Sunday, May 13, 2012

BAB I
PENDAHULUAN
A. Penegasan Istilah
Penegasan istilah dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menghindari banyaknya penafsiran, sehingga tidak sesuai dengan fokus dan ruang lingkup penelitian, adalah sebagai berikut:
1. Studi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, studi mempunyai makna kajian, telaah, penyelidikan ilmiah.
Yang dimaksudkan studi dalam penelitian ini adalah penelaahan atau penyelidikan ilmiah terhadap novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari dalam konteks pendidikan akhlak. Penyelidikan dalam penelitian ini menekankan pada upaya pengkajian nilai-nilai pendidikan akhlak dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari.
2. Novel Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Tohari
Novel merupakan sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang namun juga tidak terlalu pendek. Novel yang merupakan karya fiksi dibangun oleh unsur-unsur pembangun seperti unsur peristiwa, tokoh, plot, tema, latar, sudut pandang yang cukup kompleks dan rumit.
Adapun novel Lingkar Tanah Lingkar Air, merupakan salah satu dari novel-novel karya Ahmad Tohari yang diterbitkan oleh LKiS tahun 1999. Ahmad Tohari adalah seorang novelis atau pengarang novel dan cerpenis. Ada sejumlah novel yang telah dihasilkannya antara lain Kubah, Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, Jentera Bianglala, Bekisar Merah, Belantik. Sedangkan kumpulan cerpennya di antaranya adalah Senyum Karyamin, Nyanyian Malam dan lain-lain.
Novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini mengisahkan pergulatan batin tokoh-tokohnya; Amid, Kiram dan Jun untuk memilih kemungkinan menyerahkan diri ke pangkuan Republik atau tetap bertahan di hutan-hutan sebagai prajurit Darul Islam (DI) dengan kondisi yang makin terdesak. Pada akhirnya, mereka pun menyerahkan diri dengan resiko memperoleh cemooh dan cibiran dari masyarakat. Akan tetapi, tidak lama kemudian mereka berkesempatan membuktikan keberanian mereka ikut menumpas pemberontakan G 30 S/PKI pada tahun 1965 bersama pasukan Republik. Meskipun tokoh Amid harus menghadapi kematian, muncullah semacam kebahagiaan karena telah melakukan suatu jihad.
Novel ini pernah didiskusikan di Universitas Muhammadiyah Purwokerto pada Bulan Buku Nasional 1995, dengan pembicara Sukristanto dan Yudiono K S. Menurut Sukristanto (1995), novel ini relevan bagi masyarakat pembaca karena kaya informasi otentik sekitar revolusi kemerdekaan meskipun di sana-sini terdapat kejanggalan waktu jika disimak secara cermat. Sementara itu, Yudiono K.S. (1995) memandang novel ini sebagai potret ketidakberdayaan individu menghadapi berbagai perubahan politik di sekitarnya.
Belakangan, novel ini pun memikat perhatian Purwantini dari Universitas Airlangga, Surabaya, yang menulis makalah untuk Pertemuan Ilmiah Nasional XI Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia di Surakarta, 2-3 Oktober 2000. Purwantini (2000) berpendapat bahwa kesempatan Amid, Kiram dan Jun ikut serta menumpas pemberontakan PKI pada akhir tahun 1965 dimaksudkan sebagai pembelaan pengarang terhadap pejuang-pejuang Darul Islam yang dahulu dianggap pemberontak. Sebenarnya, perlawanan mereka terkait dengan ketidaktegasan sikap politik Pemerintah RI (Sukarno-Hatta) terhadap kelicikan orang-orang komunis yang mencatut nama Darul Islam untuk berbagaimkejahatan; seperti perampokan, pembakaran hutan dan pemerkosaan.
Menurut penulis, novel ini sangat menarik untuk dikaji, mengingat novel ini mengandung nilai-nilai kehidupan yang tampak dalam diri pelaku-pelaku maupun peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam novel ini sebagaimana ungkapan dari beberapa peneliti di atas.
3. Perspektif Pendidikan Akhlak
Perspektif diartikan sebagai sudut pandang, tinjauan atau pandangan.
Sedangkan pendidikan akhlak, pernyataan ini terdiri dari dua buah kata, yaitu kata pendidikan dan kata akhlak. Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.
Sedang kata akhlak berarti salah satu bagian dari Pendidikan Agama Islam yang membahas tentang budi pekerti yang juga merupakan salah satu program Pendidikan Dasar Umum yang berfungsi sebagai dasar pembinaan seorang muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Jadi pendidikan akhlak adalah suatu usaha yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak-anak untuk mendewasakannya dari segi tingkah laku sehingga terbentuk manusia yang berkepribadian muslim, yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Dengan demikian yang dimaksud dengan perspektif pendidikan akhlak adalah dalam penelitian ini menggunakan sudut pandang akhlak dalam mengungkapkan isi pesan yang ada dalam novel.
Dengan demikian yang dimaksud dengan judul di atas adalah suatu. kajian ilmiah tentang nilai pendidikan akhlak dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air.
B. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama moral yang mementingkan isi, bukan penampilan saja, serta membentuk jiwa dengan nilai-nilai moral bukan kerendahan dan cita-cita sosial Islam yang dimulai dengan perjuangan menumbuhsuburkan aspek-aspek aqidah, etika dalam diri pemeluknya. Sedangkan pendidikan merupakan proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindah nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.
Menurut Islam, pendidikan (mencari ilmu) merupakan salah satu kegiatan yang wajib hukumnya untuk dilakukan bagi pria dan wanita dan berlangsung seumur hidup, semenjak dari buaian sampai ajal datang (prinsip pendidikan; long life education). Hal itu menunjukkan bahwa kegiatan pendidikan merupakan hal yang penting dilakukan dilakukan manusia dalam rangka memanusiakan manusia itu sendiri. Artinya pendidikan sangat perlu dilakukan mengingat pentingnya pengetahuan bagi manusia dalam memenuhi segala kebutuhannya, baik yang bersifat material maupun spiritual.
Dalam era modern seperti sekarang ini, nampaknya dalam masyarakat telah terjadi tindakan-tindakan atau perilaku yang mengarah pada kemerosotan akhlak manusia, terbukti dengan semakin maraknya tindakan yang berupa penganiayaan, pemaksaan kehendak, pelanggaran hak-hak asasi manusia antara yang berkuasa dan yang dikuasai, antara yang kuat terhadap yang lemah, antara yang bermodal kuat terhadap yang bermodal lemah, antara majikan dengan buruhnya. Di samping itu juga telah terjadi krisis identitas, hilangnya rasa percaya diri dan makin berkembangnya sikap frustasi di kalangan generasi muda saat ini, yang terbukti dengan makin populernya minum-minuman keras dan zat-zat narkotik, serta munculnya kelompok-kelompok gank di kalangan remaja.
Di samping semua hal yang telah terjadi di atas, yang sangat memprihatinkan juga terjadi pergeseran nilai-nilai sosial dan susila dalam masyarakat, seperti adanya indikasi makin berkembangnya budaya serba bebas; bebas bergaul antara pria dan wanita, bebas berbuat tanpa batas dan sebagainya, yang telah menimbulkan bencana bagi umat manusia, yaitu dengan munculnya penyakit AIDS yang sangat menakutkan banyak orang, ataupun munculnya bencana yang lain akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab.
Kalau mengingat itu semua, kini makin disadari betapa pentingnya nilai-nilai agama serta semangat akhlakul karimah dalam berbagai aspek kehidupan manusia, baik secara individu maupun kolektif (sosial). Pembangunan kembali terhadap akhlak manusia dari puing-puing kehancuran kini dirasakan lebih penting daripada hanya membangun kesejahteraan fisik semata. Sebab apalah artinya pembangunan kesejahteraan fisik manusia spektakuler, yang telah dicapai oleh manusia zaman modern ini bila akhirnya manusia tidak dapat menikmatinya. Dan bahkan justru akan menjadi bumerang bagi manusia itu sendiri.
Pembangunan akhlak manusia dapat ditempuh dengan pendidikan, di mana pendidikan merupakan suatu proses atau upaya dalam membantu peserta didik menemukan kedewasaan. Melalui pendidikan, diharapkan peserta didik dapat menjadi manusia yang memiliki pribadi yang bertanggung jawab, baik kepada Tuhannya, sesama ciptaan-Nya, maupun lingkungannya.
Kongres Pendidikan Islam Sedunia tahun 1980 di Islamabad menetapkan pendidikan sebagai berikut:
“Pendidikan harus ditujukan ke arah pertumbuhan yang berkeseimbangan dari kepribadian manusia yang menyeluruh melalui rasio, perasaan dan pancaindra. Oleh karenanya, maka pendidikan harus memberikan pelayanan kepada pertumbuhan manusia dalam semua aspeknya yaitu aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah, linguistic, baik secara individu maupun kolektif, serta mendorong semua aspek itu ke arah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan.”
Dengan melihat pola tujuan pendidikan di atas, nampak bahwa pendidikan dapat ditempuh melalui lembaga-lembaga pendidikan baik formal, informal maupun nonformal. Dapat diartikan bahwa untuk memperoleh pendidikan tidak hanya dari sekolah saja atau waktu sekolah saja, tetapi pendidikan dapat diperoleh kapan saja dan di mana saja, dengan syarat pengaruh yang didapat harus memiliki nilai manfaat dan bernilai positif bagi peserta didik dalam perkembangannya menuju kedewasaan.
Keberhasilan pendidikan dipengaruhi oleh banyak faktor atau komponen, baik yang bersifat internal maupun yang sifatnya eksternal yaitu komponen-komponen pendidikan yang ada pada lingkungan pendidikan maupun pribadi pendidik atau peserta didik. Salah satu di antara komponen-komponen yang berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan adalah media pendidikan. Media pendidikan ini dapat berupa buku ataupun benda-benda yang dapat dimanfaatkan dalam menunjang keberhasilan pendidikan, termasuk media cetak, seperti majalah, buletin, bahkan novel juga dapat dimanfaatkan sebagai media pendidikan.
Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang tertulis yang di dalamnya mengandung ide-ide, gagasan, pesan-pesan, ataupun ajaran-ajaran yang diungkapkan dalam bentuk cerita. Novel merupakan sebuah karya imajiner yang menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama, interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan, yang merupakan hasil dialog, kontemplasi dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan.
Sejalan dengan hal di atas, pengarang Ahmad Tohari ingin menyampaikan pesan-pesan dan misi keagamaan (Islam) melalui karya-karyanya, salah satunya adalah novelnya yang berjudul Lingkar Tanah Lingkar Air. Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air, tampak kehidupan religius pada diri para pelakunya, diantaranya adalah Kiai Ngumar yang senantiasa memberikan nasehat-nasehat keagamaan pada santri-santrinya, satu diantaranya adalah Amid, sejak Amid masih kecil. Ketika mengalami kebingungan-kebingungan, seperti ketika ia ragu untuk memilih antara menjadi laskar DI/TII atau menjadi tentara RI, ia tidak lupa dan malu untuk meminta nasehat pada gurunya yaitu Kiai Ngumar.
Novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini mengisahkan pergulatan batin tokoh-tokohnya; Amid, Kiram dan Jun untuk memilih kemungkinan menyerahkan diri ke pangkuan Republik atau tetap bertahan di hutan-hutan sebagai prajurit Darul Islam (DI) dengan kondisi yang makin terdesak. Pada akhirnya, mereka pun menyerahkan diri dengan resiko memperoleh cemooh dan cibiran dari masyarakat. Akan tetapi, tidak lama kemudian mereka berkesempatan membuktikan keberanian mereka ikut menumpas pemberontakan G 30 S/PKI pada tahun 1965 bersama pasukan Republik. Meskipun tokoh Amid harus menghadapi kematian, muncullah semacam kebahagiaan karena telah melakukan suatu jihad.
Munculnya kata Darul Islam (DI) pada awal kisahan novel Lingkar Tanah lingkar Air merupakan informasi yang pentinfg bagi pembaca, baik generasi tua yang sudah mengetahui perihal Darul Islam maupun generasi muda yang hanya mengetahui DI dari buku pelajaran sejarah. Secara teoritis pula dapat dipastikan bahwa pembaca masa kini hanya mendengar dan mengetahui perihal DI dari penuturan lisan dan buku sejarah. Sangat mungkin pengetahuan pembaca hanya terbatas pada identitas DI sebagai maker yang bergaris keras pada dekade 1950-an, dengan tokohnya yang terkenal yaitu Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo. Gerakan atau pemberontakan tersebut pernah merajalela di daerah Jawa Barat dan sebagian wilayah barat Jawa Tengah. Tujuannya hendak mendirikan sebuah negara yang berdasarkan syariat agama Islam.
Akan tetapi, novel Lingkar Tanah Lingkar Air tidak bercerita tentang DI sebagai ideologi atau gerakan politik, sebab novel ersebut memang bukan novel sejarah. Dengan sejumlah kelebihan dan kekurangannya, novel Lingkar Tanah Lingkar Air telah mengungkapkan dunia batin para tokoh yang konflik internalnya ternyata pantas dipahami sebagai bahan renungan pembaca. Masalah itu dapat dipastikan tidak pernah terungkap dalam buku pelajaran sejarah atau buku-buku politik. Bagi pembaca masa kini, barangkali masalah itu sudah tidak aktual lagi mengingat jarak waktu yang sudah lama. Namun, esensinya boleh dikatakan tetap relevan dengan kehidupan masa kini dengan segala macam konflik batin individu yang mungkin berbungkus organisasi, partai ataupun ideologi.
Orang boleh saja menarik batas yang tegas antara kebenaran dan kesalahan individu dalam konteks ideologi tertentu. Padahal keberadaan individu tidak terlepas dari proses panjang interaksinya dengan lingkungan sosial tertentu. Hal semacam itulah yang muncul dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air, yaitu proses perjalanan dan interaksi para tokoh dengan lingkungan sosial di jaman pasca kemerdekaan sehingga muncul tokoh-tokoh yang terlibat konflik untuk mempertahankan diri sebagai laskar DI atau kembali menjadi orang-orang Republik.
Melalui novel ini, Ahmad Tohari mengajak para pembacanya untuk dapat belajar merasakan dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang sengaja ditawarkan melalui perjuangan para tokohnya dalam memaknai hidup dan berjuang mencari jati dirinya serta upaya para tokoh dalam mencapai kedudukan sebagai Insan Kamìl. Melalui novel ini juga, Ahmad Tohari ingin menyampaikan pesan tentang bagaimana beratnya perjuangan hidup manusia dalam memenuhi tugas dan tanggung jawabnya, baik sebagai khalifah Allah SWT di bumi, maupun sebagai ciptaan yang menyembah kepada Khaliqnya. Hal ini sesuai dengan adanya pranata yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk berbakti pada Tuhan dan berhubungan dengan alam.
Namun sangat disayangkan, masih banyak orang yang tidak menyadari dan hanya melihat novel sebagai sarana hiburan dan pengisi waktu luang saja. Mereka tidak menyadari akan adanya manfaat lain dari membaca novel. Sehingga yang mereka peroleh dari membaca novel hanyalah rasa terhibur sejenak, tanpa adanya sesuatu hal yang membekas dalam diri mereka. Itu terjadi karena kurangnya pemahaman para pembaca dan pencinta novel terhadap arti keberadaan novel itu sendiri. Sehingga sewaktu membaca novel, yang terjadi hanyalah pergulatan emosi dan perasaan tanpa melibatkan rasio untuk memahami, menelaah dan menganalisis pesan apa yang terkandung dalam sebuah novel.
Padahal kalau dikaji lebih lanjut, novel sebagai bentuk karya sastra dibuat bukan sekedar untuk dinikmati saja, melainkan juga untuk dimanfaatkan oleh masyarakat pembacanya. Dengan kata lain, novel bersifat menyenangkan dan bermanfaat. Novel bersifat menyenangkan karena dengan membaca novel pembaca akan memperoleh suatu hiburan. Novel bermanfaat karena dengan membaca novel pembaca akan memperoleh nilai-nilai kehidupan agung yang sering terlepas dari pengamatan sastrawan. Melalui novel, pengarang berusaha memberikan amanat kepada pembacanya. Namun pesan moral atau amanat yang disampaikan melalui cerita tentulah memiliki efek yang berbeda bila dibandingkan dengan penyampaian secara langsung.
Dalam hal ini novel, khususnya Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari ini sebagai sarana cerita tidak bersifat menggurui para pembaca, melainkan memberikan sesuatu yang secara tidak langsung menyentuh hati para pembacanya. Dengan demikian akan timbul keinginan yang secara sadar dan tanpa paksaan untuk merenungkan dan memetik hikmah dari isi makna cerita yang dibacanya.
Novel-novel karya Ahmad Tohari kebanyakan mengandung nilai-nilai Islam yang dominan. Selain itu kebanyakan karya-karya Ahmad Tohari memiliki kekuatan pada latar desanya serta alam pikir pemeran-pemeran utamanya. Ahmad Tohari sangat menguasai alam desa beserta aspek sosiologis, sosial agama yang menguasai kehidupan sehari-hari.
Novel sebagai pengejawantahan pengalaman yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan dapat dijadikan sebagai suatu bentuk budaya (produk kehidupan) yang menjanjikan peluang cukup baik untuk media pendidikan dan penanaman nilai-nilai kehidupan, khususnya bagi anak usia sekolah menengah yang sedang berada pada keadaan yang tidak stabil. Maka penelitian terhadap novel dikaitkan dengan perspektif pendidikan Islam atau pendidikan akhlak menjadi sangat penting.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut di atas, maka permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa yang melatarbelakangi penulisan novel Lingkar Tanah Lingkar Air?
2. Bagaimana isi dan pesan novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari?
3. Materi pendidikan akhlak apa saja yang ada dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari dan bagaimana bentuk penyampaian nilai-nilai pendidikan akhlak yang terdapat dalam isi novel Lingkar Tanah Lingkar Air?
D. Alasan Pemilihan Judul
Ada beberapa hal yang mendorong penulis untuk memilih judul tersebut di atas, antara lain:
1. Novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari dapat dimanfaatkan sebagai wahana pendidikan atau penanaman nilai-nilai pendidikan Islam, khususnya pendidikan akhlak, baik dalam alur cerita yang dipaparkan, tokoh yang diperankan, maupun tema-tema yang ditampilkan, sehingga perlu dikaji perihal nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung di dalamnya.
2. Novel biasanya hanya dianggap sebagai sarana hiburan dan pengisi waktu luang saja, maka penulis ingin menepis anggapan tersebut sekaligus untuk membuktikan bahwa novel juga mampu memberi manfaat.
3. Novel dapat memberikan pengaruh positif terhadap pembacanya, yang terjadi secara tidak langsung dan kadang tidak disadari oleh pembaca. Sehingga penulis ingin mengetahui seperti apa pengaruh-pengaruh positif atau manfaat novel bagi pembaca ditinjau dari pendidikan Islam, khususnya pendidikan akhlak.
E. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan latar belakang penulisan novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari.
2. Untuk mendeskripsikan isi dan amanat novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari dalam perspektif pendidikan akhlak.
3. Untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk penyampaian nilai-nilai pendidikan akhlak dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi pecinta sastra pada umumnya, diharapkan akan lebih mudah dalam memahami nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra, khususnya nilai-nilai pendidikan aqidah akhlak baik yang tersurat maupun yang tersirat.
2. Bagi Pendidikan Agama Islam, diharapkan guru dapat memanfaatkan penelitian ini sebagai alternatif sumber bahan pelajaran dalam rangka penanaman nilai-nilai Islami pada siswa melalui karya sastra, mengingat novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini sarat dengan nilai-nilai pendidikan agama Islam termasuk nilai pendidikan akhlak.
3. Bagi mahasiswa, dapat memberikan wawasan tentang keberadaan sastra Islami.
4. Hal-hal yang ada dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu behan acuan bagi pelaksanaan penelitian-penelitian yang relevan dimasa datang.
F. Kerangka Teori
1. Pendidikan Akhlak
a. Pengertian Pendidikan Akhlak
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab Akhlaq yang merupakan bentuk jamak dari Khuluqun yang bermakna budi pekerti, perangai dan kesusilaan. Pengertian akhlak menurut istilah, beberapa ahli memberikan suatu batasan yang berbeda-beda meskipun pada dasarnya mempunyai inti makna yang hampir sama. Ahmad Amin menyatakan bahwa akhlak merupakan suatu kebiasaan kehendak atau menangnya keinginan dari beberapa keinginan manusia dengan berlangsung berturut-turut. Dengan kata lain, kemenangan keinginan atas keinginan lainnya dalam jiwa manusia tersebut berlangsung secara berturut-turut atau berulang-ulang, sehingga hal tersebut menjadi suatu kebiasaan dan kebiasaan tersebut membentuk satu watak yang lekat dalam jiwanya.
Sedangkan menurut imam Al Ghozali, akhlak adalah sifat yang melekat dalam jiwa seseorang yang menjadikan ia dengan mudah bertindak tanpa banyak pertimbangan.
Dari pengertian-pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa akhlak adalah suatu kondisi yang terbentuk dalam jiwa manusia, yang lekat dan mendalam di dalam lubuk hati manusia, sehingga dari kondisi yang telah terbentuk tersebut dapat menimbulkan berbagai perilaku baik berupa ucapan maupun tindakan dengan mudah dan gampang tanpa berpikir panjang lebar. Terbentuknya kondisi jiwa tersebut atau yang disebut sifat ataupun watak manusia tersebut bukan terjadi atau ada dengan begitu saja, tetapi didahului dengan suatu proses. Dan watak manusia yang merupakan hasil bentukan suatu proses tersebut bukanlah merupakan hasil yang final atau harga mati.
Pendidikan merupakan segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani anak-anak tersebut ke arah kedewasaan. Azyumardi Azra mengemukakan bahwa pendidikan merupakan suatu proses dimana suatu bangsa atau negara membina dan mengembangkan kesadaran diri diantara individu. Menurut Omar Muhammad At Toumyi Asy Syaibani, pendidikan Islam diartikan sebagai upaya mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan bermasyarakat dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses pendidikan, yang dilandasi dengan nilai-nilai Islam.
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam pendidikan terdapat unsur. Adanya usaha (kegiatan), baik itu bersifat bimbingan, pengajaran maupun latihan yang dilakukan secara sadar.
1) Ada pendidik, pembimbing atau pelatih.
2) Ada yang dididik atau si terdidik.
3) Memiliki tujuan.
4) Ada alat-alat yang dipergunakan.
Ditinjau dari segi fungsinya, maka secara umum pendidikan mempunyai dua fungsi. Fungsi pendidikan yang pertama adalah fungsi normatif, yakni pendidikan berdasar atas pemilihan nilai yang baik dan tidak baik bagi anak pada khususnya dan bagi manusia pada umumnya. Fungsi normatif lebih menekankan pada pewarisan nilai-nilai yang baik kepada anak agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Fungsi kedua adalah fungsi praktis; pendidikan berfungsi praktis penekanannya terletak pada pelaksanaan pendidikan secara praktis dan teknis agar dapat diperoleh format pendidikan yang berdaya dan berhasil guna. Adapun yang dimaksud dengan pendidikan akhlak adalah pendidikan mengenai dasar akhlak dan keutamaan perangai, tabiat, yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan anak sejak kecil hingga ia menjadi seorang mukallaf, pemuda yang mengarungi kehidupan.
b. Dasar atau Sumber Pendidikan Akhlak
Akhlak menemukan bentuknya yang sempurna pada agama Islam dengan titik pangkalnya pada Tuhan dan akal manusia. Agama Islam pada intinya mengajak manusia agar percaya kepada Tuhan dengan mengakui bahwa Allah SWT adalah Pencipta, Pemilik, Pemelihara, Pelindung, Pemberi Rahmat, Pengasih dan Penyayang terhadap semua makhluk-Nya. Segala apa yang ada di dunia ini, dari biji dan binatang yang melata di bumi sampai kepada langit yang berlapis semuanya milik Tuhan dan diatur oleh-Nya.
Agama Islam juga merupakan petunjuk jalan hidup manusia yang paling sempurna dan memuat ajaran yang menuntun umat kepada kebahagiaan dan kesejahteraan di dalam hidupnya. Semua ini terkandung di dalam ajaran Al Qur’an yang diwahyukan Allah SWT dan ajaran Sunnah yang diturunkan dari apa-apa yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW. Menurut bahasa Endang Syaifuddin Anshori, sumber pokoknya adalah Al Qur’an dan Sunnah, sedang sumber lainnya adalah ijtihad.
Islam merupakan ajaran yang bersifat Rabbani, datang dari Allah SWT. Islam bukanlah ajaran produk pikiran manusia dan bukan produk lingkungan atau masa tertentu, melainkan merupakan petunjuk yang diberikan kepada manusia sebagai karunia dan rahmat (kasih sayang) dari Allah SWT kepada mereka.
Di dalam Islam, Al Qur’an merupakan sumber dari segala sumber hukum yang menjadi pedoman bagi para pemeluknya. Hal ini berarti bahwa di dalam Al Qur’an terkandung berbagai ajaran dan batasan tentang tindakan atau tingkah laku manusia.
Selain Al Qur’an, Sunnah juga merupakan sumber hukum atau ajaran dalam Islam. Dalam hal ini, Sunnah menempati urutan kedua sesudah Al Qur’an. Sunnah merupakan penjelasan operasional dari nilai atau prinsip-prinsip yang terkandung dalam Al Qur’an atau dengan kata lain merupakan model pengaktualisasian dari Al Qur’an dalam konteks kehidupan nyata. Tidak diragukan lagi bahwa semua perkataan, perbuatan, pembiaran dan semua aktivitas Rasulullah SAW merupakan model dan teladan yang bisa dan harus diteladani oleh semua manusia, sebab beliau adalah satu-satunya utusan sebagai “rohmatan lil ‘alamien”.
Dalam Al Qur’an Allah SWT berfirman yang artinya adalah sebagai berikut: “Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan pada mereka dan supaya mereka memikirkannya.”(QS.16:44)
Dengan demikian, Sunnah sebagai sumber ajaran Islam kedua yang merupakan penjelasan rinci dari sumber pertama harus menjadi landasan dan rujukan dalam memecahkan persoalan dalam berbagai segi kehidupan. Harus diyakini bahwa bimbingan dan arahannya mampu mengantarkan manusia pada kesuksesan dan kebahagiaan lahir batin dan dunia akhirat.
Selain Al Qur’an dan As Sunnah, dalam Islam juga dikenal Ijtihad sebagai dasar dalam menetapkan suatu hukum. Hal ini disebabkan tidak seluruh persoalan yang dihadapi manusia mampu dijawab atau diselesaikan dengan Al Qur’an maupun Sunnah Nabi SAW, sehingga perlu penafsiran yang mendalam untuk dapat memutuskan persoalan tersebut.
Penyebutan ketiga sumber hukum yaitu Al Qur’an, Sunnah dan Ijtihad secara berurutan menunjukkan urutan kedudukan dan jenjang pengaplikasiannya. Yakni apabila ditemukan suatu masalah yang memerlukan pemecahan, maka pertama-tama dicari dalam Al Qur’an; jika tidak ditemukan dalam Al Qur’an maka dicari dalam As Sunnah dan akhirnya dicari dengan Ijtihad, baik melalui musyawarah untuk mendapatkan Ijma’ (kesepakatan umum) maupun melalui Qiyas (penganalogian).
Hal ini sesuai dengan dialog antara Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin Jabal waktu Muadz diangkat sebagai gubernur Yaman.
Rasulullah SAW bersabda: “Bagaimana caranya kamu memutuskan masalah apabila kepadamu diajukan suatu perkara?” Muadz menjawab: “Saya akan memutuskan dengan kitab Allah SWT.” Rasul bersabda: “Kalau hukum itu tidak ada dalam kitab Allah SWT?” Muadz berkata: “Saya akan putuskan dengan Sunnah Rasul.“ “Jika kamu tidak menemukan dalam Sunnah Rasul?” tanya Rasulullah SAW lebih lanjut. “Saya akan berijtihad dengan pikiran saya dan saya tidak akan membiarkannya,” jawabnya. Maka Rasulullah SAW menepuk dadanya sambil berkata, “Alhamdulillah, Allah SWT telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah SAW sesuai dengan apa yang diridloi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Turmudzi).
Jadi jelaslah bahwa sebagaimana sumber akhlak maka sumber pendidikan akhlak adalah Al Qur’an, As Sunnah dan Ijtihad.
c. Tujuan Pendidikan Akhlak
Di kalangan ahli filsafat etika, tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan sesuatu atau tidak melakukannya terkenal dengan summum bukmun yang dalam bahasa Arab disebut Al Ghayyah atau Al Khoirul Kulli. Adapun tujuan yang akan dicapai manusia dengan perilakunya tersebut adalah mencapai kebahagiaan. Demikian pula dengan etika atau ilmu akhlak, tujuan yang hendak dicapai secara umum adalah kebahagiaan. Di dalam Islam tujuan akhlak didasarkan pada pencapaian kebahagiaan, hanya saja kebahagiaan yang ingin dicapai dari akhlak Islam adalah kebahagiaan yang hakiki dan bukan kebahagiaan yang semu. Kebahagiaan sejati yang dimaksud dalam akhlak Islam adalah kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Pendidikan akhlak adalah jiwa dari pendidikan Islam. Tujuan moralitas merupakan terminal akhir dari perjalanan panjang proses pendidikan. Tujuan pendidikan akhlak adalah untuk membentuk orang-orang yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam perkataan dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku dan perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur dan suci.
Pendidikan akhlak bertujuan memberikan advis bagi yang mau menerimanya tentang jalan-jalan yang membentuk pribadi mulia yang dihiasi oleh akhlaqul karimah. Pendidikan akhlak juga bertujuan untuk mengetahui perbedaan-perbedaan perangai manusia yang baik maupun yang jahat, agar manusia dapat memegang teguh perangai yang baik dan menjauhkan diri dari perangai yang jahat.
Menurut Abdul Rozak Zaidan, sebenarnya baik sastra maupun agama, keduanya merupakan bidang kehidupan manusia yang bersifat rohaniah. Bedanya yang pertama menyajikan pengalaman imajinatif, sedangkan yang kedua menuntut pengalaman yang kreatif dan konsisten (istiqomah). Pada dasarnya, hasil yang dituju dalam beberapa hal adalah sama, yakni kekayaan rohaniah, kekayaan batin yang mutlak diperlukan dalam menggumuli hidup dan kehidupan ini.
Pada hakikatnya sastra merupakan ungkapan sekaligus pengabadian pengalaman pengarangnya. Dengan karyanya itu, seorang pengarang bermaksud agar pembacanya dapat pula merasakan apa yang dialaminya tersebut, karena menurut persepsinya apa yang dialaminya itu memiliki nilai-nilai yang amat berguna bagi kehidupan manusia pada umumnya. Dengan tidak mengurangi fungsinya sebagai hiburan, pengarang dapat memasukkan nilai-nilai yang diyakininya. Nilai-nilai ini sedikit banyak dapat mempengaruhi pembaca. Maka hendaknya nilai-nilai tersebut menjadi renungan sekaligus dapat dijadikan pengetahuan atau pedoman dalam memecahkan masalah yang dihadapi pembaca dalam aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu, karya sastra merupakan sebuah cerita yang mengandung tujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca disamping adanya tujuan estetik. Melalui cerita itu, pembaca secara tidak langsung dapat belajar merasakan dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang sengaja ditawarkan pengarang. Hal itu disebabkan, cerita fiksi atau karya sastra tersebut akan mendorong pembaca untuk ikut merenungkan masalah hidup dan kehidupan. Karena itu, karya sastra sering dianggap dapat menjadikan manusia lebih arif atau dapat dikatakan “memanusiakan manusia”.
Jadi jelaslah bahwa tujuan penciptaan karya sastra sejalan dengan tujuan pendidikan akhlak, karena pada dasarnya karya sastra bertujuan untuk mempengaruhi pembaca agar lebih arif serta bijaksana, baik dalam bersikap maupun bertindak.
d. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak
Akhlak merupakan sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan manusia di atas bumi. Sistem nilai yang dimaksud adalah ajaran Islam dengan Al Qur’an dan sunnah Rasul sebagai sumber nilainya serta Ijtihad sebagai metode berpikir Islam. Pola sikap dan tindakan manusia tersebut mencakup pola-pola hubungan dengan Allah SWT, sesama manusia (termasuk dengan dirinya sendiri) dan dengan alam. Dengan demikian ruang lingkup akhlak mencakup pola hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan Rasulullah SAW, pola hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan keluarga serta pola hubungan manusia dengan masyarakat.
1) Pola hubungan manusia dengan Allah SWT.
Termasuk dalam bahasan ini adalah mentauhidkan Allah SWT dan menghindari syirik, bertaqwa kepada-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya melalui berdoa, berdzikir di waktu siang maupun malam, baik dalam keadaan berdiri, duduk, berbaring dan bertawakkal kepada-Nya.
2) Pola hubungan manusia dengan Rasulullah SAW.
Pola manusia dengan Rasulullah SAW mencakup hal di antaranya menegakkan sunnah Rasul, menziarahi kuburnya di Madinah dan membacakan shalawat.
