PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM FIQIH SIYASAH
A. Pengertian Perjanjian Ekstradisi Dan Dasar Hukum Perjanjian Ekstradisi
Dalam Fiqih Siyasah dikenal adanya hubungan internasional yang memerlukan adanya sebuah perjanjian antar negara dan antar bangsa dalam menjalani hubungan antar bangsa dan antar negara. Apalagi dalam hal penegakan hukum di dalamnya.
Berdasarkan kenyataan bahwa semua orang tidaklah mau menerima, apalagi mentaati hukum Islam itu sebagai hukum Internasional. Dalam menjalani hubungan internasional dan untuk mentaati hukum internasional diperlukan adanya sebuah perjanjian antar negara.
Perjanjian (treaty) dalam hukum internasional ialah persetujuan antara dua negara atau lebih guna mengatur hubungan-hubungan hukum dan hubungan-hubungan internasional dan meletakkan dasar yang harus dipatuhi. 1
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa hukum internasional yang berlaku sekarang lahir dari kebiasaan-kebiasaan yang berlaku antara negara dan dari perjanjian-perjanjian yang mengikat negara-negara itu. Adapun hukum Islam internasional, mengambil kekuatannya dari dasar (prinsip-prinsip) kemanusiaan umum yang telah kita bentangkan di atas itu, termasuk di dalamnya memenuhi janji. 2
Pada mulanya perkataan ‘perjanjian’ (mu’ahadah) itu dipakai bagi persetujuan-persetujuan internasional yang penting-penting dan yang berbentuk politik, seperti perjanjian-perjanjian damai atau persekutuan. Adapun perjanjian-perjanjian yang tidak bercorak politik disebut ‘persetujuan’, ittifaqiyah (convention) atau persepakatan ittifaq (record). 3
Dipandang dari sudut masa, perjanjian-perjanjian internasional itu ada yang bersifat sementara dan ada pula yang abadi. Sedang dipandang dari sudut kesahannya, ia itu boleh jadi sah dan boleh pula tidak sah. Adapun melihat persoalannya, ia itu terkadang perjanjian politik atau sosial. Sebenarnya perjanjian itu bermacam-macam dan ditentukan oleh sifat perjanjian itu sendiri. 4
Hukum internasional tidak melarang mengadakan perjanjian itu secara lisan saja. Tetapi telah menjadi tradisi bahwa setiap perjanjian dibuat dengan tertulis, sehingga mungkin menyampaikan pada kekuasaan-kekuasaan yang bersangkutan untuk disahkan. Terkadang penulisan itu dibuat dalam beberapa naskah dan terkadang pula didaftarkan dalam daftar internasional, seperti pada sekretariat Liga Bangsa-bangsa dahulu dan sekretariat Perserikatan Bangsa-bangsa sekarang. 5
Dilihat dari berbagai pendapat di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa perjanjian adalah suatu kesepakatan yang dilakukan oleh antar bangsa dan antar negara dalam hal politik atau hukum dalam keadaan damai. Yang ditujukan untuk keadaan yang lebih baik.
Sementara itu Ekstradisi adalah mempunyai kata lain yaitu penyerahan penjahat. Setiap negara Islam dipandang sebagai wakil yang mutlak bagi Islam di dalam menjalankan syari’at Islam. Karena itu apabila seorang Indonesia, melakukan tindak pidana di Indonesia, maka dia dapat diperkarakan di Mesir.6
Ada pendapat yang mengatakan tentang ektradisi tidak secara jelas tapi menyatakan bahwa setiap negara yang termasuk Darus Salam dipandang sebagai wakil yang mutlak bagi negara yang lain untuk menjalankan hukum Islam. 7
Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa Perjanjian Ekstradisi menurut Fiqih Siyasah adalah perjanjian antara dua negara di bidang hukum dalam hal penyerahan penjahat antara negara Darus Salam.
Mengenai dasar hukum dari perjanjian ekstradisi dalam Al-Qur’an tidak menyebutkan secara pasti mengenai aturan yang jelas dari Al-Qur’an. Dalam buku dari T. M. Hasby Ash-Shiddieqy atau buku yang lain hanya menyebutkan satu ayat yang mungkin dianggap mirip, yaitu sebuah ayat, Allah SWT berfirman:8
يايها الّذين امنوا اذا جاءكم المؤمنت مهجرت فامتحنوهنّ الله اعلم بايمانهنّ فان علمتوهنّ مؤمنت فلا ترجعوهنّ الى الكفّار لاهنّ حلّ لهم ولاهم يحلّون لهنّ واتوهم مّا انفقوا ولاجناح عليكم ان تنكحوهنّ اذا اتيتموهنّ اجورهنّ ولاتمسكوا بعصم الكوافر وسئلوا ماانفقوا وليسئلوا ما انفقوا ذلك حكم الله يحكم بينكم والله عليم حكيم
B. Konsep Fiqih Siyasah tentang Perjanjian Ekstradisi
Perbincangan mengenai apakah Fiqih Siyasah mempunyai konsep tentang perjanjian Ekstradisi atau tidak, tampaknya menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Para ilmuwan dan aktivis dalam dekade terakhir ini termasuk ilmuwan Indonesia terutama sekali intelektual kampus sering membicarakannya. Bermacam pendapat telah muncul dalam rangka menganalisis teori tentang perjanjian Ekstradisi dalam Fiqih Siyasah.
Mengingat teori Islam, dunia ini dibagi dua, yaitu : Darul Islam dan Darul Harbi. Maka boleh jadi sebagian orang menyangka, bahwa hal ini mengharuskan supaya semua negara-negara Islam itu, diperintah suatu pemerintah saja. Ini adalah suatu persangkaan yang tidak bersendi kenyataan. Teori-teori Islam tidak dibuat atas dasar supaya negara-negara Islam diperintah oleh suatu pemerintah saja. Hanya dibuat atas dasar yang dikehendaki oleh Islam. Islam menghendaki supaya segenap umat Islam di seluruh dunia merupakan satu tangan menghadap ke arah yang satu, dibimbing oleh satu politik.
Untuk mewujudkan maksud ini memang mudah sekali apabila semua negara Islam dikuasai oleh pemerintah yang satu. Akan tetapi bukan jalan ini jalan satu-satunya untuk mewujudkan tujuan-tujuan Islam. Dapat juga dilaksanakan dengan adanya beberapa negara di Darul Islam, selama negara-negara itu menuju ke satu jurusan, berjalan di satu politik.
