didasarkan kepada kepintaran seorang anak, melainkan pada sesuatu yang dahulu karakteristik pribadi atau karakter. Penelitian-penelitian sekarang menemukan bahwa keterampilan sosial dan emosional ini lebih penting bagi keberhasilan hidup dibanding kemampuan intelektual. Dengan perkataan lain, memiliki EQ tinggi mungkin lebih penting dalam pencapaian keberhasilan ketimbang IQ tinggi yang diukur berdasarkan uji standar terhadap kecerdasan kognitif verbal dan non verbal.[8]
Berdasarkan kutipan di atas jelaslah bahwa kecerdasan emosional sangat penting dalam menentukan keberhasilan seseorang dalam hidupnya baik di tempat kerja maupun di lingkungan sosialnya. Berbagai penelitian ilmiah tidak membuktikan bahwa kecerdasan tanpa intelegensi bahkan tidak ada artinya tanpa disertai dengan kecerdasan emosi.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Daniel Golomen, “Emosi yang lepas kendali dapat membuat orang pandai menjadi bodoh”. Tanpa kecerdasan emosi, orang tidak akan menggunakan kemampuan-kemampuan kognitif mereka sesuai dengan potensi yang maksimum”.
Seperti kata Doug Lennick, seseorang Executive Vice Precedent di American Express Financial Service, bahwa:

Yang diperlukan seseorang untuk sukses dimulai dari keterampilan intelektual, tetapi juga memerlukan kecakapan emosi untuk memanfaatkan potensi bakat mereka secara penuh. Penyebab seseorang tidak mencapai potensi maksimum adalah ketidak-terampilan emosi”.[9]
Kecerdasan emosional ini bukanlah dipengaruhi oleh faktor bawaan atau keturunan, melainkan suatu kecakapan yang diperoleh dari hasil pendidikan dan pengalaman yang dilalui seseorang.
Ini berarti bahwa untuk memiliki kecerdasan emosional, seseorang harus mendapatkan pembinaan emosional yang dimulai sejak usia dini. Dalam pendidikan ataupun pembinaan emosional anak ini, pendidikan keluarga juga sangat berperan penting.
Dalam hal ini, orang tua adalah penagsuh utama dan pertama, karena dari merekalah setiap anak mula-mula memperoleh pendidikan dasar-dasar prilaku, sikap hidup dan berbagai kebiasaan perlu ditanamkan kepada anak sejak dalam lingkungan keluarga yang menjadi landasan bagi pengembangan kepribadiannya, agar tidak mudah berubah pada kepribadian yang tidak diinginkan. Oleh sebab itu, orang tua harus dapat mendorong kemajuan dan perkembangan kepribadian anak.[10]
Mahmud Yunus mengemukakan tujuan pembinaan menurut Islam yaitu mendidik anak, pemuda-pemuda dan orang dewasa menjadi seorang muslim sejati, beriman teguh beramal shaleh dan berakhlak mulia serta berkepribadian utama. [11]
Maka pendidikan Islam harus ditanamkan kepada anak semenjak dini, sehingga setelah ia baligh dan berakal mampu merealisasikan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari dan dapat mengembangkan emosinya dengan baik.
Pondok Pesantren Modern Diniyyah Pasia, yang berada di Kenagarian Pasia Kecamatan IV Angkat Kabupaten Agam. Di Balai pendidikan ini seluruh santri maupun santriwati harus tinggal di asrama selama 24 jam, selain itu di asrama para santri dididik dan diajar ilmu-ilmu agama dan ilmu umum.
Secara tidak langsung anak yang tinggal di asrama selama 24 jam sebagaimana di rumah yang seorang anak harus mendapatkan pembinaan emosional yang dimulai sejak usia dini yang biasanya didapatkan anak dari keluarga di rumah.
Menurut Daniel Golemen, kecerdasan emosional dapat berbentuk kemampuan antara lain Kemampuan untuk memotivasi diri dan bertahan menghadapi frustasi, Mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, Mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir. Serta Berempati dan berdo’a [12]. Dari bermacam-macam bentu KE diatas untuk memotivasi diri dan bertahan menghadapi Frustasi lebih menonjol dalam kehidupan anak yang tinggal di Asrama.
Menyadari akan pentingnya pembinaan kecerdasan emosional bagi anak, maka penulis merasa tertarik untuk membahas lebih lanjut tentang ini melalui sebuah karya ilmiah yang berjudul “PEMBINAAN KECERDASAN EMOSIONAL ANAK YANG TINGGAL DI ASRAMA PPM DINIYYAH PASIA”.

B.     Rumusan dan Batasan Masalah
Bertitik tolak dari uraian di atas, maka untuk lebih terarahnya pembahasan ini penulis merasa perlu membuat rumusan masalah yakni: “Bagaimana pembina kecerdasan emosional anak dalam Asrama PPM Diniyyah Pasia.?”.
Adapun yang menjadi batasan masalah, sebagai berikut:
1.      Bentuk-bentuk pembinaan kecerdasan emosional anak di PPM Diniyyah Pasia.
2.      Strategi pembinaan kecerdasan emosional anak di PPM Diniyyah Pasia.
3.      Faktor Penghambat dan penunjang kecerdasan emosional anak di PPM Diniyyah Pasia.