3) Pola hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
Yang termasuk pola hubungan manusia dengan dirinya sendiri di antaranya yaitu menjaga kesucian diri dari sifat rakus dan mengumbar nafsu, mengembangkan keberanian (syaja’ah) dalam menyampaikan hak, menyampaikan kebenaran dan memberantas kedzoliman. Mengembangkan kebijaksanaan dengan memberantas kebodohan dan jumud, bersabar tatkala mendapat musibah dan dalam kesulitan, bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT, rendah hati atau tawadlu’ dan tidak sombong, menahan diri dari melakukan larangan-larangan Alla atau iffah, menahan diri dari marah walaupun hati tetap dalam keadaan marah, memaafkan orang, jujur atau amanah dan merasa cukup dengan apa-apa yang telah diperoleh dengan susah payah atau qona’ah.
4) Pola hubungan manusia dengan keluarga.
Pola hubungan dengan keluarga meliputi hal-hal seperti: berbakti kepada orang tua atau birrul walidain, baik dengan tutur kata, pemberian nafkah ataupun doa; memberi bantuan materiil ataupun moral pada karib kerabat; suami memberikan nafkah kepada istri, anak dan anggota keluarga lain, suami mendidik istri dan anak agar terhindar dari api neraka serta istri harus taat kepada suami.
5) Pola hubungan manusia dengan masyarakat.
Pola hubungan dengan masyarakat meliputi hubungan dengan masyarakat dalam konteks kepemimpinan, yaitu pola-pola hubungan seperti: menegakkan keadilan; berbuat ihsan; menjunjung tinggi musyawarah, memandang kesederajatan manusia dan membela orang-orang lemah; mentaati pimpinan dan berperan serta dalam kegiatan-kegiatan kepemimpinan. Sementara sebagai anggota bermasyarakat, perlu menjunjung tinggi ukhuwah dalam se-iman dan ukhuwah kemanusiaan, saling tolong menolong, pemurah dan penyantun, menepati janji, saling nasihat dalam kebenaran dan ketaqwaan.
e. Metode Pendidikan Akhlak
Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan akhlak. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan. Maka tujuan pokok dan terutama dari pendidikan Islam ialah mendidik budi pekerti dan pendidikan jiwa.
Untuk mencapai tujuan tersebut, ada beberapa metoda atau cara yang dapat ditempuh. Menurut Athiyah al-Abrosyi, ada beberapa metode yang dapat ditempuh dalam pendidikan moral dan akhlak Islam, antara lain sebagai berikut:
1) Pendidikan secara langsung, yaitu dengan cara mempergunakan petunjuk, tuntunan, nasehat, menyebutkan manfaat dan bahaya-bahayanya, dimana pada murid dijelaskan hal-hal yang bermanfaat dan yang tidak, menuntun kepada amal-amal baik, mendorong mereka berbudi pekerti yang tinggi dan menghindari hal-hal yang tercela. Untuk pendidikan moral ini dipergunakan sejak-sejak, syair-syair, Oleh karena ia mempunyai gaya musik, ibarat-ibarat yang indah, rythme yang berpengaruh dan kesan yang dalam yang ditimbulkannya dalam jiwa. Dapat kita lihat buku-buku dalam bidang sastra, sejarah yang penuh dengan kata-kata berkhitmat, wasiat-wasiat, petunjuk-petunjuk berguna.
2) Pendidikan akhlak secara tidak langsung, yaitu dengan jalan sugesti, seperti mendiktekan sajak-sajak yang mengandung hikmat kepada anak-anak, memberikan nasehat-nasehat dan berita-berita berharga, mencegah mereka membaca sajak-sajak yang kosong. Tidaklah mengherankan, karena ahli-ahli pendidikan dalam Islam yakin akan pengaruh kata-kata berhikmat, nasehat-nasehat dan kisah-kisah nyata itu dalam pendidikan akhlak anak-anak.
3) Mengambil manfaat dari kecederungan dan pembawaan anak-anak dalam rangka pendidikan akhlak. Sebagai contoh mereka memiliki kesenangan meniru ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan gerak-gerik orang-orang yang berhubungan erat dengan mereka. Oleh karena itu maka filsof-filsof Islam mengharapkan dari setiap guru supaya mereka itu berhias dengan akhlak yang baik, mulia dan menghindari setiap yang tercela.
Menurut Miqdad Zaljan, salah satu metode pendidikan membentuk akhlak anak adalah melalui pembiasaan. Pembiasaan memberikan manfaat bagi anak. Karena pembiasaan berperan sebagai efek latihan yang terus menerus, anak akan lebih terbiasa berperilaku dengan nilai-nilai.
Pembiasaan harus diikuti dengan pencerahan. Pencerahan bertujuan untuk mengokohkan iman dan akhlak atas dasar pengetahuan, agar orang yang dididik tetapi pada jalan yang benar, tidak mudah terguncang atau terpengaruh oleh pengaruh-pengaruh negatif yang berasal dari Barat maupun Timur. Disamping itu, pembiasaan juga harus memproyeksikan terbentuknya mental dan akhlak yang lemah lembut untuk mencapai nilai-nilai akhlak.
Cara lain yang dapat ditempuh dalam pembinaan akhlak adalah melalui keteladanan. Akhlak yang baik tidak dapat dibentuk hanya dengan pelajaran, instruksi dan larangan, sebab tabi’at jiwa untuk menerima keutamaan itu tidak cukup hanya dengan seorang guru mengatakan “kerjakan ini” dan “jangan kerjakan itu”. Menanamkan sopan santun memerlukan pendidikan yang panjang dan harus ada pendekatan yang lestari. Pendidikan itu tidak akan sukses, melainkan jika disertai dengan pemberian contoh teladanan yang baik dan nyata.
Selain itu pembinaan akhlak dapat pula ditempuh dengan cara senantiasa menganggap diri sebagai yang banyak kekurangannya dari pada kelebihannya. Dalam hal ini Ibnu Sina mengatakan jika seseorang menghendaki dirinya berakhlak utama, hendaknya ia lebih dahulu mengetahui kekurangan dan cacat yang ada dalam dirinya dan membatasi sejauh mungkin untuk tidak berbuat kesalahan, sehingga kecacatannya itu tidak terwujud dalam kenyataan. Namun ini bukan berarti bahwa ia menceritakan dirinya sebagai orang yang paling bodoh, paling miskin dan sebagainya dihadapan orang-orang, dengan tujuan merendahkan orang lain.
Pembinaan akhlak secara efektif dapat pula dilakukan dengan memperhatikan faktor kejiwaan sasaran yang akan dibina. Menurut hasil penelitian para psikolog bahwa kejiwaan manusia berbeda-beda menurut perbedaan tingkat usia. Pada usia kanak-kanak misalnya, lebih menyukai kepada hal-hal yang bersifat rekreatif dan bermain. Untuk itu ajaran akhlak dapat disajikan dalam bentuk permainan.
2. Karya Sastra dan Novel
Penelitian yang penulis lakukan dapat dikategorikan sebagai kritik sastra. Kritik sastra dimaksudkan untuk menghakimi karya sastra, untuk memberi penilaian dan memberi keputusan bermutu atau tidaknya suatu karya sastra yang sedang diteliti. Dalam kaitannya dengan penelitian pendidikan, penulis mencoba menganalogikan kritik sastra kepada kritik pendidikan, dalam arti penulis berusaha meneliti teks-teks novel yang mengandung nilai-nilai pendidikan, khususnya pendidikan akhlak.
Pada dasarnya hasil budaya suatu bangsa itu tidak lepas dari pengaruh jamannya, begitu juga dengan karya-karya sastra. Karena karya sastra lahir di tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang dan merupakan refleksi terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya.
Menurut Andre Hardjana, karya sastra merupakan ungkapan dari apa yang telah dialami orang tentang kehidupan, apa yang telah direnungkan dan apa yang telah dirasakan mengenai segi-segi kehidupan yang paling menarik minat secara langsung dan kuat. Jadi karya sastra merupakan perenungan kehidupan lewat bahasa.
Dan menurut Sapardi Djoko Damono, sastra dipandang sebagai cermin masyarakat. Keberadaan sastra yang demikian itu telah menjadikan karya sastra dapat diposisikan sebagai dokumen sosial budaya atau sebagai fakta sosial, karena karya semacam itu merupakan hasil aktivitas yang obyeknya adalah alam semesta dan kelompok manusia sekaligus.
Karya sastra merupakan suatu karya yang sarat dengan ajaran etika, moral, atau akhlak yang tinggi. Maka studi mengenai karya sastra dapat memberikan peranan yang sangat berarti dalam perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu humaniora dan dalam pengembangan kebudayaan nasional Indonesia dan alam pembangunan pada umumnya. Dengan demikian, meneliti hasil karya sastra akan dapat diambil ajaran-ajaran moral yang mampu menjadi pedoman dan pegangan masyarakat pada masanya; bahkan masa kini dan yang akan datang.
Hal ini dikarenakan proses penciptaan kesusastraan melibatkan akar-akar kebudayaan yang berupa panca indra, imajinasi, intelektualitas, cinta, nafsu, naluri, darah, roh serta hidayah kefitrian dari Zat Yang Maha Tinggi, maka akar-akar kebudayaan tadi akan meramu fenomena sosial yang yang ada dan menghasilkan kesusastraan.
Kalau kita melihat dalam konteks Islam, arah pendidikan terdiri dari intelektualitas atau kecerdasan, moralitas dan profesionalitas. Dalam hal ini Islam sangat memberi tekanan pada aspek moralitas (akhlak) di samping aspek-aspek lainnya, karena yang menjadi titik tolak dan titik tuju dari pendidikan adalah seorang manusia. Sebagaimana disebutkan Abdur Rahman Shaleh Abdullah, bahwa manusia merupakan inti dalam pendidikan.
Arah pendidikan sebagaimana disebutkan di atas menunjukkan bahwa pendidikan Islam pada dasarnya tidaklah menolak ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi sebaliknya mengambil sikap terbuka terhadapnya. Seperti diungkap oleh Halkin bahwa sikap kaum muslimin terhadap ilmu pengetahuan ialah spontan, menghargai, mengadaptasi dan memanfaatkan dengan selalu menjunjung tinggi harkat dan moralitas kemanusiaan.
Kesusastraan termasuk di dalamnya novel merupakan suatu cara mengungkapkan gagasan, ide, pemikiran dengan gambaran-gambaran pengalaman. Dengan begitu sebuah karya sastra berusaha menggugah kesadaran penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan serta ingin memberikan pengalaman imajinatif bagi pembacanya. Inilah yang menyebabkan suguhan gambaran pengalaman yang disajikan sebuah karya sastra membuat pembacanya ingin secepat mungkin menghabiskan bacaan tersebut.
Sehingga benar apa yang diungkapkan oleh Jakob Sumardjo dalam sebuah artikelnya yang berjudul Pendidikan Nilai dan Sastra, bahwa:
“Kiranya tidak berlebihan apabila sastra dapat dipakai sebagai alat pendidikan nilai-nilai kehidupan atau setidak-tidaknya mempersoalkan nilai-nilai yang dipandangnya kurang sesuai……………muatan nilai yang dikandung karya sastra pun seperti halnya novel mengandung banyak perbedaan. Ada karya sastra yang ditulis untuk mempertegas nilai-nilai, mempersoalkan atau menggugat nilai-nilai yang berlaku. Dan dari tiga tipe muatan nilai-nilai (entah moral, religi, sosial, kemanusiaan) dalam sastra tadi, hanya jenis karya yang mengandung penegasan nilai dan pendayagunaan nilai saja yang dapat diberikan pada anak-anak sekolah untuk dibuka. Sedangkan yang mengandung pendobrakan nilai atau pemberian alternatif nilai hanya dapat diberikan pada anak didik yang sudah mampu berpikir kritis, yang siap sebagai seorang terpelajar.”
Novel merupakan salah satu karya sastra yang bersifat fiktif. Novel berasal dari bahasa Itali yaitu novella yang berarti sebuah barang baru yang kecil. Novel juga dapat diartikan sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.
Sebuah novel merupakan totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel dibangun oleh unsur-unsur yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain.
Unsur-unsur pembangun sebuah novel, secara garis besar dikelompokkan menjadi dua, yaitu unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Kedua unsur ini sering disebut para kritikus dalam mengkaji atau membicarakan karya sastra pada umumnya.
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur interinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang turut serta membangun cerita. Unsur intrinsik ini diantaranya adalah peristiwa, plot, cerita, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa. Kepaduan berbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud.
Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Atau secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangunan cerita sebuah karya sastra, namun sendiri, tidak ikut menjadi bagian di dalam karya sastra itu sendiri. Walau demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangunan cerita yang dihasilkan. Oleh karena itu, unsur ekstrinsik sebuah novel haruslah dipandang sebagai sesuatu yang penting. Pemahaman unsur ekstrinsik suatu karya, bagaimanapun akan membantu dalam hal pemahaman makna karya itu, mengingat bahwa karya sastra tak muncul dari situasi kekosongan budaya.
Sebagaimana unsur-unsur intrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah unsur, antara lain adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Artinya unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang dihasilkan. Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi, baik psikologi pengarang, psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya. Keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik dan sosial juga akan berpengaruh terhadap karya sastra, dan hal itu merupakan unsur ekstrinsik. Disamping itu juga masih ada unsur yang lain, misalnya pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni yang lain dan sebagainya.
Novel merupakan salah satu genre karya sastra, sedangkan karya sastra adalah salah satu cabang kesenian. Kesenian sendiri hakekatnya adalah bagian dari kebudayaan yang merupakan hasil kreativitas manusia dalam rangka meningkatkan harkat dan martabatnya. Dengan demikian, karakteristik yang dimiliki kesenian khususnya dan kebudayaan pada umumnya juga berlaku bagi karya sastra, termasuk novel.
Fungsi kesenian (sastra) menurut Horace adalah dulce et utile artinya manis dan bermanfaat. Unsur dulce, manis, menyenangkan, muncul karena salah satu katakteristik kesenian (termasuk sastra) adalah dominannya aspek estetik, sedangkan adanya unsur utile atau kebermanfaatan sastra tidak lepas dari adanya ajran-ajaran moral yang terdapat di dalamnya.
Fungsi sastra dalam masyarakat bisa bergeser dari zaman ke zaman dan berbeda-beda bagi bermacam-macam bangsa; pada kenyataannya sastra dalam masyarakat dipergunakan dalam berbagai cara. Menurut Bradburry, ada yang mempergunakannya untuk pendidikan, ada yang mempergunakannya untuk pelarian, ada yang untuk mendapat keterangan tentang dunia luas ini dan ada yang membaca sastra karena sastra mengandung dan menghargai nilai-nilai.
Dalam sebuah novel atau karya fiksi, kita tak hanya menemukan satu nilai saja, tetapi bermacam-macam nilai yang akan disampaikan oleh pengarangnya, seperti halnya isi karya sastra akan sangat bergantung kepada pengarangnya, baik itu latar belakang pendidikan, pengalaman, pengetahuan ataupun keyakinannya. Sebuah novel menawarkan model kehidupan mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku para tokoh sesuai dengan pandangan pengarang. Dan melalui cerita, sikap dan tingkah laku para tokohnya itu, pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan yang disampaikan. Sehingga jika latar belakang seorang pengarang itu dari pendidikan atau keyakinan keagamaan tertentu, maka sudah sepantasnya jika iapun berusaha memasukkan pengetahuan dan pengalamannya itu ke dalam karya yang ia ciptakan.
Dalam pandangan romantik, sastrawan diharapkan untuk memimpin pembacanya, ia harus menciptakan karya yang dimaksudkan untuk mengubah atau merombak keadaan masyarakat yang dianggapnya tidak beres. Dalam hal demikian itu, karya sastra haruslah mengandung unsur-unsur pembaruan sosial. Dilihat dari satu segi, seorang novelis memang dapat berperan sebagai seorang nabi atau pendeta; karya sastranya dapat berfungsi sebagai perombak atau pengubah keadaan yang dianggapnya buruk dalam masyarakat. Dalam novel-novel mereka berbagai pandangan yang berlaku dalam masyarakat seperti takhayul, kebodohan dan fanatisme agama ditampilkan sebagai hal-hal yang negatif, yang harus dirombak atau dihindari. Sementara itu, nilai-nilai yang dianggap positif, yakni yang erat kaitannya dengan kemajuan, pendidikan dan pengetahuan, ditampilkan dengan harapan bisa mengubah pandangan yang sesat dalam masyarakat.
Ditinjau dari segi lain, pandangan “seni sebagai hiburan” beranggapan bahwa karya seni dimaksudkan untuk menghibur pembaca saja. Dalam pandangan ini, sastrawan berperan sebagai penghasil barang hiburan; ia tidak mempunyai kewajiban di luar itu. Dengan demikian, tugas sebagai perombak atau pembaru tetap dipertahankan dengan cara menciptakan cerita yang bisa menghibur pembaca.
Sebagai sebuah karya imajiner, novel menawarkan pesan moral yang bersifat universal, biasanya akan diterima secara universal pula. Pesan moral sastra lebih memberat pada sifat kodrati manusia yang hakiki, bukan pada aturan-aturan yang dibuat, ditentukan dan dihakimi oleh manusia. Kebenaran yang ada di dunia nyata yang ada dalam karya sastra tidak harus sejalan dengan kebenaran yang ada di dunia nyata , karena pesan moral sastra memang tidak harus sejalan dengan hukum agama, walau tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat banyak sekali fiksi yang menawarkan pesan moral keagamaan atau religius.
Hal ini sesuai dengan apa yang ditulis Abdul Rozak Zaidan, bahwa sebenarnya baik sastra maupun agama keduanya merupakan bidang kehidupan manusia yang bersifat rohaniah. Bedanya yang pertama menyajikan pengalaman imajinatif, sedangkan yang kedua menuntut pengalaman yang kreatif dan konsisten (istiqomah). Pada dasarnya hasil yang dituju dalam beberapa hal adalah sama, yakni kekayaan rohaniah, kekayaan batin yang mutlak diperlukan dalam menggumuli hidup dan kehidupan ini.
Alasan ini pula yang mendasari penulisan penulis bahwa sebenarnya karya fiksi atau novel dapat dijadikan sebagai penyampaian pesan dan nilai (pendidikan) terhadap pembacanya. Dengan tidak mengurangi fungsinya sebagai hiburan, pengarang dapat menanamkan nilai pendidikan (dalam hal ini Islam sebagai latar belakang agama), guna mencapai tujuan dari suatu proses pendidikan. Tujuan tersebut merupakan keinginan manusia dalam menjaga hubungannya dengan diri sendiri, sesama manusia (masyarakat), alam sekitar dan dengan Tuhannya. Oleh karena itu diperlukan pula kesadaran seorang pengarang dengan sungguh-sungguh dala menulis suatu karya. Selain itu juga adanya tanggung jawab dan harapan kepada pembacanya akan perubahan ke arah yang positif dengan mengambil pelajaran dan manfaat terhadap apa yang telah dibacanya.
Ada beberapa manfaat yang dapat diambil ketika seorang pembaca suatu karya sastra, dalam hal ini novel, yaitu dapat dijadikan pengisi waktu luang, pemberian atau pemerolehan hiburan, untuk mendapatkan informasi, sebagai sebagai media pengembang dan pemerkaya pandangan kehidupan dan juga memberikan pengetahuan nilai sosio kultural dari zaman atau masa karya sastra itu dilahirkan.
Dilihat dari beberapa manfaat di atas, maka karya sastra dapat menjadi sumber pengetahuan dalam memahami bermacam nilai kehidupan. Nilai-nilai tersebut akan berguna bagi manusia dalam hubungannya dengan sesama makhluk dan Tuhannya. Adapun nilai (pendidikan) Islami yang ada dalam sebuah novel menurut Sujarwanto dalam sebuah artikelnya tentang Nilai-nila Islam dalam Novel Indonesia, dibedakan menjadi 4, yaitu:
a. Nilai Islam sebagai latar atau landas cerita. Pada tataran ini nilai Islam merupakan nuansa-nuansa ke-Islaman yang secara substansi maupun isi tidak mempengaruhimjalan cerita ataupun konflik sentral tokoh dalam cerita.
b. Nilai Islam sebagai ajaran yang memberikan konsepsi aqidah, muamalah dan ibadah. Di sini Islam masuk ke dalam novel bisa berupa unsur, corak atau warna, bahkan mungkin propaganda.
c. Nilai Islam sebagai penghayatan. Dalam konsep ini Islam masuk ke dalam novel bisa merupakan determinan bagi perubahan tokoh-tokoh cerita seperti dalam konflik atau secara lebih luas Islam sebagai sistem sosial yang tercermin dalam jalan cerita.
d. Nilai Islam sebagai paradigma pemikiran atau konsepsi. Pada tataran ini nilai Islam dalam novel tidak lagi bersifat eksplisit, akan tetapi substansinya dapat dirunut kepada sumber-sumber Islam yang otentik.
Walaupun demikian, sebuah novel terkadang tidak hanya mengandung satu pemahaman nilai. Bisa jadi nilai yang ada dalam novel hanya sebagai latar dalam cerita, sebagai ajaran, penghayatan atau juga sebagai paradigma pemikiran. Bisa jadi juga keempat pemahaman nilai tersebut ada dalam suatu novel.
Ajaran moral yang terkandung dalam sebuah karya sastra tidak terlepas dari pribadi pengarang sebagai pencipta karya tersebut. Hal ini dikarenakan karya sastra merupakan media komunikasi pengarang untuk menyampaikan pendapat, pandangan dan penilaiannya terhadap sesuatu yang terjadi dalam di lingkungannya. pandangan, pendapat dan penilaian yang tertuang dalam ajaran moral tersebut dengan sendirinya terkait dengan pribadi pengarang, termasuk keyakinan dan agama yang dianutnya. Pengarang beragama Islam akan lebih berhasil bila mencipta karya yang sesuai dengan ajaran Islam yang dianutnya. Demikian pula pengarang beragama lain. Hal ini dapat dipahami, mengingat seseorang (sastrawan) tidak ingin mengungkapkan sesuatu yang tidak dikuasainya atau di luar kemampuannya.
Jenis ajaran moral yang terdapat dalam karya sastra sangat beragam, seluas permasalahan kehidupan manusia di muka bumi. Namun, secara garis besar permasalahan tersebut digolongkan menjadi tiga, yaitu permasalahan hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan sesama manusia dan permasalahan hubungan manusia dengan makhluk lain di sekitarnya. Hal ini berlaku pula dalam agama Islam, yang dicerminkan dalam hubungan hablumminallah dan hablumminannaas. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S. Al Hujurat ayat 13, yang berbunyi:
ياأيها الناس إنّا خلقناكم من ذكر وأنثى وججعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إنّ أكرمكم عند الله أتقاكم إنّ الله عليم خبير
Artinya: “Wahai sekalian manusia, sungguh Kami telah menjadikan kamu sekalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Secara umum ada dua teknik penyampaian ajaran moral yang dapat digunakan pengarang dalam karyanya. Kedua teknik ajaran moral tersebut adalah dengan penggunaan aktivitas tokoh dan pendeskripsian alam. Penggunaan aktivitas tokoh dalam penyampaian ajaran moral dapat berupa dialog atau percakapan, perbuatan atau tingkah laku dan pikiran tokoh. Sedangkan penggunaan deskripsi alam dalam penyampaian ajaran moral berupa deskripsi alam suatu tempat.
Jika dikembalikan pada konsep Horace tentang fungsi sastra (seni) sebagai dulce et utile, maka kebermanfaatan karya sastra harus dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat (penikmat sastra), termasuk remaja atau pelajar sebagai bagian dari masyarakat. Dengan demikian, secara tidak langsung, karya sastra dapat membentuk moral siswa atau generasi muda, sehingga diharapkan mereka dapat bertindak sesuai dengan norma-norma yang ada dalam agama dan masyarakat.
3. Pendidikan Akhlak dalam Karya Sastra/Novel
Karya sastra merupakan hasil artefak kebudayaan manusia yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan. Karya sastra dapat berupa naskah-naskah kuno, manuskrip, maupun prosa seperti novel atau puisi.
Novel merupakan genre sastra yang biasanya berisi tentang kehidupan dan kemanusiaan. Dalam novel banyak ditemukan permasalahan kemanusiaan, dari permasalahan kehidupan yang sepele sampai kepada permasalahan kehidupan yang rumit, yang ditawarkan oleh pengarang kepada pembacanya. Novel merupakan hasil kontemplasi pengarang atau hasil dialog pengarang dengan dunianya yang mengandung pemikiran-pemikiran atau pengetahuan-pengetahuannya tentang kehidupan dan kemanusiaan. Permasalahan yang ditawarkan pengarang tersebut biasanya disebut amanat atau pesan moral. Dinamakan demikian, karena dalam karya yang dihasilkan oleh pengarang tersebut banyak ditemukan nilai-nilai moral yang layak direnungkan oleh pembaca, sehingga nilai-nilai tersebut sedikit banyak dapat mempengaruhi pembaca. Nilai-nilai moral yang ada dalam karya sastra tersebut hendaknya menjadi renungan sekaligus dapat dijadikan pengetahuan atau pedoman dalam memecahkan masalah yang dihadapi pembaca dalam aktivitas sehari-hari.
Ajaran moral (pendidikan akhlak) yang terkandung dalam karya sastra tidak dapat lepas dari pribadi pengarang sebagai pencipta karya tersebut. Hal ini dikarenakan karya sastra merupakan media komunikasi pengarang untuk menyampaikan pendapat, pandangan dan penilaiannya terhadap sesuatu yang terjadi di lingkungannya. Pandangan, pendapat dan penilaian yang tertuang dalam ajaran moral tersebut dengan sendirinya terkait dengan pribadi pengarang, termasuk keyakinan dan agama yang dianutnya. Pengarang yang beragama Islam akan lebih berhasil mencipta karya yang sesuai dengan ajaran Islam yang dianutnya. Demikian pula pengarang yang beragama lain, akan lebih berhasil bila mencipta karya yang sesuai dengan agama yang dianutnya. Hal ini dapat dipahami, mengingat seseorang (sastrawan) tidak mungkin mengungkapkan sesuatu yang tidak dikuasainya atau diluar kemampuannya.
Ajaran moral (pendidikan akhlak) yang terdapat dalam karya sastra sangat beragam, seluas permasalahan kehidupan manusia di muka bumi. Namun secara garis besar permasalahan tersebut digolongkan menjadi tiga, yaitu permasalahan hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan sesama manusia dan dengan makhluk lain di sekitarnya. Hal ini berlaku pula dalam agama Islam yang dicerminkan dengan hubungan hablumminallah dan hablumminannas.
Sesuai dengan konsep Horace tentang fungsi sastra sebagai dulce et utile (manis dan bermanfaat), maka kebermanfaatan sastra harus dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat (penikmat sastra), termasuk remaja atau pelajar. Dengan demikian, secara tidak langsung karya sastra atau novel dapat membentuk moral siswa atau generasi muda sehingga diharapkan mereka dapat bertindak sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat, melalui pembacaan dan perenungan mereka terhadap karya sastra/novel.
Ajaran akhlak dalam novel dapat dijumpai dalam aktivitas yang dilakukan para tokoh, dialog yang terjadi antar tokoh, maupun pendeskripsian alam yang dilakukan oleh pengarang. Ajaran akhlak ini dapat bersifat tersurat (jelas) sehingga mudah dipahami dan dimaknai oleh pembaca, dan juga bersifat tersirat (samar) sehingga memerlukan perenungan yang mendalam.
Jadi pada dasarnya pesan moral atau amanat dalam novel dapat dianalogikan sebagai nilai pendidikan akhlak; karena antara keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu mempengaruhi pembaca untuk melakukan tindakan sesuai dengan norma yang berlaku dalam agama dan masyarakat.
G. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini mengambil novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari sebagai obyek penelitian. Sejauh pengamatan penulis belum ada yang mengadakan penelitian terhadap novel ini.
Dari beberapa penelitian yang peneliti ketahui, ada beberapa tulisan yang meneliti tentang karya sastra, baik karya sastra yang berupa naskah-naskah kuno, novel, maupun lakon-lakon cerita yang cukup digemari oleh masyarakat, terutama masyarakat Jawa.
Sedangkan penelitian yang membahas tentang lakon cerita di antaranya adalah:
1. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Wayang Purwo; Analisis dalam Lakon Bima Suci, yang ditulis oleh Zainuddin, Fakultas Tarbiyah tahun 2001. Pembahasan pada skripsi ini hampir sama dengan skripsi sebelumnya, tetapi obyek kajiannya berbeda, sedang sudut pandang yang digunakan sama juga dengan skripsi sebelumnya, yaitu sama-sama menggunakan sudut pandang pendidikan akhlak. Pada skripsi ini dibahas mengenai nilai-nilai pendidikan akhlak yang ada dalam wayang kulit purwo, khususnya lakon Bima Suci.
2. Ajaran Akhlak dalam Lakon Jaka Tarub pada Kesenian Kentrung, Blitar, Jawa Timur, yang ditulis oleh Rahmah Wahyuningrum, Fakultas Tarbiyah, Tahun 2001. Pembahasan pada skripsi ini diawali dengan sinopsis cerita Lakon Jaka Tarub dan kemudian dibahas tentang unsur-unsur pendidikan akhlak apa saja yang ada dalam Lakon Jaka Tarub tersebut.
Sedangkan penelitian terhadap novel, khususnya novel karya Ahmad Tohari, sejauh pengamatan penulis ada tiga pembahas, yaitu:
1. Pesan-pesan Dakwah dalam Novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari, yang ditulis oleh Asih Hidayatun, Fakultas Dakwah pada tahun 1990. Skripsi ini berisi pesan-pesan dakwah yang ada dalam novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari yang meliputi ajaran Islam berupa; keimanan (tauhid), ibadah serta akhlak.
2. Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang ditulis oleh Susiani, Fakultas Tarbiyah tahun 2001. Skripsi ini membahas unsur-unsur pendidikan Islam apa saja yang ada dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan dua novel yang lain, yaitu novel yang berjudul Lintang Kemukus Dini Hari dan Jantera Bianglala, yang merupakan kelanjutan dari novel Ronggeng Dukuh Paruk. Dalam penelitian ini diungkapkan secara menyeluruh tentang aspek-aspek Pendidikan Islam yang ada dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, meliputi aspek pendidikan keimanan (aqidah), akhlak, ibadah dan muamalah.
3. Nilai-nilai Pendidikan Aqidah Ahklak dalam Novel Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari yang ditulis oleh Puji Astuti, Fakultas Tarbiyah pada tahun 2000. Dalam skripsi ini dibahas tentang nilai-nilai pendidikan aqidah akhlak apa saja yang ada dalam novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari. Pembahasan pada skripsi ini terbatas pada uraian tentang pendidikan aqidah akhlak secara global yang meliputi konsep-konsep tentang pengertian aqidah dan akhlak, cara-cara memperkuat keimanan, tingkat-tingkat keimanan manusia dan juga faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penanaman nilai-nilai akhlak. Dilanjutkan dengan analisis tentang aspek-aspek pendidikan aqidah akhlak yang terkandung dalam novel Bekisar Merah, disamping teknik penyampaian nilai-nilai pendidikan aqidah akhlak yang digunakan oleh Ahmad Tohari dalam novel Bekisar Merah ini.
Demikian tadi beberapa literatur yang dapat peneliti ketahui yang berhubungan dengan sastra dan juga berhubungan dengan penelitian pada skripsi ini. Penelitian yang berjudul Studi atas Novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini berusaha meneliti lebih jauh kandungan novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari ditinjau dari segi pendidikan akhlak.
H. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang bersifat library reseach atau kajian kepustakaan, yaitu teknik penelitian yang mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan berbagai macam materi yang terdapat dalam kepustakaan, baik berupa buku, surat kabar, majalah jurnal dan beberapa tulisan lain yang memiliki keterkaitan dengan pembahasan penelitian ini. Adapun sumber primer dalam penelitian ini adalah novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari. Sumber sekundernya adalah novel-novel karya Ahmad Tohari yang lain, di samping buku-buku tentang sastra yang mendukung penelitian ini serta buku-buku tentang pendidikan Islam. Penelitian ini berusaha mengkaji nilai-nilai pendidikan akhlak yang terdapat dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari.
2. Penentuan Subyek dan Obyek Penelitian
a. Subyek Penelitian.
Yang menjadi subyek penelitian ini adalah karya novel Lingkar Tanah Lingkar Air dan pengarangnya yaitu Ahmad Tohari.
b. Obyek Penelitian.
Yang akan menjadi obyek dalam penelitian ini meliputi latar belakang penulisan novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari, isi dan pesan novel, dan bentuk-bentuk penyampaian nilai-nilai pendidikan akhlak yang terdapat dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari.
3. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan filologi dan pendekatan hermeunitik. Filologi adalah suatu pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti luas yang mencakup bidang kebahasaan, kesusastraan dan kebudayaan. Pendekatan filologi digunakan dalam menemukan kata-kata yang merujuk pada pendidikan akhlak.
Hermeunitik menurut Teeuw adalah ilmu atau teknik memahami karya sastra dan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksudnya. Menurut Teeuw, cara kerja hermeunitik untuk penafsiran karya sastra dilakukan dengan pemahaman keseluruhan berdasarkan unsur-unsurnya, dan sebaliknya, pemahaman unsur-unsur berdasarkan keseluruhannya.
Dalam penelitian ini, pendekatan hermeunitik digunakan dalam mengkaji nilai-nilai pendidikan akhlak yang terdapat dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari.
4. Metode Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik sebagai berikut:
a. Interview
Metode interview adalah metode pengumpulan data dengan komunikasi langsung antara peneliti atau penyelidik dengan subyek atau sebuah dialog untuk memperoleh informasi. Bentuk interview yang penulis gunakan adalah interview bebas terpimpin.
Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data tentang Ahmad Tohari sebagai penulis novel dan data yang berkaitan dengan novel Lingkar Tanah Lingkar Air. Interview dilakukan dengan Ahmad Tohari sebagai penulis novel.
b. Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,agenda dan sebagainya. Dokumen yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi buku, novel, majalah, surat kabar dan lain-lain yang bekaitan dengan Ahmad Tohari dan hasil karyanya.
4. Metode Analisa Data
Setelah data terkumpul, maka berikutnya adalah mengadakan analisa terhadap data-data tersebut. Sedangkan metode analisa data yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode conten analisis.
Analisis ini merupakan analisis tentang isi pesan suatu komunitas. Pada dasarnya analisis konten dalam bidang sastra tergolong upaya pemahaman karya sastra dari aspek ekstrinsik. Aspek-aspek yang melingkupi di luar estetika struktur tersebut dibedah, dihayati dan dibahas mendalam. Analisis konten digunakan apabila hendak mengungkap kandungan nilai tertentu dalam karya sastra. Makna dalam analisis konten, biasanya bersifat simbolis. Jadi tugas analisis konten adalah mengungkap makna simbolik yang tersamar dalam karya sastra.
Analisis konten adalah analisis yang memenuhi lima syarat, yaitu;a) teks diproses secara sistematis dengan menggunakan teori yang telah dirancang sebelumnya, b) teks yang ada dicarikan unit-unit analisisnya dan dikategorikan sesuai acuan teori, c) proses analisis harus mampu menyumbangkan pada pemahaman teori, d) proses analisis mendasarkan pada deskripsi, dan e) analisis dilakukan secara kualitatif. Dengan demikian, konten analisis dalam penelitian ini adalah melakukan analisis terhadap pesan atau amanat yang terkandung dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari.
I. Sistimatika Pembahasan
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyusunnya dalam beberapa bab dan subbab. Untuk memudahkan pemahaman, maka dibuat sistimatika pembahasan sebagai berikut:
Dalam bab pertama terlebih dahulu diuraikan pendahuluan yang memuat penegasan istilah, latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritik, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistimatika pembahasan.
Bab kedua berisi biografi Ahmad Tohari, karya-karya Ahmad Tohari dan karakteristik karya-karyanya, latar belakang lahirnya novel dan sinopsisnya.
Bab ketiga berisi tentang pendidikan akhlak, meliputi pengertian akhlak dan pendidikan akhlak, sumber pendidikan akhlak, tujuan pendidikan akhlak, materi pendidikan akhlak dan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari beserta metode yang digunakan dalam penyampaian nilai-nilai pendidikan akhlak dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air.
Bab keempat merupakan penutup yang berisi kesimpulan, saran-saran dan kata penutup.
BAB II
BIOGRAFI AHMAD TOHARI
DAN NOVEL LINGKAR TANAH LINGKAR AIR
A Biografi Ahmad Tohari
Ahmad Tohari dilahirkan di desa Tinggarjaya, kecamatan Jatilawang, Banyumas pada tanggal 13 Juni 1948 dari pasangan suami istri Muh Diryat, seorang pegawai KUA, anak keempat dari dua belas bersaudara. Latar belakang keluarganya termasuk keluarga berada, baik dilihat dari segi pendidikan maupun kedudukan. Ayahnya adalah seorang kepala KUA sekaligus ketua organisasi keagamaan ditingkat kecamatan, disamping mengasuh sebuah pesantren. Keluarganya termasuk keluarga taat beragama; ini terlihat dari kultur pesantren yang begitu melekat pada tiap anggota keluarganya.
Pendidikan Ahmad Tohari diawali di sebuah langgar di kampungnya, kemudian dilanjutkan di Sekolah Rakyat. SMP ia tamatkan di Purwokerto, demikian juga SMA-nya, tepatnya di SMAN II Purwokerto yang ia tamatkan pada tahun 1965. Adapun jenjang perguruan tinggi ia masuki setelah vakum dari dunia pendidikan selama hampir dua tahun. Pertama ia lanjutkan studi pada Universitas Ibnu Kholdun fakultas kedokteran, bertahan sampai pada tingkat tiga, kemudian pada Universitas Jendral Sudirman, fakultas Ekonomi (1974-1975), kemudian pada fakultas Ilmu Sosial dan Politik pada Universitas yang sama (1975-keluar dari perguruan tinggi, tahun 1976).
Pengalaman bekerjanya ia geluti lewat pergulatan keras dengan ibukota Jakarta, saat ia menjadi redaktur pada majalah Perbankan milik BNI 1946 pada tahun 1966-1967, kemudian majalah Keluarga di tahun 1979-1980 dan majalah Amanah. Pernah pula ia menjadi wartawan pada surat kabar Harian Merdeka. Selain di dunia jurnalis, Tohari juga sempat menggeluti dunia pertanian yang cukup berkesan baginya. Adapun kesibukannya saat ini selain menulis, menjadi narasumber dalam seminar-seminar, penceramah dalam instansi-instansi, juga menjadi salah satu pengasuh pondok pesantren.
Masa lajangnya ia lepas pada tahun1970 dengan memperistri seorang gadis, Syamsiyah yang bekerja menjadi guru SD di desanya. Dari hasil perkawinan dengan Syamsiyah ia dikaruniai lima orang anak; empat perempuan dan satu laki-laki.
Kondisi desa Tinggarjaya memiliki arti tersendiri bagi Ahmad Tohari, sehingga ia memilih tinggal di sana daripada tinggal di Jakarta yang hingar bingar. Di desa inilah bakat kepenulisannya diasah lewat pergulatan sosial, kondisi keagamaan dan saat berinteraksi dengan masyarakat pedesaan yang khas yang memberikan inspirasi untuk menorehkannya dalam novel-novel karyanya. Dan dengan karya inilah ia kini mampu menempati rumah yang sederhana dan nyaman di kampungnya.
Masa remaja Ahmad Tohari termasuk unik bila dilihat dari latar belakang keluarga yang berbasis pesantren. Pendidikan Ahmad Tohari kecil hingga remaja dan memasuki perguruan tinggi ia tempuh di lembaga pendidikan umum. Dan masa remaja bagi Ahmad Tohari adalah masa yang penuh makna, karena pada masa ini Ahmad Tohari mengalami pergolakan batin yang mendalam yang mengantarkannya dalam dunia pengarang.
B Latar Belakang dan Motivasi Menjadi Pengarang
Tidak terbersit sebelumnya dalam diri Ahmad Tohari untuk menjadi pengarang dan menggeluti dunia kepenulisan. Menjadi penulis bukanlah obsesinya, awal obsesinya adalah seorang dokter seperti yang pernah ia geluti pada saat ia kuliah fakultas kedokteran.
Bakat dan minat pada sastra sudah dimulai sejak usia dini, mulai dari kesukaannya mendengar dongeng dari kakek neneknya hingga kesukaannya membaca. Saat memasuki jenjang SMP kesukaannya membaca kian meningkat lebih-lebih pada novel klasik dan saat ia menginjak bangku SMA, novel-novel asing telah ia akrabi. Dan kegemaran lain yang mendukungnya adalah kebiasaannya menulis buku harian yang ia jadikan tempat menorehkan ide, gagasan, puisi, refleksi dan pelampiasan gejolak hatinya. Inilah yang kemudian mengantarkannya menjadi pengarang modern dalam khazanah sastra Indonesia.
Ahmad Tohari mengalami pergolakan jiwa yang berat, yang efeknya cukup besar pada dirinya setelah keluar dari fakultas Kedokteran. Sebagai wujud pelampiasannya, ia torehkan kegundahannya pada buku harian yang cukup intens diisinya. Dari naskah-naskah buku harian inilah ketika salah seorang temannya sempat membacanya, memberikan motivasi kepadanya untuk mengirimkannya pada salah satu surat kabar yang akhirnya mendapat respon dengan dimuatnya pada salah satu rubrik pada surat kabar tersebut. Hingga semangatnya untuk menulis dan mengirimkannya ke media massa semakin menggebu. Di sinilah obsesinya yang selama ini menjadi dokter berbelok menjadi seorang penulis.
Adapun aspek filosofis yang melatarbelakangi Ahmad Tohari dalam membuat karya adalah niat. Segala tulisan yang dihasilkan adalah bersumber dari niat, sebab bagi Ahmad Tohari niat adalah kunci; segala sesuatu tergantung dari niatnya. Niat dalam tiap karya yang dimunculkan adalah sebuah komitmen moral untuk menjadikan hidup lebih berbudaya, lebih agamis, lebih beretika dengan membumikan ajaran-ajaran Islam dalam perilaku sehari-hari, bukan sekedar verbal, namun benar-benar tercipta dalam perbuatan, yang wujudnya berpegang teguh pada ajaran agama dan berakhlakul karimah.
Hal lain yang membentuknya adalah pengalaman masa remaja. Saat usianya telah mampu untuk menilai, menganalisa dan merespon segala bentuk persoalan yang dihadapi, ia benturkan pada realitas yang berlainan.
Agama yang merupakan ajaran tentang cinta kasih, persaudaraan, perdamaian, kebaikan belum termanifestasikan dalam kehidupan riil; pembunuhan, pembantaian, penyelewengan, arogansi, intimidasi ternyata bisa ia “nikmati” dalam keseharian, ia bisa menyaksikannya dalam perilaku masyarakat, yang pada saat itu kondisi sosial politik dan agama sedang memanas.
Dari tempaan jiwa yang cukup dalam dan panjang inilah yang menjadi motivasi dan latar belakang kepengarangannya. Kadar kedalaman karya nampak dengan masih begitu banyaknya pembaca dalam novel-novelnya hingga saat ini.
C Karya-karya Ahmad Tohari dan Karakteristiknya
Ahmad Tohari adalah seorang penulis yang produktif dan rajin menulis di berbagai media cetak, baik yang berskala regional maupun nasional, baik yang berupa fiksi atau non fiksi. Karya fiksinya pada umumnya berupa cerpen, dan berupa novel. Berpuluh-puluh cerpen telah banyak dihasilkannya dan tersebar di beberapa media cetak. Beberapa cerpennya dihimpun dalam kumpulan cerpen yang berjudul “Senyum Karyamin” (Gramedia: 1989) yang berisi tiga belas cerpen. Ahmad Tohari yang telah dimuat di Harian Kompas (Jakarta), Minggu Ini (Semarang), Warta NU (Jakarta), Majalah Panji Masyarakat (Jakarta), dan Majalah Amanah (Jakarta) dalam rentang waktu 13 tahun (1976-1986).
Selain cerpen, Ahmad Tohari telah banyak menghasilkan beberapa novel, diantaranya yaitu novel-novel yang ber-nuansa “Geger Politik” 1965, Ronggeng Dukuh Paruk (Gramedia: 1982), Lintang Kemukus Dini Hari (Gramedia:1985), Jantera Bianglala (Gramedia:1986), Kubah (Pustaka Jaya, Gramedia:1995), (Hasta Prima: 1995). Selain itu pula lahir novel-novel yang ber-nuansa Korupsi, seperti Di Kaki Bukit Cibalak (Pustaka Jaya:1980, Gramedia:1994), Bekisar Merah (Gramedia:1993), Belantik ( Berkisar Merah II, Gramedia: 2001), orang-orang proyek (jendela: 2002).
Karya-karya Ahmad Tohari tergolong berkualitas. Hal ini terbukti dengan beberapa karyanya yang memperoleh penghargaan. Cerpen “Jasa-jasa Buat Sanwirya”, yang merupakan awal kepengarangan Ahmad Tohari, berhasil meraih hadiah dalam sayembara Kincir Emas radio Netherlands Wereldomroep tahun 1977, sedangkan novel “Dari Kaki Bukit Cibalak” yang ditulisnya tahun 1977, pernah memenangkan hadiah harapan dalam lomba penulisan fiksi yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta tahun 1979. Demikian pula novel “Kubah” dinyatakan sebagai karya fiksi terbaik oleh Yayasan Buku Utama tahun 1980, dan mendapat penghargaan dari Depdikbud tahun 1981. Sedangkan “Jantera Bianglala” yang merupakan novel ketiga dari trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk”, juga terpilih sebagai karya fiksi terbaik Yayasan Buku Utama tahun 1988 dan mendapat penghargaan dari Depdikbud tahun 1990.
Selain mendapat, novel-novel karya Ahmad Tohari juga mendapat tempat di hati masyarakat, terbukti dengan disajikannya trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” dalam bentuk cerita bersambung dalam Harian Kompas. “ Ronggeng Dukuh Paruk” juga telah dihadirkan dalam bentuk layar lebar yang berjudul “Darah dan Mahkota Ronggeng” produksi Garuda Film.
Novel-novel Ahmad Tohari juga mendapat tempat di hati masyarakat mancanegara selain masyarakat Indonesia sendiri, terbukti dengan adanya beberapa novel yang telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing, seperti Kubah, Lintang Kemukus Dini Hari, Jantera Bianglala dan Di Kaki Bukit Cibalak yang telah diterbitkan dalam bahasa Jepang, sedangkan novel “Ronggeng Dukuh Paruk” telah diterjemahkan ke dalam lima bahasa, yaitu bahasa Jepang, Belanda, Jerman, Inggris, dan yang baru-baru ini adalah bahasa Cina.
Selain itu banyak juga mahasiswa-mahasiswa asing (disamping mahasiswa Indonesia sendiri) yang melakukan studi atau penelitian terhadap novel-novel Ahmad Tohari dalam rangka menyelesaikan studi mereka, baik berupa skripsi, tesis dan desertasi maupun penelitian untuk dipublikasikan kepada masyarakat umum.
Antara sastra dan agama tidaklah bertolak belakang, keduanya tidak bisa disamakan, akan tetapi keduanya bisa dihubungkan satu sama lain. Sastra yang merupakan wujud estetika bisa dijadikan mediator dalam penyampaian nilai-nilai keagamaan dan pendidikan. Maka lewat kedalaman estetika pembaca diajak untuk menyelami perenungan nilai-nilai keagamaan pada sebuah karya sastra yang salah satu genrenya adalah novel.
Ahmad Tohari dalam menjadikan novel sebagai media untuk menuangkan ide, gagasan, refleksi baik keagamaan maupun sosial selalu berpegang teguh pada ajaran-ajaran Islam yang didasarkan pada Al Qur’an dan Al Hadits. Dengan mengambil pesan moral yang terkandung di dalamnya tanpa mengutip atau menyebutkan ayat-ayat atau hadits secara formal. Sebab baginya novel adalah suatu pesan estetika dengan karakter sendiri, novel bukanlah kumpulan khutbah dan ceramah yang memberikan dalil-dalil hitam putih. Maka kecenderungan nilai keagamaan di dalam novel-novel Tohari adalah keberagaman yang bersifat kultural, membingkai ajaran Islam dalam bentuk Universal yang bisa diterima oleh siapa saja.
Ajaran ketauhidan, syari’ah, akhlak, mu’amalah adalah esensi ajaran Islam, menampilkannya dalam wujud yang estetis, tidak menghakimi dan bercorak kultural akan mudah diserap pembaca yang kompleks, siapapun dan apapun basis keagamaannya.
Karakter lain dari karya-karya Ahmad Tohari adalah kekayaan akan ilustrasi alam, lebih-lebih alam pedesaan. Hal-hal yang sepele dan tak pernah dicerna oleh pikiran, dalam novel Ahmad Tohari akan dijumpai dalam sebuah frase, ungkapan, alur dan bingkai yang memikat, indah dan mengagumkan; sebuah pemahaman Illahiyat dalam corak lain, demikian Tohari mengatakan. Atau cermin hikmah tidak hanya tertuang dalam agama dalam bentuk formalnya namun alam sekitar yang paling sederhana pun mampu menawarkan bukti kebesaran Tuhan.
Kemudian pembelaan terhadap orang-orang kecil yang tertindas, orang-orang lemah begitu nampak pada karya Ahmad Tohari. Sebagai wujud komitmen upaya menegakkan keadilan, lewat para tokoh yang tertindas bisa dibaca bahwa keadilan haruslah ditegakkan dan mereka yang tertindas haruslah dibela dan dikasihani serta diberikan solusi untuk mencapai kebahagiaan.
D Corak Pendidikan dalam Novel-novel Ahmad Tohari
Dalam hubungannya dengan sastra dan agama, sebuah sastra bisa dikatakan baik dan dapat dipertahankan nilainya jika penyajian ide atau wawasan keagamaannya itu tidak berbau propaganda yang vulgar dan bersifat menggurui. Ide-ide keagamaan sampai pada pembaca secara simpatik tanpa mengurangi kemerdekaannya secara pribadi. Dapat dikatakan ide-ide keagamaan itu terserap secara implisit, tidak langsung, terbungkus oleh selera kepuitisan ungkapan pengarangnya, tidak mengandung prasangka yang sering kali menumbuhsuburkan fanatisme agama dalam pikiran pembaca. Di luar kesadarannya pembaca terbawa oleh arus ideologis karya sastra itu yang mungkin membawanya ke alam perenungan metafisis.
Ahmad Tohari menjadikan novel sebagai media untuk menorehkan gagasan atau ide-idenya termasuk di dalamnya ide-ide keagamaan. Ide-ide keagamaan disampaikan Ahmad Tohari secara implisit, tidak vulgar dan tidak berbau propaganda agama. Di dalam menuangkan ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al Qur’an dan AL Hadits, Ahmad Tohari tidak pernah menyebutkan kata-kata Islam. Dia sadar bahwa novel tetaplah novel bukan kumpulan khotbah dan novel adalah sastra. Sastra harus menembus hati siapapun, bahkan orang-orang yang sengaja disinggungnya. Seandainya nilai-nilai pendidikan itu disampaikan secara vulgar, mungkin masyarakat yang disoroti akan merasa tersinggung dan tidak mau membaca novel. Itu berarti tujuannya tidak berhasil.
Sebagai seorang santri Ahmad Tohari menawarkan kadar kesantriannya pada karya yang dihasilkannya. Dia menjadikan ajaran Islam Islam sebagai pemecah persoalan yang dapat mengatasi problema kehidupan baik yang bersifat horisontal (dalam hubungannya dengan sesama manusia dan lingkungan alam sekitarnya) maupun vertikal (dalam hubungannya dengan Tuhan).
E Latar Belakang Lahirnya Novel Lingkar Tanah Lingkar Air
Seperti novel-novel Ahmad Tohari yang lain, novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini berisi tentang kehidupan rakyat yang tertindas. Novel ini pada dasarnya adalah kisah nyata yang difiksikan; artinya kisah yang ada dalam novel ini memang benar-benar terjadi, walaupun dalam penulisannya ada pengembangan-pengembangan sesuai dengan ciri khas kepengarangan Ahmad Tohari. Novel Lingkar Tanah Lingkar Air merupakan kisah hasil wawancara langsung yang dilakukan Ahmad Tohari dengan salah seorang bekas anggota laskar DI/TII yang masih hidup. Dalam wawancara tersebut Ahmad Tohari menemukan hal-hal yang menurutnya sangat menarik untuk diungkapkan dalam karyanya, diantaranya adalah bagaimana susahnya kehidupan bekas anggota laskar DI/TII yang menjadi buronan pemerintah serta dimusuhi masyarakat karena dianggap sebagai pengacau. Kehidupan yang serba susah dimana anak dan istri mereka juga harus menanggung derita, walaupun sebenarnya anak dan istri mereka hanyalah korban keadaan.
Disamping merupakan hasil wawancara langsung Ahmad Tohari dengan bekas laskar DI/TII, novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini juga lahir dari adanya keinginan Ahmad Tohari untuk menghilangkan dikotomi antara bernegara dan beragama. Novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini merupakan ide besar Ahmad Tohari tentang upaya pengkutuban antara beragama dan bernegara. Pemahaman bahwa antara beragama dan bernegara merupakan hal yang berbeda sangat disayangkan oleh Ahmad Tohari mengingat bahwa pada dasarnya bernegara merupakan salah satu wujud rasa keberagamaan yang dimiliki seseorang. Hai ini terungkap dalam diri Kiai Ngumar, dimana Kiai Ngumar merupakan orang yang mengikuti paham inklusif.
Disamping itu Ahmad Tohari juga ingin menyampaikan bahwa pada dasarnya kita harus menerima keberadaan orang yang tidak se-iman dengan kita. Dalam bermasyarakat, kita hendaknya sadar bahwa Allah SWT menciptakan makhluk-Nya dalam keadaan yang berbeda antara satu dengan lainnya, termasuk dalam hal beriman kepada Tuhan. Akan tetapi sebagai makhluk Allah SWT terutama sebagai orang muslim kita hendaknya paham bagaimana sikap kita atau etika kita terhadap orang yang tidak se-iman dengan kita.
Hal-hal di atas itulah yang mendorong lahirnya novel Lingkar Tanah Lingkar Air.
F Sinopsis Novel Lingkar Tanah Lingkar Air.
Amid adalah seorang laskar Hizbullah. Amid bersama dengan dua orang temannya, Jun dan Kiram membentuk suatu gerakan yang disebut gerakan Hizbullah yang dipimpin oleh Kang Suyud. Gerakan yang diikuti oleh beberapa pemuda kampung itu dibentuk dengan tujuan melaksanakan kewajiban jihad, yaitu bela tanah air memerangi penjajah Belanda. Gerakan ini hanya berbekal senjata seadanya yang dirampas dari pasukan Belanda yang mereka temui dijalan.
Sebelum gerakan Hizbullah terbentuk, mereka pernah diminta membantu tentara Republik untuk mengadakan serangan terhadap tentara penjajah Belanda. Pada peristiwa inilah, untuk pertama kalinya Kiram mendapatkan senjata hasil rampasannya dari seorang tentara Belanda. Dengan bekal sebuah senapan ini, Kiram dan kawan-kawannya sepakat membentuk gerakan Hizbullah atas anjuran Kiai Ngumar, seorang kiai mantan tokoh SI yang menjadi guru Amid dan kawan-kawannya. Kiai Ngumar inilah yang banyak memberikan wejangan kepada Amid dan teman-temannya, mengenai banyak hal tentang ajaran Islam dan kehidupan.
Setelah Indonesia merdeka, gerakan Hizbullah menjadi bubar anggotanya. Sebagian besar angotanya kemudian lari pada gerakan DI, termasuk Kang Suyud, Amid, Kiram, Jun dan Kang Jalal, walaupun pada awalnya Amid ragu-ragu untuk masuk dalam gerakan ini. Akan tetapi, karena rasa setia kawan yang melekat pada dirinya, ia tidak au dikucilkan oleh teman-temannya dan ikut dalam gerakan ini.
Sikap ragu-ragu Amid terhadap gerakan yang bernama DI ini muncul kembali ketika ia dan kawan-kawannya menyerang seorang kolonel, tentara Republik. Pada saat itu sikap keragu-raguan Amid muncul karena didorong dengan adanya fakta bahwa ternyata kolonel yang termasuk anggota tentara Republik itu membawa tasbih dan Al Qur’an kecil yang menandakan bahwa tentara itu adalah se-iman dengan mereka. Amid berfikir bahwa sebenarnya kolonel itu adalah saudaranya sesama muslim, jadi tidak layak untuk dibunuh.
Begitu juga dengan kematian yang dialami oleh keluarga pencuri balok kayu jati yang mati bersama seluruh keluarganya, yang mati diserbu oleh tentara Republik. Padahal, sebenarnya tujuan penyerbuan adalah Amid dan kawan-kawannya. Akan tetapi para pencuri balok kayu jati itu diduga bekerja sama dengan Amid dan kawan-kawannya, maka mereka beserta seluruh keluarganya menjadi korban. Karena itulah, keraguan Amid terhadap gerakan DI menguat kembali, akan tetapi ia tidak berani keluar dari gerakan ini karena takut dianggap murtad, dan orang yang murtad adalah musuh yang harus dibunuh (bagi anggota DI).
Dengan masuknya Amid dan kawan-kawannya di gerakan DI yang bertujuan untuk mendirikan negara Islam, maka otomatis Amid dan anggota DI yang lain menjadi musuh pemerintah yang harus ditumpas. Akhirnya Amid dan kawan-kawannya menjadi buronan aparat keamanan, yang hidup terlunta-lunta dari satu tempat persembunyian menuju ke tempat persembunyian berikutnya. Keadaan yang seperti ini melibatkan Umi, istri Amid, yang sangat tabah dan setia terhadap suaminya. Keadaan yang demikian, menurut Amid terjadi karena ketidakpatuhan Amid dan kawan-kawan terhadap anjuran Kiai Ngumar agar mereka bergabung dengan tetara Republik.
Akhirnya, setelah sekian lama menderita dan mengalami peristiwa-peristiwa yang membahayakan jiwa mereka, mereka diterima kembali menjadi anggota masyarakat, yang tidak lagi dicaci dan ditakuti oleh warga masyarakat. Apalagi setelah mereka membantu tentara Republik menumpas pengkhianat komunis yang terkenal dengan GS. Akhirnya mereka memperoleh tempat di hati masyarakat kembali, walaupun harus diakhiri dengan syahidnya Amid. Syahidnya Amid sebagai tentara yang menumpas pengacau yang berbuat kerusakan, mengakhiri kisah novel Lingkar Tanah Lingkar Air.
BAB III
PESAN NOVEL LINGKAR TANAH LINGKAR AIR KARYA AHMAD TOHARI DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN AKHLAK,
DAN METODE PENYAMPAIANNYA
B Novel sebagai Genre Karya Sastra serta Fungsinya dalam Pendidikan Islam, Khususnya Pendidikan Akhlak
Novel berasal dari bahasa Itali novella, yang secara harfiah berarti sebuah barang baru yang kecil dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. Pada perkembangan selanjutnya, istilah novella dan novella mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelette yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.
Novel atau juga biasa disebut karya fiksi merupakan salah satu genre sastra disamping genre-genre sastra yang lain. Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan atau cerita khayalan. Hal ini disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa karya fiksi menyaran pada suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada yang terjadi sungguh-sungguh sehingga ia tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata.
Fiksi merupakan sebuah karya imajiner; fiksi menawarkan berbagai masalah manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya. Oleh karena itu, fiksi menurut Altenbernd dan Lewis, dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia. Pengarang mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan yang dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia. Jadi, fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan yang diwujudkan dalam sebuah cerita.
Oleh karena itu, fiksi merupakan sebuah cerita yang mengandung tujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca disamping adanya tujuan estetik. Membaca sebuah karya fiksi berarti menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Betapapun saratnya pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah karya fiksi haruslah tetap merupakan sebuah cerita yang menarik, tetap merupakan bangunan struktur yang koheren dan tetap mempunyai tujuan yang estetik. Daya tarik inilah yang pertama-tama akan memotivasi orang untuk membacanya. Hal itu disebabkan pada dasarnya setiap orang senang cerita, apalagi yang sensasional, baik yang diperoleh dengan cara melihat maupun mendengarkan. Melalui sarana cerita itu, pembaca secara tidak langsung dapat belajar merasakan dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang secara sengaja ditawarkan pengarang. Hal itu disebabkan, cerita fiksi tersebut akan mendorong pembaca untuk ikut merenungkan masalah hidup dan kehidupan. Oleh karena itu, cerita fiksi atau kesastraan pada umumnya sering dianggap dapat menjadikan manusia lebih arif atau dapat dikatakan sebagai “memanusiakan manusia”.
Novel sebagai sebuah karya fiksi, menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain, yang kesemuanya tentu saja juga bersifat imajinatif. Kesemuanya itu, walau bersifat noneksistensial, karena dengan sengaja dikreasikan oleh pengarang, dibuat mirip, diimitasikan dan atau dianalogikan dengan dunia nyata lengkap dengan peristiwa-peristiwa dan latar aktualnya (sehingga tampak seperti sungguh ada dan terjadi) terlihat berjalan dengan sistem koherensinya sendiri.
Dunia fiksi jauh lebih banyak mengandung berbagai kemungkinan daripada yang ada di dunia nyata. Hal itu wajar saja terjadi mengingat betapa kreativitas pengarang dapat bersifat “tidak terbatas”, artinya pengarang dapat mengkoreksi, memanipulasi dan menyiasati berbagai permasalahan kehidupan yang dialami (baik secara nyata maupun tidak nyata) dan diamatinya menjadi berbagai kemungkinan kebenaran yang bersifat hakiki dan universal dalam karya fiksinya . Pengarang dapat mengemukakan sesuatu yang hanya mungkin terjadi, dapat terjadi, walau secara faktual tidak pernah terjadi. Itulah sebabnya Aristoteles mengatakan bahwa sastra lebih tinggi dan filosofis daripada sejarah. Sejarah hanya mengemukakan peristiwa yang pernah terjadi, terikat dan terbatas pada fakta, sedangkan sastra dapat mengemukakan hal-hal yang mungkin terjadi, hal-hal yang bersifat hakiki dan universal. Sastra mengemukakan berbagai peristiwa yang masuk akal dan harus terjadi berdasarkan tuntutan konsistensi dan logika cerita.
Wellek dan Warren mengemukakan bahwa realitas dalam karya fiksi merupakan ilusi kenyataan dan kesan yang meyakinkan, yang ditampilkan, namun tidak selalu merupakan kenyataan sehari-hari. Sarana untuk menciptakan ilusi yang dipergunakan untuk memikat pembaca agar mau memasuki situasi yang tidak mungkin atau luar biasa adalah dengan cara patuh pada detail-detail kenyataan sehari-hari. Kebenaran situasional tersebut merupakan kebenaran yang lebih dalam daripada sekedar kepatuhan kepada kenyataan sehari-hari itu. Terhadap realitas kehidupan, karya fiksi akan membuat distansi estetis, membentuk dan membuat artikulasi. Dengan cara itu, ia mengubah hal-hal yang terasa pahit dan sakit jika dialami dan dirasakan pada dunia nyata, namun menjadi menyenangkan untuk direnungkan dalam karya sastra.
Sastra merupakan sebuah cermin atau gambaran kenyataan. Keberadaan sastra sebagai dunia fiksi merupakan suatu dunia lain yang berdiri disamping kenyataan, akan tetapi dilihat dari berbagai aspek menunjukkan persamaan dengan kenyataan. Sekalipun seorang pengarang melampiaskan daya khayalnya dengan menciptakan makhluk-makhluk yang tidak ada, yang hidup dalam suatu lingkungan khayalan, namun tetap ada kaitan-kaitan antara tokoh-tokoh dan perbuatan mereka, yang dapat dimengerti oleh pembaca dan dapat diterima berdasarkan pengertiannya mengenai dunia nyata. Tidak benar bahwa sebuah teks fiksi menciptakan suatu dunia yang serba baru. Ini bahkan mustahil, karena andai kata dunia itu serba baru, ini berarti bahwa teksnya tidak dapat dimengerti. Dunia yang diciptakan pengarang oleh pembaca selalu dialami berdasarkan pengetahuannya tentang dunia nyata, termasuk pengetahuannya tentang tradisi sastra. Kadang-kadang dunia ciptaan itu mirip dengan kenyataan (novel yang realistik atau otobiografik), kadang-kadang menyimpang jauh (science fiction dan dongeng).
Sebuah teks fiksi tidak melukiskan kenyataan, tetapi menampilkan segala macam hubungan dan kaitan yang kita kenal kembali, berdasarkan pengalaman kita sendiri mengenai kenyataan. Fiksi walau benar bersifat meniru dan mencerminkan realitas kehidupan (paling tidak dalam hal model), sekaligus akan mengandung dan berupa penciptaan dan kreativitas pengarang. Antara peniruan dan kreativitas, realitas dan rekaan, telah menyatu dalam sebuah karya dan tak mungkin dipisahkan tanpa kehilangan hakikat dan makna karya itu sebagai suatu karya sastra yang padu dan koherensif.
Sebuah karya yang hanya mengemukakan hal-hal yang benar-benar terjadi secara apa adanya akan ditolak untuk disebut sebagai sebuah novel, melainkan mungkin sebuah laporan, misalnya laporan perjalanan. Sebaliknya, sebuah karya (fiksi), yang secara mutlak berisi peristiwa-peristiwa imajinatif yang sama sekali tidak mencerminkan realitas kehidupan, ia akan sulit atau bahkan tak dapat dipahami. Kita dapat memahami dunia imajiner berdasarkan gambaran dan pengetahuan dari dunia realitas. Sebaliknya, gambaran dan pengetahuan terhadap dunia realitas dapat kita peroleh melalui kemampuan imajinasi. Pemahaman terhadap yang satu tak mungkin dilakukan tanpa intervensi yang lain.
Akan tetapi, haruslah disadari bahwa dalam karya fiksi adanya kemiripan dengan kenyataan bukan merupakan tujuan, melainkan hanya sarana untuk menyampaikan sesuatu kepada pembaca yang lebih dari kenyataan itu sendiri. Pengarang memberi makna kehidupan, mengajak kita untuk merenungkan hakikat kehidupan, melalui kenyataaan yang sengaja dicipta dan dikreasikannya, namun tetap berada dalam rangka konvensi (bahasa, sosio-budaya, sastra) yang tersedia agar ciptaannya itu dapat dipahami oleh pembaca.
Sebuah novel kadang-kadang tak hanya mencerminkan realitas, melainkan mengandung unsur kebenaran sejarah, seperti karya Kubah, Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Bawuk, Para Priyayi, yang berisi peristiwa pemberontakan PKI 1965, dan lain sebagainya. Namun, jika bermaksud mengambil data dan informasi sejarah (factual) dalam karya fiksi kita harus sangat hati-hati. Novel sebagai penyedia fakta sejarah dipandang orang kurang dapat dipertanggungjawabkan. Hal itu disebabkan disamping tersedia fakta-fakta empirik lain yang lebih sahih, kita tak tahu secara persis kapan pengarang mulai menunjuk fakta sejarah, kapan berakhir dan kapan mulai dengan yang benar-benar rekaan lain halnya dengan cerita lama yang justru sering dijadikan sumber informasi sejarah karena kelangkaan informasi yang lain.