Dan Islam tidak berlawanan dengan tata aturan yang berlaku di Amerika Serikat, tidak pula berlawanan dengan tata aturan Inggris, dan juga tidak berlawanan dengan adanya suatu Djami’ah Islamiyah yang terdiri dari segenap pemerintahan Islam yang berusaha mengawasi pemerintahan itu. Dan berusaha menyatukan maksud-maksudnya dan tujuan-tujuannya serta menghilangkan sengketaan-sengketaan yang terjadi di dalam negeri masing-masing.
Bahkan tidak berlawanan dengan satu tata aturan lain selama tata aturan itu dapat mewujudkan tujuan Islam. Tujuan Islam adalah supaya segenap para muslimin merupakan satu tangan terhadap orang yang selain mereka dan supaya tujuan mereka satu dan politik mereka satu pula.
Berkaitan dengan perjanjian ekstradisi, maka dengan adanya negara-negara yang termasuk dalam Darul Islam. Menurut teori Fiqih Siyasah setiap negara yang termasuk Darus Salam dipandang sebagai wakil yang mutlak bagi negara yang lain untuk menjalankan hukum Islam.
Dalam teori Fiqih Siyasah tidak ada halangan antar negara-negara Darus Salam untuk menyerahkan penjahat yang melakukan satu tindak kejahatan, baik penjahat yang diserahkan itu seorang muslim atau seorang zimmi atau seorang musta’min yang melakukan suatu tindak kejahatan di salah satu daerah negara-negara Darus Salam itu, asalkan negara yang bersangkutan belum menjatuhkan hukuman terhadap tindak kejahatan itu sesuai dengan ketentuan hukum Islam yang berlaku sesuai perundang-undangan. 9
Bahwasannya menghadapkan si penjahat ke hadapan hakim terhadap jarimahnya di tempat terjadinya jarimah adalah lebih utama dari menyeretnya ke hadapan hakim terhadap jarimahnya di tempat yang bukan tempat terjadinya jarimah; dan lebih dapat terjamin terwujudnya keadilan. Karena pengadilan tempat dimana terjadinya jarimah, mudah mencari keterangan dan membahasnya lantaran adanya saksi-saksi dan mungkin menyaksikan bekas jarimah, serta mempelajari situasi-situasinya, sebagaimana menghukum seorang penjahat terhadap jarimahnya ditempat terjadinya jarimah memberikan nilai yang sempurna bagi hukuman itu. 10
Akan tetapi dapat juga kita mengatakan bahwa menyerahkan penjahat yang menjadi warga dari suatu negara kepada negara lain waktu menghukumnya terhadap satu jarimah yang dikerjakan di daerah daulat yang lain itu, menyebabkan si penjahat tidak dapat membela dirinya diantara orang-orang yang tidak dikenal, dan tidak ada pula hubungan kebangsaan ataupun bahasa dan mungkin penyerahan itu menimbulkan kemudlaratan baginya. 11
Apabila sudah dijatuhi hukuman terhadap si pelaku kejahatan, negara yang telah menjatuhi hukuman tersebut tidak boleh lagi menyerahkannya ke negara lain, sebab menurut kaedah hukum Islam suatu tindak kejahatan tidak boleh dijatuhi hukuman dua kali. Namun apabila hukuman yang telah dijatuhkan atau atas pemeriksaan perkara yang dilakukan itu menyalahi ketentuan-ketentuan hukum Islam, maka tidak boleh menolak bagi suatu negara yang diminta atau diserahi penjahat itu untuk memeriksa sekali lagi atau menjatuhi hukuman yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam. 12
Keputusan hukuman yang telah dijatuhkan atas si penjahat yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum Islam dipandang tidak ada atau tidak sah. Demikian halnya atas pemeriksaansuatu perkara oleh satu mahkamah Islam yang tidak berdasarkan kepada nash-nash yang diakui oleh hukum Islam, maka hasil keputusannya dipandang tidak sah juga. Hal ini dengan sendirinya berkisar hanya mengenai tindak kejahatan hudud dan qisas yang sudah ditetapkan hukumnya secara rinci dalam nash-nash qat’u addalalah. 13
Setelah kita kupas bagaimana konsep Fiqih Siyasah dalam perjanjian Ekstradisi ketika berhubungan dengan negara-negara yang termasuk dalam Darul Islam. Lalu bagaimanakah konsep Fiqih Siyasah ketika berhubungan dengan negara-negara Darul Kuffar atau Darul Harbi ?
Syari’at Islam tidak membolehkan bagi suatu pemerintah Islam menyerahkan rakyatnya yang muslim atau yang dzimmi untuk diperiksa perkaranya di Darul Harbi tentang jarimah-jarimah yang dilakukan di negara itu. Dan tidak boleh negara Islam menyerahkan rakyat-rakyat suatu negara Islam yang lain kepada negara yang bukan Islam; karena mereka ini, dari segi syara’, dihukum rakyatnya juga. 14
Dan syari’at Islam, tidak membolehkan bagi pemerintah Islam menyerahkan muslim yang menjadi warga negara bagi negara musuh (yang sedang bermusuhan dengan negara Islam) apabila si muslim itu berhijrah dari Darul Harbi ke Darul Islam, walaupun dimintakan oleh negara yang dia bermukim di daerahnya, selama belum ada persetujuan (perjanjian yang dibuat terlebih dahulu untuk menyerahkan warga negaranya). Jika telah ada perjanjian, wajiblah perjanjian itu dipenuhi, terkecuali syarat-syarat yang batal daripadanya.