C.    Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.      Tujuan Penelitian
Dalam pembahasan karya ilmiah ini, penulis mempunyai tujuan sebagai berikut:
a.       Untuk mengetahui apakah bentuk-bentuk Pembinaan kecerdasan emosional anak di PPM Diniyyah Pasia.
b.      Untuk mengetahui Strategi pembinaan Kecerdasan emosional anak di PPM Diniyyah Pasia.
c.       Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat dan penunjang kecerdasan emosional anak di PPM Diniyyah Pasia.
2.      Kegunaan Penelitian.
a.       Untuk menambah pengetahuan penulis terutama tentang permasalahan yang sedang diteliti
b.      Untuk melengkapi syarat dalam rangka mencapai gelar sarjana pada STAIN Bukittinggi.
c.       Untuk menambah wawasan orang tua dan guru dalam pendidikan anak.
d.      Untuk memperbanyak Literature ilmu pengetahuan tentang pembinaan emosional anak.

D.    Penjelasan Judul
Untuk lebih jelasnya, agar tidak terjadi kesalahan dalam mengambil pengertian yang terkandung dalam judul: “Pembinaan Kecerdasan Emosional Anak Dalam Keluarga”, maka penulis memberi penjelasan:
Pembinaan                     :   Mengarahkan, menuntun anak agar tenang dalam menghadapi masa depan atau menghadapi masalah sehingga anak dapat menjalaninya.[13]
                                           Berasal dari kata Bina yang berarti membangun, mendirikan sedangkan pembinaan juga berarti Proses, perbuatan dan pemahaman, penyempurnaan atau usaha tindakan yang dilaksanakan secara berdaya guna dan berhasil untuk memperoleh hasil yang baik.[14]
Kecerdasan Emosional  :kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin..[15]
Anak                                 :Anak adalah seseorang yang pada suatu masa dan perkembangan tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi cerdas.[16]
Sedangkan anak menurut Zakiah Daradjat adalah manusia kecil yang berkisar antara umur 0-12 tahun.[17]
Asrama                          :   Kata lainnya adalah Pondok. Yang berarti Tempat menginap asal kata Pondok diambil dari bahasa Arab yaitu funduq.[18]
PPM Diniyyah Pasia     :   Salah satu Pesantren Modern yang ada di Kab Agam Tepatnya di Pasia Ampek Angkek. Yang berdiri dari tahun 1990 sebelum Pesantren berdiri Nama Diniyyah sudah ada tetapi baru Madrsahnya saja[19]
Jadi maksud dari judul di atas adalah bagaimana pembinaan di asrama agar anak mempunyai kemampuan dalam memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan tersebut untuk memantau pikiran dan tindakan.

E.     Sistematika Penulisan
Sistematika penulis ini agar lebih terarah, maka penulisan akan membagi kepada lima bab, sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, penjelasan judul, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II kecerdasan emosional yang terdiri dari pengertian kecerdasan emosional, konsep dasar kecerdasan emosional, bentuk-bentuk kecerdasan emosional, dan urgensi kecerdasan emosional dalam kehidupan.

Bab III metodologi penelitian yang terdiri dari jenis penelitian, sumber data, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data, teknik analisa data dan teknik penulisan.

Bab IV hasil penelitian yang terdiri dari monografi Pondok Pesantren Modern Diniyyah, bentuk-bentuk pembinaan kecerdasan emosional anak di PPM Diniyyah Pasia, strategi pembinaan kecerdasan emosional anak di PPM Diniyyah Pasia dan faktor penghambat dan penunjang kecerdasan emosional anak di PPM Diniyyah Pasia.

Bab V, penutup, terdiri dari kesimpulan dan saran-saran. Disini akan dijelaskan bagaimana penyelesaian dari persoalan-persoalan yang dikemukakan dalam rumusan masalah berikut alasan-alasannya. Tidak lupa diikutsertakan dengan saran-saran yang berguna dengan persoalan-persoalan yang akan dibahas.



[1] Suharsono, Melejitkan IQ, IE dan IS, (Jakarta: Inisiasi Press, 2002), Cet. Ke-1, h. 13
[2] Al-Ghazali, Ikhtisar Ihya `Ulumuddin, penerjemah KH. Mochtar Rosyadi & Mochtar Yahya, (Yogyakarta: al-Falah, 1968), h. 15
[3] Busyairi Madjidi, Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta: Al-Amin Press, 1991), h.18
[4] Syamsu Yusuf LN, op. cit., h. 113
[5] Daniel Golomen, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi, (Jakarta, Gramedia, 1999), h. 57
[6] Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emosional Intelligence Pada Anak, (Jakarta: Gramedia, 1999), h. 49
[7] Ibid., h.52
[8] Lawrence E. Shapiro, op . cit., h. 4
[9] Ibid., h. 36
[10] Heru Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), Cet. Ke-1, h. 211-212
[11] Mahmud Yunus, Metode Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta; Al Hidayah, 1978), h. 13
[12] Daniel Golemen, op. cit., h. 45
[13] M. Ngalaim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2000), Cet. Ke-16, h. 71
[14] Yandianto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Bandung: M2S, 1999), Cet. Ke-1, h. 67
[15] http://dokter.indo.net.id/emosi.html
[16] Wasty Sumanto, Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pimpinan Pendidikan, (Jakarta: Rinika Cipta. 1990), h. 166
[17] Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 109
[18] M Daud AI dan Habibah Daud Ali, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995),  Cet. Ke-1, h. 145
[19] Dok Memperingati 50 Tahun Diniyyah h.7

0 Comment