Novel yang menunjuk pada adanya kebenaran sejarah, sebenarnya justru semakin memperjelas rekaannya. Sebab, bahwa hal-hal yang dikaitkan dengan kebenaran itu tak pernah ada dan terjadi; ia dapat dibuktikan. Misalnya, jika ada seorang tokoh cerita berhubungan dengan tokoh sejarah, keadaan itu jelas tidak mungkin karena ia hanya tokoh fiktif yang tak pernah ada. Sebuah novel mungkin menyebut situasi dan fakta yang memang ada kebenarannya, namun kita tidak perlu mengecek kebenarannya sesuai dengan kenyataan, karena hal itu tak ada gunanya. Andai kata ia kita cek juga dan ternyata sesuai dengan kenyataan, hal itu pun tak akan menambah kadar kredibilitas (keberhasilan) novel yang bersangkutan. Kredibilitas sebuah novel sebagai karya seni, tidak ditentukan oleh adanya kesesuaiannya dengan dunia realitas, melainkan lebih ditentukan oleh koherensi unsur-unsur intrinsiknya. Kebenaran dalam sastra bukan menunjuk pada kebenaran kenyataan sehari-hari, melainkan lebih merupakan kebenaran situasional.
Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu. Pengarang menggubah karyanya selaku seorang warga masyarakat dan menyapa pembaca yang sama-sama dengan dia merupakan warga masyarakat tersebut. Ia dihargai atau kurang dihargai oleh para pembaca yang dipengaruhi atau kurang dipengaruhi oleh sang pengarang.
Karl Mark seorang tokoh Marxisme berpendapat bahwa sastra sama dengan gejala-gejala kebudayaan lainnya, mencerminkan hubungan ekonomi ; sebuah karya sastra hanya dapat dimengerti kalau itu dikaitkan dengan hubungan-hubungan tersebut. Dari karangan-karangannya nampak bahwa Mark menghargai sebuah lukisan mengenai kenyataan masyarakat di dalam sastra yang sesuai dengan contohnya, namun ia juga tidak buta terhadap nilai-nilai sastra. Ia menolak pandangan deterministik yang sempit, seolah-olah perubahan dalam bangunan atas langsung diakibatkan oleh perubahan dalam bangunan bawah. Menurut Mark, kadang-kadang hubungan antara produksi di satu pihak dan produksi artistik di lain pihak, tidak seimbang.
Lenin, seorang tokoh yang dapat dipandang sebagai peletak dasar bagi kritik sastra Marxisme, menulis lebih banyak daripada Mark tentang masalah-masalah teoritis yang berkaitan dengan sastra dan mengembangkan suatu visi yang jelas tentang sastra. Ia berpendapat bahwa sastra merupakan suatu sarana penting dalam perjuangan proletariat melawan kapitalisme. Dari Mark, Lenin meminjam pandangan bahwa sastra terikat pada kelas-kelas yang ada di dalam masyarakat, bahwa sastra mencerminkan kenyataan sebagai ungkapan pertentangan kelas. Akan tetapi sastra tidak hanya mencerminkan kenyataan; sastra dapat dan harus turut membangun masyarakat. Lenin, terutama dipengaruhi oleh kritisi Rusia, Tsjernysjevski (1828-1889) yang menempatkan sastra di bawah perubahan-perubahan yang harus terjadi di dalam masyarakat, berpendapat bahwa sastra harus berperan sebagai guru, harus menjalankan fungsi didaktik. Sastra hendaknya tidak hanya membuka mata orang bagi kekurangan-kekurangan di dalam tata masyarakat, tetapi juga menunjukkan jalan keluar.
Dalam sebuah karangan yang berjudul Organisasi Partai dan Sastra Partai (1905), Lenin mengemukakan pengertian mengenai ikatan partai yang menetapkan tiga syarat bagi sastra: (1) sastra harus mempunyai suatu fungsi sosial; (2) sastra harus mengabdi pada masyarakat banyak; (3) sastra harus merupakan suatu bagian dalam kegiatan partai komunis. Dengan demikian, sastra dijadikan suatu bagian dalam mekanisme sosial-demokrasi yang digerakkan oleh gugus depan segenap kelas pekerja yang sadar akan politik; sebuah unsur organik dan sebuah senjata ampuh di dalam perjuangan sosialistik.
Bertolt Brecht, seorang pengarang drama Jerman (awal abad 20) berpendapat bahwa seorang pengarang tidak dapat bersifat netral, ia harus memperjuangkan kepentingan kaum buruh. Keadaan masyarakat telah berubah secara mendalam dan menuntut bentuk-bentuk kesenian yang lain yang serasi dengan perkembangan masyarakat. Menurut Brecht seni harus bertujuan untuk mengubah masyarakat. Dalam karya-karya pentasnya Brecht melawan teater tradisional yang hanya menyajikan sebuah ilusi, yang melapisi kenyataan dengan gula manis. Karya Brecht bercirikan efek pengasingan, memperlihatkan pertentangan-pertentangan yang menyangkut masalah pokok. Akhir ceritanya sering terbuka; artinya penonton dipersilakan memilih pemecahan sendiri. Para pelaku dengan sengaja memperlihatkan bahwa mereka hanya main sandiwara saja, sehingga identifikasi dipersukar, baik penonton maupun pelaku tidak demikian saja mempersatukan pelaku dengan perannya. Teks pentas diselingi dengan film dan nyanyian, sehingga para penonton dirangsang untuk merenungkan secara aktif dan kritis situasi masyarakat.
Fungsi kesenian (sastra )dalam masyarakat bisa bergeser dari zaman ke zaman. Pada zaman modern, seni bagi Weber bersaing dengan agama sebagai nilai tertinggi yang lain yang bersifat antitesis terhadap nilai-nilai dalam masyarakat. Nilai-nilai itu meliputi penebusan dari rutinitas kehidupan sehari-hari dan dari tekanan realisme teoritis dan praktis. Dengan kata lain, secara lebih positif seni dapat dikatakan mewujudkan seperangkat nilai-nilai yang mempunyai koherensi dan kualitas sebagai kepercayaan. Nilai-nilai itu meliputi pentingnya sifat kualitatif pengalaman di hadapan sifat kuantitatif dan mekanik ilmu pengetahuan dan teknologi, rasa keseluruhan keberadaan di hadapan fragmentasi dan spesialisasi peranan-peranan rasa komunitas di hadapan personalitas hubungan-hubungan kontrak, proses-proses birokratik. Pendek kata, nilai-nilai itu mengidentifikasikan suatu sub-kultur atau bahkan kontra-kultur.
Menurut Albercht (1970), fungsi institusional seni memenuhi tidak hanya satu melainkan banyak kebutuhan dasar baik secara sosiologis maupun psikologis. Sebagai suatu lembaga, seni mempunyai multiplisitas fungsi-fungsi dalam masyarakat, tidak hanya fungsi pembentuk stabilitas masyarakat dan pemerkaya kebudayaan, melainkan juga mempresentasikan sekuler bagi agama, mengembangkan dan menyebarkan nilai-nilai yang bersifat alternatif bagi nilai-nilai yang sedang berlangsung/berlaku, nilai-nilai yang amat penting bagi perubahan sosial.
Dalam kenyataannya, sastra sangat berguna bagi kehidupan manusia, sangat berguna bagi kehidupan suatu bangsa. Norman Podhoretz mengatakan bahwa sastra dapat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap cara berpikir seseorang mengenai hidup, mengenai baik buruk, mengenai benar salah, mengenai cara hidup sendiri serta bangsanya. Sastra merangsang kita untuk lebih memahami, menghayati kehidupan; sastra bukan merumuskan dan mengabstraksikan kehidupan kepada kita, tetapi menampilkannya. Pendek kata, lewat sastra kita dapat meluaskan dimensi kehidupan dengan pengalaman-pengalaman baru sehingga kehidupan kita pun menjadi lebih “kaya”. Semua karya sastra yang baik tentu relevan bagi masyarakat beserta masalahnya, hanya saja relevansi ini muncul secara tidak langsung.
Seorang penyair Indonesia terkemuka, Gunawan Muhammad pernah mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang sedang berkembang memang dapat hidup tanpa sastra apapun. Menurutnya, para pengarang memang sering membesar-besarkan apakah sastra ada kegunaannya atau tidak, tetapi tetap mengakui bahwa sastra itu penting. Pernyataan Gunawan itu sebenarnya identik bahwa sastra tidak bisa lepas sama sekali dari kehidupan kita, dalam artian bahwa sastra memang bisa “memperkaya” kehidupan rohaniah kita. Podhoretz juga menerangkan bahwa orang dapat hidup tanpa sastra, dan itu tidak hanya di Indonesia saja tetapi juga di mana saja. Hanya saja soalnya apakah mereka dapat hidup dengan baik tanpa sastra. Hidup tanpa sastra berarti sampai batas tertentu hidup tanpa kesadaran. Untuk sebagian orang ini mungkin lebih menyenangkan, tetapi juga lebih memiskinkan hidup, menjadikan hidup kurang “kaya”. Bahkan Mukti Ali, lebih menandaskan bahwa hidup tanpa seni adalah kasar; dan sastra merupakan salah satu cabang kesenian.
Pada kenyataannya sastra dalam masyarakat dipergunakan dalam berbagai cara. Menurut Bradburry, ada yang mempergunakannya untuk pendidikan, ada yang mempergunakannya untuk pelarian, ada yang untuk mendapat keterangan tentang dunia luas ini dan ada yang membaca sastra karena sastra mengandung dan menghargai nilai-nilai.
Salah satu masalah yang dihadapi dalam usaha pembangunan bangsa Indonesia dewasa ini adalah pembinaan mental. Yang dimaksud adalah usaha peningkatan kesanggupan rohaniah untuk menghayati segala segi kehidupan dan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat dengan tujuan mencapai kebahagiaan hidup yang sebesar-besarnya. Salah satu jalan yang dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan pembinaan mental itu adalah penghayatan sastra. Sastra memberikan pengertian yang dalam tentang manusia dan memberikan interpretasi terhadap peristiwa-peristiwa dalam kehidupan.
Jika mau jujur dan mau melihat kenyataan, sebenarnya semakin jelas bahwa yang mengembangkan ilmu dan yang memberikan dimensi serta bobot kepada ilmu, terutama adalah di bidang-bidang humaniora dan sosial. Dunia sekarang, sebagai kelanjutan dari revolusi teknologi, justru haus akan dimensi-dimensi baru dalam bidang humaniora. Sastra merupakan bagian dari bidang humaniora dan sosial.
Masyarakat yang sedang membangun atau bahkan masyarakat yang sudah maju sekalipun, senantiasa menuntut berbagai macam kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan yang dituntut pada hakekatnya didasarkan pada dua jenis perkembangan, yaitu perkembangan individu dan perkembangan kelompok. Dalam kaitannya dengan masalah tersebut itulah pendidikan memegang peranan penting.
Tujuan pendidikan secara umum dapat dirumuskan secara sederhana, yaitu membentuk dan memajukan individu menjadi a fully functioning person , seorang manusia yang purnawan yang memiliki unsur-unsur hakiki yang seimbang. Unsur-unsur hakiki manusia ini meliputi cipta, rasa dan karsa (domain kognitif, afektif dan psikomotorik) sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk Tuhan. Dari sisi ini jelas bahwa sastra dapat dimanfaatkan dalam pendidikan; sastra senantiasa sarat oleh permasalahan manusia, dihasilkan oleh manusia dan dimanfaatkan bagi pemenuhan tujuan manusia yaitu lewat pendidikan.
Karya sastra pada dasarnya merupakan hasil penafsiran kehidupan pengarangnya. Menulis karya sastra bagi pengarang adalah menafsirkan kehidupannya sendiri. . Sastra merupakan pengungkapan baku dari apa yang telah dirasakan orang dalam kehidupan, apa yang telah direnungkan dan dirasakan orang mengenai segi-segi yang paling menarik minat secara langsung dan kuat. Dapat dikatakan kehadiran karya sastra dalam arti kelahirannya, memang manusiawi, artinya sesuai dengan dorongan-dorongan kemanusiaan; sebab hakekatnya manusia berkeinginan untuk mengungkapkan diri, untuk menaruh minat pada realitas yang melingkupinya, pada angan-angan yang dibayangkan sebagai realitas.
Berdasarkan hal tersebut, dapat diambil pengertian bahwa sastra merupakan produk masyarakat. Ia berada di tengah masyarakat karena dibentuk oleh anggota-anggota masyarakat berdasarkan desakan-desakan emosional dan rasional masyarakatnya. Sastra memang diciptakan oleh senimannya sebagai sesuatu yang diperuntukkan kepada orang lain, disamping untuk dirinya sendiri. Oleh karena itu, sebuah karya baru menjadi “sastra” setelah dimasyarakatkan.
Sebagai sebuah produk, karya sastra pada hakekatnya sama dengan produk-produk ciptaan manusia yang lain. Ia hanyalah hasil karya kreatif seorang pengarang. Namun tidak seperti biasa, ia memiliki keberadaan yang khas dan itu tidak dijumpai pada karya yang lain. Ia menyimpan titipan pesan pengarangnya yang disisipkan lewat indahnya kata-kata. Seringkali pesan itu ditujukan kepada pembacanya, tetapi mungkin juga untuk diri pengarangnya sendiri. Mungkin isi pesan itu jelas tersurat, mungkin juga hanya tersirat samar. Mungkin pesan itu sangat sederhana, mungkin juga terlalu filosofis atau sufistik, sehingga sering susah untuk ditangkap.
Pada hakekatnya, sastra merupakan ungkapan dan sekaligus pengabadian pengalaman pengarangnya. Dengan karyanya itu, seorang pengarang bermaksud agar masyarakat pembacanya dapat pula merasakan apa yang dialaminya tersebut, karena menurut persepsinya apa yang dialaminya itu memiliki nilai-nilai yang amat berguna bagi kehidupan manusia pada umumnya. Dengan demikian jelas kegiatan yang paling cocok untuk dapat merasakan ungkapan pengarangnya tidak lain kecuali dengan membaca karya sastra yang bersangkutan.
Dalam sebuah novel atau karya fiksi, kita tak hanya menemukan satu nilai saja, tetapi bermacam-macam nilai yang akan disampaikan oleh pengarangnya seperti halnya isi karya sastra akan sangat tergantung kepada pengarangnya, baik itu latar belakang pendidikan, pengalaman, pengetahuan ataupun keyakinannya. Sebuah novel menawarkan model kehidupan yang mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku para tokoh sesuai dengan pandangan pengarang. Dan melalui cerita, sikap dan tingkah laku para tokohnya itu, pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan yang disampaikan. Sehingga jika latar belakang seorang pengarang itu dari pendidikan atau keyakinan keagamaan tertentu, maka sudah sepantasnya jika ia pun berusaha memasukkan pengetahuan dan pengalamannya itu ke dalam karya yang ia ciptakan.
Sebagai sebuah karya imajiner, novel menawarkan pesan moral yang bersifat universal dan biasanya akan diterima secara universal pula. Pesan moral sastra lebih memberat pada sifat kodrati manusia yang hakiki, bukan pada aturan-aturan yang dibuat, ditentukan dan dihakimi oleh manusia.
Moral, sebagaimana halnya tema merupakan unsur isi karya sastra. Moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan lewat cerita. Secara umum, moral menyaran pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya. Moral juga biasa dikenal dengan istilah akhlak, budi pekerti dan susila. Pengertian baik buruk dalam hal-hal tertentu bersifat relatif. Artinya suatu hal yang dipandang baik oleh yang satu atau bangsa pada umumnya, belum tentu sama bagi orang lain atau bangsa yang lain. Pandangan seseorang tentang moral, nilai-nilai dan kecenderungan-kecenderungan, biasanya dipengaruhi oleh pandangan hidup, way of life, bangsanya.
Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembacanya. Moral dalam cerita menurut Kenny, biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Ia merupakan “petunjuk” yang diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan seperti sikap, tingkah laku dan sopan santun pergaulan. Ia bersifat praktis, sebab “petunjuk” itu dapat ditampilkan atau ditemukan modelnya dalam kehidupan nyata sebagaimana model yang ditampilkan dalam cerita itu lewat sikap dan tingkah laku tokoh-tokohnya.
Sebuah karya fiksi mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku para tokoh sesuai pandangan pengarang tentang moral lewat model kehidupan yang ideal (dalam pandangan pengarang) yang ditawarkan kepada pembaca. Melalui sikap, cerita dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan, yang diamanatkan. Moral dalam karya sastra dapat dipandang sebagai amanat, pesan, message. Bahkan, unsur amanat itu sebenarnya merupakan gagasan yang mendasari penulisan karya itu, gagasan yang mendasari diciptakannya karya sastra sebagai pendukung pesan.
Karya sastra atau fiksi senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat-sifat luhur kemanusiaan tersebut pada hakekatnya bersifat universal, artinya sifat-sifat itu dimiliki dan diyakini kebenarannya oleh manusia pada umumnya. Ia tidak hanya bersifat kesebangsaan, apalagi keseorangan, walau memang terdapat ajaran moral-kesusilaan yang hanya berlaku dan diyakini oleh kelompok tertentu.
Moral dalam karya sastra atau hikmah yang diperoleh pembaca lewat sastra, selalu dalam pengertian yang baik. Dengan demikian, jika dalam sebuah karya ditampilkan sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh yang kurang terpuji baik mereka berlaku sebagai tokoh antagonis maupun protagonis, tidaklah berarti bahwa pengarang menyarankan kepada pembaca untuk bersikap dan bertindak secara demikian. Sikap dan tingkah laku tokoh tersebut hanyalah model, model yang kurang baik yang sengaja ditampilkan justru agar tidak diikuti atau minimal tidak dicenderungi oleh pembaca. Pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah sendiri dari cerita tentang tokoh-tokoh “jahat” itu. Eksistensi sesuatu yang baik, biasanya justru akan lebih menyolok jika dikonfrontasikan dengan yang sebaliknya.
Dalam sebuah karya fiksi sering terdapat lebih dari satu pesan moral. Jenis atau wujud pesan moral dalam karya sastra akan bergantung pada keyakinan, keinginan dan interes pengarang yang bersangkutan. Jenis ajaran moral itu sendiri dapat mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut hakekat dan martabat manusia. Secara garis besar, persoalan hidup dan kehidupan manusia itu dapat dibedakan ke dalam hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungannya dengan lingkungan alam dan hubungan manusia dengan Tuhannya.
Pesan moral sastra dapat berwujud moral religius termasuk di dalamnya yang bersifat keagamaan dan juga dapat berwujud kritik sosial. Kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah setua keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan, sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Pada awal mula segala sastra adalah religius. Istilah “religius” membawa konotasi pada makna agama. Religius dan agama memang erat berkaitan, berdampingan bahkan dapat melebur dalam satu kesatuan, namun sebenarnya keduanya menyaran pada makna yang berbeda.
Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Religiositas, melihat aspek yang di lubuk hati, riak getaran nurani pribadi, totalitas kedalaman pribadi manusia. Dengan demikian, religius bersifat mengatasi, lebih dalam dan lebih luas dari agama yang tampak, formal dan resmi. Seorang yang religius adalah seorang yang mencoba memahami dan menghayati hidup dan kehidupan ini lebih dari sekedar lahiriah saja. Ia tidak terikat pada agama tertentu yang ada di dunia ini. Moral religius menjunjung tinggi sifat-sifat manusiawi, hati nurani yang dalam, harkat dan martabat serta kebebasan pribadi yang dimiliki manusia.
Disamping adanya pesan moral religius, sebuah karya sastra juga dapat mengandung pesan kritik sosial. Sastra yang mengandung pesan kritik biasanya akan lahir di tengah masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres dalam kehidupan sosial dan masyarakat. Paling tidak, hal itu ada dalam penglihatan dan dapat dirasakan oleh pengarang yang berperasaan peka, dengan kekuatan imajinasinya. Pengarang umumnya tampil sebagai pembela kebenaran dan keadilan, ataupun sifat-sifat luhur kemanusiaan yang lain. Hal-hal yang memang salah dan bertentangan dengan sifat-sifat kemanusiaan tidak akan ditutup-tutupinya, sebab terhadap nilai seni ia hanya bertanggung jawab kepada dirinya sendiri.
Karya sastra adalah karya estetis yang memiliki fungsi untuk menghibur, memberi kenikmatan emosional dan intelektual. Karya sastra termasuk juga novel, merupakan suatu karya yang sarat dengan ajaran-ajaran etika, moral ataupun akhlak. Ketika seseorang membaca karya sastra atau novel, ada manfaat-manfaat yang dapat diambil, yaitu sebagai pengisi waktu luang, untuk memperoleh hiburan, untuk mendapat informasi, dapat dijadikan sebagai media dan pemerkaya pandangan kehidupan dan juga mendapatkan pengetahuan nilai sosio-kultural dari zaman atau masa karya sastra itu dilahirkan.
Oleh karena itulah, karya fiksi atau novel dapat dijadikan sebagai media penyampaian pesan dan (nilai) pendidikan terhadap pembacanya. Dengan tidak mengurangi fungsinya sebagai hiburan, pengarang dapat menanamkan nilai pendidikan, guna mencapai tujuan dari suatu proses pendidikan. Tujuan tersebut merupakan keinginan manusia dalam menjaga hubungannya dengan diri sendiri, sesama manusia (masyarakat), alam sekitar dan dengan Tuhannya.
Sesuai dengan hal di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa novel dapat dijadikan sebagai media dalam pendidikan, seperti halnya buku-buku bacaan yang lain. Hanya saja hal ini akan sangat bergantung kepada keinginan dan latar belakang pengarangnya, baik itu pendidikan, pengetahuan maupun pengalaman pribadinya serta keyakinan atau agama yang dianutnya. Seorang pengarang akan memasukkan nilai-nilai yang dianggapnya sesuai dengan diri dan agama yang dianutnya ke dalam karya yang dihasilkannya. Demikian juga pengarang yang beragama Islam akan memasukkan nila-nilai yang dianggapnya sesuai dengan nilai-nilai Islam yang dianutnya ke dalam karya yang dihasilkannya. Oleh karena itu, novel yang ditulis oleh pengarang Islam yang mengandung nilai-nilai Islam dapat juga difungsikan sebagai media bagi pendidikan Islam.
Novel mengandung pesan-pesan moral yang dituangkan pengarang lewat gagasan-gagasan dan ide-idenya, baik itu melalui cerita, sikap maupun tingkah laku tokoh. Pendapat klasik mengatakan , bahwa karya sastra yang baik selalu memberikan pesan kepada pembaca untuk berbuat baik yang dinamakan moral; akhir-akhir ini orang menamakannya amanat. Maksudnya sama, yaitu sastra yang baik selalu mengajak pembaca untuk menjunjung tinggi norma-norma moral. Dengan demikian, sastra dianggap sebagai sarana pendidikan moral.
Moral disebut juga akhlak. Hanya saja akhlak biasa digunakan dalam lingkungan pendidikan Islam. Karena itu pada hakekatnya pendidikan moral sama dengan pendidikan akhlak. Hanya saja pendidikan moral lebih bersifat umum; artinya pendidikan itu ditujukan kepada manusia secara umum dari berbagai kelompok atau agama. Sedangkan pendidikan akhlak hanya ditujukan kepada orang-orang yang menganut atau memeluk agama Islam.
Berdasarkan hal tersebut, maka novel yang mengandung pesan-pesan moral yang bersifat Islami, dapat difungsikan sebagai media pendidikan akhlak, mengingat banyak sekali pesan moral yang dapat dijumpai dalam sebuah karya fiksi (novel) yang dapat diambil hikmah atau manfaatnya, sesudah melakukan aktivitas membaca. Pesan itulah yang diharapkan oleh pengarang agar sampai kepada pembaca untuk direnungkan dan diambil manfaatnya; yang baik ditiru, yang jelek dijauhi atau bahkan dihilangkan.
Demikian juga novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari ini. Di dalam novel ini banyak sekali pesan-pesan moral yang dapat kita jumpai setelah kita membacanya. Pesan-pesan inilah yang ingin diungkapkan Ahmad Tohari kepada pembacanya sesuai dengan misi kepengarangannya. Adapun pesan-pesan Ahmad Tohari dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini merupakan pembahasan skripsi ini, yang akan dibahas pada subbab selanjutnya
B. Isi Novel Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Tohari dalam Perspektif Pendidikan Akhlak
1. Isi Novel Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Tohari
Novel Lingkar Tanah Lingkar Air merupakan salah satu novel dari sekian banyak novel Ahmad Tohari yang mengambil latar sosial geger politik tahun 1965. Novel Lingkar Tanah Lingkar Air mengisahkan pergulatan batin tokoh-tokohnya; Amid, Kiram dan Jun untuk memilih kemungkinan antara menyerahkan diri ke pangkuan Republik atau tetap bertahan di hutan-hutan sebagai prajurit Darul Islam dengan kondisi yang semakin terdesak. Pada akhirnya mereka menyerahkan diri ke pangkuan RI dengan resiko dicemooh dan tidak diterima keberadaannya di masyarakat. Namun, mereka akhirnya memiliki kesempatan untuk membuktikan keberanian dan kesungguhan terhadap niat mereka untuk menyerahkan diri ke pangkuan Republik, dengan jalan ikut menumpas pemberontakan G 30 S/PKI bersama pasukan Republik. Walaupun tokoh Amid harus menghadapi kematian, akan tetapi muncullah semacam perasaan bahagia karena telah melakukan suatu jihad.
Novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini mengisahkan tentang permasalahan kehidupan manusia yang diceritakan oleh Ahmad Tohari dengan begitu menariknya. Dalam novel ini tampak kekhasan tulisan Ahmad Tohari, yaitu tampak pada pelukisan latar alam desanya yang dideskripsikan dengan begitu indah dan juga permasalahan kehidupan yang dialami tokoh-tokohnya yang tergolong “wong cilik”, yang tidak mampu melawan arus kehidupan yang kadang terasa kejam dan tidak adil. Bermacam-macam warna sosial yang terkandung dalam karya Ahmad Tohari termasuk novel Lingkar Tanah Lingkar Air ternyata memperlihatkan konsistensi kepengarangan Ahmad Tohari untuk bersimpati terhadap kehidupan orang-orang kecil yang bodoh, miskin, tersisih dan bernasib malang. Dalam pandangan batin pengarang, orang-orang yang bernasib malang itu justru merupakan alamat yang tepat untuk membaca hakekat makna kehidupan yang telah ditulis Tuhan untuk seluruh umat manusia sepanjang zaman.
Karya Ahmad Tohari tidak hanya mengandung warna sosial yang relevan dengan masanya, tetapi juga mengandung religiositas yang pantas direnungkan maknanya. Aspek religiositas itu dapat dipahami dalam hubungannya dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman Ahmad Tohari yang selama ini selalu berdekatan dengan kehidupan desa dan pesantren. Keputusannya meninggalkan kehidupan kota metropolitan Jakarta dan kembali ke desa kelahirannya di daerah Banyumas, Jawa Tengah untuk mengurusi sebuah pesantren keluarga merupakan bukti nyata dalam upayanya visi kesantrian dan kepengarangannya.
Bagi Ahmad Tohari, karya sastra merupakan sarana pencerahan atau pengingatan masyarakat. Karena itu, bagi Ahmad Tohari menulis karya sastra bukan dimaksudkan untuk mengejar ketenaran atau popularitas belaka, akan tetapi menulis karya sastra lebih ditujukan untuk membuktikan keyakinannya tersebut. Seperti yang diungkapkan Ahmad Tohari dalam Rubrik Bincang-bincang Suara Merdeka, 17 Maret 2002, bahwa sastra dan agama adalah wujud pertanggung jawaban terhadap peradaban. Agama menggunakan kitab suci, sedangkan sastra merupakan karya budi manusia. Orang yang membaca karya sastra akan mendapatkan kearifan. Ahmad Tohari mengambil contoh dari dirinya sendiri; setelah membaca Mahabharata, Ahmad Tohari mendapat gambaran mengenai filsafat dan peradaban saat karya itu dibuat di India.
Ahmad Tohari percaya dan bahkan yakin bahwa karya sastra merupakan pilihan lain untuk berdakwah atau mencerahkan batin manusia agar senantiasa mau membaca ayat-ayat Tuhan. Dengan mengarang itulah Ahmad Tohari berharap dapat ikut serta membangun moral masyarakat sehingga berkembanglah masyarakat yang beradab, yaitu masyarakat yang tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, yang tidak gampang korupsi atau tidak suka menakut-nakuti mereka yang lemah. Menurutnya, justru karena agama sedang dalam kondisi itulah karya sastra harus berperan sebagai pencerah. Sastra justru harus menjadi komplemen. Sastra dibuat untuk melakukan berbagai pengingatan. Bahkan sastra yang berkesan menghujat Tuhan pun harus dihargai, karena itu adalah cara lain untuk berdialog dengan Tuhan.
Bagi Ahmad Tohari, Tuhan harus dipahami dengan membaca simbol-simbol-Nya yang tampak pada mereka yang terpinggirkan, yang menderita, yang sakit secara sosial, politik dan pendidikan. Berangkat dari hal-hal dan keadaan yang demikianlah Ahmad Tohari mengarang dengan maksud agar pembaca pun menyadari pentingnya membangun keberadaban sehingga tidak akan mudah menfitnah, memeras, menipu, mencibir dan bahkan membunuh. Semangat inilah yang mewarnai hampir seluruh karyanya.
Dapat dikatakan bahwa kepengarangan Ahmad Tohari berangkat dari kesadaran yang kukuh untuk memanfaatkan karya sastra sebagai sarana pengingatan masyarakat agar semakin beradab. Hal ini juga senada dengan pendapat para tokoh sastra seperti Lenin, Horace, Bradburry, Webber dan sastrawan yang lain, bahwa pada dasarnya sastra merupakan sarana hiburan sekaligus perombak masyarakat; artinya selain bersifat memberikan hiburan (selingan kejenuhan), sastra juga dapat menjalankan fungsi didaktik yaitu mendidik masyarakat agar menjadi masyarakat yang beradab. Oleh karena itu, hampir seluruh karyanya berbicara tentang nasib manusia yang menderita, yang terpinggirkan dan hidup dalam kenelangsaan, seperti yang dialami tokoh Amid dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air.
Amid bersama dua orang kawannya yang lain, Kiram dan Jun, pada awalnya hanyalah pemuda biasanya yang belajar mengaji dan silat pada Kiai Ngumar, seorang bekas tokoh Sarikat Islam. Perubahan nasib dan perkembangan kejiwaan tokoh utama Amid diawali dengan adanya penjelasan semangat jihad melawan tentara Belanda dari Kiai Ngumar. Dengan adanya nasihat dari Kiai Ngumar tersebut, Amid dan Kiram ikut dalam barisan Tentara Republik dengan maksud membantu perjuangan mereka melawan Belanda. Setelah beberapa kali ikut dalam perjuangan Tentara Republik, ternyata Kiram tidak puas dengan menjadi pasukan cadangan yang berdiri di baris belakang saja yang kelihatannya tidak berperan apa-apa. Hal itu menimbulkan munculnya niat untuk membentuk barisan Hizbulllah. Walau pada awalnya niat itu kurang disetujui oleh Kiai Ngumar yang menginginkan mereka bergabung dengan Tentara Republik, akan tetapi akhirnya terbentuklah barisan Hizbullah yang diketuai oleh Kang Suyud dan Kiram sebagai wakil, walau dalam jumlah yang sangat terbatas.
Kerumitan masalah muncul justru setelah terbentuknya barisan Hizbullah tersebut. Dengan identitas baru tersebut, mereka tidak bebas lagi bergabung dengan tentara resmi, bahkan beberapa kali terjadi salah pengertian dan nyaris baku tembak. Hubungan Hizbullah dengan masyarakatpun mengalami kesulitan karena mereka hanya berani meminta dukungan logistik dari orang-orang sekitar masjid. Persoalan makin berkembang setelah Belanda mengakui kedaulatan RI pada Desember 1949, sebab Hizbullah dihadapkan pada dua pilihan, yaitu membubarkan diri atau bergabung ke dalam tentara resmi Republik.
Sebagai individu, ternyata tokoh Amid tidak sanggup melawan atau menentang arus kelompok (Kang Suyud, Kiram dan Jun) walaupun sudah beberapa menyatakan pendapatnya untuk berpihak kepada Republik. Latar belakang pendidikan yang rendah dengan akibat wawasan pengetahuan yang sempit mendorong Kang Suyud menolak bergabung ke dalam tentara resmi dengan alasan sudah terlalu tua sebagai prajurit. Sedangkan Kiram dan Jun berkeberatan karena tidak memiliki ijazah Sekolah Rakyat. Namun, di mata Amid ada alasan-alasan lain yang lebih penting bagi mereka, yaitu malas menyerahkan senjata masing-masing dan secara diam-diam memiliki cita-cita sendiri yang kelak diketahui sebagai Darul Islam yang diketahui tokoh Amid dalam pertemuan di rumah Kiai Ngumar. Pada perkembangan selanjutnya, niat Amid untuk bergabung dengan Tentara Republik pun semakin mentah karena Amid menyadari dirinya tak mungkin kembali bergabung dengan Tentara Republik, bahkan jiwanya terancam, apalagi setelah kejadian serangan yang dialami oleh para pasukan Hizbullah ketika mereka menuju Purworejo untuk dilantik menjadi tentara Republik. Serangan yang diduga dilakukan oleh orang-orang Komunis yang berada dalam pasukan Republik itu menelan ratusan korban dan mengakibatkan munculnya perasaan dikhianati, kecewa dan berujung pada terwujudnya kesepakatan untuk membentuk pasukan sendiri yang bernama Angkatan Oemat Islam yang memendam benih-benih anti-Republik. Tentu saja benih anti-Republik ini tidak dapat dibaca sebagai perlawanan atau pemberontakan (orang per orang), tetapi perlawanan kelompok yang merasa terikat oleh kepentingan ataupun ideologi tertentu.