Dan dipandang persetujuan itu batal, apabila yang dimaksudkan menyerahkan orang-orang Islam yang pergi ke Darul Islam sebelum adanya perjanjian itu. Dan dipandang pula batal segala syarat yang mengharuskan kita menyerahkan wanita Islam yang berlindung ke Darul Islam, baik dia berlindung itu sebelum terjadi persetujuan, ataupun sesudahnya. Wanita Islam, tidak boleh diserahkannya dalam keadaan bagaimanapun, kepada negara yang bukan Islam, walaupun wanita itu dari rakyatnya, dan walaupun ada suami, anak dan keluarga yang memintanya kembali ke Darul Harbi itu. 15
Allah berfirman dalam Al-Qur’an :16
يايها الّذين امنوا اذا جاءكم المؤمنت مهجرت فامتحنوهنّ الله اعلم بايمانهنّ فان علمتوهنّ مؤمنت فلا ترجعوهنّ الى الكفّار لاهنّ حلّ لهم ولاهم يحلّون لهنّ واتوهم مّا انفقوا ولاجناح عليكم ان تنكحوهنّ اذا اتيتموهنّ اجورهنّ ولاتمسكوا بعصم الكوافر وسئلوا ماانفقوا وليسئلوا ما انفقوا ذلك حكم الله يحكم بينكم والله عليم حكيم
Mengenai penyerahan laki-laki muslim kepada pihak negeri musuh sebagai salah satu syarat isi perjanjian, para ulama berbeda pendapat. Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat bahwa syarat itu wajib dipenuhi setelah terjadi perjanjian. Imam Abu Hanifah dan sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa menyerahkan laki-laki muslim sebagai salah satu syarat isi perjanjian tidak diterima dan perjanjian batal, sebab dalam keadaan apapun, kita tidak dibolehkan memberikan kekuasaan kepada pihak non-muslim untuk menyelesaikan urusan orang Islam. 17
Mengenai hal ini Ulama Syafi’iyah membedakan antara menyerahkan laki-laki muslim yang punya keluarga di Darul Kuffar dengan laki-laki muslim yang tidak ada keluarga di Darul Kuffar. Bagi yang pertama kita boleh menyerahkan mereka kepada pihak penguasa musuh dengan harapan dia dapat dilindungi oleh keluarganya. Akan tetapi bagi yang kedua tidak boleh. Dasar tidak membolehkannya penyerahan itu adalah dikhawatirkan akan terjadinya penekanan-penekanan dari pihak penguasa musuh atas diri orang yang diserahkan itu. 18
Penguasa negeri Darus Salam tidak boleh menyerahkan musta’min untuk keperluan penyelesaian suatu tindak kejahatan yang dilakukan dari salah satu negeri Darul Kuffar. Sebab hal ini berlawanan dengan prinsip jaminan keamanan yang telah diberikan antara penguasa negeri Darus Salam dengan penguasa negara lain (Darul Kuffar), kecuali yang meminta itu telah ada persetujuan yang menghendaki penyerahan itu.19
Dari konsep Fiqih Siyasah yang sudah dibahas sebelumnya mengenai perjanjian ekstradisi. Sesuai dengan prinsip atau asas dasar yang dikemukakan, yang ada hubungannya dengan hubungan internasional. Yaitu Tauhid, konsep dasar dan ideologi Islam berasal dari konsep Tauhid. Tauhid adalah visualisasi hidup manusia, dimana ini menyangkut hubungan langsung antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya, dimana hidup seperti test dari keungulan dan nilai. Asas lainnya adalah Keadilan (Adl), kejujuran dan keadilan diperintahkan dalam semua persetujuan, walaupun dengan musuh sekalipun. Sejak konsep keadilan menjadi asas dasar di dalam Islam, Islam memberikan tanggung jawab dan komitmen untuk kejujuran dan keadilan di dalam semua hubungan luar.20
Selanjutnya adalah Perdamaian, Saling Bantu dan Kerjasama, dimana ini adalah syarat minimum untuk Muslim di dalam hubungan internasional. Asas selanjutnya adalah Jihad (self-exertion), untuk manusia sebagai penjaga atau wakil Allah SWT di bumi, dengan sukarela menggunakan usaha sepenuhnya untuk membawa perilaku mereka yang dipandu Al-Qur’an dan Sunnah untuk umat manusia. Asas yang terakhir adalah Menghormati dan memenuhi Komitmen, asas ini adalah perluasan dai asas Tauhid, rasa tanggung jawab manusia dan keutuhan dan persamaan manusia membutuhkan pendirian kewajiban moral Muslim, baik individu maupun semuanya untuk memenuhi baik komitmen perorangan, nasioal, dan internasional.21
C. Praktek Perjanjian Ekstradisi Dalam Fiqih Siyasah
Yang akan dibahas dalam sub bab ini adalah peranan perjanjian ekstradisi dalam Fiqih Siyasah. Dalam Fiqih Siyasah, perjanjian ekstradisi termasuk dalam kajian Fiqih Dualy ‘Am atau Siasah Kharijiyah As Syar ‘iyyah yang titik berat pembicaraannya ialah sekitar hubungan antara negara dan orang-orang yang tercakup dalam hukum internasional. Hubungan ini melahirkan dua aturan hukum yaitu hukum publik internasional dan hukum perdata internasional. Hukum publik internasional mengatur hubungan antara negara-negara Darus Salam dengan negara lain yakni Darul Kuffar atau antara Negara Darus Salam dengan warga negara dari negara lain, yang bukan termasuk dalam lapangan hukum perdata Internasional.22
Berarti peranan Fiqih Siyasah dalam hal ini adalah mengatur bagaimana hubungan antar negara. Hubungan dalam hal ini berarti hubungan internasional, disini maksudnya adalah hubungan antara suatu negara dengan negara lainnya. Hubungan antar negara bagaimanapun tidak dapat dihindari dalam kehidupan pergaulan dunia. Bermacam kebutuhan antara satu negara dengan negara lainnya yang mengakibatkan mereka harus selalu berhubungan antara satu negara dengan negara lainnya. Mulai dari kebutuhan primer manusia sendiri sebagai rakyat di suatu negara seperti sandang dan pangan sampai pada masalah sosial lainnya seperti hubungan kebudayaan dan politik termasuk masalah keagamaan. Seperti terlihat dalam kenyataan kehidupan negara-negara yang ada di belahan bumi, antara satu negara dengan negara lainnya selalu saling membutuhkan bantuan termasuk dalam mendapat jaminan keamanan warga negaranya ketika beraktivitas di negara tetangganya, baik dalam kegiatan sosial budaya, ekonomi maupun politik. Karena itu untuk mengatur agar teraturnya hubungan ini diperlukan hukum internasional.
Hukum internasional adalah hukum yang membicarakan masalah tata hukum dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur pergaulan antar negara, dalam rangka itu pula ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan diantaranya.23
Hubungan internasional dibagi menjadi dua kelompok yaitu :
a. Hubungan antar bangsa dan negara dalam Dar al-Salam, dan
b. Hubungan antar bangsa dan negara dalam Dar al-Kuffar.