Sejak saat itu, Amid terpaksa bertahan di hutan-hutan untuk menghindari sergapan tentara Republik yang sudah memandang mereka sebagai pemberontak. Identitas pemberontak itu makin jelas setelah muncul gerakan DI yang secara terbuka hendak mendirikan sebuah negara ke-Islaman. Apabila kemudian Amid dan kawan-kawannya tidak hanya menghadapi pasukan Republik, tetapi juga harus menghadapi serangan pasukan liar seperti G 30 S/PKI, persoalan yang mendasar adalah mempertahankan diri dan menjauhi kemungkinan mati konyol. Jadi, perlawanan mereka itu bukan karena keyakinan ideologi atau kesadaran berjuang, melainkan lebih disebabkan oleh keterpaksaan yang terlanjur terbentuk dalam perubahan situasi sosial-politik di masa pasca kemerdekaan.
Keterpaksaan itupun muncul menjelang penyerahan diri setelah pimpinan DI, Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo, tertangkap pada tahun 1962. Mereka terpaksa menerima ejekan, cacian dan cemooh masyarakat yang selama sekian tahun telah mereka perangi.
Derita batin sebagai orang-orang yang tidak berdaya menghadapi atau melawan pandangan masyarakat merupakan kisah yang dominan dalam bagian-bagian akhir novel tersebut. Hampir seluruh kisah itu memperkuat persoalan pokok yang berkisar pada masalah ketidakberdayaan orang per orang dalam menghadapi arus lingkungan sosialnya. Misalnya mereka hanya dapat merasakan kepedihan hati karena selalu dicemooh dan dihujat oleh tokoh-tokoh masyarakat yang semakin sibuk mengadakan rapat-rapat yang digerakkan oleh orang-orang Komunis. Mereka pun tidak berdaya menghadapi perubahan situasi sosial yang sengaja diciptakan orang-orang Komunis, seperti onar dalam rapat, onar di tengah sawah, perkelahian antar petani, pembakaran hutan jati dan pembunuhan mandor.
Tidak lama kemudian terjadi perubahan situasi setelah terdengar berita penumpasan Komunis di akhir tahun 1965. Amid, Kiram dan Jun dipanggil komandan pasukan militer untuk menunjukkan jalan sebuah kawasan hutan yang diduga sebagai markas pertahanan orang-orang Komunis. Ternyata tugas itu berkembang dengan keikutsertaan tiga tokoh tersebut untuk berada di garis terdepan menumpas gerombolan Komunis yang masih bertahan di kawasan hutan Cigobang.
Dalam pertempuran itu, tokoh Amid terkena tembakan lawan dan meninggal dalam rangkulan orang-orang terdekatnya, Kiram, Jun dan termasuk juga guru yang sangat dihormatinya, yaitu Kiai Ngumar. Di saat-saat terakhir, Amid masih sempat mengingat wejangan Kiai Ngumar bahwa wajib hukumnya memerangi kekuatan yang merusak ketenteraman masyarakat.
Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini, terdapat satu pesan moral yang sangat dominan dibanding pesan-pesan moral yang lain yang ada dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air, yang merupakan pesan religius sekaligus merupakan suatu kritik sosial, yaitu tentang rasa cinta tanah air. Rasa cinta tanah air di sini terwujud dalam adanya upaya memerangi kekuatan yang merusak ketenteraman masyarakat. Kekuatan yang merusak ketenteraman masyarakat dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air menjelma dalam penjajah Belanda dan juga dalam gerakan Komunis serta DI. Kalau penjajah Belanda di sini ditampilkan sebagai gerakan orang kafir yang wajib diperangi karena mengganggu dan mengekang hak-hak manusiawi yang dimiliki warga negara Indonesia, maka gerakan DI dan gerakan Komunis merupakan gerakan yang mengganggu keamanan dan ketenteraman masyarakat; mereka merupakan gerakan yang meresahkan keberadaan masyarakat umum dan juga melakukan tindakan-tindakan yang sangat tidak beradab dan manusiawi. Fenomena ini tampak dengan adanya pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan orang-orang Komunis terhadap warga masyarakat yang tidak berdosa yang dianggap menentang keberadaan mereka, seperti pembunuhan, penjarahan terhadap para kiai dan ulama. Akan tetapi, dalam novel ini gerakan DI dikisahkan sebagai gerakan yang menjadi “kambing hitam” kekejaman gerakan Komunis; artinya aksi yang dilakukan orang-orang Komunis mencatut nama DI sebagai nama gerakan mereka, sehingga nama DI menjadi musuh yang paling ditakuti dan harus dijauhi oleh masyarakat. Padahal kenyataannya, menurut kisah dalam novel ini, mereka hanyalah individu-individu yang berada dalam kondisi tidak berdaya menghadapi perubahan situasi sosial dan politik yang terus berkembang yang memaksa mereka melawan pasukan Republik. Berdasarkan kisah dalam novel ini, perlawanan anggota-anggota DI bukan semata-mata kepada Republik (dalam arti menjadi musuh Republik) atau pula semata-mata membela ideologi DI, melainkan perlawanan terhadap sebuah kekuatan yang mengancam kehidupan bahkan nyawanya sendiri.
Dengan adanya pesan tersebut nampak bahwa pengarang ingin menyampaikan kepada kita tentang pentingnya jihad (di sini diartikan sebagai upaya memerangi kekuatan yang merusak ketenteraman masyarakat) sebagai wujud dari sikap kita sebagai hamba Allah SWT yang mengemban misi utama, yaitu sebagai khalifah fil ardli. Misi ini mengandung makna yang dalam; bahwasanya kita hendaknya ikut serta menjaga keseimbangan lingkungan kita, di sini ditampilkan dengan perjuangan Amid dan kawan-kawannya melawan penjajah, sampai pada keikutsertaan mereka dalam menumpas G 30 S/PKI. Walaupun harus melewati jalan yang sangat rumit dan serba berliku-liku, akan tetapi usaha mereka ternyata membuahkan kepuasan tersendiri bagi jiwa dan hidup mereka, yaitu diterimanya mereka kembali ke dalam lingkungan masyarakat setelah sekian lama mereka menjadi musuh yang ditakuti dan dijauhi masyarakat, disamping mereka telah melakukan jihad yang sebenar-benarnya jihad, yaitu berjuang menegakkan yang hak dan melawan kebatilan.
Selain itu, pengarang juga ingin menyampaikan bahwa melaksanakan jihad dalam menjalankan syariat agama, tidak harus dilakukan bersama-sama orang yang se-iman dengan kita atau dalam badan yang khusus menampung orang-orang Islam saja (di sini digambarkan dalam barisan Hizbullah), akan tetapi jihad juga bisa dilakukan bersama-sama orang yang memiliki tujuan yang sama, yaitu melawan keangkaramurkaan, walaupun tidak dalam sebuah badan yang berlabel Islam dan memiliki keyakinan yang sama. Jihad bisa dilakukan bersama-sama tentara Republik yang terdiri dari orang-orang yang serba plural, yang memiliki keyakinan berbeda, asal niat yang kita miliki adalah semata-mata karena Allah SWT. Hal ini sesuai dengan ungkapan Ahmad Tohari bahwa antara bernegara dan menjalankan syariat agama, hendaknya dilakukan secara beriring dan tidak terpisah, karena pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial sekaligus makhluk religius. Sebagai makhluk sosial, ia memiliki kewajiban terhadap lingkungan (negara); sebagai makhluk religius ia memiliki kewajiban terhadap Tuhan. Bernegara (kewajiban sebagai warga masyarakat) merupakan aplikasi dari dimilikinya rasa beragama; artinya bernegara merupakan salah satu perintah agama yang harus dipenuhinya.
Kekeliruan pemahaman terhadap ajaran bernegara dan beragama akan dapat menjerumuskan kita ke dalam situasi yang sangat membahayakan keberadaan kita dalam lingkungan masyarakat kita. Hal ini diungkapkan oleh Ahmad Tohari melalui tokoh-tokoh Amid dan kawan-kawan yang terseret dalam kondisi yang tidak berdaya menghadapi perubahan situasi sosial dan politik yang terus berkembang. Hal ini dimungkinkan karena sikap mereka yang eksklusif ; tidak mau menerima keberadaan pluralitas masyarakat di sekitar mereka. Hal semacam itu tidak hanya berlaku bagi mereka saja, tetapi sangat mungkin bagi banyak orang sepanjang zaman.
2. Pendidikan Akhlak dalam Novel Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Tohari
Selain pesan moral yang dominan seperti yang telah disebutkan di atas, masih banyak pesan moral yang dapat kita temukan dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air. Hal ini dimaklumi mengingat bahwa dalam sebuah novel atau karya sastra tidak hanya terdapat satu pesan moral saja, akan tetapi terdapat beberapa hal atau nilai-nilai dalam karya sastra yang dapat kita ambil manfaatnya, disamping adanya keyakinan dan harapan Ahmad Tohari untuk ikut serta membangun moral masyarakat sehingga berkembanglah masyarakat yang tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, yang tidak gampang korupsi atau tidak suka menakut-nakuti mereka yang lemah. Kepengarangan Ahmad Tohari didasarkan pada upaya pemanfaatan karya sastra sebagai sarana pengingatan masyarakat agar semakin beradab.
Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini, banyak kita temukan pesan-pesan moral (di sini penulis sebut sebagai nilai pendidikan akhlak) yang kita jumpai lewat sikap, tingkah laku maupun dialog yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air; meliputi permasalahan manusia dengan Tuhannya (akhlak terhadap Allah SWT), hubungan manusia dengan sesama (akhlak terhadap diri sendiri, akhlak terhadap Rasulullah SAW, akhlak terhadap sesama dalam konteks hubungan kekeluargaan dan kemasyarakatan) dan permasalahan hubungan manusia dengan makhluk lain di sekitarnya (akhlak terhadap alam sekitar). Maka tidak berlebihan kiranya, apabila novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini dimanfaatkan sebagai salah satu media pendidikan Islam (akhlak), mengingat banyaknya pesan moral yang bernuansa Islami, disamping novel ini mudah didapatkan dan dicerna isinya oleh semua kalangan pembaca, terutama remaja yang sedang dalam masa perkembangan.
Kandungan nilai-nilai pendidikan akhlak dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini meliputi kandungan nilai-nilai pendidikan akhlak kepada Allah SWT, akhlak terhadap sesama, akhlak terhadap diri sendiri dan akhlak terhadap lingkungan.
a. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Kepada Allah SWT
1) Menjaga kebersihan badan dan sarana peribadatan.
Allah SWT adalah Maha Suci, oleh karena itu dia hanya bisa didekati oleh orang yang suci. Untuk berhubungan dengan Allah SWT diri kita harus suci. Ada dua kesucian yang harus dijaga oleh kita, yaitu kesucian jasmani atau saran fisik lainnya dan kesucian jiwa. Islam menekankan betapa pentingnya kebersihan, sehingga kebersihan disebut-sebut sebagai salah satu tujuan dari beriman. Bahkan Nabi pun sampai bersabda bahwa kebersihan merupakan dari iman.
Dalam Al-Qur’an juga disebutkan mengenai pentingnya kebersihan, yaitu dalam surat Al-Maidah ayat 6 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah muka dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan basuh kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika kamu junub mandilah, dan jika kamua sakit, atau dalam perjalanan atau kembali dari kakus atau menyentuh perempuan atau kamu tidak memperoleh air maka maka bertayamumlah dengan dengan tanah yang baik (bersih): usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah SWT tidak akan hendak menyulitkan kamu tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan hendak menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur” (QS. Al-Maidah: 6).
Selain itu juga dalam surat Al Baqarah ayat 222 yang berbunyi:
ان الله يحب التوبين ويحب المتطهر ين (البقرة: 222)
Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT mencintai orang-orang yang bertaubat dan juga orang-orang yang membersihkan diri.” (Al Baqarah: 222)
Dalam surat Al-Maidah tampak jelas bahwa kita diperintahkan untuk membersihkan badan sebelum kita melakukan sholat, yang kita sebut dengan berwudlu. Bila kita hendak mengerjakan sholat, kita diwajibkan terlebih dahulu berwudlu.
Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air, ajaran untuk menjaga kebersihan diri tampak pada diri tokoh Amid, ketika Amid pulang untuk menengok orang tuanya di kampung setelah sekian lama ia tidak bertemu dengan orang tuanya. Dalam perjalanan kembali ke tempat persembunyian dari rumah orang tuanya di kampung ia mampir ke rumah gurunya, Kiai Ngumar, untuk melihat keadaan gurunya tersebut. Di rumah Kiai Ngumar itulah Amid memperoleh baju bersih untuk mengganti baju yang telah berhari-hari ia pakai dalam perjalanan dan sangat kotor. Di situlah Amid mendapatkan waktu dan tempat yang nyaman sehingga ia dapat membersihkan diri.
Sedangkan ajaran tentang perintah berwudlu sebelum menunaikan sholat ditunjukkan melalui tokoh Kiai Ngumar. Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air, ini ditampilkan bahwa seusai memberi wejangan kepada Amid, ketika membahas tentang bergabung atau tidaknya Amid ke laskar Hizbullah, Kiai Ngumar mengambil air wudlu sebelum masuk ke surau untuk melakukan sembahyang. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam bahwa sebelum sholat, umat Islam hendaknya berwudlu, karena wudlu merupakan salah satu syarat keabsahan sholat.
2) Beribadah kepada Allah SWT dan niat ikhlas dalam beribadah.
Manusia merupakan mahluk ciptaan Allah SWT diantara sekian banyak mahluk ciptaan Allah SWT. Manusia diciptakan dengan memikul misi yang mulia dan sangat berat dan mulia yaitu sebagai hamba Allah SWT ia wajib menyembah (beribadah) kepada Allah SWT, disamping merupakan khalifah di bumi yang harus memelihara dan mewujudkan kemakmuran di bumi.
Sebagai hamba Allah SWT manusia memiliki kewajiban untuk menyembah kepada satu-satunya Penciptanya yaitu Allah SWT, karena pada dasarnya tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah (menyembah) kepada Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
وماخلقت الجن والإنس إلا ليعبدون (الذريات: 56)
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”. (QS Adzariyat: 56)
Ayat ini mengandung pengertian yang agung dan mendalam serta mencakup sebuah aspek kehidupan manusia. Al Qur’an pun diturunkan dalam bahasa mereka dan mereka memahami arah serta kandungan makna pengilhaman bahasa ini, juga mengerti rahasia-rahasia kefasihan bahasanya. Ayat itu jelas menyebutkan bahwa tujuan penciptaan manusia hanya untuk beribadah semata-mata. Kata ma sebagai penyangkal (nafi) dan illa sebagai pengecualian (ististna), keduanya merupakan bentuk ashr yang paling kuat di dalam lisanul Arab. Yakni menafikan lain dari tujuan lain dari penciptaan manusia selain beribadah kepada Allah SWT, dan sekaligus membatasi tujuan seluruh eksistensinya yaitu hanya untuk beribadah kepada Allah SWT semata-mata.
Dalam aspek inilah, manusia seharusnya benar-benar dapat merasakan keagungan Allah SWT sehingga mereka (sebagai hamba) mengikuti tujuan ibadah itu dengan sebaik-baiknya. Manusia harus mendudukkan dirinya sebagai hamba Allah SWT, dan menempatkan Allah SWT dalam uluhiyah-Nya dengan beribadah serta menghambakan diri kepada-Nya.
Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air, kewajiban beribadah kepada Allah SWT tampak dalam wejangan-wejangan Kiai Ngumar yang ditujukan kepada Amid. Wejangan Kiai Ngumar berisi tentang kewajiban sembahyang tampak dalam kutipan berikut:
“…para ulama seperti Sunan Bonang, Sunan Kalijaga dan sebagainya, bahkan aku sendiri misalnya, tak pernah lupa untuk mengajari orang untuk sembahyang. Bukan hanya bacaan dan tata caranya, melainkan juga, dan ini yang paling penting, mengajari jiwa agar setiap orang agar bisa mewajibkan diri mereka sendiri untuk sembahyang.
“Ya sembahyang adalah kewajiban yang datang dari tuhan untuk setiap pribadi yang percaya. Ya kewajiban sembahyang tidak datang dari seseorang untuk orang lainnya. maka secara pribadi aku tak berani mewajibkan apa-apa kepada orang lain karena aku juga tak mungkin memberinya pahala, tak pula berhak menghukumnya. Lalu bagaimana dengan si Suyud yang seakan-akan mewajibkan suatu hak Allah SWT, yaitu sembahyang kepada orang lain ?” (LTLA: 1995, 44)
Dari kutipan diatas jelas bahwa sembahyang merupakan hak Allah SWT dan kewajiban manusia. Kewajiban sembahyang ini hendaknya disadari oleh setiap orang yang mengaku dirinya beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya serta orang yang percaya bahwa Allah SWT lah satu-satunya Penciptanya. Kewajiban sembahyang merupakan bagian kesadaran dari masing-masing individu dan bukan merupakan paksaan dari orang lain. Sembahyang merupakan konsekuensi dari rasa percaya kita kepada Tuhan yang telah memberikan penghidupan dan kehidupan bagi kita, akan tetapi kita juga tidak berhak mewajibkan sembahyang kepada orang yang belum menunaikan kewajiban ini. Dalam hal ini kita hanya diperintahkan untuk saling menasehati, ber-amar ma’ruf nahi munkar, akan tetapi kita tidak boleh melakukan paksaan agar orang lain menyembah kepada Allah SWT.
Sembahyang disini tidak hanya diartikan sebagai ritual yang dilakukan oleh orang Islam minimal lima kali sehari, namun sembahyang disini bisa diartikan dalam skala luas, yaitu menyembah atau beribadah kepala Allah SWT, dalam artian memilih Islam sebagai agama yang dianut. Jadi sembahyang yang dimaksud oleh Ahmad Tohari melalui tokoh Kiai Ngumar adalah sembahyang dalam pengertian sempit dan juga pengertian sembahyang dalam skala luas, yaitu beragama. Bagi Ahmad Tohari, beragama merupakan pilihan, bukan kewajiban, jadi tidak pantas kalau manusia mewajibkan orang lain untuk beribadah kepada Allah SWT, kita sebagai orang Islam memang wajib ber-amar ma’ruf nahi munkar, tetapi kita dilarang melakukan paksaan. Bahkan dalam al Qur’an pun ada ayat yang menjelaskan tentang hal ini, yaitu QS. Al Kafiruun ayat 1-6 dan QS. Al Baqarah ayat 256.
Selain itu, dalam kutipan tersebut juga nampak, bahwa dalam beribadah hendaknya disertai dengan niat yang ikhlas. Setiap orang Islam meyakini begitu pentingnya niat dalam setiap tindakan yang akan dijalaninya, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Hal itu karena setiap tindakan didasarkan pada niat. Niat dapat menguat atau melemah. Sedangkan setiap perbuatan bisa benar atau salah, tergantung kepada niat yang mendasarinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT QS. al Bayyinah: 5 dan QS. Az Zumar: 11:
وماأمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الد ين (لبينة: 5)
Artinya: “Dan kepada mereka diperintahkan supaya mereka menyembah Allah SWT dengan mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya”. (QS. al-Bayyinah: 5).
قل إنر امرت أن أعبد الله مخلصاله الدين (الرمر: 11)
Artinya: “Katakanlah: Sungguh, Aku diperintahkan untuk beribadah kepada Allah SWT, dengan mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya” (QS. az Zumar: 11).
Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air sikap ikhlas selain terlihat dalam kutipan tersebut juga ditunjukkan dalam nasehat Kiai Ngumar pada ketiga muridnya yaitu Kiram, Jun dan Amid pada waktu mereka akan menjadi anggota laskar Hizbullah, ikut memerangi penjajah Belanda.
Pada saat itu Kiai Ngumar menunjukkan perbedaan dan persamaan antara menjadi tentara RI dengan laskar Hizbullah. Menurut Kiai Ngumar tentara RI dan Hizbullah sama-sama pasukan bersenjata yang berjuang melawan tentara Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan negara kita. Namun, meskipun sama-sama bertempur melawan Belanda, ada perbedaan yang cukup mendasar antara Republik dengan tentara Hizbullah, yaitu tentara Republik merupakan tentara resmi yang dibentuk oleh pemerintah: maka selama Republik berdiri mereka mutlak diperlukan kehadirannya dan karena mereka merupakan bagian sah Republik, maka Republik wajib memberi mereka gaji. Sedangkan Hizbullah merupakan gerakan perlawanan rakyat yang sifatnya sukarela, memiliki dasar niat lillahi taala, dan bertujuan melaksanakan wajib memerangi kafir yang berbuat kerusakan di negara kita. Hizbullah tidak dibentuk oleh pemerintah, melainkan karena kesertamertaan para ulama. Laskar Hizbullah tidak akan menerima gaji karena memang niat awalnya adalah lillahi taala, yaitu tidak mengharap imbalan, jadi gerakan ini ada karena sebagai ibadah kepada Allah SWT semata.
Kata lillahi taala disebut berkali-kali, kurang lebih sebanyak tiga kali melalui tokoh Kiai Ngumar. Hal ini menunjukkan bahwa Ahmad Tohari ingin menyampaikan tentang pentingnya niat ikhlas dalam beribadah. Bahwa hendaknya ketika kita beraktivitas (beribadah kepada Allah SWT) harus diikuti niat karena Allah SWT. Niat karena Allah SWT ini bisa kita sebut sebagai niat yang ikhlas. Segala sesuatu yang diawali dengan niat yang baik, insya Allah juga akan mendapatkan hasil yang baik pula. Sementara segala sesuatu yang diawali dengan niat buruk juga akan memperoleh niat jelek pula. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi:
إنما الأعمال بالنيات وانمالكل امرئ مانوى (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung kepada niat, dan setiap orang tergantung kepada apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhori Muslim).
Begitu pentingnya niat ikhlas ini dalam kehidupan muslim juga ditunjukkan dengan pesan Kiai Ngumar kepada Amid, bahwa setelah perjuangan mereka berakhir, hendaknya Amid dan teman-teman pulang ke kampung dengan ikhlas. Pesan ini mengakhiri wejangan Kiai Ngumar. Sekali lagi nampak Kiai Ngumar ingin menegaskan bahwa keikhlasan sangat penting dalam aktivitas kita sehari-hari.
3) Berdzikir dan Memohon Pertolongan Hanya Kepada Allah SWT.
Dzikir ialah mengingat nikmat-nikmat Allah SWT atau menyebut lafal Allah SWT, bertasbih, bertahmid, bertahlil. Dzikir dalam Islam diartikan sebagai usaha yang dilakukan manusia untuk mengingat kekuasaan dan keagungan Allah SWT dengan mendekatkan hati kepada-Nya.
Mengingat Allah SWT atau berdzikir dapat dilakukan secara lisan, dalam hati dan dengan perbuatan tertentu, seperti memperhatikan dan mengingat Allah SWT di segala waktu, merasa takut akan Dia, mengharap akan Dia, meyakini bahwa kita senantiasa terletak di bawah kehendak Allah SWT, dalam genggaman-Nya dan dalam segala pengurusan dan ketentuan-Nya.
Manifestasi keteringatan kepada Allah SWT secara lisan antara lain dengan mengucapkan kalimat-kalimat baik atau kalimah Thoyyibah. Dalam novel karya Ahmad Tohani yang berjudul Lingkar Tanah Lingkar Air ini dapat kita jumpai berupa kalimat/ucapan istirja’ dan hamdalah yang muncul melalui tokoh Kiai Ngumar secara berulang kali. Sebagai contoh adalah ketika beliau menerima kabar dari Amid dan kawan-kawannya bahwa ketiganya diserang oleh sepasukan tentara RI ketika mereka beserta anggota laskar Hizbullah yang lain mau bergabung dengan tentara RI yang sah. Kalimat Istirja’ yang diucapkan oleh Kiai Ngumar adalah kalimat “innalillah ….”.
Sedangkan kalimat thayyibah yang berupa bacaan hamdalah merupakan kalimah Thoyyibah yang diucapkan bila seorang muslim mendapat anugerah atau sesuatu yang menyenangkan. Hamdalah merupakan pernyataan syukur seorang muslim atas kebahagiaan yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya. Dengan demikian, ditinjau dari segi waktu pengucapan, maka hamdalah merupakan kebalikan dari bacaan istirja’. Apabila istirja’ dibaca diwaktu seorang muslim tertempa musibah dan kesedihan, maka hamdalah dibaca di kala seorang muslim mendapat kebahagiaan dan kesenangan.
Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini, ucapan hamdalah muncul sekali melalui tokoh Kiai Ngumar. Ucapan ini keluar ketika Kiai Ngumar menjawab pertanyaan Amid mengenai perlakuan gerombolan pengacau yang mencatut nama DI sebagai gerakan mereka terhadap Kiai Ngumar, seperti tampak pada kutipan berikut:
“Nanti dulu, Kiai, mereka tidak menganiaya Kiai?”
“Alhamdulillah, tidak. Mereka hanya minta uang, dan Kuberikan semua yang memang tak seberapa …” (LTLA: 1995, 90).
Sebagaimana ucapan istirja’, ucapan tahmid dalam novel inipun kemunculannya tidak sempurna. Dalam novel ini ucapan hamdalah hanya berbunyi “alhamdulillah”, sedangkan ucapan hamdalah yang sempurna adalah “alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin”, yang artinya “segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam”.
Selain kedua kalimah thayyibah tersebut masih ada dua ucapan lain yaitu ucapan basmalah dan insya Allah yang muncul dalam novel ini. Ucapan basmalah biasanya diucapkan ketika seorang muslim hendak memulai aktivitasnya. Ucapan ini muncul melalui tokoh Kiai Ngumar ketika meyakinkan Kiram bahwa Kiai Ngumar akan berusaha menjadi perantara untuk meredam permusuhan antara Amid dan kawan-kawannya dengan tentara Republik.
Sedangkan ucapan insya Allah biasanya diucapkan ketiga berjanji atau ingin meyakinkan orang lain. Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini, ucapan insya Allah yang berarti “jika Allah SWT menghendaki” diucapkan oleh Kiai Ngumar ketika meyakinkan tentara Republik bahwa Kiram dan Jun tidak berada di rumah Kiai Ngumar. Pada waktu itu, setelah Indonesia merdeka, Kiram, Jun dan Amid beserta anggota laskar Hizbulllah yang telah menjadi laskar DI adalah buronan pemerintah, mereka dicari-cari dan dimusuhi oleh tentara RI.
Sebagai orang terdekat dari Kiram, Jun dan Amid setelah orang tua mereka, maka Kiai Ngumar menjadi sasaran kecurigaan tentara Republik. Rumah Kiai Ngumar digeledah oleh tentara-tentara Republik tersebut.
Ucapan basmalah dan insya Allah di atas tampak dalam kutipan berikut:
“Kiai percaya bisa memberi mereka pengertian?”
“Bismillah, akan kucoba” (LTLA: 1995, 71)
“Bapak bisa dipercaya?”
“Insya Allah ya”. (LTLA: 1995, 74)
Ucapan basmalah dalam novel ini pengucapannya tidak sempurna. Dalam novel ini ucapan basmalah hanya berbunyi “bismillah”, sedangkan bunyi yang sempurna adalah “bismillahirrohmaanirrohiim”, yang berarti “dengan nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
Selain menggunakan kalimat thoyyibah tersebut, dalam menunjukkan keteringatannya pada Allah SWT secara lisan, para tokoh cerita dalam novel ini juga mengucapkan kata-kata seperti: “Ya Tuhan”, “Demi Tuhan” dan “Ya Gusti”. Ucapan kata “Ya Tuhan” dan “Demi Tuhan” diucapkan oleh tokoh Amid ketika ia merasa takut, terkejut maupun gembira. Sedangkan kata “Ya Gusti” terucap oleh Kiai Ngumar sebagai ungkapan antara gembira dan terkejut dengan kedatangan Amid. Kata ini memang berasal dari kosakata bahasa Jawa yang bisa diterjemahkan dengan “Tuhan” dalam bahasa Indonesia. Seperti kata “Tuhan”, kata “Gusti” ini merupakan ungkapan spontanitas yang terucap oleh Kiai Ngumar sebagai ungkapan terkejut sekaligus bersyukur ketika Amid datang.
Selain dengan ucapan, manifestasi rasa ingat pada Allah SWT juga diwujudkan melalui tindakan, yaitu dengan beribadah kepada Allah SWT. Beribadah pada Allah SWT telah dijelaskan pada bagian beribadah kepada Allah SWT.
Ajaran untuk ingat kepada Allah SWT juga tampak ketika Amid sedang dalam keadaan sakarotul maut. Pada saat itu Kiai Ngumar menyuruh Amid untuk nyebut. Pada bagian akhir kisah novel ini, kata “nyebut” diucapkan Kiai Ngumar kepada Amid kurang lebih dua kali. Kata “nyebut” yang berasal dari kosakata jawa dapat diartikan mengucapkan kalimah thoyyibah yang dimaksudkan untuk mengingat Allah SWT. Dalam hal ini, yang dimaksud “nyebut” oleh Kiai Ngumar adalah ingat kepada Allah SWT dengan kalimat tahlil yang juga bertujuan untuk meng-Esakan Allah SWT. Kata tahlil yang dimaksud, seperti yang dituntunkan oleh Kiai Ngumar kepada Amid yang menjelang syahid ini adalah “laa ilaaha illallah” yang dapat diartikan “tiada Tuhan selain Allah SWT”.
Ajaran untuk mengingat Allah SWT ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Annisa’ ayat 103 yang berbunyi:
فاذاقضيتم الصيتم الصلوة قاذ كرواالله قيا ماوقعو دا وعلىجنو بكم (النساء:103)
Artinya: “Dan apabila kamu telah menyelesaikan shalat, maka ingatlah Allah SWT di waktu berdiri, di waktu duduk,dan di waktu berbaring. (QS An Nisa: 103)
Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Kuasa. Hanya kepada Dia-lah kita menyembah dan hanya Dia-lah yang mampu memberi kita pertolongan, yang tidak mampu dilakukan oleh manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Fatihah ayat yang berbunyi:
إياك نعبد واياك نستعين (الفاتحة)
Artinya: “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan”. (QS. Al-Fatihah)
Memohon pertolongan hanya kepada Allah SWT dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini ditunjukkan melalui tokoh Amid ketika ia dalam keadaan ketakutan baik itu ketika ia takut diketahui tempat bersembunyinya maupun takut dengan keadaan istrinya yang hendak melahirkan sementara paraji (dukun bayi) tidak ada. Ketika itu Amid benar-benar dalam keadaan khawatir dan takut, maka ia berdoa kepada Dzat yang Maha Kuasa dan Maha Pemberi pertolongan agar terhindar dari hal yang ditakutinya. Hal ini tampak dalam kutipan berikut:
“Kudengar suara langkah berpaku masuk ke rumah Kiai Ngumar kudengar anak kecil menangis ketakutan. Ia adalah cucu Kiai Ngumar yang tinggal bersama kakeknya. Ada barang-barang disingkirkan dengan kasar. Tubuhku mulai gemetar dalam posisi tahiyat akhir. Kesadaranku bahkan terasa melayang ketika kudengar pintu surau dibuka dengan kasar.
Cukuplah Allah SWT menjadi wakilku, itulah kesadaran terakhir ketika aku menanti suara senjata meletus dibelakangku … (LTLA: 1995, 75)
“Untuk menenangkan hati yang demikian galau, aku bersembahyang. Aku masih percaya, Tuhan adalah ghafururhim. Aku percaya Tuhan masih mau mendengar doaku, doa orang yang sudah banyak membunuh orang: ada kiai, ada haji, ada militer. Yang kuminta kepada Tuhan, pertama, adalah keselamatan bagi Kiram dan Jun. semoga ia berhasil dan tak usah dan kekuasaan. Aku juga berdoa, agar Umi kuat dan jangan dulu melahirkan sampai paraji datang.”
Dan doaku makbul. Ketika Kiram dan Jun datang memikul beban yang menggantung dalam karung, Umi masih berbaring tenang. Ya Tuhan, kulihat seorang perempuan tua keluar dari dalam karung yang dibuka oleh Kiram …(LTLA: 1995, 119).
Dari kutipan diatas tampak bahwa Allah SWT adalah Tuhan yang Maha Pengampun yang akan selalu mendengarkan doa hamba-hamba-Nya, walaupun hamba-Nya tersebut banyak berbuat kesalahan, akan tetapi apabila ia memohon dengan sungguh-sungguh niscaya Allah SWT akan mengabulkan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah 186.
واذا سالك عبادىعنى فانىقريب اجيب دعوة الداع اذ دعا ن فاليستجيبوالى واليؤ منوا بى لعلهم ير شدون (البقرة:186)
Artinya: “Dan apabila hamba-hamba- Ku bertany6a kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS:Al Baqarah:186)
4) Banyak Mengingat Mati
Kematian adalah awal dari suatu perjalanan panjang dalam evolusi manusia, dimana ia selanjutnya akan memperoleh kehidupan dengan segala macam kenikmatan atau berbagai ragam siksa dan kenistaan. Kematian dalam agama-agama samawi mempunyai peran yang sangat besar dalam memantapkan aqidah serta menumbuhkembangkan semangat pengabdian. Tanpa kematian, manusia tidak akan berpikir tentang apa sesudah mati dan tidak akan mempersiapkan diri menghadapinya.
Seorang manusia sekejam dan senista apapun, ketika sampai pada kesadarannya bahwa kehidupan ini akan menemui ujungnya pada kematian, maka ia akan berpikir ulang mengenai tingkah laku dan perannya selama ini, yang pernah diperbuatnya pada manusia lain.
Ajaran untuk mengingat mati banyak kita temukan pada kejadian-kejadian yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini, baik melalui pengisahan pengarang tentang keadaan tokoh, pikiran tokoh maupun percakapan yang dilakukan oleh para tokoh yang ada dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari ini.
Ajaran untuk mengingat mati dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini tampak pada bagian awal novel. Pada bagian ini melalui pikiran tokoh Amid diceritakan bahwa hendaknya ia waspada terhadap hal-hal yang ada disekelilingnya. Karena tanpa kewaspadaan, tembakan pada penyergap yang bersembunyi dibalik batang-batang jati bahkan ular bedudak yang biasa berkeliaran di hutan itu bisa merampas nyawa mereka dengan cara yang begitu mudah, terbukti dengan matinya dua orang teman mereka yang mati karena patukan ular yang sangat berbisa itu.
Adegan ini memberi pemahaman kepada pembaca bahwa kematian adalah hal yang tidak disangka-sangka kapan datangnya dan apa penyebabnya. Karenanya kita hendaknya selalu mempersiapkan diri untuk menyongsong kehadiran kematian itu dengan memperbanyak amalan dan ibadah kita dan menjauhkan kemaksiatan dari diri kita. Dengan banyak mengingat mati dan kefanaan akan mengantar seseorang lebih ikhlas akan dunia dan beramal semata-mata demi pahala akhirat, sehingga ia termasuk dalam kategori orang-orang yang ber-zuhud. Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi melalui Adh Dhahhaq bahwa:
أزهد الناس من لم ينس القبر والبلر, وترك أفضل زينه الحياة الدنيا واثرما يبقى على ينفر, ولم يعد غدامن أيامه وعد نفسه فى الموتى (رواه البيحفى عن الصاة مسلم)
Artinya: “Orang-orang yang paling zuhud adalah orang-orang yang selalu mengingat kuburan (mati) dan kebinasaan serta meninggalkan perhiasan dunia yang mewah karena memilih pahala (kehidupan akhirat) yang abadi dari pada perhiasan dunia yang pasti binasa. Juga tidak menganggap bahwa hari esok adalah harinya, dan ia berkeyakinan bahwa dirinya pasti mati”.
Kematian memang tidak disangka-sangka. Ia bisa datang kapan saja dan di mana saja. Maka hendaknya setiap orang siap apabila kematian itu datang menjemputnya. Selagi kita masih punya kesempatan untuk berbuat baik, jangan sampai kesempatan itu kita sia-siakan. Hal ini sesuai dengan ungkapan Kiai Ngumar, seperti tampak dalam kutipan berikut:
“Mid, aku sudah tua. Aku tak yakin masih kesempatan untuk bertemu kamu sekali lagi. Jadi sebelum kamu pergi, yakinkan bahwa kamu memaafkan semua kesalahanku. Aku berdoa untuk keselamatanmu.” (LTLA: 1995, 94)
Dari kutipan di atas tampak bahwa Kiai Ngumar sadar bahwa kematian bisa datang kapan saja. Karena itu Kiai Ngumar memohon kepada Amid untuk mengikhlaskan kesalahan Kiai Ngumar agar apabila maut datang menjemput, Kiai Ngumar tidak berada dalam keadaan menanggung kesalahan terhadap Amid. Ia ingin mempersiapkan diri dalam menanti datangnya kematian; salah satu caranya ialah dengan jalan meminta maaf kepada Amid.
Selain ditampilkan pada bagian awal novel ini, ajaran untuk mengingat mati ditampilkan pada bagian akhir novel, yaitu ditunjukkan dengan tokoh Amid yang menghadapi saat-saat menjelang kematian (sakaratul maut). Menghadapi orang yang sedang berada pada keadaan sakaratul maut, maka kita dianjurkan untuk menalkinnya dengan cara lemah lembut. Kadang-kadang lidahnya tidak dapat bergerak karena lemah, maka jika didesak dikhawatirkan ia akan membenci kalimat itu. Ajaran untuk menalkin orang yang dalam keadaan sakaratul maut ini tampak ketika Kiai Ngumar menalkin tokoh Amid dengan bacaan Laa Ilaaha Illallah ketika tokoh amid menjelang syahid.
Abu Said Al Khudri r.a meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:
لقنوا موتاكم قول لاإله إلاالله.
Artinya: “Talkin-kanlah kepada orang-orang yang kematian diantara kamu kalimat: Laa Ilaaha Illallah”
Selain ditunjukkan dengan kejadian-kejadian di atas, ajaran untuk mengingat mati juga ditunjukkan dengan kematian Kang Suyud, teman Jun, Kiram dan Amid dan juga Kiai Had, ayah Umi, istri Amid.
5) Sabar Hati
Seorang muslim yang terpimpin jiwanya oleh hidayah Islam senantiasa melatih dirinya untuk mencapai tingkat kesabaran yang tinggi dan menahan marahnya. Hal ini digambarkan dalam surat Ali Imron ayat 134:
الذين ينفقون فىالسراء والضراء واكاظمين الغيط والعافين عن الناس والله يحب المحسنين.
Artinya: “Dan orang-orang yang menahan marah dan memaafkan kesalahan orang dan Allah SWT menyukai orang-orang yang berbuat baik”.
Menurut kacamata Islam, orang yang perkasa bukanlah seorang yang mempunyai otot dan fisik yang kuat, mampu menaklukkan dan mengalahkan lawan-lawannya. Tetapi orang yang perkasa adalah ia yang dapat bertindak penuh pertimbangan dan sabar, serta mampu mengendalikan nafsunya ketika marah.
Rasulullah SAW bersabda :
ليس الشديد بالصرعة إنما الشديد الذى يملك تفسه عند الغضب
Artinya: “Bukanlah (dimaksudkan) perkasa itu kuat bergulat. Sesungguhnya perkasa itu adalah mampu mengendalikan diri ketika marah”. (Hadist Muttafaq ‘Alaih)
Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini sikap sabar kita jumpai dalam nasehat Kiai Ngumar terhadap ketiga muridnya, yaitu Kiram, Jun dan Amid, ketiga ketiga muridnya mendapat masalah pada waktu mau bergabung dengan tentara RI bersama pasukan Hizbullah Kiram, Jun dan Amid berniat bergabung dengan tentara RI setelah RI mencapai kemerdekaan. Bersama-sama para laskar Hizbullah, mereka menuju Purworejo untuk dilantik menjadi tentara RI. Namun sayangnya ditengah perjalanannya tepatnya sesampainya di Kebumen mereka diserang oleh sekelompok pasukan yang berseragam tentara RI. Di tempat itu laskar Hizbullah dibantai. Banyak diantara mereka yang meninggal, namun untungnya Kiram, Jun dan Amid selamat. Walaupun secara fisik mereka tidak terluka, namun mereka sungguh terpukul hatinya, karena ternyata niat baik mereka tidak dihargai sama sekali oleh tentara RI.
Dalam kesempatan ini, mereka ke tempat Kiai Ngumar untuk dimintai pendapatnya tentang bagaimana sikap mereka selanjutnya, yang langsung ditanggapi oleh Kiai Ngumar, diantaranya adalah agar mereka meredam kemarahan dan kekecewaan mereka terhadap perlakuan pasukan pembantai tersebut serta berlaku sabar. Hal ini nampak pada kutipan berikut:
“Sabar, nak, innallaha ma’as shabirin. Kalian sendiri punya praduga adanya pengkhianatan oleh orang-ornag yang mencatut nama tentara Republik. Dan sangat boleh jadi pengkhianat itu adalah anak-anak komunis. O, nak. Aku punya pengalaman belasan tahun bergaul dengan mereka. Aku tahu, mereka tidak segan menempuh cara yang paling kotor sekalipun unutk mencapai keinginan mereka. Jadi sabarlah, redam dulu kamarahan kalian. Aku akan mencari hubungan dengan tentara Republik.”(LTLA: 1995, 71)
Dari kutipan di atas dapat kita lihat bahwa Kiai Ngumar memasukkan nahs Al Qur’an dalam memberikan nasehat. Disitu Kiai Ngumar menandaskan hikmah berlaku sabar. Ucapan Innallaha ma’ashobiriini merupakan penggalan ayat Al Quran yang menerangkan bahwasanya Allah SWT bersama orang-orang yang sabar; artinya orang yang sabar akan selalu dekat dan dilindungi Allah SWT.
Tokoh Umi, istri Amid menunjukkan kesabarannya dengan cara menerima keadaan yang membuatnya terpisah dari suaminya, bahkan dalam keadaan hamilpun Umi tidak mendapatkan kesenangan seperti istri-istri orang lain yang ditunggui dan dimanjakan suami, sampai akhirnya pergi dari gubuk sederhana tempatnya tinggal selama ditinggal suaminya menuju hutan tempat persembunyian suaminya.
Sikap Umi ini dapat diartikan sebagai sikap “narimo” seorang istri kepada suaminya. “Narimo” merupakan suatu ajaran filsafat jawa yang diartikan menderita dan tetap bereaksi secara wajar, bukan pasrah dalam ketidakberdayaan. Sikap “narimo” kemudian berkembang menjadi prinsip narimo ing pandum, yaitu menerima apa yang telah diberikan Tuhan.
Sikap “narimo” Umi ini juga tampak dengan diikutinya perintah Amid untuk mengikuti paraji agar anak mereka, sri, mendapatkan ketenangan dan tidak ikut hidup menderita, terlunta-lunta dari satu tempat ke tempat lain. Sikap ini yang mengikuti perintah suaminya ini dilandasi keyakinan dan pengharapan bahwa walaupun tanpa kehadiran ayahnya untuk sementara, anak mereka akan tetap tumbuh dan berkembang dengan baik.
6) Tawakal
Tawakal adalah membebaskan hati dari segala ketergantungan kepada selain Allah SWT daan menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepada-Nya.
Tawakal adalah salah satu buah keimanan. Setiap orang yang beriman percaya bahwa semua urusan kehidupan, semua manfaat dan mudhorot ada di tangan Allah SWT, serta akan menyerahkan segala sesuatunya kepada-Nya dan akan ridlo dengan segala kehendak-Nya. Dia tidak akan takut menghadapi masa depan, tidak kaget dengan segala kejutan. Hatinya tenang dan tenteram, karena yakin akan keadilan dan rahmat Allah SWT. Oleh sebab itu, Islam menetapkan bahwa iman harus diikuti oleh sikap tawakal. Allah SWT berfirman:
وعلى الله فتوكلواان كنتم مؤمنين (الما ئده:23)
Artinya: “Dan hanya kepada Allah SWT hendaknya kamu bertawakkal jika kamu benar-benar orang yang beriman (QS: Al Maidah:23).
Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air, sikap tawakal ditunjukkan melalui tokoh Amid, yaitu pada saat Amid berada di rumah Kiai Ngumar; rumah guru Amid tersebut didatangi oleh empat orang tentara yang mengaku sebagai tentara Republik dengan maksud untuk mencari dan menangkap Amid, Kiram dan Jun, karena Amid daan kawan-kawannnya tersebut dianggap melawan pasukan Republik, sebagaimana tampak dalam kutipan berikut:
Cukuplah Allah menjadi wakilku, itulah kesadaran terakhir ketika aku menanti suara senjata meletus di belakangku. Sedetik dalam kelengangan yang amat sangat tegang. Kudengar denging di telingaku sendiri. Mataku yang memejam masih melihat ribuan bintang berhamburan. Dan aku tersentak ketika mendenganr suara keras: pintu surau ditutup lagi. Tentara itu pergi, padahal takada sesuatu mengalingi pandangan mereka terhadap diriku jarena surau itu adalah ruang tunggal yang tak seberapa luas.(LTLA: 1995, 75)
Dari kutipan di atas tampak bahwa Amid memiliki sikap tawakal, yaitu dengan menyerahkan segala sesuatu yang akan terjadi ataupun menimpanya kepada Allah SWT, Dzat Yang Maha Kuasa. Sikap pasrah Amid ini bukannya tanpa usaha, karena walau bagaimanapun Amid tetap berusaha bersembunyi di di ssurau Kiai Ngumar, bahkan bedilnya pun disembunyikan di balik beduk surau tersebut.
Tawakal harus diawali dengan kerja keras dan usaha maksimal (ikhtiar). Tidaklah dinamai tawakal kalau hanya pasrah menunggu nasib sambil berpangku tangan tanpa melakukan apa-apa. Sikap pasrah itu adalah salah satu bentuk kesalahpahaman teehadap hakikat tawakal. Kesalahpahaman sikap tersebut pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW. Seorang Badui membiarkan untanya tidak diikat, karena menurut dia, itulah cerminan sikap tawakal. Rasulullah SAW pun menegurnya:
اعقلها وتوكل (رواه التمذى وابن خاريمةوالطبرنى)
Artinya: “Ikat dan tawakallah! (HR. Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan Thabrony).
Sikap tawakal Amid juga ditunjukkan dengan ikhlasnya Amid menyerahkan istri dan anaknya untuk ikut dukun beranak yang telah menolong persalinan Umi. Mbok Nikem, dukun beranak tersebut, menyatakan niatnya untuk membawa istri Amid, Umi beserta anaknya ke kampung halamannya dengan tujuan agar istri dan anak Amid teersebut tidak hidup terlunta-lunta dan hidup dalam kesulitan. Setelah dipikir-pikir dan ditimbang, serta nasehat dari teman Amid, yaitu Jun dan Kiram, maka Amid merelakan anak dan istrinya dibawa dukun beranak tersebut, setelah yakin bahwa bersama Mbok Nikem, keselamatan mereka terjamin. Amid menyerahkan nasib dan keselamatan keluarganya di tangan Tuhan, disamping meyakinkan diri bahwa Mbok Nikem adalah orang yang bisa dipercaya, yang akan menjaga keluarganya. Sikap tawakal Amid tampak dalam kutipan berikut:
Aku hanya bisa berserah diri kepada Tuhan tentang nasib dan keselamatan mereka.(LTLA: 1995, 123)
Seorang muslim hendaknya tidak menggantungkan diri sepenuhnya kepada usaha (ikhtiar) tanpa memasrahkannya kepada Allah SWT, karena sikap seperti itu akan mendatangkan kesombongan. Yang disuruh oleh syara’ dan sesuai engan akal adalah mengusahakan sebab dan menyerahkan hasilnya pada Allah SWT. Usaha tanpa pertolongan Allah SWT akan sia-sia. Hal ini sesuai dengan sikap Amid yang menyerahkan segala urusan kepada Allah setelah melakuykan usaha; bersembunyi ketika ada tentara Republik, maupun usaha Amid dalam membrikan perlindungan dan rasa aman terhadap keluarga. Walaupun pada akhirnya Amid menyerahkan istri dan anaknya kepada dukun beranak, akan tetapi hal itu tetap bisa kita sebut usaha, yaitu usaha menjauhkan keluarga dari bahaya yang mengancam jiwa mereka. Amid mengusahakan keselamatan keluarganya, walaupun ia harus meminta pertolongan orang lain, dalam hal ini adalah Mbok Nikem.
Orang yang bertawakal akan dilindungi Allah SWT. Allah SWT berfirman:
ومن يتو كل علىالله فهو حسبه (الطلاق:3)
Artinya: “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah SWT, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. (QS. Ath Thalaq: 65).
Hal ini juga ditunjukkan oleh Ahmad Tohari melalui tokoh Amid juga. Ketika Amid dicari oleh empat orang tentara Republik, Allah SWT menunjukkan kekuasaan-Nya; Amid tidak dapat ditemukan oleh tentara-tentara tersebut, padahal Amid berada di dalam surau yang digeledah mereka. Selain itu, juga selamatnya Umi dan Sri di bawah perlindungan dan pengawasan Mbok Nikem, sampai Amid menjemput keluarganya, ketika ia sudah diterima masyarakat kembali. Memang Allah SWT adalah Dzat yang selalu memberi perlindungan kepada hamba-Nya yang meminta pertolongan dan senantiasa bertawakal kepada-Nya.
Ajaran bertawakal juga tampak pada akhir kisah novel ini yaitu ditunjukkan dalam nasehat Kiai Ngumar kepada Amid pada saat Amid menghadapi sakarotul maut, sebagaimana kutipan berikut:
“Tetaplah tawakal, Mid.”(LTLA: 1995, 143)
“Tetaplah tawakal, Mid. Eengkau menjelang sahid.”(LTLA: 1995, 144)
Sikap tawakal yang dianjurkan oleh Kiai Ngumar kepada Amid dalam kutipan tersebut adalah tawakal dalam menghadapi kematian. Ketika menghadapi sakarotul maut, hendaknyaa seorang muslim besikap tawakal, yaitu menyerahkan seluruh urusannya kepada Allah SWT, termasuk hidup dan matinya, disamping memohonagar ia meningggal dalam keadaan khusnul khotimah.
Dianjurkannya sikap tawakal, yang ditunjukkan Ahmad Tohari melalui ucapan Kiai Ngumar secara eksplisit menunjukkan bahwa sikap tawakal memang hendaknya dimiliki oleh orang beriman. Karena, sikap tawakal dapat memberikan ketenangan dan kepercayaan diri kepada seseorang untuk menghadapi masa depan. Dia akan menghadapi masa depan dengan segala kemungkinan yang ada tanpa rasa takut dan cemas, yang penting berusaha sekuat tenaga, hasilnya Allah SWT yang menentukan.
b. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Terhadap Diri Sendiri
1) Istiqomah (teguh pendirian)
Istiqomah dalam termonologi akhlak adalah sikap teguh dalam mempertahankan keimanan dan ke-Islaman sekalipun menghadapi bermacam-macam tantangan dan godaan. Seorang yang istiqomah laksana batu karang ditengah-tengah lautan yang tidak bergeser sedikitpun walaupun dipaksa oleh apapun, seperti perintah Allah SWT dalam QS. Fushilat ayat 6 yang berbunyi
قل انما انابشرمثلكميوحىالي انماالهكم اله واحد فا ستقيموااليه واستغفروه وويل للمشركين (فصلث:2)
Artinya: “Katakanlah bahwasanya aku hanyalah manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasannya tuhan kamu adalah tuhan yang Maha Esa, maka istiqomahlah menuju kepada-Nya, dan memohon ampunlah kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menyekutukan-Nya.”. (QS. Fushilat: 6)
Dari ayat di atas kita bisa menarik kesimpulan bahwa yang beriman itu harus istiqomah dalam tiga dimensi, hati, lisan dan amal perbuatan. Hal ini tercermin lewat tokoh Kiai Ngumar yang tetap memegang teguh sikap dan pendiriannya untuk memilih negara Republik sesuai dengan fatwa Hadratus Syekh daripada memilih negara DI yang tidak disetujui oleh masyarakat banyak, meskipun ia harus menghadapi kecaman dan paksaan dari Kang Suyud. Hal ini menjelaskan pada kita bahwa apabila kita mempunyai keyakinan terhadap suatu hal yang sudah jelas dasar hukumnya, kita harus benar-benar memegang keyakinan itu walaupun kita dipaksa atau dikecam oleh pihak lain untuk mengikuti keyakinan pihak lain.
2) Syaja’ah (mengembangkan keberanian)
Manusia memiliki potensi amarah. Sifat ini perlu dikembangkan agar menjadi sifat yang mulia yaitu berani (syaja’ah). Syaja’ah adalah keberanian untuk menyampaikan yang hak, membela kebenaran dan memberantas kepalsuan. Tindakan yang gegabah, atau berani tanpa perhitungan atau untuk kesalahan dan juga sifat pengecut, yaitu takut untuk menyampaikan yang hak, membela kebenaran dan memberantas kebatilan, merupakan perbuatan negatif yang sangat tercela.
Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air, sikap syaja’ah ditampilkan melalui tokoh Kiai Ngumar yang berani menyuarakan pendapatnya mengenai sahnya negara Republik yang berdiri dengan pemimpin negaranya pasangan Sukarno-Hatta, yang menyusun kekuasaan pemerintah atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa serta dasar-dasar lain yang semuanya merupakan pokok-pokok dan prinsip-prinsip ajaran Islam dan juga kekuasaan Sukarno-Hatta sudah diakui keabsahannya oleh masyarakat yang menjadikan kekuasaan lain yang muncul belakangan menjadi tidak sah.
Sikap ini muncul ketika Kiai Ngumar dipojokkan oleh Kang Suyud tentang keabsahan negara RI. Menurut Kang Suyud, negara RI tidak sah karena didirikan oleh orang-orang Islam dan non Islam. Menurutnya, DI lebih sah karena didirikan oleh orang-orang Islam dan berjuang di bawah bendera dua kalimah syahadat.
Pada waktu ini Kiai Ngumar dengan tegas menyatakan memilih RI dengan alasan makmum kepada Hadratus Syekh. Ia dengan tegas pula menyatakan Bung Karno dan Bung Hatta memimpin negara RI di atas landasan yang telah disepakati oleh para pemimpin, termasuk pemimpin Islam. Hal ini menunjukkan bahwa Kiai Ngumar memiliki keberanian untuk menyuarakan pendapatnya tanpa takut dengan adanya intimidasi dari pihak lain. Berbeda dengan Amid yang tidak berani menyuarakan pendapatnya karena rasa kesetiakawanan yang dimilikinya. Ia tidak berani menyampaikan wejangan Kiai Ngumar bahwa dengan nawaitu yang ikhlas, menjadi anggota Republik pun sama dengan menjadi anggota Hizbullah. Keadaan inilah yang membuat Amid terseret dalam kerumitan masalah yang nantinya ia hadapi, yaitu menjadi musuh Republik yang selalu dikejar, menjadi buronan serta tidak tenteram hidupnya. Kerumitan masalah Amid muncul karena salah satu penyebabnya adalah sikap Amid yang tidak berani menyuarakan pendapatnya.
Selain hal di atas, sikap syaja’ah ditunjukkan melalui tokoh Kiram yang terkenal akan keberanian dan kenekatannya di masyarakat. Sikap ini muncul ketika Kiram dan Amid ditugaskan oleh tentara Republik untuk menangkap Mantri Karsun, seorang mata-mata Belanda. Walaupun Mantri Karsun adalah seorang mata-mata Belanda yang selalu dikawal oleh tentara Belanda, namun keduanya tidak menjadi gentar untuk menjalankan misi ini dan akhirnya berhasil dengan diserahkannya kepala Mantri Karsun kepada komandan pasukan Republik yang memberi perintah tersebut. Adanya peristiwa ini menjadikan Kiram semakin disegani oleh tentara yang pernah menghinanya maupun tentara lain.
Jadi dengan dimilikinya sikap syaja’ah, seseorang akan lebih dihormati dan tidak akan diinjak-injak harga dirinya. Ia akan memiliki sikap optimis, istiqomah, sehingga tidak mudah terombang-ambing dalam ketidakpastian hidup.
3) Menuntut Ilmu dan Mengajarkan Ilmu
Dalam sudut pandang akhlak (Islam), ilmu harus dicari, karena mencari ilmu merupakan kewajiban setiap muslim laki-laki maupun perempuan, sesuai dengan sabda nabi Muhammad berikut ini:
طلب العلم فريضة على كل مسلم وملمة.
Artinya: “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim dan muslimat”.
Ilmu merupakan hal yang esensial dalam kehidupan manusia. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dilengkapi dengan akal sebagai alat dan sarana manusia untuk berpikir dan untuk menunaikan tugas dan tanggung jawabnya baik sebagai hamba Allah SWT maupun sebagai khalifah fil ardl. Dengan akal inilah manusia dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, dengan ilmu sebagai jembatannya. Karena manusia dibekali akal adalah untuk mengetahui cara-cara beribadah kepada Allah SWT; pengetahuan inilah yang disebut ilmu.
Belajar dan mengajar atau menuntut ilmu dan mengajarkan ilmu merupakan jiwa dan semangat Islam untuk terjaminnya masa depan. Mengenai belajar dan mengajar, Mu’adz bin Jabal mengatakan:
“Pelajarilah ilmu, sebab mencari ilmu karena Allah SWT adalah kebaikan, menuntutnya adalah ibadah, mempelajarinya adalah tasbih, mengkajinya adalah jihad, mengajarkannya adalah sedekah dan membelanjakan hartanya kepada ahlinya adalah kedekatan (qurbah). Ia adalah teman yang menghibur dalam kesendirian, sahabat dalam kesepian, petunjuk dalam suka dan duka, pembantu di sisi sahabat karib, teman di sisi kawan dan penerang jalan surga … karena ilmu adalah kehidupan hati dari kebutaan, cahaya mata dari kezaliman dan kekuataan tubuh dari kelemahan. Dengan ilmu, seorang hamba sampai pada kedudukan orang-orang baik dan tingkatan yang paling tinggi. Memikirkannya setara dengan berpuasa dan mengkajinya sama dengan menegakkan shalat. Dengannya, Allah SWT ditaati, disembah, di-Esakan dan ditakuti. Dengannya pula, tali silaturahmi diikatkan. Ilmu adalah pemimpin dan pengalaman adalah pengikutnya. Ilmu diilhamkan kepada orang-orang yang berbahagia dan diharamkan bagi orang-orang yang celaka.”
Ajaran untuk menuntut ilmu dan mengajarkan ilmu tampak dalam diri tokoh Kiai Ngumar dan ketiga muridnya yaitu Kiram, Jun dan Amid. Kiram, Jun dan Amid menimba ilmu dari Kiai Ngumar seorang bekas tokoh gerakan SI. Selain mengajarkan ilmu silat, Kiai Ngumar juga mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada ketiga muridnya dan murid-murid yang lain. Ada juga masyarakat awam yang ikut menimba ilmu kepada Kiai Ngumar. Hal ini tampak dalam kutipan berikut:
“… bersama beberapa teman, satu diantaranya Kiram, saat itu aku sedang menjadi murid Kiai Ngumar, belajar silat … (LTLA: 1995, 16).
“Mid, kamu keliru. Para ulama seperti Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan sebagainya, bahkan aku sendiri misalnya, tak pernah lupa mengajari orang untuk sembahyang. Bukan hanya mengajarkan bacaan dan tata caranya, melainkan juga dan ini yang paling penting, mengajari jiwa agar setiap orang bisa mewajibkan diri mereka sendiri untuk bersembahyang”. (LTLA: 1995, 44).
Ilmu sangat bermanfaat bagi manusia. Tanpa ilmu manusia tidak akan mampu mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Tanpa ilmu, bisa diibaratkan dengan berjalan dalam kegelapan. Manfaat dari menuntut ilmu ini ditunjukkan dengan adegan ketika Amid terkena peluru yang dilontarkan oleh penyergap atas utusan Belanda, seperti tampak dalam kutipan berikut:
“Dan kain sarung, satu-satunya pakaian yang sedang melekat di badan, terasa kuyup oleh cairan yang amis: darah. Lalu aku ingat ngelmu pemberian Kiai Ngumar : bila sedang diburu bahaya seperti ini, segala pakaian yang melekat harus dibuang agar para pengejar terkecoh … (LTLA: 1995, 29).
Dari kutipan diatas tampak bahwa ilmu yang didapat Amid dari Kiai Ngumar sangat bermanfaat dalam menghindarkan bahaya yang menghadangnya, terbukti dengan lolosnya Amid dari kejaran penyergap Belanda, karena pakaian yang ia kenakan ia buang untuk menghilangkan jejak dari para pengejarnya.
Selain itu, manfaat menuntut ilmu juga tampak dengan masuknya Amid dan kawan-kawannya dalam Barisan Hizbullah dengan bekal pengetahuan silat yang mereka dapatkan dari Kiai Ngumar.
Orang-orang yang berilmu akan dihargai dan dihormati oleh masyarakat. Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air, hal ini tampak dengan sosok Kiai Ngumar yang menjadi figur masyarakat sekitarnya karena pengetahuan yang dimilikinya, selain ia dihormati oleh murid-muridnya. Tampak juga penghargaan terhadap orang yang berilmu (bersekolah), ditandai dengan diterimanya orang-orang yang memiliki ijazah Sekolah Rakyat bagi mereka yang mendaftar tentara Republik. Sementara bagi orang yang tidak berilmu, akan mendapatkan hinaan dan kurang dihargai keberadaannya oleh masyarakat, seperti tampak pada tokoh Kiram yang dihina karena buta huruf dan tidak dimilikinya ijazah Sekolah Rakyat sehingga ia gagal menjadi tentara Republik. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. al-Mujadalah: 11.
يرفع الله ألذين امنوا منكم والذين اوتوالعلم درجة (المجادلة: 11)
Artinya: “Allah SWT akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS. Al-Mujadalah: 11).
c. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Terhadap Rasulullah SAW
Nabi Muhammad adalah utusan Allah SWT. Kepada belilaulah al-Qur’an diturunkan agar disampaikan kepada seluruh umat-Nya. Setiap orang Islam hendaknya mengikuti Sunnah Nabi sebagai wujud dari rasa cinta kepada beliau. Bahkan Allah SWT sendiri pun berfirman agar kita selalu mentaati Rasulullah SAW, sebagaimana bunyi ayat 33 dari surat Muhammad, yaitu:
يأيها الذين امنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول (محمد: 32)
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah SWT dan taatilah Rasul SAW”. (QS. Muhammad: 33)
Ajaran tentang akhlak terhadap Rasulullah SAW ini tampak pada kutipan berikut:
“Dalam riwayat dikatakan, Nabi sendiri pernah mengikat perjanjian untuk bekerja sama dengan kaum Yahudi dan Nasrani dalam menyelenggarakan pertahanan kota Madinah. Nabi setiap dengan janji itu dan baru menarik diri setelah pihak lain berkhianat …” (LTLA: 1995, 45)
“ … sudah pernah kujelaskan kepada Amid bahwa Nabi pun pernah melakukan kerjasama dengan orang diluar Islam untuk menjamin negeri Madinah”. (LTLA: 1995, 63).
Dari kutipan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Kiai Ngumar mengambil Sunnah Nabi dalam meyakini tentang keabsahan negara Republik ini. Ia berkeyakinan bahwa negara Republik tetap sah keberadaannya meskipun dalam susunan kepemerintahannya melibatkan orang-orang non muslim, dengan didasarkan pada riwayat ini. Ungkapan ini diucapkan oleh Kiai Ngumar untuk menepis sanggahan dari Kang Suyud tentang ketidaksahan negara Republik, karena pencetusnya adalah orang-orang Islam dan orang non Islam. Melalui adegan ini Ahmad Tohari ingin menyampaikan bahwa mengikuti sunnah Nabi SAW termasuk manisfestasi akhlak kita terhadap Rasulullah SAW.
d. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Terhadap Sesama
Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air, nilai pendidikan akhlak sesama manusia cukup banyak kita jumpai baik ragam maupun jenisnya. Ajaran akhlak terhadap sesama manusia itu dibagi menjadi dua kategori yaitu akhlak terhadap sesama dalam konteks hubungan kekeluargaan dan akhlak terhadap sesama dalam konteks hubungan kemasyarakatan.
1) Nilai-nilai pendidikan akhlak terhadap sesama dalam konteks hubungan kekeluargaan
a) Ajaran untuk menjaga hubungan suami istri
Tujuan utama sebuah pernikahan dalam Islam adalah membentuk sebuah keluarga sakinah yang dikaruniai ketenteraman, ketenangan dan kedamaian. Meskipun demikian, kedamaian dalam keluarga sakinah bukan berarti tanpa konflik. Sebuah keluarga yang dinamis tidak mungkin lepas dari berbagai pertentangan dan perbedaan pendapat antar anggota keluarganya. Namun perbedaan atau perselisihan itu justru akan mematangkan keluarga tersebut dan bukan menghancurkannya.
Peranan suami sangat penting dalam sebuah keluarga, karena ia bertindak sebagai pemimpin rumah tangga sekaligus pencari nafkah utama bagi keluarganya. Dalam Al-Qur’an juga telah dijelaskan mengenai hal ini, yaitu dalam surat an-Nisa’ 34 yang berbunyi:
الرجال قوا مون على النساء بما فضل الله بعض وبما أنفقوا من أمو الهم.
Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Allah SWT telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki telah menafkahkan sebagian harta mereka.” (QS. An-Nisa’: 34).
Kewajiban seorang suami memberi nafkah kepada keluarganya tampak dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air, yaitu tampak pada diri Madiksan seorang petani huma yang sering membantu Amid dan memberi makanan kepada Amid, seperti kutipan berikut:
Ya. Tiba-tiba aku merasa iri kepada lelaki yang sangat sederhana ini, dia punya dunia yang pasti, yakni keluarga yang mapan. Dia punya wadah jelas untuk membuktikan hasil jerih payahnya. Jagung dan gaplek itu dikumpulkannya dengan susah payah, pasti demi tawa anak-anaknya dan mungkin senyum istrinya. (LTLA: 1995, 102-103).
Dari kutipan diatas tampak bahwa sebagai kepala keluarga, Madiksan memikul tanggung jawab untuk menghidupi keluarganya, yaitu anak dan istrinya. Walaupun dengan hasil panenan yang tidak seberapa. Madiksan memiliki rasa tanggung jawab untuk memberi sesuap nasi agar anak dan istrinya bisa hidup layak, tidak kekurangan sandang dan pangan.