Yang dimaksud dengan Dar al-Salam adalah negara yang di dalamnya berlaku hukum Islam sebagai hukum perundang-undangan atau negara yang berpenduduk beragama Islam dan dapat menegakkan hukum Islam sebagai hukum perundang-undangan atau hukum positif. Negara-negara yang semua atau mayoritas penduduknya terdiri dari umat Islam digolongkan kepada Dar al-Salam, walaupun pemerintahannya bukan pemerintahan Islam, akan tetapi orang-orang Islam penduduk negeri dapat dengan leluasa menegakkan hukum Islam sebagai hukum perundang-undangan. Sementara yang dimaksud dengan Dar al-Kuffar adalah negara yang tidak berada di bawah kekuasaan umat Islam, atau negara yang tidak dapat atau tidak tampak berlakunya ketentuan-ketentuan hukum Islam, baik terhadap penduduknya yang beragama Islam maupun penduduk beragama lain. Selama orang-orang Islam dimana mereka bermukim secara tetap dan tidak mampu melahirkan hukum Islam sebagai hukum perundang-undangan negara, negara tersebut dapat dikategorikan sebagai negara Dar al-Kuffar. 24
Disanalah letak peranan Fiqih Siyasah dalam membentuk suatu perjanjian ekstradisi, dimana lebih berperan dalam mengatur hubungan internasional. Dan diterapkan ketika timbulnya kejahatan antar negara, baik Dar al-Salam maupun Dar al-Kuffar.
Apakah hukum Islam itu dapat diterapkan atas semua penduduk negeri yang berada di lingkungan yurisdiksi hukum Darus Salam atau hanya atas orang Islam, atau hanya atas sebagian saja dari mereka dan tidak atas yang lain. Dan apabila hanya dapat diterapkan atas perbuatan tindak pidana (jarimah) yang terjadi dalam yurisdiksi hukum Darus Salam, apakah hukum Islam itu dapat diterapkan atas semua penduduk negeri Darus Salam ia melakukan perbuatan tindak pidana dalam lingkungan yurisdiksi hukum Darul Kuffar.
Pada asasnya hukum Islam berlaku bagi segenap penduduk negeri yang berada dalam lingkungan yurisdiksi hukum Darus Salam meskipun bentuk dan corak pemerintahannya berlainan.
Prinsip hukum Islam berlaku atas semua penduduk tanpa melihat kepada adanya perbedaan-perbedaan agama, bahasa dan kebangsaan, maka dari itu yang bermukim dalam yurisdiksi hukum Darus Salam berkewajiban untuk melaksanakan hukum Islam, atas segala perbuatan pidana (jarimah), baik yang dilakukan di Darus Salam, atau di Darul Kuffar atas siapa saja yang melakukannya dan dimana saja.
BAB IV
ANALISIS FIQIH SIYASAH TERHADAP
PERJANJIAN EKSTRADISI
Prinsip-Prinsip Umum dalam Perjanjian Ekstradisi menurut Perspektif Fiqih Siyasah
Salah satu kewajiban dalam agama yang terbesar adalah urusan memimpin orang banyak, karena agama tidak akan bisa tegak tanpa adanya pemimpin itu. Karena kemaslahatan manusia tidak bisa sempurna kecuali dengan bermasyarakat, setiap orang membutuhkan orang lain, sedangkan dalam sebuah masyarakat haruslah ada seorang pemimpin.
Dengan semakin majunya peradaban, maka negara-negara modern mulai memisahkan kekuasaan negara menjadi tiga kekuasaan, yaitu kekuasaan legislative sebagai pembuat undang-undang, eksekutif sebagai pelaksana dan yudikatif sebagai kekuasaan peradilan. Indonesia menganut tiga pemisahan kekuasaan ini, meskipun pembagian ini tidak sama dengan pembagian kekuasaan menurut ajaran trias politika. Karena Undang-undang Dasar 1945 memiliki system pembagian kekuasaan sendiri.
Sebagai negara hukum, Indonesia menganut asas peradilan bebas yang dijamin Undang-undang. Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan jaminan khusus bagi kebebasan kekuasaan kehakiman, terlepas dari pengaruh kekuasaan eksekutif.
Dari sistem kekuasaan tersebut maka lahirlah undang-undang. Dan undang-undang merupakan sebuah produk yang dibuat selalu berdasarkan keputusan politik, walaupun undang-undang tersebut masuk dalam wilayah hukum, tetapi tetap selalu ada kaitan dan mata rantai terhadap hal itu, dalam bahasa yang dipakai adalah politik hukum.
Asumsi dasar yang digunakan dalam hal ini adalah bahwa hukum merupakan produk politik, sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya. Asumsi lainnya bahwa setiap produk hukum dapat dilihat berdasarkan kenyataan setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi di kalangan politisi.
Perjanjian Ekstradisi inipun merupakan salah satu produk politik yang digunakan sebagai kerangka acuan dasar bagi proses pelaksanaan peradilan di Indonesia. Sejarah singkatnya bahwa perjanjian ini timbul ke permukaan merupakan sebagai penguat dan petunjuk bagi kekuasaan kehakiman sebagai lembaga peradilan untuk dapat menuntaskan pelanggaran-pelanggaran atau peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya.
Hanya saja realitas yang terjadi di lapangan adalah adanya hambatan-hambatan dan kendala-kendala dalam melakukan investigasi terhadap setiap pelanggaran. Apalagi pelanggaran itu dilakukan oleh oknum-oknum pejabat pemerintahan dan oknum-oknum lainnya yang masih mempunyai pengaruh cukup besar terhadap setiap kebijakan politiknya dalam pengambilan keputusan suatu hukum.
Hukum dalam arti umum hanya diperlukan bila ada kepentingan hukum manusia. Kepentingan di luar manusia seakan tidak diurus oleh hukum. Oleh sebab itu, tidak salah bila dipahami hukum itu diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Atau, dengan kata lain hukum baru ada bila ada lebih dari seorang.
Telah tegas disebut, bahwa berdasarkan Tap MPRS/XX/1966, ditetapkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Telah tegas pula disepakati bahwa bangsa dan negara merdeka bukan hanya atas jasa dan perjuangan manusia, melainkan yang menentukan, ialah Allah Yang Maha Kuasa.
Bagi umat Islam, kenyataan demikian tidak berdiri sendiri, tetapi ada yang menetunkan, Allah SWT. Wajib dibaca dan diambil hikmahnya. Berdasarkan keadaan itulah, menurut Islam, yang menjadi bangsa Indonesia itu tidak akan ingkar janji.