Selain itu dari kutipan diatas juga terlihat bahwa tokoh “aku”, yaitu Amid, juga punya keinginan agar ia dapat menunaikan tugasnya sebagai kepala keluarga agar bisa menghidupi istrinya. Ia merasa iri dengan Madiksan, petani huma itu, karena dengan kesederhanaan dan kesahajaannya ternyata ia mampu memberi nafkah kepada keluarganya. Oleh karenanya ia sangat tersentuh mengingat keadaan Umi, istrinya, yang tidak dapat ia nafkahi dengan layak. Nafkah yang dimaksud di sini bukan hanya nafkah lahir yang bersifat materiil, namun juga nafkah batin yang lebih bersifat immateri. Kalau nafkah lahir dapat berupa tempat tinggal, pakaian dan makanan, maka nafkah batin lebih berupa perhatian dan kasih sayang seorang suami kepada istrinya. Amid merasa, dengan kondisi fisik mereka yang terpisah oleh jarak (Amid yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk bersembunyi dan Umi yang tinggal di tempat kerabatnya), ia sulit sekali bahkan bisa dibilang ia tidak mampu memberi nafkah baik secara lahir maupun batin kepada istrinya secara layak, apalagi Umi sedang dalam keadaan hamil. Kondisi Amid yang demikian ini juga terlihat dari kutipan berikut:
“ … Ya, sampai sejauh ini aku tak punya kepastian, apalagi sesuatu yang lebih nyata seperti rumah yang berisi anak dan istri. Memang, aku punya Umi, istriku. Tetapi aku tak punya kemampuan sehingga Umi tak pernah menikmati ketenteraman. Ya kalau aku mau jujur, bahkan sesungguhnya aku tak punya harapan. “Ah, Umi. Demi kepatuhan, sesungguhnya aku harus membuat sebuah rumah buat kamu. Rumah tempat kau membesarkan anak-anakmu. Rumah dimana kamu aman lahir batin, jauh dari rasa takut karena selalu diburu. Rumah yang sebenar-benarnya rumah” (LTLA: 1995, 103).
Dalam kutipan di atas tampak sekali keprihatinan Amid dengan keadaan istrinya yang tidak dapat ia nafkahi dengan layak, sehingga ia merasa bahwa Umi tidak dapat menikmati ketenteraman karena ia belum dapat memberikan tempat tinggal yang mapan dan aman baik lahir maupun batin, bukan ketakutan dan kecemasan karena suaminya menjadi buronan pemerintah Republik. Tempat tinggal atau rumah yang dimaksud bukan hanya rumah dalam makna fisik saja, akan tetapi rumah di sini mengandung makna yang lebih luas yaitu rumah yang dihuni oleh keluarga sakinah, yang penuh dengan cinta dan ketenteraman, yang membuat penghuninya memiliki rasa aman dan damai tinggal di situ, sehingga pepatah yang berbunyi “rumahku surgaku” bukan hanya berupa pepatah, tapi benar-benar kenyataan yang terjadi.
Diantara suami istri hendaknya ada perasaan untuk saling menghargai, menyayangi dan penuh perhatian antara yang satu dengan yang lainnya. Dengan adanya ikatan perasaan tersebut akan memperkokoh hubungan perkawinan mereka dan menambah perasaan kasih sayang di antara mereka. Manifestasi dari perasaan kasih sayang dapat berupa perhatian dari hal yang biasa sampai ke hal-hal yang sepele. Sikap memperhatikan pasangan ini dapat kita lihat pada tokoh Amid yang membawa barang temuan berupa telur ayam hutan yang ditemukannya secara tak sengaja di hutan dalam perjalanannya menengok Umi istrinya, sebagai oleh-oleh buat istrinya tersebut. Hal ini menunjukkan, walaupun sepertinya sepele, tapi maksud dan tujuan Amid membawa telur-telur ayam hutan itu adalah untuk menunjukkan perasaan kasihnya pada istri yang telah lama tak dijumpainya.
Rasa tanggung jawab seorang suami terhadap seorang istri juga ditunjukkan oleh Amid, seperti ketika istrinya mau melahirkan. Ia merasa dialah yang paling bertanggung jawab terhadap keselamatan istrinya, bukan hanya karena ia yang telah membuat istrinya hamil, akan tetapi karena perasaan cinta kasih terhadap orang yang selama beberapa tahun menemaninya, menjalani hidup bersamanya dan telah menjadi bagian kehidupan dan jiwanya. Maka tidaklah aneh ketika Amid, yang merupakan tentara yang biasanya hidup dalam kekerasan dan kekasaran dan suka memberi perintah kepada orang lain serta ditakuti oleh orang kampung, tidak membantah ketika diperintah oleh seorang dukun beranak untuk membantu mencarikan “piranti” untuk menyambut kelahiran bayi Amid yang berupa rempah-rempah. Selain sikap ini, sikap yang menunjukkan bahwa Amid lebih mementingkan keselamatan keluarganya, yaitu Amid lebih rela menyerahkan istri dan anaknya kepada dukun beranak yang menolong kelahiran bayinya dari pada melihat istri dan anaknya hidup terlunta-lunta tidak jelas tempat tinggalnya serta penuh dengan bahaya yang selalu datang setiap saat.
Seorang istri hendaknya selalu bersikap menerima keadaan suaminya. Walaupun hidup bersama suami penuh dengan kesusahan dan penderitaan, hendaknya tidak membuatnya merendahkan suami dan hendaknya hal itu tidak mengurangi rasa dan sikap berbakti seorang istri kepada suami. Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air, sikap dan rasa berbakti istri terhadap suaminya terlihat dalam diri Umi. Meskipun suaminya adalah buronan pemerintah, akan tetapi Umi tetap menghormati dan menghargai suaminya dan ia mematuhi ucapan suaminya. Juga ketika ia disuruh oleh suaminya (Amid) untuk mengikuti dukun beranak yang telah menolong kelahiran bayinya, ia tetap mematuhinya meskipun harus hidup terpisah dari suaminya.
Sikap Umi yang menerima keadaan suaminya ia tunjukkan dengan jalan memaksa ikut suaminya ke hutan tempat persembunyian Amid. Bagi Umi, seorang istri harus bersama suaminya walau dalam keadaan yang sangat tidak aman sekalipun. Suka dan duka hendaknya dinikmati bersama; ia merasa tersiksa karena jauh dari suaminya. Bukan hanya karena suaminya tidak menunggui sementara ia hamil, tetapi lebih dari itu ia tidak mau berpikir bahwa ketika suaminya menderita, ia hanya duduk-duduk dan diam di rumah, sedangkan ia tidak tahu bagaimana keadaan suaminya. Umi ingin walaupun keadaan sangat tidak menguntungkan bagi mereka, alangkah baiknya kalau semua masalah dan cobaan hidup dihadapi bersama.
Sikap-sikap diatas tercermin dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari.
b) Ajaran Akhlak Tentang Hubungan Orang Tua dan Anak
Agama Islam menuntunkan bahwa hubungan orang tua dengan anaknya memiliki sifat timbal balik. Artinya, seorang anak wajib berbakti pada orang tuanya dan orang tua pun wajib mendidik dan mengasuh anaknya. Kewajiban orang tua dan anak telah diatur jelas dalam Al-Qur’an.
Anak adalah dambaan sebuah keluarga, karena anak adalah penerus kehidupan keluarga. Oleh karena itu, orang tua berkewajiban mengasuh dan mendidiknya agar kelak menjadi generasi yang mampu meninggikan derajat keluarga (orang tua). Ajaran Islam melarang umatnya meninggalkan generasi atau anak yang lemah dan terbelakang. Hal ini dapat kita jumpai dalam QS. An-Nisa’ (4): 9:
واليحش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعفا خافوعليهم.
Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah SWT, orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka …”
Ibu dan bapak adalah perantara seorang anak lahir ke dunia, merawat dan mendidiknya sampai ia dewasa dan mandiri. Karena itu Islam menekankan kewajiban anak untuk berbakti kepada ibu bapaknya, seperti firman Allah SWT:
ووصيناالإنسان بوالديه حملته أمه وهنا على وهن وفصله فى عامين ان اشكر لى ولوا لديك إلي المصير.
Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.” (QS. Lukman: 14)
Allah SWT menggambarkan penderitaan seorang ibu pada saat mengandung, merawat dan mendidik anaknya sebagai isyarat agar anak tidak melupakan jasa yang telah diberikan orang tuanya dan sebagai dorongan untuk menghormati dan memuliakannya.
Hubungan antara orang tua dan anak dalam novel Linkar Tanah Lingkar Air tampak dalam kutipan berikut:
…. Akhirnya aku sampai ke rumah orang tuaku, rumah yang sudah hampir sepuluh tahun kutinggalkan. Aku sangat sadar bahwa kedatanganku tak boleh diketahui orang lain mereka yang bisa kupercaya. Bahkan orangtua ku pasti akan mendapat kesulitan yang sangat besar bila aparat keamanan mengetahui mereka telah menerima kedatanganku. Maka aku tak berani mengetuk pintu. Aku hanya membuat aba-aba halus di emper panjang. Beberapa kali aku membuat aba-aba demi mengetuk nurani seorang Emak yang mungkin sedang terbaring dibalik dinding bambu di dalam sana. Ternyata usahaku tak sia-sia. Emak tetap memiliki kepekaan seorang ibu sejati. Kudengar suara pelupuh bambu berderit halus. Lalu suara Emak yang terbatuk kecil. Terasa olehku ada air sejuk tercurah langsung ke dasar hatiku .(LTLA: 1995, 84-85)
Ah, Emak. Dia merasa, kemudian mengerti ada sesuatu di luar bilik tidurnya. Dan apabila sesuatu itu adalah dia yang pernah dikandung, lalu ditetekinya sekian lama, maka kesejatian seorang ibulah yang mengusiknya. Kudengar suara pelupuh berderit lagi, kukira Emak bangun dan turun dari balai-balai. Kemudian kudengar langkah-langkah sangat halus mendekat ke dinding.
“Kamu, Mid?”.
Ya, Tuhan, itu suara Emak. Itu suara yang sudah sangat lama tak kudengar. Tiba-tiba dadaku berdebar dan tenggorokanku sesak. Mataku panas. Aku tak bisa segera menjawab suara halus itu sampai Emak mengulanginya.
“Mid?”
“Ya, Mak. Aku Amid”.
Kudengar Emak mendesah, lalu berbisik memintaku masuk lewat dapur gelap. Emak memeluk dan mengelus kepalaku dalam kegelapan. Emak menangis, tapi aku tak bisa melihat raut wajahnya. Ayah juga bangun dan aku melihat sosoknya dalam keremangan. Melalui tangisnya, aku mengerti, selama ini Emak tak tahu pasti apakah aku masih hidup atau sudah mati. Dan lewat tangis yang lebih memilukan, aku juga tahu bahwa Emak tidak ingin anaknya tinggal lama karena keselamatanku sangat tak terjamin bila aku sampai terlihat oleh orang lain”. (LTLA: 1995,, 84-86).
“ … Emak ingin menanak nasi buat aku dan menangis ketika aku mencegahnya.
Ketika mendengar suasana ayam berkokok, aku minta diri. Perutku sudah kenyang dengan nasi yang ditanak Emak. Emak memberiku yang dan kuterima karena aku tak ingin mengecewakannya. Tetapi hatiku terasa pepat ketika Emak bertanya apakah suatu saat kelak aku bisa benar-benar pulang ke rumah. (LTLA: 1995, 86-87).
Dari kutipan tersebut, tampak bahwa Ahmad Tohari ingin menyampaikan pada kita bahwa ikatan antara anak dengan orang tua sangat kuat, walaupun sudah terpisah bertahun-tahun lamanya. Ini ditunjukkan melalui kepekaan firasat seorang ibu akan kedatangan anaknya yang telah menghilang sekian lama tanpa kabar berita. Emak Amid menangkap isyarat yang dikirim oleh amid yang berupa “aba-aba halus” di emper panjang diluar rumahnya disertai dengan panggilan hati Amid kepada emaknya. Ini menunjukkan bahwa seorang ibu tetap memiliki nurani yang peka terhadap keberadaan anak yang telah dikandungnya dan dilahirkannya dengan susah payah.
Ahmad Tohari memperlihatkan fakta bahwa seorang ibulah yang telah mengandung, melahirkan bahkan menyusui anaknya dengan kasih sayang yang selalu melimpah. Kasih sayang ini juga tetap ada dan tercurah kepada anaknya, walaupun anaknya itu telah mandiri dan memiliki kehidupan sendiri. Ini terlihat dari sikap emak Amid yang menyambut kedatangan Amid dengan berurai air mata, antara perasaan gembira dan juga sekaligus sedih. Emak gembira karena Amid pulang, namun juga sedih karena ia sadar pertemuan itu tidak boleh berlangsung lama karena bahaya yang akan mengancam Amid dan keluarganya apabila kedatangan Amid tercium orang luar. Kasih sayang Emak terhadap Amid juga ditunjukkan dengan jalan menanak nasi buat anak yang dikasihinya dan memberi uang untuk bekal Amid. Maka benarlah pepatah mengatakan bahwa “kasih ibu sepanjang zaman, kasih anak sepanjang galah”. Hal ini secara tersirat dibenarkan oleh Ahmad Tohari melalui tokoh Emak.
Sikap ibu yang penuh cinta dan kasih sayang itulah yang hendaknya selalu dilihat oleh anak, sehingga ia mampu berbakti dan membahagiakan orang tua, baik melalui sikap, perkataan maupun perbuatannya. Tokoh Amid menunjukkan rasa berbaktinya kepada orang tuanya dengan cara menengok orang tuanya, karena hanya itu yang bisa dilakukannya saat itu. Namun bagi kedua orang tua Amid hal itu sudah cukup mengingat keberadaan Amid yang menjadi buronan pemerintah. Hal yang juga menunjukkan bakti Amid adalah dengan dikirimnya uang pemberian Emak sebagai bekal di perjalanan, walaupun sebenarnya ia enggan menerima karena ia mengerti kesulitan hidup Emak dan bapak. Walaupun sedikit, uang itu tentunya amat bermanfaat bagi Emak dan Bapak. Namun karena ia tidak ingin mengeluarkan dan membuat hati Emak sakit, maka diterimanya juga uang itu. Sikap Amid ini sesuai dengan firman Allah SWT surat al Isra’ ayat 24, yang berbunyi:
وقضى ربك ألاتعبدوا إلا إياه وبالوا لدين إحسانا إمايبفغن عندك الكبر أحدهما او كلا هما فلا تقل لهما أو ولا نتهر هما وقل لهما قو لاكريما (الاسراء: 24)
Artinya: “Dan Tuhan-Mu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan “Ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” (QS al Isra: 24).
Jadi benarlah sikap Amid di atas bila disesuaikan konteks ayat tersebut. Menyatakan “ah” saja tidak boleh, apalagi menyakiti dan mengecewakan orang tua. Sikap Amid yang menjaga perasaan orang tua ini termasuk salah satu cara dan sikap berbakti kepada seorang anak kepada orang tua.
2) Akhlak terhadap konteks hubungan kemasyarakatan.
a) Ajaran untuk saling tolong menolong dan bekerja sama.
Manusia merupakan mahkluk sosial, artinya manusia membutuhkan bantuan orang lain dalam aktivitas hidupnya. Oleh karena itulah, pada awal penciptaan manusia, Adam tidak diciptakan sendirian, tetapi Hawa juga diciptakan untuk menemani Adam. Karena itulah sikap saling tolong menolong sangat di anjurkan oleh Allah SWT kepada manusia, mengingat manusia tidak mampu hidup sendiri, seperti firman Allah SWT QS Al-Maidah: 2, yang berbunyi:
وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونو علىالاثم والعدوان والتقوا الله, إن الله شديد العقاب (المائدة: 62)
Artinya: “Saling tolong menolonglah kamu dalam hal kebaikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam dosa dan kejelekan. Takwalah kepada Allah SWT. Sesungguhnya Allah SWT amat besar siksa-Nya”. (QS Al-Maidah: 2)
Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini ajaran saling tolong menolong tampak ketika Amid meminta pertolongan penduduk kampung ketika ia terluka terkena tembakan pada tangan kanannya pada waktu diserang oleh Belanda. Penduduk kampung yang rumahnya didatangi Amid segera menolongnya, walaupun reaksi penduduk itu ketika melihat Amid yang telanjang dan berlumuran darah, reaksi pertamanya adalah takut dan terkejut, apalagi yang keluar menerima Amid waktu itu adalah seorang perempuan. Namun perempuan itu segera memanggil suaminya agar segera menolong Amid, setelah rasa terkejutnya agar reda.
Sikap saling bekerja sama dan saling bahu membahu tampak dalam sikap yang ditunjukkan oleh Amid dan kawan-kawannya para pencuri balok kayu jati. Sikap ini ditunjukkan dengan jalan Amid dan kawan-kawannya tidak mengusik keberadaan para pencuri kayu tersebut karena para pencuri balok kayu tersebut biasanya disuruh Amid dan kawan-kawannya ke pasar untuk membeli barang belanjaan kebutuhan mereka sehari-hari di tempat persembunyian mereka.
Ajaran untuk menjalin tali kerjasama juga ditunjukkan Ahmad Tohari melalui pendapat tokoh Amid ketika mereka akan menangkap Mantri Karsun, seorang mata-mata Belanda, ketika itu mereka mendapat surat dari tentara Pemerintah yang berisi perintah untuk menangkap mata-mata itu. Menurut Kang Suyud, dengan adanya surat atau tanpa adanya surat perintah tersebut, mereka tetap akan menangkap mantri tersebut. Tetapi menurut pendapat Amid, sebaiknya tindakan menangkap Mantri Karsun hendaknya diatasnamakan tentara dengan maksud untuk membuat tali kerja sama. Menurut pendapat Amid, mereka sangat perlu membuat tali kerja sama dengan tentara Republik, karena kemungkinan besar mereka sangat membutuhkan bahan obat-obatan yang akan lebih mudah didapat apabila mereka menjalin kerja sama. Ini menunjukkan bahwa kerja sama perlu dibina untuk mengantisipasi kekurangan-kekurangan kita, yang dengan adanya kerja sama tersebut membuka peluang bagi kita untuk mendapatkan pertolongan dari pihak lain maupun untuk memberikan pertolongan kepada orang lain.
Hal serupa juga dapat kita temukan pada persahabatan yang terjadi antara Amid dan Madiksan, seorang petani huma. Walaupun Amid adalah seorang laskar DI yang menjadi musuh pemerintah dan ditakuti orang kampung, akan tetapi Madiksan tetap menganggap Amid adalah sahabatnya, jadi sudah sepantasnya kalau mereka saling tolong-menolong. Kalau Amid kebetulan singgah di gubuk huma tersebut, Madiksan sering memberikan makanan dan minuman kepada Amid, karena ia tahu Amid tidak membawa bekal makanan. Madiksan juga tidak melaporkan keberadaan Amid kepada aparat. Menurut Madiksan, Amid dan dirinya sama-sama wong alasan, artinya sama-sama orang yang tinggal di hutan. Mereka adalah brayan urip, atau sama-sama mencari hidup yang mengandung makna rasa kebersamaan. Jadi, Ahmad Tohari melalui tokoh Madiksan dan Amid ini, ingin menegaskan bahwa dalam menjalani hidup, hendaknya kita selalu bersikap baik terhadap sesama (ini terungkap dalam kata “brayan urip”), saling tolong menolong dan kerja sama.
b) Ajaran tentang Adab Bertamu dan Menerima Tamu
Dalam kehidupan bermasyarakat, kita tidak akan pernah lepas dari kegiatan bertamu dan menerima tamu. Adakalanya kita yang datang mengunjungi sanak saudara, teman-teman atau para kenalan, dan di lain waktu kita yang dikunjungi. Supaya kegiatan kunjung mengunjungi tersebut berdampak positif bagi kedua belah pihak, maka Islam memberikan tuntunan bagaimana sebaiknya kegiatan bertamu dan menerima tamu tersebut dilakukan.
Islam mengajarkan kepada umatnya bahwa sebelum memasuki rumah seseorang, hendaklah yang bertamu terlebih dahulu meminta izin dan mengucapkan salam kepada penghuni rumah. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al Qur’an surat An Nur ayat 27 yang berbunyi:
ياايهاالذين امنوالا تدخلوا بيوتاغيربيوتكم حتىتستا نسوا وتسلموا علىاهلها خيرلكم لعلكم تذكرون (النور:27)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum kamu meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. (QS. An Nur: 27)
Ajaran tentang adab bertamu dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air dapat kita temukan dalam beberapa adegan yang dilakukan tokoh-tokohnya, seperti Amid, yaitu ketika Amid dalam keadaan terluka (karena serangan dari beberapa tentara Belanda atas laporan dari Hianli, seorang mata-mata Belanda), ia mendatangi salah satu rumah penduduk di sebuah perkampungan di tepi hutan. Di situ digambarkan bahwa Amid berusaha mengikuti tuntunan agama tentang adab bertamu, yaitu dengan meminta izin kepada penghuni rumah dengan cara memanggil si penghuni rumah dengan suara sesantun mungkin sampai tiga kali, sebagaimana kutipan berikut:
… Sampai ke rumah pertama aku berhenti dan termangu. Tak sedikit pun ada cahaya dari dalam rumah itu. Aku ragu, tetapi aku sangat sadar aku harus segera mendapat pertolongan. Maka dengan suara sesantun mungkin kupanggil si pemilik rumah. Sepi. Sampai tiga kali kupanggil, tetap sepi. Maklum,… (LTLA: 1995, 30)
Adegan dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa apabila seseorang hendak memasuki rumah orang (bertamu) hendaknya ia meminta izin dengan sopan. Meminta izin bisa dengan kata-kata, bisa pula dengan ketukan pintu atau tekan bel atau cara-cara lain yang dikenal baik oleh masyarakat setempat. Bahkan ucapan salam juga bisa dianggap permohonan izin sekaligus sebagai doa untuk penghuni rumah.
Dalam kutipan tersebut, Amid meminta izin untuk bertamu dengan cara memanggil si penghuni rumah dengan suara sopan, agar tidak mengganggu dan menimbulkan kecurigaan atau bahkan tidak menyenagkan si penghuni rumah. Karena itulah, ketika Amid sudah memanggil-manggil penghuni rumah berulang-ulang sampai tiga kali namun belum juga mendapat respon dari penghuni rumah, akhirnya ia diam menunggu jawaban dari penghuni rumah. Sikap Amid yang demikian ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, yaitu:
اذااستاذناحدكم ثلاثا فلم يؤذن له فليرجع(رواه البخا رىومسلم)
Artinya; “Jika seseorang diantara kamu telah meminta izin tiga kali, lalu tidak diizinkan, maka hendaklah dia kembali.” (HR. Bukhori Muslim)
Dari hadits tersebut tampak bahwa hendaknya seseorang meminta izin untuk memasuki rumah orang dilakukan maksimal tiga kali. Ketukan sebanyak tiga kali ini dimaksudkan, ketukan yang pertama sebagai pemberitahuan kepada tuan rumah akan kedatangan tamu; ketukan kedua memberikan kesempatan kepada penghuni rumah untuk bersiap-siap atau menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan; ketukan ketiga diharapkan penghuni rumah sudah berjalan menuju pintu. Setelah ketukan ketiga tetap tidak ada yang membukakan pintu, ada kemungkinan tidak ada orang di rumah, atau penghuni rumah tidak bersedia menerima tamu.
Tamu tidak boleh mendesakkan keinginannya untuk bertamu setelah ketukan ketiga, karena hal tersebut akan mengganggu tuan rumah. Setiap orang diberi hak privasi di rumahnya masing-masing. Tidak ada seorangpun boleh mengganggunya. Tuan rumah, sekalipun dianjurkan untuk menerima dan memuliakan tamu, tapi tetap punya hak untuk menolak kedatangan tamu kalau memang dia tidak dalam suasana siap dikunjungi.
Mengucapkan salam juga bisa dianggap meminta izin bertamu. Mengucap salam pada dasarnya juga tidak berbeda dengan ketukan di pintu ataupun memencet bel. Selain sebagai cara meminta izin, mengucap salam juga bisa diartikan doa tamu yang berkunjung untuk penghuni rumah yang dikunjungi. Ajaran mengucap salam ketika bertamu ini dapat kita temukan dalam adegan ketika Amid berkunjung ke rumah Kiai Ngumar, seusai mengunjungi orang tuanya, seperti kutipan berikut:
… Aku mengucap salam ketika Kiai Ngumar hendak membuka pintu surau. Orang tua itu tak segera membalas salamku… (LTLA: 1995, 87)
Selain itu juga tampak dalam percakapan yang terjadi antara Kiai Ngumar dan Amid tentang kedatangan kelompok pengacau yang mencatut nama gerakan Darul Islam, seperti tampak dalam kutipan berikut:
“Mid, bulan lalu bahkan rumah ini mereka datangi. Mereka uluk salam dan langsung memperkenalkan diri sebagai tentara Islam….” (LTLA: 1995, 90)
Dalam bertamu, ketika akan pulang, hendaknya seorang tamu pamit (meminta izin pulang). Seperti ketika akan memasuki rumah orang kita meminta izin, maka ketika akan pergi pun (keluar dari rumah tersebut), hendaknya seorang tamu pamit kepada tuan rumah. Sikap ini ditunjukkan Ahmad Tohari melalui tokoh Amid yang meminta izin untuk melanjutkan perjalanan, kepada Kiai Ngumar maupun kepada Kang Madiksan yang telah ia kunjungi, sebagaimana tampak dalam kutipan berikut:
…Tengah malam aku pamit kepada Kiai Ngumar. Mungkin… (LTLA: 1995, 93-94)
…Maka setelah meneguk air the kelaras jagung dari cerek Madiksan, aku segera pamit dan meneruskan perjalanan. (LTLA: 1995, 103)
Disamping tuntunan tentang adab bertamu, Islam juga mengajarkan tentang adab atau tata cara menerima tamu. Menerima atau memuliakan tamu tanpa membeda-bedakan status sosial mereka adalah salah satu sifat terpuji yang sangat dianjurkan dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda:
من كان يؤمن بالله واليومالاخرفاليقل خيرااوليصمت ومن كان يؤ من بالله واليوم الاخرفاليكرم جاره ومنكان يؤمن بالله واليوم الاخر فايكرم ضيفه 0رواه البخارىوالمسلم)
Artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan Hari Akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan Hari Akhir hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Memuliakan tamu dilakukan antara lain dengan menyambut kedatangannya dengan muka manis dan tutur kata yang lemah lembut, mempersilakannya duduk di tempat yang baik. Kalau tamu tersebut datang dari tempat jauh dan ingin menginap, tuan rumah wajib menerima an menjamunya. Maksimal tiga hari tiga malam. Lebih dari tiga hari terserah kepada tuan rumah untuk menjamunya atau tidak. Menurut Rasulullah SAW, menjamu tamu lebih dari tiga hari nilainya sedekah, bukan lagi kewajiban, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
الضيافة ثلا ثه ايام وجائزقه يوم وليلة وما انفق عليه بعدذلك فهو صدقة ولا يحل له ان يثوي عنده حتى يخرجخ(رواه التر مذى)
Artinya: “Menjamu tamu itu hanya tiga hari. Jaizahnya sehari semalam. Apa yang dibelanjakan untuk tamu di atas tiga hari adalah sedekah. Dan tidak boleh bagi tamu tetap menginap (lebih dari tiga hari) karena hal itu akan memberatkan tuan rumah.” (HR. Bukhori Muslim)
Ajaran untuk memuliakan tamu ini ditunjukkan Ahmad Tohari melalui sikap dan tingkah laku tokoh-tokohnya, yaitu Kiai Ngumar dan Kang Madiksan. Sikap memuliakan tamu ini tampak dalam adegan ketika Kiai Ngumar dikunjungi Amid, ditunjukkan dengan sikap Kiai Ngumar yang menjawab salam Amid yang diikuti dengan uluran tangan Kiai Ngumar untuk mengajak berjabat tangan. Menjawab salam, selain merupakan kewajiban muslim terhadap sesama, dalam konteks ini juga bisa diartikan sebagai jawaban Kiai Ngumar atas permohonan izin bertamu dari Amid. Demikian juga dengan jabat tangan; jabat tangan disini bisa diartikan bahwa Kiai Ngumar menerima kunjungan Amid dengan suka cita.
Selain itu, sikap memuliakan tamu pada diri Kiai Ngumar juga ditunjukkan dengan sikap Kiai Ngumar yang mengajak Amid bercakap-cakap, saling bertukar sapa menanyakan kabar dan keadaan masing-masing, disamping menyediakan bilik lengkap dengan depannya yang bersih untuk menginap. Begitu juga pakaian yang bersih pun sudah tersedia untuk Amid. Hal tersebut menunjukkan fakta bahwa sikap Kiai Ngumar ini sesuai dengan ajaran Nabi untuk menerima tamu dan memuliakannya dengan layak sejalan dengan maksud hadits di atas.
Selain tampak pada diri Kiai Ngumar, ajaran untuk memuliakan tamu juga tampak dalam diri Kang madiksan, seorang petani huma. Ketika Amid mampir ke dangau Kang Madiksan dalam perjalanannya untuk menjemput Umi, di sana Amid disambut dengan hangat dan ramah. Buka hanya itu, bahkan Amid pun ditawari air teh dan jagung bakar oleh Kang Madiksan, yang segera diterima Amid karena perut Amid memang sedang dalam keadaan lapar. Meskipun sederhana, tetapi sikap Kang Madiksan tersebut tentunya membuat Amid betah dan senang berkunjung, tetap menjalin tali silaturahmi. Sikap inilah yang dianjurkan oleh Nabi muhammad SAW, yaitu orang muslim hendaknya menerima dan memuliakan tamunya, sehingga tamu tersebut akan merasa diterima Kedatangannya, dan hal itu akan menumbuhkan rasa keterikatan dengan penghuni rumah dan akan menumbuhkan rasa untuk tetap menjalin tali silaturahmi.
Cara Kang Madiksan yang menjamu Amid (walau hanya dengan air the dan jagung bakar) tersebut, sejalan dengan maksud hadits di atas, yaitu bahwa orang yang dalam perjalanan kemudian ia mampir untuk menumpang beristirahat, hendaknya ia ditawari makanan ala kadarnya, karena mungkin dalam perjalanan tamu tersebut belum menemukan makanan. Sehingga kalau tamu tersebut ditawari makanan, paling tidak ketika melanjutkan perjalanan orang tersebut dalam keadaan dan kondisi yang kuat untuk melanjutkan perjalanan.
c) Ajaran Untuk Saling Memaafkan
Ajaran Islam mengajarkan kepada umatnya untuk bersifat pemaaf agar jiwa dan hatinya tentram. Sifat pemaaf tidak akan merugikan diri sendiri maupun orang lain. Sifat pemaaf juga tidak akan merendahkan derajat, bahkan sebenarnya menguntungkan karena orang yang suka memaafkan akan mendapatkan ketenangan jiwa dan pahala dari Allah SWT orang yang pemaaf akan jauh dari sifat dendam.
Ajaran untuk bersifat pemaaf atau saling memaafkan dapat dijumpai dalam Al-Qur’an, seperti dalam surat Ali-Imran ayat 134 yang berbunyi:
الذين ينفقون فى السراء والضراء والكا ضمين الغيظا والعا فين عن الناس والله يحب المحسنين (العمران: 134).
Artinya: “Yaitu orang-orang yang memaafkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah SWT menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.
Ajaran untuk saing memaafkan tampak dalam permintaan maaf Kiai Ngumar pada Amid ketika Amid menengok Kiai Ngumar dalam perjalanan dari rumah orang tuanya menuju hutan tempat bersembunyi, seperti tampak dalam kata-kata Kiai Ngumar dalam kutipan berikut:
“Mid, aku sudah tua. Aku tak yakin masih punya kesempatan untuk bertemu kamu sekali lagi. Jadi sebelum kamu pergi, yakinkan bahwa kamu memaafkan semua kesalahanku. Aku berdoa untuk keselamatanmu”.
Untuk ketulusan hati Kyai Ngumar, aku hanya bisa menganggukkan kepala dan mencium tangannya. (lTLA: 1995, 94)
Dari kutipan diatas tampak bahwa Ahmad Tohari ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa kita harus saling memaafkan. Di situ terlihat bahwa walaupun Kiai Ngumar lebih tua umurnya dibanding Amid, namun ia tidak segan untuk meminta maaf kepada Amid. Ini memberi pelajaran pada kita bahwa walaupun orang yang lebih tua, kalau ia memang benar-benar memiliki kesalahan hendaknya ia meminta maaf meskipun kepada orang yang lebih muda. Demikian juga orang yang dimintai maaf, hendaknya ia tidak bersikap angkuh, dan mentang-mentang, merasa dirinya tidak bersalah, dan segera memberikan maaf kepada orang meminta maaf. Ini terungkap dalam anggukan Amid ketika Kiai Ngumar meminta Amid. Anggukan Amid dapat diartikan bahwa ia menerima permohonan maaf Kiai Ngumar.
d) Ajaran akhlak terhadap negara (pemerintah)
Novel Lingkar Tanah Lingkar Air sebenarnya adalah novel yang ditulis oleh Ahmad Tohari berkaitan dengan akhlak terhadap tanah air. Lingkar Tanah Lingkar Air menurut Ahmad Tohari memuat suatu makna tentang rasa cinta dan pembelaan tanah air. Maka tidak heran kalau dalam novel ini banyak kita temukan ajaran tentang akhlak terhadap tanah air. Seperti sikap memerangi penjajahan dan bersikap taat kepada pemerintah.