Berbicara tentang hukum, dalam hal ini dari pemahaman ajaran Islam, hukum itu difahami sebagai syari’at, perintah yang diturunkan oleh Allah SWT berupa wahyu yang diturunkan melalui para Rasulnya dan Rasul yang terakhir Muhammad saw. Kecuali hukum syari’at berupa wahyu, diterima pula segabai hukum/syari’at dari sikap dan tindak laku, disebut sunnah Nabi. Jadi, ada dua sumber hukum. Yang pertama, mutlak kebenarannya. Yang kedua, perlu penelitian riwayatnya. Keduanya diakui sebagai sumber hukum. Hukum Allah terkandung pada Kitab Suci Al-Qur’an, mengatur bagaimana makhluk-Nya diberi amanah sebagai khalifah bertindak dan berlaku mengelola alam semesta, sebagai wakilnya. Sejauh manakah si manusia sadar dan tahu, bahwa ia wakil Allah, tidak difahami sama dalam kehidupan antar manusia. Walau berasal sama, Adam dan Hawa, tetapi dalam perjalanan sejarah manusia beraneka ragam.
Kata hukum berasal dari bahasa Arab, Ahkam. Tetapi hukum yang aslinya berasal dari yang Arab itu, sebenarnya berbeda dengan hukum yang sudah membumi di negara ini. Hukum Islam tidaklah sesempit makna dan arti hukum yang dipergunakan sehari-hari.
Menjadi pertanyaan, telah adakah hukum Islam dalam kehidupan hukum di negara ini? Pertanyaan itu layak dipikirkan. Tidak perlu malu bila jawabannya mengambang dan belum ada ketegasan. Dengan pengamatan demikian, sebagai umat kita terpanggil untuk bersama melakukan perjanjian sejauh mana ilmu-ilmu Islam itu, termasuk hukum Islam dapat mengahadapi dan menjawab berbagai tantangan hidup masa kini.
Hukum Islam bersifat Ijabi dan Salbi, artinya hukum Islam itu memerintahkan, mendorong, dan menganjurkan melakukan perbuatan makruf (baik) serta melarang perbuatan munkar dan segala macam kemudaratan. Berbeda hukum wad’i, aspek ijabi dalam hukum Islam lebih dominan. Hal ini mengingat bahwa tujuan utama pensyari’atan hukum Islam adalah mendatangkan, menciptakan, dan memelihara kemaslahatan bagi umat manusia. Sedangkan aspek salbi, yang bertujuan menghindari kemudaratan dan kerusakan, sebenarnya telah tercakup di dalamnya. Perlu pula dikemukakan bahwa kemaslahatan individu bukan sekedar tujuan sampingan, yang hanya diperhatikan jika membawa kemaslahatan bagi masyarakat.
Berkaitan dengan perjanjian ekstradisi, persoalan Fiqih Siyasah yang juga termasuk dalam bagian hukum Islam. Banyak persoalan yang dari Fiqih Siyasah yang tidak terdapat dalam perjanjian ekstradisi yang dibuat oleh pemerintah tersebut.
Dalam pembuatan perjanjian ekstradisi harus diperhatikan adanya prinsip-prinsip umum yang harus diperhatikan dalam pembuatannya, yang sudah dibahas dalam bab sebelumnya, diantaranya:
Asas kejahatan rangkap (double criminality), yaitu bahwa perbuatan yang dilakukan baik oleh negara peminta maupun oleh negara yang diminta dianggap sebagai kejahatan. (Pasal 4).
Asas jika suatu kejahatan tertentu oleh negara yang diminta dianggap sebagai kejahatan politik maka permintaan ekstradisi ditolak (Pasal 5).
Asas bahwa negara yang diminta mempunyai hak untuk tidak menyerahkan warga negaranya sendiri (Pasal 7).
Asas bahwa suatu kejahatan yang telah dilakukan seluruhnya atau sebagian di wilayah yang termasuk atau dianggap termasuk dalam yurisdiksi negara yang diminta, maka negara ini dapat menolak permintaan ekstradisi (Pasal 8).
Asas bahwa suatu permintaan ekstradisi dapat ditolak jika pejabat yang berwenang dari negara yang diminta sedang mengadakan pemeriksaan terhadap orang yang bersangkutan mengenai kejahatan yang dimintakan penyerahannya (Pasal 9).
Asas bahwa apabila terhadap suatu kejahatan tertentu, telah dijatuhi putusan Pengadilan yang berwenang dari negara yang diminta dan putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, maka permintaan ekstradisi ditolak (non bis in idem) (Pasal 10).
Asas bahwa seseorang yang diserahkan tidak akan dituntut, dipidana atau ditahan untuk kejahatan apapun yang dilakukan sebelum yang bersangkutan diekstradisikan selain daripada untuk kejahatan untuk mana ia diserahkan, kecuali bila negara yang diminta untuk menyerahkan orang itu menyetujuinya (Pasal 15).7
Asas yang lain yang telah diakui oleh hukum internasional yaitu asas spesialitas (rule of speciality) atau asas kekhususan. Asas ini menentukan bahwa seseorang yang diekstradisikan itu tidak boleh diadili dan dipidana melainkan atas kejahatan-kejahatan yang semata-mata dimintakan ekstradisinya.8
Non bis in idem, yaitu bahwa seseorang tidak boleh diadili untuk kedua kalinya atas kejahatan yang sama.9 Juga diakui oleh hukum internasional dan asas ini biasanya dimasukkan dalam undang-undang nasional dan perjanjian-perjanjian ekstradisi. Sehingga banyak menimbulkan akibat terhadap pelaku kejahatan tersebut.
Bahwa undang-undang dari segi ide dan maknanya, adalah nyata bahwa masyarakat tak boleh lari dari undang-undang. Dan hajat manusia di dunia ini membutuhkan padanya. Maka dengan undang-undang dapat mengatur masyarakat, mencegah kezaliman-kezaliman dan menjamin hak-hak asasi manusia, membagi-bagi keadilan dan menuntun bangsa.
Dalam pembuatan perjanjian ekstradisi setelah melihat asasnya baru bisa diterapkan ke dalam masyaakatnya. Sedangkan dalam Fiqih siyasah sendiri ada prinsip atau asas-asas yang sesuai dengan hal tersebut di atas. Diantaranya: Dari konsep Fiqih Siyasah yang sudah dibahas sebelumnya mengenai perjanjian ekstradisi. Sesuai dengan prinsip atau asas dasar yang dikemukakan, yang ada hubungannya dengan hubungan internasional. Yaitu Tauhid, konsep dasar dan ideologi Islam berasal dari konsep Tauhid. Tauhid adalah visualisasi hidup manusia, dimana ini menyangkut hubungan langsung antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya, dimana hidup seperti test dari keungulan dan nilai. Asas lainnya adalah Keadilan (Adl), kejujuran dan keadilan diperintahkan dalam semua persetujuan, walaupun dengan musuh sekalipun. Sejak konsep keadilan menjadi asas dasar di dalam Islam, Islam memberikan tanggung jawab dan komitmen untuk kejujuran dan keadilan di dalam semua hubungan luar.10
Selanjutnya adalah Perdamaian, Saling Bantu dan Kerjasama, dimana ini adalah syarat minimum untuk Muslim di dalam hubungan internasional. Asas selanjutnya adalah Jihad (self-exertion), untuk manusia sebagai penjaga atau wakil Allah SWT di bumi, dengan sukarela menggunakan usaha sepenuhnya untuk membawa perilaku mereka yang dipandu Al-Qur’an dan Sunnah untuk umat manusia. Asas yang terakhir adalah Menghormati dan memenuhi Komitmen, asas ini adalah perluasan dai asas Tauhid, rasa tanggung jawab manusia dan keutuhan dan persamaan manusia membutuhkan pendirian kewajiban moral Muslim, baik individu maupun semuanya untuk memenuhi baik komitmen perorangan, nasioal, dan internasional.11
Sesuai dengan corak siyasah yang dikenal dengan istilah Siyasah Syari’ah atau Fiqih Siyasah (dua istilah yang berbeda tapi mengandung pengertian yang sama) yaitu Siyasah yang dihasilkan oleh pemikiran manusia yang berlandaskan etika agama dan moral dengan memperhatikan prinsip-prinsip umum syari’at dalam mengatur manusia hidup bermasyarakat dan bernegara.12
Jadi dalam bermasyarakat dan bdernegara tetap memperhatikan etika, agama, dan moral, sebab hal itu sangat diperlukan untuk dapat menuntun kemana arah dalam kehidupan bernegara.
Dalam hubungan itu, Abdul Wahhab Khallaf menyatakan bahwa definisi Siyasaah Syar’iyah (atau Fiqih Siyasah) adalah “pengelolaan masalah umum bagi negara bernuansa Islam yang menjamin terealisirnya kemaslahatan dan terhindar dari kemudaratan dengan tidak melanggar ketentuan syari’at dan prinsip-prinsip syari’at yang umum meskipun tidak sesuai dengan pendapat-pendapat para imam mujtahid. Yang dimaksud dengan masalah umum bagi negara, menurut Khallaf, adalah setiap urusan yang memerlukan pengaturan baik mengenai perundang-undangan negara, kebijakan dalam harta benda dan keuangan, penetapan hukum, peradilan, kebijaksanaan pelaksanaannya maupun mengenai urusan dalam dan luar negeri.13
Dari pernyataan tersebut di atas menegaskan bahwa wewenang membuat segala bentuk hukum, peraturan dan kebijaksanaan yang berkaitan dengan pengaturan kepentingan negara dan urusan umat guna mewujudkan kemaslahatan umum terletak pada pemegang kekuasaan bersifat mengikat.
Ia wajib ditaati oleh masyarakat selama semua produk itu secara substansial tidak bertentangan dengan jiwa syari’at. Karena ulil amri telah diberi hak oleh Allah SWT untuk dipatuhi. Sekalipun semua produk itu bertentangan dengan pendapat para mujtahid. Karena pendapat mujtahid hanya wajib diamalkan oleh mujtahid itu sendiri dan masyarakat tidak wajib mengikutinya.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an :14
يايها الذين امنوا اطيعوا الله واطيعوا الرّسول واولى الامر منكم فان تنازعتم في شيئ فردّوه الى الله والرّسول ان كنتم تؤمنون بالله واليوم الاخر ذلك خير وّاحسن تأويلا.
Yang jadi persoalan adalah bagaimanakah pembuat undang-undang (pemerintah) memperhatikan sebagian dari masyarakat atau warga negaranya untuk dijadikan bahan pertimbangan. Walaupun dalam hal ini negara mempunyai kewenangan tertentu dalam hal perundang-undangan.
Dalam suatu masyarakat domestik yang tertata dengan baik, terdapat suatu sistem perundang-undangan, yang kompleks dengan organ-organ tertentu untuk membuat, mengatur, dan memaksakan hukum. Negara memiliki kewenangan memaksa individu-individu menyesuaikan tingkah laku mereka terhadap hukum. Hukum dibuat atas nama mereka; mereka dapat diajukan ke pengadilan meskipun itu tidak mereka kehendaki; dan peraturan perundangan, suka atau tidak, dipaksakan pada mereka.15
Berarti dalam penerapan hukum ada suatu sanksi di dalamnya untuk dapat diterapkan. Setiap bentuk hukum memiliki berbagai sanksi normative, utilitarian (sanksi untuk menjamin manfaat bersama) dan koersif (paksaan). Negara tuduk pada aturan hukum, lebih didasarkan pada maksud-maksud normative dan utilitarian.16
Dalam kaitannya dengan perjanjian ekstradisi, yang merupakan produk hukum dari pemerintah Indonesia, Fiqih Siyasah sebagai bagian dari Hukum Islam memiliki daya kemampuan mumpuni melayani kepentingan dunia Internasional.
Hukum Islam disamping mengatur soal-soal agama, mengatur juga persoalan-persoalan dunia. Artinya disamping sebagai dasar-dasar peribadatan, berfungsi pula sebagai dasar-dasar hukum dan akhlak yang mengatur hubungan antar sesama manusia. Dan memperhatikan prinsip-prinsip umumnya, sehingga sesuai dengan yang diatur dalam perjanjian itu.
Melihat prinsip-prinsip yang ada dapat diartikan bahwa dapat dilihat antara perjanjian ekstradisi yang umum dengan Fiqih Siyasah banyak terdapat kesamaan, akan dianalisa lebih jauh.