Sikap memerangi penjajah tampak dalam sebagian besar kisah ini, ditunjukkan lewat perjuangan Amid dan kawan-kawannya yang membentuk Laskar Hizbullah, bersama-sama dengan tentara Republik. Selain itu juga tampak dalam nasehat-nasehat Kiai Ngumar, seperti dalam kutipan berikut:
“Ya. Dalam rapat itu Hadratus Syekh dari Jawa Timur mengeluarkan fatwanya. Beliau bilang, berperang, melawan tentara Belanda untuk mempertahankan negeri sendiri yang baru merdeka, wajib hukumnya bagi semua orang Islam. Dan siapa yang mati dalam peperangan melawan tentara Belanda yang kafir, dialah syahid”. (LTLA: 1995, 17).
“ … Dasar niatnya lillahi taala, tujuannya melaksanakan wajib memerangi kafir yang berbuat kerusakan dinegeri ini, seperti sudah difatwakan Hadratus Syekh …” (LTLA: 1995, 38-39).
“ … kini saya tahu, kewajiban berjihad untuk memerangi kekuatan yang membuat kerusakan dinegeri ini sesungguhnya bisa juga dilakukan melalui ketentuan resmi. Maksud saya tidak semata-mata harus melalui Hizbullah”. (LTLA: 1995, 45).
Beberapa kutipan diatas memberikan pemahaman pada kita bahwa kita wajib melaksanakan jihad. Setiap warga negara yang memiliki rasa cinta terhadap tanah air, wajib memerangi orang-orang yang ingin merusak ketenteraman dalam negeri kita. Jihad, sesuai dengan fatwa ulama di atas, menjadi kewajiban setiap warga negara, baik dilaksanakan melalui ketentuan resmi ataupun gerakan sendiri (Hizbullah). Jihad tidak hanya bisa dilakukan melalui suatu gerakan Islam saja, tetapi juga dapat dilakukan melalui ketentuan resmi atau gerakan yang bukan atas nama Islam.
Keabsahan akan kedaulatan dan kemerdekaan suatu negara merupakan keinginan seluruh warga negara. Sah tidaknya pemerintah juga ditentukan oleh suara rakyat. Suatu pemerintahan dianggap sah apabila diakui oleh suara mayoritas atau suatu terbanyak. Peristiwa ini (pemilihan pemimpin dengan suara terbanyak) telah ada sejak pemilihan Khalifah Umar Bin Khattab. Pemilihan khalifah ini didasarkan pada pengakuan suasana rakyat yang mayoritas.
Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air, hal seperti ini tampak pada pengakuan Kiai Ngumar akan sahnya pemerintahan RI dibawah pimpinan Sukarno-Hatta, didepan murid-muridnya, termasuk Kang Suyud. Menurut Kiai Ngumar ia berani mengakui pemerintahan Sukarno-Hatta tersebut berdasarkan alasan bahwa pemerintah itu diakui oleh mayoritas warga negara Indonesia. Bagi Kiai Ngumar, tidak ada alasan untuk tidak mengakui keabsahan kedaulatan negara RI walaupun alasan bahwa RI dicetuskan berdasarkan pemikiran orang-orang non muslim. Menurut Kiai Ngumar, meskipun pencetusnya terdiri dari beberapa tokoh yang berlainan agama, tidak hanya yang beragama Islam saja, namun sendi-sendi dasar yang menopang berdirinya negara RI adalah berasaskan Islam. Maka sudah sepantasnya kalau kita sebagai warga negara harus mentaati pemerintah.
Ajaran mentaati pemerintah sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al Qur’an surat An Nisa’ ayat 59 yang berbunyi:
ياءيهاالذين امنوااطيعواالله واطيعواالرسول واولىالامر منكم فان تنا زعتم فى شيءفردوهالىالله والرسول ان كنتم تؤ منون(النساء:59)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah SWT dan taatilah Rosul (Nya) dan Ulil amr I diantaramu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah SWT (Al-Qur’an) dan Rosul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah SWT dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Perintah taat kepada Rasulullah SAW disebutkan secara eksplisit seperti perintah taat kepada Allah SWT, sementara perintah taat kepada ulil amri diikutkan kepada perintah sebelumnya. Artinya kepatuhan kepada ulil amri terkait dengan kepatuhan ulil amri itu sendiri kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW-Nya. Ulil amri yang disebut dalam ayat ini ditafsirkan oleh surat Al Maidah ayat 55, yaitu orang beriman yang mendirikan sholat, membayar zakat dan selalu tunduk kepada Allah SWT.
Untuk hal-hal yang sudah diatur dan ditetapkan oleh Al Qur’an dan hadits, sikap pemimpin dan yang dipimpin sudah jelas, harus sama-sama tunduk pada hukum Allah SWT. Tetapi dalam hal-hal yang bersifat ijtihadi, ditetapkan secara musyawarah dengan mekanisme yang disepakati bersama. Akan tetapi apabila terjadi perdebatan pendapat yang tidak dapat disepakati antara pemimpin dan yang dipimpin, maka yang diikuti adalah pendapat pemimpin. Yang dipimpin kemudian tidak boleh menolaknya dengan alasan pendapatnya tidak dapat diterima.
Sikap mentaati pemerintah, selain tampak dalam diri Kiai Ngumar, juga tampak dari pikiran tokoh Amid pada bagian awal kisah novel ini. Di situ digambarkan bahwa Amid dan kawan-kawannya yang tergolong dalam gerakan DI menyerbu desa yang mempunyai sebuah madrasah dan masjid besar, karena imam masjid tersebut tidak mau mendukung gerakan DI. Kiai tersebut berkeyakinan, bahwa pemerintahan Bung Karno sah karena didukung para pemimpin Islamdan tidak menganjurkan kekufuran bahkan mengupayakan kemaslahatan serta kesejahteraan umum. Pemerintah Bung Karno juga dianggapnya sah sebab, kata kiai itu, lebih baik ada pemerintah meskipun jelek daripada tak ada pemerintah sama sekali setelah Belanda meninggalkan tanah air. Kiai tersebut juga mengatakan bahwa taat kepada pemerintah merupakan kewajiban kita, sebagaimana kutipan berikut:
“…Taat kepada pemerintah yang sah adalah kewajibanku, kewajiban menurut imanku, iman kita.”(LTLA: 1995, 10)
Hal tersebut sesuai dengan ungkapan Kiai Ngumar dalam kutipan berikut:
“…Dan ingatlah pelajaran dalam kitab, terhadap pemerintah yang sah kita wajib menaatinya. “(LTLA: 1995, 61)
Di situ digambarkan bahwa taat kepada pemerintah ada dasar hukumnya, karena jelas-jelas telah ada dalam kitab. Kitab yang dimaksudkan Kiai Ngumar di sini adalah Al Qur’an. Jadi jelaslah bahwa taat kepad pemerintah merupakan kewajiban setiap warga negara yang memiliki rasa cinta tanah air.
Mentaati pemerintah (DI) juga ditunjukkan oleh Ahmad Tohari pada diri Amid yang langsung setuju untuk meletakkan senjata begitu mendengar ada selebaran yang ditanda tangani oleh Kholifah DI (Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo) yang berisi bahwa seluruh laskar DI hendaknya meletakkan senjata, karena perjuangan mereka sudah berakhir dengan tertangkapnya tokoh DI tersebut walaupun dalam kacamata umum salah, yaitu sikap Amid untuk mentaati pemerintah yang tidak sah, akan tetapi di sini terlihat adanya sebuah niat untuk mentaati pimpinan (walaupun bukan pemerintah yang sah). Di sini Ahmad Tohari ingin memperlihatkan kepada kita bahwa hendaknya kita selalu mentaati pemerintah, akan tetapi jangan lupa juga bahwa kita tidak boleh salah langkah dalam melaksanakan sikap tersebut.
e. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Terhadap Alam Sekitar
Allah SWT menciptakan manusia dengan berbagai kelebihan yang tidak dimiliki makhluk lain, sehingga menempatkan manusia pada posisi yang tinggi dibandingkan dengan makhluk lain. Manusia merupakan makhluk yang paling mulia, cerdas karena memiliki akal dan yang paling baik bentuknya.
Berbagai kelebihan yang dimiliki manusia sebenarnya berfungsi untuk membantu tugasnya dimuka bumi yaitu sebagai khalifah fil ardhi. Manusia mengemban misi rohmatan lil ‘alamin, artinya rahmat bagi seluruh alam. Dengan demikian, meskipun manusia diberi kekuasaan dimuka, namun tidak boleh menentang sang pemberi kekuasaan sekaligus penciptanya, yaitu Allah SWT. Adapun tugas yang diamanatkan Allah SWT kepada manusia dimuka bumi adalah memelihara, menjaga dan memakmurkan serta memperbaiki bila terjadi kerusakan.
Selain manusia, Allah SWT menciptakan makhluk hidup lain di muka bumi, yaitu hewan dan tumbuh-tumbuhan. Kedua jenis makhluk ini telah dimandatkan Allah SWT kepada manusia untuk dijaga dan dipelihara. Oleh karena kasih sayang yang dianugerahkan Allah SWT tidak hanya untuk sesama manusia, tetapi juga untuk makhluk hidup lain.
Perintah Allah SWT agar manusia mencintai hewan dan tumbuhan dapat dijumpai dalam Al-Qur’an. Ajaran untuk mencintai hewan dapat dijumpai dalam QS. Al Baqarah (2): 205, an Nahl (16): 5, 66-68 dan Yasin (36): 72. Ajaran mencintai hewan dan tumbuhan juga tersirat melalui pemberian nama beberapa surat dalam Al-Qur’an dengan nama hewan dan tumbuhan. Beberapa surat tersebut adalah surat al Baqarah (sapi betina), al An’am (binatang ternak), an Nahl (lebah), an Naml (semut), al Ankabut (laba-laba), al Fiil (gajah) dan at Tiin (buah tin).
Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air, sikap atau akhlak terhadap binatang tampak ketika Amid, baik dalam keadaan sendiri maupun bersama kawan-kawannya, didatangi macam tutul. Amid dan kawan-kawannya tidak pernah mengusik keberadaan macam tutul. Maka ketika ada macan tutul yang bersembunyi di dekat mereka pada saat ada tentara yang mau menangkap mereka, macan tutul itu tidak mengganggu mereka. Sepertinya macan tutul itu tahu bahwa pada orang yang tidak bersikap jahat kepada mereka, mereka juga tidak akan mengganggu.
Selain itu juga tampak dalam pendeskripsian alam yang indah oleh Ahmad Tohari melalui ungkapan-ungkapan tentang alam ciptaan Allah SWT ini. Ahmad Tohari ingin mengajak kita untuk merenungi alam ciptaan Tuhan, sehingga hati kita tergerak untuk bersyukur pada Tuhan dengan jalan memanfaatkan alam ini dan menjaganya agar tidak terjamah oleh tangan-tangan jail yang ingin merusaknya, seperti tampak pada kacau burung srigunting yang dapat dijadikan pertanda datangnya musim hujan, musim yang bagus untuk bercocok tanam atau juga pada diri Madiksan yang menggarap lahan pertaniannya dengan baik sehingga hasil yang didapatkannya dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
Beberapa paparan di atas adalah beberapa ajaran akhlak yang dapat kita jumpai dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air.
C. Metode Penyampaian Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Dalam Novel Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Tohari
Dalam menyampaikan pesan-pesan ataupun nilai-nilai moral dalam karyanya, seorang pengarang dapat menggunakan beberapa metode, diantaranya metode ekspository, metode dramatis dan metode kontekstual. Adapun metode penyampaian pesan yang digunakan oleh Ahmad Tohari untuk menyampaikan nilai-nilai pendidikan akhlak adalah metode dramatis. Dalam metode dramatis ini, tokoh-tokohnya dinyatakan dramatis, yaitu pengarang membiarkan tokoh-tokohnya untuk menyatakan diri mereka sendiri lewat kata-kata, tindakan atau perbuatan mereka sendiri. Pemakaian metode dramatis dapat dilakukan dengan beberapa teknik, antara lain: 1) teknik naming, 2) teknik cakapan, 3) teknik perbuatan tokoh, 4) teknik sikap tokoh, 5) teknik stream of conciousness, 6) teknik sikap tokoh, 7) teknik pelukisan latar dan lain-lain.
Dari beberapa teknik diatas, Ahmad Tohari menggunakan teknik penyampaian dengan cakapan, teknik pikiran tokoh, teknik perbuatan tokoh dan teknik pelukisan latar.
1. Penyampaian nilai-nilai pendidikan akhlak dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air dengan teknik cakapan.
Dalam teknik cakapan ini, pengarang menggunakan kata-kata yang diucapkan oleh para tokoh dalam percakapan, yang mana kata-kata tersebut mencerminkan atau berindikasi nilai-nilai akhlak.
Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air, percakapan yang mencerminkan nilai-nilai akhlak dapat kita jumpai pada melalui percakapan antara Amid, Kiram dan Jun dengan Kiai Ngumar ketika mereka meminta nasehat pada kiai tua itu. Di situ dapat kita lihat tentang bagaimana akhlak kita terhadap negara yang kita miliki ini. Selain itu kita akan menjumpai ajaran bersyukur melalui ucapan Kiai Ngumar ketika berbincang-bincang dengan Amid tentang perlakuan orang-orang komunis terhadap Kiai Ngumar. Hal itu tampak dalam kutipan berikut:
“Alhamdulillah, tidak mereka hanya minta uang, dan kuberikan semua yang memang tak seberapa. Tetapi di tempat lain mereka …” (LTLA: 1995, 90)
Ajaran untuk mengingat Allah SWT juga tampak dengan ucapan-ucapan kalimah thayyibah melalui tokoh-tokoh dalam novel ini serta kalimat-kalimat yang mengungkapkan keteringatan kepada Allah SWT. misalnya saja kalimat istirja’ yang diucapkan oleh Kiai Ngumar ketika mendengar cerita Amid bahwa Amid, Kiram dan Jun telah menjadi musuh Republik dan mereka diserbu oleh tentara Republik, seperti tempat pada kutipan berikut:
“Innalillahi, tak kusangka akan menjadi begini”, keluh Kiai Ngumar (LTLA: 1995, 70).
Rasa keteringatan kepada Allah SWT juga tampak dengan ucapan-ucapan seperti kata “Ya Tuhan”, “Demi Tuhan”, dan masih banyak ungkapan-ungkapan yang menunjukkan tentang ingat kepada Allah SWT. Demikian juga tentang niat ikhlas, hendaknya ketika melakukan perbuatan disertai dengan niat ikhlas. Hal itu tampak pada kutipan berikut:
“Hizbullah adalah gerakan perlawanan rakyat yang bersifat sukarela. Dasar niatnya lillahi taala, tujuannya … (LTLA: 1995, 38)
“ … Karena niatnya lillahi taala, anak-anak hizbullah tidak akan menerima gaji dan kukira harus …” (LTLA: 1995, 39)
“ … Asal jangan kalian lupa, nawaitunya lillahi taala dan kembalilah ke desa bila kelak keadaan sudah aman. Dalam pengertian seperti itulah dulu aku justru menyebut kalian Hizbullah” (LTLA: 1995, 40).
Masih banyak kita jumpai percakapan-percakapan tokoh yang menunjukkan tentang ajaran-ajaran akhlak baik akhlak terhadap Allah SWT, sesama manusia, diri sendiri maupun terhadap lingkungan sekitar, seperti yang ada pada pembahasan sebelumnya.
2. Penyampaian Dengan Teknik Pikiran Tokoh
Selain menggunakan teknik cakapan, dalam penyampaian nilai-nilai pendidikan akhlak ini, Ahmad Tohari juga menggunakan teknik pikiran tokoh, seperti dalam kutipan berikut:
“Apa yang paling menarik bagiku pada mayat letnan itu adalah pistol, sebuah FN buatan Belgia dengan tiga magasin yang penuh peluru. Aku segera mengambil barang yang sangat kami perlukan itu. Tetapi aku juga merogoh kantong celananya yang kombor untuk mencari rokok atau uang. Dan apa yang kudapatkan dari sana amat memukul sanubariku: seuntai tasbih dan sebuah Al-Qur’an kecil kedua benda itu, bahkan dalam suasana mayat dekat mayat pemiliknya, tak peduli ia seorang militer Republik, tergeletak di depan mataku karena peluru yang kutembakkan.
Aku merasakan adanya dua kekuatan tarik-menarik, suatu pertentangan yang mulai mengembangkan dalam hatiku. Seorang lelaki, militer yang baru kubunuh itu, agaknya ingin selalu merasa dekat dengan Tuhan. Dan ia telah kuhabisi nyawanya. Sementara itu aku harus percaya bahwa Tuhan yang selalu ingin diingatnya melalui tasbih dan Al-Qur’annya itu pastilah Tuhanku juga, yakni Tuhan kepada siapa Gerakan Darul Islam ini mengatasnamakan khidmahnya.hatiku terasa terbelah oleh ironi yang terasa sulit kumengerti.
Sesuai dengan peraturan mengenai barang-barang rampasan, maka pistol, sepatu, termos air serta tasbih dan Al-Qur’an itu kami kumpulkan untuk dibagi dengan adil. Disepakati, pistol menjadi milik Kang Suyud karena dia terlalu lemah untuk menggunakan senjata yang lebih berat. Sepatu untuk Kiram dan termos ari untuk Jun aku mendapatkan baju dan celana. Anehnya, tasbih dan Al-Qur’an tak segera mendapat pemilik. Aneh pula tak ada yang berani membuangnya jadi aku mengambil kedua benda itu untuk menjadi milikku, dan tak seorangpun merasa keberatan. Celakanya, melalui benda-benda itu bayangan Islam yang kubunuh sering muncul dalam rongga mataku. Tasbih dan Al-Qur’an itu juga seakan selalu mengingatkan aku bahwa pemiliknya, Letnan yang sudah kubunuh itu, adalah orang yang tak seharusnya kubahisi nyawanya” (LTLA: 1995, 12-13).
Dari kutipan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa ada pesan tersirat yang ingin disampaikan oleh Ahmad Tohari melalui pikiran Amid. Disitu terlihat bahwa Letnan yang dibunuh oleh Amid adalah orang yang se-iman dengan Amid, sehingga darahnya haram untuk dibunuh. Begitu juga dengan adanya tasbih dan Al-Qur’an yang ada dalam kantong celana Letnan itu menunjukkan bahwa letnan tersebut adalah orang yang selalu ingin merasa dekat dan selalu ingat pada Tuhan. Dari kutipan ini terlihat bahwa pengarang ingin menyampaikan bahwa tidak seharusnya kita selalu bersikap suudzon. Selain itu ajaran untuk mengingat Allah SWT terlihat dalam diri letnan, semua itu ajaran melalui pikiran tokoh yaitu Amid.
Selain itu dalam novel ini juga akan kita jumpai ajaran-ajaran seperti bagaimana kewajiban suami terhadap istri, bagaimana sikap anak terhadap orang tua, maupun sikap kita terhadap lingkungan kita yang disampaikan oleh Ahmad Tohari melalui pikiran-pikiran tokoh yang ada dalam novel ini, yang dapat kita lihat pada lampiran.
3. Penyampaian Dengan Teknik Perbuatan Tokoh
Melalui teknik perbuatan tokoh ini, pengarang ingin menyampaikan nilai-nilai yang disampaikan melalui aktivitas atau perbuatan tokoh. Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini, Ahmad Tohari dalam menyampaikan nilai-nilai pendidikan akhlak disampaikan melalui aktivitas tokoh seperti Kiai Ngumar, Amid, Kiram, Jun maupun tokoh-tokoh lain seperti Umi, Kang Suyud dan lain-lain. Aktivitas yang menunjukkan ajaran akhlak ini tampak seperti ketika Kiram dan Amid menguburkan mayat Kang Suyud maupun ayah Umi, seperti dalam kutipan berikut:
Aku bergegas meninggalkan hunian yang sudah berubah menjadi tempat mengerikan itu. Kulihat Kiram mencari sesuatu dekat bekas kandang kambing Ia menemukan apa yang dicarinya. Cangkul kemudian Kiram menyusul aku pergi kebalik batu besar itu.
Dalam kebisuan yang mencekam, aku dan Kiram mengurus mayat Kang Suyud. Semuanya serba sahaja. Sempat kubayangkan andai Kang Suyud meninggal di tengah suasana normal di kampungnya; pasti ratusan orang akan mendo’akannya dan mengiringkan mayatnya sampai ke kubur. Tapi pagi ini ia akan dikubur dengan tata cara seadanya, bahkan hanya dengan do’a yang masih bisa kami ingat. (LTLA: 1995, 6-7).
Dari kutipan tersebut tampak bahwa menguburkan mayat merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang muslim terhadap muslim yang lain, walaupun dengan cara yang paling sederhana karena keadaan yang mendesak.
Selain itu aktivitas tokoh yang menunjukkan ajaran akhlak yaitu ketika Kiai Ngumar akan melakukan sembahyang, Kiai Ngumar berwudlu terlebih dahulu, seperti dalam kutipan berikut:
Bulan sudah tergelincir ketika Kiai Ngumar bangkit dan berjalan ke perigi. Detak terompah kayu setia mengiringinya. Terdengar kecipak air ketika Kiai Ngumar mengambil air sembahyang. Ada suara burung hantu dari arah selatan. Dan sinar bulan tiba-tiba lenyap karena segumpal awan bergerak menghalanginya.”
Kyai Ngumar masuk ke surau dan bersembahyang” (LTLA: 1995, 46).
Melalui aktivitas tokoh Kiai Ngumar tampak adanya ajaran akhlak tentang beribadah kepada Allah SWT dan juga sebelum menyembah-Nya kita harus membersihkan diri dulu, yaitu mengambil air wudlu. Tuhan sangat mencintai kebersihan, maka ketika kita menyembah-Nya kita hendaknya juga dalam keadaan bersih.
4. Penyampaian Dengan Teknik Pelukisan Latar
Suasana atau pelukisan latar (tempat/alam) sekitar tokoh, selain sering dipakai untuk melukiskan kedirian tokoh, juga sering dipakai pengarang untuk mengajak pembaca untuk melakukan tadabbur alam secara tidak langsung. Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini, Ahmad Tohari juga mengajak pembaca untuk dapat “membaca” alam ciptaan Tuhan. Sehingga diharapkan akan tumbuh rasa syukur atas karunia dan rahmat Allah SWT yang nantinya akan mempertebal iman dan taqwa mereka.
Pelukisan latar dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini salah satunya adalah pada awal bab dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini. Selain itu ada dalam pertengahan kisah novel ini, seperti kutipan berikut:
… keluar dari batas kampung aku harus menempuh kebun singkong yang luas. Langit gelap sempurna, malah gerimis mulai jatuh. Ketika langit menjadi sehitam jelaga, maka kitat tampak sebagai garis-garis patah yang terpijar sesaat danamat menylaukan mata. Ditengah tanda-tanda keperkasaan alam, aku merasa menjadi semut kecil yang merayap tanpa daya dalam kegelapan yang sugngguh pekat. Namun demikian aku terus berjalan. Gerimis makin deras, kilat kembali membelah langit dan berteduh disana. Tetapi tiba-tiba kilat yang begitu benderang kembali datang aku menutup telinga dengan kedua telunjuk karena yakin geledek akan segera membahana. (LTLA: 1995, 94-95)
Jadi aku hanya duduk bersandar pada batang randu disamping Kiram yang sudah mendengkur. Kulihat dipucuk sana, seekor burung srigunting bertengger dan sesekali berkicau. Bulunya yang hitam pekat tampak berkilat oleh cahaya matahari pagi. Ekornya yang terbelah menyerupai sebuah gunting, terbuka bergerak-gerak mengikuti irama kicaunya. Para petani tahu, kicau srigunting adalah pertanda datangnya mangsa keempat, masa keempat dalam pranata mangsa atau kalender pertanian tradisional. Itulah saat yang baik untuk menebar benih d lahan kering, karena musim hujan sudah menjelang” (LTLA: 1995, 35).
Dari kutipan ini tampak kemahiran dan kelihaian Ahmad Tohari dalam melukiskan alam yang bisa menghanyutkan pikiran dan perasaan pembaca dan memberi kesadaran akan ke-Mahakuasaan Tuhan. Hal itu tampak ketika Ahmad Tohari melukiskan bagaimana langit yang begitu kelam bisa tampak indah oleh adanya kilat yang nampak seperti garis-garis patah yang berpijar, yang membuat kegelapan yang tadinya sangat pekat menjadi terang sesaat. Di situ Ahmad Tohari ingin menyampaikan betapa Allah SWT sungguh Maha Kuasa terhadap apa yang ada di sekitar kita. Bahkan hal yang sepele yang kadang luput dari perhatian manusia, seperti burung srigunting yang sepertinya biasa-biasa saja, ternyata memiliki ekor yang menyerupai gunting, bahkan kicauannya pun dapat dijadikan sebagai patokan datangnya musim untuk menyebar benih. Karena petani biasanya menyebar benih ketika awal musim hujan, sehingga ketika musim hujan telah tiba, petani tinggal menanam padi. Dengan berkicaunya burung srigunting, petani bisa tahu bahwa musim hujan mulai menjelang sehingga mereka bersiap untuk menyebar benih dan menggarap sawah mereka.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dimuka, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Novel Lingkar Tanah Lingkar Air lahir sebagai upaya Ahmad Tohari untuk menghilangkan dikotomi antara sikap beragama dan bernegara, dimana novel tersebut merupakan wawancara langsung Ahmad Tohari dengan seorang bekas laskar DI yang difiksikan.
2. Novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini berisi pesan-pesan keagamaan yang dominan, terutama nilai pendidikan akhlak, sehingga novel ini dapat dikategorikan sebagai novel religius dan posisinya dapat dijadikan sebagai media pendidikan, khususnya pendidikan akhlak.
3. Novel Lingkar Tanah Lingkar Air merupakan karya sastra novel yang mengandung nilai-nilai pendidikan akhlak, meliputi akhlak terhadap Allah, akhlak terhadap diri sendiri, akhlak terhadap Rasulullah, akhlak terhadap sesama dalam konteks hubungan kekeluargaan dan masyarakat serta akhlak terhadap lingkungan. Metode penyampaian nilai-nilai pendidikan akhlak dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air menggunakan metode dramatis dengan teknik cakapan, teknik pikiran tokoh, teknik perbuatan tokoh dan teknik pelukisan latar.
B. Saran
Setelah mengadakan kajian nilai-nilai pendidikan akhlak terhadap novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari, ada beberapa saran yang penulis sampaikan:
1. Selama ini masyarakat beranggapan bahwa fungsi novel hanyalah kesenangan atau hiburan saja. Karena itu, menjadi tugas bagi para pecinta novel untuk menghapus asumsi masyarakat tersebut dengan cara menganalisis dan mengambil manfaat yang terkandung dalam novel.
2. Penelitian-penelitian terhadap novel atau karya sastra yang lain hendaknya digalakkan, mengingat banyak sekali karya sastra yang ada disekitar kita dan tidak semua pembaca mampu memahami makna dan amanat yang terkandung dalam sebuah karya sastra. Oleh karena itu, adanya penelitian-penelitian terhadap novel atau karya sastra yang lain akan sangat membantu pembaca dalam memahami pesan suatu karya sastra.
C. Kata Penutup
Syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. Akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, walaupun dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal ini mengingat keterbatasan kemampuan yang dimiliki kekurangan dan kemungkinan masih jauh dari standar skripsi yang berkualitas. Oleh karena itu penulis mohon saran dan kritikan kepada pembaca, guna perbaikan-perbaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT juga mengampuni kesalahan-kesalahan penulis jika terjadi kesalahan didalam penulisan skripsi ini, karena penulisan ini banyak menyangkut firman-nya dan juga hadist-hadist nabi SAW. Dan akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori Sastra, Jakarta: Pustaka Jaya, 1984
Abdur Rahman Shaleh dalam Tabrani dan Samsul Arifin, Islam Pluralitas Budaya dan Politik; Refleksi Teologi untuk Aksi Keberagamaan, Jakarta: Paramadina, 1995
Abdur Rozak Zaidan, Sastra dan Agama dalam 3 Kategori Hubungan, Horison No. 05 Mei, 1986
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), penterjemah Prof. K.H. Farid Ma`ruf, Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Ahmad Tohari, Bekisar Merah, Yogyakarta: LKIS, 1999
_________, Jantera Bianglala, Jakarta: Gramedia, 1997
_________, Lingkar Tanah Lingkar Air, Yogyakarta: LKIS, 1999
_________, Ronggeng Dukuh Paruk, Jakarta: Gramedia, 1999
Al Abrosyi, Athiyah, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, penterj. Bustami A. Gani dan Djohar Bahry, Jakarta: Bulan Bintang
Al Ghazali, Mutiara Ihya’ ‘Ulumuddin, Yogyakarta: Mizan, 1997
Al hasyimi, Sayyid Ahmad, Terjemahan Syarah Mukhtaarul Hadits, terj. K.H. Moch Anwar dkk., Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996
Al Jazairi, Abu Bakar, Mengenal Etika dan Akhlak Islam, Jakarta: Penerbit Lentera, 1998
Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, Bandung: sinar Baru Algensindo, 1995
Andre Hardjana, Kritik Sastra; Sebuah Pengantar, Jakarta: Gramedia, 1981
Anwar Masy’ari, Akhlak Al Qur’an, Surabaya: Bina Ilmu, 1990
Asy Syaibani, Omar Mohammad At Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1997
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tadisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Jakarta: Logos, 2000
Budidharma, Harmonium, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000
Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996
Darmiyati Zuchdi, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: FPBS, 1994
Darusuprapto, Ajaran Moral dalam Sastra Suluk, Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM, 1981
Depag RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989
_________, Buku Pedoman Kurikulum Madrasah Tsanawiyah 1984, Jakarta, 1989
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Dick Hartoko, Tonggak Perjalanan Budaya: Sebuah Antologi, Yogyakarta: Kanisius,1987
Endang Syaifuddin Anshori, Wawasan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993
Faruk HT., Pengantar Sosiologi Sastra; dari Strukturalisme sampai Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994
Frans Magnus Suseno, Etika Jawa, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999
Hamzah Ya’kub, Etika Islam, Bandung: Diponegoro, 1983
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1988
Ismail Thaib, Risalah Akhlak, Yogyakarta: Bina Usaha, 1984
Jabrohim, ed., Pengajaran Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994
_________ & Saudi Berlian, Islam dan Kesenian, Yogyakarta: Majelis Kebudayaan Muhammadiyah, UAD, 1995
Jacob Sumardjo & Saini K.M.. Apresiasi Kesusastraan, Jakarta: Gramedia, 1986
K. Kaswardi (ed.), Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, Jakarta: Grasindo 1993
Luxemburg dkk., Pengantar Ilmu Sastra, diindonesiakan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia, 1986
M. Ali Hasan, Tuntunan Akhlak, Bandung: PT Al Ma’arif, 1980
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: Remaja Karya, 1987
Moh. Amin, Peranan Kreativitas dalam Pendidikan, Yogyakarta: IKIP Yogyakarta, 1981
Muhammad Ali Hasyimi, Apakah Anda Berkepribadian Muslim?, Jakarta: Gema Insani Press, 1993
Munir Mulkhan, Paradigma Intelektualitas Muslim, Jakarta: Sipress, 1993
Muslim Nurdin dkk., Moral dan Kognisi Islam, Bandung: Alfabeta, 1995
M. Quraisy Shihab, Membumikan Al Qur`an, Bandung: Al Mizan, 1994
_________, Wawasan Al Qur’an, Bandung: Mizan, 1999
Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996
Nurcholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaa, Jakarta: Paramadina,1995
Rachmat Djoko Pradopo, Prinsip-prinsip Kritik Sastra, Yogyakarta: Penerbit Gadjah Mada University Press, 1997
Radhar Panca Dahana, Kebenaran dan Dusta dalam Sastra, Magelang: Indonesiatera, 2001
S. Suharianto, Membina Para Calon Pembina Apresiasi Sastra, Yogyakarta: FKKS IKIP Yogyakarta, 1981
Saleh Saad, Penelitian dan Pengembangan Sastra dalam Budaya Jawa, 1975
Sapardi Djoko Damono, Priayi Abangan; Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000
_________, Sosiologi Sastra, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen P&K, 1979
Sedya Santoso, Jurnal Penelitian Agama No. 06 Tahun III Januari-April, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1994
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Bina Usaha, 1980
Suminto A. Sayuti, Dasar-dasar Fiksi, Yogyakarta: FPBS IKIP Yogyakarta
Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, Yogyakarta: FIP IKIP Negeri, 1987
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1990.
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003
Ulwan, Abdullah Nashih, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, penterjemah Syaiful Kamali dan Hery Noer Ali, Semarang: Asy Syifa, 1981
Wellek, Rene & Warren, Austin. Teori Kesusastraan, terj. Melani Budiyanto, Jakarta: Gramedia, 1989
Winarno Surachmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito, 1985
Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, Jakarta: Sinar Harapan, 1982
Yudiono K.S., Ahmad Tohari: Karya dan Dunianya, Jakarta: Penerbit PT. Grasindo, 2003
_________, Telaah Kritik Sastra Indonesia, Bandung: Tarsito, 1985
Yusufhadi Miarso dkk., Teknologi Komunikasi Pendidikan: Pengertian dan Penerapannya, Jakarta: CV Rajawali, 1986
Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995

0 Comment