Dalam Prinsip-prinsip umum yang ada, pada intinya banyak kesesuaian dengan prinsip-prinsip umum yang dimiliki oleh Fiqih Siyasah, seperti halnya pada asas keadilan yang dimiliki pada Fiqih Siyasah ada kesesuaian dengan asas Non bis in idem, yaitu bahwa seseorang tidak boleh diadili untuk kedua kalinya atas kejahatan yang sama.
Dengan melihat asas-asas yang ada, dapat dikatakan bahwa antara prinsip-prinsip yang ada antara Fiqih Siyasah dengan prinsip-prinsip umum sebenarnya sesuai dan mengandung hal yang sama apa yang dimaksudkan dalam pembuatan perjanjian ekstradisi.
Secara substansial prinsip tersebut mengandung hal yang sama yaitu untuk melindungi harkat dan martabat manusia dalam melakukan hubungan internasional apalgi dalam melakukan perjanjian ekstradisi.
Hukum Islam melangkah lebih jauh. Ia menyerukan agar seluruh umat manusia yang berlainan asal kebangsaan, warna kulit, dan agamanya, menegakkan persaudaraan kemanusiaan secara menyeluruh, sehingga humanisme benar benar terwujud dalam alam kehidupan.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an :17
يايّها النّاس انّا خلقنكم مّن ذكر وّانثى وجعلنكم شعوبا وّقبائل لتعارفوا انّ اكرمكم عند الله اتقكم انّ الله عليم خبير
Persoalan Fiqih Siyasah dalam perjanjian ekstradisi adalah ketika menyerahkan penjahat dari negara Darus Salam ke negara yang bukan Darus Salam (Darul Kuffar). Ini adalah salah satu prinsip yang lain yang sebenarnya ada alam Fiqih Siyasah.
Hukum Islam tidak membenarkan bagi penguasa negara Darus Salam menyerahkan rakyatnya, baik muslim atau dzimmi untuk diperiksa perkaranya di Darul Kuffar mengenai tindak kejahatan yang telah dilakukan di negara itu, dan demikian juga halnya tidak diperbolehkan bagi penguasa darus salam menyerahkan rakyatnya yang bersembunyi di negara Darus Salam yang lain kepada penguasa Darul Kuffar untuk diperiksa perkaranya, hanya karena mereka ini dipandang dari segi kaedah hukum Islam wajib dihukum sebagai rakyatnya sendiri.18
Jadi dalam hal ini Hukum Islam tidak membenarkan adanya penyerahan warganegaranya yang merupakan pelaku tindak kejahatan untuk diserahkan ke negara yang bukan Negara Islam atau Negara yang tidak termasuk dalam Darus Salam atau yang lebih tepat disebut sebagai negara Darul Kuffar.
Sebenarnya hal ini sudah tidak tepat untuk dialakukan atau diterapkan dalam masa sekarang, dengan melihat kerangka modern dinamis Islam yang cenderung telah meninggalkan kerangka tradisional, yang masih menerapkan Darus Salam dan darul Kuffar. Penulis hanya memasukkan sebagai salah satu prinsip yang saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan teori yang diterapkan. Sebab kerangka tradisional yang masih menerapkan pemisahan itu, akan menimbulkan perpecahan antara negara yang satu dengan.
Begitu juga masalah yang berkait dengan masalah tentang apakah pelaku tindak kejahatan tersebut, beragama Islam atau tidak. Dalam perjanjian ekstradisi yang dibuat dengan negara manapun, hal tersebut tidak diatur. Berbeda dengan konsep Fiqih Siyasah yang secara tegas mengatur dan menyebutkan tentang Muslim atau Dzimmi.
Dan syari’at Islam, tidak membolehkan bagi pemerintah Islam menyerahkan muslim yang menjadi warga negara bagi negara musuh (yang sedang bermusuhan dengan negara Islam) apabila si muslim itu berhijrah dari Darul Harbi ke Darul Islam, walaupun dimintakan oleh negara yang dia bermukim di daerahnya, selama belum ada persetujuan (perjanjian yang dibuat terlebih dahulu untuk menyerahkan warga negaranya). Jika telah ada perjanjian, wajiblah perjanjian itu dipenuhi, terkecuali syarat-syarat yang batal daripadanya. Dan dipandang persetujuan itu batal, apabila yang dimaksudkan menyerahkan orang-orang Islam yang pergi ke Darul Islam sebelum adanya perjanjian itu. Dan dipandang pula batal segala syarat yang mengharuskan kita menyerahkan wanita-wanita Islam (muslim) yang berlindung ke Darul Islam, baik dia berlindung itu sebelum terjadi persetujuan ataupun sesudahnya.19
Jadi berkaitan dengan undang-undang tersebut, berarti harus ada perjanjian antara negara-negara yang termasuk di dalam Darus Salam dengan Darul Kuffar tetap harus ada perjanjian yang harus diatur dengan sebaik-baiknya.
Dalam perjanjian ekstradisi yang dibuat oleh pemerinah, tidak diatur tentang adanya perjanjian antara Negara Islam dengan yang bukan Islam. Ini terbukti dengan adanya perjanjian antara Negara Republik Indonesia dengan negara yang bukan Islam atau negara yang Islam. Seperti dengan Malaysia, Filipina, dan dengan Thailand, atau bahkan negara seperti Amerika Serikat.
Sebagai contoh adalah Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 10 Pebruari 1976, mengadakan perjanjian ekstradisi dengan pemerintah Philipina, yang ditandatangani di Jakarta. Kemudian dengan Pemerintah Kerajaan Thailand, pada tanggal 29 Juni 1976, yang ditandatngani di Bangkok.20
Begitu juga dengan masalah daftar kejahatan yang pelakunya dapat diekstradisi yang terdapat dalam perjanjian ekstradisi dimana di situ disebutkan tentang daftar kejahatan yang bisa diekstradisikan, tidak diatur dalam ekstradisi menurut Fiqih Siyasah, sehngga cukup menyulitkan ketika ingin melihat apa saja kejahatan menurut Fiqih Siyasah.
Berikut ini adalah daftar kejahatan yang pelakunya dapat diekstardisi yang diatur oleh perjanjian ekstradisi yang dilakukan dengan Philipina sebagai contoh :
1. Pembunuhan.
2. Pembunuhan yang direncanakan.
3. Penganiayaan yang berakibat luka-luka berat atau matinya orang, penganiayaan yang direncanakan dan penganiayaan berat.
4. Perkosaan, perbuatan cabul dengan kekerasan.
5. Persetubuhan dengan seorang wanita di luar perkawinan atau perbuatan-perbuatan cabul dengan dengan seseorang padahal diketahui, bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya atau orang itu belum berumur 15 tahun atau belum mampu kawin.21
Dan seterusnya, untuk lebih lengkapnya bisa dibaca di lampiran.
Itulah sekelumit persoalan-persoalan yang terdapat dalam Fiqih Siayasah, dalam hubungannya dengan perjanjian ekstradisi yang dibuat oleh pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain dalam hal ini sebagai contoh adalah perjanjian ekstradisi dengan pemerintah Republik Indonesia.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menguraikan dan menjelaskan dalam bab-bab sebelumnya mengenai “Perjanjian Ekstradisi Dalam Perspektif Fiqih Siyasah”, dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Prinsip-prinsip umum dalam Perjanjian Ekstradisi pada intinya telah sesuai secara substanisal dengan apa yang terdapat dalam prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam Fiqih Siyasah yaitu ingin melindungi harkat dan martabat manusia, prinsip-prinsip yang dari prinsip-prinsip umum dari Fiqih Siyasah itu diantaranya adalah :
Tauhid, konsep dasar dan ideologi Islam berasal dari konsep Tauhid. Tauhid adalah visualisasi hidup manusia, dimana ini menyangkut hubungan langsung antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya, dimana hidup seperti test dari keungulan dan nilai.
Keadilan (Adl), kejujuran dan keadilan diperintahkan dalam semua persetujuan, walaupun dengan musuh sekalipun.
Perdamaian, Saling Bantu dan Kerjasama, dimana ini adalah syarat minimum untuk Muslim di dalam hubungan internasional
Asas selanjutnya adalah Jihad (self-exertion), untuk manusia sebagai penjaga atau wakil Allah SWT di bumi, dengan sukarela menggunakan usaha sepenuhnya untuk membawa perilaku mereka yang dipandu Al-Qur’an dan Sunnah untuk umat manusia.
Menghormati dan memenuhi Komitmen, asas ini adalah perluasan dai asas Tauhid, rasa tanggung jawab manusia dan keutuhan dan persamaan manusia membutuhkan pendirian kewajiban moral Muslim, baik individu maupun semuanya untuk memenuhi baik komitmen perorangan, nasioal, dan internasional.
B. Saran-saran
Setelah menguraikan, menjelaskan serta menyimpulkan tentang skripsi yang berjudul “Perjanjian Ekstradisi dalam Perspektif Fiqih Siyasah”. Maka dapat diberi saran-saran, antara lain :
1. Dalam melakukan perjanjian ekstradisi hendaknya memperhatikan dengan negara mana melakukan perjanjian. Apakah dengan negara-negara Islam atau negara-negara yang bukan Islam.
2. Agar lebih diperjelas tentang pelaku kejahatan itu sendiri dalam perjanjian ekstradisi tersebut, apakah pelaku kejahatan tersebut seorang Muslim atau seorang non-Muslim.
3. Dan lebih memperhatikan prinsip-prinsip yang ada baik dari Fiqih Siyasah maupun dengan prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam Perjanjian Ekstradisi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Gema Risalah Press, 1989.
Kumpulan Buku Fiqh/Ushul Fiqh
Amin Widodo, L, Fiqih Siasah dalam Hubungan Internasional, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994
Ash-Shiddieqy, T.M. Abu Zahrah, Muhammad, Hubungan-Hubungan Internasional dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, t.t.
Hasbi, Hukum Antar Golongan Dalam Fiqih Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1971.
Audah, Abdul Kadir, Al-Islam wa Audha’unul Qanuniyah, diterjemahkan oleh H. Firdaus, A.N, Islam dan Perundang-Undangan, Jakarta: Bulan Bintang, t.t.
Qardhawi, Yusuf, al, Min Fiqhid-Daulah fil Islam, diterjemakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Khatur Suhaidi, Fiqih Daulah dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, cet. Ke-3, Jakarta: Pusaka Al-Kautsar, 1998.
Kumpulan Buku Lain-lain
AbuSulayman, Abdulhamid A. Towards an Islamic Theory of International Relations: New Directions for Methodology and Thought, Grove St. Herndon: International Insititute of Islamic Thought, 1993.
Adolf, Huala, Aspek-aspek Negara dalam Hukum, Jakarta: Rajawali, 1991.
Ahmad SF, Amrullah, dkk, (ed), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. Busthanul Arifin, SH, cet. Ke-1, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Amiruddin, M. Hasbi, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, Yogyakarta: UII Press, 2000.
Azra, Azyumardi, dkk, Indonesia dalam Transisi Menuju Demokrasi, Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), 1999.
Budiarto, M, Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980.
Echols, John. M dan Hassan Shadili, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: P.T. Gramedia, 1992.
Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 5, Jakarta: P.T. Cipta Adi Pustaka, 1989.
Fatoni, Malik, Tinjauan Hukum Islam Atas Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM, skripsi sarjana IAIN Sunan Kalijaga, 2003.
Gelar Imam Radjo Mulano, Martias, Pembahasan Hukum, Penjelasan Istilah-Istilah Hukum Belanda-Indonesia, cet. Ke-1, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.
Hadi, Sutrisnao, Metodologi Research, Yogyakarta: Penerbit andi, 2000.
Hartanto, Pius A dan M. Dahlan Al-Bary, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, t.t.
Jones, Walter S, Logika Hubungan Internasional, Kekuasaan, Ekonomi, Politik Internasional, dan Tatanan Dunia 2, diterjemahkan oleh Budiana Kusumadiamidjojo, Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta, t.t.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
Kusnardi, Muhammmad dan Bintan R. Saragih, Susunan pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, cet. Ke-7, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.
Mahfud MD, Muhammmad, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 1999.
Mansur Ali Ali, Syari’at Islam dan Hukum Internasional Umum, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1999.
Siregar, Bismar, Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktek, cet. Ke-2, Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya, 1994.
Siregar, Bismar, Islam dan Hukum, cet. Ke-3, Jakarta: P.T. Grafikatama Jaya, 1992.
Subekti, Kamus Hukum, Jakarta: Paramita, 1972.
Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1972.
Pulungan, Suyuthi, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, cet. Ke-3, Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 1997.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi
Undang-Undang No. 10 Tahun 1976 tentang Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dengan Philipina.
0 Comment